ZAKI
This is silly! What the heck is going on
, really?!!! Aku berjalan mondar-mandir diruang kerjaku
dengan pikiran kalut. Kenapa perasaan ini masih belum juga hilang?!! Kenapa
aku masih sering teringat dia. Everytime, everywhere. Sepertinya aku HARUS
selalu melihatnya. Saat-saat bersamanya adalah saat dimana aku baru bisa merasa
tenang. Tidak kacau seperti sekarang ini. Tiap kali menunggunya datang, aku
selalu diliputi perasaan gelisah yang tak jelas. There's something wrong with
my head!! Definately!! I need to talk to someone!!!!'
But who??!!! I can't go the
psychiatrist. Kalau sampai. Mommy tau aku pergi ke psikolog, bisa tambah runyam
ntar. I need to talk to....
Aku berhenti melangkah dan pandanganku tertumbuk
pada sebuah foto yang ada di layar komputerku. Foto yang kuambil saat aku dan
beberapa orang temanku yang di Australia berlibur ke Bali. Dan pemecahan dari
masalahkupun muncul. Justin!!! Dengan cepat aku menuju meja kerjalu dan meraih handle
telepon.
Justin adalah temanku yang dulu sempat disukai oleh
Robin. The Queer in high school. And I''m sure I can trust him. Justin
selalu bisa diandalkan. Malah dia yang paling bisa kuandalkan dibandingkan
dengan Tom, David dan Jared. Tiga deringan kemudian, teleponku diangkat. Dan
suara musik upbeat sontan memenuhi telingaku. Someone's having a party! pikirku
kecut.
"Yeah?!!" sapa Justin dari seberang.
"Justin?!!! It's me, Zake!!!" kataku
sedikit keras untuk mengatasi dentuman musik.
"ZAKE??!!MATE?!!! IS THAT REALLY
YOU?!!!" teriak Justin.
"YEAH IT"S ME!!"
"WICKED!!! ARE YOU IN TOWN?!! I
HAVE A SMALL PARTY HERE. JOIN ME!!!"
"CAN"T MATE! LOOK, I NEED TO
TALK WITH YOU!!!!"
Untuk beberapa saat tak ada sahutan dari Justin,
tapi kudengar dia berbicara dengan seseorang di seberang. Beberapa saat
kemudian suara hingar bingar musik yang tadinya mengganggu mejadi teredam, kini
malah menjadi seperti suara latar yang samar.
"Okay, I'm in my room now. Talk!" ujar
Justin.
"Turn on your computer," sahutku
balik dan menutup line telepon. Aku segera menghidupkan laptopku. Kupikir
mungkin akan lebih baik kalau aku live chat dengan Justin. Lagipula, sudah
beberapa bulan ini aku tak melihatnya. Tak berapa lama wajahnya muncul dilayar.
"Dude, you're tanned now!" komentarku
begitu melihatnya. Justin tertawa mendengarku. Kulitnya memang menjadi lebih
coklat dari biasanya. Pasti dia sering surfing, salah satu kegemarannya yang
dulu sempat dia tularkan padaku.
"And you're getting pale and neat as usual.
What's up Bro?" sapanya dan mengusap rambutnya yang makin pirang.
"I'm fine J. Hei, listen. I need to talk to
you about something," kataku memulai meski agak risih. Tapi mengingat
yang ku ajak bicara kali ini adalah Justin, aku mencoba menyingkirkan rasa itu.
"Okay. Shoot!"
"Do you remember the time when we
were in high school? About........ Robin?" tanyaku.
Untuk sesaat kulihat Justin tampak sedikit salah tingkah. Dia membetulkan
posisi duduknya, dan berdehem. Aku sendiri mulai bertanya-tanya pada diriku
sendiri, apakah aku telah melakukan tindakan yang tepat.
"Well..... yeah. Of course. What
about it?"
"Look, I know that there was
nothing happened between you two. But..... I wanna know, what did you feel when
you knew that he liked you?" tanyaku akhirnya. Dan
Justin semakin terlihat tidak nyaman dengan topik yang kutanyakan,
"Justin,
I'm sorry if it makes you uncomfortable. But I need to know something. I
have.............. a friend. He's confuse about the way he feels lately. He's
close with some boy. He almost think that he.............feels something to
him."
Dengan itu Justin terdiam dan memandangku sedikit
tajam. Aku berusaha menampilkan wajah datar, menyembunyikan apa yang sebenarnya
kurasakan. Aku tahu kalau mungkin sebaiknya aku jujur pada Justin. Tapi
instingku mengatakan kalau sebaiknya aku menggunakan kata ganti orang ketiga
untuk membahas hal ini.
"You mean.......... he might fall for the
guy?"
"Euuuhhh..... he didn't know that.
That's why he asked me. I don't know what to answer, then I remember you. And
thought, may be you could give me some pointers,"
Kembali Justin terdiam. Kali ini dia melakukannya
sembari memandangku dengan seksama, seolah-olah sedang menelitiku. Dan sekali
lagi, aku harus berusaha memasang wajah datar yang menyembunyikan emosiku
sebenarnya, "Do I know this guy?"
"Didn't you hear what I said
before? He's my friend here. Of course you don't know him," jawabku
sembari memutar bola mataku, menampilkan ekspresi bahwa menurutku, pertanyaannya
itu sangat konyol.
"How old is he?" kejar Justin.
"Our age,"
"Zake........ that could mean
nothing. I mean, attraction between two guys, it doesn't always mean something,
you know. It might be just a phase. Or may be he, just wanted to experimenting.
It's a common thing for guys in our age to do something crazy. Something
impulsive. It doesn't mean that he is......... gay. Some people know that
they're gay since they were a kid. Some living in denial or in a closet for
their whole lives. Some others just doing it for fun. Or sex. To fulfill their
curiosity or may be fantasy. It's all about satisfaction only. And finally, in
the end, they will have a normal life. Get married and have kids. And what they
did before means nothing, but some crazy phase of their youth."
"So........... it's nothing?"
"Let me ask you, did he ever fall
for another guy before?"
"Not that I know. No! I'm pretty
sure, never!! He's straight and had a girlfriend!" jawabku
cepat.
"Did he fuck her?" uber
Justin.
"Countless times"
"And did he enjoy them?"
"Absolutely! He loves fucking
chicks!"
"See? Then it might be nothing. You
tell him to relax and just don't think about it too hard. If he wanna have fun,
I said, do it! Have fun. Live the life and go crazy!"
"Yeaahh................ it's
nothing," gumamku pelan.
"It is and...... NOOO!!!!! DON''T
COME IN!!!!"
Aku sedikit kaget saat Justin berteriak keras,
mencegah seseorang untuk masuk ke kamarnya. Kulihat Justin mencopot. headsetnya
dan berbicara dengan orang tersebut. Aku tak bisa menangkap pembicaraan mereka
karena Justin menutupi mic-nya dengan tangan. Tapi dia terlihat cukup panik,
sehingga aku bertanya-tanya sedikit tentang siapa orang yang sedang dihadapinya
sehingga mampu membuatnya bereaksi seperti itu.
"Zake, the point is, tell your friend to
relax. Don't worry and just live his life to the fullest. It doesn't have to
mean anything. If it is, he'll know. I have to go now. Can we do it some other
time?"
"It's fine J. And thanks,"
"Cool mate. Catch you then! And
Zake?" panggil Justin membuatku urung menekan
tombol end.
"What?!"
"Don't think too much and don't be
too hard on yourself. Have fun and enjoy. Life's too short! See ya!" pamit
Justin dan sambunganpun terputus.
Dan aku terdiam ditempatku hingga beberapa menit
kemudian.
REGHA
Begitu rapat redaksi ini selesai, aku tahu kalau
Regi dan Vivi menungguku diluar ruangan. Sengaja aku berlama-lama mengulur
waktu. Membereskan barang-barangku dengan kecepatan yang mungkin akan membuat
siput iri. Berharap dalam hati kalau Regi akan melupakan niatnya untuk
berbicara denganku. Aku tahu itu harapan yang konyol dan peluangnya sangat
tipis. Apalagi selama rapat tadi berlangsung, aku bisa merasakan tatapan
Regi dan Vivi yang terus mengikutiku. Aku mencoba mengacuhkannya dan bersikap
seperti biasa. Tapi sumpah, aku tak bisa menahan sedikit keringat yang akhirnya
mengucur dari tubuhku. Regi dan Vivi membuatku merasa seperti sebuah objek yang
berada di bawah mikroskop elektron.
"Gha?!! Capcus!!" tukas Regi dari luar
ruangan.
Nah kan? batinku
memelas. Kenapa Mas Angga musti ngadain rapat di hari libur gini sih? Udah
gitu sore-sore pula!! Liburan masih 5 hari lagi. Tapi karena alasan
profesionalitas dan dedikasi kerja konyolnya, kami semua kudu dateng hari ini.
Padahal banyak tugas yang belum gue beresin, gerundengku dalam hati.
Beberapa hari terakhir memang cukup banyak tugas yang aku tangani. Salah
seorang penghuni panti akan mengadakan perayaan ulang tahunnya yang ke-63.
Pihak keluarga memutuskan untuk membuat pesta, dan kami diminta untuk mengurus
semua keperluannya.
Semula kukira Zaki akan menolak permintaan itu, tapi
ternyata dia menyetujuinya. Dengan alasan, panti tak akan pernah mengecewakan
penghuninya. Edan!! Sejak kapan coba panti beralih fungsi menjadi Event
Organizer?!!! Dan tentu saja, kami semua kebagian repot. Semua mendapatkan
tugas. Sebagian bertugas menyiapkan hall dan segala pernak-perniknya. Ada yang
kebagian nyari entertainment. Dan aku kebagian menyiapkan parcel untuk
bingkisan. Dan sampai hari ini, aku belum menemukan benda yang tepat.
"GHAAAAA!!!!"
teriak Vivi dari luar.
"Jij keluar secara sukarela atau ikke maskulin
ke sandra en seret jij keluar. Pilih!!!" sambung Regi membuatku mengumpat
lirih.
"IYA!!" sahutku setengah hati dan
menyampirkan tas ranselku di bahu kanan. Dengan langkah sedikit terseret aku
berjalan menuju pintu keluar. Regi menunggu disebelah kanan pintu dengan
berkacak pinggang, sementara Vivi mendengus tak sabar. Dengan cepat Vivi meraih
tanganku dan menarikku menuju bangku beton yang ada di bawah pohon, tak jauh
dari
lapangan parkir.
Dia memaksaku duduk disalah satu kursi beton itu,
dan mereka berdua berdiri berkacak pinggang didepanku. Mata mereka menatap
tajam dan penuh selidik. Sekali lagi aku merasa menjadi obyek dibawah sebuah
mikroskop elektron raksasa.
"Apaan sih?"tanyaku dengan nada malas,
"Kita mo bahas apaan coba?"
"Bahas fakta, gimana kemaren lo bisa tertarik
untuk menyebut bibir Zaki?" jawab Regi langsung dengan nada tanya. Aku
hanya menggumamkan serangkaian makian pelan mengingat keboodohanku yang bisa
kelepasan bicara waktu itu.
"Apa pentingnya?" kilahku masih berusaha
mengelak, "Semua orang yang punya mata pasti bisa melihatnya kan? Kalo
udah makan makanan pedas, bibir Zaki tuh jadi keliatan merah basah gitu. Jadi
keliatan menggemaskan dan imut kan? Lo pasti...."
"MENGGEMASKAN??!!!" pekik Regi sedikit
histeris.
"Imut?!!!!" imbuh Vivi tak kalah herannya,
meski tak selantang Regi. Detik itu juga aku menyesali pilihan kataku tadi.
"YA ALLOOOOOHHH!!! Sejak kapan jij bisa
berpikir seperti itu soal bibir lekong ciiiiiiinnn??!!!!! Ini bisa jadi berita
besar! Jij yang selama ini ga pernah peduli ma penampilan sendiri, lebih-lebih
ma fisik cowok laen, tiba-tiba aja ngakuin kalo bibir si Zaki imut dan
menggemaskan!!! Helloooooohh??!!! Apa kata dunia entar coba?! Bayangin
kalo.........." Regi langsung menghentikan cerocosan tak jelasnya saat
menyadari kalau aku dan Vivi sedang menatapnya dongkol. Regi nyengir,
"Ikke lebay ya cin?"
Vivi mendengus keras untuk menjawabnya, "Lu kek
bencong sarap yang lagi kumat," komentarnya singkat namun toh tajam, lalu
berpaling padaku, "Jelasin sekarang ke kita!" tuntutnya dengan nada
yang jelas tak mau dibantah.
"Apanya yang mau dijelasin sih?!" sergahku
sedikit kesal, "Ok, waktu itu gue emang ngeliatin bibir Zaki. Tapi itu
emang karena waktu itu bibirnya terlihat merah kayak pake lipstik. Kalian
sendiri juga ngeliatnya kan?"
Sejenak keduanya saling berpandangan. Heran.
Akhir-akhir ini mereka sering banget melakukannya. Saling berpandangan sejenak,
seolah-olah mereka berbicara dengan tatapan mereka yang seakan-akan saling
mengerti. Regi kemudian berpaling padaku.
"Lo ngerasa gak sih kalo sikap lo ke Zaki jadi
sedikit aneh belakangan ini?" tanyanya dengan tatapan tajam.
Entah kenapa, pertanyaan dan caranya melihatku,
langsung membuatku gelisah, "A-aneh gimana ah! Perasaan lu aja kali!"
sangkalku dengan sedikit gugup.
Vivi menghela nafas mendengarku, "Udah lama
kita berdua ngamatin lo berdua," jelasnya.
"Lo yakin kalo lo gak........."
"Gue bukan gay!" potongku cepat, membuat
mereka berdua sontan berhenti dan sedikit kaget. Aku sendiri agak bergidik
ngeri setelah kalimat tadi terlontar. Entah karena alasan apa. Yang jelas aku
merasa kalau aku harus mengatakan hal itu sebelum mereka berdua mengeluarkan
pertanyaan yang sepertinya akan sanggup membuatku sulit tidur.
Keheningan yang selanjutnya jatuh membuat atmosfir
terasa sedikit menekan dan sangat tidak mengenakkan. Aku lebih memilih untuk
menutupi kegugupanku dengan cengiran kecil. Selanjutnya, diam. Masing-masing
dari kami seakan-akan berusaha menemukan cara untuk memulai percakapan yang
terpotong tadi. Tapi kecanggungan yang menggantung membuatnya sulit.
"Gha........."
"Gue nggak gitu Gi," potongku lagi. Karena
alasan yang tak kuketahui, aku benar-benar tak ingin mendengar apapun pendapat
Regi.
Lagi-lagi Vivi hanya menghela nafas panjang,
"Kita disini bukan buat ngehakimin elo, Gha. Kita berdua sohib lo. Dan
kita berdua tahu dan ngerti. Gak ada salahnya dengan jatuh cinta dan...."
"WHOAAAAHHH!!!" aku mengangkat tanganku
dan terlonjak berdiri atas komentar Vivi tadi, "Jatuh cinta?!! Elo sadar
gak sih apa yang barusan lo omongin Vi?!! Jatuh cinta? Gue? Ma siapa? Zaki?!!
Lo sinting apa?!!"
"Apa salahnya kalo emang lo jatuh cinta ma
Zaki?" tanya Regi yang mulai kelihatan kesal.
"Banyak salahnya!" sahutku, "Gimana
kalau fakta bahwa gue dan Zaki sama-sama cowok?! Apa itu belom cukup?"
"Jadi menurut lo, orang seperti gue
itu......... menjijikkan?!" kejar Regi.
"Gue gak pernah ngomong. seperti itu, dan kita
sudah membahas ini!" jawabku cepat, "Gue gak akan pernah menganggap
lo seperti itu Gi. Lo tau itu. Lo berhak ngejalanin kehidupan lo, seperti yang
lo mau. Tapi kita bicara soal gue kan? Lo bayangin aja dong! Gue?!! Ama Zaki?!!
Lo sadar seberapa konyol hal itu kedengarannya?" tanyaku balik dan menatap
bergantian pada Vivi dan Regi.
"Kenapa sih harus dipermasalahkan bagaimana
bentuk cinta itu?" desah Vivi pelan, membuatku mengerutkan dahi, "Lo
tau betapa beruntungnya lo bisa ngerasain sebuah cinta? Banyak orang-orang
diluar sana yang setengah mati mengharap bisa merasakan cinta, tapi tak pernah
mendapatkannya. Cinta gak lebih dari khayalan konyol yang cuma bisa mereka
dapatkan dalam novel roman. Banyak diantara mereka yang terus menunggu
kedatangan cinta itu selama bertahun-tahun, bahkan hingga kini........"
ujar Vivi setengah melamun.
Jelas saja aku dan Regi hanya mampu bengong, gak
ngerti apa maksud dari kalimatnya tadi.
"Mungkin gue kudu ngerasa simpati atas
penjelasan lo tadi, tapi jujur, gue gak ngerti maksud lo apa," komentarku
singkat.
Vivi hanya tersenyum, "Lo gak perlu ngerti, lo
cukup bersyukur aja atas cinta yang lo rasain sekarang?!" sahutnya enteng.
Lagi-lagi aku terperangah hebat, "Ap..?! Cinta?
Demi Tuhan!!!" aku mengusap wajahku dengan kedua tangan kalut,
"Kalian masih belom nyadar juga gimana konyolnya hal yang kalian katakan
tadi? Gue jatuh cinta? Sama Zaki? Emang apa yang kalian liat dari gue sampe
kalian mikir begitu? Kalian bisa bayangin gak sih gimana reaksi Zaki kalo saja
dia denger topik kita ini, huh? Yang ada dia bakal ngakak. Atau nggak bakal
ngatain kita macem-macem. Dia pasti akan berpikir....."
"Kita pikir dia juga suka kok ma elu,"
potong Vivi kalem.
Mulutku terbuka tanpa ada suara. Aku menatap
bergantian Vivi dan Regi. Benar-benar tak pecaya kalau mereka bisa berpikir
seperti itu, "Kalian benar-benar sinting!" ujarku pelan, tercengang
dengan kesintingan mereka berdua.
"Jujur, kami juga tak pernah
menyangkanya," cetus Vivi sembari mengangkat bahu.
"Kalian beneran sadar kalau kalian barusan
menyebut nama Zaki?!!" tanyaku dan menatap keduanya, bergantian,
"ZAKII?!!!" ulangku kali ini dengan
setengah berteriak.
Vivi kembali mengangkat bahunya, "Hal ini bisa
terjadi pada siapa saja," katanya enteng.
"Lo budek atau gimana sebenernya? Lo gak pernah
denger soal Zaki ma Emma, apa??!! Ga pernah denger gimana sepak terjangnya?
Semua orang juga tau kalo dia player. Cuma Emma yang bisa bertahan lebih dari 3
bulan dengannya. Lo tanya semua mahasiswi yang ada di kampus ini. Hanya lesbian
sinting yang bakal bilang kalo Zaki gay! Dan .."
PLAK!!!
Vivi memukul sisi kepalaku sedikit keras hingga aku
sontan terdiam.
"Gue bukan lesbi dan gue gak sinting.
Paham?!!!" omelnya tajam.
"Ta.."
Regi mengangkat tangannya, mencegahku untuk kembali
menyangkal, "Gue tahu bakal susah kalo lo percaya kita berdua. Gue
jelas-jelas gay,dan Vivi fag hag. Apapun yang kita katakan cuma bakal lo anggap
sebagai propaganda sinting yang bertujuan buat ngejerumusin elo. Karena itu
kita minta bantuan ma orang lain. Agar lo tau kalau hal ini bisa terjadi pada siapapun,"
kata Regi. Dia mengambil hapenya dan tampak menulis sebuah sms yang kemudian
dikirimkannya.
Aku jadi semakin bingung dengan tingkahnya.
"Beberapa waktu yang lalu gue nemuin fakta
mengejutkan soal dua orang teman kita," jelas Regi pelan, "Tidak sengaja
sih. Mereka akhirnya mau berterus terang, dan malah sering berdiskusi dengan
kami. Kasusnya mirip ma elo. Mereka berada dalam situasi yang tak mereka duga
sebelumnya. Kadang gue ngerasa lucu bagaimana hidup itu berjalan. Banyak
kejutan yang muncul tak terduga," lanjutnya dengan ekspresi sendu yang
semakin mengerutkan alis. Sumpah mampus aku gak ngerti dia sedang ngoceh apa.
"GI!!!" panggilan itu sedikit mengejutkan
kami. Dari kejauhan aku melihat Alvian Reza Mahardika, ketua BEM kami melambai
pada Regi. Kerutan dikeningku jadi semakin dalam. Sejak kapan coba Regi akrab
dengan Kak Alvian? Aku saja, selama menjadi mahasiswa disini, hanya 3 kali
berbicara dengannya. Itupun karena ada wawancara untuk artikel buletin.
Kalo
nggak, mungkin aku tak akan pernah sempat berbicara dengannya.
"Udah sampai A?" sapa Regi dan tersenyum.
"Dari tadi kok. Kebetulan ada sedikit urusan di
sekretariat," jelasnya dan kemudian berpaling pada Vivi sembari tersenyum,
"Vi!" sapanya pada Vivi akrab. Dia lalu berpaling padaku.
Aku mencoba tersenyum meski keheranan di wajahku
mungkin masih terlihat, "Kak Alvian," sapaku dan mengangguk.
"Ah........ salah satu reporter kampus kita
kan?" tanyanya dengan ekspresi seperti orang yang sedang mengingat
sesuatu. Tentu saja dia sudah lupa namaku, pikirku kecut.
"Dia Regha A. Yang kita ceritakan waktu
itu," jelas Regi sambil tersenyum.
Roman muka Kak Alvian langsung berubah mendengar
penjelasan Regi. Dia terlihat sedikit panik dan....... takut? Benar-benar membingungkan.
Aku tak paham sedikitpun maksud semua ini.
"Gi, kamu yakin tak akan ada masalah?
Dia........." Kak Alvian tak meneruskan kalimatnya. Dia hanya kembali
melirikku cemas.
"Aku nggak akan melakukannya kalo gak yakin A.
Aku tahu sedikit mengagetkan tapi........"
"Nggak apa-apa Kak,"celetuk sseorang dari
arah kanan kami. Kulihat Ari, teman satu kostku yang asli Surabaya itu berjalan
mendekati kami. Dia tersenyum pada kami semua dengan santai. Begitu dekat dia
berdiri disebelah Kak Alvian. Yang kemudian hampir membuatku terpekik kaget
adalah, saat tangan kanan Ari meraih tangan kiri Kak Alvian. Jari kemari
merteka saling bertautan dan menggenggam.
Aku terkesiap dengan mata melotot hebat melihatnya.
Apa lagi saat kulihat ekspresi yang terpancar dari wajah keduanya. APA APAAN
INIIIIIII???!!!!! Aku berpaling pada Regi dan juga Vivi. Aku menunjuk pada
kedua tangan Kak Alvian dan Ari yang masih bertautan. Aku berusaha mengatakan
pada Regi dan Vivi hal itu. Tapi sumpah mampus, aku tak bisa mengeluarkan suara
apapun saking kagetnya. Aku hanya mampu terus menunjuk pada kedua tangan mereka
lalu menoleh lagi pada Regi dan Vivi. Keduanya tampak tenang saja. Jelas mereka
tak heran lagi dengan fakta didepanku ini.
"Lo nyadar gak kalo lo keliatan super dongo'
sekarang?" celetuk Vivi dengan nada geli dan kembali duduk dikursi
betonnya.
"Em! Jadi tambah keliatan cengo' nya,"
imbuh Regi yang ikutan kembali duduk.
Entah mereka mendadak berubah autis atau tidak
sehingga mereka dengan santainya bisa berkata seperti itu dengan tenangnya. Apa
mereka tak sadar kalau yang sedang bergandengan tangan dengan Ari, teman kostku itu adalah ketua BEM kami.
"Ka-kalian gak liat i-itu? Tangan.... me-mereka.. pegang.. ta-ta,"
aku menceracau tak jelas sembari menunjuk lagi pada tangan Kak Alvian dan Ari.
Karena sama sekali tak mampu mengatakan apapun, aku akhirnya hanya mengerang
keras dan menekan kepalaku dengan kedua tanganku. Aku kembali duduk di bangkuku
dengan posisi yang sama. Kepalaku berdenyut seakan-akan aku memaksa otakku.
bekerja berlebihan. Hampir gila rasanya! Kenapa semua hal yang berbau gay
tiba-tiba saja mengerubungiku sihh??!!!!
"Gua tau lo kaget Gha," cetus Ari memecah
keheningan diantara kami.
Aku terdiam sedikit kaku mendengar suara pelannya.
Aku melepas tangan dan mengangkat wajahku untuk melihatnya. Disanalah dia,
duduk didepanku dengan wajah yang tenang meski ada sedikit kegugupan yang
kutangkap dari gestur tubuhnya. Hanya sedikit gerakan kecil yang segera dia
atasi dengan senyumnya. Ya Tuhan!! Aku benar-benar tak percaya. Ari???!!!
ARIII??!!! Siapa sangka?!!
"Gua juga gak nyangka kok," lanjutnya lagi
dengan senyumnya yang biasa.
"Se-sejak k-kapan.........," aku hanya
mampu menelan ludah tanpa sanggup meneruskan kalimatku.
Ari menoleh pada Kak Alvian yang duduk disebelahnya.
Aku bisa melihat ketegangan diwajah Kak Alvian saat dia membalas tatapan Ari.
Tapi tak urung juga dia meremas tangan Ari yang berada digenggamannya,
menunjukkan dukungannya pada tindakan Ari. Dan aku bisa melihat juga rasa
sayang yang terpancar dari tatapannya. Ya Tuhaaaaann!! Dia benar-benar
mencintainya!!!! Siapapun bisa melihat hal itu dari pancaran matanya. Ini bukan
sandiwara. Mereka benar-benar...........
Perutku bergolak aneh sehingga tanpa sadar aku
mengeluarkan keluhan pelan, membuat Ari dan yang lain kembali berpaling padaku.
"Sudah berjalan 3 bulan, Gha," jawab Ari
akhirnya, "Dan bahkan hingga hari ini, terkadang gua juga masih gak
percaya, kalau gua bisa bersama Kak Al," katanya lagi.
Aku melihat mereka secara bergantian, masih tetap
tak bisa mempercayainya, "Ta-tapi.........l-lo sama sekali gak keliatan
seperti seorang....," lagi-lagi aku meneruskan kalimatku. Kata
selanjutnya berhenti diujung lidahku, seakan-akan terlalu tabu bagiku untuk
mengatakannya.
"Percayalah, gua juga gak pernah menyangkanya,"
sahut Ari. Dan meluncurlah cerita dari mulutnya.
Ternyata pertemuan mereka diawali oleh kebiasaan Ari
yang suka jogging di pagi hari. Mereka sering berpapasan di taman kota.
Kegiatan pagi itu akhirnya menjadi kegiatan rutin mereka. Seiring waktu,
hubungan mereka berkembang dengan sendirinya. Obrolan mereka juga. Dari hal-hal
umum, menjadi lebih pribadi dan intim. Mereka mendapati bahwa mereka merasa
nyaman dengan kehadiran masing-masing pihak. Perbedaan yang mereka miliki
justru terasa bagaikan mereka saling melengkapi. Apa yang tidak dimiliki oleh
Ari ternyata menjadi kelebihan Kak Alvian. Ari yang masih muda, cenderung
meledak, gegabah dan terkadang sukar
dikendalikan bisa teredam oleh kematangan, kedewasaan dan kekaleman Kak Alvian.
Kak Alvian yang kadang gaya hidupnya terlalu teratur, tertata dan penuh kendali
kadang dikejutkan oleh spontanitas dan kesantaian Ari, sehingga dia merasa
lebih menikmati sekelilingnya.
Mengagumkan mendengar apa yang menjadi kekurangan
masing-masing pihak, justru menjadi berkah bagi pihak yang lainnya.
Seaakan-akan mereka benar-benar ..............saling melengkapi. One thing
leads to another, akhirnya perasaan itu tumbuh diantara mereka. Baik Ari
dan Kak Alvian jelas menyangkal pada awalnya. Keduanya bahkan sempat berhenti
jogging selama beberapa waktu lamanya. Keduanya sempat merasa bahwa kedekatan
mereka mungkin terlalu intens, sehingga pikiran mereka tak bisa berpikir lurus,
dan mereka perlu menjaga jarak.
Dua minggu mereka saling menjauh. Dua minggu
terpanjang dan paling mengerikan sepanjang hidupnya, menurut pengakuan Ari. Kak
Alvian menimpali dengan mengatakan bahwa dua minggu itu, semua yang dia
kerjakan justru jadi kacau balau.
"Tak ada satu hal pun yang bisa ku kerjakan
dengan benar," katanya, "Aku berpikir, berpikir lagi dan terus
berpikir. Aku tak bisa menemukan satupun penjelasan yang logis dan memuaskanku.
Aku........... berantakan. Dan...............
aku tak bisa lari dari bayangannya. Sama sekali," lanjutnya dengan
suara pelan.
"Gue pernah balik ke Surabaya selama seminggu
kan?" tanya Ari padaku yang hanya kujawab dengan anggukan, "Itu salah
satu cara gue ngehindar dari dia. Seminggu setelahnya gue balik kesini, gue
hampir-hampir gak pernah bisa keluar dari kostan. Gue juga.......... kacau,"
sambung Ari dan kulihat tangannya meremas tangan Kak Alvian.
"Kemudian kami bertemu tanpa sengaja disebuah
warung," lanjut Kak Alvian.
"Warung Jawa Timur," jelas Ari padaku
dengan senyum, "Waktu itu gue kelaparan karena hampir dua hari gak makan
nasi. Gue berjalan ke warung itu malam-malam. gua lupa jam berapa tepatnya. Dan
tak jauh dari warung, gue ngelihat.... Kak Al berjalan, sedikit sempoyongan.
Mabuk."
Mereka kembali saling bertatapan sejenak. Kak Alvian
lalu menoleh kearahku dan yang lain sembari tertawa kecil.
"Yup! Untuk pertama dan terakhir kalinya, aku
menenggak minuman beralkohol tinggi, dengan harapan aku bisa melupakan Ari.
Karena semua cara lain percuma, aku melakukan hal itu. Tapi saat kepalaku mulai
terasa berat, justru wajah Ari yang kemudian kembali muncul. Alam bawah sadarku
menginginkanku untuk bertemu dengannya. Dan aku berjalan menuju
kostannya."
"Dari rumah Kak alvian?" tanyaku tak
percaya. Seingatku rumah Kak Alvian berjarak sekitar 5km dari tempat kostku.
Dia tinggal di sebuah daerah perumahan yang cukup terkenal.
Kak Alvian mengangguk, "Jangan tanya bagaimana
aku bisa melakukannya. Jujur aku tak ingat, karena yang ada di pikiranku hanya
aku-harus-bertemu-Ari. Dan tubuhku menurutinya. Dan disanalah kita, bertemu di
dekat sebuah warung yang telah tutup dan sepi. Dan ketika aku melihatnya, aku
berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan berhenti menghindar," ujar Kak
Alvian dan mendekap tangan Ari ke dadanya. Dia lalu membawa tangan Ari ke
bibirnya dan kemudian mencium telapak tangan Ari dengan kecupan lembut yang
suaranya terdengar jelas diantara keheningan kami.
"Aku ingin berhenti lari, karena aku tahu, aku
sudah sampai pada tempat yang ku tuju," bisik Kak Alvian lirih, kembali
menatap Ari.
"Kamu hampir pingsan malam itu, Bodoh!"
kecam Ari pelan dengan senyuman, "Kamu hampir-hampir nggak bisa berjalan
lagi. Kakimu lecet karena kamu tak mengenakan alas kaki. Dasar Ketua BEM
ceroboh!"
Kak Alvian tertawa kecil, "Aku bahkan tak ingat
bagaimana aku bisa sampai kesana. Bagaimana aku bisa mengingat sandal atau
sepatuku?"
"Bodoh!" kata Ari pelan. Saat dia kembali
melihatku, ku lihat matanya mulai sembab, "Gue harus memapahnya ke kostan.
Gue juga harus membersihkan kakinya yang kotor dan sedikit berdarah. Telapaknya
lecet-lecet. Entah menginjak apa dia tadinya. Dan sepanjang
melakukannya............. gue gak bisa berhenti nangis," lanjutnya dengan
air mata yang kemudian mengalir. Tangan Kak Alvian beralih memeluk bahu Ari dan
mendekatkan tubuh Ari ke dadanya. Hanya sekilas, karena beberapa saat kemudian dia
melepaskan Ari dan menoleh ke sekeliling kami. Suasana kampus yang sepi
sepertinya belum bisa membuatnya tenang. Jelas dia tak ingin ada yang
mengetahui hubungan mereka. Kak Alvian lalu mengeluarkan sebuah sapu tangan dan
memberikannya pada Ari.
Ari menghela nafas panjang dan menyusut matanya, dia
menoleh padaku dan mencoba tersenyum tipis, "Gue tahu ini gila!!! Gue tau
lo pikir gue gak waras. Tapi saat gue membaringkan Alvian di tempat tidur gue,
membersihkan kaki dan lukanya, gue tahu. Gue tahu pasti kalo gue jatuh cinta
dengannya. Saat itu juga gue tahu kalo perasaan gue ke dia bukan main-main. Dan
begitu gue sadari itu, gue hanya bisa terdiam lemas. Yang ada di pikiran gue
adalah hidup gue sudah berakhir. Gue celaka. Karena ternyata gue............. gay!"
Hening!
Sesaat lamanya kami berdua berusaha mengendapkan
segalanya. Ku lihat Regi duduk diam dengan senyum pengertian yang tak pernah
lepas dari bibirnya. Vivi menyusut sudut matanya yang sedikit basah. Aku
sendiri hanya terpaku menatap sekelilingku dengan pikiran hampa. Bingung, tak
tahu harus bagaimana.
"Lo bayangin gimana kacaunya pikiran gue saat
itu. Gue yang dulunya ngejalanin kehidupan normal, lurus dan bahkan menggunakan
kata banci atau gay sebagai bahan olok-olokan, ternyata juga bisa suka dengan
cowok. Gue sempet kepikiran kalo gue kualat! Gue kena karma. Tuhan sedang
menghukum gue! Gue juga sempat berpikir kalo gue kerasukan. Kena guna-guna.
Gila mendadak dan entah apa lagi yang lainnya. Gue.......... kacau!"
"Kita berdua kacau," sela Kak Alvian,
"Sepanjang malam itu, kami hanya berbaring diam, berpikir. Larut dalam
pemahaman kami yang kabur dan absurd. Baru saat menjelang dini hari, kami
mengambil keputusan."
Kalimat itu membuat aku, Vivi dan Regi mengangkat
wajah.
Kak Alvian kembali meraih tangan Ari dan meremasnya,
"Kami memutuskan untuk menjalaninya. Kami........... mengikat diri kami,
bersama," katanya.
Aku melihat ke arah Ari yang kini hanya mengedarkan
pandangannya pada kami semua, "Yep! Kami jadian," katanya dengan nada
berkelakar.
"Dan itu sudah berjalan selama tiga
bulan?" tanyaku tak percaya. Ari tersenyum dan hanya mengangguk untuk
menjawabku, "Ta-tapi Ar, l-lo bener-bener udah mikirin ini dengan lebih
dalam?"
Sekali lagi Ari mendesah sebelum menjawabku,
"Bukannya gue udah bilang tadi? Tanpa dia.......... gue kacau Gha. Hanya
dengan bersamanya gue ngerasa tenang, terkendali dan nyaman. Dengar, gue gak
bisa ngejelasin dengan kalimat persisnya. Dan jelas gue gak bisa bikin lo
ngerti seperti apa persisnya. Yang jelas, dia satu-satunya orang yang bisa
bikin gue tetap berpikir waras," pungkas Ari.
"Dan kalian orang yang pertama kali tahu
tentang hal ini. Kalian tentunya tahu kalau hal ini bukanlah hal yang patut
diketahui orang lain kan?" tanya Kak Alvian.
Kami semua hanya mengangguk paham.
"Tapi......... bagaimana Regi dan Vivi bisa
....." aku tak meneruskan kalimatku.
"Gak sengaja Gha. Beberapa waktu kemaren gue
diminta Kak Angga buat interview Kak Alvian soal salah satu kegiatan kampus
karena Danny berhalangan. Hanya buat verifikasi beberapa fakta yang simpang
siur," terang Vivi, "Gue minta bantuan Regi buat temenin gue. Kita
berdua nyari Kak Alvian pulang kuliah. Kita nyari kemana-mana gak ketemu. Terus
ketemunya malah ma Dina, wakil ketua BEM kita. Dia yang bilang kalo Kak Alvian
terakhir kali ada di perpustakaan. Lo tau kan kalo ke perpus kita kudu
ngeliatin ruang dosen ma lab? Si Regi kebelet pipis, jadi kita langsung masuk
ke ruang lab yang kebetulan lampunya nyala. Disana kita pergokin
mereka..........." Vivi tak meneruskan kalimatnya, tapi justru menoleh ke
arah Kak Alvian dan Ari yang wajahnya kini jadi merah padam.
"Mereka cumi-cumi ciiinn!!! Ikke hampir aja
jantungan ngeliatnya, em?" sambung Regi centil matanya udah menerawang
membayangkan adegan yang sepertinya dia rekam dengan baik dipikirannya,
"Aaaaaahh... romantis banget. Ikke suka masa," ujarnya setengah
melamun.
"Akibat keteledoran gue yang lupa kunci kembali
pintu lab," kata Ari dengan pipi
yang semakin merona.
"Tapi............... aku sedikit bersyukur
karena mereka berdua yang memergoki kami," tukas Kak Alvian yang sudah
bisa sedikit tersenyum mengatasi salah tingkahnya, "Mereka bisa bersikap
baik dan mau menerima penjelasan kami. Bahkan Vivi yang cewek. Dia tidak
sekalipun menghakimi."
Aku langsung mendengus mendengarnya. Well, she's
a fag hag. Of course she does! pikirku dalam hati.
"Regi juga datang pada saat yang tepat. Karena
bisa dibilang, dia jauh lebih berpengalaman dalam urusan kami. Jadi....... kami
banyak bertanya padanya. Dia sudah membantu kami memahami banyak hal yang
sebelumnya tidak kami ketahui. Dia........ ternyata jauh dari perkiraan kami.
Pengetahuan dan pemahamannya dalam hidup boleh dibilang memberikan sedikit
pencerahan pada kami."
Aku bengong, "Regi?! You have got to be
kidding me!" komentarku yang membuatku langsung mendapatkan tepukan
keras di kepala dari Regi yang melotot kesal. Ari dan Kak Alvian tersenyum
melihat kami.
"Tidak semua yang terlihat itu benar Gha,"
kata Kak Alvian, "Mata dan telinga manusia mudah sekali tertipu dengan
kamuflase semu."
"Kadang lo masih menilai seseorang dari
tampilan luar Gha. Padahal kalo lo mau buka mata, banyak hal yang sebetulnya
jauh di luar perkiraan lo dan mungkin, lo bakal kaget. Gue aja.........."
Kalimat Ari terpotong oleh celotehan beberapa orang yang muncul dari kejauhan.
Kulihat Kak Alvian melepas pegangannya pada tangan Ari perlahan setelah
memberikan remasan sedikit. Saat itu aku sedikit bersimpati dengan ironisnya
hubungan yang mereka miliki.
"Gimana kalo kita nyari tempat lain buat
ngobrol? Sekalian cari makan? Aku yang traktir!!" ajak Kak Alvian yang
langsung disambut dengan antusias oleh Vivi dan Regi.
"Al, gimana kalo kita bawa ke tempat biasa kita
makan? Sekalian aku mau menunjukkan sesuatu pada Regha," ujar Ari seraya
bangkit. Kak Alvian hanya tersenyum dan mengangguk, sementara aku cuma
mengerutkan kening. Ari hanya tersenyum padaku, "Hanya sebuah fakta kecil
yang terlewat oleh mata lo. Nanti lo liat sendiri," ujarnya dan melangkah
mendahului kami menuju mobil Kak Alvian.
Kamus kecil bahasa Bences :
Maskulin : masuk
Sandra : sana
Capcus : cepat
cumi-cumi : ciuman
RIZKY
Aku terdiam memandangi hasil lab yang ku pegang.
Pasienku, Ibu Sumirah seorang pengidap TBC akut ternyata semakin memburuk
kondisinya. Foto Rontgen yang diambil kemarin juga menunjukkan bertambah
parahnya keadaan paru-paru beliau. Aku hanya menghela nafas berat. Beliau
seorang wanita berusia pertengahan limapuluh yang cukup keras kepala. Hampir
semua saran dan advice yang kami berikan beliau acuhkan. Semua larangan
kami hampir-hampir tak diindahkan. Dia bahkan terlihat nyaris dengan tenang
menyongsong maut yang mungkin akan menjemputnya.
"Saya sudah siap untuk mati, Dok. Saya tau
hidup saya hanya tinggal sebentar. Jadi saya ingin menikmatinya. Melakukan apa
yang saya mau. Atau bahkan makan apa yang saya ingin. Kalo sudah mati kan sudah
nggak bisa lagi, Dok," dalihnya waktu itu. Aku mendelu dalam hati
mendengar argumennya.
"Tapi kenyataannya Tuhan masih memberi Ibu
waktu hidup di dunia ini. Bukankah sudah sepatutnya Ibu mensyukurinya dengan
memelihara hidup yang sudah beliau titipkan? Menjaga kesehatan adalah salah
satu cara kita bersyukur kan?" sangkalku. Ibu Sumirah hanya kembali
tersenyum tanpa menyahutku. Aku cuma mampu menghela nafas panjang. Kami para
dokter hanya berusaha menyembuhkan para pasien kami dengan ilmu yang kami
miliki. Namun sebenarnya penentu kesembuhan itu lebih bergantung pada sang
pasien. Kalo dia sudah tak memiliki keinginan sembuh seperti Bu Sumirah,
maka
akan sia-sia saja usaha kami.
Suara pintu yang terbuka membuatku mendongak. Ferdy
masuk dan tersenyum tipis padaku. Aku mengerutkan kening melihat keadaannya
yang terlihat semakin kuyu. Padahal dia sudah izin selama 3 hari kemarin.
Kukira hari ini dia akan muncul dalam keadaan segar bugar dan penuh semangat
baru. Bukannya terlihat makin kecapekan dan kusut begini.
"Liburanmu parah?" tanyaku singkat tanpa
melepas pandanganku darinya.
Sejenak dia tertegun, "Liburan?" gumamnya
sedikit bingung.
"Emang kamu ngapain 3 hari izin kemarin?"
tanyaku lagi yang jadi semakin heran. Dia kok malah kelihatan kayak orang
linglung gitu sih?
"Ohh... itu. Hmm i-iya Ky. Lumayan,"
jawabnya lalu duduk di kursinya.
Aku bangkit mendekat dan menatapnya dengan seksama,
"Kamu sedang sakit atau......"
"Ng-nggak papa kok," jawabnya cepat,
"Semua baik-baik saja."
Aku diam sejenak, masih memperhatikannya,
"Bagaimana dengan masalah keluargamu kemarin? Sudah beres?"
Ferdy tersenyum tipis yang bagiku lebih mirip
seringai gugup, "Baik Ky. Semuanya lancar. Bagaimana disini?"
tanyanya, jelas berusaha mengalihkan pembicaraan ke lahan yang aman.
Aku akhirnya hanya mengangkat bahu dan menyerahkan
hasil lap dan foto rontgen Bu Sumirah padanya. Kalau memang dia tak mau
membicarakannya, nggak ada gunanya aku memaksa kan? pikirku.
"Ini punya siapa?" tanya Ferdy kemudian.
"Bu Sumirah. Itu hasil lab dan foto yang
diambil kemarin. Keadaannya semakin memburuk. Dugaanku, dia tak akan bertahan
lebih dari 6 bulan kalau dia tetap begini. Semua pantangan dan saran yang kita
berikan selama ini, tak pernah dia perhatikan," jelasku.
Ferdy diam sejenak dan memperhatikan laporan yang
ada di tangannya. Keningnya berkernyit dalam melihat isinya,
"Bagaimana
kalau kita sarankan untuk opname saja?" tanyanya.
"Dokter Stevan pernah menyarankan hal yang
sama. Ditolak!"
"Jadi..?" tanya Ferdy dan menoleh padaku.
Aku kembali mengangkat bahu, "Keputusan ada di
tangan Bu Sumirah sendiri. Kalau memang dia sudah tak ingin diselamatkan, kita
bisa apa?" ujarku.
Dia tercenung sebentar lalu kembali memperhatikan
laporan yang ada ditangannya, "Menurutmu, apa yang membuat Bu Sumirah
melakukan semua ini?" tanya Ferdy lagi tanpa mengangkat muka.
"Maksudnya?"
"Dia memiliki penyakit kronis, pergi ke sini
untuk berobat, tapi sepertinya dia tak meminum obat yang kita berikan, ataupun
menjalankan semua saran dan pantangan yang kita berikan. Menurutmu itu tidak
aneh?"
Aku kembali mengangkat bahu.
"Menurutku ada alasan yang lebih pribadi yang
dimiliki Bu Sumirah, sehingga dia memilih untuk menjemput kematian. Sepertinya.
Tapi dia melakukannya dengan cara yang salah. Kurasa kita harus bicara
dengannya," gumamnya.
Aku mendengus keras karenanya, "Bukankah selama
ini kita sudah melakukannya dan tak pernah didengar?"
"Lebih personal maksudku, Ky."
"Kau.......... mau melakukannya?" tanyaku.
Semula dia terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk,
"Akan kucoba," jawabnya.
"Bu Sumirah akan datang lagi minggu depan.
Kuserahkan hal itu padamu, ok?"
Ferdy kembali mengangguk. Dan untuk beberapa waktu
lamanya aku diam disana, memperhatikannya yang sedang meneliti hasil laporan
lab. Dia terlihat sedikit lebih kurus dari biasanya. Apa yang sebenarnya dia
hadapi sekarang? pikirku heran.
"Fer........ kau yakin kalau kau tidak
sakit?" tanyaku entah untuk keberapa kali.
Dia mendongak dan menatapku, "Yeah!"
jawabnya pendek dan mengangguk.
Aku menarik nafas mendengarnya, "Baiklah. Kalau
kau yakin," jawabku dan kembali ke kursiku. Aku tak bisa memaksanya kan?
Sejak beberapa hari kemarin aku sudah menawarkan bantuanku, tapi Ferdy dengan
tegas menolaknya. Jadi tak ada yang bisa kulakukan selain melihatnya kan?
Seharusnya hal yang mudah, karena aku sudah beberapa kali melakukannya.
Siapa sangka kalau hal itu ternyata cukup sulit.
Tanpa dapat ku tahan, sesekali mataku melirik ke
arah Ferdy. Memperhatikannya yang memang berbeda dari Ferdy yang biasanya ku
kenal. Mungkin sudah 2 hari dia tidak bercukur. Cambang, janggut dan kumisnya
yang biasa tercukur bersih, sekarang tampak jelas membayang. Padahal dia
sendiri pernah mengaku kalau tak tahan bila sehari saja tidak membersihkannya. Rambutnya
yang biasanya selalu rapi dan dirapikan, kini sedikit berantakan. Bahunya yang
biasa terlihat tegak, penuh percaya diri, kini terkesan agak membungkuk seolah
terbebani oleh sesuatu. Berat tubuhnya yang jelas berkurang, serta raut
kelelahan yang sering ku tangkap juga turut menambah kesan suram pada dirinya.
AAAARRGGHH!!!! Sudahlah! Hentikan! Itu
bukan urusanmu!!! Konsen saja dengan dirimu! batinku sedikit
kesal pada diriku sendiri.
Aku meraih ponselku dan mengetik sebuah pesan.
To : Egha
Gmn warung? Rame! Jgn meleng ya?
SENT
From : Egha
Terkendali
Mas!! ^^
To : Egha
Sipp!! Mlm minggu ntar mo nonton apa?!!
SENT
From : Egha
Nyari komedi ya Mas?
Pengen ngakak nih!!
To : Egha
Boleh!
Egha yg pilih filmya ya?!
SENT
From : Egha
^^v
Aku tersenyum kecil melihat screen hape ku. Dan
sekali lagi, dengan sendirinya leherku bergerak, dan mataku melihat ke arah
Ferdy saat dia menarik nafas panjang yang terlihat berat. Sial!!! Apa sih
yang sebenarnya dia pikirkan?!! batinku kesal. Karena tak ingin terlalu
memikirkannya aku bangkit untuk membeli kopi ke kantin tanpa berpamitan pada
Ferdy, yang bahkan sepertinya lupa kalau tadinya kami berada di ruangan yang
sama.
Dah hal itu yang berusaha aku lakukan selama 4 hari
berikutnya. Tapi, sialan!!! Aku justru semakin merasa tak tenang melihat
keadaan Ferdy. Jelas dia berusaha untuk bersikap biasa. Dia ngobrol dengan para
perawat, bercanda dengan mereka, berinteraksi dengan para pasien seperti yang
biasa dia lakukan. Tapi aku melihatnya seperti sebuah robot yang bergerak
otomatis berdasarkan program yang telah dimasukkan. Meski dia sekilas terlihat
normal, aku tahu sebenarnya tidak. Matanya terlihat kosong, dan nyaris
mati. Berat tubuhnya terlihat berkurang
dengan kecepatan yang mengagumkan. Dan wajahnya jadi semakin tampak pucat.
Meski begitu, dia bekerja seperti tak mengenal
lelah.
Dia juga memiliki kebiasaan baru. Dia jadi seorang
pecandu berat kopi. Dalam sehari, dia bisa mengkonsumsi sampai 7 gelas kopi.
Padahal dulu maksimal dia hanya mau minum sebanyak dua gelas. Meski aku enggan
mengakui, tapi aku cemas dengannya. Dan aku bukanlah satu-satunya orang yang
merasa begitu. Deffan, Sovie dan perawat yang lainpun pernah mencoba menanyakan
padaku tentang perubahan Ferdy. Sayangnya aku sendiri pun tak mengerti.
Dan siang itu kesabaranku sampai pada puncaknya saat
kulihat dia melangkah sedikit terhuyung didepanku.
"FER!!!!" seruku dan segera memburunya.
Sesaat dia seperti orang yang bingung. Dia hanya melihatku dengan tatapan tak
mengerti lalu menggelengkan kepalanya. Jelas dia kehilangan orientasi
keberadaanya. Dia mencoba mengerjapkan matanya, seperti orang yang berusaha
mengembalikan pandangan normalnya.
"A-a-ada apa?" tanyanya linglung.
Aku menggeram marah karenanya. Dengan cepat aku
mengangkat tubuhnya. Jelas dia butuh istirahat, tapi aku tahu kalau
dia akan
menyangkal jika aku menanyakannya.
"Ke-kemana Ky?" protesnya lemah.
"Kau harus diperiksa dan sesudahnya, aku mau
kau katakan apa yang sebenarnya terjadi denganmu, paham?!!!" bentakku
pelan.
Ferdy hanya menggeleng dan mencoba untuk protes,
sesuai dugaanku. Tapi dia sepertinya dia mulai pusing karena beberapa saat
kemudian dia hanya mengeluh kecil sembari memejamkan matanya. Aku kembali
mendengus keras dan membopongnya ke arah ruangan kami. Dokter Stevan yang saat
itu ada disana sedikit terperangah melihatku yang masuk dan menggendong Ferdy.
"Ada apa Ky?" tanyanya dan dengan sigap
bangkit dari duduknya.
"Dia hampir pingsan tadi saat kembali dari lab
Dok," sahutku pelan dan membaringkannya di meja periksa. Aku sedikit
menghela nafas setelahnya. Ferdy cukup berat untuk ukuranku.
Dokter Stevan tak mengatakan apapun lagi. Beliau
mengeluarkan stethoscope-nya dan memeriksa Ferdy. Kulihat keningnya sedikit
berkerut ketika dia menyentuh perut Ferdy. Ketika dia menekannya sedikit, Ferdy
mengeluarkan erangan pelan dan bergerak. Dia mulai membuka matanya yang sedari
tadi tertutup rapat.
"Dokter Ferdy, anda seorang Dokter yang
tentunya tahu, bahwa makan, adalah hal yang penting untuk kesehatan kita. Kapan
terakhir kali anda mengisi perut anda dengan cukup?" tanyanya dengan sikap
profesional seorang Dokter. Jelas dia sedang menegur ferdy.
"Sa-saya lupa Dok," sahut Ferdy pelan.
"Saya mengharapkan kehadiran anda di rumah
sakit ini sebagai tenaga medis Dokter Ferdy. Bukan sebagai pasien," tegur Dokter Stevan lagi, lalu berpaling pada
Deffan yang tanpa kuketahui sudah ada dibelakang kami, "Belikan Dokter
Ferdy bubur di kantin sekarang," pintanya yang segera dibalas dengan
anggukan oleh Deffan.
"Dia tak apa-apa Dok?" tanyaku kemudian.
Dokter Stevan hanya menggelengkan kepalanya,
"Sepertinya rekan anda hanya kurang memenuhi asupan gizinya akhir-akhir
ini. Selain itu dia baik-baik saja. Dokter Rizky tak perlu khawatir. Kita
biarkan saja dia beristirahat dan memakan buburnya. Biar Deffan yang membantu.
Dokter Rizky membawa hasil labnya?"
Aku mengangguk dan menunjukkan map yang kubawa.
"Bagus. Kita rundingkan sembari makan siang di
kantin. Ayo, kita juga perlu mengisi perut kita," ajak Dokter Stevan. Aku
yang sebenarnya ingin mengkonfrontasi Ferdy saat itu juga, tak punya pilihan
lain selain mengangguk dan mengikutinya. Tapi bagaimanapun juga, aku akan
membuat ferdy buka mulut. Segera!
Aku kembali ke ruangan kami sendiri. Dokter Stevan
mendapat panggilan oleh Dewan Pengurus tadi. Kebetulan, pikirku. Karena ini
berarti aku punya kesempatan untuk menginterogasi Ferdy dengan tenang. Dia
sudah beristirahat selama hampir sejam. Kurasa dia sudah mengumpulkan tenaga
yang cukup. Aku mempercepat langkahku. Begitu dekat ke ruangan kami, aku bisa
mendengar celotehan ringan dari dalam ruangan yang pintunya terrbuka. Suara
Sovie yang paling keras terdengar.
"Ya Ampuunn!!! Gak nyangka lho Dok. Selama ini
kita nggak pernah melihatnya," serunya rame.
"Iya ih! Kenapa kita nggak nyadar ya? Orangnya
pasti cantik," sambung Dina dengan nada iri.
Aku yang telah berdiri di ambang pintu hanya mampu
mengangkat alis dengan kehebohan didalam. Ferdy duduk dikerubutin oleh Dina,
Endah dan Sovie yang tampak gembira oleh sesuatu.
"Ada apa?!" tanyaku singkat.
"Eh Dokter Rizky!" seru Endah yang sedikit
kaget oleh sapaanku.
"Bukankah harusnya kalian beri waktu buat
Dokter Ferdy beristirahat?" tegurku pada Ferdy yang kini terdiam melihatku
dengan wajah pucatnya.
"Abis Dok, kita semua kan kaget pas tahu kalo
Dokter Ferdy udah tunangan. Nggak bilang-bilang ih!" gerutu Sovie dengan
nada sedikit merajuk.
Aku langsung menoleh tajam pada Ferdy yang kini
sedikit tertunduk, "Tunangan?!" tanyaku tanpa menyembunyikan
keherananku.
"Iya Dok! Dokter Rizky nggak tau juga?"
cetus Dina dan menunjuk pada tangan Ferdy. Saat itulah aku baru menyadari
sebuah cincin platina polos yang melingkar pada jari manis tangan kanannya. Aku
tak tahu sudah berapa lama cincin itu melingkar disana karena aku sendiri tak
pernah melihatnya, seingatku.
Ada hawa dingin aneh yang terasa merambat dari
kepalaku. Beberapa saat lamanya aku hanya mampu melihat cincin di jari
Ferdy
itu. Dia menyadarinya lalu perlahan dia menarik tangannya dan menyembunyikan
cincin itu di balik selimut. Aku baru bisa berkedip saat kulihat sebuah
bayangan yang melangkah masuk kedalam ruangan itu. Devan yang baru datang
tampak sedikit bingung dan melihat bergantian ke arah kami yang saat itu hanya
berdiri diam, canggung.
"Kalian bisa tolong tinggalkan kami sebentar?
Ada hal yang harus aku bicarakan dengan Dokter Ferdy," pintaku pada Dina
dan yang lain. Mereka yang mungkin sebenarnya merasa heran, hanya mengangguk
dan melangkah menjauh dari Ferdy, "Dev!!" panggilku pada Deffan yang
berhenti melangkah.
Dia melihat ke arahku.
"Tolong," pintaku singkat tanpa mampu
melanjutkan. Syukurlah dia sepertinya paham dan meminta pada yang lain untuk
mengikutinya. Devan pasti bisa menahan Dina dan yang lainnya. Aku tak ingin
pembicaraan kami didengar oleh mereka. Devan bahkan cukup bijaksana dengan
menutup pintu.
Aku biarkan sejenak keheningan menggantung di udara.
Aku mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk bisa mengatakan apa yang
sebenarnya ku pikirkan. Tapi aku mendapatkan kesulitan untuk mengungkapkannya.
"Tunangan?" tanyaku akhirnya.
Ferdy menarik nafas sebelum menjawabku, "Orang
tuaku yang mengaturnya Ky," sahutnya pelan.
"Dan kau menyetujuinya?! Apa kau sadar kau
hidup di zaman apa sekarang?!" tanyaku sedikit keras.
Ferdy tersenyum tipis, "Memangnya kenapa? Toh
tak ada salahnya kan? Mungkin saja pada akhirnya kami bisa berbahagia. Siapa
tau," tukasnya sembari mengangkat bahu.
Aku mendengus keras mendengarnya, "Kalau memang
kau tak bermasalah dengan hal itu, maka kau tak akan terlihat seperti ini
sekarang. Kau sadar bagaimana keadaanmu saat ini? Kau lebih mirip pesakitan
meja hijau yang mendapatkan vonis mati! Jelas kau tak menginginkan pertunangan
itu. Kenapa kau tak menolaknya?!!"
"Untuk apa?" tanya Ferdy pelan dengan nada
datar, "Bukankah pada akhirnya kita semua akan menikah? Hanya masalah
waktu kan? Seperti yang kau katakan dulu," jawabnya.
"TapI apa kau akan bahagia dengan itu?"
Pertanyaanku membuatnya mengangkat wajah dan
memandangku, "Bahagia? Bukankah kebahagiaan orang tua kita lebih utama?
Kau yang mengajarkan itu padaku kan?"
Kalimatnya membungkamku, "Lalu kenapa kau tak
memberitahuku? Karena itu kau izin beberapa hari?" tanyaku.
Ferdy mengangkat bahunya, "Nggak ada pentingnya
juga kalau kau tahu Ky."
"Tapi setidaknya aku bisa memberimu ucapan
selamat, atau kau ingin sebuah kado dariku?" sindirku.
Ferdy mendecak pelan dan memalingkan mukanya dariku,
"Sudahlah Ky!"
"Aku tahu kita hanya fuck buddiess Fer. Tapi
hal sebesar ini, tidakkah menurutmu aku berhak untuk tahu?"
"Tolong Ky," pinta Ferdy dan kembali
berpaling padaku sehingga aku bisa melihat sorot hampir putus asa yang
terpancar dari matanya, "Tidakkah kau lihat kalau aku sudah berada
diambang batas ketahananku. Tolong, jangan dorong aku lagi," pintanya
pelan dengan air mata yang kulihat mengalir dari sudut matanya.
"Kau ingin aku berkata apa?" tanyaku
dingin tanpa ampun.
"Jangan katakan apapun. Biarkan saja semua. Itu
sudah cukup bagiku,"katanya.
"Aku tak akan mengatakan apapun kalau saja kau
tidak terlihat seperti mayat hidup sekarang! Berkacalah! Kau hampir-hampir seperti
zombie. Tubuhmu hidup! TapI kau lebih mirip mayat."
"Aku tak punya pilihan lain Ky!!"
"Apa maksudmu tak punya?!! Kau selalu punya
pilihan lain! Kau bisa mengatakan tidak pada orang tuamu! Kau toh cukup dewasa
untuk menentukan nasibmu sendiri."
"Untuk apa aku menyakiti mereka? Toh tak ada
lagi yang ingin aku perjuangkan bukan?" tanyanya lagi sembari menyusut
hidung, "Bukankah seperti ini akhirnya? Seperti yang selalu kau katakan.
Kita menikah dan menjalani kehidupan normal seperti yang lainnya."
"Tidak kalau nantinya itu akan
membunuhmu!" tukasku cepat, "Jelas kau sama sekali tak menyukai gadis
itu. Kau lebih mirip orang tersiksa dengan semua ini! Lihat dirimu dalam
cermin! Hanya dalam hitungan hari, berat badanmu turun drastis. Penampilanmu berantakan.
Kau hampir mencelakakan dirimu sendiri tadi. Dalam sebulan, kau mungkin akan
harus opname disini. Bayangkan bagaimana keadaanmu setelah kau menikah nanti.
Dalam seminggu mungkin akan ada upacara pemakaman di rumahmu!"
"LALU APA YANG HARUS AKU LAKUKAN?!!!" seru
Ferdy keras, mengagetkanku, "Apa yang ingin kau dengar? Bahwa aku tak
mencintai tunanganku?! Tentu saja, bodoh!! Aku mencintaimu!! Kau sudah tau
jelas itu. Tapi seperti yang telah kau jelaskan dulu, tak ada masa depan bagi
kita!! Dan kau mencintai Regha. Apa lagi yang tersisa untukku? Apa lagi yang
harus aku tunggu? Apa salahnya kalau aku membahagiakan orang tuaku?!!"
Aku diam, karena sesungguhnya akulah yang lebih tahu
akan hal itu. Sudah dari permulaan aku mengerti dan menyadari, seperti inilah
semua akan berakhir. Kami akan menikah dengan seorang wanita dan menjalani
sebuah kehidupan yang bagi sebagian besar orang disebut dengan normal. Tapi
melihat efek sebuah hubungan normal yang hanya beberapa hari dijalani oleh
Ferdy membuatku marah. Kenapa aku merasa bahwa seolah-olah dia menyiksa dirinya
sendiri?
"Tapi............ kau tak harus terlihat
seperrti ini kah Fer?" tanyaku sedikit melunak, "Kau bisa memilih
seseorang yang setidaknya membuatmu merasa nyaman. Bukannya menderita
begini."
Ferdy tertawa getir sembari kembali menyusut hidung
dan ujung matanya yang berair lagi, "Kau masih tak mengerti juga ya? Semua
wanita sama saja bagiku, Ky," katanya pelan lalu turun dari tempat tidur.
Dia melangkah mendekat ke arahku yang hanya mampu diam berdiri ditempatku,
"Kau tahu kenapa? Karena hanya denganmu aku mendapatkan kenyamanan
itu," katanya pelan lalu kemudian kembali berjalan melewatiku.
Aku tertegun mendengarnya. Sesaat aku hanya diam,
mendengar suara langkah pelan Ferdy yang sedikit menyeret, mendekati pintu.
Namun sekejap berikutnya aku berbalik dan meraih tangannya, "Kalau begitu
putuskan pertunangan itu!" ujarku cepat.
Ferdy terperangah dan menatapku tak percaya,
seakan-akan ada sebuah kepala lain yang tumbuh di leherku, "Kau
gila," desisnya lirih.
"Kau bilang ingin bersamaku kan? Putuskan
pertunanganmu!"
"Kenapa? Agar kita bisa bersama
selamanya?" tanya Ferdy sedikit sinis.
Aku diam sejenak sebelum menjawabnya. Perlahan aku
melepas pegangan tanganku padanya, "Tidak," jawabku akhirnya, dan aku
mengatakan yang sebenarnya. Sejak terakhir kali aku memutuskan hubungan
dengannya dulu di Yogyakarta, Ferdy berhak mendapatkan kebenaran dariku,
"Kita tetap akan berpisah saat aku menikah."
Lagi-lagi Ferdy terperangah mendengarku, "Lalu
untuk apa aku memutuskan pertunanganku? Hanya agar bisa bersamamu beberapa
saat? Sampai akhirnya kau menikah dan meninggalkanku?"
Aku mengangguk, "Yah! Aku ingin kau memutuskan
pertunangan itu agar bisa bersamaku. Karena aku tak suka kalau kau
bertunangan."
"Berapa bulan kau akan bersamaku huh?! Atau
mungkin, setahun? Dua tahun? Berapa lama waktu yang kau tawarkan sebelum kau
kembali membuangku?! Setelah itu aku harus apa? Kembali meratapimu?!!!"
tanyanya keras dengan tubuh sedikit gemetar oleh amarah, "Kau manusia
teregois yang pernah ku temui," desisnya kemudian.
Aku mengangkat bahu mendengarnya, "Aku memang
egois. Aku tak suka membagi orang yang bersamaku. Kau bilang tadi kau
mencintaiku kan? Kalau begitu batalkan pertunanganmu. Dan kita akan
bersama," kataku enteng.
"Dan Regha?"
Aku menarik nafasku,"Aku masih berusaha untuk
mendapatkannya. Dia belum...."
PLAAKKK!!!!!!!
Aku sedikit tersentak saat kepalaku oleng ke kiri
karena tamparan Ferdy. Panas yang diikuti oleh rasa perih mulai merambati
indraku. Tapi bahkan sebelum aku bisa berkata apapun, Ferdy telah pergi dari
ruang kerja kami. Aku mengusap pipiku pelan sembari mengutuk pelan.
Seumur-umur, baru kali ini aku ditampar sekeras ini. Dan tak sedikitpun aku
menyangka kalau Ferdy bisa melakukannya. Selama ini dia selalu bersikap lembut
padaku. Bahkan saat aku melukainya.
Meski jujur, aku lebih suka melihatnya marah daripada
diam dalam penderitaannya.
"Aku tak suka melihatmu seperti ini Fer,"
gumamku pelan sembari memandang pintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar