REGHA
Rumah
pada alamat yg tertera di kartu nama Zaki benar-benar menakjubkan. Rumah itu
bergaya Eropah klasik dg tiang-tiang ala gedung Yunani kuno yg menakjubkan.
Ukurannya kira-kira lima kali lebih besar drpd rumahku yg ada di Majalengka.
Pintu pagarnya yg tinggi hanya memberikan pemandangan luar dari lantai dua ke
atas. Dan itu sudah cukup membuatku terkesan sekaligus terintimidasi.
Gila!!!
Rumahnya segede sarang jin! pikirku ngeri.
Aku
menoleh pada Vivi dan Regi yg juga tengah bengong menatap bagunan didepan kami.
"Bener ini kan alamatnya?!" tanyaku ragu.
"Kalo
menurut alamatnya sih emang ini Gha," sahut Vivi.
"Gila
ya Cin! Rumahnya keren abiz!" gumam Regi sembari terus menatap keatas.
Sesekali dia menyeruput es rumput laut yg tadi dibelinya.
"Ya
udahlah Gha. Lo pencet gih bel nya," kata Vivi.
Bukannya
langsung melakukannya, aku malah komat-kamit berdo'a. Entah kenapa, belum lagi
berhadapan dg orangnya, aku sudah keder duluan. Jadi ngerasa kaya mau bertamu
kerumah pejabat besar aja.
"Jij
baca mantera apaan sih Cin? Pelet ya? Ajarin ikke dong?" pinta Regi
penasaran.
"Pelet
nenek lo kiper!!" gerutuku sewot yg cuma dijawab dengan cengiran oleh
Regi. Nih anak bener-bener deh. Bisa aja nemuin celetukan ngaco disuasana kaya
gini. Mungkin aku harus berguru padanya, agar aku bisa tetap menemukan sesuatu
yg lucu dalam kondisi kritis, gerundengku dalam hati. "Bismillah!"
doaku pelan dan memencet bel yg ada disebelah pintu pagar.
Kamipun
menunggu dalam cemas.
"Jij
tinta lupis bawa dutanya kan cin?" tanya Regi sambil kembali menyeruput es
nya lewat sedotan.
"Udah
Gi! Nih ada dalam tas dan. . . " kalimatku terputus oleh pintu pagar yg
terbuka dengan suara deritan pelan.
Sosok
Zaki yg tampak basah kuyup dan hanya menggunakan celana boxer muncul dari
baliknya. Dadanya yg telanjang tampak basah. Ada sedikit busa yg menempel
dilengannya yg kekar dan sebagian dadanya yg bidang.
Untuk
sejenak aku dan yg lain cuman bisa sukses bengong menelusuri penampilannya yang
ala tarzan kota itu. Air masih menetes dari rambutnya, turun ke dagunya.
Mengalir terus ke leher, dan dada tegapnya yg sedikit berbulu, lalu turun
kedaerah perut dan pusarnya yg ditumbuhi rambut-rambut kehitaman sedikit tebal,
untuk kemudian berhenti pada kolor boxer hitamnya. Boxer basah itu mencetak
jelas apa yg ada dibaliknya.
Sebagian
air dirambutnya jg ada yg jatuh ke bahu lebarnya, dan mengalir lewat lengan
kekarnya. Ditangan kanannya dia juga memegang semacam spons busa.
Hening!!
Kami
hanya saling menatap bengong!
Lalu
keheningan kami dipecah oleh suara Regi yg megeluarkan suara tersedak keras dan
kemudian batuk-batuk hebat. Dia sampai terbungkuk-bungkuk dan gelas storyfoam
yg dia pegang terjatuh. Tangan Regi menutup hidung dan mulutnya. Sepertinya es
rumput laut yg dia sedot berganti arah setelah melihat Zaki yg muncul dengan penampilan
horornya. Vivi segera tersadar dan dengan tanggap membantunya.
"Masuk!"
kata Zaki kemudian pada kami, lalu tanpa menunggu, dia melangkah kedalam.
"A-astajim!!"
ujar Regi pelan dan berusaha mengendalikan batuknya lagi. "Ya Allah
Ciiiinn!!! Diana seksi bangeeeett!!!" seru Regi heboh sembari mengusap
wajahnya dari sisa-sisa semburan es rumput lautnya tadi.
"Dasar
sinting! Lo gak inget kalo kita kesini buat Regha?!" gerutu Vivi dan
kembali mengulurkan tissue pada Regi untuk mengusap sudut bibirnya.
"Abis
diana tiba-tiba muncul pake gaya tarzan gitu! Siapa yg tahan coba?! Neeeeekk. .
. jij pegang deh dada ikke!! Serasa mawar meledak!! Pantat ikke serasa
berdenyut kenceeeengg!!!! Ya Olooooooohhh!!!!!!!" celoteh Regi. Dia lalu
berpaling padaku. "Cin-cin, ntar kita minta foto bareng yuk ma diana?!
Ikke mo upload di twitter ma facebook ikke! Bencong-bencong se Indonesia pasti
pada heboh! Hihihihi. . . . ," ujarnya centil cekikikan sembari
jejingkrakan.
Aku
hanya menatapnya kesal. Regi yg sadar segera diem dan nyengir menyesal padaku.
"Kita masuk!" kataku pelan dan mendahului mereka.Rumah Zaki ternyata
lebih menakjubkan dari perkiraanku. Halamannya yg luas dihiasi dg berbagai
tanaman bunga dan anggrek yg ditata dramatis sehingga memberi kesan seakan-akan
halaman itu ditata oleh tangan-tangan profesional. Dan sepertinya memang
seperti itu.
Aku
melihat sebuah M3 yg masih basah tak jauh dari pagar. Sepertinya tadi Zaki
sedang mencuci sendiri sedan itu saat kami datang. Jadi dia punya mobil lain,
selain yg kubuat ringsek secara tidak langsung kmrn? pikirku kecut. Kira-kira
ada berapa lagi ya mobilnya?
Zaki
sendiri menunggu kami diteras rumahnya dg pintu rumah terbuka. Dia melangkah
masuk saat kami mendekat.Kalau tadi aku sudah merasa terintimidasi hanya dg
berdiri diluar pagar rumahnya, kini saat masuk, aku benar-benar merasa kecil.
Rumah Zaki benaran seperti ditata khusus oleh tangan-tangan profesional.
Ornamen-ornamen yg menghias seperti lukisan, guci-guci antik dan
patung-patungnya tampak serasi dengan perabotan seperti kursi dan mejanya.
Rumah itu tampak seperti contoh rumah-rumah yg hanya ada dalam majalah design
terkenal.
Ruang
tamunya terdiri dari seperangkat sova besar berwarna putih yg tampak kontras
dengan permadani tebalnya yg berwarna gelap. Bbrp guci dan dua buah gading
gajah berwarna putih tulang mengkilat menghias ruangan itu. Juga sebuah photo
keluarga besar dg nuansa hitam putih tergantung di dindingnya yg berwarna
putih. Lelaki yg berumur 40 an lebih, dan sepertinya ayah Zaki itu adalah seorang
lelaki kaukasia. Dan Ibu Zaki adalah wanita berperawakan tinggi langsing dg
gurat wajah tegas. Make up diwajahnya tidak mampu menyembunyikan gurat
tegasnya. Bahkan di photo keluarga itu, aku bisa menebak kesan keras
diwajahnya. Berbeda dg ayahnya yg terlihat santai.
Sementara
Zaki, terlihat acuh, dan memandang kami dari kanvas dg tatapan tak peduli.
Sebuah
keluarga besar yg membuatku ingin mengorek cerita didalamnya.
"Sudah
puas lihat2?!" tegur Zaki dingin, membuat otak jurnalisku langsung tersentil,
sedikit kaget. Aku segera kembali berpaling padanya. Vivi dan Regi( meski aku
curiga kalo cowok ganjen ini dari tadi lebih fokus pada Zaki yg masih horor.
Terutama bagian depan boxernya) yg sepertinya dari tadi ikut bengong dan
memperhatikan sekelilingnya ikutan nyengir.
"Ru-rumahnya
bagus banget Ki!" komentar Vivi, mencoba memperhalus atmosfir kami.
Zaki
hanya mengangkat bahu. "Silahkan duduk!" katanya mempersilahkan. Kali
ini aku dan yg lain segera mengikuti nya tanpa banyak bicara. "Kalian tunggu
sebentar. Gw mau pake baju dulu!"
"Eh
nggak usah! Gitu aja lebih . . TUYUL BENCONG!!! EH BENCONG!!" Regi
langsung kumat latahnya saat aku menginjak kakinya dg keras. Mencegahnya
meneruskan kalimatnya tadi. Zaki hanya tersenyum sinis dan berlalu kedalam.
"Gatel
amat sih?!! Tahan diri kek!" protesku ke Regi saat Zaki telah menghilang
kedalam.
"Maaf
Cin! Habis naluri sih!" dalih Regi pelan.
"Naluri
bencong?!" sindir Vivi tajam. Regi cuma mesem mendengarnya.
Tak
lama kemudian Zaki kembali muncul. Kali ini dia telah mengganti celana
pendeknya dg celana cardigan pendek warna hitam dan t-shirt putih polos.
Dibelakangnya ada seorang wanita awal 30 yg membawa nampan dg beberapa gelas
berisi minuman berwarna jeruk dan setoples makanan ringan.
"Silahkan!"
kata wanita itu ramah. Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya. Meski sebenarnya
aku malas untuk menyantap hidangan dirumah kunyuk Zaki ini, aku memaksa untuk
minum jus jeruk itu. Aku butuh minum untuk menenangkan diri.
"Sepi
amat Ki! Keluarga yg lain mana?" tanya Regi mencoba berbasa-basi.
"Apa
pentingnya?" tanya Zaki balik dingin. Dia yg duduk didepan kami berpaling
dari Regi, ke arahku yg kembali gelisah. "So?"
Aku
menelan ludah sejenak dan berdehem untuk mengumpulkan suara.
"Ki.
. . , untuk saat ini aku hanya bisa mengumpulkan uang sebesar 21 juta. Sisanya
menyusul," kataku kemudian dan meletakkan amplop berisi uang ke meja.
Zaki
tak mengatakan apapun. Untuk sejenak dia hanya memandang amplop itu. Dia
menghembuskan nafas kesal dan mengambilnya. Dia menghitungnya dengan cepat.
"Lalu kapan sisanya?" tanyanya kemudian cepat.
Ludah
yg kutelan terasa sedikit menyakiti tenggorokanku. "Aku nggak bisa
melunasinya dengan cepat. Mungkin dalam satu bulan aku hanya bisa mencicil
sebesar 1 juta rupiah saja. Dan. . . ,"
"Dengan
kata lain, kau baru bisa melunasinya dalam jangka waktu hampir 2 tahun?"
potongnya menusuk.
Lagi,
aku hanya mampu menelan ludah. "Maaf Ki! Tapi nggak mungkin aku bisa
mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat. Harap bisa kamu
maklumi," pintaku pelan.
Zaki
mendengus.
"Maaf
Ki," sela Vivi, "Aku yg jamin kalau Regha pasti akan membayar semua
tanggungannya padamu. Tapi memang tidak bisa sekaligus. Kamu nggak usah
khawatir dia ingkar."
"Kami
minta pengertianmu Ki!" imbuh Regi. "Regha siswa perantauan. Uang yg
kamu terima itu juga hasil dari kerja kerasnya selama ini. Lagipula, uang
sebesar 41 juta itu jumlah cukup besar untuk sebuah perbaikan mobil kan?"
Ada
kilatan tajam dimata Zaki mendengar itu. Dia bangkit dan berjalan kedalam.
Sebentar kemudian dia kembali dengan sesuatu ditangannya. Dia melempar beberapa
kertas keatas meja didepan kami. "Itu tanda bukti dari perbaikan mobilku.
Konfirmasi ke bengkel BMW kalau memang kalian pikir itu penipuan. Lihat tanggal
dan logo resmi bengkellnya. Masih ragu? Silahkan cek. Alamatnya bisa kalian
temukan disana!" tuturnya lebih tajam daripada tadi.
"Kami
percaya Ki!" sahutku cepat dan mengerling kearah Regi yg manyun.
"Tapi aku minta. . . , kamu ngerti keadaanku," pintaku lagi.
"Orang
tuamu tidak bisa membantu?" tanyanya yg segera kujawab dg gelengan.
"Mereka
bisa pingsan kalau tahu! Ini tidak ada hubungannya dg mrk," kataku cepat.
Tidak akan kulibatkan mereka dalam masalah ini.
"Pinjaman?"
"Uang
itu," tunjukku pada amplop yg ada dimeja, " hanya 6 juta dari total
keseluruhannya yg murni uangku. Kedua temanku ini meminjamiku 5 juta. . ,"
"Itu
bukan pinjaman!" potong Vivi. "Uang itu murni milikmu!" tegasnya
lagi.
Aku
memandang penuh terimakasih padanya, juga pada Regi yg mengangguk membenarkan.
"10 jutanya kupinjam dari seorang teman," lanjutku.
Zaki
sepertinya sudah hendak menyahut, tapi urung saat suara dering hp nya menyala.
"Ya halo?" katanya dan bangkit sedikit menjauh dari kami. "Iya!
Ngerti! Iya. . . .! Fine!" sahutnya lalu menutup hp nya. Zaki kembali
duduk didepan kami. Diam sejenak dan tampak berpikir keras.
"Bagaimana
Ki?" tanyaku setelah beberapa saat kami dalam keheningan yg mencekam.
"Dimana
kau kerja?" tanyanya tiba-tiba mengagetkan.
"Di.
. . rumah makan Bu Indri," jawabku sedikit heran
"Setiap
hari?" tanyanya lagi, membuatku semakin heran.
"Dari
hari senin sampai sabtu saja. Aku kerja sampai jam 12 siang.Kenapa
memangnya?" tanyaku tanpa dapat menahan diri.
"Hari
minggu kamu gak kerja?" tanya Zaki kembali tanpa menghiraukan
pertanyaanku.
"Biasanya
sih ngasih les ke anak SD! Tapi sekarang udah enggak, karena mereka sekeluarga
pindah kota," jawabku sedikit bingung ke arah mana pembicaraan kami ini
menuju.
"Dengan
kata lain, skrng kamu nganggur dihari minggu kan?" gumam Zaki pelan
setengah berpikir. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.
Aku
melirik cemas kearah Regi dan Vivi. Keduanya terlihat sama bingungnya denganku.
Sama2 tak tahu maksud dari pertanyaan-pertanyaan Zaki tadi.
"Baiklah!
Mulai hari minggu besok, kau kerja padaku! Kujemput kau jam 6 pagi. Tulis
alamatmu sekarang!" kata Zaki akhirnya, membuatku sontan melotot.
HAH??!!
DIA
BILANG APA?!!
ZAKI
Hampir
1 jam setelah kepergian mereka, aku masih duduk di sova ini. Berpikir. Terus
terang aku terkesan. Dengan keadaannya, kukira Regha hanya akan membawa jauh
lebih sedikit dari yg ia berikan padaku tadi. Kukira dia akan datang dengan
berbagai macam dalih tentang ketidakmampuannya. Atau mungkin memohon padaku
agar aku bersimpati padanya dan tidak menuntutnya lagi. Merelakan kerugianku.
Tapi
aku salah.
Dia
hanya meminta waktu padaku. Agar dia bisa mengumpulkan uang untuk melunasi
kekurangannya.
Dan
dua orang temannya juga sangat menarik, juga fakta yg mereka ungkapkan sekilas
tadi.
The
Flaming one, Regi?! Orang seperti dia biasanya hanya akan menjadi
bahan celaan teman-temanku di Australia. Cowok melambai dan
kecewek-cewekan seperti dia hanya akan jadi bulan-bulanan. Di bully oleh
teman-temannya. Dikunci dalam toilet, kepala diceburkan ke toilet, atau bahkan
mungkin ditelanjangi rame-rame. Tapi mungkin disini berbeda. Aku sebenarnya
agak sedikit terganggu dengan caranya memandangku tadi. Tapi selama dia tidak
bikin gara-aku, aku tak akan memperdulikannya.
Lalu
Vivi, cewek bertubuh subur yg sepertinya begitu nyaman bersama Regha dan Regi
(Baru aku sadari kalau nama mereka berdua ber rima). A fag hag? Atau hanya
sesama orang terasing dalam strata sosial kampus? Entahlah.
Yang
jelas, keterangan Regha bahwa mereka telah ikut menyumbang -bukan meminjamkan
seperti kata Regha sebelumnya- sebesar 5 juta uangnya, cukup
mengesankan. Hanya sedikit orang yg kukenal, apalagi dalam kondisi mereka yang
tidak begitu spesial, mau menyisihkan apa yang mereka miliki, demi teman mereka.
Aku
harus menyelidiki mereka, putusku dan segera menelepon Pak
Bima. HeadSecurity yang kemarin membantuku mencari data tentang
Regha. Data yg selanjutnya tentang Regha, akan ku gali sendiri. Toh kami akan
bertemu hari minggu besok.
Kuakui,
keputusanku untuk membawa Regha ke panti memang sedikit impulsif. Tapi hal itu
terjadi begitu saja, tanpa dapat kutahan. Mungkin karena ketertarikanku pada
karakter Regha. Aku berniat untuk tahu lebih banyak tentang anak itu.
Dan
akan kupastikan kalau dia merasa menyesal telah berurusan denganku.
RIZKY
Aku
memandang kearah gedung kampusku. Empat tahun aku menghabiskan waktuku belajar
ditempat ini. Banyak kenangan tercipta disini. Dan untuk waktu yang lama,
mungkin aku tak akan melihatnya. Saat ini, aku hanya ingin sedikit bernostalgia
hanya dengan melihatnya. Gedung Laboratorium tempat aku praktek, Ruang kelas
tempat aku berkutat dengan berbagai materi, Perpustakaan tempat aku belajar,
bahkan kamar kecil yang sering kugunakan, tadi telah kulewati dan melihatnya
sekilas.
Kini,
saat aku mengedarkan pandanganku keseluruh penjuru, aku bisa mengingat kembali
hal-hal yang telah terjadi dulu. Saat aku berlari melintasi lapangan ini karena
terlambat, saat aku berjalan melewati koridor-koridornya, dan saat aku duduk
dibawah rindang pohon bersama teman-teman atau. . . Ferdy.Aku sedikit
memicingkan mataku melihat sosok yg berdiri dibawah sebatang pohon akasia.
Mulanya kukira dia hanya bayangan kenangan seperti yang terlintas dibenakku
tadi. Tapi dia nyata. Dan dia jelas sekali sedang berdiri tak begitu jauh,
memandangku. Senyum lebarnya tersungging, menampakkan dua lesung pipitnya yang
dulu pernah kusuka.
Aku
tak berharap bertemu dengannya setelah apa yg telah terjadi. Dia orang terakhir
yg kuharapkan bisa kulihat ditempat ini. Aku sudah berhasil menghindarinya
selama 3 bulan terakhir ini. Tapi sepertinya sekarang, aku harus menghadapinya.
Kulihat dia melangkah mendekat dan aku cuma diam ditempatku berdiri.
"Masih
ada urusan?" tanyanya ringan.
Aku
mengangguk. "Hanya menyelesaikan beberapa berkas," sahutku.Mata Ferdy
menatapku intens. Ada kerinduan yang jelas terpancar dan coba tak kuperdulikan
disana. Salahku sendiri. Dia jatuh terlalu dalam padaku, meski aku sering
bersikap keterlaluan padanya.
"Aku
kangen," katanya pelan tanpa berkedip.
Aku
hanya tersenyum menanggapinya. "Kamu ngapain disini? Koas nya emang
dimana?" tanyaku tanpa menanggapi pernyataannya tadi.
"Diluar
kota," jawabnya sembari kembali terseyum, seolah-olah sikapku tadi sudah
diduganya. "Kamu punya waktu?" tanyanya lagi.
"Aku
harus packing barang-barangku dikost untuk kukirim pulang, dan. . ,"
"Baguslah!
Aku bantu. Ayo?!!" sahutnya cepat dan menggamit lenganku. Sebenarnya aku
ingin menolak, tapi selama ini sikapku sudah keterlaluan. Setidaknya, aku harus
meninggalkan kesan yg baik terakhir kali, pikirku. Aku menghela nafas dan
menurut pada tuntunannya. Wajah Ferdy terlihat sumringah karenanya. Kami
berjalan menuju mobil Ferdy. Aku sendiri membiarkan lamunanku melayang.
Pertama
kali aku mengenal Ferdy atau lebih tepatnya, menyadari keberadaan Ferdy adalah
saat kami mengerjakan tugas kelompok tentang kelainan pada usus manusia.
Seperti di Bandung, di Yogyakarta ini aku tetap menjadi diriku yang biasanya,
sedikit sulit untuk bersosialisasi. Aku lebih suka melakukan segala sesuatunya
sendiri. Tanpa yg lain.
Sialnya
tugas kali ini harus dilakukan secara berkelompok. Jadilah aku celingukan gak
jelas.
"Rizky
sudah ada kelompok?" tanya seseorang dari arah depanku.
Aku
berpaling dan mendapati seorang cowok berkulit putih tersenyum ramah padaku.
Dipipinya kulihat 2 lesung pipit yg membuatnya tampak menarik. Aku tak
mengenalnya. Tapi dia tahu namaku. Aku hanya tahu kalau anak ini memang
seangkatanku, tapi tak pernah sekalipun kami berkomunikasi. Meski sudah bertahun-tahun
kami belajar diruang yang sama. Sepertinya aku benar-benar seorang misanthrope
sejati, pikirku kecut. Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.
"Kalo
gitu bareng sama Ferdy," dia memegang dadanya, "Nathalia dan Reyna
aja ya? Sekelompok 4 orang," jelasnya lagi tanpa kutanya. Dia menunjuk
kedadanya sendiri lalu ke beberapa orang lain dibelakangnya. Aku hanya
menjawabnya dengan angkatan bahuku.
Tanpa
melepas senyum diwajahnya dia memanggil dua orang teman yg dia sebutkan tadi
dan mengenalkannya padaku.
Nathalia,
cewek keturunan dengan tinggi sekitar 155cm dg potongan rambut trendy dan
sepertinya cerdas. Reyna, cewek berkerudung berwajah ramah, hampir sama
tingginya dengan Nathalia, dan sepertinya asyik diajak untuk ngobrol.
Kami
segera duduk bersama. Ferdy berada disebelahku. Dan entah sengaja atau nggak,
bahu dan tangan kami sering bersentuhan. Mulanya aku acuh dan tak menyadarinya.
Tapi jika hal itu terjadi berulang kali dalam rentang waktu yang begitu
singkat, aku mulai curiga kalau dia sengaja melakukannya. Saat aku melihatnya,
Ferdy hanya tersenyum dan menunjukkan wajah santai.
Lama
kelamaan aku jd kesel juga. Nih anak muka tanpa dosa tapi berani jg, batinku.
Aku tak bisa berbuat apa-apa karena kami berada dalam kelas, jadi aku berusaha
menahan diri. Tapi ternyata tugas kami cukup sulit, jadi kami sepakat untuk
melanjutkannya diperpustakaan.Disana Ferdy kembali duduk disebelahku, dan
kejadian yg sama terulang. Kalau dikelas aku tak bisa berbuat apa-apa, di
perpustakaan aku membuat Ferdy terbatuk-batuk keras saat aku meletakkan tangan
kananku dipahanya, lalu meremasnya sekilas.
Nathalia
dan Reyna sempet kaget juga dg Ferdy yg tiba-tiba saja terserang bengek.
"Kenapa
sih lo?" tanya Nathalia.
"Sorry!
Tadi kemasukan debu kali," elaknya cepat dg muka memerah.
Aku
pura-pura cuek dan menancapkan mataku pada buku yg ada didepanku. Tugas kami
selesaikan pada jam 7 malam. Dan kami segera berpamitan untuk pulang ke kost
masing-masing.
"Rizky
aku anter ya?" tawar Ferdy.
"Nggak
usah. Kost ku deket kok," tolakku.
"Tapi
aku pengen tahu kost Rizky dimana, jadi kapan-kapan bisa maen," katanya
lagi. Aku tahu apa yg dia maksud. Jujur dia orang yg cukup menarik. Jadi aku
mengangkat bahu dengan paksaannya.Kami menuju mobil Ferdy yg ada ditempat
parkir. Masih ada beberapa kendaraan mahasiswa disana. Sebuah mobil sedan
keluaran Jepang menyala saat Ferdy memencet remote yg diambilnya dari saku.
Tanpa suara aku hanya mengikutinya masuk ke mobil.
"Kemana
Ky?" tanya Ferdy.
"Sepertinya
tanpa kusebut, kamu sudah tahu kostku dimana. Jalan saja," kataku dengan
nada datar. Dari tadi sebenarnya aku curiga kalau anak ini tahu beberapa hal
tentangku. Sikapnya tadi yang membuatku menarik kesimpulan itu. Seperti
dugaanku, pipinya terlihat merona. Dia tertunduk sedikit malu, lalu segera
menghidupkan mobil.
"Sudah
berapa lama?" tanyaku saat kami mulai meluncur pelan.
"Huh?!
Apanya?" tanya Ferdy tak mengerti.
"Kamu
merhatiin aku," jelasku datar.
Hening
sejenak. Ferdy tak langsung menjawabnya. Matanya masih menatap lurus kejalan
didepan kami. "Sudah lama," jawabnya akhirnya setelah menarik nafas
dalam.
Aku
tak bereaksi. Tak berapa lama, kami berhenti didepan bangunan kostku. Dia
benar-benar tahu beberapa hal tentangku. Apalagi yg dia ketahui kira-kira ya?
batinku. Tapi aku tak tertarik untuk bertanya. Aku sudah hendak keluar, tapi
tangan Ferdy menahanku.
"Apa
aku harus minta maaf?" tanyanya.
"Karena
kau menyelidikiku? Aku tak peduli," jawabku acuh.
"Tidak
ingin yahu kenapa aku melakukannya?"
"Kita
berdua tahu kenapa kau melakukannya. Rasanya tak perlu dibahas lagi."
Mata
Ferdy membesar dengan jawabanku tadi. "Jadi apakah kau juga. . .,"
dia tak meneruskan kalimatnya. Aku sendiri tidak memberinya jawaban pasti,
hanya kembali mengangkat bahu dan hendak keluar.
Tapi
lagi-lagi dia menahanku.
"Apa
lagi?" tanyaku.
"Hmm.
. . , Rizky malem minggu besok ada acara?" tanya Ferdy sedikit ragu. Aku
tidak langsung menjawab, hanya diam memperhatikannya.
"Ka-kalau
ng-nggak keberatan, m-mmau nonton bareng?" tanyanya lagi dengan nada gugup
dan sedikit ragu.
Aku
hanya mengangkat bahu. Kupikir apa salahnya, toh dia lumayan juga.
"Kujemput
jam 7 ya?" tanyanya memastikan. Aku hanya mengangguk dan segera keluar.
Itu
kencan pertama kali. Dan seterusnya berjalan dengan sendirinya. Ferdy jadi
sering main ke kostan ku. Terkadang juga menginap. Aku sendiri tak keberatan
karena bersama dengannya, salah satu kebutuhanku terpenuhi. Apalagi Ferdy
adalah orang yang cukup perhatian, sabar dan pengertian.
Dia
tak pernah mengeluh dengan sikapku yang terkadang bisa mendadak dingin kalau
suasana hatiku buruk. Dia tak pernah protes saat aku tak mau atau tak bisa
memenuhi permintaannya. Dan akan segera mengatakan 'YA' kalau aku meminta
sesuatu. Terkadang aku merasa salut dengan kesabaran dan toleransinya pada
sikapku. Meski bahkan aku sendiri kadang merasa kalau sikapku keterlaluan. Tapi
Ferdy tak pernah bersuara.
Yang
selalu kujaga, selama kami bersama, tak pernah sekalipun aku mengucapkan kata
jadian. Tak sekalipun aku mengatakan aku menyukainya, apa lagi mencintainya.
Tiap kali dia mengatakan tiga kata itu, aku hanya diam saja, atau paling banter
tersenyum. Kalimat-kalimat itu tak pernah keluar dari mulutku sendiri. Karena
aku tahu, aku tak menyukai Ferdy dalam artian romantis. Dan aku tak ingin
memberikan harapan palsu padanya.
Ferdy
sendiri tak pernah menuntutku. Seperti yg pernah dia katakan, dia sudah merasa
cukup bisa berada didekatku. Apa lagi aku tak pernah bersama dengan orang lain.
Dalam bayangannya, seakan-akan kami adalah pasangan eksklusif yg hanya memiliki
1 pasangan. Aku tak pernah tertarik untuk mengoreksi pemikirannya.
Tak
pernah sekalipun aku mengatakan tentang Regha padanya.
Ada
beberapa kejadian yg sampai sekarang membuatku ingat padanya, meski kami sudah
tak bersama.
Yang
pertama adalah saat ulang tahunku tanggal 9 Februari, 2 tahun yg lalu. Beberapa
hari sebelumnya, aku berada di Bandung. Mudik karena ada suatu urusan. Saat
Ferdy telepon, aku mengatakan kalau aku berencana pulang tanggal 9 dengan penerbangan
siang.
Aku
sendiri tidak berpikir kalau dia ingat tanggal ulang tahunku. Dan ternyata ,
hari itu aku baru bisa pulang dengan penerbangan terakhir. Aku baru sampai di
kostan pada pukul 3 pagi. Saat masuk kekamar kostku, aku sempat mengira kalau aku
salah masuk.Kamar kostku terlihat seperti ruang pesta kecil. Ada hiasan
balon-balon dan kertas warna-warni. Ada tulisan selamat ulang tahun besar yang
dibuat dari kertas berwarna emas tergantung didinding. Lalu ada sebuah kue tart
besar dengan lilin bertuliskan angka 20 ditengah ruangan.
Di
tempat tidur, kulihat Ferdy yang tertidur dengan pakaian lengkap. Wajahnya
tampak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ada bekas tangis disudut matanya yg
sudah mengering.
Aku
mengumpat lirih. Sepanjang hari tadi aku memang tak mengaktifkan ponselku. Aku
sama sekali tak ingat untuk menghubunginya soal perubahan jadwal pesawat yang
kutumpangi, karena memang biasanya aku tak melakukannya. Aku merasa sedikit
bersalah.
"Fer.
. . ," panggilku dan sedikit mengguncang bahunya. Pada panggilan ketiga,
dia mulai bereaksi. Matanya mengerjap beberapa kali. Untuk sejenak dia
memandang berkeliling, sedikit bingung dan tampak tak tahu tempat. Saat dia
melihatku, sepertinya dia mulai sadar.
"Hei.
. . ," sapanya, sedikit serak karena kantuk. "Baru nyampe?"
tanyanya dan mengucek matanya dengan punggung tangan.
"Yeah,"
jawabku dan kembali memandang berkeliling. "Seharusnya kau tak perlu
melakukan ini."
"Happy
birthday," bisik Ferdy pelan lalu mencium pipiku. Secara naluriah tanganku
memeluk pinggangnya, dan menariknya.
"Kau
seharusnya tak melakukan ini," ulangku dan mencium sekilas ujung
kepalanya.
"Seharusnya
ini jadi pesta kejutan untukmu. Tadi sih banyak anak-anak. Tapi mereka udah
pulang karena kamu gak dateng2!Kenapa baru nyampe jam segini?" tanyanya.
Sejenak
aku memandangnya. "Aku dapat penerbangan terakhir," jelasku.
"Ponselmu.
. ,"
"Kumatikan
sejak siang," sahutku, memotong kalimatnya.
"Well.
. . . , sekarang sudah bukan kejutan lagi. Tapi. . . bagaimanapun juga selamat
ulang tahun ya?" kata Ferdy dan mengecup lagi rahangku.
Aku
meraih wajahnya dan mencium bibirnya. Mengucapkan terimakasihku lewat ciuman
itu. Tanganku masuk ke dalam T-shirt Ferdy, mengusap bagian depan dadanya,
membuat Ferdy mengerang pelan.
"Hadiahmu.
. ," desahnya pelan.
"Nanti,"
kataku singkat dan menarik lepas T-shirt Ferdy dari tubuhnya.Sedikit banyak aku
memang tersentuh dengan apa yang Ferdy lakukan. Tapi sayangnya itu hanya
sensasi sesaat bagiku. Karena aku sendiri tak tahu kapan ulang tahunnya, dan
juga. . . , aku tak perduli. Mungkin terdengar kasar, tapi itulah kenyataannya.
Sekitar
8 bulan kemarin Ferdy tiba-tiba saja muncul dikamar kostku dengan wajah
cerianya.
"Ky.
. . , ntar malem traktir dinner ya?" pintanya mendadak.
Aku
yang sedang membuat sebuah laporan hanya mendengus. "Aku sibuk dengan
laporanku," jawabku singkat tanpa memalingkan mukaku dari screen laptop.
"Khusus
malam ini Ky. Bisa ya?" pintanya lagi.
"Ujian
sudah didepan mata. Apa nggak sebaiknya kamu belajar," sahutku sedikit
menggerutu.
"Ky!
Aku cuma minta malem ini saja kok. Nggak akan minta lagi deh!"
Aku
jadi sedikit heran dengan sikapnya yang sedikit memaksa akhirnya berpaling
menatapnya yang sedang duduk di tempat tidur. "Kamu kenapa sih?!"
tanyaku sedikit kesal.
Ferdy
memalingkan muka dengan ekspresi yg tak kumengerti. Dia tak menjawab, hanya
menghela nafas berat lalu bangkit. "Sudahlah," katanya pelan
membuatku semakin heran. "Kamu sibuk! Seharusnya aku gak ganggu.
Maaf," katanya dan kemudian pergi.
Untuk
sejenak aku benar-benar dibuat heran dengan tingkahnya. Sesaat aku cuma diam
bengong. "Dasar aneh!" gerutuku pelan lalu kembali berkonsentrasi
dengan tugasku.
3
hari berikutnya, Ferdy tak terlihat dikampus. Aku sendiri tak tahu kalau saja pada
hari itu aku memerlukan buku anatomi yang kemarin sempat dipinjamnnya.
"Ferdy
gak masuk Nat?!" tanyaku pada Nathalia yg waktu itu sedang berjalan menuju
kantin.
"Lho?
Dia kan opname sejak 2 hari kemarin," ujarnya heran.
"Opname?"
gumamku.
"Sudah
3 hari ini dia gak masuk kuliah kan? Masa lu gak nyadar Ky?" tanya
Nathalia semakin heran. Aku hanya menggeleng. Aku segera pergi setelah dia
memberitahuku dimana Ferdy dirawat.
Saat
aku tiba kamarnya, Ferdy sedang duduk sembari membaca sebuah buku. Mulanya dia
sedikit agak kaget dengan kedatanganku. Tapi Ferdy segera menguasai diri.
"Sendiri?" tanyanya datar dan meletakkan buku yg dibacanya.
Aku
mengangguk. Kuletakkan parcel yg kubawa dimeja kecil yg ada disisi tempat
tidurnya. "Nathalia yg kasih tahu aku," kataku memberitahunya tanpa
ditanya. "Sakit apa?" tanyaku.
"Lambung,"
jawab Ferdy singkat. Aku hanya manggut mendengarnya. Dengan itu aku tak tahu
apa lagi yang harus aku katakan. Aku hanya diam dan memandang sekeliling. Kamar
Ferdy dilengkapi dengan tv dan sebuah tempat tidur tambahan yg sepertinya
diperuntukkan bagi keluarga yang menginap.
Tak
ada tanda-tanda keluarga Ferdy yang datang. Selain parcel yang kubawa, serta
beberapa buku dimeja itu, aku tak melihat benda pribadi apapun disana. Aku lalu
melihat pada tabung infus yang dialirkan ketubuh Ferdy melewati lengannya. Lalu
pandanganku beralih pada wajahnya.
Baru
kemudian aku sadar kalau sedari tadi Ferdy memperhatikanku dengan tatapan
sedih. "Apa?" tanyaku sedikit tak nyaman dengan caranya menatapku.
"Aku
tahu kau menyukai seseorang bernama Regha," katanya pelan.
Aku
kaget bukan main!
Seingatku,
tak sekalipun aku menyebut nama Regha didepannya. Pernyatannya yg begitu
tiba-tiba membuatku terpaku diam ditempatku.Ferdy kembali tersenyum sedih.
"Beberapa kali kau menyebut namanya dalam tidurmu," katanya kemudian.
"K-kapan?"
tanyaku beberapa saat kemudian.
"Ketika
pertama kali kita tidur bersama," jawab Ferdy. "Juga saat ulang
tahunmu kemarin. Juga pada beberapa malam lainnya saat aku menginap dikamarmu.
Mulanya kukira itu cuma igauan tak jelasmu. Tapi kalau kau begitu sering
menyebutnya dalam tidurmu. . . . , berarti dia seseorang yg sangat berarti
bagimu kan?"
Aku
tak menjawabnya.
"Kau
menyukainya? Pacarmu?" tanya Ferdy pelan.
Aku
hanya mampu menggeleng untuk menjawabnya.
"Lalu
siapa dia?" tanya Ferdy ingin tahu. Kukira, pada saat kalimat ini dia
tanyakan, dia akan melakukannya dengan penuh kemarahan. Berteriak-teriak
histeris, memaki, atau menyumpah geram. Tapi Ferdy begitu tenang dan
terkontrol. Hanya dari matanya aku bisa melihat gejolak hebat yang dia rasakan.
Reaksi pertamaku adalah ingin menyangkal fakta yg sebenarnya. Mengucapkan
kebohongan-kebohongan yg mungkin akan sedikit menenangkannya. Tapi. . . . ,apa
itu yg terbaik baginya?
"Dia.
. . , orang yang kucintai," jawabku akhirnya, jujur. Ferdy tidak layak
untuk dibohongi. Dia patut mendapatkan kebenaran dariku. Dan seperti yg kuduga,
sorot terluka dimatanya makin kentara. Tapi aku tak bisa melakukan apa-apa
untuknya. Tidak lagi.
"Seharusnya
tahu," desahnya, lalu diam sejenak. "Satu hal yang kusadari. . .
," kata Ferdy lirih kemudian dan sedikit bergetar, ". . . selama kita
bersama, nggak sekalipun kamu bilang kalo kamu. . . , mencintaiku. Aku kira aku
sudah berusaha sebaik mungkin menunjukkan perasaanku padamu. Berharap kau tahu
kalau aku tulus. Tak pernah kuperdulikan sikapmu yang terkadang dingin dan
acuh. Meski aku tahu ada Regha dihatimu. Kini aku tahu. . . , kalau semua
usahaku itu tak berarti. Kenapa. . . , kamu tak bisa menyayangiku Ky?"
Sial!!!
Aku merutuk dalam hati.
Aku
benci melihat air mata Ferdy yg turun dipipinya. Aku tidak suka melihatnya
begitu. . . ,terluka. Parahnya lagi, aku yang menyebabkannya begitu. Tapi dari
awal kebersamaan kami, aku memang tak pernah menjanjikan apapun padanya. Aku
benar-benar ingin pergi dari kamar ini sekarang. Tapi kakiku menahanku.
Sepertinya, menyaksikan penderitaan Ferdy menjadi sebuah hukuman bagiku. Namun
lebih dari itu aku tahu, bahwa aku harus menyampaikan kebenaran padanya.
"Pernah.
. . ,"Ferdy menarik nafas panjang dan mengusap aliran air dipipinya,
". . . , pernahkah kamu mencintaiku?" tanyanya kemudian.Kembali aku
berpikir untuk berbohong padanya. Namun aku berusaha menekan keinginan itu.
"Tidak dalam artian seperti yang kaupikirkan," jawabku datar.
"Aku sayang kamu, tapi tidak mencintaimu. Sudah lama aku mencintai
Regha."
Ferdy
menutup matanya sejenak, terlihat makin rapuh dan terluka. "Dia
tahu?" tanya Ferdy setelah mampu menguasai diri.
"Tidak!
Dan mungkin tak akan pernah tahu. Setahuku. . . dia bahkan bukan seorang
gay," jawabku dan berusaha menampilkan wajah yg biasa-biasa saja, meski
fakta yang kusampaikan tadi cukup menyakitkanku.
"Kenapa?"
"Karena
aku tak bisa. Itu saja!" jawabku, tak ingin melanjutkan topik itu.
"Aku
tak bermakna bagimu?"
Aku
menggeleng. "Tidak dalam artian yg kau maksud. Tapi aku peduli padamu.
Karena itu aku tak pernah berusaha membohongimu. Aku selalu berusaha untuk
bersikap netral. Tidak menjanjikan atau menjurus ke arah suatu hubungan yang
serius denganmu. Karena itu aku tak pernah mengatakan hal-hal yang kau
inginkan. Karena aku tak mau membohongimu, memberimu harapan palsu, atau
menjanjikan sesuatu yg tak akan bisa aku penuhi."
"Jadi
aku hanya pemuasmu?"
Aku
dia sejenak untuk memberi waktu. Bukan hanya padaku, tapi juga pada Ferdy yang
emosi. Pertanyaan tadi bisa membuat segalanya menjadi lebih buruk. Aku tahu aku
harus berhati-hati. "Kau lebih berharga dari itu Fer! Jauh lebih berharga.
Kalau aku menganggapmu begitu, maka aku juga tak lebih dari seorang gigolo.
Anggap saja kita adalah teman yang saling membantu. Hubungan kita lebih pada
suatu hal yangg platonik," jawabku.
"Apa
aku harus tersanjung dengan itu?" tanyanya getir. "Sang Romeo
memilihku untuk menjadi selirnya," katanya lagi dengan nada sarkas.
Aku
mendiamkan komentarnya tadi.
"Mungkin
seharusnya aku tak jatuh cinta padamu," gumamnya kemudian lirih.
"Kalau
begitu jangan!" sahutku tegas. "Jangan jatuh cinta padaku. Atau lebih
baik, jangan mendekatiku. Jangan berteman denganku. Karena aku tak akan baik
untukmu," lanjutku dengan senyum sedikit sedih. Aku tahu sudah saatnya
kalau aku harus menjauh dari Ferdy. Untuk kebaikannya.
"Menurutmu
begitu?" tanyanya sedikit tajam.
"Lihat
saja hasil yang kau rasakan. Mungkin sudah saatnya kau menjauh dariku,"
kataku pelan. Dengan kalimat itu, kini aku sudah merasa tak ada lagi yang harus
kukatakan padanya. Sudah saatnya Ferdy dan aku kembali menjalani kehidupan kami
masing-masing sendiri. Karena tidak selayaknya dia menghabiskan waktu dan
tenaganya denganku. Ada hal yang pasti lebih bermanfaat baginya daripada
denganku. Karena itu, aku berbalik dan melangkah pergi. Pergi dari kamar dan
-sepertinya- hidup Ferdy.
"KY!!!"
pangggil Ferdy, membuatku aku yang sudah memegang handle pintu, urung
membukanya. "Aku tetap akan menunggumu," katanya dengan nada yg
terdengar yakin.
"Jangan!"
potongku cepat masih memunggunginya. "Jangan sia-siakan waktumu."
"Aku
akan tetap menunggumu. Dan akan kubuat kau mencintaiku," kata Ferdy tanpa
memperdulikan kata-kataku tadi.
Perlahan
aku berbalik dan menatapnya dingin. Aku mungkin harus membuatnya membenciku
agar dia tidak berbuat bodoh lagi, pikirku. Aku tak suka Ferdy melakukan hal
konyol yang pada akhirnya, hanya akan melukainya. Bahkan meski itu dia lakukan
untukku. Sudah waktunya dia lebih menghargai dirinya sendiri. "Lakukan apa
yang kau mau! Tapi jangan berharap aku akan menanggapinya!" kataku tajam
dan berbalik tanpa melihatnya lagi.
Sejak
saat itu aku menjaga jarak dari Ferdy. Dalam kelas, kuusahakan untuk duduk
sejauh mungkin darinya. Kalau ada tugas kelompok, aku akan segera bergabung
dengan yang lain, siapapun itu. Aku menghindar jika melihat sosoknya dari
kejauhan. Dan aku segera pindah kost setelah membawa mobilku dari Bandung.
Karena dengan begitu, aku bisa lebih bebas.
Aku
juga bersikap sedikit kejam dengannya. Tidak pernah sekalipun aku mau menjawab
sapaannya. Semua sms dan teleponnya tidak kutanggapi. Bahkan aku sengaja
membeli ponsel dan nomor baru. Sementara nomor lamaku yang sudah terlanjur
kusayang, lebih sering ku nonaktifkan. Hanya kuaktifkan saat mengisi pulsa atau
ada perlu penting. Nomor baruku yang lebih sering kupakai. Aku berusaha
merahasiakan nomor baruku itu dari Ferdy. Tapi entah bagaimana, dia tahu dan
meneleponku. Saat aku tahu itu dia, aku langsung memutuskan koneksi kami.
Semua
usaha Ferdy untuk mendekatiku, tak sekalipun kutanggapi. Aku benar-benar
menghindar darinya. Dan selama 3 bulan terakhir ini aku berhasil.
Hingga
hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar