REGHA
Aku kembali memijat keningku yang mulai berdenyut
lagi. Rasa-rasanya kepalaku terbelah dan memiliki nyawa sendiri. Sial!!
batinku kesal. Padahal banyak yang harus kuselesaikan. Tapi kepalaku terasa
penuh dan berat.
Liburan semester bulan ini berbeda dengan liburanku
sebelumnya. Saat Zaki bilang kalau dia ingin aku membantunya, dia tidak
main-main. Aku yang sudah berencana untuk balik ke Majalengka liburan ini,
harus mengubah rencanaku. Sepulang bekerja ditempat Bu Indri, Zaki langsung
memintaku kerumahnya. Disana, dia akan memberiku setumpuk dokumen untuk ku
kerjakan. Arus lalu lintas transaksi di Panti itu benar-benar cukup membuatku
heran. Belom lagi berbagai kegiatan panti.
Baik kegiatan internal ataupun dari
sponsor serta rekan kerja lainnya.
Benar-benar banyak dan rumit. Pantes aja si Zaki
nodong aku bantuin dia.
Hampir setiap hari kami bekerja hingga menjelang
malam. Beberapa kali sempat lembur hingga pukul 10. Terkadang waktu terasa
melesat tak terasa saat kami sibuk dengan semua berkas yang harus kami bukukan.
Meski melelahkan, jujur aku menikmati kesibukan kami. Aku banyak belajar
tentang dunia bisnis dan pembukuan. Hampir semua ilmu yang kupelajari bisa
terpakai. Jelas sekali perbedaan antara teori dan praktek di lapangan. Aku tak
menyesali waktuku yang terpakai disini.
Tapi. . . . kehidupan pribadiku yang lain sedikit
menyesakkanku.
Dimulai dengan keterus terangan Mas Rizky. Dia
bilang dia mencintaiku. Bahkan saat ini, aku merinding bila membayangkan sorot
matanya saat dia mengatakan hal itu. Kami yanng sedang berada di alun-alun,
seakan-akan tersedot ke dalam sebuah ruang hampa, dimana hanya ada dia dan aku.
Suara-suara disekitar kami nyaris tak terdengar dan hilang. Aku sendiri tak
tahu harus bagaimana. Situasi saat itu tak pernah kubayangkan bisa ada dalam
kehidupanku. Andai aku seorang cewek, mungkin aku akan merasa tersanjung kalau
ada seseorang dengan kualitas seperti Mas Rizky menyatakan cintanya. Dengan
keseriusannya waktu itu. Tapi. . . . kami sama-sama lelaki. Mustahil bagi kami
untuk berhubungan.
"Gha?" tegur Mas Rizky waktu itu setelah
keheningan yang lama, "Bagaimana?"
"Aku. . . . " aku menelan ludah sejenak,
"Aku nggak bisa, Mas,"desahku pelan. Ekspresi kecewa yang kemudian
terlihat dimatanya begitu menyakitkanku. Nyaris membuatku maju untuk
memeluknya, "Tapi aku juga nggak ingin kehilangan Mas Rizky,"
sambungku lagi.
Mas Rizky jadi sedikit bingung, "Gha?"
"Aku senang bersama dengan Mas Rizky. Aku
merasa tenang dan nyaman. Tapi. . . aku nggak yakin bisa menjadi sosok yang Mas
Rizky inginkan."
"Gha. . ."
"Aku sayang Mas Rizky!" bahkan saat
mengatakan itu aku tahu kalau aku benar, "Tapi. . . aku nggak tahu kalau
sayangku, cukup untuk membuatku mau menjadi pacar Mas Rizky." gumamku lagi
dan membuang muka, tak sanggup untuk beradu pandang dengannya.
"Gha. . . "
"Aku nggak pernah punya pikiran untuk menjadi
seorang gay. Maaf, aku. . . . nggak yakin Mas," bisikku pelan dan mulai
berbalik untuk pergi. Setidaknya aku sudah mengatakan apa yang sebenarnya
kuurasakan. Aku benar-benar menyayangi Mas Rizky dan tak ingin berpisah
dengannya. Tapi menjadi kekasihnya adalah hal lain yang kurasa perlu untuk
ditelaah lebih dalam.
"Gha!" panggil Mas Rizky membuatku
terhenti. "Kau butuh waktu?" tanyanya. Aku tak bisa menjawabnya.
Hanya mampu tercenung, ragu. "Aku akan menunggu," ujar Mas Rizky
kemudian.
Dan hingga kini, aku belum tahu apa yang harus aku
lakukan atau apa sebenarnya yang kuinginkan.
Kemudian, kabar yang kuterima dari rumah beberapa
hari yang lalu membuatku terjaga hampir semalaman.
Musim hujan tahun ini di negara ini dan sekitarnya
ternyata datang satu bulan lebih awal. Masih bulan November, namun intensitas
curah hujan ternyata cukup mencengangkan. Parahnya, bukan hanya itu, entah
karena apa, angin kencang dan petir sepertinya sedang rukun dan mereka
melakukan kolaborasi yang luar biasa. Hasilnya, beberapa daerah di Indonesia
terhantam badai yang cukup kuat. Termasuk kampung halamanku.
Mamah dan Abah meneleponku suatu malam, sekitar 7
hari setelah badai menerjang kampung halamanku. Aku sudah tahu kalau ada sesuatu
yang tidak beres, karena tidak biasanya mereka berdua menelepon bersamaan.
Dengan singkat Abah dan Mamah menceritakan situasi mereka. Karena badai waktu
itu, sawah Abah hancur. Mereka mengalami kerugian telak. Padahal dalam waktu
satu bulan kedepan, sudah tiba waktu bagi Abah untuk membungai dan mencicil
uang pinjaman di Bank.
Dulu memang Abah terpaksa mengambil pinjaman di Bank
dengan jaminan sawahnya untuk ongkos ku masuk kuliah, uang masuk SMA Asti dan
juga uang sekolah Agus. Keperluan kami yang datang secara bersamaan membuat
Abah tidak memiliki pilihan lain. Jadi beliau mengambil pinjaman di Bank agar
kami semua bisa melanjutkan pendidikan kami. Satu bulan sekali beliau harus
membayar cicilan dan bunganya. Kali ini mereka sudah telat 2 bulan. Kalau sampai
bulan ddepan mereka tak bisa membayar, maka pihak Bank memiliki kekuasaan untuk
menyita sawah Abah.
Masalahnya, saat ini Abah dan Mamah tidak memiliki
dana untuk membayarnya. Belum lagi efek dari badai kemarin, membuat mereka
terpaksa menjual perhiasan Mamah untuk perbaikan sebagian rumah yang rusak.
Mereka bertanya apakah aku memiliki tabungan yang bisa mereka pinjam.
Rasa-rasanya jantungku diremas oleh sebuah tangan
yang tak tampak. Dengan gemetar dan penuh rasa sesal aku mengatakan pada.
mereka, bahwa saat ini, aku tak memiliki dana yang bisa mereka gunakan.
Andaikan saja aku punya, dengan ikhlas aku akan memberikannya pada Abah.
Rasa-rasanya aku ingin menangis mendengar suara lemas mereka.
Mereka mengerti
dan mengatakan bahwa mereka akan berusaha untuk mencari jalan lain.
Begitu telepon terputus, aku tak sanggup lagi
membendung air mataku. Aku menangis dalam kamar kostku sementara diluar, hujan
turun dengan derasnya. Perasaanku benar-benar nelangsa karena tak mampu
membantu orang tuaku yang sedang kesulitan. Dimulai hari itu dan seterusnya,
hampir tiap malam aku tak dapat memejamkan mata. Otakku kuputar untuk bisa
menemukan jalan agar aku bisa membantu Abah. Tapi hingga kini, aku belum
menemukan jalan. Bagaimana aku bisa membantu mereka, kalau saat ini aku masih
harus menebus hutangku pada Zaki, Mas Rizky, Vivi dan juga Regi?
Pada siapa aku berpaling?
Hampir pecah rasanya otakku berpikir. Dan hasilnya
nihil.
"Kamu basah kuyup," tegur Zaki saat aku
masuk keruang kerja. Dia memandangku dengan tatapan heran. Aku hanya
memandangnya bingung lalu melihat kearah tubuhku yang ternyata memang basah
kuyup.
"Eh? Apa?" tanyaku bego.
"Are you okay?" tanya Zaki.
Aku mengangguk padanya, "Yeah, I was just. . .
wet," jelasku linglung dan melangkah untuk menuju meja kerjaku. Tadi saat
aku turun dari angkot, hujan memang kembali turun dengan derasnya. Sehingga
saat aku sampai didepan gerbang rumah Zaki, aku sudah kebasahan. Tapi aku tak
perduli. Aku hanya ingin menenggelamkan diriku dalam pekerjaan yang membuatku
sedikit lupa akan masalahku sendiri. Namun tangan Zaki menahanku.
"Kamu basah kuyup dan membasahi karpet. Bilas
dulu tubuhmu diatas. Kau bisa meminjam bajuku," katanya.
"What?" tanyaku lagi. Kalimat Zaki tadi
kudengar tapi otakku. seakan-akan menolak untuk memahaminya.
"Ada apa Gha?" tanya Zaki lagi, kali ini
dengan nada menuntut.
"Hah? Ng-nggak ada apa-apa kok," jawabku
pelan dan kembali hendak menuju mejaku. Tapi lagi-lagi dia menahan tanganku.
"A-apa. . " tanyaku lagi, sedikit gugup.
"Bilas tubuhmu dulu," ujarnya dan tanpa
menunggu jawabanku lagi dia menyeretku untuk mengikutinya. Aku hanya menurut,
masih dengan sedikit linglung. Dia membawaku kekamarnya. Kami langsung menuju
kekamar mandi. Zaki memutar kran air panas sehingga uap yang keluar langsung
menyebar.
Aku hanya menatapnya bingung.
"Bilas tubuhmu dengan air panas. Itu
handuknya," tunjuk Zaki pada tumpukan handuk tebal yang ada didekat kaca
toilet, "Kau pinjam saja bajuku. Pilih sendiri yang ada di closet, okay?
Do you hear?"
Aku hanya mengangguk patuh. Zaki tampak hendak
mengucapkan sesuatu, namun akhirnya mengurungkannya. Tanpa berkata apa-apa
lagi, dia meninggalkanku. Untuk sesaat lamanya aku hanya diam disana dan
memandang air hangat yang mengucur dari shower seakan-akan aku baru melihatnya
sepanjang hidupku. Butuh beberapa detik bagiku untuk sadar, apa yang harus aku lakukan. Aku segera melucuti
bajuku.
Siraman air sedikit panas dari shower saat pertama
kali menyentuh ujung kepalaku terasa hangat dan menenangkan. Aku menikmati
sensasinya yang mengalir membasahi seluruh tubuhku dengan perlahan. Setelah
tubuhku tak lagi menggigil, aku mencari shampoo dan sabun. Aku menemukannya tak
jauh dari tempatku berdiri.
Bau sabun dan shampoo Zaki jauh lebih harum dan
menyegarkan kalau dibandingkan dengan produk yang biasa kupakai. Tentu saja.
Mutu dan harganya jelas berbeda. Baunya cukup membuatku sedikit lupa waktu.
Meski ini bukan pertama kalinya aku masuk ke dalam
walk in closet milik Zaki, tetap saja aku dibuat takjub. Aku segera mencari.
celana jeans untuk kupakai. Aku tak menemukannya. Hanya mendapatkan sebuah
celana katun santai dengan pinggang
karet yang masih tampak kegedean untuk tubuhku. Aku memadukannya dengan sebuah
t-shirt putih polos yang mungkin akan pas dibadan Zaki, tapi masih agak
kebesaran untukku. Bau harum dan lembutnya bahan kaos itu sempat membuatku iri.
Barang mahal emang beda ya ma merk umum, batinku.
Saat aku kembali ke ruang kerja, Zaki sedang
mengetik didepan laptopnya.
"Kau sudah tidak kedinginan?" tanya Zaki
tanpa mengangkat wajahnya dari screen.
"Sudah lebih baik," jawabku pelan.
Mendengar itu dia baru mengangkat wajahnya. Untuk sesaat dia hanya menatapku
diam dengan tatapan yang sedikit intens. Aku sedikit risih dan khawatir
jadinya. Jangan-jangan dia tak suka aku memakai baju ini?
"Apa?" tanyaku dengan canggung, salah
tingkah karena tatapannya.
Zaki. sedikit kaget dan kemudian berdehem,
"Ada. . . ," dia menggelengkan kepala sebentar, "Eeeuuhh
maksudku, ada yang ingin kau sampaikan?" tanya Zaki.
Aku hanya menggeleng pelan.
"Well. . . okay then. Tugasmu ada disana dan
kau bisa langsung memasukkannya kedalam komputer," kata Zaki dan kembali
berkonsentrasi pada apa yang tadi dia lakukan.
Aku berjalan ke mejaku yang berjarak sekitar dua
meter dari tempatnya. Meja dan kusi tambahan yang ia sediakan untukku. Sebuah
pikiran melintas dibenakku saat aku duduk. Mungkin aku bisa meminta keringanan
pada Zaki untuk membayarkan gajiku lebih awal. Mungkin 2 bulan atau 4 bulan
sekaligus. Meski itu tidak banyak dan masih kurang untuk membantu Abah, tapi
setidaknya mungkin bisa meringankan beban mereka. Pada situasi lain, mungkin
aku akan memilih untuk menutup mulutku. Paling malas kalau ngomong soal uang
dengan Zaki. Tapi ini menyangkut Abah, jadi aku harus berani dan mau.
"Ki. . . bisa membantuku?" tanyaku ragu.
Bunyi ketikan dari meja Zaki berhenti. Dia
mengangkat wajahnya dan memandangku, "About what?" tanyanya datar.
Aku sedikit menelan ludah dengan reaksinya. Bayangan
wajah Mamah dan Abah melintas di benakku. Dengan itu aku menemukan sedikit
dorongan baru dan menarik nafas panjang, "Bisakah aku. . . . eeuumm
meminta 4 bulan gajiku dimuka?" tanyaku berhati-hati.
Diam sejenak. Dia memandangku, masih dengan tatapan
datar. Zaki lalu menyandarkan punggungnya dikursi, "Bisa kau katakan
kenapa kau memintanya?" tanya Zaki akhirnya.
"Aku. . . . sedikit membutuhkan uang,"
jawabku.
"Tentu saja, karena itu kau meminta gajimu.
Pertanyaannya adalah kenapa kau memerlukannya?"
Aku bergerak-gerak gelisah ditempat dudukku, "I
just. . . need it. Untuk keperluan pribadi, okay? Jadi. . . bisa?" tanyaku
lagi.
Kembali dia diam sejenak, "Hmm. . . itu berarti
kau memperpanjang waktumu untuk melunasi hutangmu padaku kan?"
Aku tak bisa membantahnya, "Look, nanti aku
akan mencari cara untuk bisa melunasinya tepat waktu. However that is. Tapi
saat ini. . .. . " aku berhenti, mengerti kalau usahaku sepertinya sia
sia. Aku menarik nafas berat, "Sudahlah, lupakan saja," ujarku dan
membuka menu laptopku.
"Baiklah! Kau perlu sekarang?" tanya Zaki
santai.
Untuk sejenak, ku kira aku salah mendengar. Saat aku
mendongak, dia sudah kembali mengetik sesuatu di laptopnya.
Wajahnya yang
menghadap layar komputer tampak bercahaya dan ekspresinya datar.
"Maaf?"
"I said okay! I'll give you. Kau mau dalam
bentuk tunai atau cek?" tanyanya masih tanpa mengangkat mukanya.
"Cash," jawabku pelan.
"Okay!" jawabnya dan meneruskan
pekerjaannya seolah-olah pembicaraan kami tadi tidak pernah terjadi. Aku hanya
menghela nafas. Terkadang ada saat-saat dimana aku merasa, kalau kami tak
pernah saling mengenal. Seperti sekarang ini.
ZAKI
Dia masih tampak seperti beberapa hari
yang lalu, pikirku saat Regha telah kembali sibuk dengan
pekerjaannya. Seperti dua hari yang lalu, wajah Regha masih tampak muram dan
susah. Waktu itu dia datang dalam keadaan basah kuyup, kehujanan. Aku harus
sedikit menyeretnya kekamar mandi agar dia bisa membilas air hujan ditubuhnya
dan ganti pakaian. Dia terlihat seperti orang linglung. Saat kujelaskan dia
harus bagaimana dikamar mandi, dia tidak banyak membantah. Aku sudah hendak
memaksanya untuk bicara, namun urung. Kupikir aku tak perlu tahu ada apa
dengannya. Sudah cukup kemaren aku kelepasan didepan Rizky. Aku tak ingin
terlibat lebih jauh lagi dengan urusan Regha.
Lalu dia kembali keruang kerja. There he was,
berdiri di pintu dalam balutan celana cardigan dan t-shirt ku. Terlihat pucat
dan rapuh. Aku sempat terpaku ditempatku, tak mampu melepaskan pandanganku
darinya yang sungguh membuatku ingin memeluknya. Dorongan impulsif gila, yang
untungnya masih bisa kutahan. Aneh, karena belum pernah aku merasa seperti itu.
Terbiasa oleh didikan Mommy yang selalu menekankan kemandirian dan kemampuan
pribadi dalam menyelesaikan masalah, membuatku jarang menaruh empati pada orang
lain. Tapi Regha membuatku mengambil sebuah pengecualian.
Baru beberapa saat kemudian, aku mendapatkan sedikit
titik terang. Dia memintaku untuk memberinya gaji 4 bulan dimuka. Aku bisa
menyimpulkan kalau masalahnya berhubungan dengan uang. Tapii tuntuk apa? Itu
pertanyaan yang ingin ku tahu jawabannya. Karena itu, aku mengajukan sedikit
pertanyaan untuk memancingnya.
Sekali lagi, dia membuat perutku terasa melilit
dengan berdiri didekat mejanya, tampak ragu dan salah tingkah, bahkan sedikit
takut saat mengatakan kalau dia membutuhkan uang itu. Kukira dia akan menangis.
Aku bahkan merasakan sedikit ketakutan kalau dia benar-benar akan melakukannya.
Tanpa pikir panjang, akupun menyetujuinya, tanpa mau menatapnya lagi. Karena
mungkin aku akan melakukan hal bodoh dan menyesalinya.
2 hari telah berlalu, tapi ekspresi muram Regha
tidak banyak berubah. Dengan kata lain, uang kemarin belum cukup untuk menyelesaikan
masalahnya. Apapun itu. Sialnya, tanpa kusadari aku merasa seakan-akan aku juga
mengalami hal yang sama.
Konyol.
"Aku mau ke kamar kecil dulu Ki," pamit
Regha.
"Hah?" aku mengangkat wajahku, tak begitu
paham apa yang dia katakan tadi, "Excuse me, what?"
"I said I need to go to the loo," pamitnya
lagi dan segera pergi tanpa menunggu responku. Aku cuma diam menatapnya, bahkan
setelah beberapa saat kemudian, saat tubuhnya menghilang dibalik pintu, aku
tetap diam menatap pintu itu, termangu.
Deringan ponsel yang sedikit nyaring membuatku
kaget. Hape Regha mengeluarkan bunyi ringtone norak sebuah band yang
menceritakan tentang indahnya suatu perselingkuhan. Dahiku berkernyit dan
segera mendekat untuk meraihnya. Nama yang muncul dilayar adalah nama Agus.
Tanpa pikir panjang akupun mengangkatnya.
"Halo? Agus?" sapaku langsung.
Hening sejenak, "A Zaki?" balas Agus,
terdengar heran sekaligus senang.
"Iya Gus. Regha sedang ada dirumahku. Tadi dia
kekamar kecil. Ada apa Gus? Is everything fine?" tanyaku
"Baik A. Ini, cuman mo kasih kabar ke A Regha
kalo duitnya udah sampe," kata Agus lagi. Aku sontan terdiam. Jadi uang
yang dia pinta itu untuk keluarganya, pikirku. Detik berikutnya aku
mendengar suara pelan Regha yang sedang berbicara dengan Mbak Ayu diluar. Dia
tak boleh tahu kalau aku sedang berbicara dengan adiknya.
"Agus, aku tutup dulu ya? Sebentar lagi aku
akan telepon balik. Jangan kemana-mana," kataku cepat.
"Iya A!" jawab Agus sedikit heran.
Aku memutuskan sambungan dan meletakkan ponsel Regha
ke tempatnya tadi. Aku harap dia tak menyadarinya. Selang beberapa detik
kemudian Regha muncul dari balik pintu, tepat saat aku berada disebelah meja
kerjaku.
"Mbak Ayu bilang dia akan membawakan kopinya
sebentar lagi," katanya.
Aku hanya mengangguk, "I need to make a
call," pamitku dan keluar diiringi tatapan bingungnya. Karena tak ingin
menanggung resiko, aku langsung menuju kamarku dan menelepon Agus. Telepon
langsung diangkat pada deringan kedua.
"A Zaki?" sapa Agus.
"Yep, it's me. Agus, bisa ceritakan apa yang
terjadi disana?" tanyaku langsung. Agus dengan lancar menceritakan keadaan
yang terjadi dirumahnya. Sepertinya dia benar-benar mempercayaiku, karena dia
tak terdengar curiga ataupun heran dengan reaksiku. Aku baru maklum, kenapa
Regha bisa sekacau sekarang. Agus sendiri terdengar cemas dan bingung.
"Sekarang semuanya bingung A. Meski A Regha
sudah kirim, tapi kami masih bingung untuk mendapatkan sisanya,"
pungkas
Agus.
"I see. Well, Agus bisa kasih tahu alamat
lengkap Agus nggak?"
"Buat apa A?" tanya Agus.
"Aku punya hadiah buat Agus dan Asti. Kemarin
Asti minta dikirimin kado. I know, masih dua bulan lagi. Tapi aku butuh alamat
kalian," tukasku cepat. Agus segera mendiktekan alamat lengkap rumahnya,
"Great!! And one more thing, Agus jangan bilang pada siapapun kalau aku
telepon, ok? Tidak juga pada Regha, ataupun Abah dan Mamah. Lebih-lebih lagi
Asti. I want to make a surprise," pesanku.
Agus tertawa mendenngarnya, "Iya A."
"Ya sudah, aku tutup dulu. Jangan khawatir,
pasti akan ada jalan yang Abah temukan," pungkasku.
"Iya A. Amin!"
"See you then. Aku harus kembali bekerja,"
pamitku.
"Iya A. See you juga," balas Agus dan
menutup sambungan. Aku menatap secarik kertas bertuliskan alamat ditanganku. I
need to do something, batinku dan meletakkannya di meja kerjaku. Aku akan
mengurusnya nanti. Aku lalu segera kembali keruang kerja dan menemukan Regha
sedang menyeruput kopinya.
Sialan!! Mataku yang aneh ataukah memang
dia terlihat pucat dan mengenaskan seperti itu, batinku
sedikit kesal. Aku mengacuhkan tatapan bertanya Regha dan kembali
berkonsentrasi dengan pekerjaanku.
REGHA
Aku masuk kekamar dalam keadaan basah kuyup lagi.
Dengan cepat aku meraih handuk dan peralatan mandiku. Aku harus segera membilas
air hujan di tubuhku. Padahal kalau dikampung, aku suka banget yang namanya
hujan-hujanan. Tapi air hujan disana berbeda dengan air hujan disini. Air hujan
di Bandung sudah mengandung banyak asam dan kotoran lainnya. Gampang bikin aku
masuk angin dan demam. Terlalu banyak polusi yang mencemarinya.
Tubuhku terasa hangat saat aku telah memakai baju
training tebal milikku. Aku lalu segera mencari ponselku yang tadi sudah
kubungkus dengan plastik. Aku memencet nomor Asti.
"Assalamu'alaikum. . . ," sapa Asti.
"Wa'alaikumsalam Neng. Mamah ada?" pintaku
langsung.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi padaku, kudengar Asti
memanggil nama Mamah. Tak berapa lama, suara beliau yang mengucapkan salam
terdengar. Tenggorokanku langsung tercekat dengan suaranya yang masih terdengar
berat.
"Kumaha Mah?" tanyaku. Tanpa bertanya
lagi, beliau sudah mengerti apa yang kutanyakan.
"Uangnya sudah datang tadi A. Hatur nuhun yah?!
Sekarang Abah jeung Mamah hanya perlu mencari sisanya," jawab beliau
dengan nada menenangkan, namun tetap saja aku sebagai anak merasakan kecemasan
dalam suaranya.
"Mah, kenapa tanah Aa yang ada di kota tidak
dijual saja? Kan bisa buat nutupin kekurangannya. Mungkin lebih," ujarku.
Aku sebenarnya memiliki sebidang tanah yang cukup luas dipinggiran kota
Majalengka, warisan dari kakekku, orang tua dari Mamah. Sejak masalah Abah
mencuat, aku sudah mengusulkan pada Mamah agar tanah milikku itu dijual saja.
Tapi Abah tak pernah mau mengusik milikku itu, dengan alasan yang menurutku
sangat konyol.
Dulu, hubungan Abah dan Mamah ditentang keras oleh
Kakek. Kakekku menginginkan Mamah, putri beliau satu-satunya untuk menikah
dengan orang terpelajar dan berasal dari daerah kota. Tapi Mamah justru
terpikat oleh Abah yang pendidikannya cuma SMP dan berasal dari kampung. Mereka
berdua tetap nekat meneruskan hubungan mereka, meski keluarga besar Kakek
menentang. Konon setelah aku lahir, barulah Kakek luluh dan menyetujui hubungan
mereka. Sebagai hadiah kelahiranku, beliau menjadikanku sebagai ahli waris
keluarga, bukan Mamah.
Abah sebenarnya tidak bermasalah. Tapi baliau sudah
kadung berjanji pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan mengusik sedikitpun
harta peninggalan dari kakek yang menjadi milikku. Beliau akan berusaha
memenuhi kebutuhan keluarganya, dengan hasil keringat beliau sendiri. Sepertinya
beliau masih menyimpan sedikit sakit hati pada keluarga Kakek dan berniat
menunjukkan pada mereka, meski mereka semua telah meninggal, bahwa dia mampu
memberi nafkah pada Mamah dan kami semua. Kekeras kepalaan beliau tidak berubah
hingga detik ini.
"Aa kan sudah tahu keputusan Abah tentang hal
itu," tukas Mamah, menjawabku.
"Tapi sekarang teh keadaannya sedang genting
Mah. Kalau nggak melakukannya, Abah bisa kehilangan sawahnya. Sawah itu kan
sumber mata pencaharian Abah," kataku lagi, mencoba berargumen.
"Abah sudah menetapkan keputusannya sejak Aa
masih kecil. Dan perkara itu, sudah tidak bisa dibantah lagi," jelas Mamah
dengan nada sabarnya yang biasa.
Aku hanya menghela nafas masygul, "Terus
rencana Abah teh naon Mah?"
"Duka teuing. Tapi apapun itu, Mamah harus
ngadukung Abah. Aa tidak perlu khawatir. Aa bantu aja dengan doa, dan yakin
kalau Abah akan menemukan jalan keluar yang terbaik bagi kita semua, ya?"
pinta Mamah.
Aku tak punya pilihan lain selain mengiyakan Mamah.
Malam itu, aku kembali tidur gelisah. Mimpiku kacau,
membingungkan dan terasa menekan. Perasaanku seperti teka-teki rumit yang tak
jelas bentuknya. Pagi harinya, aku bangun dalam keadaan buruk. Sepertinya aku
demam. Kepalaku berdenyut nyeri dan tenggorokanku terasa kering dan sakit. Akhirnya
aku mengirimkan pesan singkat pada Mbak Rasti, minta agar beliau memamitkanku
pada Bu Indri nanti. Dan sepertinya aku tak akan masuk kuliah juga hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar