Translate

Jumat, 30 Januari 2015

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 40- Giving up



REGHA
Saat aku tiba di Rumah sakit Santo Borromeus yang ada di jalan Ir. H Juanda, aku segera menuju bagian informasi untuk menanyakan dimana letak ruang ICU. Gedung Rumah Sakit yang bertingkat ini terlalu luas untuk ku jelajahi tanpa arah. Yang ada aku bisa tersesat diantara banyaknya bangunan dan ruang disini. Petugas jaga yang bernama Santi itu menjelaskan padaku dengan ke efisienan yang sudah terlatih. Dia sudah tahu bagaimana menghadapi keluarga pasien yang rata-rata mungkin terlihat sedikit histeris, panik dan kacau sepertiku.
Aku diantar oleh Ari kesini dengan menggunakan taksi. Ari tak yakin kalau harus membawaku dengan naik motor karena tubuhku yang lemas. Dia khawatir kalau nanti aku ambruk saat melaju di jalanan. Dalam perjalanan tadi aku sudah berusaha menguasai diri. Aku bahkan sempat menghubungi Pak Arya, asisten kepercayaan Zaki, agar beliau menghubungi pihak keluarga. Aku tak memiliki kontak dengan orang terdekat Zaki selain Pak Arya. Beliau yang terdengar sangat kaget segera tanggap dan bertindak.
Tepat saat aku tiba di ruang ICU, pintu ruangan itu menjeplak terbuka dan ku lihat Zaki yang terbaring disebuah ranjang dorong dengan wajah pucat. Beberapa orang perawat mendorong kereta itu diikuti oleh seorang pria berusia sekitar awal 40an berbaju putih.
“Dok, Zaki akan dibawa kemana?”
Pria itu berhenti melangkah dan melihatku, “Keluarga pasien?” Tanya Dokter itu cepat. Aku membaca name tag yang tersemat di dadanya. Dr. Hasan Sadikin. Nama seorang dokter yang klasik.
“Saya asistennya,Dok,” sahutku tak kalah cepat, “Semua keluarga Zaki sedang berada di luar negeri. Saya yang mewakili,” dan semoga aku tak disambar petir karena berbohong, lanjutku dalam hati.
Dokter Hasan menghela nafas, “Kami sudah mengeluarkan semua racun yang ada dalam tubuhnya. Dia selamat. Dan pastikan dia tahu, bahwa dia sangat beruntung. Sedikit saja kita terlambat, dia mungkin tak akan tertolong. Jadi pastikan dia tahu hal itubdan tak mengulang kebodohannya ini. Drugs bukan jalan keluar. Itu jalan kematian.”
Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku, patuh.
Lagi dokter Hasan menghela nafas, “Maaf. Saya terdengar terlalu kasar. Saya sering dibuat kesal oleh polah anak muda yang terlalu menyia-nyiakan masa muda mereka. Mari ikuti saya. Saya akan menjelaskan yang ingin anda ketahui. Kami akan memindahkan pasien ke kamar. Ada beberapa surat yang harus anda isi,” kata Dokter Hasan dan melangkah mendahuluiku. Diruangannya, secara singkat, dokter Hasan menjelaskan kondisi Zaki. Untungnya, dia tidak lagi dalam bahaya. Aku hanya mengajukan beberapa pertanyaan umum, hanya untuk memastikan dan meyakinkan bahwa Zaki baik-baik saja.
Aku sedikit mendapat kesulitan saat mengisi beberapa formulir sehingga harus menghubungi Pak Arya. Aku tak pernah tahu sejarah kesehatan Zaki. Untungnya Pak Arya telah menghubungi Dokter keluarga Zaki yang tiba dengan cepat di Rumah Sakit itu. Dia juga yang membantuku mengatur agar Zaki ditempatkan dalam kamar VIP. Aku juga diharuskan membayar uang muka perawatan dan kamar yang jumlahnya cukup membuatku menarik nafas. Aku harus mengambil semua isi tabunganku yang tersisa, dan harus meminjam pada Ari juga. Tapi yang penting, sekarang, Zaki sudah keluar dari keadaan kritis dan berbaring dengan tenang di kamarnya untuk memulihkan diri.
Saat aku melangkah masuk ke kamarnya, dan melihatnya untuk pertama kali di ranjang itu, dadaku sontan terasa sesak. Disanalah dia. Terbaring dengan lemas dan terlihat begitu pucat. Rambutnya yang biasa terlihat rapi dan tertata, kini roboh, lembab dan sedikit berantakan. Dua selang infus yang disalurkan di kedua lengannya makin memperparah penampilannya.
Aku mendekat perlahan di tepi ranjang. Tak ku lihat lagi warna kemerahan menggemaskan di bibirnya. Bibir itu kini terlihat begitu pucat dan nyaris kehilangan warnanya. Aku juga bisa melihat keringat yang bemanik di dahinya. Aku mengulurkan tanganku dan dengan perlahan aku mengusap keringat itu dengan telapakku.
“Apa yang membuatmu begitu bodoh?” gumamku lirih dan hampir tak tahan menahan tangis.
“Maaf….”
Kata yang diucapkan dengan lirih dan penuh penyesalan itu terdengar dari belakang, membuatku langsung berbalik. Anna berdiri dibelakangku dengan baju yang cukup seksi, tapi dia terlihat sedikit berantakan. Rambutnya terlihat kacau dan ada rona kelelahan di wajahnya yang tersapu make up.
Butuh waktu sesaat bagiku untuk mencerna makna kata maafnya tadi, “Maksudmu……dia begini karenamu?” tanyaku dan menatapnya tajam.
“Aku tak tahu kalau dia akan mengambil lagi pil yang ada di tasku. Sebelumnya aku sudah memberinya dua butir. Aku tak tahu kalau dia mengambilnya lagi. Tadinya dia baik-baik saja….”
Aku mengangkat tanganku untuk mencegahnya berbicara lagi, “Aku tak ingin mendengarnya lagi. Tapi aku mohon….” Kini aku berbalik untuk langsung menghadap dan menatap Anna, “Jangan kau buat dia seperti ini lagi. Ku kira aku tak perlu menjelaskan lagi bagaimana efek yang ditimbulkan oleh pil-pil setanmu itu kan? Kalau kau peduli padanya, aku mohon Anna......jauhkan dari jangkauannya. Jangan sampai ada sedikitpun dari benda jahanam itu menyentuhnya lagi.” Aku mengatakan hal itu dengan sepenuh hati. Namun yang mengherankanku, Anna justru  tersenyum getir dan menggelengkan kepalanya. Dia kemudian malah tertawa kecut.
“Kau masih belum mengerti juga ya?” gumamnya tak percaya dan tertawa pelan.
Aku menatapnya dengan perasaan heran yang tak aku tutup-tutupi.
“Bukan aku yang bisa membuat Zaki seperti ini, Gha. Kau orangnya. Kau lah yang bisa membuat Zaki kacau dan sanggup bertindak konyol seperti ini. Keberadaanmu yang membawa pengaruh hebat pada dirinya. Bukan aku. Aku bukan apa-apa. Hanya sebuah pengalih perhatian saja. Sebuah alat untuk menghiburnya. Aku tak memiliki makna lebih dari itu baginya,” ujar Anna pelan. Aku bisa menangkap nada kalah dan juga kesedihan darinya yang tak bisa ku mengerti.
Aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi mulutku tertutup rapat.
“Keadaannya sudah kacau, bahkan sebelum aku mengajaknya keluar. Aku membawanya ke club agar dia sedikit berganti suasana. Agar dia terlepas sebentar dari bayanganmu, Gha. Tapi bahkan di club, dia sempat mengira orang lain itu kamu. Zaki mengejar orang itu. Tapi begitu tahu kalau dia salah orang, dia kembali ke meja kami dengan wajah keruh dan resah. Setelah itu dia meminta pil itu dariku. Aku hanya memberi dan melihatnya menenggak dua butir. Aku tak tahu kalau beberapa saat kemudian dia mengambil tasku, dan meminum beberapa butir lagi. Kau lihat…..? Bukan aku yang mendorongnya seperti ini. Dari awal kami berhubungan, Zaki sudah menekankan bahwa diantara kami…..tak akan pernah terjadi apa-apa. Kami hanya akan menjadi teman, tidak lebih. Apapun yang terjadi dan telah kami lakukan, semua itu tak memiliki arti lebih.”
“Tapi kau masih tetap berada disampingnya….” tukasku datar.
“Karena aku dengan bodohnya telah jatuh cinta padanya, Gha!” jawab Anna pelan dengan senyum sedih. Dia kembali melihat ke arah zaki yang terbaring,  “Aku mengambil remah apapun yang dia tawarkan padaku. Aku mengambil sedikit waktu luang yang dia berikan padaku. Tapi aku tahu, apa yang kami miliki, suatu saat akan berakhir. Karena bukan aku yang ada dalam benaknya.”
Aku kembali terdiam.
“Aku sangat menyesalkan semua ini, Gha. Percayalah. Aku orang terakhir yang menginginkan dia berada di ruangan ini, dalam keadaan seperti itu. Maaf,” kata Anna pelan. Lalu dengan segera dia berbalik dan menghilang dibalik pintu tanpa memberiku kesempatan untuk bereaksi.Aku segera beranjak untuk mengejarnya, namun langkahku terhenti saat aku baru keluar dari kamar Zaki. Dari ujung lorong, aku meihat dua orang terdekatku di Bandung ini yang melangkah dengan tergesa ke arahku. Vivi dan Regi.
“GHA!!” seru Vivi agak keras.
Rasa-rasanya pertahanan yang sedari tadi mati-matian coba ku pertahankan mulai melumer dengan mengenaskan. Sekali lagi aku ditunjukkan akan kehebatan dua orang sahabatku itu. Bahkan sekarang, pada saat lewat tengah malam, mereka masih mau untuk datang, memberikan dukungannya padaku yang sebenarnya sudah diambang batas ketahanan fisik dan mentalku.
Aku tak mengatakan apapun. Tapi saat Vivi telah dekat, aku langsung saja memeluknya erat. Mencoba menyampaikan apa yang kurasakan. Kelelahan, frustasi, sedikit kelegaan dan juga rasa bersyukurku lewat kontak fisik kami. Vivi tak mengatakan apapun. Dia hanya mengeluarkan desahan pelan dan balas memelukku. Tangannya mengusap punggungku pelan. Sementara Regi meraih tangan kananku dan meremasnya. Untuk beberapa saat lamanya kami seperti itu. Hingga kemudian aku merasa lebih baik dan melepaskan diri.
“Bagaimana kondisinya?” Tanya Vivi.
“Sudah melewati saat kritis,’ sahutku dan mengusap wajahku, letih, “Dokter berhasil menanganinya dengan segera, jadi gak ada resiko besar. Dia beruntung bisa segera dibawa kesini.”
“Tapi Gha…..over dosis? Itu seperti bukan Zaki,” gumam Regi.
Aku hanya tersenyum tipis, “Siapa juga yang nyangka, Gi. Tapi…..sepertinya aku turut andil menjadi penyebab dia begini,” ujarku lirih. Lalu aku menceritakan percakapan singkatku bersama dengan Anna tadi. Mereka berdua diam saja mendengarkan tanpa menyela. Saat aku selesai, kembali mereka berdua saling berpandangan dengan tatapan saling memahami seperti yang biasa mereka lakukan.
“Gua udah pernah bilang kan, kalau beberapa cowok kadang bersikap ekstrim dan bodoh dalam menghadapi masalah yang tak bisa mereka selesaikan,” gumam Regi.
Aku hanya mengulas senyum kecut, “Apapun penyebabnya, gue gak pengen dia kayak gini Gi. Jelas apapun yang dia rasain ke gue, tidak membuatnya nyaman. Dia tak menyukainya. Gue beruntung memiliki kalian, tapi Zaki…….” Aku menggelengkan kepala dengan mata yang mulai memanas, “…..dia menghadapi itu semua sendiri. Dia…”
Aku harus berhenti karena kalau tidak, aku akan merengek seperti anak kecil.
“Itu bukan salah elo Gha,” kata Vivi.
“Tapi keberadaan gue bikin dia seperti ini, Vi. Meski tidak secara langsung. Tapi jelas, itu gak bikin dia seneng. Bahkan bikin dia menderita. Kalo emang dia suka ma gue seperti yang kalian bilang, jelas banget hal itu gak dia inginkan. Gue bisa paham betul yang dia rasakan. Gue juga tahu banget gimana gak enaknya hal itu. Gimana gak nyamannya gue karena ngerasa salah, dosa, kotor dan menjijikkan. Lo tau sendiri gimana gue berulangkali mencoba mencari dalih buat menyangkal perasaan gue. Dan Zaki…..” aku mengusap air mataku yang terlanjur turun di pipi dengan punggung tangan,
“Dia punya segalanya, Vi. Masa depan dia sudah jelas. Dia akan menikah dengan seorang cewek, punya anak dan mungkin meneruskan usaha keluarganya. Hal itu yang seharusnya terjadi. Apa yang dia rasain ke gue, apa yang gue rasain ke dia, gak boleh bikin dia berpaling dari jalan itu. Gue juga enggak. Ini…..ini bukan jalan yang benar. Apa yang gue rasain bukan hal yang benar. Ini salah. Kalau ini benar, Zaki gak mungkin…”
Aku tak sanggup lagi. Rasanya tak ada lagi tenaga yang tersisa ditubuhku. Aku jatuh terduduk di lantai dan mengerang lirih. Vivi dan Regi segera meraih dan memelukku. Untuk beberapa saat lamanya kami bertiga duduk disana, saling berpelukan. Sementara aku membiarkan rasa sakit yang ada dalam dadaku untuk menguasai indraku yang makin terasa tumpul.
ZAKI

Hal pertama yang kurasakan saat kubuka mata adalah rasa sakit dan nyeri disekujur tubuhku yang membuatku mengerang pelan dan meringis. Benakku seperti berkabut dan samar. Aku memandang ke sekelilingku yang tampak asing. Baru beberapa detik kemudian aku sadar kalau aku berada di rumah sakit dan juga kenapa aku bisa berada ditempat ini. Aku kembali mengernyit saat melihat selang  infus yang melekat dilenganku.
Pandanganku kemudian tertumbuk pada sosok Regha yang tertidur disebelah kananku. Dia tertidur dikursi dengan mulut terbuka. Sesaat aku pikir aku kembali melihat halusinansi yang menipuku. Tapi dia nyata. Aku bisa melihat rona kelelahan diwajahnya yang tenang saat ini. Entah sudah berapa lama dia berada disana.
Aku tak bisa bersamanya lagi, pikirku dengan perasaan ngeri. Ada sentakan nyeri didadaku saat aku memutuskan hal itu. Tapi aku tahu itu benar. Aku harus segera menjauhkan diri darinya. Aku harus memutuskan semua ikatan dengannya. Karena kalau tidak, aku akan menjadi orang lain yang tidak aku inginkan.
Berhubungan dengannya adalah kesalahan besar yang harus segera kuperbaiki.
Tengah aku berpikir, ku lihat tubuhnya bergerak pelan. Kelopak matanya juga bergerak dan kemudian terbuka. Dia melihatku dengan tatapan tidak fokus untuk beberapa saat lamanya. Setelah dia tahu betul bahwa aku sedang memandangnya, Regha terlonjak bangun.
“Zake, kau sudah sadar?!” serunya dan segera bangkit mendekatiku. Tangannya terulur untuk memegang tanganku yang tergeletak. Bagai terkena siraman air panas, aku langsung menarik tanganku yang tersentuh olehnya.
Untuk beberapa detik lamanya, Regha hanya terpaku kaget melihatku.
“What are you doing here?” desisku tajam.
“Zake, kau sadar kenapa kau berada ditempat ini?” tanya Regha dengan wajah khawatir.
Aku tak menjawabnya.
“Zake, kau over dosis. Kau ingat apa yang kau konsumsi saat bersama dengan Anna?” tanya Regha lagi dan kembali mendekatiku. Satu tangannya terulur untuk meraihku, “Aku tak tahu apa yang kau lakukan, tapi kau bukan orang bodoh yang biasanya melakukan kekonyolan seperti ini. Apa yang…”
“DON’T TOUCH ME!!!” bentakku kasar membuat tangannya yang hampir menyentuh dahiku berhenti. Regha menarik kembali tangannya dengan tatapan kaget. Aku hanya menatapnya tajam.
Tentu saja. Aku ingat betul bagaimana pikiranku hampir penat karena bayangannya. Bahkan di club. Saat semua kebisingan dan keramaian itu bergerak dengan kehebohan yang luar biasa di sekelilingku, aku masih bisa merasakan dia. Melihat dia. Regha benar-benar mengacaukanku. Karena itu, aku dengan tololnya, mengambil lagi beberapa pil dari tas Anna. Sialnya, kombinasi pil dan semua minuman yang ku tenggak sebelumnya bereaksi lain. Aku mengernyit saat mengingat rasa panas didadaku yang tiba-tiba saja kembali terasa.
‘Zake..”
“You are fired!” desisku pelan dan menatapnya marah. Sudah sukup dia mengacaukan kepalaku. Aku tak akan membiarkannya lagi.
“Zake….?”
“Kau dengar aku? Aku tak ingin kau datang ke rumah atau panti lagi. Kau kupecat. Urusan kita selesai.”
“Aku masih punya hutang yang harus ku..”
“I DON’T CARE ABOUT THAT!!” bentakku lagi meski harus kembali mengernyit karenanya, “Tak usah kau pedulikan semua urusan uang itu. You and me are through. Tak ada lagi urusan antara kau dan aku. Anggap semua terbayar lunas. Kau dengar?”
Wajah Regha perlahan-lahan makin kehilangan warnanya, “Za-zake…”
“Aku tak ingin berurusan denganmu lagi. Keluar..” usirku pelan dan memejamkan mata. Tidak! Aku tak akan melihatnya. Kalau aku melihat wajahnya yang seperti itu, aku akan kembali lembek seperti sebelumnya. Aku tak boleh membiarkan diriku kembali jatuh pada pola yang sama.
“Zake, please…”
Aku membuka mataku, marah, “I SAID GET THE FUCK OUT!!!!” bentakku lebih nyaring dari sebelumnya. Aku bisa merasakan kemarahanku yang berdenyut dipelipisku. Hal itu cukup membuat Regha tersentak. Dia melangkah mundur, sedikit terhuyung dangan mata terbelalak.
“Ma-ma-maaf….. A-aku ng-nggak a-aa-akan lagi….” gumamnya dengan bibir bergetar. Dia tak mampu meneruskan kalimatnya. Hanya bergumam maaf lagi beberapa kali dengan pelan. Akhirnya dia berbalik dan dengan cepat berjalan keluar dari pintu. Aku memejamkan mata begitu sosoknya lenyap dan mencoba mengatur nafasku yang ternyata telah memburu. Kembali kurasakan rasa nyeri didadaku yang menyengat.
Aku membuka mata dan memegang dada kiriku dengan tangan kanan.
UGH!!! Sial!!! Kenapa rasa nyeri ini berpusat didada kiriku. Dan…..semakin sakit. Aku mengernyit menahan rasa nyeri yang terus meningkat. Tanpa sadar aku meremas dada kiriku dengan kuat, mencoba meredakan sengatannya. Tapi rasa itu tak kunjung hilang. Malah terus menajam. Aku membungkuk dan akhirnya meringkuk saking tak kuatnya. Sakitnya nyaris tak tertahankan. Aku mencoba mengangkat tubuhku dan untuk memencet bel perawat. Tapi aku benar-benar tak sanggup.
Aku mengeluh pelan dan terus meringkuk sembari mencengkeram erat dada kiriku. Aku tak tahu harus bagaimana. Seakan-akan aku mendapati kematian didepanku. Kengerian yang begitu hebat merambatiku.
“My Goood….” keluhku lirih. Rasa nyeri didadaku benar-benar menyengat dan menyakitkan. Tangan kembali meremas dada kiriku dengan kuat. Aku mencoba menarik nafas dengan susah payah. Nyeri! Sakit! Bahkan ketika hanya sedikit oksigen berhasil ku hirup. Aku megap-megap.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhku?” keluhku pelan dan tersengal-sengal mengatur nafas. Kembali aku memejamkan mata untuk menahannya. Cengeraman tangan kananku yang kuat, nyaris tak terasa.
“Sakit bukan?”
Aku berpaling cepat dan mendapati Regi yang berdiri didepan pintu dengan tangan terlipat didada.
“Gi, can you please…”
“It hurts. doesn’t it? Menyakiti Regha, terasa sangat menyakitkan bukan? Pernah bertanya kenapa kau bisa merasakan sakit seperti itu, padahal kaulah yang menyakiti Regha?”
Aku menatapnya bingung, “Kamu ngomong apa sih?”
Regi hanya tersenyum, “Kapan kau mau membuka mata, Zake? Kalau kau melukai Regha, itu sama saja dengan melukai dirimu sendiri.”
“Stop it..”
“Kau over dosis Zake. Bukan kena penyakit jantung. Untuk apa kau mencengkeram dadamu seperti itu? Apa dadamu sakit saat kau bangun tadi? Atau sakitnya hanya terasa setelah membentak dan mengusir Regha tadi?’
Aku terdiam kaku.
“Bayangkan wajahnya saat pergi tadi…”
Hampir secara otomatis, benakku menuruti kalimat Regi tadi, dan hanya selang beberapa detik kemudian aku melenguh dengan tangan yang kembali mencengkeram dada. Aku mengernyit menahan nyeri yang kembali menyengat.
“Hurts, doesn’t it? Hatimu terasa begitu nyeri, nyaris tak tertahankan membayangkan bagaimana sakit yang dia rasakan bukan?”
“In case you didn’t see, I’m in a hospital. Jadi jelas memang aku sakit. Tak berarti aku sakit karena Regha,” sentakku, sedikit terlalu kasar dari yang aku maksudkan. Tapi Regi tak bergeming. Dia tetap berdiri di ujung tempat tidurku dengan senyumnya.
“Fine, then. Katakan dalih apapun yang mungkin membuatmu merasa lebih baik. Kau tak perlu khawatir akan Regha. Dia pasti akan baik-baik saja. Sudah ada orang yang siap menemaninya kok,” ujarnya sembari berbalik, melangkah santai hendak keluar.
“Apa maksudmu?” tanyaku tanpa mampu menahan diri.
“Mas Rizky tadi datang dan segera menyusul Regha. Jadi, tenanglah. Sudah ada orang yang siap menambal kerusakan yang kau buat. Mungkin butuh waktu bagi Regha untuk menyesuaikan diri. Tapi, aku yakin. Mas Rizky akan mampu memenangkan hati Regha. Someday. And I hope, soon,” ujarnya lagi enteng tanpa berhenti melangkah.
Aku tak mengatakan apapun. Jadi Rizky sudah siap menjadi ksatria penyelamat Regha. Memang itu yang dia inginkan bukan? Dan tanpa sengaja, aku sudah memuluskan jalannya. Aku membuatnya terlihat bagus dihadapan Regha.
“Oh ya, ada satu hal lagi yang mungkin bisa kau lakukan untuk meyakinkan dirimu,” ujar Regi yang berhenti didepan pintu, “Bayangkan Regha dalam pelukan Mas Rizky dan apa yang bisa mereka lakukan setelahnya. That’ll help,” sambungnya.
“Aku tak akan membiarkan diriku terperosok dalam jebakanmu. Your mind trick won’t work,” sergahku lagi. Lebih kasar dari sebelumnya.
“Hanya sekedar saran,” sahutnya kalem dan melenggang pergi.
Aku diam termenung ditempat tidurku dengan dadaku yang semakin nyeri dan perasaan yang makin menumpul.

RIZKY

Aku segera turun dari mobil begitu Ferdy berhasil memarkirnya. Aku bisa mendengarnya mengekor dibelakangku. Berusaha menjejeri langkahku yang berjalan dengan tergesa.
“Kamu yakin gak apa-apa?” tanyaku seraya meliriknya.
“Kau mungkin membutuhkanku,” sahut Ferdy tanpa berhenti. Aku yang mendengarnya hanya menghela nafas dan menatap ke depan. Tadi Regi sudah mengabariku dimana kamar Zaki berada. Mereka sudah ada disana sejak beberapa jam waktu yang lalu. Hari sudah hampir pagi.
Dari ujung lorong aku bisa melihat sosok Regi dan Vivi serta dua orang cowok, berdiri didepan sebuah kamar. Salah satunya aku ingat bernama Ari. Sementara satunya tak ku kenal. Mereka tampak diam dengan postur sedikit tegang, sementara tubuh mereka condong seakan-akan tengah mendengarkan sesuatu.
“Regi…”
Panggilanku terhenti saat kami mendengar bentakan keras dari dalam kamar. Aku dan Ferdy juga sontan berhenti melangkah. Dan beberapa saat kemudian, Regha berlari keluar dari dalam kamar itu dengan wajah basah.
“REGHA!!!” aku segera berlari menyusulnya.
 Regha terus berlari hingga keluar dari gedung dan berhenti di lapangan parkir yang kini sepi. Dia membungkukkan tubuhnya dengan bahu terguncang. Aku mendekat perlahan dari arah belakang, tak ingin mengagetkannya.
“Gha….” Panggilku pelan dan memegang bahunya. Yang tak ku sangka kemudian adalah saat Regha berbalik dan dengan cepat menubrukku. Dia memelukku erat dan terisak. Menumpahkan semua tangisnya dalam pelukanku.
Aku mendekapnya erat sembari menopang tubuhnya yang sedikit lemas. Kuusap punggungnya dan beberapa kali menggumamkan kata-kata lembut untuk menenangkannya. Aku lalu membawanya untuk duduk di bangku panjang di pinggir lapangan parker agar kami tidak memancing perhatian orang.
Hampir lima menit kemudian, Regha baru bisa menguasai dirinya.
“Apa yang tadi terjadi?” tanyaku setelah ku pikir dia agak tenang, “Ada yang bisa aku lakukan?”
Regha menggeleng dan kembali menyusut hidung, “Hanya Zake yang bersikap seperti biasanya Mas,” ujarnya. Regha berpaling untuk melihatku. Dan dia berhenti sejenak, memperhatikanku, seakan-akan baru pertama kali dia melihatku.
“Apa Gha?” tanyaku heran.
“Mas Rizky baik,” katanya kemudian pelan, hampir-hampir tak terdengar.
Aku hanya tersenyum dan mengusap sedikit kepalanya, “Baru tau?” selorohku bercanda.
“Maaf ya Mas, kalo selama ini Egha gak pernah bersikap benar pada Mas Rizky. Egha mungkin boleh dibilang memanfaatkan Mas Rizky. Egha menolak untuk membalas perasaan Mas Rizky, tapi Egha juga menolak untuk jauh dari Mas Rizky. Itu nggak adil kan?”
Aku tercenung tanpa mampu mengedipkan mata menatapnya. Apa-apaan ini? Sebuah epiphany baru atau apa? pikirku heran. Hingga kemudian aku sadar. Kekalutannya tadi. Yang menyebabkan dia menangis tadi. Tentu saja, pikirku lagi, pahit.
Aku berpaling, menatap satu dua kendaraan yang lewat didepan sana, “Zaki?” tanyaku tanpa melihatnya.
Regha bergerak pelan disebelahku dengan gelisah. Aku meliriknya sekilas, membiarkannya yang kini justru tertunduk dan tak tahu harus berkata apa.
“Egha…….. suka dia?” tanyaku lagi.
Regha tak menjawab, hanya tertunduk dan sesaat kemudian mengusap matanya. Aku mendesah. Mencoba untuk tak menghiraukan sesak yang kemudian kurasa. Entah aku mau mengakuinya atau tidak, aku sudah tahu akan hal ini sejak beberapa waktu yang lalu. Seharusnya aku sudah bisa menerimanya.
“Bagaimana Egha yang straight……bisa menyukai Zaki? Apa yang membuat….”
“Egha gak tau, Mas,” potongnya cepat dan kembali menyusut hidung, “Egha sumpah, tak ada sedikitpun keinginan dalam benak Egha untuk merasakan ini. Gak pernah sedikitpun terbersit dalam hati Egha, untuk jatuh cinta pada sesama pria. Egha selalu berpikiran kalau suatu saat Egha akan menikah dengan seorang gadis cantik, memiliki beberapa anak dan tumbuh bersama mereka. Seperti Abah dan Mamah di kampung… Begitu tahu dan sadar, Egha berusaha menyangkal dan mencari berbagai macam dalih untuk menyangkalnya. Tapi, perasaan Egha…… gak juga hilang….
Egha masih terus memikirkan Zaki. Dan saat ini, Egha bahkan tak memiliki dalih lagi yang bisa Egha utarakan untuk menyangkalnya.”
“Rumit kan Gha? Bagaimana kita yang pria, memiliki ketertarikan yang kuat pada pria lain. jauh lebih kuat dan lebih berpengaruh daripada bagaimana kita melihat dan tertarik pada lawan jenis…”
Regha memejamkan mata, “Rasa-rasanya hampir gila, Mas. Penat rasanya otak Egha untuk mencari dalih agar bisa menyangkalnya. Rasanya……”
Dia tak bisa meneruskan kalimatnya. Hanya menggeleng dan menunduk, kalah.
“Zaki menolak Egha?” tanyaku kemudian setelah keheningan yang cukup lama.
“Egha bahkan belum mengutarakan perasaan Egha, Mas. Tapi sepertinya Zaki tahu. Dan dia tak menginginkannya. Dia mengusir Egha…. Egha kini tahu, bagaimana rumit dan membingungkannya hal ini. Bagaimana tidak enak dan sesaknya yang Mas rasakan, saat Egha…. menolak Mas. Maaf ya, Mas Rizky.”
“Gha, aku nggak….”
“Kalau Mas Rizky masih menginginkannya, Egha mau, Mas…” potong Regha yang kali ini lurus melihatku.
Aku tak bisa langsung bereaksi, hanya memandangnya dengan bibir terbuka, tanpa suara.
“Seperti yang Mas Rizky pernah bilang, Egha juga ingin memahami semua hal tentang dunia ini. Egha ingin memahami kenapa Egha bisa merasakan ini. Egha juga ingin belajar mengerti, akan apa yang ditawarkan oleh dunia ini. Egha mau belajar, Mas. Bantu Egha untuk mengerti. Egha gak ingin kalau suatu saat nanti, Egha terus bertanya-tanya dan akhirnya memilih meninggalkan istri dan anak Egha. Jika memang Egha harus merasakan sakit, Egha ingin merasakannya sekarang.. Saat Egha masih sendiri…”
“Gha….”
“Bantu Egha, Mas. Egha janji, Egha akan belajar untuk menyayangi Mas Rizky. Egha janji, Egha gak akan memalingkan wajah pada pria lain. Hanya Mas Rizky.”
“Itu komitmen besar dan bukan main-main Gha.”
“Egha tahu, Mas. Dan Egha janji! Sumpah!! Kecuali……………kalau Mas Rizky sudah…” dia menggantungkan kalimatnya.
Aku menoleh padanya ingin tahu, “Apa?”
“Kecuali kalau Mas Rizky sudah memiliki pria pendamping. Pacar,” gumamnya dan kembali menunduk. Kali ini kakinya bergera-gerak dengan resah, “Apa pria ganteng tadi pacar Mas Rizky?”
“Ferdy?” tukasku pelan.
Regha mengangguk, “Kalo Egha gak salah ingat, dia yang waktu itu bertemu dengan kita di Gramedia kan, Mas? Dia orangnya? Pacar Mas Rizky?”
Kembali aku tak langsung menjawabnya, dan lebih memilih memandangnya lekat-lekat. Mata Regha memancarkan sedikit ketakutan, cemas menunggu jawabanku. Aku tahu kalau seharusnya aku mengatakan situasi yang sebenarnya. Tapi dengan ngeri, kudapati diriku berkata, “Tidak…… Dia bukan pacarku..”
Aku bahkan merasakan sesal yang menggeliat di sudut hatiku saat kalimat tadi terlontar. Tapi aku tak mengacuhkannya. Hanya diam dan memandang wajah Regha yang sedikit berubah cerah.
“Egha…………..masih memiliki kesempatan, Mas? Kita…………………….. pacaran?”
Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya, “Pacar……..” ulangku kemudian dengan berbisik lirih. Dan Regha pun jatuh dalam pelukan lenganku yang kini,entah kenapa, terasa begitu berat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar