Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 29 - Me and the Girl



REGHA



Kakiku terasa bagai tak bertulang. Tanpa dapat ku tahan lagi, aku jatuh bersimpuh di lantai dengan tangan kanan yang memegang dadaku. Tanpa ku sadari, tanganku mencengkeram erat kemejaku. Memilinnya dengan kuat, berharap dapat menenangkan debaran jantungku yang mulai terasa menyakitkan. Nafasku jadi tersengal-sengal, dan tak terasa, mataku mulai mengabur.

"Ya-ya Yu-Tuhan," bisikku lirih dengan nada terputus karena kehabisan udara. Tangan kiri yang menopang tubuhku mulai gemetaran. Tak ingin terbaring di lantai, aku menyandarkan punggungku pada meja kerja Zaki, "Bu-bule sinting......" Aku memejamkan mataku rapat-rapat. Mencoba mengenyahkan semua kejadian beberapa saat tadi.

Tapi aku tak bisa!

Benakku memiliki keinginan sendiri. Dengan begitu jelasnya, ia memutar kembali kejadian tadi. Bagaimana bibir Zaki yang terasa sedikit dingin menyentuh bibirku. Bagaimana dengan lembutnya dia mengulum dan sedikit menghisapku. Juga sensasi mengejutkan saat lidahnya menyentuhku. Jelas terbayang sehingga nyaris aku merasa kalau aku baru saja mengalaminya kembali.

Tubuhku kembali menggigil tak terkendali. Butuh hampir sekitar 20 menit bagiku untuk menenangkan diri. Berulang kali menarik nafas dan menahan kuat-kuat, agar mataku tetap kering. Aku tak akan membiarkan bule pengidap megalomaniak akut itu tahu kalau dia telah berhasil mengguncangku. Kalau aku melakukannya, aku pasti bisa melihat senyum sinis penuh kemenangannya itu tersungging di wajahnya. Aku tak akan memberinya kepuasan itu. Jadi aku harus kuat!

Begitu bisa tenang, aku segera keluar dan langsung menuju kedepan rumah, meski dengan langkah sedikit limbung karena kakiku tiba-tiba saja terasa seperti kaki dari karet. Seperti yang kuduga, manusia satu itu telah menungguku di dalam mobil. Namun, alih-alih duduk di kursi sebelah kemudi, dia malah duduk di bangku belakang. Dengan kata lain, dia menjadikanku sopirnya hari ini. Aku menggertakkan gerahamku. Tapi tanpa mengatakan apapun, aku segera masuk ke dalam mobil dan langsung menyalakannya.

Tak ada sedikitpun kalimat yang kami lontarkan selama perjalanan. Zaki tampak sibuk dengan dokumen-dokumen yang ada di tangannya. Aku memusatkan perhatianku pada jalanan didepanku, tanpa sedikitpun meliriknya. Bukan hal mudah. Karena tubuh dan pikiranku bisa dengan jelas dan cepat kembali mengingat ciumannya tadi. Aku harus menggigit kuat-kuat bibirku beberapa kali untuk sekedar mengalihkan perhatianku.

Sial!!!

Itu adalah ciuman pertamaku. Dan saat melakukannya, ku bayangkan aku bersama dengan orang yang ku cintai, dalam suasana romantis dan menuh magis. Bukan dalam ruang kerja membosankan dan bersama dengan seorang lelaki. Terlebih lagi dengan bule setengah sinting yang memiliki masalah kepribadian. He stole it from me! He stole my first kiss!! Sesuatu yang bagiku sangat berharga, dan mungkin bermakna seperti sebuah lap tissue  baginya.

Ya Allaaaaaahhh................

Tanganku mencengkeram kemudi dengan erat hingga terasa sedikit menyakitkan. Mataku dengan sendirinya melirik ke arah spion yang ada diatasku, melihat ke arah Zaki. Dia tertidur, batinku saat melihatnya duduk bersandar dengan mata yang terpejam. Dan dia terlihat begitu tenang dan nyaris angelic. Siapa sangka kalau dia membuka mata dan mulai bicara, dia berubah menjadi seorang pemuda sinting dengan masalah kepribadian kompleks. Aku menghela nafas dan membelokkan mobil yang ku kendarai. Kami mulai memasuki kawasan panti. Aku menurunkan kaca mobil, tersenyum pada 3 orang satpam yang berjaga melambaikan tangan saat melihatku.

Saat aku menghentikan mobil di tempat. parkir, aku mendapati Zaki masih belum bangun. Aku juga tak punya keinginan untuk membangunkannya. Jadi aku hanya diam disana, mematikan mesin mobil, membuka seatbelt ku, lalu diam menatap kaca spion yang memantulkan sosok Zaki di belakangku. Dan seperti biasanya, mataku merambati profil wajahnya, dan berhenti pada bibirnya yang kini sedikit terbuka. Bibir itu tak semerah biasanya. Sedikit pucat meski masih terlihat basah dan menggoda. Bibir yang beberapa jam tadi menempel pada bibirku. Bibir yang tadi melumat dan mengulum bibirku dengan lembut dan sensualnya. 

Tanpa sadar aku mengangkat tanganku dan mengusap bibirku sendiri. Mengingat bagaimana ciuman kami tadi dengan jelasnya. Aku bahkan hampir bisa merasakan basahnya bibir Zaki diatasku. Dan nafasku seolah-olah berhenti disana. 
Seakan-akan aliran darahku mendadak terhenti.

Sampai kapan aku akan menyangkal dan mencari dalih lagi? Kau sudah tahu dari awal kan Gha? batinku pada diriku sendiri. Kau sudah tahu jauh di lubuk hatiku. Kebenaran itu selalu ada bersamamu. Kau yang selalu mencoba menemukan alasan dan mencoba untuk tidak memperdulikannya. Kenapa kau begitu tertarik pada sosok Zaki.  Bagaimana kau nyaris meneteskan air liur melihat bibirnya. Kau tahu apa alasannya. Juga kenapa kau mencoba untuk terus menggali cerita dari Mas Rizky, ataupun Ari. Kau tahu kenapa kau membahas masalah yang sama berulang kali. Kau tahu dengan pasti alasan kenapa kau melakukannya. Fakta itu selalu ada dalam dirimu. Kau menyembunyikannya disudut hati dan benakmu. Berusaha menguburnya. Tapi kebenaran itu ada disana.

Monolog itu membuatku tanpa sadar bergidik.

Ya Allaaahh.... bagaimana aku akan mengakui kebenarannya?

Aku kembali melihat ke arah Zaki melalui spion. Bagaimana aku bisa mengakui kalau aku jatuh cin....

Zaki mengeluarkan suara erangan pelan dan menggeliat. Aku cepat-cepat mengalihkan mataku, menatap lurus ke arah tembok yang membatasi tempat parkir karyawan. Saat aku kembali meliriknya sekilas, Zaki telah membuka matanya. Sepertinya dia masih berusaha mengumpulkan kesadaran.

"Kita sudah sampai?" tanya Zaki dengan suara sedikit berat. Aku tak menjawabnya. Aku lebih memilih untuk langsung keluar setelah menyambar tas kerjaku. Kalau aku harus bertahan, lebih baik aku menjaga dirku sendiri darinya. Dan aku punya banyak pekerjaan hari ini yang harus ku selesaikan. Nah, itu cukup untuk mengalihkan perhatianku.

Dan kau juga masih harus membuat pacel buah sebanyak 200 buah di akhir minggu depan Regha. Tegakkan kepalamu dan buang jauh-jauh pikiran gila yang mampir di otakmu tadi!

Namun bahkan saat pikiran itu melintas di otakku, aku tahu kalau aku hanya kembali melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan selama ini. Membohongi diriku sendiri.





ZAKI



Aku sudah mencium banyak orang. Banyak cewek tepatnya. Dan hanya satu orang cowok. Tapi dari sekian banyak ciuman itu, hanya ciuman bersama Regha saja yang tak pernah bisa meninggalkan benakku. Damn it!!! Aku bisa mengingat dengan jelas ciuman-ciuman hebat penuh gairah dengan beberapa orang mantanku di Australia. Tapi tak ada satupun dari mereka yang bisa membuatku bergidik seperti yang aku dan Regha lakukan. Bergairah, iya. Tapi hingga membuat bulu kudukku meremang, hanya Regha.

He didn't even use his tongue! batinku melas. Tapi kenapa aku bisa seperti orang kecanduan begini?!!! Aku sulit berkonsentrasi dengan apapun. Bahkan aku nyaris mendorong Anna yang tadi menciumku di lapangan parkir. Tiba-tiba saja, merasakan bibirnya mengulum bibirku menjadi terasa aneh dan tidak menyenangkan. Mungkin lain kali ini bisa digunakan sebagai pengingat untukku. DO NOT KISS A DUDE!!!

"Ntar malam kita keluar?" tanya Anna sedikit membuatku terhenyak dari lamunan. Aku segera berusaha menepiskan lamunanku yang mulai membuatku ngeri.

"I don't know. We'll see. Karena mungkin ada sesuatu yang harus aku lakukan," jawabku datar dan meminum orange juice yang tadi ku pesan.

"Aaaaw, come on!! I'll make it worth it!" rajuk Anna yang kemudian mendekatkan tubuhnya padaku. Payudaranya yang menggoda menempel erat di lengan kananku.

And it doesn't make me feel a thing! What the hell is wrong with me?!! batinku lagi sedikit kalut.

"Aku baru saja mendapatkan vitamin dari Lexy. Aku jamin kita bisa bersenang-senang seperti kemarin," bisiknya dengan nada sensual di telingaku.

Aku mengangkat sebelah alis mendengarnya, "Yeah, about that. What exactly is that thing? Apa yang kau berikan padaku waktu itu?" tanyaku. Saat di Australia, sesekali aku dan Justin beserta yang lain memang mengkonsumsi 'vitamin' pada saat kami berpesta. Hanya sesekali dan saat kami ingin gila-gilaan saja. Kami tak pernah ingin menjadI seorang junkie. Jadi meski kami memakainya, kami semua tahu batas dan saling mengingatkan. Pil yang diberikan Anna beberapa hari kemarin bukan jenis yang biasa aku pakai. Tapi efeknya memang bisa membuatku merasa lebih ringan, santai dan lepas.

"It was something new. Kamu suka kan?" tanya Anna sembari nyengir.

"Well, it's fine. Tapi.......... kau bukan seorang addict kan?" tanyaku dengan mata menyipit.

Anna tertawa kecil kemudian memberikan sebuah ciuman ringan di pipiku, "I know sweetie. Aku hanya sesekali menggunakannya untuk bersenang-senang. Aku cukup sadar untuk tidak membiarkan hal itu menguasaiku. I'm not that dumb, you know?"

Aku hanya mengangkat bahu mendengarnya, "Glad to hear it," sahutku sembari kembali menenggak juice-ku. Aku sudah hendak mengatakan sesuatu, tapi urung saat Anna meraih daguku dan kemudian mencim bibirku. Dia mengulumnya dengan lembut dengan tubuh yang makin merapat. Aku harus megepalkan tanganku yang ada di bawah meja untuk menahan diri dan tidak mendorongnya menjauh dariku. Aku hanya membalas dengan sepantasnya kemudian agak menarik wajahku.

"What the..." aku menatapnya heran. Tapi Anna hanya tersenyum sembari memberikan tanda dengan matanya ke arah pintu kantin. Emma berdiri disana dengan wajah yang mulai memucat. Aku langsung paham dan mengangguk pada Emma untuk menyapanya.

Emma tidak menjawab atau mengatakan apapun. Dia hanya berdiri disana dengan mata yang melebar untuk beberapa lama. Teman-temannya yang ada dibelakangnya mulai berbisik-bisik. Salah satu diantaranya memegang lengan Emma dan sepertinya hal itu membuatnya sadar. Dengan cepat dia berbalik. Tapi aku bisa melihat kalau dia menyusut matanya di luar. Aku berusaha untuk menyesal untuknya, tapi jujur, aku tak merasakan apapun. Karena yang aku tahu, urusanku dengannya telah lama berakhir.

"Scene yang cukup menegangkan," celetuk Anna singkat sembari mengedarkan pandangannya. Kantin yang tadi tiba-tiba saja menjadi senyap, mulai terdengar ramai oleh gumaman beberapa orang. Aku sendiri tak menyadari kalau kami tadi menjadi pusat perhatian. Guess people always like drama in life.

"Kau tidak khawatir?" tanyaku.

"Soal?" tanya Anna balik padaku.

"Suatu saat mungkin akan berada di posisinya," jelasku datar. Yang mengejutkanku, Anna hanya tersenyum lalu tertawa kecil. Dia lalu kembali ke posisi duduknya tadi sembari menyambar gelas minumannya.

"Oh honey, I know," sahutnya sedikit geli.

Aku hanya menatapnya heran.

"Aku tahu kalau apa yang kita miliki sekarang hanya sekedar fling Zaki. Kau sudah menegaskannya padaku setelah kita tidur pertama kalinya waktu itu, remember? Aku tahu kalau aku tak akan bisa mengikatmu. Tidak, kalau kau tidak menginginkannya. Like you said, 'we're just having fun'" katanya lagi sembari membuat tanda kutip dengan kedua tangannya.

"Are you really fine with that?"

"Well, I don't mind. Meski kalau apa yang kita punya ini bisa menjadi sesuatu yang lebih, itu akan lebih baik. Tapi karena kau tak menginginkannya, I'll take what I can get. Lagipula, kau partner yang cukup membanggakan. It's good for my social status. Kalau kita putus, akan ku katakan kalau ternyata kau tidak cukup jantan untukku. You won't mind, will you?" katanya ringan sembari mengedipkan sebelah matanya padaku.

"I don't care. Tapi................ seseorang pernah memprotesku beberapa waktu lalu," kataku. Aku bisa mengingat jelas akan komentar Regha yang sedikit menyinggungku beberapa waktu lalu, "Bukankah kultur budaya ketimuran lebih menjunjung tinggi sex? Budaya asli Indonesia melarang sex sebelum nikah kan? Dan kau sedikit........... berani untuk ukuran cewek timur. Dan fleksibel. Not that I complain. Just curious. Why?"

"Cause I fell in love with a jerk!" jawabnya singkat, hampir tanpa emosi lalu kembali menengggak minumannya. Aku hanya menatapnya dengan alis terangkat sebelah, "What? It's true!!" katanya lagi.

"Care to share? Tak keberatan untuk berbagi cerita?"

"What? Kau ingin mendengar kisah cinta tragisku?" tanya Anna, jelas terheran-heran.

"Well.... cerita cinta selalu menarik kan?"

Anna mendengus dan tertawa geli, "Not mine! Kisah cintaku sedikit klasik dan sudah sering terjadi di sini," selorohnya. Dia sudah hendak kembali meneguk minumannya, tapi urung saat melihatku yang dengan tenangnya duduk, menunggu dia untuk memulai. Anna memutar bola matanya, "Fine! I was a fool girl. Aku berasal dari daerah sebuah desa di dekat Sukabumi. Aku tipikal cewek kampung biasa dan......... polos. Waktu aku kelas 2 SMA, aku jatuh cinta setengah mati dengan seorang cowok yang kuliah di Bandung ini. Bagiku, dia terlihat tampan, gaul dan......... menarik. Dia anak daerahku juga. Anak serang mantan kepala desa. And I fell head over heels on him. Jadi bisa kau bayangkan bagaimana perasaanku saat dia menyatakan cintanya padaku? Waktu itu dia sedang libur kuliah. I thought that was the best time of my life. Dia sering mengajakku keluar dan kami..... bersenang-senang. Yang membuatku gila adalah saat dia mulai mengumbar janji-janji gombalnya. Dia membicarakan tentang pernikahan dan anak. Cewek mana yang tidak tersanjung," Anna tersenyum pahit dan mletakkan gelas yang dipegangnya.

Aku mengambil gelas itu dari tangannya. Anna mungkin mencoba untuk terlihat santai, tidak peduli akan ceeritanya. Tapi aku bisa mengatakan kalau kenangan itu berpengaruh besar pada dirinya. Tangannya yang memegang gelas tadi gemetar.

"I was a fool Zake. Aku mempercayainya," kata Anna pelan dan tersenyum tipis, tampak rapuh di mataku. Senyuman jujur pertama yang dia berikan padaku. Dia menunjukkan padaku sosok Anna yang sesungguhnya. Bukan Anna cewek gaul dan modern yang biasa dia tampakkan. Tapi sosok seorang cewek yang berasal dari desa kecil yang polos dan nyaris lugu. Cewek naif yang selama ini dia sembunyikan dengan baik.

"Kau masih remaja saat itu," kataku berusaha memberikan dukungan.

"And a fool, didn't I tell you?" ujarnya sedikit melamun, "Aku percaya dengan semua janjinya. Dan.............. aku berikan semuanya padanya. Semua yang aku miliki. Dengan ikhlas."

"Dia meninggalkanmu?"

"Lebih buruk. Aku memergokinya," jawab Anna sembari tertawa pahit, "Waktu itu aku ke Bandung untuk mengejutkannya. Aku menemukannya sedang tidur di kamar kostnya dengan seorang cewek. Telanjang."

"Lalu....... apa yang terjadi?"

"Aku pergi, dan tak pernah menoleh lagi. Aku memutuskan hubunganku dengannya. Dan sejak itu, aku bukan cewek yang lugu lagi. Apalagi sejak aku kuliah disini. Here, semua jadi lebih transparan dan liar. Dan aku menikmati apa yang bisa aku nikmati. Meraih apa yang bisa ku raih dan masa bodoh dengan apapun yang tidak kusukai. Kalau cowok bisa bersenang-senang, why can't I?" ujarnya ringan sembari mengangkat bahu.

"Kau balas dendam secara tidak langsung," komentarku singkat.

"Who cares?! Disini aku bisa menjadi apapun dan mendapatkan apapun yang aku mau."

"Sampai kapan?" tanyaku pelan.

"Sampai ada yang menghentikanku," kata Anna lebih pelan dariku, "Tapi sampai sekarang, aku belum menemukan orang yang bisa aku jadikan imam dalam kehidupanku. Kebanyakan dari mereka hanya tertarik pada wajah dan tubuhku. Belum ada yang melihatku seperti apa adanya. Belum ada yang bisa mengenali diriku yang sebenarnya. Mereka hanya tertarik pada tampilan luarku saja."

"Mungkin kau kurang mengenal mereka saja. Why don't you give 'em time."

"I did! I do! And you what is the funny thing? Beberapa dari mereka tak lebih dari pria hidung belang yang hanya mencari kepuasan seks dan pembuktian diri konyol, hanya karena mereka lelaki. Banyak di antara mereka adalah pria paruh baya tak tahu diri namun kaya, yang mengira dunia ini bisa mereka kendalikan dengan uang. Bagiku mereka hanya sekelompok pria yang mencoba membuktikan diri pada dunia, bahwa mereka adalah lelaki super. Meski pada kenyataannya, mereka hanya sekumpulan pria mengenaskan yang sebelah kakinya sudah terpendam di tanah pemakaman. But what the hell. They got money. and they want my body! It's a fair trade. Ada juga sekelompok pemuda yang merayuku dengan berbagai janji-janji kosong yang kesemuanya hanyalah bulshit! Mungkin memang ada pria baik di luar sana Zaki. Tapi aku belum menemukan orangnya. Kebanyakan yang kutemukan dari mereka adalah pecundang. And honestly, aku lebih memilih orang sepertimu. Setidaknya kau jujur dengan apa yang kau inginkan dan tidak menebar omong kosong tak jelas."

"Mungkin kau harus lebih menahan diri Anna," saranku. Meski dalam hati aku lebih merasa seperti seorang hipokrit dengan mengatakan kalimat tadi. Here I am. A guy yang langsung tidur dengannya pada kencan pertama,tapi memberinya saran untk menahan diri.

"Aku menahan diri Zake. Tapi kau sudah lama membuatku tertarik. I can't resist you," jawabnya singkat sembari mengerling nakal.

"Aku merasa tersanjung. Terimakasih," sahutku dengan nada sarkas meski tak urung juga aku tersenyum.

Anna tertawa mendengarnya, "Aku serius. You are making me drooling all the time. Melihatmu membuat pikiranku mengeluarkan imajinasinya yang terliar. Dan aku ingin mewujudkannya dalam dunia nyata. Kau bisa membantuku kan?"

Giliran aku yang kini tertawa mendengar kejujurannya, "God... you are unbelievable," ujarku, "Kau tahu kalau kau tak bisa mengandalkan tubuhmu selamanya. Suatu hari kulitmu akan mengendur dan berkerut, rambutmu akan memutih dan........"

"Aku tahu," potong Anna.

Aku tersenyum mendengarnya, "Syukurlah. Maaf, aku tak bermaksud mengguruimu. Hanya saja.......... beberapa hari kemarin aku sempat ditegur oleh seseorang."

"Ditegur?" ulang Anna dengan alis terangkat.

"Weird huh?! Yeah! Well, kau tahu aku tumbuh di Australia. Kultur disana jauh berbeda dengan Indonesia. Disana sex bukanlah hal yang tabu seperti disini. Remaja disana sudah aktif secara seksual. Tapi disini, keperawanan adalah hal yang sakral."

"Dulunya," komentar Anna, "Entah siapa yang harus disalahkan. Tapi sekarang sudah terjadipergeseran nilai dan budaya. Aku sendiri adalah salah satu pelakunya. Entah karena kebodohanku atau kenaifanku."

""It's a choice Anna. Kau berhak melakukan apapun dengan hidup dan tubuhmu."

"Aku tahu Zake. But honestly, I regret it! Bagimu yang dibesarkan di Australia, sex mungkin tidak memiliki makna khusus selain pemenuhan kebutuhan biologis yang alami. Tapi seperti yang kau bilang, dalam masyarakat timur, sex adalah hal sakral dan hanya diperbolehkan dalam ikatan pernikahan. But I didn't. As you do, aku menganggapnya sebagai hal casual dan nyaris tak bermakna. Kalau aku bisa memutar kembali waktu.................. aku berharap kalau aku tak pernah melakukan kebodohan itu dengan mantan pacarku," ujar Anna dengan senyum yang sedikit getir, "Menurutmu itu bodoh kan?"

Aku menggeleng, hampi-hampir merasa malu dengan diriku sendiri, "Tidak. Sebenarnya, ide menyerahkan diri hanya pada pasangan resmi kita, terdengar sedikit romantis bagiku. Membayangkan bahwa kita menjaga diri kita hanya untuk orang spesial yang mau menghargai kita dalam sebuah pernikahan, sebenarnya cukup menakjubkan. Bahkan bagi aku yang cukup liberal, pernikahan adalah sebuah hal serius dan bukan mainan. Jadi jika memang ada orang yang menikahimu, bukankah itu merupakan pertanda bahwa dia memiliki sebuah komitmen yang serius dan kuat? Cukup adil bukan kalau kita menjaga diri kita hanya bagi mereka yang menganggap kita serius dan berarti."

Anna tergelak, "Teguran seperti apa yang sebenarnya telah diberikan padamu Zake? Dan siapa? Aku ingin bertemu dengan orang hebat itu?"

Aku tersenyum kecil, "Dia mengatakan padaku bahwa, the body is our temple. Karena itu kita harus menghormatinya. Membiarkan tubuh kita digunakan dan dinikmati oleh banyak orang, itu sama artinya dengan kita tidak menghormati diri kita sendiri. Aku sempat menertawakannya dengan mengatakan bahwa ini hanya lah seks. It's just a body! Tapi kau tahu apa yang dia katakan? Ini memang hanya sebuah tubuh. Tapi di dalamnya, bersemayam jiwa kita. Kalau kita mengotori tubuh kita, itu sama artinya kita mengotori jiwa kita. Karena tubuh dan jiwa kita adalah sebuah kesatuan. Tubuh tanpa jiwa adalah mayat. Dan jiwa tanpa tubuh hanyalah roh atau hantu yang bergentayangan. Honestly, that scares me a bit!"
Kami lalu terjatuh dalam keheningan yang panjang. Membiarkan masing-masing dari kami mencerna apa yang baru saja kami bicarakan. Memahami setiap patah kata dan makna terdalam dari semuanya. Tanpa sadar aku menarik nafas panjang dan sedikit bergidik. 

Aku sudah hendak mengatakan sesuatu tapi kemudian ujung mataku melihat sosok Regha yang berjalan menuju ke kantin tempat kami berada dengan Regi dan Vivi. Tanpa ku sadari aku melingkarkan tanganku di pinggang Anna dan menariknya mendekat. Bola mata Anna sedikit membesar karenanya. Tapi aku hanya mengangkat bahu dan menyurukkan kepalaku di lehernya. Memberinya ciuman-ciuman kecil menggoda.

"Kiriman buah akan datang besok pagi. Aku butuh uangnya sekarang."

Kata-kata itu diucapkan dengan cepat dan dingin oleh Regha. Untuk sejenak aku hanya diam, tapi kemudian agak menjauhkan diri dari Anna. Regha berdiri didepanku dengan mata datar, nyaris tanpa emosi. Sementara Vivi dan Regi yang berada di sebelahnya diam saja. Tapi aku bisa melihat kekagetan mereka. Bukan karena aku sedang bersama Anna. Tapi 
mereka lebih kaget dengan sikap Regha. Karena keduanya kini tengah menatap ke arah temannya itu.

"Berapa yang kau butuhkan?" tanyaku acuh sembari kembali menarik pinggang Anna untuk lebih mendekat. Meski matanya penuh dengan tanda tanya, Anna tidak menolakku.

"Budget per parcel. yang kau inginkan 200 ribu kan? Jadi untuk 200 parcel biayanya sekitar 40 juta. Kau akan terima laporan dan sisanya nanti. Dengan menggarap sendiri parcel itu dan dibantu dengan Regi dan yang lain, harganya bisa jauh lebih murah dan kemungkinan besar dana itu akan bersisa."

"Cek tak apa-apa kan?" tanyaku. Regha menjawabnya dengan anggukan singkat. Aku segera mengeluarkan buku cekku dari tas. Sial!! Kenapa dadaku jadi tak tenang begini melihatnya? pikirku kesal. Sejak peristiwa kemarin itu, kami hampir-hampir tak pernah berkomunikasi. Hanya sesekali saja saat diperlukan kami bicara. Itupun berlangsung hanya dengan beberapa patah kata yang singkat dan seperlunya. Aku bahkan baru melihatnya sekarang semenjak pulang dari panti. Aku menyobek cek yang telah ku tulis dan menyerahkannya pada Regha. Dia tak mengatakan apapun dan menerimanya.

"Ada lagi?" tanyaku.

"Aku akan mengerjakan parcel itu di tempat kost dibantu oleh Regi, Vivi dan yang lain. Tapi nantinya aku akan membutuhkan kendaraan untuk mengangkutnya ke tempat pesta."

"Di kostanmu? Tapi kamarmu sempit. Mana cukup untuk menyimpan seluruh parcel yang berjumlah 200 buah?' tanyaku 
heran.

"Ada dua kamar kosong di sana. Aku sudah minta ijin dengan Ibu Kost untuk menggunakannya selama beberapa hari. Masalahnya adalah mengangkutnya nanti. Kalo untuk buahnya sendiri, pihak pemasok sudah bersedia untuk mengantarnya sampai ke kostan. Ada lagi?"

Aku mengangkat alis oleh sikap sarkasnya. Tapi baru kusadari kalau sedari tadi, selama dia berbicara, tak sekalipun Regha melihatku. Dia lebih memilih menunduk atau menancapkan pandangannya ke benda lain di sekitarku. Membuatku sedikit bertanya-tanya, apakah mungkin dia masih mengingat ciuman tak terduga kami waktu itu. Aku sendiri masih dengan jelas mengingatnya. Apalagi saat kini dia berada di hadapanku. Aku nyaris bisa merasakan bagaimana lembutnya bibir Regha dalam kulumanku. Hell, aku bahkan bisa mengingat bagaimana bentuk tubuhnya saat kami berenang dulu. Satu hal yang paling membekas di benakku adalah bahwa Regha memiliki aerola yang lebih lebar daripada cowok kebanyakan. Lingkaran kecoklatan didadanya terlihat jelas waktu itu. Sedikit lebih besar dari punyaku. Dan putingnya yang berwarna lebih muda waktu itu tampak mencuat dan tercetak jelas di t-shirtnya yang basah.

Berbeda dengan sekarang. Aku tak bisa menangkap bentuk putingnya, meski aku bisa melihat kontur aerolanya yang membayang di balik t-shirt putih tipisnya itu. Aku bisa dengan jelas mengetahui letaknya. Taruhan, aku bisa membuat 
putingnya mengeras hanya dalam hitungan detik dengan mengulumnya lalu.................

HOLY FUCKING SHIT!!!!!!!! What the heck am I thinking?!!!! batinku sedikit panik. Can't you believe it?! Here I am, duduk begitu dekat dengan seorang cewek yang tubuhnya nyaris menempel semua padaku, sexy as hell dan bisa untuk ku ajak bersenang-senang. Tapi pikiranku malah membayangkan diriku mengulum puting Regha yang berdiri di hadapanku! I am definately out of my mind!!!

Sialnya, pada saat itu, Regha memutuskan untuk mengangkat wajahnya dan mata kami bertemu. Untuk beberapa detik lamanya kami hanya diam dan saling berpandangan. Dan seakan-akan tahu apa yang sedang aku pikirkan, dia kemudian kembali menunduk dengan pipi yang bersemu merah.

Shit!!! Apakah dia tahu apa yang ada dalam benakku? Apa semua begitu jelas di wajahku? Sial!! Bahkan sekarang aku masih bisa membayangkan diriku sedang menjilati dadanya. Gelenyar aneh di perutku semakin menghebat, seiring dengan semakin menegangnya salah satu organ tubuhku. Aku hanya bisa menggeram keras karenanya. Dengan kesal aku meraih jaketku yang tadi ku lepas dari atas tasku. Aku langsung melemparkannya pada Regha.

"Wear it!" perintahku singkat.

Jaket itu mendarat tepat di kepala Regha. Dia agak terperanjat tapi dengan cepat menangkap jaketku sebelum jatuh, "Aku tak butuh jak.."

"Kenakan saja!" potongku singkat, tak ingin dibantah. Sejenak kulihat Regha hendak kembali protes. Tapi dia 
membatalkannya. Dengan gerakan patuh dan terlihat menahan marah, dia mengenakan jaketku.

"Ada lagi, Bapak?" tanya Regha dengan keramahan yang dibuat.

Aku harus menggertakkan gerahamku untuk menahan diri. Dia tak tahu efek apa yang dia timbulkan padaku. Tapi aku tak akan membiarkan sikapnya mempengaruhiku. Jadi aku hanya mengepalkan kuat-kuat tangan kiriku yang ada dibawah, 

"Untuk masalah pengangkutan, kau bisa mencarinya?"

"Saya tidak memiliki kenalan sopir Bapak. Maaf," jawabnya datar.

"Jangan khawatir, Gha. Kita akan bantu cari kok," celetuk Regi yang sedari tadI hanya dia menonton. Aku menoleh padanya. Kulihat dia hanya mengerling dengan senyum sedikit geli padaku.

Aku menghela nafas, "Aku berterima kasih atas bantuanmu Regi. Vivi. Akan ku pastikan kalian mendapat balasan yang layak," kataku.

Regi mengibaskan tangannya, "I'm happy to help," jawabnya singkat.      

"Ada lagi Bapak? Kalau tidak, saya dan yang lain harus segera pergi untuk membeli beberapa keperluan lainnya," ujar Regha, memotong kami.

"Go!" desisku kesal.

Regha sedikit membungkukkan tubuhnya layaknya seorang pelayan hotel atau restoran. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berbalik pergi, diikuti oleh Vivi dan Regi yang masih sempat melambai padaku. Senyum geli masih tersungging di wajah keduanya. Sepertinya mereka menikmati drama satu babak antara aku dan Regha tadi. Yang membuatku heran adalah saat aku mendapati Anna yang memandangku dengan sorot geli. Dia menggelengkan kepalanya dan tertawa kecil.

"What?!!" bentakku kesal.

Anna kembali menggelengkan kepalanya dan tertawa, "Aaaww.... baby. Kalian lucu sekali. I should have known it!"  gumamnya geli.

"About what?!!" tanyaku keras, nyaris berteriak.

"Oh no! Kamu harus memahaminya sendiri. Let's go," katanya dan bangkit tanpa menghiraukan protesku.

Aku hanya mampu menggerutu. Hari ini benar-benar aneh dan sial bagiku! batinku kesal.  






RIZKY


"Kau sudah menyelesaikan laporan bulananmu?" tanya Ferdy yang baru masuk padaku.

"Sedang ku kerjakan," kataku tanpa mengangkat wajah. Mumpung hari ini sedikit longgar, aku memutuskan untuk 
mengerjakan laporanku.

"sudah waktunya istirahat siang. Kamu nggak makan?" tanya Ferdy lagi dan mendekat.

"Nanggung. Tinggal dikit juga kelar. Kamu pergi saja dulu, nanti aku nyusul," jawabku lagi.

"Gimana kalau kita makan disini saja?" tawarnya. Aku mendongak untuk melihatnya. Setelah berpikir sejenak, aku mengangkat bahu. Bukan ide yang jelek kan? Ferdy tersenyum melihatku.

"Kamu mau apa?"

"Apa saja asal jangan sea food," jawabku sembari merogoh dompet. Tapi Ferdy sudah pergi sebelum aku bisa memberinya uang. Lagi-lagi aku hanya bisa mengangkat bahu. Setidaknya Ferdy sudah kembali menjadi Ferdy yang biasa. Meski belum menceritakan kejadian beberapa waktu kemarin, dia sudah terlihat dan terdengar hampir normal. Aku sendiri lebih memilih untuk diam dan tidak mengungkitnya. Pernah aku berusaha sedikit memancingnya, tapi Ferdy dengan cepat mengubah topik pembicaraan. Aku menganggap itu sebagai petunjuk untuk menutup mulutku.   

Hubungan kamipun berjalan dengan sendirinya. Tak ada komitmen yang kami ucapkan. Tapi kami seakan-akan berada dalam sebuah kesepakatan bersama yang tak perlu diucapkan secara lisan. Beberapa hari terakhir, setelah pulang dari Rumah Sakit, aku berhenti di kontrakan Ferdy. Menghabiskan sedikit waktu bersamanya untuk sekedar ngobrol ataupun bercinta. Ferdy juga tak pernah memaksaku untuk melakukannya. Bila memang tak bisa mampir, dengan tenang aku mengatakan padanya. Dia tak bertanya kenapa ataupun berusaha menahanku. Kami benar-benar seperti memiliki sebuah persetujuan tak tertulis.

Aku tak tahu apakah aku memanfaatkan Ferdy, atau mungkin sebaliknya. Yang jelas, aku tak merasa dirugikan. Sepertinya dia juga berpikiran sama denganku.

Suara ketukan pintu yang kemudian terdengar, sedikit mengagetkanku.

"Maaf Dok, ada Dokter Ferdy?" tanya seorang gadis yang berdiri didepan pintu. Dari fisiknya, dia terlihat berdarah tionghoa. Kulitnya putih dengan mata yang sedikit sipit. Rambutnya yang lurus dan hampir sepanjang sikunya terlihat hitam berkilau. Tubuhnya yang ramping dibungkus oleh pakaian rapi dan sopan, namun toh bisa menampakkan lekuk tubuhnya yang bagus. Gadis yang cantik, pikirku. Mungkin dia salah satu keluarga pasien yang pernah ditangani Ferdy.

"Dokter Ferdy masih ke kantin. Silahkan masuk dan tunggu saja mbak. Sebentar lagi jga kembali," kataku dengan senyum ramah yang biasa kuberikan kepada pasienku.

"Terimakasih Dok," ujarnya sembari tersenyum. Dia melangkah masuk dan kemudian duduk di salah satu kursi tamu yang diletakkan di berjejer sepanjang tembok sebelah pintu. Hanya diperlukan lima langkah baginya untuk duduk. Tapi dari lima langkah itu aku bisa melihat kalau dia memiliki postur tubuh dan keanggunan seorang model. Nyaris ningrat. Kakinya yang dibungkus sepatu berhak tinggi itu melangkah dengan langkah teratur dan hampir-hampir seperti tertata. Dia duduk dengan pose yang pasti akan membuat iri para perawat di bagian ini. Tanpa bergaya, dia terlihat sedang berada dalam sorotan kamera.

Gadis yang langka, pikirku. Bahkan make up tipisnya terlihat begitu pas. Tidak berlebihan ataupun kurang. Jelas dia berasal dari keluarga berada dan memiliki kelas.

Aku hanya tersenyum sekilas dan kembali berkonsentrasi pada laporanku. Masing-masing dari kami membiarkan keheningan menggantung tanpa ada pembicaraan.

"Ky, Bu Rini buatin kita nasi goreng spesial nih! Katanya dia bikin resep baru buat kita berdua," ujar Ferdy yang tiba-tiba saja nyelonong masuk dengan membawa debuah nampan besar dengan dua piring nasi goreng dan dua gelas es teh di kedua tangannya.

"Eh Fer, ada..........." aku menunjuk ke belakang.

"Mas Ferdy," sapa cewek itu bangkit.

Ferdy yang termangu sedikit melangkah mundur, "Shella?!" gumamnya pelan dengan wajah sedikit memucat.

Nama itu sepertinya pernah ku dengar. Aku memandang mereka berdua bergantian, hingga kemudian aku ingat apa yang dikatakan Ferdy ketika dia kembali dari Yogya dengan tubuh penuh luka. Gadis itu...........

Shella...............

Tunangannya!!!   




"Si Shella nggak apa-apa sendiri?" tanyaku pada Ferdy yang baru saja kembali. Dia tadi meminjam mobilku untuk mengantar Shella ke kontrakannya. Setelah perkenalan singkat dan canggung tadi, dia meminta Shella untuk menunggunya disana hingga dia pulang tugas.

Ferdy hanya menggeleng, "Dia mengundangmu makan malam bersama sepulang dari sini nanti," katanya pelan sembari mengulurkan kunci mobilku.

Untuk sejenak aku hanya mampu termangu, "Makan malam?" gumamku pelan.

Ferdy mengangguk sembari berjalan melewatiku.  Dia duduk di bangkunya sembari mendesah. Untuk sesaat dia hanya duduk diam disana lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

"Kau tahu kenapa dia datang?"

Ferdy menggeleng, "Kau sudah lihat reaksiku tadi kan?"

Yeah! Aku bisa melihat dengan jelas kekagetan yang dia rasakan dari wajahnya. Kalau dia tahu, tak mungkin Ferdy sekaget itu. Wajahnya nyaris memucat dan dia hampir-hampir tidak bisa mengatakan kalimat yang terdiri lebih dari 6 kata dengan benar. Aku sendiri mulai bertanya-tanya tentang alasan kedatangan Shella. Padahal beberapa waktu yang lalu Ferdy kembali dari Yogya dengan tubuh memar karena telah memutuskan pertunangan dengannya.

"Dia............ cantik," komentarku singkat.

Ferdy melihatku sedikit terpana. Dia lalu tersenyum sedikit getir membalasku, "Yeah! Dia cantik. Tapi aku jatuh cinta dengan seorang dokter tampan," kata Jeffry dengan nada datar. Dia lalu bangkit dan berjalan keluar tanpa mengatakan apapun lagi. 

Sisa hari itu berjalan dengan sedikit aneh. Ferdy lebih banyak menutup diri. Aku bisa melihatnya sedikit kalut, hampir-
hampir panik. Aku sendiri sadar kalau saat ini aku tak bisa melakukan apapun untuknya.  Yang jelas, aku berniat untuk menunjukkan padanya kalau dia mendapatkan dukunganku. Akan ku usahakan untuk berada di sampingnya. Tapi aku tak akan bertindak seebelum dia memintaku, atau sebelum aku diperlakukan. Akan jadi aneh kalau tiba-tiba aku langsung terjun di tengah-tengah konflik mereka. Karena itu, aku hanya diam dan berada disamping Ferdy. Sesekali aku hanya diam memandangnya. Pada saat mata kami bertemu, Ferdy hanya tersenyum tipis. Aku bisa merasakan kalau dia berusaha mengatakan terima kasihnya dari senyumnya itu.

Saat kami meluncur pulang menuju kontrakan Ferdy, kepanikannya semakin terlihat jelas. Dia duduk disebelahku dengan kedua tangan saling meremas di pangkuannya. Sedikit keringat membayang di keningnya. Aku yang memegang kendali hanya mengulurkan tanganku, memegang dan meremas sekilas bahunya.

"Tenang," kataku singkat.

Ferdy hanya menoleh dan berusaha tersenyum, meski bagiku lebih terlihat seperti sebuah cengiran bingung. Begitu mobil berhenti didepan kontrakannya, Ferdy nyaris melompat saat keluar dari mobil. Dia bahkan sempat tersandung di depan pintu.  

"Fer, kau lebih terlihat seperti seorang maling yang kepergok basah. Tenangkan dirimu, ok?" tegurku pelan.

Ferdy mengangguk dan mengusap keningnya dengan gugup, "Maaf, ak.........."

Pintu rumah sudah terbuka bahkan sebelum kami mengetuknya. Shella berdiri menyambut kami sembari tersenyum lebar, 

"Kalian datang tepat waktu. Makan malam sebentar lagi siap. Kalian suka spaghetti bolognese?" sapanya sembari melebarkan pintu, mempersilahkan kami. Yang mengejutkanku adalah saat dia mendekat ke arah Ferdy, dan mengulurkan tangan kanannya. Dia meraih tas kerja Ferdy, memindahkan tas itu ke tangan kiri, meraih kembali tangan kanan Ferdy lalu mencium punggung tangannya. Simbol pengabdian dari seorang istri pada suami.

Untuk sejenak suasana terasa canggung. Ferdy diam dengan wajah memerah, sementara aku sedikit terpana. Shella sendiri tetap menyunggingkan senyumnya pada kami.

"Sebenarnya tadi berniat untuk memasak sedikit masakan Indonesia. Tapi aku tak tahu letak pasarnya. Jadi aku cari saja apa yang ada di mini market yang ada di ujung jalan. Mas Ferdy suka sekali spaghetti yang dulu ku buatkan. Saya harap Dokter Rizky suka masakan Italia."

Aku menutupi kecanggunganku dengan tertawa kecil, "Apapun selain nasi goreng Bu Rini," jawabku dan membalas senyumnya.

"Bu Rini?" tanya Shella mengerutkan dahi.

"Oh, dia salah seorang penjual di kantin kami. Kami lebih sering menikmati aneka rasa nasi goreng miliknya daripada masakan lain beberapa waktu terakhir," kataku menjelaskan. Aku lalu menoleh pada Ferdy yang hanya berdiri diam di sebelahku, "Mungkin kau sebaiknya mandi dulu Fer," saranku padanya. Dengan begitu dia memiliki sedikit waktu untuk menenagkan dirinya.

"Oh, i-iya. I-ide bagus. Aku mandi dulu sebentar," pamitnya dan melangkah ke dalam.

"Masakan siap sekitar sepuluh menit lagi Mas," ujar Shella yang dijawab hanya dengan anggukan oleh Ferdy, "Dokter Rizky silahkan duduk dulu. Mau minum kopi atau yang lain?"

"Bagaimana kalau segelas minuman segar?"

"Orange juice?" tawar Shella yang ku jawab dengan anggukan setuju, "Tunggu sebentar. Saya harus melihat masakan dulu," pamitnya dan masuk.

"Biar ku temani. Dan tolong panggil aku Rizky saja," ujarku dan membuntutinya ke dapur.

"Aduuuhh, jadi nggak enak. Dokter Rizky kan rekan kerja Mas Ferdy."

Aku mengibaskan tanganku, meraih dan duduk di salah satu kursi yang ada di bawah meja dapur, "Akan lebih akrab kalau kita seperti itu. Anggap saja kita teman lama," kataku.

Shella yang baru saja mengambil sekotak jus jeruk dari kulkas menatapku dan tersenyum lega, "Terimakasih," katanya pelan. Dia menuangkan isi kotak itu ke dalam sebuah gelas besar dan mengulurkannya padaku.

Aku kembali mengangguk, "Rencana berapa hari tinggal disini Shella?" tanyaku sntai.
Shella yang kembali mengurus masakannya hanya mengankat bahu,  "Masih belum tahu Dok. Ah, maaf. Maksudku, Rizky," ralatnya cepat.

Aku tertawa untuk mencoba menenangkannya, "Begitu lebih baik," cetusku.

"Tergantung Rizky. Ada beberapa hal yang harus ku urus disini. Begitu semuanya clear, aku akan kembali. Lagipula, aku bisa sedikit membantu mengurus Mas Ferdy. Dia sudah terlalu lama tidak diurus oleh wanita. Kau tak bisa membayangkan bagaimana kondisi rumah ini ketika aku datang tadi," ujarnya dengan nada geli.

Aku bisa melihatnya, batinku. Rumah kontrakan Ferdy memang jadi terlihat lebih hidup, bersih dan lebih rapi daripada biasanya. Ferdy bukan orang yang jorok, dia bahkan cukup rapi. Hanya saja, seperti kebanyakan pria, dia suka segala sesuatu yang simpel dan praktis. Plus dengan kegiatannya, terkadang dia memang harus meninggalkan beberapa perkakas dalam keadaan tak tercuci untuk bisa sampai ke rumah sakit tepat waktu. Tapi sekarang rumah kontrakannya yang biasanya terlihat simpel dan sederhana, jadi sedikit meriah. Di meja depan tadi aku melihat taplak baru dengan sebuah vas berisi bunga hidup menghiasi. Dapur inipun terlihat lebih hidup dan rapi dengan peralatan yang berjejer bersih.
"Namanya juga cowok Shell. Kami suka yang praktis dan cepat," cengirku.
Shella tertawa, "Tapi kan tidak selalu sehat tho? Makanan cepat saji itu kurang bagus vitaminnya. Lihat saja itu Mas Ferdy, tubuhnya malah lebih kurus daripada terakhir kali kami bertemu."

"Shella tahu bagaimana............. keadaan orang tua Ferdy?" tanyaku pelan.

Punggung Shella yang membelakangiku terlihat menegang selama beberapa detik, tapi dia bisa menguasai diri dengan cepat. Shella berbalik dan menatapku, "Rizky tahu apa yang terjadi?" tanya dia dengan suara tenang terkendali.

Aku tersenyum dan mengangguk, "Aku yang menjemput dia di bandara ketika dia kembali dari Yogya," jawabku.

"Kalu begitu Rizky juga pasti tahu kalau kondisinya masih belum baik kan? Antara Mas Ferdy dan keluarganya maksudku."

"Aku bisa menduganya," jawabku.

Shella tersenyum, "Aku disini berusaha untuk memperbaikinya Rizky," jelasnya pelan, "Nah, makanan sudah siap. Mau membantuku menata meja ini??" tawar Shella. Aku tak tahu apakah kalimatnya bermakna ambigu atau tidak. Tapi aku hanya tersenyum dan membantunya membereskan meja.

"Kamu asli dari Yogya?" tanyaku, mencoba memecahkan keheningan dan kecanggungan kami.

"Yup! Tapi seperti yang kau lihat, aku memiliki darah tionghoa dari pihak ayahku. Banyak orang yang mengiraku berdarah murni keturunan. Tapi ibuku asli jawa. Aku sendiri lahir dan tumbuh di Yogya," jelas Shella.

"Orang tuamu dan Ferdy............."

"Mereka teman lama. Bapak Atmowiloto, ayah Ferdy adalah teman sekolah ayahku. Mereka masih sering berhubungan meski tidak kuliah di tempat yang sama. Hingga kini."

"Jadi kau sudah lama mengenal Ferdy?"

"Tidak bisa dikatakan mengenal baik. Kami hanya sesekali bertemu dalam acara besar keluarga. Itupun hanya menyapa sekilas dan..... Mas Ferdy sudah selesai?"

Pembicaraan kami terputus saat Ferdy melangkah mendekati kami dari ruang tengah. Dia masih terlihat sedkit kikuk, namun jauh lebih tenang daripada tadi. Dia hanya mengangguk pada Shella lalu menoleh padaku.

"Kamu nggak mandi Ky?"

"Ntar aja dirumah," sahutku santai.

"Monggo Mas. Hidangan sudah selesai. Rizky harus sampai habis ya?"  ujar Shella dan mempersilahkan kami. Ferdy menoleh padaku dengan mata bertanya.

"Rizky?" gumamnya.

Aku mengangkat bahu, "Aku rasa itu akan membuat kami merasa lebih santai. Risih rasanya kalau tunanganmu juga memanggilku Dokter Rizky," jawabku.

"Nggak apa-apa kan Mas?' tanya Shella, sedikit khawatir, "Rizky sendiri yang minta lho tadi."

"Yaah kalo memang dia memintanya," sahut Ferdy pasrah dan duduk didepanku. Shella sendiri duduk disebelahnya. Dan aku harus mengakui kemampuan memasak Shella cukup hebat. Spaghettinya matang dengan pas. Sausnya pun terasa pas dan tidak berlebihan. Aku bukan penggemar masakan Itali, tapi aku tak akan menolak kalau sesekali ada yang memasakkan spaghetti seperti ini.

"Kamu berencana libur berapa hari Fer?" tanyaku disela-sela makan.

"Libur?" anya Ferdy balik.

"Shella kan datang. Kamu ajak jalan-jalan dong. Masa ditinggal sendiri?"

"Tapi..........." dia menoleh ke arahh Shella, lalu kembali padaku, "......... aku sudah terlalu sering absen. Kemarin aku sudah pulang mendadak ke Yogya selama beberapa hari. Gak enak kalau......"

"Ndak apa-apa Mas kalau memang ndak bisa," sela Shella. Meki terdengar biasa, aku tahu dia menginginkan sebaliknya. Aku hanya menarik nafas panjang. Alasan Ferdy cukup valid. Dia sudah beberapa kali libur. Tapi aku........

"Kalau tidak keberatan, biar aku saja yang menemani. Aku bisa mengambil libur 2 hari," kataku menawarkan.

"Ky..."

"Beneran Rizky bisa?" tanya Shella dengan wajah berbinar.

Aku mengangkat bahu, "Aku belum pernah mengambil libur. Lagipula aku butuh sedikit bersantai. Lagipula, kasian Shella kalau jauh-jauh dari Yogya, dia cuma diam saja di rumah. Tapi itupun kalau kau mengijinkan Fer. Bagaimanpun juga, dia tunanganmu," kataku.

"Boleh ya Mas?" pinta Shella.

Ferdy memandang ke arah kami bergantian. Aku mencoba menampilkan wajah biasa-biasa saja. Aku sebenarnya tak ingin melakukannya. Tapi rasanya akan lebih baik aku sedikit membantu menemani Shella. Setidaknya dengan begitu Ferdy tak terlalu terbebani. Dia juga tahu kalau Shella akan aman bersamaku.

"Ya sudah," jawab Ferdy akhirnya, membuat Shella kegirangan. Aku hanya tersenyum. Di bawah meja aku sedikit memajukan kakiku hingga menyentuh kakI Ferdy. Aku sedikit mengusapkan kakiku, mengusapkannya pada kaki Ferdy. Dia memandangku sejenak dan kemudian menunduk. Kurasa dia sudah bisa menangkap pesanku.




Siang itu saat aku menjemputnya, Shella sudah siap untuk berangkat. Hari ini dia mengenakan celana jeans hitam, tank top putih yang dia tutupi dengan jaket casual dengan hoodie berwarna gading. Potongan baju yang sederhana tanpa banyak pernak-pernik itu terlihat sangat pas dan berkelas di tubuhnya. Ditambah tas besar berwarna hitam dan sepatu berhak rendah, dia terlihat bergaya namun toh masih terlihat santai. Make up tipisnya pun terlihat alami. Hari ini rambutnya dia kuncir ekor kuda di belakang. Berayun-ayun dengan ringannya saat dia mendekat ke mobilku. Parfum dengan bau bunga-bungaan turut mengiringi kehadirannya.

Aku turun dan membukakan pintu mobilku untuknya.

"Sudah siap menjelajah Bandung?" kataku tersenyum dan mempersilahkannya.

Dia tertawa renyah, "Sangat siap! Orang rumah dan beberapa temen udah heboh nitip oleh-oleh," katanya dan masuk ke mobil. Aku tertawa kecil dengan antusiasmenya. Dan tak lama, kamipun meluncur di jalanan kota Bandung yang padat dan cukup panas.

Aku sebenarnya sudah membayangkan kalau diujung hari, aku mungkin akan kelelahan dan bosan. Tapi aku salah. Shella ternyata orang yang menyenangkan dan menarik. Menghabiskan waktu dengannya tidak membuatku bosan ataupun kelelahan. Karena ternyata, kami bisa bersenang-senang. Dia teman bicara yang aktif dan penuh semangat. Dia bisa menyetir pembicaraan ke hal-hal yang sebenarnya remeh, menjadi patut untuk di bahas dan menarik. Keceriaannya menular padaku. Dan tanpa aku sadari, aku turut larut dalam kegairahannya menikmati pesona kota Bandung.

Aku sempat mengajaknya ke daerah mahasiswa di Dago. Menunjukkan banyaknya angkot-angkot ngetem di Pasar Simpang Dago yang siap mengantar para mahasiswa. Menunjukkan beberapa gedung peninggalan kolonial Belanda yang masih tersisa. Aku juga menawarinya untuk melihat goa Belanda di Taman Hutan Raya Juanda. Tapi ujung-ujungnya, Shella justru kalap melihat banyaknya factory outlet disana. Khas cewek. Dia menarikku masuk ke Grande Factory Outlet, Central Branded, Glamour, Runaway sampe Blossom.

Meski terdengar aneh, aku menikmati acara shopping kami. Menyaksikannya mencoba berbagai macam baju dan segala pernak-perniknya. Menyaksikan bagaimana matanya bersinar saat menemukan produk yang dia suka. Membawanya ke kamar ganti dan keluar seraya memerkannya padaku. Beberapa kali dia menemukan kemeja dan celana yang menurutnya 
cocok untuk Ferdy. Dia juga menanyakan komentarku tentang semua item yang dibelinya. Dan aku sekali lagi harus mengakui kalau dia memang cewek yang memiliki selera bagus. Dia memborong banyak sekali. Dan tak ada satupun dari benda yang dia beli terlihat jelek di tubuhnya.

Aku juga membawanya ke pusat oleh-oleh Kartika Sari dan Amanda Brownies. Disini dia juga banyak membeli oleh-oleh untuk keluarga dan teman-temannya. Saat menjelang sore, aku membawanya untuk makan di sebuah restoran di Dago Hills. Yang mengejutkan bagiku adalah dia lebih memilih untuk makan masakan asli Bandung. Padahal semula kukira dia akan memilih menu western atau Europe.

"Bagaimana?" tanyaku saat dia mengunyah lalapannya.

"Enak!!!" sahutnya masih dengan semangat yang sama, "Ini apaan Ky?" tanyanya menunjuk ke piring di depannya.

"Itu leunca! Emang di Yogya sana nggak ada?" tanyaku heran.

Dia cuma menggeleng dan mencomot beberapa butir leunca, mengoleskannya ke sambal dan memakannya, "Enak juga. Meski ada sedikit sensasi pahitnya ya?" komentarnya sembari melanjutkan.

Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya yang sedikit mengernyit, "Ngomong-ngomong, masih ada benda yang belum kau beli?" tanyaku.

"Nyindir nih? Kamu nggak liat kalau belakang mobilmu udah penuh gitu?" gerutunya.

Lagi-lagi aku tertawa geli, "Kamu gila!!! Abis berapa tadi belanja? Beli barang segitu banyaknya."

"Mumpung ah! Jarang-jarangan aku pergi ke Bandung. Makasih ya udah nganter dan sabar nungguin. Juga udah bawa aku makan di tempat ini. Taruhan, kalo malem pasti suasananya keren."

Aku mengangguk, "Kamu bisa lihat pemandangan malam kota Bandung dari sini. Plus, sayang sekali kalo kamu ngelewatin malem di Dago. Disini kalo malem minggu super rame dan seru. Banyak klub motor yang nongkrong. Atau kalian nongkrong aja di taman Flexy. Coba saja ajak Ferdy," usulku.

"Aku ragu kalau dia mau Ky,"  jawab Shella. Terdengar begitu pelan, dan nyaris berbisik.
"Kalian............. bicara semalam?" tanyaku setelah beberapa saat lamanya terdiam dalam kecanggungan.

"Kau pasti sudah tahu kan kalau dia ingin membatalkan pertunangan kami. Karena itu ayah Mas Ferdy ngamuk dan..............." dia tak meneruskannya dan hanya menoleh padaku.

"Aku yang merawat lukanya," kataku kemudian.

"Parah?" tanya Shella sedikit bergidik.

Aku mengangkat bahu, "Lumayan lah," sahutku tanpa memberinya detil lebih lanjut.

Shella menarik nafs panjang, "Aku tak tahu bagaimana persisnya. Aku sendiri tahu dari ibu Mas Ferdy yang bercerita sembari menangis beberapa waktu kemarin. Dia yang memintaku datang kesini dan berbicara dengan Mas Ferdy. Berharap aku bisa mengubah pikirannya. Dan......... disinilah aku. Dan aku tak yakin kalau aku bisa melakukannya," ujar Shella. Aku bisa menangkap kegetiran dalam suaranya.

"Shell, aku minta maaf sebelumnya. Tapi kalian..... dijodohkan bukan? Yang sedikit mengherankanku, kenapa kau mau? Jujur, kau cewek yang............. sangat menarik. Aku rasa tak akan sulit bagimu untuk mendapatkan pria manapun. Lihatlah dirimu," kataku dan menunjuk dirinya dengan kedua tanganku.

Shella tertawa, "Terimakasih. Tapi sepertinya aku belum cukup bagi Mas Ferdy."

Hanya bukan jenis orang yang tepat, batinku dan memberinya seulas senyum.

"Mungkin aku bisa. Tapi sayangnya.................. aku sudah jatuh cinta pada Mas Ferdy sejak aku SMA," jelasnya dengan 
senyum kecil. Dia hanya kembali tertawa melihatku yang bengong, sedikit kaget oleh fakta yang barusan dia ungkapkan, "Kami memang hanya sesekali bertemu. Tapi dia........... sudah membuatku jatuh hati. Tak bisa disalahkan tho? Kau lihat sendiri bagaimana Mas Ferdy. Dia cakep, dari keluarga baik-baik dan cukup terpandang. Pintar, calon Dokter dan memiliki reputasi baik di lingkungan sosial. Banyak yang juga menyukainya. Aku selalu berusaha terlihat spesial dalam acara-acara keluarga itu. Berusaha sebaik mungkin agar aku bisa membuatnya melihatku. Tertarik padaku. Tapi.......... Mas Ferdy selalu bersikap span dan biasa saja. Tak sekalipun menunjukkan ketertarikan yang berlebih."
Lagi-lagi aku hanya tersenyum.

"Jadi ketika orang tuaku menawarkan perjodohan itu, aku dengan senang hati menerimanya. Semula kukira impianku menjadi nyata. Akhirnya, aku bersanding dengan orangyang ku dambakan. Berita bagus kan? Tapi................... aku langsung tahu kalau ada sesuatu yang salah. Pada pesta pertunangan kami, Mas Ferdy hampir-hampir tak mau melihatku. 

Dia hanya menoleh sekilas dan lebih memilih untuk menghindar. Jelas bahwa dia......... tak menyukaiku."

Apa yang bisa ku katakan? Aku ingin menghiburnya. Mengatakan hal yang ingin didengarnya. Tapi aku tahu dengan jelas kenyataannya. Tak mungkin aku mengatakannya bukan?

"Kau teman baiknya kan? Apa dia memiliki kekasih lain?" tanya Shella.

Aku hanya tertegun memandangnya. Melihat ke arah matanya yang menatapku sedih. Sekali lagi aku hanya bisa mendesah dan mengeluh dalam hati. Memang hampir mustahil mengendalikan hati. Siapa yang mampu menentukan kemana hati kita tertambat? Dari zaman dulu hingga kini, masalah seperti ini terus berulang dalam berbagai versi. Selalu sang tokoh dibuat merana karena dia menginginkan hati yang tidak mengacuhkannya. Bahkan bagi Ferdy, kesempurnaan seorang Shella yang bagiku sudah langka, belum cukup menundukkan dirinya. Dia lebih memilih aku yang secara fisik ber-gender sama dengannya. Tinggal kini aku yang merasa bersalah. Seakan-akan aku sengaja masuk diantara mereka berdua. Menghalangi Shella untuk mendapatkan kebahagiaannya.

"Tidak," jawabku pelan, "Ferdy tak memiliki seorang cewekpun sekarang," lanjutku lagi dengan pasti. Permainan kata, pikirku.

"Seorang cowok?"

Aku hampir memuntahkan minuman yang kuteguk. Tapi aku mengatupkan gerahamku rapat-rapat pada detik terakhir. Ku tatap Shella dengan kaget. Tak mungkin kalau dia.............

"Kamu ngomong apa sih?" sergahku tanpa menutupi kekagetanku.

Shella menghela nafas berat, "Aku tak pernah berhenti memikirkan berbagai kemungkinan Ky. Aku banyak menduga dalam hati kenapa Mas Ferdy memutuskan pertunangan kami. Dugaan-dugaan gila yang hampir membuatku ngeri sendiri. Bahwa dia memiliki cewek lain. Atau dia memiliki hubungan dengan istri orang. Bahwa dia membenciku. Atau bahkan bahwa dia.......... gay," ujarnya hampir-hampir seperti malu karena dia telah mengatakannya. Kepercayaan dirinya yang selama ini ditunjukkan sekilas terlihat goyah. Aku bisa merasakan kebimbangan dan kerapuhannya sekarang.

"Shella........"

"Tapi aku tak pernah melihat atau mendengar Mas Ferdy berkelakuan aneh. Dia cowok biasa yang selama ini aku tahu. 
Jauh dari gosip miring. Perilakunya masih sopan dan nggak macam-macam. Membuat aku kembali bertanya-tanya, apa sebenarnya yang salah?"

"Shell, mungkin saja dia belum siap. Kau pernah memikirkan itu?"

Shella tertawa getir, "Kami hanya bertunangan Ky. Orang tua kami memberikan kebebasan pada kami dalam menentukan kapan kami mau menikah. Mereka hanya ingin kami terikat dalam ikatan pertunangan saja. Bahwa kami telah memiliki calon pendamping kami."

"Tapi mungkin Ferdy merasakan itu sebagai tanggung jawab yang belum siap ia tanggung. Seperti yang kau bilang, dia bukan orang yang suka bikin perkara kan?"

"Sebegitu beratnya beban memiliki tunangan sepertiku, sehingga dia lebih memilih di hajar oleh Ayahnya?"

Aku mengangkat bahu, "Kita tak pernah tahu bagaimana jalan pikiran orang kan? Yang jelas, aku tahu Ferdy adalah cowok baik-baik," jawabku tulus karena hal itu benar, ""Beri saja dia waktu. Kedatanganmu kesini adalah untuk menyambung hubungan kalian yang terputus bukan? Konsen saja pada hal itu. Beri saja Ferdy pengertian dan dekati dia perlahan. Semoga saja dia menyadari kalau dia akan jadi orang bodoh jika melepaskan cewek secantik kamu. Ok?"
Dengan itu Shella tertawa kecil, meski hidung dan matanya mulai memerah, "Terimakasih. Kau akan membantuku kan?" pintanya.

Aku hanya mengangguk pelan, "Sebisaku," jawabku kemudian. Tak mampu untuk memberinya janji. Berharap dalam hati bahwa dia tak melihat keraguan yang sebenarnya kurasakan, "Nah ada tempat lagi yang ingin kau kunjungi lagi? Atau besok saja kita lanjutkan acara belanjanya?" tawarku, mencoba mengalihkan topik ke hal lain yang lebih ringan.

"Kau tak lelah mengantarku?"

"Sama sekali tidak. Plus, bepergian dengan cewek secantik kamu bisa menaikkan popularitasku disini. Jadi, jangan khawatir," tukasku yang kembali dia sambut dengan tawa renyahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar