Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The triangle) Chapter 19 - The Presents



ZAKI


I can't believe he did that!!!!!!

Aku hanya mampu ternganga melihat Regha melakukan semua hal konyol itu didepan kami semua. Anak itu benar-benar tak bisa dipercaya. Mungkin dia memang sudah jauh melampaui sifat teledor dan cerobohnya. Dalam situasi tegang, bisa-bisanya dia kentut. Hampir separuh dari tamu yang hadir harus susah payah menahan tawa. Apalagi saat dia jingkrak-jingkrak mencoba menghalau bau busuk yang tadi dikeluarkannya. Belum lagi semua sebutan yang dia lontarkan untukku, yang anehnya sama sekali tidak mempengaruhiku. Bukannya marah, aku justru geli dengan pendapatnya. My Gosh, andai saja aku membawa kameraku saat ini. Aku bisa menggunakan rekamannya pada saat aku membutuhkannya.

Dan sepertinya aku bukan satu-satunya orang yang memiliki ide itu, karena Regi sudah melakukannya.

Regha tampak terperanjat saat dia sadar dimana dia berada. Giliran dia yang kini ternganga hebat dan memandang kearah kami dengan wajah yang kemudian memucat.

"Surprise?" celetuk Regi dengan nada bertanya.

Regha hanya mampu memandang ke arah Vivi yang berada disebelahnya, seolah-olah meminta kepastian. Cewek itu hanya mampu nyengir. Melihatnya, Regha jatuh terduduk lemas di lantai.

Kami semua masih terlalu kaget dan terpana untuk bertindak. Jadi kami hanya diam disana. Keheningan yang menggantung diudara selama beberapa saat, dipecah oleh pekikan keras Regha yang rupanya telah sadar. Cowok itu berlari keluar dengan wajah memerah hebat.

"GHAA!!!!" seru Regi.

Aku segera mendahuluinya berlari menyusul Regha. Hanya selang beberapa detik kemudian, dibelakangku tawa semua undangan yang sedari tadi tertahan, langsung pecah.

"Dasar idiot!" gerutuku pelan dan membuka pintu gedung. Kulihat dia berada tak jauh dari mobil Vivi, mondar-mandir sembari bergumam tak jelas.

"Ya Tuhan! Ya Tuhan! Ya Tuhan! Ya Tuhan! Ya Tuhan!!" gumamnya berulang kali.

"Bule setengah jadi?" tegurku pelan, berusaha terdengar sedingin mungkin

"Ya Tuhaaaaaaann," Regha mengerang pelan dan jatuh berjongkok sembari menutup wajah dengan kedua tangannya,

"Please don't say anything," pintanya dengan nada memelas.

"Super megalomaniak sinting?" serangku lagi tanpa ampun.

"Have mercy on me okay? Tidakkah kau melihat apa yang kulakukan tadi?" keluhnya tanpa membuka wajahnya yang masih ditutup oleh tangannya. Dia yang berjongkok membelakangi tubuhku malah terlihat lucu bagiku. Melihatnya yang meringkuk seperti itu, seolah-olah ingin menenggelamkan dirinya ke tanah, justru terlihat menggemaskan. Membuatku ingin terus membuatnya seperti itu. Aku hampir-hampir tak bisa menahan diri untuk tertawa. Aku harus berusaha setengah mati, tapi mau tak mau ujung bibirku terangkat juga.

"I wonder, sebutan apa lagi yang kau punya untukku," godaku lagi, masih berusaha terdengar dingin dan marah, "Come on! Tell me! Apapun itu, pasti tidak lebih buruk daripada bule setengah jadi yg supermegalomaniak sinting."

Regha kembali mengerang keras, "Please shut up!" gumamnya pelan.

"Gha!!" Regi dan Vivi telah berada dibelakangku. Regha yang mendengarnya langsung bangkit.

Dia menuding Regi dan Vivi yang berhenti disampingku dengan wajah memerah hebat, "KAU!!! KAUU. . . . . . " dia tak mampu meneruskan kalimatnya. Telunjuknya yang teracung tampak bergetar dan kemudian dia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Regha benar-benar kehabisan kata-kata. Dengan kesal dia meninju udara sembari mengerang kesal.

"Sudah selesai? Kita harus kedalam," ujar Vivi santai tanpa beban.

"Ayo, Cin! Capcus! Sutra ditunggang tuh ma yang lain," sambung Regi dengan gayanya yang biasa.

"Kenapa kalian melakukan ini siiiiiiihhhh???!!" keluh Regi lemas dan kembali berjongkok, menyembunyukan wajah diantara kedua pahanya.

"Hei, jangan salahin kita dong! Lo aja yang sinting pake acara kentut segala. Mana baunya kaya gitu lagi. Asli busuk," kilah Vivi.

"Ember! Jij beneran habiba makarena pete Cin? Sumpah! Kentucky jij tadi bisa buat ngeracunin orang segedung," sambung Regi dan cekikikan.

Regha menggeram marah dan langsung bangkit menyambar leher Regi kesal. "GUE MALU BENCOOOOOONGG!!!!!" umpatnya sembari mengguncang-guncang tubuh Regi, murka. Jelas Regi kelabakan.

Aku yang tak bisa menahan diri lagi, akhirnya tertawa keras. Cepat-cepat aku memegang Regha, berusaha menjauhkannya dari Regi yang sudah melotot kaget. Tapi pegangannya cukup kuat saking gemesnya pada temennya itu. Aku mencoba meraih pinggangnya dengan tangan kiriku sementara tangan kanan kugunakan untuk menarik lepas tangan Regha dari leher Regi, Vivipun bergegas membantuku. Setelah berhasil melepaskannya, aku cepat menarik Regha untuk menjauh.

"LU JUGAAA!!!!!" Regha sudah hendak memburu Vivi yang langsung ngumpet dibelakang Regi. Aku menahan Regha dengan menahan pinggangnya dengan kedua tanganku.

"Gha, kita cuma bikin surprise party kok! Nah elu ngapain juga pake acara kentut segala? Weeeee. . . .," ledek Vivi dan menjulurkan lidahnya.

Regha kembali menggeram dan berontak, berusaha melepaskan diri dariku. Setelah tahu kalau usahanya percuma, dia hanya mampu menggerung keras. Yang tak kusangka,
Regha tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Disembunyikannya wajahnya didadaku dalam-dalam. Dia mengerang keras dan memukul bahuku dengan gemas beberapa kali.

Untuk sesaat aku jadi terpaku saking kagetnya. Apalagi saat kurasakan bagian depan kemejaku basah. "Look, they're just trying to be good friends," kataku mencoba menenangkan setelah mampu menguasai diri. Aku mengusap pelan bahunya yang bergetar sedikit risih, "Kami hanya mencoba memberimu pesta kejutan untuk merayakan ulang tahunmu. Aku ingat kau bilang kalau tahun kemarin, kau tak merayakannya."

Gerungan Regha berhenti seketika. "Kami?" potong Regha cepat dan melepaskan diri dariku. Dia memandangku tajam meski matanya sedikit sembab. Sepertinya, saking kesalnya tadi dia sampai menangis, "Kau juga terlibat?"

"Surprise party ini idenya Zaki, Gha. Dia danain semuanya," jelas Vivi.

"APA?!!!!!" seru Regha cukup keras.

"Hei, ide awalnya adalah kami hanya ingin memberimu kejutan. Seperti yang Vivi bilang, fakta bahwa kau mempermalukan dirimu sendiri dihadapan semua undangan, itu diluar rencana kami. You did that to yourself. Jadi jangan salahkan kami," jelasku dan mengangkat tangan.

Semula dia hendak membantah. Tapi karena tak menemukan sanggahan yang tepat, Regha hanya mampu kembali mengerang keras dengan dua tangan terkepal, lalu menghentakkan kakinya berulang kali ke tanan.Seakan-akan dia hendak melumatkan sesuatu. Lagi-lagi aku tak mampu menahan senyumku.

"Dan jangan lupa fakta lain, bahwa kau menebutku seorang bule setengah jadi dan seorang supermegalomaniak sinting. Me! Your Boss," tegasku lagi sembari kembali berkacak pinggang.

Regha mengumpat keras. "You are not gonna let me go of that, are you?" gerutunya pelan.

"Nope! You're gonna pay it back. A lot!" sahutku santai. Regha mengeluarkan makian tak jelas dalam bahasa daerah sunda yang tak kumengerti.

"Kita kembali kedalam yuk Cin?" ajak Regi yang sudah kembali pulih sembari menggamit lengan Regha, "Mereka sutra nunggang dari tadi. Yuk, capcus!"

"Gua ga bisa kembali kesana, Gi! Gua malu banget! Lagian lo liat dong gue?" seru Regi dan membuka tangannya. Saat ini dia memang terlihat cukup mengenaskan. Dia hanya memakai t-shirt butut, celana pendak bulukan, plus sandal jepit yang sepertinya berusia satu dekade.

"Jangkar khawatir Cin. Kan ada ikke," sahut Regi dan menunjukkan sebuah tas besar yang tadi dibawanya. Tas yang sempat terjatuh saat Regha berusaha mencekiknya. "Ikke sutra siapin baju en celana ganti. Juga celana dalem.
Didalemnya udin adinda peralatan mandi dan juga handuk kecil. Ini hadiah ultah ikke buat Jij. Jij bisikan mandiri di kamar kecil sandra. Em?" kata Regi dan menunjuk kamar kecil yang ada disebelah gedung yang kami sewa. Jujur, aku tak mengerti hampir separuh yang dikatakan Regi. Tapi aku bisa menangkap maksud dari gestur tubuhnya.

"Gue udah siapin sepatu," sambung Vivi menunjukkan kotak yang dibawanya, ". . .plus kaos kaki. Jadi lo udah gak perlu lagi bingung."

Aku tersenyum mendengarnya. Mereka berdua benar-benar telah mempersiapkannya dengan baik. "Sebaiknya kamu turuti Regi dan Vivi. Mereka yang ada didalam," tunjukku dengan dagu ke gedung, ". . . telah bersusah payah datang untukmu. Mereka juga mempersiapkan kado untukmu. Kau punya kewajiban untuk hadir disana," jelasku lagi.

Regha tampak kalah. Dia hanya menghela nafas dan akhirnya mengikuti tarikan tangan Regi. Aku tersenyum memandang mereka pergi, kemudian beralih pada bagian depan kemeja putihku yang sedikit basah. Dia benar-benar nangis tadi, batinku geli dan menggelengkan kepala tak percaya.

"What a baby," gumamku pelan dan kembali masuk ke dalam gedung.

REGHA


Saat keluar dari kamar mandi, Regi telah siap menungguku dengan sebuah kotak ditangannya. Vivi yang berdiri disebelahnya memegang sebuah jaket casual berwarna hitam. Aku menghela nafas berat dan memandang Regi yang memainkan alisnya padaku.

"Apa lagi sekarang?" tanyaku lemas, terlalu lelah untuk marah. Aku sudah tahu kalau aku tak akan menang melawan mereka.

"Jij mesti di touch up ma make up supaya muka jij ga keliatan melas gitu, okay? Jadi jij duduk manis aja, biar kita urus semuanya," ujar Regi dan menarikku duduk disebuah kursi plastik yang sepertinya dia ambil dari dalam. Aku hanya duduk pasrah, berpikir bahwa aku memang harus menerima apapun yang akan dilakukan oleh Regi. Tapi saat aku melihat isi kotak yang dibawa oleh Regi tadi, keningku langsung berkernyit dalam. Isinya jelas peralatan make up lengkap.

"Lo mo bikin gue jadi ondel-ondel ya? Jangan gila dong!" sentakku dan bangkit.

Regi mendesis marah dan menarikku untuk kembali duduk. "Ga usah berpikir macem-macem deh. Kita disini mo buat jij keliatan spesial. Percaya deh! Dari awal juga niat kita mo bikin pesta yang berkesan. Jij sendiri aja yang gilingan," gerutunya.

"Tapi kalo dipikir, lo bener-bener membalikkan keadaan Gha," celetuk Vivi dan tertawa geli, "Kita yang mo bikin surprise, tapi malah elo yang surprise-in kita."

Aku hanya mampu mengerang mendengarnya, "Gua kayaknya gak bakalan bisa ngadepin mereka Gi, Vi! Lu bayangin aja gimana malunya gue. Semua orang yang gue kenal ada didalam. Temen-temen kuliah, temen kost bahkan Mas Rizky! Mo ditaruh dimana muka gue?" keluhku lemah, membiarkan Regi mulai mempermak mukaku.

"Udah, ditaroh ditempat biasanya aja Cin. Ntar kalo muka lo ditaruh ditempat jauh, bisa ilang lagi," jawab Regi selebor sehingga Vivi tergelak kecil. Aku hanya mampu menggeram pelan.

"Santai aja lah Gha. Mereka udah paham kali ma polah sinting lo," sahut Vivi dan mengerling.

"Iya Cin. Gak usah dipikirin deh. Anggep aja lo sial. Lagian, masa lo mo kabur dari pesta lo sendiri? Ga ngehargain mereka yang sudah dateng. Kita semua udah cape-cape atur semuanya. Lo tau berapa lama ikke ma Vivi nyiapin semuanya? Dua minggu. Untung aja si Zaki ga ada masalah dengan biaya," ujar Regi sambil bekerja. Dia mengusapkan benda yang terasa dingin ke wajahku. Begitu selesai, dia mengambil sebuah benda bundar yang sepertinya bedak.

"Apa gue kudu pake gituan? Gak usahlah, Gi!" tolakku.

Lagi-lagi Regi mendesis marah padaku, "Ikke bilang, DIEM!! Susah amat deh diaturnya. Jij bintangnya pesta hari ini. Jadi jij musti tampil spesial. Kita udah setuju bikin jij agak gothic dikit. Jadi diem en gak usah protes lagi. Ok?"

Aku hanya menggerutu tak jelas dan kembali pasrah. Udah terlanjur juga, jadi biarin aja deh mereka mo apa. Apapun itu, pasti gak bakal lebih malu-maluin daripada kentut didepan orang segedung. Dan saat itu, aku mengingat percakapan antara aku dan Zaki tadi. "Jadi. . . " aku berdehem untuk mengumpulkan suara, ". . . . Zaki yang siapin semuanya?" tanyaku pelan.

"Nope! Kita yang siapin semuanya, atas permintaan Zaki. Zaki juga yang mendanai semuanya. Dia bilang, dia pengen bales kebaikan keluarga lo yang udah mau nerima dia dan ngerayain ultah dia di sana. Dia bahkan ngeyakinin semua dengan menelpon adek cewek ma nyokap lo didepan kita berdua dan Mas Rizky," jelas Vivi.

Penjelasan itu membuat sebelah alisku terangkat. "Dia telepon Asti ama Mamah didepan kalian berdua ma Mas Rizky?" tanyaku meyakinkan diri.

"Yep! Bener banget. Tadi siang kita ke Rumah Sakit tempat Mas Rizky praktek buat ngundang dia. Disana dengan jelas Zaki bilang ke Mas Rizky bahwa dia dapet amanah dari nyokap lo, buat jagain lo disini. Jadi dia bilang, kalau ada orang yang mau bikin gara-gara ma elo, atau manfaatin lo, maka dia bakal berurusan ma Zaki juga?"

"A-APA?"

"Ga usah berdiri!" bentak Regi kesal dan menarikku yang terlonjak kaget untuk duduk kembali.
Vivi nyengir lebar, "Bener kok. Kita juga kaget. Jadi buat ngeyakinin kita, si Zaki telepon adek lo, si Asti, minta bicara ma nyokap lo. Yang bikin kita sedikit kaget, tanpa diminta, nyokap lo udah confirm ke kita semua, kalo beliau emang nitipin lo ke Zaki. Kami semua mendengarnya sendiri," sambung Vivi lagi. Aku menggeram kesal mendengarnya. Si Zaki apa-apaan sih?!! Bener-bener gak habis pikir ma bule sinting itu.

"Karena itu tadi di mobil , pas kita nyulik elo, kita nanya, apa yang udah lo bilang ke Zaki. Kita khawatir lo beberin rahasia Mas Rizky ke dia. Zaki boleh dibilang udah ngancam Mas Rizky, secara tidak langsung," pungkas Vivi akhirnya.

"Yang bikin kita berdua bertanya, sebenernya ada apa sih kalian antara kalian berdua?" timpal Regi dan menatapku. Aku jelas bengong dengan pertanyaanya. Vivi juga tampak diam menunggu jawabanku dengan tatapan menyelidik.

"Ada apa? Ya gak ada apa-apa lah. Bule sinting itu emang suka aja bikin gue stress. Kerjaan gue gak pernah bener di matanya. Suka banget perintah gue seenaknya. Gak pernah mo denger alasan ataupun keberatan gue. Semua mesti sesuai ma perintahnya. Apapun itu!" semburku jengkel.

"Bener?" tanya Vivi.

"Jij gak ngerasain sesuatu yang lain ma dia?" tanya Regi dengan sorot curiga sembari mengusapkan sesuatu didekat mataku.

"Selain kesel mampus dan muak maksud lo?" tanyaku balik
dengan nada sarkas.

"Ga ada yang lain?" tanya Regi dengan sikap yang sama.

"Maksud kalian apa sih?!" tanyaku jengkel. Kedua orang itu hanya saling berpandangan sejenak. Aku semakin kesal karena beberapa waktu terakhir mereka sering melakukannya.

"Kenapa sih kalian sering banget begitu?" tanyaku yang akhirnya tak mampu menahan diri.

"Huh?"

"Kalian saling berpandangan seolah-olah kalian sepakat soal sesuatu yang sama sekali gak gue pahami. Apa maksudnya?" tuntutku, meminta penjelasan. Bukannya menjawab, mereka malah kembali melakukannya.

"Gak kok. Lo aja yang ngerasa begitu," sangkal Vivi.

"Iya Cin. Lo aja yang lagi sensi. Okay, udah selesai. Vi?" tukas Regi. Vivi segera mendekat dan memakaikan jaket padaku.

"Ntar kalo mereka didalam nyinggung soal insiden tadi, lo ketawa aja, ok?" saran Vivi.

Aku yang telah berdiri mencoba melihat apa yang dilakukan Regi pada wajahku di kaca tempat make up-nya. Tapi Regi dengan cepat menutupnya.

"Jij gak usah liat, daripada ntar protes lagi, em?" putusnya pelan. Aku kembali hanya menghela nafas.

"Percuma kalo ngelawan kalian berdua," gerutuku, "Gi, Vi. . . makasih buat semuanya ya?" kataku tulus. Meski beberapa saat tadi aku sangat ingin mencekik mereka berdua, aku juga paham pada akhirnya, kalau mereka berdua melakukan semuanya untukku. Apalagi mereka masih mau repot dengan membelikan hadiah yang kini melekat ditubuhku.

"Sama-sama Gha," jawab Vivi dan menepuk bahuku.

"Yuk Cin, kita bikin heboh didalam," ajak Regi dan menarikku.


kamus banci salon :

habiba : habis
tunggang : tunggu
kentucky : kentut
jangkar : jangan
udin : udah
bisikan : bisa
mandiri : mandi
sandra : sana
makarena : makan
RIZKY


Terlepas dari insiden tadi, semua orang sepertinya bisa menikmati pesta. Kebanyakan dari mereka justru menganggap live show dari Regha.tadi sebagai hiburan. Beberapa kali kudengar celetukan teman-teman Regha yang tertawa geli, menceritakan kekonyolan anak itu dikampus. Tadinya aku berniat untuk menyusul Regha, tapi kulihat Regi, Vivi dan Zaki telah mendahului. Seperinya sudah cukup banyak orang yang menyusulnya, jadi kuputuskan untuk diam disini. Meski aku harus sendiri karena nyaris tak ada seorangpun yang kukenal.

Hanya beberapa wajah teman kost Regha yang wajahnya akrab. Sayangnya aku tak tahu nama mereka.

Aku akhirnya memilih untuk menikmati hidangan yang disediakan. Pesta self service ini menyajikan beberapa masakan daerah dan internasional. Tapi saat ini, aku hanya ingin menikmati minuman segar. Kulihat ada jus jeruk yang tanpaknya alamai dan menggoda.

"Mas Rizky sendiri?" tanya seseorang yang tiba-tiba ada disebelahku. Dia mengambil sebuah jus jeruk juga dan tersenyum padaku.

"Eeuuuhhh. . . . " teman kost Regha. Dan aku benar-benar tak tahu siapa namanya.

"Ari,Mas," ujarnya membantuku.

Aku tersenyum lega dengan inisiatifnya,"Maaf. Aku hanya mengingatmu sebagai teman kost Regha. Kita belum pernah berkenalan secara formal," kataku.

Ari hanya tersenyum paham mendengarku, "Nggak papa Mas. Emang nggak pernah kok. Tapi Regha pernah bercerita soal Mas Rizky ke kami. Mas juga pernah beberapa kali ke kostan. Jadi sebagian dari kami sudah tahu Mas Rizky," jelasnya lagi.

"Semoga aja ceritanya bukan hal yang membuat kalian takut," selorohku mencoba bercanda. Ari tertawa kecil mendengarnya. Tawanya renyah dan makin mempertegas kesan easy going pada dirinya. Dia cowok dengan penampilan terkesan ringan, tangkas dan menyenangkan. Orang akan gampang merasa nyaman bila bersamanya.

"Hanya sambil lalu kok. Mas. Yang saya tahu cuman fakta kalo Mas Rizky adalah putra Bu Indri dan kuliah kedokteran di Yogyakarta. Selain itu juga gak ada yang penting. Regha bilang Mas Rizky orangnya pendiam. Jadi gak banyak yang bisa diceritakan," jawabnya nyengir.

"Syukurlah kalau kalau begitu. Ari satu fakultas dengan Regha?" tanyaku, sekedar mencari bahan obrolan ringan.

"Nggak, Mas. Saya ngambil hukum," jawabnya.

"Sudah lama kost bareng Regha?"

Dia mengangguk, "Lumayan lah Mas. Hampir setahun. JadI udah nggak heran lagi sama kejadian tadi," tukasnya membuatku terpancing untuk terkekeh geli juga.

"Maksudmu, si Regha udah biasa kentut didepan kalian?"

"Beberapa kali Mas. Dan kami semua sudah hapal kalau Regha tuh cinta mati sama pete. Tadi pagi aja dia pesta pete. Dia bilang dia ingin merayakan hari spesialnya ini dengan memasak makanan bertema pete. Ya, itu tadi hasilnya," jelas Ari sembari tertawa kecil.

"Jadi. . . dia emang sengaja hari ini makan pete?"

Ari mengangguk, tersenyum, "Buat ngerayain ulang tahunnya. Dia nggak tahu kalo beberapa hari sebelumnya, si Regi dan Vivi sudah kasih kita semua kisikan," imbuhnya lagi.

"Kamu juga akrab dengan Regi dan Vivi?" tanyaku tertarik.

"Lumayanlah, Mas. Regi kan orangnya rame gitu. Klop sama Vivi yang rada sinting," katanya terkekeh.

"Kalau dengan Zaki?" pancingku lagi.

"Nggak begitu kenal sih Mas. Cuman tahu aja. Tapi namanya cukup dikenal di kampus kami. Dia juga baru beberapa kali mampir kekost buat nyariin Regha. Akhir-akhir ini, mereka berdua memang sering bareng tiap akhir minggu. Nggak tahu kemana," jelas Ari lagi. "Eh, tapi si Regha kok belom muncul juga ya?" gumam Ari dan mengedarkan pandangannya.

Aku celingukan mencari Regha. Tapi dia memang belum kembali kedalam gedung. Setelah beberapa saat setelah insiden tadi, hanya Zaki yang kembali kedalam gedung. Vivi dan Regi yang kulihat ikut keluar belum kembali. Sedari tadi aku berusaha menyibukkan diri dengan ngobrol dengan beberapa teman kost Regha yang mengenalku. Tapi karena tak tahan lagi, apalagi setelah keterangan Ari tadi, aku akhirnya memutuskan untuk melihat keluar.

"Sebentar ya Ar. Aku mau liat dulu," pamitku yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Ari.

Saat hampir mencapai pintu gedung, aku mendengar seseorang memanggilku.

Aku menoleh dan sedikit berkernyit heran saat Zaki mendekatiku dengan dua buah gelas minuman ditangannya.

"Looking for Regha? Dia sedang ganti baju. Regi dan Vivi membantunya," jelasnya tanpa kutanya. Dia mengulurkan satu minuman itu padaku. Aku mencoba tersenyum dan menerimanya.

"Terimakasih," kataku pelan. Zaki hanya mengangkat bahu dan mengalihkan perhatiannya ke tengah ruangan dimana beberapa teman Regha sedang jojing diiringi musik yang diputar oleh DJ. Kerlipan lampu yang ditata digedung ini membuat nya terlihat seperti sebuah diskotik kecil.

"Enjoy the party?" tanya Zaki lagi.

"Pesta yang bagus," jawabku, "Kau baik sekali mau melakukan ini untuk Regha," jawabku mencoba diplomatis.

Dia kembali mengangkat bahu sebelum menjawabku. "Seperti yang kubilang, aku ingin membalas kebaikan Mamah. Kalau bisa aku ingin melakukan lebih. TapI aku tak begitu mengenal kehidupan sosial Regha. Jadi aku menyerahkan semuanya pada Regi dan Vivi."

"Apa benar cuma itu alasanmu?" tanyaku pelan.

Zaki yang hendak meneguk minumannya urung. Dia memandangku dengan tatapan datar. Aku sendiri balas menatapnya. Naif sekali kalau aku berpura-pura bahwa cowok didepanku ini tak mengetahui situasi antara aku dan Regha. Dari kata-katanya kemarin kalau dia tahu. Dia tahu aku menyukai Regha. Meski aku belum bisa yakin, siapa yang memberitahunya. Tapi yang jelas, aku ingin tahu apa posisi Zaki dalam hal ini. Aku tahu dia sedang berusaha menunjukkan sesuatu padaku.

"Kau pikir, aku mempunyai motif lain?" tanya Zaki setelah terdiam beberapa saat.

"I don't know. Do you?" tanyaku balik. Dia tak langsung menjawab, namun pandangannya tak lepas dariku.
"Kenapa tak kau ceritakan dulu motifmu padaku. Mungkin aku akan melakukan hal yang sama nanti," ujarnya dan kembali meneguk minumannya.

"Apapun motifku, itu tak ada hubungannya denganmu kan?" tanyaku santai dan tersenyum tipis.

"True. Tapi seperti yang kubilang dan telah dipastikan oleh Mamah, aku ingin melindungi anak itu. Jadi siapapun yang berhubungan dengannya, aku pastikan bahwa mereka tidak melakukannya," jawab Zaki enteng.

"Dia bukan anak-anak Zaki. Maybe you should give him more credit," potongku dingin. Zaki tampak mengangkat sebelah alisnya dengan reaksiku.

"Yes he is. Dia memang sudah dewasa. Tapi terkadang dia bisa menjadi lebih polos daripada seorang anak SMP. Kalau kau mengenalnya, kau pasti sudah tahu hal itu," jawab Zaki enteng, namun toh tepat sasaran, "Karena itu, tidak salah kan kalau kubilang aku perlu untuk melindunginya."

"I love him," potongku pelan. Kali ini aku tak berkedip sedikitpun saat mengucapkan kalimat tadi padanya. "Nah sekarang kau tahu alasanku kan? Dan percayalah, aku tidak ada niat untuk memanfaatkan, apalagi menyakitinya."

"So. . . . you're gay," kata Zaki dengan nada datar, bukannya bertanya.

"I am," jawabku singkat.

"Menurutmu Regha juga?"

"Aku tak tahu. Tapai kalaupun dia tidak, aku ingin dia juga mencintaiku," sahutku.

Zaki tersenyum mendengarku, "Percaya diri. Aku suka itu," komentarnya singkat dan mengedarkan pandangannya sejenak.

"Aku anggap itu sebagai pujian darimu. Terimakasih. Sekarang giliranmu," ujarku.

"What?" Zaki menatapku dengan ekspresi sedikit bingung. Entah dia hanya berpura-pura atau memang benar. Yang jelas aku tak akan membiarkannya.

"Mungkin sudah waktunya bagimu untuk mengatakan, apa motifmu padanya?"

"Oh. . itu," tukas Zaki dan tersenyum, "Aku akan membuatnya menyukaiku," lanjutnya enteng dengan mata yang tertuju ke tengah ruangan. Butuh beberapa waktu bagiku untuk mencerna kalimatnya tadi.

"Ma-maksudmu. . . "

Zaki menoleh padaku dan tersenyum santai,"Yes, you're right. Aku menyukainya," katanya singkat.

Saat itulah aku baru menyadari bahwa pintu dibelakang Zaki telah terbuka. Dan Regha berdiri dibelakang Zaki dengan tatapan bingung pada kami berdua.



REGHA


Mas Rizky tampak kaget melihatku, sementara mata Zaki membesar. Mereka berdua memperhatikanku dengan pandangan aneh. Padahal menurutku akulah yang seharusnya melakukan hal itu, karena bisa melihat mereka berada pada jarak sedekat ini. Zaki menelusuriku dari atas ke bawah dan keningnya berkerut dalam. Sepertinya dia sudah mengambil kesimpulan. Aku lebih memilih untuk cuek, karena apapun itu, aku tahu kalau kesimpulannya tak akan membuatku senang. Aku justru lebih tertarik dengan alasan mengapa aku bisa melihat mereka berduaan sedekat ini.

"Ghotic? Really?" komen Zaki dengan nada sarkas. Nah tuh? Hanya dengan satu komen aja, dia sudah bisa membuatku menggeram kesal. Menakjubkan bagaimana dia bisa menemukan celaan pada setiap hal yang aku punya atau lakukan. Pasti dia punya semacam bakat khusus untuk membuat kesal manusia lain yang berada disekitarnya.

"Got a problem with it? Protes aja sama anak buahmu!" gerutuku gondok dan menunjuk pada Regi dan Vivi yang berdiri dibelakangku.

Zaki mendengus, "It's better than before. Kita segera mulai acaranya. Regi?" ujarnya. Regi segera maju ke tengah ruangan untuk memulai acara inti malam ini. Sebenarnya aku hendak mendekat ke Mas Rizky, tapi bule sableng itu meraih lenganku dan menarikku ke tengah ruangan bersamanya.

Boleh dibilang setelah itu, acara berlangsung dengan cukup lancar. Regi yang menjadi MC bisa membuat undangan yang lain 'agak' lupa dengan insiden awal tadi. Aku sendiri cukup terkesan dengan usaha mereka. Seumur hidup, baru kali ini aku merayakan pesta ulang tahunku. Ada kue tart ma tiup lilin segala euy!

Dan banyak kado!!!!!

Sumpah! Malam ini sangat berkesan bagiku. Meski awalnya tadi aku pengen banget mati saking malunya, tapi kini. . . . aku bersyukur.

Acara baru berakhir sekitar tengah malam.

Satu-satunya hal yang kusesali, aku tak bisa ngobrol bareng Mas Rizky sepanjang malam itu. Aku tak tahu apa yang telah Zaki lakukan atau katakan siang tadi di rumah sakit. Tapi aku ingin menjelaskan semuanya pada Mas Rizky. Belom lagi tadi aku melihat mereka ngobrol berdua dalam jarak sedekat itu. Kata yang kutangkap adalah Zaki menyukai seseorang. Suara hingar pesta dan musik membuatku tak mendengar kalimat lain yang mereka katakan. Entah apa atau siapa yang dimaksud. Tapi kalau menyangkut Zaki, kesimpulanku adalah yang terburuk. Jadi aku tak ingin Mas Rizky salah paham. Sayangnya aku dibuat sibuk malam itu oleh Regi dan Zaki. Satu-satunya kesempatanku berbicara dengan Mas Rizky adalah ketika dia berpamitan untuk pulang.

"Mas. . . "

Mas Rizky hanya tersenyum dan mengangkat tangannya, mencegahku untuk melanjutkan, "Kita ketemu malam minggu nanti, ok?" ujarnya. Aku hanya mampu mengangguk mengiyakannya.

Banyak kado yang harus kubawa pulang malam itu. Jadi Regi dan Vivi juga Zaki membantuku. Sebenarnya aku tadi menolak Zaki, tapi dengan cueknya dia menggotong beberapa kado ke dalam mobilnya dan menarikku untuk ikut dengannya. Vivi dan Regi mengikuti kami dibelakang. Kamar kostku yang lumayan sempit mendadak jadi makin sempit dengan barang-barang yang kudapat. Laptop Ari masih tergelatak dipojokan, mengingatkanku bahwa aku belum menyelesaikan tugas dari Zaki.

"Sutra, Cin! Ikke ma Vivi balik dulu ya? Kita ketemu besok, ok?" pamit Regi yang diamini oleh Vivi.

"Makasih ya Gi, Vi," ujarku. Regi hanya mengibaskan tangannya untuk menjawabku.

"Kamu bisa tidur ditempat seperti ini?"

Celetukan yang berasal dari belakangku membuatku sadar kalo Zaki masih ada dan sedang berdiri dengan pandangan menatap kesekeliling kamar kostku. Tentu saja. Kalau dibandingkan dengan rumahnya, kamar kost ini lebih mirip kandang tikus. Tapi siapa sih yang rela kalo tempat tinggalnya dicela?

"Maaf kalau tidak memenuhi standarmu. But I like it here," jawabku singkat dan segera menuju laptop Ari. Aku segera menyimpan pekerjaanku tadi ke dalam flashdisk. "Aku masih belum menyelesaikan laporannya. Tidak bisakah diundur sampai besok siang?" pintaku.

"Kalau siang pasti panas sekali kan?' gumam Zaki seolah-olah tak mendengarku. Aku menggeram pelan mendengarnya. Baru saja aku hendak nyolot, tiba-tiba Ari nongol didepan kamar.

"Gha, besok udah kelar kan laptopnya?" tanya Ari santai, dan melihat sekilas ke arah Zaki yang kelihatannya masih berniat untuk menemukan hal lain untuk dicela.

"Insyaallah udah Ar. Maaf ya? Agak ketunda gara-gara tadi," pintaku.

Ari hanya mengibaskan tangannya, "Gua ambil besok, ok?" pamitnya dan pergi..

"Itu bukan laptopmu?" tanya Zaki setelah beberapa saat.

"Aku nggak punya laptop," jawabku singkat tanpa mengangkat wajahku dari screen. Kalau tadi dia tak menjawabku, aku bisa menyimpulkan bahwa dia mau kalau laporan ini aku selesaikan malam ini juga. "And yes, kalo siang disini panas. Ada yang lain?" tanyaku, masih tanpa mengangkat wajah.

"Kenapa nggak bilang?" tanyanya dengan nada kesal, padahal akulah yang justru seharusnya marah.

"Emang ada bedanya? Lagian kamu gak nanya kan?" sahutku cuek.

"Kalo tahu aku juga gak bakal kasih kamu kado tadi," gerundengnya pelan.

"Ya ambil aja lagi sana kadomu. Cari sendiri gih!" sahutku nyolot. Anjiss!! Nih anak bener-bener turunan setan kali ya? Bawaannya pengen ngamuk aja kalo dekat-dekat dia.

"Ikut aku!" ujarnya singkat dan meraih lenganku.

"Mo kemana lagi sih? Udah malem, ngantuk!"protesku kesal dan menyentakkan tanganku hingga lepas dari pegangannya.

"Just come with me, ok?! Kamu akan tahu nanti. Ayo!" ajaknya dan mendahuluiku. Meski sebetulnya males, akhirnya aku nurut juga. Percuma kalo ngebantah Zaki. Yang ada cuman masalah jadi tambah gede dan ribet. Tak lama kamipun melaju dalam mobilnya.

"Can I ask something?" pintaku memecah keheningan diantara kami yang menggantung beberapa lama.

"About what?" tanya Zaki tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan didepannya.

"Apa Mamah benar-benar memintamu untuk menjagaku?"

"Yeah, so?"

"Kamu nyadar kan kalo Mamah ngomong begitu hanya karena insting seorang Ibu pada anaknya. Not literally asked you to do so. Jadi kamu nggak usah menganggapnya serius," jelasku pelan. Dia melirikku sebentar

"Menurutmu begitu?" tanya dia singkat.

"Tentu saja."

"Huh!"

Hanya itu reaksinya. Semula aku hendak nyolot lagi, tapi urung begitu tahu kami sedang melaju kemana. Ini jalanan menuju rumah Zaki. Untuk apa coba dia membawaku kemari? pikirku dalam hati bingung. Zaki yang sepertinya mengerti akan keherananku, mengacuhkanku. Kami berhenti di pintu gerbangnya. Zaki membunyikan klakson dua kali. Tak berapa lama, gerbang besi itu terbuka secara otomatis. Kulihat ada dua orang satpam yang berjaga di pos, tak jauh dari gerbang. Zaki menghentikan mobilnya didepan pintu dan keluar.

"Ikut aku," katanya singkat saat aku mengikutinya keluar dari mobil. Hanya dengan itu dia kemudian mendahuluiku masuk ke dalam rumahnya. Dua kali aku kesini, dan aku tetap merasa terintimidasi. Rumah ini terlalu besar dan mewah untukku. Tiap kali aku disini, aku selalu merasa tak pantas. Seperti pertama kalinya aku kesini, seakan-akan ada yang berbisik bahwa rumah ini bukan tempatku. Bahwa aku harus segera keluar dari sini. Bahkan seakan-akan semua yang ada didalam rumah ini, mencemoohku. Mungkin seperti inilah rasanya seorang rakyat jelata saat berada di. sebuah istana, pikirku ironis.

Zaki terus melangkah masuk dan kemudian naik ke lantai dua. Aku yang semula ragu sempat berhenti di bawah anak tangga. Masa sih dia bener-bener mau aku mengikutinya naik? Tapi panggilan singkatnya membuatku tak memiliki pilihan lain. Akhirnya aku ikut saja. Hingga kemudian dia masuk ke sebuah ruangan. Hanya dengan memandangnya sekilas, aku tahu ini adalah kamarnya.

Terdiri dari dua ruangan besar. Ruangan pertama lebih mirip ruang tamu dengan seperangkat sova, dengan sebuah meja kerja yang berada dipojokan, berdekatan dengan jendela berpanel besi tempa. Luasnya nyaris seluas empat kali kamar kostku. Dindingnya yang berwarna putih gading dihiasi oleh beberapa lukisan dan foto Zaki dalam skala besar. Dua diantaranya dalam balutan jas resmi. Tampak lain dari sosok Zaki yang biasanya kulihat. Dalam foto itu, dia begitu terlihat formal dan berkelas. Nyaris tak tersentuh bagiku. Sosok Zaki dalam foto itu biasanya hanya kulihat dalam majalah-majalah bisnis, membuat Zaki yang mahasiswa lebih mirip bayangan samar.

Ruangan itu bersambung dengan ruang tidur yang tak kalah luasnya. Tempat tidurnya yang berukuran super gede sepertinya cukup untuk dipakai oleh satu keluarga dan dilapisi oleh sprei dan bed cover berwarna coklat gelap dengan bantal-bantal berukuran besar. Tempat tidur itu berhadapan dengan seperangkat peralatan entertainment canggih. Home theatre, tv plasma berukuran jumbo yang hampir membuatku meringis sedih mengingat tv keluargaku, dan sound system yang tak kuketahui. Di sebelah peralatan canggih itu ada dua pintu yang berjarak sekitar 5 meter. Zaki membuka pintu pertama dan memanggilku untuk masuk.

 Aku yang sedari tadi bengong cengo segera mengikutinya dan masuk kesebuah walk in closet berukuran super luas. Disatu sisi dinding ruangan itu berjejer banyak sekali sepatu berbagai merk yang kesemuanya terlihat baru. Dua rak terbawah adalah jejeran tas. Dinding didepanku penuh dengan jejeran pakaian, jas, kemeja, tumpukan t-shirt, handuk dan entah apa lagi. Rak-rak dengan berbagai jenis kaca mata, ikat pinggang, jam tangan dan entah benda lainnya. Walk in closet ini lebih mirip sebuah Dept. Store lengkap. Dan semua ini milik si tengil ini?!!!! Bener-bener nggak adil, gerundengku dalam hati.

Tanpa memperdulikanku, Zaki menuju ke pojok ruangan dimana banyak sekali tumpukan kotak-kotak. Berjejer hingga ada beberapa yang berada di belakang lemari yang didalamnya penuh dengan rak yg berisi benda-benda lain yang tak ingin kuketahui lagi. Bikin iri. Zaki menyeret sebuah kursi beledu kecil dan duduk.

"Come here! Kalau aku tak salah ingat, ada sesuatu disini yang bisa kau pakai," gumamnya padaku.

Aku mendekatinya dengan heran. "Ini semua apaan sih Zak?" tanyaku saat tak mampu lagi menahan keingintahuanku.

"Hadiah ulang tahunku selama beberapa tahun ini. Dan sepertinya bertambah dengan yang kemarin," jawabnya meski lebih mirip gerutuan.

"All of these?" tanyaku lagi.

"Yeah! Kebanyakan dari kolega Mommy. Dan kebanyakan juga barang-barang yang tidak kuperlukan. Feel free to take anything you want," jawabnya sembari kembali mencari sesuatu, entah apa. Gila!!! Dia enteng aja ngomong gitu! gerutuku dalam hati. Dia memperlakukan semua benda mahal ini seperti mainan plastik yang tak berguna. Ada banyak gadget canggih yang cuma kulihat di tivi dan koran. Dan semuanya keluaran merk terkenal yang harganya bisa bikin aku puyeng. Ipod, PSP, Ipad dan entah apa lagi. Perhatianku kemudian beralih pada beberapa amplop yang bertuliskan maskapai penerbangan ternama standart Internasional. Didalamnya kulihat tiket untuk berlibur ke Bali dan beberapa negara di Asia dan Eropah. Ada juga voucher menginap dan wisata dengan fasilitas lengkap dari hotel hotel berbintang. Beberapa diantaranya telah kadaluarsa.

"Beberapa tiket dan voucher ini nggak kamu pake Ki? Sayang banget," gumamku pelan.

"Keluargaku sanggup bepergian ataupun berwisata tanpa tiket-tiket itu," jawabnya acuh, "Ambil saja kalau kau mau."

"Dasar orang kaya," gerundengku pelan.

"Aaaaahhh!! Here it is," katanya dan mengangsurkan sebuah kotak merk apple padaku "Here. Kau bisa memakainya untuk mengerjakan tugas-tugas dariku atau lainnya," katanya. Aku jelas saja bengong hebat. Dia memberikanku sebuah laptop keluaran merk ternama seakan-akan dia hanya memberiku sebuah pisang goreng. "What?" tanyanya heran dengan reaksiku.

"Are you out of your mind? That's apple," omelku.

"Yeah? So?"

"Kau tahu harganya berapa? Kalau dibandingkan dengan laptop milik Ari, harganya bisa 4 kali lipat tahu?!"

Zaki mendengus keras, "Don't be ridiculous. It's just a laptop. Ini hadiah ulang tahunku tahun kemarin dari teman bisnis Mommy di Australia. Aku tak membutuhkannya karena aku sudah punya. Pakai saja. Ada lagi yang kau mau? Feel free to take. Oh ya, Asti minta kado untuk ulang tahunnya. Apa dia sudah punya ipad? Mungkin aku juga harus memberi Agus juga. I don't want him to get jealous of her. Atau kau mungkin kau punya usul lain? Mungkin. . ."

"Zaki, stop!!!" aku mengangkat tanganku, "Kau gila!" kataku singkat dan segera melangkah untuk pergi dari ruangan itu.

"What?! HEI!!!"

Aku sudah tak mau memperdulikannya. Tapi dia lebih cepat dariku. Sebelum aku sempat mencapai pintu dia sudah mampu meraih lenganku hingga aku terhenti. Aku mencoba berontak melepaskan diri, tapi Zaki tak membiarkanku.

"What is wrong with you?!" tanyanya sedikit kesal.

"Aku tahu kami berasal dari keluarga tak mampu. But it doesn't mean I need your charity, ok?" desisku dengan geraham terkatup, jengkel.

"Charity? Maksudmu apa sih?"

"Kami tak butuh barang-barangmu. Sumbangkan saja pada yang lebih membutuhkan," kataku dingin dan kembali mencoba melepaskan diri. Zaki tak melepaskan pegangannya padaku. Tangannya justru semakin kuat mencengkeram lenganku, hingga aku harus menahan sakit. Tapi aku tak akan membiarkannya tahu kalau dia membuatku kesakitan, jadi aku hanya mengetatkan gerahamku untuk menahannya.

"Listen to me, okay!" pintanya dengan nada tertahan, "Regha, look at me!!" pintanya kemudian tegas.

Aku melakukannya, tapi dengan mata melotot kesal.

Zaki menghembuskan nafas kesal, "First of all, ini bukan charity, okay?! Aku membutuhkan kemampuanmu dalam menyusun laporan Panti. So technically, it's about your job. Yang kedua, kau lihat sendiri tumpukan barang-barang itu. I already have them. Barang-barang itu cuma akan menumpuk disana tak terpakai. Bahkan mungkin selamanya. Kau lihat sendiri kalau beberapa voucher disana lewat masa berlakunya. Jadi kurasa cukup bijaksana kalau barang-barang itu terpakai. Setidaknya hal itu lebih berguna kan? And last, dengan memberikan barang-barang itu sebagai hadiah ulang tahun untuk Asti, Agus ataupun kamu, aku kan jadi lebih irit uang. Right?" ujarnya meminta pendapatku.

Aku diam.

"Maybe I should tell you kalau kau bukan lagi bertugas sebagai janitor di panti. Mulai minggu depan, kau harus membantuku mengurus pembukuan Panti. Jadi kau akan sangat membutuhkan laptop. Congratulation, you got a promotion," katanya lagi dengan nada enteng.

"W-what?" Sepertinya dia kumat nih ngaconya.

"You heard me," sahutnya cuek dan melepaskan tanganku.

"A promotion? Me? Bukankah kau selalu mengeluh dengan hasil kerjaku?" tanyaku heran.

Sejenak dia terdiam dan menutup mulutnya. Dia hanya kembali menarik nafas panjang, "Okay. Sepertinya aku harus mengatakan yang sebenarnya. Acutally, I move you. Kau selalu membuat kekacauan dan akan terus membuat kekacauan kalau kau tetap berada di posisimu sekarang. Minggu kemarin kau memecahkan pigura dikamar Bapak Suwiryo."

"That was an accident!" bantahku.

"Minggu sebelumnya kau memasukkan buku baru Profesor Mangun ke dalam timba pel."

"Suruh siapa dia naruh bukunya dipinggir meja belajar!"

"Juga menjatuhkan sikat gigi Bapak Liem ke dalam toilet!!"

"Itu juga kecelakaan!"

"Intinya, kau lebih banyak membuat kekacauan pada posisimu sekarang!" potong Zaki dan menggeram kesal, "Karena itu kau kutempatkan kedalam staff administrasi. Langsung dibawah pengawasanku. Kau kerjakan tugas yang kupinta. Kebanyakan tentang pembukuan dan laporan Panti. Dan kali ini, aku tak ingin kau membuat kekacauan lagi. Sekecil apapun. Dan untuk melakukannya, kau membutuhkan laptop. Karena itu, kau pakai saja itu. Toh disini barang itu hanya akan jadi rongsokan. I might get another one next year on my birthday. Jadi, as you might understand now, ini bukan charity. It's me, wanting you, to do your job. Got it?!"

Perlahan aku hanya mengangguk.

"Good!" katanya dan kembali masuk kedalam. Tak berapa lama, dia kembali dengan membawa bungkusan berisi laptop tadi dan menyerahkannya padaku, "And kau mungkin akan membutuhkan koneksi internet. Jadi kau harus membeli modem. Dengan uangmu sendiri. Paham?"

Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Masih terlalu kebas untuk bereaksi.

Zaki tersenyum. Senyum yang sedikit membuat lekukan dipipinya tampak. Efeknya cukup membuatku tertegun, karena aku seolah-olah diingatkan pada Zaki yang kulihat di pinggir kali waktu itu. Saat matahari hampir tenggelam. Saat dia memeluk pinggangku. Saat kehangatan tubuhnya membungkusku. Saat aku tak bisa mengedalikan akal sehatku lagi.

"Gha?"

Aku sedikit tersentak mendapati Zaki yang menundukkan wajahnya hingga sejajar denganku. Cepat aku mundur selangkah dan menggelengkan kepalaku kuat-kuat. "M-maaf. Se-sepertinya aku capek," gumamku gugup dan sedikit jengah. Mikir apaan sih gua tadi? batinku jengkel.

"Come on! I take you home," ujar Zaki dan melangkah mendahuluiku. Aku mengikutinya masih dengan benak yang penuh dan luar biasa kaget.

"Sinting gue!" gumamku lirih.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar