Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle ) Chapter 15 - Hunch!

REGHA

"GHAAAAAA!!!!!"

Panggilan cempreng itu jelas terdengar saat pertama kali aku memasuki ruang redaksi buletin kampus. Regi dengan heboh melambai padaku untuk mendekat kearahnya. Vivi yang ada disampingnya juga ikut melambai. Aku segera mendekat dan duduk disamping mereka yang menyambutku dengan senyum sumringah.

"Nek jij tahu gak sih, artikel yang jij tulis kemarin soal Zaki dapet reaksi bagus dari temen-temen. Untuk pertama kalinya buletin kita cetak ulang," kata Regi dengan semangat dan langsung joget ngebor dilokasi.

Aku mendengus keras, tak percaya. "Masa sih?" tanyaku skeptis dan meletakkan tas ranselku di atas meja, lalu duduk disamping Vivi.

"Iya Gha! Ada banyak surat yang masuk. Sebagian besar sih request," jelas Vivi.

"Request?!" tanyaku, makin heran.

"Benar!" tukas Mas Angga yang ternyata sudah datang dan ditangannya memegang sebuah kotak air mineral berukuran sedang. "Semua sudah datang kan? Kita mulai rapat redaksi pagi ini," ujar Mas Angga.

Ruangan yang tadi sedikit ribut jadi hening dalam hitungan detik.

"Seperrti yang sudah kalian ketahui," kata Mas angga dengan nada bangga yang jelas dalam suaranya, "untuk pertama kalinya dalam sejarah, buletin kita cetak ulang sebanyak 100 ekslempar!"

Mas Angga harus diam karena beberapa dari anggota redaksi langsung bersuit heboh dan bertepuk tangan. Beberapa bahkan menggebrak-gebrak meja dengan antusias. Kali ini tak ada teguran. Bahkan Mas angga yang biasanya tegas, tak bisa menahan senyum senangnya oleh reaksi teman-teman. Dia menunggu beberapa saat dan mengangkat tangannya untuk menertibkan mereka.

"Bahkan banyak sekali surat yang masuk. Dalam kotak ini," dia menunjuk pada kotak yang tadi dibawanya, "banyak sekali surat yang memuji hasil kerja kita. Beberapa dari mereka secara khusus meminta wawancara yang lebih mendetil dengan para pemenang kita kemarin. Juga permintaan agar fotonya diperbanyak. Regha, kau yang paling banyak mendapat sorotan. Banyak dari surat-surat yang masuk meminta agar kau kembali mewawancari Zaki dan memperbanyak foto."

Aku tak dapat menahan eranganku mendengarnya. "Hebat! Masterppiece yang kubuat dalam buletin adalah tentang si egomaniak sinting itu," gumamku kesal pada diriku sendiri.

"Dalam surat-surat ini juga banyak sekali pertanyaan yang diajukan oleh para pembaca tentang Zaki. Aku sudah membaca beberapa diantaranya. Hanya pertanyaan-pertanyaan umum. Kebanyakan khas cewek. Seperti warna favorit, cewek favorit atau istri idaman."

Aku sedikit mengulum senyum saat aku menangkap kesan kesal pada kalimat Mas Angga tadi.

"Kukira sebagai mahasiswa, mereka akan mengajukan pertanyaan yang berbobot. Tapi sepertinya pola pikir mahasiswi kita tidak jauh beda dengan anak SMA," lanjutnya dan kini jelas-jelas dengan nada sedikit mencela. "Tapi,bisnis adalah bisnis. Karena orang-orang seperti mereka juga, buletin kita mendapat respon seperti ini. Jadi Regha, tugasmu selanjutnya adalah kembali mewawancari Zaki. Ambil pertanyaan-pertanyaan dari surat-surat yang masuk. Cukup banyak bahan disana yang bisa kau pakai dan. . . . " Mas

Angga berhenti saat tanpa sadar aku mengumpat pelan.Gimana coba pendapat egomaniak sinting itu kalau aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu. Dari kata-kata Mas Angga tadi, aku sudah bisa menduga jenis dari pertanyaan-pertanyaan itu. Sudah pasti cuma tentang hal-hal yang akan memperbesar kesintingan manusia edan itu.

"Ada masalah Gha?" tanya Mas Angga dengan kening berkerut.

"Eeeuuhh. . . . Mas Angga bisa menunjuk teman lain untuk tugas ini?" tanyaku sedikit ragu.

Kali ini Mas Angga melihatku dengan tatapan tertarik yang justru membuatku tak nyaman. "Baiklah. Katakan kenapa kau tak mau mewawancarai Zaki lagi, padahal tulisanmu mendapat respon positif dari teman-teman pembaca!" tantangnya dengan tangan yang dia lipat didada. Perhatiannya semua anggota redaksi tertuju padaku. Vivi dan Regi yang sedikit tahu hanya mencuri pandang padaku dengan senyum simpul. Tanpa sadar aku menelan ludah.

"Sebetulnya. . . lebih karena alasan pribadi Mas," jawabku lemah.

Penjelasan itu jelas tidak membuat Mas Angga senang, karena kerutan didahinya jadi semakin dalam. "Jadi, kau menolak tugas ini karena alasan pribadi? Apa itu sangat crucial?" tanyanya.

Aku hanya diam mendengarnya.

"Kau bermasalah dengan Zaki? Atau mungkin dalam wawancara kemarin kalian. . . berselisih paham?" kejar Mas Angga.

Aku menggeleng.

Mas Angga diam sejenak memandangku. "Regha, mungkin harus kuingatkan lagi. Yang paling banyak mendapat sorotan pada edisi kemarin adalah tulisanmu. Wawancaramu dengan Zaki. Sebagian besar surat ini juga memintamu untuk wawancara ulang. Kalau alasanmu tidak ingin melakukannya hanya karena alasan pribadi yang tak ada hubungannya dengan profesionalisme, maka . . . . . dengan berat hati aku tak bisa mengabulkannya. Jadi kalau kau ingin aku menunjuk orang lain, sekarang juga jelaskan didepan semua anggota, apa alasanmu sebenarnya."

Lagi-lagi aku hanya bisa menelan ludah kecut. Rasanya konyol kalau aku ceritakan konflik antara aku dan Zaki.

"Bagaimana Gha?" tanya Mas Angga setelah beberapa saat aku hanya diam saja.

"Baiklah Mas," jawabku pasrah.

"Yakin?" tanya Mas Angga lagi. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan pasrah. "Baiklah kalau begitu kita lanjutkan."

Aku sudah tak mendengarnya lagi.

"Lo kenapa sih Gha?" tanya Vivi yang menyusulku. "Kenapa lo tiba-tiba protes sama Mas Angga? Nggak biasanya," celetuknya lagi.

"Iya Nek! Jij nekat juga ya? Lagian, apa susahnya sih? Jij kan sutra kerajaan bareng ma si Zaki. Gampang dong interviewnya. Ajak aja ngobrol biasa, jadi dia ga berasa di wawancara," timpal Regi yang gak mau ketinggalan mengekor dibelakang kami.

"Kalian kaya gak ngerti gimana Zaki aja," gerutuku lemah.

"Kita ngobrol dikantin aja," ajak Vivi dan mengambil kotak surat yang kubawa.

Disana aku ceritakan bagaimana sikap Zaki padaku. Tentang dia di Panti, tentang bagaimana dia mengajariku menyupir sekitar 3 minggu belakangan ini sepulang kuliah. Bagaimana sikapnya yang sengak dan bikin kesel. Kehadirannya yang selalu bikin aku gak pernah bisa tenang. Aku juga menceritakan tentang pelarian singkat Zaki ke kampung halamanku. Tapi entah karena apa, aku tak menceritakan pada mereka soal insiden kami di pinggir sungai. Instingku melarangku untuk melakukannya.

Diakhir ceritaku, Vivi dan Regi cuma diam dan saling memandang penuh arti. Seolah-olah mereka setuju tentang satu hal yang tak bisa kuupahami.

"Apa?" tanyaku bingung.

"Eeeuuhh. . . . ikke gak begitu yakin. Tapi kalo liat bin denger cara lo cerita, ikke jadi curiga kalo jij ja. . . TUYUL BENCONG!!!!" Regi terlonjak kaget dan memegang kaki kananya yang sepertinya tadi diinjak atau mungkin ditendang oleh Vivi. "GENDUT!!!! Sakit tau?! Rumpi deh," gerundengnya.

"Gue tau lo mo ngomong apa Bencong. Jadi mending jangan," sahut Vivi santai lalu berpaling padaku. "Gue cuma bisa bilang, jangan sampe hilang kendali deh. Biasa-biasa aja ma Zaki. Emang tuh anak kadang suka seenak udel!"

"Kadang?" koreksiku dengan sebelah alis terangkat.

"Oke, selalu seenak udel! Hanya saja, kebencian bisa menjadi senjata makan tuan. Jadi gak usah dipikirin deh," saran Vivi.

Aku menghela nafas panjang. "Ngomong emang gampang. Tapi kalo berhadapan langsung ma egomaniak sinting iitu, jadi lain ceritanya tau?! Lagian, bukan itu aja yang bikin gue bingung akhir-akhir ini," kataku dengan pandangan menerawang.

"Emang ada apa Gha?" tanya Vivi.

Untuk sejenak aku hanya memandang mereka. Nggak yakin apa aku harus menceritakan pengakuan Mas Rizky beberapa waktu kemarin. Tapi tak ada lagi orang yang bisa kuajak bicara. Dan mereka berdua telah membuktikan bahwa mereka benar-benar temanku. Jadi, setelah menarik nafas panjang, aku menceritakan pengakuan Mas Rizky.

Kembali mereka berdua terdiam setelah aku selesai bercerita. Kembali saling menatap dengan pandangan penuh makna. Aku yang kembali menerima perlakuan yang sama tentu saja jadi sedikit berang.

"APA?!!!" tuntutku kesal.

"GYAAAAAAA!!!!!! MAS RIZKY HEMOOOOOONGG!!!!" Regi melonjak-lonjak kesenengan sambil bergoyang heboh, sementara Vivi misuh-misuh gak jelas. Aku yang jadi kesal dengan reaksi Regi langsung melempar gorengan ke arahnya. Tepat kena wajahnya.

"Kenapa gak sekalian lu pasang pengumuman di koran hah?!!" bentakku dengan suara tertahan sembari melirik kiri kanan dengan cemas. Aku tahu kalo semua yang ada dikantin saat ini tak ada yang kenal dengan Mass Rizky. Tapi tetap aja aku merasa tak enak. Seakan-akan aku membocorkan rahasia ini ke semua orang. Dan aku merasa bersalah karenanya.

Regi yang jadi sadar dengan reaksinya langsung kembali duduk dengan tangan menutup mulutnya. "Ya Allooohh!!! Sorry Nek. Ikke kelepasan. Tapi seneng bangeeeeeett!! Ternyata Mas Rizky sekong juga. Kali aja diana mawar sama ikke. Em?" serunya centil.

"Bencong sinting! Lu lupa tadi Regha udah bilang kalo mas Rizky nembak dia?" sentak Vivi nyolot.

Regi yang baru ngeh jadi bengong bego. "Eh, iya ya. Kok bisa sih Nek? Liat apanya coba? Udah kusem, kucel, muka standart, gaya melas. . . "

"HEII!!!" protesku keras dengan semua celaannya, sementara Vivi ngakak.

"Terus lu bilang apa Cin?" tanya Regi mupeng.

Aku menghela nafas sejenak. "Kami belom pernah membahasnya lagi. Setiap malam minggu kami masih keluar bareng. Dan. . . . sikap kami sekarang jadi canggung. Jadi kembali kaya jaman dulu lagi. Gua juga segan mo bahas. Mas Rizky mencoba buat bersikap biasa-biasa aja. Gua sih mencoba buat ngimbangin. Tapi tetep aja. Gua sering ngerasa serba salah. Mana bisa gua lupa, kalo kemaren dulu dia bilang kalo dia suka gua? Gua mesti gimana?" tanyaku memelas.

"Pertanyaannya adalah, gimana perasaan lu ke dia Gha?" tanya Vivi.

"Gua bukan seorang. . . "

"Gha!!" potong Vivi dan mengangkat tangannya untuk mencegahku. "Please kita gak sedang membicarakan label sekarang. Yang gua mo tahu, gimana perasaan lu ke Mas Rizky?"

"Gue. . . " aku mencoba menemukan kata yang pas, ".....suka ma dia. Kagum. Salut ma kepribadiannya. Tapi bukan suka yang. ."

"Gimana perasaan lu saat bareng ma dia?" potong Vivi lagi.

"Gue. . . . . nyaman-nyaman aja kok. Bareng Mas Rizky gue enak. Dia bisa banget diajak ngobrol. Pinter dan menyenangkan. Beda banget lah kalo dibandingin ma Zaki. Kalo ma dia bawaannya resah dan pengen beranteeeeem mulu. Tapi Mas Rizky enggak. Dia orangnya tenang en bikin gua nyaman."

"Lo yakin kalo lo nggak. . . "

"Nggak lah Vi!" sergahku. "Gua gak pernah punya pikiran ke arah sana ma Mas Rizky. Gue juga ngerasa nyaman bareng Regi. Dan itu ga berarti gua suka Regi kan?" sanggahku. Lalu baru kusadari kalau sedari tadi, Regi belom berkomentar sama sekali. Sedikit tidak biasa bagiku yang sudah mengenal sifatnya. "Lu kenapa diem dari tadi?" tanyaku.

"Karena bagi ikke ga ada yang perlu dibahas. Apa yang musti diributin?" komentarnya santai.

"Lu gak denger dari tadi kita ngomongin apa?" sergahku kesel.

"Gue denger kok. Mas Rizky bilang kalo dia gay dan dia suka ma elo. Tapi kan dia ga bilang kalo dia pengen lo jadi pacarnya? Dia gak bilang pengen jadian kan? Kenapa malah heboh ngebahas gimana perasaan lo segala?"

Aku dan Vivi terdiam mendengarnya.

"Tapi. . . lo sadar kan kalo kemungkinan Mas Rizky nembak Regha itu ada?" tanya Vivi.

Regi mengangkat bahu. "Bisa aja. Tapi seperti yang tadi Regha bilang, bukankah Mas Rizky bersikap biasa-biasa saja? Dia ga menuntut atau bertanya macem-macem kan?" sanggah Regi. Kembali kami berdua bungkam.

"Lalu. . . . gue mesti gimana kalau itu terjadi?" tanyaku setelah aku mampu menemukan suaraku.

"Cuman lo yang bisa ngejawabnya. Lo yang paling ngerti diri lo sendiri. Dan gue yakin, Mas Rizky bukan orang picik yang gak bisa diajak bicara secara rasional. Kalau itu terjadi, gua yakin semua akan baik-baik saja."

Aku dan Vivi kembali tak mampu berbicara.

Dalam hati aku mengakui kebenaran kalimat Regi tadi. Namun tetap saja. Jika kau seorang laki-laki dan kemudian ada lelaki lain yang mengatakan kalau dia menyukaimu, itu pasti akan mengejutkanmu kan? Berpacaran dengan laki-laki tak pernah sedikitpun terlintas dalam benakku. Tapi bila mengingat apa yang Mas Rizky dan aku lakukan selama 2 bulan terakhir ini, kadang aku merasa kalau kami sedang berkencan. Tiap malam minggu -hampir setiap malam minggu- kami pergi keluar bersama. Sekedar nonton, nongkrong atau makan-makan. Aku menyukainya. Menyukai apa yang kami lakukan dan kebersamaanku bersama Mas Rizky. Kehadirannya membuatku nyaman. Perhatian dan sikapnya padakupun membuatku betah berada disisinya. Aku tersanjung saat dia begitu konsen padaku meski banyak pasang mata yang ingin mencuri perhatiannya. Aku suka semua itu. Tapi kalau berhubungan sebagai sepasang kekasih. . . .

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat!

"Gha?" panggilVivi pelan.

"Gua nggak tahu mesti bersikap gimana Vi," gumamku pelan,

"Gua gak suka hubungan gua ma Mas Rizky jadi kaku gak jelas gini."

"Kalo gitu lo ajak dia bicara baik-baik Gha," sarannya.

"Tapi jujur gua takut kalo dia minta gua buat jadian ma dia," keluhku.

"Lha emang kenapa?" tanya Vivi pelan. "Mas Rizky kan cakep gila? Pinter dan baik pula. Kurang apa lagi coba? Kalo gue laki, gue pasti mau aja jadi bokinnya,"

Aku mendecak kesal mendengarnya. "Gua bukan banci kaleng yang doyan ma laki-laki Vi! Seorang lelaki yang naksir laki-laki lain dianggap sebagai lelucon bagi masyarakat kita."

"Seperti gue?" potong Regi dingin.

Sontan aku terdiam dan sadar apa yang aku ucapkkan tadi. Sial!! Aku selalu ceroboh dan tak pernah bisa bersikap yang pantas di lingkunganku berada. Bagaimana aku bisa berkomentar seperti tadi saat ada Regi disebelahku? Aku berpaling pada Regi yang sedang menatapku tajam. Ya Tuhan!!!! Apa yang sudah kukatakan tadi? "Gi. . . . gua minta maaf. Gua gak bermaksud. . "

"Oh, gue menangkap dengan jelas maksud lo tadi. Dan gue ngerasa lega kok. Setidaknya lo gak ngejelek-jelekin gue dibelakang. Terimakasih," ujarnya kaku dan bangkit meninggalkan kami berdua.

"GI!!!" panggil Vivi dan ikutan bangkit, "Lo kok tega ngomong gitu sih Gha?" tegurnya yang ikutan kesal. Dia segera menyusul Regi.

"ANJRIT!!" makiku keras dan segera menyusul mereka berdua.Aku tak pernah ada niat untuk melukai Regi. Dia terlalu baik. Dia telah banyak membantuku dan sungguh tak pantas kalau aku memperlakukannya begitu. Aku harus menjelaskan itu padanya. Aku berlari menyusul Regi yang kulihat berjalan menuju gedung perpustakaan. "GI!!"aku meraih lengannya setelah kami dekat. Regi menghentakkan tangannya yang kuraih.

"APA LAGI?!!" bentaknya keras.

Aku yang sedang mencoba mengatur nafas, tanpa sadar menelan ludah dengan ekspresi judesnya. Jelas dia tersinggung dengan kata-kataku tadi. "Tolong dengerin gue ok? Please. Kita cari tempat dan bicara baik-baik ya?"

"Gua nggak mau!"

"Gi, please?" pintaku bersungguh-sungguh. Vivi yang telah berhasil menyusul kami dan tampak ngos-ngosan mengangguk pada Regi untuk meyakinkannya. Regi mulanya terlihat ragu, namun akhirnya dia menyerah dan mau mengikuti kami berdua. Aku membawanya ke dekat tempat parkir.Dibawah sebuah pohon yang cukup rindang ada beberapa kursi panjang dari semen yang memang disediakan disana. Tempatnya cukup sepi saat ini, jadi nyaman untuk bicara dsana.

Aku duduk didepan Regi. Dia memilih kursi yang menghadap tempat parkir, sementara Vivi duduk disebelahnya.

"Gue minta maaf Gi," pintaku memulai, "Kata-kata gue tadi terdengar buruk. Tapi sumpah gue gak bermaksud buat nyinggung lo atau bikin lo marah. Gue gak tau kenapa gue bisa ngomong gitu. Gue. . . " aku terdiam saat satu tangan Regi terangkat.

"Gue mo nanya. Apa tanggapan lo tentang banci?" tanyanya langsung.

Aku terdiam, sadar kalau aku harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan Regi. Kalau aku salah menjawab, maka akan memperburuk hubunganku dengannya.

"Gue minta lo jujur ngeluarin pendapat lo, bukannya ngebohongin gue lagi," tegasnya lagi membuatku semakin merasa tak enak.

Tanpa sadar aku menelan ludah gugup, entah untuk keberapa kalinya di hari ini, sebelum mulai menjawab, "Gue. . . . ga suka dengan sikap mereka. Menurut gue, mereka menipu diri mereka sendiri dengan berusaha meniru-niru perempuan. Mereka jelas laki-laki, tapi mereka memakai make up, baju perempuan, dan juga wig. Itu. . . . ga bisa gua pahami," jawabku dengan nada ragu.

Kukira Regi akan meledak mendengarnya, tapi aku sedikit kaget saat melihatnya hanya tersenyum sedih padaku. "Pernahkah lo berpikir kalau banyak dari mereka juga sama gak pahamnya ma elo?" tanyanya pelan. "Gua yakin Gha, gak ada satupun dari mereka yang minta dilahirkan sebagai seorang banci. Banyak dari mereka yang mempertanyakan kelainan mereka dengan lelaki lain pada umumnya. Mereka gak paham, kenapa mereka gak bisa setegas dan sekuat lelaki lainnya. Mereka gak ngerti kenapa mereka jauh lebih lemah, lembek dan perasa seperti cowok umumnya. Mereka sama gak ngertinya ma elo. Yang mereka tau, mereka berbeda. Seberapapun kuatnya mereka mencoba untuk bersikap sebaliknya.

Sejak mereka masih kecil, sejak gue masih kecil, orang-orang seperti kami banyak menerima kecaman. Orang-orang menganggap kami badut yang pintar melucu dan selalu dijadikan bulan-bulanan. Mereka menganggap kami aneh. Para lelaki mencemooh kekaleman kami. Mengeluarkan berbagai macam sebutan yang kadang sungguh bikin panas telinga. Beberapa bahkan menganggap kami tak lebih dari pemburu k*nt*l lelaki normal."

Aku sedikit mengernyit saat Regi menyebutkan organ genitalku tadi.

"Kenapa? Risih? Tapi memang begitu kenyataannya. Yang lucu,bahkan banyak sekali kaum gay yang menganggap kami sebagai lelucon. Mereka selalu memandang rendah pada kami. Menganggap diri mereka jauh lebih baik dari kami. Beranggapan bahwa saat lo jadi banci, maka nilai diri lo akan jatuh. Mengatakan bahwa kami orang munafik yang mengingkari kenyataan dan takdir. Well, mereka lupa satu hal. Bahwa mereka suka makhluk berk*nt*l, sama seperti kami. Kami munafik dan menipu diri sendiri? Mungkin sebaiknya mereka berkaca supaya mereka tahu siapa yang munafik. Karena kalau mereka tidak sama dengan kami, maka mereka akan mengejar wanita, bukan sesama lelaki. Tapi tidak begitu kenyataanya kan?

Gue cape Gha! Gue sering ngerasa cape dengan cercaan orang-orang. Bahkan bokap gue sendiripun merendahkan gue. Selalu beranggapan kalau gue mempermalukannya. Tapi persetan dengan dia ataupun orang-orang yang menganggap diri mereka lebih baik dari gue. Karena gue yakin, mereka jauh dari kata suci. Kalau orang menganggap bahwa jadi seorang banci lebih buruk dari pemabuk, maling, penjudi atau pemangsa perempuan, gue gak peduli. Gue sudah cape memenuhi ekspektasi orang. Gua gak akan berusaha hidup dngan standar mereka. Ini hidup gue. Dan gue gak akan menghabiskannya dengan berusaha memuaskan keinginan mereka. Kalau mereka tak suka, masa bodoh. Karena tanpa mereka, gue bisa hidup. Sudah lama gue berlatih buat ngacuhin mereka. Tapi dari semua orang itu. . . gue gak nyangka kalau lo juga beranmggapan seperti itu," pungkasnya dengan nada terluka padaku.

"Gi, gue gak berpikir kalo gue labih baik dari lo atau. . . ." kembali dia mengangkat tangannya untuk mencegahku melanjutkan.

"Jangan berbohong. Dari kalimat lo tadi, jelas lo nganggap diri lo lebih baik."

"Gi. . "

"Harap lo ngerti, gua ga minta lo untuk berakrab ria dengan semua banci yang lo temui. Gua cuma minta, hargai mereka. Kalo lo gak ingin berhubungan dengan mereka, maka biarkan mereka menjalani hidup mereka. Tinggalkan mereka, dan simpan ketidak sukaan lo untuk diri lo sendiri. Kalau mereka gangguin lo, maka lo bebas membela diri. tapi jika tidak, biarkan mereka menjalani kehidupan mereka."

"Gua gak pernah menganggap lo lebih buruk dari gue," kataku pelan. Ada sengatan perih didadaku mendengar teguran Regi. "Bahkan gue ngerasa jauh lebih buruk dari elo. Kita bukan siapa-siapa, hanya teman. Tapi lo rela ngorbanin harta lo buat gue, tanpa gue minta. Kita boleh dibilang orang lain, tapi lo berkorban seperti seorang sodara. Itu udah nunjukin kalo lo jauh lebih baik dari gue," kataku lirih dan menatap langsung mata Regi.

Regi tersenyum mendengarku. "Itulah gunanya teman," ujarnya sederhana.

"Itu yang bikin lo luar biasa Gi. Dan gue seneng lo anggap gue temen. Gue minta maaf ya? Gue salah," pintaku bersungguh-sungguh.

Regi hanya tersenyum dan mengangguk. Utuk sejenak, kami hanya saling tersenyum dalam diam. Memebri kesempatan pada hati kami untuk saling memahami.

"Kalian romantis amat sih?" desah Vivi tiba-tiba. Sedari tadi dia hanya diam memperhatikan kami tanpa bersuara. Sekarang dia. mengusap sudut matanya dengan senyum haru.

"Romantis pale lu peyang?!! Gue pacaran ma Regha? Amit-amit!" sahut Regi dengan bibir cemberut. Untuk sejenak kami hanya saling memandang, dan beberapa detik kemudian tawa kamipun pecah.

ZAKI


"There you are!" seruku saat kulihat Regha yang sedang duduk santai dan bercanda dengan 2 sidekicks nya. Regi dan Vivi. Mereka yang tadinya tertawa sontan diam saat aku mendekat. "Aku sudah mencarimu dari tadi."

"Hei Ki!" sapa Regi yang kujawab dengan anggukan saja. Dia masih saja terlihat flamboyan. "Guess what, Regha mendapat tugas buat mewawancarai kamu lagi!" selorohnya. Kulihat

Regha terlihat sedikit kaget dengan celetukannya. Dia menyikut rusuk Regi dan sedikit melotot, tapi tak berani menatapku langsung. Jelas dia tak menginginkanku tahu informasi itu. Entah kenapa, akhir-akkhir ini aku juga merasa sikapnya sedikit lebih aneh. Dia jarang sekali mau menatapku langsung saat berbicara. Kalaupun dia melakukannya, itupun hanya sekedarnya saja, dan seakan-akan diusahakannya sesingkat mungkin. Kadang sedikit mengesalkanku. Membuatku merasa tak enak dan diacuhkan. Dan aku punya sebuah ide untuk merubahnya. Ide yang kutemukan saat tanpa sengaja aku membaca file nya dikantor Panti minggu kemarin. Tapi aku jelas memerlukan bantuan Regi dan Vivi agar ide itu terlaksana.

"Benarkah?" jawabku tertarik meski aku lebih mengajukan hal itu pada Regha. "Well, aku mungkin akan bersedia membantu, dengan satu syarat."

"Maksudnya?" tanya Vivi.

Aku tersenyum padanya. "Aku bilang aku akan melakukannya. Tapi kau, kau," tunjukku pada Regi, ". . . dan juga Regha harus melakukan sesuatu untukku."

"Kami semua?" kali ini Regha bertanya dengan nada heran.

"Yup! Kalian semua harus melakukan sesuatu untukku. Kau!" aku menunjuk pada Regha yang masih belum mau melihatku, hanya melirik takut-takut. "Cepat pergi kedepan kampus, karena Pak Arya menunggumu disana. Kalian akan pergi ke kantor Polisi atau SAMSAT atau entah apalah namanya, untuk membuat SIM. ," jelasku. Dan seperrti biasanya. Bukannya segera pergi, Regha cuma duduk bengong ditempatnya. "Now Gha!"tekanku cepat. "Pak Arya yang akan membantumu! Kalian berdua tetap disini denganku," padaku dan menarik lengan Regha agar dia segera bangkit.Regha yang jelas-jelas gugup langsung bangkit dan melepaskan diri dariku. "Gi. . .! Vi. . . . ?" dia bergumam pelan pada dua temannya. Sikapnya seolah-olah aku akan menelan dua orang temannya bulat-bulat.

"Lo pergi aja. Biar kotak suratnya kita bawa dulu. Besok aja kita anterin ke kostan lo," ujar Vivi sembari tersenyum.

"Jangan khawatir Cin. Kita pasti bantuin jij," ujar Regi menenangkan dan melambai pada Regha. Meski semula ragu, Regha akhirnya pergi juga. Sesekali dia menoleh pada kami.

Aku menunggunya hilang dari pandangan sebelum kemudian berpaling pada Regi dan Vivi yang jelas sekali penasaran. "Aku ingin kalian membantuku melakukan sesuatu untuk Regha. Tapi sebelumnya, aku ingin tahu, apakah Regha menceritakan sesuatu pada kalian tentangku?" tanyaku langsung. Reaksi mereka sedikit mengejutkan. Vivi yang bertubuh subur langsung mendengus hebat. Sementara Regi mengangkat sebelah alis dengan pandangan tertarik.

"Kenapa kamu bisa berpikiran begitu?" tanya Regi ingin tahu.

"Just a hunch!" sahutku dan mengangkat bahu,berusaha untuk terlihat cool.

"Meskipun dia mengatakan sesuatu, percayalah, kau tak akan mendengarnya dari mulut kami," tegas Vivi. Reaksi yang sebenarnya sudah kuperkirakan. Jadi aku hanya tersenyum simpul menanggapinya.

"Kenapa sih kamu begitu tertarik dengan Regha, Ki?" tanya Regi, masih dengan nada yang sama. "Tell us the truth," lanjutnya dengan nada sedikit memerintah.

"What for?" tanyaku santai.

"Agar kami bisa memutuskan untuk bersikap sebagai teman ataukah musuh denganmu," jawab Regi kali ini terdengar menantang sehingga mau tak mau aku tersenyum. Aku sudah pernah melihat ketulusannya dalam membantu Regha. Dan kali ini aku kembali diyakinkan bahwa dibalik sikapnya yang cenderung flamboyan dan menjengkelkan, sebenarnya dia teman yang baik. Jadi kuputuskan untuk mengatakan apa yang sebenarnya kupikirkan pada mereka.

"Aku melihat sesuatu yang sudah jarang dimiliki orang dalam diri Regha. Aku tahu dibalik kesembronoan dan kecerobohannya, dia memiliki potensi. Aku hanya berusaha membuatnya sadar dan sedikit menghilangkan keteledorannya," jawabku masih dengan senyum dibibirku. Sikap mereka yang begitu protektif pada Regha cukup menggelikan bagiku, sekaligus membuatku senang. Karena jarang aku melihat kepedulian yang mereka tunjukkan sebagai seorang teman, ada disini.

Regi tak langsung bereaksi, dan menatapku semakin ingin tahu. Sementara Vivi tampak tak percaya.

"What?" sergahku pada mereka. "He REALLY is clumsy!"

"We let you go this time! Now explain about the help you need from us," kata Regi lagi. Jujur aku harus mengakui, kemampuan bahasanya cukup mengagumkan. Aku hampir tidak bisa menangkap aksen Indonesianya.

Kembali aku tersenyum mendengarnya. "Kalian pasti tau kalau 2 minggu lagi, Regha ulang tahun. Aku ingin kalian membantuku. . . . " kujelaskan dengan singkat rencanaku pada mereka. Mata Regi langsung berbinar mendengarku. Jelas sekali dia tertarik. Vivi hanya mengangguk-angguk.

"Hal ini semakin membuatku ingin tahu," celetuk Regi setelah aku selesai, "Kenapa kamu mau melakukan semua ini?"

"Mama Regha merayakan ulang tahunku saat kami berada di Majalengka. I just wanna repay the deed ok?" sergahku yang mulai sedikit kesal.

Regi mengangkat tangan mendengar nada suaraku. "Fine! We'll help you!"

"Cool!" sahutku cepat. "Don't worry about the budget ok? Kalian ngomong aja langsung padaku. And. . . ."

"ZAKE BUDDY!!!!!!"

Panggilan itu membuat sedikitku mengumpat lirih. Jordan melangkah ke arah kami dengan pandangan sinisnya. Dia terkadang memang cenderung menjengkelkan. Aku masih inget bagaimana dia mencela Regi dan Vivi saat Regha ingin mewawancaraiku dan Emma. Kali ini sikapnya juga tak jauh beda saat melihat mereka berdua. "What are you doing here with these two losers?"

"HEI!!! Jaga tuh mulut!" semprot Regi kesal.

"Emang lo mo apa Banci?!"

"Lo ngatain dia Banci tapi congor lo ternyata lebih banci daripada dia. Lo ga nyadar itu?" potong Vivi dingin. "Kenapa?" potong Vivi dengan nada menantang saat Jordan berpaling dengan geram padanya.

"Mungkin lo harus lebih konsen melatih tubuh lo aja agar sedikit kurus daripada melatih mulut lo Ganesha. Mungkin dengan begitu akan ada cowok yang naksir," sindir Jordan.

"Oh please," dengus Vivi. "Gue lebih suka melatih otak daripada sekedar otot seperti lo. Karena bagi gue itu lebih penting. Tapi sepertinya lo gak bakal ngerti. Karena cewe yang lo suka cuma punya 2 kriteria, dada besar dan pantat besar. Seekor babon sepertinya pas buat lo," sahut Vivi dingin. Dia berpaling dengan cepat padaku. "Ntar kita kasih tahu ok?" katanya padaku dan menggamit tangan Regi untuk pergi.

Dengan kesal aku menoleh pada Jordan yang masih ternganga, tak mampu membalas ucapan Vivi tadi. "Why do you have to be such a dick? I was asking their help!" gerutuku dan pergi meninggalkannya.

RIZKY


Aku memeriksa pasien didepanku dengan seksama. Jujur, sebenarnya tubuhku sudah berteriak minta untuk diistirahatkan. Sudah lebih dari 24 jam aku berada disini. Bekerja dan bekerja. Entah kenapa, dari semalam, banyak sekali insiden yang terjadi disini. Pihak Rumah Sakit kewalahan dengan jumlah pasien yang harus ditangani. Karena itu, semua tenaga mereka kerahkan.

Aku harus berada disini. Aku sudah menelpon Ibu, memberitahu beliau bahwa aku tidak akan bisa pulang karena banyaknya kasus yang harus kami tangani.Ditengah malam tadi ada seorang ibu-ibu yang melahirkan. Hampir 4 jam kemudian sang bayi baru lahir. Belum lagi beristirahat, ada dua orang anak SMA mengalami kecelakaan motor. Untung saja luka mereka tidak parah. Meski mereka harus memakai penyangga leher dan untuk beberapa waktu. Juga dipastikan ada bekas luka di kaki dan tangan mereka. Sorenya, ada kecelakaan berantai di jalan utama, antara sebuah truk, 2 mobil dan 3 sepeda motor. 4 orang meninggal, termasuk sopir dan kenek truk, seorang sopir mobil dan seorang pengendara motor. 9 korban lainnya memerlukan perawatan intensif.

Aku seharusnya sudah pulang beberapa jam tadi. Tapi dengan semua insiden dan kurangnya tenaga medis disini, aku memutuskan untuk tinggal. Dan aku harus marathon karena aku tetap tinggal disini hingga tiba shift ku yang keberikutnya. Masih 12 jam lagi sebelum aku bisa menyelesaikan shift ku disini hari ini.

"Untuk sementara, jangan banyak bergerak ya? Obat yang dari Dokter Stevan sudah diminum?" tanyaku pada Anggi, putri dari salah seorang korban kecelakaan. Dia hanya menderita sedikit luka memar dan gores. Juga shock. Selain itu, dia baik-baik saja.

"Sudah Dok!" jawabnya sedikit malu-malu. Entah karena aku memegang pahanya yang luka, atau karena yang lainnya.Aku hanya tersenyum untuk menenangkannya. "Kalo gitu kamu istirahat dulu. 4 jam lagi saya akan kembali kesini. Kalau memang tak ada luka serius, besok kamu sudah boleh pulang. Ok?"

Anggi hanya mengangguk. Kembali aku tersenyum dan merekatkan kembali pembalut lukanya.

"Dokter kelihatan cape'," kata Anggi saat aku hendak berlalu.

"Hari ini, kamu dan yang lain membuat kami semua sibuk. Lain kali hati-hati ya? Jangan bikin kami begadang seperti ini lagi," jawabku dan pergi meninggalkannya yang kembali tersipu.

Begitu keluar, aku segera menuju ruang kerja Dokter Stevan yang kini juga menjadi ruang kerja kami bertiga. Aku, Dokter Stevan dan Ferdy. Dokter Stevan juga telah menambahkan 2 meja kerja untuk kami. Ruangan itu kosong sekarang. Aku tak tahu dimana mereka berdua sekarang. Tadi kami membagi tugas sehingga semua pasien bisa tertangani. Dan beberapa jam terakhir, hal yang paling kuinginkan adalah tidur.

Aku duduk dikursiku, lemas. Dengan lelah, ku usap wajahku dan mendesah. Beberapa minggu terakhir benar-benar menguras kekuatan fisik dan mentalku. Aku dan Regha masih berada dalam situasi canggung dan serba salah. Baik aku ataupun dia, jelas bingung dan risih untuk bersikap bagaimana. Aku sendiri tak bisa menyalahkannya. Andai aku berada dalam posisinya, mungkin aku juga akan bersikap sama. Regha belum siap untuk tahu fakta yang sebenarnya. Aku tahu, masih butuh waktu bagiku untuk bisa mendapatkan kepercayaan dan penerimaannya. Dan bom yang Ferdy jatuhkan waktu itu, sungguh membuat semuanya berantakan.Ferdy sendiri dengan jelas menunjukkan penyesalannya. Beberapa kali dia mencoba mengajakku bicara dan meminta maaf. Tapi aku terlalu malas untuk menanggapinya. Bagiku akan lebih baik kalau kami tidak berhubungan.

Kembali aku mendesah. Benar-benar lelah. Tubuhku protes, minta untuk diistirahatkan. Saat aku sudah tak dapat menahannya lagi, kukerahkan sisa tenaga yang kumiliki untuk menyeret tubuhku menuju satu-satunya ranjang pasien yang ada disebelah kanan meja Dokter Stevan. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit bagiku untuk kemudian jatuh terlelap.

Aku tak tahu berapa lama aku tertidur. Tapi saat satu bagian kecil dari alam sadarku meneriakkan sebuah panggilan keras, aku segera sadar dimana aku berada. Mataku nyalang terbuka."Kenapa?" tanya sebuah suara disebelahku.

Butuh beberapa waktu bagiku untuk sadar kalau yang bertanya tadi adalah Ferdy. Dia mengulurkan tangannya untuk memeriksa dahiku. Aku melengoskan wajahku, menghindar dan mengeluarkan gerutuan pelan bahwa aku baik-baik saja.Tubuh Ferdy sedikit menegang karena sikapku. Tapi aku tak mau perduli. Kulirik jam tanganku. Masih ada waktu satu jam sebelum waktuku memeriksa Anggi dan beberapa pasien lain. Siapa sangka kalau tadi aku tertidur selama hampir 3 jam?Aku segera menuju mejaku untuk menyelesaikan laporanku hari ini. Ada setumpuk data yang harus segera kumasukkan. Pasti cukup untuk membuatku sibuk selama satu jam kedepan.

"Ky. . . aku benar-benar minta maaf soal waktu itu," kata Ferdy pelan memecah keheningan. Aku pura-pura tak mendengarnya dan melanjutkan pekerjaanku. "Aku mengira kalian sudah. . . jadian. Aku tak tahu kalau Regha straight. Aku hanya ingin memberi kalian ucapan selamat yang tul. . ."

"Kau sudah selesai?" potongku cepat. Ferdy tampak terluka menatapku.

"Ky. . . "

"Hentikan okay?! Kau benar! Regha straight. Dia tak tahu bagaimana aku yang sebenarnya. Dia juga tak tahu kalau aku menyukainya. Tapi terimakasih padamu, sekarang dia tahu. Aku sudah mengaku padanya. Nah, apa lagi yang kau mau? Ada hal lain yang ingin kau ketahui?" tanyaku kasar.

Sepertinya kelelahan membuat lembaran tipis kesabaran yang kupunya putus. Tapi aku tak menyesal menumpahkan semuanya pada Ferdy. Rasanya menyenangkan kalau kita mempunyai seseorang untuk dijadikan kambing hitam kan?

"Bagaimana. . . Regha sekarang?"

Aku mengangkat sebelah alisku. "Maksudmu mungkin bagaimana hubunganku dan Regha sekarang?" tanyaku. Dia terlihat ragu untuk menjawab, jadi kuanggap saja tebakanku benar. "Canggung. Baik aku ataupun dia masih belum tahu harus bagaimana. Ada lagi?"

"Ky. . "

Aku mengangkat tanganku untuk mencegahnya. "Cukup Fer! Ok?! Hentikan!"

"Apa kau percaya kalau kukatakan bahwa aku hanya ingin kau bahagia?" tanya Ferdy cepat.

Untuk beberapa saatnya aku hanya mampu memandangnya dalam diam. Mata itu menatapku dengan yakin. Tak kulihat sedikitpun riak disana. Sinarnya seakan-akan menegaskan kebenaran kalimat Ferdy tadi. Tapi bisakah aku mempercayainya?

"Kau berhak untuk meragukanku. Tapi itulah yang sebenarnya," kata Ferdy dan mengangkat bahu. "Senaif apapun kedengarannya, aku benar-benar menginginkan kau bahagia. Kalau memang kebahagiaanmu tidak berada ditanganku, aku berusaha menerimanya. Tapi jangan salah. Aku terluka saat melihatmu bersamanya," jelas Ferdy lagi. Kali ini aku lihat dengan jelas sinar terluka dari matanya. Tapi aku hanya diam membalas tatapannya dengan pandangan datar.

"Aku cemburu, sakit hati dan getir Ky! Aku nggak rela melihatmu tersenyum dan tertawa bersamanya. Karena menurut egoku, hanya aku yang berhak membuatmu tertawa. Hanya aku yang pantas membuatmu bahagia. Tapi faktanya tidak. Aku bisa melihat betapa senang dan bahagianya kamu bersama Regha. Sepahit dan segetir apapun aku menerimanya."Kembali aku hanya mampu terdiam menatapnya yang berdiri didepanku.

"Malam itu, kau tak akan mampu membayangkan sakitnya aku. Kau tak akan bisa membayangkan usaha apa yang harus kulakukan agar aku bisa mendekati dan menyapa kalian disana. Getir yang harus kutahan dan mengucapkan kalimat selamat pada kalian. Namun toh aku bisa melakukannya. Tapi. . . aku sama sekali tak menyangka kalau Regha, bahkan tak tahu bahwa kau gay. Melihat keakraban kalian,kukira. . . "

Aku menghela nafas panjang. "Kau salah! Hanya itu yang bisa kukatakan. Permisi!" kataku pelan dan bangkit. Aku harus keluar dari ruangan yang tiba-tiba terasa menyesakkan ini. Menjauh dari Ferdy dan semua penyesalan yang dia rasakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar