Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 34 - On Vacation



REGHA



Ujian berlalu tanpa begitu banyak insiden. Meski aku sudah berusaha semampuku, aku sedikit ragu akan hasil ujianku kali ini. Semoga aja hasilnya tidak begitu mengecewakan.  Atau setidaknya, tidak membuat IP-ku turun. Begitu banyak hal, selain ujian yang menyita perhatianku semester ini. Keluargaku, Mas Rizky dan juga Zaki. Semester ini benar-benar semester yang mengejutkan dan penuh dengan berbagai peristiwa yang banyak mempengaruhiku.

Keluargaku banyak mendapat ujian beberapa waktu terakhir. Rusaknya rumah dan sawah kami karena badai waktu itu. Hingga kecelakaan yang menimpa Abah dan Agus. 

Ada juga Mas Rizky dan pengakuannya yang mengejutkanku. Tentu saja aku tak bisa membalasnya. Terkadang aku merasa kalau aku telah memperlakukannya dengan tidak adil. Pertemuan terakhir kami kemarin, kukira akan berlangsung canggung dan tak menyenangkan. Karena ulah Zaki dan karena aku mengembalikan uang yang dulu pernah ia berikan padaku. Yang mengejutkan, Mas Rizky bersikap tenang seperti biasanya. Tak ada riak yang kupikir akan muncul. Mas Rizky semula ingin menolak, karena dia memberikan uang itu padaku. Bukan meminjamkannya. Tapi aku memaksa. Mas Rizky akhirnya mau menerima. Kami kemudian mengobrol seperti biasanya. Tapi jelas, masing-masing dari kami seakan kompak dalam satu hal. Kami berdua mencoba untuk tidak menyebutkan nama Zaki dalam pembicaraan kami. Meski mau tidak mau, sesekali namanya tersebut juga. Dan walau aku tak bisa menyukai Mas Rizky seperti yang dia inginkan, perasaan kagumku padanya tak pernah berkurang. 

Lalu kedekatan Zaki dan berkembangnya perasaanku padanya. Hal yang bukan hanya mengagetkanku, tapi juga mengubah cara pandangku padanya. Oke, baiklah! Kuakui pendapatku sebelumnya memang salah. Dulu bagiku, Zaki hanya seorang megalomaniak sinting yang Bossy dan suka seenaknya. Pandanganku memang tidak obyektif. Lebih terpengaruh oleh kekesalanku padanya. Tapi kini............. aku melihatnya dengan mata yang berbeda.


Aku bisa melihat daya tarik yang dia miliki. Fisik sudah jelas di atas rata-rata. Semua orang bisa langsung setuju akan hal itu. Tubuhnya yang tinggi menjulang, terbentuk dengan kesempurnaan seorang pemuda yang terawat baik, dan didukung oleh darahnya yang campuran. Rona kulitnya yang berbeda dan jauh lebih terang dari kami yang pribadi, membuatnya terlihat mencolok dan lain. Bentuk hidungnya yang lebih mancung, bibirya yang jauh lebih tipis dan merah, juga bentuk rahangnya. Bekas cukuran yang membingkai wajah dan atas bibirnya seperti ikut menguatkan bahwa dia hasil dari kawin silang. Belum lagi fakta bahwa dia mapan dalam ekonomi. Pakaian yang melekat di tubuhnya juga bukan berasal dari toko pinggir jalan. Semua aksesoris dari sepatu, ikat pinggang hingga jam tangan yang dia pakai meneriakkan kata mahal bagi yang melihatnya. Dan sialnya, hal itu didukung oleh pembawaannya yang jelas menunjukkan bahwa dia memiliki kelas. Postur tubuhnya, cara dia berjalan dan bahkan bagaimana dia diam ataupun tertawa!!!

Sigh...........

Sialan!!!! Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Sekarang, aku tak bisa melihatnya tanpa debaran jantung yang menggila. Dengan melihatnya dari jauh saja, jantungku seakan-akan melakukan gerakan salto yang membuatku kesulitan untuk bernafas. Berada di dekatnya malah semakin parah. Tubuhku bisa panas dingin dan berkeringat. Terakhir kali kami berada begitu dekat adalah saat kembali dari panti waktu itu. Aku hampir-hampir tak bisa menjawab semua pertanyaan yang dia ajukan. Dia harus selalu mengulangi pertanyaannya, minimal 2 kali sebelum membuatku mengerti. Yang membuatku bersyukur adalah pada akhirnya dia membiarkanku sendiri dan menggumamkan kalimat yang intinya aku sebaiknya beristirahat untuk memulihkan diri.

Zaki memberiku libur minggu berikutnya dengan alasan bahwa aku harus konsen untuk ujianku. Dan malam minggu itu, aku kembali bertemu dengan Mas Rizky. Kami memutuskan untuk makan-makan di warung jawa timur. Mencari tempat yang di pojokan dan agak sepi.

"Gimana Abah dan Agus, Gha?" tanya Mas Rizky waktu itu. Aku lalu menjelaskan dengan singkat. Mas Rizky hanya diam mendengarkan. Sebenarnya aku sedikit agak heran, karena Mas Rizky terlihat lebih pendiam dari biasanya. Terkesan agak menjaga jarak. Sesekali bahkan aku melihat matanya menerawang jauh.

"Mas Rizky baik-baik saja?" tanyaku yang akhirnya tak tahan.

Mas Rizky menolehku, tak langsung menjawab. Malah seakan-akan lebih senang memperhatikanku saja, seperti sedang menelaah sesuatu. Akhirnya dia cuma tersenyum dan menggelengkan kepala tanpa memberiku jawaban.

"Ada yang bisa Egha bantu Mas?" tanyaku.

"Egha gak mungkin bisa membantu," jawab Mas Rizky pelan sembari mengaduk minumannya dengan tatapan kosong.

Aku tertohok. Ingin rasanya aku mengatakan pada Mas Rizky bahwa aku benar-benar menyesal tak bisa membantunya jika hal itu mengenai perasaannya padaku. Tapi aku tak bisa. Sama tak bisanya saat aku harus mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta pada Zaki. Bayangkan saja bagaimana reaksinya saat aku mengatakan itu. Bisa-bisa dia langsung menjauhiku dan tak ingin mengenalku lagi.

"Egha tahu bagaimana sulitnya memahami dan menangani persoalan yang menyangkut perasaan Mas," kataku pelan. Mas Rizky menoleh padaku mendengarnya.

"Egha tak akan pernah tahu karena Egha lain denganku," kata Mas Rizky, "Apa yang kurasakan dianggap aib oleh beberapa orang dan golongan. Yang lain menganggapnya sebagai cacat. Abnormal. Bahkan bagi mereka yang mencoba untuk toleran, hanya menganggapnya sebagai pujian saat rasa suka kami tunjukkan padanya. Tanpa bisa ataupun mau membalasnya. Seperti Egha. Egha mungkin bisa berempati. Tapi Egha tak akan mungkin tahu, ataupun mengerti."

Aku menarik tanganku yang gemetar dan menyembunyikannya di bawah meja. Dengan kepala tertunduk, aku diam 
 memandangi hidanganku yang tiba-tiba terasa hambar, "Maaf, Mas," kataku pelan.

Mas Rizky menarik nafas panjang, "Sudahlah. Bukan salah Egha. Maaf ya? Aku sedang banyak pikiran. Jadi bikin suasana gak enak gini. Kita teruskan saja makannya," kata Mas Rizky. Kami memang meneruskan acara makan kami. Tapi suasanya begitu menekan dan terasa sangat berat. Kemudian aku teringat amplop yang ku bawa. Aku lalu meletakkannya di atas meja dan menyorongkannya pada Mas Rizky yang terlihat bingung.

"Maaf Mas. Egha baru bisa mengembalikan uang itu sekarang. Egha makasih banget Mas Rizky dulu mau membantu Egha," kataku.

Mas Rizky mengambil amplop itu dan melihat isinya, "Zaki?" tanya Mas Rizky pelan.

Aku hanya mengangguk dengan kepala tertunduk.

"Ambil saja," kata Mas Rizky dan meletakkan kembali amplop itu.

"Mas, tolong ambil. Itu uang Mas Rizky. Uang itu tak pernah diterima dalam artian yang sebenarnya oleh Zaki. Zaki hanya ingin memberi Egha peringatan, Mas. Uang Vivi dan Regi juga sudah dikembalikan. Yang terjadi kemarin sebenarnya lebih karena kebodohan dan kecerobohan Egha. Zaki sebenarnya tidak menuntut uang ganti rugi karena sudah memiliki asuransi. Uang yang dulu Egha serahkan hanya dia simpan. Jadi, Egha minta Mas menerimanya."

Mas Rizky kembali menghela nafas. Ekspresi wajahnya berubah datar, dan nyaris terlihat lelah, "Baiklah. Kau sudah selesai? Kita pulang," kata Mas Rizky dan segera bangkit mendahuluiku. Begitu sampai di kostan, Mas Rizky langsung pamit pulang, dengan dalih ada sesuatu yang harus dia lakukan. Terlepas itu benar atau tidak, aku merasa sangat tidak enak.

Tapi aku tak tahu harus melakukan apa agar kami berdua merasa lebih baik.

"Akhirnya selesai juga ya neeekk," desah Regi saat kami kembali berkumpul di ruang redaksi.

"Emberr!! Besok udah liburan seminggu! Kalian ada rencana?" tanya Vivi sembari meneliti artikel yang tengah digarapnya.

"Gua gak kemana-mana kayaknya Vi. Kan masih harus kerja di tempat Bu Indri ma panti," kataku pelan.

 "Ga balik Gha?" tanya Vivi heran.

Aku menggeleng, "Kemarin kan udah libur buat ujian Vi. Jadi ga mungkin ambil libur lagi."

"Ini cuman ada kita bertiga nih? Yang laen pada kemana sih?" tanya Regi sembari menyesap jus jeruk yang tadi dibelinya.

 "Mas Angga ma Lutfi katanya mau wawancara Dosen Inggris yang kemaren digosipin mo nikah itu," jawab Vivi tanpa mengalihkan pandangannya dari screen tv, "Yang laen kalo ga nyari bahan di Perpus, pasti pulang."

"Artikel jij udah jadi Nek?" tanya Regi.

"Udah. Tinggal serahin ke Mas Ang...."

"There you are!!"

Hampir bersamaan kami berdua menoleh ke arah pintu dimana Zaki melangkah masuk. aku langsung membuka laptop yang ku pegang, pura-pura sibuk memeriksa sesuatu.

"Aku sudah mencari kalian. Here! I got you something," ujarnya dan meletakkan tiga buah amplop ke atas meja. Dia lalu duduk di seberangku. Aku sedikit bersyukur karena hari ini, aku duduk diantara Vivi dan Regi. Jadi setidaknya, Zaki tidak berada persis di sebelahku.

"Apaan nih?" tanya Vivi dan mengambil satu amplop yang bertulis namanya. Dia membukanya dan melongo. Dari dalamnya dia menarik keluar sebuah cek.

"Itu hak kalian atas bantuan yang kemarin," kata Zaki ringan, "Kalian sudah berhasil membuat kesan yang baik. Mereka terkesan oleh parcel yang kalian kerjakan. Kalau tidak keberatan, bulan Maret akan ada salah satu penghuni panti yang berulang tahun. Dan mereka ingin kembali menyerahkan kepada kita. If you guys interested, you get the job!"

"Yang bener?!!" pekik Regi dan langsung menyambar amplopnya. Dia langsing jingkrak-jingkrak kegirangan melihat jumlah yang tertera pada ceknya, "ASEEEEKK!!! Ikke bisa pake buat shopping ke Bali!!!"

"Lo mo ke Bali Gi?" tanya Vivi.

"Ember!!! Ikke mo liburan kesana."

"Bareng siapa?"

"Sendiri," jawab Regi dengan senyum misterius, "Ada seseorang yang harus ikke temuin disana. Udah hampir setahun kami gak ketemu."

"Siapa?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Ada dehh. Mawar tahu goreng ajijah ih!" sahut Regi membuatku ngedumel pelan.

"Kalian sudah pernah ke Bali?" tanya Zaki.

Aku dan Vivi menggeleng. Hanya Regi yang mengangguk.

"Gue kesana hampir setahun kemarin. Diusahakan setahun sekali sih. Tapi, waktunya aja yang gak pasti. Tergantung dengan luangnya waktu dan jadwal. Jij kudu kesana Nek. Kalo buat liburan en seneng-seneng, Bali cucok. "

"Boro-boro," gerundengku, "Mending juga buat beli beras."

"Emang lu ga pengen Gha?" tanya Vivi heran, "Gue pengen banget lho. Siapa sih yang ga kenal ma Bali. Bule-bule luar aja mungkin lebih akrab ma Bali daripada Jakarta, ibukota kita."

"Pengen lah Vi. Siapa yang enggak? Semua orang juga pada ngomongin Bali. Tapi kan gak mungkin," jawabku dengan senyum datar.

"Jadi kalian berdua belum pernah ke Bali. Good news! Sebagai ucapan terimakasih, aku akan membawa kalian liburan kesana beberapa hari," celetuk Zaki membuat kami semua sontan terdiam cengo.

"A-apa?"

"Ada beberapa voucher berlibur yang tak terpakai di rumah. Sayang sekali kalau tidak digunakan, seperti kata Regha. Jadi, itu akan jadi bonus kalian semua. Kita berangkat besok pagi. Akan kuberitahu jadwal penerbangannya ke Regha. Biar dia nantinya yang akan mengabari kalian. Oh ya, Vivi, coba hubungi Jordan. Aku yakin dia akan senang hati bergabung. Orang tuanya juga sedang ke luar negeri. Tapi, jangan katakan apapun pada yang lain ok?" kata Zaki sembari mengerling dan bangkit, tapi baru beberapa langkah kemudian dia berhenti, "Semua harus ikut!" katanya singkat dan melenggang.

Hening!

Detik berikutnya, pekik teriakan Vivi dan Regi terdengar bersahutan. Aku hanya diam memandang pintu tempat Zaki tadi melangkah keluar.

Apa yang harus aku lakukan? batinku.



  Zaki menjemputku keesokan harinya. Pesawat kami dijadwalkan pada jam 9 pagi. Jadi kami berangkat ke bandara jam 7. Regi yang memintanya, dengan alasan lebih baik kepagian daripada kesiangan. Aku yang tak terbiasa bepergian, hanya membawa sebuah tas ransel berisi 2 celana dan 3 baju ganti, beberapa celana dalam, sebuah topi yang ku pakai. Mungkin karena memang belum pernah bepergian jauh, aku tak tahu apa saja yang harus aku persiapkan. Terlebih lagi, ini adalah pertama kalinya aku naik pesawat. Meski sangat antusias, aku juga sedikit takut.

Regi dan Vivi sudah menunggu kami didepan pintu. Mataku terbuka lebar melihat Regi yang membawa satu koper besar. Koper Vivi berukuran sedikit lebih kecil. Dan yang paling ajaib adalah melihat Regi yang mengenakan baju safari, celana pendek, plus kaca mata item gede yang cuma cocok dipake artis nongkrong di atas kepalanya.

"Busyet!! Koper lu gede amat Gi!" sapaku dan mendekat.

"Iya lah. Secara, Bali. Ikke kan kudu keliatan eksisnya."

"Isinya apaan? Ada mayat gak didalamnya?" selorohku.

"Rumpik!! Cuman beberapa baju ganti buat maen-maen ma clubbing. Sepatu, beberapa ikat pinggang, sunblock, dan beberapa kosmetik laen."

"Nih banci lebih rese daripada gue yang cewek," gerundeng Vivi yang dijawab Regi dengan juluran lidah.

"Where's Jordan?" tanya Zaki yang baru menyusulku pada Vivi. Sama sepertiku, dia juga hanya membawa sebuah tas ransel. Hari ini dia memakai celana pendek army yang berwarna hitam dan t-shirt putih v neck. Dibalut sebuah jaket katun berwarna hitam. Simpel, namun toh tetep aja kelihatan bedanya dengan aku yang masih gembel.

"Dia ada urusan. Disuruh ma ortunya. Katanya mo nyusul aja," kata Vivi, sedikit menggerutu.

"Let's wait inside. I need to grab a coffee," ajak Zaki dan mendahului kami.

Aku hanya mengekor di belakang mereka. Karena takut keliatan udiknya, aku sengaja memilih berada dibelakang barisan, sembari memperhatikan apa yang mereka lakukan. Dari mulai pemeriksaan tiket sampai boarding. Setelah satu jam lebih menunggu, kami akhirnya masuk pesawat. Zaki sebenarnya sempat menggerutu saat aku lebih memilih berada dibarisan belakang. Tapi aku cuma menjawabnya dengan cengiran. Sedapat mungkin terlihat biasa dan seperti turis karatan yang sudah bolak-balik naik pesawat.

Tapi tentu saja, mataku tetap jelalatan memandang dan memperhatikan segalanya. Sempat nyengir gugup pada pramugari cantik yang mengangguk dan menyapa kami.

"Kau duduk dekat jendela saja," kata Zaki dan mempersilahkanku masuk. Aku hanya mengangguk dan sudah hendak masuk saat Zaki menahanku, "Tasmu," kata Zaki dan menunjuk ransel yang ku bawa.

Aku sempet bengong, tapi jadi ngeh saat melihatnya membuka kompartemen di atas tempat duduk kami. Aku menaruh tasku disana dan kemudian duduk.

"Pertama kali naik pesawat?" tanya Zaki pelan.

Aku tak menjawab, hanya memandangnya dengan tatapan bertanya.

"Kau terlihat sedikit resah dan matamu tak pernah diam. just relax, ok?" katanya pelan dan tersenyum. Aku hanya mengangguk, tanpa menjawabnya, kemudian mengalihkan pandanganku ke luar pesawat. Meencoba mengacuhkan suara-suara di sekitarku. Sesekali kudengar tawa Regi dan Vivi yang duduk dibelakang kami. Saat pesawat mulai bergerak, aku mulai sedikit dilanda kepanikan. Apalagi ketika getaran pesawat semakin kuat dan suara derungan mesin semakin keras.

"Eat this," ujar Zaki yang mengulurkan sebutir permen padaku, "Ini akan membantumu mengatasi sensasi tertekan pada telinga yang mungkin akan kau rasakan," jelasnya.

Aku mengambilnya dengan cepat dan menjejalkannya ke mulutku.

"Just relax," kata Zaki lagi. Aku mencobanya. Tapi tetap saja tubuhku tegang. Berita-berita tentang kecelakaan pesawat yang pernah muncul di tv, berkelebat di otakku. Data statistik memang menunjukkan bahwa bepergian dengan pesawat lebih sedikit resiko kecelakaannya. Tapi tetap saja ada.

"Bagaimana dengan ijin di restoran? Ada masalah?" tanya Zaki santai.

"Nope! Kebetulan Bu Indri juga hendak libur 2 hari. Ada saudara yang sedang hajatan. Jadi tak ada masalah," jawabku.

"Look, I'm a bit curious. Restoran macam apa sebenarnya tempatmu bekerja? Masakan Indonesia atau luar?"

Aku sedikit kaget dengan pertanyaannya. Yang aku tahu, Zaki tidak menyukai Mas Rizky atau segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Dia tahu aku bekerja di rumah makan milik Ibu Mas rizky, "Well, it's not a restaurant actually. Lebih ke rumah makan sih. Masakan Indonesia yang sudah umum. You should come and try. Rumah makan Bu Indri sudah terkenal di Bandung."

"Ada sambal dan lalapan?" tanya Zaki membuatku tertawa. Ingat bahwa dia menyukai sambal pedas gara-gara masakan Mamah.

"Banyak."

"May be I will. Kau sudah tenang? Kita sudah mengudara," katanya dan mengerling.

Aku bengong sejenak, lalu segera berpaling melihat keluar jendela. Dia benar! Aku bisa melihat gedung-gedung di bawah kami yang terlihat semakin mengecil. Sumpah aneh!!! Aku tak pernah menyangka kalau terbang bisa menciptakan ilusi singkat seakan-akan kita sendiri terbang menjauh dari bumi seperti ini. Seakan-akan kita terbang vertikal dalam sebuah kotak. Aku bisa merasakan getaran dan dengung mesin dalam udara di sekitar kami. Sementara jejeran rumah dibawah menjadi terlihat seperti tumpukan rumah dalam permainan monopoli.

"Sudah bisa melepas tanganku sekarang?" tanya Zaki santai, namun toh bisa langsung membuat tubuhku menegang. Karena saat aku baru sadar kalau aku telah menggenggam erat tangan kirinya sedari tadi.

"So-sorry...!" kataku gugup sembari segera melepasnya.

Zaki hanya tertawa kecil dan mengacak-acak rambutku, "It's fine. Sekarang santai saja. Penerbangan ini cuma sekitar 45 menit sampai satu jam. It'll be over before you know it."

Aku hanya mengangguk tanpa mampu memandangnya. Berusaha menenangkan debaran jantungku yang langsung menggila dalam hitungan detik. Aku bahkan hampir-hampi mencondongkon tubuhku, agar dia bisa lebih lama mengusap kepalaku tadi.

Ya Allaaaahhh!! Aku benar-benar berada dalam masalah besar!





RIZKY


Aku terbangun saat merasakan gerakan samar disebelahku. Ferdy mencoba bangkit tapi aku kembali menahannya. Aku tak melepaskan tanganku yang melingkar diperutnya. Ferdy tertawa kecil dan kembali jatuh berbaring ditempat tidur, sementara aku lalu menariknya untuk lebih mendekat. Menempelkan punggungnya ke dadaku, dan menyurukkan kepalaku dilekuk lehernya.

"Mau kemana?" tanyaku dengan suara yang berat karena kantuk.

"Sudah pagi lho Ky. Ga laper?" tanya Ferdy sembari mengusap tanganku yang melingkar diperutnya.

"Laper juga. Tapi aku lebih tertarik menghangatkan diri disini. Cihideung punya udara yang cocok untuk tidur," gumamku dan kembali mempererat pelukanku diperutnya. Ferdy hanya tertawa kecil dan kemudian menarik lagi selimut untuk menutupi tubuh telanjang kami hingga ke dagu.

Saat ini kami berada pada sebuah villa di Cihideung. Daerah yang berada dibawah kaki dataran tinggi Lembang.

"Aku senang Dokter Stevan memberi kita libur selama dua hari," gumam Ferdy, "Kamu gak apa-apa nggak ikut Ibu ke acara keluarga?"

"Cuman selamatan kecil. Lagipula, Ayah juga ada disana. Aku lebih suka disini," jawabku.

Ferdy tertawa kecil, “Tapi kita tak akan mungkin diam dikamar sepanjang hari. Kita harus memanfaatkan kesempatan untuk menikmati keindahan daerah ini. Aku lihat ada kebun strawberry dibawah sana. Bagaimana kalau kita jalan-jalan dan memetik buah strawberry segar untuk malam nanti?”

Aku malah mengerang malas untuk menunjukkan keenggananku, “Aku hanya ingin tidur sepanjang hari.”

“Kau pernah dengar kalau strawberry bagus untuk libido pria kan?”

“Ayo berangkat!!” ujarku dan cepat bangkit diikuti oleh tawa geli Ferdy.


Wisata taman strawberry yang ada didekat villa ini ternyata cukup ramai dan memiliki fasilitas yang lengkap. Kavling strawberry ini juga menyewakan kuda bagi mereka yang ingin berkeliling. Ada area bermain untuk anak-anak, café dan juga wisata outbond. Aku yang memang sedang tidak tertarik untuk berolah raga berat dan capek, menolak saat Ferdy menyarankan untuk ikut wisata outbond. Aku lebih memilih berkeliling perkebunan itu, menikmati sejuknya udara Lembang dan memetik strawberry.

Ada lima kavling kebun strawberry disini. Kami berada di kavling dua dan sudah siap dengan keranjang. Aku dan Ferdy memegang satu dan taruhan siapa yang nantinya paling cepat mengumpulkan buah strawberry. Ada beberapa orang lain yang ikut bersama grup kami. Beberapa diantaranya pasangan paro baya yang tampak begitu menikmati kebersamaan mereka.

Sialnya, Ferdy mengalahkanku dalam lomba mengumpulkan buah. Dia berhasil mengumpulkan hampir satu kilo. Di akhir wisata kami duduk di taman, menikmati sekeranjang kecil buah strawberry sembari memanjakan mata akan indahnya taman bunga. Dibawah sebatang pohon besar kami duduk melepas lelah, dibelai oleh sejuknya udara Lembang.

“Akan kau apakan sisa buah strawberry yang dimobil nanti, Fer?” tanyaku sembari meludahkan daun buah yang ikut kukunyah tadi.

“Entahlah. Aku mungkin akan menyimpannya di kulkas agar kau habiskan.”

“Kau ingin aku sakit perut apa?’ gerutuku kesal.

“Hei, kau kan yang ingin meningkatkan libido, bukan aku,” cengirnya dan kembali memasukkan sebutir buah strawberry ke mulutnya.

Aku sudah hendak membalas keisengannya saat sepasang suami istri berusia sekitar 50an yang tadi ikut tur bersama kami mendekat. Wajah mereka yang sumringah tampak segar dan nyaris kekanakan.

“Maaf anak muda, boleh kami ikut duduk disini?” pinta sang suami sembari menunjuk pada sisa kosong kursi panjang yang kami duduki.

“Silahkan, Pak,” ujar Ferdy dan bergeser untuk lebih merapat padaku.

“Terimakasih. Kenalkan, saya Suratman. Dan ini istri saya, Ibu Utami,” ujar beliau sembari mengulurkan tangan.

Kami menyambutnya dan saling memperkenalkan diri. Dengan keramahan yang luar biasa, sepasang suami istri itu mengajak kami ngobrol seperti teman lama. Bapak Suratman datang kesini dengan serombongan keluarganya. Ada dua orang anak perempuan mereka, berikut suami dan 3 orang cucu tepatnya. Beliau menunjuk pada anak dan cucu mereka yang bermain di kejauhan. Sementara yang lain sedang berkeliling dengan kuda.

Mereka semua datang dari Banjarmasin dan menyewa sebuah villa tak jauh dari sana. Sebenarnya mereka berniat untuk menyewa villa di puncak, tapi ternyata sudah penuh. Ini pertama kalinya mereka berlibur ke Bandung. Biasanya mereka cuma ke Jakarta. Pak Suratman sebenarnya lahir di Surabaya, tapi beliau tumbuh di Banjarmasin. Ikut orang tuanya yang hijrah kesana.

Tak berapa lama, Bu Utami dipanggil oleh putrinya yang sepertinya membutuhkan bantuan untuk menangani kedua anaknya.

“Kalian hanya berdua disini?” Tanya Pak Suratman saat Bu Utami telah menjauh.

“Iya, Pak,” jawab Ferdy. Menakjubkan bagaimana dia masih bisa menjawab dengan jelas pertanyaan Pak Suratman, meski dia masih mengunyah buahnya.

“Dimana pacar kalian? Atau mungkin kalian sudah berkeluarga?’

“Belum, pak,” jawabku ringan, “Tapi Ferdy sudah bertunangan. Tapi tunangannya ada di Yogyakarta. Kebetulan Ferdy ada di Bandung untuk coass-nya.”

“Waduhh! Jadi kalian Dokter Muda?” seru Pak Suratman dengan nada kagum, “Menakjubkan. Begitu muda tapi telah 
memiliki masa depan yang menjanjikan. Apa yang kalian tunggu? Kenapa tidak menikah saja?” Tanya Pak Suratman namun lebih ditujukan padaFerdy.

“Masih belum siap, Pak. Masih banyak hal dalam hidup saya yang masih belum ditata,” elak Ferdy berdiplomasi.

“Bagaimana denganmu Rizky?”

“Belum menemukan jodohnya, Pak,” jawabku santai.

Pak Suratman tertawa mendengar jawabanku, “Khas anak muda sekarang. Ingin bersenang-senang dulu dan memandang pernikahan seperti sebuah penjara yang mengerikan. Kalian tahu, kalau saja aku tahu bagaimana indah dan nikmatnya menikah sejak usia akil baligh, aku pasti sudah menikah saat itu juga.”

Aku dan Ferdy hanya bisa nyengir untuk mengimbangi beliau.

“Kalau nunggu siap, sepertinya semua orang akan menjawab tidak siap jika mereka ditanya Fer,” sambung Pak Suratman lagi, “Tapi kalau aku boleh memberi saran, segeralah menikah. Sementara untuk jodoh, itu hal yang sedikit rumit.”

“Kenapa rumit, pak?’ tanyaku iseng.

“Yaah…jodoh itu terkadang tak terduga dan mengejutkan. Contohnya Bapak sendiri. Bapak tak ada sedikitpun pikiran kalau nantinya Bapak akan menikah dengan Bu Utami. Dulu….Bapak jatuh cinta pada wanita lain. Mati-matian Bapak mengejarnya. Berkorban begitu banyak. Waktu, uang, tenaga dan bahkan mengorbankan hubungan baik bapak dengan orang tua. Ayah dan Ibu dulu menentang hubungan kami. Tapi semakin ditentang, semakin yakin Bapak kalau bapak, harus menikahi wanita itu. Sementara Bu Utami adalah tetangga Bapak yang sudah sejak dulu menyukai Bapak. Hanya saja……tak pernah terlihat. Kami tumbuh bersama dan Bapak hanya menganggapnya teman baik. Hingga kemudian dia yang akhirnya datang saat bapak telah kehilangan segalanya…..”

Aku menatap pak Suratman yang duduk dengan mata menerawang jauh, tenggelam dalam kenangan masa mudanya.

“Wanita yang Bapak cintai………kabur dengan pria lain. Padahal Bapak telah habis-habisan. Tapi dia tetap meninggalkan Bapak tanpa ada sepatah katapun. Bapak kehilangan kepercayaan keluarga, materi dan juga harga diri. Saat hampir semua orang menjauh, Bu Utami yang mendekat dan mendampingi Bapak. Menguatkan dan menemani Bapak dalam menghadapi semuanya. Jadi saat orang tua Bapak meminta Bapak untuk menikahinya, Bapak setuju. Kami menikah. Dan keluarga kami berkembang hingga kini. Dan setelah hampir 35 tahun kami menikah, Bapak tak pernah membayangkan bagaimana hidup Bapak tanpanya.”

Kami berdua terdiam.

“Lucu kan bagaimana jodoh itu? Bapak yang tadinya mati-matian berusaha mendapatkan wanita yang Bapak cintai, akhirnya justru menikahi teman semasa kecil. Dan hingga detik ini, Bapak tak pernah berhenti bersyukur telah dibuang oleh wanita itu. Karena kalau kami menikah, mungkin Bapak tidak akan bahagia seperti sekarang. Mungkin Bapak akan terus berusaha mati-matian menyenangkan wanita itu, tanpa memperhatikan kebahagiaan Bapak sendiri. Kepergian wanita itu justru membawa Utami kedalam hidup Bapak. Dan setiap hari, Bapak mensyukurinya. Lucu bagaimana mata kita begitu tertutup dan mengejar mimpi semu yang sebenarnya tidak akan baik bagi kita. Menutup semua keindahan dan berkah yang sebenarnya telah Tuhan siapkan disekitar kita. Mungkin Rizky yang masih mencari jodoh harus lebih jeli melihat sekitar Rizky. Mungkin saja cinta sejati Rizky telah ada didekat Rizky, hanya saja Rizky belum menyadarinya. Rizky masih sibuk mengejar mimpi dan angan semu yang menipu. Mungkin sudah waktunya bagi Rizky untuk lebih menghargai dan bersyukur dengan apa yang Rizky miliki saat ini. Mungkin dengan begitu, Rizky akan melihat cinta sejati didepan Rizky…”
Untuk beberapa saat lamanya, baik aku ataupun Ferdy tak bersuara. Hanya diam mencerna dan mengendapkan kata-kata Pak Suratman.

“Mata dan pikiran manusia itu gampang sekali tertipu dan dibelokkan anak muda. Terkadang kalian hanya perlu bersyukur dengan apa yang kalian miliki, dan Tuhan akan membuka mata kalian atas apa yang selama ini tertutupi oleh angan dan mimpi semu.”

“Tapi bagaimana kalau saya tidak menginginkan apa yang saat ini saya miliki?” tanyaku tanpa dapat menahan diri, 

“Bagaimana kalau saya menginginkan hal lain?”

Pak Suratman tersenyum mendengarku, “Apa yang kita ingin dan apa yang kita butuhkan terkadang dua hal yang berlawanan. Kalau dulu kalian tanya, dulu Bapak menginginkan wanita itu untuk menjadi istri Bapak. Tapi Tuhan tahu kalau Bapak membutuhkan Bu Utami untuk bisa hidup dan bahagia. Terkadang Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Dan kalau kalian tanya, Bapak lebih memilih mendapatkan apa yang Bapak butuhkan daripada mendapatkan apa yang Bapak inginkan,” jawab Pak Suratman.

Kembali kami berdua terbungkam.

Dan hampir sepanjang sia hari itu, percakapan antara kami dan Pak Suratman terngiang di telingaku.








ZAKI



Kami disambut didepan hotel oleh beberapa bellboy yang segera meraih tas kami. Aku sudah memesan empat kamar yang berjajar dengan balkon yang menghadap ke pantai Legian. Sengaja aku memilihnya hotel XX ini karena letaknya cukup nyaman. Keramaian pantai Kuta bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Begitu juga dengan Beachwalk, dimana mungkin Regi dan yang lain bisa berbelanja. Centro juga bisa dilihat dengan mata telanjang. Berbagai club dan diskotik juga bisa ditemukan disepanjang garis pantai. Sementara hotel ini berada di kawasan pantai Legian yang cukup tenang bila dibandingkan dengan Kuta yang menurutku lebih ramai dan hingar bingar. Meski biasanya aku lebih suka berada di daerah Nusa Dua, tapi saat ingin bersenang-senang, biasanya aku juga menginap disini. Pemiliknya adalah salah satu rekan bisnis Mommy yang selalu memberiku akses dengan mudah. Terlebih lagi, hotel yang sebetulnya berukuran sedang ini biasanya diperuntukkan sebagai tempat beristirahat bagi rekanan bisnisnya. Jadi privasi dan pelayanannya cukup memuaskanku.
Regha terlihat lebih baik dari tadi. Aku bisa melihat binar matanya yang bersemangat. Matanya tak pernah berhenti bergerak dengan antusiasme yang besar. Aku hanya tersenyum kecil. Geli bagaimana seesuatu yang menurutku biasa saja dan tak bermakna, terkesan sangat wah dan menakjubkan dari ekspresinya. Antusiasmenya sedikit menular padaku.

"Tolong taruh di dalam saja," kataku pada bellboy yang mengantarku dan meneruskan langkahku untuk mengikuti Regha. Aku khawatir dia akan bersikap aneh pada bellboy yang mengantarnya.

"Ini kamar anda," kata bellboy yang mengantar Regha.

"You can go," kataku padanya sembari mengulurkan tanganku untuk mengambil kartu kunci dari tangannya. Bellboy itu hanya mengangguk dan memberikannya padaku. Regha hanya bengong melihat. Aku menunggu bellboy itu pergi sebelum menunjukkan pada Regha, bagaimana dia bisa menggunakan kartu itu.

"Ini kamarmu," kataku dan masuk. Sekali lagi tersenyum melihat ekspresi wajah Regha. Tampak begitu takjub dan nyaris kekanakan, "Ini kamar tidur. Dan kamar mandi disitu. Ada water heater dan bath tub, juga shower. Mau kutunjukkan caranya?" tawarku.

Regha hanya mengangguk dengan muka tersipu. Aku hanya tertawa kecil dan ke kamar mandi untuk menunjukkan caranya. Banyak kran dan tombol yang mungkin tidak dia pahami. Jadi aku memberinya tour singkat.

"Handuk ada di laci itu. Juga beberapa keperluan mandi. Telepon saja room service kalau kau memerlukan sesuatu," kataku dan keluar, "Oh ya, itu balkon yang bisa kau gunakan untuk bersantai. Balkon ini langsung menghadap pantai," jelasku dan membuka pintu menuju balkon.

"Whoooaaaa....."

Aku hanya tersenyum dan melihat keluar, ke arah pantai dimana beberapa orang turis sedang berjemur di bawah payun-payung besar. Beberapa bahkan sedang berselancar. Hanya sedikit yang berlalu-lalang di pinggir pantai, "It's a private part of the beach. Jadi kau bisa tenang menikmati pantai atau sekedar berjemur. Don't be afraid to get naked."

Regha tak menyahut, hanya menggerutu pelan. Aku hanya tersenyum menanggapinya dan kembali melihat pantai. Dan entah kenapa, kilauan air dikejauhan dan keberadaan Regha membuatku teringat suasana sore di Majalengka. Ketika aku begitu terpesona oleh keajaiban sunset di pingir sungai itu. Membuatku berpikir, apakah keajaiban alam it bisa kembali 
kurasa disini, bersama dengan Regha.

"NEEEKKKK!!! Kita mo jalan-jalan ke pantai!!!"

Teriakan keras Regi membuatku sedikit kaget. Lamunanku seketika buyar dan tanpa sadar menghela nafas panjang. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirku tak habis mengerti. Kenapa hampir setiap saat aku seperti berjalan dalam lamunan seperti ini? Konyol. Bagaimana bisa ak membandingkan sunset di pantai Kuta dan Legian dengan Majalengka.

"........ki..."

Aku mengerjapkan mata, melihat Regi dan Vivi yang berada didepanku dengan bingung, "So-sorry. What?" tanyaku. Aku bahkan tak mengerti apa yang mereka katakan tadi.

"I said, aku mau jalan-jalan dulu bareng yang lain. Sayang sekali kalo kita diam saja. Atau kau punya rencana yang lain untuk kita?" tanya Regi.

"No! You guys do anything you like. Kita bikin rencana bersama nanti," jawabku cepat.

"Kamu nggak bareng kita aja?" tawar Vivi.

Aku menggeleng, "Kalian jalan saja. Aku ingin santai sebentar. But what about lunch? Kalian nggak makan siang dulu? Kita bisa cari restoran," tawarku.

"Rencananya kita mo makan di Mc.D aja. Dekat Hard Rock. Regi ilang dia mau ke Kartika buat nyari baju," jawab Vivi sembari memakai topi pantailebarnya.

"Okay. You have fun. Aku akan meminta sebuah mobil untuk kalian gunakan," kataku.

"No!! You don't have to!" cegah Regi, "Kami akan jalan kaki. Sayang dong kalo kita ngelewatin pemandangan keren dan turis-turis telanjang sepanjan pantai, em?" cetus Regi.

"Tapi........... hari ini cukup panas," ujarku dengan kening berkerut, "Kau tak apa-apa?" tanyaku pada Regha yang sedari tadi hanya diam. Dia hanya mengangguk dengan gerakan samar.    

"Don't worry about us!" tukas Regi dan melangkah keluar diikuti oleh Vivi dan Regha.

"Fine! Kau bawa topimu kan?" tanyaku lagi pada Regha. Kembali dia mengangguk dan mengambil topi dari tas ranselnya. Sepertinya dia membawa sedikit sekali didalamnya. Aku hanya menghela nafas dan meraih kacamata hitam yang ada disakuku, "Use it! Ini akan melindungi matamu dari matahari," kataku dan mengulurkannya pada Regha.

Sejenak dia tampak Regha, tapi kemudian dia mengambilnya.

"You guys have fun. Aku akan menunggu disini," kataku dan meninggalkan mereka untuk masuk ke kamarku.





REGHA


Hari itu berlalu dengan cepat. Rasanya sedikit aneh bagaimana kami yang berada di Bandung tiba-tiba saja berkeliaran di jalanan Kuta Bali hanya dalam hitungan jam. Dan jalan-jalan bersama Vivi dan Regi, benar-benar menguras tenaga. Mula-mula mereka mengajakku berjalan di sepanjang garis pantai Legian dan Kuta, di tengah-tengah hari yang panas dan cukup menyengat. Sesekali mereka mengomentari beberapa turis yang kami lewati.

Meski semula aku merasa kalau kegiatan seperti ini lebih pantas bila hanya dilakukan oleh Regi dan Vivi, tapi lama-lama aku juga ikut tertawa oleh komentar-komentar usil mereka. Aku yang semula risih dan merasa kalau gosip-menggosip sangat tabu untuk cowok akhirnya menyerah dan ikut tertawa lepas bersama mereka. Bagaimana tidak tertawa jika kami melihat seorang turis cewek yang super gede, dengan pede-nya menggunakan swimsuit two piece sembari pose ngangkang dibawah mentari Kuta. Regi dengan isengnya mengambil gambar foto turis itu, posting di twitter-nya sembari memberi komentar 'paus terdampar'.

Vivi dengan iseng ikutan mengambil foto seorang turis yang berbicara dengan bahasa Itali dan memberinya judul, mutasi Yetti, hanya karena hampir seluruh tubuh bapak-bapak itu ditumbuhi bulu. Sesekali mereka berdua bengong kalo ada bule berondong lewat. Apa lagi kalau tuh cowok telanjang dada dengan boxer basah yang mencetak dengan jelas 'bungkusan' yang dia bawa, plus bawa papan surfing. Vivi dan Regi nggak ragu-ragu untuk berhenti melangkah dengan mata melotot lebar sembari mulut nganga ala kuda nil. Sempet sampai ada seorang bule berambut pirang yang sadar mereka pandangi, balas memandang keduanya dengan sebelah alis terangkat. Tanpa malu-malu keduanya cuma nyengir dan melambaikan tangan.

Aku buru-buru ngacir . Ogah kalo disangka satu komplotan dengan dua manusia durjana itu!

Tapi............. aku tak bisa menepis rasa aneh yang tiba-tiba bergolak dalam benakku. Jujur, beberapa cowok yang kami lewati boleh dibilang seksi. Aku bisa melihat daya tarik mereka sebagai seorang cowok. Tubuh yang kekar dan dada yang bidang. Beberapa diantara mereka bebulu. Wajah bule mereka juga cukup menarik. Buktinya, Vivi dan Regi ngeces hebat beberapa kali. Tapi hanya itu....

Aku bisa mengapresiasi daya tarik yang mereka miliki. Tapi tidak lebih dari itu. Aku tak merasakan gelenyar aneh yang ada dipeutku saat melihat tubuh mereka yang nyaris telanjang. Tak ada hasrat berlebih, atau reaksi aneh pada tubuhku. Tak ada keringat dingin, gugup ataupun salah tingkah. Bagiku mereka hanya sosok yang menarik. Hanya itu....

Dan itu menggangguku!

Kalau memang aku gay, kenapa aku tak bisa.......... bernafsu. Berhasrat! Merasakan gairah dan ketertarikan seperti yang Regi tunjukkan. Malah jujur, aku lebih 'tegang' melihat beberapa turis cewek yang tanpa sungkan-sungkan memerkan bagian atas tubuh mereka. Tapi................ kenapa tubuhku bereaksi lain pada Zaki?! Janggal rasanya kalau hanya pada Zaki aku bisa seperti itu kan? Jadi...... apa penjelasan yang sebenarnya?

Karena tak mampu menemukan jawaban yang bisa memuaskan, aku mengutarakan hal itu pada Vivi dan Regi.

"Jadi.......... ada kemungkinan kalau gue bukan gay kan?" tukasku saat kami makan siang di Mc.D Kuta. Sengaja kami memilih tempat duduk di sudut sehingga kami bisa mendapatkan sedikit privasi, "Kalau memang gue gay, gue harusnya merasakan............. ketertarikan, hasrat.."

"Secara seksual?" potong Regi dengan sebelah alis terangkat dan senyum gelinya.

Meski bergidik, aku mengangguk untuk membenarkannya, "Ya, secara seksual. Lo liat sendiri kan? Beberapa cowok yang kita lewatin tadi menarik, seksi. Hell, sangat seksi malah. Tapi gua gak bisa ngerasain apapun. Gua gak............ tertarik."

"Sama sekali?" tanya Vivi.

"Sama sekali! Jujur, gue justru lebih tertarik ma beberapa cewek berdada super tadi!"

"Pervert!" umpat Vivi dongkol.

"Intinya adalah, mungkin saja apa yang gue rasain ke Zaki, bukanlah cinta. Mungkin aja gue cuma.............. kagum. Kagum dan mungkin............ merasa berhutang budi atas semua yang udah dia lakuin buat gue. Iya kan? Ini. gak berarti cinta. Munkin gue cuma ...... salah dalam memahami apa yang gue rasain ke dia."

"Honey, lo bisa mencari dalih sebanyak apapun yang lo bisa. Tapi lo gak bakal bisa mengingkari kebenarannya," komentar Regi santai.

"Kebenaran apa?"

"Bahwa jij mencintai Zaki!" jawab Regi kalem.

"Tapi gue gak......."

"Ngaceng ngeliat bule berondong yang nyaris telanjang di depan mata lo. Ya, ya! Gue udah denger lo ngulang kalimat tadi beberapa kali. Dan gue gak budek. Jadi jangan khawatir," potong Regi cuek.

Aku menelan ludah dan menoleh ke samping kiri kanan kami, khawatir ada orang yang mendengar komentar Regi tadi. Tuh 
banci enteng aja bilang ngaceng di tempat umum gini. Untungnya, tak ada satupun dari orang-orang itu melirik kami dengan tatapan curiga. Mereka semua tampak sibuk dengan apapun yang mereka kerjakan sendiri.

"Bisa lebih pelan dikit kan?" gerundengku kesal.

Regi hanya memutar bola matanya dengan eekspresi bosan, "Ikke bener-bener kagum ma kekeras kepalaan lo! Baru beberapa hari kemaren lo ngakuin kalo lo jatuh cinta ma Zaki. Ini udah ganti lagi. Besok apa?"

"Gue..."

"No! Lo denger gue!!" potong Regi dengan nada dingin, "Lo bisa mencari seribu alasan apapun yang bisa lo ikir pake otak lo itu. Tapi satu hal yang jelas, dan bahkan sudah lo akui sebelumnya, LO CINTA ZAKI!! Ya, gue tau itu mengerikan buat lo. But that's the truth. Lo boleh menyangkalnya mati-matian. Tapi gue ma Vivi bisa melihatnya dengan jelas. Perkara kenapa lo gak ngaceng ngeliat berondong bule telanjang, itu cuma nunjukin kalo lo cinta ma Zaki. Hanya Zaki! Karena itu semua hal selain Zaki ga bisa bikin lo tertarik. Dan lo mau tau apa buktinya?"

"Apa?" tanyaku sedikit ngeper. Jarang-jarangan aku melihat sisi Regi yang dingin dan judes seperti ini. Dan dia ternyata cukup mengintimidasi.

"Karena kalo ma Zaki, lo bisa ngaceng!"

Aku hendak membuka mulut untuk membantah. Namun bahkan pada saat itu aku tahu kalau itu benar. Bahkan jauh sebelum ini, jauh sebelum aku mampu mengakuinya, keberadaan Zaki secara fisik didekatku, telah membuat tubuhku bereaksi. Masih ku ingat dengan jelas bagaimana reaksiku saat Zaki memelukku di tepi sungai itu.

"Tapi.............. kalo gua bisa tegang karena keberadaan seorang cowok, bukankah itu berarti gue gay?"

"Lo jatuh cinta ma Zaki, Gha. It's that simple. Lo ga suka semua cowok. Hanya Zaki. Itu cuma bukti tambahan gimana tulusnya perasaan cinta yang lo rasakan ke Zaki," ujar Vivi pelan.

Aku bahkan nyaris tertawa mendengarnya. Ketulusan perasaan? Demi Tuhan! Apa kita sedang syuting sinetron sekarang?

"Cinta dan nafsu selalu ada dalam satu paket Gha. Lo gak mungkin bisa cinta ma seseorang tanpa adanya nafsu. Tapi nafsu, bisa berdiri sendiri tanpa cinta."

Aku menatap Vivi dengan tatapan bingung.

"Kita bicara soal cinta yang kita rasakan pada manusia lain sebagai pasangan. Coba lo pikir, beda kan perasaan sayang yang lo rasain sekarang ke Zaki dengan sayang lo ke sodara-sodara lo? Sesayang apapun lo ma mereka, mustahil lo bisa terangsang ngeliat mereka telanjang. Tapi lo mungkin akan bereaksi lain kalo Zaki yang telanjang didepan lo. Itu karena lo ngerasain cinta ke Zaki. Dan mustahil lo bisa ngerasain cinta itu ke Zaki tanpa ada nafsu didalamnya Bukan cinta layaknya sebuah hubungan darah. Tapi cinta yang tumbuh dari seorang manusia kepada manusia lain. Cinta yang mengharapkan keberadaan orang itu dalam hidup lo. Nemenin lo. Singkatnya, cinta layaknya seorang soulmate. Tapi kalo nafsu...." Vivi menoleh ke arah Regi.

"Sementara ketertarikan yang lo rasain ke bule-bule cewek telanjang tadi, itulah yang disebut nafsu. Apa yang lo bisa 
dapetin dari itu hanya pemuasan sesaat. yang bakal langsung ilang, segera setelah lo mencapai orgasme! Dan kalopun misalnya lo bisa tidur dengan salah satu dari mereka, gua yakin lo gak akan mau kalo disuruh nikah en hidup dengan mereka selamanya. Lo gak akan mau mereka terusan ngintil kemana aja lo pergi. Tapi kalo lo cinta ma seseorang, lo gak akan pernah mau berpisah ma mereka. Keberadaan mereka menjadi semacam kebutuhan bagi lo," lanjut Regi.

Aku diam.

"Sekarang coba pikir. Apa yang lo rasain ke Zaki. Itu cinta atau nafsu?"

Aku kembali tak menjawab Regi.

Regi kembali tersenyum sedikit sinis, "Sudah gue duga. Oh ya, satu hal lagi, jangan pernah masukin diri lo ke dalam golongan tertentu. Berhentilah memberi brand ke diri lo sendiri. You are you! You are what you are. Lo bukan golongan elit yang cuma ada segelintir di dunia ini. Lo sama ma kita semua. Manusia!" tukasnya lagi. Kata-katanya yang tajam dan bisa dibilang kejam membuatku sedikit terhenyak, tapi aku tak bisa membantahnya. Jadi aku hanya bisa diam disana dengan tubuh kaku dan benak yang nyaris kebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar