ZAKI
Aku menutup layar laptopku dengan sedikit keras dan
mengumpat pelan. DAMN!!!! Why can't I take him away from my head?! Kenapa aku
harus selalu teringat dia setiap saat?!! Aku bahkan hampir bisa mengingat
bagaimana dia bergerak di ruang kerja rumahku ini. Suaranya terdengar seperti
sebuah gema dari masa lalu yang terus terngiang. Aku mungkin bisa menyebutkan
dengan pasti, benda apa saja yang pernah dia pegang dalam ruangan ini. How sick
is that?!
Aku memejamkan mataku dengan kesal. God!!! Aku bisa
melihat sosoknya saat terakhir kali kami bertemu di kantin. Bagaimana aku bisa
melihat bentuk tubuhnya yang terbungkus kaos tipis sialan waktu itu. Bagaimana
puting dadanya yang tampak membayang. Bagaimana pikiran berkelebat cepat,
membayangkan bagaimana aku bisa dengan pasti meraba ataupun mengulumnya dibalik
pembungkus yang nyaris transparan itu.
WHAT THE.............!!!!!
Mataku sontan terbuka nyalang! Aku mungkin akan
benar-benar membutuhkan psikiater kalau aku membiarkan hal ini berlanjut!
pikirku kesal. Aku harus bisa mengenyahkan dia dan kembali berkonsentrasi pada
pekerjaanku yang lebih penting. Hari minggu besok ulang tahun Pak Liem Hwa.
hampir semua persiapan telah selesai. Tapi aku masih belum menerima kabar dari
Regha. Aku meraih ponselku dan mencari nomornya.
"Aku menghubunginya karena pekerjaan. Tak ada
hubungannya dengan masalah pribadi. It's work! Just about work!!" gumamku
Aku mendesah. Great!! Now I'm talking to myself like
a loony! batinku dan cepat-cepat menekan tombol dial. Ingin segera mengakhiri
keresahanku.
"Ya, haloo?" sapa Regha dari seberang. Aku
bisa mendengar suara berisik yang jadi latar. Dan seperti ada suara kendaraan
besar. Aku mengerutkan dahi.
"It's me," kataku singkat, "I
just........."
"Ki, sudah siap? I am hungry," cetus Anna
yang tiba-tiba muncul didepan pintu. Aku mengangkat tanganku untuk menahannya.
"Bagaimana semuanya?" tanyaku langsung.
"APAAA?!! SORRY, GA DENGER!" kata Regha
agak berteriak.
"BAGAIMANA SEMUANYAA?!!!" ganti aku yang
sedikit mengeraskan suara.
"HAMPIR!!! EH ITU HAMPIR JATOOHH!!!"
Terdengar suara berisik. Campuran antara teriakan
beberapa orang dan kendaraan. Sekilas kudengar suara Regha yang memanggil Regi.
Lalu kembali teriakan dan kata-kata samar yang tak bisa kutangkap.
"Halo? Zaki?!"
Aku mengerutkan dahi saat mendengar suara Regi yang
menyapaku, "Regi?"
"Regha lagi bantuin angkut parcel ke
truk," jelasnya singkat.
"Semua sudah beres?" tanyaku.
"Eeeuuuhh............ Honestly? Kurang 20
parcel lagi yang belu kami selesaikan. Tapi jangan khawatir," tukasnya
cepat,
"Semua orang membantu disini. Ada Kak Alvian, Mas Rizky, Ari dan
juga teman-teman kost Regha yang lain. Kami pasti akan..."
"Rizky?!!" potongku sebelum dia
menyelesaikan kalimatnya, "He's there?"
Dia diam sejenak dan tak langsung menjawabnya,
"Eeuuhh........."
"Regi?!!" tegurku..
"Eerr...... Yes. He's here. Tap.."
Aku sudah menutup ponselku dan menoleh ke arah Anna,
"Would it be okay if we're a little bit late? Aku harus segera ke tempat
Regha. Ada sesuatu yang harus ku urus," kataku dan langsung melangkah
melewatinya.
"Huh? Yeah. Sure," jawabnya dan segera
mengikutiku meski terlihat bingung.
DAMN!! Apa. yang dilakukan Rizky disana? Apa Regha
yang memanggilnya? Karena kalau memang benar, akan kupastikan dia segera
kembali ke rumahnya. I don't need him to do shit for me! GOSH!!! Hanya dengan
memikirkannya saja aku sudah kesal. Sebaiknya Regha memiliki alasan yang bagus
saat ku tanya nanti.
Kurang dari satu jam kemudian aku sudah sampai di
kostan Regha. Ada sebuah truk yang parkir dI sebelah gerbang dan beberapa orang
ku lihat memindahkan bungkusan parcel dari dalam ke truk. Aku mengangkat
sebelah alis melihat packaging dari parcel yang di buat oleh Regha. Harus ku
akui, bagus dan tidak kalah dengan yang dibuat oleh pembuat profesional.
"Excuse me, boleh lihat?" pintaku pada
salah seorang dari mereka.
"Maaf Mas. Sebaiknya nanya ma yang ada di
dalam. Paket ini harus segera kami kirim," katanya dan melanjutkan
tugasnya, melewatiku.
"Zaki!!" panggil Regha yang keluar dari
kamar kost dengan membawa sebuah parcel. Wajahnya yang lelah menyiratkan
kekagetan saat mendekat. Aku tak menjawab. Aku hanya mengambil parcel yang
dibawanya. Regi menghiasinya dengan pita warna-warni dan lucunya, ada sepasang
boneka angry bird kecil yang turut berdiri diantara tatanan buah disana.
Memberi ilusi singkat kalau kedua burung itu sedang mengumpulkan bahan makan di
sarangnya.
"Regi yang membuatnya?" tanyaku tanpa
melihatnya.
"Regi yang memberi contoh. Kami hanya
menirunya," jawab Regha.
"Masih berapa yang belum kalian
selesaikan?" tanyaku masih tanpa melihatnya.
"Kurang belasan saja sih. Tapi kami akan segera
menyelesaikannya supaya bisa dibawa oleh truk ini. Tadi Kak Alvian sudah
membantu kami untuk me-lobby sopirnya sehingga dia mau menunggu. Jangan
khawatir. Kami akan...."
"Gha, Regi manggil kam.."
Aku mengangkat wajahku dan melihat Rizky yang
berdiri tak jauh dari kami. Dia tak melanjutkan kalimatnya. Matanya yang kaget
hanya memerlukan hitungan detik berubah datar dan nyaris kesal.
"Rizky, so nice of you to help us. Semoga kami
tak menyita waktu luangmu," sapaku dengan suara ringan, sedikit sarkas.
"Aku hanya membantu Regha. Kami tidak bisa
keluar nonton seperti biasanya karena dia mendapat tugas ini. Jadi, aku tak
keberatan membantu," jawabnya dengan mengangkat bahu santai.
"Aaawww.... that's sweet. Sekarang kau bisa
pulang. I'm here!"
"Ki, please?!!!" pinta Regha padaku. Dia
lalu menoleh pada Rizky, "Bentar Mas. Saya akan bawa parcel ini dulu ke
truk. Mas ke dalam saja dulu," katanya dengan nada meminta. Jelas agar aku
dan Rizky tidak adu argumen disini.
"Do you have to call him?!" tegurku
langsung bahkan sebelum Rizky menghilang di balik pintu.
"I didn't, ok?!! Dia tadi meneleponku. Regi
yang memintanya untuk datang. Lagipula, he's just trying to help. Kami sudah
tertinggal dari target. Jadi bantuannya sangat kami hargai. So please, be nice
to him!!" pintanya.
"Well aku sudah dengan jelas mengatakan padamu
kalau aku tak menyukainya. Jadi akupun tak suka kalau dia ikut campur dalam
urusanku," jelasku singkat.
"Well, we need him! Entah kau mau atau
tidak!"
"It's your lucky day then. Aku datang dengan
membawa bantuan tenaga. Anna, kau tak keberatan sedikit membantu kan?"
tanyaku pada Anna yang sedari tadi hanya diam berdiri di sebelahku. Dia hanya
tersenyum dan mengangkat bahunya,
"Good! Let's go!" ajakku dan
menggandengnya untuk ke dalam.
Regi dan Vivi yang melihat kedatangan kami hanya
mengangkat sebelah alis dan saling berpandangan sejenak. Tapi mereka
mempersilahkan kami untuk segera membantu. Rizky sendiri duduk di antara Regi
dan Vivi. Aku juga melihat beberapa orang teman kost Regha membantu. Teman yang
dulu meminjami dia laptop. Juga seorang anak yang sepertinya member BEM kampus.
Wajahnya sering ku lihat di kampus. Tapi aku tak bisa mengingat namanya.
Ruangan itu penuh dengan potongan kertas, pita dan buah. Anna sendiri tampak
antusias dan segera saja minta di ajari oleh Regi yang dengan senang hati
membantunya. Regha yang kemudian masuk dengan wajah resah sepertinya masih
berpikir kalau aku dan Rizky akan membuat kekacauan. Tapi aku pura-pura tak
memperdulikannya. Malah menariknya untuk duduk di sebelahku.
"Show me how," pintaku santai.
Dia menghela nafas sejenak, seakan-akan berniat
untuk menolak. Tapi dia tahu aku tak akan membiarkannya melakukan hal itu.
Akhirnya dia hanya menghela nafas dan mulai menunjukkan padaku caranya.
"Bagaimana dananya? Cukup?" tanyaku
sembari menata buah kiwi yang ku ambil.
"Sepertinya lebih. Aku akan membuat laporannya
agar bisa mengatakan angka pastinya."
"Lalu........ bagaimana dengan teman-temanmu
yang membantu? Kau sudah menyiapkan upah bagi mereka?"
"Mereka membantu dengan sukarela. Mereka tidak
mengharapkan upah. Lagipula, sisa buah-buahan ini juga akan Regi bagi ke
mereka," jelas Regha. Dia tampak mencoba konsen dengan parcel-nya. Mencoba
mengacuhan Rizky yang jelas-jelas memandang ke arah kami. Aku sendiri hanya
tersenyum simpil dengan keresahannya. Lebih senang lagi melihat ekspresi masam
di wajah Rizky.
"You can't do that. Bagaimanapun juga, mereka
telah mengeluarkan tenaga yang tak sedikit. Kita harus menghargainya. Kau
tentukan saja, kira-kira berapa yang pantas bagi mereka semua. Termasuk untuk
Rizky," kataku menyindirnya.
"Zake, please!" erang Regha pelan,
sehingga hanya aku yang mendengnarnya, "Tidak bisakah kau bersikap lebih
baik padanya? Dia tak melakukan apapun untuk. mengganggumu. Sejak pertemuan
pertama, kau sudah tak suka padanya. He's a good guy. Cobalah untuk lebih
mengenalnya. Jangan selalu mencari perkara dengannya. He's just trying to help
us."
"Help you. Not me," gumamku.
Regha tak mengatakan apapun. Dia hanya menatapku
kesal.
"Fine!" ujarku sembari memutar bola mata.
"Dan.........." kalimat Regha terpotong
saat ponselnya berdering. Dia memberikan tatapan memperingatkan padaku sebelum
bangkit untuk meraih ponsel yang ada di sakunya, "Assalamu'alaikum neng.
Aya naon? Tumben......." sapanya pelan.
Ekspresi wajahnya yang tadinya senang untuk sesaat berubah
bingung dengan sebelah alis yang terangkat dan kening berkerut.
"Neng, tenang dulu. Yang pelan aja. Maksudnya
teh naon?" katanya bingung. Dia tak mengatakan apapun lagi. Tapi beberapa
saat kemudian, ponselnya jatuh ke lantai diikuti denga tubuh Regha yang jatuh
terduduk.
"Gha?" panggilku heran. Apalagi melihat
ekspresi wajahnya yang berubah kosong dan mulai memucat. Dia tak menjawab.
Hanya menatap kosong. Apapun yang dia dengar di telepon, pasti bukan berita
bagus. Ruangan itu sendiri langsung berubah hening.
"Gha, ada apa?" tanya Regi, sementara
Rizky bangkit dari duduknya.
Aku mengulurkan tanganku untuk memegang bahu Regha,
"Gha?!! Are you okay? What's wrong?" tanyaku dan sedikit
mengguncangnya.
Untuk sejenak tak ada reaksi sama sekali darinya.
Dia masih duduk termangu seola-olah sedang berada di tempat lain yang sama
sekali tak dikenalnya. Aku kembali mengguncangnya beberapa kali.
"GHAA!!!" panggilkyu keras dan kembali
mengguncang bahunya, kali ini dengan kedua tanganku. Dia mengerjapkan matanya
dan menoleh padaku.
"Abah........"
Hanya itu yang dia ucapkan. Selanjutnya, dia
seakan-akan berjuang untuk menelan ludah, mencoba mengumpulkan suara. Aku
sendiri langsung menegakkan punggungku, "Kenapa dengan Abah?" tanyaku
cepat.
"Abah dan Agus.........kecelakaan!"
katanya. Yang mengherankan, dia mengatakan kalimat itu dengan tenang. wajahnya
datar, nyaris tanpa ekspresi.
Berita itu, sekali lagi membungkam kami semua. Untuk
beberapa detik lamanya, ruangan itu hening.
Begitu menguasai diri, aku langsung berdiri dan
mengambil ponselku, "Kalau begitu kita harus kesana. Mobilku
didepan."
"Ta-tapi parcelnya belum selesai.
Dan...pesta....." dia kembali menelan ludah, ".......pestanya besok.
Ak-aku..............m-maksudku, ki-kita harus menyelesaikannya dulu. Setelah
pestanya. nanti aku akan...."
"Forget about that! Kemasi barang-barang yang
kau perlukan." kataku dan menariknya untuk bangkit.
"Tapi Ki, kita tak bisa membiarkan pesta besok
gagal. Akan kacau jadinya dan........."
Dia sudah hendak duduk kembali untuk menyelesaikan
parcel yang dia kerjakan. Tapi dengan menggeram marah, aku meraih lengannya dan
menariknya untuk kembali berdiri.
"LEAVE THE DAMN THING!!" bentakku keras.
Aku langsung menoleh ke arah Regi dan Vivi yang juga telah berdiri dengan wajah
cemas, "Kalian bisa membantuku menyelesaikan semuanya kan?" tanyaku
pada mereka.
Keduanya segera saja mengangguk dan mendekat ke arah
Regha, "Tentu saja Ki. Lo balik aja dulu Gha. Biar yang disini kita
beresin semua." kata Vivi dan meremass lembut bahu Regha.
"Iya Gha. Jangan khawatir. Kak Alvian ma Ari
juga masih bantu kan? Lo pergi saja ya?" sambung Regi.
"Egha, biar aku.."
'DON'T!!!'' cegahku dan menatap tajam pada Rizky
yang hendak melangkah mendekat, "You stay out of it!!"
"I'm trying to help!" sahutnya dingin
dengan wajah kaku.
"Well, you've done. You can fu..."
"Ki!!" tegur Regha dengan nada lelah,
membuatku mengumpat pelan tanpa mampu menahan diri.
"Fine!" jawabku dengan geraham terkatup,
"Rizky, aku sangat berterimakasih atas bantuanmu. Tapi sudah cukup," aku
lalu
kembali berpaling pada Regha, "Apa itu cukup untukmu?" tanyaku
menahan geram.
Regha mendesah, "Terserahlah." jawabnya.
"Kalau begitu cepat kemasi barangmu. Aku akan
menelpon Pak Surya untuk membantu Regi dan yang lain disini. Mana sisa budget
yang kau pegang?" pntaku.
Tanpa mengatakan apapun, dia meraih tasnya yang ada
di lantai dan memberikannya padaku. Aku menerimanya dan melihat sekilas.
Sepertinya masih ada cukup uang disana. Aku memberikan tas itu pada Regi.
"Kau pakai ini dulu kalau-kalau kau
memerlukannya. Aku akan meminta asistenku untuk kesini segera. Kau minta saja
padanya kalau kurang, ok? Tolong selesaikan semua. Kau bisa menghubungI nomorku
kalau memang diperlukan.," kataku dan meraih dompetku untuk mengeluarkan
sebuah kartu nama, "Telepon saja ke nomor ponselku itu. Ok?"
"Jangan khawatir! Semua akan beres," ujar
Regi meyakinkan dan di sambung oleh anggukan Vivi.
Aku tersenyum lega padanya, "Thanks,"
kataku pelan dan. menoleh ke arah Anna, "I'm sorry. But I have to
go."
Dia mengibaskan tangannya santai, "Please. It's
fine. We'll go some other time," jawabnya dengan senyum menenangkan.
"Thanks. Juga pada kalian semua," kataku
dan mengedarkanpandanganku pada mereka semua yang ada diruangan itu. Dan
kembali pada Regha yang semula ku kira telah berkemas. Tapi ternyata masih
berdiri dengan begonya di tempatnya tadi. Melihat ke arah kami. Aku kembali
menggeram melihatnya, "I thought I told you to pack your things."
"Huh? Oh ya, maaf. Satu hal lagi. Regi, ntar
tolong catat. semua pengeluarannya ok? Jadi gua bisa bikin pembukuannya
dan......."
"Kau masih sempat memikirkan itu?"
"What? I don't wanna give you another reason to
yell at me!! Dan lagipula kau........." Aku sudah menariknya untuk keluar
dari ruangan itu menuju kamarnya. Ku minta dia mengambil apapun yang dia
perlukan segera. Tapi Regha ternyata hanya mengambil jaket yang dulu ku berikan
padanya di kantin. Lalu dengan tenang keluar dari kamar, kemudian menguncinya.
Dia melakukannya tanpa terburu-buru. Seolah-olah tak ada hal penting yang terjadi.
"That's it?" tanyaku yang menunggunya di
luar pintu sembari berbicara pada Pak Surya.
"Ya. Apa lagi?" tanya dia heran.
"You tell me," gerutuku pelan dan menutup
teleponku. Pak Surya segera melaju ke tempat ini. Aku lalu kembali menarik
tangannya untuk pergi. Dia tak berontak sedikitpun saat aku membawa dan
memasukkanya ke mobil. Aku sudah hampir masuk ke mobil juga saat Regi
memanggilku. Aku mendekat kembali padanya yang melangkah dari dalam kost.
"Ini hape Regha yang jatuh," katanya dan
menyerahkan ponsel itu padaku.
"Thanks Gi. For everything," kataku pelan.
"Ki.....!" cegah Regi sebelum aku kembali
berbalik, "He's in shock," bisiknya.
Aku menatapnya sejenak, "I know," kataku
akhirnya. Aku mengulas senyum tipis padanya dan berbalik.
God!!! semoga semuanya baik-baik saja! batinku.
REGHA
Pernahkah kalian merasa kebas luar biasa sehingga
nyaris tak merasakan apapun di tubuh kalian? Tidak pula menyadari apa yang ada
di sekeliling kalian? Itulah yang kurasakan saat ini. Seolah ada selambu tipis
yang menutupi benak dan tubuhku. Memisahkanku dengan dunia nyata. Membuatku
merasa terisolasi dan aneh. Derungan mobil yang bergetar di bawah tubuhku
seakan-akan gema dari mimpi tak berarti yang hampir tak terdengar. AC mobil
Zaki yang biasanya bisa membuatku menggigil, sama sekali tak terasa di kulitku.
Bayangan bangunan dan kendaraan yang lewat tampak kabur dan tak bisa ku kenali.
Seluruh tubuhku seakan-akan menutup semua indranya.
Aku ingin berteriak. Ingin merasakan sesuatu. Tapi aku tahu kalau aku harus
tenang. Aku harus bisa menguasai diriku. Jangan sampai Asti apalagi Mamah
mendapatiku histeris dan panik. Mereka akan jadi lebih khawatir dan cemas. Akan
membuat suasana menjadi semakin tak terkendali. Aku tak akan bisa tahan melihat
Mamah menderita. Aku lebih suka untuk menutupi apapun yang kurasakan daripada
melihat beliau
menangis.
Jadi mati-matian aku berusaha menahan gelombang
perasaan yang bergolak di dadaku. Aku harus tenang dan terkendali. Tenang dan
terkendali. Mantera itu yang terus ku ulang dalam hati.
Aku memejamkan mata rapat. Rasa-rasanya aku hampir
muntah sekarang. Abah dan Agus kecelakaan. Kecelakaan!!!
"GHA!!!" panggilan sedikit keras Zaki
membuatku kembali membuka mata. Dia melihatku dengan tajam. Ekspresinya masih
kaku seakan-akan sedang menahan marah. Heran. Nih anak kenapa terus-terusan
ngamuk aja kalau ada di sekitarku ya?
Kalau ada yang marah, bukannya aku? Aku ingin mengatakan kalimat itu.
Tapi aku seakan-akan tak memiliki tenaga.
"GHA!!! Don't you hear me?!!" tegurnya
lagi.
Aku kembali menolehnya dengan kening berkerut,
"Apaan sih?" tanyaku. Syukurlah aku bisa terdengar tenang dan
terkendali menjawabnya.
"Pakai jaket ini," perintahnya dengan nada
yang tak ingin di bantah, membuatku semakin merasa heran melihatnya yang
mengulurkan jaket jasnya padaku.
"Aku kan sudah pakai jaket?" ujarku dengan
nada tanya.
"Tapi kau masih saja gemetaran. Jadi pakai
saja!" katanya dengan geraham terkatup, jelas sekali kesal.
Aku melihat ke tubuhku. Aneh sekali. Tanganku
ternyata memang gemetaran. Tampak tegang dan bergerak-gerak tak jelas seperti
seorang pengidap alzheimer.
"AC-nya terlalu dingin" tanya Zaki lagi.
"No! Biasa aja," jawabku lagi.
Zaki mengumpat pelan dengan jawabanku, "Pakai
saja jaket sialan ini. Cepat!!" gerutunya kesal dan melempar jaket itu
padaku.
Meski merasa terpaksa, aku melakukannya juga,
"Kau sadar kalau aku akan tampak konyol dengan memakai jaket rangkap kan?!
Lagian, if it doesn't bother you, could you please explain, why are you always
mad at me?!" ganti aku yang sekarang menggerutu sembari membungkus tubuhku
dengan jaket Zaki.
"Kau akan tahu kalau kau mau melihat cermin
sekarang. Kau sadar kalau hampir-hampir tak ada warna di wajahmu?"
jawabnya dengan nada tertahan.
Aku mendengus mendengarnya, "Huh?!! Lucu! Alis
mataku tidak berubah putih kan? Karena terakhir kali ku lihat, mereka masih
berwarna hitam. Mataku juga hitam. Bibirku tak mungkin berubah war..."
"Just shut up!!" bentak Zaki yang langsung
membungkamku, "Just shut the hell up and try to sleep! Kau mungkin akan
membutuhkan tenagamu nanti," katanya.
"Kau bisa tersesat."
"Aku tahu jalan ke rumahmu Regha. Jadi. kau
bisa tenang," sahutnya dengan gurat kemarahan yang makin terlihat di
pelipisnya. Akhirnya aku hanya mengangkat bahu dan kembali menyandarkan
punggungku. Tanganku tanpa kusadari bergerak, makin mempererat jaket Zaki yang
ku kenakan. Membiarkan harum Zaki yang biasanya makin membungkus tubuhku. Harum
parfum floral itu yang akhirnya membuatku bisa tenang dan sedikit rileks. Tak
ku sadari tubuhku yang sedari tadi tegang.
Aku menarik nafas panjang untuk pertama kalinya
sejak beberapa jam tadi. Membiarkan
harum Zaki menghipnotisku.
Zaki membangunkanku saat kami memasuki Majalengka.
Dia menggucang pelan bahuku. Aku yang sebenarnya hanya tidur ayam dan sempat
beberapa kali terbangun segera membuka mata dan menegakkan punggung.
"Kita ke rumah sakit mana?" tanyanya,
"Abah dan Agus dibawa ke Rumah Sakit kan?"
"Rumah Sakit kecamatan," jawabku pelan
sembari mengangguk, "Letaknya ada di kiri jalan, sebelum masuk ke desaku.
Kau bisa melihatnya dengan jelas nanti. Ada papan namanya besar di
pinggir."
Zaki hanya mendengus pelan. Dia lalu meelirikku
sekilas, tapi tak mengatakan apapun. Gurat wajahnya masih terlihat tegang dan
kaku, meski tidak sekeras tadi. Mungkin karena dia lelah. Aku bisa melihat
kesan letih itu yang coba dia sembunyikan. Bule setengah jadi yang
kontradiktif, pikirku. Dia bersikap keras, bahkan cenderung menyebalkan padaku.
Tapi lihatlah, dia juga bisa dengan sigap membantu saat aku berada dalam
kesulitan seperti ini. Bukan hanya sekali. Tapi berulang kali, kalau aku mau
mengingatnya.
"Menepi saja dulu," kataku. Suaraku
terdengar aneh ditelingaku. Aku berdehem untuk membersihkan tenggorokan yang terasa penuh.
Zaki melirikku dengan alis terangkat, heran,
"Maksudnya?"
"Minggir saja dulu. Biar aku yang nyetir. You
look tired," kataku.
"Aku masih bisa membawanya. You just stay there
dan kasih tahu kalau kita sudah sampai," katanya sedikit menggerutu.
"Kau kelihatan lelah, Ki. Aku tak mau kalau
kita sampai kecela...." aku tak sanggup meneruskan kalimatku. Ingatan
bahwa saat ini kami sedang menuju Rumah Sakit tempat Abah dan Agus dirawat
karena kecelakaan membuatku leherku tercekat.
Aku menarik nafas beberapa kali
dan berusaha mengenyahkan kilasan skenario mengerikan yang berkelebat di otakku
tentang kondisi keluargaku. Saat aku kembali mengangkat wajah, Zaki masih
menatapku heran.
"Dan kau masih ingin menyetir?" tanyanya
dengan senyum sinisnya.
Aku ingin menggeram kesal atas komentarnya. Tapi
rasa-rasanya aku tak memiliki tenaga, bahkan untuk sekedar melemparkan
pandangan garang padanya. Yang ada, aku hanya menggeleng putus asa, "Tidak
bisakah kau bersikap baik padaku? Kenapa kau selalu bisa mengeluarkan komentar
yang menyudutkanku seperti itu?" tuntutku. Mencoba menyelipkan kegeramanku
pada nada suaraku. Meski aku pikir gagal.
Alisnya makin terangkat tinggi, "Excuse me?
Mungkin kalau kau mau berpikir jernih dan bertindak dengan benar, aku bisa
bersikap baik padamu," sahutnya enteng. Dengan kata lain, selama ini aku
selalu berpikiran kotor, dan tidak pernah bertindak benar.
"Tak ada satupun perbuatanku yang bener di
matamu ya?!" tanyaku dan menggelengkan kepala sembari menyandarkan
punggungku di jok, "I always screw everything up! Seingatku, tidak pernah
sekalipun kau memuji pekerjaan yang ku lakukan. Have you ever?"
"Karena tak ada satupun pekerjaanmu yang bisa
beres tanpa koreksi," sahutnya santai.
Aku mendengus pelan, "Is it gonna hurt you? Be
nice to me, I mean. Apa begitu menyakitkan bagimu untuk sedikit bersikap baik
padaku? Toh gak ada ruginya kan? Aku mungkin bisa mengubah sedikit pandanganku
tentangmu."
"Apa bisa mengubah pandanganmu tentangku? Kau
yang mencetuskan bahwa aku seorang bule separuh jadi yang mengidap sindrom
megalomaniak akut. See? I'm not the only one here who keeps some grudges,"
selorohnya.
"Huh!! Itu kan efek dari sikapmu padaku,"
sahutku singkat.
Zaki hanya mengerutu pelan, "I tell you what,
bagaimana kalau aku berjanji kalau aku bersikap baik padamu selama 24 jam
kedepan?! Kurasa aku bisa melakukannya," kata Zaki.
"72 jam!" tawarku.
"24 jam. That's the best offer you got!"
"48?!" pintaku
"24 jam!" jawabnya keukeuh.
"32 jam!!" tawarku lagi.
"Fine!! Tidak lebih!" kata Zaki akhirnya,
"Dan dimulai dari sekarang."
"Sekarang jam.........." aku melirik pada
jam digital yang ada di dashboard mobil. Sedikit kaget saat kulihat jam itu
telah menunjukkan pukul 9 malam, "Waahh..... siapa sangka sudah jam
segitu. Itu Zake," tunjukku saat melihat palang. Rumah Sakit yang ada
dikiri jalan. Zaki melihatnya dan memelankan laju mobil.
Perutku yang tadinya tak apa-apa, tiba-tiba saja
mulas dan melilit! Saat mobil Zaki berhenti, aku bisa merasakan. kalau kedua
tanganku mulai gemetar. Dengan cepat aku menyembunyikan keduanya dalam
pangkuanku dan menggenggamnya erat. Aku harus bisa tenang dan mengendalikan
diri. Jangan sampai aku membuat Mamah dan yang lain bertambah resah.
"Take your time," kata Zaki pelan dari
sebelahku.
Aku berpaling dan melihatnya dengan pandangan
kosong. Ekspresi kakunya terlihat sedikit meluntur. Matanya yang kini
memperhatikanku terlihat lebih bersimpati. Diatersenyum meyakinkanku. Huh?!
Siapa sangka seorang Zaki bisa membuat senyum yang begitu menenangkan? Lekukan
kecil di kedua pipinya yang jarang terlihat itu membayang sekilas. Bule sinting
ini seharusnya lebih sering tersenyum agar aku bisa melihat kedua lekukan itu
lagi.
"Gha....... are you okay?" tanya dia lagi
pelan. Membuatku segera menarik diri dari lamunanku.
Aku mengangguk dengan gerakan kaku, "Y-ya.
A-ayo kita pergi," kataku dan meraih handle pintu. Tapi gerakanku terhenti
saat tangan Zaki memegang bahuku.
"Kau bisa menenagkan diri sebentar. Kita turun
kalau kau benar-benar siap," ujarnya lagi.
Aku tertawa gugup, "Apakah kau serius
benar-benar akan baik padaku selama 32 jam ke depan?"
Zaki mengangkat bahu, "Aku sudah berjanji
kan?" jawabnya santai membuatku memutar mata sedikit kesal. Tanpa
memperdulikannya lagi akupun turun dari mobil.
Kami berdua segera menuju bagian informasi,
menanyakan tempat Abah di rawat. Begitu tahu, aku langsung melangkah dengan
langkah sedikit gamang menuju bangsal umum. Aku sudah pernah menjenguk seorang
teman disini, jadi sudah paham letaknya. Tapi kali ini, aku kesini untuk
melihat keluargaku sendiri. Dan dengan setiap langkah ku ambil, rasa kebas pada
tubuhku semakin bertambah. Rasa-rasanya setiap bagian tubuhku tahu bagaimana
untuk bereaksi. Mereka dengan sendirinya menutup indra perasanya. Hingga saat
kami mencapai bangsal umum, aku nyaris tak merasakan apapun.
Aku masuk dan mengedarkan pandanganku. Bangsal umum
itu merupakan sebuah ruangan yang cukup besar dengan tempat tidur berjejer. Aku
tak pernah tahu persis berapa jumlahnya. Disinilah tempat pasien dari kalangan
bawah di rawat. Pasien dengan berbagai penyakit yang tidak mampu menyewa sebuah
kamar berisitirahat, menyembuhkan diri. Sementara banyak anggota keluarga
mereka yang ikut menemani dengan tidur menggelar tikar dibawah tempat tidur
mereka. Tak ada istilah jam besuk disini. Keluarga pasien menunggui mereka
selama hampir 24 jam. Dan ku lihat di ujung barat bangsal umum ini ada Mamah
yang sedang duduk, membereskan rantang makanan sembari mengatakan sesuatu pada
Asti yang duduk pada tikar di bawah ranjang.
Dengan langkah pelan yang nyaris tak ku sadari, aku
mendekati mereka.
"Aa!!!" Asti yang lebih dulu menyadari
kehadiranku langsung saja bangkit dan berlari menubrukku. Dia segera saja
menangis tertahan dan memelukku erat. Mamah bangkit perlahan dengan kedua
tangan yang terlipat di dada. Tanpa mengatakan apapun, beliau mendekat dan ikut
memelukku. Aku bisa merasakan tubuh beliau bergetar saat menyentuhku.
Untuk beberapa saat lamanya kami seperti itu. Saling
berpelukan, seolah-olah menumpahkan kelegaan akan kehadiran masing-masing dari
kami. Hanya saja, aku masih saja mati rasa. Tubuh dan pikiranku menolak untuk
bereaksi lebih dari sekedar menanggapi sikap Mamah dan Asti.
Mamah yang lebih dulu bisa menguasai diri. Beliau
segera mengangkat wajahnya dan kemudian mengangkat tangannya untuk mengusap
kepalaku pelan, "Syukurlah Aa bisa datang. Aa pasti cape," katanya
dan menyunggingkan senyum letihnya. Aku hanya menggelengkan kepala dan mencoba
membalassnya dengan senyum tipis.
Mamah berpaling dariku dan kembali tersenyum pada
Zaki yang hampir ku lupakan, "Kasep datang juga? Terimakasih ya Nak?"
sapa Mamah.
Ku lihat Zaki mendekat dan memeluk Mamah.
"A Zaki...!" Asti kemudian melepaskan
diriku dan ikut menjatuhkan diri dalam pelukan Zaki, membuatku sedikit
menggerutu dalam hati. Tapi ku biarkan mereka menenagkan diri sejenak. Melihat
mereka berdua dalam pelukan Zaki, sementara bule setengah jadi itu menggumankan
kata-kata yang lembut, mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Dalam hati, aku
tahu kalau aku bisa saja melihat keadaan Abah dan Agus yang terbaring di
belakangku sekarang. Tapi tubuhku menolak untuk berbalik.
"Bagaimana Abah dan Agus Mah?" tanyaku
pelan setelah mereka terlihat lebih tenang.
"Syukurlah tak ada yang serius A," jawab
Mamah dan menunjuk dengan dagu.
Dengan gerakan yang sangat pelan, aku membalikkan
tubuhku. Meski aku sudah mempersiapkan diri, tetap saja melihat keadaan Agus
dan Abah, aku bisa merasakan sebuah cubitan kecil di dadaku yang menyengat
cepat. Mereka berdua terbaring dengan mata terpejam. Lengan kiri Abah di bebat
oleh gips dan perban. Aku segera saja tahu apa artinya. Selain itu hanya luka
baret dan luar saja. Keadaan Agus sepertinya lebih baik. Hanya banyak luka
baret luar di kaki dan lengannya. Aku tak melihat gips padanya.
"Abah sedang menjemput Agus setelah dia ikut
lomba sepak bola di Kecamatan. Ada mobil yang menyerempet mereka. Syukurlah tak
ada luka yang serius. Meski......... tangan kiri Abah patah. Agus hanya
menderita luka luar. Selain itu, Dokter bilang tak ada luka dalam yang perlu di
khawatirkan," ujar Mamah disebelahku.
"Mereka tak apa-apa?' gumamku lirih.
"Allah masih melindungi mereka A'," jawab
Mamah dan meremas bahuku pelan. Aku menghembuskan nafas yang tanpa sadar ku
tahan. Bisa ku rasakan kedua tanganku yang tadinya terkepal kaku, kini mulai mengendur.
"Pengendara mobil yang menyerempetnya?"
tanya Zaki dari belakangku.
"Kabur A," jawab Asti dengan suara
seraknya.
"Mereka akan baik-baik saja kan Mah?"
"Iya A. Kita hanya perlu merawatnya dengan
benar. Tak ada luka permanen," jawab Asti. Aku hanya menoleh ke arah
Mamah. Beliau mengangguk, membenarkan jawaban Asti.
"Mereka baik-baik saja............... baik-baik
saja," gumamku berulang kali.
"Maaf kalo Aa kaget. Asti langsung menelpon Aa
setelah kami mendapatkan kabar kecelakaan itu. Mamah dan Asti masih belum tahu
keadaan mereka. Asti dan Mamah panik. Aa bisa maklum kan?"
Aku hanya mengangguk dengan gerakan patah-patah. Aku
mencoba menelan ludah yang terasa sedikit menyakitkan di tenggorokanku,
"Y-ya Mah. Ten-tentu saja........" jawabku. Masih terlalu lega untuk
berkata yang lainnya.
"Aa duduk dulu," ujar Mamah lembut dan
membimbingku. Aku menurut saja tanpa melawan. Masih merasa bingung untuk
bereaksi bagaimana. Suara-suara di sekitarku sedikit terdengar kabur dan
tiba-tiba saja aku merasa perlu untuk memejamkan mata. Akupun melakukannya.
Memblokir suara-suara di sekitarku. Ucapan Mamah, Asti ataupun Mamah terdengar
seperti gumaman tak jelas disekitarku.
"Aa teu sawios-wios?" tanya Mamah padaku.
Masih dengan suaranya yang lembut, menenangkan. (Aa nggak apa-apa?)
Aku membuka mataku dan cepat-cepat mengangguk. Tak
ingin membuat beliau lebih khawatir lagi, "Manawi aya Zaki Mah?"
tanyaku saat tak melihat Zaki yang tadinya berdiri dengan Asti. (Zaki mana
Mah?)
"Tadi Zaki nyungkeun widi bade kaluar sakedap,"
jawab Mamah. Beliau menatapku dengan khawatir, "Aa rewas nya?"
(Tadi dia pamit pergi keluar sebentar. Aa kaget ya?)
"Sakedik Mah," jawabku, berusaha
tersenyum. (Sedikit Mah)
"Punten nya, bilih ngarewaskeun Aa. Ieu
sadayana rewas teu puguh raraosan."
"Teu sawios-wios Mah" jawabku, "Sudah
sepantasnya kalau......" kalimatku terpotong saat dari sudut mataku ku
lihat tubuh Abah bergerak perlahan. Aku segera bangkit mendekat. Mata beliau
yang mulanya tampak kosong, akhirnya perlahan-lahan mulai fokus dan melihatku.
"Egha? Kapan datang?" tanya Abah dengan
suara yang terdengar sedikit serak. Beliau hendak bergerak bangkit, namun urung
dan meringis kesakitan, lupa akan gips di tangannya.
"Jangan banyak gerak dulu Bah," kataku.
Mamah sendiri segera sigap menuangkan segelass air dan meminumkannya pada Abah.
Aku membantu beliau untuk sedikit mengangkat bagian atas tubuhnya, untuk
memudahkan beliau meneguk airnya,
"Egha barusan kok datangnya."
"Aa..........."
Aku menoleh saat ku dengar panggilan pelan Agus. Dia
yang ikutan terbangun menatapku dengan mata yang sedikit mengantuk. Aku segera
mendekat dan duduk di sebelahnya, "Gimana De?" sapaku mencoba
tersenyum.
"Sakit semua A," katanya singkat dan
meringis, "Badan Dede gak mulus lagi dah," ujarnya sedikit
menggerutu.
"Euleuh-euluh si Dede. Kunaon kitu mun teu
mulus lagi? Lamun lalaki teh sudah biasa kalau ada sedikit bekas luka,"
goda Asti yang kemudian mendekat. Yang sedikit mengejutkanku adalah benda yang
dipegangnya itu. Asti memegang sebuah ipad yang sekarang digunakannya untuk
mengambil gambar Agus.
"Asti? Dapat dari mana itu?" tanyaku tanpa
menutupi keherananku.
Asti seperti baru tersadar akan sesuatu. Dia terpaku
di tempatnya dengan ekspresi wajah bersalah. Dan yang makin membuatku heran
adalah saat Mamah, Abah dan Agus juga ikut terdiam. Mereka hanya saling
berpandangan tanpa memberiku penjelasan. Aku sudah hendak mengatakan sesuatu
saat Zaki kembali muncul ditemani oleh seorang dokter dan empat orang perawat
yang membawa kereta dorong.
"A-ada apa Dok?' tanya Mamah gugup dan segera
bangkit.
"Nggak ada apa-apa Mah. Dokter cuma mau
memindahkan Abah dan Agus," kata Zaki menenangkan Mamah yang mulai
terlihat panik.
"Dipindahkan? Kemana Kasep?" tanya Mamah
bingung.
"Ke ruang sebelah Mah. Untuk perawatan. Tenang
saja Mah," jawab Zaki dan mempersilahkan empat orang perawat itu. Kami
semua hanya mampu mengikuti saja tanpa bisa mengatakan apapun. Aku sendiri jadi
mengherti jawaban yang ku tanyakan pada Asti tadi. Seharusnya aku tahu. Mamah
ataupun Abah tak akan bisa ataupun mau membelikan gadget canggih itu pada Asti.
Dan hanya ada satu kemungkinan, darimana Asti mendapatkannya.
Tapi...........kapan Zaki memberikannya?
Ternyata Abah dan Agus dipindahkan ke kamar khusus.
Sebuah kamar bersih yang ber-AC dan cukup luas. Ada 3 tempat tidur disana. Juga
ada seperangkat kursi yang sepertinya baru disediakan oleh pihak Rumah Sakit.
Ada juga tv yang bisa mereka gunakan. Abah dan Agus segera dibantu naik ke
tempat tidur yang jelas jauh lebih empuk daripada ranjang yang sebelumnya mereka
pakai.
"Kasep..." Mamah sudah hendak mengatakan
sesuatu begitu ke-4 perawat dan dokter itu pergi. Tapi Zaki hanya menggelengkan
kepala, "Tapi kasep...."
"Disini Abah dan Agus akan merasa lebih santai
dan nyaman. Jangan pikirkan hal lainnya Mah. Ok? Mamah dan Asti bisa
beristirahat di tempat tidur yang kosong itu. Mamah kelihatannya lelah,"
ujar Zaki.
Mamah tak mampu mengatakan apapun. Beliau hanya
mengangguk dengan senyum haru menahan tangis. Abah ku lihat hanya mengangguk
dengan tatapan penuh terimakasih padanya. Sementara Agus yang sudah ditemani
Asti, hanya saling berpandangan dengan senyum tersungging. Aku berdiri menatap
mereka dalam diam. Terlalu kebas dan kaget untuk merasakan ataupun berkata
apapun.
"Egha...?" sapa Abah. Membuatku tersadar
dari kediamanku, "Egha nggak apa-apa tiba-tiba pulang? Bagaimana kuliah
dan pekerjaannya di tempat Bu Indri?" tanya beliau. Entah memang ingin
tahu, atau hanya ingin mengalihkan perhatian dari suassana yang berubah haru.
"E-egha belum pamit Bah," jawabku sembari
berdehem kecil, mengumpulkan suara. Mencoba mengenyahkan rasa sesak di dadaku
yang hampir-hampir tak tertahan, "Kuliah.........hampir ujian Bah. Tadi
Egha juga sedang ngegarap kerjaan kantor pas si eneng telpon. Langsung saja
kesini dan..."
"Gha!!" tegur Zaki sedikit keras,
menghentikan ocehan tak jelasku, "Do you have to say about that?"
"So-sorry.
I j-just..........." aku bahkan tak tahu harus mengatakan apa lagi.
Abah hanya tersenyum dan mengangkat tangannya untuk menenangkanku dan Zaki yang
sepertinya terlihat siap untuk marah lagi.
"Abah sudah nggak apa-apa. Dokter sudah
memastikan kalau Abah hanya memerlukan istirahat dan memulihkan diri. Tak ada
luka dalam," ujar Abah dengan nada pengertian, "Egha sudah nggak
perlu khawatir."
"Iya A. Dede juga gak apa-apa kok," sahut
Agus yang mengikuti pembicaraan kami dari tempat tidurnya. Leherku kembali
tercekat dengan tiindakan mereka. Pada saat seperti ini, akulah pihak yang
harusnya memberikan dukungan moril dan semangat. Tapi nyatanya, justru mereka yang
tengah terluka yang malah memberiku dukungan.
"See that?!" tegur Zaki lagi.
Mamah yang berada didekatnya hanya tersenyum dan
mengelus pelan bahu Zaki, "Aa dan kasep mungkin masih lelah. Bagaimana
kalau kalian berdua pulang dan istirahat di rumah? Besok pagi kalian bisa
kembali ke sini," ujar Mamah dan mengulurkan kunci rumah padaku.
Aku menerimanya, tapi hanya diam dan memandang Mamah
setengah tak sadar, "Tapi Aa kan baru sampai dan..........."
Mamah hanya kembali tersenyum, "Aa istirahat
dulu ya, bareng Zaki. Besok pagi kalau sudah segar, Aa kembali ke sini,"
kata Mamah dan setengah mendorong Zaki yang di dekatnya.
"Iya A. Gak usah pikirin kita. Kan udah di
kamar vip gini. Enak tidurnya. Ga rame," sambung Asti.
Zaki sepertinya hendak ikutan protes, tapi kalah oleh
dorongan Mamah yang dibantu oleh Abah dan yang lain. Kami berdua di usir dengan
sukses. Zaki akhirnya menurut meski agak menggerutu.
"Seharusnya tadi kau tak mengatakannya,"
gerutu Zaki saat kami mulai melaju, keluar dari Rumah Sakit. Aku tak langsung
menjawab. Lebih memilih untuk diam dan menikmati kepahitanku. Pahit yang
kurasakan saat tahu kalau aku telah gagal sebagai seorang anak tertua. Peranku
seakan-akan dibalik 180 derajat tadi. Abah, Mamah, bahkan Asti dan Agus yang
justru jadi pihak yang menenangkan. Mungkin Zaki juga menganggapku payah. Apa
yang bisa kukatakan? Sepertinya
memang begitulah aku.
"Itu jalan masuknya kan?" tanya Zaki entah
berapa lama kemudian. Aku tak tahu berapa menit berlalu. Tapi tahu-tahu kami
sudah berada di. depan jalan masuk ke kampungku. Zaki bisa mengenalinya meski
kami tiba di malam hari seperti ini.
"Ya......." jawabku pelan. Zaki hanya
mendengus pelan dan kemudian membelokkan laju mobil, "Abah sudah berkorban
banyak agar aku bisa kuliah," kataku kemudian.
"Hah?" sahut Zaki yang tak mengerti.
"Bagi Abah dan Mamah, kuliahku adalah
segalanya. Mungkin kau tak akan bisa mengerti. Tapi...........bagi kami,
keluarga kelas bawah, kuliah adalah kunci untuk bisa mendapatkan hidup yang
lebih baik. Agar aku bisa kuliah, Abah dan Mamah sudah banyak berkorban.
Tenaga, harta dan kadang air mata. Kami sekeluarga sudah paham dan tahu, kalau
kuliah dan sekolah adalah hal yang terpenting. Kalau memang bukan hal yang
mendesak dan sangat penting, Abah dan Mamah tak akan membiarkanku bolos kuliah.
Tidak sekalipun. Aku juga tak akan mau melakukannya. Bagi mereka, juga aku,
kuliahku adalah hal terpenting saat ini. Karena itu, baik Abah ataupun Mamah
berkata seperti tadi. Karena itu juga aku menjawab dengan jujur dan apa adanya.
Bukan maksudku untuk menjadi anak yang tak berperasaan ataupun kejam. Dengan
lebih memperdulikan urusan kuliah daripada kesehatan anggota keluargaku yang
lain."
Tak ada sahutan dari Zaki. Kami melaju pelan,
melewati jalanan yang berbatu dalam hening. Sesekali mobil berguncang saat
melindas batu yang ukurannya cukup besar.
"Tolong jangan anggap kami keterlaluan,
ok?" pintaku pelan, lebih dengan nada kalah daripada meminta, "Tapi
kami lebih memprioritaskan hal yang berguna untuk masa depan kami semua. Sudah
terlalu banyak mereka berkorban. Meski ..............aku tak menyukainya.
Percayalah, aku juga membenci diriku sendiri saat ini." Aku mengucapkan kalimat terakhir itu dengan
nada pahit. Aku tak menunggu reaksinya. Aku langsung saja keluar dari mobil
karena kami sudah berhenti didepan rumahku yang tampak lengang. Zaki mengikuti
dibelakangku.
"Sorry..........."
Aku mendengar kata yang dia ucapkan dengan lirih
itu. Tak ada emosi yang tersisa bagiku. Aku hanya berpaling dan menatapnya yang
berdiri dibelakangku dalam diam. Aku hanya mengangguk sekilas, lalu membuka
pintu, "Kau bisa menggunakan kamar yang sama. Aku akan lihat di belakang
kalau ada makanan yang bisa kita santap. Kau lapar?" tanyaku.
Zaki menggeleng.
"Baiklah. Kita istirahat saja. Kau tunggu dulu.
Aku akan sediakan handuk dan selimut untukmu," kataku dan melangkah ke
dalam, "Tunggu saja di kamar," sambungku sembari melangkah ke dalam.
Aku menemukan handuk dan selimut cadangan di lemari
tengah, tempat biasa Mamah menyimpannya. Aku mengambilnya msing-masing satu dan
menuju kamar tamu. Zaki ku temukan sedang duduk di pembaringan. Aku meletakkan
selimut dan handuk di kaki tempat tidur.
"Kau mau mandi dulu sebelum tidur?"
tawarku.
"Yeah, sure. Tubuhku sedikit lengket. Kau juga
mau mandi?" tanya dia balik.
"Setelahmu saja," jawabku.
"Kau duluan saja," tukas Zaki, "Aku
mau tiduran sebentar. Call me when you're done."
"Fine," jawabku. Tak ada keinginan untuk
beradu argumen lagi dengannya. Lagipula aku ingin segera membasuh hilang bau
rumah sakit yang seakan-akan menempel di sekujur tubuhku. Baunya hampir-hampir
membuatku muntah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar