Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 12 - Mad

REGHA


Aku pasti sudah gila!!! pikirku panik. Belum pernah sekalipun, seumur hidupku, aku peduli apakah seorang cowok itu cakep atau nggak. Tapi kemarin, saat makan malam, saat pertama kalinya aku melihat Zaki setelah insiden aneh di sungai itu, tiba-tiba saja aku berpikir kalau dia . . . . , cakep. Maksudku, benar-benar cakep (Percaya deh! Aku sendiri bergidik ngeri waktu aku sadar kalo aku bisa mikir gini!). Profil wajahnya yang unik karena berdarah campuran, postur tubuhnya yang nyaris tanpa cela sehingga membuat semua baju serta atribut yang menempel ditubuhnya seakan-akan dibuat khusus untuknya, gaya bicaranya yang santai namun toh tertata, serta bibir tipisnya yang selalu basah memerah yang saat ini terlihat makin merona menggemaskan karena sambal pedas bikinan Mamah, membuat mataku hampir tak bisa kualihkan darinya.

Bahkan mataku justru menyusuri garis rahangnya, kembali pada bibirnya yang memerah, lalu turun pada jakunnya yang kemudian bergerak turun menelan makanan yang tadi dia kunyah. Tanpa sadar, aku ikut menelan ludah karenanya. Membayangkan bagaimana rasanya jika rasa bibir merah itu dilidahku membuat perutku mules mendadak. Saat itulah tiba-tiba saja dia mengangkat wajah dan berpaling melihatku. Untuk beberapa menit kami cuma saling bertatapan, begitu ngeh, dengan cepat aku memalingkan muka. Segera saja wajahku terasa panas luar biasa sementara dadaku dag dig dug gak karuan. Mati-matian aku mencoba bersikap biasa, tapi karena tak tahan, aku berpamitan selesai, lalu kebelakang untuk mencuci piringku.

AKU MIKIR APA SEEEEEEEEEHHHHH???!!!!!!

Sialan!!! Aku malah jadi semakin salah tingkah berada didekat Zaki. Karena itu aku lebih suka menghindar kalau kami berada dalam satu ruangan bersama. Ini gara-gara tingkah aneh kunyuk itu disungai tadi. Pasti karena itu! Ngapain coba dia pake acara pegang-pegang mukaku gitu? Tuh anak emang bener-bener sinting kali ya? Atau hal itu emang sudah biasa di Australia sono ya? Orang Arab kalo bertemu, biarpun sama-sama cowok juga saling cium pipi. Kebiasaan yang jelas bakal terlihat aneh kalo dilakuin oleh orang sini.

Tapi selama aku mencari info tentang si sinting itu, gak sekalipun aku menemukan budaya pegang pipi disebutkan pada situs-situs dari Australia. Jadi emang egomaniak sinting itu saja yang bener-bener udah gak waras!!! gerundengku dalam hati seraya melangkah keluar untuk duduk diberanda. Berniat mendapatkan sedikit udara segar untuk membersihkan otakku, sementara pikiranku terus menerawang.

Teringat akan kata-kata Zaki soal suasana sore itu. Bagiku sih biasa-biasa aja. Yang aneh justru dia yang bersikap seolah-olah sore itu adalah hal ajaib yang cuma bisa diliat seribu taun sekali. Apa yang aneh sih dengan matahari yang tenggelam. Orang saban hari terus terjadi! Tiap sore kalo matahari tenggelam juga keliatan kayak gitu. Dasar bule aneh!! Aku justru lebih heran dengan dia yang tiba-tiba aja mau berdiri begitu dekat dengaku, sehingga tubuh kami hampir melekat. Bahkan sedikit merinding saat aku mendengar suara pelannya yang nyaris berbisik ditelingaku. Bahkan dengan mengingatnya saja bisa membuatku bergidik sekarang.

Sialnya aku, saat diberanda, bukannya mendapatkan ketenangan, aku malah mendapati Asti yang lagi asyik ngerumpi ditelepon bersama temannya. Dan mereka sedang membicarakan Zaki.

Begitu melihatku, Asti segera berpamitan pada temannya dan menutup telepon. Dia nyengir malu padaku karena ketahuan dan buru-buru melangkah untuk masuk lagi kerumah.

"Neng si Zaki teh kasep pisan kitu? Meni semangat pisan ngawangkongna," sindirku padanya.

Untuk sejenak Asti yang berhenti melangkah hanya memandangku bengong. Sejujurnya aku sendiri lebih kaget dengan kalimat yang kuajukan tadi. Tapi aku memang ingin mendapatkan opini lain tentang Zaki. Takut kalau otakku benar-benar sedang error. Jadi, meski reaksi Asti sedikit membuatku malu, aku cuma membalasnya dengan ikutan nyengir.

"Ih si Aa mah nya, apal enteu ? Rerencangan Asti mah kuatka teu bisa kulem mun teu acan ningal foto Aa Zaki!" jawab Asti ikutan malu-malu. Aku tahu kalau kemarin Asti memang minta izin pada Zaki untuk mengambil fotonya dengan hp. Zaki sih bersedia tapi bareng dengan Zaki. Pasti foto itu telah ditransfer ke hp temen-temen Asti yang lain. (Ih si Aa, apanya yang nggak? Temen si Asti malah gak bisa tidur kalo belom liat foto Aa Zaki)

“Emang bagian apanya dari Zaki yang menarik?” kejarku.

Asti melotot hebat seolah-olah aku kena epilepsi mendadak,

"Aa pasti hereuy ah. Aa Zaki mah gak ada yang ga menarik?!! Aa Zaki teh jangkung, gagah. Awakna berotot terus seksi. Kulitnya bagus juga halus. Wajahnya bikin cewek-cewek kelepekan ga bisa tidur. Sapopoe teh seungit wae, terus teh nya…" (Aa pasti bercanda! /Tiap hari wangi terus,udah gitu. . .)

“STOP!!” Aku mengangkat tangan, mencegahnya melanjutkan promosi hebatnya soal Zaki. Kepalaku malah jadi pusing mendadak mendengarnya. “Aa tos apal! Teu kedah diteraskeun nya?! Neng apal pan, Zaki teh rerencangan Aa ? Zaki mah nganggep neng rerencangan oge," lanjutku lagi yang jadi khawatir pada adikku itu. (Aa sudah paham Nggak usah diteruskan. Tapi Asti tau kalao Zaki temen Aa kan? Zaki sudah mengaggap kamu temen baik juga.)

Asti tersenyum mendengarku, ”Enya A, eneng ngartos," sahutnya, membuatku menarik nafas lega. Akhirnya aku hanya mampu mengangguk dan membiarkannya masuk kedalam rumah. (Iya A. Asti paham)

RIZKY


Waktu istirahat hampir selesai, tapi aku masih ingin tetap diam dikantin Rumah Sakit ini. Segan rasanya untuk kembali bertugas dibangsal perawatan dan harus berinteraksi dengan orang itu. Padahal semula aku cukup antusias dengan penempatan coass ku di Rumah Sakit ini. Ada banyak pertimbangan yang membuatku kerasan. Diantaranya adalah dekat dengan rumah dan juga Regha. Meski awalnya aku mendapat kisikan dari beberapa perawat yang mencoba mendekatiku. Mereka bilang kalo Dokter Stevan yang jadi pembimbingku, orangnya perfeksionis dan cukup menyeramkan. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku tak punya masalah dengan perfeksionis. Dalam satu dan lain hal, aku bahkan menyukai orang perfeksionis. Itu berarti mereka serius dalam pekerjaan mereka.

Karena itu, masih kuingat, sehari sebelum aku memulai, aku mencari informasi tentang Dokter Stevan. Reputasi dan prestasinya cukup mengesanku. Keakuratan diagnosisnya belum pernah diragukan disini. Hari dimana aku berjalan ke kantornya, aku kembali merasakan gairah besar belajar yg sudah lama tak kurasakan. Bahkan aku sempat menarik nafas sejenak untuk menenangkan diri saat aku sampai didepan kantornya. Setelah itu, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintunya.

"Masuk," sahutan dari dalam terdengar singkat dan tegas.

Aku membuka pintu dengan senyum sopanku. "Dokter Stevan? Saya Rizky yang ditugaskan dibawah pengawasan Dokter," kataku seraya melangkah mendekat. Kuulurkan tanganku pada beliau. Dokter Stevan berusia sekitar akhir 30 an. Ada sedikit uban dirambutnya. Tapi itu justru memberi aksen dewasa pada wajahnya yang cenderung boyish. Tingginya tidak lebih dari 165cm. Bertubuh langsing dan berkaca mata. Dia mengamatiku sejenak dibalik kaca matanya, lalu memjabat tanganku. Geggamannya kuat dan mantap, menunjukkan kepercayaan diri yang stabil Aku mencoba mengimbanginya.

"Ya. . . , saya sudah dengar. Sepertinya, sudah tak perlu lagi basa-basi yang membosankan,ya kan? Kita bisa mulai langsung. Ada beberapa pasien yang sudah menunggu. Ah ya, satu hal lagi. . . ," kata Dokter Stevan yang berhenti melangkah, bersamaan dengan berhentinya bunyi kran air yang tadi kudengar mengalir disuatu tempat. Pintu kamar kecil yang berada disebelah kananku terbuka.

Tanpa sadar, aku menahan nafas dengan suara sedikit keras.

"Ada dua orang yang ditugaskan bersama saya. Ini Ferdy, kolegamu. Dia coass pindahan dari Rumah Sakit Yogya," jelas Dokter Stevan yang hampir saja luput dari pendengaranku. Sepertinya beliau tak tahu kalau kami berasal dari satu universitas.Atau mungkin dia tak perduli?

Ferdy tersenyum padaku dan mengulurkan tangannya. "Ferdy! Semoga kita bisasaling membantu," katanya dengan suara ringan. Secara sembunyi-sembunyi dia mengerling padaku. Aku hanya mampu membalasnya dengan gumaman tak jelas, terlalu kaget untuk bisa bersikap normal.

"Nah, bisa kita mulai?" ujar Dokter Stevan.

"Siap Dok!" sahut Ferdy, sementara aku cuma mampu tersenyum tipis.

Apa-apaan ini?!!!



Hari itu berlalu tanpa insiden. Aku yang sebenarnya sudah menunggu dengan cemas akan apa yang dilakukan oleh Ferdy, kini berubah geram. Tugas coass ini adalah bagian penting dari pendidikan dan karirku. Kalau Ferdy berpikir dia bisa mengacaukannya, dia salah. Dan aku akan memastikannya.

Pada hari kedua, aku memutuskan untuk mengacuhkan Ferdy. Aku bersikap formal seperti layaknya rekan kerja. Komunikasi kamipun terbatas dalam kerangka kerja saja. Ferdy sendiri juga mengimbangiku seperti kemarin. Jujur, aku sedikit kesal dengan sikapnya. Tapi sepertinya, memang harus seperti ini yang terjadi.

Istirahat siang ini kantin tak begitu ramai. Aku memesan nasi goreng dari Bu Rini yang berjaga. Janda berusia awal 40 an itu sebenarnya sedikit membuatku risih dengan kecentilannya. Dia jelas-jelas menunjukkan ketertarikannya padaku. Keramahannya sedikit berlebihan. Tapi kemampuan memasaknya cukup mengesankanku. Karena itu aku mencoba mengacuhkan rasa engganku. Sekarang saja, aku yakin kalau porsi normal dari sepiring nasi goreng, sebenarnya tidak seperti yg kumakan ini. Belum lagi berbagai macam lauk yang berjejer di piringku. Hitung-hitung memanfaatkan aset, pikirku kecut dan melanjutkan makanku.

"Dokter, sudah dapat hasil diagnosis dari Bu Anjani?" tanya

Ferdy yang tahu-tahu sudah berdiri disebelahku. Aku yang sedikit kaget, sontan tersedak dan batuk. "Ya Ampun!!! Maaf Dok! Maaf!" seru Ferdy dan menepuk punggungku.

Aku hanya menggeram dan meraih gelas airku.

"Kenapa Dokter Rizky?! Kepedesan ya?" seru Bu Rini yang juga langsung ikut mendekat oleh keributan kecil yang terjadi.

"Nggak kok Bu!" sahutku dengan suara yang masih tertahan dan kembali minum.

"Saya nggak sengaja tadi ngagetin dia Bu. Makanya tersedak," sahut Ferdy tersenyum simpul.

"Aduh Dokter Ferdy ini gimana sih?! Kasian tuh! Muka Dokter Rizky sampe merah gitu!" tegur Bu Rini meski sinar matanya lebih mirip cewek remaja yang merajuk pada pacarnya. Hebat! pikirku kesal. Sepertinya wanita yang satu ini adalah tipe-tipe yang selalu terbuka untuk setiap kesempatan yang muncul.

"Tadi sudah minta maaf kok Bu!" cengir Ferdy.

"Dasar!" seru Bu Rini dan menepuk lengan Ferdy. "DokterFerdy mau makan juga? Masakan Ibu gak kalah lho sama restoran," promonya bangga.

"Boleh deh Bu! Sama dengan Dokter Rizky ya?" jawab Ferdy setelah melihat piringku.

"Dokter tunggu ya?" pamit Bu Rini dan berlalu.

"Beneran enak?" tanya Ferdy yang kemudian duduk didepanku setelah Bu Rini berlalu.

Aku mengangguk untuk menjawabnya. "Hasil pemeriksaan lab sudah keluar. Seperti yang ku bilang kemarin. Typhus dan anemia," jawabku, langsung menjawab pertanyaan yg dia ajukan pertama tadi.

"Dan kamu langsung tahu saat melihatnya kemarin. Dokter Stevan terkesan lho!" tukas Ferdy dengan senyumnya.

"Aku yakin kaupun tahu," gumamku tanpa menolehnya. Aku lebih memilih untuk mengganyang makananku. Alasanku berlama-lama disini adalah untuk menghindarinya. Jadi sebaiknya aku meneruskan rencanaku tadi, meski dia berada didekatku.

"Tidak sebelum kamu. Oh ya, aku sudah mengambil sampel darah dari anak kemarin. Anak yang menurutmu terkena leukemia. Hasil lab nya akan keluar siang nanti. Paling telat sore. Sudah tahu siapa yang akan menyampaikan hasil diagnosisnya? Kalau dugaanmu benar. . . . , aku rasa tak akan mudah bagi pihak keluarga untuk menerimanya."

"Aku sudah meminta Dokter Stevan yang melakukannya," gumamku lagi.

"Kenapa bukan salah satu dari kita?"

"Karena aku belum tahu bagaimana melakukannya! Kau ingin mencoba?" sergahku yang mulai jengkel.

"Enggak!" sahut Ferdy singkat dan nyengir. "Tapi mungkin kamu bener juga. Kita tak tahu bagaimana menyampaikan kabar berat seperti itu. Mungkin kita memang harus melihat dulu bagaimana Dokter Stevan melakukannya," gumam Ferdy lebih pada dirinya sendiri. Dia sudah hendak mengatakan sesuatu namun urung saat Bu Rini datang dengan sepiring makanannya. "Makasih Bu," katanya pada Bu Rini yang mengerling genit.

Aku pura-pura tak tahu aksi mereka dan meneruskan makanku. Kalau memang Ferdy ingin bermain-main dengan api, aku tak akan pernah mau ikut campur, karena sudah lama aku kehilangan hak untuk melakukannya.

"Kamu. . . . , nggak pengen tahu kenapa aku kesini Ky?" tanya Ferdy kemudian dengan nada santai yang terlalu normal. Aku sontan berhenti mengunyah dan mengangkat wajahku. Ferdy sendiri terus meneruskan makannya dengan wajah sedikit menunduk dipiring hidangannya. Bersikap seolah-olah pertanyaan tadi hanyalah kalimat retorik tak berarti.

"Bukannya untuk makan?!" sahutku, kebali pura-pura.Ferdy tersenyum mendengarnya. "Maksudku alasanku pindah dari Yogya ke Bandung ini," jelasnya kalem.

"Apa pentingnya?" jawabku setelah terdiam beberapa saat,

"Apa yang ingin kau lakukan tak ada hubungannya denganku," lanjutku acuh dan melanjutkan makanku.

"Kamu terlihat cukup kaget waktu pertama kali melihatku," kejarnya.

"Sedikit," ujarku dan kembali menyendok makananku. "Untuk orang yang tahu kau tinggal di Yogyakarta, lalu tiba-tiba muncul di Bandung, itu cukup mengejutkan. Wajar kan?" lanjutku tanpa sekalipun menoleh padanya.

"Aku bersungguh-sungguh saat mengatakan kalau aku tak akan menyerah Ky. Aku kesini untuk. . "

"Aku balik dulu!" potongku dan cepat-cepat bangkit. Aku tak ingin mendengar kelanjutan dari kalimatnya tadi. Aku segera membayar makananku dan pergi dari kantin tanpa menoleh lagi. Aku sadar kalau mungkin aku sudah bertindak keterlaluan, tapi aku tahu, kalau aku meneruskan untuk membahasnya, hasil akhirnya pasti akan buruk. Sempet terpikir sekilas untuk pindah rumah sakit, tapi itu ide yang buruk. Selain penugasanku yang sudah fix, aku senang berada disini.

Dokter Stevan juga pembimbing yang cocok. Perfeksionis dan penuh dedikasi pada pekerjaannya. Meski dia selalu tampak serius dan jarang tersenyum, tapi aku bisa melihat passion nya yang tinggi dalam bekerja. Kemampuannya dalam menghadapi pasien juga menakjubkan. Keluar dari tempat ini adalah hal terakhir yang kuinginkan.Bahkan jika itu berarti aku harus berhadapan dengan Ferdy selama 1,5 tahun. So be it! putusku dalam hati.

Hebatnya, saat kami kembali berkumpul dengan Dokter Stevan, Ferdy bersikap normal seperti biasanya. Dia bisa terseyum dengan ramah padaku. Tak sedikitpun efek dari kejadian di kantin tadi terlihat. Entah aku harus merasa lega ataupun khawatir.



Sikap Ferdy tak berubah semenjak itu. Kami berkomunikasi dengan formal dan seperlunya. Hampir-hampir tak ada pembicaraan diluar konteks kerja antara kami. Akupun lebih suka membuat percakapan kami seperlunya dan langsung pada tujuan. Bahkan kalau bisa, aku menghindari kontak mata dengannya. Mencoba mengacuhkannya.

Tapi aku dibuat kaget setengah mati saat siang ini aku mendapatinya sedang duduk di Rumah Makan Ibu. Aku yang dengan santai melangkah masuk, sontan terhenti begitu melihatnya duduk sendiri disana.

"Ky!" sapanya singkat saat melihatku. Ekspresi kaget diwajahnya tak seberapa kalau dibandingkan dengan apa yang kurasakan. Dadaku seakan-akan disiram dengan air es.

Perlahan geram mulai merambatiku.

Aku mendekat padanya dengan wajah kaku. "Ikut aku!" kataku singkat dan langsung meraih tangannya. Kuseret dia keluar dari rumah makan tanpa memperdulikan pandangan heran beberapa pelanggan yang sedang makan. "APA SEBENARNYA MAUMU?!!!!" bentakku keras begitu kami berada diluar, tak jauh dari tempat aku memarkir mobilku.

"Ky, aku cuma. . . "

"Hentikan!!" desisku geram. "Apapun rencana yang sedang kau jalankan, hentikan sekarang juga! Orang tuaku tak ada sangkut pautnya dengan semua yang kulakukan. Kalau kau ingin membalasku, lakukan padaku! Mereka tak tahu apa-apa!"

"Tapi Ky. . ,"

"Jangan sentuh mereka!" potongku tanpa memperdulikannya."Sakiti mereka, dan aku bersumpah aku akan membalasnya berpuluh kali lipat padamu!"

Ferdy menatapku dengan pandangan nanar tak percaya. Mulutnya yang terbuka lebar tak mengeluarkan sedikitpun suara. Dia seakan-akan baru pertama kali melihatku. Tapi aku terlalu marah membayangkan apa rencana busuk yg sedang dia jalankan. Sialan!! Selama ini aku sudah berusaha menutupi semuanya dari orang tuaku. Tak akan kubiarkan Ferdy merusak ketenangan yang selama ini kupertahankan.

"Ada apa ini?!" tegur seseorang.

Aku berpaling dengan cepat dan mendapati Dokter Stevan yang memandang kami dengan ekspresi heran. "Dokter Stevan?" gumamku pelan.

"Rizky, ada masalah?" tanyanya cepat dan menghampiri kami.

Aku tak mampu bereaksi cepat untuk menjawabnya.

"Emm. . . , hanya masalah pasien Dok," potong Ferdy memecah keheningan diantara kami. Hampir bersamaan, aku dan Dokter Stevan berpaling padanya. "Kemarin. . . , Dokter Rizky meminta saya untuk menyerahkan sampel darah seorang pasien untuk pemeriksaan ulang. Saya lupa menyerahkannya pada pihak lab. Dokter Rizky mencari saya hanya untuk mengingatkan," jelasnya sedikit gugup.

"Pasien mana?" tanya Dokter Stevan dengan nada curiga.

"Icha Dok!"

"Anak yang mengidap leukemia?"

Ferdy mengangguk. "Dokter Rizky ingin pemeriksaan ulang untuk persiapan cuci darahnya Dok! Dia sangat berhati-hati, karena itu meminta saya untuk melakukannya," jelas Ferdy lagi. Dokter Stevan masih terlihat belum percaya.

"RIZKY!!!"

Panggilan Ibu yang baru keluar dari rumah makan membuat kami semua sedikit kaget. Beliau melangkah mendekat kearah kami dengan tatapan khawatir. "Tadi mbak Rasti bilang. . . ," beliau tidak meneruskannya, tapi matanya memperhatikan Dokter Stevan dan Ferdy. Ibu berpaling padaku. "Ky. . . ?" tegurnya.

Aku mengerjapkan mataku sejenak, menyadarkan diri yang sedari tadi bingung harus bereaksi apa. "Bu?" sahutku singkat.

"Mereka. . . ," beliau kembali tidak meneruskan pandangannya.

"Maaf! Dokter, ini Ibu saya, Indri. Bu, ini Dokter Stevan yang jadi Dokter pembimbing Rizky di rumah sakit. Dan ini Ferdy, kolega Rizky!" kataku cepat memperkenalkan mereka.

"Duh Gusti! Kenapa nggak ngomong dari tadi?!!" tegur Ibu kaget dan menepuk lenganku sedikit kesal. "Maaf Dok! Saya Ibunya Rizky! Selamat datang di rumah makan kami! Mari, silahkan masuk! Nak Ferdy juga! Maafkan Ibu. Tadi Mbak Rastinya bilang kalau Rizky datang dan narik orang keluar. Maafkan Ibu!"

Dokter Stevan dan Ferdy yang menyambut uluran dengan roman yg setengah terperangah. Kalo memang Ferdy sedang berpura-pura, aku harus akui dia melakukannya dengan baik.

"Ini restoran keluargamu Ky?" tanya Dokter Stevan memastikan. Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.Dokter Stevan tertawa kecil. "Well. . . , jujur saja, aku sudah lama menjadi pelanggan sini. Masakan Ibu benar-benar membuat saya ketagihan," ujar Dokter Stevan pada Ibu dengan senyum kecilnya yang jarang terlihat.

"Halah! Dokter bisa saja," sergah Ibu sedikit tersipu.

"Bener lho Bu!. Karena itu saya ngajak si Ferdy ini yg kebetulan bertemu di Supermarket. Supaya dia tahu hebatnya masakan Ibu yg sudah kondang se-Bandung!"

Ibu semakin tersipu, sementara aku justru tertegun kaku.

"Dokter Stevan yang membawa Ferdy kesini?" gumamku pelan.

"Iya! Ferdy bilang dia sedang jalan-jalan ke kota Bandung ini karena bosan di kost an sendiri. Kebetulan saja kami bertemu, jadi sekalian kuajak kesini," jelas Dokter Stevan lagi.

Aku berpaling pada Ferdy yang hanya nyengir kecil. "Jadi. . . . , kau tak tahu kalau ini. . . ," aku tak bisa meneruskan kalimatku. Ferdy hanya menggeleng.

"Ngobrolnya dilanjutkan didalam saja. Mari Dokter Stevan, silahkan masuk," kata Ibu mempersilahkan. Dokter Stevan mengangguk dan mengikuti Ibu.

Ferdy hanya melihat mereka. Saat mereka menghilang kedalam bangunan, dia berpaling padaku yg masih tertegun kaku. Menatapku dengan pandangan terluka, membuat penyesalan yang mulai merambatiku semakin membesar.

"Aku tak seburuk itu Ky," katanya pelan dan pergi meninggalkanku. Aku hanya melihatnya pergi, sementara leherku terasa tercekat oleh nada terlukanya tadi.Aku baru tersadar saat ponselku berdering oleh sms yang masuk. Regha memberi kabar kalau dia akan kembali besok. Beberapa hari jauh darinya saja sudah membuatku kacau begini. Hanya beberapa hari!

"Cepat pulang Gha! Aku membutuhkanmu," desisku pelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar