RIZKY
Perlahan aku bangkit dari tempat tidur dan dengan
berjinjit, aku menuju kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah selesai aku
kembali ke kamar, dan kemudian berdiri diam di kaki tempat tidur, melihat ke
arah Ferdy yang masih tertidur lelap. Wajahnya sudah hampir sepenuhnya kembali
normal. Hanya sedikit sisa kebiruan di matanya yang mungkin akan hilang besok.
Selain itu, semua lukanya telah sembuh. Setidaknya luka fisik. Karena aku tahu,
secara psikologi, dia jauh dari kata sembuh. Yang jelas, dia sudah lebih baik
dibandingkan saat pertama kali aku menjemputnya di airport pagi-pagi.
Waktu itu, setelah dia lumayan tenang, aku segera
membawanya kembali ke kontrakannya. Ferdy tak lagi mengucapkan sepatah katapun
selama perjalanan setelah dia menangis dipelukanku. Dia hanya menurut saja
bagaimana aku memperlakukannya. Dalam perjalanan tadi, aku sempat mampir ke
apotik yang buka 24 jam, membeli obat untuk lukanya. Ferdy tetap diam di mobil,
tak bergerak sedikitpun. Dia baru bergerak sedikit saat aku menyentuh
lengannya.
"Kita sudah sampai," kataku. Aku lalu
segera turun dari mobil.
Ferdy mengikutiku, tapi tak menungguku. Dia terus
melangkah menuju pintu dan membukanya dengan kunci yang dia keluarkan dari saku
celananya. Aku hanya mengekori dibelakang sembari membawa koper kecil miliknya.
"Kamu lapar atau ingin sesuatu? Aku bisa
mencarikannya kalau kau mau," tawarku.
Ferdy menjawabku dengan gelengan singkat. Dia lalu
terus melangkah menuju kamarnya. Aku kembali mengikutinya. Mungkin yang dia
butuhkan saat ini memang istirahat yang cukup, pikirku.
"Kamu duduk dulu," kataku sembari
meletakkan kopernya di kaki tempat tidur, lalu ikut duduk disebelah Ferdy. Aku
mengeluarkan obat-obatan yang tadi kubeli. Untuk sesaat aku hanya memandangi
wajahnya yang lebam dan luka-luka. Sekarang, saat dia telah membuka kaca mata
hitamnya, dan berada begitu dekat denganku, aku bisa melihat dengan jelas
semuanya. Perlahan, tanpa bicara lagi, aku mengobati lukanya. Kuoleskan salep
tipis-tipis dan berhati-hati pada luka yang ada di wajahnya. Meski seharusnya
terasa perih, Ferdy tak sedikitpun menunjukkan ekspresi kalau dia merasakannya.
Dia tetap diam, seolah-olah aku tak berada disebelahnya. Aku sendiri mulai
khawatir kalau dia mengalami shock besar.
"Sudah Fer. Tak ada lagi kan?" tanyaku dan
tersenyum.
Ferdy yang masih diam dengan tatapan lurus tak
menjawabku. Tapi kemudian, perlahan dia mulai membuka kancing kemejanya.
"Oh, kau mau tidur? Baiklah aku akan menaruh
semua obat ini di kotak P3K. Nanti kau bisa mengoleskannya sendi...."
Kalimatku terputus saat aku melihat punggung Ferdy yang tampak bilur-bilur
memar dan memerah. Beberapa bagian kulitnya juga sedikit terkelupas. Ada
gumpalan menyakitkan yang kemudian mendadak muncul di tenggorokanku. Aku
mengerjapkan mata beberapa kali untuk meyakinkan diri kalau aku tak salah
lihat. Ya Tuhan! Dan sedari tadi dia tak mengatakan apapun, batinku.
Aku kembali duduk sementara Ferdy kemudian berbaring
miring. Aku beringsut mendekat ke belakangnya, dan tanganku terulur, mengusap
perlahan pinggiran lukanya.
"Ayahmu?" tanyaku lirih.
Tak ada balasan, namun sesaat kemudian Ferdy
mengangguk samar untuk menjawabku.
"Apa yang kau katakan padanya?" tanyaku
dan mulai mengoleskan kembali obat pada lukanya dengan berhati-hati.
"Bahwa aku ingin memutuskan pertunanganku dengan
Shella," jawab Ferdy akhirnya.
"Dan dia tak bisa menerimanya?" tanyaku lagi. Ferdy mengeluarkan suara
desisan kaget saat aku mengusap bagian punggungnya yang kulitnya terkelupas.
"Seperti itulah," jawabnya kemudian.
"Apa yang dia gunakan untuk............."
aku tak meneruskan kalimatku. Untuk beberapa saat hening jatuh diantara kami
berdua. Aku tak sanggup untuk meneruskan lebih lanjut pertanyaanku tadi. Entah
kenapa, terasa tak pantas kalau aku melanjutkannya.
"Sapu, tongkat golf......... Hanya itu yang
sempat kulihat. Aku tak tahu lainnya," jawab Ferdy kemudian dengan nada
datar tanpa emosi.
Aku tak bertanya lagi setelah itu. Aku hanya
mengoleskan obat itu pada lukanya. Kami bisa membahas apa yang telah dialaminya
nanti setelah semuanya sedikit mengendap. Setelahnya selesai, aku bangkit dan
keluar dari kamarnya. Sebentar lagi aku harus segera berangkat ke rumah sakit.
Tapi sebelum pergi, aku mau memastikan kalau Ferdy memiliki semua kebutuhannya.
Di lemari esnya hanya tersisa beberapa butir telur dan buah. Aku keluar
sebentar untuk membeli roti dan beberapa bahan makanan. Aku memasukkan semuanya
ke kulkas.
Setelah semua kurasa sudah tersedia, aku kembali ke
kamar dan mendapati Ferdy masih berbaring miring dengan mata terbuka. Aku
mendekat dan berjongkok didepannya.
"Aku harus segera ke Rumah Sakit. Kau istirahat
saja. Aku sudah menyiapkan sedikit makanan di dalam kulkas. Kau bisa
mengambilnya nanti kalau kau mau. Sekarang, tiduran saja, ok? Aku akan kembali
sore nanti," kataku. Ferdy menjawabnya dengan anggukan yang juga samar.
Aku memberikan ciuman ringan di keningnya, dan kemudian bangkit untuk pulang ke
rumahku.
Selama beberapa hari aku merawatnya, juga terus
menyempatkan waktu untuk menemaninya. Ferdy mulai bisa beraktifitas pada hari
ke-3 setelah kedatangannya. Tentu saja kehadirannya dengan kondisi fisik
seperti itu sedikit menimbulkan kehebohan di bagian kami. Tapi Ferdy memberikan
alasan bahwa dia terjatuh di kamar mandi. Alasan yang telah kami rundingkan
bersama. Semua orang menerima kebohongan itu dan memberikan ucapan turut
prihatin dan bahkan sedikit berlebihan dalam memperlakukannya. Aku hanya tersenyum. Apalagi melihat tingkah
Endah, Sovie dan Dina. Jelas mereka menyukai Ferdy lebih dari sekedar Dokter
magang mereka.
Setiap sore, sepulang dari rumah sakit, aku selalu
mengantar Ferdy dan menyempatkan waktu untuk mampir, sekedar ngobrol,
menemaninya. Aku masih sedikit khawatir karena Ferdy tak pernah mau membahas
lagi insiden dengan orang tuanya kemarin. Tapi sore ini, aku bingung untuk bersikap.
Hari ini hari sabtu. Kami pulang lebih awal dari biasanya. Dan hari ini adalah
hari dimana aku biasanya hang out dengan Regha. Sejak keluar dari
lapangan parkir rumah sakit tadi aku berusaha memutuskan, hendak menemani Ferdy
ataukah tetap menghabiskan malam minggu bersama Regha. Satu pihak, aku merasa
tak enak dengan Ferdy karena menurutku, dia membutuhkanku. Pihak lainnya, hanya
pada hari sabtu malam minggu aku bisa bersama dengan Regha. Jadwalku dan jadwal
aktifitas Regha selalu memisahkan kami. Jadi hanya malam ini kami bisa bersama.
"Jadi ntar malem mau kemana bareng Regha?"
tanya Ferdy yang duduk disampingku. Untuk beberapa saat lamanya aku tak tahu
harus mengatakan apa. Terlalu kaget untuk bisa bereaksi.
"Euuhhmm............ aku belum tahu," jawabku
ragu.
"Nonton lagi?" tanya Ferdy dengan nada
ringan, tanpa beban.
"................ mungkin?" jawabku lagi,
berusaha menyembunyikan keherananku. Aku melirik sebentar padanya yang menatap
kedepan dengan tatapan menerawang, "Fer...... kamu nggak apa-apa?"
"Huh?" dia menoleh padaku heran,
"Maksudnya?"
"Aku......... akan keluar dengan Regha?"
kataku ragu.
"Lalu kenapa? Bukannya kalian memang
melakukannya setiap hari sabtu?" tanya dia balik.
"Kau........... tak ada masalah dengan
itu?"
Dia tak langsung menjawab, tapi malah menyandarkan
tubuhnya di jok sembari menarik nafas panjang, "Aku sudah tahu kalau kau
akan tetap mengejar Regha. Apapun yang terjadi denganku. Aku tak mungkin
melarangmu. Sudah lama aku menerimanya Ky. Tapi................. bukan berarti
aku menyukainya," katanya hampir tanpa emosi. Aku tak memiliki sanggahan
untuk itu, jadi aku lebih memilih diam dan menatap lurus ke arah jalanan yang
kami lalui. Membiarkan apapun yang ada di otakku, berkecamuk didalam sana dalam
hening. Menciptakan gambaran-gambaran aneh yang terlalu sulit untuk
kuterjemahkan.
Apa aku sudah mulai kehilangan akal sehatku? pikirku
ngeri.
Hal itu masih terus menggangguku. Bahkan hingga aku
bersama dengan Regha. Dan entah karena apa, malam ini Reghapun menjadi lebih
pendiam dari biasanya. Dari film yang kami tonton mulai hingga selesai,
hampir-hampir tak ada satu katapun yang kami ucapkan. Seolah-olah hari ini kami
sepakat untuk saling membiarkan diri kami merenung.
"Mas Rizky, boleh Egha meminta sesuatu?"
tanya Regha saat kami menunggu pesanan kami di sebuah kafe. Kebetulan kafe yang
menyajikan beberapa makanan ringan itu juga bersuasana tenang dan cozy. Jadi
suara Regha yang samar itu bisa kutangkap diantara berisiknya suara-suara dalam
kepalaku.
"Apa Gha?' tanyaku sedikit heran, karena tidak
biasanya dia meminta sesuatu dariku.
"Bisa ceritakan dari awal bagaimana Mas Rizky
menjadi seorang........... gay?"
Aku yang meminum cappucino hampir saja tersedak
saking kagetnya. Untung saja aku bisa menahan diri dan menutup mulutku
rapat-rapat, sehingga minumanku tak menyembur keluar, "Kenapa tiba-tiba
tertarik Gha? Bukannya kita sudah membahasnya?"
"Ingin lebih paham saja Mas," cengir
Regha, sedikit salah tingkah, "Secara garis besar Mas Rizky memang sudah
cerita. Tapi Egha ingin tahu sedikit lebih detilnya Mas. Kapan Mas mulai
menyadari, konflik batin yang pernah Mas alami, apa yang membuat Mas akhirnya
bener-bener mantap menjadi........... seperti ini. Pasti kan ada masa-masa
dimana Mas struggle dengan hal-hal itu?"
Aku sedikit tercenung dengan penuturannya, "Dan
kau ingin lebih memahaminya karena......."
"Karena memang ingin lebih memahaminya, Mas.
Tapi kalau Mas Rizky keberatan, lebih baik gak usah dibahas Mas."
"Nggak papa," kataku menenangkannya yang
mulai terlihat panik. Memang untuk sesaat tadi aku berpikir kalau Regha
menanyakan hal tadi karena dia mulai memiliki rasa padaku. Tapi mungkinkah itu?
Benarkah dia menanyakan hal ini karena dia berpikir untuk menjadi.............
gay?!
Aku tersenyum menenangkannya, "Nggak apa-apa Gha.
Kalau begitu................. kita mulai dari mana ya?" Aku menerawang,
sedikit mengingat-ingat, "Kalau ditanya sejak kapan aku lebih menyukai
pria, jawabannya mungkin sejak kecil. Dari dulu aku lebih suka memperhatikan
keindahan bentuk tubuh, sikap ataupun kelebihan mereka. Tentu saja saat aku
kecil, itu hanya sebatas rasa kagum yang biasa. Tapi, aku baru mulai sadar saat
aku jatuh cinta pada teman SMA ku dulu."
Regha sedikit terbelalak, "SMA Mas?"
tanyanya.
Aku tersenyum dan mengangguk, "Yup! Bisa dibilang
cinta pertamaku. Itulah saat pertama kalinya aku menyadari kalau kekagumanku
pada pria, bukan hanya sekedar perasaan kagum biasa. Ada hal yang lebih
mendasar namun kuat. Kalau kau tanya, apakah apa yang kurasakan, aku ketakutan.
Panik, marah, tak percaya dan masih banyak lagi perasaan lainnya. Bayangin aja,
aku dibesarkan dalam keluarga yang normal dan tanpa gejolak yang berarti. Ayah
seorang perwira dan lain sebagainya. Intinya, aku kacau. semua hal terasa
campur aduk. Jadi aku mulai mencari-cari. Aku banyak membeli buku-buku dan
informasi lain yang kutemukan. Dan.......... aku banyak bertanya pada
orang-orang yang sudah berada dalam dunia itu.
Internet berperan banyak dalam hal ini. Aku banyak
berkenalan dengan mereka di dunia maya. Tapi tentu saja, rata--rata orang yang
kuhubungi adalah mereka yang berasal dari luar daerah. Waktu itu aku tak berani
melakukan hal lain, selain bertanya-tanya. Ada banyak hal yang membuatku
berusaha mati matian agar aku tak terjerat dalam dunia gay. Orang tua, agama, masa
depan dan lain sebagainya. Plus, dunia abu-abu adalah dunia riskan yang
didalamnya sering tidak jelas. Bahkan banyak yang percaya kalau dalam dunia
ini, tak ada yang namanya kesetiaan ataupun cinta sejati. Hanya hal semu yang
akan berlalu dengan seiring waktu," kataku. Tentu saja aku tak mengatakan
kalau aku adalah salah satu dari orang
yang percaya akan hal itu.
Regha mendengarkannya dengan seksama.
"Jadi....... aku hanya mengorek sebanyak
mungkin informasi dari mereka, tanpa berani terjun langsung dalam dunia itu.
Hingga kemudian aku bertemu dengan Hari dan Doni. Hari seorang gay yang berasal
dari Surabaya. Dari dia aku belajar tentang apa yang terjadi saat seorang gay
dikejar-kejar oleh usia dan lingkungan sosialnya. Dia seorang gay berumur 35
tahun. Kami sering chatting di internet. Dia banyak bercerita tentang
petualangannya dengan semua lelaki yang pernah dia taklukan. Sampai suatu hari,
tiba-tiba saja, dia mengatakan kalau dia hendak menikah."
Kembali Regha terbelalak, "Menikah Mas? Dengan
lelaki?"
Aku tergelak, "Enggaklah Gha. Dengan wanita!
Yang aku herankan adalah hal itu terjadi dalam kurun waktu kurang dari
seminggu. Tentu saja aku luar biasa kaget dan tak percaya. Baru minggu kemarin
dia bercerita soal gebetannya yang masih kelas 2 SMA, dan minggu berikutnya,
tiba-tiba saja dia mengatakan akan menikah dengan seorang wanita. Mengagetkan
bukan? Jadi aku mulai mengajukan berbagai macam pertanyaan padanya. Secara
tersirat dia menjelaskannya. Intinya adalah, orang tuanya menginginkan dia
untuk segera menikah. Karena usianya sudah lebih dari cukup. Dia juga
mengatakan kalau dia menginginkan keturunan. Kalau dia tak menikah saat itu,
kapan lagi. Jadi...... diapun menikah,
dengan gadis yang sudah dipilihkan oleh orang tuanya."
"Sekarang?" tanya Regha.
"Dia masih bersama istrinya. Tapi............
hanya berselang dua bulan dari hari pernikahannya, dia kembali berhubungan
dengan lelaki lagi. Bahkan hingga kini, saat dia telah memiliki dua orang anak,
dia masih berhubungan dengan pria lain di belakang istrinya," kataku.
"Istrinya?"
"Dia tak pernah tahu akan tingkah polah Hari,
sang suami. Didepan istrinya dia adalah seorang suami dan seorang ayah. Tapi
diluaran, dia seorang gay sejati."
"Masa sih sang istri tak tahu Mas?"
"Pastinya sih aku nggak tau Gha. Tapi sikap
seperti itulah yang ditunjukkan sang istri," kataku sembari mengangkat
bahu.
"Kalau menurut Mas?"
"Dia tahu," kataku langsung, "Aku
yakin pada suatu titik, istrinya tahu. Hari tak akan mungkin bisa
menyembunyikan hal itu hingga sepuluh tahun ini, tanpa terdeteksi. Apa lagi
yang namanya rumor tak pernah lepas dari lingkungan kita. Belom lagi
masalah-masalah Hari dengan mantan-mantannya. Tapi............ seperti
kebanyakan wanita Indonesia, sang istri hanyalah wanita yang sudah pasrah
dengan apa yang telah dia jalani. Jadi............. dia menjalani pernikahan
itu hingga sekarang," ujarku sedikit menerawang.
"Bagaimana Mas Rizky bisa berpendapat seperti
itu?"
"Aku pernah sekali datang ke rumah Hari. Dan
sampai sekarang, aku masih ingat bagaimana cara istrinya memandangku. Pandangan
yang seakan-akan meminta padaku untuk segera pergi dari sana. Aku hanya bertahan
setengah jam dirumahnya," kataku pelan. Kalau mengingat cara istri Hari
memandangku, hal itu selalu membuatku iba dan bersimpati dengan nasib yang dia
jalani. Tak adil menurutku bahwa seorang wanita sebaik dia diperlakukan seperti
itu.
"Kalau si Doni, Mas?"
"Doni justru kebalikan dari Hari," kataku
dan tersenyum samar. Aku meraih gelas airku sebelum melanjutkan, "Dia tipe
gay yang super discreet dan terlalu takut untuk mengambil resiko. Dia
anak Cimahi, sekarang berusia 32 tahun. Dulu dia cuma seorang cowok yang hanya
berani bermain-main saja dalam dunia gay. Dia tipe yang terlalu paranoid akan
berbagai hal. Takut akan semua orang tahu bahwa dia gay dan menjauhinya. Takut
akan pendapat orang lain. Takut menjadi bahan gunjingan. Belum lagi akan keluarganya.
Dia tak berani untuk benar-benar memiliki sebuah hubungan dengan pria lain.
Meski dia boleh dibilang ngiler banget. Belom lagi perang batin antara dia dan
keyakinan yang dia anut."
"Lalu Mas?"
"Dia menikah pada usia 29 tahun. Satu tahun setelah pernikahannya, dia jatuh
cinta setengah mati pada seorang rekan kerja barunya."
"Lalu?"
"Dua tahun kemudian, dia meninggalkan istri dan
anaknya yang masih berusia 1 tahun, demi lelaki itu," jawabku pelan. Regha
terhenyak kaget dengan ceritaku.
"Yang bener Mas?"
Aku kembali mengangkat bahuku, "Itulah yang
terjadi. Aku ngobrol banyak dengan mereka berdua. Dari mereka berdua jugalah
aku mendapat banyak sekali pelajaran. Contohnya, dari Hari aku tahu pada
akhirnya, aku harus menikah. Aku menyadari itu. Demi orang tuaku, juga demi
menuruskan garis keturunanku. Tapi aku tak mau kalau aku menikah hanya karena
tekanan sosial ataupun dikejar usia seperti dia. Aku yang akan menentukan kapan
dan dengan siapa aku menikah. Dan aku tahu, kalau nanti pada saat aku sudah menikah,
aku tak boleh dan tak akan mau lagi berhubungan dengan dunia abu-abu lagi. Aku
tak mau kalau sampai aku meninggalkan istri dan anakku hanya karena lelaki
lain. Bisa kau bayangkan bagaimana perasaan anak dan istriku kalau hal itu
terjadi. Saat aku menjadi suami atau ayah, aku akan menjadi seorang suami dan
ayah sepenuhnya. Karena itu, sebelum aku melakukannya, menikah maksudku, aku
ingin memahami semua hal tentang dunia abu-abu ini, tentu saja dengan kontrol
dan berhati-hati. Aku tak ingin menjadi Doni...."
"Maksudnya Mas?"
"Doni terlalu takut untk menimba pengalaman di
masa mudanya. Dia tak pernah tahu bagaimana rasanya berenang dalam dunia
abu-abu. Yang dia lakukan hanya melihat dan memperhatikan, tanpa pernah
betul-betul merasakan. Dia baru tahu bagaimana hal itu setelah dia memiliki
seorang istri dan anak. Dan dia mengambil tindakan drastis begitu pertama kali
dia mengecap rasanya. Aku tak ingin seperti dia Gha. Kalau memang aku harus
'ternoda' istilahnya, aku ingin itu ku lakukan saat aku masih muda dan sendiri,
seperti sekarang. Aku akan mengambil pengalaman dan merasakan apapun yang ingin
ku rasakan. Tentu saja dengan berhati-hati dan tidak sembrono. Kau tahu banyak
sekali hal berbahaya di luar sana. Penyakit menular hanyalah salah satunya. Jadi itulah yang ku lakukan sekarang."
"Mas Rizky mencari pengalaman itu?"
"Kau bisa menyebutnya memuaskan rasa ingin tahu
juga," kataku sembari tersenyum, "Aku tak ingin menjadi seperti Doni
yang hanya mengintip di luar pintu. Setidaknya dengan memiliki pengalaman, hal
itu akan menjadi bekal nanti begitu aku telah berumah tangga."
"Bekal?!!"
"Yap!! Dengan mengalami dan merasakan sendiri,
aku tahu bagaimana diriku dan apa yang aku inginkan. Dengan begini, aku tak
lagi bertanya-tanya lagi tentang jati diriku. Pertanyaan-pertanyaan klise
seperti, apakah aku gay? Apakah aku normal? Kenapa aku bisa tertarik dengan
cowok? Apakah bisa aku menjadi normal? Atau, bagaimana rasanya berhubungan sex
dengan cowok? Hal-hal seperti itu tak lagi menjaddi pertanyaan yang membebaniku.
Dengan menjalaninya, aku jadi tahu, apa yang ditawarkan oleh dunia abu-abu ini.
Dengan harapan, saat aku menikah, aku tak akan tergiur lagi oleh godaan-godaan
yang datang. Karena aku sudah tahu, apa yang ada disana, dan bagaimana
rasanya."
"Bagaimana dengan agama Mas?" tanya Regha
lagi.
Aku tersenyum, tahu bahwa segi agama pasti akan
terseret dalam pembicaraan ini, "Aku pernah berada dalam masa dimana aku
mempertanyakan apakah aku adalah makhluk terkutuk atau tidak. Tapi yang jelas,
perkara dosa atau tidak, aku yang akan mempertanggung jawabkan tindakanku
nantinya, pada Tuhan. Bukan pada manusia. Tak ada satupun manusia didunia ini
yang berhak memberiku predikat terkutuk atau tidak beriman. Aku percaya pada
Tuhan. Pada Dialah nanti aku menghadap dan mempertanggung jawabkan semuanya.
Tidak pada makhluk lain yang bisanya hanya mencaci dan menebarkan kebencian.
Karena orang-orang seperti itu, aku yakin sama dengan anak buah setan. Karena
Tuhan tidak pernah berbicara dengan bahasa kebencian atau kekerasan. Bahasa
Tuhan adalah cinta kasih kepada semua makhluk. Dan aku tetap menjalankan
kewajibanku pada Tuhanku. Karena aku membutuhkan-Nya. Mengenai apa yang ku
lakukan, apakah itu dosa atau tidak, itu menjadi urursanku dengan Tuhan. Yang
jelas aku lebih memilih menjadi seorang mantan preman daripada mantan
ustadz."
Regha diam sejenak, "Maksudnya Mas?" tanya
dia akhirnya.
"Mantan preman, berarti orang yang keluar dari
dunia gelap, ke dunia yang lebih terang dan lebih baik. Aku ingin seperti itu.
Sekarang, katakanlah aku menjadi seorang penjahat yang bergelimang dosa dan
salah. Tapi aku tak ingin melakukan apa yang aku lakukan sekarang
ini-berhubungan dengan lelaki maksudku- lagi nanti setelah aku menikah
nantinya. Jadi sekarang aku mencari pengalaman dan mencoba memahami isi dari
semua yang ditawarkan oleh dunia abu-abu ini, agar nantinya, tak ada lagi yang
bisa membuatku tergiur untuk kembali merasakannya. Karena aku sudah tahu dan
merasakan semuanya. Sementara mantan ustadaz hanyalah perumpamaan dari orang
yang dulunya baik, tapi pada akhirnya malah menjadi orang yang buruk. Seperti
aku yang tak mau bila sekarang, aku bersikap menjadi seperti orang yang bersih,
alim dan lurus hanya karena aku terlalu takut dengan semuanya. Aku hanya bisa
menahan diri sekuat mungkin. Pada akhirnya, untuk membuktikan kenormalanku, aku
akan menikah dan memiliki keluarga. Lalu parahnya, di tengah-tengah perjalanan hidupku, aku
tiba-tiba tergoda oleh dunia abu-abu dan berkesempatan untuk mencicipinya. Bisa
saja aku jadi kalap dan tak bisa melepaskan diri lagi dari dunia itu begitu aku
tahu bagaimana rasanya. Akan lebih parah lagi kalau aku sampai menelantarkan
anak dan istriku. Seperti yang Doni lakukan," jelasku.
"Lebih baik sekarang daripada nanti, ya
Mas?"
Aku tersenyum dan mengangguk, "Setidaknya kalau
sekarang, aku sendiri yang akan menanggung akibatnya. Tak ada anak atau istri
yang ku telantarkan. Akan kupuaskan rasa ingin tahuku, hingga sampai pada
akhirnya nanti, aku mencapai sebuah titik jenuh. Atau paling tidak, pada saat
aku sudah harus menikah nanti. Setidaknya aku telah memiliki bekal yang
kuperlukan," jelasku, tanpa mampu bisa menyembunyikan sedikit getir dalam
suaraku.
"Kalau dilihat dari dunia medis, sebenarnya apa
sih penyebab seseorang menjadi gay Mas?"
"Penyebabnya masih belum pasti Gha. Ada yang
mengatakan dari faktor genetik, pengaruh sosial dan juga trauma. Banyak
penelitian yang kebenarannya masih diperdebatkan. Dari sisi genetik, ada yang
berpendapat bahwa homoseksualitas itu diturunkan. Meski aku meragukan
kebenarannya. Karena Ayahku, jelas seorang lelaki straight. Pengaruh sosial
juga disebutkan sebagai pemicu. Meski kau bisa lihat hal itu tidak berlaaku
bagiku. Aku tidak hidup dilingkungan orang homoseksual, tapi tetap saja aku
jadi seorang gay. Trauma? Aku bisa mengatakan dengan pasti kalau kehidupanku
tidak memiliki trauma yang hebat sehingga aku bisa menjadi seorang gay. Ada
juga pendapat yang mengatakan bahwa dominannya peran seorang Ibu dibanding
Ayah, bisa membentuk seorang anak menjadi homoseksual. Tapi seingatku, kedua
orang tuaku memiliki peran sendiri dan tak ada yang dominan salah satunya.
Homoseksualitas sendiri sempat dianggap sebagai
kelainan seksual beberapa puluh tahun yang lalu. Tapi hasil dari konferensi
psikolog dunia di Amerika beberapa tahun kemarin menyimpulkan, bahwa
homoseksualitas bukanlah kelainan seks. Tapi lebih pada pilihan hidup. Dengan
kata lain, semua orang bisa saja menjadi seorang homoseksual, tergantung
keinginan dia saja. Dan seorang homoseksual tidak selalu berakhir dengan
menikahi pasangan sesama jenis. Jadi bisa saja dia menikah dengan lawan jenis
dan berbahagia dengan kehidupannya, meski dulunya dia hanya bisa berhubungan
dengan sesama. Tapi sekali lagi, semua itu hanya teori yang tidak pasti. Kalau
aku bisa mengatakan, aku hanya salah satu ciptaan Tuhan yang memiliki karakter
sendiri," jelasku.
"Lalu kalau boleh tahu...," Regha sedikit mengubah
posisi duduknya dengan sedikit tidak nyaman, "....perasaan Mas Rizky pada
Egha................... apa juga karena memuaskan rasa ingin tahu saja?"
tanya Regha setelah diam beberapa saat lamanya.
Aku betul-betul terperanjat saat dia menanyakan itu.
Hampir beberapa menit lamanya aku cuma bisa diam memandang wajahnya. Tak ada
nada menuduh atau menghakimi dari suaranya, atau tatapannya. Regha menanyakan
itu memang hanya karena dia memang ingin tahu jawabannya. Kepolosan dan keingin
tahuannya semata-mata memang sudah karena sikap alaminya. Salah satu dari
beberapa hal yang kusukai darinya.
Aku menarik nafas sejenak, "Egha tahu sejak
kapan aku menyukai Egha?"
Regha menggelengkan kepala untuk menjawabku.
Aku tersenyum, "Aku sudah menyukai Egha hampir
dua tahun ini. Aku tak pernah bisa melakukan apapun karena banyak sekali
pertimbangan. Tapi terutama karena Egha
bekerja di Rumah Makan Ibu. Aku takut kalau sampai Ibu tahu, dan terkadang aku
merasa kalau hal itu tidak etis. Jadi aku hanya diam dan menjaga jarak. Tapi
Egha tak pernah lepas dari benakku. Sering kali, saat aku kembali kesini, Egha
adalah hal pertama yang kuingat saat aku terjaga dari tidur. Beberapa kali aku
mampir ke warung, hanya agar aku bisa melihat Egha. Memperhatikan dari jauh
tanpa bisa berbuat apapun. Menjaga sikap dan kata-kataku dari Egha, agar Egha
tak tahu perasaanku sebenarnya. Karena aku tak ingin Egha menjauhiku. Bagiku,
bisa melihat Egha di warung itu, sedikit berinteraksi denganmu, itu sudah
terasa cukup. Dulunya. Baru belakangan ini aku tak bisa menahan diri lagi,
karena itu aku mengatakan kebenarannya pada Egha. Bagaimana perasaanku dan
semuanya. Apa menurut Egha, itu hanya sekedar rasa ingin tahu saja? Bukan
cinta?"
Perlahan Regha hanya menundukkan wajahnya dan
menggeleng samar. Setelah itu Regha lebih banyak diam dan merenung seolah-olah
dia mencerna penjelasanku tadi. Tapi dia tak mengatakan apapun. Membiarkanku
terus bertanya-tanya dalam hati. Hati dan perasaanku terasa berat saat kami
berpisah. Aku tak kembali ke rumah, tapi ke kontrakan Ferdy. Ada sedikit rasa
menyesal dalam hatiku kini, karena aku seolah-olah menumpahkan sedikit
frustasiku tadi dengan bercinta dengan Ferdy. Saat aku memandangnya yang sedang
tertidur, hatiku terasa berat. Terbebani oleh perasaan yang tak bisa kujabarkan
dengan kalimat. Seolah-olah segala sesuatunya berputar dan campur aduk menjadi
sebuah gambar abstrak yang kacau.
Aku mendesah pelan.
"Apa yang sebenarnya kulakukan?" bisikku
lirih pada keheningan malam.
REGHA
Aku duduk terpekur didepan laptopku yang menyala,
memandangi telapak tangan kananku. Tangan yang jari jemarinya
digenggam oleh
Zaki, dan nyaris masih bisa kurasakan kehangatannya. Masih jelas terasa di
sepanjang indra perasaku disana, sensasi remasan jemari Zaki dan usapan
lembutnya di punggung telapakku. Usapan pelan yang seakan-akan ingin mengatakan
bahwa semua baik-baik saja. Bahwa dia ada, untukku.
Ya Allaaaaaahh...............
Perasaan apa yang kurasakan ini?! Kenapa
aku tak bisa melupakan genggamannya? Mengapa aku masih bisa merasakan
kehangatan tubuhnya, seolah-olah dia berada begitu dekat denganku? Kenapa
dadaku seakan-akan mengeluarkan gemuruh aneh tiap kali aku mengingatnya? Kenapa jantungku seakan-akan habis kugunakan
berlari marathon seperti ini? Detakannya hampir-hampir menulikan gendang
telingaku. Apa namanya ini?!!
Kukepalkan tanganku kuat-kuat, mencoba mengusir
perasaanku yang mulai berantakan. Semua fragmen kejadian waktu itu seakan-akan
kembali tersusun menjadi potongan-potongan adegan film yang membentuk sebuah
cerita dengan sendirinya. Pikiranku memberikan ilusi meyakinkan kalau sekarang
aku masih berada di ruang redaksi buletin kampus. Bahwa aku sedang berdiri
dengan kepalaku bersandar dipunggung Zaki. Bahwa aku bisa merasakan kehangatan
tubuhnya yang merambatiku. Bahwa aku bisa menghirup harum tubuhnya yang
menentramkan. Bahwa tangan kanan Zaki meraba kebelakang, menemukan tanganku,
dan kemudian meremasnya.
Aku sontan memejamkan mata!
Apa yang terjadi?! keluhku
saat aku membuka mata dan menemukan bahwa aku sedang duduk sendiri dikamar
kostku yang sempit dengan laptop yang menyala. Hampir seharian ini aku tak bisa
berkonsentrasi dengan apapun. Hanya kejadian sore itu yang terus membayang.
Bahkan aku hampir-hampir tak bisa mengingat film apa yang tadi ku tonton dengan
Mas Rizky. Yang aku ingat hanyalah pembicaraan kami di cafe itu. Aku
mengingatnya dengan jelas karena aku membutuhkan beberapa jawaban dari semua
hal ini. Aku membutuhkan sesuatu yang bisa membuatku merasa tenang.
Tapi.............. ketenangan apa yang bisa kudapat? Sebenarnya apa tujuan dari
semua pertanyaanku itu? Apa yang sebenarnya kucari?
Sial!!!!
Kenapa semuanya jadi semakin membingungkan
begini?!!!!
"Gha?!!"
Aku menoleh dan menemukan Ari yang berdiri didepan
pintu kamarku dengan pandangan sedikit khawatir. Aku mengerjapkan mata, mencoba
menepis sisa-sisa lamunanku tadi, "Eh... ya Ar?!! Ada apa?" tanyaku
sedikit gugup.
"Lo baik-baik aja kan?!" tanyanya dan
berjalan masuk mendekatiku.
Aku hanya mencoba menutupi kegugupanku dengan
cengiran, "Hehehe.....! Iya. Baik-baik aja kok. Cuma sedikit ngelamun.
Baru balik? Kak Alvian?"
"Baru aja pulang abis nganter gue. Tadi gue
panggil beberapa kali, lo cuman duduk diam bengong doang. Lo ga kesurupan
kan?" tanya Ari lagi.
"Enak aja!! Enggaklah. Cuman sedikit mikir
aja," sahutku sedikit kesal.
Ari terperangah mendengarku, "Mikir Gha? Sejak
kapan lo bisa mikir?!!"
"Jurig siah!!!" umpatku dan melemparnya
dengan buku yang ada didekatku, membuat Ari tertawa geli dengan reaksiku dan
berkelit. (Setan lo!)
"Ya udah kalo gak papa. Kali aja Gha,"
ujarnya kalem dan bangkit.
"Eh Ar! Elo......." aku tak bisa
meneruskan kalimatku, membuat Ari yang berhenti melangkah kembali memandangku
heran. Gila! Apa yang ingin ku lakukan coba? Kalo aku ngomong macem-macem,
ntar Ari bisa mikir kalo......
"Gha?!" tegur Ari lagi yang kembali duduk
dihadapanku, "Lo mo ngomongin sesuatu? Soal apa?"
Aku cepat-cepat menggeleng, "Eng-nggak deh Ar.
Batal," kataku kembali nyengir untuk menyamarkan kegugupanku.
Ari tersenyum mengerti, "Lo mo nanya soal gue
ma Alvian ya? Sok. Tanya aja. Tapi off the record ya? Gue gak mau kalo
pembicaraan kita muncul di buletin kampus," katanya sedikit bercanda.
"Gila ah! Ga mungkinlah," sahutku.
"Emang lo mo nanya apa lagi?" tanyanya
sembari meluruskan kaki dan menyandarkan punggungnya ke dinding.
"Ar..............." aku ragu-ragu sejenak,
"....... lo bener udah mantep ngejalanin semua ini ya? Ga ada keraguan
atau takut?"
"Masihlah Gha!" jawab Ari dengan nada ringan,"Ga
mungkin gue gak takut. Seumur hidup, gak ada niat dalam diri gue buat jatuh
cinta dengan cowok lain. Yang gue tahu, suatu saat gue bakal nikah, punya anak
dan tua bareng bini gue. Tapi Alvian hadir dalam diri gue seperti ini. Gue
tentu saja ngeper. Ragu masih ada. Tapi yang jelas, begitu gue bareng dengan
dia, bersama dengan dia, semua hal itu sirna. Hilang. Dan gue...........
bahagia."
"Lo bahagia?" tanyaku lagi.
"Dalam artian umum, ya. Gue bahagia. Tapi
secara absolut, gue harus bilang enggak," jelas Ari lagi, kali ini
terdengar secercah tipis kesedihan dari ekspresi wajahnya, "Gimanapun
juga, tak ada yang namanya kesempurnaan di dunia ini kan? Begitu juga dengan
kebahagiaan gue. Gue gak bisa menggandeng tangan pacar gue ditempat umum ataupun
keramaian lainnya. Gue gak bisa sesumbar, betapa spesial dan hebatnya pacar
gue. Gue gak bisa.................. mengungkapkan sayang gue padanya di hadapan
publik. Dalam satu dan lain hal........ kebahagiaan kami terkekang oleh norma
dan adat sosial yang berlaku disini. Ironis gak sih? Sebelumnya, gue cuman
seorang cowok yang menggunakan kata homo sebagai sebuah lelucon dan olok-olok.
Bagi gue dulu, hanya cowok bego atau sinting aja yang mau berhubungan ma cowok
lain. Buat apa coba? Masing -masing mereka udah punya onderdil yang sama.
Mungkin cuma ukuran aja yang beda. Apa asyiknya?! Konyol! Tapi sekarang gue
tahu...............
Gue sekarang bisa memahami dilema apa yang mereka
miliki. Mereka terkekang dan nggak bisa berbahagia dalam artian yang sebenarnya
dengan orang terkasih. Karena masyarakat mengecam mereka. Menganggap mereka
sebagai pendosa kotor dan menjijikkan. Menjadikan mereka lelucon dan olok-olok.
Padahal apa yang mereka rasakan itu begitu biasa aja kok, dan tak ada hal yang
aneh didalamnya. Mereka hanya saling mencintai saja. Dan itu indah. Perasaan
saat mereka rasakan bersama dengan orang terkasih, sama aja dengan yang
dirasakan orang-orang straight. Hanya mencintai. Apa yang salah dengan
itu?"
"Bagaimana dengan Tuhan Ar? Agama kita
mengajarkan bahwa hal itu salah," ujarku sedikit defensif.
"Lalu salah siapa gue menjadi seperti
ini?" tanya Ari ringan, "Gue gak pernah meminta untuk jatuh cinta
sama Alvian kok. Haruskah gue nyalahin Tuhan? Enggak kan? Gue juga manusia yang
percaya ma Tuhan kok Gha. Gue masih ngelakuin kewajiban gue sebagai seorang
makhluk beragama. Kalopun gue benar berdosa, gue yang akan mempertanggung
jawabkan tindakan gue nantinya. Toh gue gak ngerugiin orang lain. Apalagi
merebut hak orang. Enggak kan?"
"Gue sebenernya sudah beberapa kali membahas
hal ini dengan beberapa orang. Mas Rizky dan juga Regi. Mereka memiliki jawaban
yang hampir mirip ma elo. Mas Rizky juga mengatakan, kalo dia lebih memilih
kalo dia menjadi seorang mantan preman daripada mantan ustadz," kataku
pelan.
Ari mengangkat sebelah alis mendengarnya.
"Lo tau kan kalo di masyarakat kita,
homoseksual dianggap sebagai sebuah cacat dan aib. Nah banyak sebenarnya para
gay yang mati-matian menyembunyikan diri karena berbagai tekanan. Dari
masyarakat, agama, keluarga dan lainnya. Banyak dari mereka yang hanya bisa
mati-matian memendam hasrat gay mereka, dan bertingkah straight. Tapi yang
mengerikan, mereka tak ubahnya seperti sebuah bom waktu yang menunggu meledak.
Tragisnya, ada beberapa yang meledak ketika mereka telah berkeluarga. Apa yang
mereka pendam itu justru tersalurkan ketika mereka telah mereka telah menjadi
seorang suami dan ayah. Jadi Mas Rizky berpendapat, kalau memang dia harus
merasakan menjadi gay, dia akan melakukannya sekarang. Selagi dia masih
sendiri. Dia tak ingin menjadi rusak nantinya. Jadi diibaratkan sebagai seorang
yang dulunya jahat, dan akhirnya menjadi baik. Daripada orang yang dulunya
baik, alim dan lurus, tapi akhirnya malah menjadi buruk. Mantan preman dan
mantan ustadz. Paham kan?" jelasku.
Ari mengangguk-anggukkan kepalanya, "Dengan
kata lain, berani dalam menghadapai ketakutan dan keraguanmu secara langsung,
daripada menjadikannya bayang-bayang yang terus menghantuimu sepanjang hidup.
Pendapat yang bagus dan gue gak memiliki bantahan untuk itu," ujar Ari
tersenyum, "Jadi benar Mas Rizky gay?"
Aku langsung mengumpat keras dan memukul keras
jidatku. Ari hanya tertawa kecil dan menggeleng dengan tingkahku. Tak ada
kekagetan ataupun keheranan dari ekspresi wajahnya. Dia mengatakan hal tadi seakan-akan
itu sudah lama diketahuinya.
"Gue udah curiga dari beberapa waktu dulu Gha.
Tenanglah," katanya.
"Gimana lo bisa tau?"
"Pernah denger soal gaydar? Kemampuan seorang
gay dalam mendeteksi gay lain?"
"Emang itu ada beneran?"
Ari mengangkat bahu, "Entahlah. Tapi kadang aku
bisa menebak seseorang itu gay atau nggak hanya dengan melihatnya. Mungkin
hanya intuisi saja."
"Jangan sampe ada yang tau, ok?"
"Tentu saja," jawab Ari dan mengangguk,
"Paham kan? Betapa sulitnya menjadi gay? Kami harus terus bersembunyi?"
Aku hanya bisa menghela nafas mendengarnya,
"Kenapa Tuhan tidak membuat semua orang straight aja ya Ar? Tuhan kan Maha
Kuasa. Hanya dengan mengatakankan 'jadi', maka jadilah," gumamku.
"Menurutmu apa jadinya kalau semua orang
didunia ini kaya?"
"Enak dong! Jadi gak ada yang namanya pengemis
atau kelaparan didunia ini," ujarku nyengir.
"Lalu siapa yang harus bekerja? Siapa yang akan
menanam padi? Menangkap ikan? Atau beternak sapi? Ngapain mereka cape-cape
kerja kalo mereka udah sama kayanya?"
Aku terdiam dengan penjelasannya. Bener juga!
Ngapain coba?
"Justru perbedaan yang ada didunia ini yang
menyebabkan dinamika kehidupan berjalan Gha. Karen ada yang miskin, maka ada
yang kaya. Justru karena ada orang bodoh maka guru bisa ada. Justru karena ada
orang sakit makanya ada yang namanya dokter. Lo liat? Perbedaan yang
menyebabkan roda kehidupan berputar. Masing-masing dari kita berbeda dan
memiliki peran masing-masing dalam dunia ini. Masing-masing dari kita
memberikan warna dan bentuk tersendiri. Karena itu dunia bisa menjadi begitu
beragam dan indah. Begitu pula kaum homo, straight dan yang lainnya.
Masing-masing dari golongan itu juga memberikan warna dan nuansa kehidupan
tersendiri dibumi ini. Tuhan yang menciptakan semua itu. Agar kita bisa berinteraksi
dan belajar dari masing-masing golongan. Dan Tuhan kita menginginkan kita hidup
dalam harmoni. Hidup dalam kedamaian dan saling menghargai. Yang salah adalah
saat kita menyakiti satu golongan, merugikan mereka, atau mengambil hak mereka.
Saat itulah yang namanya hukum dan keadilan harus ditegakkan. Jadi selama tak
ada yang dirugikan atau tersakiti............ kenapa harus diributkan? Saling
mencintai itu indah kan?"
Tak ada yang bisa kukatakan. Hanya bisa menatap Ari
yang melemparkan pertanyaan itu tapi dengan tatapan meminta penegasan padaku,
"Mungkin mereka hanya tak bisa memahami Ar. Orang cenderung takut pada hal
yang tak mereka mengerti. Mereka terkadang bersikap radikal hanya untuk
mengatasi ketakutan mereka. Bukan berarti mereka membenci........."
"Benarkah? Kadang gue mulai ngerasa kalau
membenci dan menyakiti sudah menjadi sifat natural manusia," katanya
sedikit kalut.
Ari terlihat berbeda dengan dirinya yang dulu. Ari
yang kukenal dulu adalah cowok tegas yang selalu yakin akan pendapatnya, meski
itu berbeda dengan kebanyakan orang. Tapi mungkin bahkan seorang Ari juga
memiliki batasan. Apa yang dia alami sekarang ternyata cukup
mengguncangnya.
"Ada saat dimana kadang gua ngerasa kalo ini
adalah karma dan hukuman bagi gue, Gha. Dulu sikap gue gak jauh beda dengan
mereka. Bener kata lo. Gue dulu benci banget ma orang gay karena gue gak ngerti
gimana dua orang cowok bisa saling mencintai. Tapi kini, saat gue berada
langsung didalamnya, gue bisa tau dan paham sepenuhnya. Karma kan?"
Aku hanya menggeleng, "Seperti yang lo bilang
tadi, lo cuman beda kok. Lo memberi warna lain dalam dunia ini. Menjadikan
dunia ini lebih beragam dan berwarna," kataku.
Ari memandangku sembari tersenyum, "Thanks Gha.
Gue.........istirahat dulu ya?" pamitnya dan bangkit. Aku kembali
menjawabnya dengan anggukan. Hampir setengah jam sesudah kepergiannya aku masih
duduk diam ditempatku. Memikirkan kembali apa yang telah kami bicarakan tadi.
"Berani dalam menghadapai ketakutan dan
keraguanmu secara langsung, daripada menjadikannya bayang-bayang yang terus
menghantuimu sepanjang hidup," gumamku lirih, mengulang kalimat Ari tadi
yang entah mengapa terasa begitu penting.
Minggu pagi itu aku terbangun masih dengan pikiran
kacau. Seakan-akan benakku berkabut dan sulit untuk melihat suatu hal. Aku
masih bingung dengan semua percakapan yang terjadi semalam. Baik percakapanku
dengan Mas Rizky ataupun Ari. Aku tak tahu untuk apa aku mendiskusikan hal yang
kami bahas kemarin. Yang membingungkan, jauh di sudut pikiranku, aku
seakan-akan paham arah dari semuanya. Aku tahu mengapa aku kembali membahas
tema yang kubicarakan dengan mereka. Tapi entah kenapa, pikiranku seolah-olah
memblokirnya. Aku tahu ada inti yang seharusnya bisa kupahami. Tapi sesuatu
menghalangiku untuk melakukannya.
Kucoba untuk menepis semua pikiran kacau ku
secepatnya. Hari ini aku harus ke rumah Zaki. Tadi selesai mandi dia
mengirimkan pesan, memintaku untuk datang ke rumahnya, karena dia tak bisa
menjemputku untuk berangkat bareng ke Panti. Karena hari masih pagi, aku bisa
sampai ke rumahnya dalam waktu kurang dari setengah jam. Pak Imam, Satpam yang
berjaga membukakan pintu pagar.
"Pagi Pak Imam," sapaku.
"Pagi Mas Regha. Mas Zaki sepertinya sudah
bangun. Kalo gak salah sedang sarapan sama temennya," kata beliau.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum meski sedikit
heran. Temen? Minggu pagI begini? Siapa?
batinku sembari terus saja melangkah masuk. Zaki kutemukan diruang
makan. Dia duduk berhadapan dengan seorang cewek yang tak kukenal, meski aku
harus mengakui kalau dia bertubuh molek. Mereka makan dengan hening.
"Kau sudah datang? Breakfast?"
tawar Zaki saat melihatku mendekat.
Cewek itu mengangkat wajahnya dan melihatku. Aku
mengangguk sekilas padanya tanpa mengatakan apapun, dan berpaling pada Zaki,
"Makasih. Silahkan saja. Aku tunggu diruang kerja," jawabku singkat.
Dengan cepat aku berbalik pergi. Aku tak ingin berada terus di satu ruangan
dengan mereka yang masih sama-sama mengenakan piyama mandi. Dan wajah
mereka..............
Meski jelas mereka berdua telah mandi, tapi aku bisa
menangkap sorot kelelahan dari wajah mereka. Ada sedikit lingkaran kehitaman
dibawah mata Zaki dan Anna. Yang berarti bahwa mereka mungkin hampir tidak
tidur semalaman. Dan pikiranku segera mengeluarkan kemampuan berimajinasinya
yang terhebat. Bayangan bagaimana mereka berdua.....
Aku menyelinap masuk ke dalam ruang kerja Zaki dan
begitu pintu kututup, aku menyandarkan punggungku ke daun pintu dengan nafas
yang agak memburu. Dadaku berdenyut sakit dan hampir-hampir membuatku tak mampu
untuk bernafas. Tubuhku tiba-tiba saja terasa menggigil.
"Hentikan!!" bisikku dengan suara
tercekat. Tapi perasaan itu tidak hilang, malah semakin membesar dan kemudian
diikuti oleh perasaan panik aneh yang membuat ruangan di sekelilingku tiba-tiba
saja terasa mengkerut, semakin mengecil dan kemudian menekanku. Aku
hampir-hampir tak bisa bernafas. Dan dengan sisa tenaga yang kupunya, aku
mengangkat tanganku dan menampar pipi kananku sekuat tenaga.
Panas dan nyeri yang kemudian menjalar ke seluruh
wajahku membuatku bisa bernafas sedikit lega.
Ya Tuhan, apa itu tadi?!!
ZAKI
Aku memijit pelipisku yang kembali berdenyut sakit.
Kepalaku seperti sedang tumbuh cabang. Aku hampir-hampir tak bisa mengingat apa
yang aku lakukan bersama Anna dikamarku. Tapi sedari tadi aku mencoba, aku
masih belum bisa.
Semalam memang berjalan di luar kendaliku. Aku tak
pernah merasa gugup atau bingung dalam menghadapi lawan kencanku. I always
in charge.. Tapi semalam adalah sebuah pengecualian. Untuk pertama kalinya
aku tak bisa berkonsentrasi dengan sekelilingku. Bahkan dengan Anna yang malam
itu tampak mempesona dengan gaun berbelahan dada rendah, memamerkan
keseksiannya didepanku, tak bisa membuatku memusatkan perhatianku padanya.
Pikiranku justru melayang pada Regha. Kehadiran Anna disana justru terasa
salah, karena tiba-tiba saja aku justru menginginkan Regha didepanku. Ngobrol
denganku, bercanda dan membahas soal pekerjaan kami yang biasa kami kerjakan. How
crazy was that?!
Beberapa kali Anna harus menegurku yang sepertinya
hilang dalam lamunan.
"Kamu tampak sedikit tegang malam ini?"
ujarnya ringan sembari menumpukan kedua sikunya ke meja. Kedua lengannya
menekan payudaranya, membuat dua tonjolan menakjubkan itu terlihat semakin
membusung dan menggoda. Pada keadaan biasa aku pasti sudah tak tahan untuk
mengulurkan kedua tanganku dan meremasnya. Tapi entah kenapa malam ini aku tak
tertarik bahkan untuk melihatnya.
Aku mencoba berdehem, mengeluarkan suara,
"Maaf. Aku...eehh, sedikit ada masalah dengan rekan kerja. Aku... sulit
untuk berkonsentrasi. It's about work," jawabku sedikit gugup.
"Work?! Kamu bekerja?" tanya Anna
tertarik.
"Well, semacam itulah. Ibuku menyerahkan satu
usaha disini untuk ku tangani. Sebenarnya sudah ada yang menjalankannya, aku
hanya mengeceknya saja. It's more like supervise than run it,"
jawabku.
"Hmmmm........... I didn't know that.
Mahasiswa dan seorang pengusaha. You just have my interest Mister,"
kata Anna ringan sembari mengerling padaku.
Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis lalu
mengangkat gelas anggurku untuk menyesapnya, sekaligus
menghindari tangannya
yang tadi sepertinya mencoba meraihku.
"Kau terlalu tegang. Aku tahu tempat yang bisa
membuatmu rileks dan untuk sejenak lupa akan masalahmu. Tertarik?" tawar
Anna.
Aku tak langsung menjawab pertanyaannya, tapi hanya
menatap matanya yang berbinar membujuk itu. What the heck?!! Anna cewek
menarik dan seksi. Meski kalah pamor dibanding Emma, but still. She's hot. With
that body, breasts and ass. Tapi kenapa malam ini aku justru lebih berharap
berada disini bersama dengan Regha. Anak dodol itu mulai mengacaukan benakku
lagi. Sial! Aku tak akan membiarkannya merusak malamku. I might get lucky
tonight! And I'm gonna have some. It's been awhile since the last time I got
laid. Aku segera mengambil keputusan.
"Screw it! Let's go!" kataku dan
bangkit yang disambut oleh Anna dengan pekikan girang.
Anna mengajakku ke sebuah club yang sepertinya cukup
exclusive. Dari luar memang terlihat seperti sebuah club biasa, tapi di
dalamnya ada sebuah pintu masuk lagi yang dijaga oleh sekitar 5 orang bertubuh
seperti banteng. Sepertinya mereka sudah mengenal Anna dengan baik, karena dia
disambut dengan sapaan ramah dan langsung diijinkan masuk. Aku hanya mengekor,
mengikutinya menyusuri sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua meter dan
diterangi lampu neon berwarna kuning pucat. Kami berjalan beberapa puluh meter
untuk kemudian sampai lagi disebuah pintu yang kembali dijaga oleh 4 orang
bodyguard yang bertubuh lebih kekar daripada yang didepan tadi.
Lagi-lagi mereka sudah mengenal Anna dengan baik dan
segera mempersilahkannya masuk. Aku hanya menurut dan kembali mengikutinya.
Sesampainya di dalam, mau tak mau aku cukup terkejut. Kami disambut dengan
dentuman musik remix dari Jennifer Lopez dan suasana club yang hingar bingar
oleh pengunjungnya. Sepertinya mereka bukan dari kalangan biasa. Baju dan
aksesoris yang mereka kenakan terlalu mewah untuk berasal dari kalangan
menengah. Yang membuatku kaget adalah adanya beberapa penari striptease
yang tersebar di beberapa bagian pentas club. Laki-laki dan perempuan. Mereka
meliukkan tubuh mereka yang tak tertutup selembar benangpun dengan gaya
menggoda dan tanpa malu-malu.
Aku sudah pernah ke club striptease
sebelumnya bersama Justin dan yang lain di Australia untuk merayakan ulang
tahun David yang ke-18. Dan bahkan disana, aku hanya masuk club yang menyajikan
penari wanita saja. Jadi aku cukup kaget menemukan club yang menyajikan penari striptease
dengan 2 jenis gender berbeda dalam satu tempat disini.
"Come on! Follow me!" kata Anna dan
menarikku menuju bar.
"Anna!" sapa bartender yang berambut
mohawk ramah. Sepertinya Anna sudah benar-benar terkenal di lingkungan ini.
Hampir semua pegawai club ini mengenalnya. Belum lagi beberapa sapaan yang tadi
diterimanya dari pengunjung club lain.
"Halo Roy. Gin and Tonic please. Lo apa
Zake?" tanya Anna padaku.
"Just the same," sahutku dan duduk
di kursi yang kosong, berusaha terlihat sesantai mungkin. Anna segera
merapatkan tubuhnya. Aku menyambutnya dengan melingkarkan tanganku di
pinggangnya.
"Dua Roy. Lo tau si Lexy ga?" tanya Anna
sembari mengedarkan pandangannya.
"Tadi ada di belakang. Coba cari aja,"
jawab Roy sembari meletakkan dua gelas pesanan kami.
"Kamu tunggu disini, ok? I'll be right back,"
pamit Anna dan berlalu, bahkan sebelum aku sempat menjawabnya. Aku hanya
mengangkat bahu, melempar senyuman tipis pada Roy kemudian menyesap minumanku.
Mengedarkan pandanganku ke semua penjuru. Fakta bahwa ada club seperti ini di
Bandung masih membuatku heran. Mataku lalu tertumbuk pada seorang penari cowok
yang berada di sebuah panggung kecil, tak jauh dari tempatku berdiri. Dia
berusia sekitar akhir belasan tahun. Hampir seusia denganku. Tubuhnya yang
telanjang tampak berkilap oleh minyak dan mungkin keringat. Harus aku akui
kalau dia memiliki bentuk fisik yang impressive. Tubuhnya gagah dan bisa
membuat beberapa orang lelaki yang ku kenal akan malu bisa disandingkan
dengannya. Dan bagian tubuh pribadinya, bisa membuat yang melihat merasa iri.
Tapi......... aku tak merasakan apapun.
Dia tak bisa membuatku merasa terganggu seperti efek
yang Regha timbulkan padaku. Well, that's something, isn't it?! Kalau
selama ini aku sedikit mengalami krisis percaya diri, inilah jawabannya. I'm
perfectly fine. Karena bahkan cowok seksi yang sedang meliukkan tubuhnya
itu, tak bisa membuatku merasakan apapun. Malah aku sedikit merasa iba. Karena
untuk mendapatkan uang, dia harus memamerkan fisiknya.
"Sorry for waiting," ujar Anna yang
kemudian muncul disampingku. Lalu tanpa mengatakan apapun lagi, dia menciumku.
Lidahnya menelusuri bibirku, memaksaku untuk membukanya. Dan diantara ciuman
kami, aku bisa merasakan ada sebuah benda kecil yang dia pindahkan ke mulutku
dan membuatku tanpa sengaja menelannya.
Aku segera menarik wajahku darinya, "What
the hell was that?!" tanyaku dengan satu tangan menutupi mulutku.
Anna tertawa kecil, "Relax. That's just a
little something to help you loose. Kau terlalu tegang malam ini. Trust
me! It'll feel good," ujarnya. Dengan santai dia meraih minumannya di
meja dan menenggaknya sampai habis, "Come on! Le's dance and have some
fun!" ajaknya dan menarik tanganku ke lantai dansa.
Kejadian setelahnya tak bisa kuingat dengan begitu
jelas. Aku hanya mengingat bergelas-gelas minuman yang ku tenggak. Berdansa dan
tertawa dengan perasaan ringan bersama Anna. Entah bagaimana, aku berhasil
kembali ke rumahku tanpa mendapatkan kecelakaan. Satu keajaiban yang harus aku syukuri.
Setelah itu kami sedikit menyambung pesta kami di club dengan koleksi wine yang
kumiliki. Dan aku tak ingat kelanjutannya. Paginya aku bangun dengan kepala
sakit luar biasa di tempat tidur. Bersama dengan Anna. Telanjang.
And here we are!
Kami berdua masih berusaha mengatasi hang over kami dengan segelas kopi
pahit saat Regha muncul.
"Aku sudah meminta sopirku untuk
mengantarmu," kataku dengan suara sedikit serak. Aku berdehem untuk
mengembalikan suaraku ke asalnya yang biasa, "Dia sudah menunggumu
diluar," sambungku lagi.
"Memang kau tak bisa mengantarku?" tanya
Anna dengan tubuh menyandar di kursi. Piyama mandi yang dikenakannya sedikit
tersingkap, memamerkan belahan dadanya yang menggoda. Tapi aku tak merasakan
apapun sekarang.
"I've gotta go to work," jawabku
singkat dan mengalihkan pandanganku.
"What? Sekarang kan hari minggu!"
protesnya.
"Hari minggu adalah hari kerjaku. Now, excuse
me! Aku harus menemui Regha," pamitku dan bangkit.
"Hei!! Malam ini kita keluar?" tanya Anna
menghentikanku.
Untuk sejenak aku hanya memandangnya diam, dan
kemudian menghela nafas, "Anna, let's make it clear! Kau sadar
kalau tak ada yang serius diantara kita berdua kan? We're having fun and
else. But we're not in a relationship!" kataku.
Anna tertegun sejenak. Tapi dia bisa menguasai diri
dengan cepat. Dengan santai, dia mengangkat bahunya acuh, "Fine!
Let's
have fun. Whatever!" sahutnya ringan.
Aku tak tahu apakah aku harus merasa lega atau apa.
Tapi yang jelas, aku bisa menarik nafas ringan mendengar penerimaannya, "Cool.
I'll call you, ok?" kataku dan berlalu. Aku segera menuju kamar untuk
mengganti pakaianku. Bersiap-siap dengan kepala yang masih berdenyut sakit. Aku
bahkan yakin kalau aku akan muntah kalau saja aku berlari. Jadi aku
melakukannya dengan santai dan pelan. Persetan kalau kami nanti terlambat tiba
di Panti. Lagipula, siapa yang akan memprotesku?!
Begitu selesai aku segera turun menuju ruang
kerjaku. Semula niatku adalah untuk langsung berangkat, tapi kepalaku yang
kembali berdenyut membuatku mengurungkan niatku. Regha yang menungguku diruang
kerja sembari menghadap laptopnya, mengernyitkan dahi saat aku masuk dan
melemparkan kunci mobilku padanya.
"Hari ini kau yang bawa mobil," kataku dan
buru-buru duduk di meja kerjaku. Kurebahkan kepalaku dimeja, bertumpu pada
kedua tanganku, "Tapi tunggu sebentar saja, ok? I need a moment,"
sambungku lagi. Aku mengerang pelan saat kepalaku serasa berputar. Cepat aku
memejamkan mata.
"You look like shit!" komen Regha
singkat. Entah kapan dia bergerak. Tapi tahu-tahu dia sudah berada di sebelah
mejaku..
"Don't start!" erangku kesal,
"Kepalaku seperti mau pecah," keluhku. Dua aspirin yang kuminum tadi
sepertinya masih belum bereaksi.
"Sepertinya kau mengalami malam yang liar.
Siapa dia tadi?" tanya Regha.
"Who? Anna. She's just.......... some girl,"
jawabku.
"Bukan pacarmu? Kukira dia pengganti
Emma."
"Oh please! Kami baru sekali keluar. We were
just having fun. Tiba-tiba saja semua berjalan diluar kendali. I don't
even remember how we got home last night."
"Apa? Jangan katakan kalau kau kolaps dan pagi
harinya kau mendapati dirimu terbangun di tempat tidur berdua dengannya dalam
keadaan telanjang. Klise sekali."
"As cliche as that sounds, it's true!"
gerundengku pelan dan mengangkat kepalaku yang mulai sedikit terasa ringan.
"It doesn't mean a thing to you, does it?!"
tanya Regha dengan mata yang memandangku tajam.
"Apa?" tanyaku heran.
"Apa yang kau lakukan semalam. Semuanya
hanyalah having fun. Casual. Sex tak memiliki makna bagimu," katanya
dengan nada yang menghakimi. Ganti aku yang kini mengernyitkan dahiku mendengar
nada suaranya, yang membuatku berpikir kalau aku telah menusuk pantatnya dengan
pisau tadi. Aku merinding ngeri dengan pilihan kataku tadi. Menusuk
pantatnya?! What the hell was I
thinking?!! pikirku ngeri.
"Kamu ngomong apa sih? It was just sex!"
ujarku kesal.
"Just sex?! Kamu sadar nggak sih kalo kamu
sekarang tinggal di Indonesia? Sex disini adalah sesuatu yang sakral dan hanya
diperbolehkan dalam ikatan pernikahan."
Aku sedikit ternganga oleh reaksinya. Kenapa dia
marah sih?! "What?!! Did you hear yourself?! Kamu pikir sekarang tahun
berapa? Kamu tahu berapa persen cewek di Bandung ini yang melakukan sex sebelum
menikah?!" semburku yang jadi sedikit terpancing.
"I don't know. Tapi setidaknya sebagian besar
dari mereka melakukannya dengan orang yang mereka cintai. Bukan orang yang baru
kenal dan berkencan cuma sekali. Kalau ada cewek yang dengan gampangnya tidur
dengan cowok pada kencan pertama, mereka pasti gampangan," komentar Regha
dingin.
Aku kembali mengerang kesal dengan sikapnya.
Kepalaku yang tadi sedikit ringan sepertinya sudah kembali berat karenanya,
"Gha, it's just sex. Hanya pemenuhan hasrat yang dilakukan oleh dua orang
dewasa. Hanya pemenuhan kebutuhan biologis yang natural. Tak ada yang salah
dengan melakukannya. We know what we did. Toh ini tubuh kami sendiri. Kami
tidak merugikan orang lain kan?!"
"God!! Tapi begitu gampangnya kau tidur dengan
orang lain! Tidakkah kau menghargai diri dan tubuhmu sendiri? Apa kabar dengan
harga diri?!"
"It's just a body!"
"Tapi dalam tubuhmu itu bersemayam jiwamu juga!
Pernah mendengar bahwa tubuhmu adalah kuilmu?! Jiwamu hidup dalam tubuh yang
kau anggap hanya sebongkah daging itu. Kalau kau menyerahkan tubuhmu dengan
mudahnya, itu sama saja kau juga menyerahkan jiwamu. Tubuh dan jiwa adalah satu
kesatuan Zaki. Tubuh tanpa jiwa adalah mayat. Dan jiwa tanpa tubuh adalah
hantu. Seharusnya kau tahu itu?!"
UGH!!! Sial!! Sejak kapan dia jadi pintar begini?!!
rutukku dalam hati jengkel. Aku hanya menghela nafas panjang, "Kenapa kau
harus membuatnya rumit sih? Sex is sex. Semua orang membutuhkannya. Semua orang
menyukainya. I bet you too. Mungkin saja kau memenuhi kebutuhanmu itu dengan
masturbasi. But I won't! That's pathetic. Aku bisa mendapatkannya dengan mudah.
Walaupun, seperti yang kau bilang tadi, Anna adalah tipe cewek gampangan, who
cares? She's hot! Dan aku yakin, kalaupun dia mau melakukannya sex pada kencan
pertama, dia juga pasti tidak melakukannya dengan sembarang orang," ujarku
dan mengangkat bahu acuh.
Regha tersenyum sinis, "Kalau dia gampangan,
kau tak ada bedanya! Karena kau juga membiarkan seseorang menikmati tubuhmu
dengan gampangnya dalam sekali kencan," komentarnya kemudian, nadanya
lebih dingin daripada sebelumnya.
Ouch!!! That hurts!
Aku menatapnya tajam, "Kenapa memangnya kalau
aku begitu? Kau tertarik?"
Hal itu sedikit mengejutkannya, "A-apa?!!"
"As you said, mungkin saja aku juga gampangan!
Lalu apa salahnya? Apa kau juga tertarik padaku? Kita bisa melakukannya kalau
kau mau. Aku tak keberatan. Toh aku gampangan kan? Let's do it! You and
me!" kataku dan bangkit mendekat tubuhnya. Ya Tuhan! What the heck am I
doing? Someone! Please, stop me and shut my mouth!! batinku sedikit panik meski
aku tak akan membiarkan Regha menang sekarang.
"Kau gila!"
Aku tersenyum sinis, "Like I said, for me, sex
is just sex. Tidak penting dengan siapa aku melakukannya. Anna, kau. Sama
saja!" aku meraih lengannya dan menyentakkannya sehingga dia menabrakku.
"Le-lepaskan.." Regha berusaha
memberontak, melepaskan diri. Tapi aku memegang lengan kirinya dengan erat.
Sementara tangan kiriku segera ku lingkarkan ke pinggangnya, menariknya untuk
merapat padaku. Kedua tubuh kami kini saling menempel. Aku menguncinya dengan
melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Regha terlihat semakin panik dan
menggeliatkan tubuhnya untuk melepaskan diri. Tentu saja aku tak membiarkannya.
Aku menahannya erat.
"Kau bicara sex dengan begitu bijaksana. Tapi
aku berani bertaruh kalau kau belum pernah tahu ataupun merasakan, apa dan
bagimana sex itu. Kenapa kau tidak membiarkan aku menunjukkannya padamu?"
kataku. Aku menundukkan wajahku sehingga wajah kami hanya terpisah beberapa
senti. Aku bisa melihat bola mata Regha membesar oleh kepanikan yang kini
semakin menguasainya. Wajahnya mulai memucat.
"Zaa-zak-Zaki....."
"Kau akan menyukainya. Trust me," bisikku
pelan dengan mata yang tak pernah lepas dari wajahnya.
Regha hanya menggeleng dengan gerakan kaku. Dia
semakin tampak gelisah. Dengan gugup dia menelan ludah dan menjilat bibir
bawahnya, resah, "Zak... le-lepas.."
Aku sudah menciumnya. Regha mengeluarkan suara
terkesiap pelan. Tapi bibirku sudah menempel di bibirnya. Dan bahkan sebelum
dia mampu menguasai diri, bibir bawahnya sudah berada dalam kuluman bibirku.
Setelah memberikan sedikit hisapan dan kuluman lembuat, perlahan aku
melepaskannya. Aku sedikit menarik wajahku, memandang ke arah matanya yang
tampak kosong. Dia terdiam kaku dalam pelukanku. Aku tersenyum tipis.
Setidaknya aku bisa membungkam mulutnya.
"I thought so! Itu sedikit preview
untukmu," kataku pelan dan melepaskan pelukanku padanya. Tanpa menunggu
reaksinya lagi, aku melangkah keluar dari kamar kerjaku. Begitu berada diluar
pintu, aku mengusap bibirku dengan punggung tanganku sambil berjalan cepat.
WHAT THE HECK WAS THAT?!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar