Translate

Rabu, 31 Desember 2014

MEMOIRS III (The Triangle) chapter 16 - Questions!



RIZKY


"Gimana menurutmu film tadi Gha?" tanyaku mencoba memecahkan keheningan yang kembali menggantung diantara kami. Regha yang tadinya tampak larut dalam lamunan sontan menoleh padaku, sedikit kaget.

"Eh, ya Mas?" tanyanya agak salah tingkah.

Aku menarik nafas panjang. Sudah satu bulan berlalu sejak kejadian tak terduga di Gramedia Merdeka waktu itu, namun sikap Regha masih tetap kagok. Malam ini aku mengajaknya menonton sebuah film dari Jim Carrey, Yes Man! di Bandung Indah Plaza. Sesudahnya aku mengajaknya makan didaerah Punclut, Ciumbuluit sembari menikmati nightview kota. Sengaja aku memilih restoran dengan saung-saung terpisah sehingga kami mendapatkan privacy yang cukup. Setidaknya jika nanti Regha meledak, kami tak akan jadi tontonan orang banyak. "Gha, tidak bisakah kita. . . . "

"Maaf Mas," potong Regha pelan membuatku langsung berhenti dan melihatnya yang tertunduk didepanku dengan ekspresi kaget.

"U-U-untuk apa?" tanyaku tanpa mampu menutupi kegugupan yang tiba-tiba saja menyerang. Ya Tuhan, jangan katakan kalau dia ingin mengakhiri kebersamaan kami, desahku dalam hati.

"Egha minta maaf kalau sikap Egha akhir-akhir ini. . . . canggung," katanya pelan, masih dengan mata yg menghindariku. "Tapi kemaren Egha sedikit terkejut dan. . . "

"Aku tahu Gha," ganti aku yang memotong kalimatnya. "Aku rasa Egha memang berhak kaget, tapi tidak bisakah kita menjadi teman seperti sebelumnya? Aku tak menyangkal fakta bahwa aku menyukai Egha, tapi aku juga tidak menuntut Regha untuk menyukaiku juga. Berada didekat Egha saja sudah cukup bagiku.

"Jadi Mas Rizky nggak minta Egha buat. . . . pacaran dengan Mas Rizky kan?" tanyanya ragu.

Untuk beberapa saat lamanya aku terdiam, tak tahu harus bereaksi bagaimana saking kagetnya. "Apa Egha menginginkan itu?" tanyaku setelah aku mampu menguasai diri.

Hening! Tak ada reaksi dari Regha.

Kembali aku menghela nafas. "Aku nggak akan pernah memaksa Egha untuk melakukan sesuatu. Egha punya hak penuh untuk melakukan apapun yang Egha inginkan. Seperti yang kubilang tadi, aku cukup senang dengan hubungan yang kita miliki. Aku menyukai kebersamaan kita. Aku suka ngobrol dengan Egha. Hang out bareng Egha."

"Egha juga seneng bareng ma Mas Rizky," bisik Regha pelan sehingga untuk sejenak, kukira aku salah dengar.

"Kalau begitu, kita biarkan saja begitu. Aku nggak minta Egha buat jadian denganku. Kita begini saja. Biarkan semua berjalan dengan apa adanya. Bisa kan?" pintaku lembut meski dadaku mulai bergemuruh dengan harapan yang mulai kurasakan. Setidaknya Egha tidak merasa jijik atau benci padaku kan?

"Kenapa. . . harus Egha Mas?" tanya Regha lagi, matanya menatap kerlipan lampu kota dibawah. "Kalo Mas mau, sepertinya Mas bisa mendapatkan siapa saja kan Mas?"

"Siapa bilang? Bukannya aku tidak bisa mendapatkan Egha?" tanyaku balik dengan nada bercanda. Sedikit berhasil karena kulihat dia tersipu mendengarnya. "Namanya aja orang suka Gha. Siapa juga yang bisa mengendalikan hati?" kataku lagi. Sekali lagi, Egha tampak tercenung memikirkan kata-kataku.
Regha membuka mulutnya, seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi dia mengurungkan niatnya.

"Sepertinya banyak yang ingin Egha tanyakan. Keluarkan saja. Aku akan berusaha menjelaskan sebisaku," ujarku lagi. Pada titik ini, kurasa akan lebih baik kalau aku menjelaskan semuanya pada Regha. Toh rahasia terbesarku, bahwa aku menyukainya, sudah keluar.

"Bagaimana Mas Rizky bisa. . . . . " dia seperti bingung untuk mencari kata yang pas.

"Gay?" saranku untuk mempermudahnya. Regha hanya mengangguk untuk menjawabku, dan tampak lega bahwa dia tak harus mengucapkan kata itu. "Kalo gitu aku nanya, menurutmu kenapa seseorang bisa dilahirkan bisu, buta atau cacat lainnya?"

"Karena memang takdirnya?" jawab Regha dengan nada bertanya.

"Kenapa orang Eropah berkulit putih dan orang Afrika berkulit hitam?"

"Karena Tuhan menciptakan mereka begitu Mas."

"Begitu juga Mas Rizky, Gha," jawabku pelan dengan senyum tipis. "Mas Rizky tak pernah order pada Tuhan agar Mas Rizky menjadi seorang gay, Gha. Tapi seperti inilah Mas Rizky."
"Mas Rizky tidak pernah mempertanyakan kenapa Mas Rizky bisa menjadi gay? Tidak pada diri Mas Rizky sendiri atau pada Tuhan?" tanya Regha. Kali ini dia langsung menatapku, tak lagi menghindar.

"Aku sudah melewati fase itu, Gha," jelasku dan tetap tersenyum. "Aku pernah berada dalam fase bingung, menyangkal, coba-coba bahkan marah. Pada masa-masa awal aku benar-benar bingung kenapa aku bisa menyukai sesama pria. Kenapa aku bisa berdebar-debar hanya dengan memandang cowok lain. Tentu saja aku merasa aneh dan tak percaya. Menyalahkan semuanya pada hormon testosteron ku yang mungkin menggila. Tapi pada akhirnya aku mendapati bahwa hal ini bukan hal sementara yang akan hilang dengan meredanya hormonku. Aku melakukan hampir semua hal untuk melawannya. Berpacaran dengan cewek, bereksperimen dengan mereka, melakukan semua hal yang orang bilang untuk membuktikan kejantananku. Aku bahkan berusaha untuk melakukan semua hal yang memberi label macho pada diriku. Nge-gym, merokok, minum, mencicipi drugs, ganti-ganti pacar, juga memilih olah raga ekstrim dan lain-lain. Kau sendiri pasti tau dan melihat sendiri semua peralatan olah raga yang kupunya dirumah kan? Itu salah satu usahaku unutuk menjadi lain dan normal menurut kalian. Tapi aku tetap tak bisa lari dari rasa itu

Kemudian aku marah. Marah pada diriku sendiri, bahkan pada Tuhan. Tak henti-hentinya aku bertanya dan menuntut, mengapa aku bisa memiliki perasaan ini? Hingga kemudian akhirnya aku bisa menerima. Menerima bahwa rasa yang aku miliki adalah bagian dari diriku juga. Dan akupun berhenti."

"Berhenti?" tanya Regha.

Aku mengangguk. "Yeah! Aku berhenti. Berhenti berpura-pura, berhenti marah, berhenti menyangkal dan berhenti menyesali diri sendiri. Aku menerima perasaanku sebagai bagian dari diriku. Aku tidak lagi lari darinya. Aku merengkuh bagian diriku itu dan mencoba memahaminya. Aku banyak membaca, mencari tahu dan memahaminya. Aku gay Gha. Itu sudah pasti. Hal itu telah melekat dan menjadi bagian dari diriku."

"Bu Indri tau Mas?"

Aku hanya bisa tersenyum sedih saat pertanyaan itu terlontar. "Tidak," jawabku pelan, "Ibu dan Ayah tak mengetahuinya. Dan kuharap tak akan pernah tahu. Aku bisa menerima diriku sebagai seorang gay setelah melalui proses yang panjang dan menyakitkan Gha. Aku tak akan membiarkan orang tuaku mengalaminya. Lagipula, kalau aku saja butuh sekian banyak waktu untuk akhirnya berdamai dengan diri sendiri, maka berapa lama menurutmu waktu yang dibutuhkan orang tuaku?"
Regha tercenung oleh pertanyaanku dan berpikir sejenak.

"Tapi. . . . kalau begitu, bagaimana jika mereka mengungkit soal pernikahan Mas?"

"Pada akhirnya aku juga pasti akan menikah kan?" jawabku.

"Jeung lalaki?" tanya Regha terperanjat.

Kembali aku tersenyum dan menggeleng. "Tentu saja dengan wanita Gha."

"T-tapi M-mas kan gay?"

"Ironis kan?" tanyaku balik tanpa mampu menahan getir dalam suaraku, "Tapi aku toh tak memiliki pilihan lain. Aku anak lelaki mereka, satu-satunya. Semua beban sebagai pengurus dan penerus keluarga,pada suatu saat nanti, akan menjadi tanggung jawabku. Dan aku akan melakukannya demi mereka."

"Lalu apa gunanya Mas pontang panting berusaha memahami semua dan akhirnya menerima segalanya, kalau toh akhirnya Mas akan meninggalkan semua itu? Untuk apa Mas berhubungan dengan lelaki lain kalau toh akhirnya Mas sudah yakin akan berpisah? Untuk apa berpacaran dengan lelaki dan menjadi gay? Kenapa nggak langsung menikah ma cewek aja Mas?"

Aku hanya tersenyum dengan rentetan pertanyaan Regha. Aku juga pernah menannyakan hal yang sama pada diriku dulu, berulang kali.Mencoba menelaahnya dari berbagai segi. "Apa aku tak berhak memiliki sedikit kebahagiaan bagi diriku sendiri Gha?" tanyaku padanya. Dengan itu Regha terbungkam. "Aku sangat sadar kalau pada akhirnya, aku akan membuang semua yang aku miliki agar aku bisa membahagiakan orang tuaku. Aku sadar sekali aku tak akan bisa hidup bersama dengan orang yang aku sayangi. Apalagi dengan fakta bahwa kita hidup di Indonesia, dimana homoseksualitas masih dianggap sebagai cacat dan hal yang tabu.Tapi, apakah aku tak berhak untuk mendapatkan sedikit kebahagiaan bagi diriku sendiri, sebelum aku membahagiakan mereka?"

Regha tak menjawabku.

"Aku tak pernah menjanjikan happily ever after pada semua pacarku, karena aku tahu aku tak akan bisa memilikinya. Saat aku mencintai seseorang, aku akan menikmati momen itu semaksimal mungkin. Tapi aku tahu, tak ada istilah 'bersama selamanya' dalam hubungan kami. Karena jika bukan dia yang pergi, maka aku yang akan meninggalkannya. Sebesar apapun perasaan yang kami miliki. Pada akhirnya, kami akan berpisah!"

"Jadi, kalau meski akhirnya.. . " Regha menatapku, ". . ini misalkan ya Mas? Kalau misalnya Egha mau berpacaran dengan Mas Rizky, pada akhirnya Mas Rizky juga akan meninggalkan Egha kan Mas?"

Pertanyaan yang jujur, sederhana dan normal diajukan setelah pembicaraan kami. Aku bisa menduganya. Tapi bukan berarti tak menyakitkan saat aku mendengarnya. Aku tahu jawabannya tak akan membuat semuanya lebih baik. Tapi pilihan apa yang kumiliki? Jadi aku hanya bisa menarik nafas panjang sebelum menjawabnya. "Yeah! Pada akhirnya. . ."
Regha tak langsung bereaksi. Tapi dia tertunduk seolah-olah memikirkan jawabanku tadi dengan seksama.

"Gha. . . " panggilku pelan membuatnya mengangkat wajahnya memandangku, "Kalaupun misalnya, Egha mau bersamaku, bisakah Egha meninggalkan orang tua Egha untuk mengejar kebahagiaan Egha sendiri? Bisakah Egha membayangkan reaksi dan kesedihan Egha saat mengetahui fakta yang sebenarnya? Bisakah Egha membayangkan apa yang mereka rasakan saat itu? Bagaimana ekspresi wajah mereka? Egha mampu melakukan itu pada mereka?"

Regha hanya menggeleng.

"Begitu pula Mas Rizky, Gha," kataku dengan senyum tipis. "Aku hanya bisa mengambil apa yang bisa kudapatkan. Kebahagiaan singkat yang masih bisa kurasakan.Sekecil apapun itu. Karena itu pula, aku tak bisa memaksakan perasaaanku pada semua orang. Termasuk Egha. Kalau syarat untuk bisa bersama Egha adalah sebagai teman belaka, maka percayalah, Mas Rizky senang menjadi teman Egha. Yah, Mas Rizky memang menyukai Egha, tapi bukan berarti Mas Rizky menuntut agar Egha berpacaran denganku. Begini saja sudah cukup bagi Mas Rizky," kataku pelan. Dia tak menjawabnya, tapi salah satu tangan Regha bergerak dan menggenggam tanganku. Jemarinya menyusup diantara jemari tangan kananku, kemudian meremasnya. Matanya menatapku dengan penuh pengertian.

Aku merasa seakan-akan aku baru bisa bernafas setelah terkungkung dalam sebuah ruangan hampa udara. Aku menarik nafas panjang dan menatap tak percaya pada kedua tangan kami yang bertaut diatas meja.

"Terimakasih," bisikku lirih padanya.

REGHA


Aku kembali menguap. Sedari tadi aku berusaha menahannya, tapi aku sudah tak tahan lagi. Dengan kesal aku melirik pada Zaki yang duduk santai disebelahku sembari memeriksa beberapa berkas. Sial!! Kali ini aku naik pangkat, dan bukan dalam artian yang bagus. Kemarin-kemarin aku cuma bawahannya. Tapi semenjak aku mendapatkan SIM ku, kini aku juga merangkap sebagai sopirnya. Tadi pagi, dia enak saja melempar kunci dan menyuruhku membawa mobilnya. Dia nya sendiri sok sibuk dengan membolak-balikkan isi map yang dibawanya.

Aku kembali menguap kecil, memalingkan mukaku agar Zaki tak melihatnya. Semalam aku hampir-hampir tak bisa tidur. Percakapanku dengan Mas Rizky masih terngiang ditelinga. Satu bulan terakhir hidupku benar-benar seperti ruangan dalam rumah hantu. Penuh kejutan dan menegangkan. Tapi hal itu juga memberiku banyak sekali pembelajaran. Aku baru menyadari bahwa banyak sekali hal yang tak kuketahui didunia ini. Pembicaraanku dengan Regi dan Mas Rizky sedikit membuka mataku. Masih kuingat pembicaraan terakhirku dengan Mas Rizky semalam.



"Apa pendapat Mas Rizky tentang banci?" tanyaku beberapa saat setelah aku melepaskan tanganku dari genggamannya. Sebenarnya aku agak risih begitu sadar dengan apa yang kulakukan tadi. Tapi ekspresi sedih Mas Rizky dan ketulusan yang terpancar diwajahnya membuatku terharu dan tahu-tahu, tanganku sudah menyatu dengan miliknya, menggenggamnya erat, seolah-olah berusaha menguatkannya. Konyol!

"Maksud Egha, cowok yang melambai atau cowok yang berpakaian wanita?" tanya Mas Rizky dengan nada tertarik. Jelas sekali dia tak menyangka aku bisa melontarkan pertanyaan itu. Aku sendiri meski agak risih, namun tetap penasaran dengan pendapatnya.

"Dua-duanya Mas," jawabku singkat.

"Eeuuuuuhhh. . . . menurut pendapatku, itu hak mereka. Tapi aku sendiri tak ingin melakukannya, ataupun dekat dengan mereka."

"Kenapa? Apa Mas Rizky berpendapat mereka. . . . bodoh dan rendah?" sebelah alis Mas Rizky terangkat mendengarku, "Kan bukan keinginan mereka juga dilahirkan seperti itu kan Mas? Sama seperti yang Mas bilang tadi, mereka tidak order pada Tuhan untuk memiliki prilaku seperti itu. Yang lucunya lagi, menurut teman Egha, banyak orang-orang gay sendiri yang bersikap buruk pada mereka. Merendahkan mereka. Menganggap diri mereka lebih baik daripada banci itu sendiri. Padahal kalau dipikir, hakikatnya mereka kan sama-sama penyuka sesama jenis? Jadi buat apa merasa lebih baik? Itukan konyol dan terkesan hipokrit sekali?!" cerocosku. Sejenak Mas Rizky memandangku, terlihat makin tertarik.

"Regi?" tanyanya singkat.

Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.

"Kalau begitu, mari kita pikir baik-baik. Egha ingat kan kalau kita hidup di Indonesia? Egha tentu sadar akan budaya dan adat serta pandangan masyarakat kita tentang gay kan?'

Kembali aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.

"Nah Egha tentu maklum kalau banyak dari gay menyembunyikan ke-GAY an mereka. Masyarakat kita, sekali lagi, memandang homoseksualitas sebagai aib, cacat dan hal yang tabu. Nah, banyak juga dari para gay tersebut berbeda dengan banci. Menjadi gay atau penyuka sesama jenis bukan berarti kita menganggap diri kita sebagai cewek. Banyak gay yang dari segi penampilannya adalah cowok dalam artian yang sebenarnya. Mereka tampan, bertubuh kekar, atau bahkan memiliki penampilan yang macho. Pokoknya jauh dari stereotype penyuka sesama jenis. Sementara banci atau apapun nama mereka, transgender, dresscrosser atau apapun itu, adalah orang-orang yang boleh dibilang dengan bangga telah mengumumkan pada masyarakat bahwa mereka penyuka sesama jenis. Dari cara mereka bersikap, berpakaian ataupun berperilaku, orang pasti sudah tahu dan yakin 100% bahwa mereka penyuka sesama jenis. Menurutku, mereka sama dengan meneriakkan pada semua orang tentang hal itu.

Seperti yang kubilang, banyak penyuka sesama jenis dinegara kita yang menyembunyikan perasaan mereka karena tekanan sosial atau penyebab lainnya. Nah kalau mereka terlihat kumpul bersama dengan para banci itu, jelas orang-orang akan menyadari bahwa mereka penyuka sesama jenis. Cepat atau lambat, masyarakat akan berkesimpulan seperti itu. Nah orang-orang ini tentu berusaha agar itu tak terjadi. Karena itu mereka mejauh dari orang-orang itu. Apa kau bisa menyalahkan? Harap Regha ingat, gay yang bersembunyi ini juga memiliki nama baik, keluarga, serta tanggung jawab sendiri yang harus mereka bawa. Mereka datang dari berbagai jenis latar belakang dan level. Mereka juga orang-orang yang memiliki berbagai macam pekerjaan dan tanggung jawab.

Banyak dari mereka bersembunyi, dan melakukan aktivitas gay mereka diam-diam, demi menjaga dari efek buruk yang datang. Misalnya seorang Guru SMA, kan mustahil dengan jelas mengumumkan bahwa dia gay? Bayangkan reaksi murid-murid cowoknya. Atau mungkin seorang polisi. Apa mungkin dia mengaku sebagai gay? Nah, dengan reputasi banci yang sudah dianggap miring oleh masyarakat, bergaul dengan para banci juga akan mengganggu reputasi mereka kan? Ini menjadi salah satu alasan, kenapa orang-orang gay juga tidak menyukai hang out bareng dengan para banci. Mungkin aku adalah salah satu contohnya. Bisa kamu bayangkan reaksi ibu kalau aku kumpul dengan cowok ber make-up tebal?"
Aku tak bisa membayangkannya, jadi aku hanya nyengir.
"Sama seperti aku dan yang lain. Beberapa dari kami bukan hanya memiliki tanggung jawab pada diri kami sendiri, tapi kami juga harus menjaga nama baik keluarga, teman atau bahkan rekan kerja kami. Poin nya adalah, banyak alasan kenapa baik orang normal atau gay menjauh dari banci yang Egha bilang. Tapi percayalah, itu bukan berarti mereka membenci atau merendahkan mereka. Beberapa dari mereka hanya berusaha untuk melindungi diri, keluarga, orang-orang terdekat, ataupun pekerjaan mereka. Pada akhirnya itu semua kembali pada kepribadian masing-masing individu. Aku sendiri tak perduli mereka mau berdandan atau nggak, tapi yang jelas, aku tak bisa dan tak mau terlihat bersama dengan mereka. Itu saja!"

"Mas Rizky gak pernah. . . . pacaran ma salah satu dari mereka?"

"Nggak pernah," jawab Mas Rizky sembari menggeleng, "Ditaksir sih pernah ma beberapa orang. Tak ada yang aku layani. Aku mencoba menjauh dan menjaga jarak saja."






Setelah itu, kami mencoba membicarakan hal lain yang lebih netral. Jujur, masih ada rasa tak percaya dalam diriku bahwa Mas Rizky adalah seorang gay. Sebagai cowok, Mas Rizky memiliki kualitas yang bagus. Sangat bagus malah. Dia cakep, gagah, pinter dan dari keluarga yang baik-baik serta cukup berada. Apalagi coba yang kurang? Beda banget kan kalo dibandingkan ma aku? Muka ngepas, kantong cekak, body ceking, keluarga juga dari kalangan biasa. Mas Rizky bisa ngedapetin cewek manapun yang dia mau. Tapi dia justru sukanya ma lelaki. Dunia sepertinya sudah semakin tua dan aneh. Coba bayangin aja bagaimana masa depan dunia,bila semua cowok dengan kualitas seperti Mas Rizky, ga doyan lagi ma cewek?!

Kasian banget ya nasib cewek-cewek didunia!

"Kamu habis ngapain saja semalam sampe ngantuk gitu?" tegur zaki dari sampingku, "Lembur?"

"Lembur apaan? Semalam aku keluar bareng Mas Rizky?"

"Rizky?" Zaki bergumam pelan dan tampak berpikir,

"Maksudmu cowok aneh yang tiba-tiba memelukmu dulu itu?" tanyanya kemudian.

"Yes. Tapi dia tidak aneh! Dia hanya terlalu senang melihatku," belaku nyolot.

"Yeah, right!" dengus Zaki keras, "Hanya gay yang bersikap seperti itu. Berani taruhan, dia pasti menyukaimu," gerutunya lagi. Agak kaget aku melirik padanya. Zaki cuek dan kembali meneliti lembaran-lembaran kertas yang dibawanya.

"How can you say that?"

"Cuz only gay people do such things," jawabnya enteng.

"Memang ada apa sih antara kau dan orang gay? Kamu punya masalah dengan mereka?" tanyaku kesal.

Zaki mendongak dan menatapku heran. "Aku tak punya masalah dengan orang gay. Kenapa kau harus kesal? Are you gay?" tanyanya heran.

"No! Tapi setidaknya aku tak bersikap sinis dengan mereka."

"Oh aku tidak bermasalah dengan orang gay. Mereka bisa melakukan apapun dengan tubuh dan hidup mereka, selama mereka tidak menggangguku. Aku hanya tidak menyukai teman gay mu yang satu itu," sahut Zaki santai.

"Kenapa kau tidak menyukainya? Dan kenapa kau yakin sekali kalau dia gay? As you could see he's different from Regi. Tak seorangpun yang melihatnya akan berpikir bahwa dia seorang gay."

"I just don't like him and I just knew that he is gay. Cara dia melihatmu sedikit membuatku merinding. Dan kalau kau mau memperhatikan, dari tadi kau tidak menyangkal bahwa dia gay, dan dia menyukaimu. So, I'm right, aren't I?"
Siapa yang bisa menyangkal analisisnya coba? Karena tak mampu mengeluarkan sanggahan yang tepat aku cuma mampu menggeleng tak percaya dan menggerutu kesal. "You are unbelievable!"

"I know. Everybody knows it too," sahutnya enteng tanpa mengalihkan pandangan matanya dari kertas yang ada ditangannya.

"Apa pandanganmu tentang orang gay, Ki?"

Sejenak dia mengangkat wajahnya, memandang kedepan dengan ekspresi berpikir serius. "Eeeuuhh. . . I don't know. And I don't care."

"Yang aku tanya adalah bagaimana pandanganmu dengan mereka? What do you think of them, really?"

"Like I said, I don't know and I don't care, really. Menurutku mereka bebas aja melakukan sesuatu dengan hidup mereka. Itu hak mereka kan? Sepanjang itu tidak melukai atau merugikan orang lain, kurasa itu tak ada masalah."

"Jadi kau tidak membenci ataupun. . . menganggap mereka rendah, aneh?"

"Hate? Kurasa tidak. Aku tak pernah bersinggungan ataupun berurusan mereka. Merendahkan juga sepertinya tidak. Banyak juga kok orang-orang terhormat yang homoseksual. Kalau aneh. . . ya. Ada beberapa dari mereka yang kuanggap aneh."

"Contohnya?" tanyaku tertarik.

"Like a Queer! Aku tak bisa mengerti mereka. Gay is okay, I think. To me, they're just guys who like other guys. Tapi banci agak membingungkan. Maksudku, mereka tahu dan sadar bahwa mereka lelaki, dengan semua bentuk dan anatomi lelaki pada umumnya. Tapi kenapa harus berpakaian ataupun meniru wanita? Bahkan ada beberapa yang menyuntik atau mengoperasi dada mereka. Konsep bahwa mereka memiliki jiwa yang terjebak pada tubuh yang salah, agak membingungkanku. Bukankah akan lebih masuk akal untuk menjadi seorang gay yang sadar bahwa dia lelaki, hanya saja menyukai lelaki lain, daripada seseorang yang jelas-jelas lelaki tapi mengaku ataupun bersikap sebagai seorang perempuan?"

Untuk beberapa waktu, aku terbungkam dengan semua analisanya. Kukira dia sama sekali tidak tahu akan semua itu. Siapa sangka? "How do yu know all of that stuff?" tanyaku heran.

"Salah seorang temanku di Australia pernah disukai oleh seorang gay. Kami pernah sedikit membahasnya. Dan ada seorang gay di sekolahku dulu yang. . . well, queer! Dia sudah mulai bersikap dan berperilaku sebagai cewek. Or so I've heard. Aku hanya pernah melihatnya dari kejauhan. Tak pernah berbicara atau bertemu dengannya secara langsung," jelas Zaki sembari mengangkat bahu acuh.

"Jadi kesimpulannya, kau hanya tak suka pada banci, tapi tak bermasalah dengan gay?"

"Wait, let me get it straight! Aku bukannya tak bermasalah sama sekali dengan gay. Aku tak pernah, sama sekali, ingin berurusan dengan mereka. Benar aku bilang bahwa mereka bebas melakukan apapun dengan hidup mereka, dan itu berarti jangan sampai mereka menggangguku. Karena kalau mereka melakukannya, aku bukan lagi 'tidak bermasalah' dengan mereka. Bagiku, mereka juga sama membingungkannya. I mean, bagaimana bisa lelaki tidak menyukai perempuan, malah memilih berhubungan seks dengan lelaki lain yang jelas-jelas memiliki perangkat yang sama? That is crazy. And I don't want any shit of them. Dan untuk banci, bukannya tidak suka. Tapi tak mengerti. Itu saja. But still, mereka punya hak untuk melakukan apapun dengan hidup mereka. Tapi yang jelas, aku tak ingin berurusan dengan mereka juga. Sama sekali. Now you tell me, apa menurutmu mereka tidak aneh?" tanya Zaki balik.

"Well. . . . kadang-kadang suka ngeri juga sih kalo liat ada banci yang sok feminim, tapi tubuhnya boleh dibilang gagah untuk ukuran cowok. Dulu aku benar-benar tak menyukai mereka. Aku setuju dengan pendapatmu bahwa mereka aneh dan tak bisa dimengerti. Padahal udah jelas mereka lelaki, tapi kenapa juga mesti bersikap layaknya perempuan. Tapi. . . setelah berbicara dengan Regi, aku sedikit berubah pikiran."

"Regi?" tanya Zaki dengan sebelah alis terangkat.

Aku mengangguk. "Aku baru tahu kalau bukan hanya kita, tapi mereka sendiri yang mengalami, juga tak mengerti. Mereka tak tahu, kenapa mereka jadi gemulai. Beberapa sudah berusaha untuk berubah, tapi toh mereka tetap berbeda dengan lelaki lain pada umumnya. Mereka sama tak tahunya dengan kita. Bagaimana bisa mereka jadi lebih lemah daripada lelaki normal? Bagaimana mereka lebih bisa mengerti dan bersikap seperti perempuan? Kebanyakan dari mereka tak tahu apa penyebabnya. Yang lebih mengenaskan, mereka banyak sekali mendapat cercaan, bukan hanya dari orang-orang normal. Bahkan kaum gay sendiri, yang pada hakikatnya sama-sama penyuka sesama jenis, turut merendahkan mereka. Padahal kalau kita mau berpikir, hak apa sih yang kita miliki sehingga kita boleh memandang rendah mereka? Akhir-akhir ini terkadang aku merasa kalau aku juga termasuk orang hipokrit dan pembohong akut saat melihat mereka. Regi membuka mataku kalau mereka juga manusia kok, seperti aku dan kamu. Tapi dengan naifnya, aku merasa bahwa aku lebih baik dari mereka," gumamku sedikit melamun.

"Manusia benar-benar makhluk yang kompleks dan sulit dimengerti kan?"

Aku menoleh padanya dan tersenyum, "Benar! Kita memang makhluk kompleks dan membingungkan."

"Tapi salut juga kau bisa berpikir seberat itu. Selama ini kukira kau cuma seorang mahasiswa dengan kapasitas anak kelas 1 SMP," celetuk Zaki ringan.

"What?!" sentakku.

"Hei, jangan salahkan aku. Keteledoranmu itu boleh dibilang over dosis," katanya santai dan kembali meneliti kertas-kertas yang dibawanya. Bisa kulihat sudut bibirnya membentuk sebuah senyum kecil.

"Dasar ego maniak sinting!" gumamku pelan sembari kembali menoleh pada jalan didepanku. Untuk beberapa saat lamanya, kami melaju dalam diam. "Tapi. . . bagaimana kalau salah satu dari mereka menyukaimu?" tanyaku akhirnya.

Zaki memutar bola matanya dan mengerang keras, "Are we still on that?"

"Shut up and listen, ok?" gerutuku balik, "Aku ingin tahu pendapatmu dan apa yang akan kau lakukan. Let's just say, kalau kau kenal seseorang. Kau mengagumi orang itu. Katakanlah dia adalah sosok idolamu. Orang yang kau jadikan panutan. Suatu saat, tiba-tiba saja dia mengatakan kalau dia gay dan dia menyukaimu. Apa yang akan kau lakukan?"

"He said he likes you, didn't he?" tanya Zaki dengan yakin.

"Aku tak akan menawabnya. Berikan saja pendapatmu," kataku mencoba mengelak.

"Aku tak akan mengatakan apapun sampai kau memberitahuku. Dia mengatakannya bukan?" desaknya lagi. Insting pertamaku mengatakan kalau sebaiknya aku tak mengatakan apapun pada bule separuh jadi ini. Tapi terus terang, aku ingin tahu pendapatnya. Aku sudah mendengar pendapat Regi, yang jelas gay, dan Vivi, yang Fag Hag sejati. Tapi belum mendengar apapun dari sudut seorang straight seperti Zaki.

"Misalkan saja iya. Apa yang akan kau lakukan!"

"HAH!!" dengus Zaki penuh kemenangan. "I knew I was right. Katakan saja tidak, terimakasih! Kemudian jauhi dia," jawabnya enteng.

"Tapi, coba bayangkan kau berada diposisiku saat ini. Kau sangat mengagumi orang ini. Mengidolakannya. Bukan hanya karena dia pintar dan. . . well, mengagumkan. Tapi juga karena dia sangat baik dan telah banyak membantumu. Lagipula, meski orang ini mengatakan bahwa dia menyukaimu, dia tidak menuntutmu untuk menjadI pacarnya kok. Dia hanya ingin jadi temenmu saja."
Kembali Zaki mendengus, "Dengan mengatakan kalimat tadi, kau baru saja membenarkan pendapatku bahwa kau benar-benar seorang mahasiswa dengan pola pikir seorang anak SMP!"

"Aku serius, Zaki!"

"So am I! Look, all I can say is, jangan terlalu mengagumi seseorang, karena suatu saat, kau akan dibuat kecewa oleh kekurangan yang dimilikinya."

Aku diam sejenak memikirkan kata-katanya.

"Disaat kau begitu mengagumi seseorang, biasanya dalam pemikiran kita, orang itu begitu sempurna. Semua hal kecil yang dia lakukan dan sebenarnya biasa saja, akan tampak menakjubkan dimatamu. Terkadang kita lupa kalau orang yang kita kagumi itu adalah manusia biasa. Biasanya, setelah kita tahu kelemahan dan kekurangan orang yang kita kagumi itu, kita akan merasa kecewa. Karena dia tidak sesempurna yang kita bayangkan. Nasehat yang kedua, jangan lakukan apapun yang tidak kau inginkan. Kau akan berakhir dengan menyesalinya." Dengan itu dia kembali pada kertas-kertasnya dan mengacuhkanku selama sisa perjalanan.

Aku kembali terdiam. Kata-kata Zaki tadi terus terngiang ditelingaku hingga kami sampai di Panti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar