ZAKI
Aku berharap bahwa tanggal 24 Maret, hari minggu ini tidak akan pernah datang. Kalau bisa, aku ingin mengundur waktu beberapa bulan kebelakang. Tanggal 24 Maret adalah hari ulang tahunku. Dan itu berarti ada kemungkinan Mommy akan pulang, dan pesta yang cukup meriah disebuah gedung. I hate it! Always!
Aku tahu setiap orang berharap kalau hari ulang tahunnya akan dirayakan dengan pesta. Well, I don't. Aku tak suka pesta ulang tahunku dirayakan. Karena itu berarti aku harus berada dipesta dimana undangan yang datang kebanyakan kolega/rekan kerja bisnis Mommy. Pesta membosankan yg juga mengharuskanku bertemu wajah-wajah asing yang hanya kulihat sekali dalam setahun. Tahun ini adalah pertama kalinya aku merayakannya di Indonesia. Dan itu mungkin berarti aku akan mendapat sebuah berkas tebal berisi data-data dari kolega-kolega Mommy. Aku harus menghafal data-data itu, bersikap seolah-olah mereka adalah teman lama keluarga kami. Menanyakan kabar anggota keluarga mereka yang lain. Dan kalau aku sial, mereka mungkin akan membawa serta anak atau cucu mereka untuk bersosialisasi denganku. Melebarkan jaringan kerja Mommy disini.
Taruhan, asisten Mommy pasti telah berusaha menghubungiku! Dan sedari tadi aku telah mematikan ponselku untuk mencegahnya. Aku capek dan jenuh dengan semua rutinitas yg sama selama 6 tahun terakhir. Aku ingin pergi kesuatu tempat dimana Mommy ataupun asistennya tak akan bisa menemukanku. Kabur ke Bali juga percuma. Mereka pasti akan dengan mudah melacakku. Aku juga tak mungkin ke Australia, menemui teman-teman lama.
DAMN!! Where the hell am I supposed to go?!!
Aku kesal karena tak kunjung menemukan ide! Mungkin memang tak mungkin bagiku untuk menghindarinya, pikirku pasrah. Dengan langkah pelan aku menuju ke tempat parkir. Aku sedang tak ingin diganggu, jadi tadi Emma kuminta untuk pulang bareng temannya.
"ZAKI!!!"
Panggilan keras itu membuatku urung untuk masuk ke mobil. Dari suaranya saja aku sudah tahu kalau itu Regha. Kulihat dia berlari dari arah kampus. Wajahnya yg kemerahan dan sedikit berkeringat tampak lega melihatku. Sepertinya dia habis sedikit berolah raga dalam usahanya mencariku.
"Aku. . . co-coba . . . , telepon," katanya sedikit terengah-engah, mencoba mengatur nafas.
"Ponselku emang kumatiin. What's wrong?!" tanyaku singkat, tak ingin membuang waktuku melayaninya. Aku sedikit kesal karena meski telah 4 kali bekerja denganku di Panti, si tolol ini masih saja ceroboh.
"Eeehh gini. Aku. . . ," dia tampak ragu. Kalimat yang sudah terlontar kembali ditahannya. Tentu saja aku jadi bertambah kesal.
"Ngomong aja kenapa sih?!! Susah amat?!!" bentakku sedikit keras.
Regha terlihat kaget dan makin gugup. Dia tampak menarik nafas sembari menggigit bibirnya, resah. "A-anu, aku mau pulang kampung!" kata Regha memulai. "Hari jum'at dan sabtu besok, aku nggak ada kuliah. Senin juga libur. Jadi kalau boleh, hari minggu ini aku ijin dulu pergi ke pantinya!"Aku sontan mematung diam!
"A-aku tahu mendadak banget," katanya cepat sebelum aku bisa bereaksi, nyengir dan makin salah tingkah. "Ta-tapi u-udah 3 bulan aku nggak pulang Ki. Kangen sama keluarga di Majalengka. Kamu boleh potong gajiku kok. Aku maklum. Soalnya kalau aku nggak libur, nanti balik kesini pasti repot dan. . . "
"Baiklah!" potongku membuatnya sontan berhenti ngoceh. Sejenak dia hanya tertegun, seolah-olah tak percaya pada apa yang kukatakan tadi.
"B-bo-boleh Ki?" tanya Regha ragu.
"Yep! Kamu boleh off minggu ini. Kamu boleh pulang ke kampungmu."
"Ma-makasih Ki!" katanya sumringah.
"Tapi dengan syarat, aku ikut!" lanjutku tegas. Kalimat tadi membuat mata Regha terbelalak lebar dan mulutnya menganga tanpa suara. Oh yeah! I think I know where to go now, pikirku senang.
"A-a-apa Ki?"
"You heard me! Aku ikut! Let's get going to wherever you come from! Get in the car!" perintahku cepat dan membuka pintu mobilku.
"Ta-tapi Ki. . "
"Masuk!!!" perintahku tegas sehingga dia sedikit terlonjak kaget dan segera masuk ke mobil, meski dengan wajah yang mengibakan. "Aku harus mampir dulu ke beberapa tempat. Setelah itu, kita bisa langsung berangkat!" kataku melajukan mobil.
ZAKI
Kami melaju dalam diam. Aku tahu kalau Regha sebenarnya tak menginginkan aku untuk ikut. Seharusnya kalian lihat tadi reaksi Regha. Mukanya bener-bener kaget dan luar biasa tak percaya. Tapi aku terlalu senang untuk peduli. Melarikan diri ke rumah Regha adalah solusi yg tepat untukku. Disana tak akan ada yang bisa mengenalku. Hell, nobody will ever think that I would be there! No one knows me. And that’s exactly what I want. Jadi aku langsung membawa Regha kerumah. Memangil taksi, pergi ke ATM untuk mengambil sejumlah uang, dn pergi ke tempat penyewaan mobil.
Kuputuskan untuk menyewa sebuah mobil jeep yang tampak kokoh dan sepertinya bisa dipakai untuk menempuh daerah yang menantang.Setelahnya, aku meninggalkan pesan pada Pak Arya bahwa aku pergi untuk menyelesaikan suatu urusan. Dan jika ada orang yang mencariku, supaya dia layani dan minta untuk menunggu. And then, aku memulai perjalanan ini.Selama itu pula Regha hanya mampu diam. Aku sadar kalau dia punya banyak pertanyaan yg ingin dia tanyakan. Tapi dia cukup cerdik untuk membiarkanku. Bahkan hingga kami melaju menuju kampung halamannya, dia masih mampu mengendalikan diri. Tinggal aku yg merasa berhutang sedikit penjelasan padanya.
“Aku butuh untuk menghilang sejenak,” kataku memulai. Regha yg sedari tadi diam menoleh. “Ada beberapa hal yg ingin kuhindari dirumah. Dan tempat tinggalmun sepertinya ide yg cukup cemerlang. So. . . . , don’t disappoint me ok?”
Sejenak dia diam seolah-olah memproses keteranganku tadi. Dan saat dia mulaimemahami, perlahan gurat kemarahan muncul diwajahnya. “Excuse me?” sergah Regha dengan nada sarkas. “Kau ingin memintaku menampungmu yg melarikan diri ke rumahku, dan kau masih ingin aku untuk tidak mengecewakanmu? Are you kidding me?”
“No!” jawabku tegas meski sebenarnya aku ingin tersenyum dengan reaksinya. Tapi aku tak akan membiarkannya tahu pemikiranku tadi. “Karena in one way or another, I’m still your Boss. Right?” Aku yakin dia sebenarnya ingin mengeluarkan balasan yg lebih sinis dari pada tadi. Tapi sepertinya dia sedikit belajar bagaimana menghadapiku, karena berikunya, dia hanya mendengus keras untuk mengungkapkan kekesalannya. Kali ini aku tak bisa menahan diri, dan aku tersenyum kecil.
“Kenapa kita harus menyewa mobil?” tanyanya beberapa saatkemudian.
“Karena mobilku mempunyai system GPS yang bisa dilacak, dan aku tak menginginkannya. Jadi aku harus mendapatkan kendaraan lain. Dan aku jg meninggalkan hp ku. Jadi mungkin kita harus berheni sejenak disuatu tempat untuk membeli hp,” lanjutku kemudian dengan nada sedikit kesal.
“Ada Mall dikota kecil yang ada didepan kita dan. . . “
“NO!!!” potongku cepat. “Kita cari toko kecil yang ada di pinggir jalan saja,” sambungku lagi.
“Memangnya kenapa?”
“Mall punya kamera pengawas,” sahutku singkat.
“Terus apa hubungannya?” tanya Regha heran.
“Are you deaf?!” sergahku kesal. “I said I don’t wanna be found. Kalau kita belanja di mall pasti wajah kita terekam Dan orang akan bisa melacak keberadaanku.”
Regha kembali mendengus. “Lucu. Apa mungkin kita harus menyamar? Mengubah warna rambut? Pakai wig?” sarannya sinis. “Menurutmu kita sedang syuting film spionase? Who do you think you are? James Bond?!!”
“No! I prefer Bourne. Matt Damon. Pernah liat? James Bond terlalu tua. Dia hidup dijaman Perang Dingin. It’s a new millennium. Jadi aku lebih memilih ikon baru!”
“You are unbelievable!” komentar Regha tak percaya.
“I know! Mulailah membiasakan diri dengan hal itu,” selorohku santai dan kembali berkonsentrasi pada jalanku. Aku harus segera menemukan counter hp kecil.
REGHA
Bener-bener mimpi buruk nih orang! umpatku dalam hati kesel. Maen perintah seenak udel aja. Tipikal orang kaya yang selalu mendapat apapun yang diainginkan. Gak pernah mau peduli apa yang dirasakan orang lain. Liat aja tuh. Mana ada orang yang dengan seenaknya memutuskan kabur kerumah orang tanpa seijin pemilik rumah? Maen ikutan aja. Udah gitu dengan seenaknya kasih mandat buat gak dikecewain. Apa-apaan tuh?!! Coba aja kalo posisi kami dibalik. Pengen rasanya nyuruh dia buat pindah kerja di pedalaman Amazon sana! Biar ditelen sama anaconda!
“Terus kemana nih?” Tanya Zaki mengagetkanku. Dia memelankan mobilnya saat didepan kami ada persimpangan.
“Ikuti aja bus yang jalan didepan kita,” jawabku singkat. Kalau bisa, aku pengen diem aja selama perjalanan ini. Biar aja sekalian nyasar. Tapi posisiku yg bareng dengannya juga pasti ikutan susah. Duh, gimana ntar kata Abah ma Mamah kalo aku muncul bawa manusia separuh bule nan sengak ini?!!! Jangan sampe mereka jantungan dengan tingkahnya yg seenak udel itu.
“Kenapa sih kamu gak belajar menyupir?” gerutu kunyuk itu beberapa saat kemudian. “Kalo kamu juga bisa nyetir kan enak. Kita bisa gentian. Cape tau?!”
Suruh siapa ikutan?! dumelku dalam hati dongkol. Gak ada yang ngundang juga.
“Gha?!” tegurnya.
“Ngapain juga belajar nyupir kalo aku gak punya mobil? Buang-buang waktu aja! Dikampungku cuma ada kebo!!” gerutuku yang akhirya tak tahan buat nyolot.
“Emang harus punya mobil buat belajar nyupir? Kalo perusahaan kamu butuh karyawan yg mampu untuk berkendara kan bisa berguna? Menambah nilai plus mu dimata Bos. Lagian abad segini masih belom bisa bawa mobil. Ketinggalan banget!”
“Bodo amat!” gerutuku tak mampu menahan diri.
“Itu tandanya kamu gak pengen maju. Kalo kamu terus gitu, gak bakal ada peningkatan dalam hidupmu,” khotbahnya lagi.
“Bodo’!” gerundengku pelan, makin dongkol.
“Sekembalinya kita ke Bandung ntar, kita harus bikin jadwal buat pelajaran mengemudimu,” putusnya tanpa meminta persetujuanku. Aku hanya mempu mengetatkan gerahamku dan kembali mengumpat dalam hati. “Akan bermanfaat suatu saat kalo aku butuh kamu buat ngebawa aku kesuatu tempat. Jadi aku gak jadi sopir pribadimu kayak skrng.” lanjutnya tanpa perduli reaksiku. Entah dia tak tahu, atau hanya pura-pura tak tahu saja.
“Sepanjang yang kuingat, kita gak dalam rangka kerja kantor kan sekarang?” tanyaku sinis. “Ini kan cuma pelarianmu aja.”
“When I’m in it, then it’s working Gha!” sahutnya santai.Aku hanya bisa memutar mata kesal. “Whatever,” gerutuku pelan dan memilih kembali menatap kedepan sembari berdoa kalau kedatanganku ke rumahku kali ini tak akan berakhir buruk. Meski kalau aku mau menebak, akhirnya pasti tidak akan menyenangkan. Setidaknya bagiku. Nasib jadi bawahan, desahku dalam hati.
Saat kami mendekati daerah tempat tinggalku, aku semakin resah, berlawanan dengan si sinting itu yang terlihat santai tanpa beban. Aku tinggal disebuah desa kecil yang masih masuk kawasan Majalengka( sengaja tak kusebutkan daerah persisnya untuk menghindari hal-hal yg tidak kuinginkan). Sebuah daerah yang masih dinaungi oleh rimbun hijaunya pepohonan. Daerah yang masih memiliki areal persawahan yang luas. Danau-danau yang masih alami. Sebuah daerah yang masyarakatnya saling mengenal satu sama lain. Memiliki sikap kebersamaan yang masih kental dan mendarah daging. Dan membawa seseorang dengan sosok dan perilaku seperti Zaki, bisa terasa begitu menggelisahkan.
“Aku tak percaya kau berasal dari daerah yang begitu terpencil seperti ini,” gerutu Zaki saat aku memintanya mengambil sebuah jalan beraspal kecil.
Aku kembali menatapnya jengkel. “Maaf mengecewakanmu, tapi aku memang berasal dari daerah yang masih terpencil. Mungkin kau harus segera kembali ke peradaban modern secepatnya,” serangku.
“I told you I can’t!” gumamnya.
“Kalau begitu terima saja dan berhenti mencemooh kampung halamanku. Tak jauh didepan ada persimpangan. Ambil kiri,” kataku. Zaki cuma menggerutu pelan dengan mata yang jelalatan mencari persimpangan yang kumaksud.
“Mana persim . . . . ,” kalimatnya terpotong saat aku menunjuk kesebuah jalan berbatu yang muncul dikiri jalan yg kami susuri. Zaki menghentikan mobilnya dan menatap jalan yang kutunjuk seakan-akan jalan itu adalah hal yang menakjubkan. Sorot kaget dimatanya sedikit menghiburku. “You have got to be kidding me!” sergahnya tak percaya dengan mata menatap jalan dikiri kami yang masih belum diaspal. Jalan menuju daerahku masih terbuat dari tanah dengan bebatuan berbagai ukuran yang menonjol keluar seperti jerawat besar.
“Aku serius. Masih ada waktu bagimu untuk melarikan diri,” saranku sedikit berharap dengan senyum yang tak mampu kutahan.
Zaki tampak berpikir keras. Rahangnya mengeras dan dia menatapku kesal. “Fine! Kita lihat apa yang kau miliki didaerah primitive ini!” tekadnya dan membelokkan mobil.Ketika goncangan pertama terasa, Zaki mengumpat keras.
Aku yang sudah sedikit berharap kalau dia mundur, harus menelan kekecewaan. Dia terus maju meski harus menyumpah beberapa kali. Perasaanku kembali tak tenang karenanya. Tapi aku tak punya pilihan lain. Kalau saja aku tak meringsekkan mobil sialannya itu, semua ini tak akan terjadi. Jadi aku hanya bisa berdo’a agar tak ada masalah beberapa hari kedepan. Meski aku benar-benar meragukannya.Kami melewati area persawahan luas yang sebagian diantaranya dimiliki oleh Abah. Kulihat petak-petak tanah yang kami miliki ditumbuhi oleh padi yang berusia sekitar 2 bulanan. Aku hanya mampu mengucapkan syukur karena kulihat tanaman padi milik Abah berada dalam kondisi yang baik. Dan aku sedikit kaget karena kulihat sosok Abah yang berjalan dipinggir jalan yang kami lewati. Sepertinya beliau hendak pulang kerumah yang letaknya tak begitu jauh dari sana.
“Berhenti,” pintaku pada Zaki saat sosok Abah semakin dekat. Kulihat beliau berhenti dipinggir jalan. Sepertinya berniat untuk membiarkan mobil kami melaju melewatinya. Aku segera keluar begitu mobil dihentikan oleh Zaki.
“Assalamu’alaikum Bah!” sapaku pada beliau yang cuma mampu ternganga kaget melihatku turun dari mobil.
"Eleuh, Regha geningan, walaikumsalam cep," jawab Abah dalam dan membiarkanku meraih tangan kanannya, lalu menciumnya. Matanya kembali menatap mobil yang kutumpangi. ("Lho? Kamu Gha? Wa'alaikumsalam")
"Bade uih Bah ? Hayu sakantenan atuh," kataku dan membuka pintu penumpang untuk beliau. ("Mau pulang Bah? Bareng aja.")
"Kunaon ngangge mobil?(kok naik mobil Gha?)" Tanya Abah seraya mendekat. "Ieu teh nu si … ," kalimat beliau terhenti saat dia melihat Zaki. Dan kali ini ekspresi kaget Abah benar-benar bisa kulihat dengan jelas. Mulut beliau yang terbuka tanpa ada suara sudah menjadi indikasi jelas. ("Ini punya si. . . .")
"Bah, ieu rerencangan Regha. Namina zaki Ki, ini Bapakku, Rahman,” kataku pelan, cemas akan reaksi Zaki selanjutnya.("Bah, ini temen Regha. Namanya Zaki."
“Selamat siang Pak. Saya Zaki, teman kuliah Regha. Senang akhirnya bisa bertemu dengan anda,” sapanya dengan nada formal dan mengulurkan tangannya pada Abah yang telah naik kebelakang.
“I-iya. Sama-sama,” jawab Abah sedikit terbata karena kaget. "Rerencangan regha teh bule ? nyarios endonesa na meni nyorosocs," kata beliau padaku. (Temen kamu ada yg turis Gha? Bahasa Indonesianya juga fasih)
"Sanes Bah, zaki teh katurunan campuran, rama na orang bule, mung mamahna mah orang endonesa. jawabku menjelaskan. (Dia bukan turis Bah. Dia campuran. Ayahnya yang turis. Ibunya orang Indonesia) Abah hanya manggut-manggut. Aku jadi sedikit lega karenanya. Padahal kukira Abah akan bereaksi lain.
“Ayah saya orang Australia Pak. Tapi Ibu asli Bandung,” jelas Zaki sembari tersenyum sekilas pada Abah. Aku segera memberinya tanda untuk menghidupkan mobil.
“Rumah yang selanjutnya adalah rumahku,” kataku pada Zaki. Lahan sawah milik keluargaku memang beraada tak jauh dari tempat tinggalku. Area persawahan disebelah kanan kami berseberangan dengan kebun mangga. Dan rumah pertama yang muncul setelah kebun ini adalah rumahku. Kebun mangga yang tak seberapa luas itu juga milik keluarga kami. Warisan dari kakekku dari pihak Ibu.
Tak berapa lama kami sampai. Seperti kebanyakan tempat inggal disini, runahku berukuran cukup luas. Memiliki pekarangan yang besar dan sepertinya bisa untuk menampung 2 truk. Ditumbuhi oleh beberapa tanaman buah seperti nangka, alpukat dan jambu air. Aku menyuruh Zaki untuk memarkir mobilnya dibawah pohon jambu air besar yang usianya lebih tua dariku. Aku dan Abah segera turun.
Dan kulihat Mamah dan kedua adikku telah keluar dari rumah, menyambut kami. Dan keheranan yang sama juga tampak diwajah mereka saat melihatku.
Dengan cepat aku menghampiri Mamah dan mencium tangannya.
"Oleh olehna mana A'?" tanya adik cewekku Asti, yang sedari beberapa bulan kemarin memintaku untuk membeli novel Raditya Dika yang terbaru. (Oleh-olehnya mana A?)
"Nanya kabar aa heula atuh, karek menta oleh oleh," gerutuku tapi tak urung tersenyum juga saat Asti meraih tanganku dan menciumnya. (Tanya kabar Aa dulu dong! Masa langsung nodong gitu?)
"Aa na oge katenjo sehat kitu ah. Nggak perlu ditanyain," sahut Asti dan membiarkan Agus yg kini meraih tanganku.(Orang Aa kelihatan sehat gitu.)
"Eluh… yeuh aya na kntong Aa, sapatu Agus aya na mobil," kataku tanpa perlu ditanya oleh Agus yg sedari tadi hanya diam dengan tatapan berharap padaku. Mendengar itu wajahnya langsung menjadi sumringah.(Dasar! Nih, ada dalam ransel Aa. Sepatu Agus ada didalam mobil)
"Eta saha Gha?" tanya Mamah saat melihat Zaki yang baru keluar dari mobil dan terlihat sedang mengobrol dengan Abah. “Regha mawa bule?" tanya beliau lagi saat melihat penampakan Zaki yang kebule-bulean.(Itu siapa Gha? Kamu bawa turis ya?)
"Sanes Mah, eta mah rerencangan Regha," sahutku sedikit menggerutu membuat Mamah menatapku heran. (Bukan Mah. Itu temen Regha.)
"Mah, tepangkeun ieu Zaki, rerencangan kuliahna cep Regha," kata Abah yang telah mendekat dengan Zaki disampingnya.
Zaki tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Mamah. Tapi Mamah hanya tersenyum dan menangkupkan kedua tangannya didada sebagai salam. Zaki dengan cepat menguasai diri dan melakukan hal yang sama. (Mah kenalkan, ini Zaki. Dia teman Regha dikampus.)
“Saya Zaki, Bu. Teman kuliah Regha. Maaf, mungkin bakalan merepotkan beberapa hari kedepan,” kata Zaki dengan keramahan yang membuatku heran.
"Alahsiah… tiasa nyarios basa Indonesa!" seru Mamah dengan roman takjub. (Waduh! Bisa ngomong bahasa Indonesia.)
"Zaki mah tiasa atuh Mah, emakna oge orang dieu da kataku.“Ki, ini adikku Asti dan Agus,” kataku memperenalkan mereka. Dan baru saat itulah aku baru menyadari Asti yang bengong hebat menatap Zaki. Ada kekaguman besar dimatanya. Sama dengan yang kulihat dimata para pemuja egomaniak sinting itu di kampus. Seharusnya aku tahu. Asti telah memasuki tahun ke tiganya di SMP sini. Jelas hormonnya telah bekerja dengan baik untuk bisa membedakan cowok cakep dan nggak. Liat aja tuh! Aku bisa melihatnya ngeces hebat melihat Zaki. (Dia mah biasa Mah. Orang Ibunya juga asli sini.)
Zaki tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya. Dia bahkan memeluk Agus yang tampak malu-malu, dengan akrab.
"Hayuh atuh lebet, cep Zaki pasti cape. Gus, tiasa pang candakeun dawegan kanggo Aa nya?" kata Mamah. Agus hanya mengangguk dan segera berlalu. Aku mempesilahkan
Zaki masuk dulu bareng dengan Abah. (Kalau begitu, ayo masuk dulu. Nak Zaki pasti lelah. Gus, kamu bisa ambilin kelapa muda buat Aa-nya kan?)
"Aa, rerencangana kaseep pisaaaaaan!!!!!" (A, temennya cakep banget!!) seru Asti kegirangan. Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya.
Hebat! Satu lagi fans Zaki, batinku kesal.
Aku berharap bahwa tanggal 24 Maret, hari minggu ini tidak akan pernah datang. Kalau bisa, aku ingin mengundur waktu beberapa bulan kebelakang. Tanggal 24 Maret adalah hari ulang tahunku. Dan itu berarti ada kemungkinan Mommy akan pulang, dan pesta yang cukup meriah disebuah gedung. I hate it! Always!
Aku tahu setiap orang berharap kalau hari ulang tahunnya akan dirayakan dengan pesta. Well, I don't. Aku tak suka pesta ulang tahunku dirayakan. Karena itu berarti aku harus berada dipesta dimana undangan yang datang kebanyakan kolega/rekan kerja bisnis Mommy. Pesta membosankan yg juga mengharuskanku bertemu wajah-wajah asing yang hanya kulihat sekali dalam setahun. Tahun ini adalah pertama kalinya aku merayakannya di Indonesia. Dan itu mungkin berarti aku akan mendapat sebuah berkas tebal berisi data-data dari kolega-kolega Mommy. Aku harus menghafal data-data itu, bersikap seolah-olah mereka adalah teman lama keluarga kami. Menanyakan kabar anggota keluarga mereka yang lain. Dan kalau aku sial, mereka mungkin akan membawa serta anak atau cucu mereka untuk bersosialisasi denganku. Melebarkan jaringan kerja Mommy disini.
Taruhan, asisten Mommy pasti telah berusaha menghubungiku! Dan sedari tadi aku telah mematikan ponselku untuk mencegahnya. Aku capek dan jenuh dengan semua rutinitas yg sama selama 6 tahun terakhir. Aku ingin pergi kesuatu tempat dimana Mommy ataupun asistennya tak akan bisa menemukanku. Kabur ke Bali juga percuma. Mereka pasti akan dengan mudah melacakku. Aku juga tak mungkin ke Australia, menemui teman-teman lama.
DAMN!! Where the hell am I supposed to go?!!
Aku kesal karena tak kunjung menemukan ide! Mungkin memang tak mungkin bagiku untuk menghindarinya, pikirku pasrah. Dengan langkah pelan aku menuju ke tempat parkir. Aku sedang tak ingin diganggu, jadi tadi Emma kuminta untuk pulang bareng temannya.
"ZAKI!!!"
Panggilan keras itu membuatku urung untuk masuk ke mobil. Dari suaranya saja aku sudah tahu kalau itu Regha. Kulihat dia berlari dari arah kampus. Wajahnya yg kemerahan dan sedikit berkeringat tampak lega melihatku. Sepertinya dia habis sedikit berolah raga dalam usahanya mencariku.
"Aku. . . co-coba . . . , telepon," katanya sedikit terengah-engah, mencoba mengatur nafas.
"Ponselku emang kumatiin. What's wrong?!" tanyaku singkat, tak ingin membuang waktuku melayaninya. Aku sedikit kesal karena meski telah 4 kali bekerja denganku di Panti, si tolol ini masih saja ceroboh.
"Eeehh gini. Aku. . . ," dia tampak ragu. Kalimat yang sudah terlontar kembali ditahannya. Tentu saja aku jadi bertambah kesal.
"Ngomong aja kenapa sih?!! Susah amat?!!" bentakku sedikit keras.
Regha terlihat kaget dan makin gugup. Dia tampak menarik nafas sembari menggigit bibirnya, resah. "A-anu, aku mau pulang kampung!" kata Regha memulai. "Hari jum'at dan sabtu besok, aku nggak ada kuliah. Senin juga libur. Jadi kalau boleh, hari minggu ini aku ijin dulu pergi ke pantinya!"Aku sontan mematung diam!
"A-aku tahu mendadak banget," katanya cepat sebelum aku bisa bereaksi, nyengir dan makin salah tingkah. "Ta-tapi u-udah 3 bulan aku nggak pulang Ki. Kangen sama keluarga di Majalengka. Kamu boleh potong gajiku kok. Aku maklum. Soalnya kalau aku nggak libur, nanti balik kesini pasti repot dan. . . "
"Baiklah!" potongku membuatnya sontan berhenti ngoceh. Sejenak dia hanya tertegun, seolah-olah tak percaya pada apa yang kukatakan tadi.
"B-bo-boleh Ki?" tanya Regha ragu.
"Yep! Kamu boleh off minggu ini. Kamu boleh pulang ke kampungmu."
"Ma-makasih Ki!" katanya sumringah.
"Tapi dengan syarat, aku ikut!" lanjutku tegas. Kalimat tadi membuat mata Regha terbelalak lebar dan mulutnya menganga tanpa suara. Oh yeah! I think I know where to go now, pikirku senang.
"A-a-apa Ki?"
"You heard me! Aku ikut! Let's get going to wherever you come from! Get in the car!" perintahku cepat dan membuka pintu mobilku.
"Ta-tapi Ki. . "
"Masuk!!!" perintahku tegas sehingga dia sedikit terlonjak kaget dan segera masuk ke mobil, meski dengan wajah yang mengibakan. "Aku harus mampir dulu ke beberapa tempat. Setelah itu, kita bisa langsung berangkat!" kataku melajukan mobil.
ZAKI
Kami melaju dalam diam. Aku tahu kalau Regha sebenarnya tak menginginkan aku untuk ikut. Seharusnya kalian lihat tadi reaksi Regha. Mukanya bener-bener kaget dan luar biasa tak percaya. Tapi aku terlalu senang untuk peduli. Melarikan diri ke rumah Regha adalah solusi yg tepat untukku. Disana tak akan ada yang bisa mengenalku. Hell, nobody will ever think that I would be there! No one knows me. And that’s exactly what I want. Jadi aku langsung membawa Regha kerumah. Memangil taksi, pergi ke ATM untuk mengambil sejumlah uang, dn pergi ke tempat penyewaan mobil.
Kuputuskan untuk menyewa sebuah mobil jeep yang tampak kokoh dan sepertinya bisa dipakai untuk menempuh daerah yang menantang.Setelahnya, aku meninggalkan pesan pada Pak Arya bahwa aku pergi untuk menyelesaikan suatu urusan. Dan jika ada orang yang mencariku, supaya dia layani dan minta untuk menunggu. And then, aku memulai perjalanan ini.Selama itu pula Regha hanya mampu diam. Aku sadar kalau dia punya banyak pertanyaan yg ingin dia tanyakan. Tapi dia cukup cerdik untuk membiarkanku. Bahkan hingga kami melaju menuju kampung halamannya, dia masih mampu mengendalikan diri. Tinggal aku yg merasa berhutang sedikit penjelasan padanya.
“Aku butuh untuk menghilang sejenak,” kataku memulai. Regha yg sedari tadi diam menoleh. “Ada beberapa hal yg ingin kuhindari dirumah. Dan tempat tinggalmun sepertinya ide yg cukup cemerlang. So. . . . , don’t disappoint me ok?”
Sejenak dia diam seolah-olah memproses keteranganku tadi. Dan saat dia mulaimemahami, perlahan gurat kemarahan muncul diwajahnya. “Excuse me?” sergah Regha dengan nada sarkas. “Kau ingin memintaku menampungmu yg melarikan diri ke rumahku, dan kau masih ingin aku untuk tidak mengecewakanmu? Are you kidding me?”
“No!” jawabku tegas meski sebenarnya aku ingin tersenyum dengan reaksinya. Tapi aku tak akan membiarkannya tahu pemikiranku tadi. “Karena in one way or another, I’m still your Boss. Right?” Aku yakin dia sebenarnya ingin mengeluarkan balasan yg lebih sinis dari pada tadi. Tapi sepertinya dia sedikit belajar bagaimana menghadapiku, karena berikunya, dia hanya mendengus keras untuk mengungkapkan kekesalannya. Kali ini aku tak bisa menahan diri, dan aku tersenyum kecil.
“Kenapa kita harus menyewa mobil?” tanyanya beberapa saatkemudian.
“Karena mobilku mempunyai system GPS yang bisa dilacak, dan aku tak menginginkannya. Jadi aku harus mendapatkan kendaraan lain. Dan aku jg meninggalkan hp ku. Jadi mungkin kita harus berheni sejenak disuatu tempat untuk membeli hp,” lanjutku kemudian dengan nada sedikit kesal.
“Ada Mall dikota kecil yang ada didepan kita dan. . . “
“NO!!!” potongku cepat. “Kita cari toko kecil yang ada di pinggir jalan saja,” sambungku lagi.
“Memangnya kenapa?”
“Mall punya kamera pengawas,” sahutku singkat.
“Terus apa hubungannya?” tanya Regha heran.
“Are you deaf?!” sergahku kesal. “I said I don’t wanna be found. Kalau kita belanja di mall pasti wajah kita terekam Dan orang akan bisa melacak keberadaanku.”
Regha kembali mendengus. “Lucu. Apa mungkin kita harus menyamar? Mengubah warna rambut? Pakai wig?” sarannya sinis. “Menurutmu kita sedang syuting film spionase? Who do you think you are? James Bond?!!”
“No! I prefer Bourne. Matt Damon. Pernah liat? James Bond terlalu tua. Dia hidup dijaman Perang Dingin. It’s a new millennium. Jadi aku lebih memilih ikon baru!”
“You are unbelievable!” komentar Regha tak percaya.
“I know! Mulailah membiasakan diri dengan hal itu,” selorohku santai dan kembali berkonsentrasi pada jalanku. Aku harus segera menemukan counter hp kecil.
REGHA
Bener-bener mimpi buruk nih orang! umpatku dalam hati kesel. Maen perintah seenak udel aja. Tipikal orang kaya yang selalu mendapat apapun yang diainginkan. Gak pernah mau peduli apa yang dirasakan orang lain. Liat aja tuh. Mana ada orang yang dengan seenaknya memutuskan kabur kerumah orang tanpa seijin pemilik rumah? Maen ikutan aja. Udah gitu dengan seenaknya kasih mandat buat gak dikecewain. Apa-apaan tuh?!! Coba aja kalo posisi kami dibalik. Pengen rasanya nyuruh dia buat pindah kerja di pedalaman Amazon sana! Biar ditelen sama anaconda!
“Terus kemana nih?” Tanya Zaki mengagetkanku. Dia memelankan mobilnya saat didepan kami ada persimpangan.
“Ikuti aja bus yang jalan didepan kita,” jawabku singkat. Kalau bisa, aku pengen diem aja selama perjalanan ini. Biar aja sekalian nyasar. Tapi posisiku yg bareng dengannya juga pasti ikutan susah. Duh, gimana ntar kata Abah ma Mamah kalo aku muncul bawa manusia separuh bule nan sengak ini?!!! Jangan sampe mereka jantungan dengan tingkahnya yg seenak udel itu.
“Kenapa sih kamu gak belajar menyupir?” gerutu kunyuk itu beberapa saat kemudian. “Kalo kamu juga bisa nyetir kan enak. Kita bisa gentian. Cape tau?!”
Suruh siapa ikutan?! dumelku dalam hati dongkol. Gak ada yang ngundang juga.
“Gha?!” tegurnya.
“Ngapain juga belajar nyupir kalo aku gak punya mobil? Buang-buang waktu aja! Dikampungku cuma ada kebo!!” gerutuku yang akhirya tak tahan buat nyolot.
“Emang harus punya mobil buat belajar nyupir? Kalo perusahaan kamu butuh karyawan yg mampu untuk berkendara kan bisa berguna? Menambah nilai plus mu dimata Bos. Lagian abad segini masih belom bisa bawa mobil. Ketinggalan banget!”
“Bodo amat!” gerutuku tak mampu menahan diri.
“Itu tandanya kamu gak pengen maju. Kalo kamu terus gitu, gak bakal ada peningkatan dalam hidupmu,” khotbahnya lagi.
“Bodo’!” gerundengku pelan, makin dongkol.
“Sekembalinya kita ke Bandung ntar, kita harus bikin jadwal buat pelajaran mengemudimu,” putusnya tanpa meminta persetujuanku. Aku hanya mempu mengetatkan gerahamku dan kembali mengumpat dalam hati. “Akan bermanfaat suatu saat kalo aku butuh kamu buat ngebawa aku kesuatu tempat. Jadi aku gak jadi sopir pribadimu kayak skrng.” lanjutnya tanpa perduli reaksiku. Entah dia tak tahu, atau hanya pura-pura tak tahu saja.
“Sepanjang yang kuingat, kita gak dalam rangka kerja kantor kan sekarang?” tanyaku sinis. “Ini kan cuma pelarianmu aja.”
“When I’m in it, then it’s working Gha!” sahutnya santai.Aku hanya bisa memutar mata kesal. “Whatever,” gerutuku pelan dan memilih kembali menatap kedepan sembari berdoa kalau kedatanganku ke rumahku kali ini tak akan berakhir buruk. Meski kalau aku mau menebak, akhirnya pasti tidak akan menyenangkan. Setidaknya bagiku. Nasib jadi bawahan, desahku dalam hati.
Saat kami mendekati daerah tempat tinggalku, aku semakin resah, berlawanan dengan si sinting itu yang terlihat santai tanpa beban. Aku tinggal disebuah desa kecil yang masih masuk kawasan Majalengka( sengaja tak kusebutkan daerah persisnya untuk menghindari hal-hal yg tidak kuinginkan). Sebuah daerah yang masih dinaungi oleh rimbun hijaunya pepohonan. Daerah yang masih memiliki areal persawahan yang luas. Danau-danau yang masih alami. Sebuah daerah yang masyarakatnya saling mengenal satu sama lain. Memiliki sikap kebersamaan yang masih kental dan mendarah daging. Dan membawa seseorang dengan sosok dan perilaku seperti Zaki, bisa terasa begitu menggelisahkan.
“Aku tak percaya kau berasal dari daerah yang begitu terpencil seperti ini,” gerutu Zaki saat aku memintanya mengambil sebuah jalan beraspal kecil.
Aku kembali menatapnya jengkel. “Maaf mengecewakanmu, tapi aku memang berasal dari daerah yang masih terpencil. Mungkin kau harus segera kembali ke peradaban modern secepatnya,” serangku.
“I told you I can’t!” gumamnya.
“Kalau begitu terima saja dan berhenti mencemooh kampung halamanku. Tak jauh didepan ada persimpangan. Ambil kiri,” kataku. Zaki cuma menggerutu pelan dengan mata yang jelalatan mencari persimpangan yang kumaksud.
“Mana persim . . . . ,” kalimatnya terpotong saat aku menunjuk kesebuah jalan berbatu yang muncul dikiri jalan yg kami susuri. Zaki menghentikan mobilnya dan menatap jalan yang kutunjuk seakan-akan jalan itu adalah hal yang menakjubkan. Sorot kaget dimatanya sedikit menghiburku. “You have got to be kidding me!” sergahnya tak percaya dengan mata menatap jalan dikiri kami yang masih belum diaspal. Jalan menuju daerahku masih terbuat dari tanah dengan bebatuan berbagai ukuran yang menonjol keluar seperti jerawat besar.
“Aku serius. Masih ada waktu bagimu untuk melarikan diri,” saranku sedikit berharap dengan senyum yang tak mampu kutahan.
Zaki tampak berpikir keras. Rahangnya mengeras dan dia menatapku kesal. “Fine! Kita lihat apa yang kau miliki didaerah primitive ini!” tekadnya dan membelokkan mobil.Ketika goncangan pertama terasa, Zaki mengumpat keras.
Aku yang sudah sedikit berharap kalau dia mundur, harus menelan kekecewaan. Dia terus maju meski harus menyumpah beberapa kali. Perasaanku kembali tak tenang karenanya. Tapi aku tak punya pilihan lain. Kalau saja aku tak meringsekkan mobil sialannya itu, semua ini tak akan terjadi. Jadi aku hanya bisa berdo’a agar tak ada masalah beberapa hari kedepan. Meski aku benar-benar meragukannya.Kami melewati area persawahan luas yang sebagian diantaranya dimiliki oleh Abah. Kulihat petak-petak tanah yang kami miliki ditumbuhi oleh padi yang berusia sekitar 2 bulanan. Aku hanya mampu mengucapkan syukur karena kulihat tanaman padi milik Abah berada dalam kondisi yang baik. Dan aku sedikit kaget karena kulihat sosok Abah yang berjalan dipinggir jalan yang kami lewati. Sepertinya beliau hendak pulang kerumah yang letaknya tak begitu jauh dari sana.
“Berhenti,” pintaku pada Zaki saat sosok Abah semakin dekat. Kulihat beliau berhenti dipinggir jalan. Sepertinya berniat untuk membiarkan mobil kami melaju melewatinya. Aku segera keluar begitu mobil dihentikan oleh Zaki.
“Assalamu’alaikum Bah!” sapaku pada beliau yang cuma mampu ternganga kaget melihatku turun dari mobil.
"Eleuh, Regha geningan, walaikumsalam cep," jawab Abah dalam dan membiarkanku meraih tangan kanannya, lalu menciumnya. Matanya kembali menatap mobil yang kutumpangi. ("Lho? Kamu Gha? Wa'alaikumsalam")
"Bade uih Bah ? Hayu sakantenan atuh," kataku dan membuka pintu penumpang untuk beliau. ("Mau pulang Bah? Bareng aja.")
"Kunaon ngangge mobil?(kok naik mobil Gha?)" Tanya Abah seraya mendekat. "Ieu teh nu si … ," kalimat beliau terhenti saat dia melihat Zaki. Dan kali ini ekspresi kaget Abah benar-benar bisa kulihat dengan jelas. Mulut beliau yang terbuka tanpa ada suara sudah menjadi indikasi jelas. ("Ini punya si. . . .")
"Bah, ieu rerencangan Regha. Namina zaki Ki, ini Bapakku, Rahman,” kataku pelan, cemas akan reaksi Zaki selanjutnya.("Bah, ini temen Regha. Namanya Zaki."
“Selamat siang Pak. Saya Zaki, teman kuliah Regha. Senang akhirnya bisa bertemu dengan anda,” sapanya dengan nada formal dan mengulurkan tangannya pada Abah yang telah naik kebelakang.
“I-iya. Sama-sama,” jawab Abah sedikit terbata karena kaget. "Rerencangan regha teh bule ? nyarios endonesa na meni nyorosocs," kata beliau padaku. (Temen kamu ada yg turis Gha? Bahasa Indonesianya juga fasih)
"Sanes Bah, zaki teh katurunan campuran, rama na orang bule, mung mamahna mah orang endonesa. jawabku menjelaskan. (Dia bukan turis Bah. Dia campuran. Ayahnya yang turis. Ibunya orang Indonesia) Abah hanya manggut-manggut. Aku jadi sedikit lega karenanya. Padahal kukira Abah akan bereaksi lain.
“Ayah saya orang Australia Pak. Tapi Ibu asli Bandung,” jelas Zaki sembari tersenyum sekilas pada Abah. Aku segera memberinya tanda untuk menghidupkan mobil.
“Rumah yang selanjutnya adalah rumahku,” kataku pada Zaki. Lahan sawah milik keluargaku memang beraada tak jauh dari tempat tinggalku. Area persawahan disebelah kanan kami berseberangan dengan kebun mangga. Dan rumah pertama yang muncul setelah kebun ini adalah rumahku. Kebun mangga yang tak seberapa luas itu juga milik keluarga kami. Warisan dari kakekku dari pihak Ibu.
Tak berapa lama kami sampai. Seperti kebanyakan tempat inggal disini, runahku berukuran cukup luas. Memiliki pekarangan yang besar dan sepertinya bisa untuk menampung 2 truk. Ditumbuhi oleh beberapa tanaman buah seperti nangka, alpukat dan jambu air. Aku menyuruh Zaki untuk memarkir mobilnya dibawah pohon jambu air besar yang usianya lebih tua dariku. Aku dan Abah segera turun.
Dan kulihat Mamah dan kedua adikku telah keluar dari rumah, menyambut kami. Dan keheranan yang sama juga tampak diwajah mereka saat melihatku.
Dengan cepat aku menghampiri Mamah dan mencium tangannya.
"Oleh olehna mana A'?" tanya adik cewekku Asti, yang sedari beberapa bulan kemarin memintaku untuk membeli novel Raditya Dika yang terbaru. (Oleh-olehnya mana A?)
"Nanya kabar aa heula atuh, karek menta oleh oleh," gerutuku tapi tak urung tersenyum juga saat Asti meraih tanganku dan menciumnya. (Tanya kabar Aa dulu dong! Masa langsung nodong gitu?)
"Aa na oge katenjo sehat kitu ah. Nggak perlu ditanyain," sahut Asti dan membiarkan Agus yg kini meraih tanganku.(Orang Aa kelihatan sehat gitu.)
"Eluh… yeuh aya na kntong Aa, sapatu Agus aya na mobil," kataku tanpa perlu ditanya oleh Agus yg sedari tadi hanya diam dengan tatapan berharap padaku. Mendengar itu wajahnya langsung menjadi sumringah.(Dasar! Nih, ada dalam ransel Aa. Sepatu Agus ada didalam mobil)
"Eta saha Gha?" tanya Mamah saat melihat Zaki yang baru keluar dari mobil dan terlihat sedang mengobrol dengan Abah. “Regha mawa bule?" tanya beliau lagi saat melihat penampakan Zaki yang kebule-bulean.(Itu siapa Gha? Kamu bawa turis ya?)
"Sanes Mah, eta mah rerencangan Regha," sahutku sedikit menggerutu membuat Mamah menatapku heran. (Bukan Mah. Itu temen Regha.)
"Mah, tepangkeun ieu Zaki, rerencangan kuliahna cep Regha," kata Abah yang telah mendekat dengan Zaki disampingnya.
Zaki tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Mamah. Tapi Mamah hanya tersenyum dan menangkupkan kedua tangannya didada sebagai salam. Zaki dengan cepat menguasai diri dan melakukan hal yang sama. (Mah kenalkan, ini Zaki. Dia teman Regha dikampus.)
“Saya Zaki, Bu. Teman kuliah Regha. Maaf, mungkin bakalan merepotkan beberapa hari kedepan,” kata Zaki dengan keramahan yang membuatku heran.
"Alahsiah… tiasa nyarios basa Indonesa!" seru Mamah dengan roman takjub. (Waduh! Bisa ngomong bahasa Indonesia.)
"Zaki mah tiasa atuh Mah, emakna oge orang dieu da kataku.“Ki, ini adikku Asti dan Agus,” kataku memperenalkan mereka. Dan baru saat itulah aku baru menyadari Asti yang bengong hebat menatap Zaki. Ada kekaguman besar dimatanya. Sama dengan yang kulihat dimata para pemuja egomaniak sinting itu di kampus. Seharusnya aku tahu. Asti telah memasuki tahun ke tiganya di SMP sini. Jelas hormonnya telah bekerja dengan baik untuk bisa membedakan cowok cakep dan nggak. Liat aja tuh! Aku bisa melihatnya ngeces hebat melihat Zaki. (Dia mah biasa Mah. Orang Ibunya juga asli sini.)
Zaki tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya. Dia bahkan memeluk Agus yang tampak malu-malu, dengan akrab.
"Hayuh atuh lebet, cep Zaki pasti cape. Gus, tiasa pang candakeun dawegan kanggo Aa nya?" kata Mamah. Agus hanya mengangguk dan segera berlalu. Aku mempesilahkan
Zaki masuk dulu bareng dengan Abah. (Kalau begitu, ayo masuk dulu. Nak Zaki pasti lelah. Gus, kamu bisa ambilin kelapa muda buat Aa-nya kan?)
"Aa, rerencangana kaseep pisaaaaaan!!!!!" (A, temennya cakep banget!!) seru Asti kegirangan. Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya.
Hebat! Satu lagi fans Zaki, batinku kesal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar