Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 28- Because Of you



RIZKY




Perlahan aku bangkit dari tempat tidur dan dengan berjinjit, aku menuju kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah selesai aku kembali ke kamar, dan kemudian berdiri diam di kaki tempat tidur, melihat ke arah Ferdy yang masih tertidur lelap. Wajahnya sudah hampir sepenuhnya kembali normal. Hanya sedikit sisa kebiruan di matanya yang mungkin akan hilang besok. Selain itu, semua lukanya telah sembuh. Setidaknya luka fisik. Karena aku tahu, secara psikologi, dia jauh dari kata sembuh. Yang jelas, dia sudah lebih baik dibandingkan saat pertama kali aku menjemputnya di airport pagi-pagi.

Waktu itu, setelah dia lumayan tenang, aku segera membawanya kembali ke kontrakannya. Ferdy tak lagi mengucapkan sepatah katapun selama perjalanan setelah dia menangis dipelukanku. Dia hanya menurut saja bagaimana aku memperlakukannya. Dalam perjalanan tadi, aku sempat mampir ke apotik yang buka 24 jam, membeli obat untuk lukanya. Ferdy tetap diam di mobil, tak bergerak sedikitpun. Dia baru bergerak sedikit saat aku menyentuh lengannya.

"Kita sudah sampai," kataku. Aku lalu segera turun dari mobil.

Ferdy mengikutiku, tapi tak menungguku. Dia terus melangkah menuju pintu dan membukanya dengan kunci yang dia keluarkan dari saku celananya. Aku hanya mengekori dibelakang sembari membawa koper kecil miliknya.
"Kamu lapar atau ingin sesuatu? Aku bisa mencarikannya kalau kau mau," tawarku.

Ferdy menjawabku dengan gelengan singkat. Dia lalu terus melangkah menuju kamarnya. Aku kembali mengikutinya. Mungkin yang dia butuhkan saat ini memang istirahat yang cukup, pikirku.

"Kamu duduk dulu," kataku sembari meletakkan kopernya di kaki tempat tidur, lalu ikut duduk disebelah Ferdy. Aku mengeluarkan obat-obatan yang tadi kubeli. Untuk sesaat aku hanya memandangi wajahnya yang lebam dan luka-luka. Sekarang, saat dia telah membuka kaca mata hitamnya, dan berada begitu dekat denganku, aku bisa melihat dengan jelas semuanya. Perlahan, tanpa bicara lagi, aku mengobati lukanya. Kuoleskan salep tipis-tipis dan berhati-hati pada luka yang ada di wajahnya. Meski seharusnya terasa perih, Ferdy tak sedikitpun menunjukkan ekspresi kalau dia merasakannya. Dia tetap diam, seolah-olah aku tak berada disebelahnya. Aku sendiri mulai khawatir kalau dia mengalami shock besar.
"Sudah Fer. Tak ada lagi kan?" tanyaku dan tersenyum.

Ferdy yang masih diam dengan tatapan lurus tak menjawabku. Tapi kemudian, perlahan dia mulai membuka kancing kemejanya.

"Oh, kau mau tidur? Baiklah aku akan menaruh semua obat ini di kotak P3K. Nanti kau bisa mengoleskannya sendi...." Kalimatku terputus saat aku melihat punggung Ferdy yang tampak bilur-bilur memar dan memerah. Beberapa bagian kulitnya juga sedikit terkelupas. Ada gumpalan menyakitkan yang kemudian mendadak muncul di tenggorokanku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk meyakinkan diri kalau aku tak salah lihat. Ya Tuhan! Dan sedari tadi dia tak mengatakan apapun, batinku.

Aku kembali duduk sementara Ferdy kemudian berbaring miring. Aku beringsut mendekat ke belakangnya, dan tanganku terulur, mengusap perlahan pinggiran lukanya.

"Ayahmu?" tanyaku lirih.

Tak ada balasan, namun sesaat kemudian Ferdy mengangguk samar untuk menjawabku.

"Apa yang kau katakan padanya?" tanyaku dan mulai mengoleskan kembali obat pada lukanya dengan berhati-hati.

"Bahwa aku ingin memutuskan pertunanganku dengan Shella," jawab Ferdy akhirnya.

"Dan dia tak bisa menerimanya?"  tanyaku lagi. Ferdy mengeluarkan suara desisan kaget saat aku mengusap bagian punggungnya yang kulitnya terkelupas.

"Seperti itulah," jawabnya kemudian.

"Apa yang dia gunakan untuk............." aku tak meneruskan kalimatku. Untuk beberapa saat hening jatuh diantara kami berdua. Aku tak sanggup untuk meneruskan lebih lanjut pertanyaanku tadi. Entah kenapa, terasa tak pantas kalau aku melanjutkannya.

"Sapu, tongkat golf......... Hanya itu yang sempat kulihat. Aku tak tahu lainnya," jawab Ferdy kemudian dengan nada datar tanpa emosi.

Aku tak bertanya lagi setelah itu. Aku hanya mengoleskan obat itu pada lukanya. Kami bisa membahas apa yang telah dialaminya nanti setelah semuanya sedikit mengendap. Setelahnya selesai, aku bangkit dan keluar dari kamarnya. Sebentar lagi aku harus segera berangkat ke rumah sakit. Tapi sebelum pergi, aku mau memastikan kalau Ferdy memiliki semua kebutuhannya. Di lemari esnya hanya tersisa beberapa butir telur dan buah. Aku keluar sebentar untuk membeli roti dan beberapa bahan makanan. Aku memasukkan semuanya ke kulkas.

Setelah semua kurasa sudah tersedia, aku kembali ke kamar dan mendapati Ferdy masih berbaring miring dengan mata terbuka. Aku mendekat dan berjongkok didepannya.

"Aku harus segera ke Rumah Sakit. Kau istirahat saja. Aku sudah menyiapkan sedikit makanan di dalam kulkas. Kau bisa mengambilnya nanti kalau kau mau. Sekarang, tiduran saja, ok? Aku akan kembali sore nanti," kataku. Ferdy menjawabnya dengan anggukan yang juga samar. Aku memberikan ciuman ringan di keningnya, dan kemudian bangkit untuk pulang ke rumahku.  

Selama beberapa hari aku merawatnya, juga terus menyempatkan waktu untuk menemaninya. Ferdy mulai bisa beraktifitas pada hari ke-3 setelah kedatangannya. Tentu saja kehadirannya dengan kondisi fisik seperti itu sedikit menimbulkan kehebohan di bagian kami. Tapi Ferdy memberikan alasan bahwa dia terjatuh di kamar mandi. Alasan yang telah kami rundingkan bersama. Semua orang menerima kebohongan itu dan memberikan ucapan turut prihatin dan bahkan sedikit berlebihan dalam memperlakukannya.  Aku hanya tersenyum. Apalagi melihat tingkah Endah, Sovie dan Dina. Jelas mereka menyukai Ferdy lebih dari sekedar Dokter magang mereka.

Setiap sore, sepulang dari rumah sakit, aku selalu mengantar Ferdy dan menyempatkan waktu untuk mampir, sekedar ngobrol, menemaninya. Aku masih sedikit khawatir karena Ferdy tak pernah mau membahas lagi insiden dengan orang tuanya kemarin. Tapi sore ini, aku bingung untuk bersikap. Hari ini hari sabtu. Kami pulang lebih awal dari biasanya. Dan hari ini adalah hari dimana aku biasanya hang out dengan Regha. Sejak keluar dari lapangan parkir rumah sakit tadi aku berusaha memutuskan, hendak menemani Ferdy ataukah tetap menghabiskan malam minggu bersama Regha. Satu pihak, aku merasa tak enak dengan Ferdy karena menurutku, dia membutuhkanku. Pihak lainnya, hanya pada hari sabtu malam minggu aku bisa bersama dengan Regha. Jadwalku dan jadwal aktifitas Regha selalu memisahkan kami. Jadi hanya malam ini kami bisa bersama.

"Jadi ntar malem mau kemana bareng Regha?" tanya Ferdy yang duduk disampingku. Untuk beberapa saat lamanya aku tak tahu harus mengatakan apa. Terlalu kaget untuk bisa bereaksi.

"Euuhhmm............ aku belum tahu," jawabku ragu.

"Nonton lagi?" tanya Ferdy dengan nada ringan, tanpa beban.

"................ mungkin?" jawabku lagi, berusaha menyembunyikan keherananku. Aku melirik sebentar padanya yang menatap kedepan dengan tatapan menerawang, "Fer...... kamu nggak apa-apa?"

"Huh?" dia menoleh padaku heran, "Maksudnya?"

"Aku......... akan keluar dengan Regha?" kataku ragu.

"Lalu kenapa? Bukannya kalian memang melakukannya setiap hari sabtu?" tanya dia balik.

"Kau........... tak ada masalah dengan itu?"

Dia tak langsung menjawab, tapi malah menyandarkan tubuhnya di jok sembari menarik nafas panjang, "Aku sudah tahu kalau kau akan tetap mengejar Regha. Apapun yang terjadi denganku. Aku tak mungkin melarangmu. Sudah lama aku menerimanya Ky. Tapi................. bukan berarti aku menyukainya," katanya hampir tanpa emosi. Aku tak memiliki sanggahan untuk itu, jadi aku lebih memilih diam dan menatap lurus ke arah jalanan yang kami lalui. Membiarkan apapun yang ada di otakku, berkecamuk didalam sana dalam hening. Menciptakan gambaran-gambaran aneh yang terlalu sulit untuk kuterjemahkan.

Apa aku sudah mulai kehilangan akal sehatku? pikirku ngeri.




Hal itu masih terus menggangguku. Bahkan hingga aku bersama dengan Regha. Dan entah karena apa, malam ini Reghapun menjadi lebih pendiam dari biasanya. Dari film yang kami tonton mulai hingga selesai, hampir-hampir tak ada satu katapun yang kami ucapkan. Seolah-olah hari ini kami sepakat untuk saling membiarkan diri kami merenung.

"Mas Rizky, boleh Egha meminta sesuatu?" tanya Regha saat kami menunggu pesanan kami di sebuah kafe. Kebetulan kafe yang menyajikan beberapa makanan ringan itu juga bersuasana tenang dan cozy. Jadi suara Regha yang samar itu bisa kutangkap diantara berisiknya suara-suara dalam kepalaku.

"Apa Gha?' tanyaku sedikit heran, karena tidak biasanya dia meminta sesuatu dariku.

"Bisa ceritakan dari awal bagaimana Mas Rizky menjadi seorang........... gay?"

Aku yang meminum cappucino hampir saja tersedak saking kagetnya. Untung saja aku bisa menahan diri dan menutup mulutku rapat-rapat, sehingga minumanku tak menyembur keluar, "Kenapa tiba-tiba tertarik Gha? Bukannya kita sudah membahasnya?"

"Ingin lebih paham saja Mas," cengir Regha, sedikit salah tingkah, "Secara garis besar Mas Rizky memang sudah cerita. Tapi Egha ingin tahu sedikit lebih detilnya Mas. Kapan Mas mulai menyadari, konflik batin yang pernah Mas alami, apa yang membuat Mas akhirnya bener-bener mantap menjadi........... seperti ini. Pasti kan ada masa-masa dimana Mas struggle dengan hal-hal itu?"

Aku sedikit tercenung dengan penuturannya, "Dan kau ingin lebih memahaminya karena......."

"Karena memang ingin lebih memahaminya, Mas. Tapi kalau Mas Rizky keberatan, lebih baik gak usah dibahas Mas."

"Nggak papa," kataku menenangkannya yang mulai terlihat panik. Memang untuk sesaat tadi aku berpikir kalau Regha menanyakan hal tadi karena dia mulai memiliki rasa padaku. Tapi mungkinkah itu? Benarkah dia menanyakan hal ini karena dia berpikir untuk menjadi............. gay?!

Aku tersenyum menenangkannya, "Nggak apa-apa Gha. Kalau begitu................. kita mulai dari mana ya?" Aku menerawang, sedikit mengingat-ingat, "Kalau ditanya sejak kapan aku lebih menyukai pria, jawabannya mungkin sejak kecil. Dari dulu aku lebih suka memperhatikan keindahan bentuk tubuh, sikap ataupun kelebihan mereka. Tentu saja saat aku kecil, itu hanya sebatas rasa kagum yang biasa. Tapi, aku baru mulai sadar saat aku jatuh cinta pada teman SMA ku dulu."

Regha sedikit terbelalak, "SMA Mas?" tanyanya.

Aku tersenyum dan mengangguk, "Yup! Bisa dibilang cinta pertamaku. Itulah saat pertama kalinya aku menyadari kalau kekagumanku pada pria, bukan hanya sekedar perasaan kagum biasa. Ada hal yang lebih mendasar namun kuat. Kalau kau tanya, apakah apa yang kurasakan, aku ketakutan. Panik, marah, tak percaya dan masih banyak lagi perasaan lainnya. Bayangin aja, aku dibesarkan dalam keluarga yang normal dan tanpa gejolak yang berarti. Ayah seorang perwira dan lain sebagainya. Intinya, aku kacau. semua hal terasa campur aduk. Jadi aku mulai mencari-cari. Aku banyak membeli buku-buku dan informasi lain yang kutemukan. Dan.......... aku banyak bertanya pada orang-orang yang sudah berada dalam dunia itu.

Internet berperan banyak dalam hal ini. Aku banyak berkenalan dengan mereka di dunia maya. Tapi tentu saja, rata--rata orang yang kuhubungi adalah mereka yang berasal dari luar daerah. Waktu itu aku tak berani melakukan hal lain, selain bertanya-tanya. Ada banyak hal yang membuatku berusaha mati matian agar aku tak terjerat dalam dunia gay. Orang tua, agama, masa depan dan lain sebagainya. Plus, dunia abu-abu adalah dunia riskan yang didalamnya sering tidak jelas. Bahkan banyak yang percaya kalau dalam dunia ini, tak ada yang namanya kesetiaan ataupun cinta sejati. Hanya hal semu yang akan berlalu dengan seiring waktu," kataku. Tentu saja aku tak mengatakan kalau aku adalah salah satu dari orang 
yang percaya akan hal itu.

Regha mendengarkannya dengan seksama.

"Jadi....... aku hanya mengorek sebanyak mungkin informasi dari mereka, tanpa berani terjun langsung dalam dunia itu. Hingga kemudian aku bertemu dengan Hari dan Doni. Hari seorang gay yang berasal dari Surabaya. Dari dia aku belajar tentang apa yang terjadi saat seorang gay dikejar-kejar oleh usia dan lingkungan sosialnya. Dia seorang gay berumur 35 tahun. Kami sering chatting di internet. Dia banyak bercerita tentang petualangannya dengan semua lelaki yang pernah dia taklukan. Sampai suatu hari, tiba-tiba saja, dia mengatakan kalau dia hendak menikah."

Kembali Regha terbelalak, "Menikah Mas? Dengan lelaki?"

Aku tergelak, "Enggaklah Gha. Dengan wanita! Yang aku herankan adalah hal itu terjadi dalam kurun waktu kurang dari seminggu. Tentu saja aku luar biasa kaget dan tak percaya. Baru minggu kemarin dia bercerita soal gebetannya yang masih kelas 2 SMA, dan minggu berikutnya, tiba-tiba saja dia mengatakan akan menikah dengan seorang wanita. Mengagetkan bukan? Jadi aku mulai mengajukan berbagai macam pertanyaan padanya. Secara tersirat dia menjelaskannya. Intinya adalah, orang tuanya menginginkan dia untuk segera menikah. Karena usianya sudah lebih dari cukup. Dia juga mengatakan kalau dia menginginkan keturunan. Kalau dia tak menikah saat itu, kapan lagi. Jadi...... diapun menikah,  dengan gadis yang sudah dipilihkan oleh orang tuanya."

"Sekarang?" tanya Regha.

"Dia masih bersama istrinya. Tapi............ hanya berselang dua bulan dari hari pernikahannya, dia kembali berhubungan dengan lelaki lagi. Bahkan hingga kini, saat dia telah memiliki dua orang anak, dia masih berhubungan dengan pria lain di belakang istrinya," kataku.

"Istrinya?"

"Dia tak pernah tahu akan tingkah polah Hari, sang suami. Didepan istrinya dia adalah seorang suami dan seorang ayah. Tapi diluaran, dia seorang gay sejati."

"Masa sih sang istri tak tahu Mas?"

"Pastinya sih aku nggak tau Gha. Tapi sikap seperti itulah yang ditunjukkan sang istri," kataku sembari mengangkat bahu.

"Kalau menurut Mas?"

"Dia tahu," kataku langsung, "Aku yakin pada suatu titik, istrinya tahu. Hari tak akan mungkin bisa menyembunyikan hal itu hingga sepuluh tahun ini, tanpa terdeteksi. Apa lagi yang namanya rumor tak pernah lepas dari lingkungan kita. Belom lagi masalah-masalah Hari dengan mantan-mantannya. Tapi............ seperti kebanyakan wanita Indonesia, sang istri hanyalah wanita yang sudah pasrah dengan apa yang telah dia jalani. Jadi............. dia menjalani pernikahan itu hingga sekarang," ujarku sedikit menerawang.  

"Bagaimana Mas Rizky bisa berpendapat seperti itu?"

"Aku pernah sekali datang ke rumah Hari. Dan sampai sekarang, aku masih ingat bagaimana cara istrinya memandangku. Pandangan yang seakan-akan meminta padaku untuk segera pergi dari sana. Aku hanya bertahan setengah jam dirumahnya," kataku pelan. Kalau mengingat cara istri Hari memandangku, hal itu selalu membuatku iba dan bersimpati dengan nasib yang dia jalani. Tak adil menurutku bahwa seorang wanita sebaik dia diperlakukan seperti itu.

"Kalau si Doni, Mas?"

"Doni justru kebalikan dari Hari," kataku dan tersenyum samar. Aku meraih gelas airku sebelum melanjutkan, "Dia tipe gay yang super discreet dan terlalu takut untuk mengambil resiko. Dia anak Cimahi, sekarang berusia 32 tahun. Dulu dia cuma seorang cowok yang hanya berani bermain-main saja dalam dunia gay. Dia tipe yang terlalu paranoid akan berbagai hal. Takut akan semua orang tahu bahwa dia gay dan menjauhinya. Takut akan pendapat orang lain. Takut menjadi bahan gunjingan. Belum lagi akan keluarganya. Dia tak berani untuk benar-benar memiliki sebuah hubungan dengan pria lain. Meski dia boleh dibilang ngiler banget. Belom lagi perang batin antara dia dan keyakinan yang dia anut."

"Lalu Mas?"

"Dia menikah pada usia 29 tahun.  Satu tahun setelah pernikahannya, dia jatuh cinta setengah mati pada seorang rekan kerja barunya."

"Lalu?"

"Dua tahun kemudian, dia meninggalkan istri dan anaknya yang masih berusia 1 tahun, demi lelaki itu," jawabku pelan. Regha terhenyak kaget dengan ceritaku.

"Yang bener Mas?"

Aku kembali mengangkat bahuku, "Itulah yang terjadi. Aku ngobrol banyak dengan mereka berdua. Dari mereka berdua jugalah aku mendapat banyak sekali pelajaran. Contohnya, dari Hari aku tahu pada akhirnya, aku harus menikah. Aku menyadari itu. Demi orang tuaku, juga demi menuruskan garis keturunanku. Tapi aku tak mau kalau aku menikah hanya karena tekanan sosial ataupun dikejar usia seperti dia. Aku yang akan menentukan kapan dan dengan siapa aku menikah. Dan aku tahu, kalau nanti pada saat aku sudah menikah, aku tak boleh dan tak akan mau lagi berhubungan dengan dunia abu-abu lagi. Aku tak mau kalau sampai aku meninggalkan istri dan anakku hanya karena lelaki lain. Bisa kau bayangkan bagaimana perasaan anak dan istriku kalau hal itu terjadi. Saat aku menjadi suami atau ayah, aku akan menjadi seorang suami dan ayah sepenuhnya. Karena itu, sebelum aku melakukannya, menikah maksudku, aku ingin memahami semua hal tentang dunia abu-abu ini, tentu saja dengan kontrol dan berhati-hati. Aku tak ingin menjadi Doni...."

"Maksudnya Mas?"

"Doni terlalu takut untk menimba pengalaman di masa mudanya. Dia tak pernah tahu bagaimana rasanya berenang dalam dunia abu-abu. Yang dia lakukan hanya melihat dan memperhatikan, tanpa pernah betul-betul merasakan. Dia baru tahu bagaimana hal itu setelah dia memiliki seorang istri dan anak. Dan dia mengambil tindakan drastis begitu pertama kali dia mengecap rasanya. Aku tak ingin seperti dia Gha. Kalau memang aku harus 'ternoda' istilahnya, aku ingin itu ku lakukan saat aku masih muda dan sendiri, seperti sekarang. Aku akan mengambil pengalaman dan merasakan apapun yang ingin ku rasakan. Tentu saja dengan berhati-hati dan tidak sembrono. Kau tahu banyak sekali hal berbahaya di luar sana. Penyakit menular hanyalah salah satunya.  Jadi itulah yang ku lakukan sekarang."

"Mas Rizky mencari pengalaman itu?"

"Kau bisa menyebutnya memuaskan rasa ingin tahu juga," kataku sembari tersenyum, "Aku tak ingin menjadi seperti Doni yang hanya mengintip di luar pintu. Setidaknya dengan memiliki pengalaman, hal itu akan menjadi bekal nanti begitu aku telah berumah tangga."

"Bekal?!!"

"Yap!! Dengan mengalami dan merasakan sendiri, aku tahu bagaimana diriku dan apa yang aku inginkan. Dengan begini, aku tak lagi bertanya-tanya lagi tentang jati diriku. Pertanyaan-pertanyaan klise seperti, apakah aku gay? Apakah aku normal? Kenapa aku bisa tertarik dengan cowok? Apakah bisa aku menjadi normal? Atau, bagaimana rasanya berhubungan sex dengan cowok? Hal-hal seperti itu tak lagi menjaddi pertanyaan yang membebaniku. Dengan menjalaninya, aku jadi tahu, apa yang ditawarkan oleh dunia abu-abu ini. Dengan harapan, saat aku menikah, aku tak akan tergiur lagi oleh godaan-godaan yang datang. Karena aku sudah tahu, apa yang ada disana, dan bagaimana rasanya."

"Bagaimana dengan agama Mas?" tanya Regha lagi.

Aku tersenyum, tahu bahwa segi agama pasti akan terseret dalam pembicaraan ini, "Aku pernah berada dalam masa dimana aku mempertanyakan apakah aku adalah makhluk terkutuk atau tidak. Tapi yang jelas, perkara dosa atau tidak, aku yang akan mempertanggung jawabkan tindakanku nantinya, pada Tuhan. Bukan pada manusia. Tak ada satupun manusia didunia ini yang berhak memberiku predikat terkutuk atau tidak beriman. Aku percaya pada Tuhan. Pada Dialah nanti aku menghadap dan mempertanggung jawabkan semuanya. Tidak pada makhluk lain yang bisanya hanya mencaci dan menebarkan kebencian. Karena orang-orang seperti itu, aku yakin sama dengan anak buah setan. Karena Tuhan tidak pernah berbicara dengan bahasa kebencian atau kekerasan. Bahasa Tuhan adalah cinta kasih kepada semua makhluk. Dan aku tetap menjalankan kewajibanku pada Tuhanku. Karena aku membutuhkan-Nya. Mengenai apa yang ku lakukan, apakah itu dosa atau tidak, itu menjadi urursanku dengan Tuhan. Yang jelas aku lebih memilih menjadi seorang mantan preman daripada mantan ustadz."


Regha diam sejenak, "Maksudnya Mas?" tanya dia akhirnya.

"Mantan preman, berarti orang yang keluar dari dunia gelap, ke dunia yang lebih terang dan lebih baik. Aku ingin seperti itu. Sekarang, katakanlah aku menjadi seorang penjahat yang bergelimang dosa dan salah. Tapi aku tak ingin melakukan apa yang aku lakukan sekarang ini-berhubungan dengan lelaki maksudku- lagi nanti setelah aku menikah nantinya. Jadi sekarang aku mencari pengalaman dan mencoba memahami isi dari semua yang ditawarkan oleh dunia abu-abu ini, agar nantinya, tak ada lagi yang bisa membuatku tergiur untuk kembali merasakannya. Karena aku sudah tahu dan merasakan semuanya. Sementara mantan ustadaz hanyalah perumpamaan dari orang yang dulunya baik, tapi pada akhirnya malah menjadi orang yang buruk. Seperti aku yang tak mau bila sekarang, aku bersikap menjadi seperti orang yang bersih, alim dan lurus hanya karena aku terlalu takut dengan semuanya. Aku hanya bisa menahan diri sekuat mungkin. Pada akhirnya, untuk membuktikan kenormalanku, aku akan menikah dan memiliki keluarga. Lalu parahnya,  di tengah-tengah perjalanan hidupku, aku tiba-tiba tergoda oleh dunia abu-abu dan berkesempatan untuk mencicipinya. Bisa saja aku jadi kalap dan tak bisa melepaskan diri lagi dari dunia itu begitu aku tahu bagaimana rasanya. Akan lebih parah lagi kalau aku sampai menelantarkan anak dan istriku. Seperti yang Doni lakukan," jelasku.

"Lebih baik sekarang daripada nanti, ya Mas?"

Aku tersenyum dan mengangguk, "Setidaknya kalau sekarang, aku sendiri yang akan menanggung akibatnya. Tak ada anak atau istri yang ku telantarkan. Akan kupuaskan rasa ingin tahuku, hingga sampai pada akhirnya nanti, aku mencapai sebuah titik jenuh. Atau paling tidak, pada saat aku sudah harus menikah nanti. Setidaknya aku telah memiliki bekal yang kuperlukan," jelasku, tanpa mampu bisa menyembunyikan sedikit getir dalam suaraku.

"Kalau dilihat dari dunia medis, sebenarnya apa sih penyebab seseorang menjadi gay Mas?"

"Penyebabnya masih belum pasti Gha. Ada yang mengatakan dari faktor genetik, pengaruh sosial dan juga trauma. Banyak penelitian yang kebenarannya masih diperdebatkan. Dari sisi genetik, ada yang berpendapat bahwa homoseksualitas itu diturunkan. Meski aku meragukan kebenarannya. Karena Ayahku, jelas seorang lelaki straight. Pengaruh sosial juga disebutkan sebagai pemicu. Meski kau bisa lihat hal itu tidak berlaaku bagiku. Aku tidak hidup dilingkungan orang homoseksual, tapi tetap saja aku jadi seorang gay. Trauma? Aku bisa mengatakan dengan pasti kalau kehidupanku tidak memiliki trauma yang hebat sehingga aku bisa menjadi seorang gay. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa dominannya peran seorang Ibu dibanding Ayah, bisa membentuk seorang anak menjadi homoseksual. Tapi seingatku, kedua orang tuaku memiliki peran sendiri dan tak ada yang dominan salah satunya.
Homoseksualitas sendiri sempat dianggap sebagai kelainan seksual beberapa puluh tahun yang lalu. Tapi hasil dari konferensi psikolog dunia di Amerika beberapa tahun kemarin menyimpulkan, bahwa homoseksualitas bukanlah kelainan seks. Tapi lebih pada pilihan hidup. Dengan kata lain, semua orang bisa saja menjadi seorang homoseksual, tergantung keinginan dia saja. Dan seorang homoseksual tidak selalu berakhir dengan menikahi pasangan sesama jenis. Jadi bisa saja dia menikah dengan lawan jenis dan berbahagia dengan kehidupannya, meski dulunya dia hanya bisa berhubungan dengan sesama. Tapi sekali lagi, semua itu hanya teori yang tidak pasti. Kalau aku bisa mengatakan, aku hanya salah satu ciptaan Tuhan yang memiliki karakter sendiri," jelasku.

"Lalu kalau boleh tahu...," Regha sedikit mengubah posisi duduknya dengan sedikit tidak nyaman, "....perasaan Mas Rizky pada Egha................... apa juga karena memuaskan rasa ingin tahu saja?" tanya Regha setelah diam beberapa saat lamanya.

Aku betul-betul terperanjat saat dia menanyakan itu. Hampir beberapa menit lamanya aku cuma bisa diam memandang wajahnya. Tak ada nada menuduh atau menghakimi dari suaranya, atau tatapannya. Regha menanyakan itu memang hanya karena dia memang ingin tahu jawabannya. Kepolosan dan keingin tahuannya semata-mata memang sudah karena sikap alaminya. Salah satu dari beberapa hal yang kusukai darinya.

Aku menarik nafas sejenak, "Egha tahu sejak kapan aku menyukai Egha?"

Regha menggelengkan kepala untuk menjawabku.

Aku tersenyum, "Aku sudah menyukai Egha hampir dua tahun ini. Aku tak pernah bisa melakukan apapun karena banyak sekali pertimbangan.  Tapi terutama karena Egha bekerja di Rumah Makan Ibu. Aku takut kalau sampai Ibu tahu, dan terkadang aku merasa kalau hal itu tidak etis. Jadi aku hanya diam dan menjaga jarak. Tapi Egha tak pernah lepas dari benakku. Sering kali, saat aku kembali kesini, Egha adalah hal pertama yang kuingat saat aku terjaga dari tidur. Beberapa kali aku mampir ke warung, hanya agar aku bisa melihat Egha. Memperhatikan dari jauh tanpa bisa berbuat apapun. Menjaga sikap dan kata-kataku dari Egha, agar Egha tak tahu perasaanku sebenarnya. Karena aku tak ingin Egha menjauhiku. Bagiku, bisa melihat Egha di warung itu, sedikit berinteraksi denganmu, itu sudah terasa cukup. Dulunya. Baru belakangan ini aku tak bisa menahan diri lagi, karena itu aku mengatakan kebenarannya pada Egha. Bagaimana perasaanku dan semuanya. Apa menurut Egha, itu hanya sekedar rasa ingin tahu saja? Bukan cinta?"

Perlahan Regha hanya menundukkan wajahnya dan menggeleng samar. Setelah itu Regha lebih banyak diam dan merenung seolah-olah dia mencerna penjelasanku tadi. Tapi dia tak mengatakan apapun. Membiarkanku terus bertanya-tanya dalam hati. Hati dan perasaanku terasa berat saat kami berpisah. Aku tak kembali ke rumah, tapi ke kontrakan Ferdy. Ada sedikit rasa menyesal dalam hatiku kini, karena aku seolah-olah menumpahkan sedikit frustasiku tadi dengan bercinta dengan Ferdy. Saat aku memandangnya yang sedang tertidur, hatiku terasa berat. Terbebani oleh perasaan yang tak bisa kujabarkan dengan kalimat. Seolah-olah segala sesuatunya berputar dan campur aduk menjadi sebuah gambar abstrak yang kacau.

Aku mendesah pelan.

"Apa yang sebenarnya kulakukan?" bisikku lirih pada keheningan malam.






REGHA



Aku duduk terpekur didepan laptopku yang menyala, memandangi telapak tangan kananku. Tangan yang jari jemarinya 
digenggam oleh Zaki, dan nyaris masih bisa kurasakan kehangatannya. Masih jelas terasa di sepanjang indra perasaku disana, sensasi remasan jemari Zaki dan usapan lembutnya di punggung telapakku. Usapan pelan yang seakan-akan ingin mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Bahwa dia ada, untukku.

Ya Allaaaaaahh...............

Perasaan apa yang kurasakan ini?! Kenapa aku tak bisa melupakan genggamannya? Mengapa aku masih bisa merasakan kehangatan tubuhnya, seolah-olah dia berada begitu dekat denganku? Kenapa dadaku seakan-akan mengeluarkan gemuruh aneh tiap kali aku mengingatnya?  Kenapa jantungku seakan-akan habis kugunakan berlari marathon seperti ini? Detakannya hampir-hampir menulikan gendang telingaku. Apa namanya ini?!!
Kukepalkan tanganku kuat-kuat, mencoba mengusir perasaanku yang mulai berantakan. Semua fragmen kejadian waktu itu seakan-akan kembali tersusun menjadi potongan-potongan adegan film yang membentuk sebuah cerita dengan sendirinya. Pikiranku memberikan ilusi meyakinkan kalau sekarang aku masih berada di ruang redaksi buletin kampus. Bahwa aku sedang berdiri dengan kepalaku bersandar dipunggung Zaki. Bahwa aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang merambatiku. Bahwa aku bisa menghirup harum tubuhnya yang menentramkan. Bahwa tangan kanan Zaki meraba kebelakang, menemukan tanganku, dan kemudian meremasnya.

Aku sontan memejamkan mata!

Apa yang terjadi?! keluhku saat aku membuka mata dan menemukan bahwa aku sedang duduk sendiri dikamar kostku yang sempit dengan laptop yang menyala. Hampir seharian ini aku tak bisa berkonsentrasi dengan apapun. Hanya kejadian sore itu yang terus membayang. Bahkan aku hampir-hampir tak bisa mengingat film apa yang tadi ku tonton dengan Mas Rizky. Yang aku ingat hanyalah pembicaraan kami di cafe itu. Aku mengingatnya dengan jelas karena aku membutuhkan beberapa jawaban dari semua hal ini. Aku membutuhkan sesuatu yang bisa membuatku merasa tenang. Tapi.............. ketenangan apa yang bisa kudapat? Sebenarnya apa tujuan dari semua pertanyaanku itu? Apa yang sebenarnya kucari?

Sial!!!!

Kenapa semuanya jadi semakin membingungkan begini?!!!!

"Gha?!!"

Aku menoleh dan menemukan Ari yang berdiri didepan pintu kamarku dengan pandangan sedikit khawatir. Aku mengerjapkan mata, mencoba menepis sisa-sisa lamunanku tadi, "Eh... ya Ar?!! Ada apa?" tanyaku sedikit gugup.

"Lo baik-baik aja kan?!" tanyanya dan berjalan masuk mendekatiku.

Aku hanya mencoba menutupi kegugupanku dengan cengiran, "Hehehe.....! Iya. Baik-baik aja kok. Cuma sedikit ngelamun. Baru balik? Kak Alvian?"

"Baru aja pulang abis nganter gue. Tadi gue panggil beberapa kali, lo cuman duduk diam bengong doang. Lo ga kesurupan kan?" tanya Ari lagi.

"Enak aja!! Enggaklah. Cuman sedikit mikir aja," sahutku sedikit kesal.

Ari terperangah mendengarku, "Mikir Gha? Sejak kapan lo bisa mikir?!!"

"Jurig siah!!!" umpatku dan melemparnya dengan buku yang ada didekatku, membuat Ari tertawa geli dengan reaksiku dan berkelit. (Setan lo!)

"Ya udah kalo gak papa. Kali aja Gha," ujarnya kalem dan bangkit.

"Eh Ar! Elo......." aku tak bisa meneruskan kalimatku, membuat Ari yang berhenti melangkah kembali memandangku heran. Gila! Apa yang ingin ku lakukan coba? Kalo aku ngomong macem-macem, ntar Ari bisa mikir kalo......

"Gha?!" tegur Ari lagi yang kembali duduk dihadapanku, "Lo mo ngomongin sesuatu? Soal apa?"

Aku cepat-cepat menggeleng, "Eng-nggak deh Ar. Batal," kataku kembali nyengir untuk menyamarkan kegugupanku.

Ari tersenyum mengerti, "Lo mo nanya soal gue ma Alvian ya? Sok. Tanya aja. Tapi off the record ya? Gue gak mau kalo pembicaraan kita muncul di buletin kampus," katanya sedikit bercanda.

"Gila ah! Ga mungkinlah," sahutku.

"Emang lo mo nanya apa lagi?" tanyanya sembari meluruskan kaki dan menyandarkan punggungnya ke dinding.

"Ar..............." aku ragu-ragu sejenak, "....... lo bener udah mantep ngejalanin semua ini ya? Ga ada keraguan atau takut?"
"Masihlah Gha!" jawab Ari dengan nada ringan,"Ga mungkin gue gak takut. Seumur hidup, gak ada niat dalam diri gue buat jatuh cinta dengan cowok lain. Yang gue tahu, suatu saat gue bakal nikah, punya anak dan tua bareng bini gue. Tapi Alvian hadir dalam diri gue seperti ini. Gue tentu saja ngeper. Ragu masih ada. Tapi yang jelas, begitu gue bareng dengan dia, bersama dengan dia, semua hal itu sirna. Hilang. Dan gue........... bahagia."

"Lo bahagia?" tanyaku lagi.

"Dalam artian umum, ya. Gue bahagia. Tapi secara absolut, gue harus bilang enggak," jelas Ari lagi, kali ini terdengar secercah tipis kesedihan dari ekspresi wajahnya, "Gimanapun juga, tak ada yang namanya kesempurnaan di dunia ini kan? Begitu juga dengan kebahagiaan gue. Gue gak bisa menggandeng tangan pacar gue ditempat umum ataupun keramaian lainnya. Gue gak bisa sesumbar, betapa spesial dan hebatnya pacar gue. Gue gak bisa.................. mengungkapkan sayang gue padanya di hadapan publik. Dalam satu dan lain hal........ kebahagiaan kami terkekang oleh norma dan adat sosial yang berlaku disini. Ironis gak sih? Sebelumnya, gue cuman seorang cowok yang menggunakan kata homo sebagai sebuah lelucon dan olok-olok. Bagi gue dulu, hanya cowok bego atau sinting aja yang mau berhubungan ma cowok lain. Buat apa coba? Masing -masing mereka udah punya onderdil yang sama. Mungkin cuma ukuran aja yang beda. Apa asyiknya?! Konyol! Tapi sekarang gue tahu...............

Gue sekarang bisa memahami dilema apa yang mereka miliki. Mereka terkekang dan nggak bisa berbahagia dalam artian yang sebenarnya dengan orang terkasih. Karena masyarakat mengecam mereka. Menganggap mereka sebagai pendosa kotor dan menjijikkan. Menjadikan mereka lelucon dan olok-olok. Padahal apa yang mereka rasakan itu begitu biasa aja kok, dan tak ada hal yang aneh didalamnya. Mereka hanya saling mencintai saja. Dan itu indah. Perasaan saat mereka rasakan bersama dengan orang terkasih, sama aja dengan yang dirasakan orang-orang straight. Hanya mencintai. Apa yang salah dengan itu?"

"Bagaimana dengan Tuhan Ar? Agama kita mengajarkan bahwa hal itu salah," ujarku sedikit defensif.

"Lalu salah siapa gue menjadi seperti ini?" tanya Ari ringan, "Gue gak pernah meminta untuk jatuh cinta sama Alvian kok. Haruskah gue nyalahin Tuhan? Enggak kan? Gue juga manusia yang percaya ma Tuhan kok Gha. Gue masih ngelakuin kewajiban gue sebagai seorang makhluk beragama. Kalopun gue benar berdosa, gue yang akan mempertanggung jawabkan tindakan gue nantinya. Toh gue gak ngerugiin orang lain. Apalagi merebut hak orang. Enggak kan?"

"Gue sebenernya sudah beberapa kali membahas hal ini dengan beberapa orang. Mas Rizky dan juga Regi. Mereka memiliki jawaban yang hampir mirip ma elo. Mas Rizky juga mengatakan, kalo dia lebih memilih kalo dia menjadi seorang mantan preman daripada mantan ustadz," kataku pelan.

Ari mengangkat sebelah alis mendengarnya.

"Lo tau kan kalo di masyarakat kita, homoseksual dianggap sebagai sebuah cacat dan aib. Nah banyak sebenarnya para gay yang mati-matian menyembunyikan diri karena berbagai tekanan. Dari masyarakat, agama, keluarga dan lainnya. Banyak dari mereka yang hanya bisa mati-matian memendam hasrat gay mereka, dan bertingkah straight. Tapi yang mengerikan, mereka tak ubahnya seperti sebuah bom waktu yang menunggu meledak. Tragisnya, ada beberapa yang meledak ketika mereka telah berkeluarga. Apa yang mereka pendam itu justru tersalurkan ketika mereka telah mereka telah menjadi seorang suami dan ayah. Jadi Mas Rizky berpendapat, kalau memang dia harus merasakan menjadi gay, dia akan melakukannya sekarang. Selagi dia masih sendiri. Dia tak ingin menjadi rusak nantinya. Jadi diibaratkan sebagai seorang yang dulunya jahat, dan akhirnya menjadi baik. Daripada orang yang dulunya baik, alim dan lurus, tapi akhirnya malah menjadi buruk. Mantan preman dan mantan ustadz.  Paham kan?" jelasku.

Ari mengangguk-anggukkan kepalanya, "Dengan kata lain, berani dalam menghadapai ketakutan dan keraguanmu secara langsung, daripada menjadikannya bayang-bayang yang terus menghantuimu sepanjang hidup. Pendapat yang bagus dan gue gak memiliki bantahan untuk itu," ujar Ari tersenyum, "Jadi benar Mas Rizky gay?"

Aku langsung mengumpat keras dan memukul keras jidatku. Ari hanya tertawa kecil dan menggeleng dengan tingkahku. Tak ada kekagetan ataupun keheranan dari ekspresi wajahnya. Dia mengatakan hal tadi seakan-akan itu sudah lama diketahuinya.

"Gue udah curiga dari beberapa waktu dulu Gha. Tenanglah," katanya.

"Gimana lo bisa tau?"

"Pernah denger soal gaydar? Kemampuan seorang gay dalam mendeteksi gay lain?"

"Emang itu ada beneran?"

Ari mengangkat bahu, "Entahlah. Tapi kadang aku bisa menebak seseorang itu gay atau nggak hanya dengan melihatnya. Mungkin hanya intuisi saja."

"Jangan sampe ada yang tau, ok?"

"Tentu saja," jawab Ari dan mengangguk, "Paham kan? Betapa sulitnya menjadi gay? Kami harus terus bersembunyi?"

Aku hanya bisa menghela nafas mendengarnya, "Kenapa Tuhan tidak membuat semua orang straight aja ya Ar? Tuhan kan Maha Kuasa. Hanya dengan mengatakankan 'jadi', maka jadilah," gumamku.

"Menurutmu apa jadinya kalau semua orang didunia ini kaya?"

"Enak dong! Jadi gak ada yang namanya pengemis atau kelaparan didunia ini," ujarku nyengir.

"Lalu siapa yang harus bekerja? Siapa yang akan menanam padi? Menangkap ikan? Atau beternak sapi? Ngapain mereka cape-cape kerja kalo mereka udah sama kayanya?"

Aku terdiam dengan penjelasannya. Bener juga! Ngapain coba?

"Justru perbedaan yang ada didunia ini yang menyebabkan dinamika kehidupan berjalan Gha. Karen ada yang miskin, maka ada yang kaya. Justru karena ada orang bodoh maka guru bisa ada. Justru karena ada orang sakit makanya ada yang namanya dokter. Lo liat? Perbedaan yang menyebabkan roda kehidupan berputar. Masing-masing dari kita berbeda dan memiliki peran masing-masing dalam dunia ini. Masing-masing dari kita memberikan warna dan bentuk tersendiri. Karena itu dunia bisa menjadi begitu beragam dan indah. Begitu pula kaum homo, straight dan yang lainnya. Masing-masing dari golongan itu juga memberikan warna dan nuansa kehidupan tersendiri dibumi ini. Tuhan yang menciptakan semua itu. Agar kita bisa berinteraksi dan belajar dari masing-masing golongan. Dan Tuhan kita menginginkan kita hidup dalam harmoni. Hidup dalam kedamaian dan saling menghargai. Yang salah adalah saat kita menyakiti satu golongan, merugikan mereka, atau mengambil hak mereka. Saat itulah yang namanya hukum dan keadilan harus ditegakkan. Jadi selama tak ada yang dirugikan atau tersakiti............ kenapa harus diributkan? Saling mencintai itu indah kan?"

Tak ada yang bisa kukatakan. Hanya bisa menatap Ari yang melemparkan pertanyaan itu tapi dengan tatapan meminta penegasan padaku, "Mungkin mereka hanya tak bisa memahami Ar. Orang cenderung takut pada hal yang tak mereka mengerti. Mereka terkadang bersikap radikal hanya untuk mengatasi ketakutan mereka. Bukan berarti mereka membenci........."

"Benarkah? Kadang gue mulai ngerasa kalau membenci dan menyakiti sudah menjadi sifat natural manusia," katanya sedikit kalut.

Ari terlihat berbeda dengan dirinya yang dulu. Ari yang kukenal dulu adalah cowok tegas yang selalu yakin akan pendapatnya, meski itu berbeda dengan kebanyakan orang. Tapi mungkin bahkan seorang Ari juga memiliki batasan. Apa yang dia alami sekarang ternyata cukup mengguncangnya. 

"Ada saat dimana kadang gua ngerasa kalo ini adalah karma dan hukuman bagi gue, Gha. Dulu sikap gue gak jauh beda dengan mereka. Bener kata lo. Gue dulu benci banget ma orang gay karena gue gak ngerti gimana dua orang cowok bisa saling mencintai. Tapi kini, saat gue berada langsung didalamnya, gue bisa tau dan paham sepenuhnya. Karma kan?"

Aku hanya menggeleng, "Seperti yang lo bilang tadi, lo cuman beda kok. Lo memberi warna lain dalam dunia ini. Menjadikan dunia ini lebih beragam dan berwarna," kataku.

Ari memandangku sembari tersenyum, "Thanks Gha. Gue.........istirahat dulu ya?" pamitnya dan bangkit. Aku kembali menjawabnya dengan anggukan. Hampir setengah jam sesudah kepergiannya aku masih duduk diam ditempatku. Memikirkan kembali apa yang telah kami bicarakan tadi.

"Berani dalam menghadapai ketakutan dan keraguanmu secara langsung, daripada menjadikannya bayang-bayang yang terus menghantuimu sepanjang hidup," gumamku lirih, mengulang kalimat Ari tadi yang entah mengapa terasa begitu penting.

Minggu pagi itu aku terbangun masih dengan pikiran kacau. Seakan-akan benakku berkabut dan sulit untuk melihat suatu hal. Aku masih bingung dengan semua percakapan yang terjadi semalam. Baik percakapanku dengan Mas Rizky ataupun Ari. Aku tak tahu untuk apa aku mendiskusikan hal yang kami bahas kemarin. Yang membingungkan, jauh di sudut pikiranku, aku seakan-akan paham arah dari semuanya. Aku tahu mengapa aku kembali membahas tema yang kubicarakan dengan mereka. Tapi entah kenapa, pikiranku seolah-olah memblokirnya. Aku tahu ada inti yang seharusnya bisa kupahami. Tapi sesuatu menghalangiku untuk melakukannya.

Kucoba untuk menepis semua pikiran kacau ku secepatnya. Hari ini aku harus ke rumah Zaki. Tadi selesai mandi dia mengirimkan pesan, memintaku untuk datang ke rumahnya, karena dia tak bisa menjemputku untuk berangkat bareng ke Panti. Karena hari masih pagi, aku bisa sampai ke rumahnya dalam waktu kurang dari setengah jam. Pak Imam, Satpam yang berjaga membukakan pintu pagar.

"Pagi Pak Imam," sapaku.

"Pagi Mas Regha. Mas Zaki sepertinya sudah bangun. Kalo gak salah sedang sarapan sama temennya," kata beliau.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum meski sedikit heran. Temen? Minggu pagI begini? Siapa?  batinku sembari terus saja melangkah masuk. Zaki kutemukan diruang makan. Dia duduk berhadapan dengan seorang cewek yang tak kukenal, meski aku harus mengakui kalau dia bertubuh molek. Mereka makan dengan hening.

"Kau sudah datang? Breakfast?" tawar Zaki saat melihatku mendekat.

Cewek itu mengangkat wajahnya dan melihatku. Aku mengangguk sekilas padanya tanpa mengatakan apapun, dan berpaling pada Zaki, "Makasih. Silahkan saja. Aku tunggu diruang kerja," jawabku singkat. Dengan cepat aku berbalik pergi. Aku tak ingin berada terus di satu ruangan dengan mereka yang masih sama-sama mengenakan piyama mandi. Dan wajah mereka..............

Meski jelas mereka berdua telah mandi, tapi aku bisa menangkap sorot kelelahan dari wajah mereka. Ada sedikit lingkaran kehitaman dibawah mata Zaki dan Anna. Yang berarti bahwa mereka mungkin hampir tidak tidur semalaman. Dan pikiranku segera mengeluarkan kemampuan berimajinasinya yang terhebat. Bayangan bagaimana mereka berdua.....

Aku menyelinap masuk ke dalam ruang kerja Zaki dan begitu pintu kututup, aku menyandarkan punggungku ke daun pintu dengan nafas yang agak memburu. Dadaku berdenyut sakit dan hampir-hampir membuatku tak mampu untuk bernafas. Tubuhku tiba-tiba saja terasa menggigil.

"Hentikan!!" bisikku dengan suara tercekat. Tapi perasaan itu tidak hilang, malah semakin membesar dan kemudian diikuti oleh perasaan panik aneh yang membuat ruangan di sekelilingku tiba-tiba saja terasa mengkerut, semakin mengecil dan kemudian menekanku. Aku hampir-hampir tak bisa bernafas. Dan dengan sisa tenaga yang kupunya, aku mengangkat tanganku dan menampar pipi kananku sekuat tenaga.

Panas dan nyeri yang kemudian menjalar ke seluruh wajahku membuatku bisa bernafas sedikit lega.

Ya Tuhan, apa itu tadi?!!






ZAKI


Aku memijit pelipisku yang kembali berdenyut sakit. Kepalaku seperti sedang tumbuh cabang. Aku hampir-hampir tak bisa mengingat apa yang aku lakukan bersama Anna dikamarku. Tapi sedari tadi aku mencoba, aku masih belum bisa.
Semalam memang berjalan di luar kendaliku. Aku tak pernah merasa gugup atau bingung dalam menghadapi lawan kencanku. I always in charge.. Tapi semalam adalah sebuah pengecualian. Untuk pertama kalinya aku tak bisa berkonsentrasi dengan sekelilingku. Bahkan dengan Anna yang malam itu tampak mempesona dengan gaun berbelahan dada rendah, memamerkan keseksiannya didepanku, tak bisa membuatku memusatkan perhatianku padanya. Pikiranku justru melayang pada Regha. Kehadiran Anna disana justru terasa salah, karena tiba-tiba saja aku justru menginginkan Regha didepanku. Ngobrol denganku, bercanda dan membahas soal pekerjaan kami yang biasa kami kerjakan. How crazy was that?!

Beberapa kali Anna harus menegurku yang sepertinya hilang dalam lamunan.

"Kamu tampak sedikit tegang malam ini?" ujarnya ringan sembari menumpukan kedua sikunya ke meja. Kedua lengannya menekan payudaranya, membuat dua tonjolan menakjubkan itu terlihat semakin membusung dan menggoda. Pada keadaan biasa aku pasti sudah tak tahan untuk mengulurkan kedua tanganku dan meremasnya. Tapi entah kenapa malam ini aku tak tertarik bahkan untuk melihatnya.

Aku mencoba berdehem, mengeluarkan suara, "Maaf. Aku...eehh, sedikit ada masalah dengan rekan kerja. Aku... sulit untuk berkonsentrasi. It's about work," jawabku sedikit gugup.

"Work?! Kamu bekerja?" tanya Anna tertarik.

"Well, semacam itulah. Ibuku menyerahkan satu usaha disini untuk ku tangani. Sebenarnya sudah ada yang menjalankannya, aku hanya mengeceknya saja. It's more like supervise than run it," jawabku.

"Hmmmm........... I didn't know that. Mahasiswa dan seorang pengusaha. You just have my interest Mister," kata Anna ringan sembari mengerling padaku.

Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis lalu mengangkat gelas anggurku untuk menyesapnya, sekaligus 
menghindari tangannya yang tadi sepertinya mencoba meraihku.

"Kau terlalu tegang. Aku tahu tempat yang bisa membuatmu rileks dan untuk sejenak lupa akan masalahmu. Tertarik?" tawar Anna.

Aku tak langsung menjawab pertanyaannya, tapi hanya menatap matanya yang berbinar membujuk itu. What the heck?!! Anna cewek menarik dan seksi. Meski kalah pamor dibanding Emma, but still. She's hot. With that body, breasts and ass. Tapi kenapa malam ini aku justru lebih berharap berada disini bersama dengan Regha. Anak dodol itu mulai mengacaukan benakku lagi. Sial! Aku tak akan membiarkannya merusak malamku. I might get lucky tonight! And I'm gonna have some. It's been awhile since the last time I got laid. Aku segera mengambil keputusan.

"Screw it! Let's go!" kataku dan bangkit yang disambut oleh Anna dengan pekikan girang.

Anna mengajakku ke sebuah club yang sepertinya cukup exclusive. Dari luar memang terlihat seperti sebuah club biasa, tapi di dalamnya ada sebuah pintu masuk lagi yang dijaga oleh sekitar 5 orang bertubuh seperti banteng. Sepertinya mereka sudah mengenal Anna dengan baik, karena dia disambut dengan sapaan ramah dan langsung diijinkan masuk. Aku hanya mengekor, mengikutinya menyusuri sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua meter dan diterangi lampu neon berwarna kuning pucat. Kami berjalan beberapa puluh meter untuk kemudian sampai lagi disebuah pintu yang kembali dijaga oleh 4 orang bodyguard yang bertubuh lebih kekar daripada yang didepan tadi.

Lagi-lagi mereka sudah mengenal Anna dengan baik dan segera mempersilahkannya masuk. Aku hanya menurut dan kembali mengikutinya. Sesampainya di dalam, mau tak mau aku cukup terkejut. Kami disambut dengan dentuman musik remix dari Jennifer Lopez dan suasana club yang hingar bingar oleh pengunjungnya. Sepertinya mereka bukan dari kalangan biasa. Baju dan aksesoris yang mereka kenakan terlalu mewah untuk berasal dari kalangan menengah. Yang membuatku kaget adalah adanya beberapa penari striptease yang tersebar di beberapa bagian pentas club. Laki-laki dan perempuan. Mereka meliukkan tubuh mereka yang tak tertutup selembar benangpun dengan gaya menggoda dan tanpa malu-malu.

Aku sudah pernah ke club striptease sebelumnya bersama Justin dan yang lain di Australia untuk merayakan ulang tahun David yang ke-18. Dan bahkan disana, aku hanya masuk club yang menyajikan penari wanita saja. Jadi aku cukup kaget menemukan club yang menyajikan penari striptease dengan 2 jenis gender berbeda dalam satu tempat disini.

"Come on! Follow me!" kata Anna dan menarikku menuju bar.

"Anna!" sapa bartender yang berambut mohawk ramah. Sepertinya Anna sudah benar-benar terkenal di lingkungan ini. Hampir semua pegawai club ini mengenalnya. Belum lagi beberapa sapaan yang tadi diterimanya dari pengunjung club lain.

"Halo Roy. Gin and Tonic please. Lo apa Zake?" tanya Anna padaku.

"Just the same," sahutku dan duduk di kursi yang kosong, berusaha terlihat sesantai mungkin. Anna segera merapatkan tubuhnya. Aku menyambutnya dengan melingkarkan tanganku di pinggangnya.

"Dua Roy. Lo tau si Lexy ga?" tanya Anna sembari mengedarkan pandangannya.

"Tadi ada di belakang. Coba cari aja," jawab Roy sembari meletakkan dua gelas pesanan kami.

"Kamu tunggu disini, ok? I'll be right back," pamit Anna dan berlalu, bahkan sebelum aku sempat menjawabnya. Aku hanya mengangkat bahu, melempar senyuman tipis pada Roy kemudian menyesap minumanku. Mengedarkan pandanganku ke semua penjuru. Fakta bahwa ada club seperti ini di Bandung masih membuatku heran. Mataku lalu tertumbuk pada seorang penari cowok yang berada di sebuah panggung kecil, tak jauh dari tempatku berdiri. Dia berusia sekitar akhir belasan tahun. Hampir seusia denganku. Tubuhnya yang telanjang tampak berkilap oleh minyak dan mungkin keringat. Harus aku akui kalau dia memiliki bentuk fisik yang impressive. Tubuhnya gagah dan bisa membuat beberapa orang lelaki yang ku kenal akan malu bisa disandingkan dengannya. Dan bagian tubuh pribadinya, bisa membuat yang melihat merasa iri. Tapi......... aku tak merasakan apapun.

Dia tak bisa membuatku merasa terganggu seperti efek yang Regha timbulkan padaku. Well, that's something, isn't it?! Kalau selama ini aku sedikit mengalami krisis percaya diri, inilah jawabannya. I'm perfectly fine. Karena bahkan cowok seksi yang sedang meliukkan tubuhnya itu, tak bisa membuatku merasakan apapun. Malah aku sedikit merasa iba. Karena untuk mendapatkan uang, dia harus memamerkan fisiknya.

"Sorry for waiting," ujar Anna yang kemudian muncul disampingku. Lalu tanpa mengatakan apapun lagi, dia menciumku. Lidahnya menelusuri bibirku, memaksaku untuk membukanya. Dan diantara ciuman kami, aku bisa merasakan ada sebuah benda kecil yang dia pindahkan ke mulutku dan membuatku tanpa sengaja menelannya.

Aku segera menarik wajahku darinya, "What the hell was that?!" tanyaku dengan satu tangan menutupi mulutku.

Anna tertawa kecil, "Relax. That's just a little something to help you loose. Kau terlalu tegang malam ini. Trust me! It'll feel good," ujarnya. Dengan santai dia meraih minumannya di meja dan menenggaknya sampai habis, "Come on! Le's dance and have some fun!" ajaknya dan menarik tanganku ke lantai dansa.

Kejadian setelahnya tak bisa kuingat dengan begitu jelas. Aku hanya mengingat bergelas-gelas minuman yang ku tenggak. Berdansa dan tertawa dengan perasaan ringan bersama Anna. Entah bagaimana, aku berhasil kembali ke rumahku tanpa mendapatkan kecelakaan.  Satu keajaiban yang harus aku syukuri. Setelah itu kami sedikit menyambung pesta kami di club dengan koleksi wine yang kumiliki. Dan aku tak ingat kelanjutannya. Paginya aku bangun dengan kepala sakit luar biasa di tempat tidur. Bersama dengan Anna. Telanjang.

And here we are! Kami berdua masih berusaha mengatasi hang over kami dengan segelas kopi pahit saat Regha muncul.

"Aku sudah meminta sopirku untuk mengantarmu," kataku dengan suara sedikit serak. Aku berdehem untuk mengembalikan suaraku ke asalnya yang biasa, "Dia sudah menunggumu diluar," sambungku lagi.

"Memang kau tak bisa mengantarku?" tanya Anna dengan tubuh menyandar di kursi. Piyama mandi yang dikenakannya sedikit tersingkap, memamerkan belahan dadanya yang menggoda. Tapi aku tak merasakan apapun sekarang.

"I've gotta go to work," jawabku singkat dan mengalihkan pandanganku.

"What? Sekarang kan hari minggu!" protesnya.

"Hari minggu adalah hari kerjaku. Now, excuse me! Aku harus menemui Regha," pamitku dan bangkit.

"Hei!! Malam ini kita keluar?" tanya Anna menghentikanku.

Untuk sejenak aku hanya memandangnya diam, dan kemudian menghela nafas, "Anna, let's make it clear! Kau sadar kalau tak ada yang serius diantara kita berdua kan? We're having fun and else. But we're not in a relationship!" kataku.

Anna tertegun sejenak. Tapi dia bisa menguasai diri dengan cepat. Dengan santai, dia mengangkat bahunya acuh, "Fine! 
Let's have fun. Whatever!" sahutnya ringan.

Aku tak tahu apakah aku harus merasa lega atau apa. Tapi yang jelas, aku bisa menarik nafas ringan mendengar penerimaannya, "Cool. I'll call you, ok?" kataku dan berlalu. Aku segera menuju kamar untuk mengganti pakaianku. Bersiap-siap dengan kepala yang masih berdenyut sakit. Aku bahkan yakin kalau aku akan muntah kalau saja aku berlari. Jadi aku melakukannya dengan santai dan pelan. Persetan kalau kami nanti terlambat tiba di Panti. Lagipula, siapa yang akan memprotesku?!

Begitu selesai aku segera turun menuju ruang kerjaku. Semula niatku adalah untuk langsung berangkat, tapi kepalaku yang kembali berdenyut membuatku mengurungkan niatku. Regha yang menungguku diruang kerja sembari menghadap laptopnya, mengernyitkan dahi saat aku masuk dan melemparkan kunci mobilku padanya.

"Hari ini kau yang bawa mobil," kataku dan buru-buru duduk di meja kerjaku. Kurebahkan kepalaku dimeja, bertumpu pada kedua tanganku, "Tapi tunggu sebentar saja, ok? I need a moment," sambungku lagi. Aku mengerang pelan saat kepalaku serasa berputar. Cepat aku memejamkan mata.

"You look like shit!" komen Regha singkat. Entah kapan dia bergerak. Tapi tahu-tahu dia sudah berada di sebelah mejaku..

"Don't start!" erangku kesal, "Kepalaku seperti mau pecah," keluhku. Dua aspirin yang kuminum tadi sepertinya masih belum bereaksi.

"Sepertinya kau mengalami malam yang liar. Siapa dia tadi?" tanya Regha.

"Who? Anna. She's just.......... some girl," jawabku.

"Bukan pacarmu? Kukira dia pengganti Emma."

"Oh please! Kami baru sekali keluar. We were just having fun. Tiba-tiba saja semua berjalan diluar kendali. I don't even remember how we got home last night."

"Apa? Jangan katakan kalau kau kolaps dan pagi harinya kau mendapati dirimu terbangun di tempat tidur berdua dengannya dalam keadaan telanjang. Klise sekali."

"As cliche as that sounds, it's true!" gerundengku pelan dan mengangkat kepalaku yang mulai sedikit terasa ringan.

"It doesn't mean a thing to you, does it?!" tanya Regha dengan mata yang memandangku tajam.

"Apa?" tanyaku heran.

"Apa yang kau lakukan semalam. Semuanya hanyalah having fun. Casual. Sex tak memiliki makna bagimu," katanya dengan nada yang menghakimi. Ganti aku yang kini mengernyitkan dahiku mendengar nada suaranya, yang membuatku berpikir kalau aku telah menusuk pantatnya dengan pisau tadi. Aku merinding ngeri dengan pilihan kataku tadi. Menusuk pantatnya?!  What the hell was I thinking?!! pikirku ngeri.

"Kamu ngomong apa sih? It was just sex!" ujarku kesal.

"Just sex?! Kamu sadar nggak sih kalo kamu sekarang tinggal di Indonesia? Sex disini adalah sesuatu yang sakral dan hanya diperbolehkan dalam ikatan pernikahan."

Aku sedikit ternganga oleh reaksinya. Kenapa dia marah sih?! "What?!! Did you hear yourself?! Kamu pikir sekarang tahun berapa? Kamu tahu berapa persen cewek di Bandung ini yang melakukan sex sebelum menikah?!" semburku yang jadi sedikit terpancing.

"I don't know. Tapi setidaknya sebagian besar dari mereka melakukannya dengan orang yang mereka cintai. Bukan orang yang baru kenal dan berkencan cuma sekali. Kalau ada cewek yang dengan gampangnya tidur dengan cowok pada kencan pertama, mereka pasti gampangan," komentar Regha dingin.

Aku kembali mengerang kesal dengan sikapnya. Kepalaku yang tadi sedikit ringan sepertinya sudah kembali berat karenanya, "Gha, it's just sex. Hanya pemenuhan hasrat yang dilakukan oleh dua orang dewasa. Hanya pemenuhan kebutuhan biologis yang natural. Tak ada yang salah dengan melakukannya. We know what we did. Toh ini tubuh kami sendiri. Kami tidak merugikan orang lain kan?!"

"God!! Tapi begitu gampangnya kau tidur dengan orang lain! Tidakkah kau menghargai diri dan tubuhmu sendiri? Apa kabar dengan harga diri?!"

"It's just a body!"

"Tapi dalam tubuhmu itu bersemayam jiwamu juga! Pernah mendengar bahwa tubuhmu adalah kuilmu?! Jiwamu hidup dalam tubuh yang kau anggap hanya sebongkah daging itu. Kalau kau menyerahkan tubuhmu dengan mudahnya, itu sama saja kau juga menyerahkan jiwamu. Tubuh dan jiwa adalah satu kesatuan Zaki. Tubuh tanpa jiwa adalah mayat. Dan jiwa tanpa tubuh adalah hantu. Seharusnya kau tahu itu?!"

UGH!!! Sial!! Sejak kapan dia jadi pintar begini?!! rutukku dalam hati jengkel. Aku hanya menghela nafas panjang, "Kenapa kau harus membuatnya rumit sih? Sex is sex. Semua orang membutuhkannya. Semua orang menyukainya. I bet you too. Mungkin saja kau memenuhi kebutuhanmu itu dengan masturbasi. But I won't! That's pathetic. Aku bisa mendapatkannya dengan mudah. Walaupun, seperti yang kau bilang tadi, Anna adalah tipe cewek gampangan, who cares? She's hot! Dan aku yakin, kalaupun dia mau melakukannya sex pada kencan pertama, dia juga pasti tidak melakukannya dengan sembarang orang," ujarku dan mengangkat bahu acuh.   

Regha tersenyum sinis, "Kalau dia gampangan, kau tak ada bedanya! Karena kau juga membiarkan seseorang menikmati tubuhmu dengan gampangnya dalam sekali kencan," komentarnya kemudian, nadanya lebih dingin daripada sebelumnya.

Ouch!!! That hurts!

Aku menatapnya tajam, "Kenapa memangnya kalau aku begitu? Kau tertarik?"

Hal itu sedikit mengejutkannya, "A-apa?!!"

"As you said, mungkin saja aku juga gampangan! Lalu apa salahnya? Apa kau juga tertarik padaku? Kita bisa melakukannya kalau kau mau. Aku tak keberatan. Toh aku gampangan kan? Let's do it! You and me!" kataku dan bangkit mendekat tubuhnya. Ya Tuhan! What the heck am I doing? Someone! Please, stop me and shut my mouth!! batinku sedikit panik meski aku tak akan membiarkan Regha menang sekarang.

"Kau gila!"

Aku tersenyum sinis, "Like I said, for me, sex is just sex. Tidak penting dengan siapa aku melakukannya. Anna, kau. Sama saja!" aku meraih lengannya dan menyentakkannya sehingga dia menabrakku.

"Le-lepaskan.." Regha berusaha memberontak, melepaskan diri. Tapi aku memegang lengan kirinya dengan erat. Sementara tangan kiriku segera ku lingkarkan ke pinggangnya, menariknya untuk merapat padaku. Kedua tubuh kami kini saling menempel. Aku menguncinya dengan melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Regha terlihat semakin panik dan menggeliatkan tubuhnya untuk melepaskan diri. Tentu saja aku tak membiarkannya. Aku menahannya erat.

"Kau bicara sex dengan begitu bijaksana. Tapi aku berani bertaruh kalau kau belum pernah tahu ataupun merasakan, apa dan bagimana sex itu. Kenapa kau tidak membiarkan aku menunjukkannya padamu?" kataku. Aku menundukkan wajahku sehingga wajah kami hanya terpisah beberapa senti. Aku bisa melihat bola mata Regha membesar oleh kepanikan yang kini semakin menguasainya. Wajahnya mulai memucat.

"Zaa-zak-Zaki....."

"Kau akan menyukainya. Trust me," bisikku pelan dengan mata yang tak pernah lepas dari wajahnya.

Regha hanya menggeleng dengan gerakan kaku. Dia semakin tampak gelisah. Dengan gugup dia menelan ludah dan menjilat bibir bawahnya, resah, "Zak... le-lepas.."

Aku sudah menciumnya. Regha mengeluarkan suara terkesiap pelan. Tapi bibirku sudah menempel di bibirnya. Dan bahkan sebelum dia mampu menguasai diri, bibir bawahnya sudah berada dalam kuluman bibirku. Setelah memberikan sedikit hisapan dan kuluman lembuat, perlahan aku melepaskannya. Aku sedikit menarik wajahku, memandang ke arah matanya yang tampak kosong. Dia terdiam kaku dalam pelukanku. Aku tersenyum tipis. Setidaknya aku bisa membungkam mulutnya.

"I thought so! Itu sedikit preview untukmu," kataku pelan dan melepaskan pelukanku padanya. Tanpa menunggu reaksinya lagi, aku melangkah keluar dari kamar kerjaku. Begitu berada diluar pintu, aku mengusap bibirku dengan punggung tanganku sambil berjalan cepat.

WHAT THE HECK WAS THAT?!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar