Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 6- Confronting

REGHA

Rumah pada alamat yg tertera di kartu nama Zaki benar-benar menakjubkan. Rumah itu bergaya Eropah klasik dg tiang-tiang ala gedung Yunani kuno yg menakjubkan. Ukurannya kira-kira lima kali lebih besar drpd rumahku yg ada di Majalengka. Pintu pagarnya yg tinggi hanya memberikan pemandangan luar dari lantai dua ke atas. Dan itu sudah cukup membuatku terkesan sekaligus terintimidasi.

Gila!!! Rumahnya segede sarang jin! pikirku ngeri.

Aku menoleh pada Vivi dan Regi yg juga tengah bengong menatap bagunan didepan kami. "Bener ini kan alamatnya?!" tanyaku ragu.

"Kalo menurut alamatnya sih emang ini Gha," sahut Vivi.

"Gila ya Cin! Rumahnya keren abiz!" gumam Regi sembari terus menatap keatas. Sesekali dia menyeruput es rumput laut yg tadi dibelinya.

"Ya udahlah Gha. Lo pencet gih bel nya," kata Vivi.

Bukannya langsung melakukannya, aku malah komat-kamit berdo'a. Entah kenapa, belum lagi berhadapan dg orangnya, aku sudah keder duluan. Jadi ngerasa kaya mau bertamu kerumah pejabat besar aja.

"Jij baca mantera apaan sih Cin? Pelet ya? Ajarin ikke dong?" pinta Regi penasaran.

"Pelet nenek lo kiper!!" gerutuku sewot yg cuma dijawab dengan cengiran oleh Regi. Nih anak bener-bener deh. Bisa aja nemuin celetukan ngaco disuasana kaya gini. Mungkin aku harus berguru padanya, agar aku bisa tetap menemukan sesuatu yg lucu dalam kondisi kritis, gerundengku dalam hati. "Bismillah!" doaku pelan dan memencet bel yg ada disebelah pintu pagar.

Kamipun menunggu dalam cemas.

"Jij tinta lupis bawa dutanya kan cin?" tanya Regi sambil kembali menyeruput es nya lewat sedotan.

"Udah Gi! Nih ada dalam tas dan. . . " kalimatku terputus oleh pintu pagar yg terbuka dengan suara deritan pelan.

Sosok Zaki yg tampak basah kuyup dan hanya menggunakan celana boxer muncul dari baliknya. Dadanya yg telanjang tampak basah. Ada sedikit busa yg menempel dilengannya yg kekar dan sebagian dadanya yg bidang.

Untuk sejenak aku dan yg lain cuman bisa sukses bengong menelusuri penampilannya yang ala tarzan kota itu. Air masih menetes dari rambutnya, turun ke dagunya. Mengalir terus ke leher, dan dada tegapnya yg sedikit berbulu, lalu turun kedaerah perut dan pusarnya yg ditumbuhi rambut-rambut kehitaman sedikit tebal, untuk kemudian berhenti pada kolor boxer hitamnya. Boxer basah itu mencetak jelas apa yg ada dibaliknya.

Sebagian air dirambutnya jg ada yg jatuh ke bahu lebarnya, dan mengalir lewat lengan kekarnya. Ditangan kanannya dia juga memegang semacam spons busa.

Hening!!

Kami hanya saling menatap bengong!

Lalu keheningan kami dipecah oleh suara Regi yg megeluarkan suara tersedak keras dan kemudian batuk-batuk hebat. Dia sampai terbungkuk-bungkuk dan gelas storyfoam yg dia pegang terjatuh. Tangan Regi menutup hidung dan mulutnya. Sepertinya es rumput laut yg dia sedot berganti arah setelah melihat Zaki yg muncul dengan penampilan horornya. Vivi segera tersadar dan dengan tanggap membantunya.

"Masuk!" kata Zaki kemudian pada kami, lalu tanpa menunggu, dia melangkah kedalam.

"A-astajim!!" ujar Regi pelan dan berusaha mengendalikan batuknya lagi. "Ya Allah Ciiiinn!!! Diana seksi bangeeeett!!!" seru Regi heboh sembari mengusap wajahnya dari sisa-sisa semburan es rumput lautnya tadi.

"Dasar sinting! Lo gak inget kalo kita kesini buat Regha?!" gerutu Vivi dan kembali mengulurkan tissue pada Regi untuk mengusap sudut bibirnya.

"Abis diana tiba-tiba muncul pake gaya tarzan gitu! Siapa yg tahan coba?! Neeeeekk. . . jij pegang deh dada ikke!! Serasa mawar meledak!! Pantat ikke serasa berdenyut kenceeeengg!!!! Ya Olooooooohhh!!!!!!!" celoteh Regi. Dia lalu berpaling padaku. "Cin-cin, ntar kita minta foto bareng yuk ma diana?! Ikke mo upload di twitter ma facebook ikke! Bencong-bencong se Indonesia pasti pada heboh! Hihihihi. . . . ," ujarnya centil cekikikan sembari jejingkrakan.

Aku hanya menatapnya kesal. Regi yg sadar segera diem dan nyengir menyesal padaku. "Kita masuk!" kataku pelan dan mendahului mereka.Rumah Zaki ternyata lebih menakjubkan dari perkiraanku. Halamannya yg luas dihiasi dg berbagai tanaman bunga dan anggrek yg ditata dramatis sehingga memberi kesan seakan-akan halaman itu ditata oleh tangan-tangan profesional. Dan sepertinya memang seperti itu.

Aku melihat sebuah M3 yg masih basah tak jauh dari pagar. Sepertinya tadi Zaki sedang mencuci sendiri sedan itu saat kami datang. Jadi dia punya mobil lain, selain yg kubuat ringsek secara tidak langsung kmrn? pikirku kecut. Kira-kira ada berapa lagi ya mobilnya?

Zaki sendiri menunggu kami diteras rumahnya dg pintu rumah terbuka. Dia melangkah masuk saat kami mendekat.Kalau tadi aku sudah merasa terintimidasi hanya dg berdiri diluar pagar rumahnya, kini saat masuk, aku benar-benar merasa kecil. Rumah Zaki benaran seperti ditata khusus oleh tangan-tangan profesional. Ornamen-ornamen yg menghias seperti lukisan, guci-guci antik dan patung-patungnya tampak serasi dengan perabotan seperti kursi dan mejanya. Rumah itu tampak seperti contoh rumah-rumah yg hanya ada dalam majalah design terkenal.

Ruang tamunya terdiri dari seperangkat sova besar berwarna putih yg tampak kontras dengan permadani tebalnya yg berwarna gelap. Bbrp guci dan dua buah gading gajah berwarna putih tulang mengkilat menghias ruangan itu. Juga sebuah photo keluarga besar dg nuansa hitam putih tergantung di dindingnya yg berwarna putih. Lelaki yg berumur 40 an lebih, dan sepertinya ayah Zaki itu adalah seorang lelaki kaukasia. Dan Ibu Zaki adalah wanita berperawakan tinggi langsing dg gurat wajah tegas. Make up diwajahnya tidak mampu menyembunyikan gurat tegasnya. Bahkan di photo keluarga itu, aku bisa menebak kesan keras diwajahnya. Berbeda dg ayahnya yg terlihat santai.

Sementara Zaki, terlihat acuh, dan memandang kami dari kanvas dg tatapan tak peduli.

Sebuah keluarga besar yg membuatku ingin mengorek cerita didalamnya.

"Sudah puas lihat2?!" tegur Zaki dingin, membuat otak jurnalisku langsung tersentil, sedikit kaget. Aku segera kembali berpaling padanya. Vivi dan Regi( meski aku curiga kalo cowok ganjen ini dari tadi lebih fokus pada Zaki yg masih horor. Terutama bagian depan boxernya) yg sepertinya dari tadi ikut bengong dan memperhatikan sekelilingnya ikutan nyengir.

"Ru-rumahnya bagus banget Ki!" komentar Vivi, mencoba memperhalus atmosfir kami.

Zaki hanya mengangkat bahu. "Silahkan duduk!" katanya mempersilahkan. Kali ini aku dan yg lain segera mengikuti nya tanpa banyak bicara. "Kalian tunggu sebentar. Gw mau pake baju dulu!"

"Eh nggak usah! Gitu aja lebih . . TUYUL BENCONG!!! EH BENCONG!!" Regi langsung kumat latahnya saat aku menginjak kakinya dg keras. Mencegahnya meneruskan kalimatnya tadi. Zaki hanya tersenyum sinis dan berlalu kedalam.

"Gatel amat sih?!! Tahan diri kek!" protesku ke Regi saat Zaki telah menghilang kedalam.

"Maaf Cin! Habis naluri sih!" dalih Regi pelan.

"Naluri bencong?!" sindir Vivi tajam. Regi cuma mesem mendengarnya.

Tak lama kemudian Zaki kembali muncul. Kali ini dia telah mengganti celana pendeknya dg celana cardigan pendek warna hitam dan t-shirt putih polos. Dibelakangnya ada seorang wanita awal 30 yg membawa nampan dg beberapa gelas berisi minuman berwarna jeruk dan setoples makanan ringan.

"Silahkan!" kata wanita itu ramah. Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya. Meski sebenarnya aku malas untuk menyantap hidangan dirumah kunyuk Zaki ini, aku memaksa untuk minum jus jeruk itu. Aku butuh minum untuk menenangkan diri.

"Sepi amat Ki! Keluarga yg lain mana?" tanya Regi mencoba berbasa-basi.

"Apa pentingnya?" tanya Zaki balik dingin. Dia yg duduk didepan kami berpaling dari Regi, ke arahku yg kembali gelisah. "So?"

Aku menelan ludah sejenak dan berdehem untuk mengumpulkan suara.

"Ki. . . , untuk saat ini aku hanya bisa mengumpulkan uang sebesar 21 juta. Sisanya menyusul," kataku kemudian dan meletakkan amplop berisi uang ke meja.

Zaki tak mengatakan apapun. Untuk sejenak dia hanya memandang amplop itu. Dia menghembuskan nafas kesal dan mengambilnya. Dia menghitungnya dengan cepat. "Lalu kapan sisanya?" tanyanya kemudian cepat.

Ludah yg kutelan terasa sedikit menyakiti tenggorokanku. "Aku nggak bisa melunasinya dengan cepat. Mungkin dalam satu bulan aku hanya bisa mencicil sebesar 1 juta rupiah saja. Dan. . . ,"

"Dengan kata lain, kau baru bisa melunasinya dalam jangka waktu hampir 2 tahun?" potongnya menusuk.

Lagi, aku hanya mampu menelan ludah. "Maaf Ki! Tapi nggak mungkin aku bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat. Harap bisa kamu maklumi," pintaku pelan.

Zaki mendengus.

"Maaf Ki," sela Vivi, "Aku yg jamin kalau Regha pasti akan membayar semua tanggungannya padamu. Tapi memang tidak bisa sekaligus. Kamu nggak usah khawatir dia ingkar."

"Kami minta pengertianmu Ki!" imbuh Regi. "Regha siswa perantauan. Uang yg kamu terima itu juga hasil dari kerja kerasnya selama ini. Lagipula, uang sebesar 41 juta itu jumlah cukup besar untuk sebuah perbaikan mobil kan?"

Ada kilatan tajam dimata Zaki mendengar itu. Dia bangkit dan berjalan kedalam. Sebentar kemudian dia kembali dengan sesuatu ditangannya. Dia melempar beberapa kertas keatas meja didepan kami. "Itu tanda bukti dari perbaikan mobilku. Konfirmasi ke bengkel BMW kalau memang kalian pikir itu penipuan. Lihat tanggal dan logo resmi bengkellnya. Masih ragu? Silahkan cek. Alamatnya bisa kalian temukan disana!" tuturnya lebih tajam daripada tadi.

"Kami percaya Ki!" sahutku cepat dan mengerling kearah Regi yg manyun. "Tapi aku minta. . . , kamu ngerti keadaanku," pintaku lagi.

"Orang tuamu tidak bisa membantu?" tanyanya yg segera kujawab dg gelengan.

"Mereka bisa pingsan kalau tahu! Ini tidak ada hubungannya dg mrk," kataku cepat. Tidak akan kulibatkan mereka dalam masalah ini.

"Pinjaman?"

"Uang itu," tunjukku pada amplop yg ada dimeja, " hanya 6 juta dari total keseluruhannya yg murni uangku. Kedua temanku ini meminjamiku 5 juta. . ,"

"Itu bukan pinjaman!" potong Vivi. "Uang itu murni milikmu!" tegasnya lagi.

Aku memandang penuh terimakasih padanya, juga pada Regi yg mengangguk membenarkan. "10 jutanya kupinjam dari seorang teman," lanjutku.

Zaki sepertinya sudah hendak menyahut, tapi urung saat suara dering hp nya menyala. "Ya halo?" katanya dan bangkit sedikit menjauh dari kami. "Iya! Ngerti! Iya. . . .! Fine!" sahutnya lalu menutup hp nya. Zaki kembali duduk didepan kami. Diam sejenak dan tampak berpikir keras.

"Bagaimana Ki?" tanyaku setelah beberapa saat kami dalam keheningan yg mencekam.

"Dimana kau kerja?" tanyanya tiba-tiba mengagetkan.

"Di. . . rumah makan Bu Indri," jawabku sedikit heran

"Setiap hari?" tanyanya lagi, membuatku semakin heran.

"Dari hari senin sampai sabtu saja. Aku kerja sampai jam 12 siang.Kenapa memangnya?" tanyaku tanpa dapat menahan diri.

"Hari minggu kamu gak kerja?" tanya Zaki kembali tanpa menghiraukan pertanyaanku.

"Biasanya sih ngasih les ke anak SD! Tapi sekarang udah enggak, karena mereka sekeluarga pindah kota," jawabku sedikit bingung ke arah mana pembicaraan kami ini menuju.

"Dengan kata lain, skrng kamu nganggur dihari minggu kan?" gumam Zaki pelan setengah berpikir. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.

Aku melirik cemas kearah Regi dan Vivi. Keduanya terlihat sama bingungnya denganku. Sama2 tak tahu maksud dari pertanyaan-pertanyaan Zaki tadi.

"Baiklah! Mulai hari minggu besok, kau kerja padaku! Kujemput kau jam 6 pagi. Tulis alamatmu sekarang!" kata Zaki akhirnya, membuatku sontan melotot.

HAH??!!

DIA BILANG APA?!!


ZAKI

Hampir 1 jam setelah kepergian mereka, aku masih duduk di sova ini. Berpikir. Terus terang aku terkesan. Dengan keadaannya, kukira Regha hanya akan membawa jauh lebih sedikit dari yg ia berikan padaku tadi. Kukira dia akan datang dengan berbagai macam dalih tentang ketidakmampuannya. Atau mungkin memohon padaku agar aku bersimpati padanya dan tidak menuntutnya lagi. Merelakan kerugianku.

Tapi aku salah.

Dia hanya meminta waktu padaku. Agar dia bisa mengumpulkan uang untuk melunasi kekurangannya.

Dan dua orang temannya juga sangat menarik, juga fakta yg mereka ungkapkan sekilas tadi.

The Flaming one, Regi?! Orang seperti dia biasanya hanya akan menjadi bahan celaan teman-temanku di Australia. Cowok melambai dan kecewek-cewekan seperti dia hanya akan jadi bulan-bulanan. Di bully oleh teman-temannya. Dikunci dalam toilet, kepala diceburkan ke toilet, atau bahkan mungkin ditelanjangi rame-rame. Tapi mungkin disini berbeda. Aku sebenarnya agak sedikit terganggu dengan caranya memandangku tadi. Tapi selama dia tidak bikin gara-aku, aku tak akan memperdulikannya.

Lalu Vivi, cewek bertubuh subur yg sepertinya begitu nyaman bersama Regha dan Regi (Baru aku sadari kalau nama mereka berdua ber rima). A fag hag? Atau hanya sesama orang terasing dalam strata sosial kampus? Entahlah.

Yang jelas, keterangan Regha bahwa mereka telah ikut menyumbang -bukan meminjamkan seperti kata Regha sebelumnya- sebesar 5 juta uangnya, cukup mengesankan. Hanya sedikit orang yg kukenal, apalagi dalam kondisi mereka yang tidak begitu spesial, mau menyisihkan apa yang mereka miliki, demi teman mereka.

Aku harus menyelidiki mereka, putusku dan segera menelepon Pak Bima. HeadSecurity yang kemarin membantuku mencari data tentang Regha. Data yg selanjutnya tentang Regha, akan ku gali sendiri. Toh kami akan bertemu hari minggu besok.

Kuakui, keputusanku untuk membawa Regha ke panti memang sedikit impulsif. Tapi hal itu terjadi begitu saja, tanpa dapat kutahan. Mungkin karena ketertarikanku pada karakter Regha. Aku berniat untuk tahu lebih banyak tentang anak itu.

Dan akan kupastikan kalau dia merasa menyesal telah berurusan denganku.


RIZKY

Aku memandang kearah gedung kampusku. Empat tahun aku menghabiskan waktuku belajar ditempat ini. Banyak kenangan tercipta disini. Dan untuk waktu yang lama, mungkin aku tak akan melihatnya. Saat ini, aku hanya ingin sedikit bernostalgia hanya dengan melihatnya. Gedung Laboratorium tempat aku praktek, Ruang kelas tempat aku berkutat dengan berbagai materi, Perpustakaan tempat aku belajar, bahkan kamar kecil yang sering kugunakan, tadi telah kulewati dan melihatnya sekilas.

Kini, saat aku mengedarkan pandanganku keseluruh penjuru, aku bisa mengingat kembali hal-hal yang telah terjadi dulu. Saat aku berlari melintasi lapangan ini karena terlambat, saat aku berjalan melewati koridor-koridornya, dan saat aku duduk dibawah rindang pohon bersama teman-teman atau. . . Ferdy.Aku sedikit memicingkan mataku melihat sosok yg berdiri dibawah sebatang pohon akasia. Mulanya kukira dia hanya bayangan kenangan seperti yang terlintas dibenakku tadi. Tapi dia nyata. Dan dia jelas sekali sedang berdiri tak begitu jauh, memandangku. Senyum lebarnya tersungging, menampakkan dua lesung pipitnya yang dulu pernah kusuka.

Aku tak berharap bertemu dengannya setelah apa yg telah terjadi. Dia orang terakhir yg kuharapkan bisa kulihat ditempat ini. Aku sudah berhasil menghindarinya selama 3 bulan terakhir ini. Tapi sepertinya sekarang, aku harus menghadapinya. Kulihat dia melangkah mendekat dan aku cuma diam ditempatku berdiri.

"Masih ada urusan?" tanyanya ringan.

Aku mengangguk. "Hanya menyelesaikan beberapa berkas," sahutku.Mata Ferdy menatapku intens. Ada kerinduan yang jelas terpancar dan coba tak kuperdulikan disana. Salahku sendiri. Dia jatuh terlalu dalam padaku, meski aku sering bersikap keterlaluan padanya.

"Aku kangen," katanya pelan tanpa berkedip.

Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Kamu ngapain disini? Koas nya emang dimana?" tanyaku tanpa menanggapi pernyataannya tadi.

"Diluar kota," jawabnya sembari kembali terseyum, seolah-olah sikapku tadi sudah diduganya. "Kamu punya waktu?" tanyanya lagi.

"Aku harus packing barang-barangku dikost untuk kukirim pulang, dan. . ,"

"Baguslah! Aku bantu. Ayo?!!" sahutnya cepat dan menggamit lenganku. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi selama ini sikapku sudah keterlaluan. Setidaknya, aku harus meninggalkan kesan yg baik terakhir kali, pikirku. Aku menghela nafas dan menurut pada tuntunannya. Wajah Ferdy terlihat sumringah karenanya. Kami berjalan menuju mobil Ferdy. Aku sendiri membiarkan lamunanku melayang.

Pertama kali aku mengenal Ferdy atau lebih tepatnya, menyadari keberadaan Ferdy adalah saat kami mengerjakan tugas kelompok tentang kelainan pada usus manusia. Seperti di Bandung, di Yogyakarta ini aku tetap menjadi diriku yang biasanya, sedikit sulit untuk bersosialisasi. Aku lebih suka melakukan segala sesuatunya sendiri. Tanpa yg lain.

Sialnya tugas kali ini harus dilakukan secara berkelompok. Jadilah aku celingukan gak jelas.

"Rizky sudah ada kelompok?" tanya seseorang dari arah depanku.

Aku berpaling dan mendapati seorang cowok berkulit putih tersenyum ramah padaku. Dipipinya kulihat 2 lesung pipit yg membuatnya tampak menarik. Aku tak mengenalnya. Tapi dia tahu namaku. Aku hanya tahu kalau anak ini memang seangkatanku, tapi tak pernah sekalipun kami berkomunikasi. Meski sudah bertahun-tahun kami belajar diruang yang sama. Sepertinya aku benar-benar seorang misanthrope sejati, pikirku kecut. Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.

"Kalo gitu bareng sama Ferdy," dia memegang dadanya, "Nathalia dan Reyna aja ya? Sekelompok 4 orang," jelasnya lagi tanpa kutanya. Dia menunjuk kedadanya sendiri lalu ke beberapa orang lain dibelakangnya. Aku hanya menjawabnya dengan angkatan bahuku.

Tanpa melepas senyum diwajahnya dia memanggil dua orang teman yg dia sebutkan tadi dan mengenalkannya padaku.

Nathalia, cewek keturunan dengan tinggi sekitar 155cm dg potongan rambut trendy dan sepertinya cerdas. Reyna, cewek berkerudung berwajah ramah, hampir sama tingginya dengan Nathalia, dan sepertinya asyik diajak untuk ngobrol.

Kami segera duduk bersama. Ferdy berada disebelahku. Dan entah sengaja atau nggak, bahu dan tangan kami sering bersentuhan. Mulanya aku acuh dan tak menyadarinya. Tapi jika hal itu terjadi berulang kali dalam rentang waktu yang begitu singkat, aku mulai curiga kalau dia sengaja melakukannya. Saat aku melihatnya, Ferdy hanya tersenyum dan menunjukkan wajah santai.

Lama kelamaan aku jd kesel juga. Nih anak muka tanpa dosa tapi berani jg, batinku. Aku tak bisa berbuat apa-apa karena kami berada dalam kelas, jadi aku berusaha menahan diri. Tapi ternyata tugas kami cukup sulit, jadi kami sepakat untuk melanjutkannya diperpustakaan.Disana Ferdy kembali duduk disebelahku, dan kejadian yg sama terulang. Kalau dikelas aku tak bisa berbuat apa-apa, di perpustakaan aku membuat Ferdy terbatuk-batuk keras saat aku meletakkan tangan kananku dipahanya, lalu meremasnya sekilas.

Nathalia dan Reyna sempet kaget juga dg Ferdy yg tiba-tiba saja terserang bengek.

"Kenapa sih lo?" tanya Nathalia.

"Sorry! Tadi kemasukan debu kali," elaknya cepat dg muka memerah.

Aku pura-pura cuek dan menancapkan mataku pada buku yg ada didepanku. Tugas kami selesaikan pada jam 7 malam. Dan kami segera berpamitan untuk pulang ke kost masing-masing.

"Rizky aku anter ya?" tawar Ferdy.

"Nggak usah. Kost ku deket kok," tolakku.

"Tapi aku pengen tahu kost Rizky dimana, jadi kapan-kapan bisa maen," katanya lagi. Aku tahu apa yg dia maksud. Jujur dia orang yg cukup menarik. Jadi aku mengangkat bahu dengan paksaannya.Kami menuju mobil Ferdy yg ada ditempat parkir. Masih ada beberapa kendaraan mahasiswa disana. Sebuah mobil sedan keluaran Jepang menyala saat Ferdy memencet remote yg diambilnya dari saku. Tanpa suara aku hanya mengikutinya masuk ke mobil.

"Kemana Ky?" tanya Ferdy.

"Sepertinya tanpa kusebut, kamu sudah tahu kostku dimana. Jalan saja," kataku dengan nada datar. Dari tadi sebenarnya aku curiga kalau anak ini tahu beberapa hal tentangku. Sikapnya tadi yang membuatku menarik kesimpulan itu. Seperti dugaanku, pipinya terlihat merona. Dia tertunduk sedikit malu, lalu segera menghidupkan mobil.

"Sudah berapa lama?" tanyaku saat kami mulai meluncur pelan.

"Huh?! Apanya?" tanya Ferdy tak mengerti.

"Kamu merhatiin aku," jelasku datar.

Hening sejenak. Ferdy tak langsung menjawabnya. Matanya masih menatap lurus kejalan didepan kami. "Sudah lama," jawabnya akhirnya setelah menarik nafas dalam.

Aku tak bereaksi. Tak berapa lama, kami berhenti didepan bangunan kostku. Dia benar-benar tahu beberapa hal tentangku. Apalagi yg dia ketahui kira-kira ya? batinku. Tapi aku tak tertarik untuk bertanya. Aku sudah hendak keluar, tapi tangan Ferdy menahanku.

"Apa aku harus minta maaf?" tanyanya.

"Karena kau menyelidikiku? Aku tak peduli," jawabku acuh.

"Tidak ingin yahu kenapa aku melakukannya?"

"Kita berdua tahu kenapa kau melakukannya. Rasanya tak perlu dibahas lagi."

Mata Ferdy membesar dengan jawabanku tadi. "Jadi apakah kau juga. . .," dia tak meneruskan kalimatnya. Aku sendiri tidak memberinya jawaban pasti, hanya kembali mengangkat bahu dan hendak keluar.

Tapi lagi-lagi dia menahanku.

"Apa lagi?" tanyaku.

"Hmm. . . , Rizky malem minggu besok ada acara?" tanya Ferdy sedikit ragu. Aku tidak langsung menjawab, hanya diam memperhatikannya.

"Ka-kalau ng-nggak keberatan, m-mmau nonton bareng?" tanyanya lagi dengan nada gugup dan sedikit ragu.

Aku hanya mengangkat bahu. Kupikir apa salahnya, toh dia lumayan juga.

"Kujemput jam 7 ya?" tanyanya memastikan. Aku hanya mengangguk dan segera keluar.


Itu kencan pertama kali. Dan seterusnya berjalan dengan sendirinya. Ferdy jadi sering main ke kostan ku. Terkadang juga menginap. Aku sendiri tak keberatan karena bersama dengannya, salah satu kebutuhanku terpenuhi. Apalagi Ferdy adalah orang yang cukup perhatian, sabar dan pengertian.

Dia tak pernah mengeluh dengan sikapku yang terkadang bisa mendadak dingin kalau suasana hatiku buruk. Dia tak pernah protes saat aku tak mau atau tak bisa memenuhi permintaannya. Dan akan segera mengatakan 'YA' kalau aku meminta sesuatu. Terkadang aku merasa salut dengan kesabaran dan toleransinya pada sikapku. Meski bahkan aku sendiri kadang merasa kalau sikapku keterlaluan. Tapi Ferdy tak pernah bersuara.

Yang selalu kujaga, selama kami bersama, tak pernah sekalipun aku mengucapkan kata jadian. Tak sekalipun aku mengatakan aku menyukainya, apa lagi mencintainya. Tiap kali dia mengatakan tiga kata itu, aku hanya diam saja, atau paling banter tersenyum. Kalimat-kalimat itu tak pernah keluar dari mulutku sendiri. Karena aku tahu, aku tak menyukai Ferdy dalam artian romantis. Dan aku tak ingin memberikan harapan palsu padanya.

Ferdy sendiri tak pernah menuntutku. Seperti yg pernah dia katakan, dia sudah merasa cukup bisa berada didekatku. Apa lagi aku tak pernah bersama dengan orang lain. Dalam bayangannya, seakan-akan kami adalah pasangan eksklusif yg hanya memiliki 1 pasangan. Aku tak pernah tertarik untuk mengoreksi pemikirannya.

Tak pernah sekalipun aku mengatakan tentang Regha padanya.

Ada beberapa kejadian yg sampai sekarang membuatku ingat padanya, meski kami sudah tak bersama.

Yang pertama adalah saat ulang tahunku tanggal 9 Februari, 2 tahun yg lalu. Beberapa hari sebelumnya, aku berada di Bandung. Mudik karena ada suatu urusan. Saat Ferdy telepon, aku mengatakan kalau aku berencana pulang tanggal 9 dengan penerbangan siang.

Aku sendiri tidak berpikir kalau dia ingat tanggal ulang tahunku. Dan ternyata , hari itu aku baru bisa pulang dengan penerbangan terakhir. Aku baru sampai di kostan pada pukul 3 pagi. Saat masuk kekamar kostku, aku sempat mengira kalau aku salah masuk.Kamar kostku terlihat seperti ruang pesta kecil. Ada hiasan balon-balon dan kertas warna-warni. Ada tulisan selamat ulang tahun besar yang dibuat dari kertas berwarna emas tergantung didinding. Lalu ada sebuah kue tart besar dengan lilin bertuliskan angka 20 ditengah ruangan.

Di tempat tidur, kulihat Ferdy yang tertidur dengan pakaian lengkap. Wajahnya tampak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ada bekas tangis disudut matanya yg sudah mengering.

Aku mengumpat lirih. Sepanjang hari tadi aku memang tak mengaktifkan ponselku. Aku sama sekali tak ingat untuk menghubunginya soal perubahan jadwal pesawat yang kutumpangi, karena memang biasanya aku tak melakukannya. Aku merasa sedikit bersalah.

"Fer. . . ," panggilku dan sedikit mengguncang bahunya. Pada panggilan ketiga, dia mulai bereaksi. Matanya mengerjap beberapa kali. Untuk sejenak dia memandang berkeliling, sedikit bingung dan tampak tak tahu tempat. Saat dia melihatku, sepertinya dia mulai sadar.

"Hei. . . ," sapanya, sedikit serak karena kantuk. "Baru nyampe?" tanyanya dan mengucek matanya dengan punggung tangan.

"Yeah," jawabku dan kembali memandang berkeliling. "Seharusnya kau tak perlu melakukan ini."

"Happy birthday," bisik Ferdy pelan lalu mencium pipiku. Secara naluriah tanganku memeluk pinggangnya, dan menariknya.

"Kau seharusnya tak melakukan ini," ulangku dan mencium sekilas ujung kepalanya.

"Seharusnya ini jadi pesta kejutan untukmu. Tadi sih banyak anak-anak. Tapi mereka udah pulang karena kamu gak dateng2!Kenapa baru nyampe jam segini?" tanyanya.

Sejenak aku memandangnya. "Aku dapat penerbangan terakhir," jelasku.

"Ponselmu. . ,"

"Kumatikan sejak siang," sahutku, memotong kalimatnya.

"Well. . . . , sekarang sudah bukan kejutan lagi. Tapi. . . bagaimanapun juga selamat ulang tahun ya?" kata Ferdy dan mengecup lagi rahangku.

Aku meraih wajahnya dan mencium bibirnya. Mengucapkan terimakasihku lewat ciuman itu. Tanganku masuk ke dalam T-shirt Ferdy, mengusap bagian depan dadanya, membuat Ferdy mengerang pelan.

"Hadiahmu. . ," desahnya pelan.

"Nanti," kataku singkat dan menarik lepas T-shirt Ferdy dari tubuhnya.Sedikit banyak aku memang tersentuh dengan apa yang Ferdy lakukan. Tapi sayangnya itu hanya sensasi sesaat bagiku. Karena aku sendiri tak tahu kapan ulang tahunnya, dan juga. . . , aku tak perduli. Mungkin terdengar kasar, tapi itulah kenyataannya.


Sekitar 8 bulan kemarin Ferdy tiba-tiba saja muncul dikamar kostku dengan wajah cerianya.

"Ky. . . , ntar malem traktir dinner ya?" pintanya mendadak.

Aku yang sedang membuat sebuah laporan hanya mendengus. "Aku sibuk dengan laporanku," jawabku singkat tanpa memalingkan mukaku dari screen laptop.

"Khusus malam ini Ky. Bisa ya?" pintanya lagi.

"Ujian sudah didepan mata. Apa nggak sebaiknya kamu belajar," sahutku sedikit menggerutu.

"Ky! Aku cuma minta malem ini saja kok. Nggak akan minta lagi deh!"

Aku jadi sedikit heran dengan sikapnya yang sedikit memaksa akhirnya berpaling menatapnya yang sedang duduk di tempat tidur. "Kamu kenapa sih?!" tanyaku sedikit kesal.

Ferdy memalingkan muka dengan ekspresi yg tak kumengerti. Dia tak menjawab, hanya menghela nafas berat lalu bangkit. "Sudahlah," katanya pelan membuatku semakin heran. "Kamu sibuk! Seharusnya aku gak ganggu. Maaf," katanya dan kemudian pergi.

Untuk sejenak aku benar-benar dibuat heran dengan tingkahnya. Sesaat aku cuma diam bengong. "Dasar aneh!" gerutuku pelan lalu kembali berkonsentrasi dengan tugasku.


3 hari berikutnya, Ferdy tak terlihat dikampus. Aku sendiri tak tahu kalau saja pada hari itu aku memerlukan buku anatomi yang kemarin sempat dipinjamnnya.

"Ferdy gak masuk Nat?!" tanyaku pada Nathalia yg waktu itu sedang berjalan menuju kantin.

"Lho? Dia kan opname sejak 2 hari kemarin," ujarnya heran.

"Opname?" gumamku.

"Sudah 3 hari ini dia gak masuk kuliah kan? Masa lu gak nyadar Ky?" tanya Nathalia semakin heran. Aku hanya menggeleng. Aku segera pergi setelah dia memberitahuku dimana Ferdy dirawat.

Saat aku tiba kamarnya, Ferdy sedang duduk sembari membaca sebuah buku. Mulanya dia sedikit agak kaget dengan kedatanganku. Tapi Ferdy segera menguasai diri. "Sendiri?" tanyanya datar dan meletakkan buku yg dibacanya.

Aku mengangguk. Kuletakkan parcel yg kubawa dimeja kecil yg ada disisi tempat tidurnya. "Nathalia yg kasih tahu aku," kataku memberitahunya tanpa ditanya. "Sakit apa?" tanyaku.

"Lambung," jawab Ferdy singkat. Aku hanya manggut mendengarnya. Dengan itu aku tak tahu apa lagi yang harus aku katakan. Aku hanya diam dan memandang sekeliling. Kamar Ferdy dilengkapi dengan tv dan sebuah tempat tidur tambahan yg sepertinya diperuntukkan bagi keluarga yang menginap.

Tak ada tanda-tanda keluarga Ferdy yang datang. Selain parcel yang kubawa, serta beberapa buku dimeja itu, aku tak melihat benda pribadi apapun disana. Aku lalu melihat pada tabung infus yang dialirkan ketubuh Ferdy melewati lengannya. Lalu pandanganku beralih pada wajahnya.

Baru kemudian aku sadar kalau sedari tadi Ferdy memperhatikanku dengan tatapan sedih. "Apa?" tanyaku sedikit tak nyaman dengan caranya menatapku.

"Aku tahu kau menyukai seseorang bernama Regha," katanya pelan.

Aku kaget bukan main!

Seingatku, tak sekalipun aku menyebut nama Regha didepannya. Pernyatannya yg begitu tiba-tiba membuatku terpaku diam ditempatku.Ferdy kembali tersenyum sedih. "Beberapa kali kau menyebut namanya dalam tidurmu," katanya kemudian.

"K-kapan?" tanyaku beberapa saat kemudian.

"Ketika pertama kali kita tidur bersama," jawab Ferdy. "Juga saat ulang tahunmu kemarin. Juga pada beberapa malam lainnya saat aku menginap dikamarmu. Mulanya kukira itu cuma igauan tak jelasmu. Tapi kalau kau begitu sering menyebutnya dalam tidurmu. . . . , berarti dia seseorang yg sangat berarti bagimu kan?"

Aku tak menjawabnya.

"Kau menyukainya? Pacarmu?" tanya Ferdy pelan.

Aku hanya mampu menggeleng untuk menjawabnya.

"Lalu siapa dia?" tanya Ferdy ingin tahu. Kukira, pada saat kalimat ini dia tanyakan, dia akan melakukannya dengan penuh kemarahan. Berteriak-teriak histeris, memaki, atau menyumpah geram. Tapi Ferdy begitu tenang dan terkontrol. Hanya dari matanya aku bisa melihat gejolak hebat yang dia rasakan. Reaksi pertamaku adalah ingin menyangkal fakta yg sebenarnya. Mengucapkan kebohongan-kebohongan yg mungkin akan sedikit menenangkannya. Tapi. . . . ,apa itu yg terbaik baginya?

"Dia. . . , orang yang kucintai," jawabku akhirnya, jujur. Ferdy tidak layak untuk dibohongi. Dia patut mendapatkan kebenaran dariku. Dan seperti yg kuduga, sorot terluka dimatanya makin kentara. Tapi aku tak bisa melakukan apa-apa untuknya. Tidak lagi.

"Seharusnya tahu," desahnya, lalu diam sejenak. "Satu hal yang kusadari. . . ," kata Ferdy lirih kemudian dan sedikit bergetar, ". . . selama kita bersama, nggak sekalipun kamu bilang kalo kamu. . . , mencintaiku. Aku kira aku sudah berusaha sebaik mungkin menunjukkan perasaanku padamu. Berharap kau tahu kalau aku tulus. Tak pernah kuperdulikan sikapmu yang terkadang dingin dan acuh. Meski aku tahu ada Regha dihatimu. Kini aku tahu. . . , kalau semua usahaku itu tak berarti. Kenapa. . . , kamu tak bisa menyayangiku Ky?"

Sial!!! Aku merutuk dalam hati.

Aku benci melihat air mata Ferdy yg turun dipipinya. Aku tidak suka melihatnya begitu. . . ,terluka. Parahnya lagi, aku yang menyebabkannya begitu. Tapi dari awal kebersamaan kami, aku memang tak pernah menjanjikan apapun padanya. Aku benar-benar ingin pergi dari kamar ini sekarang. Tapi kakiku menahanku. Sepertinya, menyaksikan penderitaan Ferdy menjadi sebuah hukuman bagiku. Namun lebih dari itu aku tahu, bahwa aku harus menyampaikan kebenaran padanya.

"Pernah. . . ,"Ferdy menarik nafas panjang dan mengusap aliran air dipipinya, ". . . , pernahkah kamu mencintaiku?" tanyanya kemudian.Kembali aku berpikir untuk berbohong padanya. Namun aku berusaha menekan keinginan itu. "Tidak dalam artian seperti yang kaupikirkan," jawabku datar. "Aku sayang kamu, tapi tidak mencintaimu. Sudah lama aku mencintai Regha."

Ferdy menutup matanya sejenak, terlihat makin rapuh dan terluka. "Dia tahu?" tanya Ferdy setelah mampu menguasai diri.

"Tidak! Dan mungkin tak akan pernah tahu. Setahuku. . . dia bahkan bukan seorang gay," jawabku dan berusaha menampilkan wajah yg biasa-biasa saja, meski fakta yang kusampaikan tadi cukup menyakitkanku.

"Kenapa?"

"Karena aku tak bisa. Itu saja!" jawabku, tak ingin melanjutkan topik itu.

"Aku tak bermakna bagimu?"

Aku menggeleng. "Tidak dalam artian yg kau maksud. Tapi aku peduli padamu. Karena itu aku tak pernah berusaha membohongimu. Aku selalu berusaha untuk bersikap netral. Tidak menjanjikan atau menjurus ke arah suatu hubungan yang serius denganmu. Karena itu aku tak pernah mengatakan hal-hal yang kau inginkan. Karena aku tak mau membohongimu, memberimu harapan palsu, atau menjanjikan sesuatu yg tak akan bisa aku penuhi."

"Jadi aku hanya pemuasmu?"

Aku dia sejenak untuk memberi waktu. Bukan hanya padaku, tapi juga pada Ferdy yang emosi. Pertanyaan tadi bisa membuat segalanya menjadi lebih buruk. Aku tahu aku harus berhati-hati. "Kau lebih berharga dari itu Fer! Jauh lebih berharga. Kalau aku menganggapmu begitu, maka aku juga tak lebih dari seorang gigolo. Anggap saja kita adalah teman yang saling membantu. Hubungan kita lebih pada suatu hal yangg platonik," jawabku.

"Apa aku harus tersanjung dengan itu?" tanyanya getir. "Sang Romeo memilihku untuk menjadi selirnya," katanya lagi dengan nada sarkas.

Aku mendiamkan komentarnya tadi.

"Mungkin seharusnya aku tak jatuh cinta padamu," gumamnya kemudian lirih.

"Kalau begitu jangan!" sahutku tegas. "Jangan jatuh cinta padaku. Atau lebih baik, jangan mendekatiku. Jangan berteman denganku. Karena aku tak akan baik untukmu," lanjutku dengan senyum sedikit sedih. Aku tahu sudah saatnya kalau aku harus menjauh dari Ferdy. Untuk kebaikannya.

"Menurutmu begitu?" tanyanya sedikit tajam.

"Lihat saja hasil yang kau rasakan. Mungkin sudah saatnya kau menjauh dariku," kataku pelan. Dengan kalimat itu, kini aku sudah merasa tak ada lagi yang harus kukatakan padanya. Sudah saatnya Ferdy dan aku kembali menjalani kehidupan kami masing-masing sendiri. Karena tidak selayaknya dia menghabiskan waktu dan tenaganya denganku. Ada hal yang pasti lebih bermanfaat baginya daripada denganku. Karena itu, aku berbalik dan melangkah pergi. Pergi dari kamar dan -sepertinya- hidup Ferdy.

"KY!!!" pangggil Ferdy, membuatku aku yang sudah memegang handle pintu, urung membukanya. "Aku tetap akan menunggumu," katanya dengan nada yg terdengar yakin.

"Jangan!" potongku cepat masih memunggunginya. "Jangan sia-siakan waktumu."

"Aku akan tetap menunggumu. Dan akan kubuat kau mencintaiku," kata Ferdy tanpa memperdulikan kata-kataku tadi.

Perlahan aku berbalik dan menatapnya dingin. Aku mungkin harus membuatnya membenciku agar dia tidak berbuat bodoh lagi, pikirku. Aku tak suka Ferdy melakukan hal konyol yang pada akhirnya, hanya akan melukainya. Bahkan meski itu dia lakukan untukku. Sudah waktunya dia lebih menghargai dirinya sendiri. "Lakukan apa yang kau mau! Tapi jangan berharap aku akan menanggapinya!" kataku tajam dan berbalik tanpa melihatnya lagi.

Sejak saat itu aku menjaga jarak dari Ferdy. Dalam kelas, kuusahakan untuk duduk sejauh mungkin darinya. Kalau ada tugas kelompok, aku akan segera bergabung dengan yang lain, siapapun itu. Aku menghindar jika melihat sosoknya dari kejauhan. Dan aku segera pindah kost setelah membawa mobilku dari Bandung. Karena dengan begitu, aku bisa lebih bebas.

Aku juga bersikap sedikit kejam dengannya. Tidak pernah sekalipun aku mau menjawab sapaannya. Semua sms dan teleponnya tidak kutanggapi. Bahkan aku sengaja membeli ponsel dan nomor baru. Sementara nomor lamaku yang sudah terlanjur kusayang, lebih sering ku nonaktifkan. Hanya kuaktifkan saat mengisi pulsa atau ada perlu penting. Nomor baruku yang lebih sering kupakai. Aku berusaha merahasiakan nomor baruku itu dari Ferdy. Tapi entah bagaimana, dia tahu dan meneleponku. Saat aku tahu itu dia, aku langsung memutuskan koneksi kami.

Semua usaha Ferdy untuk mendekatiku, tak sekalipun kutanggapi. Aku benar-benar menghindar darinya. Dan selama 3 bulan terakhir ini aku berhasil.

Hingga hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar