ZAKI
Matahari nyaris hilang cahayanya. Air laut terlihat
berkilau kemerahan. Lampu-lampu dibawah mulai dinyalakan. Angin yang
berhembuspun mulai terasa agak dingin bila dibandingkan dengan siang tadi. Aku
duduk di balkon ini, memandang pemandangan sore. Here I am. Di tepi sebuah
pantai yang cukup dikenal didunia. Mencoba menikmati indahnya sunset. Mencoba
menyerap semua keajaiban alam. But............ nothing. Ada sesuatu yang
kurang. Mungkin suasanya saja yang kurang sepi. Aku masih bisa mendengar samar
suara-suara yang ada di bawah dan pantai. Keramaian pantai Kuta masih bisa ku
tangkap. Kalau mungkin aku bisa berada dalam kesunyian dan ditemani gemericik
air seperti saat di Majalengka, aku bisa merasakan keajaiban alam itu lagi. Aku
merindukan atmosfir yang menakjubkan itu. Merindukan sihir yang seakan-akan
menyebar di udara saat aku berdiri diam.
"Zaki...!"
Panggilan Regha itu sedikit membuatku kaget dan
membuka mata. Dan ingatan akan suasana waktu itupun menghilang. aku menarik
nafas. Sedikit bingung akan apa yang kurasakan, "Out here!!" sahutku
saat Regha kembali mengulangi panggilannya. Tak berapa. lama dia muncul dengan
menenteng sebuah tas plastik. Wajahnya tampak sedikit kemerahan.
"Hei! Regi ingin tahu apa kita ada rencana
malam ini?" tanya Regha yang kemudian ikut keluar ke balkon.
"Aku sudah reserve tempat di restoran dekat
sini. Are you guys having fun?' tanyaku kemudian,
Regha tertawa kecil, "Aku tak akan pernah mau
lagi belanja bareng mereka kalo kamu nggak ikut. I swear, those two are
shopping monsters. Mereka keluar masuk toko puluhan kali hanya untuk membeli
beberapa potong baju. Oh ya, Regi tadi juga bilang kalau dia pergi sebentar. Katanya
mungkin akan kembalisekitar dua jam-an. Is it okay?"
Aku tersenyum dan mengangguk. Dengan kepribadian
Regi, tentu saja itu bisa diduga. Dan Vivi adalah cewek. Jadi, dia tak bisa
disalahkan. Hanya Regha yang mungkin memang tak akan tertarik belanja,
"You wore your hat, didn't you?"
"Yeah! Emang kenapa?" tanya Regha bingung.
"Wajahnya sedikit kemerahan. Mungkin kau harus
menggunakan sun block," kataku dan mengulurkan tanganku.
"Well, mungkin cuma gak terbiasa dengan
panasnya daerah pantai. Hawa disini beda dengan Bandung yang...."
kata-kata Regha terputus saat aku mengusap rona kemerahan di pipinya dengan
punggung tanganku. Sejenak dia terlihat kaku dan nyaris gugup.
"Kau bisa meminta sunblock ke Regi. Atau kau
akan terlihat seperti udang rebus lain kali kau keluar," kataku dan
kembali menarik tanganku dari wajahnya.
Regha mengangguk cepat, "I will. Dan......
ka-kamu sendiri ngapain dari tadi?"
Aku hanya mengangkat bahu, "Hanya beristirahat.
Sebelum kau datang tadi, aku sedang duduk disini dan teringat saat aku ikut ke
Majalengka pertama kalinya denganmu. Do you remember it? Lalu............"
aku terdiam. Ingat saat terakhir kali aku melihat matahari terbenam di sungai
itu bersama Regha.
"A-apa?"
"Come here," kataku dan secara impulsif
menariknya mendekat untuk berdiri didepanku, "Ingat nggak sore terakhir
kita di Majalengka. Di tepi sungai waktu itu?"
Regha tak menjawab. Tapi beberapa saat kemudian dia
mengangguk.
"Well, that's what I remember. Kau bisa
mengingat bagaimana suasana waktu itu?" tanyaku dan meletakkan tanganku di
bahunya, "Aku ingat bagaimana rasanya berada disana. Aku seakan-akan
tersihir akan keajaiban suasananya. Herannya waktu itu, kau bersikap
biasa-biasa saja. Kau tak bisa merasakan indahnya. I swear, it was magical. But
you..... malah kedinginan. And I remember I hugged you like this."
Aku melingkarkan tanganku diperut Regha dan
menariknya untuk lebih mendekat ke dadaku. Menyatukan kedua tubuh kami. Tubuh
Regha terasa sedikit tegang dalam pelukanku.
"Aku mencoba mengingat kembali apa yang
kurasakan saat itu," kataku pelan didekat telinganya, "Tapi entah
kenapa, rasanya ada yang kurang. Tak mungkin rasanya kalau sunset di Majalengka
lebih baik daripada sunset di Legian Kuta. But it does feel that way. Sayangnya
aku tak bisa mengatakan apa sebabnya. Bagaimana menurutmu?"
"Hmmmh? A-apa?" tanya Regha.
"Mana yang lebih kau suka? Matahari tenggelam
di Majalengka, atau disini?" tanyaku dan menyandarkan pipiku di kepalanya.
"Disini........... cukup indah kok," jawab
Regha pelan dan nyaris tak terdengar.
Aku diam, kembali memperhatikan siluet warna senja
yang nyaris hilang. Warna kemerahan dan nyaris ungu di langit semakin terlihat
samar. Hanya secarik sinar mentari yang tersisa di ujung langit. Kegelapan
mulai mengisi alam di sekeliling kami. Warna matahari mulai terkalahkan oleh
warna lampu-lampu. Dan aku bisa mendengar bunyi deburan ombak dan gemerisik
angin yang bertiup. Yeah....
Mungkin Regha benar. Di Majalengka musik alam yang
terdengar adalah gemericik air yang mengalir dan terpecah oleh bebatuan.
Ditambahi oleh bunyi berbagai macam serangga. Sementara disini, bunyi debur
ombak dan angin yang menjadi artisnya. Ditambahi oleh bunyi samar aktifitas
manusia di kejauhan. Seperti yang Regha bilang, cukup indah dan memiliki
pesonanya sendiri.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya,
"Yeah......... Sepertinya kau benar. It's not bad at all," kataku
pelan dan tanpa sadar mengetatkan pelukanku padanya.
Entah berapa lama kami berdiri disana seperti itu.
Keheningan kami dipecah oleh bunyi perut Regha. Aku sontan melepaskan pelukanku
dan tertawa keras.
"Okay..." kataku dan berusaha menguasai
diri, tapi kembali tertawa keras saat ku lihat wajah Regha yang menjadi
kemerahan. Tersipu malu.
"M-maaf," katanya sembari menggaruk
kepalanya.
"It's fine," kataku, tapi aku harus
memegang perutku untuk menahan tawa, "You go get shower and get ready for
dinner. Kasih tahu yang lain, ok? Kau sms Regi aja kita makan malam di
*MACCHIO yang ada di kanan hotel. Minta
dia untuk menyusul kita kesana."
Regha hanya mengangguk dan keluar dengan kepala
tertunduk serta wajah yang masih memerah.
Makan malam hari itu berjalan sedikit canggung.
Lagi-lagi karena ulah Regha. Tuh anak bengong bego saat kami duduk. Dia
memandang berbagai macam alat makan didepannya dengan pandangan bingung. Baru
saat ku lihat dia gugup aku sadar, kalau dia tak terbiasa dengan table manner
seperti ini. Dia terbiasa makan dalam suasana santai dan sederhana seperti yang
kulihat di Majalengka sebelumnya.
"Don't worry," kataku dan meletakkan tanganku di atas
tangannya, "Anggap saja sedang belajar table manner dan ikuti apa yang aku
atau Vivi lakukan."
"Sekali-sekali kita makan ala borju Gha,"
sergah Vivi dan mengedipkan sebelah matanya. Dia tampak santai dan tak
mengalami masalah. Dan aku sangat bersyukur atas pembawaannya yang ringan,
karena Regha menjadi agak tenang setelahnya. Mungkin lain kali aku akan
mengajak Regha makan di restoran indonesia saja. Main course hari itu aku
memesan steak untuk mereka semua. Meski terlihat agak kaku, Regha bisa
mengikuti kami.
"You guys have any idea kemana Regi
pergi?" tanyaku mencoba mengalihkan perhatian Regha.
"Sepertinya dia menjemput seseorang. Ingat
bahwa dia bilang kalau dia ada janji dengan seseorang disini?" ujar Vivi
sembari menyesap diet coke-nya.
Aku dan Regha mengangguk. Aku ingat hal itu.
"Kalian tahu siapa?" tanyaku lagi. Mereka
menggeleng sehingga aku sedikit mengangkat alisku. Kukira mereka sudah sampai
pada tahap saling terbuka. Aneh rasanya kalau Regi memiliki rahasia yang bahkan
mereka berdua tak ketahui. Aku melirik jam tanganku, "Well, ini sudah
hampir dua jam. Tapi Regi masih belum muncul juga."
"Tenang saja. Dia pasti akan kesini. Lagipula,
gak mungkin dia............." Vivi menghentikan kalimatnya. Matanya
membelalak lebar memandang ke arah pintu, membuat aku dan Regha yang keheranan
mengikutinya. Ku lihat Regi melambaikan tangannya pada kami. Dia mengenakan
celana pendek dan kemeja berwarna putih. Dan yang membuatku heran adalah saat
aku melihat seorang cowok bule berambut pirang yang mengikuti disebelahnya.
Cowok yang tingginya hampir sama denganku. Mengenakan celana hitam dan polo
shirt putih. Kaca mata yang dikenakannya semakin memperkuat kesan preppy
look-nya. Jenis orang yang membuatmu langsung berasumsi bahwa dia orang yang
terpelajar dan cerdas. Meski tubuhnya cukup impressive untuk dibilang bookworm.
Jelas dia adalah tipe orang yang rajin berolah raga. Gerakannya ringan namun
toh tangkas. Aku bertanya-tanya bagaimana mereka bisa bertemu. Rasanya janggal kalau Regi yang rame bisa
nyambung dengan cowok yang kelihatannya kalem dan intelek ini.
"Hai.... Maaf telat. Tapi gue kudu jemput dia
dulu. Guys, kenalin. Ini Nicholas William Van den Heuvel. Nick, I want you to
meet my friends. Sylvia Witanoko," ujar Regi. Vivi yang akhirnya bisa
menutup mulutnya, bangkit dan menyalami cowok itu.
"Please, call me Nick," katanya dengan
ringan dan senyum ramah.
"Vivi," jawab Vivi dan sedikit tersipu
saat si Nick tadi mencium punggung tangannya.
"This is Regha Zulfikar Widhiarya."
Regha bangkit dan mengulurkan tangannya yang segera
disambut oleh Nick, "Regha."
"Pleasure," jawab Nick dan mengangguk.
"Zaki Christian Osmond."
Aku mengulurkan tanganku padanya, "Please call
me Zake," sapaku dan mengangguk.
"It's Nick then," jawabnya dan mengangguk.
"Please, have a seat. We've already started
before you," kataku dan memberi tanda pelayan untuk mendekat dan menambah
kursi serta memberikannya menu. Ternyata dia memesan masakan yang sama dengan
kami, "So.... Nick. Dutch, right?"
"Yes. Holland," jawabnya.
Aku menatap Regi yang terlihat tersipu dengan
sebelah alis terangkat, "Interesting. Regi never told us before that he
has.........." aku tak tahu harus menggunakan istilah apa dan hanya
memandang mereka berdua dengan tangan terangkat, meminta petunjuk.
"Boyfriends," jawab Regi dengan wajah yang
makin memerah membuatku tak mampu menahan senyum. Jarang-jarangan bisa melihat
Regi begitu salah tingkah. Bisa ku lihat penjelasannya membuat Regha dan Vivi
bengong.
"Diana lekong yey Nekk?" tanya Vivi tanpa
menyembunyikan kekagetannya. Regi hanya mengangguk untuk menjawabnya.
Regha bersiul, "Pantes lu gak pernah noleh ma
anak-anak kampus. Taunya udah dipelihara bule Belanda. Lagian, tumben-tumbenan
lu jinak gini Gi?," selorohnya geli.
"Rumpi ah!!" sergah Regi dan menepuk bahu
Regha yang terkekeh, "Hati-hati ye? Dese bisa bahasa Indonesia. Meski sama
kaya Zaki. Agak campur ma Inggris."
"Masa? Kamu beneran bisa bahasa Indonesia,
Nick?" tanya Vivi.
Nick tersenyum dan mengangguk, "Ya. Sedikit.
Tapi agak kaku dan lebih pasif," jawabnya dengan aksen yang cukup baik
untuk ukuran bule.
"Dia dulu pernah ikutan program pertukaran
siswa selama 3 bulan di Yogya pas SMA kelas 2. Dan dia sudah belajar bahasa
Indonesia sejak SMP," jelas Regi.
"Itu pertama kali kalian bertemu? Pas pertukaran
siswa itu?" tanya Vivi.
Regi tersenyum dan menoleh ke arah Nick. Dari cara
mereka memandang, aku bisa melihat kedekatan mereka. Sepertinya ikatan keduanya
cukup kuat.
"Cerita kami terentang jauuuh sebelum itu.
Kalian nggak akan percaya kalo gua ceritain. Ntar aja ya? Gue pasti
cerita," ujar Regi.
"Ntar gue tagih lo," ancam Vivi. Aku sudah
hendak berkomentar namun urung saat aku melihat seseorang yang baru masuk dari
pintu masuk.
"WHAT THE HELL?!!" sergahku dan dengan
cepat bangkit.
Justin yang melihatku tampak terperangah dan kaget
luar biasa! Aku sendiri tidak berusaha menutupi kemarahan yang kurasakan. Aku
melangkah mendekat sembari meandangnya tajam. Bisa ku lihat kalau dia terlihat
gugup. Aku tak memperdulikannya.
“What the heck are you doingin this country without
telling me?!!” tanyaku langsung.
“Eeeeuuhh Zake….i-it’s a surprise,” ujarnya sembari
tertawa gugup dengan mata yang melirik sekilas pada kerumunan tempatku berada
tadi. Aku tak memperdulikan sopan santun saat ini, jadi aku tak mengindahkannya.
Fakta bahwa temanku yang dari Australia berada di Negara ini tanpa memberiku
kabar cukup membuatku geram.
“Save it! Now tell me why you didn’t call me
first!!” pintaku geram.
“Zake, I was just…”
Kalimatnyaterputus saat seseorang muncul dari belakang
tubuhnya. Aku yang melihatnya tanpa sadar menarik nafas saking kagetnya.
“Robin….” Gumamku. Robin yang ku lihat tak kalah
kagetnya sontan berhenti melangkah. Dia berpaling kea rah Justin dengan mata
yang nyaris ketakutan. Aku tanpa sadar juga telah berpaling kembali kearah
temanku itu, “Robin?!!” ulangku dengan nada tanpa keramahan. Sudah cukup kaget
dengan kehadiranJustin di Negara ini, ditambah lagi dengan kehadiran Robin
bersamanya.
“Zake, I-I ca-can explain…”
“Like hell you will! You both wait here,” kataku
dengan nada tak ingin dibantah. Dengan langkah cepat aku kembali mendekat kea
rah meja tempat Regha dan yang lain menungguku dengan tatapan heran, “Look, I’m
sorry. Tapi aku harus pergi untuk mengurus sesuatu. You guys stay here and
enjoy your dinner. My treat,” kataku cepat dan mengeluarkan salah satu kartu
kreditku dari dompet dan mengulurkannya pada Regha yang melihatku bengong.
“Buat apa?” tanyanya heran.
“Use it to pay. Or you can buy anything you want,”
kataku dan meletakkan kartu itu ke tangannya, “We’ll talk later ok?” pamitku
pada mereka dan berbalik untuk kembali kea rah Justin dan Robin yang berdiri
resah menungguku. Aku member tanda pada mereka untuk mengikutiku. Dengan wajah
pasrah mereka mengikutiku.
Aku mengajak mereka ke restoran lain yang berada tak
jauh dari tempat kami tadi. Aku sendiri tak peduli dengan jenis masakan apa
yang mereka sajikan disini. Yang penting adalah aku mendapatkan tempat untuk
bicara. Dan sepinya restoran yang kami masuki hanyalah sebuah kebetulan.
Pelayan membawa kami ke meja yang berhadapan langsung dengan laut.
“Now talk,” pintaku begitu mereka duduk.
“May be… it would be better if I go back to hotel
and…….”
“No!” cegah Justin. Satu tangannya menahan tangan
kanan Robin. Sesaat Robin terlihat ragu dan hanya menatap tangan Justin yang
memegangnya. Akhirnya dia duduk. Semua kejadian tadi tak lepas dari
pengamatanku. Bagaimana kekagetan membayang di wajah Robin. Ekspresi wajah
Justin saat dia menahan Robin. Hanya orang bodoh yang tak melihat ada sesuatu
diantara keduanya. Aku sendiri terlalu kaget untuk mengatakan apapun. Sudut
hatiku berusaha menyangkal dan member argument-argumen lemah bahwa aku hanya
membayang kan semuanya. Tapi aku tahu kalau aku hanya menipu diriku sendiri.
Aku tahu.
“Yeah Robin. Stay,” kataku singkat, berusaha
terdengar biasa-biasa saja.
“Aku…………sebenarnya…” Justin kembali diam dan
berpaling seolah-olah mengumpulkan kekuatan. Dia sudah hendask mengatakan
sesuatu saat seorang pelayan dating untuk meminta pesanan kami. Aku hanya
memintanya untuk membawakan kami sebotol anggur.
“Maaf. Kau tadi hendak mengatakan apa?” tanyaku pada
Justin setelah pelayan itu pergi.
”Look, Zake, sebenarnya aku tak mau kau tahu dengan
jalan seperti ini. Aku ingin mengatakan sendiri pada waktunya nanti…”
“Kalian bersama….” Cetusku pelan, berharap dalam
hati bahwa perkiraanku salah.
Hening sejenak. Mereka saling memandang dan kemudian
berpaling, seakan-akan malu. Justin menarik nafas panjang.
“Yeah….” Jawabnya nyaris tak terdengar.
“Sejak kapan?” tanyaku setelah terdiam untuk
beberapa saat lamanya.
“A while. Sekitar….. setahun kemarin resminya,”
jawab Justin.
“Dan kalian berada disini untuk……….?” Aku tak
meneruskan kalimatku.
“Berlibur,” jawab Justin lagi, sementara Robin
terdiam. Menyerahkan semua percakapan pada kami berdua.
Aku kembali diam. Telah satu tahun. Resminya. Dan
mereka berdua ada disini untuk berlibur. Ada sedikit sensasi sesak yang
kurasakan didadaku. Nyaris seperti sebuah rasa kecewa yang tak ku mengerti. Aku
tak tahu harus merasa kecewa pada apa atau siapa. Kecewa karena Justin tak
memberitahuku kalau dia ada di Negara ini, atau kecewa bahwa dia tak
memberitahuku bahwa dia menjalin hbungan dengan Robin yang dulu hanya menjadi
bahan olok-olok bagi geng kami. Aku diam ditempatku, mencoba mencernanya. Membiarkan
suara debur embak mengisi kekosongan diantara kami.
Kediaman kami di[otong oleh datangnya pelayan yang
membawa sebotol anggur dalam sebuah timba besi penuh dengan es. Aku segera
membuka botol itu dan meminta mereka untuk segera pergi. Aku benar-benar butuh
minum. Aku memerlukan sesuatu untuk mengatasi kekagetanku. Aku menyesap anggur
itu, nyaris tanpa merasakannya.
“Siapa lagi yang tahu?” tanyaku kemudian.
“Tak seorangpun,” kata Justin memandangku dengan
memohon, “Tidak teman-teman kita yang lain atau keluargaku. Tak seorangpun dari
lingkungan kita yang biasanya. Hanya sebagian orang dikampus kami. Dan aku
ingin tetp seperti itu untuksaat ini.”
“Kenapa?”
“Apakah kau harus menanyakannya?” Tanya Justin
balik.
“Well, jelas sekali kalau aku bias saja salah. Kau
ada disini berdua dengan Robin kan?”
“Kau tahu bagaimana teman-teman kita yang lain Zake.
Kau ingat sendiri bagaimana sikap kita pada Robin dulu. Haruskah aku
mengulanginya?” kata Justin, kali ini dia memandang lurus padaku, “Bagi kita
dulu, orang-orang seperti Robin hanyalah lelucon yang konyol. Kau tahu sendiri
bagaimana kondisi keluargaku. Mereka tak berubah Zake. Mereka masih sekumpulan
manusia kaya yang mengira bahwa diri merekla lebih baik dari orang lain.”
Aku ingat keluarga Justi. Mereka benar-benar
definisi antagonis dari orang kaya pada umumnya. Berkuasa dan memandang
orang-orang yang memiliki kekayaan kurang dari mereka sebagai kelas bawah.
Orang-orang dengan pemikiran dangkal, konyol dan sombong luar biasa. Satu
kelom[okdengan sebgian keluarga dari pihak Daddy.
“Saat ini, aku berada dalam genggaman mereka. Mereka
yang membiayai kuliah dan semua kebutuhanku saat ini. Dan mereka akan tetap
begitu asal aku bersikap seperti yang mereka inginkan. Aku baru bebas saat
trust fund yang kumiliki bisa kudapatkan saat lulus kuliah nanti.
Dan…………seperti itulah aku dihadapan mereka.”
“Kau……. Berpura-pura straight didepan mereka?”
“Apa yang aneh dari itu?” Tanya Justin, hamper
dengan nada getir, “Kita sudah terbiasa jinak dihadapan mereka bukan?”
Aku tak bisa membatahnya dalam hal itu. Kami memang
menjadi pemberontak yang bersikap berbeda saat berada di hadapan orang tua
kami. KAmi menjadi pemuda baik-baik dengan siap santun luar biasa bersama
mereka. Tapi di luar itu, kami cukup liar.
“Apakah kau tahu selama ini?”
“Bahwa aku gay? Sebenarnya, iya. Hanya saja aku tak
pernah mengakuinya. Selalu berusaha menyangkal dan menutupinya. Berusaha
mengacuhkannya dan bersikap sama sepertimu dan yang lain. Aku mulai merasa
sedikit tersik saat Justin menunjukkan ketertarikannya padaku. Tapi lagi-lagi
aku tak mengacuhkannya. Apalagi saat tahu bagaimana kalian bersikap. Aku tak
mengacuhkannya hingga aku kuliah dan Robin…….. satu apartemen denganku.”
“Hubungan kalian dimulai saat itu….”
“Zake, dia tidak menjebakku atau menipuku. Dia tidak
memaksaku. Skenario buruk apapun yang kau pikirkan, kau salah. Dia…”
“Aku tak mengatakan apapun!” potongku sedikit kesal.
“Aku yang mendekatinya Zake,” potong Justin tanpa
memperdulikanku, “Dia tak melakukan apapun. Dan aku mencintainya….”
Kalimat terakhir itu keluar dengan nada mantap. Aku
kembali terbungkam dan berusaha terlihat tidak kaget lagi. Tapi tubuhku
menegang tanpa bisa ku kendalikan. Menyukai Robin sudah menjadi sebuah kejutan
bagiku. Tapi Justin mencintainya……….. that’s huge! Bahkan saat kami bersama
dengan mantan-mantan kami, tak pernah ada kata cinta yang kami ucapkan. Kata
cinta nyaris menjadi hal yang tabu bagi kami. Dan Justin tadi bilang bahwa dia
MENCINTAI Robin?!!!! Apa-apaan ini?!!
“Robin, apa kau tak terlalu terburu-buru
menyimpulkan semuanya? Seperti yag pernah kau bilang padaku, mungkin ini hanya
sekedar sebuah fase yang akan kau lewati. No offense Rob,” sergahku.
“Non taken!” jawab Robin singkat.
“Aku sudah mengatakan hal yang sama pada diriku dulu
Zake. Berulang kali. Ratusan. Bahkan mungkin ribuan kali. Tapi aku tak bisa
menyingkirkan Robin dari benakku. Percayalah. Itu hal yang ku pikirkan dan
kukatakan pada diriku sendiri dulu. Bahwa semua hanya kebodohan belaka. Nafsu
sesaat. Fase konyol yang akan segera berlalu. But it’s not Zake. I love him!”
Justin berpaling dan mengulurkan tangannya untuk kembali memegang tangan Robin.
Kedua jari mereka bertautan dan saling menggenggam. Tanpa sadar aku
bergerak-gerak gelisah ditempatku.
Aku segera kembali menyambar gelas minumanku dan
meneguk separuh isinya.
“Aku beruntung memilikinya Zake. Dia hal terbaik
yang terjadi padaku. Dia bisa menerimaku dan juga semua beban yang ku bawa. Dia
rela bersembunyi dari mata semua orang untukku. Dia rela menjadi kekasih
bayangan yang bisa kuperlakukan selayaknya di lingkungan pribadi kami. Dia rela
menunggu hingga kami lulus. Saat aku terlepas dari keluargaku dan berdiri
sendiri.”
Aku menoleh pada Robin yang tersenyum pada Justin
sembari tersenyum lembut. Caranya memandang Justin, kalau itu bukan cinta,
entah apa lagi namanya, pikirku kecut.
“Kau……….. benar-benar mau menerimanya?” tanyaku pada
Robin.
Robin mengangkat bahu, “Kami berdua masih tergantung
dalam banyak hal pada keluarga kami. Meski orang tuaku tahu dan menerimaku, aku
tak bisa menuntut hal yang sama dari keluarga Justin. Aku juga belum berada di
posisi yang kuat untuk menanggung dia sepenuhnya. Andai aku bisa, aku akan
membawanya keluar dari kungkungan keluarganya dari dulu. Tapi itupun kalau dia
mau. Bagaimanapun buruknya, mereka keluarga Justin. Aku tak mungkin memisahkan
dia dari mereka. Kecuali bila dia menginginkannya,” jawab Robin.
Dia juga berubah, pikirku baru menyadarinya. Robin
yang dulu adalah cowok kikuk yang tak pernah berani mengangkat wajahnya. Kini
dia terlihat lebih………..hidup dan percaya diri. Tubuhnya juga tidak sekurus
dulu. Jelas dia sudah memperbaiki diri. Dan pengaruh Justin berefek bagus
baginya.
“Bagaimana bila suatu saat Justin sadar dan kembali
pada keluarganya? Meninggalkanmu?” tanyaku lagi.
“Bila itu yang dia inginkan….” kata Robin sembari
berpaling pada Justin, “Yang jelas aku tak akan menyerah begitu saja. Aku akan
memperjuangkannya terlebih dulu…” jawabnya pelan.
Justin kembali meremas jemari Robin yang
digenggamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar