Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 17 - Challenging



  REGHA


"Tumben melek jam segini. Dari mana Gha?" tanya Ari, temen satu kostku. Anak asli Surabaya itu melihatku dengan tatapan heran. Matanya tertumbuk pada tas plastik hitam yang kubawa. Dia memakai baju trainingnya. Pasti bersiap hendak jogging. Cowok bertubuh cukup atletis ini memang paling getol berolah raga kalo dibandingin penghuni kost yang lain.

"Dari pasar tadi, Ar," jawabku sembari nyengir.

Ekspresi wajahnya langsung berubah serius. "Ada apa, Gha?" tanyanya dengan nada khawatir.

Aku jelas bengong, gak ngerti penyebab dari perubahan sikapnya. "Maksudnya? Emang kenapa sih?" tanyaku balik bingung.

"Ya nggak biasanya aja elo pergi ke pasar pagi-pagi gini. Biasanya juga habis shalat subuh molor. Janjian ma cewek ya? Atau jangan-jangan, cewek yang lo taksir, kerja di pasar ya? Siapa? Mbak Sri ya?" tuduhnya asal. Aku jelas misuh-misuh karenanya. Yang namanya Mbak Sri adalah seorang pedagang buah-buahan dipasar. Berusia 40 an dan centil luar biasa. Para penghuni kost ini rata-rata berasal dari kalangan menengah ke bawah. Dan hampir semua penghuninya memasak sendiri makanan mereka sehari-hari, untuk mengirit pengeluaran. Jadi kami semua sudah dikenal dikalangan para pedagang pasar. Nah si Mbak Sri ini adalah salah satu fans kami. Kalo pas kami belanja kepasar dan bertemu dengannya, pasti diajak ngobrol dengan sedikit bumbu-bumbu colekan, cubitan atau bahkan kerlingan genit oleh Mbak Sri. Kalo cantik sih, lumayan lah, gak ada masalah. Tapi yang bikin kami ngeri Mbak Sri giginya agak gondrong. Denger-denger dia janda 2 kali dengan 3 orang anak.

Kebanyakan dari kami sih lebih senang menghindar dari stand Mbak Sri. Hanya si Ari saja yang cuek dan dengan senang hati melayani godaan Mbak Sri. Jelas aja kami semua heran. Saat ditanya, si Ari cuma angkat bahu dan berkata, "Lumayan lah dapet buah dengan harga istimewa," sembari nyengir. Dasar sinting.

"Gua ga minat ma simpenan lo," sahutku judes.

"Weeeeww!!!! Gak papa lagi Gha. Siapa tahu kita berbagi istri," jawabnya selebor.

"Gelo! Bisa bunuh diri ntar Asmirandah kalo gue diambil Mbak Sri," sahutku asal membuatnya terkekeh.

"Berkah buat lo, tapi kutukan buat dia Gha," selorohnya geli.
Dia lalu mendekat dan mengintip ke tas plastik yang kupegang, "Beli ap. . . . ASTAJIM!!!!" seru Ari keras saat melihat isi belanjaanku. Dia menatapku bengong.

"Kenapa sih lo?" gerutuku kesal dengan reaksi alaynya.

"Ya Allooooh Gha! Itu pete sebanyak itu mo lo apain?" tanyanya dan menggelengkan kepalanya takjub.

Aku nyengir mendengarnya. Tadi aku memang ke pasar membeli seikat petai. Entah berapa jumlahnya. Tapi hari ini aku ingin merayakan hari spesialku dengan memasak serba petei, sembari mengingat masakan Mamah dikampung. "Hari ini gue mo merayakan sesuatu. Pokoknya tema masakan gue hari ini, PETEI! Mo bikin sambel goreng petei yang pedes, lalapan petei, dan cumi petei spesial. Lo mau?" tawarku murah hati. Aku tahu kalau Ari alergi banget dengan yang namanya petei. Mendengar tawaranku dia mengernyit jijik dan bergidik ngeri.

"Amit-amit! Lo bener-bener sinting! Ogah gue! Awas lo ya, kalo sampe kamar mandi jadi bau kayak kamar jin!"
Kembali tertawa. Efek makan petei memang bisa membuat aroma feces dan air seni kita jadi alaihim. "Jangan khawatir.
Hari ini giliran gue bersihin kamar mandi. Ntar gue pastiin ga akan ada bau petei, sedikitpun," janjiku.

Ari hanya menggelengkan kepalanya mendengarku, "Bener-bener sinting. Gue mo jogging dulu. Bisa ikutan error gue kalo kelamaan ma lo," gerutunya dan berlalu.

"YEEEEE!" seruku nyolot, "Siapa juga yang nyuruh?" gerutuku dan segera kedalam untuk mulai memasak.


Sambel super pedes peteinya sukses besar. Saat sarapan aku sempat dibuat megap-megap dengan level pedesnya sambel yang kubuat. Kalah deh keripiknya Mak Icih. Yang bikin heran, meski udah klepekan kaya ikan koi, kok bibirku ga bisa keliatan kaya punya Zaki waktu itu ya? Kalo bibir Zaki terlihat merona merah basah saat kepedesan, bibirku malah jadi pink pucat dan ga ada imutnya sama sekali. Heran!

Sialnya, efek dari sambel petei yang kubuat cukup bikin perutku kelabakan. Saat melayani tamu di rumah makan Bu Indri, aku dipaksa untuk beberapa kali lari kebelakang, membuang gas yang tiba-tiba meninggi tingkat produksinya di perutku. Bu Indri sempat dibuat heran melihatku yang bolak-balik kebelakang dan segera memanggilku. Saat kujelaskan beliau cuma menggelengkan kepala masygul. Aku hanya membalasnya dengan cengiran kuda.

Meski begitu, sebelum berangkat kuliah, aku sempat juga menuntaskan sisa sambel yang tersisa. Mubazir amat kalo ga dimakan. Walhasil, aku harus menahan diri diruang kelas kalau tak ingin dibuat malu oleh gas diperutku. Sumpah mules banget. Ga ada enak-enaknya orang menahan kentut. Beneran deh. Don't try this at home. Begitu dosen keluar dari kelas, aku langsung menghambur keluar menuju tempat sepi dan melepaskan 'tabungan perut'ku.

"Oke! Pelajaran untuk diingat. Merayakan ulang tahun dengan menghabiskan satu porsi besar sambal petei, salah besar. Jangan diulangi!" gumamku pelan sembari menuju kantin. Sepertinya aku harus minum banyak-banyak air putih.

"REGHA!!!!!"

Suara Zaki yang memanggilku membuat langkahku terhenti. Tubuhku sedikit menegang saat menunggunya mendekat. Selama ini Zaki hampir-hampir tak pernah mencariku. Kalau memang dia melakukannya. Itu artinya MASALAH! Kulihat dia memegang 2 buah buku tebal dan dokumen.

"Hei, listen. Kau jurusan akuntansi kan? Aku memerlukan keahlianmu. Kau selesaikan pembukuan mingguan panti minggu kemarin ok? Aku harus menyerahkan laporannya besok pagi. So this it! Ini contoh pembukuan mingguannya. Ini buku laporan mingguannya," kata Zaki tanpa menunggu reaksiku. Dia menyerahkan dua buku tebal itu padaku. "Dan ini transaksi yang terjadi minggu kemarin," katanya dan mengangsurkan setumpuk dokumen yang tebalnya kira-kira 10 senti.


"Sebanyak ini?! Bagaimana aku bisa menyelesaikannya?" protesku.

"Well, that's your problem. Kalau kau ingin menyelesaikannya tepat waktu, saranku, segera mulai! Dan juga masukkan kedalam laporan komputer yang formatnya ada dalam flashdisk ini," sahutnya cuek dan menyerahkan sebuah flashdisk padaku, "Ingat, laporan itu harus selesai malam ini juga. Besok pagi aku harus mengirimkannya ke Mommy! Kalau tidak, kita, terutama kamu, akan berada dalam masalah besar. Capiche?!!" jelasnya santai dan berlalu tanpa menunggu reaksiku.

Begitu dia hilang aku hanya mampu mengumpat keras. Pembukuan sebanyak ini butuh waktu berjam-jam untuk menyelesaikannya. Belom lagi memasukkan laporannya ke format elektriknya. Aku harus cepat-cepat kembali ke kost untuk meminjam laptop Ari sebelum kunyuk itu menghilang. Kalau dia keluar dari kost sore, baliknya minimal tengah malam.

"Hari ulang tahunku dan aku merayakannya dengan makan petei, kentut terus-terusan dan mengerjakan pembukuan panti yang membosankan. Hebat! Selamat ulang tahun Regha," gerutuku kesal pada diriku sendiri.

RIZKY


Hari ini berjalan lambat. Pasien-pasien langganan penyakit dalam sepertinya masih dalam keadaan baik, karena sedari tadi pagi hanya ada dua pasien yang datang. Waktuku yang sedikit tersita lebih banyak dihabiskan dengan ngobrol-ngobrol santai dengan Endah, Dina, dan Sovie. 3 orang perawat cewek yang membantu di bagian internist ini. Sementara Deffan, satu-satunya perawat cowok diantara kami lebih banyak mendengarkan, seperti yang sering aku lakukan.

Dia memang tidak banyak bicara. Entah karena dia satu-satunya perawat cowok, atau memang sudah karakternya. Padahal 3 orang rekan kerjanya adalah tipe-tipe perawat yang lumayan kelewat ramah. Hari ini mereka semua berhasil membujuk aku dan Ferdy untuk makan bersama di kantin

"Jadi kita masih kesulitan dalam mendiagnosa penyakit yang dideritanya Dok," jelas Sovie. Dia sedang menceritakan tentang sebuah kasus yang terjadi sekitar 4 tahun yang lalu. Ada seorang wanita tuna susila yang menderita sakit parah. Bagian genitalnya mengalami 'kerusakan' dan mengeluarkan bau yang cukup menyengat, sehingga bahkan para perawat itu bergidik saat menangani. "Waktu itu fasilitas laboratorium kita masih belum seperti ini. Sampel darah yang diambil tidak bisa memberi kami petunjuk tentang sakit yang dideritanya."

"Pada akhirnya kami mengirim sampel darahnya ke Rumah Sakit pusat di Bandung. Hasilnya datang dua hari kemudian. Dan dia. . . . " Endah menoleh pada kedua rekannya.

"Positif AIDS," pungkas Dina.

Ferdy mengangkat alis mendengarnya. "Benarkah? Sudah berapa kasus AIDS yang ditangani disini?" tanya Ferdy tertarik.

"Terus meningkat sejak saat itu Dok. Karena itu, pihak Rumah Sakit memutuskan untuk membentuk tim khusus untuk menanganinya," jelas Sovie.

"Sangat memprihatinkan kan Dok? Banyak para pekerja seks komersial yang buta mengenai AIDS. Yang mereka tahu, itu adalah nama sebuah penyakit menular yang belum ada obatnya. Sedikit sekali dari mereka tahu cara penyebaran atau pencegahan. Sebagian besar dari mereka adalah wanita-wanita berpendidikan rendah. Menjadi PSK kadang menjadi jalan keluar dari masalah yang mereka alami. Dan akhirnya malah menjadi profesi permanen yang bisa mereka lakukan," kata Dina, jelas terdengar sedih dengan nasib kaumnya.

"Dina pernah menjadi bagian tim?" tanya Ferdy lagi.

Dina mengangguk, "Hanya bertahan 2 bulan Dok. Nggak tahan dengan apa yang saya liat di lapangan. Karena itu saya mengajukan permintaan pindah. Suka kepikiran ma nasib mereka. Padahal mereka beresiko tinggi dalam mendapat ataupun menyebarkan penyakit itu, tanpa mereka ketahui," desahnya pelan. Aku yang jelas mendengarnya jadi cukup kaget. Yang aku tahu, Dina adalah salah satu perawat yang tangguh disini. Stamina dan kemampuannya cukup mengagumkanku. Jadi kalau sampai dia mengundurkan diri, berarti kondisi yang dia saksikan diluar jangkauan normal.

"Bukan hanya PSK yang beresiko tinggi kan Din?" sela Endah seraya meminum es teh-nya. "Para homoseksual juga dianggap tinggi. Bahkan di Amrik sana, seorang homoseksual dilarang dalam mendonorkan darah mereka. Kebijakan federal, karena mereka dianggap beresiko tinggi AIDS."

Komentar itu sedikit membuat aku mengernyit. Ferdy tampak lebih bisa menguasai diri. Sementara Deffan kulihat memandang Endah dengan intens.

"Temenku yang bilang. Dia melihatnya disebuah serial tv," jelas Endah singkat sembari mengangkat bahu.

"Ih masa sih? Tapi heran juga ya ma para gay itu? Ngapain juga mereka mau sama sesama jenis? Udah tahu itu nggak normal, tapi tetep aja banyak yang melakukannya. Dan mereka mengeluarkan berbagai dalih dalam membenarkan tindakan mereka," gerutu Sovie.

Aku benar-benar berada dalam situasi yang tidak mengenakkan sekarang. Ini tema yang lebih sering kuhindari. Sialnya, kalau aku mendadak pergi, aku takut itu akan memberi mereka ide yang salah dan menyusahkanku. Jadi aku mencoba untuk menahan diri. Ferdy sendiri tertawa kecil. Salut juga. Dia terllihat lebih bisa menguasai diri. Tapi kemudian mataku tertuju pada Deffan, yang jelas salah tingkah. Saat itulah aku sadar. Sikapnya yang kadang berlebihan dalam menghormati aku dan Ferdy, kecanggungannya dalam bersikap diantara kami, juga kilasan perasaan yang sering kurasakan, seakan-akan dia mengamatiku. Well, sekarang ini baru semuanya terjelaskan.

"Sovie, bermasalah dengan gay?" tanya Ferdy tertarik. Padahal aku berharap dia tak membahasnya.

"Itu kan tidak natural Dok," komentar Sovie, sementara Dina dan Endah hanya menatapnya.

"Tidak natural? Mencintai orang lain itu tidak natural?" tanya Ferdy lagi dengan senyum yang masih tersungging.

"Cinta? Mana ada sih cinta seperti itu Dok? Mencintai sesama jenis? Idih!" Sovie bergidik jijik.

Ferdy kembali tertawa kecil. "Baiklah, mari kita berbicara soal cinta sedikit. Nah Sovie dan kalian semua, apa pendapat kalian tentang cinta? Apa sih cinta?" tanya Ferdy dan mengedarkan pandangannya pada kami semua.

"Eeeuuh. . . cinta adalah perasaan yang kita rasakan saat kita ingin terus bersama dengan seseorang. Perasaan yang mendorong kita untuk memberi perhatian pada orang itu. Perasaan yang membuat kita nyaman berada bersama seseorang dan menghabiskan waktu kita bersama mereka," kata Sovie dengan nada ragu.

Lagi-lagi Ferdy tersenyum. "Bagus sekali, Vie. Yang lain?" tanya Ferdy.

"Cinta adalah. . . . " Endah bergumam dengan mata menerawang, ". . . perasaan yang membuat kita tidak bisa melupakan seseorang. Membuat kita terus ingin bersama dengan orang itu. Iya nggak?" tanya dia pada yang lain. Hampir semuanya hanya menjawab dengan gumaman tak jelas.

"Dina?" tanya Ferdy lagi.

"Kalo menurut Theresa L Crenshaw dalam buku The Alchemy of Love And Lust, ada sebuah hormon yang ada dalam tubuh kita yang bernama phenylethylamine atau singkatnya PEA. Dia bilang hormon ini diproduksi oleh tubuh kita saat kita jatuh cinta. Hormon PEA ini yang membuat kita bergembira dan mengalami perubahan hormonal. Tekanan darah dan suhu tubuh naik, jantung deg-deg an, tangan berkeringat dan lain-lain. Tapi sayangnya PEA ini nggak berumur lama. Ada yang bertahan dalam hitungan hari. Ada juga yang bisa bertahan sampai 3 tahun. Dengan kata lain, hormon ini tidak bertahan selamanya. Suatu saat dia akan mati juga," jelas Dina dengan kalem lalu meraih gelas jus jeruknya. Dia menyeruputnya seraya memandang berkeliling ke arah kami yang jelas diam bengong dengan cerocosannya tadi. Kecuali Ferdy yang tetap santai seperti tadi.

"Dina tertarik untuk menjadi Dokter?" tanyanya dengan senyum.

"Masih nabung buat kuliah Dok," jawab Dina lagi.

"Kalo begitu, kesimpulan Dina, cinta adalah. . . . ?"

"Nggak tau, Dok," jawab Dina dan mengangkat bahu. Endah dan Sovie yang mendengarnya hanya bisa menggerutu oleh jawabab cueknya.

"Deffan?" tanya Ferdy.

Deffan yang tertunduk diam sejenak, tampak berpikir. "Saya. . . tidak bisa menjelaskan dengan kalimat Dok. Karena menurut saya, cinta adalah perasaan yang harus kita rasakan. Dengan hati," jawabnya dengan malu-malu. Untuk beberapa saat lamanya kami terdiam.

"Itu penjelasan yang indah, Deff," kata Ferdy membuat Deffan semakin tersipu. Ferdy mengalihkan pandangannya padaku,

"Dokter Rizky?" tanyanya.

Aku mengangkat bahu, "Aku tak tahu," komentarku singkat. Endah dan Sovie juga Dina langsung protes mendengar jawaban singkatku. Aku hanya mengangkat bahu dengan reaksi mereka.

"Ayo dong Dok," bujuk Sovie.

"Iya! Kita kan pengen tahu juga pendapat Dokter Rizky!" dukung Endah yang di amini oleh Dina dan Sovie.

Aku hanya menghela nafas. "Apa yang bisa aku katakan? Shakespeare saja menanyakan apa itu cinta. Setahuku tak ada yang bisa mendeskripsikan dengan pasti, apa itu cinta."

"Dokter Rizky benar," tukas Ferdy setelah kami semua diam beberapa saat lamanya. "Banyak para pemikir yang membicarakan tentang cinta. Tapi mereka tidak menjabarkan deskripsi cinta itu sendiri dengan khusus. Tapi yang jelas, manusia diajarkan untuk saling mencintai. Bahkan buku paling laris didunia sepanjang masa, yang tiada hentinya dibaca oleh jutaan manusia saat ini, adalah buku tentang cinta," katanya.

"Buku paling laris?" tanya Dina penasaran.

"Harry Potter?" tanya Endah.

"Twilight?" sambung Sovie.

Ferdy tergelak mendengarnya. "Bukan. Kitab suci! Al-Qur'an," jelasnya kalem.

Kembali kami semua terdiam. "Kalau kalian pehatikan, banyak sekali kisah cinta yang terdapat dalam kitab suci. Adam dan Hawa. Yusuf dan Zulaikha. Nabi Ibrahim dan Siti Hajar dan masih banyak lagi. Kalau kalian perhatikan juga, disana berulang-ulang dibahas akan bentuk cinta beserta bentuknya yang lain. Cinta orang tua pada anak, Cinta Tuhan pada makhluknya, bahkan cinta Nabi kita pada umatnya. Intinya adalah kitab suci mengajarkan tentang cinta. Menyarankan kita untuk mencintai. Jadi kita sepakat saja pada satu hal itu. Kitab suci juga mengajarkan Cinta. Nah cinta sendiri memang misteri yang hingga kini terus dibicarakan dan coba untuk dipahami oleh manusia diseluruh dunia. Tapi belum ada definisi pastinya. Yang jelas, cinta itu sendiri memiliki banyak spektrum yang kompleks. Dan kalau kalian bisa simpulkan dari definisi cinta yang kalian berikan tadi, semua orang punya pendapat berbeda. Cinta juga banyak memiliki bentuk dan jenisnya. Sudah ratusan tahun manusia membahasnya, tapi cinta tak pernah berhenti berkembang. Hingga detik ini, pembahasan tentang cintapun tak berhenti. Dan belum ada seorangpun yang bisa mengerti arti cinta yang sebenarnya.
Coba kutanya, kalian pernah jatuh cinta pada orang yang salah?" tanya Ferdy.

"Maksudnya Dok?" tanya Sovie.

"Jatuh cinta pada seseorang yang tidak semestinya. Jatuh cinta pada saudara dekat, suami orang atau pacar orang?"

Sovie dan Endah langsung bersemu merah mendengarnya.

"Sangat membingungkan bukan? Kalian tahu hal itu tidak boleh, tapi siapa yang bisa mengendalikan cinta? Berapa banyak tokoh besar didunia yang takluk dihadapan cinta? Banyak sekali. Dan kalau kalian mau melihat disekeliling kalian, banyak sekali contoh kedahsyatan cinta. Banyak orang yang mau melakukan sesuatu, di luar nalar normal kita, hanya karena cinta. Tapi bukankah cinta itu indah? Bukankah mengasihi dan menyayangi orang lain itu baik? Jadi kenapa harus dipermasalahkan bagaimana bentuk cinta itu? Well, kecuali bila cinta kita itu menyakiti orang lain. Atau mungkin bila cinta kita itu bisa merugikan orang lain, mungkin kita harus berpikir ulang apakah cinta kita itu benar. Tapi bila cinta itu datang dengan tulus dari kedua belah pihak, dan tidak merugikan orang lain, kenapa harus dipermasalahkan? Bahkan bila cinta itu terjadi diantara dua orang pria."
Hening lama.

"Tapi. . . . " Sovie mencoba memecah keheningan, ". . . itu kan bertentangan dengan ajaran agama. Dosa kan?" tukasnya pelan.

"Kalaupun itu dosa, siapa yang akan menanggungnya Vie? Kamu? Atau mungkin akan lebih tepatnya pertanyaannya adalah, siapa yang memiliki hak untuk menghukum si pendosa itu. Kamu? Pemerintah? Atau mungkin pihak kepolisian? Ingat, kita bicara diluar konteks kriminal sekarang. Apa dan siapa yang memberi hak pada mereka untuk menghukum si pendosa itu? Terlebih lagi, siapa yang memberi mereka hak untuk mengatakan mereka pendosa?"

Ferdy mengedarkan pandangannya ke semua orang,

"Sepanjang yang aku tahu, dosa itu adalah urusan antara sang Khalik dan umat-Nya. Dosa itu akan ditebus, dipertanggung jawabkan oleh sang pelaku nanti, kepada Tuhannya. Bukan kita, masyarakat umum. Karena kalau memang begitu, mungkin kita semua harus dihukum oleh masyarakat karena telah menggunjingkan PSK tadi, karena itu juga sebuah dosa. Kalian mau?"

"Bagaimana dengan agama Dok? Kalau Dokter membenarkan itu, maka Dokter sama saja membenarkan orang untuk melakukan dosa lain, seperti berzina misalnya," tukas Endah.

"Apa aku tadi membenarkan gay ataupun zina?" tanya Ferdy balik.

"Enggak juga sih, tapi kata-kata Dokter tadi seakan-akan Dokter menyetujuinya," jawab Endah.

"Aku hanya menunjukkan bahwa cinta itu indah, dan diajarkan oleh semua agama dan juga kitab suci kita. Kalau kita bicara agama, itu berhubungan dengan hubungan seorang pemeluk dan Tuhannya. Agama itu adalah tuntunan. Dan agama memberitahu kita jalan. Jalan dalam menjalani hidup kita didunia agar kita bisa bahagia kelak diakhirat. Agama memberitahu kita bagaimana jalan kebaikan, dan jalan keburukan, berikut konsekuensinya. Jika kau menempuh jalan ini, maka ini lah yang kau dapat. Jika kau melakukan dosa itu, inilah hukumannya. Itu yang ditunjukkan oleh agama. Tapi mau atau tidaknya menjalani, KITA-lah yang pada akhirnya menjadi penentu. Kita bebas menentukan pilihan mana yang akan kita ambil. Kita bebas mengambil keputusan. Bahkan kita bisa saja menjadi seorang atheis yang tak ber-Tuhan.

Dan kalau kita melakukannya, aku yakin tak akan ada yang terjadi pada diri kita. Setidaknya didunia. Kalau di akhirat, aku tak bisa menjaminnya. Kalian tahu kenapa? Karena kita punya hak penuh dalam menentukan hidup kita. Sama dengan zina atau hubungan seks sesama jenis. Diri kita sendiri yang memiliki hak penuh untuk memutuskan, apakah kita mau melakukannya atau tidak. Tiap individu memiliki kebebasan dalam bertindak. Karena tiap individu itu akan bertanggung jawab atas keputusannya itu terhadap diri dia sendiri, dan Tuhan. Kalau dipaksa, bukankah itu sama dengan diperkosa?

Tapi yang harus diingat, kita dibekali oleh hati dan pikiran untuk bisa menimbang, mana yang baik dan mana yang buruk.
Aku tak membenarkan gay, Sovie, harap diingat. Apalagi zina. Tidak! Aku hanya mengatakan bahwa kita memiliki hak untuk menentukan hidup kita, tapi kita tidak punya hak dalam menentukan hidup orang lain. Orang bebas mau melakukan apapun dengan hidup mereka. Sama seperti kau bebas memeluk kepercayaan yang kau anut sekarang. Dan dosa yang dilakukan oleh seorang pelaku agama, itu adalah tanggung jawab penuh seorang hamba dan Tuhannya. Hak kita hanya sebatas mengingatkan mereka, kalau- hanya kalau- kita merasa itu salah. Tapi untuk memaksanya melakukan sesuatu, itu bukan kuasa kita. Apalagi menghukum orang tersebut hanya karena menurut kita, orang itu melakukan dosa. Hanya Tuhan yang berhak menghukum dan memberi label pendosa pada manusia. Bukan sesama manusia.

Dan aku tak mempunyai masalah dengan gay. Kau tahu kenapa, karena aku melihat cinta disana. Cinta yang tulus antara sesama dua manusia yang berusaha saling membahagiakan. Aku tak melihat keburukan disana, karena agamaku meyakinkanku bahwa cinta itu baik untuk kita.

Semua agama mengajarkan cinta. Bahkan, andaikan semua manusia didunia ini memiliki cinta yang tulus seperti itu, aku yakin tak akan ada yang namanya perang, pembunuhan ataupun kerusuhan serta kelaparan didunia ini. Itu yang aku yakini," tutup Ferdy.

Sedari tadi aku hanya mampu diam mendengarkan Ferdy, dan kini, aku tak mampu menahan diriku untuk tersenyum padanya. Dia benar-benar memiliki kebijakan yang seharusnya dimiliki oleh semua orang. Sayangnya aku tahu, bahwa beberapa orang diantara kita memiliki pikiran picik dan melakukan kerusakan dimasyarakat dengan mengatas namakan agama. Orang-orang yang merasa dirinya lebih baik dari orang lain,hanya karena mereka meyakini sebuah ajaran tertentu, tanpa mau melihat dirinya sendiri yang jelas jauh dari suci. Bahkan andaikan mereka mau menelaah lebih dalam, sikap mereka jauh dari orang yang beragama. Karena aku yakin, tak ada satupun agama didunia ini yang menganjurkan umatnya untuk menyakiti manusia lain. Semua agama mengajarkan kebaikan, cinta dan perdamaian. Bukan kerusakan, angkara murka, atau menyakiti sesama. Semua agama baik, hanya pemeluk mereka saja yang kadang menyalah artikan ajaran yang mereka dapat.

Sering aku merasa malu pada saudara-saudaraku diluar sana yang meneriakkan benih-benih kebencian sembari mengumbar kalimat-kalimat suci dari al-kitab. Kalimat-kalimat yang sejatinya digunakan untuk menyebarkan cinta dan perdamain, malah mereka gunakan untuk menanam benih-benih kebencian dan perpecahan.

Aku menghela nafas panjang lalu mengalihkan pandanganku pada Deffan yang memandang Ferdy dengan tatapan penuh terimakasih. Ada ketenangan dan damai dalam senyum yang tersungging dibibirnya. Ferdy yang juga melihat itu hanya mengangguk samar.

"Dalam banget dok," desah Dina setelah mampu menguasai dirinya.

"Iya. Gak nyangka diskusi kita bisa berujung seperti ini," sambung Endah.

"Jadi. . . . Dokter Ferdy benar-benar tidak bermasalah dengan gay?" tanya Sovie seolah-olah ingin meyakinkan dirinya. Sepertinya dia masih belum puas.

"Ya, Sovie. Aku tak memiliki masalah dengan mereka. Dan kalau aku bisa memberi saran, sebaiknya kau juga. Mereka juga manusia sepertimu, yang memiliki hak bagaimana dan seperti apa mereka menjalani hidup. Selama mereka tidak mengambil hakmu atau menyakitimu, kau tidak harus bermasalah dengan mereka kan?"

"Apa Dokter pernah berhubungan dengan mereka? Atau mungkin Dokter juga. . . . "

"VIE!!!" hampir bersamaan Dina dan Endah menegur temannya.

"Jangan kelewatan dong!" tegur Dina.

"Maaf, Dok! Teman saya yang satu itu memang kadang tak tahu batas," ujar Endah dan mendelik pada Sovie yang hanya mampu tersipu.

Ferdy kembali tertawa, "Well, Sovie memang cukup blak-blak an. Kau ingin tahu apakah aku juga gay Vie?" tanya Ferdy santai. Dina dan Endah mengeluarkan suara terkesiap pelan, sementara Sovie hanya mampu menyengir. Deffan tampak waspada. Aku melihat ke arah Ferdy dengan sedikit khawatir. Tak mungkin dia akan berterus terang kan? pikirku agak panik.

"Fer?" tegurku pelan. Tapi dia hanya tersenyum mendengarku.

"Bagaimana menurut Sovie? Apa aku pantas menjadi gay?" tanyanya masih dengan senyum.

"Jangan dong Dok! Kan sayang kalau orang kayak Dokter gak mau lagi ma perempuan," jawab Sovie sembari tersenyum malu.

"Akan lebih sayang kalau orang seperti dia gay'," desis Dina tiba-tiba dan menunjuk kearah pintu kantin dengan dagunya.

Suara desahan kagum yang mereka keluarkan kemudian membuatku ikut memalingkan muka.

"Mas Rizky!!!" panggil Regi yang berjalan kearahku diikuti oleh Vivi dan kemudian. . . . Zaki.

Rasa-rasanya jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat.

ZAKI


Aku menemukan Vivi dan Regi menunggu dilapangan parkir tak jauh dari mobilku. Aku cepat cepat mematikan alarm mobilku dan memberi tanda pada Regi dan Vivi untuk segera masuk, sebelum ada orang yang melihat mereka. Akan kacau jadinya. Apalagi kalau sampai Jordan The Big Mouth melihat mereka berdua menungguku. Aku celingukan sejenak, memeriksa sekelilingku. Sepertinya aman, batinku dan segera masuk.

"Jadi. . . . bagaimana persiapannya?" tanyaku dan langsung menghidupkan mobil, cepat-cepat keluar dari area kampus.

"Sebagian besar beres. Kue bisa kita ambil nanti sore. Tempat sudah siap. Dekorasi sudah selesai siang ini. Catering dan beverage sudah confirm. Undangan sudah diberitahu, tinggal satu orang yang masih belum bisa dihubungi," jelas Regi deng efektifitas seorang asisten profesional yang membuatku cukup terkesan.

"Siapa?" tanyaku sedikit heran karena tinggal satu orang saja yang belum bisa mereka jangkau.

"Mas Rizky," jelas Vivi kalem, "Kami nggak tahu nomor hapenya. Dan karena ini rahasia, jelas kami gak bisa membiarkan orang tuanya tahu kan?"

"Bukankah dia. . . "

"Putra tunggal dari Bu Indri, rumah makan tempat Regha bekerja. Yep, kami tahu itu," potong Vivi.

Hmmmm. . . . justru aku yang belum tahu tentang hal itu, batinku.

"Satu-satunya informasi yang kami dapatkan dari Regha adalah tempat dia praktek sekarang," sambung Regi.

"Dimana?" tanyaku. Regi menyebutkan nama sebuah rumah sakit yang belum pernah kudengar. Tentu saja aku mengerutkan kening mendengarnya.

"Ada diluar kota. Kira-kira satu jam perjalanan," jelas Vivi melihat kebingunganku.

"Kalian ada kegiatan setelah ini?" tanyaku dan melirik sebentar pada mereka yang duduk dikursi belakang. Aku bahkan terlalu fokus pada apa yang sedang kami rencanakan untuk mengeluh bahwa aku lebih terlihat sebagai sopir mereka sekarang. Mereka menggeleng dengan ekspresi bingung.

"Bagus. Kita ke rumah sakit itu saat ini juga. Aku ingin mengundang si Rizky ini secara pribadi. Kalian bisa menunjukkan jalannya kan?" tanyaku cepat. Untuk sejenak mereka berdua saling berpandangan, tapi kemudian mengangguk, masih dengan ekspresi yang sedikit bingung.

Aku biarkan saja mereka seperti itu.

Aku tak tahu berapa banyak informasi yang mereka tahu tentang hubungan Regha dan si Rizky. Mereka berdua mungkin teman akrab Regha tapi aku tetap tak mau mengambil resiko. Bisa saja Regha merahasiakan pada mereka berdua kalau Rizky pernah mengatakan kalau dia menyukai Regha. Aku tak mau menjadi orang yang membawa hal itu ke permukaan. Selain bukan urusanku, aku juga tak mau dianggap sebagai penggosip kurang kerjaan.

Kami sampai dirumah sakit itu setelah satu setengah jam berkendara. Bukan rumah sakit yang besar, tapi sepertinya cukup sibuk. Tanpa membuang waktu, kami segera menuju tempat informasi. Regi segera mengambil alih peran. Dengan santai dia mendekati wanita yang berjaga.

"Maaf Mbak, ada Dokter Rizky?" tanya Regi.

"Anda pasien atau. . . " matanya berhenti padaku. Aku hanya tersenyum tipis dan itu cukup membuatnya tak mampu melanjutkan kalimatnya.

"Kami temannya mbak. Ada kabar yang harus kami sampaikan padanya secara pribadi," jawab Regi lancar dengan akting yang membuatnya layak mendapatkan Oscar.

"Oh. . . Dokter Rizky biasanya ada di kantin sekarang. Mas silahkan aja jalan lurus kebelakang. Kantin ada di belakang gedung rumah sakit ini," jelasnya pada Regi, meski matanya sepertinya lebih tertuju padaku.

"Terimakasih," jawab Regi dengan senyum simpul. Dia segera memberi tanda pada kami untuk mengikutinya. Aku yang sebenarnya tak suka suasana Rumah Sakit segera
mengikutinya. Rumah sakit ini sama dengan rumah sakit lain.

Atmosfir yang terasa cukup menyesakkanku. Mengingatkanku saat Dad sakit, dan aku membencinya. Bau campuran antara pembersih lantai, disinfektan, obat dan berbagai macam penyakit yang membayang diudara selalu membuatku sedikit merinding dan tak nyaman. Benar-benar menekan. Aku heran kenapa banyak orang yang suka bekerja disuasana yang menekan seperti ini. Bukankah akan lebih menyenangkan bekerja disebuah kantor yang luas, nyaman, ber-AC dan jauh dari kuman dan virus? Apa enaknya coba kalau setiap hari kita harus bergumul dengan berbagai kuman yang bisa membuat sakit? Doctors are weird.

"Mas Rizky!!" seru Regi dan langsung memburu ke arah Rizky yang jelas terlihat kaget dengan kedatangannya. Dia menjabat tangan Regi lalu Vivi meski wajahnya tampak bingung. Kulihat bola matanya sedikit membesar melihatku.

"Hai. . . " sapaku datar, "Ada yang ingin kami sampaikan. Bisa meluangkan sedikit waktu kan?" tanyaku tanpa mengulurkan tangan.

"Y-yah. Tentu saja. S-silahkan duduk," katanya mempersilahkan kami untuk duduk di meja kosong yang ada disebelahnya. Dia yang sepertinya tadi asyik makan siang dengan rekan-rekan kerjanya cukup bisa mengatasi kekagetannya melihat kami. Aku hanya tersenyum tipis pada beberapa rekan kerjanya yang memperhatikan lalu mengambil satu kursi dan duduk didepannya. Sementara Regi dengan cekatan menempatkan dirinya disebelah Rizky. Sepertinya anak yang satu itu berminat padanya. Sayang Rizky sudah mendapatkan orang yang disuka, batinku.

"Kalian mau minum atau. . . "

"Tidak usah repot-repot," tolakku dan mengangkat tangan,

"Aku tak biasa makan atau minum di Rumah Sakit. Jadi kau bisa tenang. Kita bisa langsung ke urusan kita kalau kau tidak keberatan," tawarku dengan senyum.

Rizky tampak tertegun sejenak, "Te-tentu saja. Silahkan. Apa yang bisa kulakukan untuk kalian?"

"Regi, kau punya undangannya?" tanyaku yang segera dijawab dengan anggukan oleh Regi. Dia meraih ke dalam tasnya dan mengulurkan sebuah undangan yang langsung ia ulurkan pada Rizky.

Rizky membacanya sejenak dan dia lalu mendongak, melihat ke arah Regi dan Vivi dengan tatapan tanya. "Siapa yang. . . "
"Aku yang mengadakan acara itu untuk Regha," jelasku singkat dan menatapnya langsung, "Mungkin kau heran, kenapa aku melakukannya? Beberapa waktu kemarin, Regha mengajakku ke kampung halamannya," kataku. Informasi itu tampak mengejutkan Rizky. Dia sontan melihatku.

"Regha. . . mengajakmu?" gumamnya heran.

"Regha mengajakmu ke kampung halamannya?" tanya Regi dengan sedikit senyum terkulum dibibirnya.

"Yep! Dan keluarga Regha begitu terbuka dan baik. Mereka sangat menerimaku. Dan Mamah, maksudku Ibu Regha, beliau yang memintaku memanggilnya begitu, dengan baik hati merayakan ulang tahunku disana. Aku hanya ingin membalas kebaikan mereka semua dengan melakukan ini untuk Regha," jelasku santai.

"Ibu Regha merayakan ulang tahunmu disana?" tanya Regi lagi.

Aku tersenyum padanya, "Yep. Beliau membuatkanku. . . what do you call it, tumpang is it?"

"Tumpeng?" bantu Vivi.

"Yes, that one. Mamah membuatkanku itu. She is amazing. Beliau Ibu yang baik. Aku sangat terkesan dengan beliau. Aku ingin sekali membalas kebaikan beliau. Apalagi beliau juga menitipkan Regha padaku."

Keterangan itu menciptakan sebuah keheningan yang cukup lama dimeja kami. Aku hanya melihat mereka yang terpaku dengan senyum geli.

"Say what?" tanya Regi.

"You heard me! Mamah berpesan agar aku menjaga dia. Dengan kata lain, kalau ada orang yang mau macam-macam dengan Regha, dia harus berurusan denganku dulu," jelasku santai tapi aku menatap langsung ke arah Rizky saat mengatakan.

"Beliau. . . . benar-benar mengatakan itu?" tanya Regi dengan nada tak percaya.

"Yes," jawabku tegas, "Is it hard to believe?" tanyaku sedikit kesal.

"Well. . . kami saja yang berteman agak lama dengan Regha belum pernah bertemu dengan keluarganya. Kau pertama kali kesana, dan ibunya memberikan pesan itu padamu?" tanya Regi menegaskan.

"In other words, you don't believe me, do you?" tanyaku balik. Regi tak menjawab, tapi hanya mengangkat bahunya. "Fine!" aku meraih ponselku dikantong celana. Aku mencari nomor Asti dan memanggilnya. Sembari menunggu telepon tersambung, aku mengaktifkan loud speaker agar mereka semua bisa mendengar pembicaraan kami.

"Halo, A Zaki?" sapa Asti diseberang dengan nada antusias.

Aku tertawa kecil mendengarnya, "Halo Asti. Apa kabar?" tanyaku berbasa-basi.

"KYAAAA!! baik A! Aa Zaki, kangeeeeenn!! Kapan maen kesini lagi?" tanya Asti balik, merajuk.

"Kapan-kapan kalau ada kesempatan pasti maen. Mamah ada As? Aku mau bicara dengan beliau," pintaku.

"Ada A. MAMAAAAAAAAHHH!!! IEU AYA AA ZAKI TELEPON!!!!" teriak Asti. Terdengar suara sedikit ribut, sepertinya dia berlari.

"Haduuuhh!!! Naha kudu gogorowokan atuh? Tong kitu atuh isteri mah, awon!" terdengar gerutuan Mamah. (Kenapa berteriak sih As? Anak cewe jangan gitu dong tingkahnya!)

"Aa Zaki Mamaaahhh!!" seru Asti lagi.

"Halo, Zaki?" sapa Mamah diseberang.

"Iya Mah. Ini Zaki. Apa kabar?" sapaku balik.

"Baik kasep. Semua baik disini. Abah dan Agus sedang keluar. Kasep ada apa telepon? Regha baik-baik saja kan?" tanya Mamah dengan nada khawatir.

"Baik Mah. Semua baik-baik saja," jawabku menenangkan.

"Syukurlah. Mamah jadi lega. Jangan lupa pesan Mamah ya, kasep? Titip Regha," kata Mamah.

Dengan senyum penuh kemenangan aku melihat kearah tiga orang yang kini memandangku ternganga. "I told you so," bisikku, "Iya Mah. Ini Mah, Zaki cuman mo ngasih tau, hari ini kan ulang tahunnya Regha. Jadi Zaki mau buat pesta kecil buatnya," jelasku.

"YAAAAHH!! AA ZAKI KOK GAK NGUNDANG ASTI?!!!" protes Asti yang langsung dibentak oleh Mamah untuk diam.

"Aduh kasep, kok malah ngerepotin gitu? Teu kedah kitu. Engke ngaheseukan anjeun nyalira," katta Mamah. Aku menoleh pada Regi. Ia mengerti dan menerjemahkan kalimat terakhir Mamah padaku.(Nggak perlu begitu. Nanti malah nyusahin kamu)

"Nggak kok Mah. Zaki pengen bales apa yang Mamah lakukan dulu. Mamah kan sudah merayakan ulang tahun Zaki kemarin," ujarku. Mamah yang ada diseberang hanya tertawa kecil mendengarnya.

"Ya sudah, kalau memang itu maunya Zaki. Terimakasih ya kasep? Salam saja buat Regha," ujar Mamah.

"A ZAKII!! KIRIM KADO KALO ASTI ULANG TAHUN NTAR YAA?!!" pinta Asti.

Aku jadi tersenyum geli dengan kemanjaannya. "Gampang kalo itu. Kalo gitu kapan-kapan disambung lagi ya? Salam buat Abah dan Agus," pungkasku.

"Iya A. Salam buat A Regha ya?" ujar Asti. Aku hanya mengiyakan dan menutup panggilanku. Sesudahnya aku melayangkan pandanganku pada mereka semua.

"Ada yang ingin ditanyakan?" tantangku. Regi dan Vivi hanya nyengir dan menggeleng. Rizky sendiri seakan-akan berubah menjadi patung. Dia sama sekali tak bergerak dari posisinya. "Well, you heard yourselves, kalau Mamah memintaku menjaga Regha. Karena itu, wajar kalau aku melindunginya dari orang-orang yang ingin memanfaatkannya. So, back to our topic, Rizky, kau bisa meluangkan waktu kan?" tanyaku dan kembali menatap Rizky langsung.

Dia sedikit kaget an berusaha mengendalikan diri secepat mungkin, "Y-ya. Te-tentu saja," jawabnya agak gugup.
"Great! Then we're done. Kita bisa pulang sekarang. Regi, Vivi?" ajakku dan segera bangkit. "And one more thing, Regha tak tahu apapun tentang hal ini, so we'll really appreciate if u keep it that way too. Senang bertemu denganmu,Rizky. See you tonight," pamitku dan langsung berjalan pergi tanpa menyalaminya. Aku ingin segera hengkang dari tempat beratmosfir penyakit ini.

"Okay, what was that?" tanya Regi penasaran saat dia berhasil menyusulku.

"Apa?" tanyaku pura-pura tak mengerti.

"Oh cut it out! Kau sama saja mengancamnya tadi. Kenapa kau melakukannya?" tuntut Regi.

"Mengancam?" ulangku dan menampikan ekspresi bingung, "Don't be ridiculous. I don't even know that guy. Tadi adalah pertama kalinya kami berbicara. Untuk apa aku mengancamnya?" tanyaku balik.

"You know it, don't you?" tanya Vivi penasaran,"Kau pasti tahu. Regha memberitahumu?"

"Tahu? Tentang apa?" tanyaku balik. Regi dan Vivi hanya saling memandang tanpa menjawabku. "Aku tak tahu apa yang kalian maksud. Aku tadi hanya menyampaikan fakta beserta buktinya pada kalian. Atau mungkin. . . . ada sesuatuyang ingin kalian beritahu padaku?" tantangku. Lagi-lagi mereka hanya saling memandang dan diam, "I thought so. Sudahlah. Masih ada beberapa hal yang harus kita kerjakan. Let,s find a restaurant. I'm hungry, and I ain't gonna eat here for sure," kataku meninggalkan mereka berdua yang masih saling menatap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar