REGHA
Saat mataku terbuka, aku masih merasa lemas, meski
jauh lebih baik kalau dibandingkan kemarin, saat tubuhku serasa habis digebukin
orang sekampung. Meski lemas, aku merasa mendingan. Dari sudut mataku, aku
melihat ada bayangan gelap yang baru kemudian aku sadari adalah kepala Zaki.
Dia duduk tertidur dengan kepala yang terbaring disebelah kepalaku. Dan
tangannya juga masih ada dalam pelukanku. Perlahan sekali, agar tak
mengusiknya, aku melepas lengan Zaki, kemudian bangkit duduk, memandanginya.
Matanya yang terpejam tampak tenang. Bulu matanya
yang tebal dan lentik berjejer rapi seperti susunan kawat halus. Membuatku
ingin mengusapnya. Hidung bangirnya yang jauh lebih mancung dari ukuran orang
pribumi, tinggi dengan tulangnya yang lurus cukup membuatku iri. Lalu bibirnya.
Bibir yang ku ingat bisa jadi jauh lebih memerah dan basah dari sekarang.
Apalagi kalau dia sudah menyantap masakan pedas, seperti yang dimasakkan oleh
Mamah. Ekspresi wajahnya yang terlelap sekarang begitu tenang, lembut dan
nyaris angelic. Rangkuman singkatnya, dia memang sosok menawan dan
pantas menjadi bahan gunjingan mahasiswi sekampus. Oplah bulletin kampus yang
membahas profilnya, memecahkan rekor terlaris dibandingkan edisi yang membahas
pemenang mahasiswa terkeren lainnya. Dengan fisik dan strata sosialnya, itu
bukan hal yang aneh. Andai saja mereka tahu, kalau Zaki bernilai lebih dari
sekedar fisik dan kelas sosial yang tinggi saja. Dia lebih dari itu.
Kepeduliannya dengan orang lain cukup untuk dijadikan teladan.
....................
WAOOWW!!!
Kalau beberapa waktu kemarin ada yang mengatakan hal
itu didepanku, aku pasti sudah mencibir sinis dan mengeluarkan berbagai macam
alasan atau dalih. Berusaha membuktikan, kalau Zaki, tak lebih dari seorang
cowok sengak, sinting dan pengidap megalomaniak akut. Fisiknya tak lebih dari
sekedar bungkus luar yang dangkal dan tak berarti.
Tapi sekarang................ bagaimana aku bisa
mengatakan semua itu setelah apa yang dia lakukan padaku dan keluargaku.
Yeah........ aku tahu apa yang telah dia lakukan.
Aku mendengar semua pembicaraannya dengan Regi dan Vivi. Saat Vivi keluar dari
kamar, aku sudah terbangun. Karena penasaran dengan suara agak ribut-ribut
diluar, aku bangkit meski tubuhku luar biasa lemas dan kepalaku sedikit
berdenyut. Aku yang telah membuka pintu kamar dan hendak keluar jadi urung saat
mendengar pembicaraan mereka.
Zaki baru kembali dari Majalengka. Dengan kata lain,
dia tahu apa yang terjadi pada keluargaku disana. Aku langsung mencari hape ku
dan mengirim sms singkat ke Agus. Menanyakan keadaan rumah, memastikan bahwa
semua baik-baik saja disana. Bahwa Zaki datang dan membantu Abah. Agus
membenarkan semuanya. Aku kemudian hanya memintanya untuk tak mengatakan apapun
tentang sms pada yang lain. Aku diliputi perasaan lega luar biasa seketika.
Perasaan yang terasa nyaris mustahil kurasakan beberapa hari kemarin
Mereka tak apa-apa. Semua baik-baik
saja. Abah tak akan kehilangan sawahnya. Semua karena Zaki. Baik-baik saja! batinku
berulang kali. Akhirnya aku kembali berbaring dan memejamkan mata. Hanya selang
beberapa detik kemudian, Zaki dan yang lain masuk. Aku berpura-pura tidur. Tapi
saat aku dengar kalau Vivi dan Regi hendak pulang, akupun membuka mata.
Setidaknya aku harus mengucapkan terimakasih pada mereka berdua. Mereka
benar-benar memiliki kualitas seorang teman sejati. Aku beruntung memiliki keduanya.
Ada canggung yang menyelimuti saat Vivi dan Regi
telah pergi. Dan saat Zaki duduk disebelahku, kudengar dia mengeluarkan suara
erangan pelan, membuatku menoleh padanya. Saat itulah aku bisa melihat dengan
jelas keletihan di wajahnya. Kalau aku ingat, pagi tadi dia masih ada disini.
Kalau memang dia kembali dari Majalengka, itu berarti dia melakukan pejalanan
bolak-balik langsung. Wajar saja kalau dia kelelahan.
Saat itu tenggorokanku terasa tercekik. Gumpalan
yang ada disana membuatku tak mampu menahan diri. Bagaimana tidak. Dia yang
kukira hanya bisa bersikap sinis dan menyiksaku, ternyata mau bersusah payah
membantu kesulitan yang dialami keluargaku. Dan meski lelah, dia tetap berada
disini, bersamaku. Bahkan setelah semua hal jelek yang kukatakan tentangnya.
Kalau aku mau mengingat, dia telah melakukan banyak hal untukku. Memberiku
pekerjaan, merayakan ulang tahunku, dan sekarang............................
Kuraih lengannya dan kupeluk didadaku kupeluk. Aku
tak tahu harus bagaimana mengungkapkan rasa terimakasihku atas apa yang dia
lakukan. Aku hanya mampu memeluk lengannya dengan erat sembari menggumamkan
ucapan terimakasih berulang kali, tanpa dapat menahan airmataku yang mengalir.
Dia yang kemudian mencoba menenangkanku dengan mengusap rambutku dan berbisik
bahwa semua baik-baik saja. Bahwa dia tak akan meninggalkanku. Hal itu justru
semakin membuatku merasa cengeng. Hingga akhirnya memberikan ciuman dikepalaku
yang terasa seperti suntikan obat bius yang menenangkan.
Dan akhirnya, akupun terlelap.
Sekarang baru aku mahfum akan kebenaran hasil
wawancaraku dengan beberapa rekan kerja dipanti. Sebagai atasan, Zaki memang
hebat dan memperhatikan kesejahteraan pegawai. Pak Arya, Rasti, Agus dan Rusi,
dulu hanya menyampaikan fakta. Bukan sekedar mengeluarkan pernyataan untuk
membela atasan mereka. Aku sudah melihat buktinya didepan mataku. Melihat Zaki
yang tertidur kelelahan disebelahku, bukankah sudah menunjukkan semua potensi
dia yang sebenarnya? Keraguan apa yang harus kupertanyakan lagi?
Tanganku terulur begitu saja dan mengusap pelan
rambutnya. Terasa begitu halus dan lembut di telapak tanganku. Dia mengeluarkan
desahan pelan yang sedikit membuat hatiku mencelos dan cepat-cepat menarik
tanganku.Untungnya dia tak terbangun. Hanya bergerak sedikit kemudian kembali
pulas. Aku bangkit dengan berjingkat lalu menyelimuti tubuhnya. Ada baiknya
mungkin kalau aku menyiapkan sarapan untuknya. Ada yang menjual bubur ayam
hangat yang cukup lezat, tak begitu jauh dari kostan.
Aku keluar dari kamar perlahan.
Saat aku kembali dari warung bubur ayam, aku melihat
mobil Zaki berhenti persis didepan pagar. Yang membuatku terbeliak adalah saat
Mamah keluar dari mobil itu, diikuti oleh Asti. Bagaimana mereka bisa datang
kesini dengan mobil Zaki coba?
"MAMAAAHHH!!" panggilku dan cepat-cepat
menghampiri mereka. Mata Mamah langsung berbinar senang melihatku. Tak kulihat
lagi beban masalah yang kukira akan ada disana. Hanya kebahagiaan seorang Ibu
yang melihat anaknya yang telah sehat. Aku segera menyalami dan mencium tangan
beliau.
"Sepertosna Aa the tos sehat ayeuna mah.
Alhamdulillah atuh. Mamah teh hawatos ti kamari," kata Mamah dengan nada
lega. (Kakak sepertinya sudah sehat sekarang. Syukurlah. Mamah cemas dari
kemarin.)
"Alhamdulillah Mah," jawabku sembari
tersenyum pada Asti yang segera mencium tanganku.
"Aa teh udur naon?" tanya Asti. (Aa sakit
apa sih?)
Aku tersenyum dan mengusap kepalanya, "Ngan
kecapean wungkul neng. Mamah, tadi teh Aa tos ngagaleuh bubur ayam. Mamah
sareng Asti kedah nyoba. Antosan heula sakedap nya? Sakedap deui Aa balik
kadieu," ujarku dan segera berbalik. (Mugkin hanya kecapean neng. Mamah,
tadi Aa beli bubur ayam. Mamah dan Asti harus coba. Tunggu sebentar disini ya?
Aa akan segera kembali)
"Eh A, sekanteunan pangmeserkeun oge kanggo Pak
Adam nu nganteur Mamah kadieu," ujar Mamah membuat aku berbalik. Kulihat
ada seseorang yang keluar dari mobil yang kemudian mengatakan sesuatu pada
Mamah. Dan aku ingat orang itu. Pak Adam,
sopir keluarga Zaki yang biasanya mengantar Mommynya. Zaki sendiri
jarang memakai jasa sopir. Kecuali aku tentunya. Mereka terlihat sedikit
berdebat. Mamah terlihat mencoba untuk menahannya, tapi laki-laki segera masuk
kemobil dan kemudian meluncur pergi. Keningku jadi sedikit berkerut. Aku
kembali mendekat pada Mamah. (Eh A, sekalian belikan juga untuk Pak Adam yang
nganter Mamah kesini.)
"Naha Mah?" tanyaku.
Mamah hanya mendesah, "Aa kedahna mah teu
ningal kesumpingan Mamah sareng Pak Adam. Si kasep Zaki alim Aa terang
kesumpingan Mamah kadieu dianteur ku supir kaluargana," jelas Mamah. (Aa
seharusnya tak melihat kedatangan Mamah kesini dengan Pak Adam. Si Zaki tak
ingin Aa tahu kedatangan Mamah kesini dianter oleh sopir keluarganya)
Sekali lagi, tenggorokanku terasa tercekat kembali,
"Aa moal wawartos nanaon ka Zaki Mah," ujarku pelan. (Aa tak akan
mengatakan apapun pada Zaki Mah)
Mamah hanya tersenyum mengerti,"Syukurlah
umpami Aa ngartos Mah. Si Kasep Zaki teh budak bageur A. Aa kuduna bersyukur
menang babaturan siga Zaki," kata Mamah yang disambut dengan anggukan
Asti. (Syukurlah kalau Aa mengerti. Zaki anak yang baik A. Aa harusnya
bersyukur bisa berteman dengannya.)
Aku menunduk dan segera berbalik setelah menyerahkan
tas plastik berisi bubur ayam pada Asti, takut kalau aku akan benar-benar mewek
dihadapan Mamah dan Asti, "Aa ngagaleuh bubur ayamna heula nya Mah?"
pamitku tapi lalu teringat sesuatu dan kembali berbalik menghadap Mamah,
"Dikamar aya Zaki Mah. Tadi waktos Aa kaluar mah, alirana nuju
kulem," kataku dan pergi.(Aa beli bubur ayamnya dulu ya Mah? Di kamar ada
Zaki. Tadi waktu Aa keluar, dia masih tidur)
Saat aku kembali, aku bisa mendengar suara Zaki yang
sedang bercengkrama dengan Mamah dan Asti dari jarak 5 meter. Suara mereka yang
terdengar santai dan akrab, untuk sejenak membuatku urung untuk masuk dan
berhenti didepan pintu. Dengar itu! batinku. Orang seperti dia bisa
ngobrol dengan syiknya dengan Mamah. Siapa sangka? Kukira dia hanya mau
berbicara dengan mereka yang berasal dari kelas sosial yang sama. Aku bukan
seorang penganut faham feodalisme, tapi terkadang Zaki memang terlihat seperti
memiliki kelas sendiri. Mungkin itu karena wajah indo dan pekerjaannya yang
memang sudah mapan untuk ukuran seorang mahasiswa. Atau mungkin karena dia
dulunya tinggal di Australia, yang jelas-jelas memiliki kultur berbeda.
Aku menghela nafas dan kemudian membuka pintu. Zaki
sedang duduk berhadapan dengan Mamah. Wajahnya sudah agak segar daripada
kemarin. Tak ada sisa kantuk yang tersisa dari wajahnya yang kini terlihat
ramah dan ceria. Hanya bayangan bekas cukuran di pipi, dagu dan atas bibirnya
yang menunjukkan kalau dia belum berbenah pagi ini. Aku memang pernah melihat,
kalau orang luar musti bercukur setiap hari. Sekarang aku tahu kenapa.
Sementara Asti duduk dengan santai disebelahnya.
Satu tangan Zaki ada dibahu Asti, merangkulnya dengan santai. Aku menatap adik
perempuanku itu dengan tajam. Sepertinya Asti mengerti, karena perlahan dia
beringsut, sedikit menjauhkan diri.
"Tos dongkap A? Hayu atuh tuang sasareungan.
Bilih si kasep Zaki jadi kelaparan," sambut Mamah. (Sudah datang A?
Ayo
kita segera sarapan bareng. Jangan sampai si Zaki jadi kelaperan.)
"Mah, please. Jangan berbicara dalam
bahasa Sunda. I don't nderstand at all," rajuk Zaki membuat Mama
terkekeh.
"Haduh, maaf
Kasep. Kebiasaan," ujar Mamah.
"Asti, tolong ambilkan sendok dan piring
didapur ya?" pintaku. Tak perlu kukatakan dua kali. Asti langsung bangkit
dari duduknya dan keluar. Dia sudah pernah datang kesini sebelumnya, jadi sudah
tahu dimana barang-barangku berada. Dulu Mamah membekaliku dengan setengah
lusin piring, gelas, sendok, garpu dan yang lainnya. Untuk mencegah Asti
kembali ke posisinya tadi, aku segera duduk disebelah Zaki. Aku tahu Zaki
menganggap Asti sebagai seorang adik. Namun toh tetap saja aku khawatir.
"You feel better?!" tanya Zaki
sedikit berbisik dan sementara matanya melihat pada tas plastik yang kubawa.
"A lot better," jawabku pelan
sembari meliriknya. Dia mengangkat sebelah alisnya mendengarku. Aku hanya
nyengir kuda.
Saat AstI datang, aku
segera meraih piring yang dia bawa, lalu meletakkan satu bungkusan bubur
diatasnya. Aku membuka bungkusan itu dan menyerahkannya pada Zaki setelah
meletakkan sendok diatasnya.
"Porridge?" tanya Zaki melihat isi
piringnya.
"Y-yeah, bubur ayam. Ada yang jual tak jauh
dari sini. You should try it. It's good," kataku kembali hanya
dengan meliriknya. Aku terlalu jengah untuk langsung bertatapan dengannya. Zaki
hanya melihat bubur dipiringnya, tampak ragu.
Akhirnya dia menyendoknya
sedikit, dan memakannya. Aku, Mamah dan Asti diam, menunggu reaksinya.
"Kumaha Kasep? Eh, maksud Mamah teh gimana?
Suka?" tanya Mamah.
"Enak Mah!" ujar Zaki beberapa saat
kemudian dengan senyum terkembang, "Rasanya sedikit aneh. Gurih dan.....
enak," katanya dan kembali menyendok buburnya. Kali ini sesendok penuh.
Tanpa sadar aku menghembuskan nafas lega. Sebenarnya aku sedikit khawatir tadi.
Mungkin Zaki terbiasa sarapan dengan menu yang berbeda. Jadi, aku sudah
menyiapkan diri untuk mendengar protesnya.
Sarapan berlangsung dengan santai setelahnya. Zaki
banyak ngobrol dengan Mamah dan Asti, sementara aku lebih suka menjadi
pendengar. Sesekali aku ikut tersenyum dengan guyonan mereka. Sedikit merasa
takjub dalam hati dengan mudahnya Zaki berinteraksi dengan keluargaku. Mungkin
mereka tak tahu, tapi di kampus, Zaki hanya berhubungan hanya dengan golongan
tertentu.
Tak berapa lama, terdengar suara pedagang sayur
keliling yang biasa lewat didepan rumah, berteriak memanggil pelanggannya.
Suara Ibu kostku menimpali selang beberapa detik kemudian.
"Aduhh!! Mumpung Ibu kostmu ada A. Mamah punya
sedikit bingkisan untuknya. Kasep, sebentar ya? Mamah keluar dulu. Asti nanti
tolong bawakan piring Mamah kebelakang. Sekalian dibersihkan ya?" ujar
Mamah yang di iyakan oleh Asti. Mamahpun bangkit untuk meraih salah satu bungkusan
yang tadi dibawanya lalu keluar.
Beberapa saat berikutnya, aku mendengar kikik geli
Asti yang membuatku mendongak dan menoleh padanya. Asti tak menjawab, hanya
menunjuk pada Zaki yang menatapnya bengong. Dia lalu berpaling padaku, dengan
tatapan bego tak mengerti.
"What?" tanyanya
bingung.
Aku hanya mampu tersenyum begitu tahu apa yang
menyebabkan Asti terkikik geli. Zaki tak sadar mulutnya sedikit belepotan. Ada
sedikit bubur yang tertinggal disudut atas bibir dan sedikit lagi di bawah
bibirnya. Aku sudah mencoba menahan diri, tapi akhirnya ikutan tertawa kecil
dengan ekspresi bingung Zaki yang konyol.
"What's so funny?" tanyanya lagi
dengan kerutan yang makin dalam dikeningnya.
Asti yang tak tahan memilih cepat-cepat bangkit
sembari membawa piring kotornya dan milik Mamah tadi, masih dengan terkikik
geli. Zaki hanya mampu mengikuti dengan pandangan herannya.
"What? Tell me?!" pintanya sedikit
kesal.
Sebelum aku mampu menahan diri, tanganku terulur
menyentuh wajahnya. Kuusap sedikit sisa bubur yang ada diatas dan bawah
bibirnya dengan jempolku. Hanya beberapa detik kemudian, aku baru menyadari apa
yang aku lakukan.
Waktu seolah-olah membeku disaat itu juga. Tangan
kananku masih menempel didagunya, sementara jempolku berhenti tepat dibawah
bibirnya yang merah. Baik aku ataupun Zaki saat itu jadi terdiam. Tak tahu
harus bagaimana. Mataku terpaku pada tanganku yang menempel diwajahnya, lalu
perlahan merayap naik dan berhenti di matanya. Zaki menatapku dengan takjub dan
keheranan yang luar biasa.
Ketika matanya berkedip sekali, baru aku mampu
menyadarkan diri dan dengan segera menarik tanganku darinya. GILAAAAAA!!!!!!
batinku panik. Sementara Zaki yang juga jadi salah tingkah berdehem pelan.
Dia menarik wajahnya dan mengusap bagian wajahnya yang tersentuh olehku tadi.
"Eeeuuhh..... I'm a..."
"M-maaf. Ta-tadi ada sisa bubur dan... "
"Oh yeah! Sure!"sahut Zaki cepat.
Dan aku berani bersumpah kalau wajahnya memerah. Kulitnya yang putih membuatnya
terlihat jelas. "Jadi....."
"A-aku akan membawa piring kotornya kebelakang.
Kau sudah selesai kan?" tanyaku dan bangkit tanpa melihatnya langsung.
"What? I mean, yeah! Please," jawab
Zaki.
Aku segera meraih piringnya dan buru-buru pergi dari
kamarku yang tiba-tiba saja terasa sempit dan menyesakkan.
ZAKI
Sore itu, kami mengantar Mamah dan Asti hingga ke
depan gerbang. Sudah ada taksi yang menunggu mereka disana. Sebenarnya aku
sudah meminta Pak Adam untuk mengantar, tapi Mamah bilang kalau beliau merasa
segan untuk merepotkan sopirku itu lagi. Lagipula, dia pasti capek. Aku mengalah.
Tapi saat mereka bilang kalau mereka akan naik Bus untuk balik ke Majalengka,
aku langsung protes keras. Mana bisa aku membiarkan mereka berdesakan di
kendaraan umum. Jadi dengan sedikit memaksa, aku menyediakan taksi untuk
kendaraan mereka pulang.
"Aa baik-baik aja ya? Jaga diri dan
kesehatan," pesan Mamah pada Regha. Dia hanya menjawabnya dengan anggukan.
Mamah lalu berpaling padaku. Beliau seperti hendak mengatakan sesuatu, namun
akhirnya urung. Beliau kemudian hanya tersenyum dan memegang lengan atasku,
"Kamu juga ya Kasep. Jaga diri dan..... jaga Aa untuk Mamah. Dan..........
terimakasih untuk semuanya," ujar Mamah
"Pasti Mah," jawabku sembari tersenyum.
"A Zaki maen lagi ya ke Majalengka," cetus
Asti dengan mulut sedikit cemberut. Sebenarnya tadi dia minta untuk menginap di
Bandung, tapi dengan tegas Mamah mengatakan bahwa di rumah, banyak sekali hal
yang harus dibereskan.
Asti tak bisa membantahnya. Tapi bukan berarti dia
senang. Ekspresi yang dia tunjukkan sekarang dengan jelas menunjukkan hal itu.
Aku tertawa kecil dan memeluknya dari samping,
"Sure. As soon as I can," jawabku dan mengusap kepalanya
dengan gemas.
"Mamah pamit ya A, Zaki?
Assalamu'alaikum," kata Mamah yang segera masuk kedalam taksi. Kami
berdiri diam disana hingga mobil itu lenyap dari pandangan.
Aku lalu berpaling pada Regha yang berdiri diam
disebelahku. Dia masih menatap ke arah menghilangnya taksi yang membawa Mamah
tadi dengan pandangan menerawang seolah-olah dia sebenarnya ingin ikut dengan
mereka. Mungkin memang seperti itu kenyataannya. Ikatan mereka sebagai keluarga
memang lain daripada ikatan antara aku dan Mommy. Regha tentu saja ingin berada
bersama keluarganya saat ini, karena mereka baru saja tertimpa musibah.
Sejenak aku hanya diam, memandangnya. Melihat
bagaimana rambut yang sedikit berkibar ditiup angin sore, "Are you
okay?" tanyaku pelan.
Regha seolah-olah baru menyadari keberadaanku. Dia
berpaling padaku, namun dengan cepat menunduk dengan wajah
yang sedikit merona,
"Aku baik-baik saja. Terimakasih," jawabnya tanpa melihatku.
"Are you sure?" tanyaku lagi dan
mengulurkan tanganku untuk menyentuh dahinya. Yang mengagetkanku, Regha sontak
mundur seolah-olah tersengat aliran listrik mendadak. Aku sempat termangu
bengong, bingung untuk bersikap bagaimana menghadapi reaksinya tadi. Memangnya
apa yang aku lakukan tadi sih? pikirku bingung.
"M-maaf," gumam Regha pelan.
"W-what? What did I do?" tanyaku.
"No-nothing. A-aku tadi hanya sedikit
kaget," tukasnya dan buru-buru berbalik untuk kembali kekamarnya.
"HEI!!! WAIT!!!"
seruku dan mengikutinya, "Aku tadi hanya ingin memriksa keadaanmu. Maaf,
aku tidak bermaksud mengagetkan," jelasku.
"Aku tahu," jawab Regha, "....cuma
kaget kok. Aku akan bersiap-siap. Tunggu sebentar ok?" katanya lagi lalu
masuk ke kamarnya.
"Bersiap-siap? Maksudmu?" tanyaku lagi dan
segera mengikutinya.
"Ke rumahmu. Kamu menyusulku untuk kesana kan?
Aku nggak akan bolos kerja kok," ujarnya santai sembari memasukan
laptopnya.
"What?!!! Kamu mau kerja? Jangan
bodoh!" sentakku kesal, "Kamu sakit! Kamu pikir aku akan menyuruhmu
bekerja meski tahu kamu sakit? Kamu pikir aku apa?!!!"
"Bu-bukan itu maksudku. Aku
hanya.............." dia tak mampu meneruskan kalimatnya.
Aku menghembuskan nafas kesal melihatnya, "Kamu
diam saja disini. Pulihkan diri. Kau boleh kerumah kalau sudah benar-benar
sehat," ujarku cepat. Aku segera keluar untuk pergi dari sana. Gila
aja! Masa sih aku maksa orang yang jelas-jelas sakit untuk masuk kerja? Emang
Regha pikir aku orang yang gimana??! Diktaktor gila? God!! Kenapa aku harus
kesal seperti ini dengan komentar Regha tadi sih??!!!! pikirku bingung.
RIZKY
Aku menutup hapeku. Regha telah mengatakan bahwa
keadaannya sudah membaik. Dia juga tadi telah membenarkan bahwa tadi Ibunya
datang. Setidaknya cowok tengil itu tidak berbohong tentang hal itu. Regha juga
meminta maaf atas kelakuan Zaki yang dia bilang keterlaluan. Keterlaluan? batinku
sedikit sinis. Zaki sudah jauh melampaui batas. Dia dengan jelas sudah
mengancamku kemarin. Kalau saja tak ingat situasi dan tempat, aku sudah
melayangkan bogemku. Mungkin benar kata Regha kalau cowok tengil itu memang
seorang megalomaniak sinting akut!
Aku membuka ruang kerja dan menemukan ruangan itu
kosong. Sepertinya mereka sedang keluar. Pasien hari ini tidak terlalu ramai,
jadi mungkin Ferdy dan yang lain sedang berada di kantin. Kebetulan. Aku
membutuhkan ketenangan. Jadi mungkin aku akan tetap disini saja sembari
berjaga. Kalau kalau saja ada pasien dadakan yang masuk. Aku bergumam pelan
menuju mejaku. Sedikit mengerutkan kening saat kulihat ada sebuah novel yang
tergeletak diatas meja. Aku mengambilnya.
Novel itu karya penulis wanita yang juga bergerak
dalam bidang kesehatan sepertiku. Beberapa karyanya telah difilmkan. Atau dibuat
bentuk sinetronnya. Aku pernah membaca satu atau dua karyanya. Bukan tipe
bacaan favoritku. Karya-karyanya terlalu drama untukku. Untuk novel, aku lebih
suka bacaan yang mengandung unsur thriller atau komedi. Karya Raditya Dika
lebih menghibur bagiku. Atau karya dari Dan Brown, Sidney Sheldon juga cerita
makhluk supranatural karya Anne Rice. Meski hampir semua karya penulis sukses
cerita vampir itu alurnya lambat. Tapi cara dia membangun karakter
dan konflik
cukup mengesankanku.
"Oh! Dokter Rizky!" sergahan sedikit kaget
itu berasal dari Devan yang tiba-tiba muncul didepan pintu.
"Ada apa Dev? Pasien?" tanyaku singkat
sembari meletakkan novel yang tadi kupegang.
"Tidak ada, Dok. Saya hanya..........."
dia tidak meneruskan kalimatnya dan justru melihat pada novel diatas mejaku,
"Dokter Rizky suka penulis itu?" tanyanya.
"Novel ini?" tunjukku yang dijawabnya
dengan anggukan, "Tidak! Itu bukan novelku. Aku tak terlalu suka dengan
penulis itu," jawabku singkat.
"Ini novel saya Dok," sahutnya dan
perlahan maju untuk mengambil novelnya, "Kenapa nggak suka Dok?"
tanya Devan lagi.
"Karena menurutku tulisannya terlalu cengeng
dan mendramatisir," sahutku singkat. Ekspresi wajahnya sedikit berubah,
membuatku agak menyesal telah mengatakan hal tadi, "Maaf. Itu hanya
pendapatku. Kau bebas untuk menyukai penulis manapun. Aku bukan seorang ahli
yang pendapatnya akurat dan penting dalam dunia sastra," ralatku lagi.
Devan menggeleng, "Nggak papa kok Dok. Namanya
aja beda kepala. Pasti beda selera. Kalau boleh tahu, novel seperti apa yang
Dokter Rizky baca?" tanyanya.
Aku semula malas melayani Devan yang jelas-jelas
mencoba menjalin percakapan denganku. Aku tahu dan sadar betul, bahwa dia gay.
Cara dia melihat dan berbicara denganku atau Ferdy sudah menunjukkannya. Tapi
aku juga tahu, bahwa bukan sifat Devan untuk berani mencoba membina sebuah
percakapan seperti ini. Aku yakin, dia harus berusaha untuk melakukannya.
Kecanggungan dan kekikukannya jelas terasa. Aku lalu tersenyum dan
mempersilahkannya untuk duduk dikursi yang ada didepan mejaku.
"Macam-macam, Dev," sahutku memulai
sembari tersenyum padanya yang duduk, "Aku baca hampir semua karya Dan
Brown. Juga punya beberapa karya Sidney Sheldon dan juga John Grisham. Kemarin
aku baru menyelesaikan The Associate karyanya. Dan aku juga punya Interview
with The Vampire dan juga Queen of The Damned-nya Anne Rice. Pernah
baca?" tanyaku.
"Enggak Dok! Nggak bisa baca novel dalam bahasa
Inggris," sahutnya.
"Oh, semua buku yang kusebutkan tadi sudah ada
terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Coba saja kamu cari. Aku paling suka
karya Anne Rice tadi. Dia penulis yang kadang berani mengangkat tema mistis,
tapi terasa natural. Pandangannya tentang romantisme juga cukup mengejutkan.
Dalam novel Interview with The Vampire dan Queen of The Damned, dia
menggambarkan romantisme antara tokohnya dengan ringan. Hebatnya,
tokoh-tokohnya, yang kebanyakan makhluk supranatural,digambarkan tidak memiliki
batasan yang lazim dalam mencintai. Banyak diantara tokoh-tokoh karyanya yang
mencintai sesama jenis. Seperti Lois yang jatuh cinta pada Armand. Armand
sendiri malah jatuh cinta pada reporter pria yang menemukannya, yang akhirnya
dia rubah menjadi vampir juga. Konflik yang diangkat oleh Anne Rice lebih pada
konflik pemahaman diri dari sang tokoh. Bukan ketidak laziman hubungan yang
terjalin antara dua tokoh yang berjenis kelamin sama. Berbeda dengan novel anak
negeri kita yang mungkin lebih mengupas tentang drama cinta itu sendiri."
Devan terdiam sejenak, sedikit tertunduk,
"Dokter Rizky............. tidak bermasalah dengan cinta yang seperti
itu?" tanyanya agak ragu.
Aku tersenyum, tahu bahwa hal itu yang akan
dibahasnya, "Cinta sesama jenis? Tidak! Dan kaupun seharusnya tidak.
Karena kau tidak salah. Apa yang kau rasakan sekarang, banyak dialami oleh orang
lain," jawabku.
Devan mengangkat wajahnya, kaget.
"Aku tahu kau gay," sahutku langsung.
Dia kembali terdiam, kali ini wajahnya sedikit
memucat.
"Dan aku tahu kalau hal itu terkadang yang
membuatmu minder, rendah diri dan sering menjauh dari pergaulan. Dari semua
perawat yang ada di departemen kita, hanya kau sendiri yang jarang nimbrung
ataupun mengakrabkan diri," lanjutku.
"Tapi.......... apa yang saya rasakan ini
bertentangan dengan ajaran yang saya anut, Dok. Dialog dengan Dokter Ferdy
kemaren memang sedikit memberikan ketenangan dalam hati saya. Namun............
hal itu hanya sementara saja. Karena fakta yang saya hadapi setiap harinya
berbeda," katanya dengan nada lirih dan sedikit serak, "Dunia nyata
bukan fiksi yang kita baca dalam cerpen. Ataupun situasi yang cukup kita
diskusikan. Dalam dunia nyata, ada banyak hal dan pertimbangan yang harus kita
pikirkan. Ada begitu banyak faktor yang menghalangi kita. Diri kita sendiri,
keluarga, lingkungan hingga
ajaran kita memiliki alasan dan peran sendiri."
"Tak akan ada habisnya kalau kau membahas soal
masalah dan halangan!" potongku tegas, "Siapapun memiliki halangan.
Masalah akan selalu ada dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dalam tingkatan
apapun. Tergantung bagaimana kau menyikapinya. Bagaimana, seperti apa danakan
jadi apa hidupmu, kau yang memutuskan. Bukan lingkungan ataupun keluargamu.
Kalau kau biarkan mereka mendiktemu, kau hanya akan hidup untuk menyenangkan
orang lain. Saat hidupmu gagal, dan tidak bahagia, kau hanya akan menjadi orang
yang getir dan bisanya menyalahkan orang lain. Kau mau hidup
dalam penyesalan
yang diakibatkan oleh doktrin yang ditanamkan oleh orang lain?" tanyaku
dengan geram.
Devan terlihat sedikit memucat dan menggeleng
kepala, tampak agak takut.
"KALAU BEGITU BERHENTI MENGELUH DAN MEN JADI
ORANG YANG CENGENG!!" bentakku sedikit keras, "Jangan menjadi lelaki
lemah dan cengeng, karena hidup hanya akan menggilasmu! Jadilah orang yang
kuat! Peduli setan dengan orang-orang yang disekelilingmu! Hidupmu tidak tergantung
pada mereka. Kau hidup dan makan dengan kemampuanmu. Tetap berbakti pada orang
tuamu. Penuhi kewajibanmu sebagai anak, tapi kebahagiaanmu, adalah hakmu
sendiri. Dan kau yang menentukannya! Bukan mereka. Dosamupun kau yang
menanggungnya. Bukan manusia-manusia sok suci diluar sana yang sibuk menuding
dan memberi label pada orang-orang sepertimu, tanpa peduli dosa apa yang mereka
miliki! Jadi biarkan urusan dosa itu menjadi milikmu dan Tuhanmu! Karena kau
sendiri yang jadi pemandu dan penentu kehidupanmu. KAU!!!! BUKAN ORANG
LAIN!!!"
Nafasku jadi terengah tanpa kusadari. Kontrolku
sudah tak berfungsi sejak beberapa menit tadi. Dan baru kusadari pula bahwa aku
telah berdiri dan berteriak dengan
lantang pada Devan yang kini duduk pucat dihadapanku. Aku tak merencanakan
untuk membentaknya. Tapi melihatnya sebagai sosok yang lemah dan pasrah
membuatku kesal. Seakan-akan aku melihat diriku sendiri dalam posisinya. Lemah
tak berdaya dan hanya mampu menerima apa yang dihadapkan oleh kehidupan padaku.
SIAL!!!!!
Aku memejamkan mataku dan kembali duduk,
menyandarkan punggungku dikursi dan mencoba mengatur nafas, menenangkan diri.
Aku baru membuka mata saat aku sudah bisa menguasai emosiku. Devan masih
terdiam kaget ditempatnya. Aku mencoba untuk tersenyum, sedikit mencairkan
suasana yang mulai menegang, "Maaf. Aku agak terlalu keras,
tapi............ aku tak tahan dengan kepasifan dan sikap lemah yang kau
tunjukkan. Jangan Dev. Jadilah pribadi yang kuat dan tegar sehingga para
penghujat yang ada diluar sana tak bisa menggilasmu. Tunjukkan pada mereka
kalau kau memiliki kekuatan dan potensi yang lebih dari mereka. Kau... sama berharganya dengan orang-orang itu.
Moralitas dan kualitas seseorang tidak hanya ditentukan dengan siapa mereka
tidur. Ingat itu. Kau paham?"
Devan mengangguk dengan gerakan patah-patah.
Aku tersenyum melihatnya, "Dan kalau tidak
keberatan..... bisa tinggalkan aku sendiri sebentar?" pintaku.
Tanpa berkata apa-apa lagi devn bangkit dan
nmelangkah pergi. Tapi dia berhenti melangkah saat hendak mencapai pintu,
"Dokter....... maaf kalau terdengar lancang, tapi apakah Dokter
juga.......?" dia menggantungkan kalimatnya disana. Dan aku
mengerti
maksud dari pertanyaannya itu tanpa diselesaikannya.
"Ya! Aku juga!" jawabku singkat.
Devan sedikit tertegun dengan jawabanku yang lugas,
"Dan Dokter Ferdy...."
"Aku tak memiliki hak untuk menjawab itu
Dev," potongku tegas.
Dia sedikit tersipu dengan jawabanku, "Maaf
Dok. Saya permisi," pamitnya dan menghilang. Begitu dia hilang, aku
kembali menyandarkan punggungku dan memejamkan mata. Bertanya pada diri
sendiri, kenapa aku melakukan semua ini.
"Kau menujukan kalimat tadi untuk Devan atau
dirimu sendiri?"
Aku sedikit kaget dengan suara pelan Ferdy yang
tahu-tahu ada didepan pintu. Aku yang tadi refleks membuka mata hanya mendengus
dan kembali memejamkan mataku. Bahkan kali ini aku menekannya dengan kedua
tanganku.
"Kalau mendengar kalimat tadi, kenapa akuu
merasa kalau kau lebih menujukan semuanya itu pada dirimu sendiri?"
tanyanya yang terdengar semakin dekat. Beberapa detik kemudian, kursi didepan
mejaku sedikit mengeluarkan suara saat Ferdy mendudukinya. Hebat! Rupanya
tindakanku mengacuhkan pertanyaannya tadi belum cukup sebagai tanda! batinku
sedikit kesal.
"Kalau kau mengerti, maka tak perlu ditanyakan
lagi kan?" jawabku masih dengan
posisi yang sama.
"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri
Ky," ujar Ferdy, "Kau dan aku sama-sama tahu bahwa ada beberapa hal
yang tak bisa kita ubah disini."
"Kali ini aku membuka mataku dan menatapnya
tanpa menyembunyikan kekesalanku, "Ada yang ingin kau tambahkan?"
tanyaku lagi.
Ferdy hanya menatapku dengan tatapan sedih kemudian
menggeleng. Sedikit mengherankanku karena bukan itu reaksi yang kuduga. Dia
juga tampak kelelahan. Bahkan kalau aku tak salah ingat, beberapa hari terakhir,
Ferdy memang terlihat selalu kelelahan. Seakan-akan dia kurang beristirahat.
Padahal kami memiliki jam yang sama, dan aku tahu pasti kalau dia memiliki
waktu tidur yang hampir sama denganku.
Namun entah mengapa, dia terlihat payah.
"Kau sakit?" tanyaku dan bangkit.
"Huh? Apa?" tanya Ferdy bingung.
Aku tak menjawabnya, tapi aku meraba dahinya.
Suhunya cukup normal, "Bagaimana istirahatmu akhir-akhir ini?"
tanyaku dan meneliti wajahnya.
"Kamu sedang memeriksa aku?" tanyanya
sedikit geli, sayangnya bahkan senyum yang ia sunggingkan itu tidak bisa
menyembunyikan gurat kelelahan diwajahnya.
"Jawab saja!" ujarku singkat.
"Aku baik-baik saja," jawabnya sedikit
salah tingkah.
"Yang aku tanyakan adalah bagaimana tidurmu
akhir-akhir ini," tegurku lalu kembali duduk dikursiku.
"Biasa saja. Kenapa?" tanya Ferdy lagi.
"Kalau kau mau melihat cermin, mungkin kau akan
paham kenapa aku menanyakannya. Ada kantung mata dan warna kehitaman di. bawah
matamu. Akhir-akhir ini kau terlihat kelelahan. Padahal aku tahu persis kalau
beberapa hari terakhir, kita tak begitu banyak tugas. Apa yang
mengganggumu?" tanyaku langsung.
Ferdy menghela nafas panjang, "Ada sedikit
masalah keluarga," jelasnya pelan setelah terdiam beberapa saat. Jelas dia
tak ingin membicarakannya lebih lanjut.
"Ada yang bisa ku lakukan?" tanyaku
akhirnya setelah berpikir beberapa saat.
Kali ini dia menggeleng dan tersenyum tipis,
"Kali ini tak ada seorangpun yang bisa membantuku, hanya aku
sendiri," jawabnya.
"Dengar Fer, mungkin kita tidak memiliki ikatan
yang khusus. Tapi setidaknya kita pernah dekat. Sudah sewajarnya kalau aku
menawarkan bantuanku. Aku serius dan.."
"Aku paham dan berterimakasih," potong
Ferdy cepat, "..... tapi seperti yang aku katakan tadi, tak ada yang bisa
kau lakukan. Jangan khawatir. Aku tak apa-apa kok," lanjutnya lagi dan
melangkah pergi. Lebih dari 15 menit setelah kepergiannya, aku masih terdiam
ditempatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar