Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) chapter 32 - Something's Shifting



ZAKI



Aku mencemaskannya!

Sial!!! Aku akan merasa lebih baik kalau saja Regha berteriak, memaki ataupun menangis. Bukan karena aku suka melihatnya sedih. Tapi setidaknya itu akan menjadi lebih normal, daripada sikapnya sekarang ini. Saat pertama kali dia mendapat berita kecelakaan yang dialami Abah dan Agus, aku bisa melihat kalau dia shock berat. Wajahnya memucat hanya dalam hitungan detik. Tapi yang mengejutkan adalah saat dia bisa menjadi tenang, terkendali. Namun toh aku bisa menangkap kehampaan yang menjadi indikasi shock berat yang di alaminya. Lucunya, anak error itu masih sempat memikirkan parcel yang masih belum terselesaikan.

Thank God dia dikelilingi oleh teman-teman yang menakjubkan seperti Regi dan Vivi. Mereka dengan sigap menjadi penolong, tanpa sedikitpun keraguan. Semula aku mengira sikap tenang Regha hanya berlangsung beberapa menit. Aku hampir yakin bahwa beberapa saat setelah kami melaju di jalan raya, dia akan kembali pada kenyataan dan kemudian histeris. Tapi lagi-lagi dia membuatku khawatir. Dia hanya duduk diam di sebelahku dengan pandangan kosong. Dia tak lebih dari sebuah tubuh kosong tanpa jiwa yang nyaris tak menyadari apa yang sedang di alaminya. Hanya wajahnya saja yang semakin terlihat pucat, hampir tak berwarna.  Tangan dan hampir seluruh tubuhnya gemetar tanpa disadarinya. Waktu itu aku hanya bisa menahan kekesalanku sendiri, merasa tak tahu harus berbuat apa. Jengkel karena aku ingin melakukan sesuatu, tapi begitu bodoh untuk tahu apa itu. Waktu itu aku hanya bisa memberikan jaketku padanya, lalu memintanya untuk tidur sejenak.

Dia melakukannya, kembali dengan ketenangan yang mencemaskan.  Dia kembali sedikit menampakan emosi saat kami hendak turun dari mobil. Ku lihat dia membutuhkan sedikit waktu untuk menguasai diri. Hanya sebentar, karena kemudian ekspresi wajahnya kembali datar. Dan saat ku kira dia tak bisa menjadi lebih pucat lagi, dia menjadi agak membiru saat kami tiba di bangsal tempat Abah dan Agus di rawat. Aku sudah bersiap-siap andai tiba-tiba saja dia pingsan. Untungnya itu tidak terjadi.  Aku sedikit menangkap kelegaan yang dia rasakan saat Mamah menjelaskan bahwa Abah dan Agus hanya mengalami luka luar. Setelah itu aku menjadi agak tenang dan mulai mengedarkan pandanganku. Tak bisa kupercaya kalau Abah dan Agus harus dirawat di bangsal yang penuh dan ramai seperti ini. Bagaimana mereka bisa istirahat? Yang lebih mengenaskan lagi, aku banyak melihat keluarga pasien yang bermalam disana dengan menunggui keluarga mereka. Mereka 
harus tidur dilantai beralaskan tikar atau karpet kecil. Tadi Asti dan Mamahopun duduk di karpet kecil itu.

Aku segera pamit keluar dan mengatur agar Abah dan Agus dipindahkan. Yang sedikit menjengkelkanku, kamar vip di rumah sakit ini tidak dilengkapi dengan kursi sofa. Dan hanya ada satu tempat tidur di setiap kamarnya. Aku segera meminta mereka untuk menyiapkan kamar khusus dengan tiga ranjang dan kursi agar Abah dan yang lain merasa nyaman. Aku sedikit merasa lebih baik saat melihat ekspresi kelegaan Mamah. Meski sedikit mengerutkan, Abah sendiri hanya menurut.

Sampai kemudian beliau bertanya pada Regha soal kuliah dan pekerjaannya. Anak dodol itu kembali mengeluarkan pernyataan bodoh soal ujian semester yang akan kami hadapi. Juga soal tugas panti yang belum kami selesaikan. Meski sebenarnya aku juga memikirkan hal itu juga, but I don't think that's appropiate to discuss. Apa lagi di situasi dimana sekarang, Abah dan Agus memerlukan dukungannya. Seakan-akan Regha ingin mengatakan bahwa dia berharap kalau dia berada ditempat lain daripada disini bersama keluarganya yang sakit. Tentu saja aku menegurnya. Herannya, Abah dan juga yang lain justru menanggapinya biasa-biasa saja. Bahkan seakan-akan mereka ikut mendukungnya untuk segera pergi. Keluarga yang aneh.

Baru kemudian, saat perjalanan kami ke rumah Regha, dia menjelaskannya padaku. Dan............aku merasakan sedikit ironi karenanya.

Bagi Regha dan keluarganya, kuliah merupakan gerbang kebebasan yang akan mengangkat keadaan mereka. Gelar yang 
akan Regha dapat menjadi semacam jimat bagi dia dan keluarganya agar mereka bisa menjalani kehidupan yang lebih baik. 

Mereka benar-benar menganggap serius pendidikan. Berbeda dengan aku yang menganggap kuliah tak lebih dari sekedar jenjang pendidikan yang lain saja. Tak ada hal yang istimewa dari kuliah.  Bandingkan lagi dengan Emma yang sepertinya menganggap kuliah sebagai salah satu ajang gaul lanjutan dari SMA. Hanya inginmenunjukkan pada lingkungan sosial bahwa mereka kuliah. Meski dalam prakteknya, mereka terlihat seperti bermain-main saja. Kampus. tak ubahnya seperti playground dan mall. Atau juga ajang mencari kandidat suami.


Perasaanku jadi semakin tak enak saat dengan pelannya Regha memintaku untuk tidak menganggap dia dan keluarganya keterlaluan.

Damn!! How could I? All I could feel to them is envy! Aku iri akan keharmonisan keluarga yang mereka miliki. Iri akan semua support dan kasih sayang yang mereka curahkan satu sama lain. They represent what a truly family is. Hubungan seperti merekalah yang disebt hubungan keluarga. Bukan hanya sekedar garis darah yang berhubungan, sementara tak ada sedikitpun koneksi batin dan fisik tercermin seperti kebanyakan keluarga modern sekarang ini. Konsep keluarga kini telah menjadi menyempit dari pemahaman yang sebelumnya. Dulu keluarga adalah sekelompok orang yang memiliki pertalian darah dan berinteraksi seperti. keluarga Regha. Tapi kini, keluarga tak lebih dari sekumpulan orang yang memiliki keterikatan darah tanpa ada interaksi berarti antara anggotanya. Nyaris tak ada kasih sayang diantara mereka. Ayah, Ibu ataupun saudara hanyalah sekedar status. Amun tidak begitu dengan Regha. Ikatan,kasih sayang dan rasa sayang antara mereka begitu jelas tergambar. Kalau memang keterlaluan adalah kata yang dibutuhkan, bagiku mereka terlalu sempurna sebagai keluarga.

Jadi aku hanya bisa diam, tak ingin membantahnya. Apalagi mengingat kondisinya yang aku yakin belum pulih dari shock. Dia bahkan belum bisa bersikap normal. Jadi aku membiarkannya. Meski mungkin saja aku salah. Mungkin dia memang tipe orang yang tidak mudah terguncang. Regha mungkin lebih kuat daripada yang aku kira.

Mandi membuat tubuhku menjadi lebih segar. Air disini, entah mengapa, memang terasa lebih segar daripada di kota. Mungkin karena lingkungannya belum terkotori oleh polusi. Aku segera menuju kamar Regha untuk memberitahu kalau aku sudah selesai mandi. Tapi yang mengherankanku, kamar itu kosong. Aku sudah hendak ke depan saat kudengar suara aneh dari arah belakang rumah. Cepat-cepat aku menuju kesana.

Kutemukan Regha yang berjongkok dengan tubuh gemetar hebat. Dia mengeluarkan suara seperti orang yang hendak muntah.

"Gha......" panggilku pelan.

Regha terlihat sedikit mengejang. Punggungnya langsung tegak dan dengan perlahan dia berbalik, "Maaf," katanya seraya mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Matanya terlihat memerah dan sedikit bergetar, "Sepertinya aku sedikit masuk ingin," sambungnya dan tersenyum malu.

Aku tahu kalau dia berbohong. Bahkan dia sendiripun terlihat tak percaya dengan kalimatnya tadi. Sepertinya dia mulai bereaksi normal, "It's fine, you know.  Wajar kalau kau sedikit terguncang oleh kecelakaan Abah. There's nothing wrong with that," kataku, mencoba menghibur.

"I'm fine," jawabnya cepat. Sedikit terlalu cepat untuk ukuran orang yang baik-baik saja.

"You can cry," ujarku lagi dan mengangkat bahu, "I don't think it's weird if you do."

"Said I'm fine!" sahutnya ketus dan dengan cepat melangkah kembali ke dalam, melewatiku.

Aku hanya menghela nafas. Aku buru-buru mengikutinya. Dia masuk ke kamarnya dan berusaha menutup pintu. Tapi aku langsung menghalanginya dengan kakiku.

"Get your foot off! Aku mau tidur," pintanya cepat.

Aku tak menjawab, aku hanya meraih handle pintu dan membuka lebar pintu kamarnya. Tak ada perlawanan dari Regha, meski wajahnya datar dan matanya sedikit melotot padaku. Aku hanya tersenyum, mencoba meyakinkannya kalau aku tak berniat buruk. Regha mengangkat sebelah alisnya. Saat aku masih tidak mundur juga, dia melipat kedua tangannya didadanya dan menatapku dengan sorot menantang.

"What do you want?" tanyanya kesal.

Aku tak menjawab, hanya diam dan memperhatikannya. Aku tahu kalau dia berusaha terlihat kesal dan marah. Tapi aku melihat kerapuhan yang coba dia sembunyikan di matanya. Fakta bahwa dia tadi muntah-muntah hebat di belakang bagiku sudah menjadi petunjuk kalau dia mulai kembali merasakan sesuatu. Dia tidak lagi terlihat terlalu tenang dan terkendali seperti saat kami berangkat kesini. Sepertinya dia mulai merasakan efek shock yang dia alami.

Dan aku begitu terenyuh dengan sikapnya yang ingin terlihat kuat didepanku. Aku tak tahu harus melakukan apapun, selain mengulurkan tanganku dan merengkuhnya dalam pelukanku.

Tubuh Regjhha menegang dalam pelukanku, "Ki, what the hell are you doing?!!!" tanya Regha dengan nada dingin.

"Everything is fine," bisikku pelan di telinganya. Tangan kiriku mengusap pelan punggungnya sementara kugunakan tangan kananku untuk mengusap kepalanya, "Trust me," sambungku.

 "You are weird," gerutunya sedikit tak jelas karena wajahnya menempel di dadaku.

Aku hanya tergelak kecil sembari mempererat pelukanku, "Guess I am;' sahutku ringan. Meski semula kukira dia akan kembali berontak, kurasakan tubuh Regha mulai sedikit rileks. Bahkan perlahan , kurasakan tangannya bergerak pelan melewati pinggangku, dan kemudian melingkar di punggungku. Yang mengejutkanku adalah saat tubuhnya mulai berguncang kecil.

Aku kembali mengusap punggungnya dengan lembut, "Sssstt.....it's fine Gha. Abah dan Agus tak akan apa-apa!" bisikku pelan.

Detik berikutnya aku hampir saja terjungkal jatuh kebelakang saat Regha seolah-olah menubrukku dan memelukku erat. Untung saja aku bisa menguasai diri. Dan sebelum aku menyadari apa yang terjadi, Regha mengeluarkan erangan keras seperti kesakitan dan dia menarik tubuhku untuk lebih merapat padanya. Memelukku begitu erat sehingga aku sesak untuk beberapa saat. Dan dia meraung menangis sejadi-jadinya didadaku. Cepat aku membalas pelukan eratnya. Mendekap erat kepalanya didadaku. Merasakan semua yang ditahannya sedari tadi mengalir keluar dalam raungan dan isakan kerasnnya. Merasakan dia yang berulangkali berusaha menarikku untuk terus mendekat meski kedua tubuh kami nyaris menempel jadi satu bayangan. Merasakan kedua tangannya yang mencengkeram punggungku. Merasakan semua kerapuhan yang sedari tadi coba dia sembunyikan. Merasakan pula apa jyang sebenarnya dia rasakan.

Matraku basah tanpa kusadari ketika dia kembali mengeluarkan erangan mengenaskan.

Dan untuk pertama kalinya setelah beberapa jam yang menyiksa ini, aku merasakkkan kelegaan yang luar biasa. Untuknya, dan untuk diriku sendiri.





RIZKY




"Kau baik-baik saja?" tanya Ferdy mengagetkanku.

"Hmm?" sahutku tak jelas.

Ferdy tak langsung menjawabku. Dia hanya diam memandangku dengan tatapan menyelidik, "Ada apa dengan Regha?" tanyanya langsung.

Aku menegakkan punggungku saat dia menanyakan itu. Sepertinya Ferdy sudah sangat mengenalku, sehingga sedikit saja aku bertingkah aneh, dia bisa tahu apa yang salah, "Memang kenapa dengan Regha?" tanyaku balik, mencoba terdengar acuh. Dan dengan menyedihkan, aku berusaha terlihat santai dengan menyuapkan sendok yang sedari tadi kupegang ke mulutku. Terlambat menyadari kalau sendok yang ku angkat ternyata masih kosong.

Ferdy mendengus, "Kau seorang Dokter. Bukan aktor. Jadi berhenti berakting didepanku," sindirnya, terdengar sedikit jengkel. Dia mengangkat gelas es tehnya yang sisa separuh, "Malam minggu kemarin kau tiba-tiba saja pamit. Padahal kau setuju untuk keluar bersamaku dan Shella. Hari ini kau sama sekali tak bisa konsentrasi. Meski aku bukan detektif, aku bisa dengan jelas tahu kalau ada masalah antara kau dan Regha. Aku nggak bodoh-bodoh amat tau?!" cetusnya.

"Tapi kau cukup bodoh untuk jatuh cinta padaku," gerundengku pelan.  Wajah Ferdy berubah seolah-olah aku telah menamparnya. Aku mengumpat pelan begitu sadar akan efek kalimatku tadi padanya. Ferdy memerlukan beberapa saat sebelum dia bisa menguasai diri.   

"Kau benar. Aku memang cukup bodoh untuk melakukannya. Aku akan diam," kata Ferdy akhirnya.

"Ayah dan adik Regha mengalami kecelakaan," kataku akhirnya, "Dia menerima kabar itu kemarin. Dan......... sekarang dia pulang ke Majalengka. Bersama dengan Zaki."

"Zaki?" gumam Ferdy dengan kening berkerut, "Anak blesteran itu?"

Aku mengangguk, "Cowok itu dengan jelas mengibarkan bendera perang padaku. Sayangnya aku tak bisa melakukan apapun. Karena sepertinya, dia sudah mengantongi Regha di sakunya."

"Maksudmu?"

"Dia dan Regha bekerja di part time di panti yang sama. Dan sepertinya dia adalah atasan Regha. Besar kemungkinan dia juga pemilik sebenarnya dari panti itu. Regha kemarin juga tak bisa keluar denganku karena dia harus menyelesaikan tugas dari dia. Saat Regha menddapat berita kecelakaan Ayah dan adiknya, dia bersikap seolah-olah keluarga dia sendiri yang mengalami kecelakaan itu. Dia langsung membawa Regha untuk pulang ke Majalengka. Bahkan tanpa memperdulikan parcel yang masih belum terselesaikan. Kadang aku ingin meninjunya. Dia selalu bersikap keterlaluan. Seenaknya. Main perintah dan sok berkuasa. Khas anak borju yang tak pernah seumur hidupnya menjadi bawahan orang lain." Aku tak sadar kalau sebenarnya aku sedari tadi menggerutu dengan nada pahit.

"Jadi...........dia benar-benar menyukai Regha?" tanya Ferdy dengan kerutan di dahinya yang belum hilang. Masih merasa takjub dengan fakta bahwa Zaki menyukai Regha.

"Sepertinya," jawab tanpa menyembunyikan rasa kesalku.

"Dia beruntung diperebutkan oleh dua orang yang hebat," gumam Ferdy. Aku hanya memutar bola mataku mendengarnya. Setidaknya aku sudah mendengar dua kali komentar yang sama darinya.

"Bukankah sebagai seorang teman, seharusnya kau mendukungku?" tanyaku sinis.

"Memangnya aku bisa disalahkan? Coba saja lihat. Semua orang juga pasti setuju kalau si Zaki itu adalah spesies langka. Selain fisik, dia juga memiliki kemampuan finansial yang stabil. Tak perlu seorang homoseksual untuk mengakui kalau dia hot. Bahkan orang straight-pun bisa dengan mudah mengakuinya."

"Terimakasih atas dukungannya," gerutuku dengan geraham terkatup, jengkel luar biasa.

"Dan dia juga mendapatkan perhatianmu tanpa harus berusaha. Bandingkan dengan apa yang telah kulakukan untuk bisa membuatmu melihatku," lanjutnya pelan.

Aku tak tahu harus berkata apa. Apa yang bisa kukatakan agar dia merasa lebih baik? Dalih apapun yang akan kukatakan pasti masih akan membuatnya terluka. Aku juga tak mungkin mengatakan apa yang dia harapkan. Hal terakhir yang ingin ku lakukan adalah memberi Ferdy kebohongan yang mungkin akan tambah melukainya nanti. Andai saja membalik perasaan seseorang semudah membalikkan telapak tangan..............

"Kau selalu bisa menjauhiku kapan saja......." kataku akhirnya.

Ferdy hanya tersenym tipis, "Andai saja semudah itu Ki," balasnya pelan.

Aku hanya tersenyum sedih, "Bagaimana dengan Shella? Dia jadi pulang ke Yogya hari ini?" tanyaku.

Ferdy mengangguk sembari menyeruput minumannya, "Aku tadi mengantarnya ke bandara. Dia titip salam untukmu."
Aku menatapnya sejenak. Tidak aneh kalau Shella jatuh cinta pada Ferdy. Sebagai lelaki, dia menarik. Tubuhnya tinggi. Kulitnya juga putih. Ditunjang dengan wajah Jawanya yang bisa dibilang aristokrat, kalem dan terkesan baik, dia cukup menawan. Hidungnya berukuran sedang dengan ukuran yang kecil namun panjang. Matanya hitam dalam. Alis yang tebal dan melengkung kuat. Bibir yang berukuran sedang namun toh terlihat lembut dan menyenangkan untuk di lihat. Saat tersenyum, dua lesung pipinya akan tampak dan terlihat menggemaskan. Ditunjang oleh otaknya yang cerdas dan status sosialnya, dia memilki materi bagus sebagai seorang pasangan hidup. Shella tak salah menambatkan hatinya. Sayangnya....................

"Fer.......... tidak bisakah kau mencobanya dengan Shella? Dia.........."

Ferdy mengangkat tangan kananya untuk mencegahku melanjutkan kalimatku, "Siapa yang kini tidak mendukung temannya?" selorohnya.

"Dia cewek yang menakjubkan Fer," tukasku cepat, "Kepribadiannya bagus. Anggun. Cantik, berkelas dan dari keluarga yang yang telah dikenal oleh keluargamu. Dan dia, jatuh cinta setengah mati padamu!"

"Bisakah kau mencintaiku?" tanya Ferdy ringan, tapi aku melihat keseriusan dimatanya.

"Ini bukan tentang aku dan kamu Fer. Shella adalah wanita yang sudah jarang sekali ku temukan. Tidak disini atau ditempat lain!"

"Jawab saja pertanyaanku Ky," pintanya.

Aku diam sejenak dan akhirnya menggelengkan kepala setelah beberapa saat.

Ferdy tersenyum, meski ada kecewa disana, "Karena kau mencintai Regha kan?"

Aku mengangguk.

"Dan karena aku mencintaimu Ky," jawabnya lagi.

Leherku tertohok. Selalub lingkaran yang sama. Dari sudut manapun aku membahasnya, kami akan tetap berputar dalam lingkaran yang sama.

"Jangan berpikir kalau aku tak pernah memikirkannya. Sudah Ky. Berulang kali. Aku sudah mencobanya. Kau sendiri melihat hasilnya kan? Kau menyebutku mayat hidup. Kau yang kemudian membujukku untuk membatalkan pertunangan kami kan? Kau menawarkan dirimu sendiri untuk menemaniku. Agar aku ,mengutip kalimatmu sendiri dulu, tidak menyiksa diriku sendiri. Dan aku rela melepas Shella untuk kebersamaan temporer bersamamu Ky."

Aku menghela nafas panjang, "Kenapa harus seperti ini?"

"Aku juga sering menanyakan hal itu pada diriku sendiri. Dan aku tak menemukan jawabannya. Sering pula aku bertanya-tanya, kenapa kita, kau, aku dan Shella, harus jatuh cinta pada orang yang tak menginginkan kita? Kenapa kita semua selalu berusaha meraih orang yang tak bisa melihat kita. Kenapa Ky?"

Aku menatapnya dengan pandangan nanar. Meski ada senyum tipis tersungging di bibirnya, kepahitan yang terpancar di mata Ferdy begitu jelas. Sangat jelas, hingga seakan-akan aku sendiri yang duduk di tempatnya sekarang.

"Aku juga tak tahu Fer................. Maaf," bisikku lirih. 







REGHA





Kelegaan yang kurasakan benar-benar luar biasa. Nafasku terasa begitu ringan. Dadaku terasa begitu lapang. Tidak pernah sekalipun aku merasa seperti ini. Ketegangan yang beberapa jam yang lalu kurasakan, serasa hanya mimpi saja. Dan kini aku terbangun setelah tidur yang nyenyak. Meski faktanya sekarang aku justru sedang berbaring. Sejak beberapa jam yang lalu. Terbaring di tempat tidurku, dalam pelukan Zaki.

YUP!!!

Dalam pelukannya. Dengan kepala yang bersandar didadanya. Diselimuti oleh kehangatan lengannya. Direngkuh oleh harum tubuhnya yang baru saja mandi (Aku bisa mencium harum sabun darinya) tadi. Dilenakan oleh usapan lembut tangannya di rambut dan kepalaku. Sejak aku menangis tak jelas tadi. Hingga kini, dimana kami berdua berbaring di ranjangku dengan tubuh yang nyaris menempel dari ujung kaki sampai kepala.

Dan aku merasa begitu nyaman dan tak ingin membuka mataku. Bahkan dengan Mamah, aku tak merasa seperti ini. Aku tak ingin kehilangan kehangatan yang mengalir dari tubuh kami sekarang. Aku ingin merasakannya terus. Karena itu aku tak mau membiarkan mataku terbuka. Berharap bahwa hal ini akan terus berlanjut. Dan mengacuhkan sudut hatiku yang mencoba mengatakan sesuatu. Aku lebih memilih terus berada di dada Zaki, mendengar setiap detak jantungnya yang lebih terasa seperti lagu nina boboku.

Kurasakan dada Zaki yang berada dibawah pipiku terangkat tinggi. Dan sesaat kemudian dia menghembuskan nafas panjang. Tak berapa lama kemudian dia bergerak meraih kepalaku dan sedikit mengangkatnya. Tubuh kami terpisah saat dia bangkit dari ranjang dan dengan berhati-hati kembali membaringkanku. Dan aku cukup dibuat kaget oleh besarnya rasa kecewa dan hampa yang kurasakan setelahnya.

Aku sudah hendak membuka mataku saat kurasakan usapan lembut Zaki di ujung kepalaku. Dan sesaat kemudian, dia mengecupnya.

Aku baru berani membuka mataku saat kudengar suara pintu kamarku tertutup. Tanganku bergerak memegang dadaku yang sontan terasa aneh. Ada perasaan hangat yang mengalir turun dari ujung kepalaku seperti selimut tipis yang kemudian membungkus tubuhku yang terbaring miring. Perasaan yang asing dan tak ku mengerti. Yang tidak saja membuatku gemetar, namun sekaligus seolah-olah meremas dadaku yang terasa membuncah dalam hitungan detik


Allaaahh.........





ZAKI


Bayangan yang memantul dicermin yang ada didepanku masih sama. Yang ada disana masih wajahku. Ruangan yang ada didalam sana masih kamar tamu yang ku tempati. Tapi dengan kesadaran yang aku alami tadi, seakan-akan aku dipindah secara mendadak ke tempat lain yang benar-benar asing. Seakan-akan ada sesuatu yang bergeser, pindah dari posisinya semula. Aku tak tahu apa pemicu sebenarnya. Apa yang membuatku berpikir seperti itu? Apa yang telah bergeser? Apa yang berbeda? Yang jelas, aku tahu itu ada hubungannya saat aku mendekap tubuh Regha yang meraung keras didadaku. Pilinan rasa nyeri yang kemudian terasa setelah kekagetanku menjadi suatu proses yang tanpa ku tahu membuatku ikut larut dalam perasaan Regha saat itu.

Seakan-akan aku berada dalam dirinya.  Ikut merasakan rasa frustasi, kekecewaan, kecemasan, ketakutan yang kemudian bercampur dengan kelegaan yang semuanya berputar-putar menjadi sebuah gambar abstrak yang rumit. Keberadaan Regha yang begitu erat memelukku nyaris sebagai penopang hingga aku tak turut ambruk seperti dia. Meski jauh di sudut hatiku, aku tahu kalau akulah pihak yang harus kuat dan mendukungnya. Aku harus menjadi penopangnya saat itu.  Menguatkannya.

Tapi bahkan saat aku meyakinkan diriku sendiri, mataku basah tanpa ku sadari. Aku benci melihatnya. Aku tak suka melihat Regha begitu............. menderita. Aku tak ingin melihatnya seperti itu lagi. Ever! Dan aku bersedia melakukan apapun untuk membuat hal semalam itu tak terulang.

Dan itu cukup mengagetkanku. Sifat protektifku padanya. Kepedulianku padanya. Bagiku ini adalah kali pertama aku begitu ingin merengkuh seseorang langsung kedalam pelukanku. Melindunginya dari semua hal yang akan menyakitinya. Apapun itu. Karena aku tahu, saat dia sakit, akupun akan ikut merasakan lukanya.

Tapi................mulai kapan sebenarnya aku merasakannya? Mulai kapan sebenarnya aku memperdulikannya?
Semua hal yang ku alami bersama Regha berkelebat cepat di mataku. Pertemuan pertama kami. Kecelakaan itu. Tindakan impulsifku yang justru membawanya lebih dekat padaku. Kepedulianku akan apa yang terjadi padanya. Sifat protektifku untuk menjauhkannya dari Rizky. Kepedulianku akan permasalahannya. Ataupun yang di alami oleh keluarganya.

Jadi apa kesimpulannya?!!!!

Aku mencoba menarik inti dari semuanya. Tapi benakku seolah-olah berkabut dan tak jelas. Ada suatu hal yang mencoba menghalangiku. Sialnya aku tak bisa mengerti apa itu dan kenapa. Sangat mengesalkan. Seakan-akan aku sudah tahu kebenarannya di ujung lidahku. Tapi saat aku mencoba mengeluarkannya, ujungnya terlepas dan kembali luput dari pemahamanku. Benar-benar membuat frustasi!!!

"Apa yang sebenarnya berubah?" gumamku pelan pada diriku sendiri. Aku kembali menatap bayangku di cermin. Mencoba membaca ekspresi disana. Mencoba mencari petunjuk dari bayanganku sendiri. Aku tahu kalau aku melakukan tindakan konyol. Tapi aku tak bisa menahan diri, "Apa yang sudah tidak sama lagi?"

Lalu seolah-olah menjawab pertanyaanku, dada kiriku terasa nyeri sekilas. Seakan-akan ada tangan yang tidak tampak dan meremasnya. Tangan kananku terangkat, mengelus bagian yang tadi begitu nyeri. Memperhatikannya tanpa tahu dari mana asal rasa nyeri itu. Aku terlalu muda untuk terserang penyakit jantung. Dan setahuku, kesehatanku berada pada masa puncaknya.

Namun saat aku mendongak, aku melihat ada yang berubah di wajahku. Mataku nyaris kehilangan tatapan bingungnya. Aku melihat kepanikan membayang disana. Juga..................... ngeri!!






REGHA



Aku tahu kalau aku tak akan pernah lagi memandang Zaki dengan cara yang sama. Hal itu yang pertama kali muncul dibenakku ketika pagi itu aku membuka mata. Kenapa aku berpikir begitu? Aku tak tahu. Benakku seperti berkabut, tidak jelas. Semuanya terasa samar dan sulit untuk dipahami. Bahkan ingatan akan apa yang terjadi semalam nyaris membuatku mengerang karena membuatku sakit kepala.

 Aku memijit pelipisku yang seakan berdenyut. Sakit. Aku sudah hendak berbaring lagi, kembali menenangkan diri dan mencoba berpikir, namun urung saat kudengar suara pesan yang masuk di ponselku.


From Asti
A, Mamah blng nasi yg ada goreng aja.
Sayang. Ntar Mamah masak lg



Aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Sebentar lagi Zaki akan bangun.  Jadi aku harus segera menyiapkan sarapan. Menu hari ini adalah nasi goreng àla moi (moi = 'aku' dalam bahasa Prancis). Semoga saja dia bisa menelannya, pikirku kecut sembari bangkit menuju dapur. Untungnya, Mamah termasuk orang yang rapi. Jadi semua bahan yang ku perlukan bisa kutemukan dengan mudah di dapur.

Aku segera mulai menyiapkan sarapan sembari ditemani ponselku yang kuputar lagu Nous Avoin Des Ailes-nya Anggun dengan repeat mode. Lagu ballad kalem yang kadang bisa membuatku tenang. Sesekali aku bergumam pelan ikut menyenandungkan syair lagu berbahasa Prancis itu, meski sebenarnya, tak ada satupun kata yang ku tahu. Pernah mencoba mendownload syairnya di internet. Tapi justru pusing mengikuti pelafalan bahasa Prancis Anggun. JadI aku hanya bergumam asal.

"French?! Really?" tegur Zaki yang tahu-tahu ada dipintu dapur. Dia berdiri dengan bersandar dipintu dengan kedua 
tangan terlipat di dada. Ekspresi wajahnya campuran antara geli dan menggoda. Sebelah alisnya terangkat. Wajahnya terlihat cerah. Bahkan rambutnya masih terlihat basah. Dia terlihat segar.

Aku hanya mengangkat bahu dan tertunduk malu dan segera kembali menyibukkan diri. Berusaha mengalihkan perhatianku dari perutku yang tiba-tiba saja bergolak aneh.

"You speak French?" tanya Zaki yang kemudian duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan dan meraih ponselku.

"Nope!" jawabku singkat dan menuangkan sedikit minyak goreng ke dalam wajan tanpa melihatnya. Bahkan tanpa perlu melakukannya, bagian belakang tubuhku seakan-akan meremang karena tahu dia ada.

"Huh? You could've fooled me. Boleh minta lagunya? It's a nice song, meski sedikit membuat sedih."

"Kirim saja" jawabku singkat dan mulai menggoreng nasi.

"What are you doing?" tanya Zaki lagi setelah beberapa saat diam.

"Aku bikin nasi goreng untuk sarapan. Is it fine with you?" tanyaku dan berbalik. Jangan-jangan dia biasa sarapan dengan roti dan susu.

"What? Kau tidak berusaha membunuhku kan? Kau tidak memasukkan racun ke dalamnya?" tanya Zaki dengan mata menyipit.

Aku hanya menggerutu dengan jawabannya dan memusatkan perhatianku pada nasi gorengku yang mulai harum.

"It's fine Gha. Lagipula, jarang-jarangan aku bisa makan masakanmu. But.............. are you okay?"


"Yeah. Why shouldn't I?" tanyaku balik, mencoba terdengar biasa dan tegar. Memusatkan perhatianku pada masakanku yang berasap dan menebarkan bau harum. Semoga saja aku tidak menghanguskannya.

"Syukurlah," tukas Zaki yang tiba-tiba saja berada dibelakangku, membuatku sedikit kaget. Dan sebelum aku bisa menguasai diri, dia meraihku. Memelukku sejenak dan mencium sisi kepalaku sekilas. Lalu melepaskanku setelah memberi remasan singkat dibahuku, "Awas gosong," katanya kemudian memperingatkanku.

Aku yang terpaku untuk beberapa detik cepat-cepat mematikan kompor, "A-aku akan mengambil telur a-ayam dibelakang," pamitku dan cepat-cepat pergi, berusaha mungkin menyembunyikan kedua tanganku yang gemetar hebat. Untungnya Zaki hanya mengangguk padaku sembari meraih gelas untuk minum. Kalau saja dia menahanku, aku yakin aku akan jatuh disana. Karena begitu aku keluar dari pintu belakang, kedua kakiku terasa lemas dan tak bertulang. Aku jatuh terduduk di balik pintu dan berusaha mati-matian untuk bernafas agar tidak pingsan. Tubuhku kembali gemetar dan berkeringat.
Cepat aku memejamkan mataku!!!


Setelah sarapan kami langsung menuju Rumah Sakit. Abah dan yang lain sudah bangun dan tampak segar, menunggu kami.

"Kasep sudah sarapan kan?" tanya Mamah pada Zaki yang kemudian duduk disebelahnya.

"Sudah Mah.  Dimasakin nasi goreng oleh Regha. Mamah?" tanya dia balik. Keakraban yang dibangunnya bersama keluargaku masih saja membuat takjub. Entahlah. Bagiku dia masih seseorang yang terasa salah jika terlihat berkumpul akrab dengan keluargaku. Bagiku dia terlihat lebih pantas jika bergaul dengan para wanita karir paruh baya yang berpakaian rapi, dengan riasan halus tak bercela, dan mengobrol di sebuah restoran. Ketimbang duduk sejajar dengan keluargaku yang normal dan sederhana dalam artian umum. Tapi lihatlah itu. Dia bisa santai dan membaur dengan luwes, tanpa canggung. Malah aku yang merasa aneh.

"Nanti saja kalau Mamah. Sekalian bareng Asti."

Kening Zaki langsung berkernyit, "What?! No! Don't do that! Mamah dan Asti harus segera sarapan juga. You guys need to take care of yourselves. Jangan sampai ikut sakit seperti Abah!" sergahnya..

Seperti biasanya. Tuh bule dodol kelepasan ngomong pake bahasa bokapnya. Tentu saja Mamah kelabakan menangkap artinya. Jadi aku menerjemahkannya untuk Mamah. Zaki sendiri langsung bangkit dan menarik Mamah dan Asti untuk mengikutinya.

"Aduh kasepp!! Nanti saja!"

"No! Mamah harus segera sarapan. Gha, I'll take them to get breakfast ok?" katanya dan kembali menarik Mamah dan Asti, 
"Abah dan Agus mau dibelikan juga?"

"Beliin camilan A! Yang gurih! Bosen ma makanan manis!" seru Agus yang langsung aku protes dengan tatapan tajam. Agus langsung diam dan nyengir.

"Got it! Abah?"

Abah hanya tertawa kecil dan menggeleng. Hanya melambaikan tangan pada Mamah dan Asti yang akhirnya pasrah diseret oleh Zaki. Beliau yang setengah duduk kemudian mencoba meraih gelas air yang ada di sisi pembaringannya. Aku cepat -cepat mengambilkannya untuk Abah dan duduk di kursi yang tadi digunakan oleh Asti.

"Abah dan Agus enakan?" kataku sembari menata beberapa makanan di meja kecil yang ada di antara keduanya.

"Jauh lebih baik. Egha bisa tenang dan bisa segera balik ke Bandung. Bukankah ada pekerjaan yang harus diselesaikan?"

Teguran Abah sedikit membuatku tertegun. Aku hanya diam beberapa saat dan kemudian menarik nafas panjang, "Iya Bah. Ada tugas yang sebenarnya harus Egha kerjakan nanti malam," jawabku. Pesta Ulang Tahun di Panti itu. Aku bahkan belum menghubungi Regi dan yang lain untuk menanyakan bagaimana kelanjutan persiapan kemarin. Apa semuanya beres?
 
"Kalau begitu, Egha segera urus saja. Zaki juga kan?"

Aku mengangguk, membenarkan Abah, "Zaki justru orang yang lebih penting kehadirannya di banding Egha Bah."

"Kita udah gak papa kok A. Hanya luka luar. Jadi Aa tenang saja," kata Agus dari sebelah kananku. Dia yang tadinya memainkan ipad yang dipegangnya kini menatapku dengan senyum menenangkannya. Aku hanya mencoba membalas senyumnya dengan dada yang terasa sesak. Aku tahu kalau mereka berusaha mendukungku. Tapi tetap saja, meninggalkan keduanya dalam keadaan seperti ini membuatku miris. Seakan-akan aku menelantarkan keluargaku. Tapi Abah dan yang lain, juga aku tahu, bahwa kami sudah mempertaruhkan banyak hal. Mengorbankan banyak hal agar kami mendapatkan pendidikan kami. Kalau boleh jujur, aku sendiri tak nyaman melihat keduanya dalam keadaan mereka sekarang ini. Kalau boleh memilih, aku lebih suka agar aku tak melihatnya. Rasanya tak tega.

"Zaki membawa apa lagi selain ipad itu Bah?" tanyaku pelan. Agus yang mendengarku segera meletakkan kembali ipadnya, dan mencoba menyembunyikannya di balik bantal dengan wajah sedikit tegang. Aku tak menoleh padanya karena tak ingin membuatnya semakin merasa bersalah.

"Sebuah laptop untuk Agus...."

"Notebook!" potong Agus cepat.

"...... dan juga uang 25 juta untuk membantu Abah," sambung Abah dengan wajah datar.

Aku memejamkan mataku dengan pelipis yang tiba-tiba saja berdenyut sakit. 25 juta. Kalau ditambahkan dengan hutangku padanya, itu berarti lebih dari 50 juta, batinku.

"Abah akan berusaha mengembalikan secepatnya."

Aku tersenyum pada Abah, mencoba menenangkannya. Menutupi apapun yang bergejolak di benak dan dadaku, "Abah jangan pikirkan dulu tentang itu. Yang penting Abah dan Agus pulih dulu. Egha akan mengurusnya dengan Zaki. Abah tenang saja."

"Kita berhutang terlalu banyak padanya Gha."

"Egha tahu Bah. Egha sudah mencoba mencicilnya. Meski sedikit-sedikit. Abah konsentrasi pada orang rumah dan kesehatan Abah. Perkara kuliah Regha dan Zaki, Egha akan beresin semuanya." kataku lagi, memantapkan suara.

"Hampura nya Jang. Abah kieu keneh wae." kata Abah. ( Maaf ya Nak. Abah masih begini.)

"Ari abah nyarios naon? Pan saur Abah nyalira mun sadayana tos aya nu ngatur. Tinggal urang nu kedah sabar ngajalankeunana,"  tukasku cepat. Tak ingin mendengar Abah berkeluh kesah lagi, atau aku akan mempermalukan diriku sendiri dengan menangis dihadapan beliau. Anak mana yang tega melihat ayahnya terlihat begitu mengibakan?! (Abah ngomong apa sih. Kan Abah sendiri yang bilang kalau semuanya sudah diatur oleh Allah. Kita saja yang harus sabar dalam menjalaninya.)

"Agus juga A. Kalo Abah ga jemput Agus main bola..."

"Ssssstt....! Sudah. Nggak ada yang harus disalahkan. Dede konsentrasi saja untuk sembuh. Semua akan ada hikmahnya," ujarku menenangkannya lalu kembali berpaling pada Abah, "Egha akan segera balik ke Bandung. Abah yang tenang ya? Agus kabari Aa kalau ada apa-apa ya?" kataku lagi, tak ingin mendengar penyesalan mereka. Aku lalu mencoba menggiring percakapan kami ke arah hal lainnya. Seperti soal sawah, yang menurut Abah akan diserahkan pada Mang Kadir yang memang selalu menjadi pengurus pengganti. Abah kemungkinan tidak akan bisa turun untuk beberapa lama. Hingga kemudian pembicaraan kami terpotong oleh suara Asti dan Zaki yang mendekat.

Mereka masuk dengan membawa beberapa tas plastik yang ku tatap dengan kening berkerut.

"Mamah memaksa untuk makan disini saja," jelas Zaki padaku. Agus sendiri langsung nyengir senang saat Asti memberikan beberapa bungkus camilan untuknya.

"Aishh si Mamah. Meni loba pisan?" tegur Abah dengan nada bercanda.

"Eta si kasep nu maksa Bah. Sepertinya mau ngeborong isi kantin. Segala mau dibeli," jawab Mamah.

"Lumayan buat nanti Bah," sahut Zaki.

"Ki, kita pulang sebentar lagi," kataku pelan. Tapi efeknya cukup dahsyat, karena hampir semua orang yang ada diruangan itu sontan terdiam. Keheningan yang canggung menggantung di udara.

"What?!" sergah Zaki tak percaya.

"Kita harus segera ke Bogor. You need to be in Bogor for the birthday party remember? Kita akan berangkat sebentar lagi. 
Please..........." pintaku cepat sebelum dia membantah atau meledak. Meski jelas tidak menyukainya, Zaki akhirnya mengangguk, kaku. Mamah yang berada di sebelahnya tersenyum dan mengangguk untuk meyakinkannya.

"Fine," jawabnya sembari mengangkat tangan, menyerah. Dia lalu bangkit dan berpamitan keluar sebentar.

Setelah mengobrol dan sedikit makan bersama, akhirnya aku pamit. Aku sendiri hampir-hampir tak tahan berada dalam ruangan itu. Aku berpamitan dengan cepat. Menyalami dan mencium tangan Abah dan Mamah, tindakan sederhana yang hampir saja membuatku mewek seperti seorang cewek. Lalu membiarkan Agus dan Asti menyalami dan mencium tanganku. Agus sendiri memberikan sedikit meremas tanganku saat dia bersalaman, menunjukkan pengertiannya lewat tanda itu. Aku hanya mengangguk membalasnya. Menegarkan diri.

"Abah, Zaki sudah arrange buat perawatan Abah dan Agus. Dokter bilang, Abah dan Agus sudah bisa pulang kembali ke rumah dalam dua hari. Perawatan selanjutnya bisa dilanjutkan di rumah. Zaki sudah mengatur home care dua hari sekali untuk merawat, mengganti perban and others. Jadi. Abah dan Agus bisa segera sembuh. I also arranged for 24 hours nurse. Akan ada perawat yang menjaga. Jadi Mamah dan Asti bisa pulang dan beristirahat. All expenses is done."

Untuk sejenak aku dan keluargaku yang lain termangu diam. Mamah dan Abah menoleh padaku, meminta untuk menjelaskan. Dengan singkat dan suara yang tertahan, aku menerangkannya. Kemudian hampir bersamaan Abah dan Mamah berusaha untuk menolak kebaikan Zaki. Tapi dengan tegas dia menggelengkan kepala.

"Semua sudah beres. Kami pamit," katanya santai.

Aku melangkah keluar dari sana dengan kepala tegak meski kakiku serasa tidak menjejak tanah. Tapi saat masuk ke dalam mobil Zaki, rasa-rasanya aku tak memiliki tenaga lagi. Tubuhku lemas tak bertulang.

"Are you sure you wanna leave them?" tanya Zaki yang sudah masuk di sebelahku beberapa saat kemudian.

"Akan lebih baik kalau aku tak melihat mereka. Jangan berpikir kalau ini mudah bagiku Ki. It's not! Tapi mungkin akan lebih mudah kalau kami berjauhan."

"But............."

"Let's just go," kataku lagi. Aku lalu menyandarkan punggungku dan memejamkan mata. Menutup diri dari semuanya. Karena kalau tidak, aku mungkin akan kembali mempermalukan diriku didepan Zaki. Sudah cukup banyak aku melakukannya. Dan apa yang dilakukan Zaki tadi untuk Abah dan Agus tadi nyaris membuatku kehilangan kontrol. Kembali aku berhutang padanya.

Kalau dipikir, nasib kami saling bertaut semenjak insiden kecelakaan yang hampir membuatku kehilangan nyawa waktu itu. Sejak itu, Zaki nyaris tidak pernah lepas dari hari-hariku. Dan meski pertama kali aku membenci tingkah sengaknya yang bossy dan seenaknya, aku berhutang banyak padanya. Aku belum melunasi biaya perbaikan mobilnya. Dia malah memberiku pekerjaan yang boleh dibilang ringan dengan gaji yang cukup besar. Hebatnya, dia dengan ringan hati membantu keluargaku yang boleh dibilang asing baginya. Aku berhutang banyak padanya. Dia membuat semuanya terasa lebih ringan bagi kami. Dan aku senang dia menemaniku. Karena kalau tidak, mungkin aku akan berada dalam situasi dan kondisi yang parah sekarang. Baik fisik maun psikologi.

Dan kebenaran itu menghantamku dengan begitu hebatnya.

Mataku sontan terbuka lebar. Udara di sekelilingku seakan-akan menipis,  menyesakkan. Aku berpaling cepat ke arah Zaki. Berapa kali aku harus menyangkalnya? Alasan apa lagi yang akan ku ajukan? Dalih apa lagi yang akan kujejalkan ke benakku untuk menyangkal kenyataan ini?

Aku masih ingat bagaimana reaksi tubuhku saat Zaki memelukku di sungai sore itu.

Aku ingat bagaimana hampir di setiap saat dia ada dibenakku sesudahnya. Bagaimana dia menemaniku saat aku sakit. Betapa nyaman dan tenangnya aku mengetahui dia ada di sisiku. Apa lagi saat dia mengecup keningku.
Saat itupun tanpa ku sadari dia telah merayap masuk dalam perasaanku. Hanya Vivi dan Regi yang jelas mengetahui kebenarannya. Dan mereka telah berusaha memberitahuku. Aku yang dengan keukeuh-nya menyangkal kebenaran itu. Tapi tanpa sadar aku mencari kebenarannya. Menanyakan hal itu pada Mas Rizky, menggali pengalaman itu dari Ari, dan juga Regi. Tapi masih, aku selalu menyangkalnya.
Juga kejadian semalam dan kepanikanku keesokan paginya saat dia begitu dekat denganku.....

Aku jatuh cinta pada Zaki!!!!!




Udara yang kemudian terasa menipis di sekelilingku mendadak lenyap!

Aku mendekap dadaku yang nyeri dan sesak. Aku megap-megap, berusaha mengisi paru-paruku dengan udara, membuat Zaki yang berada di sebelahku menoleh sekilas. Wajahnya kaget luar biasa.

"Gha? Ada apa?!!!" tanya Zaki cepat sembari sesekali melihat jalanan didepan kami.

"S-stop....t-the ca-carr.." pintaku dengan mata kabur. Dengan sigap Zaki segera menepikan mobilnya. Begitu mobil berhenti, dengan cepat aku keluar dari mobil dan mencoba menarik nafas sembari terbatuk-batuk hebat. Mataku benar-benar kabur. Aku tak bisa melihat apapun didepanku. Pipiku basah dalam hitungan detik.

"DON'T!!" cegahku dengan suara keras saat Zaki buru-buru mendekatiku. Aku tak tahu bagaimana ekspresi wajahnya karena sikapku tadi, karena mataku telah kabur oleh air mata. Tapi dia berhenti.

"Gha, kamu kenapa?"

Aku bisa mendengar kecemasan dalam suaranya yang sedikit bergetar. Tapi aku hanya menggelengkan kepalaku dengan panik dan mengangkat tanganku, kembali mencegahnya untuk mendekat. Aku kembali megap-megap, kehabisan napas. Aku melangkah sempoyongan, sedikit menjauh darinya. Berusaha dengan keras menarik oksigen ke dalam paru-paruku.

"Ya Allah...... Ya Allaaaahhh.... Ya Allaaaaahhhh!!!" aku hanya mampu bergumam panik saat kembali kebenaran itu menghantamku. Tubuhku kalah. Aku jatuh tersungkur, bersimpuh di tanah dan muntah-muntah hebat. Tubuhku berguncang-guncang dengan keras, mengeluarkan apapun yang ada dalam perutku. Aku hampir kehilangan kesadaran saat tubuhku ditarik dengan kuat dan sebuah tangan kemudian melingkar di perutku, menarikku mendekat ke dalam pelukan hangatnya.

"Ghaaaaa??!! It's fine! Semuanya baik-baik saja. Control yourself!!"

Aku menyerah dan membiarkan semuanya menghantamku sekaligus. Untuk kedua kalinya aku membiarkan diriku meraung dan menangis keras dalam pelukan Zaki yang melingkupiku.









RIZKY


Di benakku, masih berputar-putar pertanyaan Ferdy kemarin. Kenapa kita harus jatuh cinta pada orang yang tak menginginkan kita? Kenapa kita semua selalu berusaha meraih orang yang tak bisa melihat kita?

Pertanyaan sederhana yang jawabannya bisa menjadi terlalu rumit karena banyaknya faktor yang mempengaruhi. Apa mungkin memang sudah sifat dasar manusia yang selalu menginginkan apa yang tidak dimilikinya? Seperti orang miskin yang menginginkan kekayaan para milyuner. Sementara banyak orang kaya yang kadang menginginkan kesederhanaan orang yang tak punya. Seperti orang biasa yang mendambakan keglamoran kehidupan para bintang, sementara para idola itu sendiri terkadang merindukan privasi sederhana seperti yang dimiliki oleh orang biasa.

Sepertinya rumput tetangga akan selalu tampak lebih hijau.

Tapi..............kenapa kita tak mencoba bersyukur dengan apa yang telah kita miliki? Bahkan saat hati kita menyadari akan banyaknya hal yang kita miliki, tapi benak dan fisik kita seakan-akan bekerja sama mengkhianati kita, dan mengejar apa yang kita inginkan, tanpa memperdulikan apa yang telah kita miliki. Sepertinya memang benar bahwa musuh manusia yang terbesar adalah dirinya sendiri. Kenapa aku harus mengejar Regha sementara Ferdy mengejarku?

Kenapa Ferdy harus mengejarku sementara Shella dengan segala kelebihannya begitu menginginkannya?

Aku menarik nafas panjang.

"Boleh kan Ky?"

Aku menoleh pada Ferdy yang kali ini membawa mobilku. Hari minggu ini kami kembali keluar bareng. Sekedar membuang waktu dan mencoba mengalihkan pikiranku dari Regha yang hingga kini belum mengabariku. Padahal aku sudah menunggunya.

"Ga masalah kan?" tanya Ferdy lagi.

"Huh? Apanya Fer?"

"Pikiranmu jalan-jalan kemana?" gerutu Ferdy dan membelokkan mobil yang melaju di jalanan kota Bandung yang macet, "Ku bilang, aku lagi pengen makanan di rumah makanmu. Boleh gak kita makan disana siang ini? Makanannya enak Ky. Sumpah deh."

"Kamu nggak mau ke tempat lain?"

"Pengen kesana. Kalau saja itu bukan punyamu, mungkin aku bakal langganan Ky. Tapi aku nggak pengen ada kesalahpahaman seperti dulu. Boleh ya? Aku nggak akan mengatakan atau bertingkah macam-macam kok. Janji deh," pinta Ferdy dengan nada meminta. Dia tahu akan kehati-hatianku yang menjaga agar orang rumah, tak tahu akan tingkahku di luaran.

"Terserahlah. Hari ini kita lakukan apa maumu," jawabku.

"Sipp!!"  kata Ferdy yang langsung sumringah, membuatku tersenyum oleh antusiasnya. Tak menyangka kalau dia malah kecanduan dengan masakan Ibu. Lagipula, tak akan ada Regha disana yang mengganggu konsentrasiku.

Di warung kami disambut oleh Ibu yang segera keluar dari belakang kasir untuk menemui kami. Beliau terlihat cukup kaget melihat kedatanganku yang tadinya pamit buat jalan-jalan.

"Ada apa Ky?" tanya Ibu sedikit khawatir.

"Nggak ada apa-apa Bu. Ini si Ferdy katanya lagi pengen masakan warung," jelasku dan sedikit menepi agar Ibu melihat Ferdy yang berdiri di belakangku.

"Siang Bu," sapa Ferdy yang langsung maju dan menyalami Ibu.

"Ferdy? Oohh yang....."

"Temen kuliah Rizky yang dari Yogya dan praktek di Rumah Sakit yang sama Bu. Dulu pernah kesini bareng Dokter Stevan," jelasku membantu beliau.

"Oalahhh iyaa! Dari Yogya asli?"

"Inggih Bu," jawab Ferdy. Dan beberapa saat kemudian mereka sudah ngobrol seru dengan menggunakan bahasa jawa halus yang hanya sedikit ku mengerti. Aku yang sedari kecil di Bandung, boleh dibilang sedikit luntur ke-jawa-annya. Kalau hanya bahasa ngoko kasar, aku masih bisa. Tapi bahasa Jawa memiliki tingkatan halus yang sudah jarang sekali ku dengar. Dan aku sendiri hampir-hampir tak bisa mengingat dan menggunakannya.

"Kamu makan apa Fer? Biar ku ambilkan. Kamu ngobrol dulu saja bareng Ibu," kataku dan bangkit.Ferdy hanya mengangguk dan meminta nasi gudeg. Akupun ke belakang dan meminta dua porsi nasi gudeg pada mbak Rasti di belakang. Sembari membuatkan dua gelas es teh manis. Begitu aku baliik dari belakang, Ferdy masih asyik ngobrol. Aku bahkan mendengar tawa renyah Ibu yang jarang ku dengar. Sepertinya beliau sangat menyukai Ferdy. Tanpa sadar aku ikut tersenyum meski tak mengerti apa yang mereka obrolkan.

"Seru amat," tegurku sembari duduk dan menyodorkan segelas es teh itu pada Ferdy.

"Aduuhh!Ibu tuh sudah lama gak ngobrol dengan bahasa Jawa begini. Si Rizky ini Fer, sudah mulai lupa sama akarnya. Dia mungkin lebih ngerti bahasa Sunda daripada Jawa," tukas Ibu membuatku nyengir kecut.

"Lha wong temen-temennya Sunda semua," kilahku.

"Tapi kan ndak berarti harus lupa sama akar. Kalopun misalnya kamu tuh merantau kemana, kan harus inget sama budaya akar. Iya tho Fer?' tanya Ibu mencari dukungan Ferdy. Pengkhianat licik itu cuman nyengir sembari mengangguk kuat-kuat, 

"Nah tuh. Kayak si Ferdy ini lho. Jangan mentang-mentang masih muda, maunya jadi gaul terus."

"Ibu apaan sih?" gerundengku risih sendiri.

"Lha bener tho? Kamu tuh harus belajar menghormati budaya leluhurmu. Juga belajar menghargai dan mensyukuri apa yang sudah kamu miliki. Jangan kayak anak muda lain yang lupa akann budaya sendiri, dan selalu menginginkan budaya negara lain yang belum tentu baik."

Kalimat itu tiba-tiba saja membuat tubuhku kaku.

"Eh nasinya udah dateng. Ya sudah, nak Ferdy dhahar dulu. Nanti disambung ya?" kata Ibu yang kemudian saat Mbak Rasti muncul dari belakang membawa gudeg buat aku dan Ferdy.




dhahar = makan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar