Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle ) Chapter 22 - Thank You



ZAKI



Regha belum membalas sms yang kukirim tadi. Entah apa yang dilakukan oleh si Ceroboh itu sekarang. Menjengkelkan! Aku harus menegurnya. Aku tadi menanyakan apakah file yang dia kerjakan semalam sudah dikirimnya atau tidak. Jam 10 tadi Lita, asisten Mommy, menelpon dan menagih laporan yang kami kerjakan itu. Regha seharusnya mengirim laporan itu pagi tadi. Dia pasti lupa! Kebiasaan!  Teledornya nggak sembuh-sembuh.

Aku sudah meneleponnya, tapi tidak diangkat. Sms pun tidak dibalas. Sepertinya aku harus menemuinya langsung. Padahal banyak yang harus kukerjakan hari ini, batinku kesal. Karena itu pas waktu istirahat, aku segera mencarinya. Tapi aku tak melihat batang hidungnya dari tadi. Aku sudah mengecek kantin, perpustakaan dan kantor redaksi. Nihil. Aku sudah hampir menelepon hape nya lagi saat sudut mataku menangkap bayangan familiar seseorang.

"VIVI!!!!" panggilku.

Sosok itu berhenti, tapi yang kuherankan adalah saat kulihat Jordan yang berjalan tak jauh dibelakangnya. Jordan terlihat cukup kaget dengan kemunculanku. Dengan sedikit salah tingkah, dia melambai padaku dan cepat-cepat pergi melewati Vivi yang cuma memutar bola matanya dengan kesal. Sepertinya hubungan mereka tetap saja buruk.

"Ada apa?" tanya Vivi.

Aku yang sedang memandang kepergian Jordan dengan kening berkerut segera berpaling padanya, "Are you okay? Apa Jordan mengganggumu lagi?" tanyaku. Meski aku tak bisa mengatakan kalau aku akrab dengan Vivi, tapi tetap saja, pemikiran kalau Jordan mengganggunya membuatku kesal.

"Don't worry. I can handle him," sahut Vivi santai membuatku tersenyum.

"Kau lihat Regha?" tanyaku langsung.

Vivi mengangkat bahu, "Hari ini aku sama sekali tak melihatnya. Sepertinya dia tidak masuk," jawab Vivi santai. Aku mengumpat pelan mendengarnya. What the heck is he doing?! batinku dongkol. "Ada masalah?" tanya Vivi lagi heran.

"No! It's nothing important," jawabku cepat sementara otakku berpikir. Tak ada jalan lain, aku harus ketempatnya. Kalau sampai dia tak. ada disana, or worse, if I found out that he's going out with that Rizky guy, akan kupastikan dia menyesal seumur hidup, tekadku dalam hati. "I need to go. Thanks!" pamitku pada Vivi yang masih menatapku heran. Dengan cepat aku menuju ke lapangan parkir lalu melesat menuju kostan Regha.

Sesampainya disana, aku mendapati tempat itu sepi. Sepertinya hampir semua penghuninya sedang beraktivitas. Aku semula ragu untuk masuk, tapi kemudian aku melihat salah seorang penghuninya yang muncul dari dalam hanya dengan memakai handuk. Aku segera mendekatinya.

"Maaf, Regha?" tanyaku langsung.

Dia segera paham, "Ohh, ada kok. Langsung aja kekamarnya," katanya langsung dan menunjuk kekamar Regha.

Tak perlu diberitahu 2 kali, aku segera kesana. "Gha?!!" panggilku dan mengetuk pintu. Tak ada sahutan, tapi aku mendengar suara keresekan dari dalam. Aku kembali mengetuk dan memanggilnya.

"Iya! Bentar," sahut Regha dari dalam. Keningku sedikit berkernyit saat mendengarnya. Suara Regha terdengar aneh. Mirip dengan orang yang habis nangis. Masa sih? pikirku tak percaya.

Pintu terbuka dari dalam. Dan Regha muncul didepanku dengan tampang yang lebih kacau dari biasanya. Dia memakai pakaian tebal, plus kaos kaki. Wajahnya pucat kucel dengan rambut yang awut-awutan dan aku mencium aroma kayu putih dari tubuhnya.

"You're sick," kataku datar. Pantas dia tak bereaksi saat kuhubungi.

"Sepertinya flu," jawab Regha dengan suara sengau. Dia menyusut hidungnya dengan tisu dan melangkah kedalam tanpa mempersilahkanku. Aku menyusulnya tanpa diminta. Regha berbaring ditempat tidur busanya dan memejamkan mata, seolah-olah mengacuhkanku.

Sejenak aku hanya diam memperhatikannya. Ada keringat yang bermanik dikeningnya. Tubuhnya benar-benar drop. Aku menghela nafas, "Kau belum mengirim laporan pagi tadi. Aku medapat teguran," kataku kembali dengan nada datar.

Mata Regha langsung terbuka mendengarnya, "Ya Allah! Zaki, aku lupa! I'm sorry, I'll. . . ."

Aku mengangkat tanganku untuk mencegah Regha yang mencoba bangkit. "Just tell me where did you put the file," pintaku.

Regha kembali menutup matanya dengan dahi berkernyit seperti menahan sakit, "Ada dalam laptop! Dalam file. . . " dia berhenti dan memijat dahinya yang kembali berkeringat, ". . . . . dalam file kantor. Local disk. D! I"m sorry, kepalaku. . ."

"It's fine," jawabku singkat dan segera meraih laptop Regha dan menghidupkannya, "Tapi kau sudah membereskannya kan?"

Dia mengangguk samar, "Hanya tinggal mengirimkannya," jawabnya dengan suara sedikit gemetar.

Aku menemukan file itu ditempat yang dia katakan tadi. Aku segera membukanya, melakukan sedikit cek ulang. Seperti kata Regha, laporan itu telah selesai ia kerjakan. Jadi setidaknya dia sempat membereskannya sebelum kolaps. Aku segera menghubungkan laptop Regha dengan jaringan internet. Sembari menunggu, aku sempat meliriknya. Dia terlihat payah. Regha tak henti-hentinya memijat dahinya yang berkeringat.

"Kau sudah minum obat?" tanyaku singkat sembari memalingkan muka, tak melihatnya. Sambungan internet telah terhubung.

"Sudah," jawab Regha singkat dengan suara yang kembali terdengar sedikit bergetar, "Sepertinya cuma masuk angin biasa. Mungkin karena aku kurang istirahat saja. Beberapa hari ini aku sulit tidur," lanjutnya lagi.

Penjelasan itu membuatku teringat perkataan Mamah dikampung. Beliau mengatakan kalau dalam keadaan sakit, Regha suka kumat manjanya dan tak akan bisa tidur kalau tidak ditemani. Entah kenapa. Jadi kalau tadi dia mengatakan bahwa dia tak dapat tidur, apa lagi semalam, aku jelas percaya.  Aku segera mematikan komputer saat file sudah terkirim ke alamat yang kutuju.

"Aku akan memanggil dokter dan. . "

"Jangan!" potong Regha cepat membuatku yang sedang menaruh laptop menjadi sedikit tertegun, "Please, don't! Aku 
baik-baik saja. Aku hanya perlu sedikit istirahat," katanya dengan wajah sedikit lebih memucat daripada tadi. Bibirnya semakin kehilangan warnanya. Aku tak ingin meninggalkannya dalam keadaan seperti itu, tapi banyak yang harus kukerjakan hari ini.

Aku menarik nafas sejenak, "Fine. Kamu istirahat saja. Aku sudah mengirimkan file tadi," kataku. Regha hanya menjawabnya dengan gumaman tak jelas. Aku segera keluar kamar dan meneleon Vivi. Aku pinta dia segera datang bersama dengan Regi. Salut untuk Vivi, dia langsung mengiyakan tanpa bertanya apapun. Aku sendiri harus mempersiapkan beberapa hal dan kukatakan pada Vivi untuk menungguku disini.

Satu jam kemudian saat aku kembali, Vivi dan Regi sedang menungguku diteras kost an Regha. Mereka langsung berdiri begitu melihatku yang keluar dari mobil. Kupinta sopirku untuk tetap menghidupkan mobil, karena aku hanya sebentar.

"Is he okay?" tanyaku langsung.

"He's sleeping," jawab Regi dengan senyum tipis.

"Look, I need to do something. Kupinta kalian tetap disini. Temani dia. If he got worse, call this doctor. Katakan aku yang memintanya. Berikan alamatnya dan dia akan segera datang, okay?" Mereka berdua mengangguk, "Aku mungkin akan kembali sekitar jam 7 malam. Jangan pergi sebelum aku kembali. Dan ini,"aku menyerahkan sebuah amplop yang diterima oleh Vivi.

Dia membukanya dan terbelalak melihat isinya. "Untuk apa uang ini?" tanya Vivi heran.

"Itu uang 5 juta yang dulu kalian berikan pada Regha untuk melunasi hutangnya padaku. Please don't ask anything. Dan jangan katakan apapun pada Regha. Am I clear?"

Yang membuatku heran, keduanya hanya saling memandang dan kemudian tersenyum mengerti. Huh? Padahal kukira aku harus menjawab seribu macam pertanyaan dari mereka berdua. Terutama Regi, pikirku. Tapi aku tidak keberatan dengan reaksi mereka sekarang. Setidaknya itu akan menghemat waktuku.

"Kau pasti juga menyiapkan uang sepuluh juta yang Mas Rizky berikan pada Regha?" tanya Regi masih dengan senyumnya.

"Aku sudah menyiapkannya. Akan kuberikan sendiri padanya. Trust me!" sahutku cepat. Regi dan Vivi kembali saling berpandangan dan kemudian mengangkat bahu mereka. "Dan ini," kataku mengulurkan sebuah amplop lain pada mereka.

"What's that?" tanya Vivi tanpa menerima amplop yang kuulurkan.

"Ada satu juta didalamnya. In case you guys are hungry or anything. Aku tahu kalau menunggui orang sakit bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. I want you guys to make yourself comfortable. Do or buy anything yang kalian inginkan untuk melewatkan waktu," jelasku lagi.

"Whoaahh!! Zaki, Regha adalah teman kami. We'll help him. Kau tak perlu. . ."

"I'll take it!" sahut Regi dan menyambar amplop ditanganku, "Mungkin kita akan memerlukannya kan? Siapa tahu?" 
ujarnya saat Vivi melotot protes padanya.

"He's right Vi!" sahutku menenangkan Vivi, "Okay. I'll go. Ada sesuatu yang harus aku bereskan. Remember, don't go till I comeback, okay?"

"Fine! Just go! We'll be here!" sahut Regi dan mengibaskan tangannya padaku dengan gayanya yang biasa. Aku tersenyum melihatnya dan kemudian segera berbalik menuju mobilku. "Kita pergi ke alamat yang kuberikan tadi," kataku pada sopirku.


Dan kamipun melaju.  


Kami sampai diMajalengka sekitar pukul 2 siang. Untung saja aku masih mengingat dengan cukup jelas jalan menuju rumah Regha. Meski agak sedikit nyasar saat mencari jalan masuk berbatu yang menuju daerahnya. Ketika melewati persawahan milik Abah aku dibuat sedikit tertegun. Lahan itu terlihat aneh dengan batang tanaman padinya yang roboh, rata dengan tanah. Beberapa bahkan tercabut dari akar. Dikanan dan kiri jalan juga tampak beberapa pohon-pohon besar tumbang. Batang-batangnya yang rebah dibiarkan menggeletak dipinggir. Sepertinya ada yang telah menyingkirkan pohon-pohon itu. Aku yakin, beberapa hari kemarin, sebagian besar batang pohon itu melintang ditengah jalan yang kami lewati. Penduduk lokal sepertinya telah bekerja keras.

"Aku tak mengira kalau keadaannya separah ini," gumamku pelan.

"Badai beberapa hari kemarin memang cukup besar Sir. Ada beberapa korban jiwa dan banyak yang luka-luka. Cukup banyak juga rumah penduduk yang rusak," imbuh Adam sopirku yang usianya pertengahan 30 an. Dia sebenarnya jarang kugunakan tenaganya. Adam lebih sering berurusan dengan Mommy. Tapi kali ini aku terlalu lelah untuk melakukan perjalanan ini sendiri.

"Kau membacanya dikoran?" tanyaku datar.

Adam mengangguk, "Beritanya juga beberapa kali diliput oleh televisi nasional Sir," jawab Adam.

"I didn't watch it," gumamku lagi, "Rumah berikutnya adalah tujuan kita. Masukkan saja mobil kehalaman," kataku lagi saat kulihat atap rumah Regha. Dan lagi-lagi aku dibuat sedikit kaget dengan kondisi disana. Ada yang berbeda dengan rumah Regha. Atap rumahnya sedikit lain, juga beberapa bagian terlihat baru. Sepertinya rumah mereka, meski masih kokoh, tetap saja terkena efek badai itu. Mamah dan Abah yang sedang duduk diteras rumah langsung berdiri saat mobilku masuk ke halaman rumah mereka.

Aku keluar dan senyum mereka langsung terkembang begitu melihatku. Abah tertawa kecil sementara Mamah tersenyum haru dengan tangan yang terlipat didadanya. Aku sendiri tak bisa menahan senyumku yang sontan terkembang melihat reaksi mereka.

"ASTII!! AGUS!!!" panggil Mamah.

Aku segera menuju mereka setelah mengambil beberapa barang dan tasku dari dalam mobil. Cepat aku meraih tangan Abah, dan menciumnya seperti yang Regha lakukan dulu. Abah menepuk bahuku pelan beberapa kali. Saat aku berpaling pada Mamah, bisa kulihat mata beliau berkaca-kaca. Beliau segera memelukku begitu aku telah mencium tangannya. Bahunya sedikit bergetar dalam pelukanku.

"Mamah. baik-baik saja kan?" tanyaku dengan dada sedikit sesak oleh sambutan mereka. Tak pernah sekalipun aku diperlakukan seperti ini, bahkan oleh anggota keluargaku sendiri. Sudut mataku terasa sedikit perih.

"Baik, Kasep. Alhamdulillah Allah masih melindungi kami semua," jawab Mamah pelan dan mengusap sudut matanya.

"A ZAKIII!!!!"  Asti yang keluar dari dalam langsung menghambur kedalam pelukanku. Untung saja beberapa barang yang kubawa tadi sudah kuletakan dulu waktu menyalami Abah. Kalau tidak, bisa rusak semuanya. Aku hanya tertawa kecil dan memeluk Asti dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku masih memeluk Mamah. Agus menyusul keluar. Matanya bersinar melihatku. Dia lalu meraih tangan kananku dan menciumnya. Bentuk penghormatan pada orang yang lebih tua, 
seperti yang dulu ia tunjukkan pada Regha.

"I'm glad you're all fine," gumamku pelan dan memandang mereka semua dengan dada penuh oleh rasa lega yang aneh.

"A Zaki dateng sama A Regha?" tanya Asti antusias.

Aku menggeleng mendengarnya, "Tidak. Aku datang sendiri. Regha tak tahu kalau aku datang kesini. And please, jangan katakan apapun padanya. Jangan beri kabar kalau aku kesini, okay?" pintaku pada Asti dan Agus yang menatapku heran. Meski tampak tidak mengerti, mereka hanya menganggukkan kepala.

"Regha baik-baik saja Zaki?" tanya Abah. Meski nadanya terdengar biasa-biasa saja, aku bisa menangkap kekhawatiran disana.

"Dia sedang sakit Bah," jawabku. Mendengarnya Mamah langsung mengeluarkan keluhan pelan dan kembali terisak.

"Mamah sudah menduga pasti dia akan begitu. Anak itu pasti kuatir Bah," ujar beliau.

"Regha hanya flu biasa Mah. Jangan khawatir. Aku sudah menitipkannya pada Regi dan Vivi. Anyway, I have something untuk Asti dan Agus," jawabku dan mengambil dua bungkusan yang kuletakkan dibawah tadi.

Mata Asti dan Agus langsung berbinar menerima hadiahku. Mulut mereka terngaga lebar saat mereka telah membuka dan melihat isinya. Ipad untuk Asti dan sebuah notebook untuk Agus. Mereka menatap benda ditangan mereka lalu padaku dengan terbelalak, tanpa mampu mengucapkan apa-apa.

"Do you like it?" tanyaku.

Mereka mengangguk bego, masih tanpa suara.

Aku tertawa melihatnya, "Now, kalau kalian bersedia, bisakah kalian membuatkan sesuatu untuk sopirku yang masih ada dimobil dan menemaninya sebentar? Ada yang harus aku bicarakan dengan Abah dan Mamah," pintaku.

Lagi-lagi mereka berdua mengangguk bego. Sampai kemudian deheman Abah membuat mereka sedikit kaget dan berpaling pada beliau.

"Ada yang harus kalian katakan?" tegur beliau.

Asti jadi sadar dari trance-nya. Dia kembali menghambur kepelukanku seraya berulang kali mengatakan terimakasih. Agus pun memelukku tanpa ragu. Sesudahnya mereka segera melakukan permintaanku. Agus mendekat ke mobilku, sementara Asti langsung kedalam untuk melakukan sesuatu.

"Aduh kasep. Kenapa harus beliin mereka begituan. Pasti mahal eta mah," tegur Mamah.

Aku hanya tertawa mendengarnya, "Nggak kok Mah. Kedua barang itu sudah lama menganggur dirumah. Abah, ada yang ingin saya bicarakan," kataku. Beliau hanya mengangguk dan mempersilahkanku untuk duduk tapi raut khawatir diwajahnya tak juga hilang.

"Aya naon kasep? Kenapa sampai Agus dan Sita nggak boleh tahu. Si Regha nggak apa-apa kan? Sakitnya nggak macam-macam kan?" tanya Mamah lagi.

Aku yang kemudian mengambil tasku yang dibawah lalu ikut duduk dikursi teras hanya tersenyum mendengarnya. Kecemasan seorang Ibu. Tidak akan cukup meyakinkannya sekali, bahwa buah hatinya baik-baik saja. Kenapa aku tak pernah mendapatkannya dari Mommy? batinku, sedikit iri akan keberuntungan Regha. "Kan tadi sudah bilang kalau Regha baik-baik saja Mah," ujarku, mencoba meyakinkannya dengan senyumku, "Dia cuma sakit flu biasa. Kemaren sempet kehujanan sedikit."     

"Lalu ada hal penting apa yang hendak dibicarakan Zaki?" tanya Abah dengan sedikit nada penasaran.

"Zaki sedikit tersinggung dengan Abah dan Mamah," tukasku singkat.

Sejenak hening membungkus kami. Baik Abah ataupun Mamah tampak kaget luar biasa dengan kalimatku tadi. Mereka menatapku dengan sorot heran sekaligus tanya. Sejenak Abah mencopot rokok yang tadi dihisapnya, dia mematikan rokok itu di asbak dan menunduk, tampak berpikir.

"Kasep. . . " tegur Mamah sedikit bergetar, ". . . maksudnya teh kumaha? Tersinggung kunaon Kasep?"

Aku menarik nafas panjang, melihat kearah Adam yang lewat dengan sedikit membungkuk untuk masuk ke dalam rumah dengan Agus dibelakangnya. Setelah mereka hilang dibalik pintu aku kembali memandang pada Mamah yang menanti jawabanku. Abah masih tertunduk dengan ekspresi yang datar.

"Zaki pikir, Zaki telah dianggap sebagai anggota keluarga Abah dan Mamah. Tapi sepertinya baik Abah ataupun Mamah, masih menganggap Zaki orang asing."

Lagi-lagi Mamah terhenyak mendengarku. Dia menatapku kaget dengan mulut yang terbuka. "K-kasep?"

"Kenapa Abah dan Mamah tidak menghubungi Zaki pada saat genting seperti sekarang? Kenapa Zaki harus mendengarnya dari Agus, bahwa Abah, terancam kehilangan lahannya?"

Kepala Abah terangkat dan mata kami bertemu. Tak ada kalimat yang beliau ucapkan, tapi ada hal yang ingin dia sampaikan lewat pandangan matanya itu.

"Kenapa tak menganggap Zaki sebagai anak sendiri? Zaki juga ingin menjadi bagian dari keluarga Abah ini."

"Kasep," desah Mamah pelan dan menyusut sudut matanya yang kembali basah.

Aku membuka tasku dan mengambil amplop tebal yang kubawa. Kuletakkan amplop itu diatas meja dan mendorongnya mendekat ke Abah, "Gunakan itu untuk menebus sertifikat tanah Abah yang ada di Bank. Sisanya Zaki minta Abah dan Mamah gunakan untuk kepentingan lainnya."

"Zaki. . "

"Zaki ingin dianggap sebagai anak Abah dan Mamah juga."

"Kami sudah menganggapmu anggota keluarga kami juga Kasep. Kau tidak harus melakukan ini," tukas Mamah.

"Bukankah sudah kewajiban seorang anak untuk membantu orang tuanya?" tanyaku dengan senyum. Aku bangkit dan memeluk Mamah yang kembali tersedu dikursinya dari belakang. Aku sandarkan kepala beliau didadaku dan mengusap rambutnya pelan, "Dan sudah kewajiban seorang anak untuk berbakti pada orang tuanya. Benar kan Bah?"

Abah tak menjawab. Beliau hanya kembali menunduk dengan sudut mata yang basah.




Malam telah turun saat kami kembali memasuki kota Bandung. Tubuhku lelah, menuntut untuk diistirahatkan. Tapi masih ada beberapa hal yang harus aku lakukan. Aku sudah meminta Adam untuk langsung menuju kost an Regha. Regi dan Vivi pasti menungguku. Aku harus kesana meski aku sedikit payah. Tubuhku terasa lemas dan berat, meski hatiku terasa begitu ringan.

Butuh waktu dan sedikit bujukan untuk meyakinkan Abah agar beliau mau menerima bantuanku. Jumlah bantuanku cukup membuat mereka tercengang. Abah memang sedikit keras kepala. Aku harus melobinya dengan kemampuanku yang untungnya sudah sedikit terasah. Beliau sempat mengatakan bahwa beliau akan mencicil uang yang dianggapnya sebagai pinjaman itu. Pada akhirnya kesepakatan tercapai bahwa Abah hanya akan mengembalikan uang itu pada saat terkumpul utuh. Aku berhasil menghindari beliau dalam membicarakan tanggal jatuh temponya juga meminta mereka merahasiakannya dari Regha.

Aku tak punya niat untuk meminta uang itu kembali.

Meski terdengar klise, tapi keluarga Abah telah memberiku pandanganku tentang makna sebuah keluarga sebenarnya. Mereka telah memasukkanku dalam lingkaran kecil mereka yang hangat. Dan itu bermakna lebih bermakna bagiku dari lembaran-lembaran uang.

"We're here Sir," kata Adam sedikit mengejutkanku. Aku membuka mata dan mendapati bahwa kami telah berhenti didepan kostan Regha.

Aku menghela nafas sebentar, "Kau akan langsung kembali ke Majalengka?" tanyaku. Tadi Mamah bilang kalau beliau akan ke Bandung untuk menjenguk Regha. Beliau sudah hapal bagaimana tabiat putranya itu kalau sakit. Aku sudah meminta Adam untuk kembali ke Majalengka setelah mengantarku. Jadi Mamah tak perlu khawatir soal kendaraan.

"Ya Sir. Tadi Pak Rahman sudah mengijinkan saya untuk beristirahat dirumah beliau," jawabnya.

"Okay then. Be careful! I gave you the money, right?"

Adam hanya mengangguk untuk menjawabku. Aku segera keluar dan dengan langkah pelan menuju kamar Regha. Kulihat lampu kamarnya masih menyala. Ada sdikit suara-suara didalam yang membuatku agak mengerutkan dahi. Aku sudah hendak mengetuk pintu saat pintu itu terbuka dengan sendirinya. Rizky berdiri didepanku dengan tatapan kaget. Lebih-lebih aku.

"What the hell are you doing here?!!" tegurku sedikit keras.  





RIZKY



"Jadi apa reaksinya?" tanya Ferdy.

Aku tak langsung menjawabnya. Hanya mengedarkan pandanganku ke saentero kantin Rumah Sakit yang hari ini tidak begitu ramai. Waktu istirahat masih setengah jam lagi. Tapi sepertinya, sebagian besar orang malas untuk mengisi perutnya.

"Ky?" tegur Ferdy lagi.

"Dia bilang dia tak bisa menjadi pacarku," jawabku pelan. Kalimat tadi membungkam kami berdua, sehingga untuk beberapa lamanya, hanya keheningan yang ada diantara kami.

"Dia menolakmu?" tanya Ferdy lagi.

"Entahlah. Aku. . . . sedikit bingung. Karena Regha juga mengatakan bahwa dia menyukaiku. Menyayangiku. Dia nyaman 
berada disisiku, juga dengan kegiatan rutin malam minggu kami. Dia tak ingin kehilangan itu semua. Namun bahkan itupun belum mampu membuatnya yakin, bahwa dia ingin jadi pacarku," kataku dengan tatapan menerawang.

"Dia. . . . sedikit rumit ya?" komentar Ferdy membuatku sedikit tersenyum, meski tipis.

"Bukan rumit Fer. Hanya saja, dia tak pernah berpikir kalau dia bisa berada dalam situasi seperti sekarang ini. Aku yang sebenarnya menjadikannya rumit. Tapi. . . aku benar-benar ingin memilikinya."

"Jadi kesimpulannya?"

"Aku memberinya waktu untuk berpikir lagi. Apakah dia merasa cukup hanya dengan menjadi temanku, ataukah lebih."

"Berapa lama?"

"Aku tak tahu," jawabku pelan yang lebih mirip keluhan.

Beberapa saat lamanya Ferdy hanya diam memandangku. Aku cuma sedikit nyengir, mencoba bersikap seakan-akan semua hal yang kusebutkan tadi tidak mempengaruhiku. Sudah lama aku belajar untuk menyembunyikan apa yang kurasakan dari pandangan orang lain. Biasanya aku cukup ahli dalam melakukannya. Tapi mengelabui Ferdy ternyata bukan hal yang mudah. Dia seolah-olah selalu tau apa yang sedang bergolak  dalam benakku. Sedikit menakutkanku. Namun disisi lain, aku terkadang berharap kalau Regha juga bisa melakukan hal itu. Lucu bagaimana manusia terkadang berusaha sekuat mungkin mengejar sesuatu, meski sebenarnya apa yang dia kejar sebenarnya hanya fatamorgana semu saja. Terkadang apa yang sebenarnya kita butuhkan berada tepat didepan mata kita. Tapi hati dan mata kita terkadang cenderung memaksa raga kita untuk mengejar apa yang kita inginkan, bukan apa yang kita butuhkan, pikirku sedih. Aku sendiri contoh nyata dari bodohnya seorang manusia. Didepanku berdiri seorang Ferdy dengan semua kualitas dan dedikasinya padaku, tapi bahkan, setelah tahu apa yang Ferdy tawarkan padaku, aku akan lebih memilih Regha seandainya Regha menawarkan sedikit perhatiannya padaku. Terkadang setelah begitu banyak pengalaman yang aku alami, aku masih merasa sebagai seorang anak kecil yang naif.

"Kau butuh penyegaran," ujar Ferdy menarikku lepas dari lamunanku yang sedikit jauh.

"Huh? Apa?" tanyaku tak mengerti.

"Kau merasa jenuh kan? Mungkin sudah waktunya kau melakukan sesuatu untuk menyegarkan pikiranmu. Kapan terakhir kali kau mencoba...... bersenang-senang?"  tanya Ferdy dengan senyum antusiasnya. Sepertinya dia sudah punya sesuatu dibenaknnya.

"Bersenang-senang? Dengan semua kegiatan kita disini? Mana sempat?" gerutuku.

Ferdy sedikit tertawa mendengarnya, "Bener juga. Karena itu, kita mungkin harus segera me-refresh otak kita. Kamu warga Bandung kan? Kenapa tidak kau tunjukkan padaku kehebatan kota ini? Mungkin dengan begitu kau bisa merasa sedikit fresh dan akan bersemangat kembali untuk mendapatkan Regha. Gimana?" tawarnya.

Aku mendengus dengan idenya, "Bilang aja kalo minta diajak jalan-jalan," gerutuku.

"HeI, bukankah dengan itu kau bisa menyegarkan kembali emosimu sekaligus mengusir kebosananku. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui kan?" kilahnya nyengir.

Aku hanya mampu tersenyum dan menggeleng oleh semangatnya. "Baiklah! Kita langsung saja nanti sepulang dari rumah sakit!" Ku pikir toh tak ada salahnya. Ferdy telah banyak memberiku. Mungkin sudah waktunya bagiku untuk melakukan sesuatu untuknya.

Karena mendadak, aku tak memiliki ide harus mengajak Ferdy kemana. Akhirnya aku cuma membawanya keliling kota. Menunjukkan beberapa spot menarik yang bisa dikunjunginya. Sempat juga membawanya melewati BIP dan CIWALK yang konon jadi tempat kongkownya para gay di malam minggu. Aku sendiri tidak pernah tahu ataupun ingin tahu untuk mengecek kebenarannya. Karena di Bandung ini, aku benar-benar menjaga privasiku. Aku juga menunjukkan GESIBU, yang pada hari minggu pagi akan sangat ramai dengan pasar dadakannya.

Ferdy tampak menikmati sedikit tour kami. Dia terlihat antusias dan mengajukan berbagai macam pertanyaan yang ku jawab semampuku. Kami sedikit bercanda dan tertawa beberapa kali. Meski agak enggan, aku harus mengakui kalau dia telah mampu mengalihkan perhatianku. Sedikit tertawa memang hal yang paling aku butuhkan saat ini. Aku berterimakasih pada Ferdy telah memberiku.

Akhirnya, kami sampai didaerah Cimbuluit. Aku mengajaknya makan di salah satu restoran disini, sembari menikmati ketenangan alam setelah tadi kami berkeliling kota. Aku sengaja mencari tempat disalah satu saung yang memiliki sedikit privasi. Karena aku memang menginginkan sedikit keheningan.

"Banyak juga ya spot anak-anak gaul disini," ujar Ferdy sembari meneguk jus jeruknya, "Dan..... tempat ini cocok untuk mereka yang sedang berkencan. Berapa orang dari mantanmu yang kau ajak kesini Ky?" tanyanya dengan senyum terkulum.

Aku membalas senyumnya tipis dan mengangkat bahu, "Beberapa. Orang terakhir yang aku bawa kesini adalah Regha," jawabku dengan nada datar, berusaha terdengar biasa.

Hening. Ferdy tidak mengatakan apapun untuk beberapa lama. Aku sendiri lebih memilih untuk berkonsentrasi dengan makanan yang didepanku. Atmosfir yang tadinya santai dan ringan, kini menjadi sedikit menekan dan tak nyaman. Mungkin tadi aku tak seharusnya mengatakan hal itu, tapi jawaban tadi keluar begitu saja.

"Pernah bertanya-tanya mengapa kita bisa jadi begini Ky?" tanya Ferdy pelan.

Aku mengangkat wajah dan menatapnya heran. Tapi Ferdy hanya tersenyum dan mengangkat bahu.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Bertanya-tanya pada diri kita sendiri, mengapa kita bisa menjadi makhluk yang lain dari pada umumnya, dan sedikit rumit," jelasnya, masih dengan senyumnya yang tetap tersungging, "Well, kita lelaki, tapi malah jatuh cinta pada sesama lelaki. Dan lucunya, kita sepertinya memiliki persamaan lagi. Sama-sama jatuh cinta pada orang yang mungkin tidak mencintai kita. Kenapa kita tidak bisa menjadi normal dan biasa seperti yang lain? Jatuh cinta pada wanita, menikah dan memiliki anak. Tidak harus selalu bergulat dengan kesadaran diri kita. Kodrat kita. Hukum agama dan juga norma dalam masyarakat."

Aku diam mendengarnya.

"Kita memiliki semua kualitas baik dari seorang lelaki. Tubuh yang sehat, perilaku yang baik, intelejensi yang cukup, keluarga yang harmonis, dan juga wajah yang cukup bisa dibanggakan. Tidak bermaksud sombong, tapi lumayan juga orang yang mengatakan kalau aku cakep. Begitu juga denganmu, aku yakin itu. Tapi...... kenapa kita justru seperti ini?"

"Bukankah filosofimu tentang cinta kemarin sudah cukup? Kukira kau sudah bisa menerima keadaan dirimu," tukasku sedikit heran.

Ferdy tersenyum mendengarnya, "Tetap saja. Ada saat-saat dimana aku ingin menjadi seperti yang lain. Ada momen dimana aku bertanya-tanya, kenapa aku tidak seperti yang lainnya saja. Dan kenapa juga aku harus jatuh cinta padamu yang jelas-jelas tidak menginginkanku."

"Aku tak pernah menjanjikanmu apapun Fer. Bahkan seingatku aku tak ernah sekalipun mengatakan kalau aku mencintaimu," jawabku sedikit dingin setelah diam beberapa saat lamanya.

"Hei, aku tidak sedang mencoba untuk membuatmu merasa bersalah Ky," sergahnya dan tertawa kecil, "Hanya sedang mencoba menguraikan fakta ironis yang sedang kita miliki sekarang. Maaf kalau menyinggung. Sepertinya EQ-ku (Emotion Quantent,tingkat emosi)sedang berada dalam titik tertinggi sehingga aku sedikit kacau."

"Makdsudmu kau sedang datang bulan?" celetukku dengan kening berkerut. Ferdy kembali tertawa kecil dengan gurauanku.

"Mungkin saja. Aku sepertinya sedang labil," selorohnya dan terkekeh.

"Kukira dengan semua kebijaksanaanmu yang kau tunjukkan kemarin, kau benar-benar berada dalam kondisi yang stabil."
Kembali Ferdy tersenyum mendengarku. Dia meraih gelas minumannya dan meneguknya sedikit. "Selalu ada saat-saat dimana emosi kita naik turun Ky. Tidak selamanya aku berada dalam kondisi stabil kemarin. Up and down emosi manusia umum terjadi kan?" seloroh Ferdy sembari menjulurkan lidahnya, mengejekku. "Kau sendiri? Kau jarang membagi kebijaksanaanmu dengan kami semua yang ada di rumah sakit."

"Tentang apa?" tanyaku tak mengerti.

"Tentang orang-orang seperti kita ini," tukas Ferdy, sedikit mendengus.

Sejenak aku terdiam, "Aku hanya ingin memanfaatkan waktuku sebaik mungkin," kataku pelan.

Ferdy mengangkat sebelah alisnya, "Mungkin kau harus lebih detail agar aku mengerti apa maksdmu," tukasnya.

"Sudah lama aku menerima kalau hal yang kita miliki ini, tak memiliki masa depan. Apalagi disini. Kita diikat oleh hukum agama, masyarakat dan juga negara. Kita juga terrikat oleh kewajiban dan tanggung jawab  kita terhadap orang tua. Aku tahu, bahwa suatu hari aku harus melepas apa yang kumiliki. Memenuhi kewajibanku pada orang tuaku. Menikah dan memiliki keturunan. Jauh dari apa yang kumiliki sekarang."

"Regha juga?" tanya Ferdy pelan.

Aku menatapnya datar. Fakta yang kusampaikan adalah nyata. Aku sudah lama menerimanya, namun bukan berati hal itu 
tak menyakitkanku. Tetap saja ada perih menusuk yang kurasakan di salah satu baggian tubuhku, tiap kali aku mengungkapkannya. Rasa yang selalu ku dorong kebelakang ke dasar alam bawah sadarku,  "Semuanya....." jawabku datar. 

Ada kilatan sedih dimata Ferdy yang kutangkap. Aku hanya mengangkat bahu.

"Lalu untuk bersusah payah, kalau pada akhirnya kau akan melepaskannya?" bisiknya lirih.

"Karena aku juga ingin merasakan kebahagiaan yang menjadi milikku sendiri. Aku cukup egois untuk mendapatkan kebahagiaanku, sebelum aku berkorban untuk membahagiakan orang tuaku. Bahkan meski aku harus menyakiti orang yang berarti bagiku. Seperti Regha. Atau mungkin...... dirimu," kataku pelan tanpa memutus kontak mataku dengannya, 

"Maaf."        

"Ky......"

"Aku ingin merasakan semua itu. Kau bisa menyebutnya bersenang-senang," ujarku,  mencoba terdengar acuh sembari mengaduk minumanku dengan sedotan yang kuambil.

"Kenapa kau tak bisa melakukannya denganku?"

Pertanyaan itu membuatku kembali mengangkat wajahku dan menatapnya. Reaksinya diluar perkiraanku. Kukira dia akan marah karena mungkin dia pikir, aku telah memannfaatkannya. Tapi yang kulihat adalah sorot pengertian yang dia berikan dalam sinar matanya. Sorot yang sering dia berikan padaku itu nyaris membuatku malu sendiri. Aku menarik nafas panjang, 

"Karena aku sudah telah menerima banyak darimu. Terlalu banyak. Sudah waktunya kau mendapatkan orang yang lebih baik daripada aku. Kau...... layak mendapatkannya."

"Tidak pernah terlintas dipikiranmu, kalau kaulah yang aku inginkan? Satu-satunya."



. . . . . . . .  . . .


Hening.


. . . . . . . . .. . .


Aku mencoba memilih kalimat yang tepat. Ingin memperhalus apa yang ingin kusampaikan. Tapi sekali lagi, aku tahu Ferdy layak mendapat kebenaran. "Aku tak bisa menjanjikan apapun padamu Fer. Aku tak bisa memberikan ikatan yang stabil, janji setia ataupun untuk terus berada disisimu. Aku mungkin akan menyepelekanmu untuk bisa bersama dengan Regha. Karena aku menginginkannya. Kau mau semua itu?"

Ferdy meraih tanganku yang ada dimeja, ""Akan kuambil apapun yang bisa kudapatkan darimu," tukasnya pelan dengan senyum pengertian yang kembali tersungging dibibirnya.



Kejadian setelah itu nyaris seperti gambar buram yang hanya sekilas terlihat. Yang kuingat adalah kami keluar dari restoran itu. Mencari sebuah hotel dan menghabiskan sisa malam bersama. Masing-masing dari kami seolah-olah menjadi seorang musafir yang tersesat, dan kemudian menemukan sebuah oasis di tengah gurun. Aku tahu, masing-masing dari kami membutuhkan semacam pelepasan dari rasa frustasi yang kami rasakan. Kami harus melarikan diri sejenak dari realita yang menyesakkan. Ferdy membutuhkannya. Aku juga. Kami melampiaskanya dalam penyatuan fisik yang liar, kasar dan bergelora. Saat semuanya meledak, hampir bersamaan kami mengeluarkan lenguhan keras. Aku harus menggigit bibir bawahku untuk mencegahku berteriak. Sementara Ferdy menenggelamkan wajahnya dalam-dalam ke bantal.

Tubuhku berkeringat hebat dan lemas begitu pelepasan rasa frustasi itu mencapai puncaknya. Ada kepuasan yang kurasakan.

Meski ada sesak yang akhirnya menemaniku.

Bahkan kini, saat pagi merangkak perlahan, rasa sesak itu masih menggangguku. Tanganku yang memeluk perut telanjang  Ferdy terasa berat dan kaku. Bayangan gila sesaat berkelebat dimataku. Bayangan wajah Regha yang seolah-olah menghakimiku dengan sinar matanya, tanpa kata. Maaf Gha. Tapi terkadang aku merasa hampir gila, batinku berat.

"Kau tak perlu menyesal Ky," ujar Ferdy perlahan. Aku bahkan tak menyadari kalau dia telah terbangun. Sesaat kemudian aku merasakan usapan telapak tangannya pada punggung tanganku yang memeluk perutnya.

Aku tak menjawab.

"Tubuhmu tegang. Aku bisa merasakannya," lanjutnya lagi dengan suara yang masih berat.

"Kau tidak merasa menyesal?" tanyaku.

Ferdy membalikkan tubuhnya dan sedikit menjauhkan wajahnya agar bisa menatapku. "Tidak! Karena aku tahu kita sama-sama memerlukannya. Kenapa? Kau merasa mengkhianati Regha?" tanyanya pelan.

Aku diam menatapnya sejenak, "Apa aku punya hak? Seingatku, kami tak pernah jadian," jawabku sedikit getir.
Tangan kanan Ferdy terulur dan menyentuh sisi wajahku, "Meski terdengar licik dan mirip seperti dalih, aku setuju dengan itu," gumamnya sembari tersenyum geli.

"Apa yang kau dapat dari semua ini? Hanya sex? Seingatku kau bukan orang yang berpikiran dangkal Fer" tanyaku.

Ferdy menarik nafas panjang, "Aku tahu, mungkin tak ada cinta untukku disini," kata Ferdy. Tangannya. beralih mengusap dadaku, dimana jantungku berada. Sejenak dia bermain dengan ujungnya, "Disini, dalam hatimu,  mungkin tak ada tempat bagiku. Tapi seperti yang telah kukatakan semalam, akan kuambil apapun yang kau tawarkan. Seperti yang kau katakan, kita bersenang-senang."

"Bagaimana kalau aku hanya memanfaatkanmu?" tanyaku pelan

"Akan kuambil apapun yang kau tawarkan padaku," jawab Ferdy lirih tanpa melepaskan pandangannya dariku, "Apapun itu."

Aku diam dan menelusuri wajahnya sejenak. Aku tak tahu apa yang harus aku katakan. Jadi aku hanya menarik nafas panjang dan menghembuskannya keras-keras. Seakan-akan meniup pergi semua keresahan yang mulai menggantung, 

"Mungkin kita harus segera mandi, karena kita harus segera ke Rumah Sakit. Kita beli saja kemeja baru di toko yang kita lewati nanti," kataku akhirnya.

"Mau barengan?" tawar Ferdy sambari tersenyum dan bangkit. Dia mengulurkan satu tangannya padaku. Aku hanya 
tertawa kecil dan menyambut uluran tangannya.

Kami tiba di rumah sakit sedikit terlambat karena agak kesulitan untuk menemukan toko yang buka pagi. Akhirnya kami kembali ke kontrakan Ferdy. Aku meminjam kemejanya. Pemikiran untuk datang ke tempat kerja dengan kemeja yang sama 2 hari berturut-turut sedikit menggangguku. Jadi aku setuju meminjam baju Ferdy dulu, meski agak kurang nyaman. Dan hari itu berlalu seperti biasanya. Ferdy bersikap normal. Hal yang terjadi semalam tak sedikitpun mempengaruhinya. Hanya aku yang merasa sedikit terganggu. Tapi. didepannya, aku mencoba bersikap biasa.  Agak sulit. Karena selain agak tak enak dengan Ferdy, terkadang aku masih melihat kelebatan wajah Regha yang menghakimiku.

Namun sore harinya, saat hendak pulang, aku tak dapat lagi menahan diri. Begitu ada dilapangan parkir, aku meraih hape dan menelepon nomor Regha. Aku ssedang menunggu waktu Ferdy berjalan kearahku yang berdiri disebelah mobilku di tempat parkir dengan senyum terkembang.

"Hei, malam ini bisa.." dia berhenti saat aku mengangkat tanganku. Panggilanku diangkat.

"Haloo?"

Bukan suara Regha. Aneh, "Maaf, Reghanya ada?" tanyaku sementara Ferdy berdiri diam disebelahku.

"Mas Rizky? Ini Regi, Mas. Reghanya sakit, jadi gak bisa mengangkat telepon," jelas Regi dari seberang.

"Aku akan segera kesana," sahutku cepat dan menutup telepon, "Maaf Fer. Regha sakit. Aku harus kesana," kataku buru-buru hendak masuk kemobil. Baru beberapa detik kemudian aku sadar apa yang aku katakan. Perlahan aku berbalik untuk melihat Ferdy. Yang mengejutkan, dia berdiri disana dengan senyum tersungging. Padahal aku kira aku akan melihat lagi sorot terluka dimatanya.

"Pergilah," ujarnya singkat.

Aku hanya tersenyum tipis dan segera masuk ke mobil. Aku coba mengacuhkan sedikit rasa bersalahku yang kini justru tertuju pada Ferdy. Dia tahu kondisi seperti apa yang dia masuki. Dan aku sudah dengan jelas, mengatakan kalau aku tak bisa memberinya apa-apa. Jadi aku tak perlu merasa bersalah padanya, batinku. Mencoba meyakinkan diri sendiri. 
Kupusatkan perhatianku ke jalan, berusaha secepat mungkin untuk segera sampai ke tempat Regha.

Jalanan yang macet karena jam pulang kantor membuatku sampai disana hampir dua jam kemudian. Hari sudah gelap dan kulihat ada Vivi dan Regi yang sedang ngobrol bersama beberapa orang teman kost Regha yang sepertinya hendak pergi keluar. Seperti mahasiswa lainnya, jam-jam seperti ini kebanyakan temen Regha nongkrong diluaran. Jadi kost-kostan cukup sepi saat ini. Mereka segera bangkit begitu melihatku mendekat.

"Bagaimana dia?" tanyaku tanpa menghentikan langkah, menuju ke kamar Regha.

"Tidur Mas. Sudah mendingan kok. Tadi habis minum obat," jelas Regi dan mengikutiku. Dia menyikut Vivi yang berjalan disebelahnya. Dalam keadaan biasa mungkin aku tertarik untuk tahu, kenapa dia melakukan hal itu. Tapi sekarang yang terpenting adalah melhat kondisi Regha.

Perlahan aku membuka pintu kamar Regha. Kulihat dia berbaring dikasur busa lantainya dengan selimut yang menutup hingga dagunya. Aku mendekat dan meletakkan tas kerjaku dengan hati-hati disebelah. Aku berjongkok dan memeriksa Regha. Tubuhnya berkeringat cukup banyak. Rambutnya tampak lembab. Aku menyingkirkan beberapa helai darinya yang menempel di kening. Kalau dia sudah berkeringat, itu bagus. Demamnya juga hampir mendekati normal.

"Gha....?" panggilku pelan dan sedikit mengguncang tubuhnya. Semula tak ada reaksi. Tapi setelah 3 kali panggilan, matanya bergetar dan membuka, "Bagaimana perasaanmu? Pusing atau ingin muntah?" tanyaku dengan suara menenangkan.

"Lemes..... enakan," sahutnya sedikit tak jelas, lalu kembali memejamkan mata.

"Apa yang dia minum tadi?" tanyaku pada Regi dan Vivi yang berdiri diam dibelakang kami.
Mereka tak menjawab, tapi Vivi menunjuk kearah bawah kasur Regha, dimana aku melihat satu strip Revagan, obat yang beredar umum di pasaran. Beberapa tablet dalam strip itu telah hilang dari bungkusnya.

"Dia udah mendingan kan Mas? Demamnya sudah turun kalau dibandingkan tadi," tanya Regi dengan sedikit khawatir. Dia duduk disebelahku. Aku bisa melihat kecemasannya membayang diwajahnya yang menatap Regha. Sekali lagi, aku tersentuh oleh kepeduliannya pada Regha. Seakan-akan dia memiliki ikatan yang lebih dari sekedar teman. Hal ini semakin membuktikan kualitas Regi sebagai teman. Dengan semua kekurangannya, menurutku Regi cukup berharga untuk Regha pertahankan.

"Sudah jauh lebih baik Gi. Dia hanya sedikit kecapekan atau mungkin......... sedikit kebanyakan pikiran," gumamku agak heran. Aku berpaling pada Regi. Tapi dia justru menoleh pada Vivi yang berada tak jauh dibelakangnya. Untuk sejeak mereka hanya saling memandang dengan tatapan saling mengerti. Ada sesuatu yang mereka tahu, "Kalian tahu sesuatu yang mungkin bisa dibagi denganku?" tanyaku, mencoba mencari keterangan yang bisa membantuku.

"Eeeeuuhh..... untuk hal itu, sepertinya tidak bijaksana kalo kami yang kasih tau Mas. Tapi.... kita katakan saja kalau dia 
memang sedikit memiliki beban pikiran," tukas Regi.

"Berhubungan dengan pekerjaan, atau mungkin..... Zaki," tanyaku dengan kening sedikit berkernyit. Ekspresi wajah Regi yang berubah membuatku sadar akan adanya sedikit kemarahan dalam suaraku.

"Z-zaki?" tanya Regi, tanpa menutupi keheranannya, "K-kenapa Mas Rizky menanyakan soal Zaki?"

"Jadi...... dia tak ada hubungannya," gumamku pada diriku sendiri tanpa menjawab pertanyaannya, dan dengan sedikit canggung berpaling pada Vivi. Keheranan juga tampak diwajahnya.

Vivi menggeleng, "Tidak ada, sama sekali. Justru Zaki yang sebenarnya meminta kami untuk menjaga Regha, karena dia harus membereskan sesuatu. Dan sepertinya.............." dia kembali berpaling pada Regi, "... kami tahu dia pergi kemana. Yang jelas, kami yakin Zaki justru lebih banyak membantu Regha," sambungnya lagi. Dan sekali lagi, aku menangkap pemahaman yang terjalin antara keduanya. Aku sendiri justru menjadi agak terlalu kesal untuk meminta penjelasan pada mereka karena dengan jelas, mereka tadi sudah mengatakan kalau mereka tak akan memberitahuku. Semula, kukira Zaki yang menjadi penyebab utama dari semuanya. Karena kalau memang iya, aku siap untuk membuat perhitungan. Dia cukup mengesalkanku akhir-akhir ini.

"Tapi...... kenapa Regha lemes gitu Mas?" tanya Regi, seakan-akan mencoba mengalihkan perhatianku.

"Efek dari obat saja. Justru baik kalau dia bisa beristirahat ataupun berkeringat seperti ini. Dia akan merasa jauh lebih saat bangun nanti. Tapi sepertinya, kita harus mengganti bajunya yang basah kuyup. Kalian..... bisa carikan baju ganti?" pintaku. Tanpa menjawab, Regi bangkit dan menuju lemari plastik yang ada diujung lain ruangan. Tak berapa lama, dia menyerahkan satu stel pakaian hangat padaku, "Terimakasih. Kalian bisa keluar sebentar?" pintaku lagi.

Mereka melakukannya tanpa kupinta lagi. Aku segera mengganti baju Regha. Berhati-hati agar dia tak terganggu atau terbangun. Meski dalam hati aku berharap kalau aku bisa melakukan hal yang sama, namun dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Aku memposisikan pikiranku sama saat aku menghadapi pasien sekarang. Menutup semua efek kontak fisik yang mungkin akan terasa berbeda pada waktu yang lain.

"Kalian bisa masuk!" panggilku pada Regi dan Vivi yang aku yakin menunggu didepan pintu. Mereka langsung masuk dan menoleh pada Regha yang kini terbungkus pakaian yang lebih bersih dan kering, "Kalian bisa bantu aku membereskan kamar ini? Dan.... apa ada laundry didekat sini? Akan lebih baik kalau kita jaga lingkungan sekitar Regha tetap bersih," kataku.

"Biar saya saja yang bawa ke laundry Mas," tawar Regi dan meraih baju-baju kotor Regha dan memasukkannya kedalam tas plastik yang entah dia dapat darimana, "Lo bantu Mas Rizky aja Nek," kata Regi pada Vivi yang langsung dijawab dengan anggukan.

"Gi, ongkosnya.."

"Nggak usah Mas," cegah Regi saat melihatku hendak merogoh kantong, "Mas nggak perlu khawatir tentang itu," katanya dan segera menghilang.

"Dia benar-benar teman yang baik," gumamku pelan.

"Itu juga karena Regha juga seorang teman yang baik Mas," sahut Vivi tanpa menoleh padaku. Aku tak punya sanggahan untuk itu. Tak ada lagi yang perlu dikatakan setelah itu. Kami bekerja dalam diam. Membereskan beberapa barang Regha. Keningku agak sedikit berkerut saat melihat sebuah laptop dengan merk apple yang baru kulihat.

"Punyamu Vi?" tanyaku dan menunjuk ke benda itu.

Vivi menggeleng, "Sepertinya punya Regha, Mas," jawabnya lalu melanjutkan berbenah.

Jawabannya semakin membuatku heran. Nggak mungkin Regha sanggup membeli barang semahal ini. Regha tak memiliki kemampuan itu. Meski sangat ingin tahu, aku mencoba menepiskannya. Aku dan Vivi mengumpulkan barang-barang yang tak perlu kedalam tas plastik lain.

"Aku akan membuangnya dulu," pamitku dan meraih handle pintu. Aku sedikit terhenyak saat dibalik pintu aku mendapati Zaki yang mengangkat satu tangannya, sepertinya hendak mengetuk. Sejenak dia tampak luar biasa kaget. Dia melihatku, sedikit terbelalak, lalu menelusuri seluruh kamar. Pandangannya berubah gusar dalam hitungan detik.

"What the hell are you doing here?!!!" sentaknya dengan geram.




ZAKI


Aku melotot kesal pada Vivi yang tampak terlalu kaget uuntuk langsung bereaksi.

"Kukira aku sudah memberi petunjuk yang jelas padamu!" tegurku. Aku tahu mungkin agak keterlaluan. Tapi kekesalanku cukup untuk membuatku tak peduli, "And you!!!" sentakku lagi dan berpaling pada Rizky, "Care to explain, what the heck are you doing in here?"

"Ki!" tegur Vivi dengan suara sedikit berdesis, "Bicaralah diluar. Regha sedang beristirahat," katanya mengingatkan.

Aku sudah hendak kembali membentaknya, tapi kulihat Regha memang tampak terganggu. Tubuhnya sedikit bergerak. Kelopak matanya yang tertutup terlihat berkedut. Aku hanya mampu menelan geraman yang sudah ada diujung mulutku. 

"You! Out now! And take your thngs with you!" kataku dingin dan berbalik menuju ke luar beberapa meter dekat pagar gedung kost an Regha.

Tak berapa lama Rizky keluar dengan wajah kaku. Dia membawa sebuah tas plastik hitam yang kemudian dilemparkannya ke tong sampah disebelah kanan pagar. Dia lalu berpaling padaku dan melipat tangannya di depan dada. "Apa sebenarnya masalahmu?" tegurnya tanpa menyembunyikan kekesalannya.

"You!!!" jawabku langsung tanpa basa basi, "Kau lah yang jadi masalahku. I thought I told you to stay away from him!" kataku.

"Dan seingatku aku juga sudah mengatakan padamu kalau Regha, adalah cowok dewasa yang bisa bertindak ataupun melakukan apa saja apapun yang dia mau. Tanpa ijinmu. Apapun itu! Kau tak memiliki hak untuk melarang kami berhubungan. Kalau Regha tak bermasalah denganku, kenapa kau harus ribut?" sahutnya dengan suara tertahan.

"Karena aku tak menyukaimu. Aku sudah menunjukkannya dengan jelas kan?"

Rizky mengangkat bahunya acuh, "Itu masalahmu. Bukan masalahku, atau Regha," jawabnya.

"Oh, trust me. It will be!" geramku dengan geraham terkatup, "Kalau aku tak salah ingat, kau hanya seorang internship kan? Kau belum memiliki ijin untuk praktek. Apalagi mengobati pasien tanpa pengawasan dokter senior. Kalau ada sesuatu yang salah dengan Regha, akan kupastikan kalau kau tak akan pernah mendapatkan ijinmu."

Ada kilatan berbahaya dimata Rizky. Jelas dia berusaha mati-matian untuk menahan diri. Dia menarik nafas panjang sebentar, "Asal kau tahu, aku hanya memeriksa keadaannya. Aku tak mengobati ataupun memasukkan apapun kedalam tubuhnya. Jadi lakukan apapun keinginanmu. Aku tak peduli," jawabnya.

Ganti aku yang mengangkat bahu acuh, "We'll see," jawabku ringan, "Sekarang, aku ingin kau pergi dari sini."
"Sekali lagi kutegaskan kalau kau tak memiliki hak untuk.."

"Ibu Regha sedang berada dalam perjalanan kesini. Beliau akan segera tiba. Apa kau ingin aku menjelaskan padanya tentang apa yang kau inginkan dari Regha? Kau bisa bayangkan sendiri, bagaimana reaksinya. Atau mungkin, kau memang menginginkan keributan itu? Kau ingin semua orang tahu siapa dirimu sebenarnya? Atau mungkin, kau ingin semua orang berpikiran salah tentang Regha? Kau menginginkannya?"

Hening!

Jelas Rizky kesulitan untuk membalasku. Tubuhnya sedikit gemetar oleh amarah. Tapi aku hanya menatapnya dengan santai, tak peduli.

"You're an absolute asshole!!" desisnya dingin.

Aku kembali mengangkat bahuku acuh, "Apapun untuk membuatmu menyingkir dari sini," jawabku kalem.
Rizky menatapku dengan kemarahan yang meluap-luap. Lalu tanpa berkata apapun lagi, dia berbalik.


 "Wait!!!!!!" panggilku sembari merogoh kedalam tas ransel kecilku. Aku melemparkan amplop yang ada didalamnya pada 
Rizky. Dia menangkapnya meski dengan ekspresi heran. "Itu hutang Regha padamu. 10 juta. Benar kan?"

Wajahnya mengeras dalam hitungan detik. Dengan kesal dia kembali melemparkan kembali amplop itu padaku, "Itu urusanku dengan Regha. Tak ada hubungannya denganmu. Dan sebagai catatan untukmu, aku memberikan uang itu pada Regha. Bukan meminjamkannya!"

"Oh, aku tahu. Trust me! Tapi Regha selalu menganggapnya sebagai hutang. Karena itu dia tetap ingin mengembalikannya padamu," ujarku.

"DON'T!!" cegah Rizky saat aku ingin kembali melemparkan amplop yang kupegang, "Apapun urusanku dengan Regha, aku akan menyelesaikannya dengan Regha. Bukan denganmu! Jadi kau bisa menyimpan uang sialanmu itu," desisnya dan dengan cepat berbalik tanpa menghiraukanku lagi.

Aku diam ditempatku berdiri, tak menyusulnya, "Kau bisa keluar Regi!" kataku santai. Tadi aku memang melihat kelebatan tubuh Regi yang kemudian bersembunyi dibalik mobil yang sepertinya milik Rizky. Aku berbalik menghadap Regi yang perlahan melangkah keluar dari balik moncong mobil, "Apa yang kau lakukan diluar?" tegurku.

"Aku baru saja membawa baju kotor Regha ke laundry terdekat," jawabnya kalem.

Aku hendak menjawab, tapi urung saat dari ujung mataku aku melihat Rizky berjalan keluar dengan menenteng tas kerjanya.

"Pulang Mas Rizky?" sapa Regi ramah.

Rizky yang berjalan acuh melewatiku mengangguk pada Regi kaku. Dengan cepat dia masuk kedalam mobilnya tanpa sekalipun melirikku. Aku tak memperdulikannya karena sudah berjalan untuk masuk kedalam kamar Regha. Regi mengekor dibelakangku.

"What did you do that?" tanya Regi.

Pertanyaannya membuatku berhenti. Aku berbalik menatapnya. Sebelum aku membuka mulut, pintu kamar kost Regha terbuka. Vivi keluar dan memandangku, ingin tahu, "Yeah, why did you do that?" tanya Vivi ikutan nimbrung dan melangkah keluar dari kamar Regha, mendekat ke arah kami.

"Aku tak tahu apa maksud kalian," jawabku singkat, masih sedikit kesal dengan kejadian beberapa menit tadi, "I thought I told you clearly! Bukankah aku sudah memberi nomor dokterku pada kalian? Tapi kenapa justru dia yang datang?!" tegurku kaku.

"Rileks Ki. Kami tak memanggilnya. Tapi tadi dia menelepon Regha. Karena dia tak bisa mengangkatnya, jadi Regi yang menjawab. Dan sebelum kau protes, dia sendiri yang berinisiatif untuk datang. Kami tidak mengundangnya," jelas Vivi cepat.

"Seharusnya kalian melarangnya memeriksa Regha. Dia bahkan belum memiliki ijin praktek. What if something wrong?!" protesku.

"Oh please! Jangan berlebihan," sergah Vivi, "Sekarang jelaskan pada kami, kenapa kau bersikap keterlaluan begitu pada Mas Rizky?"

Aku mengangkat bahu acuh, "I don't like him" jawabku singkat.

"Hanya karena kau tak menyukainya?" tegas Regi.

"Well, yeah! Apa lagi?" tanyaku balik.

"Kau baru kembali dari rumah Regha kan?" tanya Regi lagi, membuat langkahku terhenti. Aku yang sudah hendak kembali kekamar Regha urung, dan berbalik menghadap kearahnya.

"Bagaimana kalian bisa tahu?" tanyaku, terlambat untuk menyadari bahwa dengan jawabanku tadi, aku telah membenarkan dugaan mereka. Sepertinya aku sudah sangat lelah, sampai-sampai aku tak memiliki kontrol. Dan insiden dengan Rizky tadi seharusnya sudah cukup menjadi petunjuk bagiku. Aku harus menenangkan diriku, atau kalau tidak, aku akan mulai ngoceh seperti orang tolol. Kuusap wajahku dengan kedua tanganku, benar-benar lelah.

"Yeah, aku memang dari sana," jawabku dan kembali menatap Regi dan Vivi didepanku, "Darimana kalian bisa menduga hal itu?" tanyaku lagi.

"Tadi..."

"Kami lihat di televisi kalau daerah tempat tinggal Regha terkena efek badai kemarin," potong Vivi dan memandang Regi, sedikit tajam, "Jadi.......... bagaimana keadaan orang tua Regha?" tanyanya padaku cepat, seolah-olah mencoba mengalihkan perhatianku.

"Baik-baik saja. Mereka selamat. Hanya rumah mereka yang butuh sedikit perbaikan. Other than that, they're fine! They will be fine. I've made sure of that." jawabku santai.

"Nggak pernah terpikir kalau, mungkin saja lu su.."

"GI!!!!" potong Vivi sedikit keras, membuat Regi dan aku cukup kaget dibuatnya, "Jangan!"

"Tinta nek, ikke cuman mawar tahu goreng, kali aja diana...."

"Iya ngerti Gi! Jangan!!"

"Tapi....." Regi batal saat dilihatnya Vivi tetap menggeleng tegas, "Ya udahlah...." desah Regi akhirnya.

"Kalian sedang ngomongin apa sih?"tanyaku agak bingung.

"Lupain aja. Biasalah, si Regi mulai ngaco. Kau......... sedikit kacau," ujar Vivi dengan pandangannya yang menelitiku, 
"Maybe you should get some rest," sarannya pelan.

Aku mencoba tersenyum tipis, meski mungkin lebih terlihat seperti sebuah cengiran bodoh, "I'm fine. Kalian saja yang balik. Istirahatlah. Besok Mamah akan datang kesini untuk menjenguk Regha. Regi, antarkan Vivi sampai rumahnya, okay? Kamu nggak bawa mobil Vi? Kalian punya ongkos buat taksi kan?"

"Tenang," jawab Regi santai, "Uang yang kau berikan masih tersisa cukup banyak dan..........."

"Pakai saja," jawabku bahkan sebelum Regi selesai bicara dan mengibaskan tangan tak peduli, "Kalian panggil taksi ok? Biar aku yang nungguin Regha," kataku lagi dan berjalan menuju kamar Regha.

"Nungguin? Ngapain ditungguin sih?" celetuk Regi yang mengikuti dibelakangku.

Aku tergelak kecil dan berhenti didepan pintu kamar Regha, "Kukira kau sudah cukup mengenal Regha. Obviously, you don't. Kalau sakit, teman kalian yang satu itu, tidak bisa ditinggal sendiri. Dia harus ditemani. Kalo enggak, dia bisa begadang semalaman,"  selorohku.

"Aishh!! Masa sih? Orang tadi dia tidur kok," tukas Regi.

Aku yang membuka pintu kamar Regha hanya tertawa dengan ketidak percayaan Regi. Kulihat Regha masih terbaring dengan mata tertutup, "Pengaruh obat," bisikku pada mereka, "Kalau nanti dia terbangun, aku bisa jamin kalau dia akan merengek sendirian. Mamah yang memberitahuku."

Regi ikut-ikutan terkikik, sementara Vivi menggeleng tak percaya. Pada saat itu, dari sudut mataku kulihat tubuh Regha bergerak. Kami semua segera terdiam. Beberapa saat kemudian dia membuka matanya. Sejenak dia hanya melihat kearah kami yang berdiri tak jauh darinya.

"Kalian......... masih disini?" tanyanya dengan suara pelan.

Vivi mengambil tasnya yang ada disebelah lemari Regha. Dia lalu mendekat ke Regha dan membungkuk untuk mengusap lengan Regha. "Gue balik dulu, ok? Demam lo udah turun, jadi gue yakin lo bakal mendingan besok. Istirahat ya?" kata Vivi.

Regha tersenyum lemah, "Makasih Vi," ujarnya pelan. Vivi hanya tersenyum membalasnya dan bangkit.
 
"Ikke juga mawar polo ya Nek? Jij tidora ajijah," kata Regi. Dan aku sama sekali tak mengerti apa maksud dari kalimatnya. 

Tapi Regha sepertinya paham, karena dia kembali tersenyum dan mengangguk pada Regi.

"Makasih Gi," ujarnya. Regi dan Vivi pun bangkit dan berpamitan. Mereka keluar dengan pandangan aneh yang tertuju bergantian padaku dan Regha.

Saat Regi dan Vivi menghilang dibalik pintu, keheningan yang canggung menyelimuti kami. Untuk sejenak, aku dan Regha hanya saling berpandangan. Aku sendiri sedikit heran. Semula kukira dia akan marah dan memintaku untuk segera hengkang. Tapi dia tampak tenang, dan bahkan sedikit salah tingkah, membuang pandangannya ke langit-langit kamar. Hal itu membuatku sedikit bertanya-tanya. Mungkin dia masih terlalu lemas untuk bereaksi normal. Aku berdehem pelan lalu mendekat.

"Kau......... merasa baikan?" tanyaku dan duduk disebelahnya.     

"Jauh lebih baik," jawabnya pelan, masih tak mau menatapku.

"Syukur kalau begitu," jawabku sembari meluruskan kakiku dilantai lalu menyandarkan punggungku ke dinding. Baru saat itulah aku benar-benar menyadari, betapa lelahnya tubuhku. Saat punggungku menyentuh dinding, tanpa sadar aku mengeluarkan suara erangan lega. Rasanya begitu nyaman, seakan-akan ini pertama kalinya aku bersandar setelah duduk tegak selama beberapa jam.

Regha yang tepat disebelahku memalingkan wajahnya untuk melihatku. Keningnya sedikit berkerut. Aku tak sadar kalau eranganku tadi ternyata cukup keras. Aku hanya mampu nyengir padanya.

"Sorry," kataku, sedikit tersipu.

Regha tidak membalas senyumku, dia justru memandangku lurus, "Kamu kelihatan lelah," gumamnya.
Yeah,tell me about it, batinku. Tapi aku hanya tersenyum tipis padanya.    

"You should get some rest," katanya lagi.

"Apa kau bisa tidur kalau kutinggal sendiri?" tanyaku padanya. Regha tak menjawabnya. Aku kembali tergelak kecil, "Sudah kuduga. Seperti yang Mamah bilang, kalau sakit begini,kamu tuh nggak bisa sendiri kan? I'm okay. Just let me stay like this for awhile and I'll be fine," kataku sembari menyandarkan kepalaku dan memejamkan mata. Beberapa menit seperti ini mungkin bisa menyegarkanku. Besok, kalau Mamah sudah datang, aku toh bisa pulang dan tidur sepanjang hari. Aku kira aku sudah hampir terlelap saat lenganku disentuh seseorang.

Aku membuka mataku dan mendapati Regha meraih lenganku. Dia menariknya dan memeluk lenganku didadanya. Wajahnya yang menempel dilenganku terasa hangat. Untuk sejenak aku hanya terdiam, terlalu kaget untuk bereaksi.

"Terimakasih......... terimakasih.....," gumam Regha beberapa kali dengan suara sedikit serak. Aku bisa merasakan sedikit air matanya yang kemudian membasahi lengan bajuku.

Seperti ada sebuah hubungan listrik pendek yang terjadi disudut lain otakku. Dan sebelum aku menyadari apa yang kulakukan, kudapati tangan kananku bergerak mengusap rambut Regha dengan lembut, sementara bibirku menggumamkan kalimat untuk menenangkannya. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa aku akan tetap disana untuk menemaninya.

Regha semakin erat memeluk lengan kiriku. Dia baru sedikit rileks saat aku mencium ujung kepalanya. Dan dengan itu kami berdua akhirnya sama-sama terdiam, sampai akhirnya selimut tidur menyelimuti kami.





Kamus bahasa banci
mawar : mau/hendak
tidora : tidur
polo : pulang
ajijah : aja/aja
Ikke : aku
tahu goreng : tau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar