ZAKI
Hari terakhir, batinku dan duduk diam memandang matahari pagi yang baru muncul diufuk timur. Nanti kami akan berangkat kembali ke Bandung. Kembalike kehidupan lama kami. Dan aku akan kembali pada rutinitas lamaku yang membosankan. Bergelut dengan urusan lama yg sejujurnya mulai menjemukan bagiku. Sebenarnya aku masih ingin berada disini. Bersembunyi dari kehidupan lamaku. Menenggelamkan diri kedalam ketenangan alam desa di Majalengka ini yg mulai melenakanku. Aku menikmati suasana pagi yg kian akrab disini. Kabut pagi yg masih terlihat bergerak pelan, nyaris gaib. Suara berbagai macam serangga ,burung dan entah apa lagi mengiringi segarnya udara yang kuhirup. Segar dan bersih, bebas dari berbagai macam polusi yg biasanya kuhirup. It's really a good place to hide. And I like it here.
"Sudah bangun dari tadi kasep?" tanya Mamah yg tiba-tiba saja ada disebelahku. Dengan senyum yang mulai terasa akrab dimataku, beliau duduk dikursi sebelah.
"Nggak Mah! Barusan saja kok," jawabku.
"Terus, kenapa malah melamun diberanda?" tanya beliau lagi."Kangen dengan yang ada dirumah?"
Aku menggeleng sembari tertawa kecil. "Justru enggak Mah. Malah belom pengen balik ke Bandung. Masih kerasan disini," kataku nyengir.
"Zaki kan bisa mampir lagi kesini. Kapan saja Zaki kangen, Zaki bisa langsung datang," ujar beliau membuatku kembali tersenyum.
"Terimakasih Mah! I'll be back here someday," janjiku.
"Aduh kasep! Ulah nyarios turis gitu jeung Mamah. Teu ngarti," seloroh beliau terkekeh.
"Nah itu juga si Mamah pake bahasa Sunda. Saya juga gak ngerti tuh!" sahutku dg tawa kecil. Kami baru bersama dalam hitungan hari. Tapi aku lebih banyak bercanda, bahkan lebih akrab, dengan beliau, dibandingkan dengan Ibu kandungku. Ironis sekali, pikirku kecut. Apa mungkin keadaan kami akan berubah bila saja Mommy hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa seperti Mamah?
"Mah, kopi Abah sudah disiapkan?" tanya Regha yg muncul dari pintu.
"Sudah Aa! Aa ibak heula nya? Mamah teh hayang ngawangkong heula jeung si kasep'" kata Mamah membuat Regha menggerutu pelan.
"Gha!!" panggilku padanya. "Disini ada lapangan ga?" tanyaku.
"Ada, tapi agak jauh. Kenapa?" tanya Regha balik dengan nada heran.
"Ntar anterin. I need to do something," pintaku.
"Gimana kalo siangan aja sama Agus? Balik dari sekolah dia pasti bisa. . . "
"Aku mau kamu yang anterin!" potongku membuatnya terdiam. Sejak kejadian di sungai waktu itu, Regha memang lebih sering menghindariku, tapi aku berusaha untuk terus bersikap biasa. Dan saat ingat kalau hari ini adalah hari terakhir kami disana, aku punya ide mendadak. Semoga saja ini bisa berhasil. Akhirnya, dengan sedikit bergumam,dia setuju untuk mengantarkanku. Tanpa berbicara lagi, dia menghilang kedalam.
"Memang mau apa ke lapangan Ki?" tanya Mamah yang ikutan ingin tahu.
"Ada aja deh Mah!" jawabku nyengir membuat beliau kembali tertawa kecil.
"Ah kamu ini!" sergah Mamah dan menepuk pelan lenganku.
"Sok main rahasia sama Mamah. Memang mau diapain si Aa sama Zaki?"
"Heh?! Memang si Regha cerita apa aja sama Mamah?" tanyaku sedikit heran. Meski ada sedikit kekhawatiran, tapi kurasa tak mingkisn si Regha ngomong soal insiden antara kami secara keseluruhan kan?
"Nggak ada! Tapi kalau ngeliat sikap si Aa ke Zaki sih, sepertinya ada sesuatu," jelas Mamah seraya tersenyum.
Bukan senyum menyindir atau menegur, namun lebih terlihat geli. "Si Aa teh orangnya agak manja Ki!" jelas Mamah melanjutkan.
"Agak?" komenku dengan sebelah alis terangkat.
Kembali Mamah tertawa kecil. "Iya agak!. Sekarang. Kalo dulu mah ketulungan. Apalagi kalo si Aa teh lagi sakit. Kalo yg biasa gini Zaki sudah nggak tahan, apalagi pas Aa sakit."
"Emang kenapa kalo dia sakit Mah?!"
"Kalo sakit, si Aa pasti pulang kesini. Dia gak bisa tidur kalo gak ditemenin sampe terlelap. Kalo kita pergi sebelum dia terlelap, pasti deh ngerengek siga budak leutik. Anak kecil. Maunya di elus-elus dan diusap-usap. Meni kolokan pisan lah kalo sakit si Aa teh!"
Aku memandang Mamah dengan berkernyit setengah jijik. Mamah kembali tak bisa menahan tawanya.
"Ini bener atuh Kasep. Si Aa kalo sakit memang gitu. Manjanya jadi ketulungan. Tapi meski begitu, sebenernya Aa bukan tipe orang yg suka nyusahin orang lain. Meski itu orang tuanya. Aa teh gak pernah minta uang lebih buat kuliah di Bandung. Sudah sejak mulai masuk kuliah dulu. Mamah teh sadar pisan, kalau orang kuliah tuh butuh banyak biaya. Tapi si Aa gak pernah minta sama Abah. Agus yg kasih tau Mamah, kalo si Aa di Bandung, selain kuliah, juga kerja. Jadi meski kalo sakit si Aa manjanya minta ampun, tapi Aa tau dan mahfum dg keadaan orang tuanya. Gak salah kan kalo Mamah bilang si Aa cuma agak manja?"
Aku tak langsung bereaksi, hanya membiarkan informasi itu mengendap dalam benakku. Yeah, kalo soal itu, Regha memang orang yg cukup mengesankan. Aku jadi sedikit memahami sisi lain darinya.
"Mamah titip si Aa ya Kasep?! Kalo bisa, tolong dibantu si Aa. Mamah teh pengen si Aa bisa kelihatan dewasa kayak Zaki!"
Pujian ringan itu, entah kenapa membuatku tersipu. "Si Mamah pinter juga membujuk ya?" selorohku.
"Eeehhh. . . ini teh beneran Kasep! Mamah tuh pengen si Aa bisa jd seperti kamu," ujar beliau dan meletakkan satu tangannya diatas tanganku. "Tolong jaga dia ya Ki?" pinta beliau pelan. Tanpa menunggu jawabanku, Mamah bangkit dan pergi kedalam setelah terlebih dahulu meremas lembut bahuku.
Kami sampai di lapangan itu setelah 10 menit. Seperti yg Regha bilang, tanah lapang yg biasanya dipake oleh penduduk kampung untuk kegiatan massal itu, hanyalah sebidang tanah kosong berumput yg dibatasi oleh sawah disekelilingnya. Ada juga beberapa pohon besar tersebar di sisi-sisinya. Entah sengaja ditanam sebagai tanda batas, atau hanya sekedar pohon yang tumbuh liar. Akses jalan menuju lapangan itu jg masih berbentuk tanah yg untungnya keras dan solid. Meski menurut Regha, bila musim hujan tiba, kondisinya akan berubah jd berlumpur.
Mobil kulajukan masuk kedalam tanah kosong itu. "Jadi disini biasanya kalian berpesta?" gumamku pelan.
"Pesta apaan?! Nggak nyambung!" gerutu Regha pelan.
"Lapangan ini biasanya dipake kalo ada kegiatan kampung. Pesta rakyat, Pasar Malem, Upacara Agustusan, Layar Tancap, atau PEMILU," jelas Regha lagi.
"Nggak pernah ada yg digigit ular?" tanyaku lagi membuat Regha kembali mendelik marah.
"Nggak usah nyela terus deh! Emang kita mau ngapain disini?" sergahnya tak sabar.
"I'm gonna teach you how to drive! Get out!" kataku cepat. Namun bukannya menurut, Regha malah terpaku kaku disebelahku.
"Nggak! Nggak mau!" katanya sesaat kemudian dan menggeleng kuat-kuat.
"What?! Don't be ridiculous ok?! Just get out!!" bentakku kasar.
"NGGAK MAU!!!!" balas Regha keras dan langsung menghambur keluar dari mobil. Aku yang sesaat bengong langsung ikut keluar dan mengejarnya yang melangkah pergi dengan cepat.
"Kamu apa-apaan sih?!!" sergahku dan meraih lengannya.Regha mencoba berontak dan menghentakkan tanganku. Tapi aku menahannya dengan kuat dan menyentakkannya sehingga dia terpaksa kembali berhadapan denganku.
"Aku nggak mau belajar menyupir ok?! Aku tak membutuhkannya!" kata Regha dan menatapku marah.
"Dan aku bilang, kau membutuhkannya! Karena suatu saat, aku mungkin memerlukan keahlianmu dalam berkendara ok?!"
"No! It's not okay! Cari saja orang lain!" semprotnya kesal dan kembali hendak pergi. Tapi aku dengan cepat kembali menahannya.
"Will you stop!!" sentakku yang mulai ikutan kesal. "Can't you just tell me, kenapa kamu nggak mau belajar? What the hell is wrong with you?!!" tanyaku yang mulai merasa kalau kami lebih mirip sepasang suami istri yg sedang bertengkar.
"Coz I broke your car once!!!" bentak Regha. "Dan sampai sekarang, aku masih harus membayarnya. Aku nggak mau kalau aku merusak mobil lain. Aku masih berhutang pada Regi, Vivi dan juga Mas Rizky. I can't afford to do it again," jelas Regha lagi dengan nada yang lebih pelan. Lebih mirip orang yang menyerah kalah, hingga untuk sesaat aku lupa kalau beberapa saat tadi, kami saling berteriak.
Ah ya, soal uang pengganti itu. Sampai sekarang, aku memang belum menjelaskan padanya, kalau sebenarnya pihak asuransi telah menutupi semuanya. Aku hanya ingin mengerjainya. Memberinya pelajaran Uang yang dia serahkan padaku masih utuh. Aku berniat mengembalikannya nanti, setelah aku selesai mengajarinya sesuatu. Siapa sangka kalau hal itu lebih mirip sebuah trauma bagi Regha.Melihat aku yang terdiam, Regha sepertinya mengira aku menyerah. Diapun berbalik.
"Gha!" cegahku. "Aku harus tetap mengajarimu berkendara. Dan aku janji," potongku cepat saat kulihat dia sudah hendak kembali protes, "aku yang akan menanggung semua resikonya! Kamu nggak perlu khawatir. Kalau memang nanti mobil ini rusak, aku janji kalau aku yg akan bertanggung jawab. You won't have to spend a dime! I swear!" kataku tegas.Regha diam melihatku.
"Do we have a deal?" tanyaku setelah kediaman yg lama.
Meski semula terlihat ragu, dia akhirnya mengangguk. Aku tersenyum senang karenanya. "Ayo!" ajakku dan meraih tangannya, menariknya kembali ke mobil. Kubuka pintu sopir dan mempersilahkannya masuk. Dia masih tampak ragu dan gugup. Tapi aku kembali tersenyum untuk meyakinkannya. Kuremas sedikit tangannya yang kupegang untuk menunjukkan supportku. Bisa kurasakan tubuhnya yang tiba-tiba menegang. Tangannya yg semula hangat tiba-tiba saja terasa dingin dalam genggamanku. Meski aku sedikit kaget dengan reaksi tubuhnya, aku tak melepaskan genggamanku.
"Ki. . ," tegurku pelan.
"Jangan nervous. Get in dan akan kutunjukkan caranya. It's easy. And I won't let anything happen to you. Trust me this time!" kataku dan mendorong bahunya pelan untuk masuk ke mobil. Lalu cepat-cepat kesisi penumpang agar dia tak terlalu panik sendiri dalam mobil. "Pasang sabuk pengaman dulu!" kataku seraya duduk dan menunjukkan caranya pada Regha.Pelajaran hari itu berjalan cukup lancar, meski aku sempat berteriak sedikit padanya. Regha bisa menghadapi tantangan hari ini dengan lumayan baik.
Beberapa kali dia memang terlihat gugup dan kurang konsentrasi. Dia juga terlihat sedikit takut padaku yang beberapa kali ngomel, lebih karena kebiasaan sebetulnya. Dimataku, kadang Regha memang lebih sering terlihat seperti anak kecil yg masih sangat perlu dibimbing. Tapi dalam latihan kali ini dia cukup baik dan hanya menemui sedikit kendala dalam memundurkan mobil dan melakukan belokan tajam. Tapi selain itu dia lumayan!
Hari sudah sore saat kami selesai. Aku sudah ingin cepat-cepat kembali kerumah Regha dan menikmati suasana sore yang biasanya ditepi sungai. Selagi aku disini, aku tak ingin melewatkan hal itu. Not once!
REGHA
Aku menatap orang sinting didepanku dengan tatapan marah. Benar-benar tak bisa dipercaya. Dia ingin aku belajar menyetir setelah apa yg terjadi dengan mobilnya waktu itu? Setelah Mas Rizky Vivi serta Regi harus merelakan uang mereka untuk mengganti kerusakan itu? Dia sinting.
"Nggak mau!!" teriakku kencang dan menghambur keluar dari mobil. Sudah cukup aku dibuat pusing dengan hutangku yang masih beberapa juta padanya. Kalau aku merusakkan mobil yang lain, aku bisa-bisa mati dililit hutang. Aku harus pergi dari sini, kembali ke rumah dimana aku bisa berkumpul dengan orang-orang yg bs membuatku berpikir waras. Keluargaku.
"Kamu apa-apaan sih?!!" bentak Zaki yang tiba-tiba telah meraih lenganku dan memaksaku menghadapnya lagi.
"Aku nggak mau belajar menyetir ok? Aku nggak membutuhkannya!" balasku kesal.
"Tapi aku blang, aku membutuhkannya! Karena suatu saat muungkin aku membutuhkan keahlianmu. dalam berkendara ok?!"
"No! It's not okay! Cari saja orang lain," balasku sengit dan segera berbalik untuk pergi. Tapi tangan Zaki kembali menahanku.
"Will you stop!!! Can't you just tell me kenapa kamu nggak mau belajar?!!" sentaknya geram.
Untuk sesaat aku tak bisa menjawabnya. Posisi tubuh kami saat itu begitu dekat, sehingga aku bisa merasakan kehangatan yang memancar dari tubuhnya. Tubuhku yang jauh lebih kecil darinya membuatku merasa sedikit terintimidasi. Aku bahkan tak mampu memandang wajahnya. Pandanganku terhenti pada bibirnya.
Big mistake!!
Detik itu juga, bayangan saat Zaki makan dengan lahapnya dengan sambal pedas melintas diotakku. Aku ingat dengan jelas bagaimana bibirnya bergerak saat itu. Ingat bagaimana lidahnya menjilat bibirnya yang tampak kemerahan dan basah. Membuatnya tampak begitu menggoda. Entah karena memang dia berdarah campuran sehingga bibirnya lebih merah dari kami yg berdarah pribumi, atau memang pada dasarnya dia memang memiliki bentuk bibir yang menggoda. Dan entah karena apa, tiba-tiba saja aliran darahku meningkatkan kecepatannya mendadak. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang, sehinggga aku bahkan bisa mendengar detakannya ditelingaku. Dan tiba-tiba saja, bau harum tubuhnya yang biasa kucium membuatku semakin merasa gugup.
"What the hell is wrong with you??!!" tanyanya dengan nada marah, membuatku tersentak. Aku segera sadar dan menarik lepas tanganku dari genggamannya. Dalam sekejap aku kembali geram. Kenapa dia selalu menimbulkan efek ini padaku? Kehadirannya selalu membuatku tak tenang. Apalagi tingkah tengilnya. Dari pertama, komunikasi kami selalu berjalan dengan buruk. Dia selalu membuatku merasa aneh. Apalagi dengan sikap bossy-nya yang selalu menuntut kesempurnaan. Tak pernah merasa puas kalau keinginannya belum terlaksana
"Coz I broke your car once!!" teriakku kesal. Lebih baik mengatakan apa yg sebenarnyakarena orang sinting ini tak akan membiarkanku pergi begitu saja tanpa penjelasan. "Sampai sekarang aku masih membayar kerugian itu padamu. Aku beruntung karena ada yg membantuku. Aku masih berhutang pada Regi, Vivi dan juga Mas Rizky. I can't afford to do it again," jelasku dengan nada kalah karena memang itu kenyataannya. Aku masih belum bisa mengembalikan apa yg telah diberikan oleh mereka bertiga. Apapun yang dikatakan oleh Mas Rizky, Regi ataupun Vivi, suatu saat aku akan mengembalikan uang mereka. Entah dengan cara apa.Aku tak tahu apa yang dipikirkan oleh Zaki, tapi dia tampak tertegun. Sepertinya dia tak menyangka kalau aku akan mengatakan argumenku tadi. Untuk sesaat dia tak tahu harus berkata apa. Karena merasa tak perlu lagi menjelaskan segala sesuatunya, aku kembali berbalik untuk berjalan pulang.
"Gha!" panggilnya dan kembali menahan tanganku. "Aku harus tetap mengajarimu berkendara. Dan aku janji. Aku yang akan menanggung semuaresikonya! Kamu nggak perlu khawatir. Kalau memang nanti mobil ini rusak, akujanji kalau aku yg akan bertanggung jawab. You won't have to spend a dime! I swear!" katanya tegas.Aku diam melihatnya. Ya Tuhan ini benar-benar ide konyol. Tapi membayangkan akan bersama dengannya lagi sudah sedikit membuatku merinding. Aku tak tahuapa yang akan terjadi kalau dia tak segera melepaskanku.
"Do we have a deal?" tanyanya setelah kediaman yg lama.Dan akhirnya, aku hanya bisa mengangguk pasrah.
Kalau aku pikir Zaki akan bersikap lebih baik saat mengajariku, aku salah! Seperti biasanya, cowok sarap itu bersikap tegas dan cerewet seperti biasanya. Dia tak segan-segan berteriak ditelingaku.
"Hit the gas!!! SLOWLY!!!!" teriaknya lagi, membuatku semakin gugup. Siapa cobayg bisa konsen belajar, kalo disebelahnya ada suara-suara yg lebih mirip kucingkawin?
"Could you please stop shouting!" gerundengku dengan menggertakkan gerahamku sembari menginjak gas perlahan.
"I would! If you listen to me!" jawabnya enteng.
"Tentu saja aku mendengarmu! Kau berteriak persis ditelingaku! In case you don't know, I have two healthy ears!" sahutku sinis.
"Careful!" serunya pelan saat aku hendak membelokkan mobil. "Yeah, aku tahu kau punya 2 kuping. Tapi aku ragu mereka sehat seperti yg kau bilang."
"WHAT?!!!!" sentakku dan menoleh padanya geram.
"Hei! Liat kedepan! Kalau sedang mengemudi dijalan raya, kau harus selalu waspada. Jangan meleng! Kecelakaan bisa terjadi kapanpun! And in case you forgot, kau pernah meleng sehingga mobilku ringsek"
Aku mengerang kesal. "Apa kamu harus selalu ngingetin aku tentang hal itu?" gerutuku lagi.
"Well, I have to. Untuk menekankan betapa cerobohnya kamu dan ADA LUBANG!!!!!!!"
Tanpa sadar aku memekik pelan saat Zaki berteriak kaget dan kakinya menginjak kakiku yg ada diatas rem. Mobil berhenti mendadak dg sebuah sentakan yg cukup keras. Untuk beberapa saat lamanya kami hanya terdiam dengan nafas memburu.
Namun bahkan saat itu, setelah pengalaman yg sedikit mengejutkan dan berlangsung dalam beberapa detik saja, aku langsung sadar akan tangan Zaki yg kini berada diatas tanganku yg memegang kemudi. Aku bisa merasakan genggaman jemarinya diatas jari jemariku. Menggenggam kuat. Mengalirkan suatu perasaan aneh, yg kini membuat debaran jantungku, yg sedari tadi berdetak cukup keras dan cepat karena kaget. semakin meningkatkan aktifitasnya.
Tanpa sadar, aku menggigil keras.
"Gha. . .?!" panggil Zaki pelan.
Aku mendengarnya. Tapi terlalu samar. Gendang telingaku dipenuhi oleh suara debaran keras jantungku hingga suara-suara lain, nyaris seperti bisikan.
"Gha? Are you okay?!" tanya Zaki lagi, kali ini dengan nada cemas. Aku menoleh padanya perlahan, dan sepersekian detik kemudian, aku sadar betapa bodohnya reaksiku. Dan dengan satu sentakan kuat, aku melepas tanganku yg berada dalam genggaman kuat tangannya.
"WHOAHHH!!! Are you okay?" tanya Zaki cemas dengan tangan terulur menyentuh dahiku. Telapak tangan Zaki terasa seperti bara dikulitku, sehingga aku menarik wajahku dengan cepat dan langsung keluar dari mobil.
"REGHA!!!" panggil Zaki lagi dan ikut keluar. Dia segera menghampiriku dengan sebotol air mineral yg dia angsurkan.
"Here, minum air dulu sedikit untuk menenangkan diri!" katanya lagi dengan nada membujuk. Aku menerimanya, tapi kupegang botol air itu, sejauh mungkin dari pegangan tangannya.
Saat tegukan pertama turun kedalam perutku, aku mulai sedikit merasa tenang. Nafasku yg sedari tadi tak karuan pun mulai teratur. Gila!!! Kenapa tubuhku tiba-tiba bereaksi aneh gini sih?
"Mendingan?" tanya Zaki sesaat kemudian. Aku yg belum bs mempercayai tenggorokanku untuk bersuara, hanya mengangguk saja. "Woow!! You scared me a bit back there. Wajar kalau kamu kaget. Tp jangan bereaksi berlebih okay?! Error selalu terjadi saat kita pertama kali belajar. Apapun itu."You think?!! gerutuku dalam hati nyolot.
"Are you okay?" tanyanya terdengar khawatir. Aku hanya kembali mengangguk dan berpaling, menghindar dari tatapannya yg intens. "Kau berkeringat. Yakin nggak apa-apa?" tanyanya lagi. Detik berikutnya kurasakan telapak tangannya yg menempel didahiku.
Kembali aku tersentak oleh sentuhannya. Sontan aku manjauhkan diri, atau lebih tepatnya melompat kaget karenanya.
" Hei, just chill ok? You're doing great for a beginner. Kita hanya perlu berlatih belokan-belokan tajam dan. . "
"Can we stop please?!" potongku yg sontan membuatnya terdiam. "For today?" imbuhku lagi, mencoba memperhalus kata-kataku yg mungkin terdengar ketakutan.
Dia diam sejenak, tapi kemudian mengangkat bahunya.
"Fine! Lagipula. . . ," dia memandang kesekeliling kami, ". . hari sudah sore. I need to do something anyway," sambungnya lagi. Dia lalu menoleh padaku dan tersenyum."Come on! Let's go home," ajaknya. Aku tak menjawabnya. Hanya cepat2 berjalan menuju kursi penumpang. Semakin cepat kita kembali ke rumah, semakin baik! pikirku.
"Aa, si Zaki belom pulang juga lho! Susul gih!" pinta Mamah yg berdiri dipintu kamarku. Aku yg sedari pulang dari lapangan tadi ngendon dikamar untuk menenangkan diri dikamar, melirik jam dinding yg berdetak pelan. Pukul lima sore. Manusia separuh bule sinting itu pasti masih ada disungai. Orang aneh! Nggak takut kesurupan apa? gerundengku dalam hati.
"Minta Agus aja yg nyusul Mah!" saranku dan kembali berbaring.
"Aa. . . !" tegur Mamah dan menghampiriku. Beliau duduk disebelahku. "Aa kenapa sih? Kok judes gitu sama temennya? Nggak baik A!"
"Males Mah!" sahutku singkat.
"Aa marahan sama Zaki? Kenapa sih? Kan Zaki orangnya baik lho," puji Mamah, membuatku mendengus hebat. "Eh bener kan? Sudah ganteng, pinter, pembawaannya luwes dan dewasa banget. Kelihatan kalau orangnya teh punya kepribadian."
"Mamah kok jadi muji-muji Zaki sih?! Jangan-jangan Mamah naksir juga ya ma Zaki?" tuduhku kesel.
"Lho? Memang siapa saja yg naksir si Zaki A?" tanya Mamah dg senyum simpulnya.
"Loba lah Mah! Dua temen Asti suka ayan mendadak kalo liat si Zaki. Ceu Kokom yg janda juga pernah nanya-nanya ke Abah. Si Agus kemarin dititipin surat cinta sama Sari, tetangga sebelah. Mamah juga? Ntar Aa bilangin ke Abah lho!" ancamku.
Mamah tergelak dan menepuk pahaku pelan. "Si Aa ah! Aya aya wae! Heunteu A. Maksud si Mamah teh, Zaki itu bisa buat Aa jadiin panutan. Mamah teh meni pengeeeen pisan nya, boga anak siga si Zaki. Aa kan bisa belajar bagaimana menjadi orang yg lebih baik ke dia. Betul kan?"
"Jadi mama teh kecewa punya anak kaya Aa?" uberku sedikit sengit.
"Kecewa sih enggak. Cuman agak khawatir. Habis si Aa teh tetep manjanya ke Mamah! Kalo sakit juga masih gak mau ditinggal pas tidur," gerutu mamah.
"Aduh Mamah. Eta mah tandanya si Aa sayang pisan jeung Mamah. Lain manja atuh!" belaku.
Mamah tertawa kecil. "Sudah ah! Nanti ngelantur. Aa cepet susul si Zaki ya? Agus tadi disuruh keluar sama Abah sebentar," jelas Mamah kemudian bangkit.
Masih dengan hati yg sedikit tidak ikhlas, aku bangkit dan keluar. Beneran! Aku nggak habis pikir kenapa si Zaki betah amat diem disungai saat sore gini. Oke lah aku bisa nerima kalau saat matahari tenggelam kemarin cukup menarik dan indah. Tapi kan aneh kalo dia menganggapnya begitu menarik, seolah-olah hal itu belum pernah ada didunia. Nggak tau apa dia, kalo jam-jam segini ini waktunya Mbak Kuntilanak dan sebangsanya mulai bangun tidur dan dandan? Gimana coba kalo ada wewe gombel yg asyik mandi dan siap-siap buat dugem, ngeliat dia terus ikutan naksir? Emang dia mau diajak kencan sama lelembut?
Ngeselin banget! gerutuku lagi. Apa mungkin sebaiknya aku kasih tau dia cerita horor didaerah ini yg. . .
Monolog batinku terhenti disana. Disana, berdiri diatas sebuah batu besar yg ada dipinggir sungai, Zaki berdiri menghadap matahari yg hampir tak terlihat lingkaran merahnya, dengan mata terpejam. Wajah putihnya tampak kemerahan oleh cahaya senja. Dan bahkan dari jarak sejauh ini, aku bisa melihat bayangan bulu mata panjangnya yg yg kini memberikan efek garis kehitaman disepanjang bentuk matanya. Hidungnya yg lebih mancung dari ukuran pribumi biasa juga terlihat lebih panjang. Dan bibirnya yang selalu tampak merah basah, kini terlihat lebih dramatis dan mengesankan. Mataku tanpa sadar mengikuti lekuk garis bibir atasnya yg tipis dan melengkung imut. Mengingatkan aku pada bentuk bibir penyanyi lama Tommy Page. Salah satu penyanyi berbibir paling seksi, menurut si Vivi. Aku pernah melihatnya di komputernya. Zaki memiliki bentuk bibir yg hampir sama.
Hanya saja, dia nyata. Aku bisa melihat bagaimana bibir menggemaskan itu bergerak perlahan membentuk sebuah senyum. Dan mataku tak pernah lepas memandangnya. Hingga saat ini, baru kali inilah aku menyadari kenapa Zaki terpilih sebagai cowok paling populer di kampus. Dia benar-benar. mengagumkan. Sosoknya nyaris memenuhi kriteria sempurna. Tubuhnya yg tinggi tegap memang benar-benar bagus. Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana tegap dan berisinya dada Zaki saat aku melihat lekukan t-shirt yg dia kenakan. T-shirt putih sederhana -yg entah bagaimana terlihat mewah begitu dia pakai- itu mencetak jelas bagaimana bentuk tubuhnya. Membuat imajinasi mereka yg melihat menjadi kreatif. Lekuk pada lengannya yg berisi dan tegap juga turut memperkuat kesan. jantan pada dirinya. Bahkan bulu-bulu kehitaman yg tumbuh tangan dan sedikit membayang dilengannya seakan-akan ikut mempertegas pernyataan bahwa dia memang menawan dan. . . seksi?!
Aku mengeluarkan suara tercekik pelan begitu kata terakhir itu muncul di otakku.
Mata Zaki yg tertutup langsung membuka. Hanya sebentar dia terlihat kaget, tapi kemudian dia tersenyum padaku. Tiba-tiba saja aku menelan ludah dengan keras karenanya.
"Sini!" panggilnya dan melambai padaku.
Aku menggeleng cepat. "Kita pulang. Udah hampir maghrib!" jawabku. Zaki mendecak sedikit kesal. Dengan tak sabar dia mendekat dan meraih tanganku. Ditariknya aku kembali ke tempatnya tadi berdiri.
"Ini hari terakhir kita disini. Aku ingin melihat pemandangan sunset disini sampai matahari benar-benar tak terlihat!" jelasnya dan memegang bahuku. Dihadapkannya tubuhku ke arah barat.
"Dasar orang aneh! Buat apa sih?!" gerutuku dan mencoba melepaskan diri dari pegangannya.
Kembali aku mendengar Zaki yg berdiri dibelakangku mendecak kesal. "Justru kamu yg aneh! Can't you see how beautiful it is? Dan tidak bisakah kau diam?!!" protesnya yg semakin terdengar tak sabar, sementara tangannya dengan kuat meremas bahuku. "Just be quiet for a while dan coba buat rileks. Tubuhmu terlalu tegang!"
Yeah! Tentu saja! Melihat matahari tenggelam memang kegiatan yg membuat adrenalin kita terpacu. Aku hampir-hampir berteriak dan menggigil ketakutan! pikirku kecut. Dan baru beberapa detik pikiran itu melintas, kurasakan hembusan nafas Zaki yg menerpa perlahan ditelinga dan tengkuk ku. Rasa-rasanya aku dijebloskan mendadak ke dalam sebuah lemari es raksasa. Bulu kudukku sontan meremang, dan tubuhku gemetaran. Hebat!!! Sekarang aku benar-gemar menggigil.
"Kamu kedinginan ya?" tanya Zaki yg sepertinya dengan jelas merasakan getaran tubuhku yg rupanya cukup keras.
"Se-sedikit," jawabku pelan sekali, hingga kukira dia tak akan mendenganya.
"Oh for God sake! Are you sick?! Masa dalam cuaca hangat seperti ini kamu bisa kedinginan?" sergahnya tak percaya. "Bagaimana kalau kau tinggal didaerah sub tropis nantinya! Bisa-bisa kau mati beku dimusim gugur!" gerutunya jengkel.
"HEI!!! IT'S NOT LIKE I. . ." kalimatku sontan terputus saat tangan Zaki melingkar dileherku. Dia menarik tubuhku hingga punggungku menempel didadanya. Dan aku bisa merasakan dagunya yang menempel dipelipisku. Tinggi kami memang terpat lumayan jauh. Dan sumpah demi Tuhan, nafasku benar-benar terhenti saat itu.
"There! Feeling better?!" tanya Zaki pelan.
Aku tak berani menjawab karena aku yakin kalau aku bersuara, aku akan terdengar seperti seekor anak kucing yg minta makan.
"Now try to relax okay? Ikuti aku! Tarik nafas dalam," katanya pelan. Aku yg berada begitu dekat dengannya bisa merasakan dadanya yg bergerak sedikit maju sehingga makin menempel di punggungku.
Tuhanku! Apa memang harus terasa senyaman ini? pikirku dengan dada yg berdebar deras.
"Are you following me?" tanya Zaki, sedikit membuyarkan lamunanku. "Ayo ikuti aku! Take a deep breath!"
Aku terlalu tegang untuk bisa melakukannya. Aku hanya mampu menarik nafas pendek-pendek. "I- I. . . c-can't!" kataku pelan.
"Really?! Okay, now close your eyes!" katanya lagi dan langsung kuturuti. "Lemaskan bahumu yg mesih tegang ini. Atur nafas. Dan kemudian tarik nafas sedalam-dalamnya. With me," bisik Zaki lirih.
Begitu aku menarik nafas, harum tubuh Zaki yg segar namun toh lembut memenuhi indra penciumanku. Baunya langsung masuk ke rongga dada membuat otakku seolah-olah mendapat sengatan kecil listrik yg aneh.
"That's it! Take a deep breath, lalu lepaskan perlahan," bisik Zaki lagi dg nada membujuk, membuat aku yg hampir berontak lagi, urung. Setelah beberapa kali melakukannya, akhirnya tubuhku sedikit melemas, santai. Saat itu aku baru bisa merasakan hal-hal lain selain hangatnya tubuh Zaki yg begitu dekat.
Di pelupukku, aku bisa melihat siluet sinar matahari senja, membuat mataku yg terpejam seakan akan melihat sebuah kain besar berwarna oranye. Suara gemericik air sungai. Bunyi-bunyian serangga, dan tarikan nafas Zaki yg teratur.
"Nah, buka matamu!"
Perlahan aku membuka mata.
"Lihat sinar matahari yg membayang di air," kata Zaki dan menunjuk ke sungai. Aku melihat bayangan sinar kemerahan senja bergerak menyilaukan disana. Sinarnya yg bergerak-gerak membuat ilusi samar seperti ada lampu yg berkedip-kedip didasar sungai. Atau sekumpulan intan yg memantulkan cahaya senja. Mataku menelusuri kilauan sinar itu keatas, hingga berhenti pada matahari yg menjadi sumbernya. Kupicingkan mataku. Sinar mentari membentuk sekumpulan jarum cahaya yg terlihat menakjubkan. Ditambah dengan suara-suara alam disekitar kami, aku sadar bagaimana Zaki bisa terhipnotis. Aku memiringkan kepalaku, menoleh pada Zaki yg wajahnya sangat dekat. Kulitnya yg putih kembali berpendar dengan warna oranya kemerahan. Kilatan kecil terlihat pada ujung hidungnya. Pantulan sinar yg lebih jelas, membayang dimatanya. Dan bulu matanya yg lentik, membayang kehitaman terkena cahaya.
Zaki menoleh padaku dan tersenyum. "Indah kan? I swear! Aku tak pernah tahu kalau matahari bisa begitu. . . menakjubkan," bisiknya lirih. Aku hanya membalas dengan gumaman pelan tak jelas dan meletakkan tanganku diatas tangan Zaki yg -entah mulai kapan telah- memeluk perutku. Lalu kembali menatap kedepan. Menikmati keajaiban orkestra alam yg disajikan didepan kami.
Dan kami tetap diam disana, hingga matahari tinggal semburat warna merah yg samar diufuk barat. Suara serangga malam mulai mendominasi alam sekitar.
"Now we can go home," kata Zaki akhirnya dan melepasku. Yang membuatku sedikit kaget adalah betapa tubuhku merasa begitu kehilangan saat dia menjauh. Bahkan untuk beberapa saat lamanya, pikiranku seakan protes ketika kehangatan tubuh Zaki hilang, membuatku diam bengong ditempatku berdiri. Rasanya aneh berdiri disini sendirian. Tubuhku menginginkan kehangatan tadi. Merindukan kenyamanan tadi. Bahkan aku bisa merasakan gelenyar hangat diperutku. Mengingatkanku akan tangan Zaki yang tadi melingkar disana.Ya Tuhaaan. . . . .
"Gha?!" panggil Zaki. Aku menoleh padanya, sedikit kaget."It's getting really dark! Ayo pulang," ajaknya.
Aku menelan ludah sejenak. "Ka-ka-kamu balik dulu. A-ada yang harus aku lakukan," kataku cepat, sedikit terbata. Zaki mengangkat bahu dan berlalu meninggalkanku. Begitu dia hilang dibelokan, aku menatap tak percaya ke bagian bawah tubuhku yang menegang hebat.
KOK BISA GINI SEEEEEEEEHHHHHHH??!!!!!!!!!!!
Hari terakhir, batinku dan duduk diam memandang matahari pagi yang baru muncul diufuk timur. Nanti kami akan berangkat kembali ke Bandung. Kembalike kehidupan lama kami. Dan aku akan kembali pada rutinitas lamaku yang membosankan. Bergelut dengan urusan lama yg sejujurnya mulai menjemukan bagiku. Sebenarnya aku masih ingin berada disini. Bersembunyi dari kehidupan lamaku. Menenggelamkan diri kedalam ketenangan alam desa di Majalengka ini yg mulai melenakanku. Aku menikmati suasana pagi yg kian akrab disini. Kabut pagi yg masih terlihat bergerak pelan, nyaris gaib. Suara berbagai macam serangga ,burung dan entah apa lagi mengiringi segarnya udara yang kuhirup. Segar dan bersih, bebas dari berbagai macam polusi yg biasanya kuhirup. It's really a good place to hide. And I like it here.
"Sudah bangun dari tadi kasep?" tanya Mamah yg tiba-tiba saja ada disebelahku. Dengan senyum yang mulai terasa akrab dimataku, beliau duduk dikursi sebelah.
"Nggak Mah! Barusan saja kok," jawabku.
"Terus, kenapa malah melamun diberanda?" tanya beliau lagi."Kangen dengan yang ada dirumah?"
Aku menggeleng sembari tertawa kecil. "Justru enggak Mah. Malah belom pengen balik ke Bandung. Masih kerasan disini," kataku nyengir.
"Zaki kan bisa mampir lagi kesini. Kapan saja Zaki kangen, Zaki bisa langsung datang," ujar beliau membuatku kembali tersenyum.
"Terimakasih Mah! I'll be back here someday," janjiku.
"Aduh kasep! Ulah nyarios turis gitu jeung Mamah. Teu ngarti," seloroh beliau terkekeh.
"Nah itu juga si Mamah pake bahasa Sunda. Saya juga gak ngerti tuh!" sahutku dg tawa kecil. Kami baru bersama dalam hitungan hari. Tapi aku lebih banyak bercanda, bahkan lebih akrab, dengan beliau, dibandingkan dengan Ibu kandungku. Ironis sekali, pikirku kecut. Apa mungkin keadaan kami akan berubah bila saja Mommy hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa seperti Mamah?
"Mah, kopi Abah sudah disiapkan?" tanya Regha yg muncul dari pintu.
"Sudah Aa! Aa ibak heula nya? Mamah teh hayang ngawangkong heula jeung si kasep'" kata Mamah membuat Regha menggerutu pelan.
"Gha!!" panggilku padanya. "Disini ada lapangan ga?" tanyaku.
"Ada, tapi agak jauh. Kenapa?" tanya Regha balik dengan nada heran.
"Ntar anterin. I need to do something," pintaku.
"Gimana kalo siangan aja sama Agus? Balik dari sekolah dia pasti bisa. . . "
"Aku mau kamu yang anterin!" potongku membuatnya terdiam. Sejak kejadian di sungai waktu itu, Regha memang lebih sering menghindariku, tapi aku berusaha untuk terus bersikap biasa. Dan saat ingat kalau hari ini adalah hari terakhir kami disana, aku punya ide mendadak. Semoga saja ini bisa berhasil. Akhirnya, dengan sedikit bergumam,dia setuju untuk mengantarkanku. Tanpa berbicara lagi, dia menghilang kedalam.
"Memang mau apa ke lapangan Ki?" tanya Mamah yang ikutan ingin tahu.
"Ada aja deh Mah!" jawabku nyengir membuat beliau kembali tertawa kecil.
"Ah kamu ini!" sergah Mamah dan menepuk pelan lenganku.
"Sok main rahasia sama Mamah. Memang mau diapain si Aa sama Zaki?"
"Heh?! Memang si Regha cerita apa aja sama Mamah?" tanyaku sedikit heran. Meski ada sedikit kekhawatiran, tapi kurasa tak mingkisn si Regha ngomong soal insiden antara kami secara keseluruhan kan?
"Nggak ada! Tapi kalau ngeliat sikap si Aa ke Zaki sih, sepertinya ada sesuatu," jelas Mamah seraya tersenyum.
Bukan senyum menyindir atau menegur, namun lebih terlihat geli. "Si Aa teh orangnya agak manja Ki!" jelas Mamah melanjutkan.
"Agak?" komenku dengan sebelah alis terangkat.
Kembali Mamah tertawa kecil. "Iya agak!. Sekarang. Kalo dulu mah ketulungan. Apalagi kalo si Aa teh lagi sakit. Kalo yg biasa gini Zaki sudah nggak tahan, apalagi pas Aa sakit."
"Emang kenapa kalo dia sakit Mah?!"
"Kalo sakit, si Aa pasti pulang kesini. Dia gak bisa tidur kalo gak ditemenin sampe terlelap. Kalo kita pergi sebelum dia terlelap, pasti deh ngerengek siga budak leutik. Anak kecil. Maunya di elus-elus dan diusap-usap. Meni kolokan pisan lah kalo sakit si Aa teh!"
Aku memandang Mamah dengan berkernyit setengah jijik. Mamah kembali tak bisa menahan tawanya.
"Ini bener atuh Kasep. Si Aa kalo sakit memang gitu. Manjanya jadi ketulungan. Tapi meski begitu, sebenernya Aa bukan tipe orang yg suka nyusahin orang lain. Meski itu orang tuanya. Aa teh gak pernah minta uang lebih buat kuliah di Bandung. Sudah sejak mulai masuk kuliah dulu. Mamah teh sadar pisan, kalau orang kuliah tuh butuh banyak biaya. Tapi si Aa gak pernah minta sama Abah. Agus yg kasih tau Mamah, kalo si Aa di Bandung, selain kuliah, juga kerja. Jadi meski kalo sakit si Aa manjanya minta ampun, tapi Aa tau dan mahfum dg keadaan orang tuanya. Gak salah kan kalo Mamah bilang si Aa cuma agak manja?"
Aku tak langsung bereaksi, hanya membiarkan informasi itu mengendap dalam benakku. Yeah, kalo soal itu, Regha memang orang yg cukup mengesankan. Aku jadi sedikit memahami sisi lain darinya.
"Mamah titip si Aa ya Kasep?! Kalo bisa, tolong dibantu si Aa. Mamah teh pengen si Aa bisa kelihatan dewasa kayak Zaki!"
Pujian ringan itu, entah kenapa membuatku tersipu. "Si Mamah pinter juga membujuk ya?" selorohku.
"Eeehhh. . . ini teh beneran Kasep! Mamah tuh pengen si Aa bisa jd seperti kamu," ujar beliau dan meletakkan satu tangannya diatas tanganku. "Tolong jaga dia ya Ki?" pinta beliau pelan. Tanpa menunggu jawabanku, Mamah bangkit dan pergi kedalam setelah terlebih dahulu meremas lembut bahuku.
Kami sampai di lapangan itu setelah 10 menit. Seperti yg Regha bilang, tanah lapang yg biasanya dipake oleh penduduk kampung untuk kegiatan massal itu, hanyalah sebidang tanah kosong berumput yg dibatasi oleh sawah disekelilingnya. Ada juga beberapa pohon besar tersebar di sisi-sisinya. Entah sengaja ditanam sebagai tanda batas, atau hanya sekedar pohon yang tumbuh liar. Akses jalan menuju lapangan itu jg masih berbentuk tanah yg untungnya keras dan solid. Meski menurut Regha, bila musim hujan tiba, kondisinya akan berubah jd berlumpur.
Mobil kulajukan masuk kedalam tanah kosong itu. "Jadi disini biasanya kalian berpesta?" gumamku pelan.
"Pesta apaan?! Nggak nyambung!" gerutu Regha pelan.
"Lapangan ini biasanya dipake kalo ada kegiatan kampung. Pesta rakyat, Pasar Malem, Upacara Agustusan, Layar Tancap, atau PEMILU," jelas Regha lagi.
"Nggak pernah ada yg digigit ular?" tanyaku lagi membuat Regha kembali mendelik marah.
"Nggak usah nyela terus deh! Emang kita mau ngapain disini?" sergahnya tak sabar.
"I'm gonna teach you how to drive! Get out!" kataku cepat. Namun bukannya menurut, Regha malah terpaku kaku disebelahku.
"Nggak! Nggak mau!" katanya sesaat kemudian dan menggeleng kuat-kuat.
"What?! Don't be ridiculous ok?! Just get out!!" bentakku kasar.
"NGGAK MAU!!!!" balas Regha keras dan langsung menghambur keluar dari mobil. Aku yang sesaat bengong langsung ikut keluar dan mengejarnya yang melangkah pergi dengan cepat.
"Kamu apa-apaan sih?!!" sergahku dan meraih lengannya.Regha mencoba berontak dan menghentakkan tanganku. Tapi aku menahannya dengan kuat dan menyentakkannya sehingga dia terpaksa kembali berhadapan denganku.
"Aku nggak mau belajar menyupir ok?! Aku tak membutuhkannya!" kata Regha dan menatapku marah.
"Dan aku bilang, kau membutuhkannya! Karena suatu saat, aku mungkin memerlukan keahlianmu dalam berkendara ok?!"
"No! It's not okay! Cari saja orang lain!" semprotnya kesal dan kembali hendak pergi. Tapi aku dengan cepat kembali menahannya.
"Will you stop!!" sentakku yang mulai ikutan kesal. "Can't you just tell me, kenapa kamu nggak mau belajar? What the hell is wrong with you?!!" tanyaku yang mulai merasa kalau kami lebih mirip sepasang suami istri yg sedang bertengkar.
"Coz I broke your car once!!!" bentak Regha. "Dan sampai sekarang, aku masih harus membayarnya. Aku nggak mau kalau aku merusak mobil lain. Aku masih berhutang pada Regi, Vivi dan juga Mas Rizky. I can't afford to do it again," jelas Regha lagi dengan nada yang lebih pelan. Lebih mirip orang yang menyerah kalah, hingga untuk sesaat aku lupa kalau beberapa saat tadi, kami saling berteriak.
Ah ya, soal uang pengganti itu. Sampai sekarang, aku memang belum menjelaskan padanya, kalau sebenarnya pihak asuransi telah menutupi semuanya. Aku hanya ingin mengerjainya. Memberinya pelajaran Uang yang dia serahkan padaku masih utuh. Aku berniat mengembalikannya nanti, setelah aku selesai mengajarinya sesuatu. Siapa sangka kalau hal itu lebih mirip sebuah trauma bagi Regha.Melihat aku yang terdiam, Regha sepertinya mengira aku menyerah. Diapun berbalik.
"Gha!" cegahku. "Aku harus tetap mengajarimu berkendara. Dan aku janji," potongku cepat saat kulihat dia sudah hendak kembali protes, "aku yang akan menanggung semua resikonya! Kamu nggak perlu khawatir. Kalau memang nanti mobil ini rusak, aku janji kalau aku yg akan bertanggung jawab. You won't have to spend a dime! I swear!" kataku tegas.Regha diam melihatku.
"Do we have a deal?" tanyaku setelah kediaman yg lama.
Meski semula terlihat ragu, dia akhirnya mengangguk. Aku tersenyum senang karenanya. "Ayo!" ajakku dan meraih tangannya, menariknya kembali ke mobil. Kubuka pintu sopir dan mempersilahkannya masuk. Dia masih tampak ragu dan gugup. Tapi aku kembali tersenyum untuk meyakinkannya. Kuremas sedikit tangannya yang kupegang untuk menunjukkan supportku. Bisa kurasakan tubuhnya yang tiba-tiba menegang. Tangannya yg semula hangat tiba-tiba saja terasa dingin dalam genggamanku. Meski aku sedikit kaget dengan reaksi tubuhnya, aku tak melepaskan genggamanku.
"Ki. . ," tegurku pelan.
"Jangan nervous. Get in dan akan kutunjukkan caranya. It's easy. And I won't let anything happen to you. Trust me this time!" kataku dan mendorong bahunya pelan untuk masuk ke mobil. Lalu cepat-cepat kesisi penumpang agar dia tak terlalu panik sendiri dalam mobil. "Pasang sabuk pengaman dulu!" kataku seraya duduk dan menunjukkan caranya pada Regha.Pelajaran hari itu berjalan cukup lancar, meski aku sempat berteriak sedikit padanya. Regha bisa menghadapi tantangan hari ini dengan lumayan baik.
Beberapa kali dia memang terlihat gugup dan kurang konsentrasi. Dia juga terlihat sedikit takut padaku yang beberapa kali ngomel, lebih karena kebiasaan sebetulnya. Dimataku, kadang Regha memang lebih sering terlihat seperti anak kecil yg masih sangat perlu dibimbing. Tapi dalam latihan kali ini dia cukup baik dan hanya menemui sedikit kendala dalam memundurkan mobil dan melakukan belokan tajam. Tapi selain itu dia lumayan!
Hari sudah sore saat kami selesai. Aku sudah ingin cepat-cepat kembali kerumah Regha dan menikmati suasana sore yang biasanya ditepi sungai. Selagi aku disini, aku tak ingin melewatkan hal itu. Not once!
REGHA
Aku menatap orang sinting didepanku dengan tatapan marah. Benar-benar tak bisa dipercaya. Dia ingin aku belajar menyetir setelah apa yg terjadi dengan mobilnya waktu itu? Setelah Mas Rizky Vivi serta Regi harus merelakan uang mereka untuk mengganti kerusakan itu? Dia sinting.
"Nggak mau!!" teriakku kencang dan menghambur keluar dari mobil. Sudah cukup aku dibuat pusing dengan hutangku yang masih beberapa juta padanya. Kalau aku merusakkan mobil yang lain, aku bisa-bisa mati dililit hutang. Aku harus pergi dari sini, kembali ke rumah dimana aku bisa berkumpul dengan orang-orang yg bs membuatku berpikir waras. Keluargaku.
"Kamu apa-apaan sih?!!" bentak Zaki yang tiba-tiba telah meraih lenganku dan memaksaku menghadapnya lagi.
"Aku nggak mau belajar menyetir ok? Aku nggak membutuhkannya!" balasku kesal.
"Tapi aku blang, aku membutuhkannya! Karena suatu saat muungkin aku membutuhkan keahlianmu. dalam berkendara ok?!"
"No! It's not okay! Cari saja orang lain," balasku sengit dan segera berbalik untuk pergi. Tapi tangan Zaki kembali menahanku.
"Will you stop!!! Can't you just tell me kenapa kamu nggak mau belajar?!!" sentaknya geram.
Untuk sesaat aku tak bisa menjawabnya. Posisi tubuh kami saat itu begitu dekat, sehingga aku bisa merasakan kehangatan yang memancar dari tubuhnya. Tubuhku yang jauh lebih kecil darinya membuatku merasa sedikit terintimidasi. Aku bahkan tak mampu memandang wajahnya. Pandanganku terhenti pada bibirnya.
Big mistake!!
Detik itu juga, bayangan saat Zaki makan dengan lahapnya dengan sambal pedas melintas diotakku. Aku ingat dengan jelas bagaimana bibirnya bergerak saat itu. Ingat bagaimana lidahnya menjilat bibirnya yang tampak kemerahan dan basah. Membuatnya tampak begitu menggoda. Entah karena memang dia berdarah campuran sehingga bibirnya lebih merah dari kami yg berdarah pribumi, atau memang pada dasarnya dia memang memiliki bentuk bibir yang menggoda. Dan entah karena apa, tiba-tiba saja aliran darahku meningkatkan kecepatannya mendadak. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang, sehinggga aku bahkan bisa mendengar detakannya ditelingaku. Dan tiba-tiba saja, bau harum tubuhnya yang biasa kucium membuatku semakin merasa gugup.
"What the hell is wrong with you??!!" tanyanya dengan nada marah, membuatku tersentak. Aku segera sadar dan menarik lepas tanganku dari genggamannya. Dalam sekejap aku kembali geram. Kenapa dia selalu menimbulkan efek ini padaku? Kehadirannya selalu membuatku tak tenang. Apalagi tingkah tengilnya. Dari pertama, komunikasi kami selalu berjalan dengan buruk. Dia selalu membuatku merasa aneh. Apalagi dengan sikap bossy-nya yang selalu menuntut kesempurnaan. Tak pernah merasa puas kalau keinginannya belum terlaksana
"Coz I broke your car once!!" teriakku kesal. Lebih baik mengatakan apa yg sebenarnyakarena orang sinting ini tak akan membiarkanku pergi begitu saja tanpa penjelasan. "Sampai sekarang aku masih membayar kerugian itu padamu. Aku beruntung karena ada yg membantuku. Aku masih berhutang pada Regi, Vivi dan juga Mas Rizky. I can't afford to do it again," jelasku dengan nada kalah karena memang itu kenyataannya. Aku masih belum bisa mengembalikan apa yg telah diberikan oleh mereka bertiga. Apapun yang dikatakan oleh Mas Rizky, Regi ataupun Vivi, suatu saat aku akan mengembalikan uang mereka. Entah dengan cara apa.Aku tak tahu apa yang dipikirkan oleh Zaki, tapi dia tampak tertegun. Sepertinya dia tak menyangka kalau aku akan mengatakan argumenku tadi. Untuk sesaat dia tak tahu harus berkata apa. Karena merasa tak perlu lagi menjelaskan segala sesuatunya, aku kembali berbalik untuk berjalan pulang.
"Gha!" panggilnya dan kembali menahan tanganku. "Aku harus tetap mengajarimu berkendara. Dan aku janji. Aku yang akan menanggung semuaresikonya! Kamu nggak perlu khawatir. Kalau memang nanti mobil ini rusak, akujanji kalau aku yg akan bertanggung jawab. You won't have to spend a dime! I swear!" katanya tegas.Aku diam melihatnya. Ya Tuhan ini benar-benar ide konyol. Tapi membayangkan akan bersama dengannya lagi sudah sedikit membuatku merinding. Aku tak tahuapa yang akan terjadi kalau dia tak segera melepaskanku.
"Do we have a deal?" tanyanya setelah kediaman yg lama.Dan akhirnya, aku hanya bisa mengangguk pasrah.
Kalau aku pikir Zaki akan bersikap lebih baik saat mengajariku, aku salah! Seperti biasanya, cowok sarap itu bersikap tegas dan cerewet seperti biasanya. Dia tak segan-segan berteriak ditelingaku.
"Hit the gas!!! SLOWLY!!!!" teriaknya lagi, membuatku semakin gugup. Siapa cobayg bisa konsen belajar, kalo disebelahnya ada suara-suara yg lebih mirip kucingkawin?
"Could you please stop shouting!" gerundengku dengan menggertakkan gerahamku sembari menginjak gas perlahan.
"I would! If you listen to me!" jawabnya enteng.
"Tentu saja aku mendengarmu! Kau berteriak persis ditelingaku! In case you don't know, I have two healthy ears!" sahutku sinis.
"Careful!" serunya pelan saat aku hendak membelokkan mobil. "Yeah, aku tahu kau punya 2 kuping. Tapi aku ragu mereka sehat seperti yg kau bilang."
"WHAT?!!!!" sentakku dan menoleh padanya geram.
"Hei! Liat kedepan! Kalau sedang mengemudi dijalan raya, kau harus selalu waspada. Jangan meleng! Kecelakaan bisa terjadi kapanpun! And in case you forgot, kau pernah meleng sehingga mobilku ringsek"
Aku mengerang kesal. "Apa kamu harus selalu ngingetin aku tentang hal itu?" gerutuku lagi.
"Well, I have to. Untuk menekankan betapa cerobohnya kamu dan ADA LUBANG!!!!!!!"
Tanpa sadar aku memekik pelan saat Zaki berteriak kaget dan kakinya menginjak kakiku yg ada diatas rem. Mobil berhenti mendadak dg sebuah sentakan yg cukup keras. Untuk beberapa saat lamanya kami hanya terdiam dengan nafas memburu.
Namun bahkan saat itu, setelah pengalaman yg sedikit mengejutkan dan berlangsung dalam beberapa detik saja, aku langsung sadar akan tangan Zaki yg kini berada diatas tanganku yg memegang kemudi. Aku bisa merasakan genggaman jemarinya diatas jari jemariku. Menggenggam kuat. Mengalirkan suatu perasaan aneh, yg kini membuat debaran jantungku, yg sedari tadi berdetak cukup keras dan cepat karena kaget. semakin meningkatkan aktifitasnya.
Tanpa sadar, aku menggigil keras.
"Gha. . .?!" panggil Zaki pelan.
Aku mendengarnya. Tapi terlalu samar. Gendang telingaku dipenuhi oleh suara debaran keras jantungku hingga suara-suara lain, nyaris seperti bisikan.
"Gha? Are you okay?!" tanya Zaki lagi, kali ini dengan nada cemas. Aku menoleh padanya perlahan, dan sepersekian detik kemudian, aku sadar betapa bodohnya reaksiku. Dan dengan satu sentakan kuat, aku melepas tanganku yg berada dalam genggaman kuat tangannya.
"WHOAHHH!!! Are you okay?" tanya Zaki cemas dengan tangan terulur menyentuh dahiku. Telapak tangan Zaki terasa seperti bara dikulitku, sehingga aku menarik wajahku dengan cepat dan langsung keluar dari mobil.
"REGHA!!!" panggil Zaki lagi dan ikut keluar. Dia segera menghampiriku dengan sebotol air mineral yg dia angsurkan.
"Here, minum air dulu sedikit untuk menenangkan diri!" katanya lagi dengan nada membujuk. Aku menerimanya, tapi kupegang botol air itu, sejauh mungkin dari pegangan tangannya.
Saat tegukan pertama turun kedalam perutku, aku mulai sedikit merasa tenang. Nafasku yg sedari tadi tak karuan pun mulai teratur. Gila!!! Kenapa tubuhku tiba-tiba bereaksi aneh gini sih?
"Mendingan?" tanya Zaki sesaat kemudian. Aku yg belum bs mempercayai tenggorokanku untuk bersuara, hanya mengangguk saja. "Woow!! You scared me a bit back there. Wajar kalau kamu kaget. Tp jangan bereaksi berlebih okay?! Error selalu terjadi saat kita pertama kali belajar. Apapun itu."You think?!! gerutuku dalam hati nyolot.
"Are you okay?" tanyanya terdengar khawatir. Aku hanya kembali mengangguk dan berpaling, menghindar dari tatapannya yg intens. "Kau berkeringat. Yakin nggak apa-apa?" tanyanya lagi. Detik berikutnya kurasakan telapak tangannya yg menempel didahiku.
Kembali aku tersentak oleh sentuhannya. Sontan aku manjauhkan diri, atau lebih tepatnya melompat kaget karenanya.
" Hei, just chill ok? You're doing great for a beginner. Kita hanya perlu berlatih belokan-belokan tajam dan. . "
"Can we stop please?!" potongku yg sontan membuatnya terdiam. "For today?" imbuhku lagi, mencoba memperhalus kata-kataku yg mungkin terdengar ketakutan.
Dia diam sejenak, tapi kemudian mengangkat bahunya.
"Fine! Lagipula. . . ," dia memandang kesekeliling kami, ". . hari sudah sore. I need to do something anyway," sambungnya lagi. Dia lalu menoleh padaku dan tersenyum."Come on! Let's go home," ajaknya. Aku tak menjawabnya. Hanya cepat2 berjalan menuju kursi penumpang. Semakin cepat kita kembali ke rumah, semakin baik! pikirku.
"Aa, si Zaki belom pulang juga lho! Susul gih!" pinta Mamah yg berdiri dipintu kamarku. Aku yg sedari pulang dari lapangan tadi ngendon dikamar untuk menenangkan diri dikamar, melirik jam dinding yg berdetak pelan. Pukul lima sore. Manusia separuh bule sinting itu pasti masih ada disungai. Orang aneh! Nggak takut kesurupan apa? gerundengku dalam hati.
"Minta Agus aja yg nyusul Mah!" saranku dan kembali berbaring.
"Aa. . . !" tegur Mamah dan menghampiriku. Beliau duduk disebelahku. "Aa kenapa sih? Kok judes gitu sama temennya? Nggak baik A!"
"Males Mah!" sahutku singkat.
"Aa marahan sama Zaki? Kenapa sih? Kan Zaki orangnya baik lho," puji Mamah, membuatku mendengus hebat. "Eh bener kan? Sudah ganteng, pinter, pembawaannya luwes dan dewasa banget. Kelihatan kalau orangnya teh punya kepribadian."
"Mamah kok jadi muji-muji Zaki sih?! Jangan-jangan Mamah naksir juga ya ma Zaki?" tuduhku kesel.
"Lho? Memang siapa saja yg naksir si Zaki A?" tanya Mamah dg senyum simpulnya.
"Loba lah Mah! Dua temen Asti suka ayan mendadak kalo liat si Zaki. Ceu Kokom yg janda juga pernah nanya-nanya ke Abah. Si Agus kemarin dititipin surat cinta sama Sari, tetangga sebelah. Mamah juga? Ntar Aa bilangin ke Abah lho!" ancamku.
Mamah tergelak dan menepuk pahaku pelan. "Si Aa ah! Aya aya wae! Heunteu A. Maksud si Mamah teh, Zaki itu bisa buat Aa jadiin panutan. Mamah teh meni pengeeeen pisan nya, boga anak siga si Zaki. Aa kan bisa belajar bagaimana menjadi orang yg lebih baik ke dia. Betul kan?"
"Jadi mama teh kecewa punya anak kaya Aa?" uberku sedikit sengit.
"Kecewa sih enggak. Cuman agak khawatir. Habis si Aa teh tetep manjanya ke Mamah! Kalo sakit juga masih gak mau ditinggal pas tidur," gerutu mamah.
"Aduh Mamah. Eta mah tandanya si Aa sayang pisan jeung Mamah. Lain manja atuh!" belaku.
Mamah tertawa kecil. "Sudah ah! Nanti ngelantur. Aa cepet susul si Zaki ya? Agus tadi disuruh keluar sama Abah sebentar," jelas Mamah kemudian bangkit.
Masih dengan hati yg sedikit tidak ikhlas, aku bangkit dan keluar. Beneran! Aku nggak habis pikir kenapa si Zaki betah amat diem disungai saat sore gini. Oke lah aku bisa nerima kalau saat matahari tenggelam kemarin cukup menarik dan indah. Tapi kan aneh kalo dia menganggapnya begitu menarik, seolah-olah hal itu belum pernah ada didunia. Nggak tau apa dia, kalo jam-jam segini ini waktunya Mbak Kuntilanak dan sebangsanya mulai bangun tidur dan dandan? Gimana coba kalo ada wewe gombel yg asyik mandi dan siap-siap buat dugem, ngeliat dia terus ikutan naksir? Emang dia mau diajak kencan sama lelembut?
Ngeselin banget! gerutuku lagi. Apa mungkin sebaiknya aku kasih tau dia cerita horor didaerah ini yg. . .
Monolog batinku terhenti disana. Disana, berdiri diatas sebuah batu besar yg ada dipinggir sungai, Zaki berdiri menghadap matahari yg hampir tak terlihat lingkaran merahnya, dengan mata terpejam. Wajah putihnya tampak kemerahan oleh cahaya senja. Dan bahkan dari jarak sejauh ini, aku bisa melihat bayangan bulu mata panjangnya yg yg kini memberikan efek garis kehitaman disepanjang bentuk matanya. Hidungnya yg lebih mancung dari ukuran pribumi biasa juga terlihat lebih panjang. Dan bibirnya yang selalu tampak merah basah, kini terlihat lebih dramatis dan mengesankan. Mataku tanpa sadar mengikuti lekuk garis bibir atasnya yg tipis dan melengkung imut. Mengingatkan aku pada bentuk bibir penyanyi lama Tommy Page. Salah satu penyanyi berbibir paling seksi, menurut si Vivi. Aku pernah melihatnya di komputernya. Zaki memiliki bentuk bibir yg hampir sama.
Hanya saja, dia nyata. Aku bisa melihat bagaimana bibir menggemaskan itu bergerak perlahan membentuk sebuah senyum. Dan mataku tak pernah lepas memandangnya. Hingga saat ini, baru kali inilah aku menyadari kenapa Zaki terpilih sebagai cowok paling populer di kampus. Dia benar-benar. mengagumkan. Sosoknya nyaris memenuhi kriteria sempurna. Tubuhnya yg tinggi tegap memang benar-benar bagus. Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana tegap dan berisinya dada Zaki saat aku melihat lekukan t-shirt yg dia kenakan. T-shirt putih sederhana -yg entah bagaimana terlihat mewah begitu dia pakai- itu mencetak jelas bagaimana bentuk tubuhnya. Membuat imajinasi mereka yg melihat menjadi kreatif. Lekuk pada lengannya yg berisi dan tegap juga turut memperkuat kesan. jantan pada dirinya. Bahkan bulu-bulu kehitaman yg tumbuh tangan dan sedikit membayang dilengannya seakan-akan ikut mempertegas pernyataan bahwa dia memang menawan dan. . . seksi?!
Aku mengeluarkan suara tercekik pelan begitu kata terakhir itu muncul di otakku.
Mata Zaki yg tertutup langsung membuka. Hanya sebentar dia terlihat kaget, tapi kemudian dia tersenyum padaku. Tiba-tiba saja aku menelan ludah dengan keras karenanya.
"Sini!" panggilnya dan melambai padaku.
Aku menggeleng cepat. "Kita pulang. Udah hampir maghrib!" jawabku. Zaki mendecak sedikit kesal. Dengan tak sabar dia mendekat dan meraih tanganku. Ditariknya aku kembali ke tempatnya tadi berdiri.
"Ini hari terakhir kita disini. Aku ingin melihat pemandangan sunset disini sampai matahari benar-benar tak terlihat!" jelasnya dan memegang bahuku. Dihadapkannya tubuhku ke arah barat.
"Dasar orang aneh! Buat apa sih?!" gerutuku dan mencoba melepaskan diri dari pegangannya.
Kembali aku mendengar Zaki yg berdiri dibelakangku mendecak kesal. "Justru kamu yg aneh! Can't you see how beautiful it is? Dan tidak bisakah kau diam?!!" protesnya yg semakin terdengar tak sabar, sementara tangannya dengan kuat meremas bahuku. "Just be quiet for a while dan coba buat rileks. Tubuhmu terlalu tegang!"
Yeah! Tentu saja! Melihat matahari tenggelam memang kegiatan yg membuat adrenalin kita terpacu. Aku hampir-hampir berteriak dan menggigil ketakutan! pikirku kecut. Dan baru beberapa detik pikiran itu melintas, kurasakan hembusan nafas Zaki yg menerpa perlahan ditelinga dan tengkuk ku. Rasa-rasanya aku dijebloskan mendadak ke dalam sebuah lemari es raksasa. Bulu kudukku sontan meremang, dan tubuhku gemetaran. Hebat!!! Sekarang aku benar-gemar menggigil.
"Kamu kedinginan ya?" tanya Zaki yg sepertinya dengan jelas merasakan getaran tubuhku yg rupanya cukup keras.
"Se-sedikit," jawabku pelan sekali, hingga kukira dia tak akan mendenganya.
"Oh for God sake! Are you sick?! Masa dalam cuaca hangat seperti ini kamu bisa kedinginan?" sergahnya tak percaya. "Bagaimana kalau kau tinggal didaerah sub tropis nantinya! Bisa-bisa kau mati beku dimusim gugur!" gerutunya jengkel.
"HEI!!! IT'S NOT LIKE I. . ." kalimatku sontan terputus saat tangan Zaki melingkar dileherku. Dia menarik tubuhku hingga punggungku menempel didadanya. Dan aku bisa merasakan dagunya yang menempel dipelipisku. Tinggi kami memang terpat lumayan jauh. Dan sumpah demi Tuhan, nafasku benar-benar terhenti saat itu.
"There! Feeling better?!" tanya Zaki pelan.
Aku tak berani menjawab karena aku yakin kalau aku bersuara, aku akan terdengar seperti seekor anak kucing yg minta makan.
"Now try to relax okay? Ikuti aku! Tarik nafas dalam," katanya pelan. Aku yg berada begitu dekat dengannya bisa merasakan dadanya yg bergerak sedikit maju sehingga makin menempel di punggungku.
Tuhanku! Apa memang harus terasa senyaman ini? pikirku dengan dada yg berdebar deras.
"Are you following me?" tanya Zaki, sedikit membuyarkan lamunanku. "Ayo ikuti aku! Take a deep breath!"
Aku terlalu tegang untuk bisa melakukannya. Aku hanya mampu menarik nafas pendek-pendek. "I- I. . . c-can't!" kataku pelan.
"Really?! Okay, now close your eyes!" katanya lagi dan langsung kuturuti. "Lemaskan bahumu yg mesih tegang ini. Atur nafas. Dan kemudian tarik nafas sedalam-dalamnya. With me," bisik Zaki lirih.
Begitu aku menarik nafas, harum tubuh Zaki yg segar namun toh lembut memenuhi indra penciumanku. Baunya langsung masuk ke rongga dada membuat otakku seolah-olah mendapat sengatan kecil listrik yg aneh.
"That's it! Take a deep breath, lalu lepaskan perlahan," bisik Zaki lagi dg nada membujuk, membuat aku yg hampir berontak lagi, urung. Setelah beberapa kali melakukannya, akhirnya tubuhku sedikit melemas, santai. Saat itu aku baru bisa merasakan hal-hal lain selain hangatnya tubuh Zaki yg begitu dekat.
Di pelupukku, aku bisa melihat siluet sinar matahari senja, membuat mataku yg terpejam seakan akan melihat sebuah kain besar berwarna oranye. Suara gemericik air sungai. Bunyi-bunyian serangga, dan tarikan nafas Zaki yg teratur.
"Nah, buka matamu!"
Perlahan aku membuka mata.
"Lihat sinar matahari yg membayang di air," kata Zaki dan menunjuk ke sungai. Aku melihat bayangan sinar kemerahan senja bergerak menyilaukan disana. Sinarnya yg bergerak-gerak membuat ilusi samar seperti ada lampu yg berkedip-kedip didasar sungai. Atau sekumpulan intan yg memantulkan cahaya senja. Mataku menelusuri kilauan sinar itu keatas, hingga berhenti pada matahari yg menjadi sumbernya. Kupicingkan mataku. Sinar mentari membentuk sekumpulan jarum cahaya yg terlihat menakjubkan. Ditambah dengan suara-suara alam disekitar kami, aku sadar bagaimana Zaki bisa terhipnotis. Aku memiringkan kepalaku, menoleh pada Zaki yg wajahnya sangat dekat. Kulitnya yg putih kembali berpendar dengan warna oranya kemerahan. Kilatan kecil terlihat pada ujung hidungnya. Pantulan sinar yg lebih jelas, membayang dimatanya. Dan bulu matanya yg lentik, membayang kehitaman terkena cahaya.
Zaki menoleh padaku dan tersenyum. "Indah kan? I swear! Aku tak pernah tahu kalau matahari bisa begitu. . . menakjubkan," bisiknya lirih. Aku hanya membalas dengan gumaman pelan tak jelas dan meletakkan tanganku diatas tangan Zaki yg -entah mulai kapan telah- memeluk perutku. Lalu kembali menatap kedepan. Menikmati keajaiban orkestra alam yg disajikan didepan kami.
Dan kami tetap diam disana, hingga matahari tinggal semburat warna merah yg samar diufuk barat. Suara serangga malam mulai mendominasi alam sekitar.
"Now we can go home," kata Zaki akhirnya dan melepasku. Yang membuatku sedikit kaget adalah betapa tubuhku merasa begitu kehilangan saat dia menjauh. Bahkan untuk beberapa saat lamanya, pikiranku seakan protes ketika kehangatan tubuh Zaki hilang, membuatku diam bengong ditempatku berdiri. Rasanya aneh berdiri disini sendirian. Tubuhku menginginkan kehangatan tadi. Merindukan kenyamanan tadi. Bahkan aku bisa merasakan gelenyar hangat diperutku. Mengingatkanku akan tangan Zaki yang tadi melingkar disana.Ya Tuhaaan. . . . .
"Gha?!" panggil Zaki. Aku menoleh padanya, sedikit kaget."It's getting really dark! Ayo pulang," ajaknya.
Aku menelan ludah sejenak. "Ka-ka-kamu balik dulu. A-ada yang harus aku lakukan," kataku cepat, sedikit terbata. Zaki mengangkat bahu dan berlalu meninggalkanku. Begitu dia hilang dibelokan, aku menatap tak percaya ke bagian bawah tubuhku yang menegang hebat.
KOK BISA GINI SEEEEEEEEHHHHHHH??!!!!!!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar