Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The triangle ) chapter 23 - Cold Shoulders



REGHA


Saat mataku terbuka, aku masih merasa lemas, meski jauh lebih baik kalau dibandingkan kemarin, saat tubuhku serasa habis digebukin orang sekampung. Meski lemas, aku merasa mendingan. Dari sudut mataku, aku melihat ada bayangan gelap yang baru kemudian aku sadari adalah kepala Zaki. Dia duduk tertidur dengan kepala yang terbaring disebelah kepalaku. Dan tangannya juga masih ada dalam pelukanku. Perlahan sekali, agar tak mengusiknya, aku melepas lengan Zaki, kemudian bangkit duduk, memandanginya.

Matanya yang terpejam tampak tenang. Bulu matanya yang tebal dan lentik berjejer rapi seperti susunan kawat halus. Membuatku ingin mengusapnya. Hidung bangirnya yang jauh lebih mancung dari ukuran orang pribumi, tinggi dengan tulangnya yang lurus cukup membuatku iri. Lalu bibirnya. Bibir yang ku ingat bisa jadi jauh lebih memerah dan basah dari sekarang. Apalagi kalau dia sudah menyantap masakan pedas, seperti yang dimasakkan oleh Mamah. Ekspresi wajahnya yang terlelap sekarang begitu tenang, lembut dan nyaris angelic. Rangkuman singkatnya, dia memang sosok menawan dan pantas menjadi bahan gunjingan mahasiswi sekampus. Oplah bulletin kampus yang membahas profilnya, memecahkan rekor terlaris dibandingkan edisi yang membahas pemenang mahasiswa terkeren lainnya. Dengan fisik dan strata sosialnya, itu bukan hal yang aneh. Andai saja mereka tahu, kalau Zaki bernilai lebih dari sekedar fisik dan kelas sosial yang tinggi saja. Dia lebih dari itu. Kepeduliannya dengan orang lain cukup untuk dijadikan teladan.


....................



WAOOWW!!!


Kalau beberapa waktu kemarin ada yang mengatakan hal itu didepanku, aku pasti sudah mencibir sinis dan mengeluarkan berbagai macam alasan atau dalih. Berusaha membuktikan, kalau Zaki, tak lebih dari seorang cowok sengak, sinting dan pengidap megalomaniak akut. Fisiknya tak lebih dari sekedar bungkus luar yang dangkal dan tak berarti.

Tapi sekarang................ bagaimana aku bisa mengatakan semua itu setelah apa yang dia lakukan padaku dan keluargaku.
Yeah........ aku tahu apa yang telah dia lakukan. Aku mendengar semua pembicaraannya dengan Regi dan Vivi. Saat Vivi keluar dari kamar, aku sudah terbangun. Karena penasaran dengan suara agak ribut-ribut diluar, aku bangkit meski tubuhku luar biasa lemas dan kepalaku sedikit berdenyut. Aku yang telah membuka pintu kamar dan hendak keluar jadi urung saat mendengar pembicaraan mereka.

Zaki baru kembali dari Majalengka. Dengan kata lain, dia tahu apa yang terjadi pada keluargaku disana. Aku langsung mencari hape ku dan mengirim sms singkat ke Agus. Menanyakan keadaan rumah, memastikan bahwa semua baik-baik saja disana. Bahwa Zaki datang dan membantu Abah. Agus membenarkan semuanya. Aku kemudian hanya memintanya untuk tak mengatakan apapun tentang sms pada yang lain. Aku diliputi perasaan lega luar biasa seketika. Perasaan yang terasa nyaris mustahil kurasakan beberapa hari kemarin

Mereka tak apa-apa. Semua baik-baik saja. Abah tak akan kehilangan sawahnya. Semua karena Zaki. Baik-baik saja! batinku berulang kali. Akhirnya aku kembali berbaring dan memejamkan mata. Hanya selang beberapa detik kemudian, Zaki dan yang lain masuk. Aku berpura-pura tidur. Tapi saat aku dengar kalau Vivi dan Regi hendak pulang, akupun membuka mata. Setidaknya aku harus mengucapkan terimakasih pada mereka berdua. Mereka benar-benar memiliki kualitas seorang teman sejati. Aku beruntung memiliki keduanya.

Ada canggung yang menyelimuti saat Vivi dan Regi telah pergi. Dan saat Zaki duduk disebelahku, kudengar dia mengeluarkan suara erangan pelan, membuatku menoleh padanya. Saat itulah aku bisa melihat dengan jelas keletihan di wajahnya. Kalau aku ingat, pagi tadi dia masih ada disini. Kalau memang dia kembali dari Majalengka, itu berarti dia melakukan pejalanan bolak-balik langsung. Wajar saja kalau dia kelelahan.

Saat itu tenggorokanku terasa tercekik. Gumpalan yang ada disana membuatku tak mampu menahan diri. Bagaimana tidak. Dia yang kukira hanya bisa bersikap sinis dan menyiksaku, ternyata mau bersusah payah membantu kesulitan yang dialami keluargaku. Dan meski lelah, dia tetap berada disini, bersamaku. Bahkan setelah semua hal jelek yang kukatakan tentangnya. Kalau aku mau mengingat, dia telah melakukan banyak hal untukku. Memberiku pekerjaan, merayakan ulang tahunku, dan sekarang............................

Kuraih lengannya dan kupeluk didadaku kupeluk. Aku tak tahu harus bagaimana mengungkapkan rasa terimakasihku atas apa yang dia lakukan. Aku hanya mampu memeluk lengannya dengan erat sembari menggumamkan ucapan terimakasih berulang kali, tanpa dapat menahan airmataku yang mengalir. Dia yang kemudian mencoba menenangkanku dengan mengusap rambutku dan berbisik bahwa semua baik-baik saja. Bahwa dia tak akan meninggalkanku. Hal itu justru semakin membuatku merasa cengeng. Hingga akhirnya memberikan ciuman dikepalaku yang terasa seperti suntikan obat bius yang menenangkan.

Dan akhirnya, akupun terlelap.

Sekarang baru aku mahfum akan kebenaran hasil wawancaraku dengan beberapa rekan kerja dipanti. Sebagai atasan, Zaki memang hebat dan memperhatikan kesejahteraan pegawai. Pak Arya, Rasti, Agus dan Rusi, dulu hanya menyampaikan fakta. Bukan sekedar mengeluarkan pernyataan untuk membela atasan mereka. Aku sudah melihat buktinya didepan mataku. Melihat Zaki yang tertidur kelelahan disebelahku, bukankah sudah menunjukkan semua potensi dia yang sebenarnya? Keraguan apa yang harus kupertanyakan lagi?

Tanganku terulur begitu saja dan mengusap pelan rambutnya. Terasa begitu halus dan lembut di telapak tanganku. Dia mengeluarkan desahan pelan yang sedikit membuat hatiku mencelos dan cepat-cepat menarik tanganku.Untungnya dia tak terbangun. Hanya bergerak sedikit kemudian kembali pulas. Aku bangkit dengan berjingkat lalu menyelimuti tubuhnya. Ada baiknya mungkin kalau aku menyiapkan sarapan untuknya. Ada yang menjual bubur ayam hangat yang cukup lezat, tak begitu jauh dari kostan.

Aku keluar dari kamar perlahan.

Saat aku kembali dari warung bubur ayam, aku melihat mobil Zaki berhenti persis didepan pagar. Yang membuatku terbeliak adalah saat Mamah keluar dari mobil itu, diikuti oleh Asti. Bagaimana mereka bisa datang kesini dengan mobil Zaki coba?

"MAMAAAHHH!!" panggilku dan cepat-cepat menghampiri mereka. Mata Mamah langsung berbinar senang melihatku. Tak kulihat lagi beban masalah yang kukira akan ada disana. Hanya kebahagiaan seorang Ibu yang melihat anaknya yang telah sehat. Aku segera menyalami dan mencium tangan beliau.

"Sepertosna Aa the tos sehat ayeuna mah. Alhamdulillah atuh. Mamah teh hawatos ti kamari," kata Mamah dengan nada lega. (Kakak sepertinya sudah sehat sekarang. Syukurlah. Mamah cemas dari kemarin.)

"Alhamdulillah Mah," jawabku sembari tersenyum pada Asti yang segera mencium tanganku.

"Aa teh udur naon?" tanya Asti. (Aa sakit apa sih?)

Aku tersenyum dan mengusap kepalanya, "Ngan kecapean wungkul neng. Mamah, tadi teh Aa tos ngagaleuh bubur ayam. Mamah sareng Asti kedah nyoba. Antosan heula sakedap nya? Sakedap deui Aa balik kadieu," ujarku dan segera berbalik. (Mugkin hanya kecapean neng. Mamah, tadi Aa beli bubur ayam. Mamah dan Asti harus coba. Tunggu sebentar disini ya? Aa akan segera kembali)

"Eh A, sekanteunan pangmeserkeun oge kanggo Pak Adam nu nganteur Mamah kadieu," ujar Mamah membuat aku berbalik. Kulihat ada seseorang yang keluar dari mobil yang kemudian mengatakan sesuatu pada Mamah. Dan aku ingat orang itu. Pak Adam,  sopir keluarga Zaki yang biasanya mengantar Mommynya. Zaki sendiri jarang memakai jasa sopir. Kecuali aku tentunya. Mereka terlihat sedikit berdebat. Mamah terlihat mencoba untuk menahannya, tapi laki-laki segera masuk kemobil dan kemudian meluncur pergi. Keningku jadi sedikit berkerut. Aku kembali mendekat pada Mamah. (Eh A, sekalian belikan juga untuk Pak Adam yang nganter Mamah kesini.)

"Naha Mah?" tanyaku.

Mamah hanya mendesah, "Aa kedahna mah teu ningal kesumpingan Mamah sareng Pak Adam. Si kasep Zaki alim Aa terang kesumpingan Mamah kadieu dianteur ku supir kaluargana," jelas Mamah. (Aa seharusnya tak melihat kedatangan Mamah kesini dengan Pak Adam. Si Zaki tak ingin Aa tahu kedatangan Mamah kesini dianter oleh sopir keluarganya)
Sekali lagi, tenggorokanku terasa tercekat kembali, "Aa moal wawartos nanaon ka Zaki Mah," ujarku pelan. (Aa tak akan mengatakan apapun pada Zaki Mah)

Mamah hanya tersenyum mengerti,"Syukurlah umpami Aa ngartos Mah. Si Kasep Zaki teh budak bageur A. Aa kuduna bersyukur menang babaturan siga Zaki," kata Mamah yang disambut dengan anggukan Asti. (Syukurlah kalau Aa mengerti. Zaki anak yang baik A. Aa harusnya bersyukur bisa berteman dengannya.)

Aku menunduk dan segera berbalik setelah menyerahkan tas plastik berisi bubur ayam pada Asti, takut kalau aku akan benar-benar mewek dihadapan Mamah dan Asti, "Aa ngagaleuh bubur ayamna heula nya Mah?" pamitku tapi lalu teringat sesuatu dan kembali berbalik menghadap Mamah, "Dikamar aya Zaki Mah. Tadi waktos Aa kaluar mah, alirana nuju kulem," kataku dan pergi.(Aa beli bubur ayamnya dulu ya Mah? Di kamar ada Zaki. Tadi waktu Aa keluar, dia masih tidur)

Saat aku kembali, aku bisa mendengar suara Zaki yang sedang bercengkrama dengan Mamah dan Asti dari jarak 5 meter. Suara mereka yang terdengar santai dan akrab, untuk sejenak membuatku urung untuk masuk dan berhenti didepan pintu. Dengar itu! batinku. Orang seperti dia bisa ngobrol dengan syiknya dengan Mamah. Siapa sangka? Kukira dia hanya mau berbicara dengan mereka yang berasal dari kelas sosial yang sama. Aku bukan seorang penganut faham feodalisme, tapi terkadang Zaki memang terlihat seperti memiliki kelas sendiri. Mungkin itu karena wajah indo dan pekerjaannya yang memang sudah mapan untuk ukuran seorang mahasiswa. Atau mungkin karena dia dulunya tinggal di Australia, yang jelas-jelas memiliki kultur berbeda.

Aku menghela nafas dan kemudian membuka pintu. Zaki sedang duduk berhadapan dengan Mamah. Wajahnya sudah agak segar daripada kemarin. Tak ada sisa kantuk yang tersisa dari wajahnya yang kini terlihat ramah dan ceria. Hanya bayangan bekas cukuran di pipi, dagu dan atas bibirnya yang menunjukkan kalau dia belum berbenah pagi ini. Aku memang pernah melihat, kalau orang luar musti bercukur setiap hari. Sekarang aku tahu kenapa.

Sementara Asti duduk dengan santai disebelahnya. Satu tangan Zaki ada dibahu Asti, merangkulnya dengan santai. Aku menatap adik perempuanku itu dengan tajam. Sepertinya Asti mengerti, karena perlahan dia beringsut, sedikit menjauhkan diri.

"Tos dongkap A? Hayu atuh tuang sasareungan. Bilih si kasep Zaki jadi kelaparan," sambut Mamah. (Sudah datang A? 
Ayo kita segera sarapan bareng. Jangan sampai si Zaki jadi kelaperan.)

"Mah, please. Jangan berbicara dalam bahasa Sunda. I don't nderstand at all," rajuk Zaki membuat Mama terkekeh.

"Haduh, maaf  Kasep. Kebiasaan," ujar Mamah.

"Asti, tolong ambilkan sendok dan piring didapur ya?" pintaku. Tak perlu kukatakan dua kali. Asti langsung bangkit dari duduknya dan keluar. Dia sudah pernah datang kesini sebelumnya, jadi sudah tahu dimana barang-barangku berada. Dulu Mamah membekaliku dengan setengah lusin piring, gelas, sendok, garpu dan yang lainnya. Untuk mencegah Asti kembali ke posisinya tadi, aku segera duduk disebelah Zaki. Aku tahu Zaki menganggap Asti sebagai seorang adik. Namun toh tetap saja aku khawatir.

"You feel better?!" tanya Zaki sedikit berbisik dan sementara matanya melihat pada tas plastik yang kubawa.

"A lot better," jawabku pelan sembari meliriknya. Dia mengangkat sebelah alisnya mendengarku. Aku hanya nyengir kuda.   
Saat AstI datang, aku segera meraih piring yang dia bawa, lalu meletakkan satu bungkusan bubur diatasnya. Aku membuka bungkusan itu dan menyerahkannya pada Zaki setelah meletakkan sendok diatasnya.

"Porridge?" tanya Zaki melihat isi piringnya.

"Y-yeah, bubur ayam. Ada yang jual tak jauh dari sini. You should try it. It's good," kataku kembali hanya dengan meliriknya. Aku terlalu jengah untuk langsung bertatapan dengannya. Zaki hanya melihat bubur dipiringnya, tampak ragu. 

Akhirnya dia menyendoknya sedikit, dan memakannya. Aku, Mamah dan Asti diam, menunggu reaksinya.

"Kumaha Kasep? Eh, maksud Mamah teh gimana? Suka?" tanya Mamah.

"Enak Mah!" ujar Zaki beberapa saat kemudian dengan senyum terkembang, "Rasanya sedikit aneh. Gurih dan..... enak," katanya dan kembali menyendok buburnya. Kali ini sesendok penuh. Tanpa sadar aku menghembuskan nafas lega. Sebenarnya aku sedikit khawatir tadi. Mungkin Zaki terbiasa sarapan dengan menu yang berbeda. Jadi, aku sudah menyiapkan diri untuk mendengar protesnya.

Sarapan berlangsung dengan santai setelahnya. Zaki banyak ngobrol dengan Mamah dan Asti, sementara aku lebih suka menjadi pendengar. Sesekali aku ikut tersenyum dengan guyonan mereka. Sedikit merasa takjub dalam hati dengan mudahnya Zaki berinteraksi dengan keluargaku. Mungkin mereka tak tahu, tapi di kampus, Zaki hanya berhubungan hanya dengan golongan tertentu.

Tak berapa lama, terdengar suara pedagang sayur keliling yang biasa lewat didepan rumah, berteriak memanggil pelanggannya. Suara Ibu kostku menimpali selang beberapa detik kemudian.

"Aduhh!! Mumpung Ibu kostmu ada A. Mamah punya sedikit bingkisan untuknya. Kasep, sebentar ya? Mamah keluar dulu. Asti nanti tolong bawakan piring Mamah kebelakang. Sekalian dibersihkan ya?" ujar Mamah yang di iyakan oleh Asti. Mamahpun bangkit untuk meraih salah satu bungkusan yang tadi dibawanya lalu keluar.

Beberapa saat berikutnya, aku mendengar kikik geli Asti yang membuatku mendongak dan menoleh padanya. Asti tak menjawab, hanya menunjuk pada Zaki yang menatapnya bengong. Dia lalu berpaling padaku, dengan tatapan bego tak mengerti.

"What?" tanyanya bingung.

Aku hanya mampu tersenyum begitu tahu apa yang menyebabkan Asti terkikik geli. Zaki tak sadar mulutnya sedikit belepotan. Ada sedikit bubur yang tertinggal disudut atas bibir dan sedikit lagi di bawah bibirnya. Aku sudah mencoba menahan diri, tapi akhirnya ikutan tertawa kecil dengan ekspresi bingung Zaki yang konyol.

"What's so funny?" tanyanya lagi dengan kerutan yang makin dalam dikeningnya.

Asti yang tak tahan memilih cepat-cepat bangkit sembari membawa piring kotornya dan milik Mamah tadi, masih dengan terkikik geli. Zaki hanya mampu mengikuti dengan pandangan herannya.

"What? Tell me?!" pintanya sedikit kesal.

Sebelum aku mampu menahan diri, tanganku terulur menyentuh wajahnya. Kuusap sedikit sisa bubur yang ada diatas dan bawah bibirnya dengan jempolku. Hanya beberapa detik kemudian, aku baru menyadari apa yang aku lakukan.

Waktu seolah-olah membeku disaat itu juga. Tangan kananku masih menempel didagunya, sementara jempolku berhenti tepat dibawah bibirnya yang merah. Baik aku ataupun Zaki saat itu jadi terdiam. Tak tahu harus bagaimana. Mataku terpaku pada tanganku yang menempel diwajahnya, lalu perlahan merayap naik dan berhenti di matanya. Zaki menatapku dengan takjub dan keheranan yang luar biasa.

Ketika matanya berkedip sekali, baru aku mampu menyadarkan diri dan dengan segera menarik tanganku darinya. GILAAAAAA!!!!!! batinku panik. Sementara Zaki yang juga jadi salah tingkah berdehem pelan. Dia menarik wajahnya dan mengusap bagian wajahnya yang tersentuh olehku tadi.

"Eeeuuhh..... I'm a..."

"M-maaf. Ta-tadi ada sisa bubur dan... "

"Oh yeah! Sure!"sahut Zaki cepat. Dan aku berani bersumpah kalau wajahnya memerah. Kulitnya yang putih membuatnya terlihat jelas. "Jadi....."

"A-aku akan membawa piring kotornya kebelakang. Kau sudah selesai kan?" tanyaku dan bangkit tanpa melihatnya langsung.

"What? I mean, yeah! Please," jawab Zaki.

Aku segera meraih piringnya dan buru-buru pergi dari kamarku yang tiba-tiba saja terasa sempit dan menyesakkan.






ZAKI




Sore itu, kami mengantar Mamah dan Asti hingga ke depan gerbang. Sudah ada taksi yang menunggu mereka disana. Sebenarnya aku sudah meminta Pak Adam untuk mengantar, tapi Mamah bilang kalau beliau merasa segan untuk merepotkan sopirku itu lagi. Lagipula, dia pasti capek. Aku mengalah. Tapi saat mereka bilang kalau mereka akan naik Bus untuk balik ke Majalengka, aku langsung protes keras. Mana bisa aku membiarkan mereka berdesakan di kendaraan umum. Jadi dengan sedikit memaksa, aku menyediakan taksi untuk kendaraan mereka pulang.

"Aa baik-baik aja ya? Jaga diri dan kesehatan," pesan Mamah pada Regha. Dia hanya menjawabnya dengan anggukan. Mamah lalu berpaling padaku. Beliau seperti hendak mengatakan sesuatu, namun akhirnya urung. Beliau kemudian hanya tersenyum dan memegang lengan atasku, "Kamu juga ya Kasep. Jaga diri dan..... jaga Aa untuk Mamah. Dan.......... terimakasih untuk semuanya," ujar Mamah

"Pasti Mah," jawabku sembari tersenyum.

"A Zaki maen lagi ya ke Majalengka," cetus Asti dengan mulut sedikit cemberut. Sebenarnya tadi dia minta untuk menginap di Bandung, tapi dengan tegas Mamah mengatakan bahwa di rumah, banyak sekali hal yang harus dibereskan. 

Asti tak bisa membantahnya. Tapi bukan berarti dia senang. Ekspresi yang dia tunjukkan sekarang dengan jelas menunjukkan hal itu.

Aku tertawa kecil dan memeluknya dari samping, "Sure. As soon as I can," jawabku dan mengusap kepalanya dengan gemas.

"Mamah pamit ya A, Zaki? Assalamu'alaikum," kata Mamah yang segera masuk kedalam taksi. Kami berdiri diam disana hingga mobil itu lenyap dari pandangan.

Aku lalu berpaling pada Regha yang berdiri diam disebelahku. Dia masih menatap ke arah menghilangnya taksi yang membawa Mamah tadi dengan pandangan menerawang seolah-olah dia sebenarnya ingin ikut dengan mereka. Mungkin memang seperti itu kenyataannya. Ikatan mereka sebagai keluarga memang lain daripada ikatan antara aku dan Mommy. Regha tentu saja ingin berada bersama keluarganya saat ini, karena mereka baru saja tertimpa musibah.

Sejenak aku hanya diam, memandangnya. Melihat bagaimana rambut yang sedikit berkibar ditiup angin sore, "Are you okay?" tanyaku pelan.

Regha seolah-olah baru menyadari keberadaanku. Dia berpaling padaku, namun dengan cepat menunduk dengan wajah 
yang sedikit merona, "Aku baik-baik saja. Terimakasih," jawabnya tanpa melihatku.

"Are you sure?" tanyaku lagi dan mengulurkan tanganku untuk menyentuh dahinya. Yang mengagetkanku, Regha sontak mundur seolah-olah tersengat aliran listrik mendadak. Aku sempat termangu bengong, bingung untuk bersikap bagaimana menghadapi reaksinya tadi. Memangnya apa yang aku lakukan tadi sih? pikirku bingung.

"M-maaf," gumam Regha pelan.

"W-what? What did I do?" tanyaku.

"No-nothing. A-aku tadi hanya sedikit kaget," tukasnya dan buru-buru berbalik untuk kembali kekamarnya.

"HEI!!! WAIT!!!" seruku dan mengikutinya, "Aku tadi hanya ingin memriksa keadaanmu. Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan," jelasku.

"Aku tahu," jawab Regha, "....cuma kaget kok. Aku akan bersiap-siap. Tunggu sebentar ok?" katanya lagi lalu masuk ke kamarnya.

"Bersiap-siap? Maksudmu?" tanyaku lagi dan segera mengikutinya.

"Ke rumahmu. Kamu menyusulku untuk kesana kan? Aku nggak akan bolos kerja kok," ujarnya santai sembari memasukan laptopnya.

"What?!!! Kamu mau kerja? Jangan bodoh!" sentakku kesal, "Kamu sakit! Kamu pikir aku akan menyuruhmu bekerja meski tahu kamu sakit? Kamu pikir aku apa?!!!"

"Bu-bukan itu maksudku. Aku hanya.............." dia tak mampu meneruskan kalimatnya.

Aku menghembuskan nafas kesal melihatnya, "Kamu diam saja disini. Pulihkan diri. Kau boleh kerumah kalau sudah benar-benar sehat," ujarku cepat. Aku segera keluar untuk pergi dari sana. Gila aja! Masa sih aku maksa orang yang jelas-jelas sakit untuk masuk kerja? Emang Regha pikir aku orang yang gimana??! Diktaktor gila? God!! Kenapa aku harus kesal seperti ini dengan komentar Regha tadi sih??!!!! pikirku bingung.



RIZKY



Aku menutup hapeku. Regha telah mengatakan bahwa keadaannya sudah membaik. Dia juga tadi telah membenarkan bahwa tadi Ibunya datang. Setidaknya cowok tengil itu tidak berbohong tentang hal itu. Regha juga meminta maaf atas kelakuan Zaki yang dia bilang keterlaluan. Keterlaluan? batinku sedikit sinis. Zaki sudah jauh melampaui batas. Dia dengan jelas sudah mengancamku kemarin. Kalau saja tak ingat situasi dan tempat, aku sudah melayangkan bogemku. Mungkin benar kata Regha kalau cowok tengil itu memang seorang megalomaniak sinting akut!
Aku membuka ruang kerja dan menemukan ruangan itu kosong. Sepertinya mereka sedang keluar. Pasien hari ini tidak terlalu ramai, jadi mungkin Ferdy dan yang lain sedang berada di kantin. Kebetulan. Aku membutuhkan ketenangan. Jadi mungkin aku akan tetap disini saja sembari berjaga. Kalau kalau saja ada pasien dadakan yang masuk. Aku bergumam pelan menuju mejaku. Sedikit mengerutkan kening saat kulihat ada sebuah novel yang tergeletak diatas meja. Aku mengambilnya.

Novel itu karya penulis wanita yang juga bergerak dalam bidang kesehatan sepertiku. Beberapa karyanya telah difilmkan. Atau dibuat bentuk sinetronnya. Aku pernah membaca satu atau dua karyanya. Bukan tipe bacaan favoritku. Karya-karyanya terlalu drama untukku. Untuk novel, aku lebih suka bacaan yang mengandung unsur thriller atau komedi. Karya Raditya Dika lebih menghibur bagiku. Atau karya dari Dan Brown, Sidney Sheldon juga cerita makhluk supranatural karya Anne Rice. Meski hampir semua karya penulis sukses cerita vampir itu alurnya lambat. Tapi cara dia membangun karakter 
dan konflik cukup mengesankanku.

"Oh! Dokter Rizky!" sergahan sedikit kaget itu berasal dari Devan yang tiba-tiba muncul didepan pintu.

"Ada apa Dev? Pasien?" tanyaku singkat sembari meletakkan novel yang tadi kupegang.

"Tidak ada, Dok. Saya hanya..........." dia tidak meneruskan kalimatnya dan justru melihat pada novel diatas mejaku, "Dokter Rizky suka penulis itu?" tanyanya.

"Novel ini?" tunjukku yang dijawabnya dengan anggukan, "Tidak! Itu bukan novelku. Aku tak terlalu suka dengan penulis itu," jawabku singkat.

"Ini novel saya Dok," sahutnya dan perlahan maju untuk mengambil novelnya, "Kenapa nggak suka Dok?" tanya Devan lagi.

"Karena menurutku tulisannya terlalu cengeng dan mendramatisir," sahutku singkat. Ekspresi wajahnya sedikit berubah, membuatku agak menyesal telah mengatakan hal tadi, "Maaf. Itu hanya pendapatku. Kau bebas untuk menyukai penulis manapun. Aku bukan seorang ahli yang pendapatnya akurat dan penting dalam dunia sastra," ralatku lagi.

Devan menggeleng, "Nggak papa kok Dok. Namanya aja beda kepala. Pasti beda selera. Kalau boleh tahu, novel seperti apa yang Dokter Rizky baca?" tanyanya.

Aku semula malas melayani Devan yang jelas-jelas mencoba menjalin percakapan denganku. Aku tahu dan sadar betul, bahwa dia gay. Cara dia melihat dan berbicara denganku atau Ferdy sudah menunjukkannya. Tapi aku juga tahu, bahwa bukan sifat Devan untuk berani mencoba membina sebuah percakapan seperti ini. Aku yakin, dia harus berusaha untuk melakukannya. Kecanggungan dan kekikukannya jelas terasa. Aku lalu tersenyum dan mempersilahkannya untuk duduk dikursi yang ada didepan mejaku.

"Macam-macam, Dev," sahutku memulai sembari tersenyum padanya yang duduk, "Aku baca hampir semua karya Dan Brown. Juga punya beberapa karya Sidney Sheldon dan juga John Grisham. Kemarin aku baru menyelesaikan The Associate karyanya. Dan aku juga punya Interview with The Vampire dan juga Queen of The Damned-nya Anne Rice. Pernah baca?" tanyaku.

"Enggak Dok! Nggak bisa baca novel dalam bahasa Inggris," sahutnya.

"Oh, semua buku yang kusebutkan tadi sudah ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Coba saja kamu cari. Aku paling suka karya Anne Rice tadi. Dia penulis yang kadang berani mengangkat tema mistis, tapi terasa natural. Pandangannya tentang romantisme juga cukup mengejutkan. Dalam novel Interview with The Vampire dan Queen of The Damned, dia menggambarkan romantisme antara tokohnya dengan ringan. Hebatnya, tokoh-tokohnya, yang kebanyakan makhluk supranatural,digambarkan tidak memiliki batasan yang lazim dalam mencintai. Banyak diantara tokoh-tokoh karyanya yang mencintai sesama jenis. Seperti Lois yang jatuh cinta pada Armand. Armand sendiri malah jatuh cinta pada reporter pria yang menemukannya, yang akhirnya dia rubah menjadi vampir juga. Konflik yang diangkat oleh Anne Rice lebih pada konflik pemahaman diri dari sang tokoh. Bukan ketidak laziman hubungan yang terjalin antara dua tokoh yang berjenis kelamin sama. Berbeda dengan novel anak negeri kita yang mungkin lebih mengupas tentang drama cinta itu sendiri."

Devan terdiam sejenak, sedikit tertunduk, "Dokter Rizky............. tidak bermasalah dengan cinta yang seperti itu?" tanyanya agak ragu.

Aku tersenyum, tahu bahwa hal itu yang akan dibahasnya, "Cinta sesama jenis? Tidak! Dan kaupun seharusnya tidak. Karena kau tidak salah. Apa yang kau rasakan sekarang, banyak dialami oleh orang lain," jawabku.

Devan mengangkat wajahnya, kaget.

"Aku tahu kau gay," sahutku langsung.

Dia kembali terdiam, kali ini wajahnya sedikit memucat.

"Dan aku tahu kalau hal itu terkadang yang membuatmu minder, rendah diri dan sering menjauh dari pergaulan. Dari semua perawat yang ada di departemen kita, hanya kau sendiri yang jarang nimbrung ataupun mengakrabkan diri," lanjutku.

"Tapi.......... apa yang saya rasakan ini bertentangan dengan ajaran yang saya anut, Dok. Dialog dengan Dokter Ferdy kemaren memang sedikit memberikan ketenangan dalam hati saya. Namun............ hal itu hanya sementara saja. Karena fakta yang saya hadapi setiap harinya berbeda," katanya dengan nada lirih dan sedikit serak, "Dunia nyata bukan fiksi yang kita baca dalam cerpen. Ataupun situasi yang cukup kita diskusikan. Dalam dunia nyata, ada banyak hal dan pertimbangan yang harus kita pikirkan. Ada begitu banyak faktor yang menghalangi kita. Diri kita sendiri, keluarga, lingkungan hingga 
ajaran kita memiliki alasan dan peran sendiri."

"Tak akan ada habisnya kalau kau membahas soal masalah dan halangan!" potongku tegas, "Siapapun memiliki halangan. Masalah akan selalu ada dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dalam tingkatan apapun. Tergantung bagaimana kau menyikapinya. Bagaimana, seperti apa danakan jadi apa hidupmu, kau yang memutuskan. Bukan lingkungan ataupun keluargamu. Kalau kau biarkan mereka mendiktemu, kau hanya akan hidup untuk menyenangkan orang lain. Saat hidupmu gagal, dan tidak bahagia, kau hanya akan menjadi orang yang getir dan bisanya menyalahkan orang lain. Kau mau hidup 
dalam penyesalan yang diakibatkan oleh doktrin yang ditanamkan oleh orang lain?" tanyaku dengan geram.

Devan terlihat sedikit memucat dan menggeleng kepala, tampak agak takut.


"KALAU BEGITU BERHENTI MENGELUH DAN MEN JADI ORANG YANG CENGENG!!" bentakku sedikit keras, "Jangan menjadi lelaki lemah dan cengeng, karena hidup hanya akan menggilasmu! Jadilah orang yang kuat! Peduli setan dengan orang-orang yang disekelilingmu! Hidupmu tidak tergantung pada mereka. Kau hidup dan makan dengan kemampuanmu. Tetap berbakti pada orang tuamu. Penuhi kewajibanmu sebagai anak, tapi kebahagiaanmu, adalah hakmu sendiri. Dan kau yang menentukannya! Bukan mereka. Dosamupun kau yang menanggungnya. Bukan manusia-manusia sok suci diluar sana yang sibuk menuding dan memberi label pada orang-orang sepertimu, tanpa peduli dosa apa yang mereka miliki! Jadi biarkan urusan dosa itu menjadi milikmu dan Tuhanmu! Karena kau sendiri yang jadi pemandu dan penentu kehidupanmu. KAU!!!! BUKAN ORANG LAIN!!!"

Nafasku jadi terengah tanpa kusadari. Kontrolku sudah tak berfungsi sejak beberapa menit tadi. Dan baru kusadari pula bahwa aku telah berdiri dan  berteriak dengan lantang pada Devan yang kini duduk pucat dihadapanku. Aku tak merencanakan untuk membentaknya. Tapi melihatnya sebagai sosok yang lemah dan pasrah membuatku kesal. Seakan-akan aku melihat diriku sendiri dalam posisinya. Lemah tak berdaya dan hanya mampu menerima apa yang dihadapkan oleh kehidupan padaku.

SIAL!!!!!

Aku memejamkan mataku dan kembali duduk, menyandarkan punggungku dikursi dan mencoba mengatur nafas, menenangkan diri. Aku baru membuka mata saat aku sudah bisa menguasai emosiku. Devan masih terdiam kaget ditempatnya. Aku mencoba untuk tersenyum, sedikit mencairkan suasana yang mulai menegang, "Maaf. Aku agak terlalu keras, tapi............ aku tak tahan dengan kepasifan dan sikap lemah yang kau tunjukkan. Jangan Dev. Jadilah pribadi yang kuat dan tegar sehingga para penghujat yang ada diluar sana tak bisa menggilasmu. Tunjukkan pada mereka kalau kau memiliki kekuatan dan potensi yang lebih dari mereka. Kau...  sama berharganya dengan orang-orang itu. Moralitas dan kualitas seseorang tidak hanya ditentukan dengan siapa mereka tidur. Ingat itu. Kau paham?"

Devan mengangguk dengan gerakan patah-patah.

Aku tersenyum melihatnya, "Dan kalau tidak keberatan..... bisa tinggalkan aku sendiri sebentar?" pintaku.
Tanpa berkata apa-apa lagi devn bangkit dan nmelangkah pergi. Tapi dia berhenti melangkah saat hendak mencapai pintu, 

"Dokter....... maaf kalau terdengar lancang, tapi apakah Dokter juga.......?" dia menggantungkan kalimatnya disana. Dan aku 
mengerti maksud dari pertanyaannya itu tanpa diselesaikannya.

"Ya! Aku juga!" jawabku singkat.

Devan sedikit tertegun dengan jawabanku yang lugas, "Dan Dokter Ferdy...."

"Aku tak memiliki hak untuk menjawab itu Dev," potongku tegas.

Dia sedikit tersipu dengan jawabanku, "Maaf Dok. Saya permisi," pamitnya dan menghilang. Begitu dia hilang, aku kembali menyandarkan punggungku dan memejamkan mata. Bertanya pada diri sendiri, kenapa aku melakukan semua ini.

"Kau menujukan kalimat tadi untuk Devan atau dirimu sendiri?"

Aku sedikit kaget dengan suara pelan Ferdy yang tahu-tahu ada didepan pintu. Aku yang tadi refleks membuka mata hanya mendengus dan kembali memejamkan mataku. Bahkan kali ini aku menekannya dengan kedua tanganku.

"Kalau mendengar kalimat tadi, kenapa akuu merasa kalau kau lebih menujukan semuanya itu pada dirimu sendiri?" tanyanya yang terdengar semakin dekat. Beberapa detik kemudian, kursi didepan mejaku sedikit mengeluarkan suara saat Ferdy mendudukinya. Hebat! Rupanya tindakanku mengacuhkan pertanyaannya tadi belum cukup sebagai tanda! batinku sedikit kesal.

"Kalau kau mengerti, maka tak perlu ditanyakan lagi kan?"  jawabku masih dengan posisi yang sama.

"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri Ky," ujar Ferdy, "Kau dan aku sama-sama tahu bahwa ada beberapa hal yang tak bisa kita ubah disini."

"Kali ini aku membuka mataku dan menatapnya tanpa menyembunyikan kekesalanku, "Ada yang ingin kau tambahkan?" tanyaku lagi.

Ferdy hanya menatapku dengan tatapan sedih kemudian menggeleng. Sedikit mengherankanku karena bukan itu reaksi yang kuduga. Dia juga tampak kelelahan. Bahkan kalau aku tak salah ingat, beberapa hari terakhir, Ferdy memang terlihat selalu kelelahan. Seakan-akan dia kurang beristirahat. Padahal kami memiliki jam yang sama, dan aku tahu pasti kalau dia memiliki waktu tidur yang hampir  sama denganku. Namun entah mengapa,  dia terlihat payah.

"Kau sakit?" tanyaku dan bangkit.

"Huh? Apa?"  tanya Ferdy bingung.

Aku tak menjawabnya, tapi aku meraba dahinya. Suhunya cukup normal, "Bagaimana istirahatmu akhir-akhir ini?" tanyaku dan meneliti wajahnya.

"Kamu sedang memeriksa aku?" tanyanya sedikit geli, sayangnya bahkan senyum yang ia sunggingkan itu tidak bisa menyembunyikan gurat kelelahan diwajahnya.

"Jawab saja!" ujarku singkat.

"Aku baik-baik saja," jawabnya sedikit salah tingkah.

"Yang aku tanyakan adalah bagaimana tidurmu akhir-akhir ini," tegurku lalu kembali duduk dikursiku.

"Biasa saja. Kenapa?" tanya Ferdy lagi.

"Kalau kau mau melihat cermin, mungkin kau akan paham kenapa aku menanyakannya. Ada kantung mata dan warna kehitaman di. bawah matamu. Akhir-akhir ini kau terlihat kelelahan. Padahal aku tahu persis kalau beberapa hari terakhir, kita tak begitu banyak tugas. Apa yang mengganggumu?" tanyaku langsung.

Ferdy menghela nafas panjang, "Ada sedikit masalah keluarga," jelasnya pelan setelah terdiam beberapa saat. Jelas dia tak ingin membicarakannya lebih lanjut.

"Ada yang bisa ku lakukan?" tanyaku akhirnya setelah berpikir beberapa saat.

Kali ini dia menggeleng dan tersenyum tipis, "Kali ini tak ada seorangpun yang bisa membantuku, hanya aku sendiri," jawabnya.

"Dengar Fer, mungkin kita tidak memiliki ikatan yang khusus. Tapi setidaknya kita pernah dekat. Sudah sewajarnya kalau aku menawarkan bantuanku. Aku serius dan.."

"Aku paham dan berterimakasih," potong Ferdy cepat, "..... tapi seperti yang aku katakan tadi, tak ada yang bisa kau lakukan. Jangan khawatir. Aku tak apa-apa kok," lanjutnya lagi dan melangkah pergi. Lebih dari 15 menit setelah kepergiannya, aku masih terdiam ditempatku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar