Translate

Jumat, 30 Januari 2015

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 35 - An Old Friend



ZAKI

Matahari nyaris hilang cahayanya. Air laut terlihat berkilau kemerahan. Lampu-lampu dibawah mulai dinyalakan. Angin yang berhembuspun mulai terasa agak dingin bila dibandingkan dengan siang tadi. Aku duduk di balkon ini, memandang pemandangan sore. Here I am. Di tepi sebuah pantai yang cukup dikenal didunia. Mencoba menikmati indahnya sunset. Mencoba menyerap semua keajaiban alam. But............ nothing. Ada sesuatu yang kurang. Mungkin suasanya saja yang kurang sepi. Aku masih bisa mendengar samar suara-suara yang ada di bawah dan pantai. Keramaian pantai Kuta masih bisa ku tangkap. Kalau mungkin aku bisa berada dalam kesunyian dan ditemani gemericik air seperti saat di Majalengka, aku bisa merasakan keajaiban alam itu lagi. Aku merindukan atmosfir yang menakjubkan itu. Merindukan sihir yang seakan-akan menyebar di udara saat aku berdiri diam.
"Zaki...!"
Panggilan Regha itu sedikit membuatku kaget dan membuka mata. Dan ingatan akan suasana waktu itupun menghilang. aku menarik nafas. Sedikit bingung akan apa yang kurasakan, "Out here!!" sahutku saat Regha kembali mengulangi panggilannya. Tak berapa. lama dia muncul dengan menenteng sebuah tas plastik. Wajahnya tampak sedikit kemerahan.
"Hei! Regi ingin tahu apa kita ada rencana malam ini?" tanya Regha yang kemudian ikut keluar ke balkon.
"Aku sudah reserve tempat di restoran dekat sini. Are you guys having fun?' tanyaku kemudian,
Regha tertawa kecil, "Aku tak akan pernah mau lagi belanja bareng mereka kalo kamu nggak ikut. I swear, those two are shopping monsters. Mereka keluar masuk toko puluhan kali hanya untuk membeli beberapa potong baju. Oh ya, Regi tadi juga bilang kalau dia pergi sebentar. Katanya mungkin akan kembalisekitar dua jam-an. Is it okay?"
Aku tersenyum dan mengangguk. Dengan kepribadian Regi, tentu saja itu bisa diduga. Dan Vivi adalah cewek. Jadi, dia tak bisa disalahkan. Hanya Regha yang mungkin memang tak akan tertarik belanja, "You wore your hat, didn't you?"
"Yeah! Emang kenapa?" tanya Regha bingung.
"Wajahnya sedikit kemerahan. Mungkin kau harus menggunakan sun block," kataku dan mengulurkan tanganku.
"Well, mungkin cuma gak terbiasa dengan panasnya daerah pantai. Hawa disini beda dengan Bandung yang...." kata-kata Regha terputus saat aku mengusap rona kemerahan di pipinya dengan punggung tanganku. Sejenak dia terlihat kaku dan nyaris gugup.
"Kau bisa meminta sunblock ke Regi. Atau kau akan terlihat seperti udang rebus lain kali kau keluar," kataku dan kembali menarik tanganku dari wajahnya.
Regha mengangguk cepat, "I will. Dan...... ka-kamu sendiri ngapain dari tadi?"
Aku hanya mengangkat bahu, "Hanya beristirahat. Sebelum kau datang tadi, aku sedang duduk disini dan teringat saat aku ikut ke Majalengka pertama kalinya denganmu. Do you remember it? Lalu............" aku terdiam. Ingat saat terakhir kali aku melihat matahari terbenam di sungai itu bersama Regha.
"A-apa?"
"Come here," kataku dan secara impulsif menariknya mendekat untuk berdiri didepanku, "Ingat nggak sore terakhir kita di Majalengka. Di tepi sungai waktu itu?"
Regha tak menjawab. Tapi beberapa saat kemudian dia mengangguk.
"Well, that's what I remember. Kau bisa mengingat bagaimana suasana waktu itu?" tanyaku dan meletakkan tanganku di bahunya, "Aku ingat bagaimana rasanya berada disana. Aku seakan-akan tersihir akan keajaiban suasananya. Herannya waktu itu, kau bersikap biasa-biasa saja. Kau tak bisa merasakan indahnya. I swear, it was magical. But you..... malah kedinginan. And I remember I hugged you like this."
Aku melingkarkan tanganku diperut Regha dan menariknya untuk lebih mendekat ke dadaku. Menyatukan kedua tubuh kami. Tubuh Regha terasa sedikit tegang dalam pelukanku.
"Aku mencoba mengingat kembali apa yang kurasakan saat itu," kataku pelan didekat telinganya, "Tapi entah kenapa, rasanya ada yang kurang. Tak mungkin rasanya kalau sunset di Majalengka lebih baik daripada sunset di Legian Kuta. But it does feel that way. Sayangnya aku tak bisa mengatakan apa sebabnya. Bagaimana menurutmu?"
"Hmmmh? A-apa?" tanya Regha.
"Mana yang lebih kau suka? Matahari tenggelam di Majalengka, atau disini?" tanyaku dan menyandarkan pipiku di kepalanya.
"Disini........... cukup indah kok," jawab Regha pelan dan nyaris tak terdengar.
Aku diam, kembali memperhatikan siluet warna senja yang nyaris hilang. Warna kemerahan dan nyaris ungu di langit semakin terlihat samar. Hanya secarik sinar mentari yang tersisa di ujung langit. Kegelapan mulai mengisi alam di sekeliling kami. Warna matahari mulai terkalahkan oleh warna lampu-lampu. Dan aku bisa mendengar bunyi deburan ombak dan gemerisik angin yang bertiup. Yeah....
Mungkin Regha benar. Di Majalengka musik alam yang terdengar adalah gemericik air yang mengalir dan terpecah oleh bebatuan. Ditambahi oleh bunyi berbagai macam serangga. Sementara disini, bunyi debur ombak dan angin yang menjadi artisnya. Ditambahi oleh bunyi samar aktifitas manusia di kejauhan. Seperti yang Regha bilang, cukup indah dan memiliki pesonanya sendiri.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya, "Yeah......... Sepertinya kau benar. It's not bad at all," kataku pelan dan tanpa sadar mengetatkan pelukanku padanya.
Entah berapa lama kami berdiri disana seperti itu. Keheningan kami dipecah oleh bunyi perut Regha. Aku sontan melepaskan pelukanku dan tertawa keras.
"Okay..." kataku dan berusaha menguasai diri, tapi kembali tertawa keras saat ku lihat wajah Regha yang menjadi kemerahan. Tersipu malu.
"M-maaf," katanya sembari menggaruk kepalanya.
"It's fine," kataku, tapi aku harus memegang perutku untuk menahan tawa, "You go get shower and get ready for dinner. Kasih tahu yang lain, ok? Kau sms Regi aja kita makan malam di *MACCHIO  yang ada di kanan hotel. Minta dia untuk menyusul kita kesana."
Regha hanya mengangguk dan keluar dengan kepala tertunduk serta wajah yang masih memerah. 

Makan malam hari itu berjalan sedikit canggung. Lagi-lagi karena ulah Regha. Tuh anak bengong bego saat kami duduk. Dia memandang berbagai macam alat makan didepannya dengan pandangan bingung. Baru saat ku lihat dia gugup aku sadar, kalau dia tak terbiasa dengan table manner seperti ini. Dia terbiasa makan dalam suasana santai dan sederhana seperti yang kulihat di Majalengka sebelumnya.
"Don't worry,"  kataku dan meletakkan tanganku di atas tangannya, "Anggap saja sedang belajar table manner dan ikuti apa yang aku atau Vivi lakukan."
"Sekali-sekali kita makan ala borju Gha," sergah Vivi dan mengedipkan sebelah matanya. Dia tampak santai dan tak mengalami masalah. Dan aku sangat bersyukur atas pembawaannya yang ringan, karena Regha menjadi agak tenang setelahnya. Mungkin lain kali aku akan mengajak Regha makan di restoran indonesia saja. Main course hari itu aku memesan steak untuk mereka semua. Meski terlihat agak kaku, Regha bisa mengikuti kami.
"You guys have any idea kemana Regi pergi?" tanyaku mencoba mengalihkan perhatian Regha.
"Sepertinya dia menjemput seseorang. Ingat bahwa dia bilang kalau dia ada janji dengan seseorang disini?" ujar Vivi sembari menyesap diet coke-nya.
Aku dan Regha mengangguk. Aku ingat hal itu.
"Kalian tahu siapa?" tanyaku lagi. Mereka menggeleng sehingga aku sedikit mengangkat alisku. Kukira mereka sudah sampai pada tahap saling terbuka. Aneh rasanya kalau Regi memiliki rahasia yang bahkan mereka berdua tak ketahui. Aku melirik jam tanganku, "Well, ini sudah hampir dua jam. Tapi Regi masih belum muncul juga."
"Tenang saja. Dia pasti akan kesini. Lagipula, gak mungkin dia............." Vivi menghentikan kalimatnya. Matanya membelalak lebar memandang ke arah pintu, membuat aku dan Regha yang keheranan mengikutinya. Ku lihat Regi melambaikan tangannya pada kami. Dia mengenakan celana pendek dan kemeja berwarna putih. Dan yang membuatku heran adalah saat aku melihat seorang cowok bule berambut pirang yang mengikuti disebelahnya. Cowok yang tingginya hampir sama denganku. Mengenakan celana hitam dan polo shirt putih. Kaca mata yang dikenakannya semakin memperkuat kesan preppy look-nya. Jenis orang yang membuatmu langsung berasumsi bahwa dia orang yang terpelajar dan cerdas. Meski tubuhnya cukup impressive untuk dibilang bookworm. Jelas dia adalah tipe orang yang rajin berolah raga. Gerakannya ringan namun toh tangkas. Aku bertanya-tanya bagaimana mereka bisa bertemu.  Rasanya janggal kalau Regi yang rame bisa nyambung dengan cowok yang kelihatannya kalem dan intelek ini.
"Hai.... Maaf telat. Tapi gue kudu jemput dia dulu. Guys, kenalin. Ini Nicholas William Van den Heuvel. Nick, I want you to meet my friends. Sylvia Witanoko," ujar Regi. Vivi yang akhirnya bisa menutup mulutnya, bangkit dan menyalami cowok itu.
"Please, call me Nick," katanya dengan ringan dan senyum ramah.
"Vivi," jawab Vivi dan sedikit tersipu saat si Nick tadi mencium punggung tangannya.
"This is Regha Zulfikar Widhiarya."
Regha bangkit dan mengulurkan tangannya yang segera disambut oleh Nick, "Regha."
"Pleasure," jawab Nick dan mengangguk.
"Zaki Christian Osmond."
Aku mengulurkan tanganku padanya, "Please call me Zake," sapaku dan mengangguk.
"It's Nick then," jawabnya dan mengangguk.
"Please, have a seat. We've already started before you," kataku dan memberi tanda pelayan untuk mendekat dan menambah kursi serta memberikannya menu. Ternyata dia memesan masakan yang sama dengan kami, "So.... Nick. Dutch, right?"
"Yes. Holland," jawabnya.
Aku menatap Regi yang terlihat tersipu dengan sebelah alis terangkat, "Interesting. Regi never told us before that he has.........." aku tak tahu harus menggunakan istilah apa dan hanya memandang mereka berdua dengan tangan terangkat, meminta petunjuk.
"Boyfriends," jawab Regi dengan wajah yang makin memerah membuatku tak mampu menahan senyum. Jarang-jarangan bisa melihat Regi begitu salah tingkah. Bisa ku lihat penjelasannya membuat Regha dan Vivi bengong.
"Diana lekong yey Nekk?" tanya Vivi tanpa menyembunyikan kekagetannya. Regi hanya mengangguk untuk menjawabnya.
Regha bersiul, "Pantes lu gak pernah noleh ma anak-anak kampus. Taunya udah dipelihara bule Belanda. Lagian, tumben-tumbenan lu jinak gini Gi?," selorohnya geli.
"Rumpi ah!!" sergah Regi dan menepuk bahu Regha yang terkekeh, "Hati-hati ye? Dese bisa bahasa Indonesia. Meski sama kaya Zaki. Agak campur ma Inggris."
"Masa? Kamu beneran bisa bahasa Indonesia, Nick?" tanya Vivi.
Nick tersenyum dan mengangguk, "Ya. Sedikit. Tapi agak kaku dan lebih pasif," jawabnya dengan aksen yang cukup baik untuk ukuran bule.
"Dia dulu pernah ikutan program pertukaran siswa selama 3 bulan di Yogya pas SMA kelas 2. Dan dia sudah belajar bahasa Indonesia sejak SMP," jelas Regi.
"Itu pertama kali kalian bertemu? Pas pertukaran siswa itu?" tanya Vivi.
Regi tersenyum dan menoleh ke arah Nick. Dari cara mereka memandang, aku bisa melihat kedekatan mereka. Sepertinya ikatan keduanya cukup kuat.
"Cerita kami terentang jauuuh sebelum itu. Kalian nggak akan percaya kalo gua ceritain. Ntar aja ya? Gue pasti cerita," ujar Regi.
"Ntar gue tagih lo," ancam Vivi. Aku sudah hendak berkomentar namun urung saat aku melihat seseorang yang baru masuk dari pintu masuk.
"WHAT THE HELL?!!" sergahku dan dengan cepat bangkit.
Justin yang melihatku tampak terperangah dan kaget luar biasa! Aku sendiri tidak berusaha menutupi kemarahan yang kurasakan. Aku melangkah mendekat sembari meandangnya tajam. Bisa ku lihat kalau dia terlihat gugup. Aku tak memperdulikannya.
“What the heck are you doingin this country without telling me?!!” tanyaku langsung.
“Eeeeuuhh Zake….i-it’s a surprise,” ujarnya sembari tertawa gugup dengan mata yang melirik sekilas pada kerumunan tempatku berada tadi. Aku tak memperdulikan sopan santun saat ini, jadi aku tak mengindahkannya. Fakta bahwa temanku yang dari Australia berada di Negara ini tanpa memberiku kabar cukup membuatku geram.
“Save it! Now tell me why you didn’t call me first!!” pintaku geram.
“Zake, I was just…”
Kalimatnyaterputus saat seseorang muncul dari belakang tubuhnya. Aku yang melihatnya tanpa sadar menarik nafas saking kagetnya.
“Robin….” Gumamku. Robin yang ku lihat tak kalah kagetnya sontan berhenti melangkah. Dia berpaling kea rah Justin dengan mata yang nyaris ketakutan. Aku tanpa sadar juga telah berpaling kembali kearah temanku itu, “Robin?!!” ulangku dengan nada tanpa keramahan. Sudah cukup kaget dengan kehadiranJustin di Negara ini, ditambah lagi dengan kehadiran Robin bersamanya.
“Zake, I-I ca-can explain…”
“Like hell you will! You both wait here,” kataku dengan nada tak ingin dibantah. Dengan langkah cepat aku kembali mendekat kea rah meja tempat Regha dan yang lain menungguku dengan tatapan heran, “Look, I’m sorry. Tapi aku harus pergi untuk mengurus sesuatu. You guys stay here and enjoy your dinner. My treat,” kataku cepat dan mengeluarkan salah satu kartu kreditku dari dompet dan mengulurkannya pada Regha yang melihatku bengong.
“Buat apa?” tanyanya heran.
“Use it to pay. Or you can buy anything you want,” kataku dan meletakkan kartu itu ke tangannya, “We’ll talk later ok?” pamitku pada mereka dan berbalik untuk kembali kea rah Justin dan Robin yang berdiri resah menungguku. Aku member tanda pada mereka untuk mengikutiku. Dengan wajah pasrah mereka mengikutiku.
Aku mengajak mereka ke restoran lain yang berada tak jauh dari tempat kami tadi. Aku sendiri tak peduli dengan jenis masakan apa yang mereka sajikan disini. Yang penting adalah aku mendapatkan tempat untuk bicara. Dan sepinya restoran yang kami masuki hanyalah sebuah kebetulan. Pelayan membawa kami ke meja yang berhadapan langsung dengan laut.
“Now talk,” pintaku begitu mereka duduk.
“May be… it would be better if I go back to hotel and…….”
“No!” cegah Justin. Satu tangannya menahan tangan kanan Robin. Sesaat Robin terlihat ragu dan hanya menatap tangan Justin yang memegangnya. Akhirnya dia duduk. Semua kejadian tadi tak lepas dari pengamatanku. Bagaimana kekagetan membayang di wajah Robin. Ekspresi wajah Justin saat dia menahan Robin. Hanya orang bodoh yang tak melihat ada sesuatu diantara keduanya. Aku sendiri terlalu kaget untuk mengatakan apapun. Sudut hatiku berusaha menyangkal dan member argument-argumen lemah bahwa aku hanya membayang kan semuanya. Tapi aku tahu kalau aku hanya menipu diriku sendiri. Aku tahu.
“Yeah Robin. Stay,” kataku singkat, berusaha terdengar biasa-biasa saja.
“Aku…………sebenarnya…” Justin kembali diam dan berpaling seolah-olah mengumpulkan kekuatan. Dia sudah hendask mengatakan sesuatu saat seorang pelayan dating untuk meminta pesanan kami. Aku hanya memintanya untuk membawakan kami sebotol anggur.
“Maaf. Kau tadi hendak mengatakan apa?” tanyaku pada Justin setelah pelayan itu pergi.
”Look, Zake, sebenarnya aku tak mau kau tahu dengan jalan seperti ini. Aku ingin mengatakan sendiri pada waktunya nanti…”
“Kalian bersama….” Cetusku pelan, berharap dalam hati bahwa perkiraanku salah.
Hening sejenak. Mereka saling memandang dan kemudian berpaling, seakan-akan malu. Justin menarik nafas panjang.
“Yeah….” Jawabnya nyaris tak terdengar.
“Sejak kapan?” tanyaku setelah terdiam untuk beberapa saat lamanya.
“A while. Sekitar….. setahun kemarin resminya,” jawab Justin.
“Dan kalian berada disini untuk……….?” Aku tak meneruskan kalimatku.
“Berlibur,” jawab Justin lagi, sementara Robin terdiam. Menyerahkan semua percakapan pada kami berdua.
Aku kembali diam. Telah satu tahun. Resminya. Dan mereka berdua ada disini untuk berlibur. Ada sedikit sensasi sesak yang kurasakan didadaku. Nyaris seperti sebuah rasa kecewa yang tak ku mengerti. Aku tak tahu harus merasa kecewa pada apa atau siapa. Kecewa karena Justin tak memberitahuku kalau dia ada di Negara ini, atau kecewa bahwa dia tak memberitahuku bahwa dia menjalin hbungan dengan Robin yang dulu hanya menjadi bahan olok-olok bagi geng kami. Aku diam ditempatku, mencoba mencernanya. Membiarkan suara debur embak mengisi kekosongan diantara kami.
Kediaman kami di[otong oleh datangnya pelayan yang membawa sebotol anggur dalam sebuah timba besi penuh dengan es. Aku segera membuka botol itu dan meminta mereka untuk segera pergi. Aku benar-benar butuh minum. Aku memerlukan sesuatu untuk mengatasi kekagetanku. Aku menyesap anggur itu, nyaris tanpa merasakannya.
“Siapa lagi yang tahu?” tanyaku kemudian.
“Tak seorangpun,” kata Justin memandangku dengan memohon, “Tidak teman-teman kita yang lain atau keluargaku. Tak seorangpun dari lingkungan kita yang biasanya. Hanya sebagian orang dikampus kami. Dan aku ingin tetp seperti itu untuksaat ini.”
“Kenapa?”
“Apakah kau harus menanyakannya?” Tanya Justin balik.
“Well, jelas sekali kalau aku bias saja salah. Kau ada disini berdua dengan Robin kan?”
“Kau tahu bagaimana teman-teman kita yang lain Zake. Kau ingat sendiri bagaimana sikap kita pada Robin dulu. Haruskah aku mengulanginya?” kata Justin, kali ini dia memandang lurus padaku, “Bagi kita dulu, orang-orang seperti Robin hanyalah lelucon yang konyol. Kau tahu sendiri bagaimana kondisi keluargaku. Mereka tak berubah Zake. Mereka masih sekumpulan manusia kaya yang mengira bahwa diri merekla lebih baik dari orang lain.”
Aku ingat keluarga Justi. Mereka benar-benar definisi antagonis dari orang kaya pada umumnya. Berkuasa dan memandang orang-orang yang memiliki kekayaan kurang dari mereka sebagai kelas bawah. Orang-orang dengan pemikiran dangkal, konyol dan sombong luar biasa. Satu kelom[okdengan sebgian keluarga dari pihak Daddy.
“Saat ini, aku berada dalam genggaman mereka. Mereka yang membiayai kuliah dan semua kebutuhanku saat ini. Dan mereka akan tetap begitu asal aku bersikap seperti yang mereka inginkan. Aku baru bebas saat trust fund yang kumiliki bisa kudapatkan saat lulus kuliah nanti. Dan…………seperti itulah aku dihadapan mereka.”
“Kau……. Berpura-pura straight didepan mereka?”
“Apa yang aneh dari itu?” Tanya Justin, hamper dengan nada getir, “Kita sudah terbiasa jinak dihadapan mereka bukan?”
Aku tak bisa membatahnya dalam hal itu. Kami memang menjadi pemberontak yang bersikap berbeda saat berada di hadapan orang tua kami. KAmi menjadi pemuda baik-baik dengan siap santun luar biasa bersama mereka. Tapi di luar itu, kami cukup liar.
“Apakah kau tahu selama ini?”
“Bahwa aku gay? Sebenarnya, iya. Hanya saja aku tak pernah mengakuinya. Selalu berusaha menyangkal dan menutupinya. Berusaha mengacuhkannya dan bersikap sama sepertimu dan yang lain. Aku mulai merasa sedikit tersik saat Justin menunjukkan ketertarikannya padaku. Tapi lagi-lagi aku tak mengacuhkannya. Apalagi saat tahu bagaimana kalian bersikap. Aku tak mengacuhkannya hingga aku kuliah dan Robin…….. satu apartemen denganku.”
“Hubungan kalian dimulai saat itu….”
“Zake, dia tidak menjebakku atau menipuku. Dia tidak memaksaku. Skenario buruk apapun yang kau pikirkan, kau salah. Dia…”
“Aku tak mengatakan apapun!” potongku sedikit kesal.
“Aku yang mendekatinya Zake,” potong Justin tanpa memperdulikanku, “Dia tak melakukan apapun. Dan aku mencintainya….”
Kalimat terakhir itu keluar dengan nada mantap. Aku kembali terbungkam dan berusaha terlihat tidak kaget lagi. Tapi tubuhku menegang tanpa bisa ku kendalikan. Menyukai Robin sudah menjadi sebuah kejutan bagiku. Tapi Justin mencintainya……….. that’s huge! Bahkan saat kami bersama dengan mantan-mantan kami, tak pernah ada kata cinta yang kami ucapkan. Kata cinta nyaris menjadi hal yang tabu bagi kami. Dan Justin tadi bilang bahwa dia MENCINTAI Robin?!!!! Apa-apaan ini?!!
“Robin, apa kau tak terlalu terburu-buru menyimpulkan semuanya? Seperti yag pernah kau bilang padaku, mungkin ini hanya sekedar sebuah fase yang akan kau lewati. No offense Rob,” sergahku.
“Non taken!” jawab Robin singkat.
“Aku sudah mengatakan hal yang sama pada diriku dulu Zake. Berulang kali. Ratusan. Bahkan mungkin ribuan kali. Tapi aku tak bisa menyingkirkan Robin dari benakku. Percayalah. Itu hal yang ku pikirkan dan kukatakan pada diriku sendiri dulu. Bahwa semua hanya kebodohan belaka. Nafsu sesaat. Fase konyol yang akan segera berlalu. But it’s not Zake. I love him!” Justin berpaling dan mengulurkan tangannya untuk kembali memegang tangan Robin. Kedua jari mereka bertautan dan saling menggenggam. Tanpa sadar aku bergerak-gerak gelisah ditempatku.
Aku segera kembali menyambar gelas minumanku dan meneguk separuh isinya.
“Aku beruntung memilikinya Zake. Dia hal terbaik yang terjadi padaku. Dia bisa menerimaku dan juga semua beban yang ku bawa. Dia rela bersembunyi dari mata semua orang untukku. Dia rela menjadi kekasih bayangan yang bisa kuperlakukan selayaknya di lingkungan pribadi kami. Dia rela menunggu hingga kami lulus. Saat aku terlepas dari keluargaku dan berdiri sendiri.”
Aku menoleh pada Robin yang tersenyum pada Justin sembari tersenyum lembut. Caranya memandang Justin, kalau itu bukan cinta, entah apa lagi namanya, pikirku kecut.
“Kau……….. benar-benar mau menerimanya?” tanyaku pada Robin.
Robin mengangkat bahu, “Kami berdua masih tergantung dalam banyak hal pada keluarga kami. Meski orang tuaku tahu dan menerimaku, aku tak bisa menuntut hal yang sama dari keluarga Justin. Aku juga belum berada di posisi yang kuat untuk menanggung dia sepenuhnya. Andai aku bisa, aku akan membawanya keluar dari kungkungan keluarganya dari dulu. Tapi itupun kalau dia mau. Bagaimanapun buruknya, mereka keluarga Justin. Aku tak mungkin memisahkan dia dari mereka. Kecuali bila dia menginginkannya,” jawab Robin.
Dia juga berubah, pikirku baru menyadarinya. Robin yang dulu adalah cowok kikuk yang tak pernah berani mengangkat wajahnya. Kini dia terlihat lebih………..hidup dan percaya diri. Tubuhnya juga tidak sekurus dulu. Jelas dia sudah memperbaiki diri. Dan pengaruh Justin berefek bagus baginya.
“Bagaimana bila suatu saat Justin sadar dan kembali pada keluarganya? Meninggalkanmu?” tanyaku lagi.
“Bila itu yang dia inginkan….” kata Robin sembari berpaling pada Justin, “Yang jelas aku tak akan menyerah begitu saja. Aku akan memperjuangkannya terlebih dulu…” jawabnya pelan.
Justin kembali meremas jemari Robin yang digenggamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar