REGHA
Aku tak pernah menyangka kalau aku akan mengatakan
ini, tapi ku akui kalau aku lebih suka dibentak-bentak oleh Zaki, daripada
didiamkan seperti ini. Sudah hampir seminggu ini dia mengacuhkanku. Menjawab
pertanyaan-pertanyaanku dengan nada singkat dan dingin. Menganggap aku yang
berada dalam satu ruang dengannya seperti sebuah hiasan dinding yang tak bisa
bicara. Lebih suka memintaku mengerjakan sesuatu dengan cara tertulis. Kalau
aku mencoba bertanya kenapa, dia hanya akan memandangku dengan kesal, hingga
aku yang semula ingin protes, hanya mampu mundur.
UGH!!!!!!
Suasana kerja dirumahnya jadi lebih menekan daripada
biasanya. Bukannya dulu kami hangat atau kompak. Tapi setidaknya sebelum ini,
dia masih mau ngomong langsung,, marah dan terkadang menyebutku dengan berbagai
nama panggilan yang mengesalkan. Tapi suasana hening yang sekarang ini, justru
terasa lebih menekan daripada suasana itu.
"Gue musti gimana coba Gi, Vi?" curhatku
pada mereka saat rapat redaksi siang ini. Meski kuliah baru dimulai minggu
depan, Mas Angga tak ingin kami ikut-ikutan santai. Tugas bulletin kami terus
berjalan seperti biasanya.
"Lu juga sih Gha! Asal mengap aja! Masa sih lu
bisa berpikir kalo Zaki bakal nyuruh lu masuk kerja, padahal dia tahu banget
kalo lu sakit," gerutu Vivi. Aku jelas bengong tak percaya. Masa dia
juga mau berpihak pada Zaki?!!
"Em!!" timpal Regi sembari mengganyang
camilan yang dibawanya, "Kalo ikke pikir ya Nek, si Zaki tuh orangnya baek
lho! Dia cuman gak bisa berekspresi normal kek kita orang."
"Maksud lo dia biasa berekspresi kayak iblis
biasanya?" ganti aku yang sekarang ngedumel.
Regi cuman tertawa dan menepuk punggungku,
"Rumpik!! Bukan itu maksud ikke. Tapi si Zaki tuh cuman tinta bisa aja
bersikap manis. Orangnya ya emang gitu. Nyolot, ngeseli bin semaunya sendiri.
Tapi kalo jij mau berpikir, diana tetep bermaksud baek kok. Contohnya aja saat
dia kasih kesempatan jij but kerja di panti buat gantiin mobil dia yang rusak.
Dia juga orang yang dengan relanya ngadain pesta ulang taon buat jij. Padahal
jij udah panggil dia bule setengah jadi pengidap megalomaniak sinting akut.
Terus kemaren, dia dengan pedulinya nungguin jij. Kalo dese jahat, gak mungkin
kan dese mawar ngelakuin itu semua. Em?"
Aku ganti memandang Regi yang tadi, dengan lancarnya
menguraikan dosa dan hutang budiku pada Zaki.
"Ampar?" tanya Regi bingung dengan
reaksiku.
"Sebenernya lo temen siapa sih?!!"
sentakku dongkol.
Regi dan Vivi cuman mesem mendengarku, "Nggak
gitu Nekk. Ikke cuman ungkapin fakta yang mungkin jij gak sadari. Kalo Zaki tuh
sebenernya baek, cuman kadang lu jij yang salah sikap, dan selalu memandang
Zaki dari sisi negatifnya doang. Em?" ujar Regi membela diri.
"Iya kok Gha! Kalo kemaren si Zaki agak marah,
itu karena seeakan-akan lo nuduh dia buat lu kerja rodi, meski lu dlam kondisi
gak fit. Itu aja kok. Hanya salah paham," timpal Vivi.
"Terus gue mesti gimana?" tanyaku setelah
diam beberapa saat, memutuskan untuk mengalah dan menerima usul dua manusia
sinting didepanku ini.
"Ya lu ajak bicara dia aja," kata Vivi
lagi.
"Gue kan udah bilang kalo dia gak mau ngomong
ma gue Vi!" gerutuku.
"Ikke ada ide yang mungkin bisa bikin dia
ngomong ma jij!" seru Regi dan jejingkrakan.
Aku mengangkat sebelah alis, curiga. Kalo Regi sudah
seperti ini, biasanya, apapun idenya itu hanya memiliki satu ema, kehebohan!
Tapi akhirnya memutuskan untuk mendengarkannya.
Kalau ditanya, apa pendapatku tentang ide Regi,
jawabanku adalah, konyol! Rasanya nggak masuk akal dan mustahil berhasil. Sama
sekali gak nyambung. Tapi aku sudah putus asa sekarang. Dan ide apapun akan
kucoba. Jadi hari ini, saat hampir jam pulang seperti biasanya, aku
menunggu-nunggu dengan cemas. Aku meraih hape ku, yang hanya selang beberapa
detik kemudian berdering dengan nyaringnya.
Aku segera mengangkatnya, "Ya Mas Rizky?"
sahutku dengan suara agak keras, "Apa? Mau jemput?! Sekarang??! Lagi
dirumah Zaki Mas. Mo nonton? Enggak kok! Bentar lagi udah mau balik, dan
bi.."
Hapeku sudah direbut dengan kasar oleh Zaki,
"Regha harus lembur dan pulang larut malam ini. Jadi tak usah menunggu
apalagi menjemputnya, karena sopirku yang akan mengantarnya!" kata Zaki,
lalu melempar kembali hapeku padaku setelah menutupnya. Tanpa berkata apa-apa
lagi dia melangkah ke mejanya dan meraih setumpuk dokumen yang kemudian
diletakkannya di mejaku, "Masukkan semua transaksi itu kedalam laporan
sekarang," perintahnya singkat padaku yang cuma bengong kaget. Tanpa
menunggu reaksiku, dia langsung berbalik kembali ke mejanya.
Masih sedikit termangu kaget, aku meraih salah satu
berkas yang teratas. Keningku langsung berkerut membacanya, "Ki..... ini
bukannya berkas yang biasanya kamu kerjain sendiri?" tanyaku padanya.
"Tidak lagi. Selesaikan itu sekarang juga,
karena aku harus segera mengirimkannya," sahut Zaki tanpa mengangkat
wajahnya.
Aku sedikit tersenyum simpul. Luar biasa! Rencana
Regi berjalan dengan lancar. Gimana coba reaksi Zaki kalau dia tahu bahwa yang
menelepon tadi adalah Regi, bukannya Mas Rizky? Sampai sekarang aku tak
mengerti, apa yang menyebabkan Zaki tak menyukai Mas Rizky. Coba saja mereka
bisa akur. Kan bakalan seru! Aku menghela nafas dengan pemikiranku tadi. Sadar
kalau mengingat sifat Zaki, rasa-rasanya hal itu mustahil.
Aku lalu bangkit, "Aku mau minta mbak Ayu buat
bikin kopi dulu. Kamu mau?" tanyaku padanya.
"Terserah!" sahut Zaki singkat. Dengan
senyum simpul aku melangkah keluar menuju dapur.
Setidaknya ada sedikit perubahan!
ZAKI
Aku diam termangu sambil memandang Regha yang asyik
berkonsentrasi dengan berkas yang dia kerjakan. Keningnya sesekali berkerut
seperti sedang menghitung suatu soal matematika rumit. Tak jarang dia menggigit
bibir bawahnya lalu mendesah. Dilain waktu dia bergumam kecil, menyenandungkan
lagu yang tak kukenal. Tak jarang pula kekikukannya muncul. Entah sudah berapa
kali pulpen, kertas laporan ataupun benda-benda lain yang ada di mejanya jatuh,
tersenggol oleh lengan atau bagian tubuhnya yang lain. Bibirnya akan cemberut
kalau itu terjadi. Gerutuan pelan akan terdengar dari mulutnya, kemudian dia
akan membungkuk, mengambil benda yang jatuh itu. Selang kurang dari sejam
kemudian, hal yang sama akan terulang. Entah itu benda yang sama, ataukah benda
lain yang ada disekitarnya. Mengherankan sekali bagaimana seorang mahasiswa
bisa seceroboh dia.
Seringkali aku dibuat tersenyum kecil sekaligus
gemas oleh tingkahnya itu. Sometimes I think that he's helpless. Bahkan
saat dia telah pulang, aku terkadang
duduk diam dimejaku ini, membayangkan sosoknya yang bekerja tak jauh
disana, dengan tingkahnya yang biasa.
Bagaimana dia berbicara, ekspresi wajahnya yang berubah-ubah dan juga bagaimana
dia bergerak disekitarku. Semua itu sering terlintas dibenakku saat aku
sendiri. Terlalu kerap terlintas hingga terkadang membuatku heran.
Dan terganggu.
Aku mulai merasa aneh, karena rasa-rasanya aku jadi
terlalu akrab oleh kehadiran Regha. Aku jadi terbiasa oleh kecerobohan dan
kebisingannya. Ada bahkan saat-saat gila dimana kadang aku berpikir kalau aku
merindukan sosoknya saat dia tak ada. And that ain't right! Karena tidak
seharusnya aku merasakan itu. Semula aku mencoba mengacuhkan hal itu. Berpikir
kalau itu cuma kilasan pikiran bodoh. Tapi saat pikiran itu melintas dengan
intensitas yang lumayan, aku mulai agak khawatir. Dulu, Regha kuanggap
selayaknya pegawai baru yang perlu kulatih. Hell, I even thought that he was
such a cute and clumsy puppy which is need to be trained into a good pet. Kehadirannya
menjadi hiburan tersendiri yang membuatku hari-hariku sedikit berwarna.
Lingkungan sosial dan caranya dibesarkan cukup membuatku tertarik untuk
mendekatinya. Bahkan cenderung sedikit protektif. Apalagi kalau Rizky muncul
didalam gambar.
Instingku mengatakan untuk menjauhkan Regha dari
lelaki itu. Tak membolehkan Rizky untuk terlibat dalam kehidupan Regha. Karena
dia milikku!
DAMN!!!!
How sick is that?!!!!!
Apa sebenarnya yang kupikirkan hingga pikiran itu
terlintas! Sepertinya aku sudah terlalu lama sendiri. I need to get laid!
And soon! Karena itu, kemarin malam, untuk pertama kalinya, aku menanggapi
godaan nakal seorang cewek yang kutemui di klub. Biasanya aku jarang keluar ke
klub sendirian. Lebih sering aku keluar bersama Jordan dan yang lain. But I
was a bit panick. Jadi aku memutuskan untuk pergi.
Salah satu klub ternama di Bandung itu cukup ramai
meski bukan weekend. Musik yang menghentak dan bau minuman serta rokok yang
mengambang diudara menyapaku dengan akrab. Aku langsung menuju bar dan memesan
minuman ringan. Aku kesini untuk mencari seorang, dan berhati-hati merupakan
tindakan yang perlu sekarang ini. Kita tak akan pernah tahu apa yang kita
dapatkan nanti.
Saat aku menyesap minumanku, tiba-tiba saja ada
seseorang yang duduk disebelahku dan memesan minuman yang sama. Tangannya
dengan samar, seolah-olah tanpa sengaja menyenggol lenganku. Aku menurunkan
gelasku dan memperhatikannya.
Rambutnya panjang, hampir mencapai siku. Terlihat
lurus dan terawat. Tubuhnya terbalut kemeja hitam berleher rendah dengan pas
membalut tubuhnya, menunjukkan lekuk-lekuk tubuhnya yang cukup bisa
dibanggakan. Bau parfumnya yang lembut cukup menggodaku. Dia berpaling dan
berkedip beberapa kali dengan pandangan menilai, kemudian tersenyum.
Wajah yang terlalu muda untuk dipoles
oleh tebalnya make up yang dia pakai, batinku. Padahal
menurutku, tanpa make up yang berlebihan, dia sudah terlihat menarik.
"Sendirian?" tanyanya membuatku sedikit
mengangkat alis. Dia tertawa kecil dengan reaksiku, "Biasanya aku
melihatmu
dengan beberapa orang temanmu yang cukup berisik itu," jelasnya
lagi padaku.
Aku membalas senyumnya, "Yep! I'm all alone
tonight! Mau menemaniku?" tanyaku santai.
Sejenak dia cuma memandangku, berpikir. Dia lalu
mengangkat bahunya, "Sure! Pay my drink, ok?!" sahutnya lalu mengulurkan
tangannya padaku. Mengajakku untuk turun kelantai dansa. Kami bergerak
mengikuti alunan musik. Dia dengan lihai bergerak dengan sensual, menggesekkan
tubuhnya padaku, memancing. Saat suasana makin memanas, aku meletakkan kedua
tanganku dipinggangnya, menariknya mendekat dan membisikkan sesuatu
ditelinganya.
Dia tersenyum dan tanpa berkata apapun dia menarikku
keluar dari sana. Kami mencari hotel terdekat yang bisa kami temukan. Kami
melanjutkan apa yang kami mulai tadi dilantai dansa. Dan saat semuanya meledak
dalam pencapaian hasrat yang liar, aku terbaring lemas diranjang sementara dia
tergeletak disebelahku kehabisan tenaga.
I'm okay! I'm normal! pikirku
waktu itu dan melirik wanita disebelahku yang masih mencoba mengatur nafasnya.
Saat itulah aku baru sadar kalau aku bahkan belum menanyakan namanya.
Aku merasa konyol sesudahnya. Untuk apa aku
melakukan semua itu. Aku bukan tipe orang yang senang berkencan dengan orang
asing yang baru aku temui. Casual sex isn't a new thing. But with a complete
stranger, that's new. Lagipula, why should I doubt my manhood? Benar-benar
konyol dan tidak masuk akal. Apa yang aku rasakan pada Regha bukan hal yang
patut aku resahkan. Dia tak ubahnya seperti hewan peliharaan yang lucu dan asyk
untuuk diajak bermain. Hanya itu kan? Karena sudah pasti kalau aku bukan gay,
dan aku tak mungkinn menyukai......................
Tapi...... kenapa tak sedikitpun aku merasa tenang?
Apalagi sekarang! Saat aku berada didekatnya, melihatnya dengan jelas sekarang.
Semua ketenangan yang kurasakan sebelumnya jadi terasa samar dan lupertanyakan
keabsahannya. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Apa yang sebenarnya
kurasakan sekarang ini? pikirku. If I were really gay, then I won't get
turned on by a girl right? Kenyatannya,
aku masih ngiler dengan cewek. seksi. I could f#ck them senseless.Gay guys
won't be able to do so! Lalu............ penjelasan apa yang bisa menjabarkan
apa yang kurasakan ini?
Selama beberapa hari aku memikirkan hal itu, tapi
aku tak pernah bisa menemukan jawaban yang bisa memuaskanku. Tak bisa
dipercaya. Kalau berurusan dengan Regha, seakan-akan aku tak bisa berpikir
normal. Segala hal mengenai dia selalu bisa membuatku bereaksi lain seperti
biasanya. Contoh konyolnya saja tadi. Setelah beberapa hari sukses mendiamkannya,
aku langsung melupakan hal itu saat kudengar dia menerima telepon dari Rizky.
Tubuhku bergerak dengan sendirinya. Dengan cepat aku menyambar hapenya, dan
mengatakan pada Rizky bahwa hari ini, dia tak akan bisa bersama dengan Regha
seperti keinginannya.
Yeah, konyol! Tapi Regha dan juga Rizky bisa
membuatku mampu melakukan hal itu.
"Ki..?!"
Aku sedikit tersentak kaget, apalagi saat mendapati
Regha yang berdiri didepanku dengan segelas kopi hangat ditangannya. Aku
celingukan sebentar, mencoba melakukan sesuatu, entah apa itu. Namun akhirnya
sadar, kalau aku hanya akan mempermalukan diri sendiri didepannya,
""W-what?" tanyaku agak gugup tanpa memandangnya.
"Kopimu," jawab Regha dan mengangsurkannya
padaku.
"J-just put it. Aku akan meminumnya
nanti," jawabku lagi dan kembali tak melihatnya. Aku lebih memilih
menancapkan pandanganku pada laptop dihadapanku. Berusaha terlihat biasa meski
bisa kurasakan debaran aneh didadaku. Entah karena alasan apa, jantungku
meningkatkan kekuatan detakannya, sehingga nyaris bisa kurasakan denyutannya
disekujur tubuhku.
What the hell is wrong with me?!!!!
REGHA
Aku mencuri-curi pandang pada Zaki yang asyik
menyantap ayam lalapan didepanku dengan sambel pedasnya. Ini nih yang paling
bikin gak nahan ngeliatnya!! batinku sedikit stress. Ternyata aku paling
nggak bisa kalau ngeliat Zaki makan makanan pedas. Bibirnya itu lho. Jadi
keliatan makin memerah basah dan...... menggoda.
HUWANJEEEEZZZ!!!!!!
GELOOOO!!!! Gue mikir apaan coba?!!! Ya
alloooohhh!!! Sadar, sadar Reghaaaa!!!! Istighfar!!!
Aku mencoba mengusir pikiran-pikiran sinting itu
dari otakku. Mencoba menyibukkan otakku dengan imej-imej lain yang kupikir bisa
mengalihkan perhatianku. Tapi lagi-lagi mataku bergerak sendiri, kembali
mencuri-curi pandang ke arah bibir Zaki. Beeuuhhhh!!! Tuh bibir dikasih apa
ya bisa keliatan kayak gitu? Beda banget ma bibir orang-orang kebanyakan,
ataupun bibir cewek yang dikasih produk kecantikan macem lipstik ataupun lip
gloss yang serng dipake Regi. Kalo bibir Regi aja, meski terlihat basah abis
make lip gloss, tetap aja gak keliatan imut begitu. Bibirnya cuman pink basah
aja. Tapi coba liat deh si Zaki. GUSTIIIIIIII!!!!!!!! Berapa kali gue kudu
nelen ludah sih?!!!
"Gha?!!" tegur Regi dari arah sampingku.
"Bibir," gumamku pelan tanpa berpaling
dari bibir Zaki.
"Bibir? Bibir siapa?" tanya Regi heran.
Detik itu aku baru sadar dan sontan berpaling pada
Regi dan Vivi yang duduk disebelahku, "Eh apa?!!" tanyaku mencoba
menutupi salah tingkahku, meski aku tahu passti kalau wajahku memerah. Anjiiiiss!!!
Gue tadi ngomongnya keras apa?!! DODOOOOLLL!!!!
Regi tak menjawab, tapi matanya langsung terarah
pada Zaki yang duduk didepan kami. Jelas dia tahu bibir siapa yang ku maksud
tadi. Dan detik berikutnya dia langsung menyikut. Vivi untuk memberitahunya.
Saat ini kami berada disebuah rumah makan jawa. Zaki lagi bolong hatinya. Tadi
kami sedang mengerjakan laporan panti dirumahnya ketika Regi meneleponku dan
ngajak hang out bareng. Dia dengan santainya mengundang dirinya sendiri untuk
ikut bergabung dengan kami. Kami menjemput Regi yang menunggu di kostan ku.
Meski heran, tapi Regi bisa segera menguasai dirinya.
Dia segera masuk ke mobil
Zaki. Kami lalu menuju Vivi yang saat kami telepon sedang menunggu didepan BIP.
Vivi yang tadi mengusulkan untuk makan di Rumah
Makan Jawa ini. Mulanya Zaki tampak heran dengan pilihan Vivi. Tapi saat dia
melihat menunya, aku bisa melihat kalau dia mulai tertarik. Tanpa ragu dia
memilih ayam lalapan dengan sambal pedasnya. Sepertinya bule sinting itu sedang
tergila-gila dengan sambal.
"Bibir?" celetuk Zaki yang sepertinya juga
mendengar apa yang menarik perhatian Vivi dan Regi tadi. Dia menoleh ke arah
kami dengan tatapan tanya. Saat kami tak menjawab, dia menegakkan punggungnya,
"What? There's something on my lips?" tanyanya dan
mengambil tissue untuk mengusap bibirnya.
Aku menendang kaki Regi yang ada dibawah meja.
"Eh tuyul bencong!!!!" pekiknya yang jadi
kumat latahnya karena kaget, "Sakit banci!" umpatnya sembari
meringis.
"Nggak pake corong sekalian?" gerundengku pelan
dengan geraham terkatup kesal. Coba bayangin gimana reaksi Zaki kalo dia tahu
aku tadi asyik ngecengin bibirnya. Bisa bisa aku dia anggap bencong mesum kan?!
Vivi hanya tersenyum dengan kelakuan kami,
"Your lips," ujarnya santai pada Zaki dengan nada santai. Aku yang
mendengarnya langsung mendelik marah. Tapi Vivi dengan santaimalah meraih gelas
orange juice nya, seakan-akan dia tak melihat tatapanku.
"Apa yang salah dengan bibirku?" tanya
Zaki heran.
"Nothing!" jawab Vivi kalem,
"Hanya saja bibirmu terlihat seperti memakai lipstik sekarang. Terlihat
merah," lanjutnya lagi dan melemparkan senyum.
"Really?" tanyanya dan menjlat
bibir bawah dengan lidahnya. Tindakan yang buruk, karena sekarang bibirnya
terlihat semakin basah dan berkilat, membuatku tanpa sadar menelan ludah.
TOLOOOOOOONNGG!!!!!! GUA MIKIR APAAN
SIIHHH??!!!!
"Mungkin karena
sambalnya yang terlalu pedas," gumam Zaki dan meraih gelas minumannya. Dan
mataku tak ppernah lepas dari bibirnya yang menempel digelas itu, dan
gerakannya yang menghirup isi gelasnya dengan perlahan. Dimataku, semua
gerakannya tampak terlihat seperti film yang bergerak dengan lambat dan jelas,
juga................... menggoda.
"Aku harus kebelakang sebentar!" pamitku
dan cepat-cepat bangkit. Aku bisa beneran gila dan melakukan hal konyol
kalau aku tetap disini. Aku butuh jeda sejenak! pikirku kalut. Saat berada
di kamar mandi, baru aku bisa menghembuskan nafas. Aku lalu mencoba menarik
nafas panjang, mengisi paru-paruku dengan bau kamper kamar mandi yang
normalnya, sama sekali tak kusukai. Tapi kali justru lebih kupilih daripada
harus duduk diluar sana. Aku mendekat ke wastafel untuk mencuci mukaku.
"Sadaaarr!! Sadaaaarr Regha. Maneh teh lain
awewe. Maneh lalaki. Sadaaaar Regha, sadaaaaarr," gumamku beberapa kali
sembari membasuh mukaku dengan air kran yang cukup dingin. Aku mengangkat
wajahku, dan langsung tertegun saat kutemukan Regi yang sedang membasuh
tangannya disebelahku.
"Sepertinya kita harus bicara," ujarnya
santai sembari menoleh padaku dari arah cermin. Lalu tanpa menunggu jawabanku,
dia melangkah keluar.
Gawat!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar