Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 18 - the Birthday



RIZKY


Bahkan setelah mereka menghilang dari pandanganku, aku masih tetap duduk termangu dikursiku. Dari pertama kali aku melihat sosok lelaki itu berjalan menghampiriku, aku sudah luar biasa kaget. Tapi ternyata itu masih preview dari serentetan kejutan yang dia siapkan untukku. Pesta yang dia rencanakan, keakrabannya dengan keluarga Regha, dan ditutup dengan peringatan halusnya. Atau mungkin ancaman?

Aku tak tahu apa yang dia ketahui tentang hubungan antara aku dan Regha. Regha sendiri tak pernah memberi petunjuk bahwa dia dan Zaki tadi akrab. Malah aku mendapat kesan kalau Regha tidak begitu menyukai Zaki. Berbeda dengan kesan yang coba ditampakkan oleh Zaki. Yang jadi pertanyaan adalah, apa maksud dan tujuan dari sikap Zaki tadi? Apa dia menyukai Regha? Aku tak menangkap kesan kalau dia seorang gay. Sama sekali.

"Siapa mereka, Ky?" tanya Ferdy yang tiba-tiba saja muncul dan kemudian duduk didepanku

Aku hanya menatapnya sejenak tanpa menjawab. Akhirnya aku menghela nafas untuk melegakan dadaku yang sedikit sesak, "Teman-teman Regha. Malam ini mereka mengadakan acara untuknya. Mereka juga mengundangku," jelasku pelan dan kembali meminum jus jerukku yang tadi sempet terlupakan.

"Huh? Bukan berita buruk kan? Kenapa kau terlihat. . . " dia tak meneruskan kalimatnya.

"Karena tadi dia memberiku peringatan secara tersamar."

"Peringatan?" tanya Ferdy bingung.

"Yep! Dia bilang tadi kalau dia telah mendapat amanat dari Ibu Regha agar dia menjaga Regha dengan baik. Jadi jika ada orang yang hendak macam-macam dengan Regha atau memanfaatkannya, maka mereka juga akan berurusan dengannya," ujarku dengan wajah tersenyum meski jelas sekali nada bicaraku menandakan kalau aku kesal.

Penjelasan itu membuat Ferdy tertegun sejenak, kaget. "Dia. . . . bilang begitu?" tanyanya tak percaya.

Aku mengangguk dengan senyum kecut, "Yup! Dengan jelas dan tegas!"

"WOOOOWW!" Ferdy bersiul keras, "Beruntung sekali Regha," gumamnya kemudian.

"Maksudmu?"

"Well. . . dia dikelilingi oleh orang-orang yang menakjubkan. Kau dan juga pemuda tadi. Jadi benar-benar iri," gumamnya masih dengan nada kagum. Aku mendengus kesal mendengarnya. Dasar! Liat cowok cakep, langsung deh! gerundengku dalam hati. Aku cepat-cepat bangkit dan meninggalkan Ferdy yang bengong. "Hei, apa yang salah?" protesnya.

REGHA



Sudah 3 jam aku berkutat dengan laporan ini. Masih ada transaksi setebal 2 senti yang harus kumasukkan. Mataku sebenarnya sudah perih. Otakku penuh dengan angka-angka. Tubuhku sudah lelah dan lengket dengan keringat. Sementara kamarku baunya lebih mirip ma tempat jin buang anak gara-gara beberapa kali aku membuang gas alam. Diluar, malam telah membungkus Bandung dengan selimut gelapnya.

Aku baru menyadarinya setelah aku merasa punggungku pegal, lalu menggeliat sembari melirik keluar jendela. Lampu-lampu kost an telah dinyalakan. Aku hampir-hampir tak mendengar suara penghuni kostan lainnya. Tumben amat sepi gini? pikirku heran. Pada kemana semua nih?

Untuk sejenak aku mengintip keluar dari kamar. Benar-benar sepi. Tak ada satu suarapun terdengar, kecuali derungan beberapa kendaraan yang lewat didepan kost. Serem juga kalo sepi gini. Karena tak tahan dengan suasana yang mencekam, aku memutuskan untuk kembali ke kamar untuk menuntaskan laporan tadi. Lebih baik aku segera menyelesaikannya. Semakin cepat, semakin baik. Beberapa catatan transaksi yang ada disana cukup membuatku mengangkat alis. Gak nyangka kalau sebuah panti jompo bisa mengalami begitu banyak transaksi dalam satu minggu. Jumlah nominalnya pun cukup bisa mengangkat alis. Pantes aja si Zaki tajir abis. Penghasilan mingguannya segini gede. Lagipula. .

"GHAAAAA!!!!" panggilan keras nan cempreng Regi cukup membuatku terjingkat. Belum sempat aku menyahut, pintu kamar kostku sudah terbuka dengan keras. Aku yang sedang duduk menghadap laptop Ari hanya mampu melongo kaget pada Regi dan Vivi yang berdiri didepan kamar dengan pose ala Charlie's Angel kena ayan.

"Kalian apa-apaan sih?" bentakku kesal.

Senyum jahat itu tak pernah lepas dari bibir Regi dan Vivi. Dan baru aku sadari kalau mereka masing-masing memegang sesuatu. Regi memegang sebuah scarf panjang, sementara Vivi memegang tali?

"Kalian pada mo ngapain sih?" tanyaku heran.

Tanpa menjawab mereka mendekat. Dan sebelum aku bereaksi, mereka telah menculikku. Benar-benar menculik. Regi langsung menutup mataku dengan scarf yang dibawanya. Sementara Vivi langsung mengikat kedua tanganku kebelakang.

"HEI!!!! APA-APAAN NIH?!!!!!" teriakku mencoba berontak.

Terlambat beberapa detik karena mereka telah berhasil mengikat tangan dan menutup mataku.

"Lo ikut kita sekarang! Ada urusan yang kudu kita beresin!" kata Vivi dengan suara tegas.

"En ga usah tereak! Kalo jij tereak ikke bakal sumpal mulut jij pake celana dalem ikke. Em?" ancam Regi dengan nada serius.

Dia lalu menarikku untuk berdiri. Aku yang tak jadi buta dengan sekeliling jadi agak tersuruk karenaa tarikannya.

"Kalian jangan bercanda dong! LEPASIINN!!!!" bentakku kesal dan mencoba melepaskan diri, tapi Vivi memegangku dengan kuat.

"Udah dibilangin jangan tereak. Ntar ikke sumpel beneran ma celana dalem ikke ya?!! Ikke buka sekarang ni?!" ancam Regi.

"NAJIS!!! GI jangan,Gi! Please, jangan! Iya gue nurut!" kataku cepat, " Tapi kenapa kita gak bicara baik-baik aja sih? Semua kan bisa dibicarain. Ga usah ginilah," pintaku dengan nada memohon tapi kemudian mengumpat keras saat kepalaku membentur tembok.

"Ini gak bisa cuman diomongin Gha. Tapi emang kudu diselesein secara langsung," tukas Vivi dengan nada datar, meski aku tahu kalau dia sedang menahan tawa.

"Ember! Kali ini jij sutra kelewat bates!" sambung Regi yang cekikikan kecil

"SANDAL GUE!!" teriakku saat mereka terus menyeretku keluar, "Kelewat batas? Soal apa? Gua ga ngerti apa yang kalian maksud! Gimana gue bisa kelewat batas?!" bantahku seraya mencoba memakai sandal yang sudah diambilkan oleh Regi dan diletakkan didekat kakiku.

"Lo ga inget?" tanya Vivi seraya kembali menyeretku

"SOAL APAA?!!!" tanyaku balik sedikit keras karena kesal.

"Lo ngomong apa soal Mas Rizky ke Zaki?!" tanya Vivi dingin.
Kalimat itu membungkamku. Untuk beberapa saat lamanya aku tak mampu mengatakan apapun, terlalu kaget untuk bereaksi. Otakku berputar keras mengingat semua percakapanku dengan Zaki tentang Mas Rizky, sementara dengan terantuk-antuk aku mengikuti tarikan Vivi.

"Apa yang Zaki katakan pada kalian?" kembali aku bertanya saat kami berhenti.

"Bukannya jij yang kudu kasih tau ke kita, apa aja yang jij bilang ke Zaki?" sahut Regi balik bertanya, "Masuk," lanjutnya mendorongku untuk naik ke dalam sebuah mobil yang sepertinya milik Vivi.

"Seingat gue, gue gak pernah ngomong apapun ke Zaki," sangkalku.

"Masa?" sahut Vivi yang sudah masuk. Tak lama kemudian mesinpun menyala, dan kami melaju kesuatu tempat yang tak kuketahui.

"Tega jij Gha! Lo ngebentak ikke pas ikke kelepasan. Tapi jij sendiri bisa ngumbar rahasia Mas Rizky pada Zaki!" tegur Regi dari arah sampingku.

"Dengar, gua gak pernah ngomong secara langsung ke Zaki kalo Mas Rizky gay. Sumpah! Kemarin-kemarin kita cuma ngomongin soal banci yang kita bahas waktu itu Gi. Gua cuman pengen tau pendapat Zaki tentang hal yang kita bahas. Dan emang bener gue juga minta pendapat dia soal situasi gue ma Mas Rizky. Tapi gue gak pernah ngomong secara langsung kalo Mas Rizky gay dan dia nembak gue! Zaki sendiri yang mengambil kesimpulan itu waktu liat Mas Rizky meluk gue," kataku mencoba menjelaskan dengan suara yang kuusahakan tenang meski dadaku berdebar kencang.

"MAS RIZKY PELUKAN MA JIJ?!!!!!!!" pekik Regi histeris dengan suara yang naik beberapa oktaf. Aku sempat mengumpat dalam hati karena telah kelepasan mengatakan hal itu. Regi jelas gak ikhlas karenanya.

"Cuman sekali Gi. Pas gue balik dari Majalengka ma Zaki, Mas Rizky nungguin gue di deket kost. Pas ngeliat gue, dia yang langsung seneng gitu en meluk gue. Waktu itu juga ada Zaki. Sejak itu Zaki curiga kalo Mas Rizky gay," jelasku cepat.

"Benar begitu?" tanya Vivi.

"Iya Vi! Gue gak pernah ngomong langsung ke Zaki soal Mas Rizky. Gue cuman nanya gimana sikap dia kalo seandainya dia ada diposisi gw. Dia emang sempet nanya apa Mas Rizky gay. Gua ga jawab Vi. Gua diem Gi! Percaya deh! Apapun yang dikatakan egomaniak sinting itu bohong. Kalian jangan percaya dia, ok?" pintaku.

"Egomaniak sinting?" ulang Regi dengan geli.

"Ya! Bule setengah jadi itu memang seorang super megalomaniak sinting. Jadi jangan percaya dia, ok? Percaya ma gue. Biar gue ntar yang ngadepin bule gak jelas itu. Percaya deh, gue gak bakalan ngejelek-jelekin Mas Rizky. Gue respek banget ma dia," bujukku lagi.

Diam sejenak. Baik Vivi ataupun Regi tidak berkomentar. Aku mencoba mengatur nafasku yang tanpa kusadari jadi memburu. Aku tak bisa melihat wajah mereka, jadi aku tak bisa menebak apa mereka menerima penjelasanku.

"Keputusan berada diluar kuasa kita berdua Gha. Lo yang ntar kudu ngejelasin ke orangnya," kata Vivi akhirnya.

"Siapa Vi? Gi? Siapa yang meminta kalian buat ngelakuin semua ini? Mas Rizky? Gak mungkin kan dia bisa melakukan semua ini?!"

"Ntar jij juga tau. Kita udah hampir sampai," kata Regi mengakhiri diskusi kami.

Aku hanya menghela nafas berat. Sepertinya percuma kalau aku membela diri. Sumpah! Aku tak punya pikiran, siapa yang bisa melakukan hal ini. Kalau memang ini tentang Mas Rizky, maka memang kemungkinan memang dia yang jadi dalangnya. Tapi bila mengingat karakter Mas Rizky, sepertinya tak mungkin dia bisa mengatur hal beginian. Kalau Zaki mungkin saja. Bule setengah matang itu kadang-kadang bisa melakukan hal gila. Tapi bila mengingat apa yang Regi dan Vivi katakan tadi, jelas Zaki keluar dari daftar. Jadi siapa?

"Kita sampai," ujar Vivi pelan.

Mobil berhenti dengan suara gemeretak di jalan berpasir. Tak berapa lama, pintu disebelahku terbuka, dan kurasakan tangan Vivi menggamitku. Aku akhirnya hanya bisa memutuskan untuk pasrah. Perlahan, aku turun dari mobil. Kudengar Regi juga turun dan bergerak mendekati kami.

"Kita masuk," kata Regi pelan dan menggamit lenganku yang
lain.

"Kenapa harus dengan cara gini sih Gi, Vi? Kenapa kita gak bicara aja?" tanyaku untuk kesekian kali sembari melangkah mengikuti bimbingan mereka.

Vivi menghela nafas mendengarku, "Sudah gue bilang kan, kalau semua ini sudah berada diluar kuasa kita. Kita berdua udah gak bisa bantu elo kali ini Gha. Kali ini, lo bener-bener mesti nyelesein semuanya sendiri," kata Viv dengan nada lemah. Sesaat kemudian terdengar suara pintu terbuka dengan suara deritan keras.

"Ikke harap kali ini jij tinta ceroboh ya Cin? Hati-hati," sambung Regi. Tentu saja kalimatnya membuat kekhawatiranku meninggi.

"Tapi kalian percaya gue kan?"

"Kami akan pergi sebentar memanggil pihak yang bersangkutan. Lo tunggu disini," kata Vivi pelan, "Dan jangan pernah sebut-sebut soal Mas Rizky, apa lagi fakta bahwa dia gay ok?" bisik Vivi lirih ditelingaku.

Aku mengangguk cepat mendengarnya. "Gua janji. Gua gak bakal nyebut nama Ma. . .,"

"GHA!!" potong Vivi mengingatkanku.

Ya Tuhan! Hampir saja. "I-iya Vi. Maaf. Gue ngerti! Tapi kalian percaya gue kan?" tanyaku.

Hening! Tak ada jawaban. Tak terdengar suara apapun. Aku jadi semakin panik. Nafasku yang baru sebentar tenang, kembali memburu karena tegang.

"GI?!!!! VII?!! Kalian percaya gue kan? Kalian gak akan memilih buat lebih percaya ma Zaki kan?" kataku sedikit keras. Hening! Aku menunggu beberapa saat, tapi tetap tak ada jawaban. "GI?! VII?!! Tolong bilang ma orang yang nyuruh kalian okay? Gua harap lo sampein apa yang gua katakan tadi. Jangan biarin dia percaya ma Zaki. Bule setengah jadi itu memang seorang megalomaniak sinting sejati ok?! Dia selalu bertindak seenak udel dan gak pernah mau peduli kesulitan apapun yang gue hadapi. Please bilang padanya kalo bule norak itu punya kelainan otak, ok? Dia bule setengah jadi sinting pengidap supermegalomaniak sindrom akut!!! GIII?!! VII?!!"

Tetap tak ada jawaban.


. . . . . . .



Aku jatuh terduduk dengan lemas. TUHAAANN!!! Apalagi cobaan yang Kau timpakan padaku?! keluhku dalam hati. Belum juga selesai masalahku dengan Zaki, Mas Rizky menjatuhkan bom kejutannya padaku. Baru beberapa hari kemarin semuanya membaik, sekarang ini. Apa yang sebenarnya yang telah kulakukan sehingga aku harus mengalami semua ini. Lamunan sedihku terpotong saat perutku mengeluakan suara bergolak keras yang diikuti rasa nyeri.

"Gi?! Vi?!" panggilku. Tetap tak ada sahutan. Hanya perutku yang kembali bergolak. "Ya Tuhan, mules banget!" keluhku pelan. Karena tak tahan aku mendorong gas yang bergolak dalam perutku keluar.

Diiringi suara pret keras beberapa kali, gas yang bergolak itu terlepas keudara. Dalam hitungan detik udara disekitarku berubah menjadi luar biasa busuk.

"ANJRIT!! BAU BANGKE!" umpatku dan menahan nafas. Aku berusaha membersihkan udara disekitarku dengan meniup-niupkan udara dari mulutku beberapa kali ke sekelilingku.

"Gha?" panggilan pelan itu membuatku berhenti.

"Vi?! Jangan mendekat dulu. Sori, tadi pagi gue makan pete banyak banget, jadi perut gue error. Orangnya udah dateng?" tanyaku dan berdiri.

"Gue buka dulu ikatan tangan lo ya?" kata Vivi tanpa menjawab pertanyaanku.

"Oke. Lo udah bilang kan ma dia buat gak percaya ma Zaki? Sumpah Vi, bule gak jadi itu memang sinting!" ujarku. Lagi-lagi Vivi tak menjawab, tapi bisa kurasakan ikatan tanganku mengendur dan akhirnya lepas. "Gue bisa buka penutup matanya juga kan?" tanyaku. Dan tanpa menunggu jawaban Vivi aku membuka scarf yang membungkus mataku. Butuh beberapa saat bagiku untuk menyesuaikan mataku yang silau. Sekilas aku melihat kilasan warna-warna meriah. Dan beberapa saat kemudian, baru pengelihatanku normal.

Aku mengeluarkan suara terkesiap keras!

Sumpah!!!!!!!!

Detik itu juga aku ingin pingsan ditempat.

Disekelilingku berdiri orang-orang yang kukenal sehari-hari.
Beberapa teman kuliah berdiri dengan topi kerucut dikepala mereka. Juga ada seluruh teman-teman kostku, Mas Rizky, dan juga Zaki yang saat ini berdiri dengan wajah merah dan ekspresi yang gelap. Semuanya berdiri melongo melihat ke arahku yang ada ditengah ruangan yang mirip gedung pertemuan. Aku lihat Regi yag berdiri disamping Mas Rizky dengan wajah yang tercabik antara geli setengah mati dan iba melihatku.

"Surprise?" celetuknya pelan.

Aku lihat sebuah tulisan besar disebelah kananku yang berbunyi MET ULTAH REGHA!.

Aku berpaling ke arah Vivi yang masih berdiri disebelahku dan menatapku penuh dengan simpati. Sesaat kemudian dia cuma nyengir kecil.

Tulang kakiku mendadak saja terasa hilang.



Aku langsung jatuh terduduk lemas dilantai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar