ZAKI
Regha belum membalas sms yang kukirim tadi. Entah
apa yang dilakukan oleh si Ceroboh itu sekarang. Menjengkelkan! Aku harus
menegurnya. Aku tadi menanyakan apakah file yang dia kerjakan semalam sudah
dikirimnya atau tidak. Jam 10 tadi Lita, asisten Mommy, menelpon dan menagih
laporan yang kami kerjakan itu. Regha seharusnya mengirim laporan itu pagi
tadi. Dia pasti lupa! Kebiasaan!
Teledornya nggak sembuh-sembuh.
Aku sudah meneleponnya, tapi tidak diangkat. Sms pun
tidak dibalas. Sepertinya aku harus menemuinya langsung. Padahal banyak yang
harus kukerjakan hari ini, batinku kesal. Karena itu pas waktu istirahat,
aku segera mencarinya. Tapi aku tak melihat batang hidungnya dari tadi. Aku
sudah mengecek kantin, perpustakaan dan kantor redaksi. Nihil. Aku sudah hampir
menelepon hape nya lagi saat sudut mataku menangkap bayangan familiar
seseorang.
"VIVI!!!!" panggilku.
Sosok itu berhenti, tapi yang kuherankan adalah saat
kulihat Jordan yang berjalan tak jauh dibelakangnya. Jordan terlihat cukup
kaget dengan kemunculanku. Dengan sedikit salah tingkah, dia melambai padaku dan
cepat-cepat pergi melewati Vivi yang cuma memutar bola matanya dengan kesal.
Sepertinya hubungan mereka tetap saja buruk.
"Ada apa?" tanya Vivi.
Aku yang sedang memandang kepergian Jordan dengan
kening berkerut segera berpaling padanya, "Are you okay? Apa Jordan
mengganggumu lagi?" tanyaku. Meski aku tak bisa mengatakan kalau aku akrab
dengan Vivi, tapi tetap saja, pemikiran kalau Jordan mengganggunya membuatku
kesal.
"Don't worry. I can handle him," sahut
Vivi santai membuatku tersenyum.
"Kau lihat Regha?" tanyaku langsung.
Vivi mengangkat bahu, "Hari ini aku sama sekali
tak melihatnya. Sepertinya dia tidak masuk," jawab Vivi santai. Aku
mengumpat pelan mendengarnya. What the heck is he doing?! batinku
dongkol. "Ada masalah?" tanya Vivi lagi heran.
"No! It's nothing important," jawabku
cepat sementara otakku berpikir. Tak ada jalan lain, aku harus ketempatnya. Kalau
sampai dia tak. ada disana, or worse, if I found out that he's going out with
that Rizky guy, akan kupastikan dia menyesal seumur hidup, tekadku dalam
hati. "I need to go. Thanks!" pamitku pada Vivi yang masih menatapku
heran. Dengan cepat aku menuju ke lapangan parkir lalu melesat menuju kostan
Regha.
Sesampainya disana, aku mendapati tempat itu sepi.
Sepertinya hampir semua penghuninya sedang beraktivitas. Aku semula ragu untuk
masuk, tapi kemudian aku melihat salah seorang penghuninya yang muncul dari
dalam hanya dengan memakai handuk. Aku segera mendekatinya.
"Maaf, Regha?" tanyaku langsung.
Dia segera paham, "Ohh, ada kok. Langsung aja
kekamarnya," katanya langsung dan menunjuk kekamar Regha.
Tak perlu diberitahu 2 kali, aku segera kesana.
"Gha?!!" panggilku dan mengetuk pintu. Tak ada sahutan, tapi aku
mendengar suara keresekan dari dalam. Aku kembali mengetuk dan memanggilnya.
"Iya! Bentar," sahut Regha dari dalam.
Keningku sedikit berkernyit saat mendengarnya. Suara Regha terdengar aneh.
Mirip dengan orang yang habis nangis. Masa sih? pikirku tak percaya.
Pintu terbuka dari dalam. Dan Regha muncul didepanku
dengan tampang yang lebih kacau dari biasanya. Dia memakai pakaian tebal, plus
kaos kaki. Wajahnya pucat kucel dengan rambut yang awut-awutan dan aku mencium
aroma kayu putih dari tubuhnya.
"You're sick," kataku datar. Pantas dia
tak bereaksi saat kuhubungi.
"Sepertinya
flu," jawab Regha dengan suara sengau. Dia menyusut hidungnya dengan tisu
dan melangkah kedalam tanpa mempersilahkanku. Aku menyusulnya tanpa diminta.
Regha berbaring ditempat tidur busanya dan memejamkan mata, seolah-olah
mengacuhkanku.
Sejenak aku hanya diam memperhatikannya. Ada
keringat yang bermanik dikeningnya. Tubuhnya benar-benar drop. Aku menghela
nafas, "Kau belum mengirim laporan pagi tadi. Aku medapat teguran,"
kataku kembali dengan nada datar.
Mata Regha langsung terbuka mendengarnya, "Ya
Allah! Zaki, aku lupa! I'm sorry, I'll. . . ."
Aku mengangkat tanganku untuk mencegah Regha yang
mencoba bangkit. "Just tell me where did you put the file," pintaku.
Regha kembali menutup matanya dengan dahi berkernyit
seperti menahan sakit, "Ada dalam laptop! Dalam file. . . " dia
berhenti dan memijat dahinya yang kembali berkeringat, ". . . . . dalam
file kantor. Local disk. D! I"m sorry, kepalaku. . ."
"It's fine," jawabku singkat dan segera
meraih laptop Regha dan menghidupkannya, "Tapi kau sudah membereskannya
kan?"
Dia mengangguk samar, "Hanya tinggal
mengirimkannya," jawabnya dengan suara sedikit gemetar.
Aku menemukan file itu ditempat yang dia katakan
tadi. Aku segera membukanya, melakukan sedikit cek ulang. Seperti kata Regha,
laporan itu telah selesai ia kerjakan. Jadi setidaknya dia sempat
membereskannya sebelum kolaps. Aku segera menghubungkan laptop Regha dengan
jaringan internet. Sembari menunggu, aku sempat meliriknya. Dia terlihat payah.
Regha tak henti-hentinya memijat dahinya yang berkeringat.
"Kau sudah minum obat?" tanyaku singkat
sembari memalingkan muka, tak melihatnya. Sambungan internet telah terhubung.
"Sudah," jawab Regha singkat dengan suara
yang kembali terdengar sedikit bergetar, "Sepertinya cuma masuk angin
biasa. Mungkin karena aku kurang istirahat saja. Beberapa hari ini aku sulit
tidur," lanjutnya lagi.
Penjelasan itu membuatku teringat perkataan Mamah
dikampung. Beliau mengatakan kalau dalam keadaan sakit, Regha suka kumat
manjanya dan tak akan bisa tidur kalau tidak ditemani. Entah kenapa. Jadi kalau
tadi dia mengatakan bahwa dia tak dapat tidur, apa lagi semalam, aku jelas
percaya. Aku segera mematikan komputer
saat file sudah terkirim ke alamat yang kutuju.
"Aku akan memanggil dokter dan. . "
"Jangan!" potong Regha cepat membuatku
yang sedang menaruh laptop menjadi sedikit tertegun, "Please, don't! Aku
baik-baik saja. Aku hanya perlu sedikit istirahat," katanya dengan wajah
sedikit lebih memucat daripada tadi. Bibirnya semakin kehilangan warnanya. Aku
tak ingin meninggalkannya dalam keadaan seperti itu, tapi banyak yang harus
kukerjakan hari ini.
Aku menarik nafas sejenak, "Fine. Kamu
istirahat saja. Aku sudah mengirimkan file tadi," kataku. Regha hanya
menjawabnya dengan gumaman tak jelas. Aku segera keluar kamar dan meneleon
Vivi. Aku pinta dia segera datang bersama dengan Regi. Salut untuk Vivi, dia
langsung mengiyakan tanpa bertanya apapun. Aku sendiri harus mempersiapkan
beberapa hal dan kukatakan pada Vivi untuk menungguku disini.
Satu jam kemudian saat aku kembali, Vivi dan Regi sedang
menungguku diteras kost an Regha. Mereka langsung berdiri begitu melihatku yang
keluar dari mobil. Kupinta sopirku untuk tetap menghidupkan mobil, karena aku
hanya sebentar.
"Is he okay?" tanyaku langsung.
"He's sleeping," jawab Regi dengan senyum
tipis.
"Look, I need to do something. Kupinta kalian
tetap disini. Temani dia. If he got worse, call this doctor. Katakan aku yang
memintanya. Berikan alamatnya dan dia akan segera datang, okay?" Mereka
berdua mengangguk, "Aku mungkin akan kembali sekitar jam 7 malam. Jangan
pergi sebelum aku kembali. Dan ini,"aku menyerahkan sebuah amplop yang
diterima oleh Vivi.
Dia membukanya dan terbelalak melihat isinya.
"Untuk apa uang ini?" tanya Vivi heran.
"Itu uang 5 juta yang dulu kalian berikan pada
Regha untuk melunasi hutangnya padaku. Please don't ask anything. Dan jangan
katakan apapun pada Regha. Am I clear?"
Yang membuatku heran, keduanya hanya saling
memandang dan kemudian tersenyum mengerti. Huh? Padahal kukira aku harus
menjawab seribu macam pertanyaan dari mereka berdua. Terutama Regi, pikirku.
Tapi aku tidak keberatan dengan reaksi mereka sekarang. Setidaknya itu akan
menghemat waktuku.
"Kau pasti juga menyiapkan uang sepuluh juta
yang Mas Rizky berikan pada Regha?" tanya Regi masih dengan senyumnya.
"Aku sudah menyiapkannya. Akan kuberikan
sendiri padanya. Trust me!" sahutku cepat. Regi dan Vivi kembali saling
berpandangan dan kemudian mengangkat bahu mereka. "Dan ini," kataku
mengulurkan sebuah amplop lain pada mereka.
"What's that?" tanya Vivi tanpa menerima
amplop yang kuulurkan.
"Ada satu juta didalamnya. In case you guys are
hungry or anything. Aku tahu kalau menunggui orang sakit bukanlah pekerjaan
yang menyenangkan. I want you guys to make yourself comfortable. Do or buy
anything yang kalian inginkan untuk melewatkan waktu," jelasku lagi.
"Whoaahh!! Zaki, Regha adalah teman kami. We'll
help him. Kau tak perlu. . ."
"I'll take it!" sahut Regi dan menyambar
amplop ditanganku, "Mungkin kita akan memerlukannya kan? Siapa tahu?"
ujarnya saat Vivi melotot protes padanya.
"He's right Vi!" sahutku menenangkan Vivi,
"Okay. I'll go. Ada sesuatu yang harus aku bereskan. Remember, don't go
till I comeback, okay?"
"Fine! Just go! We'll be here!" sahut Regi
dan mengibaskan tangannya padaku dengan gayanya yang biasa. Aku tersenyum
melihatnya dan kemudian segera berbalik menuju mobilku. "Kita pergi ke
alamat yang kuberikan tadi," kataku pada sopirku.
Dan kamipun melaju.
Kami sampai diMajalengka sekitar pukul 2 siang.
Untung saja aku masih mengingat dengan cukup jelas jalan menuju rumah Regha.
Meski agak sedikit nyasar saat mencari jalan masuk berbatu yang menuju
daerahnya. Ketika melewati persawahan milik Abah aku dibuat sedikit tertegun.
Lahan itu terlihat aneh dengan batang tanaman padinya yang roboh, rata dengan
tanah. Beberapa bahkan tercabut dari akar. Dikanan dan kiri jalan juga tampak
beberapa pohon-pohon besar tumbang. Batang-batangnya yang rebah dibiarkan
menggeletak dipinggir. Sepertinya ada yang telah menyingkirkan pohon-pohon itu.
Aku yakin, beberapa hari kemarin, sebagian besar batang pohon itu melintang
ditengah jalan yang kami lewati. Penduduk lokal sepertinya telah bekerja keras.
"Aku tak mengira kalau keadaannya separah
ini," gumamku pelan.
"Badai beberapa hari kemarin memang cukup besar
Sir. Ada beberapa korban jiwa dan banyak yang luka-luka. Cukup banyak juga
rumah penduduk yang rusak," imbuh Adam sopirku yang usianya pertengahan 30
an. Dia sebenarnya jarang kugunakan tenaganya. Adam lebih sering berurusan
dengan Mommy. Tapi kali ini aku terlalu lelah untuk melakukan perjalanan ini
sendiri.
"Kau membacanya dikoran?" tanyaku datar.
Adam mengangguk, "Beritanya juga beberapa kali
diliput oleh televisi nasional Sir," jawab Adam.
"I didn't watch it," gumamku lagi,
"Rumah berikutnya adalah tujuan kita. Masukkan saja mobil kehalaman,"
kataku lagi saat kulihat atap rumah Regha. Dan lagi-lagi aku dibuat sedikit
kaget dengan kondisi disana. Ada yang berbeda dengan rumah Regha. Atap rumahnya
sedikit lain, juga beberapa bagian terlihat baru. Sepertinya rumah mereka,
meski masih kokoh, tetap saja terkena efek badai itu. Mamah dan Abah yang
sedang duduk diteras rumah langsung berdiri saat mobilku masuk ke halaman rumah
mereka.
Aku keluar dan senyum mereka langsung terkembang
begitu melihatku. Abah tertawa kecil sementara Mamah tersenyum haru dengan
tangan yang terlipat didadanya. Aku sendiri tak bisa menahan senyumku yang
sontan terkembang melihat reaksi mereka.
"ASTII!! AGUS!!!" panggil Mamah.
Aku segera menuju mereka setelah mengambil beberapa
barang dan tasku dari dalam mobil. Cepat aku meraih tangan Abah, dan menciumnya
seperti yang Regha lakukan dulu. Abah menepuk bahuku pelan beberapa kali. Saat
aku berpaling pada Mamah, bisa kulihat mata beliau berkaca-kaca. Beliau segera
memelukku begitu aku telah mencium tangannya. Bahunya sedikit bergetar dalam
pelukanku.
"Mamah. baik-baik saja kan?" tanyaku
dengan dada sedikit sesak oleh sambutan mereka. Tak pernah sekalipun aku
diperlakukan seperti ini, bahkan oleh anggota keluargaku sendiri. Sudut mataku
terasa sedikit perih.
"Baik, Kasep. Alhamdulillah Allah masih
melindungi kami semua," jawab Mamah pelan dan mengusap sudut matanya.
"A ZAKIII!!!!" Asti yang keluar dari dalam langsung
menghambur kedalam pelukanku. Untung saja beberapa barang yang kubawa tadi
sudah kuletakan dulu waktu menyalami Abah. Kalau tidak, bisa rusak semuanya.
Aku hanya tertawa kecil dan memeluk Asti dengan tangan kiriku, sementara tangan
kananku masih memeluk Mamah. Agus menyusul keluar. Matanya bersinar melihatku.
Dia lalu meraih tangan kananku dan menciumnya. Bentuk penghormatan pada orang
yang lebih tua,
seperti yang dulu ia tunjukkan pada Regha.
"I'm glad you're all fine," gumamku pelan
dan memandang mereka semua dengan dada penuh oleh rasa lega yang aneh.
"A Zaki dateng sama A Regha?" tanya Asti
antusias.
Aku menggeleng mendengarnya, "Tidak. Aku datang
sendiri. Regha tak tahu kalau aku datang kesini. And please, jangan katakan
apapun padanya. Jangan beri kabar kalau aku kesini, okay?" pintaku pada
Asti dan Agus yang menatapku heran. Meski tampak tidak mengerti, mereka hanya
menganggukkan kepala.
"Regha baik-baik saja Zaki?" tanya Abah.
Meski nadanya terdengar biasa-biasa saja, aku bisa menangkap kekhawatiran
disana.
"Dia sedang sakit Bah," jawabku.
Mendengarnya Mamah langsung mengeluarkan keluhan pelan dan kembali terisak.
"Mamah sudah menduga pasti dia akan begitu.
Anak itu pasti kuatir Bah," ujar beliau.
"Regha hanya flu biasa Mah. Jangan khawatir.
Aku sudah menitipkannya pada Regi dan Vivi. Anyway, I have something untuk Asti
dan Agus," jawabku dan mengambil dua bungkusan yang kuletakkan dibawah
tadi.
Mata Asti dan Agus langsung berbinar menerima
hadiahku. Mulut mereka terngaga lebar saat mereka telah membuka dan melihat
isinya. Ipad untuk Asti dan sebuah notebook untuk Agus. Mereka menatap benda
ditangan mereka lalu padaku dengan terbelalak, tanpa mampu mengucapkan apa-apa.
"Do you like it?" tanyaku.
Mereka mengangguk bego, masih tanpa suara.
Aku tertawa melihatnya, "Now, kalau kalian
bersedia, bisakah kalian membuatkan sesuatu untuk sopirku yang masih ada
dimobil dan menemaninya sebentar? Ada yang harus aku bicarakan dengan Abah dan
Mamah," pintaku.
Lagi-lagi mereka berdua mengangguk bego. Sampai
kemudian deheman Abah membuat mereka sedikit kaget dan berpaling pada beliau.
"Ada yang harus kalian katakan?" tegur
beliau.
Asti jadi sadar dari trance-nya. Dia kembali
menghambur kepelukanku seraya berulang kali mengatakan terimakasih. Agus pun
memelukku tanpa ragu. Sesudahnya mereka segera melakukan permintaanku. Agus
mendekat ke mobilku, sementara Asti langsung kedalam untuk melakukan sesuatu.
"Aduh kasep. Kenapa harus beliin mereka
begituan. Pasti mahal eta mah," tegur Mamah.
Aku hanya tertawa mendengarnya, "Nggak kok Mah.
Kedua barang itu sudah lama menganggur dirumah. Abah, ada yang ingin saya
bicarakan," kataku. Beliau hanya mengangguk dan mempersilahkanku untuk
duduk tapi raut khawatir diwajahnya tak juga hilang.
"Aya naon kasep? Kenapa sampai Agus dan Sita
nggak boleh tahu. Si Regha nggak apa-apa kan? Sakitnya nggak macam-macam
kan?" tanya Mamah lagi.
Aku yang kemudian mengambil tasku yang dibawah lalu
ikut duduk dikursi teras hanya tersenyum mendengarnya. Kecemasan seorang
Ibu. Tidak akan cukup meyakinkannya sekali, bahwa buah hatinya baik-baik saja.
Kenapa aku tak pernah mendapatkannya dari Mommy? batinku, sedikit iri akan
keberuntungan Regha. "Kan tadi sudah bilang kalau Regha baik-baik saja
Mah," ujarku, mencoba meyakinkannya dengan senyumku, "Dia cuma sakit
flu biasa. Kemaren sempet kehujanan sedikit."
"Lalu ada hal penting apa yang hendak
dibicarakan Zaki?" tanya Abah dengan sedikit nada penasaran.
"Zaki sedikit tersinggung dengan Abah dan
Mamah," tukasku singkat.
Sejenak hening membungkus kami. Baik Abah ataupun
Mamah tampak kaget luar biasa dengan kalimatku tadi. Mereka menatapku dengan
sorot heran sekaligus tanya. Sejenak Abah mencopot rokok yang tadi dihisapnya,
dia mematikan rokok itu di asbak dan menunduk, tampak berpikir.
"Kasep. . . " tegur Mamah sedikit
bergetar, ". . . maksudnya teh kumaha? Tersinggung kunaon Kasep?"
Aku menarik nafas panjang, melihat kearah Adam yang
lewat dengan sedikit membungkuk untuk masuk ke dalam rumah dengan Agus
dibelakangnya. Setelah mereka hilang dibalik pintu aku kembali memandang pada
Mamah yang menanti jawabanku. Abah masih tertunduk dengan ekspresi yang datar.
"Zaki pikir, Zaki telah dianggap sebagai
anggota keluarga Abah dan Mamah. Tapi sepertinya baik Abah ataupun Mamah, masih
menganggap Zaki orang asing."
Lagi-lagi Mamah terhenyak mendengarku. Dia menatapku
kaget dengan mulut yang terbuka. "K-kasep?"
"Kenapa Abah dan Mamah tidak menghubungi Zaki
pada saat genting seperti sekarang? Kenapa Zaki harus mendengarnya dari Agus,
bahwa Abah, terancam kehilangan lahannya?"
Kepala Abah terangkat dan mata kami bertemu. Tak ada
kalimat yang beliau ucapkan, tapi ada hal yang ingin dia sampaikan lewat
pandangan matanya itu.
"Kenapa tak menganggap Zaki sebagai anak
sendiri? Zaki juga ingin menjadi bagian dari keluarga Abah ini."
"Kasep," desah Mamah pelan dan menyusut
sudut matanya yang kembali basah.
Aku membuka tasku dan mengambil amplop tebal yang
kubawa. Kuletakkan amplop itu diatas meja dan mendorongnya mendekat ke Abah,
"Gunakan itu untuk menebus sertifikat tanah Abah yang ada di Bank. Sisanya
Zaki minta Abah dan Mamah gunakan untuk kepentingan lainnya."
"Zaki. . "
"Zaki ingin dianggap sebagai anak Abah dan
Mamah juga."
"Kami sudah menganggapmu anggota keluarga kami
juga Kasep. Kau tidak harus melakukan ini," tukas Mamah.
"Bukankah sudah kewajiban seorang anak untuk
membantu orang tuanya?" tanyaku dengan senyum. Aku bangkit dan memeluk
Mamah yang kembali tersedu dikursinya dari belakang. Aku sandarkan kepala
beliau didadaku dan mengusap rambutnya pelan, "Dan sudah kewajiban seorang
anak untuk berbakti pada orang tuanya. Benar kan Bah?"
Abah tak menjawab. Beliau hanya kembali menunduk
dengan sudut mata yang basah.
Malam telah turun saat kami kembali memasuki kota
Bandung. Tubuhku lelah, menuntut untuk diistirahatkan. Tapi masih ada beberapa
hal yang harus aku lakukan. Aku sudah meminta Adam untuk langsung menuju kost
an Regha. Regi dan Vivi pasti menungguku. Aku harus kesana meski aku sedikit
payah. Tubuhku terasa lemas dan berat, meski hatiku terasa begitu ringan.
Butuh waktu dan sedikit bujukan untuk meyakinkan
Abah agar beliau mau menerima bantuanku. Jumlah bantuanku cukup membuat mereka
tercengang. Abah memang sedikit keras kepala. Aku harus melobinya dengan
kemampuanku yang untungnya sudah sedikit terasah. Beliau sempat mengatakan
bahwa beliau akan mencicil uang yang dianggapnya sebagai pinjaman itu. Pada
akhirnya kesepakatan tercapai bahwa Abah hanya akan mengembalikan uang itu pada
saat terkumpul utuh. Aku berhasil menghindari beliau dalam membicarakan tanggal
jatuh temponya juga meminta mereka merahasiakannya dari Regha.
Aku tak punya niat untuk meminta uang itu kembali.
Meski terdengar klise, tapi keluarga Abah telah
memberiku pandanganku tentang makna sebuah keluarga sebenarnya. Mereka telah
memasukkanku dalam lingkaran kecil mereka yang hangat. Dan itu bermakna lebih
bermakna bagiku dari lembaran-lembaran uang.
"We're here Sir," kata Adam sedikit
mengejutkanku. Aku membuka mata dan mendapati bahwa kami telah berhenti didepan
kostan Regha.
Aku menghela nafas sebentar, "Kau akan langsung
kembali ke Majalengka?" tanyaku. Tadi Mamah bilang kalau beliau akan ke
Bandung untuk menjenguk Regha. Beliau sudah hapal bagaimana tabiat putranya itu
kalau sakit. Aku sudah meminta Adam untuk kembali ke Majalengka setelah
mengantarku. Jadi Mamah tak perlu khawatir soal kendaraan.
"Ya Sir. Tadi Pak Rahman sudah mengijinkan saya
untuk beristirahat dirumah beliau," jawabnya.
"Okay then. Be careful! I gave you the money,
right?"
Adam hanya mengangguk untuk menjawabku. Aku segera
keluar dan dengan langkah pelan menuju kamar Regha. Kulihat lampu kamarnya
masih menyala. Ada sdikit suara-suara didalam yang membuatku agak mengerutkan
dahi. Aku sudah hendak mengetuk pintu saat pintu itu terbuka dengan sendirinya.
Rizky berdiri didepanku dengan tatapan kaget. Lebih-lebih aku.
"What the hell are you doing here?!!"
tegurku sedikit keras.
RIZKY
"Jadi apa reaksinya?" tanya Ferdy.
Aku tak langsung menjawabnya. Hanya mengedarkan
pandanganku ke saentero kantin Rumah Sakit yang hari ini tidak begitu ramai.
Waktu istirahat masih setengah jam lagi. Tapi sepertinya, sebagian besar orang
malas untuk mengisi perutnya.
"Ky?" tegur Ferdy lagi.
"Dia bilang dia tak bisa menjadi pacarku,"
jawabku pelan. Kalimat tadi membungkam kami berdua, sehingga untuk beberapa lamanya, hanya keheningan yang ada diantara kami.
"Dia menolakmu?" tanya Ferdy lagi.
"Entahlah. Aku. . . . sedikit bingung. Karena
Regha juga mengatakan bahwa dia menyukaiku. Menyayangiku. Dia nyaman
berada
disisiku, juga dengan kegiatan rutin malam minggu kami. Dia tak ingin
kehilangan itu semua. Namun bahkan itupun belum mampu membuatnya yakin, bahwa
dia ingin jadi pacarku," kataku dengan tatapan menerawang.
"Dia. . . . sedikit rumit ya?" komentar
Ferdy membuatku sedikit tersenyum, meski tipis.
"Bukan rumit Fer. Hanya saja, dia tak pernah
berpikir kalau dia bisa berada dalam situasi seperti sekarang ini. Aku yang
sebenarnya menjadikannya rumit. Tapi. . . aku benar-benar ingin
memilikinya."
"Jadi kesimpulannya?"
"Aku memberinya waktu untuk berpikir lagi.
Apakah dia merasa cukup hanya dengan menjadi temanku, ataukah lebih."
"Berapa lama?"
"Aku tak tahu," jawabku pelan yang lebih
mirip keluhan.
Beberapa saat lamanya Ferdy hanya diam memandangku.
Aku cuma sedikit nyengir, mencoba bersikap seakan-akan semua hal yang
kusebutkan tadi tidak mempengaruhiku. Sudah lama aku belajar untuk menyembunyikan
apa yang kurasakan dari pandangan orang lain. Biasanya aku cukup ahli dalam
melakukannya. Tapi mengelabui Ferdy ternyata bukan hal yang mudah. Dia
seolah-olah selalu tau apa yang sedang bergolak
dalam benakku. Sedikit menakutkanku. Namun disisi lain, aku terkadang
berharap kalau Regha juga bisa melakukan hal itu. Lucu bagaimana manusia
terkadang berusaha sekuat mungkin mengejar sesuatu, meski sebenarnya apa yang
dia kejar sebenarnya hanya fatamorgana semu saja. Terkadang apa yang sebenarnya
kita butuhkan berada tepat didepan mata kita. Tapi hati dan mata kita terkadang
cenderung memaksa raga kita untuk mengejar apa yang kita inginkan, bukan apa
yang kita butuhkan, pikirku sedih. Aku sendiri contoh nyata dari
bodohnya seorang manusia. Didepanku berdiri seorang Ferdy dengan semua kualitas
dan dedikasinya padaku, tapi bahkan, setelah tahu apa yang Ferdy tawarkan
padaku, aku akan lebih memilih Regha seandainya Regha menawarkan sedikit
perhatiannya padaku. Terkadang setelah begitu banyak pengalaman yang aku alami,
aku masih merasa sebagai seorang anak kecil yang naif.
"Kau butuh
penyegaran," ujar Ferdy menarikku lepas dari lamunanku yang sedikit jauh.
"Huh? Apa?" tanyaku tak mengerti.
"Kau merasa jenuh kan? Mungkin sudah waktunya
kau melakukan sesuatu untuk menyegarkan pikiranmu. Kapan terakhir kali kau
mencoba...... bersenang-senang?"
tanya Ferdy dengan senyum antusiasnya. Sepertinya dia sudah punya
sesuatu dibenaknnya.
"Bersenang-senang? Dengan semua kegiatan kita
disini? Mana sempat?" gerutuku.
Ferdy sedikit tertawa mendengarnya, "Bener
juga. Karena itu, kita mungkin harus segera me-refresh otak kita. Kamu
warga Bandung kan? Kenapa tidak kau tunjukkan padaku kehebatan kota ini?
Mungkin dengan begitu kau bisa merasa sedikit fresh dan akan bersemangat
kembali untuk mendapatkan Regha. Gimana?" tawarnya.
Aku mendengus dengan idenya, "Bilang aja kalo
minta diajak jalan-jalan," gerutuku.
"HeI, bukankah dengan itu kau bisa menyegarkan
kembali emosimu sekaligus mengusir kebosananku. Sekali dayung, dua tiga pulau
terlampaui kan?" kilahnya nyengir.
Aku hanya mampu tersenyum dan menggeleng oleh
semangatnya. "Baiklah! Kita langsung saja nanti sepulang dari rumah
sakit!" Ku pikir toh tak ada salahnya. Ferdy telah banyak memberiku.
Mungkin sudah waktunya bagiku untuk melakukan sesuatu untuknya.
Karena mendadak, aku tak memiliki ide harus mengajak
Ferdy kemana. Akhirnya aku cuma membawanya keliling kota. Menunjukkan beberapa
spot menarik yang bisa dikunjunginya. Sempat juga membawanya melewati BIP dan
CIWALK yang konon jadi tempat kongkownya para gay di malam minggu. Aku sendiri
tidak pernah tahu ataupun ingin tahu untuk mengecek kebenarannya. Karena di
Bandung ini, aku benar-benar menjaga privasiku. Aku juga menunjukkan GESIBU,
yang pada hari minggu pagi akan sangat ramai dengan pasar dadakannya.
Ferdy tampak menikmati sedikit tour kami. Dia
terlihat antusias dan mengajukan berbagai macam pertanyaan yang ku jawab
semampuku. Kami sedikit bercanda dan tertawa beberapa kali. Meski agak enggan,
aku harus mengakui kalau dia telah mampu mengalihkan perhatianku. Sedikit
tertawa memang hal yang paling aku butuhkan saat ini. Aku berterimakasih pada
Ferdy telah memberiku.
Akhirnya, kami sampai didaerah Cimbuluit. Aku
mengajaknya makan di salah satu restoran disini, sembari menikmati ketenangan
alam setelah tadi kami berkeliling kota. Aku sengaja mencari tempat disalah
satu saung yang memiliki sedikit privasi. Karena aku memang menginginkan
sedikit keheningan.
"Banyak juga ya spot anak-anak gaul
disini," ujar Ferdy sembari meneguk jus jeruknya, "Dan..... tempat
ini cocok untuk mereka yang sedang berkencan. Berapa orang dari mantanmu yang
kau ajak kesini Ky?" tanyanya dengan senyum terkulum.
Aku membalas senyumnya tipis dan mengangkat bahu,
"Beberapa. Orang terakhir yang aku bawa kesini adalah Regha," jawabku
dengan nada datar, berusaha terdengar biasa.
Hening. Ferdy tidak mengatakan apapun untuk beberapa
lama. Aku sendiri lebih memilih untuk berkonsentrasi dengan makanan yang
didepanku. Atmosfir yang tadinya santai dan ringan, kini menjadi sedikit
menekan dan tak nyaman. Mungkin tadi aku tak seharusnya mengatakan hal itu,
tapi jawaban tadi keluar begitu saja.
"Pernah bertanya-tanya mengapa kita bisa jadi
begini Ky?" tanya Ferdy pelan.
Aku mengangkat wajah dan menatapnya heran. Tapi
Ferdy hanya tersenyum dan mengangkat bahu.
"Maksudnya?" tanyaku.
"Bertanya-tanya pada diri kita sendiri, mengapa
kita bisa menjadi makhluk yang lain dari pada umumnya, dan sedikit rumit,"
jelasnya, masih dengan senyumnya yang tetap tersungging, "Well, kita
lelaki, tapi malah jatuh cinta pada sesama lelaki. Dan lucunya, kita sepertinya
memiliki persamaan lagi. Sama-sama jatuh cinta pada orang yang mungkin tidak
mencintai kita. Kenapa kita tidak bisa menjadi normal dan biasa seperti yang
lain? Jatuh cinta pada wanita, menikah dan memiliki anak. Tidak harus selalu
bergulat dengan kesadaran diri kita. Kodrat kita. Hukum agama dan juga norma
dalam masyarakat."
Aku diam mendengarnya.
"Kita memiliki semua kualitas baik dari seorang
lelaki. Tubuh yang sehat, perilaku yang baik, intelejensi yang cukup, keluarga
yang harmonis, dan juga wajah yang cukup bisa dibanggakan. Tidak bermaksud
sombong, tapi lumayan juga orang yang mengatakan kalau aku cakep. Begitu juga
denganmu, aku yakin itu. Tapi...... kenapa kita justru seperti ini?"
"Bukankah filosofimu tentang cinta kemarin
sudah cukup? Kukira kau sudah bisa menerima keadaan dirimu," tukasku
sedikit heran.
Ferdy tersenyum mendengarnya, "Tetap saja. Ada
saat-saat dimana aku ingin menjadi seperti yang lain. Ada momen dimana aku
bertanya-tanya, kenapa aku tidak seperti yang lainnya saja. Dan kenapa juga aku
harus jatuh cinta padamu yang jelas-jelas tidak menginginkanku."
"Aku tak pernah menjanjikanmu apapun Fer.
Bahkan seingatku aku tak ernah sekalipun mengatakan kalau aku
mencintaimu," jawabku sedikit dingin setelah diam beberapa saat lamanya.
"Hei, aku tidak sedang mencoba untuk membuatmu
merasa bersalah Ky," sergahnya dan tertawa kecil, "Hanya sedang
mencoba menguraikan fakta ironis yang sedang kita miliki sekarang. Maaf kalau
menyinggung. Sepertinya EQ-ku (Emotion Quantent,tingkat emosi)sedang berada
dalam titik tertinggi sehingga aku sedikit kacau."
"Makdsudmu kau sedang datang bulan?"
celetukku dengan kening berkerut. Ferdy kembali tertawa kecil dengan gurauanku.
"Mungkin saja. Aku sepertinya sedang
labil," selorohnya dan terkekeh.
"Kukira dengan semua kebijaksanaanmu yang kau
tunjukkan kemarin, kau benar-benar berada dalam kondisi yang stabil."
Kembali Ferdy tersenyum mendengarku. Dia meraih
gelas minumannya dan meneguknya sedikit. "Selalu ada saat-saat dimana
emosi kita naik turun Ky. Tidak selamanya aku berada dalam kondisi stabil
kemarin. Up and down emosi manusia umum terjadi kan?" seloroh Ferdy
sembari menjulurkan lidahnya, mengejekku. "Kau sendiri? Kau jarang membagi
kebijaksanaanmu dengan kami semua yang ada di rumah sakit."
"Tentang apa?" tanyaku tak mengerti.
"Tentang orang-orang seperti kita ini,"
tukas Ferdy, sedikit mendengus.
Sejenak aku terdiam, "Aku hanya ingin
memanfaatkan waktuku sebaik mungkin," kataku pelan.
Ferdy mengangkat sebelah alisnya, "Mungkin kau
harus lebih detail agar aku mengerti apa maksdmu," tukasnya.
"Sudah lama aku menerima kalau hal yang kita
miliki ini, tak memiliki masa depan. Apalagi disini. Kita diikat oleh hukum
agama, masyarakat dan juga negara. Kita juga terrikat oleh kewajiban dan
tanggung jawab kita terhadap orang tua.
Aku tahu, bahwa suatu hari aku harus melepas apa yang kumiliki. Memenuhi
kewajibanku pada orang tuaku. Menikah dan memiliki keturunan. Jauh dari apa
yang kumiliki sekarang."
"Regha juga?" tanya Ferdy pelan.
Aku menatapnya datar. Fakta yang kusampaikan adalah
nyata. Aku sudah lama menerimanya, namun bukan berati hal itu
tak
menyakitkanku. Tetap saja ada perih menusuk yang kurasakan di salah satu
baggian tubuhku, tiap kali aku mengungkapkannya. Rasa yang selalu ku dorong
kebelakang ke dasar alam bawah sadarku,
"Semuanya....." jawabku datar.
Ada kilatan sedih dimata Ferdy
yang kutangkap. Aku hanya mengangkat bahu.
"Lalu untuk bersusah payah, kalau pada akhirnya
kau akan melepaskannya?" bisiknya lirih.
"Karena aku juga ingin merasakan kebahagiaan
yang menjadi milikku sendiri. Aku cukup egois untuk mendapatkan kebahagiaanku,
sebelum aku berkorban untuk membahagiakan orang tuaku. Bahkan meski aku harus
menyakiti orang yang berarti bagiku. Seperti Regha. Atau mungkin......
dirimu," kataku pelan tanpa memutus kontak mataku dengannya,
"Maaf."
"Ky......"
"Aku ingin merasakan semua itu. Kau bisa
menyebutnya bersenang-senang," ujarku,
mencoba terdengar acuh sembari mengaduk minumanku dengan sedotan yang
kuambil.
"Kenapa kau tak bisa melakukannya
denganku?"
Pertanyaan itu membuatku kembali mengangkat wajahku
dan menatapnya. Reaksinya diluar perkiraanku. Kukira dia akan marah karena
mungkin dia pikir, aku telah memannfaatkannya. Tapi yang kulihat adalah sorot
pengertian yang dia berikan dalam sinar matanya. Sorot yang sering dia berikan
padaku itu nyaris membuatku malu sendiri. Aku menarik nafas panjang,
"Karena aku sudah telah menerima banyak darimu. Terlalu banyak. Sudah
waktunya kau mendapatkan orang yang lebih baik daripada aku. Kau...... layak
mendapatkannya."
"Tidak pernah terlintas dipikiranmu, kalau
kaulah yang aku inginkan? Satu-satunya."
. . . . . . . .
. . .
Hening.
. . . . . . . . .. . .
Aku mencoba memilih kalimat yang tepat. Ingin
memperhalus apa yang ingin kusampaikan. Tapi sekali lagi, aku tahu Ferdy layak
mendapat kebenaran. "Aku tak bisa menjanjikan apapun padamu Fer. Aku tak
bisa memberikan ikatan yang stabil, janji setia ataupun untuk terus berada
disisimu. Aku mungkin akan menyepelekanmu untuk bisa bersama dengan Regha.
Karena aku menginginkannya. Kau mau semua itu?"
Ferdy meraih tanganku yang ada dimeja,
""Akan kuambil apapun yang bisa kudapatkan darimu," tukasnya
pelan dengan senyum pengertian yang kembali tersungging dibibirnya.
Kejadian setelah itu nyaris seperti gambar buram
yang hanya sekilas terlihat. Yang kuingat adalah kami keluar dari restoran itu.
Mencari sebuah hotel dan menghabiskan sisa malam bersama. Masing-masing dari
kami seolah-olah menjadi seorang musafir yang tersesat, dan kemudian menemukan
sebuah oasis di tengah gurun. Aku tahu, masing-masing dari kami membutuhkan
semacam pelepasan dari rasa frustasi yang kami rasakan. Kami harus melarikan
diri sejenak dari realita yang menyesakkan. Ferdy membutuhkannya. Aku juga.
Kami melampiaskanya dalam penyatuan fisik yang liar, kasar dan bergelora. Saat
semuanya meledak, hampir bersamaan kami mengeluarkan lenguhan keras. Aku harus
menggigit bibir bawahku untuk mencegahku berteriak. Sementara Ferdy
menenggelamkan wajahnya dalam-dalam ke bantal.
Tubuhku berkeringat hebat dan lemas begitu pelepasan
rasa frustasi itu mencapai puncaknya. Ada kepuasan yang kurasakan.
Meski ada sesak yang akhirnya menemaniku.
Bahkan kini, saat pagi merangkak perlahan, rasa
sesak itu masih menggangguku. Tanganku yang memeluk perut telanjang Ferdy terasa berat dan kaku. Bayangan gila
sesaat berkelebat dimataku. Bayangan wajah Regha yang seolah-olah menghakimiku
dengan sinar matanya, tanpa kata. Maaf Gha. Tapi terkadang aku merasa hampir
gila, batinku berat.
"Kau tak perlu menyesal Ky," ujar Ferdy
perlahan. Aku bahkan tak menyadari kalau dia telah terbangun. Sesaat kemudian
aku merasakan usapan telapak tangannya pada punggung tanganku yang memeluk
perutnya.
Aku tak menjawab.
"Tubuhmu tegang. Aku bisa merasakannya,"
lanjutnya lagi dengan suara yang masih berat.
"Kau tidak merasa menyesal?" tanyaku.
Ferdy membalikkan tubuhnya dan sedikit menjauhkan
wajahnya agar bisa menatapku. "Tidak! Karena aku tahu kita sama-sama
memerlukannya. Kenapa? Kau merasa mengkhianati Regha?" tanyanya pelan.
Aku diam menatapnya sejenak, "Apa aku punya
hak? Seingatku, kami tak pernah jadian," jawabku sedikit getir.
Tangan kanan Ferdy terulur dan menyentuh sisi
wajahku, "Meski terdengar licik dan mirip seperti dalih, aku setuju dengan
itu," gumamnya sembari tersenyum geli.
"Apa yang kau dapat dari semua ini? Hanya sex?
Seingatku kau bukan orang yang berpikiran dangkal Fer" tanyaku.
Ferdy menarik nafas panjang, "Aku tahu, mungkin
tak ada cinta untukku disini," kata Ferdy. Tangannya. beralih mengusap
dadaku, dimana jantungku berada. Sejenak dia bermain dengan ujungnya,
"Disini, dalam hatimu, mungkin tak
ada tempat bagiku. Tapi seperti yang telah kukatakan semalam, akan kuambil
apapun yang kau tawarkan. Seperti yang kau katakan, kita bersenang-senang."
"Bagaimana kalau aku hanya
memanfaatkanmu?" tanyaku pelan
"Akan kuambil apapun yang kau tawarkan
padaku," jawab Ferdy lirih tanpa melepaskan pandangannya dariku,
"Apapun itu."
Aku diam dan menelusuri wajahnya sejenak. Aku tak
tahu apa yang harus aku katakan. Jadi aku hanya menarik nafas panjang dan
menghembuskannya keras-keras. Seakan-akan meniup pergi semua keresahan yang
mulai menggantung,
"Mungkin kita harus segera mandi, karena kita harus
segera ke Rumah Sakit. Kita beli saja kemeja baru di toko yang kita lewati
nanti," kataku akhirnya.
"Mau barengan?" tawar Ferdy sambari
tersenyum dan bangkit. Dia mengulurkan satu tangannya padaku. Aku hanya
tertawa kecil dan menyambut uluran tangannya.
Kami tiba di rumah sakit sedikit terlambat karena
agak kesulitan untuk menemukan toko yang buka pagi. Akhirnya kami kembali ke
kontrakan Ferdy. Aku meminjam kemejanya. Pemikiran untuk datang ke tempat kerja
dengan kemeja yang sama 2 hari berturut-turut sedikit menggangguku. Jadi aku
setuju meminjam baju Ferdy dulu, meski agak kurang nyaman. Dan hari itu berlalu
seperti biasanya. Ferdy bersikap normal. Hal yang terjadi semalam tak
sedikitpun mempengaruhinya. Hanya aku yang merasa sedikit terganggu. Tapi.
didepannya, aku mencoba bersikap biasa.
Agak sulit. Karena selain agak tak enak dengan Ferdy, terkadang aku
masih melihat kelebatan wajah Regha yang menghakimiku.
Namun sore harinya, saat hendak pulang, aku tak
dapat lagi menahan diri. Begitu ada dilapangan parkir, aku meraih hape dan
menelepon nomor Regha. Aku ssedang menunggu waktu Ferdy berjalan kearahku yang
berdiri disebelah mobilku di tempat parkir dengan senyum terkembang.
"Hei, malam ini bisa.." dia berhenti saat
aku mengangkat tanganku. Panggilanku diangkat.
"Haloo?"
Bukan suara Regha. Aneh, "Maaf, Reghanya
ada?" tanyaku sementara Ferdy berdiri diam disebelahku.
"Mas Rizky? Ini Regi, Mas. Reghanya sakit, jadi
gak bisa mengangkat telepon," jelas Regi dari seberang.
"Aku akan segera kesana," sahutku cepat
dan menutup telepon, "Maaf Fer. Regha sakit. Aku harus kesana,"
kataku buru-buru hendak masuk kemobil. Baru beberapa detik kemudian aku sadar
apa yang aku katakan. Perlahan aku berbalik untuk melihat Ferdy. Yang
mengejutkan, dia berdiri disana dengan senyum tersungging. Padahal aku kira aku
akan melihat lagi sorot terluka dimatanya.
"Pergilah," ujarnya singkat.
Aku hanya tersenyum tipis dan segera masuk ke mobil.
Aku coba mengacuhkan sedikit rasa bersalahku yang kini justru tertuju pada
Ferdy. Dia tahu kondisi seperti apa yang dia masuki. Dan aku sudah dengan
jelas, mengatakan kalau aku tak bisa memberinya apa-apa. Jadi aku tak perlu
merasa bersalah padanya, batinku. Mencoba meyakinkan diri sendiri.
Kupusatkan perhatianku ke jalan, berusaha secepat mungkin untuk segera sampai
ke tempat Regha.
Jalanan yang macet karena jam pulang kantor
membuatku sampai disana hampir dua jam kemudian. Hari sudah gelap dan kulihat
ada Vivi dan Regi yang sedang ngobrol bersama beberapa orang teman kost Regha
yang sepertinya hendak pergi keluar. Seperti mahasiswa lainnya, jam-jam seperti
ini kebanyakan temen Regha nongkrong diluaran. Jadi kost-kostan cukup sepi saat
ini. Mereka segera bangkit begitu melihatku mendekat.
"Bagaimana dia?" tanyaku tanpa
menghentikan langkah, menuju ke kamar Regha.
"Tidur Mas. Sudah mendingan kok. Tadi habis
minum obat," jelas Regi dan mengikutiku. Dia menyikut Vivi yang berjalan
disebelahnya. Dalam keadaan biasa mungkin aku tertarik untuk tahu, kenapa dia
melakukan hal itu. Tapi sekarang yang terpenting adalah melhat kondisi Regha.
Perlahan aku membuka pintu kamar Regha. Kulihat dia
berbaring dikasur busa lantainya dengan selimut yang menutup hingga dagunya.
Aku mendekat dan meletakkan tas kerjaku dengan hati-hati disebelah. Aku
berjongkok dan memeriksa Regha. Tubuhnya berkeringat cukup banyak. Rambutnya
tampak lembab. Aku menyingkirkan beberapa helai darinya yang menempel di
kening. Kalau dia sudah berkeringat, itu bagus. Demamnya juga hampir mendekati
normal.
"Gha....?" panggilku pelan dan sedikit
mengguncang tubuhnya. Semula tak ada reaksi. Tapi setelah 3 kali panggilan,
matanya bergetar dan membuka, "Bagaimana perasaanmu? Pusing atau ingin
muntah?" tanyaku dengan suara menenangkan.
"Lemes..... enakan," sahutnya sedikit tak
jelas, lalu kembali memejamkan mata.
"Apa yang dia minum tadi?" tanyaku pada
Regi dan Vivi yang berdiri diam dibelakang kami.
Mereka tak menjawab, tapi Vivi menunjuk kearah bawah
kasur Regha, dimana aku melihat satu strip Revagan, obat yang beredar umum di
pasaran. Beberapa tablet dalam strip itu telah hilang dari bungkusnya.
"Dia udah mendingan kan Mas? Demamnya sudah
turun kalau dibandingkan tadi," tanya Regi dengan sedikit khawatir. Dia
duduk disebelahku. Aku bisa melihat kecemasannya membayang diwajahnya yang
menatap Regha. Sekali lagi, aku tersentuh oleh kepeduliannya pada Regha.
Seakan-akan dia memiliki ikatan yang lebih dari sekedar teman. Hal ini semakin
membuktikan kualitas Regi sebagai teman. Dengan semua kekurangannya, menurutku
Regi cukup berharga untuk Regha pertahankan.
"Sudah jauh lebih baik Gi. Dia hanya sedikit
kecapekan atau mungkin......... sedikit kebanyakan pikiran," gumamku agak
heran. Aku berpaling pada Regi. Tapi dia justru menoleh pada Vivi yang berada
tak jauh dibelakangnya. Untuk sejeak mereka hanya saling memandang dengan
tatapan saling mengerti. Ada sesuatu yang mereka tahu, "Kalian tahu
sesuatu yang mungkin bisa dibagi denganku?" tanyaku, mencoba mencari
keterangan yang bisa membantuku.
"Eeeeuuhh..... untuk hal itu, sepertinya tidak
bijaksana kalo kami yang kasih tau Mas. Tapi.... kita katakan saja kalau dia
memang sedikit memiliki beban pikiran," tukas Regi.
"Berhubungan dengan pekerjaan, atau
mungkin..... Zaki," tanyaku dengan kening sedikit berkernyit. Ekspresi
wajah Regi yang berubah membuatku sadar akan adanya sedikit kemarahan dalam
suaraku.
"Z-zaki?" tanya Regi, tanpa menutupi
keheranannya, "K-kenapa Mas Rizky menanyakan soal Zaki?"
"Jadi...... dia tak ada hubungannya,"
gumamku pada diriku sendiri tanpa menjawab pertanyaannya, dan dengan sedikit
canggung berpaling pada Vivi. Keheranan juga tampak diwajahnya.
Vivi menggeleng, "Tidak ada, sama sekali.
Justru Zaki yang sebenarnya meminta kami untuk menjaga Regha, karena dia harus
membereskan sesuatu. Dan sepertinya.............." dia kembali berpaling
pada Regi, "... kami tahu dia pergi kemana. Yang jelas, kami yakin Zaki
justru lebih banyak membantu Regha," sambungnya lagi. Dan sekali lagi, aku
menangkap pemahaman yang terjalin antara keduanya. Aku sendiri justru menjadi
agak terlalu kesal untuk meminta penjelasan pada mereka karena dengan jelas, mereka
tadi sudah mengatakan kalau mereka tak akan memberitahuku. Semula, kukira Zaki
yang menjadi penyebab utama dari semuanya. Karena kalau memang iya, aku siap
untuk membuat perhitungan. Dia cukup mengesalkanku akhir-akhir ini.
"Tapi...... kenapa Regha lemes gitu Mas?"
tanya Regi, seakan-akan mencoba mengalihkan perhatianku.
"Efek dari obat saja. Justru baik kalau dia
bisa beristirahat ataupun berkeringat seperti ini. Dia akan merasa jauh lebih
saat bangun nanti. Tapi sepertinya, kita harus mengganti bajunya yang basah
kuyup. Kalian..... bisa carikan baju ganti?" pintaku. Tanpa menjawab, Regi
bangkit dan menuju lemari plastik yang ada diujung lain ruangan. Tak berapa
lama, dia menyerahkan satu stel pakaian hangat padaku, "Terimakasih.
Kalian bisa keluar sebentar?" pintaku lagi.
Mereka melakukannya tanpa kupinta lagi. Aku segera
mengganti baju Regha. Berhati-hati agar dia tak terganggu atau terbangun. Meski
dalam hati aku berharap kalau aku bisa melakukan hal yang sama, namun dalam
situasi dan kondisi yang berbeda. Aku memposisikan pikiranku sama saat aku
menghadapi pasien sekarang. Menutup semua efek kontak fisik yang mungkin akan
terasa berbeda pada waktu yang lain.
"Kalian bisa masuk!" panggilku pada Regi
dan Vivi yang aku yakin menunggu didepan pintu. Mereka langsung masuk dan
menoleh pada Regha yang kini terbungkus pakaian yang lebih bersih dan kering,
"Kalian bisa bantu aku membereskan kamar ini? Dan.... apa ada laundry
didekat sini? Akan lebih baik kalau kita jaga lingkungan sekitar Regha tetap bersih,"
kataku.
"Biar saya saja yang bawa ke laundry Mas,"
tawar Regi dan meraih baju-baju kotor Regha dan memasukkannya kedalam tas
plastik yang entah dia dapat darimana, "Lo bantu Mas Rizky aja Nek,"
kata Regi pada Vivi yang langsung dijawab dengan anggukan.
"Gi, ongkosnya.."
"Nggak usah Mas," cegah Regi saat
melihatku hendak merogoh kantong, "Mas nggak perlu khawatir tentang
itu," katanya dan segera menghilang.
"Dia benar-benar teman yang baik," gumamku
pelan.
"Itu juga karena Regha juga seorang teman yang
baik Mas," sahut Vivi tanpa menoleh padaku. Aku tak punya sanggahan untuk
itu. Tak ada lagi yang perlu dikatakan setelah itu. Kami bekerja dalam diam.
Membereskan beberapa barang Regha. Keningku agak sedikit berkerut saat melihat
sebuah laptop dengan merk apple yang baru kulihat.
"Punyamu Vi?" tanyaku dan menunjuk ke
benda itu.
Vivi menggeleng, "Sepertinya punya Regha,
Mas," jawabnya lalu melanjutkan berbenah.
Jawabannya semakin membuatku heran. Nggak mungkin
Regha sanggup membeli barang semahal ini. Regha tak memiliki kemampuan itu.
Meski sangat ingin tahu, aku mencoba menepiskannya. Aku dan Vivi mengumpulkan
barang-barang yang tak perlu kedalam tas plastik lain.
"Aku akan membuangnya dulu," pamitku dan
meraih handle pintu. Aku sedikit terhenyak saat dibalik pintu aku mendapati
Zaki yang mengangkat satu tangannya, sepertinya hendak mengetuk. Sejenak dia
tampak luar biasa kaget. Dia melihatku, sedikit terbelalak, lalu menelusuri
seluruh kamar. Pandangannya berubah gusar dalam hitungan detik.
"What the hell are you doing here?!!!"
sentaknya dengan geram.
ZAKI
Aku melotot kesal pada Vivi yang tampak terlalu
kaget uuntuk langsung bereaksi.
"Kukira aku sudah memberi petunjuk yang jelas
padamu!" tegurku. Aku tahu mungkin agak keterlaluan. Tapi kekesalanku
cukup untuk membuatku tak peduli, "And you!!!" sentakku lagi
dan berpaling pada Rizky, "Care to explain, what the heck are you doing
in here?"
"Ki!" tegur Vivi dengan suara sedikit
berdesis, "Bicaralah diluar. Regha sedang beristirahat," katanya
mengingatkan.
Aku sudah hendak kembali membentaknya, tapi kulihat
Regha memang tampak terganggu. Tubuhnya sedikit bergerak. Kelopak matanya yang
tertutup terlihat berkedut. Aku hanya mampu menelan geraman yang sudah ada
diujung mulutku.
"You! Out now! And take your thngs with you!"
kataku dingin dan berbalik menuju ke luar beberapa meter dekat pagar gedung
kost an Regha.
Tak berapa lama Rizky keluar dengan wajah kaku. Dia
membawa sebuah tas plastik hitam yang kemudian dilemparkannya ke tong sampah
disebelah kanan pagar. Dia lalu berpaling padaku dan melipat tangannya di depan
dada. "Apa sebenarnya masalahmu?" tegurnya tanpa menyembunyikan
kekesalannya.
"You!!!" jawabku langsung tanpa
basa basi, "Kau lah yang jadi masalahku. I thought I told you to stay
away from him!" kataku.
"Dan seingatku aku juga sudah mengatakan padamu
kalau Regha, adalah cowok dewasa yang bisa bertindak ataupun melakukan apa saja
apapun yang dia mau. Tanpa ijinmu. Apapun itu! Kau tak memiliki hak untuk
melarang kami berhubungan. Kalau Regha tak bermasalah denganku, kenapa kau
harus ribut?" sahutnya dengan suara tertahan.
"Karena aku tak menyukaimu. Aku sudah
menunjukkannya dengan jelas kan?"
Rizky mengangkat bahunya acuh, "Itu masalahmu.
Bukan masalahku, atau Regha," jawabnya.
"Oh, trust me. It will be!" geramku
dengan geraham terkatup, "Kalau aku tak salah ingat, kau hanya seorang internship
kan? Kau belum memiliki ijin untuk praktek. Apalagi mengobati pasien tanpa
pengawasan dokter senior. Kalau ada sesuatu yang salah dengan Regha, akan
kupastikan kalau kau tak akan pernah mendapatkan ijinmu."
Ada kilatan berbahaya dimata Rizky. Jelas dia
berusaha mati-matian untuk menahan diri. Dia menarik nafas panjang sebentar,
"Asal kau tahu, aku hanya memeriksa keadaannya. Aku tak mengobati ataupun
memasukkan apapun kedalam tubuhnya. Jadi lakukan apapun keinginanmu. Aku tak
peduli," jawabnya.
Ganti aku yang mengangkat bahu acuh, "We'll
see," jawabku ringan, "Sekarang, aku ingin kau pergi dari
sini."
"Sekali lagi kutegaskan kalau kau tak memiliki
hak untuk.."
"Ibu Regha sedang berada dalam perjalanan
kesini. Beliau akan segera tiba. Apa kau ingin aku menjelaskan padanya tentang
apa yang kau inginkan dari Regha? Kau bisa bayangkan sendiri, bagaimana
reaksinya. Atau mungkin, kau memang menginginkan keributan itu? Kau ingin semua
orang tahu siapa dirimu sebenarnya? Atau mungkin, kau ingin semua orang
berpikiran salah tentang Regha? Kau menginginkannya?"
Hening!
Jelas Rizky kesulitan untuk membalasku. Tubuhnya
sedikit gemetar oleh amarah. Tapi aku hanya menatapnya dengan santai, tak
peduli.
"You're an absolute asshole!!"
desisnya dingin.
Aku kembali mengangkat bahuku acuh, "Apapun
untuk membuatmu menyingkir dari sini," jawabku kalem.
Rizky menatapku dengan kemarahan yang meluap-luap.
Lalu tanpa berkata apapun lagi, dia berbalik.
"Wait!!!!!!" panggilku sembari
merogoh kedalam tas ransel kecilku. Aku melemparkan amplop yang ada didalamnya
pada
Rizky. Dia menangkapnya meski dengan ekspresi heran. "Itu hutang
Regha padamu. 10 juta. Benar kan?"
Wajahnya mengeras dalam hitungan detik. Dengan kesal
dia kembali melemparkan kembali amplop itu padaku, "Itu urusanku dengan
Regha. Tak ada hubungannya denganmu. Dan sebagai catatan untukmu, aku
memberikan uang itu pada Regha. Bukan meminjamkannya!"
"Oh, aku tahu. Trust me! Tapi Regha
selalu menganggapnya sebagai hutang. Karena itu dia tetap ingin
mengembalikannya padamu," ujarku.
"DON'T!!" cegah Rizky saat aku
ingin kembali melemparkan amplop yang kupegang, "Apapun urusanku dengan
Regha, aku akan menyelesaikannya dengan Regha. Bukan denganmu! Jadi kau bisa
menyimpan uang sialanmu itu," desisnya dan dengan cepat berbalik tanpa
menghiraukanku lagi.
Aku diam ditempatku berdiri, tak menyusulnya,
"Kau bisa keluar Regi!" kataku santai. Tadi aku memang melihat
kelebatan tubuh Regi yang kemudian bersembunyi dibalik mobil yang sepertinya
milik Rizky. Aku berbalik menghadap Regi yang perlahan melangkah keluar dari
balik moncong mobil, "Apa yang kau lakukan diluar?" tegurku.
"Aku baru saja membawa baju kotor Regha ke
laundry terdekat," jawabnya kalem.
Aku hendak menjawab, tapi urung saat dari ujung
mataku aku melihat Rizky berjalan keluar dengan menenteng tas kerjanya.
"Pulang Mas Rizky?" sapa Regi ramah.
Rizky yang berjalan acuh melewatiku mengangguk pada
Regi kaku. Dengan cepat dia masuk kedalam mobilnya tanpa sekalipun melirikku.
Aku tak memperdulikannya karena sudah berjalan untuk masuk kedalam kamar Regha.
Regi mengekor dibelakangku.
"What did you do that?" tanya Regi.
Pertanyaannya membuatku berhenti. Aku berbalik
menatapnya. Sebelum aku membuka mulut, pintu kamar kost Regha terbuka. Vivi
keluar dan memandangku, ingin tahu, "Yeah, why did you do that?" tanya
Vivi ikutan nimbrung dan melangkah keluar dari kamar Regha, mendekat ke arah
kami.
"Aku tak tahu apa maksud kalian," jawabku
singkat, masih sedikit kesal dengan kejadian beberapa menit tadi, "I
thought I told you clearly! Bukankah aku sudah memberi nomor dokterku pada
kalian? Tapi kenapa justru dia yang datang?!" tegurku kaku.
"Rileks Ki. Kami tak memanggilnya. Tapi tadi
dia menelepon Regha. Karena dia tak bisa mengangkatnya, jadi Regi yang
menjawab. Dan sebelum kau protes, dia sendiri yang berinisiatif untuk datang.
Kami tidak mengundangnya," jelas Vivi cepat.
"Seharusnya kalian melarangnya memeriksa Regha.
Dia bahkan belum memiliki ijin praktek. What if something wrong?!" protesku.
"Oh please! Jangan berlebihan,"
sergah Vivi, "Sekarang jelaskan pada kami, kenapa kau bersikap keterlaluan
begitu pada Mas Rizky?"
Aku mengangkat bahu acuh, "I don't like him"
jawabku singkat.
"Hanya karena kau tak menyukainya?" tegas
Regi.
"Well, yeah! Apa lagi?" tanyaku
balik.
"Kau baru kembali dari rumah Regha kan?"
tanya Regi lagi, membuat langkahku terhenti. Aku yang sudah hendak kembali
kekamar Regha urung, dan berbalik menghadap kearahnya.
"Bagaimana kalian bisa tahu?" tanyaku,
terlambat untuk menyadari bahwa dengan jawabanku tadi, aku telah membenarkan
dugaan mereka. Sepertinya aku sudah sangat lelah, sampai-sampai aku tak
memiliki kontrol. Dan insiden dengan Rizky tadi seharusnya sudah cukup menjadi
petunjuk bagiku. Aku harus menenangkan diriku, atau kalau tidak, aku akan mulai
ngoceh seperti orang tolol. Kuusap wajahku dengan kedua tanganku, benar-benar
lelah.
"Yeah, aku memang dari sana," jawabku dan
kembali menatap Regi dan Vivi didepanku, "Darimana kalian bisa menduga hal
itu?" tanyaku lagi.
"Tadi..."
"Kami lihat di televisi kalau daerah tempat
tinggal Regha terkena efek badai kemarin," potong Vivi dan memandang Regi,
sedikit tajam, "Jadi.......... bagaimana keadaan orang tua Regha?"
tanyanya padaku cepat, seolah-olah mencoba mengalihkan perhatianku.
"Baik-baik saja. Mereka selamat. Hanya rumah
mereka yang butuh sedikit perbaikan. Other than that, they're fine! They
will be fine. I've made sure of that." jawabku santai.
"Nggak pernah terpikir kalau, mungkin saja lu
su.."
"GI!!!!" potong Vivi sedikit keras,
membuat Regi dan aku cukup kaget dibuatnya, "Jangan!"
"Tinta nek, ikke cuman mawar tahu goreng, kali
aja diana...."
"Iya ngerti Gi! Jangan!!"
"Tapi....." Regi batal saat dilihatnya
Vivi tetap menggeleng tegas, "Ya udahlah...." desah Regi akhirnya.
"Kalian sedang ngomongin apa sih?"tanyaku
agak bingung.
"Lupain aja. Biasalah, si Regi mulai ngaco.
Kau......... sedikit kacau," ujar Vivi dengan pandangannya yang
menelitiku,
"Maybe you should get some rest," sarannya pelan.
Aku mencoba tersenyum tipis, meski mungkin lebih
terlihat seperti sebuah cengiran bodoh, "I'm fine. Kalian saja yang
balik. Istirahatlah. Besok Mamah akan datang kesini untuk menjenguk Regha.
Regi, antarkan Vivi sampai rumahnya, okay? Kamu nggak bawa mobil Vi? Kalian
punya ongkos buat taksi kan?"
"Tenang," jawab Regi santai, "Uang
yang kau berikan masih tersisa cukup banyak dan..........."
"Pakai saja," jawabku bahkan sebelum Regi
selesai bicara dan mengibaskan tangan tak peduli, "Kalian panggil taksi
ok? Biar aku yang nungguin Regha," kataku lagi dan berjalan menuju kamar
Regha.
"Nungguin? Ngapain ditungguin sih?"
celetuk Regi yang mengikuti dibelakangku.
Aku tergelak kecil dan berhenti didepan pintu kamar
Regha, "Kukira kau sudah cukup mengenal Regha. Obviously, you don't. Kalau
sakit, teman kalian yang satu itu, tidak bisa ditinggal sendiri. Dia harus
ditemani. Kalo enggak, dia bisa begadang semalaman," selorohku.
"Aishh!! Masa sih? Orang tadi dia tidur
kok," tukas Regi.
Aku yang membuka pintu kamar Regha hanya tertawa
dengan ketidak percayaan Regi. Kulihat Regha masih terbaring dengan mata
tertutup, "Pengaruh obat," bisikku pada mereka, "Kalau nanti dia
terbangun, aku bisa jamin kalau dia akan merengek sendirian. Mamah yang
memberitahuku."
Regi ikut-ikutan terkikik, sementara Vivi menggeleng
tak percaya. Pada saat itu, dari sudut mataku kulihat tubuh Regha bergerak.
Kami semua segera terdiam. Beberapa saat kemudian dia membuka matanya. Sejenak
dia hanya melihat kearah kami yang berdiri tak jauh darinya.
"Kalian......... masih disini?" tanyanya
dengan suara pelan.
Vivi mengambil tasnya yang ada disebelah lemari
Regha. Dia lalu mendekat ke Regha dan membungkuk untuk mengusap lengan Regha.
"Gue balik dulu, ok? Demam lo udah turun, jadi gue yakin lo bakal
mendingan besok. Istirahat ya?" kata Vivi.
Regha tersenyum lemah, "Makasih Vi,"
ujarnya pelan. Vivi hanya tersenyum membalasnya dan bangkit.
"Ikke juga mawar polo ya Nek? Jij tidora
ajijah," kata Regi. Dan aku sama sekali tak mengerti apa maksud dari
kalimatnya.
Tapi Regha sepertinya paham, karena dia kembali tersenyum dan
mengangguk pada Regi.
"Makasih Gi," ujarnya. Regi dan Vivi pun
bangkit dan berpamitan. Mereka keluar dengan pandangan aneh yang tertuju
bergantian padaku dan Regha.
Saat Regi dan Vivi menghilang dibalik pintu,
keheningan yang canggung menyelimuti kami. Untuk sejenak, aku dan Regha hanya
saling berpandangan. Aku sendiri sedikit heran. Semula kukira dia akan marah
dan memintaku untuk segera hengkang. Tapi dia tampak tenang, dan bahkan sedikit
salah tingkah, membuang pandangannya ke langit-langit kamar. Hal itu membuatku
sedikit bertanya-tanya. Mungkin dia masih terlalu lemas untuk bereaksi normal.
Aku berdehem pelan lalu mendekat.
"Kau......... merasa baikan?" tanyaku dan
duduk disebelahnya.
"Jauh lebih baik," jawabnya pelan, masih
tak mau menatapku.
"Syukur kalau begitu," jawabku sembari
meluruskan kakiku dilantai lalu menyandarkan punggungku ke dinding. Baru saat
itulah aku benar-benar menyadari, betapa lelahnya tubuhku. Saat punggungku
menyentuh dinding, tanpa sadar aku mengeluarkan suara erangan lega. Rasanya
begitu nyaman, seakan-akan ini pertama kalinya aku bersandar setelah duduk
tegak selama beberapa jam.
Regha yang tepat disebelahku memalingkan wajahnya
untuk melihatku. Keningnya sedikit berkerut. Aku tak sadar kalau eranganku tadi
ternyata cukup keras. Aku hanya mampu nyengir padanya.
"Sorry," kataku, sedikit tersipu.
Regha tidak membalas senyumku, dia justru
memandangku lurus, "Kamu kelihatan lelah," gumamnya.
Yeah,tell me about it, batinku.
Tapi aku hanya tersenyum tipis padanya.
"You should get some rest," katanya
lagi.
"Apa kau bisa tidur kalau kutinggal
sendiri?" tanyaku padanya. Regha tak menjawabnya. Aku kembali tergelak
kecil, "Sudah kuduga. Seperti yang Mamah bilang, kalau sakit begini,kamu
tuh nggak bisa sendiri kan? I'm okay. Just let me stay like this for awhile
and I'll be fine," kataku sembari menyandarkan kepalaku dan memejamkan
mata. Beberapa menit seperti ini mungkin bisa menyegarkanku. Besok, kalau Mamah
sudah datang, aku toh bisa pulang dan tidur sepanjang hari. Aku kira aku sudah
hampir terlelap saat lenganku disentuh seseorang.
Aku membuka mataku dan mendapati Regha meraih
lenganku. Dia menariknya dan memeluk lenganku didadanya. Wajahnya yang menempel
dilenganku terasa hangat. Untuk sejenak aku hanya terdiam, terlalu kaget untuk
bereaksi.
"Terimakasih......... terimakasih.....,"
gumam Regha beberapa kali dengan suara sedikit serak. Aku bisa merasakan
sedikit air matanya yang kemudian membasahi lengan bajuku.
Seperti ada sebuah hubungan listrik pendek yang
terjadi disudut lain otakku. Dan sebelum aku menyadari apa yang kulakukan,
kudapati tangan kananku bergerak mengusap rambut Regha dengan lembut, sementara
bibirku menggumamkan kalimat untuk menenangkannya. Mengatakan bahwa semua akan
baik-baik saja. Bahwa aku akan tetap disana untuk menemaninya.
Regha semakin erat memeluk lengan kiriku. Dia baru
sedikit rileks saat aku mencium ujung kepalanya. Dan dengan itu kami berdua
akhirnya sama-sama terdiam, sampai akhirnya selimut tidur menyelimuti kami.
Kamus bahasa banci
mawar : mau/hendak
tidora : tidur
polo : pulang
ajijah : aja/aja
Ikke : aku
tahu goreng : tau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar