Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 33- Do I love you?



ZAKI



Sesekali aku melirik Regha yang duduk disebelahku dengan tenang. Atau lebih tepatnya lemas. Dia seakan-akan tak bertenaga. Tapi setidaknya, wajahnya sudah lebih berwarna lagi. Aku hampir saja tak bisa menahan diri melihatnya yang seakan-akan kehabisan nafas dan muntah-muntah tadi.  Untung saja waktu itu kami berada di pinggir jalanan yang sepi. Jadi tak ada orang yang menghentikan mobilnya. Untuk beberapa lamanya aku hanya bisa memeluk Regha dan berkali-kali menggumamkan kata-kata untuk menenangkannya. Mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Hingga kemudian tubuh Regha yang menegang menjadi tenang. Tapi dia begitu lemas, sehingga kalau aku tidak menopangnya, dia mungkin akan jatuh ke tanah. Dia dapat menguasai diri setelah beberapa menit. Aku sendiri kemudian mencoba membujuk Regha ke rumah sakit terdekat untuk di periksa, tapi Regha menolaknya.

Dengan pelan dia meminta maaf akan sikapnya dan mengatakan kalau dia hanya mengalami serangan panik. Dia terlihat.............. seperti orang yang kalah. Mungkin itu pilihan kata yang salah dalam menggambarkannya. Tapi kata itu yang terlintas saat ku lihat bagaimana dia setelah bisa menguasai diri. Aku tak mengerti dan hanya bisa mencemaskannya. 

Menyakitkan melihat dia seperti tadi.

"Hei....." panggilku dan menoleh sekilas padanya, "Kenapa nggak tidur saja?" tawarku. Sedari tadi dia hanya duduk lemas dengan mata terbuka dan kosong.

Regha menoleh padaku dan menggeleng, "I'm fine," jawabnya singkat. Suaranya terdengar sedikit serak.

Aku terdiam. Tak tahu harus mengatakan apa. Tidak tahu harus melakukan apa agar membuat dia menjadi lebih baik.

"Maaf," kata Regha kemudian, membuatku kembali berpaling padanya dengan sebelah alis terangkat. Regha menoleh padaku dan mencoba tersenyum, "Aku.............kacau sekali tadi. Kau pasti menganggapku....... keterlaluan."

"What? No!! Wajar saja kok. Hubunganmu dengan Abah dan Agus sangat dekat. Tentu saja normal kau mengkhawatirkannya. Plus, kau tidak bisa berada disana untuk merawat mereka karena kau mempunyai kewajiban lain. Meski konsep keluarga yang sedekat itu asing dan tak pernah ku alami, aku bisa memaklumi keinginanmu." Hebat! Aku ngoceh tak jelas, pikirku kecut.

"Bukan hanya itu Ki," kata Regha pelan setelah terdiam beberapa saat, "Aku..............baru saja menyadari beberapa hal yang selama ini tak pernah ku akui. Rasanya seperti baru saja terbangun setelah tertidur sekian lama. It's.............  scaring me. A lot."

Ku lihat Regha menutup matanya dengan kedua tangan dan menghembuskan nafas berat. Aku kembali mengerutkan keningku. Aku tak mengerti apa maksud kalimatnya. Yang jelas, sepertinya itu bukan hal ringan kalau bisa membuat Regha bereaksi seperti itu, "Okay. Honestly? Aku sama sekali nggak ngerti apa yang kamu maksud barusan."

Dia tertawa sumbang, "Neither do I. Tapi..........pernahkah kau menyangkal sebuah kebenaran yang nyata-nyata ada didepan mukamu?"

Entah kenapa, pertanyaan Regha membuatku merasa tak nyaman dan membuatku bergerak-gerak gelisah di kursiku, "I-I stil don't get it," gumamku pelan.

"Selama ini ada satu hal yang.................. sedikit menggangguku," katanya, lalu diam sejenak, seolah-olah berpikir, dan kemudian tertawa kecut, "Aku kembali menyangkalnya. Ada satu hal yang SANGAT menggangguku. Tapi......... benakku mengingkarinya. Pikiranku secara otomatis, seperti membentuk perisai yang menyangkal semua hal yang jelas berada didepanku. Kebenaran yang nyata-nyata ada, di tolak dengan mentah-mentah olehku. Jauh dalam lubuk hatiku, aku tahu kebenaran itu ada, dan menyadarinya. Aku melihatnya dengan jelas. Tapi pikiranku menutupinya dengan dalih-dalih konyol. Berusaha keras untuk tidak mengacuhkannya."

"Bagaimana bisa?" tanyaku kemudian.

"Karena aku..........takut," jawab Regha pelan, tubuhnya semakin terlihat tenggelam di tempat duduknya saat Regha menekuk dan memeluk kedua kakinya di dada. Sejenak kukira tubuhnya sedikit gemetar. Tapi mungkin aku salah, mungkin aku hanya membayangkannya gemetar karena permainan ilusi singkat bayangan benda-benda yang kami melesat di sekeliling mobil kami. Tapi kemudian dia meluruskan kakinya dan kedua tangannya berkumpul di pangkuannya. Saling menggenggam dan bertautan. Dan kedua tangan itu gemetar.

Aku langsung melepas satu tanganku dan menggenggam kedua jemarinya yang terkepal di dada. Mendadak tubuh Regha kembali menegang sehingga aku sedikit kaget, "Hei...... tenanglah. I'll be here to help. What makes you so scare.....?"

Regha melepas tanganku dengan gerakan sedikit kaku. Dia mencoba melempar sebuah senyum gugup padaku, "Se-sebaiknya kau jangan terlalu baik padaku...." katanya kemudian.

Aku mengibaskan kedua tanganku, "Don't be silly. Ceritakan saja padaku...."

Regha diam sejenak dan kemudian menarik nafas panjang, "Ada satu hal yang selama ini takut untuk aku akui. Karena kalau aku mengakuinya, itu sama saja dengan mengakui kalau aku.... berbeda."

Aku kembali mngerutkan dahi, "Dan itu buruk, karena?"

"Karena aku selalu menganggap diriku biasa. Menganggap bahwa semuanya baik-baik saja. Mengakui hal itu berarti sama saja dengan membuka sebuah pintu yang akan mengundang seribu masalah. Masalah yang selama ini tak pernah terlintas di benakku. Sedikitpun."

Aku diam sejenak memikirkannya, "Sebenarnya aku sama sekali tak mengerti apa yang kau katakan. Tapi ini pendapatku, masalah tak akan pernah hilang kalau kau menghindarinya. Kau sudah mengatakan bahwa kau tahu bahwa hal yang kau sangkal itu benar dan nyata. Dengan kata lain, it's already there. Dan kau hanya menutupi dan menyangkalnya. Saranku, hadapi hal itu. Jangan menghindar atau menyangkalnya lagi. Karena hal itu akan tetap berada di sana. It'll still be there, unless you face and solve it. Masalah-masalah yang kemudian mengikuti juga harus kau hadapi. Itu sudah konsekuensi. Kalaupun misalnya kau gagal, atau kalah, setidaknya kau sudah tahu dimana batas dan kemampuanmu. Dan aku yakin, kau bisa mengambil pelajaran dari semua itu."

"Wish it would be that easy," gumam Regha.

"Sesuatu yang mudah datang jarang di hargai dengan benar Gha. Tapi jika sesuatu itu sulit didapat, biasanya kita akan lebih menghargainya. Sesuai dengan semua usaha dan pengorbanan kita."

"Tapi............apakah layak?" tanya Regha lagi dengan mata menerawang.

Aku mengangkat bahuku, "I don't know. You tell me. Kau yang tahu. Apakah sesuatu itu layak diperjuangkan atau tidak. Tanyakan pada dirimu sendiri."

Regha kembali memejamkan matanya dan memijit pelipisnya dengan punggung tangan, "Aku nyaris tak tahu harus berpikir apa sekarang. Kalau saja kau tahu.............. "

"Then tell me!" pintaku.

Regha menggelengkan kepalanya kuat-kuat, "I can't. I won't...." gumamnya dan berpaling, memandang keluar jendela.

"Can't you trust me?" pintaku, sedikit kecewa karena menurutnya aku tak layak mendapat kepercayaannya.

"No! It's not about you! Ini tentangku. I just .............can't. Sorry," katanya cepat.

Aku memutar bola mata, "Whatever," ujarku mencoba terdengar tak peduli dan membuang perasaan tak enak yang kurasakan, "Kau tidur saja. Nanti ku bangunkan kalau kita sampai di Bandung."

"Kita tidak langsung ke Bogor?"

Aku menatapnya heran, "Kau ingin ke panti?"

"Apapun yang bisa mengalihkan perhatianku saat ini. Aku tak ingin diam dan memikirkan Abah atau Agus. Akan lebih baik kalau aku sibuk. Lagi pula, Regi dan Vivi mungkin akan membutuhkan kita," tukasnya.

Ganti aku yang kini menghela nafas, "Fine! Kita mampir dulu ke Bandung untuk mengambil baju dan mandi. Aku akan meminta Pak Adam mengantarkan kita. I don't think I can drive us there," putusku.

"I can," jawab Regha.

"No you're not!!! Pak Adam will do it!" bantahku tegas, "Aku tak akan membiarkanmu membawa apapun. Not after you broke down like before," kataku lagi.

Hening sejenak. Hanya deru AC dan mobil yang ada diantara kami berdua.

"Terimakasih............." ujar Regha lirih kemudian.

"Untuk apa?" tanyaku singkat.

"Terimakasih untuk semua. Untuk semua yang kau lakukan untuk Abah dan Agus. Hadiah yang kau berikan pada Asti dan Agus. Pinjaman yang kau berikan pada Abah. Dukungan yang kau berikan pada Mamah. Dan aku........ Terimakasih sudah menemaniku."

Tanpa sadar aku mempererat peganganku pada setir, "Kau tahu?"

"Soal apa? Bahwa kau meminjamkan uang 25 juta pada Abah? Atau hadiah gadget yang kau berikan pada adik-adikku?" Regha menoleh padaku. Tak ada kemarahan yang ku kira ada disana saat dia mengetahui fakta itu. Mata itu justru bersinar dengan lembut dan penuh terimakasih. Hingga bahkan aku sendiri merasa malu dibuatnya.

"Eeeeuuuhh...... both?"

Regha hanya tertawa kecil dan kembali menatap ke depan, "Soal kau yang membantu Abah, aku sudah lama tahu. Aku tak sengaja mendengarkan dialogmu bersama dengan Regi, Vivi saat kau baru balik dari Majalengka. Saat aku sakit, ingat?"

Aku tak menjawabnya. Karena yang ku ingat waktu itu dia sedang tidur. Tak ada sedikitpun kecurigaan kalau dia terbangun dan mendengarkan pembicaraan kami bertiga. Sekarang baru aku paham, kenapa waktu itu dia memeluk lenganku sembari mengucapkan terimakasih berulang kali.

"Aku hanya tak tahu berapa nominal yang kau pinjamkan."

"Aku tak berniat untuk memintanya kembali," kataku singkat. Kalimat itu membungkam kami berdua untuk waktu yang lama. Aku sendiri sebenarnya tak berniat untuk mengungkap fakta itu. Tapi kalimat itu keluar tanpa dapat ku tahan.

"Uang sebanyak itu bukan urusan kecil Ki. Abah tak akan membiarkanmu merelakannya begitu saja," kata Regha akhirnya.

"I'll find away agar Abah membiarkan semua itu berlalu," jawabku. Karena memang itu tujuanku.

"Kenapa?" tanya Regha dengan nada bingung. Kali ini dia bukan hanya menoleh padaku. Dia bahkan membalikkan badannya untuk menghadapku, "Why us? Kenapa kami Ki? We're practically strangers for you. Kami tak pernah melakukan apapun untukmu. Tolong jangan beranggapan salah, tapi aku benar-benar tak bisa memahaminya. Apa uang sebesar itu benar-benar tak berarti bagimu? Butuh bertahun-tahun bagi Abah untuk bisa mendapatkannya."

"Kalian tak menyadari apa yang kalian miliki ya?" ujarku sedikit geli, "You guys have each other. Love each other. Kalian memberiku gambaran sebuah keluarga dalam makna yang sesungguhnya. Kepedulian kalian satu sama lain. Bagaimana kalian berinteraksi. Bagaimana kalian saling menjaga dan mendukung. That was beautiful. Dan konsep keluarga seperti yang kalian tunjukkan itu, sangat asing bagiku. Hubunganku dengan Mommy terkesan................remeh dan lucu bila dibandingkan dengan hubungan Mamah denganmu."

Aku tak bermaksud mengatakan semua itu. Aku ingin berhenti bicara. Tapi aku tak bisa. Aku merasa aku harus mengatakannya, "Ada beberapa hal yang tak bisa dibeli oleh uang didunia ini Gha. Kalian sekeluarga memilikinya. And I don't. I'm already on my own since my Dad died. Tidak bertemu Mommy dalam waktu berbulan-bulan bukan lagi hal asing bagiku. Bahkan saat aku sakit, atau bermasalah. Aku tumbuh sendiri. Tidak memiliki orang tua untuk berpaling. Mommy terlalu sibuk dengan bisnis kami. Kau boleh menganggap kalau aku stereotype anak orang kaya yang menyedihkan. Berlimpah uang tapi miskin kasih sayang. Call it anything you like, but I don't see it that way,

Bohong kalau aku bilang aku tak merasa lebih beruntung darimu. I'm not that desperate. Aku tahu kalau dalam satu dan lain hal, aku sangat beruntung. Aku memiliki rumah yang bagus, bisa membeli apapun yang aku inginkan, dan pergi kemanapun yang aku mau. Dibandingkan dengan beberapa orang lain yang bahkan bersekolahpun tak mampu. Tapi sekali lagi, ada beberapa hal lain yang tak bisa kudapatkan. Hal-hal yang mungkin bagimu remeh. Seperti kemarahan seorang Ibu. Kecerewetan orang tua. Kekhawatiran mereka pada kita. Atau bahkan kebersamaan sebuah keluarga dalam menghadapi masalah.

Aku tak bermaksud menuntut banyak Gha. Aku tahu Mommy memiliki banyak kesibukan. Tapi aku ingin sesekali beliau meluangkan waktunya untukku. Hanya sedikit saja dari waktunya. Bukannya menyerahkan pada orang lain. Aku sudah memiliki asisten sejak SD yang bertugas mendampingi dan memenuhi kebutuhanku. Can you believe that? Hanya pada waktu SMA aku menolak untuk memiliki asisten lagi. Well.... setidaknya tidak sepanjang waktu, karena di rumah selalu ada yang siap membantuku. Waktu itu aku memiliki Justin dan yang lain. Beberapa orang temanku di Australia. Kami senasib. Datang dari keluarga yang memiliki kemapanan ekonomi, tapi kurang perhatian orang tua. Beberapa teman kami mungkin melihat dan menganggap gengku sebagai segerombolan anak kaya manja yang tak mengerti kata susah. But honestly, kami memiliki penderitaan yang sama. Kami berteriak meminta sedikit perhatian dari orang tua kami, yang sayangnya tak kami dapatkan.

Tapi keluargamu berbeda. You guys are ........... amazing. Reaksimu saat keluargamu mendapat masalah menunjukkan kedekatann kalian yang menakjubkan. Kekhawatiran Mamah saat tahu kau sedang sakit di kostan, its......... priceless. Bagaimana Agus dan Asti menghormatimu, that was rare. Dan bagaimana cemasnya kau saat Abah dan Agus kecelakaan ........... How I wish I got that reaction from Mommy. Dalam satu dan lain hal, aku iri padamu. Dan............ aku tak bisa diam saja melihat kau dan keluargamu mengalami kesulitan, sementara aku memiliki kemampuan untuk membantu. Kau juga pasti begitu kan? Kau tentu tak akan diam saja melihat Vivi atau Regi dalam kesusahan, sementara kau bisa membantu mereka."
Regha tak langsung bereaksi, tapi pada akhirnya dia mengangguk, "Yeah........... Tentu saja aku akan melakukan apapun untuk membantu mereka. But you............." dia memandangku dengan tatapan tak mengerti, "There are times when I thought that you don't like me. Kadang aku merasa kalau kau membenciku."

"I don't!" jawabku cepat, "Aku hanya tidak menyukai kecerobohan dan keteledoranmu," sambungku santai tanpa mampu menahan senyumku.

"Should I say thanks?" tanyaku Regha nada sarkas.

"But you are!!" tukasku membela diri, "Rasa-rasanya tak mungkin kalau kau seorang mahasiwa. Bahkan Agus terasa lebih matang darimu. Setidaknya saat pertama aku mengenalmu. But............. now I think sikapmu yang kekanakan terkadang menjadi potensi unik dari dirimu. Kau............. tulus. Sehingga kadang membuatku merasa bersalah."

"Bersalah?"

Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk, "Look, I'm gonna confess something. Dan ku pinta kau .......... tidak langsung bereaksi buruk," pintaku.

Regha melipat kedua tangannya didada, "Okay. I'm listening."

Aku diam sejenak, menelan ludah, "Well................ sebenarnya aku tak memerlukan uangmu yang dulu kau berikan. Untuk ganti rugi kerusakan mobilku, ingat? Sebenarnya aku sudah mengansuransikannya. Jadi semua biaya perbaikan telah ditanggung oleh pihak asuransiku. Aku hanya ingin memberimu pelajaran karena hampir celaka 2 kali dalam sehari. Dan juga karena membuat jidatku luka."

Mulut Regha terbuka dan sesaat kemudian tangannya melayang memukul bahuku dengan keras, "YOU-ARE-AN -ASSHOLE!!!! Bagaimana kau bisa melakukan itu?!" makinya dan kembali mencoba memukulku dengan setap kata yang dia ucapkan, kesal.

"Hey hey heyy!!!" aku menghindar sembari mencoba mengendalikan mobil, "I'm driving!!!"

"Ya Allaaahh!! Apa kamu pernah berpikir seperti apa kebingunganku waktu itu?!! Dasar bule sinting!!!"

"Heyy!!" sergahku kesal, "For the record, aku masih menyimpan uangmu. Dan aku telah mengembalikan uang Regi dan Vivi."

"They know?!!"

"Kind of. Aku hanya mengembalikan uang mereka sesuai seperti yang kau sebutkan dulu. 5 juta. Aku meminta mereka untuk tidak mengatakannya padamu. And now that you know, uangmu akan segera ku transfer ke rekeningmu. Sedikit lega karena kau akhirnya tahu," cengirku.

Regha mengumpat pelan, "Keep it!" ujarnya akhirnya dan mengibaskan tangan, "Aku masih berhutang 25 juta padamu."

"I just wanna help. Kau tak perlu memikirkan uang itu," kataku.

Regha memandangku sejenak, "Yeah. But still.............. 25 juta bukan jumlah yang kecil Ki. Aku janji akan mencicilnya. Simpan saja uang itu. I mean it!"

"We'll talk again later ok? Tapi.......... bisakah kau melakukan sesuatu?" pintaku teringat satu hal lain.

"Apa?"

"Aku masih menyimpan uang Rizky. Dan aku ingin kau segera mengembalikan uang itu padanya."

"Kau benar-benar tak menyukai Mas Rizky ya? Kenapa?"

"I just don't like him!" jawabku singkat.

"Apakah karena dia...................... gay?" tanya Regha. Nada yang dia gunakan saat mengucapkan kalimat itu membuatku berpaling padanya. Aku berani bersumpah kalau aku melihat kilau luka di matanya. Atau itu hanya perasaanku saja? Tapi mengapa aku merasa kalau tiba-tiba saja dia seperti terpukul. Apakah dia begitu peduli akan Rizky? For God sake!!

"I don't know, ok?!  I just don't like him. At all!" kataku akhirnya tanpa menyembunyikan kekesalanku, "Pokoknya segera kembalikan uangnya, karena aku tak ingin berurusan dengan orang itu lagi. Aku sudah mencoba mengembalikannya, tapi dia tolak. Bisa kan?"

Regha tak menjawab. Dia hanya mengangguk sembari kembali menatap ke depan. Ekspresi wajahnya masih terlihat murung. Dan kamipun melaju dalam keheningan yang mencekam dan tak ku mengerti.       






REGHA



Dia kembali bersandar di bahuku. Tubuhnya semakin condong, menekanku. Aku tahu dia capek. Kami berkendara dari Majalengka ke Bandung, istirahat sebentar, hanya untuk mandi dan makan di rumahnya, lalu kembali melaju di jalanan menuju Panti yang ada didaerah Bogor.  Meski mandi tadi cukup menyegarkan kami berdua, tetap saja, tubuh kami menuntut untuk diistirahatkan. Untungnya, Pak Adam bisa membawa mobil dengan nyaman. Ditambah AC yang cukup dingin, kami berdua segera mencoba mengistirahatkan tubuh. Tadi saat kami baru keluar dari Bandung, Zaki sempat menelepon Pak Arya.

Darinya kami mendapat informasi kalau semuanya dalam keadaan baik. Vivi dan Regi masih ada di Panti. Zaki meminta Pak Arya untuk memberitahu mereka bahwa kami sedang menuju kesana, dan membiarkan mereka menangani urusan parcel. Aku lega mendengar semua berjalan dengan baik, hingga tanpa sadar aku menarik nafas panjang dan menyandarkan tubuhku dengan ekspresi tenang. Zaki yang melihatnya hanya mengulum senyum. Aku sendiri pura-pura tak melihatnya dan mencoba memejamkan mata.

Aku tak tahu berapa lama aku terlelap, tapi aku terbangun saat kurasakan ada sesuatu yang menekan samping tubuhku. Saat aku membuka mata, pipiku bersentuhan dengan rambut Zaki yang terasa lembut dan harum. Dia tertidur dengan kepala yang bersandar di bahuku. Tadi aku berusaha untuk mendorongnya perlahan, supaya dia tidak terbangun, untuk bersandar ke sisi yang berlawanan. Karena aku tak mau kehilangan kontrol dan mikir macam-macam. Berdekatan dengan Zaki membuat tubuhku bereaksi aneh. Seperti ada selembar bulu tipis yang menggelitik perutku. Harum tubuhnya serta kedekatan fisiknya memancing bangunnya sesuatu dalam tubuhku yang ku hindari. Namun entah karena gerakan mobil 
atau apa, tubuh Zaki kembali condong dan akhirnya kembali bersandar padaku.


Ini sudah ke 5 kalinya. Dan aku akhirnya pasrah. Membiarkannya sembari berusaha dengan keras mengendalikan diri. Membuang pikiran kotorku sejauh mungkin.

"Pak Adam, bisa tolong ambilkan bantal kecil itu," bisikku pada Pak Adam sembari menunjuk pada bantal kecil yang ada di dashboard. Pak Adam yang melihatku dari spion hanya mengangguk dan kemudian menjulurkan bantal itu. Dengan berhati-hati dan perlahan, aku mengambilnya. Aku meletakkannya di pahaku dan kemudian dengan pelan-pelan membimbing kepala Zaki untuk kemudian berbaring di atas bantal. Yang sedikit mengejutkan adalah saat Zaki bergumam kecil dan kemudian membetulkan posisinya. Berbaring dengan nyaman sembari menekuk kakinya yang panjang.

Aku menahan napas saat dia sedikit menggerakkan kepalanya. Tapi dia hanya mencari posisi yang enak, dan kembali lelap dalam beberapa detik kemudian. Nafasnya kembali teratur. Aku menghembuskan nafas lega. Dengan begini, selain dia bisa beristirahat dengan nyaman, aku juga tidak tersiksa. Tubuh Zaki jauh lebih berisi dan tinggi dariku. Kalau dia bersandar padaku kayak tadi, aku serasa tergencet. Kalau begini kan enak. Akupun bisa memandang wajahnya.

Wajah tenang yang menawan dan tanpa kusadari, telah mengikat hatiku.

Aaaahhh!!! Sial!!! batinku galau.

Entah kapan sebenarnya cowok yang berada di pangkuanku ini menjeratku. Entah apa pula yang kemudian mengikat perasaanku padanya. Well.............. yeah tentu saja, secara fisik dia menawan. Hampir seluruh cewek di kampus akan mengakuinya. Bibirnya yang imut dan merah membasah. Hidungnya yang mancung dan lurus sempurna. Alis tebalnya. Matanya yang dalam dan tajam. Kulit wajahnya yang bersih dan cambangnya. Sepertinya dia belum sempat bercukur tadi. Aku bisa melihat lajur kebiruan yang jelas disepanjang garis rahang, dagu dan atas bibirnya. Tapi bukan fisiknya yang menjeratku.

Awalnya kukira dia hanya cowok separuh bule yang tengil dan menyebalkan. Jenis anak borju yang selalu melakukan 
apapun yang dia inginkan, dan mendapatkan apapun yang dia mau. Tapi............ dibalik itu, dia juga seorang dermawan. Dia selalu membantuku dengan caranya sendiri. Yeah, mungkin metode yang dia gunakan memang terkesan kasar dan seenak udelnya. Tapi toh dia melakukannya untuk kebaikanku. Dan kalau aku mau mengakui, meski sumpah nggak rela, aku memang tipe orang yang sembrono dan ceroboh. Mungkin aku memang membutuhkan orang yang tegas dan tangkas seperti dia. Orang yang bisa membuatku tetap pada jalur dan terarah.

Meski tak mungkin dia menginginkanku, seperti aku menginginkannya. Dia............. straight dan membenci gay.

UGHH!!!! Hanya dengan membatin label itu, aku sudah merinding. Sedikitpun aku tak pernah menyangka, kalau aku akan menyematkan kata itu pada diriku sendiri. Tapi sebutan apa lagi yang bisa ku berikan pada diriku sendiri yang jatuh cinta pada Zaki?!! Sekarang aku baru tahu, bagaimana tidak nyamannya perasaan Ari dan Mas Alvian saat mereka mengalaminya. Betapa bingung dan rumitnya yang mereka rasakan.  

Apa yang sebaiknya ku lakukan? Aku harus bagaimana? Dan.......... bagaimana pula aku nantinya?

Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Juga kilasan-kilasan percakapanku bersama dengan Mas Rizky, Ari, Regi dan juga Mas Alvian. Semua ajaran-ajaran agama yang pernah ku dapat, juga keluargaku. Sesak!! Benar-benar sesak. Aku lalu kembali menyandarkan kepalaku ke jok dan memejamkan mata. Aku akan kembali mendapatkan serangan panik, seperti pertama kali aku menyadari apa yang ku rasakan pada Zaki kalau aku tidak cepat-cepat menenangkan diri. Aku bisa membangunkan Zaki!!

Well, see? Kau bahkan terlalu khawatir hanya sekedar membangunkannya!

Pikiranku seolah-olah mencemoohku dengan sinis. Aku berusaha menarik nafas panjang beberapa kali, menenagkan diri dan debaran jantungku yang mulai tak beraturan. Hingga akhirnya aku kembali membuka mata dan kembali memandang wajah Zaki yang terlelap di pangkuanku. Memperhatikan setiap detil garis wajahnya. Mencoba kembali menelaah apa yang kurasakan padanya. Mengamati profil wajahnya. Dan .................perasaanku masih saja sama. Berada begitu dekat bersamanya seperti ini, mengingat kembali semua yang kurasakan padanya beberapa waktu belakangan ini, hanya semakin membuatku yakin kalau aku jatuh hati padanya. Apa lagi coba penjelasan yang masuk akal saat aku begitu berdebar-debar seperti ini saat memandangnya. Tiap detak jantungku seakan-akan meneriakkan namanya. Dadaku dipenuhi perasaan hangat yang mengalir ke seluruh bagian tubuhku. Perasaan ini berbeda, sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan apa yang kurasakan pada Emma. Perasaan ini jauh lebih manis, hangat dan mengikat. Bahkan mencium aroma wangi tubuhnya yang sudah biasa kuhirup pun kini terasa berbeda dan lebih.............. bermakna.

Apa yang harus ku lakukan kalau wajah ini tak pernah bisa ku lupakan? batinku dan tak dapat menahan tangan kananku yang terulur untuk menyentuh rambutnya.

"Kita hampir sampai Mas," kata Pak Adam mengagetkanku. Cepat-cepat aku kembali menarik tanganku. Terlalu cepat dan tanpa sengaja menyentuh sedikit ujung telinga Zaki.

Mata Zaki terbuka perlahan. Sejenak dia hanya diam dan memandang sekeliling dan kemudian berhenti padaku yang kini diam menatapnya dengan kepanikan yang mulai ku rasakan. Zaki yang sepertinya sudah kembali menyadari situasi kemudian bangkit dari tidurnya dan memandang keluar mobil.

"Kita sudah sampai?" tanyanya dengan suara yang sedikit serak dan berat karena kantuk. Dia mengucek matanya pelan.

"Uh-uhm," jawabku dan mengangguk, tak mempercayaiku suaraku sendiri yang mungkin akan terdengar aneh kalau aku membuka mulut.

"Sudah berapa lama aku tertidur?" tanya Zaki sembari menyandarkan punggungnya. Dia memejamkan mata dan memijit kelopak matanya dengan punggung jari.

"Entahlah........." jawabku setelah berdehem sejenak. Aku lalu mengalihkan pandanganku pada pintu masuk panti. Ada sedikit keramaian yang lebih dari biasanya. Beberapa mobil pengangkut tampak keluar dari sana. Makin ke dalam, keramaian itu makin terasa. Depan Ballroom panti tampak ramai dengan berbagai hiasan pesta dan lampu yang digantung. 

 Para pegawai panti yang bertugas dalam pesta kini menggunakan seragam baru. Celana hitam, kemeja polos merah dan rompi hitam.

"Seragammu sudah dapat? Aku mau mandi dulu. Sebaiknya kau juga merapikan diri. We both look like a mess," ujar Zaki yang hanya ku jawab dengan anggukan. Begitu mobil berhenti, aku segera keluar menuju ruang locker dan mengambil keperluanku.

Aku membersihkan tubuhku secepatnya dan kemudian segera berganti pakaian. Hari sudah menjelang sore. Sebentar lagi gelap dan pesta akan segera mulai. Aku menemukan Regi dan Vivi yang menata parcel di pintu keluar dibantu oleh beberapa orang panti. Yang mengejutkan, mereka juga memakai seragam yang sama denganku.

"Ada yang bisa gua bantu?"

Vivi yang pertama kali melihatku hanya tersenyum dan kemudian mendekat untuk memelukku, "Gimana bokap ma sodara lu?" tanyanya setelah melepaskanku dari pelukannya. Matanya menyorotkan simpati yang tulus sehingga aku mampu tersenyum.

"Mereka berada dalam masa pemulihan. Syukurlah gak ada luka serius. Ga ada yang kurang kan Gi?" tanyaku pada Regi 
yang kemudian mendekat dan meremas bahuku.

"Tinta cyin. Semua sutra beres. Sebenernya kami tadi gak tau musti ngapain setelah nganter sisa parcel. Tapi Pak Arya bilang jij ma Zaki bakal dateng, jadi sekalian aja kita mo bantuin jij disindang. Ikke dikasih seragam nek. Cucok tinta?" tanya Regi centil dan berpose di depanku dengan lincahnya.

"Celana lo kudu diganti Gi," komenku setelah memperhatikannya sejenak.

"Eh, kenapa?" tanya Regi heran dan menunduk memeriksa celananya.

"Teu rame. Kudunya mah diganti ma rok mini item," cetusku kalem.

"Rumpik!!" umpatnya dan menabok bahuku sedikit keras. Vivi tertawa kecil dengan aksi kami.

"Jam berapa tamu akan datang Gha?' tanya Vivi dan menunjuk ke satu kursi tambahan untukku dan mengisyaratkan padaku untuk membawanya mendekat.

"Mungkin sebentar lagi," kataku kemudian duduk dan tanpa sadar mengeluarkan desahan lega.

"Kenapa lo kembali kesini Gha? Keluarga lo gimana?" tanya Vivi setelah diam sejenak dan memperhatkanku.

"Iya Nek. Kenapa jij ga istirahat aja di kostan kalo emang bisa?" sambung Regi.

"Mereka gak pengen gue khawatir dan ngeyakinin gue kalo mereka udah gak apa-apa. Mereka yang kemudian minta gue buat cepet kembali kesini setelah tahu kalau bentar lagi kita bakal ujian. Apalagi setelah tahu ada kerjaan yang gue tinggal. Gue yang minta Zaki buat kesini. Gue gak bisa diem di kostan sambil mikirin Abah ma Agus. Gue kudu ngalihin perhatian gue ke hal lain Vi, Gi. Dengan ada disini, gua bakal sibuk en kelarin tanggung jawab gue kan?"

Mereka yang duduk di sebelahku hanya tersenyum dan mengangguk, menunjukkan dukungan mereka padaku.

"Eh, tapi gue ga nyangka kalo lo kerja di panti kaya gini. Gila aja! Gue ma Regi tadi cengo abis ngeliatnya. Gue pikir pantinya bakal biasa aja. Taunya................"

"Iya nek!" sambung Regi, "Tempat ini lebih mirip resort deh. Ikke nganga masa ngeliat gedung ma lokasinya."

Aku tersenyum mendengarnya. Reaksi mereka tak jauh berbeda denganku dulu. Lalu dengan singkat akupun menjelaskan tentang fasilitas panti ini. Mereka jadi makin bengong dan tampak takjub. Apalagi saat kusebutkan beberapa nama yang tinggal disini. Untuk sejenak keduanya cuman saling pandang dengan mulut terbuka.

"Lo bokis ah!" sentak Vivi tak percaya.

"Swear! Semua yang gue bilang tadi bener. Entar juga kalian liat siapa aja yang datang kesini. Yang ulang tahun kali ini tuh mantan pejabat orde baru. Dan melihat daftar undangan yang bakal dateng, gua yakin kalian bakal cengo abis," sahutku sembari mengulum senyum.

"Are you guys ready?" tanya Zaki yang kemudian tiba-tiba saja muncul dari luar pintu, "Satpam sudah memberitahu kalau 
beberapa mobil tamu sudah memasuki gerbang."

Aku diam bengong melihatnya. Hwanjeeezzz!! Disanalah dia, mengenakan setelan jas resmi yang seolah-olah mempertegas bentuk tubuhnya. Berwarna hitam dengan kemeja biru dan dasi hitam. Wajahnya sudah kembali segar, bersih dan tampak siap menghadapi apapun yang bakal datang. Kumis dan cambangnya yang tadi tampak jelas, kini tercukur bersih. Menyisakan bayangan kebiruan di sepanjang garis rahang, dagu dan atas bibirnya. Baru kali ini aku melihatnya dalam balutan busana resmi. Dia seolah-olah menjadi satu sosok asing. Tubuhnya menjadi terlihat lebih tinggi, bahunya terlihat makin lebar dan bidang. Lekukan jas pada pinggangnya melengkung dengan sempurna. Sialan!! Dia lebih mirip model daripada seorang eksekutif muda. Meski sikapnya menunjukkan wibawa dan profesionalisme yang tak tercela. Ya Allaahh, siapa nih orang? Kemana Zaki yang gua kenal? batinku.

"Gha?" Zaki melambaikan tangannya di depan mukaku.

Aku jadi tergagap dan segera menggelengkan kepalaku untuk bangun dari lamunan benakku, "Ma-maaf. Aku...... agak kaget," sahutku cepat.

"Kaget? Are you okay? Look, it's not a problem if you wanna take a break. Kau bisa istirahat dulu. Jangan sampai kau kelelahan," kata Zaki dengan tatapan memperhatikanku.

"Dia cuman ga biasa aja ngeliat penampilan lo Ki," celetuk Regi.

Aku langsung berpaling dan melotot padanya dengan muka memerah. Regi cuma ngikik dan menyikut Vivi pelan. Tuh anak emang. seneng bikin orang salah tingkah.

"Ehmm.....a-aku cuma ngerasa aneh melihatmu," kataku cepat, mencoba menyelamatkan harga diriku yang tercecer.
"Aneh?"  gumam Zaki dan memperhatikan tubuhnya sendiri, "Apa yang salah?" tanyanya dan merentangkan tangannya, membuat jas resmi itu semakin menunjukkan bentuk dadanya yang nyaris tanpa cela.

"NO!!" kataku dan kemudian mengumpat pelan, "Ma-maksudku.........." aku tak tahu harus mengatakan apa dan hanya mampu melihat ke arah Vivi dan Regi dengan tatapan memelas.

"He means you look good Zake. You truly are," kata Vivi yang akhirnya menjawab.

Zaki bukannya melihat ke arah Vivi yang mengatakannya, tapi justru melihatku, "Really?" tanyanya.


Apa yang bisa ku lakukan? Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.

"Mungkin dia kaget karena pertama kalinya melihatmu dengan setelan resmi," celetuk Regi lagi. Dan aku tak bisa mengatakan apapun selain kembali mengangguk saat Zaki kembali melempar tatapan tanya padaku.

"Ohh, well.............." Bahkan Zaki pun kehilangan kata-kata dan tampak sedikit tersipu. Tiba-tiba saja terlihat canggung dan salah tingkah, "You know what, aku akan bersiap-siap menyambut para tamu. Kalian tahu kan tugas kalian?"

"Kami hanya bertugas memberikan parcel pada setiap tamu yang pulang kan? Don't worry," ujar Vivi dan mengibaskan tangan.

"Okay then. See you later," katanya sembari berusaha menghindari mataku dan segera berlalu. Regi dan Vivi langsung cekikikan bareng sementara aku menggeram marah pada mereka berdua.

"Bisakah kalian berhenti membuat gue terlihat bodoh?" gerutuku kesal.

"Oh sweetie, percayalah. Kami tahu kalau dia cowok yang menawan. Jij gak perlu malu, em?" tukas Regi centil dan mengedipkan sebelah mata. Aku tak menjawabnya, hanya memberikan gerutuan pelan sebagai reaksi. Sekali lagi, mereka berdua bisa dengan jelas membacaku. Apa aku begitu jelas kelihatan? batinku gundah.

Tapi............siapa yang bisa menahannya? Lihatlah dia.... batinku dan menatap Zaki yang berdiri didepan pintu masuk. Pembawaannya kini sudah bukan lagi Zaki seorang mahasiswa. Dia telah menjadi seorang pemimpin dari sebuah usaha besar dengan senyum ramah dan sikap yang berkelas. Aku bisa melihat bagaimana para tamunya bereaksi. Tak ada sedikitpun sikap mereka yang menunjukkan bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang statusnya masih mahasiswa. Dia berada dalam posisi yang sejajar dengan mereka. Kelompok orang yang memiliki usaha sendiri dan terhormat.

Aku hanya menghela nafas dan mencoba menyingkirkan perhatianku darinya.

Seperti dugaanku, Vivi dan Regi mengenali beberapa tamu yang datang malam itu. Tak jarang Regi. memekik pelan dan heboh sendiri. Berkomentar macam-macam sembari menyebutkan beberapa fakta tentang tamu yang datang. Aku hanya tersenyum melihat mereka. Kadang aku merasa kalau Regi tuh lebih cocok menjadi seorang presenter infotainment daripada mahasiswa.

Acara malam itu berlangsung dalam kemeriahan yang anggun. Para pelayan yang terus berseliweran dengan membawa minuman, menawarkan pelayanan yang tanpa cela bagi para tamu. Ada beberapa yang dengan santai ngobrol sembari menikmati hidangan yang tertata di sepanjang dinding gedung. Beberapa lebih memilih ngobrol sembari berdiri dan menyesap minuman. Banyak pula pasangan dan kelompok yang duduk santai di meja-meja bertaplak yang tertata dalam sentuhan mewah. Pemandangan yang biasanya ku lihat hanya dalam film-film kini terpampang nyata di depanku. Beda dengan pesta ulang tahun yang biasanya ku datangi. Penuh kehebohan dan suara musik hingar bingar. Disini musik yang dimainkan oleh live band lebih kalem. Mereka memainkan musik-musik yang kebanyakan berirama jazz dan blues. Cukup menggoda untuk para tamu berdansa.

Zaki ku lihat bergerak dengan keanggunan seorang terpelajar diantara mereka. Sesekali berhenti dan ngobrol dengan beberapa orang. Ku lihat dia juga sempat berdansa dengan beberapa cewek yang kebanyakan tampak matang, cantik dan menggoda. Jelas mereka terpesona olehnya. Aku berusaha sebisa mungkin mengacuhkannya. Tapi mataku selalu mencari sosok Zaki diantara kerumunan para tamu.

"Aku mencintainya," kataku pelan, kemudian berpaling pada Regi dan Vivi yang tadinya ngobrol seru, kini menatapku datar dan diam. Akupun ikut diam. Menanti reaksi mereka, karena aku yakin mereka tahu siapa yang kumaksud.

"Jadi kemaren ikke denger dese kencan ma lekong Erbong cyin!!" kata Regi rumpi, meneruskan obrolan mereka yang tadinya terputus. Dia bersikap seolah-olah aku tak mengatakan apapun tadi.

"Embeerr!! Gue dengar dia ketemuan ma tuh laki pas liburan. Peres kan nek? Gak mungkin! Secara dari dulu, semuanya udah tahu kalo tuh penyenyong suka ma lekong import!" timpal Vivi gak kalah serunya, membuatku bengong dan merasa diacuhkan.

"Eemmmm!!! Dese suka ma yang gedong-gedong cyiinn! Tapi siapa juga yang enggak, em?" sambung Regi nyengir.

"Eemmm!!!" jawab Vivi dan merekapun cekikikan. 

"Kalian ga denger ya?" potongku.

"Terus ya nek, jij tahu ga penyenyong dangdut yang kemaren tunangan itu, jij liat bajunya? Yaoloooh! Norak abis. Pembokat ikke aja lebih gaul dari dese. Itu baju pake pita en rumbai-rumbai segala macem kek badut Ancol," sambung Regi seakan-akan tak ada interupsi dariku.

"I SAID I LOVE HIM!!!" kataku keras dengan kesal.

Obrolan mereka seketika terhenti. Keduanya lalu berpaling dan menatapku datar tanpa ekspresi, "Terus kenapa Gha?' tanya Vivi enteng.

"Iya! Berisik amat deh. Lagi asyik ngerumpi juga," gerundeng Regi.

"Gue bilang, gue cinta Zaki!"

"Yeah. Terus kenapa?" tanya Regi dengan ekspresi heran.

Aku langsung mengerang dan jedot-jedotin kepalaku ke meja dengan frustasi.

"Gha, kita udah lama tahu. Kan kita udah pernah bilang ke lu," ujar Vivi lembut dan meletakkan satu tangannya di bahuku.
Aku tetap meletakkan kepalaku di meja dan memandang ke lantai, seakan-akan ada sesuatu yang menarik disana. Yeah, tentu saja, batinku kesal. Mereka sudah tahu. Jauh sebelum aku menyadarinya. Mereka sudah berusaha memberitahuku beberapa kali. Hanya aku yang terlalu sibuk mencari dalih dan menyangkalnya.

"Gue mesti gimana?" gumamku pelan, kalut. Aku benar-benar tak tahu harus melakukan apa.

"Kenapa lo gak bersyukur karena lo bisa merasakan cinta?" kata Regi setelah diam beberapa saat.

Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya tak percaya, "Bersyukur? Gi, gue ma dia sama-sama cowok. Terlebih lagi, kita tahu Zaki tuh straight dan doyan cewek."

"Begitu juga lo sebelum lo tahu lo jatuh cinta ma Zaki kan?" potongnya pelan, "Kenapa harus diributin sih? Cinta adalah 
 cinta."

"Apa gue belom bilang kalo dia benci ma gay?" tambahku sedikit sinis.

"Benci? Siapa bilang? Dia baik-baik aja ma gue meski gue gay," sergahnya singkat.

"Dia dengan jelas bilang kalo dia gak suka ma Mas Rizky dan..............." Aku terdiam, sadar akan satu fakta lain yang kembali luput dari perhatianku.

"Lo udah sadar?" tanya Vivi yang kemudian tertawa kecil, "Zaki ga suka ma Rzky, karena dia tahu kalo Mas Rizky suka ma elo. Bukan karena dia gay."

"Ma-maksud lo, Za-zaki....." aku tak meneruskan kalimatku.

Regi mengangguk, "Kita pikir juga begitu. Zaki juga suka ma elo."

"Kalian berdua benar-benar sinting!" komentarku tanpa bisa menahan diri.

"See? Lo menyangkalnya lagi. Lo ga nyadar gimana dia selalu ada buat lo? Siap ngelakuin apapun buat bantu lo? Nemenin lo?" tanya Vivi.

"Ngerayain ultah lo, bantu ortu lo, nemenin lo sakit, nganter lo balik kampung buat jenguk keluarga lo yang sakit dan...."

"Okay, stop!!!" pintaku dan segera memijit pelipisku yang tiba-tiba saja berdenyut menyakitkan.

"Kita berdua ngerasain gimana intensnya perhatian dia ke lo. Gimana protektifnya Zaki dalam ngejaga elo. Gimana dia selalu siap buat elo," kata Vivi lembut.

"Lo gak ngerasa kalau dia kasar dan semaunya?"

"Itu memang bawaan dia kali, Gha," cetus Regi sembari tertawa kecil, "Lo liat dia," tunjuk Regi dengan dagu.

Aku melihat ke arah yang dia maksud, dan melihat Zaki yang sedang mengobrol dengan beberapa orang pria paruh baya. Mereka terlihat serius.

"Dia terlahir sebagai seorang pemimpin. Dia tipe orang yang dengan alaminya selalu memegang kendali. Zaki orang yang selalu menjadi pemegang keputusan. Dia terbiasa menyelesaikan dan menghadapi masalah dengan tegas, lugas dan cepat. Dia bukan orang yang terbiasa berada di bawah kendali seseorang. Dia orang yang selalu............. berkuasa. Tak heran dia bisa dengan santainya menyuruh dan kadang membuat orang melakukan apa yang dia inginkan. Bukan karena dia sok atau belagu. Tapi lebih karena dia sudah terbiasa bersikap seperti itu. Memimpin sesuatu, lebih menjadi sifat alami yang dia miliki. Tapi seharusnya sekarang lu bisa tahu kalau dia melakukan semua itu untuk kebaikan lu. Bukan untuk kepentingan dia pribadi semata."

Aku tertegun oleh penjelasan Regi. Aku hanya diam dan menatap Zaki yang kemudian tiba-tiba saja juga menoleh padaku. Aku terpaku saat mata kami bertemu. Sejenak dia hanya melihatku dengan tatapan heran, lalu dia melambai sekilas padaku. Cepat aku menunduk dan kembali berpaling ke arah Regi dan Vivi yang kini menatapku sembari tersenyum lembut.

Aku hanya mampu tertunduk, "Tidak. Kalian................salah. Dia gak mungkin menyukai gue. Kalaupun iya, tidak mungkin kami bisa............" aku berbisik lirih. Tak ada jawaban, tapi sesaat kemudian kurasakan remasan lembut tangan Vivi dibahuku.

"Tidakkah lu rasain sentuhannya di hati lu Gha?"

"Vi gue ga mau jadi..."

"Gay?" potong Regi yang ada disebelah Vivi cepat dengan nada sedikit sinis, "Masih juga ribet dengan istilah dan label?"

"Gi....." hanya itu yang bisa ku katakan.

"Masih belum cukup pembicaraan kita kemaren-kemaren? Kenapa sih lu ngeributin hal itu? Kenapa kitak menyederhanakannya dan menyebut itu apa adanya? Cinta!" ujar Regi tegas.

"Lo gak sadar betapa beruntungnya lo sekarang ini? Bisa merasakan sebuah cinta yang sejati seperti ini?" tanya Vivi, membuatku tergelak oleh tawa pahit.

"Cinta sejati?" tanyaku dengan alis terangkat.

"True love is always unexpected!" jawabnya, "Berbeda dengan cinta yang direncanakan. Misalnya saat lu naksir, lu merancang berbagai cara agar bisa jadian. Menurutku itu bukan cinta sejati. Tapi cinta yang dibentuk dan direncanakan. Sementara cinta sejati selalu datang tak terduga dan tak terencana. Ia muncul dengan sendirinya."

"Vi, please............."

"What? It's true! Lo mesti bersyukur karena lo bisa ngerasainnya. Lo tahu berapa banyak orang yang tidak pernah ngerasain cinta dalam arti sesungguhnya? Banyak Gha. Bahkan beberapa mereka yang hidup dalam ikatan pernikahan dan kompromi."

"Kompromi? Mana ada pernikahan berdasarkan kompromi?! Orang menikah pasti karena cinta. Hal itu juga yang ku inginkan." ulangku.

"Liat sekeliling lu? Ada banyak pasangan suami istri di gedung ini yang hidup bersama dan menikah, bukan karena cinta. Tapi lebih karena kompromi."

Aku menatap berkeliling, bagiku mereka semua terlihat normal dan bahagia-bahagia saja, "Di ruangan ini? Semua terlihat normal," kataku sedikit menggerutu.

"Itu salah satu bukti bagaimana lu masih tertipu oleh penampakan luar dan kurang teliti. Lo liat pasangan yang duduk di kursi yang ada di sebelah kanan Zaki. Yang wanitanya berbaju hijau lumut, dan laki-lakinya menggunakan kemeja batik coklat," kata Regi. Aku mengikutinya. Memang ada pasangan seperti yang dia katakan.  Sang suami berumur sekitar 45 tahunan. Sementara sang istri sekitar akhir 30 tahunan.

"Ada apa dengan mereka?"

"Mereka salah satu pasangan yang gue yakin menikah atas dasar kompromi dan memiliki pernikahan yang pahit dan tak bahagia. Perhatikan ekspresi muka si istri. Dia terlihat luar biasa bosan dan nyaris mengenaskan. Sang suami adalah jenis bandot tua kurang ajar yang juga sudah bosan setengah mati dengan pernikahan dan istrinya. Matanya selalu jelalatan mencari perempuan-perempuan lain yang bisa mengangkat egonya yang karam. Lu bisa lihat?" kata Regi dengan lancar. Sepertinya dia benar. Pria berbaju batik itu memang jelalatan dan memandang dengan pandangan mendamba pada beberapa wanita cantik yang melewati meja mereka. Sang istri.............. dia sepertinya tahu kegenitan suaminya. Tapi anehnya dia diam saja. Dan ekspresi bosan di wajahnya terlihat begitu jelas, meski dia mencoba menampilkan wajah datar.

"Menurut lu kenapa dia diam saja padahal jelas-jelas mata suaminya jelalatan seperti itu?"

"Karena dia sudah tak peduli..." kataku pelan.

"Tepat sekali. Dia sudah tak peduli dengan polah suaminya. Tapi entah kenapa mereka masih terikat dalam pernikahan yang menyedihkan itu. Bisa karena dia sudah terlalu nyaman oleh kemewahan yang dia dapat dari suaminya. Atau mungkin karena dia sudah terlanjur menikah terlalu lama dengan bandot itu. Kompromi!" kata Regi

"Lu lihat juga pasangan beda usia yang ada didekat panggung itu," kata Vivi dan menunjuk dengan dagu.

Aku melihatnya. Kalau gak salah si cewek itu adalah seorang artis sinetron yang namanya pernah ku lihat di tv. Tidak terlalu terkenal, tapi dia memang cantik dengan tubuh menawan. Dia berusia di awal 30 an. Suaminya adalah seorang pengusaha yang berusia sekitar 60 tahun dan sudah memiliki 6 orang cucu. Pernikahan mereka sempat menjadi pembicaraan media massa selama beberapa waktu.

"Menurut lu pernikahan itu karena cinta?" tanya Vivi, "Lu asli bego kalau sampai mengatakan iya! Ga ada wanita cantik yang masih waras, mau menikahi laki-laki yang sebelah kakinya udah ada di kuburan! Dia butuh uang dan laki-laki itu memberikannya. Imbalannya, pernikahan dan semua pernak-perniknya. Kompromi"

"Banyak lagi kisah-kisah kompromi lainnya Gha. Seorang wanita yang dijodohkan oleh orang tuanya. Cowok yang terpaksa menikahi pacarnya yang hamil. Atau seorang gay yang menikahi wanita hanya karena tuntutan sosial dan keluarganya. Kompromi......." sambung Regi dengan nada pelan.

"Jadi......... gue kudu bisa menikah dengan Zaki?"

Regi memutar bola matanya, "Bukan itu intinya. Maksud gue adalah syukuri apa yang lo rasain saat ini. Karena banyak orang yang seumur hidupnya berharap mendapatkan cinta sejati, tapi tak pernah mendapatkannya. Maksu gue adalah, jangan takut ama apa yang lo rasain saat ini.  Rengkuh dan rangkul rasa cinta lo. Jangan peduliin semua stigma dan pikiran-pikiran negatif yang ada. Gue gak akan bisa mengatakan ada apa di ujung kisah cinta lo. Mungkin aja lo bakal jalan terus bareng Zaki. Atau mungkin pada suatu titik, lo bakal sadar dan jatuh cinta ma seorang cewek, menikah dan punya anak. Who knows? Kita tak akan pernah tahu. Yang jadi masalah sekarang adalah kalo lo berusaha menyangkal dan gak mengindahkan perasaan lo. Jangan terlalu musingin label. Gay, lesbi, straight, bi or else. Syukuri saja rasa cinta yang lo miliki."

"Gimana gue bisa bersyukur kalau cinta yang gue rasain mustahil buat terwujud?" aku bergumam pelan dengan kepala yang kembali tertunduk.

"Well, jangan terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Lo ga akan pernah tahu, kejutan apa yang dibawa oleh kehidupan di depan kita. Trust me. You never know," jawab Regi.

"Are you okay?"

Entah bagaimana, tahu-tahu Zaki sudah berada di sebelahku dan satu tangannya terulur menyentuh dahiku. Aku terlalu kaget untuk bisa bereaksi. Aku hanya terpaku diam sementara Zaki kemudian berjongkok dan melihatku dengan tatapan cemas.

"Mungkin kau harus beristirahat. You must be tired after our trip. Tubuhmu sepertinya sedikit demam," katanya dan menarik tangannya dari dahiku.

"A-aku baik-baik saja," kataku tergagap setelah bisa menguasai diri.

"Mungkin dia lapar Ki,"  celetuk Regi kalem.

"Okay. I'll get you the food. Oh ya, sudah telepon Abah atau Agus?" tanya Zaki padaku. Aku hanya menggeleng pelan. Zaki meraih kantongnya dan kemudian mengulurkan ponselnya padaku, "You call them, and tell them I said Hi. Mungkin itu bisa sedikit menengkanmu. Aku akan membawakan sedikit makanan. You guys want anything?" tanya Zaki pada Regi dan Vivi.

"Jangan cemasin kami Ki. We're fine,' jawab Vivi santai.

"Okay then. Aku pergi sebentar. Call them," kata Zaki padaku pelan dan kemudian pergi setelah terlebih dahulu mengusap kepalaku. Aku hanya melihatnya dengan mataku sampai dia menghilang dibalik tubuh beberapa orang. Baru kemudian aku kembali berpaling pada Regi dan Vivi yang tersenyum padaku.

"You never know," kata Regi pelan.

Aku tak bisa mengatakan apapun.    





Kamus kecil bahasa salon
Tinta            = tidak
Sutra            = sudah
jij                    = kamu
sindang         = sini
Ikke                = aku
cucok             = cocok (kadang digunakan untuk Ganteng, cakep)
dese                = dia
erbong           = Arab
peres              = pura-pura/bohong
penyenyong = penyanyi
gedong            = gede




RIZKY

Kalimat terakhir Ibu tadi benar-benar menghantui pikiranku. Sejak keluar dari Rumah Makan, hingga kini, saat kami kembali makan bersama di daerah Punclut ini, aku terus memikirkannya.

Kamu tuh harus belajar menghormati budaya leluhurmu. Juga belajar menghargai dan mensyukuri apa yang sudah kamu miliki. Jangan kayak anak muda lain yang lupa akann budaya sendiri, dan selalu menginginkan budaya negara lain yang belum tentu baik.

Hebat!!! Sepertinya hari ini, aku terus-terusan diingatkan akan hal ini, pikirku kecut. Aku masih ingat bahwa bahkan sejak awal hari ini, aku terus-terusan memikirkan hal ini. Bahkan sebelum Ibu membahasnya.

Dan anehnya, aku merasa kalau kalimat itu justru ditujukan untuk hubunganku dan Ferdy. Ferdy sendiri sepertinya tak terpengaruh oleh kalimat Ibu. Dia dengan santai menikmati hidangan yang dipesannya tadi sembari matanya sesekali memandang pemandangan kota Bandung di bawah. Dia terlihat sangat menyukai daerah ini. Dan aku................ tiba-tiba saja terserang rasa bersalah padanya.
I
nilah dia, seorang cowok dengan segala kualitasnya yang bisa membuat seorang Shella bertekuk lutut, begitu menginginkanku. Telah mengorbankan banyak hal untukku. Melakukan banyak hal untukku. Dan bahkan menerimaku dengan segala keburukan yang ku miliki. Namun toh aku lebih memilih mengejar Regha yang jika dibandingkan, berada jauh di bawahnya. Apa yang salah denganku? Kenapa aku tak bisa mengikat diriku pada Ferdy? Kenapa aku tak bisa membalas perasaannya dengan layak?

Aku menghela nafas panjang.

"Kenapa Ky?" tanya Ferdy dengan raut muka heran. Sepertinya dia mendengar helaan nafasku tadi.

"Aku.................. terus-terusan teringat kata-kata Ibu tadi," jawabku akhirnya.

"Yang mana?" tanya ferdy sembari meminum jus jeruknya.

"Bahwa. kita harus lebih menyukuri dan menghargai apa yang kita miliki, daripada menginginkan hal lain yang belum tentu baik bagi kita," rangkumku singkat.

Ferdy tertawa ringan, "Ibumu benar kan? Sudah sewajarnya orang tua jauh lebih bijak dari kita. Mereka sudah ditempa oleh lamanya hidup. Dibandingin ma kita?" ujarnya.

Aku tak menjawab, hanya memandangnya dengan tatapan datar. Membiarkan dia memahami kenapa kalimat tadi begitu menggangguku. Beberapa saat kemudian, senyum di wajahnya mulai memudar saat kesadaran menghampirinya. Dia mulai bisa menangkap maksudku.

"Ohh.... Tentang itu."

"Yeah," jawabku singkat dan meneruskan makanku tanpa melihatnya lagi.

"Mungkin belum saatnya Ky," kata Ferdy lembut, membuatku kembali mengangkat wajahku untuk melihatnya. Dia tersenyum, "Jangan terlalu dipikirkan. Terkadang kita, manusia-manusia bodoh ini, perlu melakukan kesalahan dulu sebelum mengetahui kebenaran. Terkadang kita memang perlu ditampar oleh kesulitan dan masalah sebelum kita menyadari berkah yang sudah kita miliki."

"Aku tidak bermaksud menujukan kalimat tadi untukmu Fer. Tapi lebih kepada diriku sendiri," kataku. Takut kalau dia mengira aku kembali mengkritiknya.

"Aku tahu," kata Ferdy pelan sembari menyunggingkan senyum pengertiannya yang biasa. Menampakkan dua lesung pipit yang menghiasi pipinya.

Lihat itu Ky? Kenapa kau tak bisa merasa cukup dengannya? Kenapa kau tidak segera mulai untuk menghargai apa yang kau miliki? Dan berhentilah mengejar bayangan.

Aku menghela nafas panjang, mencoba memojokkan semua keruwetan tadi di sudut benakku. Tapi sulit melakukannya jika hatiku mengatakan hal lain. Bahkan sampai perjalanan pulang, benakku masih terus berputar-putar pada hal yang sama. Ferdy yang membawa mobil, sementara aku duduk diam di sebelahnya. Ferdy dengan pengertiannya membiarkanku larut dalam pikiranku. Membiarkanku tenggelam dalam berbagai pertimbangan dan pilihan. Aku bahkan tak menyadari kalau kami sampai di tempat Ferdy, hingga kemudian dia memegang bahuku.

"Kita sudah sampai," kata Ferdy pelan.

Untuk beberapa saat lamanya aku memandang ke sekeliling kami, seakan-akan baru melihat pekarangan rumah sewa Ferdi untuk pertama kalinya. Gila! Pergi kemana waktu saat kita tak menyadarinya? pikirku dan segera turun, mengikuti Ferdy yang mendahuluiku.

"Mau..........masuk dulu?" tanya Ferdy sembari mengulurkan kunci mobil. Aku menerimanya tanpa mengatakan apapun. Ferdy hanya tersenyum dengan reaksiku. Dia kemudian mengangguk dan berbalik tanpa menungguku jawabanku. Aku diam disana, melihatnya menjauh. Melihat tubuhnya yang semakin terpisah. Langkah kakinya tak berhenti, terus memberikan jarak diantara kami berdua. Baru saat dia berhenti didepan pintu, aku merasa ada sentakan disudut hatiku yang membuatku mengerjapkan mata.

"FER!!!" panggilku dan memburunya.

Ferdy yang sudah membuka pintu dan hendak masuk berhenti. Dia membalikkan tubuhnya untuk menghadapku, "Ada ap..."

Dia tak sempat meneruskan kalimatnya karena aku sudah mencium bibirnya. Sejenak tubuhnya sedikit kaku karena kaget. Dia bahkan tak sempat membalas hingga aku menjauhkan wajahku darinya. Dia menatapku dengan tanya.

"Ki, ak..."

 Aku kembali menciumnya dan mendorongnya untuk masuk ke dalam rumah. Ferdy masih tak bereaksi saat aku mendorong tubuhnya ke pintu, dan menutupnya. Dia baru mengeluarkan erangan pelan saat tanganku masuk ke dalam t-shirt dan membelai puting dadanya yang segera mengeras dalam hitungan detik. Dengan cepat aku menarik lepas t-shirt itu.
Sejenak kami berpandangan. Mata Ferdy terlihat sedikit sayu berseliput hasrat. Dadanya naik turun dengan cepat. Bagus! Aku sudah mendapat perhatiannya. Aku membuka baju atasku dan mengulurkan tangan. Membiarkannya memutuskan. Dia melihat tanganku dan kemudian mengangkat tangannya untuk menyambut uluranku.

Aku tersenyum dan membawanya menuju kamar. Disana aku kembali menarik kepalanya dan mencium bibirnya yang basah dan terasa lembut. Turun ke leher, jakun dan menggigit pelan bagian bawah telinganya. Ferdy mengerang pelan, membuatku tertawa kecil. Erangannya berubah menjadi suara terkesiap pelan saat aku menghisap dan mengigit kecil puting dadanya.

"Ky...."

Tanganku bergerak ke bawah, membuka celana dan boxernya sekaligus. Aku lalu menegakkan tubuhku dan memandang Ferdy yang berbaring telentang dibawahku dengan nafas memburu. Dengan perlahan aku bangkit dan mulai membuka celanaku. Kemudian celana dalamku. Sengaja mengulur-ulur waktu, sehingga Ferdy mengeluarkan hembusan nafas keras, frustasi. Aku tak memperdulikannya. Dengan santai aku berjalan dalam keadaan telanjang bulat serta kejantanan yang telah menegang, menuju laci kecil tempat Ferdy menyimpan kondom dan pelumas. Baru saja aku mengeluarkan kedua benda itu dari laci, dengan tak sabar Ferdy meraih tanganku dan menariknya dengan kuat. Aku jatuh ke tempat tidur dan sebelum aku sempat menguasai diri, Ferdy telah meraih kejantananku dengan mulutnya.

Permainan lembut kami segera berubah menjadi liar, erotis dan penuh gairah!
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar