RIZKY
"Sebenarnya
kamu nggak perlu ikut repot Fer," kataku entah untuk keberapa kali. Ferdy
kembali tertawa kecil mendengarku.
"Sudah
beberapa bulan ini kubiarkan kau menghindariku Ky! Hari ini mungkin terakhir
kalinya aku melihatmu di Yogyakarta. Bagaimana aku bisa melewatkannya?"
tanyanya, terdengar santai.
Aku
menghela nafas dan menutup kardus yg berisi buku-bukuku. "Sudah kubilang,
kalau sebaiknya kau menjauh dariku," gerutuku pelan sembari menyegel
kardus tadi dengan selotip besar. Sebuah truk jasa pengangkutan nanti akan
datang untuk membawa barang-barangku kembali ke Bandung.
"Ini
ditaruh dimana?" tanya Ferdy, seolah-olah tak mendengar kalimatku tadi.
Dia mengangkat sebuah kardus lain yg bertuliskan alat-alat dapur.
"Taruh
saja diteras. Sebentar lagi truk pengangkut juga datang," sahutku. Ferdy
segera keluar untuk meletakkan kardus tadi.
Sebenarnya
aku juga sedikit terusik dengan argumennya tadi. Ini adalah saat terakhirku
disini. Aku mungkin tidak akan kembali kesini. Well, setidaknya untuk satu
tahun lebih. Aku harus menyelesaikan koasku dulu. Argumen Ferdy itu yg akhirnya
membuatku akhirnya mengalah, membiarkannya membantuku packing. Sedikit hal yg
setidaknya mungkin akan meninggalkan kesan baik padanya tentangku.
Setelah
apa yg pernah kami miliki, rasanya tidak nyaman kalau aku pergi dengan diam.
Apalagi dia yg berinisiatif untuk membantu. Menolaknya mungkin akan membuat
imejku makin buruk dalam kenangannya.Setidaknya hal ini toh tidak merugikanku,
pikirku.
"Dan
sudah kubilang kalau aku akan membuatmu mencintaiku kan?" kata Ferdy pelan
yg tahu-tahu berdiri didepan pintu kamarku.Sejenak aku hanya menarik nafas
panjang dan menyibukkan diri lagi dg packing. "Aku kira kita sudah selesai
membahas hal itu," kataku tanpa menatapnya.
"Ky.
. . ," desah Ferdy dan mendekat.
"Aku
memutuskan untuk mencoba mendapatkan Regha!" kataku cepat. Kalimatku itu
membuat Ferdy berhenti melangkah. Dia diam menatapku, dan kembali coba
kuacuhkan. Aku memilih untuk menghindar, tak ingin melihat sorot terluka itu
lagi. "Selama ini aku menghindar bukan hanya karena takut orang tuaku
tahu. Tapi jg karena dia straight, dan dia adalah salah satu pegawai Ibu.
Beberapa hari kemarin, saat aku memeluknya, menyentuhnya untuk pertama kali,
aku tahu. Aku tahu kalau aku tak ingin lagi menghindar. Aku ingin mendapatkan
Regha. Hatinya!" kataku.
"Kamu
pasti bisa kok!" ujar Ferdy ringan.
Aku
terdongak, menatapnya kaget. Sorot terluka yg kukira akan kembali terlihat
dimatanya ternyata tak ada. Dia bahkan tersenyum, seolah-olah memberikan
suntikan semangat padaku. "Manurutmu. . . , begitu?" tanyaku ragu.
Ferdy
mengangguk pasti dengan senyum yg masih terkembang dibibirnya. "Siapa sih
yg bisa menolakmu? Cakep, pinter, seksi dan. . . . , partner bercinta yg
hebat," kata Ferdy dan mengedipkan sebelah mata.
Lagi-lagi
reaksinya membuatku heran. Dia justru menyemangatiku untuk mengejar Regha,
padahal baru beberapa menit tadi dia bilang kalau dia masih aka
berusaha membuatku mencintainya. Dan dia terlihat waras. Jadi apa sebenarnya yg
salah?
"Terus
saja berusaha. Dan biarkan waktu yg mengungkap hasilnya. Aku juga akan terus
berusaha mendapatkanmu," katanya enteng.
"SEMANGAT!!!"
Aku
bengong hebat!! "Kau baik-baik saja?" tanyaku sedikit khawatir.Ferdy
tertawa ringan. "Aku nggak gila kaleee!! Hanya menegaskan keinginanku.
Kita berdua berusaha sebaik mungkin ya?" kata Ferdy lalu meraih kardus yg
berisi bukuku tadi, dan mengangkatnya keluar.Untuk beberapa saat lamanya, aku
hanya terpaku ditempatku berdiri.
ZAKI
Aku diam memperhatikan Regha
yg mengerjakan tugasnya ditaman. Kantor pengurus panti dibangun tepat ditengah
area kompleks. Jadi aku bisa melihat sekeliling kompleks. Kantorku
yg berada dilantai dua juga memudahkanku untuk memperhatikan
sekeliling tanpa diketahui. Beberapa kali aku menemukan pegawai yang 'nakal'
dan perlu ditegur dari tempatku berdiri sekarang.
"Aahh!!"
aku mendesah pelan saat kulihat Regha tersandung dan hampir
jatuh. Aku menggelengkan kepala dengan sikapnya yg selalu teledor. Kadang
kupikir Regha adalah seorang mahasiswa dengan pikiran anak SMP.
Tubuhnya
yg sekitar 165 cm lebih, bertubuh sedang kadang terkesan kecil. Padahal kalau
diperhatikan,dia memiliki struktur tulang yg besar, khas orang yg terbiasa
bekerja keras. Kulitnya yg sedikit terbakar juga memberi kesan kalau dia orang
yg aktif. Dan menurut laporan dari penyelidikku, dia memang pekerja keras.
Terlepas
dari kecerobohan dan keteledorannya yg diatas rata-rata orang normal, dia
memiliki kegiatan yg cukup padat. Pagi dia bekerja dirumah makan.
Pulang langsung pergi kuliah, atau kalau nggak, dia akan memberi
les privat pada beberapa anak. Yang aku tahu, hanya pada hari kamis
dan sabtu saja dia agak longgar. Biasanya, aktivitasnya baru selesai pada jam 5
sore. Dalam beberapa hari bahkan dia mengajar dari jam 6 sampai 9 malam. Semua
itu dilakukannya untuk bisa bertahan di tempat ini.
Dan
setahuku, dia mahasiswa dengan kemampuan rata-rata. Sehingga beasiswa tidak
berlaku untuknya. Mengesankan sekali hasil laporan yg diberikan
oleh penyelidikku. Kedetailan datanya sempat membuatku ragu untuk
meneruskan niatku memberi pelajaran pada Regha. Tapi melihat keteledoran dan
kecerobohannya, aku tak bisa menahan kegemasanku.
Tadi
pagi saat aku menjemput dikostannya, kunyuk satu itu masih tertidur pulas.
Matanya yg menyipit, rambutnya yg berantakan dan baju kucelnya membuatnya mirip
anak-anak yg baru ditarik dari tempat tidur oleh orang tuanya. Untuk sejenak
dia bengong menatapku yg berdiri dengan tangan menyilang didada.
"Ngapain bengong?!!
Cepetan mandi!!" bentakku sedikit agak keras.
Matanya
langsung terbuka, dan sepertinya saat itu, lampu diotaknya baru menyala. Dia
menatapku tak percaya. "Kok?!! Siapa yg bukain pintu pager?"
tanyanya heran dg suara yg sedikit agak berat oleh kantuk.
"Temenmu
sudah banyak yg bangun! Sepertinya beberapa dari mereka hendak
jogging. Mereka yg kasih tau kamarmu," kataku menjelaskan dengan tak
sabar. Dan dia dengan begonya cuma berdiri didepanku. Masih dengan tatapan
bloon nya. "CEPETAN MANDII!!! Kita terlambat!" bentakku lagi
menyadarkannya.
"I-iya!!"
katanya sedikit terlonjak dan langsung masuk kembali kekamar.
Beberapa saat kemudian dia sudah kembali keluar dg handuk yg tersampir di bahu
dan gayung yg berisi peralatan mandinya.
"Aku tunggu diluar!
Makanya jangan molor terus!" gerundengku.
"Hei!!
Aku tadi bangun jam 4 buat shalat subuh, trs tidur lagi!" protesnya
membuatku hanya menatapnya tajam sembari menggeram jengkel. Sepertinya dia
cukup sadar situasi krn dia langsung buru-buru berlari menuju kamar mandi
bersama yg sepertinya terletak diujung bangunan.
Aku
lalu berjalan menuju kemobilku sembari mengedarkan pandanganku. Bangunan
kost ini begitu sederhana. Bahkan kamar mandi dan dapurnya berada
diluar kamar. Bisa kulihat beberapa kompor gas tadi berjejer disuatu bangunan
tanpa dinding yg berada dibelakang bangunan utama. Kamar-kamarnya juga kecil.
Bahkan kamar mandiku saja lebih besar dari unit yg disewakan disini. Salut jg
bagi orang seperti Regha yg mampu bertahan disini.
Sekitar
15 menit kemudian dia keluar dengan memakai jeans belel dan t-shirt.
Yg membuatku kembali mengerang jengkel adalah saat kulihat dengan cueknya dia
memakai sandal jepit. Untuk sejenak dia bengong melihatku yg menatapnya marah.
"Apa?"
tanyanya bego dan sedikit takut.
"WHAT
THE HELL ARE YOU THINKING?!!! Kamu pikir kita mau belanja dipasar?!! Ganti
bajumu dengan kemeja!! Dan pakai sepatu! Bukannya sandal jepit!!" omelku
geram.
"Oh!"
tukasnya singkat dan buru-buru berbalik. Aku hanya mampu menggeleng masygul
dengan tingkahnya. What a douche bag!!Dia kembali keluar dengan mengenakan
kemeja yg tampak usang. Dan sepatunya. . .
Aku
mengeluh pelan.
Aku
akan memastikan kalau dia mendapat seragam lengkap berikut sepatunya. Segera!
Tak mungkin aku membiarkan pegawai panti bekerja dengan penampilan
seperti yg dia kenakan sekarang.
"Memang
tempat kerjanya dimana Ki?" tanya Regha saat kami mulai melaju.
"Bogor!"
sahutku singkat.
"Hah?!!"
Hanya
itu reaksi dari Regha. Untuk beberapa menit dia cuma dia bego ala Mr. Bean.
Mungkin dia mengira aku bercanda saking tak percayanya.
Dan
kalau kukira kalau Regha telah belajar dengan keteledorannya yg kemarin, aku
jelas salah besar. Anak itu benar-benar contoh autentik tentang apa yg disebut
dengan contoh 'mahasiswa yg seharusnya tak pernah ada di muka bumi'. Saat kami
mulai masuk kekawasan panti, aku mulai menjelaskan padanya tentang situasi
panti.
Keterangan-keterangan
singkat namun esensial dan harus dia ketahui. Briefing singkat yg tak ingin
kuberikan dikantor. Bukan hanya demi kebaikanku, tapi juga untuk Regha. Aku tak
ingin rekan kerjanya menganggapnya anak autis. Aku jg tak ingin mereka mengira
kalau aku sedang membawa salah satu pegawai idiot yg bisa bekerja disini, hanya
karena aku atasan.
Tapi
bukannya mendengarkan atau menyimak keteranganku, si bego itu bengong hebat
dengan mata jelalatan gak jelas. Mulutnya terbuka lebar, matanya membelalak dan
kepalanya bergerak-gerak memperhatikan sekeliling, sehingga dia makin terlihat
seperti orang yg punya keterbelakangan mental. FOR FUCK SAKE?!!!!
Dengan
kesal aku mengerem mobil mendadak!
"ARE
YOU LISTENING?!!!" bentakku jengkel.
Dia
yg terpental dan kembali menabrak kursinya memekik pelan. "I AM!!"
katanya sedikit keras. "Gak usah teriak-teriak begitu bisa
kan?!!""Apa yg tadi kukatakan?" tanyaku tajam.
Kunyuk
satu itu kembali memasang tampang bego. "Eeeuuhh. . . ., yang mana?"
tanyanya dengan muka polos.
Waktu
itu aku benar-benar ingin meraihnya, mengguncang-guncang tubuhnya dengan keras,
dan memukul kepalanya. Mungkin dengan itu, sambungan syaraf lepas yg ada
diotaknya, bisa terkoneksi kembali.IS HE FOR REAL?!!!
Sepertinya
satu-satunya cara agar Mr.Bean muda Indonesia ini bisa
mengertitugasnya dan tidak teledor, adalah dengan mengancamnya. Juga
mengawasinya langsung. Jadi aku melakukannya.
"AAHH!!!"
aku kembali mendesah saat melihatnya dibawah yg hampir jatuh. How on earth he
could've survived all these years?! batinku tak percaya
kamus
bahasa planet:
tinta/tintring
= tidak
lupis?lupita
= lupa
duta=
duit
diana/dese=
dia
Saat Zaki mengatakan bekerja untuknya, maksudnya adalah bekerja di Panti Jompo exclusive yg dimiliki oleh nyokapnya. Zaki menjelaskan padaku, kalo kerjaku hanyalah pada akhir pekan saja. Biasanya pada akhir pekan keluarga dari para penghuninya datang semua. Jadi panti akan ramai. Tugasku hanyalah membersihkan kamar-kamar para penghuni panti, mengganti sprei, ngepel lantai, dan nantinya membersihkan sisa-sisa keramaian di siang harinya.Intinya adalah OB!!!Reaksi pertamaku adalah menolak. Tapi Zaki mengatakan kalo gajiku adalah 500 ribu untuk 4 hari kerja dalam sebulan. Aku menyetujuinya tanpa banyak cakap. Dan disinilah aku!
Panti Jompo yg dikelola oleh Ibu Zaki menurutku lebih tepat kalau disebut sebagaihotel mewah! Bayangin aja, institusi ini berada disebuah daerah dataran tinggi Bogor yg sejuk. Memiliki kolam renang 4 buah, salah satunya indoor dan kolam renang air hangat. Punya hall besar yg bisa menampung skitar 200 pengunjung untuk acara khusus. Gym, ruang kesehatan yg lebih mirip rumah sakit kecil, area golf, jogging track, sebuah taman yg cukup luas, 2 buah mini market,sebuah butik dan sebuah hotel kecil yg biasanya menampung keluarga para penghuni yg menginap.Semua keperluan para penghuni bisa didapatkan dalam kompleks ini tanpa harus keluar dari area.
Pintu masuknya dijaga oleh beberapa security guard dan ada juga yg bertugas keliling di area kompleks satu jam sekali.Aku yg tadinya masih mengantuk karena Zaki menjemput ke kost an ku jam 6 jadi langsung melek(and by the way, hari ini dia pake seragam kerja, celana warna hitam dan kemeja biru yg aku yakin bakalan bikin aku tampak bulukan, tp herannya terlihat bagus padanya. Anjrit!). Mulutku ternganga mendengar penjelasan Zaki.
Mataku jelalatan menikmati pemandangan kompleks yg begitu asri dan tertata apik. Pohon-pohon dan tanaman bunga-bungaan indah tersebar dengan sentuhan yg menakjubkan.
"Kamu dengerin omonganku nggak sih?!" sergah Zaki jengkel membuatku sedikitngeh.
"Heh?!! Apa?!!" tanyaku bego dan berpaling padanya yg menyupir disebelahku. Zaki mendengus jengkel oleh jawabanku.
"Masih belom sadar juga kalau keteledoranmu yg seperti ini yg hampir menyebabkan AKU dan KAMU celaka kemarin?! Emang sulit membagi konsentrasi antara apa yg kau pikirkan dan dilingkungan mana kau berada?!!" bentaknya kesal.
Aku tanpa sadar menelan ludah. Gila! Nih anak kalo marah serem juga! Meski apa yg dia katakan itu benar, aku sedikit tidak terima. Emang dia nggak bisa apa ngomong dengan baik? Harus bentak-bentak gitu ya? Gak capek apa?! Zaki tiba-tiba menginjak rem sehingga mobil berhenti dengan bunyi decit yg sedikit menyeramkan, dan tubuhku terpental kedepan! Aku memekik keras, kaget luar biasa. Untungnya aku memakai seat belt sehingga aku tidak terantuk pada dashboard mobil. Tapi punggung dan bagian belakang kepalaku terantuk keras pada kursiku.
"ARE YOU LISTENING?!!!" bentak Zaki lagi.
"I AM!!!" balasku jengkel! Anjrit!! Sakit jg kepalaku.
"Aku denger! Gak usah teriak-teriak gitu bisa kan?!"
"Apa yg tadi ku katakan?" tanya Zaki tajam.
"Eeeuuhhh!!! Yang mana?" tanyaku gak ngerti. Zaki menggeram keras membuatku kembali mengkeret karenanya.
"Dan kau tadi bilang kalau kau mendengarkan?!!" tanyanya geram.
"Tidak seluruhnya! Tapi aku tahu apa tugasku! Itu cukup kan?!" dalihku.
"NO!!! That's not enough! Institusi ini ditempati oleh orang-orang penting yg ingin menghabiskan sisa waktunya disini dg tenang. Mereka adalah orang-orang terhormat dinegara ini, juga dari negara-negara tetangga, yg terbiasa melakukan dan mendapatkan sesuatu sesuai dengan keinginan mereka. Dan pelayanan kami disini tidak tercela. Kami penuhi semua, SEMUA apa yg mereka inginkan. Asal itu tidak mempengaruhi kesehatan mereka. Para penghuni institusi ini menuntut pelayanan sempurna kami. Dan aku tak akan membiarkan keteledoranmu, mempengaruhi reputasi kami. PAHAM?!!"
"Tugasku kan cuma bersih-bersih?! Ganti sprei dan yg lain. Apa itu memerlukan pengetahuan khusus?" gerundengku mulai jengkel.
"Tentu saja ada!" sahutnya tegas. "Bapak Atmowiloto, mantan direktur Bank Internasional dinegara ini alergi pada lavender atau apapun yg berbau lavender. Kalau kau menggunakan pembersih atau apapun yg berbahan dan berbau lavender seperti di paviliun II, kau akan membuatnya mati. Bapak Zulfikar, mantan politisi besar, hanya mau menggunakan sprei berwarna biru gelap! Kalau kau teledor memasang warna yg lain, dia akan menuntut kami. Kau paham?! Mr. Kho Yuen Min dari Malaysia hanya mau tidur dengan sprei yg terbuat dari sutra. Dan kalau kau memberinya yg lain, dia akan menuntut kami. Kau mau menanggung resikonya? "Aku melongo mendengarnya.
"Jadi. . . aku harus mempelajari basic dari para penghuni tempat ini?" kataku kaget. Masa harus segitunya sih? Sampe warna bahan dan bau aja diperhatiin. Bukannya yg penting bersih aja?!
"Tentu saja! Akan kuberitahu nanti dan kau harus benar-benar memahaminya. Hapalkan dan terapkan sampai sedetil-detilnya. Jangan sampai ada yg terlupa. Karena kalau kali ini kau membuat masalah lagi. . . . ," dia menatapku dengan sorot yg mengerikan, ". . . aku akan membuatmu menyesal telah berurusan denganku. Paham?!" desisnya dingin. Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa, selain mengangguk patuh.
Panti itu benar-benar tempat yg mengagumkan. Para penghuninya membuatku ternganga. Tempat itu seakan-akan sebuah negara kecil yg merdeka dan berdiri sendiri. Orang-orang yg tinggal disana adalah jawaban dari The Who and The What pada masa beberapa dekade silam. Ada veteran politisi, pejabat tinggi negara, pesohor dunia seni, ahli pendidikan, mantan pejabat daerah, penulis buku ternama, cendekiawan terkenal, tersangka kasus korupsi negara, sampai para konglomerat yg pernah dikabarkan bangkrut dalam surat kabar.
Menurut Zaki, banyak diantara para penghuninya tinggal ditempat ini krn pilihan mereka sendiri. Bukan keputusan keluarga. Disini mereka memperoleh pelayanan kelas HOTEL berbintang. Disini mereka bisa berkumpul dengan para teman-teman mereka pada masa jayanya. Bersama-sama mengenang masa keemasan. Bersama menikmati masa tua dimana mereka kebanyakan hanya duduk mengobrol santai.Banyak juga dari mereka yg punya kebiasaan yg menurutku konyol.
Misalnya ada salah satu mantan rektor sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di Indonesia yg menuntut agar selalu ada minimal 3 buku baru dikamar setiap minggunya. Jadi satu minggu sekali, petugas harus membawakan daftar buku-buku baru yg terbit, dan orang itu akan memilih buku mana yg ingin dia baca. Ada juga mantan penyanyi era eyangku yg suka sekali karaoke, meski suaranya sudah jauh dari kata indah. Tapi satu minggu sekali, dia mengadakan pesta menyanyi di ruangannya, yg berlangsung heboh dan bising luar biasa. Juga seorang politisi yg setiap harinya tak bisa tidur tanpa bantal bulukannya yg selalu harus disemprot dengan parfum mewah.
Komentar pertamaku adalah, mereka semua sinting! Tapi banyak dari mereka yg memiliki prestasi mengagumkan. Dan meski aku berusaha setengah mati, aku tak akan bisa menyaingi separuh saja prestasi mereka. Disini Zaki berubah menjadi orang yg berbeda dari yg aku kira. Kukira dia hanya akan menjadi Bos Besar yg bisanya cuman sok sibuk dan nunjuk-nunjuk doang.
Tapi dia ternyata bekerja bersamaku. Maksudku bekerja sama denganku adalah bekerja dalam posisi yg sama denganku! Juga melakukan hal yg sama denganku. Bersamaku. Literally! Entah karena dia memutuskan jadi tutorku, atau hanya ingin mengawasiku, supaya aku tidak membikin masalah. Bodo amat! Dia ikut mengganti sprei, mengepel lantai, membersihkan sampah, bahkan menggosok kamar mandi. Tak akan ada yg menyangka kalau dia adalah putra dari pemilik fasilitas mewah ini.
Meski aku bisa menangkap juga kesan segan dari beberapa pegawai lain saat mereka berkomunikasi dengannya. Mungkin itu juga karena dia memag tegas dan pemarah seperti biasanya. Kalo kasih perintah, watak pemarahnya terlihat dengan jelas. Atau mungkin ada sebab lain? Sekali lagi, bodo amat?!!!
Jadi kesimpulan yg bisa aku ambil, meski disini dia ikut membaur dan mau bekerja sama dengan para pegawai lainnya, tetap aja dia ngeselin seperti biasanya.Sialnya, aku harus bekerja dibawah pengawasannya langsung! Seakan-akan dia benar-benar mau memastikan kalau aku tak akan membuat kesalahan, sekecil apapun itu!Anjrit!!!
"Yang berikutnya adalah ruangan Bapak Suwiryo! Beliau mantan dosen sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Orangnya sederhana dan tidak macam-macam," jelas Zaki saat kami menuju ruangan terakhir. "Biasanya hari minggu seperti ini beliau sedang membaca diruang tv."
"Lho?! Beliau nggak kumpul sama keluarganya ditaman depan?" tanyaku heran. Menurut Zaki tadi, pada hari minggu seperti ini, biasanya keluarga para penghuni yg tinggal di Jakarta datang menjenguk. Dan biasanya pula, mereka berkumpul ditaman depan. Mengobrol santai rame-rame disana.
"Keluarga beliau meninggal semua dalam sebuah kecelakaan pesawat 5 tahun yg lalu," jawab Zaki singkat Keterangan itu membuatku bungkam. Jadi aku hanya mengikutinya masuk. Seperti ruangan yg lain, ruangan Bapak Suwiryo lebih tepat kalau disebut kamar HOTEL daripada kamar di sebuah panti jompo. Ruangannya terbagi menjadi 3 bagian. Ruang santai sekaligus tamu, kamar tidur dan sebuah dapur kecil. Seperti layaknya orang intelektual, aku melihat banyak sekali buku diruangan ini.Bapak Suwiryo sendiri kulihat sedang duduk santai mengobrol dg temannya yg juga berusia diatas 60 tahun.
"Aahh Zaki! Hari ini jg datang?" sapa beliau dan mengarahkan kursi rodanya mendekat kearah kami. Sebuah fakta yg tadi luput disebutkan oleh Zaki. Kulihat kaki kiri beliau sudah tidak utuh lagi.
"Bapak Suwiryo," sapa Zaki dg keramahan yg membuatku mengangkat sebelah alis. Bisa juga kunyuk satu ini mengeluarkan nada yg bersahabat begitu.
"Sepertinya Bapak sedang mengobrol santai dengan Pak Agus?" lanjut Zaki.
"Yaahh. . . , akhir pekan ini keluarga beliau sedang berlibur ke Hongkong. Bukan begitu Pak Agus?" tanya Pak Suwiryo dg nada bercanda. Pak Agus hanya menanggapinya dengan senyum tipis.
"Dan ini. . . ," Pak Suwiryo tak meneruskan kalimatnya dan berpaling padaku dg tatapan ingin tahu .
"Ini Regha Pak! Teman saya yg mulai hari ini akan membantu disini," jelas Zaki.
"Selamat datag anak muda!" sambut Pak Suwiryo dan mengulurkan tangannya padaku. Aku cepat-cepat membalasnya.
"Semoga kau tidak mengeluh karena harus mengurus kami yg sudah tua ini." Aku hanya tertawa kecil mendengar gurauan beliau. Seperti yg Zaki sebutkan, orang ini benar-benar ramah. Suaranya yg sudah sedikit bergetar terkesan hangat.
"Tentu saja tidak Pak!", "Kalau begitu, silahkan kalian melakukan tugas kalian. Aku akan keluar agar kalian tidak terganggu. Mari Pak Agus, kita mengobrol diluar!" kata beliau dan menjalankan kursi roda listriknya. Aku memandangnya hilang.
"Kaki beliau. . . ," aku tak meneruskan kalimatku.
"Yah! Diamputasi pada saat beliau kecelakaan. Hanya beliau yg selamat, sementara anggota keluarga beliau yg lain tidak!" jelas Zaki singkat dan mendahuluiku mendorong trolley peralatan yg kami bawa masuk kekamar Pak Suwiryo.
Semua pegawai makan siang bersama disebuah kantin besar yg berada dibagian belakang kantor panti. Sepertinya makan siang bersama hari minggu sudah menjadi kebiasaan ditempat itu, karena saat kami tiba disana, sudah banyak orang yg menikmati hidangan mereka. Ditengah makan siang kami yg berlangsung hening, Zaki ponsel Zaki berdering. Aku tak mengerti apa yg dikatakan oleh orang yg meneleponnya. Tapi sepertinya bukan hal yg bagus karena ekspresi wajahnya berubah jadi kaku dan lebih dingin dari biasanya. Zaki hanya mengatakan beberpa kalimat pendek, seperti Ya, Baik, Sudah dan Terimakasih.
Begitu dia menutup telepon, dia memanggil seorang lelaki bernama Pak Imran dengan suara keras. Dia memberi beberpa perintah dengan nada tegas pada pria yg hanya mengangguk dan mengiyakan semua perintahnya dengan patuh. Mood jelek dia terus berlangsung sampai menjelang kami pulang pada pukul 6 petang.
Sore tadi, dia menyuruhku membantu beberapa petugas yg membersihkan taman depan yg jadi sedikit berantakan setelah pertemuan keluarga berlangsung. Smentara dia sendiri menghilang dan baru muncul saat kami hendak pulang. Yang bikin aku kesel, meski terlihat masih berada dalam suasana hati yg tidak enak, dia terlihat segar dan tubuhnya harum. Pasti baru mandi. Sial! Sementara badanku lengket dan bau gini, eh dia bisa-bisanya mandi tanpa kasih tahu aku.
Eh, tapi buat apa juga dia lapor ke aku kalo mau mandi ya?Hampir setengah jam kami melaju kembali ke Bandung dalam keheningan. Aku sendiri masih merasa capek dan kotor jadi aku tak tertarik untuk memulai percakapan.
"Jadi bagaimana? Kau sanggup bekerja disana kan?" tanyanya tiba-tiba. Aku yg sedikit kaget untuk sejenak hanya memandangnya.
"Yeah! Lumayan!" jawabku datar. Dia melirikku dan kuacuhkan.
"Tidak suka?" tanya dia lagi.
"Nggak kok! Biasa aja!" jawabku singkat.
"Capek?" Eh, kenapa di jadi cerewet gini sih? pikirku sedikit kesal.
"Lumayan!" jawabku.
"Tapi sepadan dengan bayarannya kan? Dimana coba kamu bisa nemu kerja sampingan yg bisa memberimu 500 ribu dengan 4 hari kerja saja dalam sebulan?"
"Percuma juga lah! Toh aku juga gak akan megang duitnya kan?" selorohku datar.
"Bisa saja kalau kamu gak menyebabkan mobilku ringsek," tukas Zaki singkat namun tepat sasaran dan bisa membungkamku.
"Believe me, aku tak akan pernah mengharapkan hal itu terjadi. Aku sedang super sial saat itu!" balasku dongkol. Aku sebenarnya males untuk melanjutkan obrolan kami, sampai kemudian aku ingat tugas dari Mas Angga.
"Eeuuhh. . . ada satu hal yg sebenarnya ingin kukatakan dari beberapa hari kemarin," kataku memulai. Dia menatapku dengan sorot tanya. Aku menarik nafas panjang sebelum memulai.
"Entah kau sudah tahu atau enggak, aku adalah salah satu anggota redaksi majalah kampus kita. Dan kemarin aku mendapat tugas untuk mewawancaraimu. Jadi. . . , kau bisa meluangkan waktu kan?" pintaku mencoba terdengar tidak terlalu mengharap. Zaki melihatku sekilas dengan tatapan tak percaya,
"Wawancara?! You are kidding me right?"
"I wish! Sayangnya ini serius. Tugas itu harus kuselesaikan dalam 2 minggu ini," jelasku lagi. Zaki sedikit ternganga. Sepertinya dia mulai menganggapku sinting. Padahal apa sih yg sulit dipercaya? Atau mungkin mukaku aja yg gak pantas jadi jurnalis?!
"Kamu serius?!!" sergahnya.
"Ya iyalah! Oh ya, sekedar info, aku mulanya jg agak keberatan menerima tugas ini. Bikin kepikiran dan gak konsen. Karena hal ini pula, aku gak denger pas kamu klakson aku sehingga mobilmu. . . . , ringsek," kataku
."Oh now you blame me?"
"Nggak lah! Cuma ngejelasin aja kenapa hari itu aku meleng. Siapa juga yg nyalahin kamu!" gerundengku.
"Jadi sebenernya kamu nggak mau wawancara aku. Kenapa?" Sial! batinku. Mungkin seharusnya tadi aku tutup mulut saja. Tapi kepalang tanggung. Biar saja dia tahu yg sebenarnya.
"Penyebab utamanya karena insiden siang hari saat kau hampir menabrakku pertama kali!"
"Karena kau tidak memperhatikan jalan!" serobotnya nyolot.
"Dan kamu ngatain aku idiot sesudahnya!" sambungku tanpa memperdulikan interupsinya.
"Jadi kurasa wawancara denganmu akan jadi hal yg tidak mengenakkan. Wajar kan? Kalau aku tak mau?" Untuk sejenak aku bungkam. Nggak mungkin aku bilang kalau aku gagal melakukan tugasku, aku akan dapat, masalah dari Mas Angga. Itu sama saja dengan mengakui kalau aku butuh bantuannya. Kalau aku terus terang, bisa jadi makin besar kepala dia. Dan egonya sudah cukup besar tanpa perlu kupompa.
"Apa yg akan terjadi kalau aku menolak?" tanyanya lagi mendesakku.
"Well aku tak bisa memaksamu kan? Akan kutulis saja apa yg aku tahu. Semauku!" jawabku akhirnya. Hening! Untuk sementara Zaki tak mengatakan apapun. Pandangannya lurus pada jalan didepan kami. Keningnya sedikit berkerut, berpikir. Aku sendiri sudah harap2 cemas. Tapi kalau memang dia tak mau melakukan wawancara itu, aku akan menulis apa yg aku tahu saja. Lagipula, kalau dipikir-pikir fakta tentang dia yg ikut mengelola panti jompo elit itu cukup menjadi bahan yg bagus untuk tulisanku.
"Fine! Dengan beberapa syarat!" kata Zaki akhirnya. "Yg pertama, jangan pernah menyinggung tentang keluargaku. Konsen saja padaku. Kedua, kau boleh bertanya, aku punya hak untuk menjawab atau tidak. Itu mutlak keputusanku. Ke tiga, jangan ada satupun kata yg menyinggung soal tempat yg baru kita tinggalkan tadi. As a matter of fact, jangan katakan apapun tentang hal itu pada siapapun. Termasuk dua temanmu kemarin."
"Regi ma Vivi?" tanyaku.
"Ya! Mereka. Yg terakhir, sebelum kau serahkan pada redaksi, aku mau baca dulu draft yg kau buat. Dan aku berhak memintamu untuk mengubahnya."
"That's too much!" protesku keras.
"Syarat yg kau ajukan mengikatku dengan total. Aku tak punya ruang. Itu nggak adil!!"
"Baiklah! Mana yg menurutmu tak adil?"
"Terutama bagian aku harus membiarkanmu membaca draft kasarnya. Aku tak bisa memberimu itu!" Zaki kembali berfikir.
"Fine! Tapi ingat saja syarat yg lainnya. Dan aku serius kalau aku tak mau keluargaku dan tentang panti itu kau sebut-sebut. Sekecil apapun itu. Leave them out of it!"
"Fine!" jawabku dg nada sedikit sarkas. Mungki sebaiknya aku memberi judul tulisanku "ZAKI, THE BIGGEST ASSHOLE OF THIS CENTURY!!" , batinku kesal
Sisa perjalanan hari itu kami tempuh dalam keheningan. Jam sudah menunjukkan pukul 9 lebih saat kami hampir tiba didepan kostku.
"Hari minggu depan kujemput pada jam yg sama!" kata Zaki.
"Fine! Aku toh tak pu. . . ," kata-kataku terputus saat aku melihat sebuah bayangan yg mendekat dari arah bangunan kostku. Sesaat kemudian aku bisa dengan jelas melihat siapa dia. Aku segera keluar dan benar-benar agak kaget setelah tahu.
"Mas Rizky," gumamku pelan.
"Mas Rizky udah lama?" tanyaku sedikit salah tingkah. Dia tak menyahut, tapi memandang kearah Zaki yg kulihat jg melihatnya dg dahi yg sedikit berkerut. Zaki keluar dari mobil dg sebuah bungkusan plastik dan sebuah kotak sepatu ditangan. Dia menghampiriku dan mengulurkan barang-barang itu padaku.
"Seragammu," katanya tanpa memperdulikan Mas Rizky yg berdiri tak jauh dari kami. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia kembali ke mobil dan akhirnya berlalu dengan cepat.
"Aku sudah coba menghubungi ponselmu. Aku dapat dari Ibu. Tapi nggak aktif. Siang tadi jg sudah kesini, tp temen kostmu bilang kamu keluar. Jadi tadi jam 8 aku kesini lagi," jelas Mas Rizky datar meski tampak sedikit terganggu oleh sikap Zaki tadi. Dia terus memperhatikan Zaki sampai orang itu masuk kedalam mobil dan berlalu.
"Ya Tuhan! Jadi udah sejam an lebih?!" sergahku kaget. Aku jg baru inget kalau sedari tadi aku belum menghidupkan ponselku. Dengan cepat aku meraihnya ke kantong celanaku dan mengaktifkannya. Selang beberapa detik ponselku aktif, beruntun beberapa sms masuk. Diantaranya ada bbrp yg dari Vivi dan Regi, serta sebuah nomor baru yg Mas Rizky bilang miliknya. Aku menatap Mas Rizky dengan pandangan menyesal.
"Maaf Mas! Tadi Egha kerja dan gak dibolehin hidupin hp," jelasku pelan.
"Kerja? Hari minggu Egha kerja?" tanya Mas Rizky. Aku mengangguk.
"Masuk dulu yuk Mas. Nanti Egha jelasin. Egha mau mandi dulu. Bau!" kataku nyengir. Mas Rizky hanya tersenyum dan mengikutiku.
Saat kembali ke kamar kostku, aku sudah berpakaian lengkap(kamar mandinya ada di bagian ujung bangunan). Nggak mungkin kalau aku harus ganti baju didepan Mas Rizky. Bisa timpang berat kalo aku pamer body ku yg ceking ini pada dia yg atletis gitu.
"Egha udah makan?" tanya Mas Rizky saat aku muncul.
"Udah Mas. Kalo Mas Rizky belom, kita bisa nyari," tawarku.
"Ada tempat makan yg enak?"
"Agak jauh sih Mas. Sekitar 300 meter dari sini ada warung Jawa Timur yg jual ayam lalapan yg enak."
"Gak keberatan temeni aku makan lagi kan? Lapar nih?"Aku jelas tersenyum sumringah. Gila aja kalo aku nolak. Dia sudah begitu baik padaku.
"Mangga aja Mas! Kalo makan2 enak mah, perut Egha masih mau nampung," selorohku.Mas Rizky tertawa kecil. Tangannya terulur untuk mengacak-acak rambutku dg gemas. Aku sedikit tersipu meski sedikit heran. Ternyata Mas Rizky jauh dari kesan misterius yg selama ini ku tangkap. Kepribadiannya hangat dan ramah. Senyumnya yg biasanya hanya kulihat sesekali, bbrp hari terakhir aku jadi sering menikmatinyaKami lalu keluar menuju mobil Mas Rizky yg diparkir tak jauh dari kostanku.
"Egha kerja dimana hari minggu gini?" tanya Mas Rizky saat kami mulai bergerak.
"Disuatu panti jompo Mas," jawabku. Aku tak mungkin menyebutkan kalau panti asuhan itu berada di daerah Bogor yg membutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk tiba disana dari Bandung. Lagipula Zaki sudah memperingatkanku dg tegas.
"Panti jompo?" tanya Mas Rizky dg nada sedikit heran.
"Iya Mas. Cuma jadi seksi bersih2 kok. Teman yg rekomendasiin. Dihari minggu biasanya keluarga penghuni kan datang. Jadi pihak panti butuh tambahan tenaga."
"Temenmu? Anak yg tadi itu?" tanya Mas Rizky.
"Iya Mas!" Mas Rizky diam sejenak, hanya sedikit menganggukkan kepalanya.
"Dia. . . . , temen sekampus?"
"Sekampus. Tapi gak sefakultas Mas," jelasku.
"Itu Mas. Warungnya yang tendanya warna Hijau."Mas Rizky menepikan mobilnya. Untungnya, saat itu warung Jawa Timur sudah tidak begitu ramai. Mungkin krn malam yg telah larut. Hanya ada satu dua orang yg makan. Beberapa meja lesehan yg tersebar di beberapa tempat banyak yg kosong. Mas Rizky menunjuk pada satu meja diujung yg jg tak terisi.Pelayan segera menghampiri kami dan menanyakan pesanan.
"Terus. . . . , gimana kabar orang yg mobilnya rusak itu?" tanya Mas Rizky.Aku yg sedang memperhatikan sekitar sontan berpaling padanya.
"Hmmm. . , tentang itu, Egha dapat keringanan Mas. Orangnya bersedia dibayar dg cara dicicil kekurangannya. Krn itu jg kenapa Egha kerja di panti asuhan eh jompo!" ralatku cepat.
"Gaji dari tempat itu lumayan buat nyicil kekurangannya," jelasku lagi.
"Benarkah?" tanya Mas Rizky dg alis terangkat sebelah.
"Bener Mas!"
"Kenapa nggak kasih kabar dari kemarin? Aku nunggu lho," tegur Mas Rizky.
"Maaf Mas. Egha yg lupa. Dan juga. . . . , Egha kan nggak tahu nomor hp Mas Rizky," kataku dan sedikit tertunduk, segan. Mas Rizky menepuk dahinya.
"Iya juga. Tapi sekarang udah tahu kan? Kapan-kapan sms atau kasih kabar ya?" pintanya yg kujawab dengan anggukan.
"Egha ga ngerasa cape kalo hari minggu juga kerja? Seingatku Ibu pernah bilang, kalo kamu gak kuliah, kamu ngajar les kan? Masih?" tanya Mas Rizky lagi. Sebenarnya aku sedikit kaget dia mengetahui hal itu. Tak pernah kubayangkan pembicaraan seperti apa yg mereka lakukan sehingga aku masuk dalam topik pembahasan.
"Masih Mas" jawabku pelan.
"Hari apa saja Egha gak ada jadwal kerja malemnya?"
"Eeeeuuhh. . . , malem jum'at sama malem minggu Mas. Kenapa?" tanyaku tanpa mampu lagi membendung keheranan dalam suaraku. Mas Rizky tidak langsung menjawab. Tampak berpikir sejenak.
"Malem jum'at . . . ,kayaknya nggak mungkin. Serem kan?" gumamnya pelan pada dirinya sendiri. Aku jelas makin bengong gak ngerti.
"Kalo malem minggu. . . . , Egha pasti apel ya?" tanyanya kemudian padaku.Dengan polosnya aku menggeleng.
"Egha gak punya pacar Mas. Gak ada spesialnya malem minggu bagi Egha. Kenapa sih Mas?"
"Mulai minggu depan, aku mulai Koas. Dan aku koasnya dirumah sakit sekitar Bandung ini. Jadi kalo malem minggu kan bisa ngajak Egha keluar jalan2. Untung saja kamu gak punya pacar. Jadi gak ada masalah kan?" kata Mas Rizky enteng. Aku melongo bego.jalan-jalan? Malem minggu?Bareng Mas Rizky?. . . .Aku sebenarnya hendak bertanya, tapi urung saat pesanan kami datang. Kami menikmati hidangan kami sembari mengobrol santai.
Mas Rizky yg selama ini kukenal sebagai sosok pendiam dan sedikit misterius, malam itu benar2 mencengangkanku. Dia banyak bertanya tentang ku. Tentang kegiatanku di kampus, kebiasaan yg aku lakukan saat aku tidak kuliah, tentang latar belakangku didesaku, atau tentang kehidupan asmaraku.Yg membuatku heran, Mas Rizky benar2 tampak tertarik tentang fakta2 yg kupaparkan.
Dia banyak mengajukan pertanyaan. Bahkan sekali-kali memintaku mengulangi ceritaku. Seolah-olah dia ingin benar2 berusaha untuk memahamiku. Bukannya sedang mengisi kekosongan waktu kami saat makan. Aku benar2 tak tahu kenapa. Dia juga dengan senang hati menjawab semua pertanyaanku. Bahkan sesekali menceritakan pengalaman lucu yg pernah dialaminya.
Misalnya saja tentang salah satu temannya yg sedikit cadel dan kesulitan melafalkan huruf 'R'.Waktu itu mereka sedang mempelajari tentang perut manusia. Ada satu bagian usus manusia yg namanya Contortus apaaaa gitu (sorry, lupa nama latinnya! Aku tak begitu ingat karena namanya menggunakan nama latin.) Sialnya, teman Mas Rizky yg sedikit cadel itu disuruh membacanya oleh pengajar. Kata Contortus justru trdengar menjadi 'K*nt*ltus'. Karuan aja aku tertawa sedikit keras.
Sikap Mas Rizky membuatku penasaran dan ingin tahu sebabnya. Tapi untuk bertanya, aku benar2 segan. Bahkan saat mobil Mas Rizky berhenti didekat kostan, aku hanya mampu menahan keingintahuanku.
"Aku akan langsung pulang Gha. Kita ketemu malem minggu besok ya?" kata Mas Rizky. Aku mengangguk.
"Makasih ya Mas, udah mau bantu Egha. Juga buat traktir Egha," kataku.
"Sama-sama! Ketemu lagi malam minggu ntar ya? Inget, kita ada kencan," ujar Mas Rizky. Aku hanya tersenyum malu karenanya.
"Ya sudah! Nanti aku kasih kabar ok?! Egha istirahat saja sekarang," kata Mas Rizky dan mengacak sedikit rambutku. Kembali aku tertunduk oleh sikapnya yang begitu akrab. Setelah mengangguk singkat, aku keluar dari mobilnya. Aku tetap disana sampai mobil Mas Rizky menghilang. Kejadian tadi masih membuatku heran. Ternyata Mas Rizky memiliki sisi lain yg begitu berbeda dengan yg aku kira selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar