Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 5- Helping hands

REGHA

Aku masih tak percaya dg semua yg terjadi beberapa menit tadi. Bukan hanya krn Mas Rizky, yg biasanya begitu kaku, dan kukira akan memecatku, dg begitu lembut dan perhatiannya menenangkanku. Tapi jg sikapku yg benar2 memalukan. Tak ubahnya anak kecil yg kolokan, aku menangis sepuasnya dalam pelukan Mas Rizky. Aku tak bisa menahan diri, bahkan nyaris tak sadar dg apa yg kulakukan. Sikap Mas Rizky benar2 membuatku merasa cengeng dan lemah. Sikapnya membuatku merasa kalau aku bisa mengandalkannya. Bahwa dia ada disisiku untuk mendukungku. Bahwa aku tak sendiri. Hal itu membuatku nyaman, tahu bahwa aku tak sendiri.

Kenyataan yg cukup mengagetkanku.

Selama ini, aku bahkan sangat jarang berbicara dengannya. Meski telah bbrp bulan aku bekerja pd Bu Indri, Mas Rizky adalah sosok yg biasanya hanya kulihat dari kejauhan. Kalo berpapasan, paling2 kami hanya saling mengangguk dan tersenyum kecil. Pembicaraan verbalku dgnya tak pernah lebih dari 5 kalimat. Sosoknya selalu misterius bagiku. Kepribadiannya asing. Yg ku tangkap hanya kesan pendiam, tak banyak bicaranya. Bagiku dia adalah sosok yg membuatku segan.

Tapi tadi, aku benar2 telah mempermalukan diriku didepannya. Cowok mana cobayg bisa nangis sedemikian hebatnya dipelukan cowok lain.Demi Tuhan! Aku seorang mahasiswa! Bukan balita!

Dasar bodoh! rutukku dalam hati kesal.

Masih kuingat tadi usapan lembut Mas Rizky di rambutku. Ucapannya yg mencoba menenangkanku. Mungkin setelah 10 menit yg lama, aku baru bisa menguasai diri. Aku melepaskan pelukanku pd Mas Rizky cepat2 dg kepala makin tertunduk.

"Kamu lebih baik kembali ke kost mu dulu. Tenangkan diri. Tunggu aku disana, kita akan bicara. Sebentar lagi Ibu jg pulang. Aku akan mencoba un. . ."

"Jangan Mas!!!" potongku cepat. "Tolong jangan katakan apapun pada Ibu!" pintaku.

"Tapi mungkin Ibu bisa membantu dan. . ," Mas Rizky terdiam saat aku menggeleng cepat.

"Saya nggak mau ngerepotin Ibu Mas!" dalihku. Aku tahu Bu Indri orang yg sangat baik. Tapi uang 40 juta bukanlah urusan enteng. Aku tak akan lagi punya muka kalau sampai aku melibatkan beliau.

Mas Rizky akhirnya menghela nafas dengan penolakanku. "Ya sudah! Kamu pulang dulu. Tunggu aku di kostan mu!" kata Mas Rizky.

"Mas Rizky tau tempatnya?" tanyaku, kembali tanpa melihatnya.

"Aku pernah mengantar Ibu kesana, hanya saja waktu itu kamu pulang kampung," jelasnya dan menepuk bahuku pelan, kemudian berlalu.


Kini, saat aku berada disini, dan sadar kalau Mas Rizky akan datang, aku baru menyadari bahwa kamarku sedang berada dalam kondisi chaos! Barang2 berserakan.Bbrp celana dalam kotor berserakan. Tanpa membuang waktu aku segera membereskannya. Aku jelas tak ingin memberi kesan jelek pada Mas Rizky.

Hanya berselang beberapa detik setelah kamarku tampak rapi, terdengar ketukan pada pintu kamarku.

"Yaaa. . !" sahutku dan segera mendekat. Untung saja selesai, pikirku.Aku membuka pintu, dan sedikit kaget saat melihat Regi dan vivi berdiri didepanku. Regi berpose seakan-akan dia model sebuah pakaian kuntilanak seksi, sementara Vivi cuma nyengir saja padaku.

"Kalian!" kataku pelan dan menghembuskan nafas.

"Ih! Kok gitu sih?" tegur Regi cemberut. "Mestinya jij seneng dong ikke mawar maen ke kostan lo yg joorr. . . " celotehan Regi terhenti saat dia masukkekamarku. "Aje gile!!! Adinda ampar Cin?! Tumben kamar jij rapi jali gindang? Biasanya disana ada kolor ijo. Trs dipojokan ada celana dalem jij warna krem. Disana buku. Trs dibelakang pintu ada gambar Pamela Anderson telenji. Eh. . . masih ada!"

Aku dg cepat menyambar gambar topless Pamela Anderson yg kutempel dibelakang pintu kamarku. Untung aja Regi menginventaris barang2 maksiatku. Kalo nggak, gambar tadi pasti lolos dari sensorku dan dilihat Mas Rizky.

Melihat reaksiku, Vivi dan Regi langsung memicingkan mata curiga."Siapa yg mau dateng Gha?! Ortu lo?" tanya Vivi dan duduk dikarpet.

"Prewi ya Cin?! Gacoan jij, em?!" sambung Regi, ikutan duduk.

"Nggak kok!" sangkalku cepat. "Bukan siapa2! Tumben nih? Ada apa?" tanyaku mencoba mengalihkan perhatian.

"Kita khawatir ma elo Gha. Udah dapet jalan?" tanya Vivi pelan.

Aku hanya tersenyum kecut dan menggeleng. "Jalan darimana Vi? Duit 40 juta bukan jumlah kecil. Butuh waktu 4 tahunan lebih kerja di rumah makan Bu indri bagi gw buat ngumpulin duit segitu. Tadi aja gw hampir dipecat?"

"Hah?! Kok bisa?" tanya Vivi lagi.

"Gw gak bisa konsen kerjanya. Yg ada dipikiran gw adalah uang 40 juta itu. Beberapa kali gw salah kasih pesenan orang. Orang minta air minum malah gw kasih aer kobokan!"

Tanpa dapat ditahan Regi ngakak keras mendengar ceritaku. "Aduh Cin! Gilingan jij! Masa orang disuruh minum aer kobokan wkwkwkwkk. . !!"

Aku hanya mesem kecut dengan reaksinya. Dalam keadaan biasa mungkin aku akan bereaksi yg sama seperti dia sekarang. Tapi tidak saat ini. Pikiranku masih terbebani. Vivi yg bisa menahan diri. Namun toh masih harus mesem jg menahan geli. Dia segera menowel Regi yg ngakak pake acara guling2 segala.

"Eh tuyul bencong!" seru Regi yg latahnya jadi kumat gara2 kaget ditowel Vivi. "Sorry Nek. Abis jij sinting sih."

"Lo tuh bencong sinting!" gerutu Vivi kesel yg dibales dg juluran lidah oleh Regi.

"Dasar kebo Thailand! Gak bisa liat orang seneng!" gerundeng Regi lalu berpaling padaku. "Gini Cin, kita berdua kesini buat kasih ini ke lo!" kata Regi dan menyerahkan sebuah amplop padaku.

Dg keheranan aku menerimanya. Mataku membelalak melihat isinya."Cuman 5 juta Cin. Hanya segitu yg bisa kita kumpulin buat bantu elo," kata Regi pelan.

"Nggak banyak sih Gha. Maaf ya? Tapi cuma segitu yg kita berdua miliki," imbuh Vivi.

"Kalian. . ."

"Ikke gak mau denger segala omong kosong jij!" potong Regi sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku. "Lo pake aja uang itu. Kita ikhlas. Semoga aja bisa bermanfaat!" lanjutnya dg senyum tulus.

Untuk kedua kalinya dihari itu, aku dibuat tertunduk. Masih ada! batinku. Masih ada orang sebaik mereka berdua di tempat ini! Masih ada orang yg mau membantu orang lain seperti mrk. Aku tak bisa berkata apa2. Hanya tertunduk dg dada sesak dan tangis yg tertahan.

"Orang2 seperti merekalah yg bisa kau sebut sebagai sahabat Gha!"Kami semua sedikit terlonjak oleh suara pelan yg memecah keheningan tadi. Mas Rizky hanya tersenyum lalu melangkah masuk. Aku sendiri hanya mampu menatapnya sejenak, dan kembali tertunduk. Kembali aku mempermalukan diriku didepannya. Aku tak bisa menahan diriku dan menangis. Apalagi saat Mas Rizky duduk disebelahku dan meraih kepalaku untuk dia sandarkan kebahunya.

"Sudah dong! Malu tuh sama temennya!" tegur Mas Rizky menyadarkanku. Aku segera menegakkan diri. Sekuat tenaga aku menahan diriku. Kuusap pipiku dg punggung tanganku. Tapi sedikit tercenung saat Mas Rizky mengangsurkan sebuah sapu tangan padaku.

Aku yg semula hendak menolak jd urung saat Mas Rizky mengusapkan saputangan itu pada bawah hidungku yg jg berair.

"Makasih Mas!" kataku pelan dan meraih saputangan Mas Rizky agar aku bisa membersihkan diriku sendiri.

"Dan ini!" sambung Mas Rizky, mengeluarkan sebuah bungkusan.

"Kamu melarangku untuk ngomong sama ibu. Jadi aku cuma bisa kasih kamu apa yg aku mampu!"

Aku lagi2 dibuat terbungkam.

"Hanya 10 yg kupunya. Kalau digabung sama punya temenmu, masih belum cukup 40. Kamu punya simpanan Gha?!" tanya Mas Rizky.

Sejenak aku tercenung diam, terlalu kaget untuk bereaksi. Begitu bisa menguasai diri, aku mengangguk. "Ada sekitar 6 jutaan Mas!" jawabku pelan.

"Kalo gitu, kita tinggal mikirin sisanya," gumam Mas Rizky dg nada mengambang. Sepertinya berpikir. Aku meliriknya, tp kemudian justru dibuat sadar dg tingkah Regi dan Vivi. Regi kasih isyarat towelan heboh ke Vivi sambil bibirnya berbisik rumpi.

Saat tahu kalo aku memperhatikannya, Regi lngsung nyengir. Siapa dia Ciinn? Cakeeeepp!!! teriaknya histeris dalam bahasa bibir tanpa suara dg tampang mupeng, membuatku mendelu dalam hati.

"Eh Mas, kenalin temen Egha. Ini Regi dan Vivi!" kataku memperkenalkan mrk setelah berdehem sejenak.

"Waduh!! Maaf, Rizky!" kata Mas Rizky yg cepat menguasai diri dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dg mereka.

"Mas Rizky ini putra dari Bu Indri Vi,Gi!" jelasku.

"Oooh!! Mas Rizky udah kerja? Dimana?!" tanya Regi dg nada super sopan sehingga membuatku mengangkat sebelah alis heran.

"Belum Gi. Masih kuliah jg!"

"Mas Rizky kuliah di Kedokteran UGM Gi!" imbuhku.

"Wuuuaaahh!!!! Hebat banget. Saya dulu pengen lho Mas masuk ke UGM tapi gak lolos seleksinya," decak Regi. Kali ini aku dan Vivi yg berkernyit heran. Saya?! Sejak kapan Regi kenal dan memakai kata 'saya' dalam kalimatnya? Setahuku, kosakata yg dia miliki untuk kata ganti orang pertama adalah ikke,gue atau akika. Lagipula sikap sopan yg dia gunakan belum pernah sekalipun kami lihat. Ngomong sama dosen saja gak sesopan ini deh? batinku.

"Biasa aja Gi!" sahut Mas Rizky dan tersenyum tipis.

"Aahh Mas Rizky mah merendah! Jarang2an lho ada cowok dg kualitas seperti Mas Rizky ini bisa begitu bersahaja," sanjung Regi makin menjadi.

Aduh! Kumat deh! batinku. Sementara Vivi memutar bola matanya seakan-akan berkata Ooookay Here We Go!

"Udah pinter, cakep baek lagi. Saya sendiri TUYUL BENCOONG!!!" seru Regi saat dia terlonjak kaget, diikuti oleh suara dering ponselnya yg berbunyi keras, memperdengarkan lagu dangsut Julia Perez yg asyik belah duren!

Aku dan Vivi kontan ngakak keras, sementara Mas Rizky hanya tersenyum kecil. Regi sendiri yg mukanya merah padam akibat latahnya sendiri pamit untuk mengangkat telepon diluar.

"Indra bencoooong!!! Lu ngapain sih pake telepon2?! Ikke malu tau!!" umpatnya sedikit keras sehingga kami yg berada didalam ruangan bisa mendengarnya.

"Teman kalian sangat menarik," kata Mas Rizky dg senyum geli. Vivi ngikik pelan sementara aku tertawa kecil. "Jadi. . . . , gimana dg sisanya?" tanya Mas Rizky kemudian, kembali menyadarkanku akan masalahku yg belum terselesaikan.

"Biar Egha yg nyari solusinya Mas," jawabku pelan. "Mas Rizky udah sangat membantu Egha. Yg lainnya, biar Egha saja yg urus," kataku pelan. Entah dg cara apa, batinku.

"Egha?!" tanya Mas Rizky dg sebelah alis terangkat.

"Regha maksudnya Mas!" ralatku cepat.

"Egha tuh nama kecil sok imutnya Regha Mas Rizky," seloroh Vivi enteng membuatku sontan melotot padanya. Tapi kuntilanak pengidap obesitas krn kebanyakan nelen kemenyan itu cuek bebek. "Waktu kecil dia panggilannya emang Egha. Orang2 dikampungnya yg terisolasi itu manggil dia Egha. Sok imut banget kan? Saya aja gak tega nyebutnya. Apalagi ka. . ."

PLOK!!!!

Aku sudah melempar sebuah buku untuk menutup cerocosan tak jelas Vivi.

"Makasih ya?" kataku dg geraham terkatup krn jengkel.

Mas Rizky tertawa kecil. Harusnya dia sering2 melakukannya. Krn sosok misterius yg biasanya kutangkap darinya jadi lebih terlihat membumi bagiku. Ekspresi ramahnya yg dia tunjukkan benar2 berbeda dg imej dirinya yg selama ini kukenal.

"Egha?! Hmmm . . . , imut juga," gumamnya membuatku salah tingkah krn malu. Vivi yg mendengarnya nyengir senang dan menjulurkan lidahnya padaku. "Mau dipanggil Regha atau Egha aja?"

Aku cuma mampu nyengir tersipu dg godaannya. Vivi kancrut! makiku kesel. "Terserah Mas Rizky saja," sahutku tanpa berani menatapnya.

"Kalo gitu, aku kembali ke rumah makan dulu Gha. Kasian yg lain disana kalo kutinggal lama2. Kasih tau perkembangannya ya?" kata Mas

Rizky dan bangkit. Aku hanya membalasnya dg anggukan. Tepat pada saat itu Regi kembali nongol didepan pintu.

"Lho?! Mas Rizky mau kemana?! Kan belom ngobrol banyak sama Regi?" tanyanya sok akrab. Insiden memalukan bbrp saat tadi ternyata tidak cukup membuatnya mundur.

"Harus kembali kerumah makan dulu Gi. Kapan2 saja dilanjut ya?" balas Mas Rizky dan berlalu.

"Janji ya Mas?!!" seru Regi tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Mas Rizky yg menjauh.

"Cakep ya?!" komentar Vivi begitu Mas Rizky hilang.

"GYAAAAAA!!!!! Cucok pisan CIIIIINNNN!!!!! Sumpah gw rela diapa-apain ma cowok sekeren dia!!!" sorak Regi sembari lompat2 kegirangan. Aku tersenyum dibuatnya.

"Berkah buat lo, tapi kutukan buat Mas Rizky!" umpat Vivi nyolot!

"Yeeeee!!! Sirik lo! Eh, trs gimana urusan lo Gha?!" tanya Regi.

"Besok gw akan kerumah Zaki, dan bicara padanya," putusku pelan. "Gw harus bicara dan ngejelasin keadaan gw yg sebenernya. Kalo bisa, gw akan nyicil kekurangannya."

Regi dan Vivi saling berpandangan sejenak.

"Kita temenin Gha!" kata Vivi.

"Iya! Kita bareng kesana!" sambung Regi.

Lagi2 aku tersenyum dan bersyukur dalam hati telah memiliki teman sebaik mereka berdua. Semoga saja besok berjalan lancar, doaku dalam hati resah.

ZAKI

Aku selesai mengisi formulir klaim ansuransi itu dan segera memberikannya pada Pak Rusdi, pengacara keluarga kami yg akan segera mengurusnya. Mungkin akan butuh waktu beberapa minggu agar aku mendapatkan gantinya. Yang jelas, aku sudah membuat laporan. Jadi biar Pak Rusdi saja yg mengurus.

Untuk sementara, aku harusrela tidak memakai BMW ku yg ringsek dan menggunakan mobil sedan keluaran Jepang yg ada di garasi. Sebenarnya ada peugeot milik Mommy. Tapi aku tak ingin memakai apapun yg biasa beliau pakai.

"Saya permisi dulu," kata Pak Rusdi dan bangkit.

Aku hanya mengangguk dan menjabat tangannya. Tanpa menunggunya lagi aku segera kedalam, menuju ke ruang kerja. Ada beberapa surat yg seharusnya aku bereskan kemarin, tapi jadi tertunda krn insiden menjengkelkan itu. Aku juga sudah meminta seseorang untuk menyelidiki latar belakang Regha. Siang tadi aku sudah menerimanya, dan aku masih belum meliriknya.

Aku sedikit bergegas saat kudengar suara telepon yg berdering. "Ya hallo?"

"Zaki, ada klaim yg diajukan atas namamu. Mommy mu meminta laporan yg jelas. Ada apa?" tanya asisten Mommy dg suara yg terdengar efisien dan resmi.

Aku menghela nafas mendengarnya. Aku tahu kalau gerak-gerikku selalu diawasi. Tapi kecepatan berita yg beredar cukup mengesalkanku.

"Aku mendapat kecelakaan, dan mobilku ringsek. Karena itu aku mengajukan klaim," sahutku singkat.

Hening sejenak.

"Kau baik-baik saja?" tanya

"Fine. Hanya sedikit perban di jidatku. Ada lagi?" tanyaku tak perduli. Aku tahu kalau penjelasan detil justru akan membuatku terdengar seperti anak kecil yg merajuk.

"Bagaimana dengan urusan Pak Nurcahyo kemarin?"

"Pak Arya sudah menyelesaikannya. Aku tak bisa krn berada dirumah sakit kemarin."

"Sudah beres? Tak ada masalah?"

"Seharusnya kau sudah dengar kalau memang ada masalah. Apa kau dapat berita ada kebocoran informasi?" tegurku terdengar sedikit kesal.

"Hanya memastikan," sahutnya datar. "Itu saja. Kalau begitu, selamat siang," katanya lagi dan menutup telepon.

Aku mengumpat keras dan sedikit membanting horn telepon pada tempatnya. Tak pernah berubah! gerutuku dalam hati.

Selama bertahun-tahun seharusnya aku sudah terbiasa. Tapi aku tetap kesal. Dari dulu aku lebih sering berhunungan dg asisten Mommy daripada dengan Ibuku sendiri. Komunikasi kami hanya berjalan sesekali dan singkat. Kadang malah nihil.

Sejak dulu Mommy memang sibuk dengan berbagai kegiatan. Apalagi setelah Dad meninggal. Aku masih ingat kejadian saat aku kelas 3 Elementery itu. Malam setelah pemakaman Dad, Mommy menemuiku yg sedang terisak dikamar.

*flashback*

"Kau masih menangis?" tanya Mommy dengan suaranya yang nyaris dingin.

"Miss Daddy," kataku diantara tangis pelanku.

"Fine! Kamu bisa menangis sepuasmu hari ini. Tapi Mommy ingin kamu berjanji satu hal," kata beliau dan meraih daguku. Dia membuatku memandangnya. Menatap wajahnya yg datar dan sorot matanya yg keras. Mommy memang sosok yg tegas. Bahkan aku tak pernah melihatnya menangis sejak kami menerima kabar kematian Daddy. "Besok, kau tidak boleh lagi menangis!" kata Mommy yg terdengar seperti sebuah perintah.

Aku menatapnya tak mengerti.

"Kau boleh menangis sepuasnya hari ini, tapi besok dan seterusnya, Zake tidak boleh menangis lagi. Ever! You hear me? Zake harus jadi kuat. Zake tidak boleh jadi orang lemah yg hanya bisa menangis dan meratap!" kata Mommy dengan suara tegasnya. "Sekarang hanya ada Zake dan Mommy. Dan mulai besok, semua akan berubah. Mom ingin Zake jadi orang yg berbeda dari yg sebelumnya. Mom ingin Zake jadi orang yang kuat dan terbaik dari semuanya. Zake harus berusaha mati-matian agar Zake menjadi orang yg terbaik, krn Daddy sudah tidak ada. Dan Mommy mungkin tidak bisa terus berada didekat Zake Mommy yg sekarang harus mengurus semua bisnis keluarga kita. Tapi Mommy minta Zake berjanji pada Mommy, kalau Zake harus berusaha berubah. Zake harus jadi kuat dan terbaik dalam segala hal. Zake tidak boleh terlihat lemah, apalagi menangis seperti sekarang didepan orang lain. Jangan biarkan orang lain tahu kelemahan Zake, dan memanfaatkannya untuk menjatuhkan Zake. Jangan pernah terlihat lemah. Zake harus selalu jadi yg teratas dalam segala hal. Zake mengerti?" tanya Mommy.

Waktu itu aku hanya mengangguk. Mommy tersenyum dan memelukku. Pelukan terakhir yg pernah kuperoleh dari beliau.

"There's only you and me now," gumam Mommy pelan ditelingaku.


Dan sejak itu hidupku berubah.

Mommy mulai mengatur perbaikan dalam pendidikanku. Aku mendapat seorang asisten yg mengurus semua keperluanku, serta serangkaian pengajar privat yg membantuku. Mommy selalu mengevaluasi hasil belajarku setiap minggu. Dan beliau tidak akan mau menerima kalau aku mendapat nilai B untuk setiap mata pelajaranku disekolah. Nilaiku harus selalu A.

Pada saat di Senior High, aku dengan tegas meminta Mommy agar asistenku ditarik. Karena aku tak suka dikuntit kemanapun aku pergi. Beliau tidak keberatan asal aku masih tetap mempertahankan prestasiku. Bahkan sejak aku kelas 11, beliau mulai melibatkanku dalam urusan pekerjaan.

Sedikit demi sedikit beliau memintaku menyelesaikan beberapa hal kecil yg semakin lama semakin berat. Dan gagal bukanlah pilihan. Setiap ada urusan yg tidak beres, beliau akan memintaku untuk mengulanginya hingga aku mampu.

Aku sendiri kadang merasa lucu. Aku seperti memiliki 2 kepribadian yg berbeda.

Saat disekolah, aku hanyalah murid Senior High biasa yg bergaul dengan teman2ku. Hang out bareng, kencan dengan pacar, aktif dalam club baseball, dan terkadang berpesta dengan teman-teman.Tapi dirumah, aku lebih mirip orang kantoran yg selalu punya pekerjaan dan memiliki beberapa asisten yg siap membantuku. Ironis? Terkadang aku jg berpikir begitu. Tapi aku sudah terbiasa. Aku sudah mulai bisa membagi waktuku. Kapan aku bersenang-senang, serta kapan aku harus serius dengan pekerjaanku. Karena sekali lagi, gagal bukanlah pilihan bagiku. Mommy tidak akan menerimanya. Sosok Mommy sendiri nyaris seperti legenda bagiku. Setelah Daddy meninggal, aku jadi lebih jarang bertemu. Komunikasi kami lebih sering lewat telepon. Klasik sebetulnya. Beliau selalu sibuk dg bisnis keluarga kami yg semakin membesar.

Kurang dari setahun kemarin aku pindah ke Indonesia, karena Mommy ingin aku mengurus panti Jompo yg beliau dirikan disini. Aku sempat mengalami sedikit culture shock saat pertama kali pindah. Lebih karena lifestyle sebetulnya. Aku tak memiliki kendala dalam bahasa. Karena dari kecil, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa keduaku. Mommy memastikan aku tahu akarku yg juga berada disini.

Saat test untuk bisa transfer disinipun aku tidak mendapatkan kesulitan, karena nilaiku tak pernah mengecewakan. Jadi meski universitas tempatku belajar skrng cukup dikenal, aku bisa masuk dengan cukup mudah.

Selain itu, tak ada yg berubah dalam kehidupanku.

Aku mengambil map laporan tentang penyelidikan Regha dan membacanya. Detil yg tertera disana sedikit diluar dugaanku. Tapi yg jelas aku akan memberi anak itu pelajaran. Tunggu saja!

Kamus kecil bahasa 'planet asing'

Mawar = Mau
Gindang = Gini
Gilingan = Gila
Adinda = Ada
Prewi/peureu(pere)/perpewi/prewong = Perempuan
Ampar =  apa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar