Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 30 - Parcels



REGHA




Aku menyumpah pelan saat berjalan keluar dari kantin. Sumpah mampus!! Bule sinting itu benar-benar tahu cara membuatku naik darah. Gayanya yang sok ngebos dan untouchable itu terkadang membuatku ingin melempar benda apapun yang ku pegang ke mukanya. Dan sikap sok playboy-nya semakin membuatku tak menyukainya. Adu argumen yang pernah kami lakukan dulu sepertinya tak membuatnya berpikiran lain. Tapi siapa yang bisa disalahkan? Fakta bahwa dia seorang player sudah diketahui orang-orang sekampus. Dia tipe orang yang harus selalu menyalurkan libidonya. Bahkan mungkin dia mampu untuk mengganyang segala sesuatu yang bergerak di depannya.

"Dan dia bahkan berani menciumku! Seharusnya aku menonjoknya waktu itu," gerutuku dengan kedua tangan terkepal keras.

"Tunggu dulu! Mencium?!! Zaki?" sergah Regi yang kemudian kontan menahan lenganku.

SIAL!!! Aku bahkan tak sadar kalau aku menggumamkan kalimat tadi dengan keras. Dengan kesal aku menyentakkan lenganku dari pegangan Regi dan kembali melangkah, masih dengan kejengkelan yang luar biasa, "Gue gak mau bahas itu,"  gumamku.

"Zaki nyium elo Gha?" buru Vivi yang segera menjejeri langkahku.

Aku menghentikan langkahku dan menarik nafas panjang, mencoba mengenyahkan kekesalanku yang jelas saja percuma dan justru semakin membuat mereka berdua penasaran, "Bukan hal yang penting, ok?!"

"Tentu saja penting!" potong Regi ngotot. Sepertinya naluri bancinya sudah terusik. Jelas dia menangkap gosip hangat yang perlu segera di konfirmasi.

"Tak ada satu hal pun yang romantis tentang ciuman itu. Jadi gak ada gosip panas yang perlu lo dengerin," kataku sembari kembali melangkah.

"Hanya fakta bahwa lo berdua cowok dan straight. Hal itu saja cukup buat bikin kita berdua tertarik. Now tell Mama, what happenned!" tuntutnya keukeuh. Kembali aku menarik nafas panjang dan berpaling pada Vivi, mencoba meminta bantuannya. Tapi tentu saja, cewek itu turut menunggu ceritaku dengan wajah mupeng. Seharusnya aku ingat kalau dia adalah seorang fag hag sejati.

"Ciuman itu hanya dia lakukan untuk membungkam gue. Hari minggu kemaren gue ke rumah dia buat berangkat kerja bareng. Dia lagi sarapan bareng cewek tadi, eeeeuuhh..........." aku mencoba mengingat namanya yang tiba-tiba saja hilang dari memoriku.

"Anna," bantu Regi tak sabar.

"Yes, itu dia. Gak perlu gue jelasin apa yang terjadi. Gue nanya apa mereka berdua pacaran. Tapi dengan santai dia 
nyangkal dan mengatakan bahwa mereka hanya berteman. Gila kan?!"

"Gha, lo nyadar kan kalo Zaki dibesarkan dalam budaya yang jauh berbeda dengan adat ketimuran kita?" sela Vivi.

"Gue tahu! Tapi seperti yang lo bilang, itu budaya sana. Bukan disini. Jadi secara gak langsung gue negor dia. Gue salah satu orang yang respek akan sex. Bagi gue sex itu sakral. Karena gue dibesarin dengan budaya, bahwa sex hanya boleh dilakukan saat kita telah menikah."

Regha tersenyum tipis, "Dan itu adalah salah satu hal yang bikin lo beda Gha. Tapi.......... lo udah coba liat di sekeliling lo sekarang? Casual sex hampir-hampir menjadi hal lumrah di kota besar seperti Bandung ini. Bukan gue ngebenerin atau mengamininya!!!" Regi buru-buru menjelaskannya saat aku melemparkan pandangan tak sukaku, "Gue tau itu bukan budaya kita. Lo gak perlu negesin itu. Tapi lo juga kudu tau kalau pergeseran itu sudah terjadi. Gue yakin lo udah liat dan tahu. Lo bukan orang bodoh atau terlalu hipokrit buat buta akan hal itu kan?"

Apa yang bisa ku bantah dari hal itu?! Aku benar-benar akan menjadi seorang munafik bodoh kalau aku menyangkalnya. Zaman sekarang, bahkan anak SD sekalipun memiliki akses mudah untuk mendapatkan video porno. Miris! Tapi memang itu faktanya kan?

"Tapi gue bukan mereka Gi."

"Gue tau Gha. Justru hal itu yang bikin lo spesial dan lain."

"Gue gak senaif itu kali Gi," kataku dengan senyum tipis, "Gue juga tahu bagaimana rasanya saat nafsu kita terusik. Tapi untuk melakukannya dengan sembarang orang, itu urusan yang gila bagi gue. Sex terlalu sakral dan setidaknya, hanya pantas gue lakukan dengan orang yang memiliki makna dalam hidup gue."

Vivi meletakkan satu tangannya di bahuku dan meremasnya pelan, "Sekali lagi, itu adalah salah satu kualitas lo."

"Dan bodoh? Jelas bahwa banyak orang yang memiliki pandangan berbeda"

"You are what you are honey! Jangan berubah hanya karena orang di sekeliling lo berubah. Berhubungan dengan orang lain bukan berarti lo kudu jadi orang lain Gha. Jadi diri lo sendiri aja," cetus Regi.

"Dan memberi warna sendiri dalam kehidupan,"  gumamku pelan, teringat percakapanku dengan Ari.

"Maksudnya?" tanya Vivi tak mengerti.

"Gue pernah ngobrol ma Ari. Well, intinya, dia mengatakan bahwa dunia ini dipenuhi dengan orang-orang yang berbeda. Ada yang kaya, miskin, jelek, cakep."

"Banci!" cetus Vivi kalem.

"Gendut!" sahut Regi cepat sembari menjulurkan lidahnya pada Vivi, hingga aku tak bisa menahan senyumku.

"Straight, gay, lesbi dan lain sebagainya," kataku meneruskan daftar mereka, "Mungkin memang Tuhan menciptakan kita berbeda. Memang harus ada perbedaan. Karena perbedaan itu yang membuat dinamika kehidupan berjalan. Perbedaan itu yang membuat kita semua terhubung. Saling berinteraksi dan berhubungan dan kadang bergesekan. Dengan begitu maka ada kehidupan yang berjalan dan membentuk dunia yang penuh warna ini. Dan masing-masing dari kita memberi warna sendiri pada wajah dunia."

"Dunia jelas tak akan bisa berputar bila semua orang sama kan? Kita semua memang berbeda," kata Vivi dan tersenyum 
lebar.


"Ada Dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit. Arsitek yang membangun geduang, bahkan banci yang bertugas..."

"Menyesatkan banyak cowok cakep," serobot Vivi langsung, memotong kalimat Regi.

"Pesona ikke emang sulit ditolak," cetus Regi dan mengedipkan sebelah matanya.

Kami tertawa hampir bersamaan.

"Terus gimana ceritanya sampe Zaki cumi-cumi elu? Lanjutin!!" tuntut Regi. Sial!! Tuh anak kalo penasaran ternyata sulit dibelokin pikirannya.

"Ya intinya, waktu itu gua ngomel lah. Gua ajuin argumen gimana budaya ketimuran kita. Gimana kita kudu ngehargain diri sendiri kita. Mungkin aja Zaki nganggap dirinya sebagai player yang mainin semua cewek yang bisa digaetnya. Nganggap kalo semua cewek itu gampangan. Padahal kalo di pikir-pikir, dia yang membiarkan tubuhnya juga dinikmati cewek-cewek itu juga sama aja murahannya kan? Lalu dia cium gue," pungkasku.

"Begitu aja?" tanya Regi bloon.

"Yep! Dengan itu dia sukses ngebungkam gue. Dan please, jangan tanya apapun lagi. Karena gue gak ingin mengingatnya."

"Tapi dia cium elo Gha!!" kata Vivi seakan-akan menekankan arti dari kalimatnya.

"Gue tau!!" serobotku dongkol, "Dan itu bukan pengalaman yang menyenangkan."

"Gue aja pengen dicium ma dia neeekk!!"  pekik Regi yang langsung membuatku menggerutu dan segera melangkah meninggalkan mereka.

"Gua gak mau bahas lagi! Lebih baik kita konsen ma tugas kita. Gue gak mau membuat Zaki memiliki alasan lain untuk melakukan hal gila lagi ke gue. Paham?!!!" tukasku kesal.

"Tapi dese cumi cumi yey neeeekk!!!!!" ulang Regi dengan nada centilnya.

Aku cuma kembali misuh-misuh dan buru-buru meninggalkan mereka.

Hari ini kami harus mulai berbelanja macam-macam kebutuhan buat parcel. Keranjang rotan, kertas pembungkus kado, berbagai jenis pita, selotip, tali emas dan. perak buat hiasan dan entah apa lagi. Regi sudah membuat daftar belanjaan yang panjangnya bikin puyeng. Apalagi beberapa dari benda itu dijual di toko terpisah dan jaraknya lumayan bikin teler. 

Beberapa hari ke depan sepertinya akan berjalan dengan panjang dan melelahkan, batinku memelas.


Dugaanku tak meleset. Setelah menguangkan cek dari Zaki, kami langsung berbelanja dengan menggunakan mobil Vivi yang berhasil dia pinjam dari Papanya. Kami pergi dari satu toko ke toko lain. Hari ini kami hanya berbelanja barang-barang kecil yang bisa kami angkut. Sementara beberapa benda yang tak bisa kami angkut dalam satu kali jalan, seperti keranjang rotan, kami putuskan untuk membelinya besok. Kami hanya memesannya saja. Kami bertiga sampai ke kostan pada jam 7. malam dalam keadaan lelah. Disambut oleh Kak Alvian dan Ari. Mereka segera membantu kami menurunkan belanjaan dan meyakinkan kami kalau besok mereka akan membantu.

Aku sangat bersyukur mendapatkan bantuan dari mereka. Kak Alvian bahkan rela datang pagi-pagi keesokan harinya. Dia dan Ari yang menangani truk buah yang akan datang. Sementara aku dan Regi serta Vivi meneruskan acara belanja kami yang belum rampung. Ada sedikit insiden yang terjadi saat kami mengambil keranjang buah pesanan kami di toko oleh-oleh.

Aku melihat sosok Mas Rizky yang sedang berbelanja disana dengan seorang cewek cantik yang belum pernah kulihat sebelumnya. Semula ku pikir aku hanya salah lihat. Siapa sangka kalau aku akan melihat hari dimana Mas Rizky, sedang berkencan dengan seseorang. Apalagi dengan seorang cewek. Tanpa dapat menahan diri, aku berjalan mendekatinya.

"Mas.........." panggilku pelan.

Mas Rizky berbalik dan tampak kaget. Bola matanya sedikit membesar melihatku yang berdiri dibelakangnya.

"Regha? K-kamu sedang ap-apa?" tanyanya.

"Lagi butuh sesuatu disini Mas. Daaan....." aku tak meneruskan kalimatku, hanya berpaling pada sosok mengangumkan disebelahnya yang kini memandang kami dengan tatapan tertarik.

"Hai........." sapa cewek yang tingginya nyaris sama denganku itu dan mengulurkan tangannya, "Shella."

Aku hanya mengangguk rikuh dan menjawab ulurannya, "Regha," jawabku singkat.

"Shell, bisa permisi sebentar? Kamu lihat-lihat dulu ya?" kata Mas Rizky dann segera menyambar tanganku dan menarikku keluar. Tak memperdulikan tatapan bingung dari Shella. Aku hanya mengikutinya dengan sedikit tersuruk.

"Mas, masa si Shella ditinggal?" tanyaku kemudian.

"Dia bukan pacarku Gha. Dia tunangan Ferdy. Aku hanya menemaninya belanja karena Ferdy tak bisa mengambil cuti. Jadi tolong jangan marah, ok?"

"Engga kok Mas. Egha ga marah,"  jawabku dengan nada kalem.

Kalimatku itu membungkam Mas Rizky untuk beberapa saat lamanya. Dia tampak sedikit terkesiap dan tak percaya, 
"Ka-kamu nggak marah?" tanyanya.

Entah karena alasan apa, aku jadi tertawa gugup mendengarnya, "Enggak Mas. Santai aja........" Lagi-lagi jawabanku membuatnya tercenung sejenak. Dia diam, berdiri didepanku dan memandangku dengan tatapan yang sedikit kosong.

"Gha!!" panggil Regi yang kemudian keluar dari toko, diikuti oleh Vivi, dan mendekati kami, "Lho, ada Mas Rizky?" sapanya dan tersenyum. Mas Rizky hanya menjawabnya dengan senyuman singkat dan menganggukkan kepala.

"Udah?" tanyaku pada mereka.

"Udah kelar semua. Kita bisa segera cabut," jawab Vivi yang kemudian juga mengangguk untuk menyapa Mas Rizky.

"Kalo gitu kita mesti cepet-cepet. Oh ya, Mas Rizky, untuk malam minggu ntar, Egha absen dulu ya? Egha harus nyiapin parcel buat pesta ulang tahun di panti. Ini udah dapet bantuan dari beberapa orang temen. Tapi sepertinya kami bakalan begadang," kataku. Tak ada jawaban dari Mas Rizky yang masih memandangku dengan tatapan aneh.  Aku berpaling pada Regi dan Vivi yang juga terlihat heran.

"Mas..?" panggil Regi pelan.

Mas Rizky seperti dikagetkan. Dia mengerjap sebentar lalu menoleh pada Regi, seakan-akan baru saja melihatnya, "Oh?! Ya. Iya . Tentu saja. Kalo gitu aku ke dalam dulu. Shella sudah menunggu," kata Mas Rizky yang kemudian berlalu tanpa mengatakan apapun lg.

"Kenapa Mas Rizky?" tanya Regi.

"Shella?" sambung Vivi dengan nada tanya.

"Nggak tau Gi. Shella itu tunangan Ferdy, temen Mas Rizky," kataku menjelaskan dan menunjuk ke dalam, dimana kami bisa melihat mereka berdua yang sedang terlibat dalam percakapan singkat, "Kita kudu segera mulai," kataku dan melangkah menuju mobil Vivi.

"Tapi kenapa sikap Mas Rizky jadi aneh Gha?" tanya Regi yang mengikutiku.

"Nggak tau. Tadi kami ngobrol santai ko. Dia ngejelasin kalo si Shella itu tunangan Ferdy. Jadi kaya orang panik gitu. Minta supaya gue gak marah. Buat apa gue marah kan? Gue jelasin kalo gue gak marah dan............" Aku berhenti saat Regi dan Vivi melakukan hal yang menyebalkan itu lagi. Saling memandang dengan pemahaman yang tak terucap, "What?"

"Pantes saja dia gitu," gumam Vivi yang mulai menjalankan mobil, membaur dengan padatnya lalu lintas Bandung.

"Itu sama aja ama lu bilang 'gue ga suka ma elu. Jadi gue gak peduli lu ngelakuin apa-apa, karena ga ada efeknya buat gue' di mukanya secara langsung," jelas Regi. Dan dengan itu dia membungkam kami semua hingga kami tiba di kostan. Kami disambut oleh Kak Alvian dan Ari yang mengatakan bahwa hampir semua kiriman buah telah sampai. Hanya tinggal buah kiwi yang diperkirakan datang sebentar lagi.

Dan selanjutnya, kami semua tenggelam dalam kesibukan yang cukup melelahkan dan sanggup membuatku melupakan insiden siang tadi. Mobil pick up yang mengangkut buah kiwi datang, tak lama setelah kami selesai memindahkan belanjaan kami dari mobil Vivi. Aku segera melunasi uang buah pada Mbak Sri yang ikut datang. Beliau dengan baik hati memberi kami bonus beberapa kilo buah jeruk dan apel. Setelah itu, aku dan yang lain segera memulai proses pembuatan parcel. Beberapa teman kost yang lain juga tertarik untuk membantu. Lebih tepatnya mungkin diperintah untuk membantu oleh Regi. Sebenarnya mereka lebih tertarik untuk mencicipi berbagai buah-buahan import. Tapi dengan judesnya Regi ngamuk. Meski buntutnya, dia berjanji akan memberi mereka bagian buah asal mereka mau membantu kami. Kebanyakan dari mereka sebetulnya mau saja membantu. Sebagian hanya sok jual mahal karena iseng ingin menggoda Regi.

Harus aku akui, kalo Regi sangat kreatif dalam membuat parcel. Dia memberi contoh satu set parcel pada kami dengan perlahan, berikut cara menghias dan membungkusnya. Hal yang terlihat sangat mudah saat dia melakukannya. Sementara kami yang lain membutuhkan koreksi setidaknya 3 atau 4 kali. Tapi setidaknya setelah benar-benar berusaha, aku bisa melakukannya dengan benar setelah percobaan yang ke-8. Vivi sukses bikin satu parcel pada percobaan ke-3. Sial!!

Hari itu kami berhasil membuat 50 parcel saat jam menunjukkan pukul 10 malam. Regi mengatakan kalau malam ini cukup. Besok kami akan mulai lebih pagi. Target besok, kami harus menyelesaikan sisa yang 150. Malam itu aku membaringkan tubuhku yang lelah tanpa sekalipun memikirkan hal lain selain bagaimana membuat sebuah parcel buah.





RIZKY


"Kau masih terlihat murung setelah bicara dengan cowok yang waktu itu Ky," tegur Shella. Aku yang sedari tadi agak melamun, langsung menegakkan punggungku dan fokus pada dia yang duduk didepanku.

"Maaf. Tolong jangan salah paham. Aku...."

Shella mengangkat satu tangannya untuk menahanku, "Sudah. Nggak perlu dijelasin. Nanti aku jadi makin tahu dan penasaran," jelasnya dan nyengir, mencoba membuatku yang sudah sedikit panik, merasa lega.

Aku tertawa kecil. Sikapnya yang ringan dan riang semakin menambah daya tariknya, "Terimakasih. Tapi sebenarnya, masalahku hampir mirip dengan masalahmu lho," selorohku dan mengerling.

Bola mata Shella membesar, "Cinta bertepuk sebelah tangan? Dengan siapa? Teman cowok yang kemaren? Atau saudaranya?" desaknya ingin tahu.

Lagi-lagi aku tertawa, "Ada deh. Tapi intinya ya sama. Bertepuk sebelah tangan," jelasku singkat.

"Menyebalkan ya?" desahnya dan menghembuskan nafas panjang, "Kenapa kita nggak bisa menyukai orang yang menyukai kita? Justru nguber-nguber seseorang yang sama sekali tak peduli akan keberadaan kita."

"Rumit ya?" timpalku, ikut larut dalam suasana yang kini berubah melodramatis, "Tapi bukankah memang seperti itu cerita cinta. Ada satu pihak yang berusaha meraih cinta dari pihak yang lain. Atau kalo enggak, dia jatuh cinta pada orang yang salah. Dan konflik cintapun mulai. melibatkan beberapa peran pembantu."

"Atau kalo enggak, dua-duanya saling mencintai, namun keluarga mereka menentangnya. Akhirnya sepasang pecinta itu kawin lari. Menyatukan cinta mereka tanpa restu orang tua. Menjauh dari keluarga mereka yang penuh konflik. Tapi sialnya, keluarga mereka mengetahui keberadaan mereka. Endingnya mereka di pisahkan. Dan karena suatu kesalah pahaman, satu pihak mengira pasangannya mati. Hingga akhirnya dia meminum racun untuk bisa bersama kekasihnya di alam baka," timpal Shella dengan mata berbinar.

Kali ini aku tak mampu menahan tawa kerasku. Beberapa pengunjung kafe yang saat itu juga ada di sekitar kami jadi melirik ke meja kami, "Itu Romeo and Juliet-nya Shakespeare kan? Suka kisah cinta yang tragis ya?"

Shella nyengir, "Enggak juga sih. Tapi kalau membayangkan ada seseorang di luar sana yang merasa tak akan mampu hidup lagi. karena besarnya rasa cinta yang dia rasakan, sepertinya sangat romantis. Sering bertanya-tanya sendiri, apa ada cinta yang seperti itu di dunia yang mulai penuh sesak oleh kebohongan ini."

Aku bersiul oleh kata-katanya, "Jadi kita mulai mendiskusikan soal cinta nih? Jadi menurutmu, mati untuk bisa bersama dengan kekasih seperti yang dilakukan Romeo dan Juliet itu................. indah?" tanyaku dengan sebelah alis terangkat, 

"Karena menurutku itu bodoh dan pengecut. Sementara bagi orang sepertimu, yang mengharapkan kekasihnya ikut meninggal untuk menyusulnya, aku menyebutnya egois!"

"Hei!!!" seru Shella dengan nada tersinggung, meski matanya berbinar geli. Dia melempar selembar tissue yang tadi dipegangnya, "Aku orang yang romantis lho!!" bantahnya.

Aku kembali terkekeh sembari menggelengkan kepala, "Tapi cukup kejam untuk meminta seseorang mati."

"Bukan matinya yang jadi poin utama. Tapi bagaimana besar rasa cinta yang dia rasakan, sehingga bahkan untuk sekedar melanjutkan hidup ini, terasa mustahil baginya. Itu yang penting. Orang yang merasa bahwa kekasihnya adalah udara baginya. Karena itu, jika pasangannya itu mati, dia tak akan bisa bertahan. Karena tak ada lagi nafas baginya. Tak ada lagi kehidupan baginya."

"Itu bodoh!!" komentarku singkat dengan senyum simpulku.

"Kamu nggak romantis ya?" sungutnya kesal.

"Well, aku hanya mencoba untuk jadi seorang realis dan rasional saja. Karena pada kenyataannya, seberapapun besar cinta kita pada seseorang, seberapapun sayangnya kita padanya, akan tiba suatu titik dimana kita terpisahkan. Entah itu oleh orang ke tiga, oleh diri kita sendiri, ataupun maut yang jadi ketentuan Tuhan. Terkadang cinta dan sayang seseorang itu hanya indah pada saat dia mulai tumbuh saja. Akan ada saat dimana dimana cinta itu akan meranggas dan kemudian mati. Bahkan terkadang, ada di saat benih cinta itu tumbuh di tempat yang tidak semestinya. Meski kita bisa membiarkannya tumbuh, kita tak akan bisa memetiknya. Karena cinta itu bukanlah hak kita. Kita harus merelakannya menjadi orang lain karena berbagai alasan. Bisa karena memang cinta itu telah menjadi hak orang lain.  Atau mungkin, karena bila cinta itu kita miliki, maka dia hanya akan menjadi racun bagi keluarga kita. Atau karena cinta itu justru membuat masing-masing dari kita tersakiti ooleh duri-durinya. Dan............. masih banyak lagi atau-atau lainnya yang akan terlalu kompleks dan menyakitkan bila kita membahasnya," kataku dengan sedikit menerawang.

Shella menghembuskan nafas panjang dan mendesah, "Rumit dan menyebalkan," gumamnya.

"Bukankah seperti itulah cinta?" selorohku, tersenyum.

"Ada saat dimana kadang, aku menganggap cinta itu sebagai hal yang remeh dan konyol. Lucu aja ngebayangin kalo ada orang yang rela berbuat hal yang tidak masuk akal karena cinta."

Kembali aku tersenyum karena sepertinya aku sudah pernah mendengarnya. Ataukah aku sendiri yang mengatakan hal itu? pikirku geli.

"Well, pada kenyataannya, itulah yang terjadi. Banyak tindakan luar biasa yang dilakukan oleh seseorang karena cinta. Sejarah sudah mencatat banyak sekali kisah cinta yang luar biasa. Dari zaman nabi Adam dan Ibu Hawa, Cleopatra dan Marc Anthony, Samson Delilah hingga kisah Ken Arok dan Ken Dedes di negeri kita. Pembahasan cinta sendiri tak akan pernah berhenti di masa kini. Akan terus berlanjut hingga nanti."

"Jadi kau percaya cinta?" tanya Shella. Aku tak langsung menjawabnya. Aku membutuhkan waktu sejenak untuk memikirkan pertanyaan sederhananya itu. Percayakah aku? Dengan cara hidupku selama ini? Dengan semua pengalamanku yang mengajarkan bahwa aku tak mungkin hidup bersama dengan orang yang kucintai? Dengan apa yang kulakukan?

Pada akhirnya aku mengangguk, "Aku percaya. Tapi bukan berarti aku yakin kalau aku bisa memilikinya," kataku akhirnya. Shella menatapku dengan pandangan heran, "Katakan saja bahwa ada beberaapa dari kita yang memiliki keterbatasan dalam mendapatkan apa yang dia inginkan," kataku tanpa menjelaskan lebih jauh lagi.

"Tapi kenapa? Ky, kamu sadar kan dengan semua potensi yang kamu miliki? Lihat dirimu ke dalam cermin. Kau rupawan. Berpendidikan. Caramu bersikap dan bertindakpun baik. Seorang Dokter dengan fisik sempurna dan menawan. Apa yang menghalangimu? Hanya orang bodoh yang mau menolakmu!" sergahnya.

"Bukankah sama denganmu Shell?" tanyaku balik tanpa melepas senyumku. Hal itu membungkamnya. Shella berusaha menemukan bantahan. Mulutnya terbuka seolah-olah hendak mengatakan sesuatu. Meski akhirnya dia hanya mampu mengangkat tangan dan kemudian menjatuhkannya dengan kesal.   

"Ini menyebalkan!!!" sentaknya kesal dan menghentakkan kaki ke lantai, "Kita berdua nyaris sempurna! Kita berdua sama-sama layak untuk mendapatkan keinginan kita! Tapi kenapa kita menginginkan hal yang  terkadang tak bisa kita miliki?!! Apa yang salah dengan kita?!"

Aku menggelengkan kepalaku, "Aku tak bisa menjawabnya dengan pasti Shell. Tapi mungkin sudah sifat manusia yang selalu menginginkan apa yang tidak dia miliki."

"Dan itu sangat menyebalkan!"

"Aku setuju," jawabku dan mengangkat minumanku. Dengan itu, diskusi kamipun berakhir.

Aku mengantar Shella kembali ke kontrakan Ferdy ketika hari menjelang sore. Ferdy yang sudah pulangg menyambut kami di depan pintu dengan tatapan ingin tahu.

"Kalian bersenang-senang?" tanyanya dengan nada datar.

"Lumayan," jawabku singkat sembari nyelonong masuk dengan membawa beberapa tas belanjaan Shella.

"Rizky baik banget lho Mas," jawab Shella yang saat kulirik menyalami dan mencium tangan Ferdy dengan takzim, "Dia gak pernah ngeluh pas kuajak keliling buat beli titipan orang-orang rumah."

"Aku senang kok," jawabku dan duduk di sofa, "Apa rencana kalian nanti malam?" tanyaku.

"Kami belum tahu," jawab Ferdy, masih dengan nada datar yang sama.

Kami ganti menoleh pada Shella yang kemudian duduk didepanku, "Eeuuhh....... pengennya jalan-jalan di Dago. Rizky kemarin siang iming-iming lho Mas. Katanya disana rame kalo malem minggu. Jadi pengen tahu," katanya.

"Ajak saja Fer. Pakai mobilku. Tapi besok senin jemput aku di rumah, ok?" saranku.

"Tapi.......... ini kan malam minggu? Bukannya kamu ada acara dengan Regha?" tanya Ferdy heran.

"Lho? Rizky nggak ikut? Yaaaahh.... gak seru lah Ky. Ikut ya? Besok siang aku sudah balik ke Yogya lho."

"Nggak bisa Shell. Rizky ada acara rutin di malam minggu," kata Ferdy. Meski dia mengucapkan kalimat tadi biasa-biasa saja, aku tetap merasakan sedikit ketidak enakannya.

"Pacar Ky?" tanya Shella ingin tahu.

"Teman Shell. Malam minggu ini enggak Fer. Dia ada kerjaan lembur," jawabku singkat. Hal itu mengingatkanku kembali pada percakapan singkatku dengan Regha di depan toko waktu itu. Aku masih belum menghubunginya lagi.

"Berarti bisa ikut kan Ky?" tanya Shella penuh harap.

Aku mengangkat bahu, "Kalau tidak mengganggu........" jawabku akhirnya. Aku tersenyum saat Shella sedikit bersorak kegirangan. Aku lalu bangkit untuk permisi keluar sebentar. Aku ingin mendengar suara Regha dulu meski malam ini kami tak bisa bertemu.






REGHA



Regi dan Vivi sudah nongol di kostan pada jam 8 pagi. Dengan sadisnya dia gedor-gedor pintu dan membangunkan hampir semua penghuni kost yang berniat membantu. Aku yang masih terkantuk diseretnya kekamar mandi. Dia bahkan sudah ngomel-ngomel dan berniat untuk menelepon Kak alvian, yang hanya selang beberapa detik kemudian muncul dari kamar Ari, dan sudah tampak segar dan siap. Melihat itu, Regi dan Vivi langsung bersorak kegirangan. Entah karena apa. Baru setelah melihat tampang Ari yang merah dan kelabakan meminta mereka untuk diam, aku bisa menduga apa yang mereka ributkan. Dan itu membuatku merasa malu sendiri.

Aku sendiri sudah ijin libur pada Bu Indri. Menelepon beliau membuatku ingat akan Mas Rizky. Perasaanku kembali tak enak mengingat akhir percakapan kami kemarin yang aku yakin, mengecewakannya. Meski sudah berniat dalam hati untuk menghubunginya setelah semua ini selesai, aku masih tak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Dalih apa yang harus ku berikan agar dia, kami berdua, merasa lebih baik.

"Kalian masih ingat dengan caranya kan?" tanya Regi yang mendahului kami menuju kamar yang kami gunakan. Kami hanya menyahut seperlunya, "Bagus! Bagi yang gak bisa bikin, kalian yang angkut semua parcel yang telah jadi ke kamar sebelah. Jangan sampai bertumbuk dan merusak bentuknya. Kalau kamar itu sudah penuh, taruh saja di kamar Regha dan Ari. Dan kalau masih belum nampung..."

"Gak akan muat kalo 200 parcel Gi," sahut Ari.

"Kalian taruh saja di teras kamar. Di depan kamar kost masing-masing. Ari, lo udah hubungi truk pengangkutnya?"

Ari mengangguk, "Sopir truk yang kemaren sudah siap untuk mengangkutnya ke panti. Jadi jam 5 sore ini? Gue kudu mastiin ke mereka," tanya Ari. Regi langsung menoleh padaku untuk meminta konfirmasi.

"Kita bisa selesein semua sebelum jam 5?" tanyaku balik.

"Kalo kita segera mulai, kemungkinan bisa," jawab Regi.

"Kalo begitu pastiin aja, Ar," putusku.

"Dutanya maskara adinda kan Cyin?" tanya Regi pelan padaku dengan bahasa salonnya.

"Masih beberapa juta kok. Cukup buat bayar biaya angkut. Malah lebih," jawabku.

"Sip!!" ujarnya ringan, "Yuk, capcus kita mulai pekerjaannya. Aa Alvian, Ari, Vivi ma ikke juga Regha akan segera mulai. Reno, Yosep ma Markus, kalian bisa bantu bersihin buahnya kan? Yang lain pindahin en tata parcel yang udah jadi ya?"

Dan kamipun tenggelam dalam kesibukan yang sedikit chaos. Segera saja kamar yang kami gunakan dipenui oleh potongan kertas, pita dan selotip yang bertebaran. Sesekali teriakan cempreng Regi yang kadang digoda oleh beberapa anak kost terdengar. Bahkan di saat sibuk seperti ini, tuh anak masih bisa ngebanyol dan membuat kami sesekali tertawa. Bahkan saat Ari yang membawa laptop dan sound system mini-nya ke kamar itu dan nyetel lagu dangdut belah durennya Jupe, Regi masih sempat goyang seru. Semua gaya dia geber. Dari goyang patah-patah, gergaji, ngebor sampe kayang. Hasilnya, dia 
sukses bikin kami ngakak bareng.

Kami sempat beristirahat pada saat jam makan siang. Yang bikin segan adalah saat Kak Alvian yang justru dengan sigap bangkit dan mentraktir kami dengan membeli nasi bungkus di warung Jawa Timur, tempat makan langganannya dan Ari. Aku yang boleh dibilang sebagai pemilik hajat, jelas aja protes dan mendesaknya untuk menerima uang ganti rugi yang sudah kusediakan dari kemaren-kemaren. Kak Alvian hanya tertawa dan mengibaskan tangannya. Aku tentu saja tak langsung diam saja. Tapi kemudian Ari memegang tanganku. Dia tak mengatakan apapun, tapi pandangannya yang penuh makna yang pada akhirnya membuatku menaahan diri, dan cuma mampu menarik nafas kalah.

Aku benar-benar merasa beruntung memiliki orang-orang seperti mereka, juga Regi, Vivi dan yang lain di sekitarku. Entah alasan apa yang menyebabkannya. Tapi aku akan berusaha untuk tidak kehilangan mereka. Apalagi di zaman sekarang dimana kebanyakan orang lebih mementingkan diri mereka sendiri.

Dan sayangnya, hingga jam 3 sore, kami hanya mampu menyelesaikan 100 parcel. Jadi kemungkinan, jam 5 nanti saat truk pengangkut datang, kami masih belum selesai.

"Nggak apa-apa Gha," kata Regi menenangkan. Ntar sisanya kita angkut sendiri aja ke Panti."

"Tapi kan jauh Gi," kataku. Mana tega aku bikin mereka lebih cape dari ini. Kalo ditambah perjalanan bolak-balik ke panti, bisa-bisa mereka tepar duluan.

"Ntar biar aku dan Ari aja yang gantian bawa mobil," celetuk Kak Alvian yang duduk di belakangku.

"Kak..........."

"Kita selesaikan saja. Kita semua sudah sepakat buat bantu kan? Kita pasti akan bantu sampai tuntas. Jadi nggak usah mikir yang macem-macem," lanjut Kak Alvian tanpa memperdulikanku. Ari juga mengangguk, mendukungnya dan 
mengacungkan jempolnya padaku. Lihat itu! Bagaimana aku bisa membalas kebaikan mereka coba?

Lamunanku diputus oleh deringan ponselku. Sembari masih tertawa pada banyolan Regi, aku mengambil hape yang ku kantongi. Ada sedikit kekagetan saat kulihat nama Mas Rizky disana. Aku hampir-hampir tidak mengingatnya setelah pertemuan kami yang berakhir tak enak.

"Ha-halo Mas Rizky...?" sapaku sedikit gugup.

"Masih lembur Gha?" sapa Mas Rizky dengan suara yang terdengar biasa, membuatku merasa sedikit lega.

"Masih Mas. Ini lagi garap parcel di kostan. Regi ma Vivi juga bantuin dari kemaren," jawabku.

"MAS RIZKY SINII!!! BANTUIN JUGA DOOOONGGG!!!" teriak Regi dengan suara cemprengnya. Aku langsung melotot 
kesal padanya.

"Gak apa-apa kalo aku kesana?" tanya Mas Rizky yang sepertinya mendengar teriakan Regi.

"Ng-nggak.."

Regi sudah merebut ponselku dengan cepat, "Kesini aja Mas. Kita butuh tenaga banyak ini. Udah ada beberapa orang yang bantu, tapi kita tetap aja kewalahan. Ditunggu ya Mas?" cerocosnya dan langsung mematikan ponselku, "Kita butuh pemandangan seger buat bikin semangat, em?" celetuknya cuek sembari mengerling pada Vivi dan Ari yang tersenyum penuh arti.

Aku yang tadi cuman bisa bengong saking kagetnya, akhirnya cuma misuh-misuh pelan sembari menangkap ponselku yang dilempar oleh Regi. Duhh!!! Udah bikin gak enak, sekarang malah ngerepotin. Dasar Regi!! umpatku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar