REGHA
Kakiku terasa bagai tak bertulang. Tanpa dapat ku
tahan lagi, aku jatuh bersimpuh di lantai dengan tangan kanan yang memegang
dadaku. Tanpa ku sadari, tanganku mencengkeram erat kemejaku. Memilinnya dengan
kuat, berharap dapat menenangkan debaran jantungku yang mulai terasa
menyakitkan. Nafasku jadi tersengal-sengal, dan tak terasa, mataku mulai
mengabur.
"Ya-ya Yu-Tuhan," bisikku lirih dengan
nada terputus karena kehabisan udara. Tangan kiri yang menopang tubuhku mulai
gemetaran. Tak ingin terbaring di lantai, aku menyandarkan punggungku pada meja
kerja Zaki, "Bu-bule sinting......" Aku memejamkan mataku
rapat-rapat. Mencoba mengenyahkan semua kejadian beberapa saat tadi.
Tapi aku tak bisa!
Benakku memiliki keinginan sendiri. Dengan begitu
jelasnya, ia memutar kembali kejadian tadi. Bagaimana bibir Zaki yang terasa
sedikit dingin menyentuh bibirku. Bagaimana dengan lembutnya dia mengulum dan
sedikit menghisapku. Juga sensasi mengejutkan saat lidahnya menyentuhku. Jelas
terbayang sehingga nyaris aku merasa kalau aku baru saja mengalaminya kembali.
Tubuhku kembali menggigil tak terkendali. Butuh
hampir sekitar 20 menit bagiku untuk menenangkan diri. Berulang kali menarik
nafas dan menahan kuat-kuat, agar mataku tetap kering. Aku tak akan membiarkan
bule pengidap megalomaniak akut itu tahu kalau dia telah berhasil
mengguncangku. Kalau aku melakukannya, aku pasti bisa melihat senyum sinis
penuh kemenangannya itu tersungging di wajahnya. Aku tak akan memberinya
kepuasan itu. Jadi aku harus kuat!
Begitu bisa tenang, aku segera keluar dan langsung
menuju kedepan rumah, meski dengan langkah sedikit limbung karena kakiku
tiba-tiba saja terasa seperti kaki dari karet. Seperti yang kuduga, manusia
satu itu telah menungguku di dalam mobil. Namun, alih-alih duduk di kursi
sebelah kemudi, dia malah duduk di bangku belakang. Dengan kata lain, dia
menjadikanku sopirnya hari ini. Aku menggertakkan gerahamku. Tapi tanpa
mengatakan apapun, aku segera masuk ke dalam mobil dan langsung menyalakannya.
Tak ada sedikitpun kalimat yang kami lontarkan
selama perjalanan. Zaki tampak sibuk dengan dokumen-dokumen yang ada di
tangannya. Aku memusatkan perhatianku pada jalanan didepanku, tanpa sedikitpun
meliriknya. Bukan hal mudah. Karena tubuh dan pikiranku bisa dengan jelas dan
cepat kembali mengingat ciumannya tadi. Aku harus menggigit kuat-kuat bibirku
beberapa kali untuk sekedar mengalihkan perhatianku.
Sial!!!
Itu adalah ciuman pertamaku. Dan saat melakukannya,
ku bayangkan aku bersama dengan orang yang ku cintai, dalam suasana romantis
dan menuh magis. Bukan dalam ruang kerja membosankan dan bersama dengan seorang
lelaki. Terlebih lagi dengan bule setengah sinting yang memiliki masalah
kepribadian. He stole it from me! He stole my first kiss!! Sesuatu yang bagiku
sangat berharga, dan mungkin bermakna seperti sebuah lap tissue baginya.
Ya Allaaaaaahhh................
Tanganku mencengkeram kemudi dengan erat hingga
terasa sedikit menyakitkan. Mataku dengan sendirinya melirik ke arah spion yang
ada diatasku, melihat ke arah Zaki. Dia tertidur, batinku saat melihatnya duduk
bersandar dengan mata yang terpejam. Dan dia terlihat begitu tenang dan nyaris
angelic. Siapa sangka kalau dia membuka mata dan mulai bicara, dia berubah
menjadi seorang pemuda sinting dengan masalah kepribadian kompleks. Aku
menghela nafas dan membelokkan mobil yang ku kendarai. Kami mulai memasuki
kawasan panti. Aku menurunkan kaca mobil, tersenyum pada 3 orang satpam yang
berjaga melambaikan tangan saat melihatku.
Saat aku menghentikan mobil di tempat. parkir, aku
mendapati Zaki masih belum bangun. Aku juga tak punya keinginan untuk
membangunkannya. Jadi aku hanya diam disana, mematikan mesin mobil, membuka
seatbelt ku, lalu diam menatap kaca spion yang memantulkan sosok Zaki di
belakangku. Dan seperti biasanya, mataku merambati profil wajahnya, dan
berhenti pada bibirnya yang kini sedikit terbuka. Bibir itu tak semerah
biasanya. Sedikit pucat meski masih terlihat basah dan menggoda. Bibir yang
beberapa jam tadi menempel pada bibirku. Bibir yang tadi melumat dan mengulum
bibirku dengan lembut dan sensualnya.
Tanpa sadar aku mengangkat tanganku dan mengusap
bibirku sendiri. Mengingat bagaimana ciuman kami tadi dengan jelasnya. Aku
bahkan hampir bisa merasakan basahnya bibir Zaki diatasku. Dan nafasku
seolah-olah berhenti disana.
Seakan-akan aliran darahku mendadak terhenti.
Sampai kapan aku akan menyangkal dan mencari dalih
lagi? Kau sudah tahu dari awal kan Gha? batinku pada diriku sendiri. Kau sudah
tahu jauh di lubuk hatiku. Kebenaran itu selalu ada bersamamu. Kau yang selalu
mencoba menemukan alasan dan mencoba untuk tidak memperdulikannya. Kenapa kau
begitu tertarik pada sosok Zaki.
Bagaimana kau nyaris meneteskan air liur melihat bibirnya. Kau tahu apa
alasannya. Juga kenapa kau mencoba untuk terus menggali cerita dari Mas Rizky,
ataupun Ari. Kau tahu kenapa kau membahas masalah yang sama berulang kali. Kau
tahu dengan pasti alasan kenapa kau melakukannya. Fakta itu selalu ada dalam
dirimu. Kau menyembunyikannya disudut hati dan benakmu. Berusaha menguburnya.
Tapi kebenaran itu ada disana.
Monolog itu membuatku tanpa sadar bergidik.
Ya Allaaahh.... bagaimana aku akan mengakui kebenarannya?
Aku kembali melihat ke arah Zaki melalui spion.
Bagaimana aku bisa mengakui kalau aku jatuh cin....
Zaki mengeluarkan suara erangan pelan dan
menggeliat. Aku cepat-cepat mengalihkan mataku, menatap lurus ke arah tembok
yang membatasi tempat parkir karyawan. Saat aku kembali meliriknya sekilas,
Zaki telah membuka matanya. Sepertinya dia masih berusaha mengumpulkan
kesadaran.
"Kita sudah sampai?" tanya Zaki dengan
suara sedikit berat. Aku tak menjawabnya. Aku lebih memilih untuk langsung
keluar setelah menyambar tas kerjaku. Kalau aku harus bertahan, lebih baik aku
menjaga dirku sendiri darinya. Dan aku punya banyak pekerjaan hari ini yang
harus ku selesaikan. Nah, itu cukup untuk mengalihkan perhatianku.
Dan kau juga masih harus membuat pacel buah sebanyak
200 buah di akhir minggu depan Regha. Tegakkan kepalamu dan buang jauh-jauh
pikiran gila yang mampir di otakmu tadi!
Namun bahkan saat pikiran itu melintas di otakku,
aku tahu kalau aku hanya kembali melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan
selama ini. Membohongi diriku sendiri.
ZAKI
Aku sudah mencium banyak orang. Banyak cewek
tepatnya. Dan hanya satu orang cowok. Tapi dari sekian banyak ciuman itu, hanya
ciuman bersama Regha saja yang tak pernah bisa meninggalkan benakku. Damn it!!!
Aku bisa mengingat dengan jelas ciuman-ciuman hebat penuh gairah dengan
beberapa orang mantanku di Australia. Tapi tak ada satupun dari mereka yang
bisa membuatku bergidik seperti yang aku dan Regha lakukan. Bergairah, iya.
Tapi hingga membuat bulu kudukku meremang, hanya Regha.
He didn't even use his tongue! batinku melas. Tapi
kenapa aku bisa seperti orang kecanduan begini?!!! Aku sulit berkonsentrasi
dengan apapun. Bahkan aku nyaris mendorong Anna yang tadi menciumku di lapangan
parkir. Tiba-tiba saja, merasakan bibirnya mengulum bibirku menjadi terasa aneh
dan tidak menyenangkan. Mungkin lain kali ini bisa digunakan sebagai pengingat
untukku. DO NOT KISS A DUDE!!!
"Ntar malam kita keluar?" tanya Anna
sedikit membuatku terhenyak dari lamunan. Aku segera berusaha menepiskan
lamunanku yang mulai membuatku ngeri.
"I don't know. We'll see. Karena mungkin ada
sesuatu yang harus aku lakukan," jawabku datar dan meminum orange juice
yang tadi ku pesan.
"Aaaaw, come on!! I'll make it worth it!"
rajuk Anna yang kemudian mendekatkan tubuhnya padaku. Payudaranya yang menggoda
menempel erat di lengan kananku.
And it doesn't make me feel a thing! What the hell
is wrong with me?!! batinku lagi sedikit kalut.
"Aku baru saja mendapatkan vitamin dari Lexy.
Aku jamin kita bisa bersenang-senang seperti kemarin," bisiknya dengan
nada sensual di telingaku.
Aku mengangkat sebelah alis mendengarnya,
"Yeah, about that. What exactly is that thing? Apa yang kau berikan padaku
waktu itu?" tanyaku. Saat di Australia, sesekali aku dan Justin beserta
yang lain memang mengkonsumsi 'vitamin' pada saat kami berpesta. Hanya sesekali
dan saat kami ingin gila-gilaan saja. Kami tak pernah ingin menjadI seorang
junkie. Jadi meski kami memakainya, kami semua tahu batas dan saling
mengingatkan. Pil yang diberikan Anna beberapa hari kemarin bukan jenis yang
biasa aku pakai. Tapi efeknya memang bisa membuatku merasa lebih ringan, santai
dan lepas.
"It was something new. Kamu suka kan?"
tanya Anna sembari nyengir.
"Well, it's fine. Tapi.......... kau bukan
seorang addict kan?" tanyaku dengan mata menyipit.
Anna tertawa kecil kemudian memberikan sebuah ciuman
ringan di pipiku, "I know sweetie. Aku hanya sesekali menggunakannya untuk
bersenang-senang. Aku cukup sadar untuk tidak membiarkan hal itu menguasaiku.
I'm not that dumb, you know?"
Aku hanya mengangkat bahu mendengarnya, "Glad
to hear it," sahutku sembari kembali menenggak juice-ku. Aku sudah hendak
mengatakan sesuatu, tapi urung saat Anna meraih daguku dan kemudian mencim
bibirku. Dia mengulumnya dengan lembut dengan tubuh yang makin merapat. Aku
harus megepalkan tanganku yang ada di bawah meja untuk menahan diri dan tidak
mendorongnya menjauh dariku. Aku hanya membalas dengan sepantasnya kemudian
agak menarik wajahku.
"What the..." aku menatapnya heran. Tapi
Anna hanya tersenyum sembari memberikan tanda dengan matanya ke arah pintu
kantin. Emma berdiri disana dengan wajah yang mulai memucat. Aku langsung paham
dan mengangguk pada Emma untuk menyapanya.
Emma tidak menjawab atau mengatakan apapun. Dia
hanya berdiri disana dengan mata yang melebar untuk beberapa lama.
Teman-temannya yang ada dibelakangnya mulai berbisik-bisik. Salah satu
diantaranya memegang lengan Emma dan sepertinya hal itu membuatnya sadar.
Dengan cepat dia berbalik. Tapi aku bisa melihat kalau dia menyusut matanya di
luar. Aku berusaha untuk menyesal untuknya, tapi jujur, aku tak merasakan
apapun. Karena yang aku tahu, urusanku dengannya telah lama berakhir.
"Scene yang cukup menegangkan," celetuk
Anna singkat sembari mengedarkan pandangannya. Kantin yang tadi tiba-tiba saja
menjadi senyap, mulai terdengar ramai oleh gumaman beberapa orang. Aku sendiri
tak menyadari kalau kami tadi menjadi pusat perhatian. Guess people always like
drama in life.
"Kau tidak khawatir?" tanyaku.
"Soal?" tanya Anna balik padaku.
"Suatu saat mungkin akan berada di
posisinya," jelasku datar. Yang mengejutkanku, Anna hanya tersenyum lalu
tertawa kecil. Dia lalu kembali ke posisi duduknya tadi sembari menyambar gelas
minumannya.
"Oh honey, I know," sahutnya sedikit geli.
Aku hanya menatapnya heran.
"Aku tahu kalau apa yang kita miliki sekarang
hanya sekedar fling Zaki. Kau sudah menegaskannya padaku setelah kita tidur
pertama kalinya waktu itu, remember? Aku tahu kalau aku tak akan bisa
mengikatmu. Tidak, kalau kau tidak menginginkannya. Like you said, 'we're just
having fun'" katanya lagi sembari membuat tanda kutip dengan kedua
tangannya.
"Are you really fine with that?"
"Well, I don't mind. Meski kalau apa yang kita
punya ini bisa menjadi sesuatu yang lebih, itu akan lebih baik. Tapi karena kau
tak menginginkannya, I'll take what I can get. Lagipula, kau partner yang cukup
membanggakan. It's good for my social status. Kalau kita putus, akan ku katakan
kalau ternyata kau tidak cukup jantan untukku. You won't mind, will you?"
katanya ringan sembari mengedipkan sebelah matanya padaku.
"I don't care. Tapi................ seseorang
pernah memprotesku beberapa waktu lalu," kataku. Aku bisa mengingat jelas
akan komentar Regha yang sedikit menyinggungku beberapa waktu lalu,
"Bukankah kultur budaya ketimuran lebih menjunjung tinggi sex? Budaya asli
Indonesia melarang sex sebelum nikah kan? Dan kau sedikit........... berani untuk
ukuran cewek timur. Dan fleksibel. Not that I complain. Just curious.
Why?"
"Cause I fell in love with a jerk!"
jawabnya singkat, hampir tanpa emosi lalu kembali menengggak minumannya. Aku
hanya menatapnya dengan alis terangkat sebelah, "What? It's true!!"
katanya lagi.
"Care to share? Tak keberatan untuk berbagi
cerita?"
"What? Kau ingin mendengar kisah cinta
tragisku?" tanya Anna, jelas terheran-heran.
"Well.... cerita cinta selalu menarik
kan?"
Anna mendengus dan tertawa geli, "Not mine!
Kisah cintaku sedikit klasik dan sudah sering terjadi di sini,"
selorohnya. Dia sudah hendak kembali meneguk minumannya, tapi urung saat
melihatku yang dengan tenangnya duduk, menunggu dia untuk memulai. Anna memutar
bola matanya, "Fine! I was a fool girl. Aku berasal dari daerah sebuah
desa di dekat Sukabumi. Aku tipikal cewek kampung biasa dan......... polos.
Waktu aku kelas 2 SMA, aku jatuh cinta setengah mati dengan seorang cowok yang
kuliah di Bandung ini. Bagiku, dia terlihat tampan, gaul dan......... menarik.
Dia anak daerahku juga. Anak serang mantan kepala desa. And I fell head over
heels on him. Jadi bisa kau bayangkan bagaimana perasaanku saat dia menyatakan
cintanya padaku? Waktu itu dia sedang libur kuliah. I thought that was the best
time of my life. Dia sering mengajakku keluar dan kami..... bersenang-senang.
Yang membuatku gila adalah saat dia mulai mengumbar janji-janji gombalnya. Dia
membicarakan tentang pernikahan dan anak. Cewek mana yang tidak
tersanjung," Anna tersenyum pahit dan mletakkan gelas yang dipegangnya.
Aku mengambil gelas itu dari tangannya. Anna mungkin
mencoba untuk terlihat santai, tidak peduli akan ceeritanya. Tapi aku bisa
mengatakan kalau kenangan itu berpengaruh besar pada dirinya. Tangannya yang
memegang gelas tadi gemetar.
"I was a fool Zake. Aku mempercayainya,"
kata Anna pelan dan tersenyum tipis, tampak rapuh di mataku. Senyuman jujur
pertama yang dia berikan padaku. Dia menunjukkan padaku sosok Anna yang
sesungguhnya. Bukan Anna cewek gaul dan modern yang biasa dia tampakkan. Tapi
sosok seorang cewek yang berasal dari desa kecil yang polos dan nyaris lugu.
Cewek naif yang selama ini dia sembunyikan dengan baik.
"Kau masih remaja saat itu," kataku
berusaha memberikan dukungan.
"And a fool, didn't I tell you?" ujarnya
sedikit melamun, "Aku percaya dengan semua janjinya. Dan.............. aku
berikan semuanya padanya. Semua yang aku miliki. Dengan ikhlas."
"Dia meninggalkanmu?"
"Lebih buruk. Aku memergokinya," jawab
Anna sembari tertawa pahit, "Waktu itu aku ke Bandung untuk mengejutkannya.
Aku menemukannya sedang tidur di kamar kostnya dengan seorang cewek.
Telanjang."
"Lalu....... apa yang terjadi?"
"Aku pergi, dan tak pernah menoleh lagi. Aku
memutuskan hubunganku dengannya. Dan sejak itu, aku bukan cewek yang lugu lagi.
Apalagi sejak aku kuliah disini. Here, semua jadi lebih transparan dan liar.
Dan aku menikmati apa yang bisa aku nikmati. Meraih apa yang bisa ku raih dan
masa bodoh dengan apapun yang tidak kusukai. Kalau cowok bisa bersenang-senang,
why can't I?" ujarnya ringan sembari mengangkat bahu.
"Kau balas dendam secara tidak langsung,"
komentarku singkat.
"Who cares?! Disini aku bisa menjadi apapun dan
mendapatkan apapun yang aku mau."
"Sampai kapan?" tanyaku pelan.
"Sampai ada yang menghentikanku," kata
Anna lebih pelan dariku, "Tapi sampai sekarang, aku belum menemukan orang
yang bisa aku jadikan imam dalam kehidupanku. Kebanyakan dari mereka hanya
tertarik pada wajah dan tubuhku. Belum ada yang melihatku seperti apa adanya.
Belum ada yang bisa mengenali diriku yang sebenarnya. Mereka hanya tertarik
pada tampilan luarku saja."
"Mungkin kau kurang mengenal mereka saja. Why
don't you give 'em time."
"I did! I do! And you what is the funny thing?
Beberapa dari mereka tak lebih dari pria hidung belang yang hanya mencari
kepuasan seks dan pembuktian diri konyol, hanya karena mereka lelaki. Banyak di
antara mereka adalah pria paruh baya tak tahu diri namun kaya, yang mengira
dunia ini bisa mereka kendalikan dengan uang. Bagiku mereka hanya sekelompok
pria yang mencoba membuktikan diri pada dunia, bahwa mereka adalah lelaki
super. Meski pada kenyataannya, mereka hanya sekumpulan pria mengenaskan yang
sebelah kakinya sudah terpendam di tanah pemakaman. But what the hell. They got
money. and they want my body! It's a fair trade. Ada juga sekelompok pemuda
yang merayuku dengan berbagai janji-janji kosong yang kesemuanya hanyalah
bulshit! Mungkin memang ada pria baik di luar sana Zaki. Tapi aku belum
menemukan orangnya. Kebanyakan yang kutemukan dari mereka adalah pecundang. And
honestly, aku lebih memilih orang sepertimu. Setidaknya kau jujur dengan apa
yang kau inginkan dan tidak menebar omong kosong tak jelas."
"Mungkin kau harus lebih menahan diri
Anna," saranku. Meski dalam hati aku lebih merasa seperti seorang hipokrit
dengan mengatakan kalimat tadi. Here I am. A guy yang langsung tidur dengannya
pada kencan pertama,tapi memberinya saran untk menahan diri.
"Aku menahan diri Zake. Tapi kau sudah lama
membuatku tertarik. I can't resist you," jawabnya singkat sembari
mengerling nakal.
"Aku merasa tersanjung. Terimakasih,"
sahutku dengan nada sarkas meski tak urung juga aku tersenyum.
Anna tertawa mendengarnya, "Aku serius. You are
making me drooling all the time. Melihatmu membuat pikiranku mengeluarkan
imajinasinya yang terliar. Dan aku ingin mewujudkannya dalam dunia nyata. Kau
bisa membantuku kan?"
Giliran aku yang kini tertawa mendengar
kejujurannya, "God... you are unbelievable," ujarku, "Kau tahu
kalau kau tak bisa mengandalkan tubuhmu selamanya. Suatu hari kulitmu akan
mengendur dan berkerut, rambutmu akan memutih dan........"
"Aku tahu," potong Anna.
Aku tersenyum mendengarnya, "Syukurlah. Maaf,
aku tak bermaksud mengguruimu. Hanya saja.......... beberapa hari kemarin aku
sempat ditegur oleh seseorang."
"Ditegur?" ulang Anna dengan alis
terangkat.
"Weird huh?! Yeah! Well, kau tahu aku tumbuh di
Australia. Kultur disana jauh berbeda dengan Indonesia. Disana sex bukanlah hal
yang tabu seperti disini. Remaja disana sudah aktif secara seksual. Tapi
disini, keperawanan adalah hal yang sakral."
"Dulunya," komentar Anna, "Entah
siapa yang harus disalahkan. Tapi sekarang sudah terjadipergeseran nilai dan
budaya. Aku sendiri adalah salah satu pelakunya. Entah karena kebodohanku atau
kenaifanku."
""It's a choice Anna. Kau berhak melakukan
apapun dengan hidup dan tubuhmu."
"Aku tahu Zake. But honestly, I regret it!
Bagimu yang dibesarkan di Australia, sex mungkin tidak memiliki makna khusus
selain pemenuhan kebutuhan biologis yang alami. Tapi seperti yang kau bilang,
dalam masyarakat timur, sex adalah hal sakral dan hanya diperbolehkan dalam
ikatan pernikahan. But I didn't. As you do, aku menganggapnya sebagai hal
casual dan nyaris tak bermakna. Kalau aku bisa memutar kembali
waktu.................. aku berharap kalau aku tak pernah melakukan kebodohan
itu dengan mantan pacarku," ujar Anna dengan senyum yang sedikit getir,
"Menurutmu itu bodoh kan?"
Aku menggeleng, hampi-hampir merasa malu dengan
diriku sendiri, "Tidak. Sebenarnya, ide menyerahkan diri hanya pada
pasangan resmi kita, terdengar sedikit romantis bagiku. Membayangkan bahwa kita
menjaga diri kita hanya untuk orang spesial yang mau menghargai kita dalam
sebuah pernikahan, sebenarnya cukup menakjubkan. Bahkan bagi aku yang cukup
liberal, pernikahan adalah sebuah hal serius dan bukan mainan. Jadi jika memang
ada orang yang menikahimu, bukankah itu merupakan pertanda bahwa dia memiliki
sebuah komitmen yang serius dan kuat? Cukup adil bukan kalau kita menjaga diri
kita hanya bagi mereka yang menganggap kita serius dan berarti."
Anna tergelak, "Teguran seperti apa yang
sebenarnya telah diberikan padamu Zake? Dan siapa? Aku ingin bertemu dengan
orang hebat itu?"
Aku tersenyum kecil, "Dia mengatakan padaku
bahwa, the body is our temple. Karena itu kita harus menghormatinya. Membiarkan
tubuh kita digunakan dan dinikmati oleh banyak orang, itu sama artinya dengan
kita tidak menghormati diri kita sendiri. Aku sempat menertawakannya dengan
mengatakan bahwa ini hanya lah seks. It's just a body! Tapi kau tahu apa yang
dia katakan? Ini memang hanya sebuah tubuh. Tapi di dalamnya, bersemayam jiwa
kita. Kalau kita mengotori tubuh kita, itu sama artinya kita mengotori jiwa
kita. Karena tubuh dan jiwa kita adalah sebuah kesatuan. Tubuh tanpa jiwa
adalah mayat. Dan jiwa tanpa tubuh hanyalah roh atau hantu yang bergentayangan.
Honestly, that scares me a bit!"
Kami lalu terjatuh dalam keheningan yang panjang.
Membiarkan masing-masing dari kami mencerna apa yang baru saja kami bicarakan.
Memahami setiap patah kata dan makna terdalam dari semuanya. Tanpa sadar aku menarik
nafas panjang dan sedikit bergidik.
Aku sudah hendak mengatakan sesuatu tapi kemudian
ujung mataku melihat sosok Regha yang berjalan menuju ke kantin tempat kami
berada dengan Regi dan Vivi. Tanpa ku sadari aku melingkarkan tanganku di
pinggang Anna dan menariknya mendekat. Bola mata Anna sedikit membesar
karenanya. Tapi aku hanya mengangkat bahu dan menyurukkan kepalaku di lehernya.
Memberinya ciuman-ciuman kecil menggoda.
"Kiriman buah akan datang besok pagi. Aku butuh
uangnya sekarang."
Kata-kata itu diucapkan dengan cepat dan dingin oleh
Regha. Untuk sejenak aku hanya diam, tapi kemudian agak menjauhkan diri dari
Anna. Regha berdiri didepanku dengan mata datar, nyaris tanpa emosi. Sementara
Vivi dan Regi yang berada di sebelahnya diam saja. Tapi aku bisa melihat
kekagetan mereka. Bukan karena aku sedang bersama Anna. Tapi
mereka lebih kaget
dengan sikap Regha. Karena keduanya kini tengah menatap ke arah temannya itu.
"Berapa yang kau butuhkan?" tanyaku acuh
sembari kembali menarik pinggang Anna untuk lebih mendekat. Meski matanya penuh
dengan tanda tanya, Anna tidak menolakku.
"Budget per parcel. yang kau inginkan 200 ribu
kan? Jadi untuk 200 parcel biayanya sekitar 40 juta. Kau akan terima laporan
dan sisanya nanti. Dengan menggarap sendiri parcel itu dan dibantu dengan Regi
dan yang lain, harganya bisa jauh lebih murah dan kemungkinan besar dana itu
akan bersisa."
"Cek tak apa-apa kan?" tanyaku. Regha
menjawabnya dengan anggukan singkat. Aku segera mengeluarkan buku cekku dari
tas. Sial!! Kenapa dadaku jadi tak tenang begini melihatnya? pikirku kesal.
Sejak peristiwa kemarin itu, kami hampir-hampir tak pernah berkomunikasi. Hanya
sesekali saja saat diperlukan kami bicara. Itupun berlangsung hanya dengan
beberapa patah kata yang singkat dan seperlunya. Aku bahkan baru melihatnya
sekarang semenjak pulang dari panti. Aku menyobek cek yang telah ku tulis dan
menyerahkannya pada Regha. Dia tak mengatakan apapun dan menerimanya.
"Ada lagi?" tanyaku.
"Aku akan mengerjakan parcel itu di tempat kost
dibantu oleh Regi, Vivi dan yang lain. Tapi nantinya aku akan membutuhkan
kendaraan untuk mengangkutnya ke tempat pesta."
"Di kostanmu? Tapi kamarmu sempit. Mana cukup
untuk menyimpan seluruh parcel yang berjumlah 200 buah?' tanyaku
heran.
"Ada dua kamar kosong di sana. Aku sudah minta
ijin dengan Ibu Kost untuk menggunakannya selama beberapa hari. Masalahnya
adalah mengangkutnya nanti. Kalo untuk buahnya sendiri, pihak pemasok sudah
bersedia untuk mengantarnya sampai ke kostan. Ada lagi?"
Aku mengangkat alis oleh sikap sarkasnya. Tapi baru
kusadari kalau sedari tadi, selama dia berbicara, tak sekalipun Regha
melihatku. Dia lebih memilih menunduk atau menancapkan pandangannya ke benda
lain di sekitarku. Membuatku sedikit bertanya-tanya, apakah mungkin dia masih
mengingat ciuman tak terduga kami waktu itu. Aku sendiri masih dengan jelas
mengingatnya. Apalagi saat kini dia berada di hadapanku. Aku nyaris bisa
merasakan bagaimana lembutnya bibir Regha dalam kulumanku. Hell, aku bahkan
bisa mengingat bagaimana bentuk tubuhnya saat kami berenang dulu. Satu hal yang
paling membekas di benakku adalah bahwa Regha memiliki aerola yang lebih lebar
daripada cowok kebanyakan. Lingkaran kecoklatan didadanya terlihat jelas waktu
itu. Sedikit lebih besar dari punyaku. Dan putingnya yang berwarna lebih muda
waktu itu tampak mencuat dan tercetak jelas di t-shirtnya yang basah.
Berbeda dengan sekarang. Aku tak bisa menangkap
bentuk putingnya, meski aku bisa melihat kontur aerolanya yang membayang di
balik t-shirt putih tipisnya itu. Aku bisa dengan jelas mengetahui letaknya.
Taruhan, aku bisa membuat
putingnya mengeras hanya dalam hitungan detik dengan
mengulumnya lalu.................
HOLY FUCKING SHIT!!!!!!!! What the heck am I
thinking?!!!! batinku sedikit panik. Can't you believe it?! Here I am, duduk
begitu dekat dengan seorang cewek yang tubuhnya nyaris menempel semua padaku,
sexy as hell dan bisa untuk ku ajak bersenang-senang. Tapi pikiranku malah
membayangkan diriku mengulum puting Regha yang berdiri di hadapanku! I am
definately out of my mind!!!
Sialnya, pada saat itu, Regha memutuskan untuk
mengangkat wajahnya dan mata kami bertemu. Untuk beberapa detik lamanya kami
hanya diam dan saling berpandangan. Dan seakan-akan tahu apa yang sedang aku
pikirkan, dia kemudian kembali menunduk dengan pipi yang bersemu merah.
Shit!!! Apakah dia tahu apa yang ada dalam benakku?
Apa semua begitu jelas di wajahku? Sial!! Bahkan sekarang aku masih bisa
membayangkan diriku sedang menjilati dadanya. Gelenyar aneh di perutku semakin
menghebat, seiring dengan semakin menegangnya salah satu organ tubuhku. Aku
hanya bisa menggeram keras karenanya. Dengan kesal aku meraih jaketku yang tadi
ku lepas dari atas tasku. Aku langsung melemparkannya pada Regha.
"Wear it!" perintahku singkat.
Jaket itu mendarat tepat di kepala Regha. Dia agak
terperanjat tapi dengan cepat menangkap jaketku sebelum jatuh, "Aku tak
butuh jak.."
"Kenakan saja!" potongku singkat, tak
ingin dibantah. Sejenak kulihat Regha hendak kembali protes. Tapi dia
membatalkannya. Dengan gerakan patuh dan terlihat menahan marah, dia mengenakan
jaketku.
"Ada lagi, Bapak?" tanya Regha dengan
keramahan yang dibuat.
Aku harus menggertakkan gerahamku untuk menahan
diri. Dia tak tahu efek apa yang dia timbulkan padaku. Tapi aku tak akan membiarkan
sikapnya mempengaruhiku. Jadi aku hanya mengepalkan kuat-kuat tangan kiriku
yang ada dibawah,
"Untuk masalah pengangkutan, kau bisa mencarinya?"
"Saya tidak memiliki kenalan sopir Bapak.
Maaf," jawabnya datar.
"Jangan khawatir, Gha. Kita akan bantu cari
kok," celetuk Regi yang sedari tadI hanya dia menonton. Aku menoleh
padanya. Kulihat dia hanya mengerling dengan senyum sedikit geli padaku.
Aku menghela nafas, "Aku berterima kasih atas
bantuanmu Regi. Vivi. Akan ku pastikan kalian mendapat balasan yang
layak," kataku.
Regi mengibaskan tangannya, "I'm happy to
help," jawabnya singkat.
"Ada lagi Bapak? Kalau tidak, saya dan yang
lain harus segera pergi untuk membeli beberapa keperluan lainnya," ujar
Regha, memotong kami.
"Go!" desisku kesal.
Regha sedikit membungkukkan tubuhnya layaknya
seorang pelayan hotel atau restoran. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia
berbalik pergi, diikuti oleh Vivi dan Regi yang masih sempat melambai padaku.
Senyum geli masih tersungging di wajah keduanya. Sepertinya mereka menikmati
drama satu babak antara aku dan Regha tadi. Yang membuatku heran adalah saat
aku mendapati Anna yang memandangku dengan sorot geli. Dia menggelengkan
kepalanya dan tertawa kecil.
"What?!!" bentakku kesal.
Anna kembali menggelengkan kepalanya dan tertawa,
"Aaaww.... baby. Kalian lucu sekali. I should have known it!" gumamnya geli.
"About what?!!" tanyaku keras, nyaris
berteriak.
"Oh no! Kamu harus memahaminya sendiri. Let's
go," katanya dan bangkit tanpa menghiraukan protesku.
Aku hanya mampu menggerutu. Hari ini benar-benar
aneh dan sial bagiku! batinku kesal.
RIZKY
"Kau sudah menyelesaikan laporan
bulananmu?" tanya Ferdy yang baru masuk padaku.
"Sedang ku kerjakan," kataku tanpa
mengangkat wajah. Mumpung hari ini sedikit longgar, aku memutuskan untuk
mengerjakan laporanku.
"sudah waktunya istirahat siang. Kamu nggak
makan?" tanya Ferdy lagi dan mendekat.
"Nanggung. Tinggal dikit juga kelar. Kamu pergi
saja dulu, nanti aku nyusul," jawabku lagi.
"Gimana kalau kita makan disini saja?"
tawarnya. Aku mendongak untuk melihatnya. Setelah berpikir sejenak, aku
mengangkat bahu. Bukan ide yang jelek kan? Ferdy tersenyum melihatku.
"Kamu mau apa?"
"Apa saja asal jangan sea food," jawabku
sembari merogoh dompet. Tapi Ferdy sudah pergi sebelum aku bisa memberinya
uang. Lagi-lagi aku hanya bisa mengangkat bahu. Setidaknya Ferdy sudah kembali
menjadi Ferdy yang biasa. Meski belum menceritakan kejadian beberapa waktu
kemarin, dia sudah terlihat dan terdengar hampir normal. Aku sendiri lebih
memilih untuk diam dan tidak mengungkitnya. Pernah aku berusaha sedikit
memancingnya, tapi Ferdy dengan cepat mengubah topik pembicaraan. Aku
menganggap itu sebagai petunjuk untuk menutup mulutku.
Hubungan kamipun berjalan dengan sendirinya. Tak ada
komitmen yang kami ucapkan. Tapi kami seakan-akan berada dalam sebuah
kesepakatan bersama yang tak perlu diucapkan secara lisan. Beberapa hari
terakhir, setelah pulang dari Rumah Sakit, aku berhenti di kontrakan Ferdy.
Menghabiskan sedikit waktu bersamanya untuk sekedar ngobrol ataupun bercinta.
Ferdy juga tak pernah memaksaku untuk melakukannya. Bila memang tak bisa
mampir, dengan tenang aku mengatakan padanya. Dia tak bertanya kenapa ataupun
berusaha menahanku. Kami benar-benar seperti memiliki sebuah persetujuan tak tertulis.
Aku tak tahu apakah aku memanfaatkan Ferdy, atau
mungkin sebaliknya. Yang jelas, aku tak merasa dirugikan. Sepertinya dia juga
berpikiran sama denganku.
Suara ketukan pintu yang kemudian terdengar, sedikit
mengagetkanku.
"Maaf Dok, ada Dokter Ferdy?" tanya
seorang gadis yang berdiri didepan pintu. Dari fisiknya, dia terlihat berdarah
tionghoa. Kulitnya putih dengan mata yang sedikit sipit. Rambutnya yang lurus
dan hampir sepanjang sikunya terlihat hitam berkilau. Tubuhnya yang ramping
dibungkus oleh pakaian rapi dan sopan, namun toh bisa menampakkan lekuk
tubuhnya yang bagus. Gadis yang cantik, pikirku. Mungkin dia salah satu
keluarga pasien yang pernah ditangani Ferdy.
"Dokter Ferdy masih ke kantin. Silahkan masuk
dan tunggu saja mbak. Sebentar lagi jga kembali," kataku dengan senyum
ramah yang biasa kuberikan kepada pasienku.
"Terimakasih Dok," ujarnya sembari
tersenyum. Dia melangkah masuk dan kemudian duduk di salah satu kursi tamu yang
diletakkan di berjejer sepanjang tembok sebelah pintu. Hanya diperlukan lima
langkah baginya untuk duduk. Tapi dari lima langkah itu aku bisa melihat kalau
dia memiliki postur tubuh dan keanggunan seorang model. Nyaris ningrat. Kakinya
yang dibungkus sepatu berhak tinggi itu melangkah dengan langkah teratur dan hampir-hampir
seperti tertata. Dia duduk dengan pose yang pasti akan membuat iri para perawat
di bagian ini. Tanpa bergaya, dia terlihat sedang berada dalam sorotan kamera.
Gadis yang langka, pikirku. Bahkan make up tipisnya
terlihat begitu pas. Tidak berlebihan ataupun kurang. Jelas dia berasal dari
keluarga berada dan memiliki kelas.
Aku hanya tersenyum sekilas dan kembali
berkonsentrasi pada laporanku. Masing-masing dari kami membiarkan keheningan
menggantung tanpa ada pembicaraan.
"Ky, Bu Rini buatin kita nasi goreng spesial
nih! Katanya dia bikin resep baru buat kita berdua," ujar Ferdy yang
tiba-tiba saja nyelonong masuk dengan membawa debuah nampan besar dengan dua
piring nasi goreng dan dua gelas es teh di kedua tangannya.
"Eh Fer, ada..........." aku menunjuk ke
belakang.
"Mas Ferdy," sapa cewek itu bangkit.
Ferdy yang termangu sedikit melangkah mundur,
"Shella?!" gumamnya pelan dengan wajah sedikit memucat.
Nama itu sepertinya pernah ku dengar. Aku memandang
mereka berdua bergantian, hingga kemudian aku ingat apa yang dikatakan Ferdy
ketika dia kembali dari Yogya dengan tubuh penuh luka. Gadis itu...........
Shella...............
Tunangannya!!!
"Si Shella nggak apa-apa sendiri?" tanyaku
pada Ferdy yang baru saja kembali. Dia tadi meminjam mobilku untuk mengantar
Shella ke kontrakannya. Setelah perkenalan singkat dan canggung tadi, dia
meminta Shella untuk menunggunya disana hingga dia pulang tugas.
Ferdy hanya menggeleng, "Dia mengundangmu makan
malam bersama sepulang dari sini nanti," katanya pelan sembari mengulurkan
kunci mobilku.
Untuk sejenak aku hanya mampu termangu, "Makan
malam?" gumamku pelan.
Ferdy mengangguk sembari berjalan melewatiku. Dia duduk di bangkunya sembari mendesah.
Untuk sesaat dia hanya duduk diam disana lalu mengusap wajahnya dengan kedua
tangan.
"Kau tahu kenapa dia datang?"
Ferdy menggeleng, "Kau sudah lihat reaksiku
tadi kan?"
Yeah! Aku bisa melihat dengan jelas kekagetan yang
dia rasakan dari wajahnya. Kalau dia tahu, tak mungkin Ferdy sekaget itu.
Wajahnya nyaris memucat dan dia hampir-hampir tidak bisa mengatakan kalimat
yang terdiri lebih dari 6 kata dengan benar. Aku sendiri mulai bertanya-tanya
tentang alasan kedatangan Shella. Padahal beberapa waktu yang lalu Ferdy
kembali dari Yogya dengan tubuh memar karena telah memutuskan pertunangan
dengannya.
"Dia............ cantik," komentarku
singkat.
Ferdy melihatku sedikit terpana. Dia lalu tersenyum
sedikit getir membalasku, "Yeah! Dia cantik. Tapi aku jatuh cinta dengan
seorang dokter tampan," kata Jeffry dengan nada datar. Dia lalu bangkit
dan berjalan keluar tanpa mengatakan apapun lagi.
Sisa hari itu berjalan dengan sedikit aneh. Ferdy
lebih banyak menutup diri. Aku bisa melihatnya sedikit kalut, hampir-
hampir
panik. Aku sendiri sadar kalau saat ini aku tak bisa melakukan apapun
untuknya. Yang jelas, aku berniat untuk
menunjukkan padanya kalau dia mendapatkan dukunganku. Akan ku usahakan untuk
berada di sampingnya. Tapi aku tak akan bertindak seebelum dia memintaku, atau
sebelum aku diperlakukan. Akan jadi aneh kalau tiba-tiba aku langsung terjun di
tengah-tengah konflik mereka. Karena itu, aku hanya diam dan berada disamping
Ferdy. Sesekali aku hanya diam memandangnya. Pada saat mata kami bertemu, Ferdy
hanya tersenyum tipis. Aku bisa merasakan kalau dia berusaha mengatakan terima
kasihnya dari senyumnya itu.
Saat kami meluncur pulang menuju kontrakan Ferdy,
kepanikannya semakin terlihat jelas. Dia duduk disebelahku dengan kedua tangan
saling meremas di pangkuannya. Sedikit keringat membayang di keningnya. Aku
yang memegang kendali hanya mengulurkan tanganku, memegang dan meremas sekilas
bahunya.
"Tenang," kataku singkat.
Ferdy hanya menoleh dan berusaha tersenyum, meski
bagiku lebih terlihat seperti sebuah cengiran bingung. Begitu mobil berhenti
didepan kontrakannya, Ferdy nyaris melompat saat keluar dari mobil. Dia bahkan
sempat tersandung di depan pintu.
"Fer, kau lebih terlihat seperti seorang maling
yang kepergok basah. Tenangkan dirimu, ok?" tegurku pelan.
Ferdy mengangguk dan mengusap keningnya dengan
gugup, "Maaf, ak.........."
Pintu rumah sudah terbuka bahkan sebelum kami
mengetuknya. Shella berdiri menyambut kami sembari tersenyum lebar,
"Kalian datang tepat waktu. Makan malam sebentar lagi siap. Kalian suka
spaghetti bolognese?" sapanya sembari melebarkan pintu, mempersilahkan
kami. Yang mengejutkanku adalah saat dia mendekat ke arah Ferdy, dan
mengulurkan tangan kanannya. Dia meraih tas kerja Ferdy, memindahkan tas itu ke
tangan kiri, meraih kembali tangan kanan Ferdy lalu mencium punggung tangannya.
Simbol pengabdian dari seorang istri pada suami.
Untuk sejenak suasana terasa canggung. Ferdy diam
dengan wajah memerah, sementara aku sedikit terpana. Shella sendiri tetap
menyunggingkan senyumnya pada kami.
"Sebenarnya tadi berniat untuk memasak sedikit
masakan Indonesia. Tapi aku tak tahu letak pasarnya. Jadi aku cari saja apa
yang ada di mini market yang ada di ujung jalan. Mas Ferdy suka sekali
spaghetti yang dulu ku buatkan. Saya harap Dokter Rizky suka masakan
Italia."
Aku menutupi kecanggunganku dengan tertawa kecil,
"Apapun selain nasi goreng Bu Rini," jawabku dan membalas senyumnya.
"Bu Rini?" tanya Shella mengerutkan dahi.
"Oh, dia salah seorang penjual di kantin kami.
Kami lebih sering menikmati aneka rasa nasi goreng miliknya daripada masakan
lain beberapa waktu terakhir," kataku menjelaskan. Aku lalu menoleh pada
Ferdy yang hanya berdiri diam di sebelahku, "Mungkin kau sebaiknya mandi
dulu Fer," saranku padanya. Dengan begitu dia memiliki sedikit waktu untuk
menenagkan dirinya.
"Oh, i-iya. I-ide bagus. Aku mandi dulu
sebentar," pamitnya dan melangkah ke dalam.
"Masakan siap sekitar sepuluh menit lagi
Mas," ujar Shella yang dijawab hanya dengan anggukan oleh Ferdy,
"Dokter Rizky silahkan duduk dulu. Mau minum kopi atau yang lain?"
"Bagaimana kalau segelas minuman segar?"
"Orange juice?" tawar Shella yang ku jawab
dengan anggukan setuju, "Tunggu sebentar. Saya harus melihat masakan
dulu," pamitnya dan masuk.
"Biar ku temani. Dan tolong panggil aku Rizky
saja," ujarku dan membuntutinya ke dapur.
"Aduuuhh, jadi nggak enak. Dokter Rizky kan
rekan kerja Mas Ferdy."
Aku mengibaskan tanganku, meraih dan duduk di salah
satu kursi yang ada di bawah meja dapur, "Akan lebih akrab kalau kita
seperti itu. Anggap saja kita teman lama," kataku.
Shella yang baru saja mengambil sekotak jus jeruk
dari kulkas menatapku dan tersenyum lega, "Terimakasih," katanya
pelan. Dia menuangkan isi kotak itu ke dalam sebuah gelas besar dan
mengulurkannya padaku.
Aku kembali mengangguk, "Rencana berapa hari
tinggal disini Shella?" tanyaku sntai.
Shella yang kembali mengurus masakannya hanya
mengankat bahu, "Masih belum tahu
Dok. Ah, maaf. Maksudku, Rizky," ralatnya cepat.
Aku tertawa untuk mencoba menenangkannya,
"Begitu lebih baik," cetusku.
"Tergantung Rizky. Ada beberapa hal yang harus
ku urus disini. Begitu semuanya clear, aku akan kembali. Lagipula, aku bisa
sedikit membantu mengurus Mas Ferdy. Dia sudah terlalu lama tidak diurus oleh
wanita. Kau tak bisa membayangkan bagaimana kondisi rumah ini ketika aku datang
tadi," ujarnya dengan nada geli.
Aku bisa melihatnya, batinku. Rumah kontrakan Ferdy
memang jadi terlihat lebih hidup, bersih dan lebih rapi daripada biasanya.
Ferdy bukan orang yang jorok, dia bahkan cukup rapi. Hanya saja, seperti
kebanyakan pria, dia suka segala sesuatu yang simpel dan praktis. Plus dengan
kegiatannya, terkadang dia memang harus meninggalkan beberapa perkakas dalam
keadaan tak tercuci untuk bisa sampai ke rumah sakit tepat waktu. Tapi sekarang
rumah kontrakannya yang biasanya terlihat simpel dan sederhana, jadi sedikit
meriah. Di meja depan tadi aku melihat taplak baru dengan sebuah vas berisi
bunga hidup menghiasi. Dapur inipun terlihat lebih hidup dan rapi dengan
peralatan yang berjejer bersih.
"Namanya juga cowok Shell. Kami suka yang
praktis dan cepat," cengirku.
Shella tertawa, "Tapi kan tidak selalu sehat
tho? Makanan cepat saji itu kurang bagus vitaminnya. Lihat saja itu Mas Ferdy,
tubuhnya malah lebih kurus daripada terakhir kali kami bertemu."
"Shella tahu bagaimana............. keadaan
orang tua Ferdy?" tanyaku pelan.
Punggung Shella yang membelakangiku terlihat
menegang selama beberapa detik, tapi dia bisa menguasai diri dengan cepat.
Shella berbalik dan menatapku, "Rizky tahu apa yang terjadi?" tanya
dia dengan suara tenang terkendali.
Aku tersenyum dan mengangguk, "Aku yang
menjemput dia di bandara ketika dia kembali dari Yogya," jawabku.
"Kalu begitu Rizky juga pasti tahu kalau
kondisinya masih belum baik kan? Antara Mas Ferdy dan keluarganya
maksudku."
"Aku bisa menduganya," jawabku.
Shella tersenyum, "Aku disini berusaha untuk
memperbaikinya Rizky," jelasnya pelan, "Nah, makanan sudah siap. Mau
membantuku menata meja ini??" tawar Shella. Aku tak tahu apakah kalimatnya
bermakna ambigu atau tidak. Tapi aku hanya tersenyum dan membantunya
membereskan meja.
"Kamu asli dari Yogya?" tanyaku, mencoba
memecahkan keheningan dan kecanggungan kami.
"Yup! Tapi seperti yang kau lihat, aku memiliki
darah tionghoa dari pihak ayahku. Banyak orang yang mengiraku berdarah murni
keturunan. Tapi ibuku asli jawa. Aku sendiri lahir dan tumbuh di Yogya,"
jelas Shella.
"Orang tuamu dan Ferdy............."
"Mereka teman lama. Bapak Atmowiloto, ayah
Ferdy adalah teman sekolah ayahku. Mereka masih sering berhubungan meski tidak
kuliah di tempat yang sama. Hingga kini."
"Jadi kau sudah lama mengenal Ferdy?"
"Tidak bisa dikatakan mengenal baik. Kami hanya
sesekali bertemu dalam acara besar keluarga. Itupun hanya menyapa sekilas
dan..... Mas Ferdy sudah selesai?"
Pembicaraan kami terputus saat Ferdy melangkah
mendekati kami dari ruang tengah. Dia masih terlihat sedkit kikuk, namun jauh
lebih tenang daripada tadi. Dia hanya mengangguk pada Shella lalu menoleh
padaku.
"Kamu nggak mandi Ky?"
"Ntar aja dirumah," sahutku santai.
"Monggo Mas. Hidangan sudah selesai. Rizky
harus sampai habis ya?" ujar Shella
dan mempersilahkan kami. Ferdy menoleh padaku dengan mata bertanya.
"Rizky?" gumamnya.
Aku mengangkat bahu, "Aku rasa itu akan membuat
kami merasa lebih santai. Risih rasanya kalau tunanganmu juga memanggilku
Dokter Rizky," jawabku.
"Nggak apa-apa kan Mas?' tanya Shella, sedikit
khawatir, "Rizky sendiri yang minta lho tadi."
"Yaah kalo memang dia memintanya," sahut
Ferdy pasrah dan duduk didepanku. Shella sendiri duduk disebelahnya. Dan aku
harus mengakui kemampuan memasak Shella cukup hebat. Spaghettinya matang dengan
pas. Sausnya pun terasa pas dan tidak berlebihan. Aku bukan penggemar masakan
Itali, tapi aku tak akan menolak kalau sesekali ada yang memasakkan spaghetti
seperti ini.
"Kamu berencana libur berapa hari Fer?"
tanyaku disela-sela makan.
"Libur?" anya Ferdy balik.
"Shella kan datang. Kamu ajak jalan-jalan dong.
Masa ditinggal sendiri?"
"Tapi..........." dia menoleh ke arahh
Shella, lalu kembali padaku, "......... aku sudah terlalu sering absen.
Kemarin aku sudah pulang mendadak ke Yogya selama beberapa hari. Gak enak
kalau......"
"Ndak apa-apa Mas kalau memang ndak bisa,"
sela Shella. Meki terdengar biasa, aku tahu dia menginginkan sebaliknya. Aku
hanya menarik nafas panjang. Alasan Ferdy cukup valid. Dia sudah beberapa kali
libur. Tapi aku........
"Kalau tidak keberatan, biar aku saja yang
menemani. Aku bisa mengambil libur 2 hari," kataku menawarkan.
"Ky..."
"Beneran Rizky bisa?" tanya Shella dengan
wajah berbinar.
Aku mengangkat bahu, "Aku belum pernah
mengambil libur. Lagipula aku butuh sedikit bersantai. Lagipula, kasian Shella
kalau jauh-jauh dari Yogya, dia cuma diam saja di rumah. Tapi itupun kalau kau
mengijinkan Fer. Bagaimanpun juga, dia tunanganmu," kataku.
"Boleh ya Mas?" pinta Shella.
Ferdy memandang ke arah kami bergantian. Aku mencoba
menampilkan wajah biasa-biasa saja. Aku sebenarnya tak ingin melakukannya. Tapi
rasanya akan lebih baik aku sedikit membantu menemani Shella. Setidaknya dengan
begitu Ferdy tak terlalu terbebani. Dia juga tahu kalau Shella akan aman
bersamaku.
"Ya sudah," jawab Ferdy akhirnya, membuat
Shella kegirangan. Aku hanya tersenyum. Di bawah meja aku sedikit memajukan
kakiku hingga menyentuh kakI Ferdy. Aku sedikit mengusapkan kakiku, mengusapkannya
pada kaki Ferdy. Dia memandangku sejenak dan kemudian menunduk. Kurasa dia
sudah bisa menangkap pesanku.
Siang itu saat aku menjemputnya, Shella sudah siap
untuk berangkat. Hari ini dia mengenakan celana jeans hitam, tank top putih
yang dia tutupi dengan jaket casual dengan hoodie berwarna gading. Potongan
baju yang sederhana tanpa banyak pernak-pernik itu terlihat sangat pas dan
berkelas di tubuhnya. Ditambah tas besar berwarna hitam dan sepatu berhak
rendah, dia terlihat bergaya namun toh masih terlihat santai. Make up tipisnya
pun terlihat alami. Hari ini rambutnya dia kuncir ekor kuda di belakang.
Berayun-ayun dengan ringannya saat dia mendekat ke mobilku. Parfum dengan bau
bunga-bungaan turut mengiringi kehadirannya.
Aku turun dan membukakan pintu mobilku untuknya.
"Sudah siap menjelajah Bandung?" kataku
tersenyum dan mempersilahkannya.
Dia tertawa renyah, "Sangat siap! Orang rumah
dan beberapa temen udah heboh nitip oleh-oleh," katanya dan masuk ke
mobil. Aku tertawa kecil dengan antusiasmenya. Dan tak lama, kamipun meluncur
di jalanan kota Bandung yang padat dan cukup panas.
Aku sebenarnya sudah membayangkan kalau diujung
hari, aku mungkin akan kelelahan dan bosan. Tapi aku salah. Shella ternyata
orang yang menyenangkan dan menarik. Menghabiskan waktu dengannya tidak
membuatku bosan ataupun kelelahan. Karena ternyata, kami bisa bersenang-senang.
Dia teman bicara yang aktif dan penuh semangat. Dia bisa menyetir pembicaraan
ke hal-hal yang sebenarnya remeh, menjadi patut untuk di bahas dan menarik.
Keceriaannya menular padaku. Dan tanpa aku sadari, aku turut larut dalam
kegairahannya menikmati pesona kota Bandung.
Aku sempat mengajaknya ke daerah mahasiswa di Dago.
Menunjukkan banyaknya angkot-angkot ngetem di Pasar Simpang Dago yang siap
mengantar para mahasiswa. Menunjukkan beberapa gedung peninggalan kolonial
Belanda yang masih tersisa. Aku juga menawarinya untuk melihat goa Belanda di
Taman Hutan Raya Juanda. Tapi ujung-ujungnya, Shella justru kalap melihat
banyaknya factory outlet disana. Khas cewek. Dia menarikku masuk ke Grande
Factory Outlet, Central Branded, Glamour, Runaway sampe Blossom.
Meski terdengar aneh, aku menikmati acara shopping
kami. Menyaksikannya mencoba berbagai macam baju dan segala pernak-perniknya.
Menyaksikan bagaimana matanya bersinar saat menemukan produk yang dia suka.
Membawanya ke kamar ganti dan keluar seraya memerkannya padaku. Beberapa kali
dia menemukan kemeja dan celana yang menurutnya
cocok untuk Ferdy. Dia juga
menanyakan komentarku tentang semua item yang dibelinya. Dan aku sekali lagi
harus mengakui kalau dia memang cewek yang memiliki selera bagus. Dia memborong
banyak sekali. Dan tak ada satupun dari benda yang dia beli terlihat jelek di
tubuhnya.
Aku juga membawanya ke pusat oleh-oleh Kartika Sari
dan Amanda Brownies. Disini dia juga banyak membeli oleh-oleh untuk keluarga
dan teman-temannya. Saat menjelang sore, aku membawanya untuk makan di sebuah
restoran di Dago Hills. Yang mengejutkan bagiku adalah dia lebih memilih untuk
makan masakan asli Bandung. Padahal semula kukira dia akan memilih menu western
atau Europe.
"Bagaimana?" tanyaku saat dia mengunyah
lalapannya.
"Enak!!!" sahutnya masih dengan semangat
yang sama, "Ini apaan Ky?" tanyanya menunjuk ke piring di depannya.
"Itu leunca! Emang di Yogya sana nggak
ada?" tanyaku heran.
Dia cuma menggeleng dan mencomot beberapa butir
leunca, mengoleskannya ke sambal dan memakannya, "Enak juga. Meski ada
sedikit sensasi pahitnya ya?" komentarnya sembari melanjutkan.
Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya yang sedikit
mengernyit, "Ngomong-ngomong, masih ada benda yang belum kau beli?"
tanyaku.
"Nyindir nih? Kamu nggak liat kalau belakang
mobilmu udah penuh gitu?" gerutunya.
Lagi-lagi aku tertawa geli, "Kamu gila!!! Abis
berapa tadi belanja? Beli barang segitu banyaknya."
"Mumpung ah! Jarang-jarangan aku pergi ke
Bandung. Makasih ya udah nganter dan sabar nungguin. Juga udah bawa aku makan
di tempat ini. Taruhan, kalo malem pasti suasananya keren."
Aku mengangguk, "Kamu bisa lihat pemandangan
malam kota Bandung dari sini. Plus, sayang sekali kalo kamu ngelewatin malem di
Dago. Disini kalo malem minggu super rame dan seru. Banyak klub motor yang
nongkrong. Atau kalian nongkrong aja di taman Flexy. Coba saja ajak
Ferdy," usulku.
"Aku ragu kalau dia mau Ky," jawab Shella. Terdengar begitu pelan, dan
nyaris berbisik.
"Kalian............. bicara semalam?"
tanyaku setelah beberapa saat lamanya terdiam dalam kecanggungan.
"Kau pasti sudah tahu kan kalau dia ingin
membatalkan pertunangan kami. Karena itu ayah Mas Ferdy ngamuk
dan..............." dia tak meneruskannya dan hanya menoleh padaku.
"Aku yang merawat lukanya," kataku
kemudian.
"Parah?" tanya Shella sedikit bergidik.
Aku mengangkat bahu, "Lumayan lah,"
sahutku tanpa memberinya detil lebih lanjut.
Shella menarik nafs panjang, "Aku tak tahu
bagaimana persisnya. Aku sendiri tahu dari ibu Mas Ferdy yang bercerita sembari
menangis beberapa waktu kemarin. Dia yang memintaku datang kesini dan berbicara
dengan Mas Ferdy. Berharap aku bisa mengubah pikirannya. Dan......... disinilah
aku. Dan aku tak yakin kalau aku bisa melakukannya," ujar Shella. Aku bisa
menangkap kegetiran dalam suaranya.
"Shell, aku minta maaf sebelumnya. Tapi
kalian..... dijodohkan bukan? Yang sedikit mengherankanku, kenapa kau mau?
Jujur, kau cewek yang............. sangat menarik. Aku rasa tak akan sulit
bagimu untuk mendapatkan pria manapun. Lihatlah dirimu," kataku dan
menunjuk dirinya dengan kedua tanganku.
Shella tertawa, "Terimakasih. Tapi sepertinya
aku belum cukup bagi Mas Ferdy."
Hanya bukan jenis orang yang tepat, batinku dan
memberinya seulas senyum.
"Mungkin aku bisa. Tapi
sayangnya.................. aku sudah jatuh cinta pada Mas Ferdy sejak aku
SMA," jelasnya dengan
senyum kecil. Dia hanya kembali tertawa melihatku
yang bengong, sedikit kaget oleh fakta yang barusan dia ungkapkan, "Kami
memang hanya sesekali bertemu. Tapi dia........... sudah membuatku jatuh hati.
Tak bisa disalahkan tho? Kau lihat sendiri bagaimana Mas Ferdy. Dia cakep, dari
keluarga baik-baik dan cukup terpandang. Pintar, calon Dokter dan memiliki
reputasi baik di lingkungan sosial. Banyak yang juga menyukainya. Aku selalu
berusaha terlihat spesial dalam acara-acara keluarga itu. Berusaha sebaik
mungkin agar aku bisa membuatnya melihatku. Tertarik padaku. Tapi.......... Mas
Ferdy selalu bersikap span dan biasa saja. Tak sekalipun menunjukkan
ketertarikan yang berlebih."
Lagi-lagi aku hanya tersenyum.
"Jadi ketika orang tuaku menawarkan perjodohan
itu, aku dengan senang hati menerimanya. Semula kukira impianku menjadi nyata.
Akhirnya, aku bersanding dengan orangyang ku dambakan. Berita bagus kan?
Tapi................... aku langsung tahu kalau ada sesuatu yang salah. Pada
pesta pertunangan kami, Mas Ferdy hampir-hampir tak mau melihatku.
Dia hanya
menoleh sekilas dan lebih memilih untuk menghindar. Jelas bahwa dia.........
tak menyukaiku."
Apa yang bisa ku katakan? Aku ingin menghiburnya.
Mengatakan hal yang ingin didengarnya. Tapi aku tahu dengan jelas kenyataannya.
Tak mungkin aku mengatakannya bukan?
"Kau teman baiknya kan? Apa dia memiliki
kekasih lain?" tanya Shella.
Aku hanya tertegun memandangnya. Melihat ke arah
matanya yang menatapku sedih. Sekali lagi aku hanya bisa mendesah dan mengeluh
dalam hati. Memang hampir mustahil mengendalikan hati. Siapa yang mampu
menentukan kemana hati kita tertambat? Dari zaman dulu hingga kini, masalah
seperti ini terus berulang dalam berbagai versi. Selalu sang tokoh dibuat
merana karena dia menginginkan hati yang tidak mengacuhkannya. Bahkan bagi
Ferdy, kesempurnaan seorang Shella yang bagiku sudah langka, belum cukup
menundukkan dirinya. Dia lebih memilih aku yang secara fisik ber-gender sama
dengannya. Tinggal kini aku yang merasa bersalah. Seakan-akan aku sengaja masuk
diantara mereka berdua. Menghalangi Shella untuk mendapatkan kebahagiaannya.
"Tidak," jawabku pelan, "Ferdy tak
memiliki seorang cewekpun sekarang," lanjutku lagi dengan pasti. Permainan
kata, pikirku.
"Seorang cowok?"
Aku hampir memuntahkan minuman yang kuteguk. Tapi
aku mengatupkan gerahamku rapat-rapat pada detik terakhir. Ku tatap Shella
dengan kaget. Tak mungkin kalau dia.............
"Kamu ngomong apa sih?" sergahku tanpa
menutupi kekagetanku.
Shella menghela nafas berat, "Aku tak pernah
berhenti memikirkan berbagai kemungkinan Ky. Aku banyak menduga dalam hati kenapa
Mas Ferdy memutuskan pertunangan kami. Dugaan-dugaan gila yang hampir membuatku
ngeri sendiri. Bahwa dia memiliki cewek lain. Atau dia memiliki hubungan dengan
istri orang. Bahwa dia membenciku. Atau bahkan bahwa dia.......... gay,"
ujarnya hampir-hampir seperti malu karena dia telah mengatakannya. Kepercayaan
dirinya yang selama ini ditunjukkan sekilas terlihat goyah. Aku bisa merasakan
kebimbangan dan kerapuhannya sekarang.
"Shella........"
"Tapi aku tak pernah melihat atau mendengar Mas
Ferdy berkelakuan aneh. Dia cowok biasa yang selama ini aku tahu.
Jauh dari
gosip miring. Perilakunya masih sopan dan nggak macam-macam. Membuat aku
kembali bertanya-tanya, apa sebenarnya yang salah?"
"Shell, mungkin saja dia belum siap. Kau pernah
memikirkan itu?"
Shella tertawa getir, "Kami hanya bertunangan
Ky. Orang tua kami memberikan kebebasan pada kami dalam menentukan kapan kami
mau menikah. Mereka hanya ingin kami terikat dalam ikatan pertunangan saja.
Bahwa kami telah memiliki calon pendamping kami."
"Tapi mungkin Ferdy merasakan itu sebagai
tanggung jawab yang belum siap ia tanggung. Seperti yang kau bilang, dia bukan
orang yang suka bikin perkara kan?"
"Sebegitu beratnya beban memiliki tunangan
sepertiku, sehingga dia lebih memilih di hajar oleh Ayahnya?"
Aku mengangkat bahu, "Kita tak pernah tahu
bagaimana jalan pikiran orang kan? Yang jelas, aku tahu Ferdy adalah cowok
baik-baik," jawabku tulus karena hal itu benar, ""Beri saja dia
waktu. Kedatanganmu kesini adalah untuk menyambung hubungan kalian yang terputus
bukan? Konsen saja pada hal itu. Beri saja Ferdy pengertian dan dekati dia
perlahan. Semoga saja dia menyadari kalau dia akan jadi orang bodoh jika
melepaskan cewek secantik kamu. Ok?"
Dengan itu Shella tertawa kecil, meski hidung dan
matanya mulai memerah, "Terimakasih. Kau akan membantuku kan?"
pintanya.
Aku hanya mengangguk pelan, "Sebisaku,"
jawabku kemudian. Tak mampu untuk memberinya janji. Berharap dalam hati bahwa
dia tak melihat keraguan yang sebenarnya kurasakan, "Nah ada tempat lagi
yang ingin kau kunjungi lagi? Atau besok saja kita lanjutkan acara
belanjanya?" tawarku, mencoba mengalihkan topik ke hal lain yang lebih
ringan.
"Kau tak lelah mengantarku?"
"Sama sekali tidak. Plus, bepergian dengan
cewek secantik kamu bisa menaikkan popularitasku disini. Jadi, jangan
khawatir," tukasku yang kembali dia sambut dengan tawa renyahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar