REGHA
Aku menyumpah pelan saat berjalan keluar dari
kantin. Sumpah mampus!! Bule sinting itu benar-benar tahu cara membuatku naik
darah. Gayanya yang sok ngebos dan untouchable itu terkadang membuatku ingin
melempar benda apapun yang ku pegang ke mukanya. Dan sikap sok playboy-nya
semakin membuatku tak menyukainya. Adu argumen yang pernah kami lakukan dulu
sepertinya tak membuatnya berpikiran lain. Tapi siapa yang bisa disalahkan?
Fakta bahwa dia seorang player sudah diketahui orang-orang sekampus. Dia tipe
orang yang harus selalu menyalurkan libidonya. Bahkan mungkin dia mampu untuk
mengganyang segala sesuatu yang bergerak di depannya.
"Dan dia bahkan berani menciumku! Seharusnya
aku menonjoknya waktu itu," gerutuku dengan kedua tangan terkepal keras.
"Tunggu dulu! Mencium?!! Zaki?" sergah
Regi yang kemudian kontan menahan lenganku.
SIAL!!! Aku bahkan tak sadar kalau aku menggumamkan
kalimat tadi dengan keras. Dengan kesal aku menyentakkan lenganku dari pegangan
Regi dan kembali melangkah, masih dengan kejengkelan yang luar biasa, "Gue
gak mau bahas itu," gumamku.
"Zaki nyium elo Gha?" buru Vivi yang
segera menjejeri langkahku.
Aku menghentikan langkahku dan menarik nafas
panjang, mencoba mengenyahkan kekesalanku yang jelas saja percuma dan justru
semakin membuat mereka berdua penasaran, "Bukan hal yang penting,
ok?!"
"Tentu saja penting!" potong Regi ngotot.
Sepertinya naluri bancinya sudah terusik. Jelas dia menangkap gosip hangat yang
perlu segera di konfirmasi.
"Tak ada satu hal pun yang romantis tentang
ciuman itu. Jadi gak ada gosip panas yang perlu lo dengerin," kataku
sembari kembali melangkah.
"Hanya fakta bahwa lo berdua cowok dan
straight. Hal itu saja cukup buat bikin kita berdua tertarik. Now tell Mama,
what happenned!" tuntutnya keukeuh. Kembali aku menarik nafas panjang dan
berpaling pada Vivi, mencoba meminta bantuannya. Tapi tentu saja, cewek itu
turut menunggu ceritaku dengan wajah mupeng. Seharusnya aku ingat kalau dia
adalah seorang fag hag sejati.
"Ciuman itu hanya dia lakukan untuk membungkam
gue. Hari minggu kemaren gue ke rumah dia buat berangkat kerja bareng. Dia lagi
sarapan bareng cewek tadi, eeeeuuhh..........." aku mencoba mengingat
namanya yang tiba-tiba saja hilang dari memoriku.
"Anna," bantu Regi tak sabar.
"Yes, itu dia. Gak perlu gue jelasin apa yang
terjadi. Gue nanya apa mereka berdua pacaran. Tapi dengan santai dia
nyangkal
dan mengatakan bahwa mereka hanya berteman. Gila kan?!"
"Gha, lo nyadar kan kalo Zaki dibesarkan dalam
budaya yang jauh berbeda dengan adat ketimuran kita?" sela Vivi.
"Gue tahu! Tapi seperti yang lo bilang, itu
budaya sana. Bukan disini. Jadi secara gak langsung gue negor dia. Gue salah
satu orang yang respek akan sex. Bagi gue sex itu sakral. Karena gue dibesarin
dengan budaya, bahwa sex hanya boleh dilakukan saat kita telah menikah."
Regha tersenyum tipis, "Dan itu adalah salah
satu hal yang bikin lo beda Gha. Tapi.......... lo udah coba liat di sekeliling
lo sekarang? Casual sex hampir-hampir menjadi hal lumrah di kota besar seperti
Bandung ini. Bukan gue ngebenerin atau mengamininya!!!" Regi buru-buru
menjelaskannya saat aku melemparkan pandangan tak sukaku, "Gue tau itu
bukan budaya kita. Lo gak perlu negesin itu. Tapi lo juga kudu tau kalau
pergeseran itu sudah terjadi. Gue yakin lo udah liat dan tahu. Lo bukan orang
bodoh atau terlalu hipokrit buat buta akan hal itu kan?"
Apa yang bisa ku bantah dari hal itu?! Aku
benar-benar akan menjadi seorang munafik bodoh kalau aku menyangkalnya. Zaman
sekarang, bahkan anak SD sekalipun memiliki akses mudah untuk mendapatkan video
porno. Miris! Tapi memang itu faktanya kan?
"Tapi gue bukan mereka Gi."
"Gue tau Gha. Justru hal itu yang bikin lo
spesial dan lain."
"Gue gak senaif itu kali Gi," kataku
dengan senyum tipis, "Gue juga tahu bagaimana rasanya saat nafsu kita
terusik. Tapi untuk melakukannya dengan sembarang orang, itu urusan yang gila
bagi gue. Sex terlalu sakral dan setidaknya, hanya pantas gue lakukan dengan orang
yang memiliki makna dalam hidup gue."
Vivi meletakkan satu tangannya di bahuku dan
meremasnya pelan, "Sekali lagi, itu adalah salah satu kualitas lo."
"Dan bodoh? Jelas bahwa banyak orang yang
memiliki pandangan berbeda"
"You are what you are honey! Jangan berubah
hanya karena orang di sekeliling lo berubah. Berhubungan dengan orang lain
bukan berarti lo kudu jadi orang lain Gha. Jadi diri lo sendiri aja,"
cetus Regi.
"Dan memberi warna sendiri dalam
kehidupan," gumamku pelan, teringat
percakapanku dengan Ari.
"Maksudnya?" tanya Vivi tak mengerti.
"Gue pernah ngobrol ma Ari. Well, intinya, dia
mengatakan bahwa dunia ini dipenuhi dengan orang-orang yang berbeda. Ada yang
kaya, miskin, jelek, cakep."
"Banci!" cetus Vivi kalem.
"Gendut!" sahut Regi cepat sembari
menjulurkan lidahnya pada Vivi, hingga aku tak bisa menahan senyumku.
"Straight, gay, lesbi dan lain
sebagainya," kataku meneruskan daftar mereka, "Mungkin memang Tuhan
menciptakan kita berbeda. Memang harus ada perbedaan. Karena perbedaan itu yang
membuat dinamika kehidupan berjalan. Perbedaan itu yang membuat kita semua
terhubung. Saling berinteraksi dan berhubungan dan kadang bergesekan. Dengan
begitu maka ada kehidupan yang berjalan dan membentuk dunia yang penuh warna
ini. Dan masing-masing dari kita memberi warna sendiri pada wajah dunia."
"Dunia jelas tak akan bisa berputar bila semua
orang sama kan? Kita semua memang berbeda," kata Vivi dan tersenyum
lebar.
"Ada Dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit.
Arsitek yang membangun geduang, bahkan banci yang bertugas..."
"Menyesatkan banyak cowok cakep," serobot
Vivi langsung, memotong kalimat Regi.
"Pesona ikke emang sulit ditolak," cetus
Regi dan mengedipkan sebelah matanya.
Kami tertawa hampir bersamaan.
"Terus gimana ceritanya sampe Zaki cumi-cumi
elu? Lanjutin!!" tuntut Regi. Sial!! Tuh anak kalo penasaran ternyata
sulit dibelokin pikirannya.
"Ya intinya, waktu itu gua ngomel lah. Gua
ajuin argumen gimana budaya ketimuran kita. Gimana kita kudu ngehargain diri
sendiri kita. Mungkin aja Zaki nganggap dirinya sebagai player yang mainin
semua cewek yang bisa digaetnya. Nganggap kalo semua cewek itu gampangan.
Padahal kalo di pikir-pikir, dia yang membiarkan tubuhnya juga dinikmati
cewek-cewek itu juga sama aja murahannya kan? Lalu dia cium gue,"
pungkasku.
"Begitu aja?" tanya Regi bloon.
"Yep! Dengan itu dia sukses ngebungkam gue. Dan
please, jangan tanya apapun lagi. Karena gue gak ingin mengingatnya."
"Tapi dia cium elo Gha!!" kata Vivi
seakan-akan menekankan arti dari kalimatnya.
"Gue tau!!" serobotku dongkol, "Dan
itu bukan pengalaman yang menyenangkan."
"Gue aja pengen dicium ma dia
neeekk!!" pekik Regi yang langsung
membuatku menggerutu dan segera melangkah meninggalkan mereka.
"Gua gak mau bahas lagi! Lebih baik kita konsen
ma tugas kita. Gue gak mau membuat Zaki memiliki alasan lain untuk melakukan
hal gila lagi ke gue. Paham?!!!" tukasku kesal.
"Tapi dese cumi cumi yey neeeekk!!!!!"
ulang Regi dengan nada centilnya.
Aku cuma kembali misuh-misuh dan buru-buru
meninggalkan mereka.
Hari ini kami harus mulai berbelanja macam-macam
kebutuhan buat parcel. Keranjang rotan, kertas pembungkus kado, berbagai jenis
pita, selotip, tali emas dan. perak buat hiasan dan entah apa lagi. Regi sudah
membuat daftar belanjaan yang panjangnya bikin puyeng. Apalagi beberapa dari
benda itu dijual di toko terpisah dan jaraknya lumayan bikin teler.
Beberapa
hari ke depan sepertinya akan berjalan dengan panjang dan melelahkan, batinku
memelas.
Dugaanku tak meleset. Setelah menguangkan cek dari
Zaki, kami langsung berbelanja dengan menggunakan mobil Vivi yang berhasil dia
pinjam dari Papanya. Kami pergi dari satu toko ke toko lain. Hari ini kami
hanya berbelanja barang-barang kecil yang bisa kami angkut. Sementara beberapa
benda yang tak bisa kami angkut dalam satu kali jalan, seperti keranjang rotan,
kami putuskan untuk membelinya besok. Kami hanya memesannya saja. Kami bertiga
sampai ke kostan pada jam 7. malam dalam keadaan lelah. Disambut oleh Kak
Alvian dan Ari. Mereka segera membantu kami menurunkan belanjaan dan meyakinkan
kami kalau besok mereka akan membantu.
Aku sangat bersyukur mendapatkan bantuan dari
mereka. Kak Alvian bahkan rela datang pagi-pagi keesokan harinya. Dia dan Ari
yang menangani truk buah yang akan datang. Sementara aku dan Regi serta Vivi
meneruskan acara belanja kami yang belum rampung. Ada sedikit insiden yang
terjadi saat kami mengambil keranjang buah pesanan kami di toko oleh-oleh.
Aku melihat sosok Mas Rizky yang sedang berbelanja
disana dengan seorang cewek cantik yang belum pernah kulihat sebelumnya. Semula
ku pikir aku hanya salah lihat. Siapa sangka kalau aku akan melihat hari dimana
Mas Rizky, sedang berkencan dengan seseorang. Apalagi dengan seorang cewek.
Tanpa dapat menahan diri, aku berjalan mendekatinya.
"Mas.........." panggilku pelan.
Mas Rizky berbalik dan tampak kaget. Bola matanya
sedikit membesar melihatku yang berdiri dibelakangnya.
"Regha? K-kamu sedang ap-apa?" tanyanya.
"Lagi butuh sesuatu disini Mas.
Daaan....." aku tak meneruskan kalimatku, hanya berpaling pada sosok mengangumkan
disebelahnya yang kini memandang kami dengan tatapan tertarik.
"Hai........." sapa cewek yang tingginya
nyaris sama denganku itu dan mengulurkan tangannya, "Shella."
Aku hanya mengangguk rikuh dan menjawab ulurannya,
"Regha," jawabku singkat.
"Shell, bisa permisi sebentar? Kamu lihat-lihat
dulu ya?" kata Mas Rizky dann segera menyambar tanganku dan menarikku
keluar. Tak memperdulikan tatapan bingung dari Shella. Aku hanya mengikutinya
dengan sedikit tersuruk.
"Mas, masa si Shella ditinggal?" tanyaku
kemudian.
"Dia bukan pacarku Gha. Dia tunangan Ferdy. Aku
hanya menemaninya belanja karena Ferdy tak bisa mengambil cuti. Jadi tolong
jangan marah, ok?"
"Engga kok Mas. Egha ga marah," jawabku dengan nada kalem.
Kalimatku itu membungkam Mas Rizky untuk beberapa
saat lamanya. Dia tampak sedikit terkesiap dan tak percaya,
"Ka-kamu nggak
marah?" tanyanya.
Entah karena alasan apa, aku jadi tertawa gugup
mendengarnya, "Enggak Mas. Santai aja........" Lagi-lagi jawabanku
membuatnya tercenung sejenak. Dia diam, berdiri didepanku dan memandangku
dengan tatapan yang sedikit kosong.
"Gha!!" panggil Regi yang kemudian keluar
dari toko, diikuti oleh Vivi, dan mendekati kami, "Lho, ada Mas
Rizky?" sapanya dan tersenyum. Mas Rizky hanya menjawabnya dengan senyuman
singkat dan menganggukkan kepala.
"Udah?" tanyaku pada mereka.
"Udah kelar semua. Kita bisa segera
cabut," jawab Vivi yang kemudian juga mengangguk untuk menyapa Mas Rizky.
"Kalo gitu kita mesti cepet-cepet. Oh ya, Mas
Rizky, untuk malam minggu ntar, Egha absen dulu ya? Egha harus nyiapin parcel
buat pesta ulang tahun di panti. Ini udah dapet bantuan dari beberapa orang
temen. Tapi sepertinya kami bakalan begadang," kataku. Tak ada jawaban
dari Mas Rizky yang masih memandangku dengan tatapan aneh. Aku berpaling pada Regi dan Vivi yang juga
terlihat heran.
"Mas..?" panggil Regi pelan.
Mas Rizky seperti dikagetkan. Dia mengerjap sebentar
lalu menoleh pada Regi, seakan-akan baru saja melihatnya, "Oh?! Ya. Iya .
Tentu saja. Kalo gitu aku ke dalam dulu. Shella sudah menunggu," kata Mas
Rizky yang kemudian berlalu tanpa mengatakan apapun lg.
"Kenapa Mas Rizky?" tanya Regi.
"Shella?" sambung Vivi dengan nada tanya.
"Nggak tau Gi. Shella itu tunangan Ferdy, temen
Mas Rizky," kataku menjelaskan dan menunjuk ke dalam, dimana kami bisa
melihat mereka berdua yang sedang terlibat dalam percakapan singkat, "Kita
kudu segera mulai," kataku dan melangkah menuju mobil Vivi.
"Tapi kenapa sikap Mas Rizky jadi aneh
Gha?" tanya Regi yang mengikutiku.
"Nggak tau. Tadi kami ngobrol santai ko. Dia
ngejelasin kalo si Shella itu tunangan Ferdy. Jadi kaya orang panik gitu. Minta
supaya gue gak marah. Buat apa gue marah kan? Gue jelasin kalo gue gak marah
dan............" Aku berhenti saat Regi dan Vivi melakukan hal yang
menyebalkan itu lagi. Saling memandang dengan pemahaman yang tak terucap,
"What?"
"Pantes saja dia gitu," gumam Vivi yang
mulai menjalankan mobil, membaur dengan padatnya lalu lintas Bandung.
"Itu sama aja ama lu bilang 'gue ga suka ma
elu. Jadi gue gak peduli lu ngelakuin apa-apa, karena ga ada efeknya buat gue'
di mukanya secara langsung," jelas Regi. Dan dengan itu dia membungkam
kami semua hingga kami tiba di kostan. Kami disambut oleh Kak Alvian dan Ari
yang mengatakan bahwa hampir semua kiriman buah telah sampai. Hanya tinggal
buah kiwi yang diperkirakan datang sebentar lagi.
Dan selanjutnya, kami semua tenggelam dalam
kesibukan yang cukup melelahkan dan sanggup membuatku melupakan insiden siang
tadi. Mobil pick up yang mengangkut buah kiwi datang, tak lama setelah kami
selesai memindahkan belanjaan kami dari mobil Vivi. Aku segera melunasi uang
buah pada Mbak Sri yang ikut datang. Beliau dengan baik hati memberi kami bonus
beberapa kilo buah jeruk dan apel. Setelah itu, aku dan yang lain segera
memulai proses pembuatan parcel. Beberapa teman kost yang lain juga tertarik
untuk membantu. Lebih tepatnya mungkin diperintah untuk membantu oleh Regi.
Sebenarnya mereka lebih tertarik untuk mencicipi berbagai buah-buahan import.
Tapi dengan judesnya Regi ngamuk. Meski buntutnya, dia berjanji akan memberi
mereka bagian buah asal mereka mau membantu kami. Kebanyakan dari mereka
sebetulnya mau saja membantu. Sebagian hanya sok jual mahal karena iseng ingin
menggoda Regi.
Harus aku akui, kalo Regi sangat kreatif dalam membuat
parcel. Dia memberi contoh satu set parcel pada kami dengan perlahan, berikut
cara menghias dan membungkusnya. Hal yang terlihat sangat mudah saat dia
melakukannya. Sementara kami yang lain membutuhkan koreksi setidaknya 3 atau 4
kali. Tapi setidaknya setelah benar-benar berusaha, aku bisa melakukannya
dengan benar setelah percobaan yang ke-8. Vivi sukses bikin satu parcel pada
percobaan ke-3. Sial!!
Hari itu kami berhasil membuat 50 parcel saat jam
menunjukkan pukul 10 malam. Regi mengatakan kalau malam ini cukup. Besok kami
akan mulai lebih pagi. Target besok, kami harus menyelesaikan sisa yang 150.
Malam itu aku membaringkan tubuhku yang lelah tanpa sekalipun memikirkan hal
lain selain bagaimana membuat sebuah parcel buah.
RIZKY
"Kau masih terlihat murung setelah bicara
dengan cowok yang waktu itu Ky," tegur Shella. Aku yang sedari tadi agak
melamun, langsung menegakkan punggungku dan fokus pada dia yang duduk
didepanku.
"Maaf. Tolong jangan salah paham. Aku...."
Shella mengangkat satu tangannya untuk menahanku,
"Sudah. Nggak perlu dijelasin. Nanti aku jadi makin tahu dan
penasaran," jelasnya dan nyengir, mencoba membuatku yang sudah sedikit
panik, merasa lega.
Aku tertawa kecil. Sikapnya yang ringan dan riang
semakin menambah daya tariknya, "Terimakasih. Tapi sebenarnya, masalahku
hampir mirip dengan masalahmu lho," selorohku dan mengerling.
Bola mata Shella membesar, "Cinta bertepuk
sebelah tangan? Dengan siapa? Teman cowok yang kemaren? Atau saudaranya?"
desaknya ingin tahu.
Lagi-lagi aku tertawa, "Ada deh. Tapi intinya
ya sama. Bertepuk sebelah tangan," jelasku singkat.
"Menyebalkan ya?" desahnya dan
menghembuskan nafas panjang, "Kenapa kita nggak bisa menyukai orang yang
menyukai kita? Justru nguber-nguber seseorang yang sama sekali tak peduli akan keberadaan
kita."
"Rumit ya?" timpalku, ikut larut dalam
suasana yang kini berubah melodramatis, "Tapi bukankah memang seperti itu
cerita cinta. Ada satu pihak yang berusaha meraih cinta dari pihak yang lain.
Atau kalo enggak, dia jatuh cinta pada orang yang salah. Dan konflik cintapun
mulai. melibatkan beberapa peran pembantu."
"Atau kalo enggak, dua-duanya saling mencintai,
namun keluarga mereka menentangnya. Akhirnya sepasang pecinta itu kawin lari.
Menyatukan cinta mereka tanpa restu orang tua. Menjauh dari keluarga mereka
yang penuh konflik. Tapi sialnya, keluarga mereka mengetahui keberadaan mereka.
Endingnya mereka di pisahkan. Dan karena suatu kesalah pahaman, satu pihak
mengira pasangannya mati. Hingga akhirnya dia meminum racun untuk bisa bersama
kekasihnya di alam baka," timpal Shella dengan mata berbinar.
Kali ini aku tak mampu menahan tawa kerasku.
Beberapa pengunjung kafe yang saat itu juga ada di sekitar kami jadi melirik ke
meja kami, "Itu Romeo and Juliet-nya Shakespeare kan? Suka kisah cinta
yang tragis ya?"
Shella nyengir, "Enggak juga sih. Tapi kalau
membayangkan ada seseorang di luar sana yang merasa tak akan mampu hidup lagi.
karena besarnya rasa cinta yang dia rasakan, sepertinya sangat romantis. Sering
bertanya-tanya sendiri, apa ada cinta yang seperti itu di dunia yang mulai
penuh sesak oleh kebohongan ini."
Aku bersiul oleh kata-katanya, "Jadi kita mulai
mendiskusikan soal cinta nih? Jadi menurutmu, mati untuk bisa bersama dengan
kekasih seperti yang dilakukan Romeo dan Juliet itu.................
indah?" tanyaku dengan sebelah alis terangkat,
"Karena menurutku itu
bodoh dan pengecut. Sementara bagi orang sepertimu, yang mengharapkan
kekasihnya ikut meninggal untuk menyusulnya, aku menyebutnya egois!"
"Hei!!!" seru Shella dengan nada tersinggung,
meski matanya berbinar geli. Dia melempar selembar tissue yang tadi
dipegangnya, "Aku orang yang romantis lho!!" bantahnya.
Aku kembali terkekeh sembari menggelengkan kepala,
"Tapi cukup kejam untuk meminta seseorang mati."
"Bukan matinya yang jadi poin utama. Tapi
bagaimana besar rasa cinta yang dia rasakan, sehingga bahkan untuk sekedar
melanjutkan hidup ini, terasa mustahil baginya. Itu yang penting. Orang yang
merasa bahwa kekasihnya adalah udara baginya. Karena itu, jika pasangannya itu
mati, dia tak akan bisa bertahan. Karena tak ada lagi nafas baginya. Tak ada
lagi kehidupan baginya."
"Itu bodoh!!" komentarku singkat dengan
senyum simpulku.
"Kamu nggak romantis ya?" sungutnya kesal.
"Well, aku hanya mencoba untuk jadi seorang
realis dan rasional saja. Karena pada kenyataannya, seberapapun besar cinta
kita pada seseorang, seberapapun sayangnya kita padanya, akan tiba suatu titik
dimana kita terpisahkan. Entah itu oleh orang ke tiga, oleh diri kita sendiri,
ataupun maut yang jadi ketentuan Tuhan. Terkadang cinta dan sayang seseorang
itu hanya indah pada saat dia mulai tumbuh saja. Akan ada saat dimana dimana
cinta itu akan meranggas dan kemudian mati. Bahkan terkadang, ada di saat benih
cinta itu tumbuh di tempat yang tidak semestinya. Meski kita bisa membiarkannya
tumbuh, kita tak akan bisa memetiknya. Karena cinta itu bukanlah hak kita. Kita
harus merelakannya menjadi orang lain karena berbagai alasan. Bisa karena
memang cinta itu telah menjadi hak orang lain.
Atau mungkin, karena bila cinta itu kita miliki, maka dia hanya akan
menjadi racun bagi keluarga kita. Atau karena cinta itu justru membuat
masing-masing dari kita tersakiti ooleh duri-durinya. Dan............. masih
banyak lagi atau-atau lainnya yang akan terlalu kompleks dan menyakitkan bila
kita membahasnya," kataku dengan sedikit menerawang.
Shella menghembuskan nafas panjang dan mendesah,
"Rumit dan menyebalkan," gumamnya.
"Bukankah seperti itulah cinta?"
selorohku, tersenyum.
"Ada saat dimana kadang, aku menganggap cinta
itu sebagai hal yang remeh dan konyol. Lucu aja ngebayangin kalo ada orang yang
rela berbuat hal yang tidak masuk akal karena cinta."
Kembali aku tersenyum karena sepertinya aku sudah
pernah mendengarnya. Ataukah aku sendiri yang mengatakan hal itu? pikirku geli.
"Well, pada kenyataannya, itulah yang terjadi.
Banyak tindakan luar biasa yang dilakukan oleh seseorang karena cinta. Sejarah
sudah mencatat banyak sekali kisah cinta yang luar biasa. Dari zaman nabi Adam
dan Ibu Hawa, Cleopatra dan Marc Anthony, Samson Delilah hingga kisah Ken Arok
dan Ken Dedes di negeri kita. Pembahasan cinta sendiri tak akan pernah berhenti
di masa kini. Akan terus berlanjut hingga nanti."
"Jadi kau percaya cinta?" tanya Shella.
Aku tak langsung menjawabnya. Aku membutuhkan waktu sejenak untuk memikirkan
pertanyaan sederhananya itu. Percayakah aku? Dengan cara hidupku selama ini?
Dengan semua pengalamanku yang mengajarkan bahwa aku tak mungkin hidup bersama
dengan orang yang kucintai? Dengan apa yang kulakukan?
Pada akhirnya aku mengangguk, "Aku percaya.
Tapi bukan berarti aku yakin kalau aku bisa memilikinya," kataku akhirnya.
Shella menatapku dengan pandangan heran, "Katakan saja bahwa ada beberaapa
dari kita yang memiliki keterbatasan dalam mendapatkan apa yang dia
inginkan," kataku tanpa menjelaskan lebih jauh lagi.
"Tapi kenapa? Ky, kamu sadar kan dengan semua
potensi yang kamu miliki? Lihat dirimu ke dalam cermin. Kau rupawan.
Berpendidikan. Caramu bersikap dan bertindakpun baik. Seorang Dokter dengan
fisik sempurna dan menawan. Apa yang menghalangimu? Hanya orang bodoh yang mau
menolakmu!" sergahnya.
"Bukankah sama denganmu Shell?" tanyaku
balik tanpa melepas senyumku. Hal itu membungkamnya. Shella berusaha menemukan
bantahan. Mulutnya terbuka seolah-olah hendak mengatakan sesuatu. Meski
akhirnya dia hanya mampu mengangkat tangan dan kemudian menjatuhkannya dengan
kesal.
"Ini menyebalkan!!!" sentaknya kesal dan
menghentakkan kaki ke lantai, "Kita berdua nyaris sempurna! Kita berdua
sama-sama layak untuk mendapatkan keinginan kita! Tapi kenapa kita menginginkan
hal yang terkadang tak bisa kita
miliki?!! Apa yang salah dengan kita?!"
Aku menggelengkan kepalaku, "Aku tak bisa
menjawabnya dengan pasti Shell. Tapi mungkin sudah sifat manusia yang selalu
menginginkan apa yang tidak dia miliki."
"Dan itu sangat menyebalkan!"
"Aku setuju," jawabku dan mengangkat
minumanku. Dengan itu, diskusi kamipun berakhir.
Aku mengantar Shella kembali ke kontrakan Ferdy
ketika hari menjelang sore. Ferdy yang sudah pulangg menyambut kami di depan pintu
dengan tatapan ingin tahu.
"Kalian bersenang-senang?" tanyanya dengan
nada datar.
"Lumayan," jawabku singkat sembari
nyelonong masuk dengan membawa beberapa tas belanjaan Shella.
"Rizky baik banget lho Mas," jawab Shella
yang saat kulirik menyalami dan mencium tangan Ferdy dengan takzim, "Dia
gak pernah ngeluh pas kuajak keliling buat beli titipan orang-orang
rumah."
"Aku senang kok," jawabku dan duduk di
sofa, "Apa rencana kalian nanti malam?" tanyaku.
"Kami belum tahu," jawab Ferdy, masih
dengan nada datar yang sama.
Kami ganti menoleh pada Shella yang kemudian duduk
didepanku, "Eeuuhh....... pengennya jalan-jalan di Dago. Rizky kemarin
siang iming-iming lho Mas. Katanya disana rame kalo malem minggu. Jadi pengen
tahu," katanya.
"Ajak saja Fer. Pakai mobilku. Tapi besok senin
jemput aku di rumah, ok?" saranku.
"Tapi.......... ini kan malam minggu? Bukannya
kamu ada acara dengan Regha?" tanya Ferdy heran.
"Lho? Rizky nggak ikut? Yaaaahh.... gak seru
lah Ky. Ikut ya? Besok siang aku sudah balik ke Yogya lho."
"Nggak bisa Shell. Rizky ada acara rutin di
malam minggu," kata Ferdy. Meski dia mengucapkan kalimat tadi biasa-biasa
saja, aku tetap merasakan sedikit ketidak enakannya.
"Pacar Ky?" tanya Shella ingin tahu.
"Teman Shell. Malam minggu ini enggak Fer. Dia
ada kerjaan lembur," jawabku singkat. Hal itu mengingatkanku kembali pada
percakapan singkatku dengan Regha di depan toko waktu itu. Aku masih belum
menghubunginya lagi.
"Berarti bisa ikut kan Ky?" tanya Shella
penuh harap.
Aku mengangkat bahu, "Kalau tidak
mengganggu........" jawabku akhirnya. Aku tersenyum saat Shella sedikit
bersorak kegirangan. Aku lalu bangkit untuk permisi keluar sebentar. Aku ingin
mendengar suara Regha dulu meski malam ini kami tak bisa bertemu.
REGHA
Regi dan Vivi sudah nongol di kostan pada jam 8
pagi. Dengan sadisnya dia gedor-gedor pintu dan membangunkan hampir semua
penghuni kost yang berniat membantu. Aku yang masih terkantuk diseretnya
kekamar mandi. Dia bahkan sudah ngomel-ngomel dan berniat untuk menelepon Kak alvian,
yang hanya selang beberapa detik kemudian muncul dari kamar Ari, dan sudah
tampak segar dan siap. Melihat itu, Regi dan Vivi langsung bersorak kegirangan.
Entah karena apa. Baru setelah melihat tampang Ari yang merah dan kelabakan
meminta mereka untuk diam, aku bisa menduga apa yang mereka ributkan. Dan itu
membuatku merasa malu sendiri.
Aku sendiri sudah ijin libur pada Bu Indri.
Menelepon beliau membuatku ingat akan Mas Rizky. Perasaanku kembali tak enak
mengingat akhir percakapan kami kemarin yang aku yakin, mengecewakannya. Meski
sudah berniat dalam hati untuk menghubunginya setelah semua ini selesai, aku
masih tak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Dalih apa yang harus ku
berikan agar dia, kami berdua, merasa lebih baik.
"Kalian masih ingat dengan caranya kan?"
tanya Regi yang mendahului kami menuju kamar yang kami gunakan. Kami hanya
menyahut seperlunya, "Bagus! Bagi yang gak bisa bikin, kalian yang angkut
semua parcel yang telah jadi ke kamar sebelah. Jangan sampai bertumbuk dan merusak
bentuknya. Kalau kamar itu sudah penuh, taruh saja di kamar Regha dan Ari. Dan
kalau masih belum nampung..."
"Gak akan muat kalo 200 parcel Gi," sahut
Ari.
"Kalian taruh saja di teras kamar. Di depan
kamar kost masing-masing. Ari, lo udah hubungi truk pengangkutnya?"
Ari mengangguk, "Sopir truk yang kemaren sudah
siap untuk mengangkutnya ke panti. Jadi jam 5 sore ini? Gue kudu mastiin ke
mereka," tanya Ari. Regi langsung menoleh padaku untuk meminta konfirmasi.
"Kita bisa selesein semua sebelum jam 5?"
tanyaku balik.
"Kalo kita segera mulai, kemungkinan
bisa," jawab Regi.
"Kalo begitu pastiin aja, Ar," putusku.
"Dutanya maskara adinda kan Cyin?" tanya
Regi pelan padaku dengan bahasa salonnya.
"Masih beberapa juta kok. Cukup buat bayar
biaya angkut. Malah lebih," jawabku.
"Sip!!" ujarnya ringan, "Yuk, capcus
kita mulai pekerjaannya. Aa Alvian, Ari, Vivi ma ikke juga Regha akan segera
mulai. Reno, Yosep ma Markus, kalian bisa bantu bersihin buahnya kan? Yang lain
pindahin en tata parcel yang udah jadi ya?"
Dan kamipun tenggelam dalam kesibukan yang sedikit
chaos. Segera saja kamar yang kami gunakan dipenui oleh potongan kertas, pita
dan selotip yang bertebaran. Sesekali teriakan cempreng Regi yang kadang digoda
oleh beberapa anak kost terdengar. Bahkan di saat sibuk seperti ini, tuh anak
masih bisa ngebanyol dan membuat kami sesekali tertawa. Bahkan saat Ari yang
membawa laptop dan sound system mini-nya ke kamar itu dan nyetel lagu dangdut
belah durennya Jupe, Regi masih sempat goyang seru. Semua gaya dia geber. Dari
goyang patah-patah, gergaji, ngebor sampe kayang. Hasilnya, dia
sukses bikin
kami ngakak bareng.
Kami sempat beristirahat pada saat jam makan siang.
Yang bikin segan adalah saat Kak Alvian yang justru dengan sigap bangkit dan
mentraktir kami dengan membeli nasi bungkus di warung Jawa Timur, tempat makan
langganannya dan Ari. Aku yang boleh dibilang sebagai pemilik hajat, jelas aja
protes dan mendesaknya untuk menerima uang ganti rugi yang sudah kusediakan
dari kemaren-kemaren. Kak Alvian hanya tertawa dan mengibaskan tangannya. Aku
tentu saja tak langsung diam saja. Tapi kemudian Ari memegang tanganku. Dia tak
mengatakan apapun, tapi pandangannya yang penuh makna yang pada akhirnya
membuatku menaahan diri, dan cuma mampu menarik nafas kalah.
Aku benar-benar merasa beruntung memiliki
orang-orang seperti mereka, juga Regi, Vivi dan yang lain di sekitarku. Entah
alasan apa yang menyebabkannya. Tapi aku akan berusaha untuk tidak kehilangan
mereka. Apalagi di zaman sekarang dimana kebanyakan orang lebih mementingkan
diri mereka sendiri.
Dan sayangnya, hingga jam 3 sore, kami hanya mampu
menyelesaikan 100 parcel. Jadi kemungkinan, jam 5 nanti saat truk pengangkut
datang, kami masih belum selesai.
"Nggak apa-apa Gha," kata Regi
menenangkan. Ntar sisanya kita angkut sendiri aja ke Panti."
"Tapi kan jauh Gi," kataku. Mana tega aku
bikin mereka lebih cape dari ini. Kalo ditambah perjalanan bolak-balik ke
panti, bisa-bisa mereka tepar duluan.
"Ntar biar aku dan Ari aja yang gantian bawa
mobil," celetuk Kak Alvian yang duduk di belakangku.
"Kak..........."
"Kita selesaikan saja. Kita semua sudah sepakat
buat bantu kan? Kita pasti akan bantu sampai tuntas. Jadi nggak usah mikir yang
macem-macem," lanjut Kak Alvian tanpa memperdulikanku. Ari juga
mengangguk, mendukungnya dan
mengacungkan jempolnya padaku. Lihat itu!
Bagaimana aku bisa membalas kebaikan mereka coba?
Lamunanku diputus oleh deringan ponselku. Sembari
masih tertawa pada banyolan Regi, aku mengambil hape yang ku kantongi. Ada
sedikit kekagetan saat kulihat nama Mas Rizky disana. Aku hampir-hampir tidak
mengingatnya setelah pertemuan kami yang berakhir tak enak.
"Ha-halo Mas Rizky...?" sapaku sedikit
gugup.
"Masih lembur Gha?" sapa Mas Rizky dengan
suara yang terdengar biasa, membuatku merasa sedikit lega.
"Masih Mas. Ini lagi garap parcel di kostan.
Regi ma Vivi juga bantuin dari kemaren," jawabku.
"MAS RIZKY SINII!!! BANTUIN JUGA
DOOOONGGG!!!" teriak Regi dengan suara cemprengnya. Aku langsung melotot
kesal padanya.
"Gak apa-apa kalo aku kesana?" tanya Mas
Rizky yang sepertinya mendengar teriakan Regi.
"Ng-nggak.."
Regi sudah merebut ponselku dengan cepat,
"Kesini aja Mas. Kita butuh tenaga banyak ini. Udah ada beberapa orang
yang bantu, tapi kita tetap aja kewalahan. Ditunggu ya Mas?" cerocosnya
dan langsung mematikan ponselku, "Kita butuh pemandangan seger buat bikin
semangat, em?" celetuknya cuek sembari mengerling pada Vivi dan Ari yang
tersenyum penuh arti.
Aku yang tadi cuman bisa bengong saking kagetnya,
akhirnya cuma misuh-misuh pelan sembari menangkap ponselku yang dilempar oleh
Regi. Duhh!!! Udah bikin gak enak, sekarang malah ngerepotin. Dasar Regi!!
umpatku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar