ZAKI
Sesekali aku melirik Regha yang duduk disebelahku
dengan tenang. Atau lebih tepatnya lemas. Dia seakan-akan tak bertenaga. Tapi
setidaknya, wajahnya sudah lebih berwarna lagi. Aku hampir saja tak bisa
menahan diri melihatnya yang seakan-akan kehabisan nafas dan muntah-muntah
tadi. Untung saja waktu itu kami berada
di pinggir jalanan yang sepi. Jadi tak ada orang yang menghentikan mobilnya.
Untuk beberapa lamanya aku hanya bisa memeluk Regha dan berkali-kali
menggumamkan kata-kata untuk menenangkannya. Mengatakan semuanya akan baik-baik
saja. Hingga kemudian tubuh Regha yang menegang menjadi tenang. Tapi dia begitu
lemas, sehingga kalau aku tidak menopangnya, dia mungkin akan jatuh ke tanah.
Dia dapat menguasai diri setelah beberapa menit. Aku sendiri kemudian mencoba
membujuk Regha ke rumah sakit terdekat untuk di periksa, tapi Regha menolaknya.
Dengan pelan dia meminta maaf akan sikapnya dan
mengatakan kalau dia hanya mengalami serangan panik. Dia terlihat..............
seperti orang yang kalah. Mungkin itu pilihan kata yang salah dalam
menggambarkannya. Tapi kata itu yang terlintas saat ku lihat bagaimana dia
setelah bisa menguasai diri. Aku tak mengerti dan hanya bisa mencemaskannya.
Menyakitkan melihat dia seperti tadi.
"Hei....." panggilku dan menoleh sekilas
padanya, "Kenapa nggak tidur saja?" tawarku. Sedari tadi dia hanya
duduk lemas dengan mata terbuka dan kosong.
Regha menoleh padaku dan menggeleng, "I'm
fine," jawabnya singkat. Suaranya terdengar sedikit serak.
Aku terdiam. Tak tahu harus mengatakan apa. Tidak
tahu harus melakukan apa agar membuat dia menjadi lebih baik.
"Maaf," kata Regha kemudian, membuatku
kembali berpaling padanya dengan sebelah alis terangkat. Regha menoleh padaku
dan mencoba tersenyum, "Aku.............kacau sekali tadi. Kau pasti
menganggapku....... keterlaluan."
"What? No!! Wajar saja kok. Hubunganmu dengan
Abah dan Agus sangat dekat. Tentu saja normal kau mengkhawatirkannya. Plus, kau
tidak bisa berada disana untuk merawat mereka karena kau mempunyai kewajiban
lain. Meski konsep keluarga yang sedekat itu asing dan tak pernah ku alami, aku
bisa memaklumi keinginanmu." Hebat! Aku ngoceh tak jelas, pikirku
kecut.
"Bukan hanya itu Ki," kata Regha pelan
setelah terdiam beberapa saat, "Aku..............baru saja menyadari
beberapa hal yang selama ini tak pernah ku akui. Rasanya seperti baru saja
terbangun setelah tertidur sekian lama. It's............. scaring me. A lot."
Ku lihat Regha menutup matanya dengan kedua tangan
dan menghembuskan nafas berat. Aku kembali mengerutkan keningku. Aku tak
mengerti apa maksud kalimatnya. Yang jelas, sepertinya itu bukan hal ringan
kalau bisa membuat Regha bereaksi seperti itu, "Okay. Honestly? Aku sama
sekali nggak ngerti apa yang kamu maksud barusan."
Dia tertawa sumbang, "Neither do I.
Tapi..........pernahkah kau menyangkal sebuah kebenaran yang nyata-nyata ada
didepan mukamu?"
Entah kenapa, pertanyaan Regha membuatku merasa tak
nyaman dan membuatku bergerak-gerak gelisah di kursiku, "I-I stil don't
get it," gumamku pelan.
"Selama ini ada satu hal yang..................
sedikit menggangguku," katanya, lalu diam sejenak, seolah-olah berpikir,
dan kemudian tertawa kecut, "Aku kembali menyangkalnya. Ada satu hal yang
SANGAT menggangguku. Tapi......... benakku mengingkarinya. Pikiranku secara
otomatis, seperti membentuk perisai yang menyangkal semua hal yang jelas berada
didepanku. Kebenaran yang nyata-nyata ada, di tolak dengan mentah-mentah
olehku. Jauh dalam lubuk hatiku, aku tahu kebenaran itu ada, dan menyadarinya.
Aku melihatnya dengan jelas. Tapi pikiranku menutupinya dengan dalih-dalih
konyol. Berusaha keras untuk tidak mengacuhkannya."
"Bagaimana bisa?" tanyaku kemudian.
"Karena aku..........takut," jawab Regha
pelan, tubuhnya semakin terlihat tenggelam di tempat duduknya saat Regha
menekuk dan memeluk kedua kakinya di dada. Sejenak kukira tubuhnya sedikit
gemetar. Tapi mungkin aku salah, mungkin aku hanya membayangkannya gemetar
karena permainan ilusi singkat bayangan benda-benda yang kami melesat di
sekeliling mobil kami. Tapi kemudian dia meluruskan kakinya dan kedua tangannya
berkumpul di pangkuannya. Saling menggenggam dan bertautan. Dan kedua tangan
itu gemetar.
Aku langsung melepas satu tanganku dan menggenggam
kedua jemarinya yang terkepal di dada. Mendadak tubuh Regha kembali menegang
sehingga aku sedikit kaget, "Hei...... tenanglah. I'll be here to help.
What makes you so scare.....?"
Regha melepas tanganku dengan gerakan sedikit kaku.
Dia mencoba melempar sebuah senyum gugup padaku, "Se-sebaiknya kau jangan
terlalu baik padaku...." katanya kemudian.
Aku mengibaskan kedua tanganku, "Don't be
silly. Ceritakan saja padaku...."
Regha diam sejenak dan kemudian menarik nafas
panjang, "Ada satu hal yang selama ini takut untuk aku akui. Karena kalau
aku mengakuinya, itu sama saja dengan mengakui kalau aku.... berbeda."
Aku kembali mngerutkan dahi, "Dan itu buruk,
karena?"
"Karena aku selalu menganggap diriku biasa.
Menganggap bahwa semuanya baik-baik saja. Mengakui hal itu berarti sama saja
dengan membuka sebuah pintu yang akan mengundang seribu masalah. Masalah yang
selama ini tak pernah terlintas di benakku. Sedikitpun."
Aku diam sejenak memikirkannya, "Sebenarnya aku
sama sekali tak mengerti apa yang kau katakan. Tapi ini pendapatku, masalah tak
akan pernah hilang kalau kau menghindarinya. Kau sudah mengatakan bahwa kau
tahu bahwa hal yang kau sangkal itu benar dan nyata. Dengan kata lain, it's
already there. Dan kau hanya menutupi dan menyangkalnya. Saranku, hadapi hal
itu. Jangan menghindar atau menyangkalnya lagi. Karena hal itu akan tetap
berada di sana. It'll still be there, unless you face and solve it.
Masalah-masalah yang kemudian mengikuti juga harus kau hadapi. Itu sudah
konsekuensi. Kalaupun misalnya kau gagal, atau kalah, setidaknya kau sudah tahu
dimana batas dan kemampuanmu. Dan aku yakin, kau bisa mengambil pelajaran dari
semua itu."
"Wish it would be that easy," gumam Regha.
"Sesuatu yang mudah datang jarang di hargai
dengan benar Gha. Tapi jika sesuatu itu sulit didapat, biasanya kita akan lebih
menghargainya. Sesuai dengan semua usaha dan pengorbanan kita."
"Tapi............apakah layak?" tanya
Regha lagi dengan mata menerawang.
Aku mengangkat bahuku, "I don't know. You tell
me. Kau yang tahu. Apakah sesuatu itu layak diperjuangkan atau tidak. Tanyakan
pada dirimu sendiri."
Regha kembali memejamkan matanya dan memijit
pelipisnya dengan punggung tangan, "Aku nyaris tak tahu harus berpikir apa
sekarang. Kalau saja kau tahu.............. "
"Then tell me!" pintaku.
Regha menggelengkan kepalanya kuat-kuat, "I
can't. I won't...." gumamnya dan berpaling, memandang keluar jendela.
"Can't you trust me?" pintaku, sedikit
kecewa karena menurutnya aku tak layak mendapat kepercayaannya.
"No! It's not about you! Ini tentangku. I just
.............can't. Sorry," katanya cepat.
Aku memutar bola mata, "Whatever," ujarku
mencoba terdengar tak peduli dan membuang perasaan tak enak yang kurasakan,
"Kau tidur saja. Nanti ku bangunkan kalau kita sampai di Bandung."
"Kita tidak langsung ke Bogor?"
Aku menatapnya heran, "Kau ingin ke
panti?"
"Apapun yang bisa mengalihkan perhatianku saat
ini. Aku tak ingin diam dan memikirkan Abah atau Agus. Akan lebih baik kalau
aku sibuk. Lagi pula, Regi dan Vivi mungkin akan membutuhkan kita,"
tukasnya.
Ganti aku yang kini menghela nafas, "Fine! Kita
mampir dulu ke Bandung untuk mengambil baju dan mandi. Aku akan meminta Pak
Adam mengantarkan kita. I don't think I can drive us there," putusku.
"I can," jawab Regha.
"No you're not!!! Pak Adam will do it!"
bantahku tegas, "Aku tak akan membiarkanmu membawa apapun. Not after you
broke down like before," kataku lagi.
Hening sejenak. Hanya deru AC dan mobil yang ada
diantara kami berdua.
"Terimakasih............." ujar Regha
lirih kemudian.
"Untuk apa?" tanyaku singkat.
"Terimakasih untuk semua. Untuk semua yang kau
lakukan untuk Abah dan Agus. Hadiah yang kau berikan pada Asti dan Agus.
Pinjaman yang kau berikan pada Abah. Dukungan yang kau berikan pada Mamah. Dan
aku........ Terimakasih sudah menemaniku."
Tanpa sadar aku mempererat peganganku pada setir,
"Kau tahu?"
"Soal apa? Bahwa kau meminjamkan uang 25 juta
pada Abah? Atau hadiah gadget yang kau berikan pada adik-adikku?" Regha
menoleh padaku. Tak ada kemarahan yang ku kira ada disana saat dia mengetahui
fakta itu. Mata itu justru bersinar dengan lembut dan penuh terimakasih. Hingga
bahkan aku sendiri merasa malu dibuatnya.
"Eeeeuuuhh...... both?"
Regha hanya tertawa kecil dan kembali menatap ke
depan, "Soal kau yang membantu Abah, aku sudah lama tahu. Aku tak sengaja
mendengarkan dialogmu bersama dengan Regi, Vivi saat kau baru balik dari
Majalengka. Saat aku sakit, ingat?"
Aku tak menjawabnya. Karena yang ku ingat waktu itu
dia sedang tidur. Tak ada sedikitpun kecurigaan kalau dia terbangun dan
mendengarkan pembicaraan kami bertiga. Sekarang baru aku paham, kenapa waktu
itu dia memeluk lenganku sembari mengucapkan terimakasih berulang kali.
"Aku hanya tak tahu berapa nominal yang kau
pinjamkan."
"Aku tak berniat untuk memintanya
kembali," kataku singkat. Kalimat itu membungkam kami berdua untuk waktu
yang lama. Aku sendiri sebenarnya tak berniat untuk mengungkap fakta itu. Tapi
kalimat itu keluar tanpa dapat ku tahan.
"Uang sebanyak itu bukan urusan kecil Ki. Abah
tak akan membiarkanmu merelakannya begitu saja," kata Regha akhirnya.
"I'll find away agar Abah membiarkan semua itu
berlalu," jawabku. Karena memang itu tujuanku.
"Kenapa?" tanya Regha dengan nada bingung.
Kali ini dia bukan hanya menoleh padaku. Dia bahkan membalikkan badannya untuk
menghadapku, "Why us? Kenapa kami Ki? We're practically strangers for you.
Kami tak pernah melakukan apapun untukmu. Tolong jangan beranggapan salah, tapi
aku benar-benar tak bisa memahaminya. Apa uang sebesar itu benar-benar tak
berarti bagimu? Butuh bertahun-tahun bagi Abah untuk bisa mendapatkannya."
"Kalian tak menyadari apa yang kalian miliki
ya?" ujarku sedikit geli, "You guys have each other. Love each other.
Kalian memberiku gambaran sebuah keluarga dalam makna yang sesungguhnya.
Kepedulian kalian satu sama lain. Bagaimana kalian berinteraksi. Bagaimana
kalian saling menjaga dan mendukung. That was beautiful. Dan konsep keluarga
seperti yang kalian tunjukkan itu, sangat asing bagiku. Hubunganku dengan Mommy
terkesan................remeh dan lucu bila dibandingkan dengan hubungan Mamah
denganmu."
Aku tak bermaksud mengatakan semua itu. Aku ingin
berhenti bicara. Tapi aku tak bisa. Aku merasa aku harus mengatakannya,
"Ada beberapa hal yang tak bisa dibeli oleh uang didunia ini Gha. Kalian
sekeluarga memilikinya. And I don't. I'm already on my own since my Dad died.
Tidak bertemu Mommy dalam waktu berbulan-bulan bukan lagi hal asing bagiku.
Bahkan saat aku sakit, atau bermasalah. Aku tumbuh sendiri. Tidak memiliki
orang tua untuk berpaling. Mommy terlalu sibuk dengan bisnis kami. Kau boleh
menganggap kalau aku stereotype anak orang kaya yang menyedihkan. Berlimpah
uang tapi miskin kasih sayang. Call it anything you like, but I don't see it
that way,
Bohong kalau aku bilang aku tak merasa lebih
beruntung darimu. I'm not that desperate. Aku tahu kalau dalam satu dan lain
hal, aku sangat beruntung. Aku memiliki rumah yang bagus, bisa membeli apapun
yang aku inginkan, dan pergi kemanapun yang aku mau. Dibandingkan dengan
beberapa orang lain yang bahkan bersekolahpun tak mampu. Tapi sekali lagi, ada
beberapa hal lain yang tak bisa kudapatkan. Hal-hal yang mungkin bagimu remeh.
Seperti kemarahan seorang Ibu. Kecerewetan orang tua. Kekhawatiran mereka pada
kita. Atau bahkan kebersamaan sebuah keluarga dalam menghadapi masalah.
Aku tak bermaksud menuntut banyak Gha. Aku tahu
Mommy memiliki banyak kesibukan. Tapi aku ingin sesekali beliau meluangkan
waktunya untukku. Hanya sedikit saja dari waktunya. Bukannya menyerahkan pada
orang lain. Aku sudah memiliki asisten sejak SD yang bertugas mendampingi dan
memenuhi kebutuhanku. Can you believe that? Hanya pada waktu SMA aku menolak
untuk memiliki asisten lagi. Well.... setidaknya tidak sepanjang waktu, karena
di rumah selalu ada yang siap membantuku. Waktu itu aku memiliki Justin dan
yang lain. Beberapa orang temanku di Australia. Kami senasib. Datang dari
keluarga yang memiliki kemapanan ekonomi, tapi kurang perhatian orang tua.
Beberapa teman kami mungkin melihat dan menganggap gengku sebagai segerombolan
anak kaya manja yang tak mengerti kata susah. But honestly, kami memiliki
penderitaan yang sama. Kami berteriak meminta sedikit perhatian dari orang tua
kami, yang sayangnya tak kami dapatkan.
Tapi keluargamu berbeda. You guys are ...........
amazing. Reaksimu saat keluargamu mendapat masalah menunjukkan kedekatann
kalian yang menakjubkan. Kekhawatiran Mamah saat tahu kau sedang sakit di
kostan, its......... priceless. Bagaimana Agus dan Asti menghormatimu, that was
rare. Dan bagaimana cemasnya kau saat Abah dan Agus kecelakaan ........... How
I wish I got that reaction from Mommy. Dalam satu dan lain hal, aku iri padamu.
Dan............ aku tak bisa diam saja melihat kau dan keluargamu mengalami
kesulitan, sementara aku memiliki kemampuan untuk membantu. Kau juga pasti
begitu kan? Kau tentu tak akan diam saja melihat Vivi atau Regi dalam
kesusahan, sementara kau bisa membantu mereka."
Regha tak langsung bereaksi, tapi pada akhirnya dia
mengangguk, "Yeah........... Tentu saja aku akan melakukan apapun untuk
membantu mereka. But you............." dia memandangku dengan tatapan tak
mengerti, "There are times when I thought that you don't like me. Kadang
aku merasa kalau kau membenciku."
"I don't!" jawabku cepat, "Aku hanya
tidak menyukai kecerobohan dan keteledoranmu," sambungku santai tanpa
mampu menahan senyumku.
"Should I say thanks?" tanyaku Regha nada
sarkas.
"But you are!!" tukasku membela diri,
"Rasa-rasanya tak mungkin kalau kau seorang mahasiwa. Bahkan Agus terasa
lebih matang darimu. Setidaknya saat pertama aku mengenalmu. But.............
now I think sikapmu yang kekanakan terkadang menjadi potensi unik dari dirimu.
Kau............. tulus. Sehingga kadang membuatku merasa bersalah."
"Bersalah?"
Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk,
"Look, I'm gonna confess something. Dan ku pinta kau .......... tidak
langsung bereaksi buruk," pintaku.
Regha melipat kedua tangannya didada, "Okay.
I'm listening."
Aku diam sejenak, menelan ludah,
"Well................ sebenarnya aku tak memerlukan uangmu yang dulu kau
berikan. Untuk ganti rugi kerusakan mobilku, ingat? Sebenarnya aku sudah
mengansuransikannya. Jadi semua biaya perbaikan telah ditanggung oleh pihak
asuransiku. Aku hanya ingin memberimu pelajaran karena hampir celaka 2 kali
dalam sehari. Dan juga karena membuat jidatku luka."
Mulut Regha terbuka dan sesaat kemudian tangannya
melayang memukul bahuku dengan keras, "YOU-ARE-AN -ASSHOLE!!!! Bagaimana
kau bisa melakukan itu?!" makinya dan kembali mencoba memukulku dengan setap
kata yang dia ucapkan, kesal.
"Hey hey heyy!!!" aku menghindar sembari
mencoba mengendalikan mobil, "I'm driving!!!"
"Ya Allaaahh!! Apa kamu pernah berpikir seperti
apa kebingunganku waktu itu?!! Dasar bule sinting!!!"
"Heyy!!" sergahku kesal, "For the
record, aku masih menyimpan uangmu. Dan aku telah mengembalikan uang Regi dan
Vivi."
"They know?!!"
"Kind of. Aku hanya mengembalikan uang mereka
sesuai seperti yang kau sebutkan dulu. 5 juta. Aku meminta mereka untuk tidak
mengatakannya padamu. And now that you know, uangmu akan segera ku transfer ke
rekeningmu. Sedikit lega karena kau akhirnya tahu," cengirku.
Regha mengumpat pelan, "Keep it!" ujarnya
akhirnya dan mengibaskan tangan, "Aku masih berhutang 25 juta
padamu."
"I just wanna help. Kau tak perlu memikirkan
uang itu," kataku.
Regha memandangku sejenak, "Yeah. But
still.............. 25 juta bukan jumlah yang kecil Ki. Aku janji akan
mencicilnya. Simpan saja uang itu. I mean it!"
"We'll talk again later ok? Tapi..........
bisakah kau melakukan sesuatu?" pintaku teringat satu hal lain.
"Apa?"
"Aku masih menyimpan uang Rizky. Dan aku ingin
kau segera mengembalikan uang itu padanya."
"Kau benar-benar tak menyukai Mas Rizky ya?
Kenapa?"
"I just don't like him!" jawabku singkat.
"Apakah karena dia......................
gay?" tanya Regha. Nada yang dia gunakan saat mengucapkan kalimat itu
membuatku berpaling padanya. Aku berani bersumpah kalau aku melihat kilau luka
di matanya. Atau itu hanya perasaanku saja? Tapi mengapa aku merasa kalau tiba-tiba
saja dia seperti terpukul. Apakah dia begitu peduli akan Rizky? For God sake!!
"I don't know, ok?! I just don't like him. At all!" kataku
akhirnya tanpa menyembunyikan kekesalanku, "Pokoknya segera kembalikan
uangnya, karena aku tak ingin berurusan dengan orang itu lagi. Aku sudah
mencoba mengembalikannya, tapi dia tolak. Bisa kan?"
Regha tak menjawab. Dia hanya mengangguk sembari
kembali menatap ke depan. Ekspresi wajahnya masih terlihat murung. Dan kamipun
melaju dalam keheningan yang mencekam dan tak ku mengerti.
REGHA
Dia kembali bersandar di bahuku. Tubuhnya semakin
condong, menekanku. Aku tahu dia capek. Kami berkendara dari Majalengka ke
Bandung, istirahat sebentar, hanya untuk mandi dan makan di rumahnya, lalu
kembali melaju di jalanan menuju Panti yang ada didaerah Bogor. Meski mandi tadi cukup menyegarkan kami
berdua, tetap saja, tubuh kami menuntut untuk diistirahatkan. Untungnya, Pak
Adam bisa membawa mobil dengan nyaman. Ditambah AC yang cukup dingin, kami
berdua segera mencoba mengistirahatkan tubuh. Tadi saat kami baru keluar dari
Bandung, Zaki sempat menelepon Pak Arya.
Darinya kami mendapat informasi kalau semuanya dalam
keadaan baik. Vivi dan Regi masih ada di Panti. Zaki meminta Pak Arya untuk
memberitahu mereka bahwa kami sedang menuju kesana, dan membiarkan mereka
menangani urusan parcel. Aku lega mendengar semua berjalan dengan baik, hingga
tanpa sadar aku menarik nafas panjang dan menyandarkan tubuhku dengan ekspresi
tenang. Zaki yang melihatnya hanya mengulum senyum. Aku sendiri pura-pura tak
melihatnya dan mencoba memejamkan mata.
Aku tak tahu berapa lama aku terlelap, tapi aku
terbangun saat kurasakan ada sesuatu yang menekan samping tubuhku. Saat aku
membuka mata, pipiku bersentuhan dengan rambut Zaki yang terasa lembut dan
harum. Dia tertidur dengan kepala yang bersandar di bahuku. Tadi aku berusaha
untuk mendorongnya perlahan, supaya dia tidak terbangun, untuk bersandar ke
sisi yang berlawanan. Karena aku tak mau kehilangan kontrol dan mikir
macam-macam. Berdekatan dengan Zaki membuat tubuhku bereaksi aneh. Seperti ada
selembar bulu tipis yang menggelitik perutku. Harum tubuhnya serta kedekatan
fisiknya memancing bangunnya sesuatu dalam tubuhku yang ku hindari. Namun entah
karena gerakan mobil
atau apa, tubuh Zaki kembali condong dan akhirnya kembali
bersandar padaku.
Ini sudah ke 5 kalinya. Dan aku akhirnya pasrah.
Membiarkannya sembari berusaha dengan keras mengendalikan diri. Membuang
pikiran kotorku sejauh mungkin.
"Pak Adam, bisa tolong ambilkan bantal kecil
itu," bisikku pada Pak Adam sembari menunjuk pada bantal kecil yang ada di
dashboard. Pak Adam yang melihatku dari spion hanya mengangguk dan kemudian
menjulurkan bantal itu. Dengan berhati-hati dan perlahan, aku mengambilnya. Aku
meletakkannya di pahaku dan kemudian dengan pelan-pelan membimbing kepala Zaki
untuk kemudian berbaring di atas bantal. Yang sedikit mengejutkan adalah saat
Zaki bergumam kecil dan kemudian membetulkan posisinya. Berbaring dengan nyaman
sembari menekuk kakinya yang panjang.
Aku menahan napas saat dia sedikit menggerakkan
kepalanya. Tapi dia hanya mencari posisi yang enak, dan kembali lelap dalam
beberapa detik kemudian. Nafasnya kembali teratur. Aku menghembuskan nafas
lega. Dengan begini, selain dia bisa beristirahat dengan nyaman, aku juga tidak
tersiksa. Tubuh Zaki jauh lebih berisi dan tinggi dariku. Kalau dia bersandar
padaku kayak tadi, aku serasa tergencet. Kalau begini kan enak. Akupun bisa
memandang wajahnya.
Wajah tenang yang menawan dan tanpa kusadari, telah
mengikat hatiku.
Aaaahhh!!! Sial!!! batinku galau.
Entah kapan sebenarnya cowok yang berada di
pangkuanku ini menjeratku. Entah apa pula yang kemudian mengikat perasaanku
padanya. Well.............. yeah tentu saja, secara fisik dia menawan. Hampir
seluruh cewek di kampus akan mengakuinya. Bibirnya yang imut dan merah
membasah. Hidungnya yang mancung dan lurus sempurna. Alis tebalnya. Matanya
yang dalam dan tajam. Kulit wajahnya yang bersih dan cambangnya. Sepertinya dia
belum sempat bercukur tadi. Aku bisa melihat lajur kebiruan yang jelas
disepanjang garis rahang, dagu dan atas bibirnya. Tapi bukan fisiknya yang
menjeratku.
Awalnya kukira dia hanya cowok separuh bule yang
tengil dan menyebalkan. Jenis anak borju yang selalu melakukan
apapun yang dia
inginkan, dan mendapatkan apapun yang dia mau. Tapi............ dibalik itu,
dia juga seorang dermawan. Dia selalu membantuku dengan caranya sendiri. Yeah,
mungkin metode yang dia gunakan memang terkesan kasar dan seenak udelnya. Tapi
toh dia melakukannya untuk kebaikanku. Dan kalau aku mau mengakui, meski sumpah
nggak rela, aku memang tipe orang yang sembrono dan ceroboh. Mungkin aku memang
membutuhkan orang yang tegas dan tangkas seperti dia. Orang yang bisa membuatku
tetap pada jalur dan terarah.
Meski tak mungkin dia menginginkanku, seperti aku
menginginkannya. Dia............. straight dan membenci gay.
UGHH!!!! Hanya dengan membatin label itu, aku sudah
merinding. Sedikitpun aku tak pernah menyangka, kalau aku akan menyematkan kata
itu pada diriku sendiri. Tapi sebutan apa lagi yang bisa ku berikan pada diriku
sendiri yang jatuh cinta pada Zaki?!! Sekarang aku baru tahu, bagaimana tidak
nyamannya perasaan Ari dan Mas Alvian saat mereka mengalaminya. Betapa bingung
dan rumitnya yang mereka rasakan.
Apa yang sebaiknya ku lakukan? Aku harus bagaimana?
Dan.......... bagaimana pula aku nantinya?
Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam benakku.
Juga kilasan-kilasan percakapanku bersama dengan Mas Rizky, Ari, Regi dan juga
Mas Alvian. Semua ajaran-ajaran agama yang pernah ku dapat, juga keluargaku.
Sesak!! Benar-benar sesak. Aku lalu kembali menyandarkan kepalaku ke jok dan
memejamkan mata. Aku akan kembali mendapatkan serangan panik, seperti pertama
kali aku menyadari apa yang ku rasakan pada Zaki kalau aku tidak cepat-cepat menenangkan
diri. Aku bisa membangunkan Zaki!!
Well, see? Kau bahkan terlalu khawatir hanya sekedar
membangunkannya!
Pikiranku seolah-olah mencemoohku dengan sinis. Aku
berusaha menarik nafas panjang beberapa kali, menenagkan diri dan debaran
jantungku yang mulai tak beraturan. Hingga akhirnya aku kembali membuka mata
dan kembali memandang wajah Zaki yang terlelap di pangkuanku. Memperhatikan
setiap detil garis wajahnya. Mencoba kembali menelaah apa yang kurasakan
padanya. Mengamati profil wajahnya. Dan .................perasaanku masih saja
sama. Berada begitu dekat bersamanya seperti ini, mengingat kembali semua yang
kurasakan padanya beberapa waktu belakangan ini, hanya semakin membuatku yakin
kalau aku jatuh hati padanya. Apa lagi coba penjelasan yang masuk akal saat aku
begitu berdebar-debar seperti ini saat memandangnya. Tiap detak jantungku
seakan-akan meneriakkan namanya. Dadaku dipenuhi perasaan hangat yang mengalir
ke seluruh bagian tubuhku. Perasaan ini berbeda, sangat jauh berbeda bila
dibandingkan dengan apa yang kurasakan pada Emma. Perasaan ini jauh lebih
manis, hangat dan mengikat. Bahkan mencium aroma wangi tubuhnya yang sudah
biasa kuhirup pun kini terasa berbeda dan lebih.............. bermakna.
Apa yang harus ku lakukan kalau wajah ini tak pernah
bisa ku lupakan? batinku dan tak dapat menahan tangan kananku yang terulur
untuk menyentuh rambutnya.
"Kita hampir sampai Mas," kata Pak Adam
mengagetkanku. Cepat-cepat aku kembali menarik tanganku. Terlalu cepat dan
tanpa sengaja menyentuh sedikit ujung telinga Zaki.
Mata Zaki terbuka perlahan. Sejenak dia hanya diam
dan memandang sekeliling dan kemudian berhenti padaku yang kini diam menatapnya
dengan kepanikan yang mulai ku rasakan. Zaki yang sepertinya sudah kembali
menyadari situasi kemudian bangkit dari tidurnya dan memandang keluar mobil.
"Kita sudah sampai?" tanyanya dengan suara
yang sedikit serak dan berat karena kantuk. Dia mengucek matanya pelan.
"Uh-uhm," jawabku dan mengangguk, tak
mempercayaiku suaraku sendiri yang mungkin akan terdengar aneh kalau aku
membuka mulut.
"Sudah berapa lama aku tertidur?" tanya
Zaki sembari menyandarkan punggungnya. Dia memejamkan mata dan memijit kelopak
matanya dengan punggung jari.
"Entahlah........." jawabku setelah
berdehem sejenak. Aku lalu mengalihkan pandanganku pada pintu masuk panti. Ada
sedikit keramaian yang lebih dari biasanya. Beberapa mobil pengangkut tampak
keluar dari sana. Makin ke dalam, keramaian itu makin terasa. Depan Ballroom
panti tampak ramai dengan berbagai hiasan pesta dan lampu yang digantung.
Para
pegawai panti yang bertugas dalam pesta kini menggunakan seragam baru. Celana
hitam, kemeja polos merah dan rompi hitam.
"Seragammu sudah dapat? Aku mau mandi dulu.
Sebaiknya kau juga merapikan diri. We both look like a mess," ujar Zaki
yang hanya ku jawab dengan anggukan. Begitu mobil berhenti, aku segera keluar
menuju ruang locker dan mengambil keperluanku.
Aku membersihkan tubuhku secepatnya dan kemudian
segera berganti pakaian. Hari sudah menjelang sore. Sebentar lagi gelap dan
pesta akan segera mulai. Aku menemukan Regi dan Vivi yang menata parcel di
pintu keluar dibantu oleh beberapa orang panti. Yang mengejutkan, mereka juga
memakai seragam yang sama denganku.
"Ada yang bisa gua bantu?"
Vivi yang pertama kali melihatku hanya tersenyum dan
kemudian mendekat untuk memelukku, "Gimana bokap ma sodara lu?"
tanyanya setelah melepaskanku dari pelukannya. Matanya menyorotkan simpati yang
tulus sehingga aku mampu tersenyum.
"Mereka berada dalam masa pemulihan. Syukurlah
gak ada luka serius. Ga ada yang kurang kan Gi?" tanyaku pada Regi
yang
kemudian mendekat dan meremas bahuku.
"Tinta cyin. Semua sutra beres. Sebenernya kami
tadi gak tau musti ngapain setelah nganter sisa parcel. Tapi Pak Arya bilang
jij ma Zaki bakal dateng, jadi sekalian aja kita mo bantuin jij disindang. Ikke
dikasih seragam nek. Cucok tinta?" tanya Regi centil dan berpose di
depanku dengan lincahnya.
"Celana lo kudu diganti Gi," komenku setelah
memperhatikannya sejenak.
"Eh, kenapa?" tanya Regi heran dan
menunduk memeriksa celananya.
"Teu rame. Kudunya mah diganti ma rok mini
item," cetusku kalem.
"Rumpik!!" umpatnya dan menabok bahuku
sedikit keras. Vivi tertawa kecil dengan aksi kami.
"Jam berapa tamu akan datang Gha?' tanya Vivi
dan menunjuk ke satu kursi tambahan untukku dan mengisyaratkan padaku untuk
membawanya mendekat.
"Mungkin sebentar lagi," kataku kemudian
duduk dan tanpa sadar mengeluarkan desahan lega.
"Kenapa lo kembali kesini Gha? Keluarga lo
gimana?" tanya Vivi setelah diam sejenak dan memperhatkanku.
"Iya Nek. Kenapa jij ga istirahat aja di kostan
kalo emang bisa?" sambung Regi.
"Mereka gak pengen gue khawatir dan ngeyakinin
gue kalo mereka udah gak apa-apa. Mereka yang kemudian minta gue buat cepet
kembali kesini setelah tahu kalau bentar lagi kita bakal ujian. Apalagi setelah
tahu ada kerjaan yang gue tinggal. Gue yang minta Zaki buat kesini. Gue gak
bisa diem di kostan sambil mikirin Abah ma Agus. Gue kudu ngalihin perhatian
gue ke hal lain Vi, Gi. Dengan ada disini, gua bakal sibuk en kelarin tanggung
jawab gue kan?"
Mereka yang duduk di sebelahku hanya tersenyum dan
mengangguk, menunjukkan dukungan mereka padaku.
"Eh, tapi gue ga nyangka kalo lo kerja di panti
kaya gini. Gila aja! Gue ma Regi tadi cengo abis ngeliatnya. Gue pikir pantinya
bakal biasa aja. Taunya................"
"Iya nek!" sambung Regi, "Tempat ini
lebih mirip resort deh. Ikke nganga masa ngeliat gedung ma lokasinya."
Aku tersenyum mendengarnya. Reaksi mereka tak jauh
berbeda denganku dulu. Lalu dengan singkat akupun menjelaskan tentang fasilitas
panti ini. Mereka jadi makin bengong dan tampak takjub. Apalagi saat kusebutkan
beberapa nama yang tinggal disini. Untuk sejenak keduanya cuman saling pandang
dengan mulut terbuka.
"Lo bokis ah!" sentak Vivi tak percaya.
"Swear! Semua yang gue bilang tadi bener. Entar
juga kalian liat siapa aja yang datang kesini. Yang ulang tahun kali ini tuh
mantan pejabat orde baru. Dan melihat daftar undangan yang bakal dateng, gua
yakin kalian bakal cengo abis," sahutku sembari mengulum senyum.
"Are you guys ready?" tanya Zaki yang
kemudian tiba-tiba saja muncul dari luar pintu, "Satpam sudah memberitahu
kalau
beberapa mobil tamu sudah memasuki gerbang."
Aku diam bengong melihatnya. Hwanjeeezzz!! Disanalah
dia, mengenakan setelan jas resmi yang seolah-olah mempertegas bentuk tubuhnya.
Berwarna hitam dengan kemeja biru dan dasi hitam. Wajahnya sudah kembali segar,
bersih dan tampak siap menghadapi apapun yang bakal datang. Kumis dan
cambangnya yang tadi tampak jelas, kini tercukur bersih. Menyisakan bayangan
kebiruan di sepanjang garis rahang, dagu dan atas bibirnya. Baru kali ini aku
melihatnya dalam balutan busana resmi. Dia seolah-olah menjadi satu sosok
asing. Tubuhnya menjadi terlihat lebih tinggi, bahunya terlihat makin lebar dan
bidang. Lekukan jas pada pinggangnya melengkung dengan sempurna. Sialan!! Dia
lebih mirip model daripada seorang eksekutif muda. Meski sikapnya menunjukkan
wibawa dan profesionalisme yang tak tercela. Ya Allaahh, siapa nih orang?
Kemana Zaki yang gua kenal? batinku.
"Gha?" Zaki melambaikan tangannya di depan
mukaku.
Aku jadi tergagap dan segera menggelengkan kepalaku
untuk bangun dari lamunan benakku, "Ma-maaf. Aku...... agak kaget,"
sahutku cepat.
"Kaget? Are you okay? Look, it's not a problem
if you wanna take a break. Kau bisa istirahat dulu. Jangan sampai kau
kelelahan," kata Zaki dengan tatapan memperhatikanku.
"Dia cuman ga biasa aja ngeliat penampilan lo
Ki," celetuk Regi.
Aku langsung berpaling dan melotot padanya dengan
muka memerah. Regi cuma ngikik dan menyikut Vivi pelan. Tuh anak emang. seneng
bikin orang salah tingkah.
"Ehmm.....a-aku cuma ngerasa aneh
melihatmu," kataku cepat, mencoba menyelamatkan harga diriku yang
tercecer.
"Aneh?"
gumam Zaki dan memperhatikan tubuhnya sendiri, "Apa yang
salah?" tanyanya dan merentangkan tangannya, membuat jas resmi itu semakin
menunjukkan bentuk dadanya yang nyaris tanpa cela.
"NO!!" kataku dan kemudian mengumpat
pelan, "Ma-maksudku.........." aku tak tahu harus mengatakan apa dan
hanya mampu melihat ke arah Vivi dan Regi dengan tatapan memelas.
"He means you look good Zake. You truly
are," kata Vivi yang akhirnya menjawab.
Zaki bukannya melihat ke arah Vivi yang
mengatakannya, tapi justru melihatku, "Really?" tanyanya.
Apa yang bisa ku lakukan? Aku hanya mengangguk untuk
menjawabnya.
"Mungkin dia kaget karena pertama kalinya
melihatmu dengan setelan resmi," celetuk Regi lagi. Dan aku tak bisa
mengatakan apapun selain kembali mengangguk saat Zaki kembali melempar tatapan
tanya padaku.
"Ohh, well.............." Bahkan Zaki pun
kehilangan kata-kata dan tampak sedikit tersipu. Tiba-tiba saja terlihat
canggung dan salah tingkah, "You know what, aku akan bersiap-siap
menyambut para tamu. Kalian tahu kan tugas kalian?"
"Kami hanya bertugas memberikan parcel pada
setiap tamu yang pulang kan? Don't worry," ujar Vivi dan mengibaskan
tangan.
"Okay then. See you later," katanya
sembari berusaha menghindari mataku dan segera berlalu. Regi dan Vivi langsung
cekikikan bareng sementara aku menggeram marah pada mereka berdua.
"Bisakah kalian berhenti membuat gue terlihat
bodoh?" gerutuku kesal.
"Oh sweetie, percayalah. Kami tahu kalau dia
cowok yang menawan. Jij gak perlu malu, em?" tukas Regi centil dan
mengedipkan sebelah mata. Aku tak menjawabnya, hanya memberikan gerutuan pelan
sebagai reaksi. Sekali lagi, mereka berdua bisa dengan jelas membacaku. Apa aku
begitu jelas kelihatan? batinku gundah.
Tapi............siapa yang bisa menahannya? Lihatlah
dia.... batinku dan menatap Zaki yang berdiri didepan pintu masuk. Pembawaannya
kini sudah bukan lagi Zaki seorang mahasiswa. Dia telah menjadi seorang
pemimpin dari sebuah usaha besar dengan senyum ramah dan sikap yang berkelas.
Aku bisa melihat bagaimana para tamunya bereaksi. Tak ada sedikitpun sikap
mereka yang menunjukkan bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang pemuda
yang statusnya masih mahasiswa. Dia berada dalam posisi yang sejajar dengan
mereka. Kelompok orang yang memiliki usaha sendiri dan terhormat.
Aku hanya menghela nafas dan mencoba menyingkirkan
perhatianku darinya.
Seperti dugaanku, Vivi dan Regi mengenali beberapa
tamu yang datang malam itu. Tak jarang Regi. memekik pelan dan heboh sendiri.
Berkomentar macam-macam sembari menyebutkan beberapa fakta tentang tamu yang
datang. Aku hanya tersenyum melihat mereka. Kadang aku merasa kalau Regi tuh
lebih cocok menjadi seorang presenter infotainment daripada mahasiswa.
Acara malam itu berlangsung dalam kemeriahan yang
anggun. Para pelayan yang terus berseliweran dengan membawa minuman, menawarkan
pelayanan yang tanpa cela bagi para tamu. Ada beberapa yang dengan santai
ngobrol sembari menikmati hidangan yang tertata di sepanjang dinding gedung.
Beberapa lebih memilih ngobrol sembari berdiri dan menyesap minuman. Banyak
pula pasangan dan kelompok yang duduk santai di meja-meja bertaplak yang tertata
dalam sentuhan mewah. Pemandangan yang biasanya ku lihat hanya dalam film-film
kini terpampang nyata di depanku. Beda dengan pesta ulang tahun yang biasanya
ku datangi. Penuh kehebohan dan suara musik hingar bingar. Disini musik yang
dimainkan oleh live band lebih kalem. Mereka memainkan musik-musik yang
kebanyakan berirama jazz dan blues. Cukup menggoda untuk para tamu berdansa.
Zaki ku lihat bergerak dengan keanggunan seorang
terpelajar diantara mereka. Sesekali berhenti dan ngobrol dengan beberapa
orang. Ku lihat dia juga sempat berdansa dengan beberapa cewek yang kebanyakan
tampak matang, cantik dan menggoda. Jelas mereka terpesona olehnya. Aku
berusaha sebisa mungkin mengacuhkannya. Tapi mataku selalu mencari sosok Zaki
diantara kerumunan para tamu.
"Aku mencintainya," kataku pelan, kemudian
berpaling pada Regi dan Vivi yang tadinya ngobrol seru, kini menatapku datar
dan diam. Akupun ikut diam. Menanti reaksi mereka, karena aku yakin mereka tahu
siapa yang kumaksud.
"Jadi kemaren ikke denger dese kencan ma lekong
Erbong cyin!!" kata Regi rumpi, meneruskan obrolan mereka yang tadinya
terputus. Dia bersikap seolah-olah aku tak mengatakan apapun tadi.
"Embeerr!! Gue dengar dia ketemuan ma tuh laki
pas liburan. Peres kan nek? Gak mungkin! Secara dari dulu, semuanya udah tahu
kalo tuh penyenyong suka ma lekong import!" timpal Vivi gak kalah serunya,
membuatku bengong dan merasa diacuhkan.
"Eemmmm!!! Dese suka ma yang gedong-gedong
cyiinn! Tapi siapa juga yang enggak, em?" sambung Regi nyengir.
"Eemmm!!!" jawab Vivi dan merekapun
cekikikan.
"Kalian ga denger ya?" potongku.
"Terus ya nek, jij tahu ga penyenyong dangdut
yang kemaren tunangan itu, jij liat bajunya? Yaoloooh! Norak abis. Pembokat
ikke aja lebih gaul dari dese. Itu baju pake pita en rumbai-rumbai segala macem
kek badut Ancol," sambung Regi seakan-akan tak ada interupsi dariku.
"I SAID I LOVE HIM!!!" kataku keras dengan
kesal.
Obrolan mereka seketika terhenti. Keduanya lalu
berpaling dan menatapku datar tanpa ekspresi, "Terus kenapa Gha?' tanya
Vivi enteng.
"Iya! Berisik amat deh. Lagi asyik ngerumpi
juga," gerundeng Regi.
"Gue bilang, gue cinta Zaki!"
"Yeah. Terus kenapa?" tanya Regi dengan
ekspresi heran.
Aku langsung mengerang dan jedot-jedotin kepalaku ke
meja dengan frustasi.
"Gha, kita udah lama tahu. Kan kita udah pernah
bilang ke lu," ujar Vivi lembut dan meletakkan satu tangannya di bahuku.
Aku tetap meletakkan kepalaku di meja dan memandang
ke lantai, seakan-akan ada sesuatu yang menarik disana. Yeah, tentu saja,
batinku kesal. Mereka sudah tahu. Jauh sebelum aku menyadarinya. Mereka sudah
berusaha memberitahuku beberapa kali. Hanya aku yang terlalu sibuk mencari
dalih dan menyangkalnya.
"Gue mesti gimana?" gumamku pelan, kalut.
Aku benar-benar tak tahu harus melakukan apa.
"Kenapa lo gak bersyukur karena lo bisa
merasakan cinta?" kata Regi setelah diam beberapa saat.
Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya tak percaya,
"Bersyukur? Gi, gue ma dia sama-sama cowok. Terlebih lagi, kita tahu Zaki
tuh straight dan doyan cewek."
"Begitu juga lo sebelum lo tahu lo jatuh cinta
ma Zaki kan?" potongnya pelan, "Kenapa harus diributin sih? Cinta
adalah
cinta."
"Apa gue belom bilang kalo dia benci ma
gay?" tambahku sedikit sinis.
"Benci? Siapa bilang? Dia baik-baik aja ma gue
meski gue gay," sergahnya singkat.
"Dia dengan jelas bilang kalo dia gak suka ma
Mas Rizky dan..............." Aku terdiam, sadar akan satu fakta lain yang
kembali luput dari perhatianku.
"Lo udah sadar?" tanya Vivi yang kemudian
tertawa kecil, "Zaki ga suka ma Rzky, karena dia tahu kalo Mas Rizky suka
ma elo. Bukan karena dia gay."
"Ma-maksud lo, Za-zaki....." aku tak
meneruskan kalimatku.
Regi mengangguk, "Kita pikir juga begitu. Zaki
juga suka ma elo."
"Kalian berdua benar-benar sinting!"
komentarku tanpa bisa menahan diri.
"See? Lo menyangkalnya lagi. Lo ga nyadar
gimana dia selalu ada buat lo? Siap ngelakuin apapun buat bantu lo? Nemenin
lo?" tanya Vivi.
"Ngerayain ultah lo, bantu ortu lo, nemenin lo
sakit, nganter lo balik kampung buat jenguk keluarga lo yang sakit dan...."
"Okay, stop!!!" pintaku dan segera memijit
pelipisku yang tiba-tiba saja berdenyut menyakitkan.
"Kita berdua ngerasain gimana intensnya
perhatian dia ke lo. Gimana protektifnya Zaki dalam ngejaga elo. Gimana dia
selalu siap buat elo," kata Vivi lembut.
"Lo gak ngerasa kalau dia kasar dan
semaunya?"
"Itu memang bawaan dia kali, Gha," cetus
Regi sembari tertawa kecil, "Lo liat dia," tunjuk Regi dengan dagu.
Aku melihat ke arah yang dia maksud, dan melihat
Zaki yang sedang mengobrol dengan beberapa orang pria paruh baya. Mereka
terlihat serius.
"Dia terlahir sebagai seorang pemimpin. Dia
tipe orang yang dengan alaminya selalu memegang kendali. Zaki orang yang selalu
menjadi pemegang keputusan. Dia terbiasa menyelesaikan dan menghadapi masalah
dengan tegas, lugas dan cepat. Dia bukan orang yang terbiasa berada di bawah
kendali seseorang. Dia orang yang selalu............. berkuasa. Tak heran dia
bisa dengan santainya menyuruh dan kadang membuat orang melakukan apa yang dia
inginkan. Bukan karena dia sok atau belagu. Tapi lebih karena dia sudah
terbiasa bersikap seperti itu. Memimpin sesuatu, lebih menjadi sifat alami yang
dia miliki. Tapi seharusnya sekarang lu bisa tahu kalau dia melakukan semua itu
untuk kebaikan lu. Bukan untuk kepentingan dia pribadi semata."
Aku tertegun oleh penjelasan Regi. Aku hanya diam
dan menatap Zaki yang kemudian tiba-tiba saja juga menoleh padaku. Aku terpaku
saat mata kami bertemu. Sejenak dia hanya melihatku dengan tatapan heran, lalu
dia melambai sekilas padaku. Cepat aku menunduk dan kembali berpaling ke arah
Regi dan Vivi yang kini menatapku sembari tersenyum lembut.
Aku hanya mampu tertunduk, "Tidak.
Kalian................salah. Dia gak mungkin menyukai gue. Kalaupun iya, tidak
mungkin kami bisa............" aku berbisik lirih. Tak ada jawaban, tapi
sesaat kemudian kurasakan remasan lembut tangan Vivi dibahuku.
"Tidakkah lu rasain sentuhannya di hati lu
Gha?"
"Vi gue ga mau jadi..."
"Gay?" potong Regi yang ada disebelah Vivi
cepat dengan nada sedikit sinis, "Masih juga ribet dengan istilah dan
label?"
"Gi....." hanya itu yang bisa ku katakan.
"Masih belum cukup pembicaraan kita
kemaren-kemaren? Kenapa sih lu ngeributin hal itu? Kenapa kitak
menyederhanakannya dan menyebut itu apa adanya? Cinta!" ujar Regi tegas.
"Lo gak sadar betapa beruntungnya lo sekarang
ini? Bisa merasakan sebuah cinta yang sejati seperti ini?" tanya Vivi,
membuatku tergelak oleh tawa pahit.
"Cinta sejati?" tanyaku dengan alis
terangkat.
"True love is always unexpected!"
jawabnya, "Berbeda dengan cinta yang direncanakan. Misalnya saat lu
naksir, lu merancang berbagai cara agar bisa jadian. Menurutku itu bukan cinta
sejati. Tapi cinta yang dibentuk dan direncanakan. Sementara cinta sejati
selalu datang tak terduga dan tak terencana. Ia muncul dengan sendirinya."
"Vi, please............."
"What? It's true! Lo mesti bersyukur karena lo
bisa ngerasainnya. Lo tahu berapa banyak orang yang tidak pernah ngerasain
cinta dalam arti sesungguhnya? Banyak Gha. Bahkan beberapa mereka yang hidup
dalam ikatan pernikahan dan kompromi."
"Kompromi? Mana ada pernikahan berdasarkan
kompromi?! Orang menikah pasti karena cinta. Hal itu juga yang ku
inginkan." ulangku.
"Liat sekeliling lu? Ada banyak pasangan suami
istri di gedung ini yang hidup bersama dan menikah, bukan karena cinta. Tapi
lebih karena kompromi."
Aku menatap berkeliling, bagiku mereka semua
terlihat normal dan bahagia-bahagia saja, "Di ruangan ini? Semua terlihat
normal," kataku sedikit menggerutu.
"Itu salah satu bukti bagaimana lu masih
tertipu oleh penampakan luar dan kurang teliti. Lo liat pasangan yang duduk di
kursi yang ada di sebelah kanan Zaki. Yang wanitanya berbaju hijau lumut, dan
laki-lakinya menggunakan kemeja batik coklat," kata Regi. Aku
mengikutinya. Memang ada pasangan seperti yang dia katakan. Sang suami berumur sekitar 45 tahunan.
Sementara sang istri sekitar akhir 30 tahunan.
"Ada apa dengan mereka?"
"Mereka salah satu pasangan yang gue yakin
menikah atas dasar kompromi dan memiliki pernikahan yang pahit dan tak bahagia.
Perhatikan ekspresi muka si istri. Dia terlihat luar biasa bosan dan nyaris
mengenaskan. Sang suami adalah jenis bandot tua kurang ajar yang juga sudah
bosan setengah mati dengan pernikahan dan istrinya. Matanya selalu jelalatan
mencari perempuan-perempuan lain yang bisa mengangkat egonya yang karam. Lu
bisa lihat?" kata Regi dengan lancar. Sepertinya dia benar. Pria berbaju
batik itu memang jelalatan dan memandang dengan pandangan mendamba pada
beberapa wanita cantik yang melewati meja mereka. Sang istri.............. dia
sepertinya tahu kegenitan suaminya. Tapi anehnya dia diam saja. Dan ekspresi
bosan di wajahnya terlihat begitu jelas, meski dia mencoba menampilkan wajah
datar.
"Menurut lu kenapa dia diam saja padahal
jelas-jelas mata suaminya jelalatan seperti itu?"
"Karena dia sudah tak peduli..." kataku
pelan.
"Tepat sekali. Dia sudah tak peduli dengan
polah suaminya. Tapi entah kenapa mereka masih terikat dalam pernikahan yang
menyedihkan itu. Bisa karena dia sudah terlalu nyaman oleh kemewahan yang dia
dapat dari suaminya. Atau mungkin karena dia sudah terlanjur menikah terlalu
lama dengan bandot itu. Kompromi!" kata Regi
"Lu lihat juga pasangan beda usia yang ada
didekat panggung itu," kata Vivi dan menunjuk dengan dagu.
Aku melihatnya. Kalau gak salah si cewek itu adalah
seorang artis sinetron yang namanya pernah ku lihat di tv. Tidak terlalu
terkenal, tapi dia memang cantik dengan tubuh menawan. Dia berusia di awal 30
an. Suaminya adalah seorang pengusaha yang berusia sekitar 60 tahun dan sudah
memiliki 6 orang cucu. Pernikahan mereka sempat menjadi pembicaraan media massa
selama beberapa waktu.
"Menurut lu pernikahan itu karena cinta?"
tanya Vivi, "Lu asli bego kalau sampai mengatakan iya! Ga ada wanita
cantik yang masih waras, mau menikahi laki-laki yang sebelah kakinya udah ada
di kuburan! Dia butuh uang dan laki-laki itu memberikannya. Imbalannya,
pernikahan dan semua pernak-perniknya. Kompromi"
"Banyak lagi kisah-kisah kompromi lainnya Gha.
Seorang wanita yang dijodohkan oleh orang tuanya. Cowok yang terpaksa menikahi
pacarnya yang hamil. Atau seorang gay yang menikahi wanita hanya karena
tuntutan sosial dan keluarganya. Kompromi......." sambung Regi dengan nada
pelan.
"Jadi......... gue kudu bisa menikah dengan
Zaki?"
Regi memutar bola matanya, "Bukan itu intinya.
Maksud gue adalah syukuri apa yang lo rasain saat ini. Karena banyak orang yang
seumur hidupnya berharap mendapatkan cinta sejati, tapi tak pernah
mendapatkannya. Maksu gue adalah, jangan takut ama apa yang lo rasain saat
ini. Rengkuh dan rangkul rasa cinta lo.
Jangan peduliin semua stigma dan pikiran-pikiran negatif yang ada. Gue gak akan
bisa mengatakan ada apa di ujung kisah cinta lo. Mungkin aja lo bakal jalan
terus bareng Zaki. Atau mungkin pada suatu titik, lo bakal sadar dan jatuh
cinta ma seorang cewek, menikah dan punya anak. Who knows? Kita tak akan pernah
tahu. Yang jadi masalah sekarang adalah kalo lo berusaha menyangkal dan gak
mengindahkan perasaan lo. Jangan terlalu musingin label. Gay, lesbi, straight,
bi or else. Syukuri saja rasa cinta yang lo miliki."
"Gimana gue bisa bersyukur kalau cinta yang gue
rasain mustahil buat terwujud?" aku bergumam pelan dengan kepala yang
kembali tertunduk.
"Well, jangan terlalu terburu-buru dalam
mengambil keputusan. Lo ga akan pernah tahu, kejutan apa yang dibawa oleh
kehidupan di depan kita. Trust me. You never know," jawab Regi.
"Are you okay?"
Entah bagaimana, tahu-tahu Zaki sudah berada di
sebelahku dan satu tangannya terulur menyentuh dahiku. Aku terlalu kaget untuk
bisa bereaksi. Aku hanya terpaku diam sementara Zaki kemudian berjongkok dan
melihatku dengan tatapan cemas.
"Mungkin kau harus beristirahat. You must be
tired after our trip. Tubuhmu sepertinya sedikit demam," katanya dan
menarik tangannya dari dahiku.
"A-aku baik-baik saja," kataku tergagap
setelah bisa menguasai diri.
"Mungkin dia lapar Ki," celetuk Regi kalem.
"Okay. I'll get you the food. Oh ya, sudah
telepon Abah atau Agus?" tanya Zaki padaku. Aku hanya menggeleng pelan.
Zaki meraih kantongnya dan kemudian mengulurkan ponselnya padaku, "You
call them, and tell them I said Hi. Mungkin itu bisa sedikit menengkanmu. Aku
akan membawakan sedikit makanan. You guys want anything?" tanya Zaki pada
Regi dan Vivi.
"Jangan cemasin kami Ki. We're fine,' jawab
Vivi santai.
"Okay then. Aku pergi sebentar. Call
them," kata Zaki padaku pelan dan kemudian pergi setelah terlebih dahulu
mengusap kepalaku. Aku hanya melihatnya dengan mataku sampai dia menghilang
dibalik tubuh beberapa orang. Baru kemudian aku kembali berpaling pada Regi dan
Vivi yang tersenyum padaku.
"You never know," kata Regi pelan.
Aku tak bisa mengatakan apapun.
Kamus kecil bahasa salon
Tinta
= tidak
Sutra
= sudah
jij = kamu
sindang
= sini
Ikke
= aku
cucok
= cocok (kadang digunakan untuk Ganteng, cakep)
dese
= dia
erbong
= Arab
peres
= pura-pura/bohong
penyenyong = penyanyi
gedong
= gede
RIZKY
Kalimat terakhir Ibu tadi benar-benar menghantui
pikiranku. Sejak keluar dari Rumah Makan, hingga kini, saat kami kembali makan
bersama di daerah Punclut ini, aku terus memikirkannya.
Kamu tuh harus belajar menghormati
budaya leluhurmu. Juga belajar menghargai dan mensyukuri apa yang sudah kamu
miliki. Jangan kayak anak muda lain yang lupa akann budaya sendiri, dan selalu
menginginkan budaya negara lain yang belum tentu baik.
Hebat!!! Sepertinya hari ini, aku
terus-terusan diingatkan akan hal ini, pikirku kecut. Aku
masih ingat bahwa bahkan sejak awal hari ini, aku terus-terusan memikirkan hal
ini. Bahkan sebelum Ibu membahasnya.
Dan anehnya, aku merasa kalau kalimat itu justru
ditujukan untuk hubunganku dan Ferdy. Ferdy sendiri sepertinya tak terpengaruh
oleh kalimat Ibu. Dia dengan santai menikmati hidangan yang dipesannya tadi
sembari matanya sesekali memandang pemandangan kota Bandung di bawah. Dia
terlihat sangat menyukai daerah ini. Dan aku................ tiba-tiba saja
terserang rasa bersalah padanya.
I
nilah dia, seorang cowok dengan segala kualitasnya
yang bisa membuat seorang Shella bertekuk lutut, begitu menginginkanku. Telah
mengorbankan banyak hal untukku. Melakukan banyak hal untukku. Dan bahkan
menerimaku dengan segala keburukan yang ku miliki. Namun toh aku lebih memilih
mengejar Regha yang jika dibandingkan, berada jauh di bawahnya. Apa yang salah
denganku? Kenapa aku tak bisa mengikat diriku pada Ferdy? Kenapa aku tak bisa
membalas perasaannya dengan layak?
Aku menghela nafas panjang.
"Kenapa Ky?" tanya Ferdy dengan raut muka
heran. Sepertinya dia mendengar helaan nafasku tadi.
"Aku.................. terus-terusan teringat
kata-kata Ibu tadi," jawabku akhirnya.
"Yang mana?" tanya ferdy sembari meminum
jus jeruknya.
"Bahwa. kita harus lebih menyukuri dan menghargai
apa yang kita miliki, daripada menginginkan hal lain yang belum tentu baik bagi
kita," rangkumku singkat.
Ferdy tertawa ringan, "Ibumu benar kan? Sudah
sewajarnya orang tua jauh lebih bijak dari kita. Mereka sudah ditempa oleh
lamanya hidup. Dibandingin ma kita?" ujarnya.
Aku tak menjawab, hanya memandangnya dengan tatapan
datar. Membiarkan dia memahami kenapa kalimat tadi begitu menggangguku.
Beberapa saat kemudian, senyum di wajahnya mulai memudar saat kesadaran
menghampirinya. Dia mulai bisa menangkap maksudku.
"Ohh.... Tentang itu."
"Yeah," jawabku singkat dan meneruskan
makanku tanpa melihatnya lagi.
"Mungkin belum saatnya Ky," kata Ferdy
lembut, membuatku kembali mengangkat wajahku untuk melihatnya. Dia tersenyum,
"Jangan terlalu dipikirkan. Terkadang kita, manusia-manusia bodoh ini,
perlu melakukan kesalahan dulu sebelum mengetahui kebenaran. Terkadang kita
memang perlu ditampar oleh kesulitan dan masalah sebelum kita menyadari berkah
yang sudah kita miliki."
"Aku tidak bermaksud menujukan kalimat tadi
untukmu Fer. Tapi lebih kepada diriku sendiri," kataku. Takut kalau dia
mengira aku kembali mengkritiknya.
"Aku tahu," kata Ferdy pelan sembari
menyunggingkan senyum pengertiannya yang biasa. Menampakkan dua lesung pipit
yang menghiasi pipinya.
Lihat itu Ky? Kenapa kau tak bisa merasa cukup
dengannya? Kenapa kau tidak segera mulai untuk menghargai apa yang kau miliki?
Dan berhentilah mengejar bayangan.
Aku menghela nafas panjang, mencoba memojokkan semua
keruwetan tadi di sudut benakku. Tapi sulit melakukannya jika hatiku mengatakan
hal lain. Bahkan sampai perjalanan pulang, benakku masih terus berputar-putar
pada hal yang sama. Ferdy yang membawa mobil, sementara aku duduk diam di
sebelahnya. Ferdy dengan pengertiannya membiarkanku larut dalam pikiranku.
Membiarkanku tenggelam dalam berbagai pertimbangan dan pilihan. Aku bahkan tak
menyadari kalau kami sampai di tempat Ferdy, hingga kemudian dia memegang
bahuku.
"Kita sudah sampai," kata Ferdy pelan.
Untuk beberapa saat lamanya aku memandang ke sekeliling
kami, seakan-akan baru melihat pekarangan rumah sewa Ferdi untuk pertama
kalinya. Gila! Pergi kemana waktu saat kita tak menyadarinya? pikirku dan
segera turun, mengikuti Ferdy yang mendahuluiku.
"Mau..........masuk dulu?" tanya Ferdy
sembari mengulurkan kunci mobil. Aku menerimanya tanpa mengatakan apapun. Ferdy
hanya tersenyum dengan reaksiku. Dia kemudian mengangguk dan berbalik tanpa
menungguku jawabanku. Aku diam disana, melihatnya menjauh. Melihat tubuhnya
yang semakin terpisah. Langkah kakinya tak berhenti, terus memberikan jarak
diantara kami berdua. Baru saat dia berhenti didepan pintu, aku merasa ada
sentakan disudut hatiku yang membuatku mengerjapkan mata.
"FER!!!" panggilku dan memburunya.
Ferdy yang sudah membuka pintu dan hendak masuk
berhenti. Dia membalikkan tubuhnya untuk menghadapku, "Ada ap..."
Dia tak sempat meneruskan kalimatnya karena aku
sudah mencium bibirnya. Sejenak tubuhnya sedikit kaku karena kaget. Dia bahkan
tak sempat membalas hingga aku menjauhkan wajahku darinya. Dia menatapku dengan
tanya.
"Ki, ak..."
Aku kembali menciumnya dan mendorongnya untuk masuk
ke dalam rumah. Ferdy masih tak bereaksi saat aku mendorong tubuhnya ke pintu,
dan menutupnya. Dia baru mengeluarkan erangan pelan saat tanganku masuk ke
dalam t-shirt dan membelai puting dadanya yang segera mengeras dalam hitungan
detik. Dengan cepat aku menarik lepas t-shirt itu.
Sejenak kami berpandangan. Mata Ferdy terlihat
sedikit sayu berseliput hasrat. Dadanya naik turun dengan cepat. Bagus! Aku
sudah mendapat perhatiannya. Aku membuka baju atasku dan mengulurkan tangan.
Membiarkannya memutuskan. Dia melihat tanganku dan kemudian mengangkat
tangannya untuk menyambut uluranku.
Aku tersenyum dan membawanya menuju kamar. Disana
aku kembali menarik kepalanya dan mencium bibirnya yang basah dan terasa
lembut. Turun ke leher, jakun dan menggigit pelan bagian bawah telinganya.
Ferdy mengerang pelan, membuatku tertawa kecil. Erangannya berubah menjadi
suara terkesiap pelan saat aku menghisap dan mengigit kecil puting dadanya.
"Ky...."
Tanganku bergerak ke bawah, membuka celana dan
boxernya sekaligus. Aku lalu menegakkan tubuhku dan memandang Ferdy yang
berbaring telentang dibawahku dengan nafas memburu. Dengan perlahan aku bangkit
dan mulai membuka celanaku. Kemudian celana dalamku. Sengaja mengulur-ulur
waktu, sehingga Ferdy mengeluarkan hembusan nafas keras, frustasi. Aku tak
memperdulikannya. Dengan santai aku berjalan dalam keadaan telanjang bulat
serta kejantanan yang telah menegang, menuju laci kecil tempat Ferdy menyimpan
kondom dan pelumas. Baru saja aku mengeluarkan kedua benda itu dari laci,
dengan tak sabar Ferdy meraih tanganku dan menariknya dengan kuat. Aku jatuh ke
tempat tidur dan sebelum aku sempat menguasai diri, Ferdy telah meraih
kejantananku dengan mulutnya.
Permainan lembut kami segera berubah menjadi liar,
erotis dan penuh gairah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar