Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 4- One step closer

REGHA

Hari ini kerjaku jadi berantakan! Beberapa kali aku salah meletakkan pesanan pelanggan rumah makan. Koordinasi antara pikiran, pendengaran dan gerak kakiku bener2 gak nyambung. Ada orang pesen air putih aku kasih aer kobokan. Orang pesen es campur, aku kasih kopi pahit. Paling parah ada yg pesen ayam lalapan malah aku kasih tumis kangkung! Semua itu diperparah oleh kehadiran Mas Rizky! Hari ini Bu Indri tidak masuk krn ada keperluan. Jadi Mas Rizky yg ngegantiin beliau jaga kasir. Kehadiran Mas Rizky selalu membuatku gugup.

Putra tunggal Bu Indri itu orang yg pendiam, jarang sekali berbicara. Sosoknya yang tinggi besar membuatnya tampak mengintimidasi. Wajahnya yg selalu datar dan acuh justru membuatnya semakin tampak misterius. Meski sebetulnya dia orang yg menarik. Padahal aku saja yg cowok bisa kasih nilai tinggi pada fisiknya.

Mas Rizky berkulit putih bersih, dg wajah mulus yg sepertinya tak pernah sekalipun berjerawat. Raut mukanya tenang dan sulit ditebak, dg bibir yg herannya, selalu tampak kemerahan basah. Brewok dan kumisnya selalu tercukur dan menyisakan warna kebiruan yg membuatnya terlihat dewasa. Tubuhnya tinggi besar dan tegap. Kelihatan banget rajin nge gym.

Di rumah Bu Indri memang ada bbrp alat olahraga yg sepertinya dia manfaatkan dg maksimal. Ditunjang dg tinggi tubuhnya yg 180 lebih, sosoknya jadi menakjubkan. Gaya berpakaiannya yg rapi cukup bikin aku minder. Baju2 yg dia pakai selalu tampak pas dan apik, seakan-akan memang dibuat khusus untuknya.

Beda banget sama aku. Mati2an buat tampil gaul, jatohnya malah alay gak jelas. Sikapnya yg berwibawa membuat aku kagum dan sering meniru tingkahnya. Kemampuan otaknya pun bikin iri berat. Buktinya dia bisa masuk fakultas kedokteran UGM. Cuman itu tadi! Orangnya irit banget ngomongnya. Bikin segan kalo kita mau berakrab ria. Kita ngomong panjang kaya kereta api express, dia jawabnya sependek bemo. Ngomong seperlunya aja. Aku sendiri lebih memilih menjauh darinya. Lebih senang memperhatikannya dari jauh dan. . .

PRAANGG!!!

Aku terpaku diam ditempatku berdiri. Baki dg dua piring nasi goreng yg kubawa tiba2 saja jatuh dengan suara keras. Isinya berserakan dikakiku. Anehnya, aku hanya diam dengan begonya dan memandang kekacauan yg kubuat dg tatapan kosong tak sadar.

"Regha!" panggilan sedikit keras dari belakangku membuatku terjingkat. Tatapan Mas Rizky yg tajam membuatku seolah-olah ditampar dg tiba2.

"M-MAAF Mas!!" pekikku nyaring dengan suara yg terdengar aneh. Aku celingukan bingung. Tahu kalau aku harus membersihkan makanan dibawahku. Tapi aku tak tahu harus bagaimana memulai atau dengan apa aku melakukannya. Gumaman bbrp pelanggan yg ada disekitarku hampir2 tak kudengar.

"Gha?!" panggil Mas Rizky lagi, kali ini dg nada menegur yg membuatku tanpa sadar menelan ludah! Aku mengangkat wajahku untuk bertemu dg tatapannya.

"Ikut aku! Andy, bisa tolong bereskan? Tita, tolong jaga kasir sebentar!" pinta Mas Rizky pada Andy yg jg hanya mampu diam dibelakangnya. Andy mengangguk cepat dan segera meraih sapu dan peralatan bebersih lainnya. Mas Rizky memberiku isyarat untuk mengikutinya. Mati gue! pikirku melas. Aku tak punya pilihan lain selain mengikutinya kebelakang. Mas Rizky terus melangkah hingga keluar dari pintu belakang rumah makan. Aku jg keluar dengan kepala tertunduk lemas. Setelah aku sampai diluar, Mas Rizky menutup pintu dibelakangku.

"Katakan ada masalah apa?" tanya Mas Rizky langsung.

"Sa-saya nggak sengaja M-mas. Nggak tahu ke-kenapa bisa jatuh dan. . . ."

"Aku sudah perhatikan dari tadi kamu sama sekali nggak konsen kerjanya. Beberapa kali salah bawa pesanan pelanggan. Sampai makanan tadi kamu jatuhkan. Krn itu pasti ada sesuatu yg kamu pikirkan. Katakan ada masalah apa sebenarnya!

"pintanya tegas.Aku semakin tak bisa mengangkat muka. Lagi2 aku membuat masalah dg keteledoranku. Kalau sampai aku dipecat dari sini, akan tambah gawat kondisiku. Bagaimana aku bisa mengumpulkan uang 41 juta yg diminta Zaki?! Bagaimana aku bisa membayar kuliah dan biaya hidupku disini?!

"Gha?!" tegur Mas Rizky. Aku sedikit terjingkat dan dg takut2 mengangkat muka untuk melihatnya. Dia berdiri dg tangan terlipat didadanya. Ekspresi mukanya datar tp hal itu semakin membuatku merasa kalau aku sedang berada dalam masalah. Cepat aku kembali menunduk.

"Ma-maaf Mas!" pintaku lirih dan meremas-remas tanganku sendiri dg resah. "Sa-saya akan ganti piring yg pecah dan makanannya. Saya janji gak akan. . . "

"Itu bukan jawaban dari pertanyaanku tadi!" potong Mas Rizky tajam. Aku hanya berjegit kecil karenanya. Tanganku semakin kuat saling meremas celemek seragamku untuk mengatasi kegugupanku. Sayangnya hal itu sama sekali tak membantu. Aku masih bisa merasakan tatapan Mas Rizky yg ada didepanku. Kediamannya jelas menuntut jawabanku yg sebenarnya. Akhirnya dg suara yg terbata-bata aku menceritakan apa yg sedang kuhadapi. Yg membuatku semakin merasa kecil adalah aku tak mampu menahan tangisku. Aku tak bisa menahan airmataku yg mengalir tanpa ampun saat aku bercerita.

Aku benar2 tak punya pilihan sekarang selain memintanya untuk tidak memecatku. Aku tak sanggup memikirkan kalau aku kehilangan pekerjaanku disini dan harus mencari uang sebesar 41 juta. Belum lagi masalah keperluan hidupku yg harus kupenuhi. Dg bekerja disini aku banyak mendapat keuntungan. Selain makan gratis, juga pemasukan tetap.

Kalau aku dipecat, aku akan semakin terbelit masalah besar.Pemikiran bahwa mungkin akan terpaksa berhenti kuliah krn semua hal yg terjadi membuatku menangis seperti anak kecil. Aku benar2 merasa ngeri kalau hal itu terjadi. Namun hal yg terjadi kemudian melebihi kengerianku. Mas Rizky mendekat dan tiba2 saja langsung memelukku. Dan beberapa detik kemudian kurasakan usapan lembut tangannya rambutku. Dengan perasaan ngeri aku sadari bahwa aku menangis dengan lebih hebat, dan kedua tanganku tanpa kutahan, telah melingkar dibelakang tubuh Mas Rizky!Tapi kedamaian yg menenangkan langsung membungkusku setelah itu!

RIZKY

Aku diam duduk diruang belakang rumah makan sendiri, masih sedikit terguncang dengan kejadian beberapa menit tadi. Aku tahu dengan pasti kalau aku menyukai Regha. Aku sudah memperhatikannya beberapa lama. Bahkan dia mendominasi pikiranku selama ini. Tapi memeluknya, mendekap tubuhnya dalam pelukanku merupakan sebuah cerita lain.

Selama ini aku bisa menguasai diriku dg baik. Aku dapat menahan keinginan besarku untuk bahkan sekedar berbicara dgnya. Tapi tadi, melihatnya yg tertunduk didepanku dg tubuh gemetar, membuat kendali tubuhku lepas. Saat tangis pelannya pecah, saat itu pula aku sadar kalau aku mencintainnya. Nyaris masih bisa kurasakan tubuhnya yg terguncan karena tangis dalam pelukanku. Masih terasa di tanganku gemerisik rambutnya yg tadi kubelai untuk menenangkannya. Bagian depan kemejaku pun masih basah oleh air matanya.

Aku menghela nafas berat.Aku tahu kalau aku tak akan bisa lagi melangkah mundur. Aku tak akan lagi menahan diri padanya. Aku akan menjadi orang yg memilikinya, karena dia telah memilikiku. Dan saat ini, dia membutuhkan bantuanku. Dan aku harus bergegas. Aku masih harus menjemput Ibu.

Ibu sudah menungguku. Wajah beliau tampak sumringah meihatku. Reaksi yg sedikit mengherankan, tapi aku segera paham begitu melihat seorang cewek yg keluar dari ruagan dalam rumah Tante Rina.

"Rizky!" sambut Tante Rina yg menyusul keluar dibelakang cewek yg kini tampak memperhatikanku. Aku tersenyum sopan pada Tante Rina.

"Siang Tante. Rizky mau jemput Ibu," kataku.

"Kapan pulang dari Yogyakarta Ky?" tanya Tante dan mendekat. aku segera menyalaminya.

"Baru beberapa hari Tan. Ada yg harus diurus," jelasku.

"Udah wisuda ya?"

"Sudah Tan. Tapi masih harus koas dulu," jelasku lagi, masih dengan senyumku.

"Rizky, kenalin ini lho Meisya, keponakan Tante Rina yg datang dari Jakarta," kata Tante Rina. Aku tersenyum pada cewek itu dan mengulurkan tangan sembari menyebut nama. Dia membalasnya, dan menggenggam tanganku lebih lama dari seharusny.

"Meisya. Rizky Dokter Muda ya?" tanyanya ramah. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk.

"Meisya ini hampir lulus lho. Calon pengacara handal dia," jelas Ibu tanpa disuruh. Siapa peduli? pikirku jengkel. Apa-apan coba Ibu?! Ngapain jg promosiin anak orang.

"Bu, kita harus pulang. Ada sesuatu yg harus Rizky urus," kataku singkat tanpa memperdulikan iklan gratisnya tadi. Sengaja aku membuat nada suaraku terdengar mendesak. Sepertinya berhasil karena Ibu segera bangkit.

"Ada apa Ky?" tanya beliau cepat.

"Nanti saja di mobil. Tante Rina, Rizky permisi dulu. Meisya!" pamitku.

"Ibu, Rizky tunggu dimobil," kataku pada Ibu lalu segera menyalami Tante Rina dan Meisya yg tampak sedikit kecewa. Beberapa menit kemudian Ibu segera keluar menyusulku. Ada sedikit kecemasan yg membayang diwajahnya.

"Ada apa Ky?" tanya beliau langsung begitu masuk kemobil.

"Bu, Rizky mau ambil uang Rizky di Bank buat bantu temen," kataku singkat dan menghidupkan mobil.

"Teman? Siapa? Ibu kenal?" tanya Ibu.Aku diam berpikir. Regha sudah memintaku untuk merahasiakannya, meski mungkin Ibu bisa membantunya. Jadi. . . . , apa lebih baik beliau kuberitahu saja?

"Ky?" tegur Ibu pelan. Aku menoleh pada beliau. Nama Regha sudah ada diujung lidahku. Tapi secara instingtif aku hanya menggeleng dan kembali berpaling pada jalan yg kami lalui.

"Perempuan?" tanya Ibu lagi, sedikit mengharap. Aku jadi sedikit meggerutu dalam hati karenanya. Kembali aku menggeleng.

"Memang berapa uangmu si Bank?"

"Sekitar 12 juta Bu," jelasku."Semuanya mau kamu pakai?" tanya Ibu lagi."Mungkin hanya 10 juta yg akan Rizky ambil," kataku.

Tidak mungkin juga aku ambil semua karena mungkin aku membutuhkan uang nantinya. Ibu diam sejenak. Beliau kemudian menarik nafas panjang.

"Kalau begitu, terserah Rizky. Toh uang itu hasil usaha Rizky selama ini kan? Tapi besok Ibu akan transfer 10 juta buat jaga-jaga," putus beliau.

"Bu. . !"

"Kamu mungkin membutuhkan uang kan? Kamu boleh bantu temenmu, tapi Ibu akan transfer uang buat menggantinya. Ibu percaya kamu punya alasan kuat untuk melakukannya," kata Ibu pelan. Aku tersenyum penuh terimakasih padanya, meski dalam hati aku merasa sedikit miris. Beliau terlalu mempercayaiku, meski aku tahu kalau aku tidak sebaik perkiraannya. Selesai mengantar Ibu aku segera ke Bank untuk mengambil uang. Setelahnya langsung ke menuju kost Regha. Ada sebuah mobil merk Jepang yg terparkir disana. Aku hanya menatapnya sedikit heran tapi segera menuju kamar Regha.

Tempat kost disini lebih mirip kios toko. Bangunannya berbentuk letter U yg disekat-sekat menjadi kamar kost. Ada dua tingkat dan tempat itu mempunyai sebuah tempat nonton bareng yang cukup besar di tengahnya. Aku tersenyum pada seorang pemuda yg lagi ngobrol santai dengan bbrp orang temannya. Aku pernah bertemu dgnya pada waktu mengantar Ibu dulu.

"Mencari Regha Mas?" sapanya.

"Iya," sahutku tersenyum.

"Ada kok dikamarnya," sahutnya. Aku tersenyum lagi dan melambai, segera menuju kamar Regha yg berada dipojokan kanan bangunan. Dan aku mendengar tawa seseorang dari kamar itu. Aku menghentikan langkahku didekat pintu yg terbuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar