RIZKY
Suara tone ponsel yang mengalunkan sebuah karya
musik Mozart membangunkanku. Aku mengerang sembari menutup telingaku dengan
bantal. Suara itu tak berhenti. Dengan susah payah aku mencoba membuka mataku
yang sangat berat.
Siapa sih yang nelpon jam segini? pikirku jengkel.
Kemaren adalah hari yang sangat melelahkan. Dokter Stevan tak masuk karena ada
seminar di Jakarta. Ferdy tiba-tiba izin tidak masuk juga. Sialnya, hari itu
banyak sekali jadwal pasien lama, sementara beberapa pasien penyakit dalam
baru, tiba-tiba saja menyerbu. Aku dan yang lain dibuat cukup kelimpungan. Kami
bahkan harus melewatkan jam istirahat kami. Dan aku sudah memutuskan untuk
tidur nyenyak sesampainya dirumah, tapi ponsel sialan itu lupa kumatikan, dan
sekarang sedang berbunyi nyaring membangunkanku.
Aku melihat jam digitalku yang juga berfungsi
sebagai alarm. Jam 4.30 pagi?!!!! Gila!! Siapa sih?!!! Dengan terseok aku
bangkit menuju meja belajar, tempat aku menaruh ponselku semalam. Keningku
berkerut saat melihat nama Ferdy yang muncul di layar. Aku segera mengangkat
panggilannya.
"Rizky?" sapa Ferdy di seberang dengan
suara pelan yang terdengar lelah.
"Ada apa, Fer?" tanyaku balik dengan suara
berat oleh kantuk yang masih menggelayut.
"Maaf membangunkanmu. Tapi......... bisa tolong
jemput aku di bandara sekarang?" pintanya.
Aku tak langsung menjawab, tapi duduk di kasurku dan
mengucek mataku, "Bandara?" ulangku tak mengerti. Namun beberapa saat
kemudian aku baru sadar kenapa kemarin Ferdy tak masuk.
"Ya, Bandara," sahut Ferdy.
"Aku akan segera kesana. Tunggu, ok?"
kataku dan segera mematikan ponsel. Aku langsung ke kamar mandi untuk cuci muka
dan sikat gigi. Setelah berganti pakaian aku keluar ke kamar dan melihat Ibu
yang sepertinya baru saja shalat. Beliau masih mengenakan mukenanya.
"Mau kemana Ky?" tanya Ibu heran.
"Ada temen yang minta bantuan buat dijemput di
Bandara Bu. Rizky keluar dulu," pamitku sembari buru-buru pergi.
"Hati-hati Ky!!" pesan Ibu yang hanya
kujawab dengan gumaman pelan.
Aku melajukan mobilku dengan cukup kencang di
jalanan Bandung yang saat ini begitu lengang. Kontras dengan suasana siangnya
yang hiruk pikuk dan macet. Lampu-lampu lintas yang kulewati memberi ilusi
sekilas seakan-akan mereka menggantung di udara yang dingin. Pikiranku yang
sudah siaga melayang ke beberapa hari kemaren.
Setelah pembicaraan kami yang cukup intens waktu
itu, Ferdy lebih banyak menghindariku. Dia selalu mengusahakan agar saat
bersamaku, minimal ada 1 orang lain lagi bersama kami. Aku mencoba kembali
mengajaknya bicara, tapi Ferdy menolaknya. Dia akan memilih meningalkanku kalau
aku mulai membicarakannya. Karena tak tahan dengan perlakuannya, suatu malam,
aku muncul didepan pintu kontrakannya.
Begitu melihatku, Ferdy langsung berusaha menutup
pintu. Tapi aku bergerak lebih cepat dan menahan pintu itu dengan satu kakiku.
"Fer, kita harus bicara!" kataku.
"Tak ada yang harus kita bicarakan Ki. Tolong
cabut kakimu," pintanya pelan dengan nada final.
"Ada yang harus kita bicarakan, kau tahu itu!
Buka pintunya!!" pintaku dengan kejengkelan yang tak lagi ku sembunyikan.
Ferdy menampakkan sedikit wajahnya di pintu,
"Tolong jangan buat semuanya bertambah sulit. Please," pintanya pelan
dengan mata memohon.
Kalau dia mengira tatapannya itu membuatku menuruti
permintaannya, Ferdy salah besar. Dengan tindakannya itu, dia makin
meyakinkanku bagaimana perasaannya yang sebenarnya. Dia tak akan bisa bertahan
dengan semua ini. Aku yakin dia akan makin menderita. Jelas-jelas dia keberatan
dengan keadaannya. Perasaan geram yang sedari kemarin ku tahan akhirnya memuncak.
"Buka pintu ini!!!" pintaku dengan geraham
tertutup. Kutatap dia dengan tajam.
Ferdy diam sejenak lalu menghela nafas berat. Dia
menunduk kalah dan akhirnya membuka pintunya untukku. Dengan cepat aku
membukanya dan masuk. Ferdy mengangkat tangannya kalah. Dia lalu berbalik untuk
melangkah menuju sova. Tapi dengan cepat aku menyambar tangan kanannya lalu
menyentakkannya. Dia jatuh ke dalam pelukanku. Dan sebelum dia bisa bereaksi,
aku menciumnya. Lidahku menyapu permukaan bibirnya yang tertutup, menggodanya
untk membuka.
Ferdy mencoba melepaskan diri begitu dia bisa
menguasai kekagetannya. Dia mendorong tubuhku kuat-kuat. Tapi aku menahannya,
dan ganti membalikkan tubuh Ferdy dan mendorongnya ke dinding. Punggungnya
menabrak dinding dengan cukup keras. Matanya terbelalak kaget.
"KII??!!!"
Hanya satu patah itu yang bisa dia katakan dengan
nada terperangah. Detik berikutnya aku sudah menahan tubuhnya dengan tubuhku
sendiri. Bibirku dengan segera menyatu dengan bibirnya. Lidahku kembali
menggoda permukaan bibirnya yang dia tutup rapat-rapat, menolakku. Dia kembali
mencoba untuk berontak melepaskan diri. Tapi aku menghimpitnya rapat ke
dinding. Tanganku kemudian kuarahkan ke kerah bajunya. Dan dengan sebuah
sentakan keras, aku menyibakkan kemejanya. Ada bagian kemejanya yang terdengar
robek. Sementara kancingnya lepas, mental entah kemana. Ferdy hanya bisa
mengeluarkan suara pekikan tertahan.
Dia kembali berontak.
Tanganku yang sudah bebas menjelajahi permukaan
dadanya, beralih ke sisi tubuhnya. Turun ke pinggang. Bagian tubuhnya yang
paling sensitif. Ferdy mengerang lirih karenanya, bibirnya terbuka. Sebelum
sempat dia kembali menutupnya, lidahku kususupkan ke dalam rongga bibirnya.
Menyentuh lidahnya, menggodanya untuk bereaksi. Gerakan tubuh Ferdy yang
tadinya keras, kini menjadi semakin lemah. Aku tahu kalau sebentar lagi aku
menang. Aku melepaskan kulumanku pada bibirnya dan menatap matanya.
Tak ada suara. Hanya suara tarikan nafas kami yang
kini terdengar keras dan memburu.
"Ki....... jangan," pintanya pelan diantara
usahanya untuk bernafas normal.
Aku hanya kembali menggeram dan menciumnya. Tanganku
kini bergerak ke bagian depan tubuhnya, melepas ikat pinggangnya. Segera
kususupkan tanganku kedalam dan mengusap organ vitalnya pelan. Ferdy kembali
mengeluarkan suara erangan, namun kali ini terdengar berbeda. Dan aku tahu
kalau aku sudah menang. Akupun menariknya menuju kamar.
Paginya saat hendak pulang, aku berbisik di
telinganya, "Aku ingin kau kembali. Putuskan dia."
Dan akupun pergi meninggalkannya, yang aku tahu
sudah bangun sedari tadi.
Ferdy tak mengatakan apapun lagi setelahnya. Dia
kembali diam dan menghindariku tiap kali aku mencoba mendekatinya. Puncaknya
adalah kemarin dia mendadak tidak masuk. Tapi siapa sangka kalo dini hari ini
dia memintaku untuk menjemputnya di bandara Husein Sastranegara.
Saat aku sampai, aktivitas di bandara cenderung
biasa. Tidak seramai siang hari, meski aku bisa melihat beberapa penumpang yang
hendak masuk ataupun keluar bandara. Aku hampir tidak melihat Ferdy yang
berdiri diam di sebelah sebuah coffee shop. Dia memegang sebuah gelas
storyfoam. Sebuah kacamata hitam bertengger di hidungnya, sehingga aku
berkernyit. Pagi-pagi seperti ini dia menggunakan sunglasses?
Aku mendekat padanya. Saat kami hanya berjarak tiga
meter aku baru mulai menyadari kondisinya yang lain dari normal. Satu sisi
wajahnya terlihat lebam, dan ada luka di sudut bibir kanannya. Luka yang masih
terlihat baru dan aku yakin masih terasa perih. Mungkin. karena itu gelas yang
dia pegang masih penuh.
"Fer...." mataku menelusuri wajahnya. Dia
terlihat..... kacau. Tanganku sudah terangkat hendak menyentuh wajahnya, tapi
Ferdy memalingkan mukanya, menghindar.
"Aku lelah," katanya singkat dan melangkah
mendahuluiku.
Ferdy tak mengatakan apapun setelah itu. Bahkan saat
kami kembali melaju di jalanan, menuju kontrakannya. Dia memilih duduk diam
bersandar tanpa membuka kaca matanya. Aku yang akhirnya tak tahan. Tanpa bisa
kukendalikan, tanganku terulur menarik lepas kaca mata itu sembari terus
mengendalikan mobil. Dan aku jadi sedikit terkesiap saat kutemukan mata
kanannya tampak membiru dan merah. Jelas
seseorang telah memukulnya. Mataku menelusuri wajah Ferdy yang bersandar
sembari memejamkan mata, dan juga seluruh tubuhnya. Selain wajahnya, aku tak
tahu lagi bagian mana dari tubuhnya yang terluka. Tapi aku tak perlu bertanya
lagi untuk mengerti apa yang menyebabkannya mendapat semua luka itu. Aku sudah
bisa menduganya.
"Kau............ baik-baik saja?" tanyaku
pelan.
Ferdy tak menjawab. Tapi saat aku menoleh sekilas padanya,
kulihat dia telah membuka matanya dan menatapku datar. Kurasakan ada sedikit
gumpalan yang tiba-tiba saja menyumbat tenggorokanku. Aku kembali melihat ke
arah jalan yang di depanku. Masih sepi. Aku kembali melihat ke arah Ferdy. Aku
terkejut saat mendapati pipinya telah basah oleh air mata.
Aku segera menepikan mobilku.
"Fer....."
"Aku benar-benar membencimu saat ini. Kau tau
kan?" bisiknya lirih.
Aku yang memandangnya hanya tersenyum tipis dan
mengangguk, "Aku tahu," balasku pelan dan meraihnya ke dalam
rengkuhanku. Membiarkannya menumpahkan semua yang dia rasakan saat itu.
ZAKI
Aku diam di kantin dengan sekaleng orange juice
dingin di tanganku. Bisa kurasakan beberapa mahasiswa memperhatikanku dengan
tatapan ingin tahu. Sementara cewek-cewek yang ada disana, kulihat beberapa
kali mencuri pandang padaku. Aku mengacuhkan mereka semua. Aku memang jarang
nongkrong di kantin ini. Jadi mungkin itu memancing rasa ingin tahu mereka. Well,
I say hell with 'em. Hari ini aku disini untuk menunggu Jordan. Pertemuan
tak sengaja kami di Blitzmegaplex waktu itu menyisakan tanya yang belum terjawab.
Dan hari ini, aku akan memastikan Jordan untuk memberiku jawaban. Aku bukan
orang usil yang senang ikut campur urusan orang. Tapi aku tak ingin Jordan
melakukan sesuatu pada Vivi. Terlebih lagi setelah reaksi Regha waktu itu.
Dia tak berbicara padaku sepatah katapun sesudahnya.
Dia menjaga jarak dan dengan terang-terangan memasang wajah dingin. Suasana
selama kami berempat nonton bareng jadi lebih mirip dua pasangan yang sedang
merundingkan perceraian. Beberapa kali aku menoleh pada Regha, tapi dia dengan
sengaja menghindariku. Vivi duduk dengan wajah tegang dan hanya nyengir kecil
saat mata kami berpapasan. Jordan lebih parah lagi. Dia lebih memilih menatap
layar bioskop seolah-olah sedang menikmati film yang diputar, padahal aku bisa
melihat keningnya yang berkeringat. Kalau tidak begitu, dia pasti akan
menancapkan matanya ke bawah. Menghindari kami semua. Saat berpamitanpun terasa
luar biasa janggal dan kaku.
Atmosfir di mobil saat aku dan Regha kembali dari
PVJ lebih mirip ladang ranjau yang suatu saat bisa meledak hebat. Aku mencoba
mengajaknya bicara, tapi jawabannya selalu singkat dan dengan jelas
mengindikasikan padaku kalau dia lebih memilih untuk diam saja. Aku mencoba
menahan diri, meski sulit. Dan semuanya pecah begitu kami kembali berada di ruang
kerjaku di rumah.
"WHAT THE HELL WAS THAT?!!!!!!"
tuntut Regha wajah memerah. Belum pernah aku melihatnya seperti seperti
sekarang. Gurat kemarahan yang jarang terlihat di wajahnya kini tampak jelas.
"Maksudmu?" tanyaku yang waktu itu juga
bingung. Tak mengerti apa yang dia maksudkan.
"Jordan!! He's one of your guys kan?!
Orang yang dulu jelas-jelas menghina dan memandang remeh Vivi. Dan sekarang dia
mengajaknya kencan?!! What kind of sick plan do you people have for her?!!"
Aku ternganga mendengar kalimatnya itu, "Kau
menuduhku merencanakan sesuatu dengan Jordan untuk ngerjain Vivi? Itu maksudmu?
Aku berkonspirasi dengan Jordan?!!" tanyaku tak percaya.
"Apa ada kemungkinan lain?! Kau tiba-tiba
berubah sikap akhir-akhir ini! Kau bersikap luar biasa aneh tanpa sebab. And
now this?!! Apakah tidak kebetulan semuanya terjadi pada waktu yang
berdekatan?!"
Kemarahanku terpancing dengan cepat, tapi aku masih
mencoba menahan diri. Saat ini kondisi Regha sedang labil. Dia sangat
mengkhawatirkan Vivi, sahabatnya. Aku bisa memahami itu. Tapi kalau dia
menumpahkan semuanya padaku, dia jelas memilih orang yang salah. Karena aku
sendiri pun tak tahu apa-apa, "How the heck did I know?"
balasku dengan nada tanya.
"Zaki, dia salah satu temanmu," desis
Regha.
"So?!! Meski begitu, masing-masing dari
kami memiliki kebebasan pribadi. We're not together 24/7 for God sake!
Bagaimana aku bisa tahu apa yang dia lakukan di waktu luangnya!"
Regha memejamkan mata sejenak. Dia lalu menarik
nafas panjang, mencoba mengendalikan diri. Begitu dia membuka mata, dia memang
terlihat cukup tenang, meski matanya yang menatapku masih membara, "Zaki,
I warn you. Vivi adalah salah satu orang terhebat dan sahabat terbaik yang
aku miliki. Dia banyak membantu saat aku dalam kesulitan. Dan aku tak akan
tinggal diam saja kalau dia disakiti. Dan aku tak peduli siapa yang harus ku
hadapi. Akan ku pastikan dia membayarnya. I want you to remember that!"
Aku hampir kehilangan kendaliku mendengarnya.
Sialan!! Dia benar-benar berpikir kalau aku ada sangkut pautnya dengan semua
ini. Dia berpikir kalau aku berkomplot dengan Jordan untuk menyakiti Vivi.
Seberapa rendah memangnya aku dimatanya? Aku berjalan mendekatinya tanpa
melepaskan mata kami yang beradu pandang.
"Dan harus kau ingat, aku juga tak akan membiarkan
orang yang ku kenal tersakiti didepan mataku. Hal itu juga berlaku untuk Vivi.
Mungkin sulit bagimu untuk percaya, but I need to remind you about
something, I-do-have-a-heart!" kataku dengan suara rendah dan sedingin
mungkin. Ku tekankan setiap kata dari kalimat terakhir yang ku ucapkan tadi.
"We'll see," sahut Regha. Lalu
tanpa berkata apa-apa lagi dia mengambil tasnya dan pergi meninggalkanku.
Aku mengumpat keras setelah kepergiannya.
Aku sudah mengenal Jordan. There's no way in hell
he's interested in Vivi. Selama ini kami cukup sering hang out bareng. Dan
aku cukup tahu sepak terjangnya. Mulut besar dan tingkah tengilnya kadang
membuatku jengkel. We are cool, tapi aku tak akan tinggal diam kalau dia
memperlakukan Vivi seperti cewek-cewek yang biasanya kami bawa. Jadi aku akan
membuat pengecualian dalam kasus ini.
Well, speak of the devil!
pikirku yang melihatnya berjalan dari arah lapangan parkir. Dia bersama dengan
Reno, Noval dan Alvan. Aku segera bangkit dan mendekati mereka.
"GUYS!!!!" panggilku. Mereka
langsung berhenti begitu mendengarku.
"Zake, you're here? Tumben lebih awal
dari kami semua?" cela Noval nyengir.
Aku mengangkat bahu,"Got something to do.
Jordan, dude. Can I talk to you for a sec?" tanyaku langsung pada
Jordan yang mulai terlihat gelisah dan sedikit gugup. Dia sepertinya lebih
memilih untuk menolak kalau saja dia mampu. Tapi aku tak memberinya kesempatan
untuk melakukannya, karena aku langsung menggamit lengannya. Sedikit
menariknya, kembali ke arah lapangan parkir yang lebih sepi, "Kalian jalan
saja dulu. Nanti kami susul," kataku pada yang lain.
Aku menggiring Jordan menuju mobilku yang alarmnya
segera ku matikan. Aku memberi isyarat padanya untuk masuk. Jordan menurutinya
meski terlihat enggan.
"A-ada ap- apa Zake?" tanya Jordan setelah
aku masuk ke tempatku.
Aku melihatnya langsung, "Vivi?!! Really?!!"
tanyaku balik, sedikit menyentak.
"Ke-kenapa memangnya?" tanya dia lagi,
gugup. Keringat mulai bermunculan di keningnya, meski ac di mobil telah
menyala.
"You called her Ganesha the other day! You
despise her! Sekarang kalian berkencan?!! What the heck is wrong with
you?!!"
Jordan semakin terlihat gelisah, "Oh come
on, Zake! It's no-nothing, ok. Kami hanya kebetulan saja ketemu disana. Tak
ada sesuatu di antara kami. Do you really think we're on a date?"
Aku langsung menatapnya tajam atas komentarnya tadi,
"Look, Jordan. Aku tak suka ikut campur urusan orang. I don't
give a damn about what you do with your life. But I know Vivi. I respect her.
Jadi, kalau kau macam-macam dengannya, kau akan menjawab padaku. You got
that?"
Sesaat Jordan terlihat terperangah oleh reaksiku.
Dia menatapku tak percaya, "Ada apa sih denganmu? Apa sebenarnya
hubunganmu dengan Vivi? Atau temannya si Regha itu? Beberapa waktu yang lalu,
kau tak akan peduli dengan mereka. Hell, you didn't even know they're exist.
Kenapa sekarang kau bersikap seakan-akan mereka adalah teman baikmu?!"
"Bukan urusanmu!" jawabku dengan geraham
terkatup rapat.
"Dan apa yang kulakukan dengan Vivi, juga bukan
urusanmu!"
"I don't give a shit as long as you don't
hurt her!" sahutku cepat, "Tapi kalau kau memperlakukannya dengan
buruk seperti semua cewek yang pernah dekat denganmu, aku akan membuatnya
menjadi urusanku. Remember that!" kataku dingin.
"Lalu bagaimana dengan Regi? Apa kau juga akan
menjadi pelindungnya juga?"
"Leave-them!!" komentarku singkat.
"Ada apa sih denganmu dan para banci itu?!!! You
know what, if I don't know you, aku akan mengatakan kalau kau cemburu
padaku. Yang aku yakin pasti salah, coz I know you ain't gonna like her.
Jadi kadang, kau membuatku hampir berpikir kalau kau, menyukai salah satu dari
banci itu. Entah itu Regi, atau si Regha."
Aku harus mencengkeram setir kuat-kuat, mencegah
tanganku yang sudah gatal untuk meraih krah baju Jordan, "Aku hanya akan
mengatakannya sekali Jordan, stop calling them that!" kataku
memperingatkannya. Jordan benar-benar membuatku tak tahan, "Get out dan
ingat saja apa yang ku katakan."
Jordan mendengus keras, "Whatever,"
gerutunya pelan dan keluar.
Aku diam disana selama beberapa waktu. Tanganku
masih mencengkeram kuat kemudi mobilku, sehingga buku-buku jariku tampak
memutih. Kata-kata Jordan tadi benar-benar membuatku hampir hilang kendali.
"DAMN IT!!!!" makiku keras sembari
memukul setir mobilku dengan keras. Dia salah!! batinku hampir tak tahan
untuk berteriak. I ain't queer! Aku bukan salah satu banci seperti yang
dia sebutkan tadi. Aku masih suka cewek. Hell, aku selalu suka cewek! Tak
pernah sekalipun aku berpikir, ataupun membayangkan bahwa aku akan membenci wanita.
Apa lagi hanya menyukai pria. Aku tak tertarik pada cowok manapun. Well,
kecuali Regha. Aku tak bisa menyangkal kalau anak dodol itu menggelitikku. Tapi
itu kan tidak berarti kalau aku gay! Hal itu tidak bisa dijadikan patokan baku
bahwa aku banci dan penyuka sesama jenis. Karena aku jelas-jelas menyukai
cewek!
SHIT!!!
Aku hanya bisa kembali mengumpat dalam hati. Karena
bahkan, meski aku berusaha menyangkalnya, terkadang aku meragukan diriku
sendiri. Ada saat-saat dimana aku menanyakan arti dari apa yang kurasakan
beberapa waktu belakangan ini. Kehadiran Regha yang cukup intens akhir-akhir
ini terasa berbeda bagiku. Mulanya aku lebih merasa kesal dengan sikapnya yang
sering ceroboh. Niat awalku hanya ingin memberikan sedikit pelajaran untuknya.
Tapi semakin kesini, ada saat dimana aku terlupa akan apa sebenarnya tujuanku
melibatkan Regha dalam kehidupanku. Kehadirannya lebih terasa normal dan memang
sudah semestinya. Gilanya lagi, ada saat-saat dimana kadang aku menunggu
kehadirannya. Ada saat dimana kadang aku hampir merasa bahwa aku ........
memerlukan keberadaannya di sekitarku. Hanya dengan tahu bahwa dia ada di
dekatku, aku sudah merasa .......... bahwa hari itu sudah benar dan lengkap.
Sementara hari dimana dia tak ada disana......... aku merasa ada yang salah dan
kurang.
Keberadaannya nyaris membuatku merasa utuh
dan............ nyaman! And that's beyond weird!!! Everything is weird about him!
Bahkan akupun kadang jadi aneh saat bersamanya.
Contohnya saja beberapa hari kemarin saat aku
mengajaknya bersantai di ruang entertainment kamarku. Dengan santainya aku
berbaring berbantalkan pahanya. Aku bahkan dengan santainya memintanya untuk
mengusap-usap kepalaku. Seumur-umur, belum pernah aku melakukan hal itu. Tapi
aku harus mengakui kalau aku............ menyukainya. Aku tak terbiasa dengan
sikap yang intim dan melankolis seperti itu. Aku lebih sering bersikap praktis
dan seperlunya. Tapi efek yang ditimbulkan oleh tindakan sederhana itu begitu
melekat di hatiku. Aku bahkan menginginkan semua itu terulang. Tapi aku tak
suka bahwa aku, menginginkan hal itu terulang. Aku tak menyukai perasaanku yang
berharap bahwa hal itu, bukanlah terakhir kalinya kami melakukannya.
Fakta bahwa aku merasa begitu nyaman berada didekat
Regha sering membingungkanku. Dan kalimat yang diucapkan Jordan tadi semakin
membuatku merasa aneh. Tapi aku bisa dengan yakin mengatakan kalau dia salah
besar! I ain't queer! Karena seorang gay tak akan tertarik pada
seorang cewek yang memiliki pantat seperti itu, batinku saat melihat
seorang mahasiswi bertubuh sintal dengan lekuk-lekuk yang menggiurkan, keluar
dari sebuah mobil sedan yang berhenti tak jauh dari mobilku.
Aku keluar dari mobilku tanpa melepas pandanganku
darinya. Dia menoleh, menyadari keberadaanku didekatnya dan sebuah senyum segera
merekah di wajahnya. Aku bersandar pada mobilku dan terus memandangnya.
"Like what you see?" tanya dia
dengan nada yang menggoda.
"Maybe," jawabku lalu berjalan
mendekatinya, "Kalau kau mau mengatakan siapa namamu dan kenapa aku tak
pernah melihatmu selama ini," lanjutku dengan sebelah alis terangkat.
Cewek itu tertawa kecil sembari mengibaskan
rambutnya yang hampir menyentuh pertengahan lengannya itu ke belakang,
"Mungkin karena selama ini kau selalu di kuasai oleh Emma, Zaki. Thank
God, kau sudah lepas dari cengkeraman nenek sihir itu. I'm sure that's
the reason why you can see me now," jawabnya ringan.
Giliran aku yang tertawa kecil sekarang,
"Mungkin saja. Now, wanna tell me your name?"
"Anna," jawabnya singkat sementara matanya
menelusuri wajahku.
"Anna..........." gumamku pelan, "Care
to give me your number?"
Dia melipat kedua tangannya didepan dadanya,
sehingga gundukan menggoda payudaranya itu semakin terlihat jelas, "Why
should I?"
"Well......... aku memerlukannya karena
aku akan mengajakmu dinner malam ini. Tertarik?" tanyaku.
Anna hanya tersenyum simpul. Tapi beberapa saat
kemudian dia membuka tas tangannya dan menyerahkan sebuah kartu nama padaku,
"Kuharap kau sesuai dengan berita yang beredar, Zaki," ujarnya pelan
sembari sengaja menyentuh telapakku lebih lama dari yang diperlukan.
Aku tersenyum mendengarnya, "Baby,
apapun yang kau dengar, aku akan melipat gandakannya untukmu," jawabku
dengan tatapan menggoda. Anna hanya tertawa kecil lalu berbalik pergi,
meninggalkan bau harum parfumnya yang lembut.
Awesome! I have a date tonight!
pikirku dan segera melangkah meninggalkan lapangan parkir yang mulai agak sepi.
Aku sudah hendak berbelok menuju ruang kelassku saat ujung mataku menatap
bayangan Vivi yang berdiri di dekat wc bersama dengan................. Jordan.
Aku berdiri diam ditempatku tanpa melepas pandanganku dari mereka. Beberapa
saat kemudian Vivi menyadari keberadaanku. Dia mengatakan sesuatu pada Jordan
yang kemudian melangkah pergi, sementara Vivi menghampiriku.
Dia berhenti sekitar 2 meter didepanku. Aku diam
saja, menunggunya untuk memulai.
"Sepertinya kita harus bicara," katanya
singkat dengan nada seperti menyerah.
Aku hanya mengangkat bahu, "What about?"
tanyaku, berusaha terdengar acuh.
Vivi mendengus keras, "Kau tahu jelas tentang
apa. Aku juga harus menjelaskannya pada Regha. He pissed!"
"You bet he is! Dia juga menuduhku
bersekongkol dengan Jordan untuk mencelakaimu," tukasku ringan.
Vivi mendelik kaget dengan mulut ternganga,
"Oooh Zaki, I'm sorry. Aku akan menjelaskan semuanya pada Regha dan
juga Regi. Sebelum ada perang sipil disini. Kau bisa meluangkan sedikit waktu
nanti sepulang kuliah?" pintanya. Aku kembali hanya mengangkat bahu untuk
menjawabnya. Vivi tersenyum lebar, "Great! See you later, ok?"
ujarnya dan segera berlalu.
Aku hanya memandangnya pergi sambil tersenyum.
REGHA
Aku kembali menggerutu saat tak menemukan Vivi di
kantor redaksi. Yang ada justru Regi yang tampak mengetik artikelnya.
Sepertinya dia sudah mendapatkan ide untuk topik yang akan dia angkat bulan
depan. Aku segera mendekatinya dan meletakkan tasku disebelah laptopnya dengan
keras, merasa kesal karena sedari tadi aku muter-muter, tapi belom ketemu juga
dengan Vivi.
"TUYUL BENCONG!! EH, TUYUL!!" pekik Regi
sembari memegang dadanya kaget, "Rumpik!!! Ngagetin aja jij ah!! Adinda
ampar nek?! Muka jij serem gitu. Jadi tambah keliatan jeleknya,"
komentarnya singkat dan kembali mengetik.
"Lo liat Vivi?" tanyaku langsung.
"Tinta! Kenapa diana?" tanya Regi balik dengan nada bingung.
"Gue perlu bicara ma dia," jelasku singkat
tanpa menjabarkan lebih lanjut.
Kening Regi semakin berkerut heran, "Ampar sih
Nek?! Sumpah muka jij gak enak banget diliatnya. Jij berantem ma diana?"
kejarnya.
Aku menghembuskan nafas keras, "Gue ga berantem
ma dia. Tapi Vivi udah bertindak bodoh! Kemaren malem gue mergokin dia kencan
ma Jordan," kataku akhirnya, tak tahan juga untuk mengungkapkan alasan
kekesalanku.
Regi bengong bego. Dia menatapku melongo dengan
mulut yang menganga lebar. Jelas dia shock mendengarku tadi,
"Kencana? Sama
Jordan? Anak tengil itu? Salah satu anggota gengnya si Zaki?" tanyanya
beruntun, meminta kepastian.
Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk kaku sembari
menahan amarahku. Sumpah tak habis pikir! Vivi sudah tahu bagaimana sikap si
Jordan itu. Bahkan Regi saja menyebutnya tengil. Jadi apa yang membuatnya mau
untuk pergi kencan dengan Jordan coba? Bener-bener deh! Kalau sampai benar Zaki
ikut andil di belakang semua ini..........................
Aku hanya kembali mengumpat pelan! Aku sudah hampir
kembali mengeluarkan uneg-unegku pada Regi saat kulihat tiba-tba saja Vivi
muncul di depan pintu ruang redaksi. Dia nyengir salah tingkah ke arah kami
berdua, lalu melangkah mendekat dengan pelan. Dia berhenti didekat kami dan
untuk sejenak menarik nafas panjang.
"Jordan?!
Really?!!!" cetusku mendahuluinya langsung tanpa menyembunyikan
kejengkelanku.
"Gue tahu gue berhutang penjelasan. Gue janji
akan jelasin semuanya nanti sepulang kuliah, ok?" katanya. Dan dia segera
mengangkat tangannya, mencegah Regi yang sepertinya sudah tak tahan untuk
berkomentar, "Apapun itu pertanyaan jij, ikke akan jawab nanti. Semuanya!
Tapi nanti! Bisa kan?" katanya.
Aku berpaling pada Regi yang hanya bisa mengangkat
bahu. Sepertinya dia pikir itu ide yang baik. Aku hanya bisa menggerutu karenanya.
"Fine! Kita bicarakan nanti,"
jawabku dingin dan cepat-cepat bangkit untuk segera menuju kelasku. Kalau aku
tetap berada disana, mungkin aku akan mendesak Vivi. Semua bisa berakhir ricuh.
Jadi mungkin sebaiknya aku memang harus pergi dulu, untuk sekedar menenangkan
diri.
Waktu seakan-akan berjalan dengan lambat hari itu.
Aku sudah tak sabar menantikan penjelasan Vivi. Apapun itu, satu hal yang pasti
adalah aku harus berusaha mengembalikan kesadarannya. Aku tahu dia punya hak
memilih siapapun untuk jadi pacarnya. Tapi kalau pilihannya itu jelas-jelas
orang brengsek yang hanya akan menyakitinya, aku harus ikut campur. Aku akan
berusaha semampuku untuk menyelamatkan Vivi dari tindakan bodohnya itu.
Aku sebenarnya bisa maklum akan Vivi. Kadang kupikir
dia berada di ambang keputus asaan. Beberapa kali dia sempat curhat akan
keadaannya. Dengan kondisi fisiknya, Vivi terkadang merasa rendah diri. Apalagi
dalam urusan asmara. Dia terlalu sering gagal atau berakhir tersakiti. Beberapa
kali dia menyukai cowok yang tak pernah bisa menerimanya. Ada saat-saat dimana
dia sedang labil dan menyalahkan kondisi tubuhnya yang termasuk dalam kategori
subur itu sebagai penyebab segalanya berjalan buruk. Berbeda dengan cewek-cewek
lain yang ramping dan kurus. Vivi berukuran lebih daripada mereka. Hal itu
membuatnya minder dan tidak percaya diri. Sempat dia diet ketat dan malah
sedikit over. Berat badannya memang sedikit berkurang, tapi hasilnya dia
ambruk. Maag dan sakit lambungnya langsung kumat.
Andai saja dia tahu............
Vivi memiliki banyak kelebihan yang tidak dimiliki
oleh cewek-cewek lain yang ku kenal. Dia begitu baik, cerdas, berpengetahuan
luas, berpikiran terbuka dan suka menolong. Aku adalah bukti hidup dari semua
aksi mengagumkannya. Dia bukan cewek rese yang suka ribut mengurus penampilan
luar fisiknya. Dia mampu berempati dengan orang lain. Wajahnya juga tidak masuk
kategori jelek. Terlepas dari tubuhnya yang subur, Vivi memiliki kulit bersih
dan mulus. Andai saja dia lebih bisa menghargai dan membanggakan dirinya
sendiri tanpa memikirkan orang lain yang hanya bisa menangkap kekurangannya.
Bagiku Vivi memiliki nilai dan harga lebih. Bahkan terlalu berharga untuk
seorang Jordan yang tengil itu. Meski cowok itu berfisik bagus, tapi tingkah
sengaknya membuatnya tak layak menjadi pedamping Vivi. Vivi berhak mendapatkan
orang yang bisa menerima dirinya apa adanya. Menghargainya dan menyayanginya
dengan tulus. Dan aku yakin Jordan bukanlah orang itu. Dan Vivi tidak harus
jadi desperate begini sehingga dia harus membuang-buang waktunya dengan
Jordan.
Ya Allaah.................
Aku menghembuskan nafas kesal!
Dan Zaki..............
Kukira semuanya telah benar-benar berubah. Bahwa
akhirnya aku tahu dia memiliki sisi lain yang bisa mengesankanku. Sisi yang
berbeda dari sisi lainnya yang selama ini dia tunjukkan. Tapi lihat sekarang!
Tepat disaat aku mulai berpikir berbeda tentangnya, masalah seperti ini
langsung muncul ke permukaan. Sepertinya aku terlalu terburu-buru dalam
mengambil kesimpulan tentang cowok separu bule itu. Sial!!!
Tak pernah aku merasa selega ini saat kuliah
berakhir. Cepat-cepat aku memberesi barang-barangku. Kalau aku tak salah ingat,
jadwal Vivi dan Regi telah berakhir satu jam lebih awal dariku. Jadi
kemungkinan mereka sudah menunggu. Saat aku hendak meraih tas ranselku, ponsel
yang ku kantongi berbunyi. Sebuah sms masuk. Aku segera membacanya.
Gw tunggu di redaksi
From : Vivi
Pilihan bagus, pikirku. Kalau sekarang ruang redaksi
pasti sudah sepi dari yang lain. Jadi kami bebas bicara. Aku segera bergegas
kesana. Aku berjalan sembari melatih kata-kata yang nanti sekiranya nanti akan
bisa kugunakan untuk menyadarkan Vivi. Aku sudah memiliki dugaan beberapa
bantahan yang mungkin akan dikeluarkan oleh Vivi. Dan aku sudah menyiapkan
sanggahannya.
Yang tak kuduga adalah saat aku mendapati Zaki telah
duduk dalam ruang redaksi itu menungguku, bersama Vivi dan Regi. Dia duduk
dengan diam sembari membaca sebuah buku, apapun. Melihatnya disana, entah
kenapa aku mendapatkan perasaan lain yan membuat ruang redaksi ini seperti
ruangan yang berbeda. Padahal aku sudah terbiasa berada disini. Zaki memberi
kesan yang tak biasa di ruang ini. Seakan-akan kehadirannya harus membuat dia
terlihat mencolok dan harus diketahui. Vivi berdiri di belakangnya sembari mengutak-atik
ponselnya, sementara Regi yang mengetik mengangkat mukanya, menyadari
kedatanganku.
"Sutra dateng jij?" sapanya singkat
sembari menekan beberapa tombol di laptopnya, lalu menutupnya.
Vivi menoleh padaku yang melangkah pelan masuk ke
ruangan itu. Aku memilih duduk diseberang Zaki yang kini juga melihatku.
"What are you doing here?" tanyaku
padanya tanpa menutupi keherananku.
Zaki mendengus keras, "Vivi yang memintaku
datang, no thanks to you!" sahutnya dengan nada sarkas.
"Gue emang memintanya buat dateng Gha,"
potong Vivi yang kemudian duduk di sebelah Zaki. Dan entah karena alasan apa,
aku tak menyukai hal itu.
"Apa harus?" tanyaku lagi pada Vivi.
"See what I was talking about?!"
tukas Zaki pada Vivi dan menatapku sinis.
"Gha, please," pinta Vivi dan
menatapku dengan memohon, "Gue ngerasa berhutang penjelasan pada kalian
semua. Gue emang jalan dengan Jordan. Sudah lebih dari sebulan ini. Biar gue
jelasin dulu, Gha!" tukasnya cepat, membuatku yang sudah hendak nyolot
akhirnya menutup mulutku.
Aku menghela nafas dan menyandarkan punggungku di
kursi. Zaki tampak duduk tenang, melihat semuanya dengan santai seakan-akan
sedang menonnton sebuah acara televisi. Bahkan Regi yang biasanya aktif dengan
celetukan-celetukannya tampak tenang sekali hari ini. Sedikit tidak biasa
bagiku. Vivi sendiri tetap memohon padaku dengan pandangannya.
"Mungkin sebaiknya lo duduk disini,"
katanya sembari bangkit dari kursinya. Aku hanya mengangkat sebelah alisku
mendengarnya, "Akan lebih mudah bagi gue ngomong kalo gue hadapin langsung
kalian, sekalian. Please," pintanya lagi.
Aku kembali menghela nafas panjang bangkit untuk
duduk disebelah Zaki, sambil berusaha sedapat mungkin agar tubuh kami tidak
bersentuhan. Aku belum siap untuk melakukan kontak dengannya. Tidak sebelum semuanya
jelas. Zaki sendiri hanya mencibir sinis dengan reaksiku. Sebodo amat lah!
"Okay," kata Vivi yang kini berdiri di
hadapan kami bertiga. Dia menarik nafas panjang, "Gue akan jelasin
kejadiannya dari awal saja,"
"Biar aku saja."
Kami semua secara hampir berbaringan berpaling ke
arah pintu. Jordan berdiri disana dengan wajah sedikit cemas tapi penuh tekad.
Dia lalu berjalan masuk dengan langkah ragu, mendekat ke arah Vivi yang sedikit
ternganga dengan kehadirannya. Okay! It's getting more interesting,
pikirku kecut sambil menatap Jordan tajam.
"Kamu ngapain kesini segala?' tanya Vivi pada
Jordan.
Jordan tersenyum tipis dan memandang pada kami
semua. Saat matanya tertumpu pada Zaki, kulihat tanpa sadar dia menelan ludah,
lalu cepat-cepat kembali melihat pada Vivi, "Aku cowok. Aku yang harusnya
jelasin semua ke mereka," katanya pelan.
Fine! Satu poin untuknya atas sikap
ksatrianya itu, pikirku masih tetap dengan sarkas.
"Bareng?" tawar Vivi sembari tersenyum.
Kali ini Jordan tak menjawab, hanya tersenyum dan mengangguk. Hanya baru pada
saat itu aku bisa melihat semuanya dengan jelas. My God!! Mereka
benar-benar terlihat seperti benar-benar saling menyukai. Entah itu nyata, atau
kalau tidak, sepertinya Jordan memiliki bakat akting yang bagus. Cara mereka
saling melihat.................. Sial!!! Belum pernah sekalipun aku melihat
Vivi memandang seseorang dengan tatapan seperti itu.
Apalagi cowok!
Mereka berbalik, kembali menghadap ke arah kami
dengan kedua tangan yang masih bersatu. Jordan terlihat masih salah tingkah,
meski saat dia bertatapan dengan Zaki yang masih duduk tenang di sebelahku,
ekspresi wajahnya menjadi agak mengeras. Dia menarik nafas panjang, seakan-akan
mengumpulkan kekuatan.
"I'm serious Zake," katanya, jelas
ditujukan pada Zaki, "Aku tahu mungkin kau sulit mempercayainya, but I
do like her. In fact, I love her," sambungnya kemudian. Kalimat
terakhir bukan hanya mengagetkan kami bertiga, tapi juga Vivi. Dengan mata
terbelalak dan mulut terbuka dia kembali berpaling pada Jordan yang berdiri
disampingnya,"Itu benar," katanya lagi meyakinkan Vivi dengan suara
lembut.
"K-ka-kamu gak pernah bilang
ka-kalau.........." Vivi tergagap. Dia bahkan tak mampu menyelesaikan
kalimatnya.
"Well, aku barusan sudah mengatakannya
kan?" katanya sembari tersenyum menatap Vivi lembut. Tangannya kembali
meremas jemari Vivi yang digenggamnya.
"Then why are you keeping it a secret?"
celetuk Zaki kemudian, sedikit mengagetkan kami semua. Kedua orang didepan kami
jadi sedikit terpana, dan kembali fokus pada kami. Zaki sendiri masih duduk
tenang, menatap keduanya dengan tatapan datar.
"Zake............"
"Kenapa kau harus menyembunyikan kedekatan
kalian?" tanyanya lagi. Kali ini aku menangkap sedikit nada menegur dalam
kalimatnya. Nada yang biasanya dia gunakan saat dia memarahiku atau pegawai
lain. Ekspresinya wajahnya yang datar membuatnya terlihat dingin.
Jordan tampak menahan ludah sejenak, "Ak-aku...
a-aku.........."
"Malu?!" potong Zaki sedingin es. Atmosfir
di ruangan itu mendadak berubah seakan-akan turun menjadi beberapa derajat di
bawah nol. Jordan semakin terlihat gelisah, tapi dia tetap berada di tempatnya,
mencoba bertahan dari serangan kawannya itu.
"I was......."
"What the.........."
"Come on Zake! Gimme a break, ok?!"
potong Jordan akhirnya cepat, "Kau tahu sendiri kalau Vivi bukanlah
golongan yang biasa kita ajak hang out bareng. Kau bisa bayangkan bagaimana
reaksi anak-anak lain kalau tahu aku jalan dengannya. Aku akan jadi bahan
lelucon. They'll never stop!"
Aku sontan berdiri dengan geram, "HEY!!!"
"Tapi aku benar-benar menyukainya!" lanjut
Jordan bahkan sebelum aku bisa mengeluarkan sebuah kalimat untuk mengecam
komentarnya tadi, "Aku selalu suka dia. Bagiku dia hebat dan...........
menakjubkan. Aku tahu kalau aku pernah mengatakan hal buruk tentangnya.."
"Kamu menyebutnya Ganesha," celetuk Regi
yang sedari tadi hanya diam.
"Dan aku sangat menyesalinya!" sambung
Jordan cepat, "Justru itu yang membuatku menyukainya. Aku selalu menyukai
cewek yang lebih berisi daripada 'cewek model wanna be' yang bahkan terlalu
takut untuk menyantap french fries dan fried chicken kesukaanku. Bagiku
mereka cuma sekumpulan cewek sinting tanpa daging. Mereka terlalu takut
memiliki lekuk-lekuk ditubuh mereka. Hanya sekumpulan orang kelaparan dengan
tulang belulang yang tampak jelas. Bagiku orang seperti Vivi, terlihat lebih
hidup dan imut."
Penjelasan itu sedikit membungkam kami. Aku sendiri
tak menyangka kalau orang seperti Jordan dengan lingkungan sosialnya yang penuh
dengan cewek-cewek populer, sesungguhnya justru tak tertarik pada mereka yang
berlomba-lomba menjadi kurus seperti seorang model. Jordan adalah tipe-tipe
cowok keren pada umumnya. Selalu berpakaian gaul dan ber-merk. Berwajah menarik
dengan tubuh yang terjaga dan tampak gagah. Selalu terlihat keren dengan
teman-temannya yang rata-rata sama. Bersama dengan cewek-cewek seperti Emma dan
yang lain. Cewek-cewek cantik berpakaian minim yang menampakkan bentuk tubuh
mereka. Cewek-cewek yang selalu menjaga penampilan dan akan langsung diet ketat
begitu timbangan tubuh mereka naik satu ons saja. Tapi nyatanya................
"Yeah, mulanya aku malu mengakuinya. Aku tak
mau teman-teman kita menganggapku memiliki fetish aneh yang tak bisa mereka
terima. Karena itu aku menyembunyikan semuanya," sambung Jordan.
"Jadi karena itu kau bersikap seperti cowok
brengsek di depan Vivi?" cetus Regi lagi, "Kau bersikap seenak udel,
menghina dia didepan umum, tapi dibelakang gerombolanmu, kau
mengejar-ngejarnya. Tidakkah menurutmu itu menunjukkan betapa picik dan
sempitnya jalan pikiranmu? Atau mungkin lebih tepatnya seorang munafik bermuka
dua yang pengecut?"
AUCHH!!!
batinku. Regi mulai menunjukkan taringnya. Kasihan Jordan. Wajahnya sontan
bersemu merah, sementara Vivi melotot kesal pada Regi yang justru cuek dan
santai saja.
"Ok, mungkin aku layak mendapatkannya,"
komen Jordan pelan.
"In a way, you do," imbuh Zaki,
membuatku nyengir kecut, makin merasa kasihan pada Jordan.
"Aku juga tak langsung mempercayainya Ki,"
kata Vivi mencoba nimbrung, "Saat pertama dia mendekatiku, kukira dia
hanya ingin menjahiliku. Menghinaku seperti biasanya. Tapi............ dia
sudah membuktikannya."
"Dengan apa?!" celetukku yang akhirnya tak
tahan untuk diam saja.
"Dengan terus berusaha mendekatiku dan
menunjukkan keseriusannya," jawab Vivi.
"Tapi dia nyembunyiin elo selama ini dari
teman-temannya, karena dia malu Vi. Lo lupa itu?" tanyaku.
Vivi menghela nafas panjang lagi, "Gue tahu itu
salah. Dia sempat meminta waktu ke gue. Gue setuju untuk ngasih dia waktu. Tapi
pertemuan kita kemaren di PVJ membuat gue berpikir, kalau sudah waktunya bagi
gue buat bertindak tegas. Tadi pagi gue bilang kalo gue akan ceritain semuanya
ke kalian. Kalo dia emang serius, gue minta dia datang kesini dan ikut jelasin
semuanya. Kalo dia gak datang, gue akan bubaran ma dia. Karena gue gak mau kalo
dia terus menyembunyikan hubungan yang kita punya, seakan-akan itu aib. Kalo
dia terus malu ketahuan ma orang pacaran sama gue, maka gue tahu kalo dia gak serius ke gue. Itu
sama saja kalo dia gak bisa ngehargain gue," jelas Vivi. Aku tersenyum
untuk menyatakan persetujuanku dengannya.
"Karena itu aku datang. Aku nggak mau
pisah," kata Jordan lembut. Vivi tersenyum dan meremas tangan Jordan.
"Kau yakin?" tanya Zaki pada Jordan.
Jordan mengangguk tanpa ragu.
"Aku yakin. Aku sudah tak peduli lagi kalau
anak-anak yang lain akan mencibirku. Apalagi dengan apa yang kau katakan tadi
di tempat parkir. Aku sadari aku salah," tukas Jordan lagi, membuatku
mengerutkan kening.
"Which reminds me, Regha!"
sambung Vivi lalu berpaling padaku, "Lo musti tau sekarang kalo Zaki, gak
ada hubungannya dengan semua yang terjadi antara kami. Pertemuan kita di PVJ
kemaren juga pertama kalinya Zaki tahu soal kami. Sama ma elo. Bahkan begitu
dia tahu, tadi dia sudah berbicara secara pribadi dengan Jordan tadi, di
lapangan parkir," kata Vivi padaku dan menoleh pada Zaki, meninggalkanku
yang terpaku di tempatku duduk, "Jordan told me. Kau bisa dibilang
telah mengancamnya tadi. Kalau dia cuma main-main denganku, kau bilang bahwa
kau tak akan tinggal diam. Thank you for having my back," kata Vivi
pelan.
Tubuhku jadi makin kaku mendadak.
"I'm serius Zake. I swear!" imbuh
Jordan. Zaki hanya memberikan senyuman tipis pada keduanya. Aku menatap
semuanya dalam diam. Jadi tadi Zaki telah memberikan peringatan pada Jordan,
agar dia tidak mempermainkan Vivi. Dengan kata lain, Zaki benar-benar tak ada
hubungannya dengan semua ini. Dia tidak membuat persekongkolan atau apapun itu
dengan Jordan. Dia bahkan peduli dengan Vivi. Dia..........menjaganya dari Jordan,
temannya sendiri.
Rasa bersalah bercampur malu segera memenuhi rongga
dadaku. Masih kuingat tuduhan-tuduhan yang kemarin ku lontarkan padanya. Juga
reaksi baliknya. Duuhh!!! batinku.
"Well, you better be. Aku senang
akhirnya kau berani mengambil keputusan ini. Setidaknya kau menunjukkan sedikit
kualitas dirimu yang tadinya kukira tak ada," komentar Zaki membuat Jordan
merengut kesal, meski ku lihat Zaki tersenyum geli, "No, seriously,
aku senang akhirnya kau menyadari betapa berharganya Vivi. Aku senang kau
menyadari potensinya. Pada akhirnya kau bisa melihat jauh dari sekedar fisik.
Kau tahu kalau keindahan fisik tidak abadi kan? Kulit pada akhirnya akan
berkerut, rambut akan memutih dan gigi pada akhirnya akan tanggal tak bersisa.
Tapi apa yang dimiliki Vivi akan terus ada, dan mungkin akan bertambah, seiring
bertambahnya usia. Aku sudah melihat dan merasakan sendiri kualitas Vivi
sebagai seorang manusia. She is extraordinary. Kau beruntung bisa
mendapatkannya."
Keheningan yang kemudian menggantung di udara terasa
panjang. Tak ada satupun dari kami yang bisa berkomentar atas opini Zaki tadi.
Vivi tampak terharu dan hanya bisa tersenyum dengan mata sembab seraya
membisikkan kata terimakasih padanya. Senyum Jordan makin lebar. Satu tangannya
kini meraih bahu Vivi. Aku sendiri tercenung di kursiku. Merasa begitu
terhenyak dengan apresiasi Zaki atas Vivi. Bahkan aku yang lebih dekat
dengannya tak bisa memberikan compliment seindah tadi. Hal itu semakin
menyadarkanku akan betapa luputnya penilaianku akan Zaki kemarin.
Aku semakin merasa bersalah.
Keheningan yang penuh rasa haru untuk beberapa saat
lamanya membungkam kami, sampai kemudian Regi memecah keheningan dengan bangkit
dari kursinya.
"Well, kalau begitu semua udah beres dan
jelas, " katanya memandang Vivi dan Jordan, "Selamat ya Nek. Ikke
beneran ikutan seneng. Dan buat Jordan, yang harus lo inget, Vivi gak hanya
punya Zaki, tapi juga gue dan Regha. Kalo lo bikin dia sakit, kami berdua juga
gak akan tinggal diam," katanya jelas. Jordan hanya mengangkat bahunya dan
mengangguk untuk menjawab Regi, sementara Vivi tersenyum. Regi lalu melangkah
dan meletakkan serangkaian kunci padaku, "Ikke harus polo dulu ya Nek. Jij
kunci ntar ruang redaksinya. Besok jangkar lupita bawa lagi kuncinya, em?"
katanya dan melenggang pergi.
"Eh Gi!! Bentar!!" kejar Vivi yang segera
mengikuti Regi. Jordan menyusulnya, meninggalkan aku dan Zaki yang masih duduk
diam di kursi kami. Untuk sesaat, hanya keheningan yang ada diantara kami
berdua. Aku sendiri bingung harus berkata apa. Kalau ingat semua kata-kata yang
aku ucapkan kemarin, ingin rasanya saat ini aku tenggelam ke tanah. Apa yang harus kulakukan?! pikirku kalut.
Aku tak bisa menebak apa yang Zaki pikirkan.
Wajahnya masih datar seperti tadi. Dia tidak menuntut ataupun menegaskan
ketidak bersalahannya padaku. Tapi dia diam saja disebelahku. Dia seakan-akan
menghukumku dengan kediamannya.
"Aku pulang," kata Zaki kemudian dan
tiba-tiba bangkit, mengagetkanku. Dia mendorong kursinya kebelakang, lalu
melangkah melewatiku. Yang mengejutkanku adalah saat tubuhku bergerak secara
otomatis bangkit dan tahu-tahu tanganku telah terulur memegang ujung bawah
kemejanya, menahan gerakannya yang kemudian langsung berhenti. Dia berdiri diam
tanpa berbalik padaku.
"Ma-maaf," kataku lirih sedikit bergetar.
Dia tetap berdiri membelakangiku. Punggungnya masih
tegak dan kaku, seakan-akan mengatakan padaku kalau dia memang marah, "Itu
saja?" tanya Zaki dengan suara yang bahkan jauh lebih dingin daripada saat
dia bicara pada Jordan tadi.
Ada sedikit nyeri di dadaku. Baru aku sadari kalau
aku memang anak yang ceroboh dan serampangan seperti yang dia katakan. Aku tak
tahu apa yang harus aku katakan atau lakukan lagi. Jadi aku biarkan tubuhku
mengambil alih kendali atas diriku. Dan dengan sedikit ngeri aku sadari bahwa
aku melangkah mendekat padanya, dan tahu-tahu kusandarkan kepalaku ke punggung
Zaki yang untuk sesaat jadi makin menegang kaku. Tapi kemudian, perlahan
kurasakan tubuhnya menjadi rileks.
"Maaf," kataku lagi.
Aku hanya mendengarnya menarik nafas panjang. Dia
masih berdiri diam membelakangiku, membiarkanku menyandarkan kepalaku
dipunggungnya seakan-akan itu hal yang normal, tanpa melakukan apapun. Namun
sesaat kemudian kurasakan tangan kanannya bergerak kebelakang, menemukan
jemariku, menautkannya, menyatukan jemari-jemari kami, sehingga telapaknya
berhadapan, lalu meremasnya lembut.
Rasa damai dan lega yang menyejukkan tiba-tiba saja
memenuhi rongga dadaku yang tadinya sesak dan nyeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar