Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 11 - The Beginning

ZAKI


Hari itu, setelah datang, orang tua Regha memintaku untuk beristirahat, dan aku menurutinya tanpa banyak protes karena aku benar-benar lelah. Mereka memberiku kamar tamu yang tempat tidurnya terbuat dari busa, dan ketebalannya hanya sekitar 20 senti. Yang mengherankanku, aku hanya membutuhkan beberapa menit untuk bisa tertidur pulas. Tak ada mimpi. Hanya tidur lelap dan tenang. Bahkan aku sendiri tak ingat kapan aku pernah memiliki kualitas tidur seperti itu.

Saat bangun, hari telah gelap. Aku bisa mendengar suara berbagai serangga diluar rumah. Juga suara televisi yang menyala. Beberapa berikutnya kudengar suara tawa beberapa orang. Pelan aku bangun dari tidurku. Dengan langkah pelan dan lemas karena tidur tadi aku menuju sumber suara mereka. Kutemukan mereka berkumpul diruang tengah yang sepertinya memang berfungsi sebagai ruang santai dan menonton. Minus Abah Regha.

Regha sedang tidur berbantal paha Mamahnya. Beliau pun dengan santai menonton tv sembari sesekali mengusap kepala Regha. Dasar manja, gerundengku dalam hati.

“Maaf, aku ketiduran,” kataku pelan membuat mereka sadar keberadaanku.

"Cep Zaki aos gugah?" sapa Mamah (beliau memintaku memanggilnya dengan sebutan itu juga) ramah. (Nak Zaki sudah bangun?)

"A Zaki, tingal gera acarana bodor," tawar Asti bersemangat.

Aku hanya menjawab dengan senyuman melihat antusiasmenya. (Kak Zaki, liat deh acaranya lucu)

"Zaki lapar nya?" tanya Mamah. (Zaki lapar ya?)

Meski tidak sepenuhnya aku mengerti kalimat Mamah tadi, tapi kalau cuma kata lapar, aku tahu. Sepertinya tubuhku bereaksi dengan sendirinya begitu pertanyaan tadi terlontar. Perutku tiba-tiba saja mengeluarkan suara sedikit keras.

“Well. . . . ,sepertinya perut saya sudah menjawab pertanyaan Mamah,” sahutku sedikit tersipu. Mamah tertawa mendengarnya.

“Kalo gitu Aa temenin dulu Zaki makan ya?” kata Mamah seraya menatap Regha. Regha sudah siap untuk protes, tapi jadi urung saat menerima tatapan menegurdari Mamah. Dia segera bangkit mendekatiku.

“Ke belakang,” kata Regha dan mendahuluiku.Aku mengikutinya keruang makan yang ada di belakang. Untuk sejenak aku yang telah duduk Cuma bisa diam bengong menatap hidangan yang tersaji didepanku. Tak satupun masakan yang ada disana pernah kulihat sebelumnya. Gorengan ikan yag tak kuketahui jenisnya. Semangkuk sayuran yang tak kukenal. Sesuatu yang kelihatannya seperti sambal. Lalu. . . . benda bulat berwarna hijau yang baunya langsung menyengat hidung dan membuatku mengernyit.

“What the hell is that?!” sergahku seraya langsung menutup piring berisi benda hijau itu dengan piring kosong yang ada didepanku.

“Petei. Kenapa? Nggak suka? Enak lho!” kata Regha dengan senyum licik lalu membuka piring tadi. Dia mengambil sebuah petei, mencolekkannya ke sambal itu, lalu memakannya.Aku sontan mengernyit jijik. Apalagi saat Regha sengaja meniupkan udara dari mulutnya yang jadi berbau menyengat itu kemukaku. Dengan cepat aku menutup hidungku.

“EEWWWW!!! GET THE HELL OUT OF MY FACE!!!” raungku. Tapi anak itu justru tertawa senang dan makin bersemangat meniupkan nafas naganya ke mukaku.

“AA!!!” tegur Mamah yang tiba-tiba saja ada dibelakang kami. "Rerencanganan bade neda kalah dihereuyan gera nya. Teu kengeng kitu ah. Mun Aa Zaki teu resep pete kan tiasa disimpen dipengker," tegurnya dan segera meraih piring berisi petei sialan itu lalu membawanya kebelakang. Meski aku tak paham sama sekali dengan apa yang dikatakan oleh Mamah, aku yakin beliau sudah menegur Regha tadi. (Temen mau makan kok malah digodain itu. Nggak boleh gitu dong. Kalau memang Zaki nggak suka petei kan bisa disimpan dibelakang.)

“Get out! Nafasmu membuatku mau muntah!” tegurku lagi pada Regha yang masih juga merengut.

“Really?” kata Regha dengan nada yang menjengkelkan dan kembali meniupku. Sialan! Anak ini benar-benar ingin membuatku ngamuk.

“AA!!!” tegur Mamah yang telah kembali. Beliau berkacak pinggang dan menggelengkan kepala karena ulah Regha. Anak itu cuma nyengir tanpa merasa bersalah.

“Pergi dari sini dan sikat mulut baumu itu!!” gerundengku padanya.

"Aa, gera nyikat waos karek uih dei kadieu nya ? Wios Mamah nu nungguan Zaki mah," pinta Mamah dengan nada yang tak ingin dibantah, membuatku nyengir senang. Akhirnya dengan menggerutu Regha menurut dan bangkit. (Aa cepet sikat gigi lalu balik kesini ya? Biar Mamah yang nemenin Zaki sebentar)

"Cep Zaki, emameun. Na raos teu ? Punteun nya bilih kirang raos, da ayana nu kitu. Enjing mah Mamah bade motong hayam. Untuk malam ini, cuma hidangan seperti ini yg Mamah sajikan," kata Mamah dan meraih piringku. Dia segera menyendokkan nasi dengan ukuran jumbo. Kalau aku tak menghentikannya, mungkin dia akan terus menyendok nasi itu sampai pindah semua ke piringku. Segala macam hidangan yang ada disana beliau sajikan padaku. Aku tak ingin meninggalkan kesan jelek, jadi aku pasrah. (Nak Zaki makannya yang banyak ya? Maaf kalau kurang memuaskan. Seadanya saja. Besokk Mamah potongin ayam. Untuk malam ini, cuma hidangan seperti ini yang Mamah sajikan.)

Meski terasa aneh pada suapan-suapan pertama, tapi aku mencoba menikmatinya. Dan setelah beberapa saat kemudian, aku mulai bisa merasakan keunikan rasa dari semua masakan Mamah. Dan yang paling kusuka adalah sambalnya. Pedes abis!!! Tapi enak. Jadi tanpa memperdulikan keringatku yang mulai muncul, aku terus mengganyangnya. Regha yang datang beberapa saat kemudian jadi bengong takjub melihatku yang bersantap sambil mengap-mengap kepedesan. Aku cuma nyengir kecil dan meneruskan makanku. Mamah terlihat senang luar biasa dengan nafsu makanku. Beliau tertawa riang dan mengusap kepalaku pelan. Beliau kemudian bangkit dan memintaku untuk tidak malu buat nambah lagi.

“Kamu. . . , nggak perlu maksa makan kalau emang nggak suka,” tegur Regha ketika sosok Mamah menghilang.

“What?! Maksudmu apa sih? Aku benar-benar suka masakan Mamah. Kecuali petei sialan yang kau makan tadi,” kataku cepat lalu kembali menyantap hidanganku.

“Jadi. . . ,kamu bener-bener suka ya?” tanyanya ragu. "Mana ada sih bule kaya doyan sambel," gerundengnya pelan.

“Memangnya sulit dipercaya ya?!” sergahku jengkel.

“Seharusnya kamu merasa bangga, karena dengan begitu berarti aku mengakui kemampuan Mamah. Beliau memang wanita hebat. Ramah, baik, punya kemampuan luar biasa dalam memasak. Berbeda jauh dengan putra sulungnya yang ceroboh, teledor dan susah untuk memahami instruksi sederhana, yang sebenarnya cukup mudah dimengerti oleh anak kelas 5 SD. Duh pedeessss!!!” Aku tak tahu kalau pedes bisa membuatku ngomel panjang lebar seperti itu. Dengan cepat aku meraih gelas airku, mengacuhkan Regha yang kembali ngomel pelan. “Kamu sudah makan?” tanyaku padanya.

“Sudah tadi. Nunggu kamu keburu mati kelaperan aku,” gerundengnya lagi.

“Bareng sama yang lain?”

“Habis sama siapa lagi?” sambar Regha nyolot.

“Kalian sering melakukannya?”

“Tentu saja,” jawab Regha sedikit heran.

Klasik, pikirku ironis. Dalam keluarga seperti Regha, makan malam bersama telah menjadi acara rutin yang sudah biasa dilakukan. Sementara bagi orang-orang sepertiku, makan malam adalah satu hal yang harus dijadwalkan terlebih dulu. Entah itu bersama dengan rekan bisnis, teman, atau keluarga. Jadwal kami begitu padat sehingga terkadang 24 jam terasa kurang. Aku sendiri tidak ingat kapan terakhir kali aku makan malam dengan Mommy. Terasa seperti kenangan lampau yang samar. Bahkan jika kami melakukannya, makan malam selalu berjalan dengan canggung dan sedikit tegang. Apalagi kalau Mommy sudah mulai membicarakan bisnis. BAhkan bagiku, makan malam merupakan saat intim yang seharusnya diisi oleh pembicaraan ringan. Lem yang seharusnya mempererat ikatan keluarga antara kami, bukannya tempat untuk me-review bisnis yang kami kelola. Sepertinya gambaran keluarga kaya menyedihkan yang ada di televisi adalah fakta, batinku lagi kecut.

Aku hanya bisa menatap Regha dengan berusaha

menampilkan senyum casual yang biasa kulakukan. “Kau beruntung,” kataku pelan dan kembali meneruskan makanku. Namun entah kenapa, rasa super lezat yang tadi terasa jadi berkurang dilidahku.

REGHA

Anak itu memang punya banyak sisi yang kontradiktif, batinku menatap Zaki yang asyik bermain dipinggir sungai. Liat aja tuh. Dia terlihat senang sekali menggerak-gerakkan kakinya yang separuh terendam air, sehingga nyiprat kemana-mana. Tadi aja dia semangat banget waktu diajak nyari udang kali bareng beberapa anak kampung sini. Dia tak memperdulikan baju atau celana pendeknya basah.(Oh ya, kemaren malem kita sempet ke kota Kabupaten ibukota kabupaten sebentar untuk membeli beberapa baju dan celana untuknya. Cowok separuh bule yang sinting itu tidak membawa satupun pakaian ganti. Jadi, mau tak mau kami harus ke daerah pusat kota untuk mencarinya. Toko-toko baju yang ada didaerahku kebanyakan tutup kalo malam hari. Dan dia juga mengajak Asti dan Agus. Asti nggak perlu ditanya lagi, langsung lompat kegirangan. Kesempatan buat shopping. Apalagi kita kesananya naik mobil pribadi. Biasanya dia kan kudu naik bis. Agus sih sok cool seperti biasanya, meski kulihat matanya berbinar. Abah dan Mamah yang juga diajak, menolak dengan halus. Jadilah kami berangkat berempat. Disana Zaki belanja gila-gilaan. Dan itu bukan hanya untuk dirinya. Mulanya cowok edan itu cuma mengernyit melihat baju-baju yang dipajang.

“Nggak ada toko baju lain yang lebih bermutu,” gerutunya pelan. Kami semua kontan melotot. Gila aja dia! Harga baju disini udah na’udzubillah kalo dibandingin sama toko-toko deket rumah kami. Merknya juga sering muncul di tv. Tapi dia nanya soal merk baju yang sering dibahas sama si Regi. Ives loren,DiEnJi atau entah apa lagi. Mbak-mbak yang menjaga counter hanya mampu menggeleng mengenaskan oleh pertanyaan Zaki. Akhirnya dia cuma memilih beberapa produk dari Emba.

Yang bikin Asti hampir pingsan, dia juga mempersilahkan Asti dan juga Agus untuk memilih apa yang mereka inginkan. Percuma saja aku melarangnya karena Asti langsung saja kabur ketempat busana favoritnya. Agus sendiri malu-malu. Tapi tanpa banyak cakap, Zaki langsung memilihkan satu stel untuknya. Lengkap dari celana, t-shirt, jaket, sepatu dan topi. Agus juga akhirnya luluh. Dia ikut nunjuk ke arah 2 celana dan 3 kemeja yang menurutnya keren.

“Kamu nggak mau milih juga?” tawarnya dengan murah hati. “Barang disini murah-murah kok.”

Aku hampir saja tak tahan untuk nyolot. Enak aja dia ngocol! Mana ada t-shirt seharga ratusan ribu dia bilang murah? Kalo deket rumah, udah dapet 3 biji tuh. Dengan berusaha menahan diri, aku menggeleng. Zaki akhirnya mengangkat bahu dan menghampiri Asti. Mereka tampak ngobrol asyik, cuek bebek ma sekitarnya. Aku dan Agus akhirnya memutuskan untuk menunggu didekat kasir, membiarkan keduanya berkelana bareng. Saat mereka menemui kami, aku hampir pingsan dengan jumlah item yang mereka bawa. Gila!!! Udah kaya orang mau pindahan aja.

“Kamu sinting ya?” tegurku begitu mereka menyerahkan barang-barang itu pada mbak-mbak yang membantu mereka.

“Kamu kenapa sih? Dari tadi manyun terus! Bantuin kek!” balasnya nyolot. Aku sudah hendak membalasnya, tapi dia langsung mengangkat tangannya untuk mencegahku. “Lebih baik kamu tunggu aku di food counter kalo nggak mau bantu. Biar aku dan Asti yang ngurus semua!”

Aku hanya mendengus dan langsung menyeret Agus untuk mengikutiku sembari menatap marah pada Asti yang cuma nyengir.


Sampai dirumah, Zaki langsung mendapat banyak perhatian dari Abah dan Mamah. Apalagi saat Zaki memberikan bingkisan berupa beberapa potong baju untuk mereka berdua. Zaki dengan rendah hati mengatakan bahwa ini hanya ungkapan rasa terimakasih karena mereka telah mau membuka rumah mereka untuknya. Aku hampir muntah mendengar kemanisan kalimatnya. Sumpah! Aku bisa kena diabetes kalo kelamaan deket setan itu. Bener-bener bikin gondok. Karena tak tahan aku nyelonong kekamarku. Meninggalkan kehebohan mereka.

Tapi tengah malam saat aku bangun, aku menemukan beberapa baju dan celana, beserta sepasang sepatu dibawah kaki tempat tidurku.

Sial bagiku, karena semua kehebohan itu hanya awal saja. Begitu tahu ada ‘turis’ yang nginep dirumah, beberapa tetanggaku yang punya bakat jadi detektif dan reporter local langsung sambang kerumah. Pengen liat makhluk asing yang nyasar. Zaki bisa memenangkan hati mereka dengan mudah. Dengan segera, mereka menjadi teman ngobrol akrab. Great! batinku jengkel.

Cowok tengil itu dengan mudah memenangkan simpati mereka.

Bahkan Mamah membuat kami sekeluarga merayakan ulang tahunnya bersama. Seakan-akan dia adalah anggota keluarga lama. 2 hari setelah kedatangan kami, waktu itu kutemukan dia sedang duduk melamun diteras rumah sendiri pada jam 10 malam. Kukira saat dia pergi dari ruang tengah tadi, dia langsung pergi tidur. Tapi manusia aneh itu justru duduk bengong diberanda rumah sembari menatap kegelapan malam didepannya. Aku yang hendak mengunci pintu jadi urung karenanya.

“Ngapain sih?” tanyaku dengan nada yang jelas tak ramah. Kukira dia akan membalasku dengan sahutan yang sinis dan memojokkan seperti biasanya. Tapi dia malah tersenyum.

“Suasananya tenang ya?” ujarnya singkat.

Aku memutar bola mataku karenanya. “Disini daerah terpencil seperti katamu, ingat?! Jelas saja tenang. Kenapa? Kangen dengan bingarnya kota? Ga tahan buat balik ke diskotik?”

“Nope!” sahutnya mantap dan menggelengkan kepalanya kuat. “Aku justru malah lebih suka disini. Biasanya pada malam ini aku akan berada ditengah sebuah pesta yang membosankan,” katanya menjelaskan sembari nyengir senang, “Today’s my birthday.”

Aku diam sejenak memandangnya heran, “Apakah itu alasan yang membuatmu melarikan diri kesini?” tanyaku curiga.

“Yup!”

“Kamu memilih diam disini daripada berada di pesta ulang tahunmu?” Aku kembali bertanya dengan intonasi suara meninggi.

“Yep!” jawabnya singkat dan tersenyum lebih lebar dengan reaksiku.

“Kau sinting!” komenku akhirnya tak mampu menahan diri. Mana ada coba manusia jenis kayak si Sinting ini?!! Seumur-umur aku belum pernah namanya ngerayain Ulang Tahun dengan pesta. Yang ada cuma potong tumpeng sekeluarga. Lha ini malah kabur.

Sialnya, waktu itu Mamah berada dibalik pintu dan mendengar semua pembicaraan kami. Keesokan harinya beliau membuat makan malam istimewa. Bahkan kembali menyembelih seekor ayam peliharaannya untuk membuat tumpeng. Dan untuk pertama kalinya, kami merayakan ulang tahun anggota keluarga baru kami, dipimpin oleh Abah. Semua orang bergembira. Kecuali aku. Karena bahkan pada hari ulangtahunku yang kemarin, Mamah tidak membuatkanku tumpeng. Nggak fair. Saat aku protes, hal itu justru membuat kegembiraan Zaki semakin berlipat.

Sementara si Asti tak membuang-buang waktu. Dia langsung sms ke semua temen ceweknya. Plus update di status facebooknya bahwa cowok indo supercakep plus baik hati yang nginep dirumahnya sedang ngerayain ulang tahun. Dia bahkan meng-upload foto centilnya bareng Zaki. Dia juga ngocol soal apa saja yang telah dibelikan Zaki untuknya.

Reaksi temen-temen Asti juga tak kalah hebohya. Beberapa diantaranya malah langsung kerumah untuk konfirmasi fakta. Dan aku berani sumpah, beberapa diantaranya ngeces ditempat waktu ngeliat sosok Zaki. Apalagi dengan tingkah Zaki yang sok cool. Hanya menanggapi mereka seperlunya, lalu menjauh dengan Agus. Aku yakin itu cuma triknya saja untuk membuat cewek-cewek bego itu makin penasaran.

Lucunya mereka jadi suka sedikit histeris ngeliatnya. UGH!!!! Bener-bener sekumpulan cewek idiot! Asti sendiri sok menang dengan beberapa kali menghampiri Zaki dan berbicara dengannya soal hal-hal yang sebenernya gak penting dan bisa dibicarakan nanti. Temen-temennya langsung menyambut Asti heboh begitu dia balik ke genk nya. Sepertinya untuk memberi laporan langsung. Dan mereka akan berteriak kenceng begitu tahu apa yang dikatakan oeh Zaki, seberapapun gak pentingnya hal yang dia omongin.

Ampun deh!!!

Yang juga bikin gondok, cewek-cewek lain dikampungku jadi ikut kecentilan. Saat aku dan Agus mengajak Zaki jalan-jalan kedaerah persawahan dan sungai, mereka dengan terang-terangan menggoda kami.

"Eleuh eleuh si Regha, gaduh rerencangan kasep teh sanes ditepangkeun gera nya. Bilih weh bade milarian calon isteri ka kmpung teh," goda mereka sembari mengerling centil. (Aduh-aduh si Regha. Punya temen cakep kok nggak dikenalin ke kita sih? Kali aja dia mau nyari cewe kampung buat dijadiin istri?)

HADOOOOHHHHH!!!!! Apaan coba?!!

Aku cuma nyengir salah tingkah. Norak banget deh! gerundengku dalam hati. Paling parah pas sore hari kemaren. Waktu itu aku dan Agus sedang benerin pancing yang akan kami gunakan besok. Kami emang berencana buat mancing di empang tak jauh dari rumah, dan hasilnya bakal dimasak sama Mamah. Sebenernya kami agak terganggu dengan trio kwek kwek, Asti dan dua orang temennya yang asyik ngegosip tak jauh dari kami duduk. Dengan semangatnya temen Asti yang giginya agak-agak mancung ngasih ulasan lengkap soal perawakan Zaki. Dia juga bilang kalo dulu pernah ngedatengin seoang dukun top didesa sebelah. Dan dukun sableng itu kasih tau dia soal ciri-ciri jodohnya. Zaki punya semua ciri-ciri itu. Jadi dia yakin banget kalo Zaki adalah jodohnya.

Temennya yang bau parfumnya kaya jin sekarat langsung membantah abis. Dengan yakinnya dia bilang kalo kemarin dia sudah ngelakuin ritual kuno, yaitu mandi jam 12 malem pas dengan air dari 7 sungai dicampur dengan 7 kembang. Tujuannya adalah agar dia mendapat wangsit siapa yang bakal jadi suaminya. Dan dia bersumpah bahwa sosok Zaki lah yang muncul dalam mimpinya.

Aku menggelengkan kepala tak percaya dan mengumpat pelan. Aku langsung melotot pada Asti saat dia terlihat hendak ikutan ngocol menyaingi 2 temen sintingnya. Dia mengerti dan batal melakukannya.

“Gha, ntar anterin ke kota ya? Aku mau beli sesuatu,” kata Zaki yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Noraknya, tuh anak muncul cuma pake celana pendek doang. Dia membawa handuk kecil yang dia usapkan pada rambutnya yang basah karena baru mandi. Kalo dulu reaksi Regi melihatnya setengah telanjang gini sudah mengesalkanku, reaksi Asti dan kedua temennya ternyata tak jauh berbeda. Paling parah adalah 2 temen Asti yang sepertinya kena ayan plus kesurupan mendadak. Mereka ternganga hebat dengan mata melotot dan iler yang hampir menetes melewati dagu. Aku segera mengusir Zaki untuk masuk kedalam. Cowok itu nurut saja meski terlihat heran. Sepertinya tak sadar akan efek yang dia timbulkan pada kedua teman Asti yg kejang-kejang dibelakangnya.

UGH!!!!!!



Aku sendiri lebih heran dengan sikap Zaki. Mulanya kukira cowok egomaniak sinting itu gak bakalan betah disini. Aku sudah mengira kalau dalam waktu kurang dari sehari, dia bakal tereak-tereak heboh minta pulang. Tapi dia terlihat begitu menikmati keberadaannya disini. Dia semangat banget waktu Agus mengajaknya memancing. Malahan selama kami melakukannya, Zaki tak henti-hentinya mengajukan berbagai pertanyaan pada kami berdua. Bahkan dia tak segan-segan membantu kami berdua menggali cacing sebagai umpan.

Zaki juga demen banget main di sungai. Dia bakal kegirangan diajak ngobrol di pinggiran sungai atau mandi disana. Lalu yang bikin lucu sekaligus ngeri adalah saat pertama kalinya Zaki diajak buat mandi bareng oleh Agus dan teman-temannya disungai. Seperti umumnya semua anak-anak didesaku saat mandi disungai, mereka mencopot semua baju mereka.

Dengan telanjang mereka terjun kesungai. Nah si Zaki dengan gokilnya en tanpa babibu langsung aja ikutan telanjang bulat dan terjun. Saat kembali Agus sempet bergumam kalo dia pengen punya titit kaya Zaki. Aku jelas langsung nyureng mendengarnya. Saat kutanya kenapa, Agus bilang bahwa siapapun yang jadi istri Zaki nanti, pasti gak akan kecewa ataupun selingkuh. Kesimpulan singkat yang dia katakan adalah bahwa Aa Zaki adalah cowok paling macho dan jantan yang pernah ditemuinya.

YA ALLOOOOOOOOOHH!!!!!

Aku terlalu takut untuk menanyakan detil maksud dari kalimatnya tadi. Aku hanya mampu berdoa semoga Zaki tak mengubah perilaku adikku yang sedikit pendiam itu.

ZAKI


Aku tak menyangka kalau aku akan mengatakannya. Tapi aku benar-benar senang berada di kampung halaman si Teledor Regha. Segala sesuatunya berbeda disini. Waktu seakan-akan berjalan lebih lambat dari biasanya. Disini, ketika aku membuka mata, aku disambut oleh segarnya udara dan berbagai bunyi-bunyian burung dan serangga.

Saat aku keluar rumah, aku masih bisa melihat sedikit kabut yang mengambang diudara. Mamah yang sudah bangun dan menyediakan kopi untuk Abah akan menawariku juga. Setelah meminum kopinya, Abah akan pergi sebentar kesawah untuk membuka aliran irigasi. Regha yang sudah bangun akan mengikuti beliau. Akupun tak mau ketinggalan. Meski disana aku cuma akan duduk memperhatikan mereka atau alam sekitar.

Aku suka melihat pemandangan sawah yang diterangi oleh sinar matahari pagi. Tetes-tetes embun yang menempel didedaunan akan terlihat seperti butiran intan berwarna oranye, berkilau indah. Aku sudah pernah pergi ke beberapa tempat wisata dunia, tapi tempat ini memiliki pesona sendiri yang yak kutemukan ditempat-tempat wisata itu.

Setelah sawah terairi, kami akan berjalan pulang. Kembali kerumah, dimana sarapan yang disediakan oleh Mamah dan Asti telah siap untuk kami santap bersama. Asti dan Agus yang masih bersekolah telah memakai seragam mereka. Dan kamipun sarapan bersama. Kegiatan yang memang sudah biasa bagi Regha sekeluarga. Hari pertama aku sarapan, perutku sedikit berontak. Orang-orang disini sarapan langsung pake nasi dan lauk pauknya. Kalau menurutku sih itu menu makan siang. Sarapanku biasanya hanya omelet, roti atau cereal. Tapi disini, aku harus mengikuti mereka. Hari kedua, aku sudah mempersiapkan diri, dan perutku beradaptasi dengan luar biasa.

Siang hari banyak kulewatkan ngobrol dengan Regha, Abah, Agus, Asti atau Mamah. Disini, setiap hari mereka sekeluarga saling bertemu dan berinteraksi. Terkadang suka ribut dan saling bercanda. Pernah juga Mamah memarahi Asti yang cukup sering menggangguku bersama dengan 2 orang temennya yang aneh. Rame dan luar biasa berisik. Tapi anehnya, aku menyukainya. Aku suka kebisingan yang mereka buat. Hal itu membuat rumah dan lingkungan ini terasa. . . ,hidup. Aku tahu itu adalah pilihan kata yang aneh.

Tapi baru kusadari betapa matinya tempatku tinggal selama ini. Tiap pagi aku sarapan. Tak ada orang untuk diajak ngobrol saat sarapan. Yang ada hanya seperangkat meja dan kursi beserta berbagai macam peralatan elektronik yang menemaniku. Benda-benda mati yang tak akan bisa kuajak ngobrol, ataupun bertanya tentang apa yang akan kulakukan hari itu. Siang hari dan malam harinya juga tak berbeda. Baru kusadari kalau selama ini, aku lebih sering berhubungan dengan benda mati.

Pemikiran yang ironis. Aku mengakuinya.

Konsep kasih sayang dari seorang Ibu pada keluarganya, seperti yang ditunjukkan oleh Mamah terasa asing dan aneh bagiku. Disini, Mamah menjadi sosok Ibu yang seutuhnya. Aku lihat bagaimana Regha dan yang lainnya begitu menghormati dan menyayangi beliau. Mamah juga sosok yang penuh welas asih dan luar biasa perhatian akan kebutuhan keluarganya. Pagi hari beliau sudah menyiapkan segala sesuatunya. Persiapan yang akan dibutuhkan oleh anggota keluarga yang lain.

Saat Abah telah berangkat ke sawah, Asti dan Agus bersekolah, Mamah akan membereskan sisa-sisa sarapan mereka. Membersihkan rumah, mencuci baju dan bersiap ke pasar untuk berbelanja bagi keperluan makan siang dan malam mereka. Siang harinya saat Asti dan Agus telah kembali dari sekolah, dan Abah beristirahat dari sawah, makan siang telah siap dimeja. Kamipun makan bersama. Hal yang sama terjadi pada makan malam. Setelahnya, semua anggota keluarga akan berkumpul diruang santai. Nonton tv bersama, dimana Asti dan Agus melakukannya sembari mengerjakan PR mereka.

Regha? Anak autis itu akan bermanja-manja dengan berbaring dan menggunakan paha Mamah sebagai bantal. Mamah akan duduk santai sambil sesekali mengusap rambut Regha. Tak heran anak itu menjadi sosok yang teledor dan ceroboh. Mamah terlalu memanjakannya. Aku yang melihatnya kadang menggerutu sendiri dalam hati. Tapi beliau memang sosok wanita yang mengagumkan. Bahkan beliau rela bekerja lembur membuat masakan lebih untuk merayakan hari ulang tahunku. Best birthday party. EVER!!!!

Abah menjadi sosok pemimpin disini. Seperti adat Indonesia yang didasari oleh ajaran agama, sosok Ayah adalah pemimpin yang disegani. Posisinya tertinggi dan ditakuti dalam keluarga. Tak terkecuali dalam keluarga Regha. Sekali Abah meminta salah seorang dari mereka melakukan sesuatu, orang itu akan langsung mengerjakannya tanpa membantah. Tak terkecuali si Manja Regha. Abah sendiri memang jarang berbicara. Hanya bila diperlukan, atau ditanya. Berbeda dengan konsep keluarga di Australia dimana suami dan istri memiliki kedudukan yang setara.

Asti sendiri memang menunjukkan perhatian yang berlebih padaku. Aku tahu dia sepertinya memiliki sedikit perasaan lebih. Juga 2 orang temannya yang aneh. Tapi dia tak ubahnya seperti anak kecil bagiku. Aku berusaha bersikap sebagai kakak padanya. Memberi batasan yang jelas. Pipinya yang kadang merona memang terlihat lucu, tapi aku tahu aku tak boleh memberinya sikap yang membuatnya beranggapan salah. Menyakitinya merupakan hal terakhir yang ingin aku lakukan.

Berbeda dengan Agus yang langsung memperlakukanku seperti saudara. Anak termuda dalam keluarga Regha yang tak banyak bicara itu senang mengajakku bermain. Memperkenalkanku pada teman-temannya. Aku masih ingat saat kami mandi disungai bersama. Tatapan matanya yang penuh kekaguman terkadang membuatku merasa super. Dia melihatku seperti seorang idola. Dia bahkan mengatakan ingin jadi sepertiku bila dewasa nanti. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

Regha disini juga diperlakukan sebagai anak tertua oleh adik-adiknya. Aku heran mereka bisa begitu menghormati anak seteledor Regha. Tapi Asti dan Agus jelas menghormati Regha. They look up to him. Meski terkadang mereka bercanda, tapi mereka tahu batasan yang tak boleh mereka lewati. Benar-benar mengagumkan. Hal itu sedikit membuatku merasa tak enak kalau mengingat apa yang ku lakukan padanya, sehubungan dengan kejadian ringseknya mobilku dulu. Tapi kalau dipikir lagi, si Dodol satu itu juga perlu diberi pelajaran sedikit keras agar teledornya hilang.Aku benar-benar senang bisa berada diantara mereka. Bersyukur bisa mengunjungi tempat ini.


Tapi aku paling suka kalau maen ke sungai disore hari. Sungai didaerah sini tipe-tipe sungai gunung yang memiliki arus deras, dangkal dan banyak batu-batu besar yang bertebaran diantara arusnya. Aku suka duduk disalah satu batu-batu itu. Membiarkan kakiku menjuntai, separuh terendam di air jernih yang mengalir deras. Sounds fool? I know, but I can’t help it.

Pertama kali aku melakukannya adalah saat aku diajak oleh Agus dan Regha memancing. Spot memancing ada disalah satu belokan aliran sungai, dimana arus yang deras terpotong oleh tanah. Dibagian ini arus cenderung berkurang dan menurut Regha, bagian sungai ini juga cukup dalam. Berbeda dengan bagian atasnya. Saat aku mulai bosan dengan harus duduk diam menunggu umpan dimakan, kuputuskan untuk bermain diatas sungai. Iseng aku duduk disalah satu batu itu, dan duduk. Rasa dingin segarnya air yang merendam separuh kaki, membuatku tertawa kecil.

Kemudian aku terdiam.

Saat itu sudah sekitar jam 4 lewat, mungkin mendekati jam 5. Matahari yang sudah condong kebarat memancarkan sinarnya yang berwarna kuning keemasan. Langit disini yang masih belum terkotori oleh polusi membuat pancaran sinar itu terlihat begitu jelas, terang menyilaukan. Kalau aku memicingkan mataku, semburat sinar itu akan terlihat seperti ribuan jarum tajam dengan berbagai ukuran yang berjejer rapi. Sinarnya yang sebagian menyentuh permukaan air membuat ilusi sederhana yang membuatku berpikir ada gumpalan emas tampak didasar sungai. Gemericik air turut membangun suasana sore itu, yang entah bagaimana, terasa penuh dengan magis. Aku dibuat terdiam terpaku ditempatku duduk, menyerap keajaiban sederhana alam yang saat itu membiusku dengan kuat.

Membiarkan ketenangan dan keajaiban sungai ini melenakanku. Kubiarkan riak-riak pantulan sinar mentari di air yang berkilau memantul ke wajahku. Aku begitu terpesona dengan tarian hening alam. Semakin sore, sinar mentari semakin memerah, dan semakin terpesona aku menatap bola langit itu mengintip dari kejauhan. Sebagian tubuhnya yang tertutup punggung bumi tidak membuatnya terlihat suram. Semburat kuat sinarnya masih bisa membuatku memicingkan mata. Karena tak mau melewatkan pemandangan matahari yang tenggelam, aku berdiri dibatu yang cukup besar itu. Tak ingin melewatkan keajaiban alam hari itu berlalu begitu saja didepanku.

“KI!!! Ayo pulang!” panggil Regha dari arah belakangku.

“Sebentar lagi, please!” jawabku tanpa berpaling. Kudengar gerutuan pelan Regha, dan sepertinya dia menyuruh Agus untuk pulang terlebih dulu agar Abah dan Mamah tak mengkhawatirkan kami. Kemudian dia mendekat padaku.

“Ngapain sih?” tanya Regha , terdengar sedikit jengkel.

“Ssssstt!!” kataku dan meraih tangannya. Kutarik dia untuk berdiri didepanku. “Lihat sunset itu,” bisikku pelan, terpengaruh oleh suasana.

“Emangnya kenapa?” tanya Regha heran.

“Coba tenangkan dirimu dulu. Lalu, iat deh sinar matahari itu. Indah kan?” kataku dan tersenyum padanya. Kupegang bahunya dan menghadapkannya kebarat. “Sinarnya terlihat begitu jelas dan luar biasa. I swear I never saw it before. Coba kau picingkan matamu. Bias sinarnya akan terlihat seperti ratusan jarum cahaya kan?” bisikku lagi ditelinganya.

Regha diam beberapa saat, hingga kemudian dia menarik nafas panjang lalu berbalik melihatku yang berdiri dibelakangnya, memandangku dengan sinar heran. Sejenak dia hanya diam menatapku. Aku sendiri malah jadi sedikit dibuat terpesona oleh efek cahaya kemerahan sinar mentari diwajahnya. Regha terlihat lain dan bahkan bisa dibilang . . . . , mengesankan. Wajahnya terlihat lembut, merona dan nyaris gaib.

Tanpa kusadari tanganku terangkat. Kusentuh sisi wajahnya yang terlihat kekuningan dan sedikit berkilau oleh sinar oranye kemerahan. Gemericik jernih air yang mengalir, serta suara berbagai macam serangga disekitar kami turut membangun suasana yang (anehnya) membuatku cenderung merasa melankolis. Ujung jariku yang menyentuh kulit Regha bergerak turun mengikuti garis wajahnya yang saat itu terlihat menakjubkan dimataku.

“Aku tak pernah berpikir kalau pemandangan sore saat matahari tenggelam bisa begini. . . . ," aku mencari kata yang tepat untuk menggambarkannya, ". . . lain dan menakjubkan," kataku akhirnya dan menatapnya. "Bahkan kaupun terlihat. . . lain,” gumamku lirih, nyaris mendesah. Saat itulah aku melihat sedikit kilat dimata Regha. Beberapa detik kemudian aku baru sadar dengan apa yang aku lakukan. Cepat aku menurunkan mataku dan membuang pandanganku kembali kearah mentari yang semakin memerah. “I-indah kan?” tanyaku gugup dan tertawa kecil, sedikit salah tingkah.

Regha seperti tersadar dari trance nya. Dia memalingkan wajahnya dan berdehem beberapa kali. “Su-sudah hampir gelap. Kita harus segera pulang,” kata Regha dan tanpa menungguku dia turun dari batu itu.

Aku cepat-cepat mengikutinya tanpa berbicara. Ya Tuhan, apa yang tadi kulakukan? pikirku tak percaya. Siapa sangka kalau keajaiban tempat ini bisa membuatku melakukan hal seperti itu. That was the first time I’ve ever touched a dude’s face like that. Sedikit mengguncangku. Dan bisa kulihat cukup mengguncang Regha juga. Karena setelah peristiwa itu, dia jadi sedikit aneh dan menjaga jarak. Aku tak ingin hubungan kami menjadi aneh, jadi aku berusaha bersikap biasa didepannya. Meski awalnya masih canggung, akhirnya dia mulai kembali pada sikap awalnya padaku. Selalu cemberut dan sarkas. I love it when he starts to get angry at me. He looks funny. For real! Aku merasa lega karena aku tak mau kalau tindakanku sore itu membuat liburanku disini menjadi tidak menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar