Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The triangle ) Chapter 14 - Secrets reveal

REGHA

Setelah kejadian itu, aku hampir-hampir tak bisa lagi menatap wajah Zaki. Bahkan dengan sukses aku berhasil menghindarinya sepanjang sisa hari itu. Aku lebih memilih untuk mendekam dalam kamar. Beberapa kali aku hanya memandang kebagian bawah tubuhku dengan kening berkerut. Bahkan disaat aku hanya mengingat bagaimana tubuh kami bersentuhan, aku sudah menegang. GILA!!!! Aku mikir apa sebenernya sih? Kenapa reaksiku seperti ini? Masa sih gara-gara aku gak pernah pacaran, jadi hormonku gila-gilaan?

Gak mungkin kan kalo aku. . . . jadi seperti Regi? Aku tak pernah punya perasaan yang aneh saat melihat lelaki telanjang bulat didepanku. Bahkan aku sering melakukannya saat mandi bareng teman-temanku. Kami selalu -tanpa sungkan- melepas seluruh baju kami. Bahkan pernah saling ejek soal bentuk 'perkakas' kami. Waktu SMA bahkan aku pernah ngocok bareng beberapa temen cowok, sambil nonton bokep. Dan sumpah mampus, aku horny bukan karena ngeliat rudal temenku, tapi karena liat adegan di tv. Adegan sex antara cowok dan cewek. Jadi kemungkinan aku sama dengan Regi adalah kosong.

Tapi, apa penjelasan reaksi tubuhku ini?!!

Jangan-jangan aku sudah ketempelan ma bangsa halus kemarin! HIIIIIIIIIHHH!!!!

Hingga siang ini, saat kami harus kembali berkendara ke Bandung, duduk berdekatan dengan Zaki, aku masih merinding. Mau tak mau aku harus berhadapan dengannya lagi kali ini. Tapi meski begitu, sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dengannya. Yang bikin super heran dan dongkol adalahreaksi keluargaku.Saat Zaki berpamitan, mereka memperlakukannya seakan-akan dia saudara jauh yang tak akan bisa mereka temui dalam waktu yang lama.

Mamah memeluknya dengan erat dan memastikan Zaki untuk berjanji, kalau suatu saat, dia akan kembali lagi. Asti merengek, meminta Zaki untuk mengabarinya begitu kami sampai. Agus dengan antusias menjabat tangan Zaki dan memeluknya, akrab. Bahkan Abah!!! Beliau dengan ramahnya meminta Zaki agar bisa mampir lagi kesini, lain waktu.

Ampun deh!!!

Kerasukan apa sih mereka? Nggak tau apa, kalo si Zaki itu dedengkotnya iblis?!! Masih kuingat bagaimana reaksi tubuhku, terakhir kali kami bersentuhan!

Sumpah mampus aku tak pernah menyangka kalau tubuhku bisa bereaksi seperti kemarin itu. Kalau dulu aku hanya menganggap omongan orang tua, bahwa senja adalah waktunya para lelembut mulai keluar, adalah isapan jempol, sekarang aku percaya. Waktu itu pasti benar-benar ada sesosok lelembut yg nempel padaku. Kalo nggak, gak mungkin aku bisa. . . .

GYAAAAAAAAAAAAA!!!!

"Kamu kenapa sih?!" tegur Zaki dari sampingku. Aku yg tadinya mengucek-ucek rambutku dengan kesal jadi mematung. "Gha. . . ?!" panggil Zaki lagi.

"Eeuuhh. . aku lupa sesuatu," jawabku cepat.

Zaki mendecak kesal mendengarku. "Kapan kau membuang sikap sembronomu itu? Should we go back?" tawarnya.

"NO!!!" sahutku keras. Kami sudah se jam lebih melaju. Gila aja kalo kudu balik lagi. Bisa-bisa, malem nyampenya di Bandung. Lagian, tumben dia nawarin gitu, bukannya ngamuk!

"Ntar aku minta si Agus buat kirim lewat pos."

Zaki cuma mengangkat bahu. "You know what, I think you are lucky!" tukas Zaki tiba-tiba. Dia menoleh sekilas padaku yg sedang meliriknya heran. "Kau punya keluarga yang mengagumkan," lanjutnya menjawab keherananku.

Aku mendengus keras mendengarnya. "Please! Jangan bilang kau berasal dari stereotype keluarga kaya yg orang tuanya terlalu sibuk dengan bisnis, sehingga kau terlantar. Itu sudah usang! Sudah banyak diceritakan dibuku atau film," selorohku. "Dan kalau itu benar, kau tetap harus bersyukur. You are rich! You have evreything. Cars, MONEY, awesome house! Basically everything."

"But they come with price, Gha!" potongnya. "Aku tak ingat lagi, kapan terakhir kali aku makan dengan keluarga, seperti kemarin bersama keluargamu. Aku tak ingat lagi, kapan aku memiliki Ibu yang bersikap layaknya seorang Ibu, seperti Mamah. Terakhir aku bertemu dengannya adalah beberapa bulan kemarin. We had lunch and talked about business. You were right. I have everything. Cars, MONEY and else. But family. . . . I don't think I have that," katanya.

"Classic!" simpulku singkat.

"It is! But it happens! Kekayaan bukan segalanya. Aku bisa punya mobil, latest gadget or else. Tapi mereka hanya benda. Sedangkan manusia yg mendekatiku, rata-rata juga punya maksud tersembunyi. Cewek, mungkin tergiur karena kekayaanku. Temen cowok, mungkin cuma mau nebeng. Orang tua, rata-rata ingin menjodohkan aku dengan anak mereka. Kalau bukan karena alasan bisnis, pasti krn uang. Semua itu melelahkan Gha!"

"I saw that in some movies!"

"Yeah,like you said. Classic. I know. Well, in reality, it's worst! Tak ada yang menemani saat sakit. Makan sendiri, malampun sendirian. Kalo mungkin di film kau melihatnya terlihat mengibakan, dalam kenyataannya, hal itu terasa lebih buruk. Pernah tau bahwa sebuah kebahagiaan, akan lebih terasa saat ada orang yg bisa diajak untuk berbagi? Well,that's true. It sucks when you are happy, but alone!"

"Dengan kata lain, andai bisa, kau ingin bertukar tempat denganku?" tanyaku dengan nada sinis.

"Well, if you put it that way, then no! Aku nggak pernah punya keinginan jadi orang super ceroboh sepertimu," jawabnya singkat. Aku hanya menggeram marah mendengarnya. Zaki hanya tergelak kecil dan melirikku. "Yes, I admit. Aku ingin memiliki keluarga sehangat keluargamu. But, jangan berpikir kalau aku tidak menyayangi Mommy. Aku tau kalau beliau telah berusaha keras untuk mempertahankan semuanya sejak Dad meninggal. Aku tahu sendiri bagaimana kerasnya usaha beliau. Dan aku sangat menghargainya. I just ask. . . a little of her time. Aku ingin dia bersikap sebagai seorang Ibu pada umumnya. Bukan. . . atasanku."

Aku terdiam mendengarnya.

"I'm not greedy. Sesekali aku ingin dia menjadi seorang Mommy. A true Mommy! Hanya sesekali!"

"Guess there's nothing perfect in the world!" gumamku.

"I guess!" desahnya pelan.

Dan untuk beberapa saat lamanya kami melaju dalam hening. Tenggelam kedalam pikiran kami. Aku sendiri baru tahu celah dalam kehidupan Zaki. Fakta bahwa ayahnya telah meninggal juga luput dari pengetahuanku. Juga fakta bahwa dia hanyalah 1 dari sekian banyak stereotype anak borju lainnya. Berlimpah dalam harta, tapi sangat kekurangan akan kasih sayang sebuah keluarga.

"Aku terdengar menyedihkan ya?" gumam Zaki kemudian.

"Yep! Tipikal anak orang kaya yg biasanya," sahutku dengan senyum diujung bibir.

"HEI!!!!" protes Zaki dan melihatku sekilas. "But at least hal itu tidak membuatku menjadi anak manja, yg saat sakit harus ditungguin waktu tidur," balasnya sengit.

Aku terlalu kaget untuk langsung bereaksi. "APA?!!"

"That's right! Aku bukan anak manja yg kalo sakit, saat tidur mesti diusap-usap dan dielus. Aku tak pernah merengek untuk ditemani sampe tertidur. Not once! Trust me!"

"Siapa yang. . . . Bagaimana bisa. . . " aku tak bisa melanjutkannya, sampai kemudian aku sadar. "Mamah!" gerutuku. Ngapain sih Mamah bilang-bilang ke Zaki?!!!!!

"Apa?" tantang Zaki. "Aku tak terdengar begitu menyedihkan bukan?"

"Oh shut up!!" gerundengku, yang dijawab dengan tawa kemenangan oleh Zaki. Suatu saat, aku akan membuatnya tak berkutik, tekadku dalam hati.

"And . . . " sambung Zaki, membuatku mengerang keras,"Mamah sepertinya jadi lebih sayang padaku daripada ke kamu."

"Pengkhianat!" gerutuku kesal.

"Siapa?"

"Mamah ma yang laen!" sahutku ketus. "Taon kemaren mereka gak mau ngerayain ulang tahunku. Tapi kamu malah dirayain pake tumpeng. Itu curang!"

Zaki tertawa. "Well, you know! Aku memang bisa menimbulkan efek yang mengejutkan pada semua orang yang mengenalku. I'm that kind of guy!"

"Yeah, right!" sahutku sesinis mungkin, "Mereka cuman nggak tahu aja siapa kamu sebenernya."

"Dan siapa sebenernya aku menurutmu?" tantang Zaki.

"Super megalomaniak perfeksionis sinting!" gumamku lirih hingga hanya diriku saja yang mendengarnya.

"What?!"

"Forget it!" sahutku kesal.

"You're just jealous!"

Aku memutar bola mataku mendengarnya. "Whatever!" gerundengku tanpa menoleh.



Hari sudah menjelang malam saat kami tiba di tempat kost ku. Aku sendiri sudah ingin mandi dan istirahat dikamarku. Jadi begitu mobil berhenti aku segera keluar.

"Bagasi!" kataku singkat pada Zaki yang hendak keluar mengikutiku.

"Hei, don't forget kalo besok seusai kuliah, kita lanjutkan belajar nyetirnya ok?!" kata Zaki. Aku yang sedang menurunkan barangku dibelakang mobil hanya mampu mengerang keras. Kukira dia sudah melupakan ide konyolnya itu.

"Can't you just forget that?!" pintaku dan melangkah mendekatinya dengan beberapa barang bawaanku.

Zaki menggeleng tegas. "Nope! That's not an option. Kau harus bisa menyetir dalam waktu sebulan. Dalam seminggu, kita harus melakukan latihan at least four times. Aku tak tahu jadwalmu, jadi kau tentukan saja hari apa. Aku akan menyesuaikannya dengan jadwalku. Ok?"

"No!" jawabku singkat, kesal karena dia tak mau mendengarku.

"Good! I should get going. Kita ketemu be. ."

"REGHA!!!"

Panggilan keras itu diikuti oleh seseorang yang langsung menubrukku dan memelukku erat. Beberapa barangku langsung jatuh ketanah. Butuh sedikit waktu bagiku untuk sadar kalau yang barusan menubrukku adalah Mas Rizky. Bahkan Zaki yang kalimatnya tadi terhenti, hanya mampu bengong melihat kami, sementara aku cuma menatapnya bingung.

Sesaat kemudian mata Zaki berkedip normal.

"HEIII!!!!" protesnya dan menyentakkan tubuh Mas Rizky dariku. "Lihat apa yang kau lakukan?!!!"

Mas Rizky sedikit terperangah sehingga terlambat untuk bereaksi. Aku sendiri masih bengong dan menatap mereka berdua, lalu beberapa barangku yang ditunjuk oleh Zaki tadi ditanah.

"Ya ampun! Maaf Gha!" kata Mas Rizky dan segeramemungutinya.

Aku sontan ngeh dengan situasi disekitarku. "Nggak usah Mas! Biar Regha saja!" kataku cepat dan membungkuk untuk memunguti barangku yang sebagian sudah berada ditangan Mas Rizky.

"Maaf Gha! Tadi aku terlalu seneng ngeliat kamu. Jadinyamalah gini," katanya.

"Nggak apa-apa Mas. Saya saja yang sedikit kaget!" kataku.

"Tentu saja kaget! Siapa yang tak akan begitu kalau tiba-tiba saja ada orang yang menubruknya. You act like his girlfriend! Are you gay?" tanya Zaki langsung.

Aku terkesiap kaget mendengar pertanyaan itu. Aku berani sumpah kalau wajah Mas Rizky langsung memerah mendengarnya. "ZAKI!!!" tegurku keras, tak ingin ada keributan diantara mereka. Kalau Mas Rizky marah. . .

"Well, he acts like one!"

"Could you please stop!" bentakku lagi.

Zaki akhirnya hanya mengangkat kedua tangannya kesal. "Fine! Terserah kalian saja. I see you tomorrow!" katanya singkat dan pergi dengan kesal. Raungan mobilnya yang sedikit keras jelas mengatakan kalau dia kesal. Meski mungkin, aku yang sebenarnya harus merasa begitu. Kan aku yang ditubruk. Dasar orang aneh! pikirku.

ZAKI


Moodku langsung jadi jelek sejak kembali dari tempat Regha. Entah kenapa, aku langsung merasa kalau sebentar lagi, semua kesenangan yang beberapa hari ini kudapatkan, akan berubah. Bahkan sejak mobil yang kami sewa mulai memasuki area kota Bandung, aku sudah merasakan sedikit kecemasan yang berusaha ku kesampingkan.Ditambah lagi dengan reaksi teman Regha yang aneh tadi! Seems like everything's gonna change, somehow.

Setelah mengembalikan mobil rental, aku segera mencegat taksi yang kini melaju menuju rumahku. Dan yang pertama kali kusadari saat aku melangkah memasuki gerbang adalah mobil Mommy yang terparkir diluar garasi. So, she's home then! batinku. Semoga saja dia sedang sibuk diruang kerja. Yang paling kuinginkan saat ini adalah mandi dan kemudian tidur.

"Zack!!"

Panggilan itu membuatku urung menaiki tangga yang sudah ada didepanku. Perlahan aku berbalik menghadap ke Mommy yang berdiri didepan ruang kerjanya. Perkiraanku tidak meleset. Dia memang berada disana, hanya saja dia masih mendengarku datang.

"Mom!" sahutku singkat.

"Baru kembali?" tanyanya dengan nada datar. Nyaris aku tak bisa mendeteksi riakan emosi dari suaranya tadi.

"Yep!" sahutku lagi.

"Yes! Aku tak pernah mengajarimu menggunakan bahasa seperti itu pada orang yang lebih tua," tegurnya, "Dinner will be ready in a moment. Cepat mandi!" katanya kemudian. Tanpa menunggu reaksiku, dia kembali masuk kedalam ruang kerjanya. Hmmm. . . setidaknya dia memberiku waktu untuk membersihkan diri dulu, pikirku kecut. Aku bergegas kekamarku untuk mandi.


Untuk 10 menit pertama, makan malam berlangsung hening seperti biasanya. Aku yang sudah bersiap-siap dengan pertanyaan Mommy merasa sedikit heran. Mulanya aku berpikir kalo Mommy akan langsung mengkonfrontasiku. Mulanya dia akan langsung menanyakan kemana aku melarikan diri. Aku tak tahu apakah ada pesta yang telah digelar, tapi aku menemukan tumpukan hadiah yang belum dibuka, dikamarku tadi. Beberapa dari kolega-kolega kerja Mommy dan aku. Aku kenal sebagian dari nama-nama yang tertulis. Sebagian lagi asing. Mungkin rekan kerja Mommy yang baru.

Aku sendiri hanya melihat sekilas tadi, tanpa membukanya. Paling-paling juga hal yang sama seperti tahun-tahun kemarin. Gadget-gadget baru, cek, tiket pesawat, paket liburan dan yang lain-lainnya. Dan sama seperti tahun-tahun yang lalu. Sebagian besar benda-benda itu mungkin akan berakhir digudang, tanpa kubuka.

"Is there anything you wanna tell me?" tanya Mommy, memotong lamunanku.

"Nope!" sahutku terlalu cepat. Kentara sekali kalau aku menyembunyikan sesuatu. Untuk menutupinya, aku kembali menyendok hidanganku. Steak sapi yang entah mengapa, kini terasa kurang memuaskan lidahku. Aku mulai kangen dengan masakan Mamah. Padahal belum genap sehari aku pergi dari Majalengka. Tapi saat kembali mengangkat muka, aku menemukan Mommy menatapku dengan pandangan tak suka. Aku segera menyadari kesalahanku tadi. "Sorry. I mean, no!"

"Tak ingin menjelaskan kemana kau pergi disaat ada acara tahunanmu berlangsung? Apa yang lebih penting dari pesta ulang tahunmu?" tanya Mommy lagi. Kali ini dia terdengar seolah-olah tertarik sekali, meski ada kernyitan tak setuju didahinya.

Aku menghela nafas sejenak. "It's nothing Mom. Aku hanya memerlukan sedikit waktu sendiri," jawabku akhirnya.

"Begitu mendesak? Ada masalah?"

"No! It's nothing!"

"Zake, kau menghilang saat pesta ulang tahunmu sehingga Mommy harus segera kembali dari Singapura. I'm sure there's something more in it than nothing."

"You were ata the party?" tanyaku sedikit heran.

"Mommy tak punya pilihan kan? Harus ada anggota keluarga dari tuan rumah yg menemani para tamu dipesta itu. Kalau kau tak ada, hanya Mommy pilihannya. Kita hanya berdua. Did you forget that?"

Aku menghela nafas. "No, Mom. Aku tidak melupakannya," jawabku pelan. Bagimana bisa lupa, kalau hal itulah yang kau tekankan sejak aku kecil, pikirku. Pernah aku mencoba bertanya kepada Mommy, kenapa dia tak menikah lagi. Dia hanya memandangku seakan-akan aku telah mrnumbuhkan kepala baru dileherku. Sejak itu, aku tak pernah membahasnya lagi.

"Bagaimana dengan laporan Yayasan?"

"Kau akan menerimanya diakhir bulan seperti biasanya Mom" jawabku tanpa menoleh. Mencoba terlihat lebih tertarik pada makananku.

"Dan siapa pegawai baru yang kau masukkan?"

Aku berhenti sejenak mendengar pertanyaan itu. Seperti biasanya, Mom bisa tahu hal yang terjadi di Yayasan. Aku pernah mencoba menyelidiki siapa sumber informasinya. Tapi sampai sekarang, aku belum bisa menemukan orang itu.

"Hanya pegawai biasa. Kenapa Mommy tertarik?"

"Karena mereka melihatmu datang dan pergi bersamanya. Dan kau yang membawa anak itu. Terlebih lagi, kau juga bertugas menjadi mentornya. Itu bukan kebiasaanmu."

Damn! Who the hell is her man? Or men, may be?

"Zake. . .?"

"He's just a friend dari kampusku. He needs help!" jawabku akhirnya.

Mommy diam sejenak memandangku, dan sesaat kemudian hanya mengangkat bahu. "Okay!" katanya singkat.Dan makan malampun kembali dilanjutkan dalam hening.Baru beberapa saat kemudian aku menyadari bahwa Mommy tak pernah menanyakan bagaimana keadaanku. Tidak juga menanyakan apakah aku baik-baik saja setelah insiden rusaknya mobilku. Dan aku menemukan diriku membayangkan bagaimana reaksi Mamah, andaikan beliau tahu insiden yang hampir menimpa Regha kemarin. Reaksi beliau pasti jauh berbeda.

Well, you win some, you lose some Zak! batinku.

RIZKY


"Maaf kalo reaksiku berlebihan Gha," pintaku untuk kesekian kali. Aku sendiri tak habis pikir. Untuk pertama kalinya aku kehilangan kendali. Beberapa hari belakangan hari-hariku memang sedikit mengesalkan.

Ferdy bersikap seakan-akan aku bisa menularkan penyakit ketubuhnya. Dia menjaga jarak dan bersikap sangat formal. Hal yang seharusnya membuatku lega. Tapi dengan insiden waktu itu, aku jadi merasa bersalah. Meski segan, aku ingin meminta maaf padanya. Tapi sikap dinginnya membuatku urung. Komunikasi diantara kami begitu kaku. Dan tentu saja, aku tak memiliki pilihan lain sselain mengikutinya. Tapi. . . aku jadi sedikit kesal. Atmosfir terasa sedikit menekan saat kami berdekatan.

Satu-satunya hal yang membuatku sedikit merasa lebih baik hari ini adalah kepulangan Regha. Karena tak sabar ingin bertemu, aku memutuskan untuk menunggunya di kost an. Dan saat melihat sosoknya, aku merasa lega luar biasa. Hingga tanpa pikir panjang, aku langsung memeluknya. Tak menyadari akan keberadaan temannya tadi.

Komentar temannya tadi juga cukup menyentakku. Dengan santainya dia bertanya apa aku gay. Sial! Dalam situasi lain aku mungkin akan membalas ucapanya dengan sedikit sengit. Tapi aku sadar kalau reaksiku sedikit berlebihan dan mengejutkan. Karena itu, aku hanya mampu menahan diri. Aku lebih memilih untuk meminta maaf pada Regha atas sikapku itu.

Regha hanya mengibaskan tangannya dan menelan makanan yang dikunyahnya. Kali ini aku mengajaknya lagi, makan diwarung Jawa Timur yang dulu pernah kami datangi.

"Justru aku yang kudu minta maaf Mas. Temenku tadi orangnya emang gitu. Kalo ngomong gak pernah dipikir dulu. Seenak udel. Mas gak usah masukin ke hati semua omongannya," katanya cepat.

"Kalo dipikir, itu juga karena aku kan? Nggak biasanya aku bersikap seperti itu. Aku cuman ngerasa. . . lega kamu udah balik kesini. Kamu gak bisa ngebayangin gimana hari-hariku kemarin," kataku.

"Kenapa Mas?" tanya Regha heran.

"Penugasan coass ku di Bandung ini kukira bakalan menyenangkan. Kumpul bareng ma keluarga, kamu dan juga dekat. Perjalanannya bisa ditempuh dengan mobil. Tapi. . . . ada seseorang yang boleh dibilang sedikit menggangguku."

"Rekan kerja?"

"Boleh dibilang gitu."

"Ngeselin?" tanya Regha lagi.

"Boleh dibilang gitu juga," sahutku.

"Ugh!!! Dimana-mana ternyata ada juga rekan kerja yang nyebelin ya Mas! Aku juga punya tuh! Atasan sih. Tapi sumpah sengak banget! Orangnya ngeselin. Sok perfeksionis, judes en seorang megalomaniak sinting!"

Sejenak aku terdiam dengan gerutuan Regha. Wajah Regha langsung berubah melihatku yang terpaku.

"Mas Rizky jangan salah paham! Saya nggak ngomongin Bu Indri! Ibu mah super baik Mas!" sergahnya cepat.

"Bener Gha?"

"Beneran Mas! Malah super baik. Kalo bukan karena beliau, mungkin Regha bakal kelaparan di Bandung ini. Saya berhutang banyak banget pada Bu Indri."

Aku tersenyum mendengarnya. "Dan aku sebagai anaknya, merasa bangga memilikinya sebagai Ibu," kataku pelan. Regha ikut tersenyum mendengarku. "Nah, bagaimana malam minggu besok? Mau nonton? Kau bisa memilih filmnya," tawarku.

"Bener Mas? Gak boleh protes ya?"

Aku hanya tertawa kecil mendengarnya. Tawa pertama sejak beberapa hari terakhir ini. Senang akhirnya kau kembali Gha, batinku. Lamunanku terputus saat kudengar suara dering ponsel. Regha hanya nyengir dan mengambil ponsel dikantong celananya.

"Assalamu'alaikum," kata Regha, "Permisi dulu Mas?!"pamitnya dan bangkit dari duduknya untuk sedikit menjauh. Sejenak kulihat dia terlibat dalam sebuah pembicaraan dengan seseorang. Beberapa kali dia menarik nafas dan mengatakan sesuatu yang sepertinya mencoba menjelaskan sesuatu. Tak berapa lama dia kembali.

"Siapa Gha?" tanyaku, berusaha terdengar santai.

"Adikku Mas, Asti. Minta dibeliin komik Miss Modern volume 3 yang katanya terbit bulan ini," jelasnya dengan nada sedikit menggerutu.

"Terus?" tanyaku lagi, berusaha menyembunyikan kelegaan dalam suaraku.

"Tadi dia keukeuh minta aku buat beli sekarang. Katanya takut keabisan. Nggak tau orang cape apa!" lanjutnya lagi dan melanjutkan makan.

"Eeuuhh. . . kalau Regha mau, aku bisa anter kamu sekarang," tawarku.

Regha diam sejenak dan memandangku. "Nggak apa-apa Mas?" tanyanya sedikit ragu.

Aku mendecak mendengarnya. "Tentu saja. Sekalian aku juga nyari bacaan ringan. Lagipula, aku masih belom puas maen dengan Regha. Sudah beberapa hari ini kita nggak maen bareng kan?" kataku. Tidak sepenuhnya bohong kan? Aku memang belum ingin berpisah dengannya. Aku masih ingin bersamanya. Regha hanya tersenyum, agak tersipu mendengarku. Semoga saja aku tak terdengar terlalu memaksa, batinku.

"Makasih ya Mas?" ujar Regha.

Aku hanya tersenyum mendengarnya.



Seperti biasanya, perjalanan menuju Gramedia Merdeka sedikit macet. Jalan Merdeka lumayan padat malam ini. Mungkin kami akan lebih cepat sampai kalau memakai motor. Meski biasanya aku paling kesal dengan macet, hari ini aku membuat pengecualian. Bahkan sedikit menikmatinya. Regha yang ada disebelahku beberapa kali melirik. Bahkan kali ini, dia tertawa kecil.

Aku yang sedang mengikuti lantunan lagu Bust Your Window nya Jazmine Sullivan jadi sedikit mengernyit, meski aku jadi ikutan tersenyum melihatnya. "Apa?" tanyaku.

"Mas Rizky suka musik hip hop R&B?" tanya Regha, masih dengan senyum geli.

"Emang kenapa Gha? Kamu gak suka?" tanyaku balik.

"Nggak sih. Cuman, kalo ngeliat profil Mas Rizky, kirain musik yang dikenal cuma musik-musik kelas berat. Ato kalo nggak, musik instrumental macem Kitaro, Yani. Atau mungkin lagu-lagunya Sade ataupun Enya!" selorohnya.

Ganti aku yang tersenyum dan tertawa kecil mendengarnya. "Sekarang ganti aku yang terkesan. Kamu kenal dengan Sade dan Enya? Nggak banyak lho anak seumuran kamu kenal dengan mereka."

"Kalo Mas kumpul ma Vivi atau Regi, pasti bakal ngerti. Kedua orang itu demen banget ma musik ma film Mas. Si Vivi malah punya satu hard disk khusus yang nyimpen file-file musik ma filmnya. Hampir semua jenis musik ma artis dia ada."

"Masa sih? Artis lawas siapa lagi yang kamu tau?"

"Tommy Page?!" sahutnya cepat. Aku mengernyitkan dahi mendengarnya.

"Tommy Page? Eeuuhh. . . kalau nggak salah dia dulu memang sempet ngetop di Indonesia. Kenapa Regha bisa suka?" tanyaku penasaran. Seingatku artis Inggris itu hanya memiliki edikit prestasi. Dia lebih terkenal karena fisiknya.

"Vivi yang suka Mas. Aku mah ngerti lagu dia cuman satu. Yang Shoulder To Cry On doang. Vivi suka banget ma dia karena si Tommy Page cakep. Dia malah punya beberapa fotonya yang dipajang di laptop. Kata Vivi dia punya bibir bagus. Tapi kalo menurutku sih, bibir si Zak. . ."Regha berhenti seolah-olah dia sadar akan sesuatu. "Well?" tanyaku heran karena dia berhenti mendadak.Regha terlihat sedikit kaget, tapi dia cepat-cepat menggeleng.

"Enggak Mas! Pokoknya kata si Vivi, dia cakep!" katanya nyengir.

Aku cuma mengangkat bahu. "Nggak tau juga sih. Aku nggak begitu ingat. Kalo ga salah sih dia artis dari tahun 90 an awal kan? Sekarang mungkin udah gemuk dan gak cakep lagi," kataku.

"Iya Mas. Kali aja kayak Kevin Federline yang sekarang jadi gendut banget."

"Kevin Federline?" tanyaku bingung.

"Itu, mantannya si Britney Spears!"

"Waduhh!!! Nggak tau aku Gha," ujarku. "Aku nggak begitu suka dengan lagu-lagunya Britney. Yang aku tau sih, dia sekarang suka banget bikin sensasi."

Regha mendesah. "Kalo Mas Rizky punya temen model Regi, Mas pasti akan hapal ma gossip-gossip macem gitu!"

"Pasti menarik ya Gha?" tanyaku geli.

"Lumayan lah Mas buat hiburan. Ga pernah sepi kalo ada dia. Bawaannya becandaaaa mulu. Bahkahn dalam situasi serius dia masih bisa ngocol. Eh, BIP rame banget ya Mas?" tukas Regha.

Aku menoleh ke arah BIP yang malam ini memang sedikit rame. "Sepertinya ada event Gha. Jadi gimana? Mau nonton, apa langsung ke Gramedia?" tanyaku dan menunjuk ke Gramed Merdeka yang memang ada diseberang gedung BIP.

"Langsung ke Gramed aja Mas. Aku mau cepet-cepet istirahat, cape baru balik kan?" kata Regha. Aku hanya tersenyum menanngapinya.

"Baiklah!"



Komik yang diminta oleh Asti, adik Regha ternyata masih tersisa banyak. Aku sendiri akhirnya memilih 2 buah novel untuk bacaan ringan.

"Kamu gak beli Gha?" tanyaku saat kami sedang berada di bagian novel terjemahan.

"Nggak ah Mas! Waktunya ngirit," jawabnya sembari nyengir.

"Regha suka novel apa?"

"Kalo novel mah, jenis apa aja suka. Yang penting bagus. Kemarin sempet juga pinjem novelnya Vivi. Itu tuh, karya Rick Riordan. Bagus lho Mas!" katanya.

"Mana?"

Regha menunjuk pada tumpukan buku disebelah kanannya. Dia lalu mengambil beberapa buku yang semuanya berwarna 'meriah'. "Ini serial dari The Kane Chronicles. Baru ada 3 buku Mas. The Red Pyramid, The Throne of Fire sama The Serpent Shadow. Isinya petualangan yang berhubungan ma mitos-mitos Mesir. Nah ini yang The Olympian. Ini berhubungan ma mito dari Yunani. Udah ada 5 buku sih Mas. Malah yang pertama udah di filmin. Percy Jackson and The Lightning Thief. Nah yang ini yang terbaru Mas. Serial Percy Jackson juga. Tapi ini serial The Las Olympian. Yang pertama The Lost Hero, buku ke 2 nya The Son of Neptune. Yang terbaru, The Mark Of Athena kayaknya belum ada sih!"

Aku bengong mendengarnya yang nyerocos soal buku-buku itu dengan lancar. "Kamu suka banget ya?"

Lagi-lagi dia nyengir. "Hehehe. . . Iya Mas. Abis seru sih. Ada berantem ma dewa-dewa gitu. Selevel deh ma Harry Potter serunya."

"Regha udah baca semua?"

"Cuman The Serpent Shadow ma The Son of Neptune aja yang belom Mas," jawabnya.

"Kalo gitu. . . " aku mengambil 2 novel yang dia sebutkan tadi, "Ini hadiah buat Regha yang sudah balik ke Bandung lagi," kataku.

Untuk sejenak dia bengong. "Waduh! Ga usah Mas!" katanya dan buru-buru hendak mengambil novel yang kupegang. Tapi aku lebih cepat darinya, dan menghindar.

"Nggak apa-apa. Hitung-hitung nanti aku pinjem juga ya?" kataku, ganti nyengir. Tapi wajahku langsung berubah saat kulihat Ferdy yang berjalan dibelakang Regha menuju kami. Perasaanku langsung tak enak melihatnya. Regha yang sepertinya melihat perubahanku sontan berbalik.

Ferdy tersenyum manis menampakkan lesung pipitnya. "Hai! Gak nyangka ketemu disini," katanya padaku. Aku terlalu kaget untuk membalas sapaannya. Dia lalu berpaling pada Regha dengan senyum yang masih terpampang. "Halo! Aku rekan coass Rizky di Rumah Sakit. Ferdy!" katanya dan mengulurkan tangan.

Regha menyambutnya dengan sedikit ragu. "Regha," jawabnya pelan. Wajah Ferdy jadi makin sumringah mendengarnya. "Ooohh. . . jadi ini Regha!" katanya dan menoleh padaku seolah-olah minta konfirmasi.

Aku hanya mampu mengangguk membenarkan, masih tak mampu bicara .

"Jadi kalian sudah jadian ya? Aku ikut senang," katanya dengan nada tulus. Sayangnya, dia salah kondisi. Tanpa sadar aku menahan nafas kaget dengan komentarnya tadi.

"Jadian? Siapa?" tanya Regha bingung dan menoleh bergantian padaku dan Ferdy.

Raut wajah Ferdy berubah drastis. Mulutnya ternganga kaget dan langsung menoleh padaku dengan pandangan menyesal.

"Ya Tuhan. Ky, maaf. Kukira. . ."

Situasi makin tak mengenakkan. Dua kali di malam ini, rahasia yang paling kusimpan, diusik oleh orang. Dengan kaku aku meraih tangan Regha. "Ayo pulang!" kataku dengan nada datar. Regha yang masih tampak sedikit bingung, hanya menurut dan mengikutiku.



Untuk beberapa lamanya kami melaju dijalan raya dalam hening. Aku tak tahu apa yang Regha pikirkan, karena dia seperti tenggelam dalam pikirannya. Aku sendiri tak tahu harus melakukan apa. Dua kali aku dikejutkan. Pertama oleh teman Regha tadi. Sekarang Ferdy yang dengan santainya menyimpulkan kalau aku dan Regha sudah jadian. Padahal aku sendiri tak tahu apakah Regha punya keinginan untuk menjalin hubungan 'lebih' denganku.

Dimasa lalu, kami hanya sesekali berbicara karena aku memang sangat membatasi kontak kami. Baru beberapa waktu kemarin aku mencoba mendekatinya. Belum lagi aku tahu dimana posisi nyaman kami, Ferdy menyerang dengan telak. Aku tahu dia tak bermaksud mengejutkan, tapi tetap saja sikapnya menimbulkan efek tak terduga.

"Yang dia maksud jadian tadi Mas Rizky dan. . . Regha ya?" tanya Regha dengan suara pelan namun toh terdengar sangat jelas dalam keheningan kami.

"Ya," sahutku singkat. Sadar kalau tak ada gunanya berbohong. Aku juga tak berniat membohongi Regha.

"Tapi. . . kenapa dia bisa ngomong gitu? Bukannya kita sama-sama lelaki. Apa dia. . ." Regha tak meneruskan kalimatnya.

Aku menatap lurus kedepan, tak sedikitpun berani untuk meliriknya. Mungkin sudah saatnya dia tahu. Terlalu dini atau tidak, semua sudah keluar kan? Menyembunyikannya mungkin akan menjadi perangkap bagiku sendiri, batinku.

Tapi tetap saja, dadaku terasa berat. Aku menarik nafas panjang untuk mendapatkan sedikit tenaga.

"Karena dia tahu aku gay dan. . . menyukai Regha," kataku lirih .

Hening!

"Oh," komentar Regha singkat.


Dan tak ada lagi suara diantara kami!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar