REGHA
Saat aku tiba di
Rumah sakit Santo Borromeus yang ada di jalan Ir. H Juanda, aku segera menuju
bagian informasi untuk menanyakan dimana letak ruang ICU. Gedung Rumah Sakit
yang bertingkat ini terlalu luas untuk ku jelajahi tanpa arah. Yang ada aku
bisa tersesat diantara banyaknya bangunan dan ruang disini. Petugas jaga yang
bernama Santi itu menjelaskan padaku dengan ke efisienan yang sudah terlatih.
Dia sudah tahu bagaimana menghadapi keluarga pasien yang rata-rata mungkin
terlihat sedikit histeris, panik dan kacau sepertiku.
Aku diantar oleh Ari
kesini dengan menggunakan taksi. Ari tak yakin kalau harus membawaku dengan
naik motor karena tubuhku yang lemas. Dia khawatir kalau nanti aku ambruk saat
melaju di jalanan. Dalam perjalanan tadi aku sudah berusaha menguasai diri. Aku
bahkan sempat menghubungi Pak Arya, asisten kepercayaan Zaki, agar beliau
menghubungi pihak keluarga. Aku tak memiliki kontak dengan orang terdekat Zaki
selain Pak Arya. Beliau yang terdengar sangat kaget segera tanggap dan
bertindak.
Tepat saat aku tiba
di ruang ICU, pintu ruangan itu menjeplak terbuka dan ku lihat Zaki yang
terbaring disebuah ranjang dorong dengan wajah pucat. Beberapa orang perawat
mendorong kereta itu diikuti oleh seorang pria berusia sekitar awal 40an
berbaju putih.
“Dok, Zaki akan
dibawa kemana?”
Pria itu berhenti
melangkah dan melihatku, “Keluarga pasien?” Tanya Dokter itu cepat. Aku membaca
name tag yang tersemat di dadanya. Dr. Hasan Sadikin. Nama seorang dokter yang
klasik.
“Saya
asistennya,Dok,” sahutku tak kalah cepat, “Semua keluarga Zaki sedang berada di
luar negeri. Saya yang mewakili,” dan semoga aku tak disambar petir karena
berbohong, lanjutku dalam hati.
Dokter Hasan
menghela nafas, “Kami sudah mengeluarkan semua racun yang ada dalam tubuhnya.
Dia selamat. Dan pastikan dia tahu, bahwa dia sangat beruntung. Sedikit saja
kita terlambat, dia mungkin tak akan tertolong. Jadi pastikan dia tahu hal itubdan
tak mengulang kebodohannya ini. Drugs bukan jalan keluar. Itu jalan kematian.”
Aku hanya bisa
menganggukkan kepalaku, patuh.
Lagi dokter Hasan
menghela nafas, “Maaf. Saya terdengar terlalu kasar. Saya sering dibuat kesal
oleh polah anak muda yang terlalu menyia-nyiakan masa muda mereka. Mari ikuti
saya. Saya akan menjelaskan yang ingin anda ketahui. Kami akan memindahkan
pasien ke kamar. Ada beberapa surat yang harus anda isi,” kata Dokter Hasan dan
melangkah mendahuluiku. Diruangannya, secara singkat, dokter Hasan menjelaskan
kondisi Zaki. Untungnya, dia tidak lagi dalam bahaya. Aku hanya mengajukan
beberapa pertanyaan umum, hanya untuk memastikan dan meyakinkan bahwa Zaki
baik-baik saja.
Aku sedikit mendapat
kesulitan saat mengisi beberapa formulir sehingga harus menghubungi Pak Arya.
Aku tak pernah tahu sejarah kesehatan Zaki. Untungnya Pak Arya telah
menghubungi Dokter keluarga Zaki yang tiba dengan cepat di Rumah Sakit itu. Dia
juga yang membantuku mengatur agar Zaki ditempatkan dalam kamar VIP. Aku juga
diharuskan membayar uang muka perawatan dan kamar yang jumlahnya cukup
membuatku menarik nafas. Aku harus mengambil semua isi tabunganku yang tersisa,
dan harus meminjam pada Ari juga. Tapi yang penting, sekarang, Zaki sudah
keluar dari keadaan kritis dan berbaring dengan tenang di kamarnya untuk
memulihkan diri.
Saat aku melangkah
masuk ke kamarnya, dan melihatnya untuk pertama kali di ranjang itu, dadaku
sontan terasa sesak. Disanalah dia. Terbaring dengan lemas dan terlihat begitu
pucat. Rambutnya yang biasa terlihat rapi dan tertata, kini roboh, lembab dan
sedikit berantakan. Dua selang infus yang disalurkan di kedua lengannya makin
memperparah penampilannya.
Aku mendekat
perlahan di tepi ranjang. Tak ku lihat lagi warna kemerahan menggemaskan di bibirnya.
Bibir itu kini terlihat begitu pucat dan nyaris kehilangan warnanya. Aku juga
bisa melihat keringat yang bemanik di dahinya. Aku mengulurkan tanganku dan
dengan perlahan aku mengusap keringat itu dengan telapakku.
“Apa yang membuatmu
begitu bodoh?” gumamku lirih dan hampir tak tahan menahan tangis.
“Maaf….”
Kata yang diucapkan
dengan lirih dan penuh penyesalan itu terdengar dari belakang, membuatku
langsung berbalik. Anna berdiri dibelakangku dengan baju yang cukup seksi, tapi
dia terlihat sedikit berantakan. Rambutnya terlihat kacau dan ada rona
kelelahan di wajahnya yang tersapu make up.
Butuh waktu sesaat
bagiku untuk mencerna makna kata maafnya tadi, “Maksudmu……dia begini karenamu?”
tanyaku dan menatapnya tajam.
“Aku tak tahu kalau
dia akan mengambil lagi pil yang ada di tasku. Sebelumnya aku sudah memberinya dua
butir. Aku tak tahu kalau dia mengambilnya lagi. Tadinya dia baik-baik saja….”
Aku mengangkat
tanganku untuk mencegahnya berbicara lagi, “Aku tak ingin mendengarnya lagi.
Tapi aku mohon….” Kini aku berbalik untuk langsung menghadap dan menatap Anna,
“Jangan kau buat dia seperti ini lagi. Ku kira aku tak perlu menjelaskan lagi
bagaimana efek yang ditimbulkan oleh pil-pil setanmu itu kan? Kalau kau peduli
padanya, aku mohon Anna......jauhkan dari jangkauannya. Jangan sampai ada
sedikitpun dari benda jahanam itu menyentuhnya lagi.” Aku mengatakan hal itu
dengan sepenuh hati. Namun yang mengherankanku, Anna justru tersenyum getir dan menggelengkan kepalanya.
Dia kemudian malah tertawa kecut.
“Kau masih belum
mengerti juga ya?” gumamnya tak percaya dan tertawa pelan.
Aku menatapnya
dengan perasaan heran yang tak aku tutup-tutupi.
“Bukan aku yang bisa
membuat Zaki seperti ini, Gha. Kau orangnya. Kau lah yang bisa membuat Zaki
kacau dan sanggup bertindak konyol seperti ini. Keberadaanmu yang membawa
pengaruh hebat pada dirinya. Bukan aku. Aku bukan apa-apa. Hanya sebuah
pengalih perhatian saja. Sebuah alat untuk menghiburnya. Aku tak memiliki makna
lebih dari itu baginya,” ujar Anna pelan. Aku bisa menangkap nada kalah dan
juga kesedihan darinya yang tak bisa ku mengerti.
Aku ingin mengatakan
sesuatu. Tapi mulutku tertutup rapat.
“Keadaannya sudah
kacau, bahkan sebelum aku mengajaknya keluar. Aku membawanya ke club agar dia
sedikit berganti suasana. Agar dia terlepas sebentar dari bayanganmu, Gha. Tapi
bahkan di club, dia sempat mengira orang lain itu kamu. Zaki mengejar orang
itu. Tapi begitu tahu kalau dia salah orang, dia kembali ke meja kami dengan
wajah keruh dan resah. Setelah itu dia meminta pil itu dariku. Aku hanya memberi
dan melihatnya menenggak dua butir. Aku tak tahu kalau beberapa saat kemudian
dia mengambil tasku, dan meminum beberapa butir lagi. Kau lihat…..? Bukan aku
yang mendorongnya seperti ini. Dari awal kami berhubungan, Zaki sudah
menekankan bahwa diantara kami…..tak akan pernah terjadi apa-apa. Kami hanya
akan menjadi teman, tidak lebih. Apapun yang terjadi dan telah kami lakukan,
semua itu tak memiliki arti lebih.”
“Tapi kau masih
tetap berada disampingnya….” tukasku datar.
“Karena aku dengan
bodohnya telah jatuh cinta padanya, Gha!” jawab Anna pelan dengan senyum sedih.
Dia kembali melihat ke arah zaki yang terbaring, “Aku mengambil remah apapun yang dia tawarkan
padaku. Aku mengambil sedikit waktu luang yang dia berikan padaku. Tapi aku
tahu, apa yang kami miliki, suatu saat akan berakhir. Karena bukan aku yang ada
dalam benaknya.”
Aku kembali terdiam.
“Aku sangat
menyesalkan semua ini, Gha. Percayalah. Aku orang terakhir yang menginginkan
dia berada di ruangan ini, dalam keadaan seperti itu. Maaf,” kata Anna pelan.
Lalu dengan segera dia berbalik dan menghilang dibalik pintu tanpa memberiku
kesempatan untuk bereaksi.Aku segera beranjak untuk mengejarnya, namun
langkahku terhenti saat aku baru keluar dari kamar Zaki. Dari ujung lorong, aku
meihat dua orang terdekatku di Bandung ini yang melangkah dengan tergesa ke
arahku. Vivi dan Regi.
“GHA!!” seru Vivi
agak keras.
Rasa-rasanya
pertahanan yang sedari tadi mati-matian coba ku pertahankan mulai melumer
dengan mengenaskan. Sekali lagi aku ditunjukkan akan kehebatan dua orang
sahabatku itu. Bahkan sekarang, pada saat lewat tengah malam, mereka masih mau
untuk datang, memberikan dukungannya padaku yang sebenarnya sudah diambang
batas ketahanan fisik dan mentalku.
Aku tak mengatakan
apapun. Tapi saat Vivi telah dekat, aku langsung saja memeluknya erat. Mencoba
menyampaikan apa yang kurasakan. Kelelahan, frustasi, sedikit kelegaan dan juga
rasa bersyukurku lewat kontak fisik kami. Vivi tak mengatakan apapun. Dia hanya
mengeluarkan desahan pelan dan balas memelukku. Tangannya mengusap punggungku
pelan. Sementara Regi meraih tangan kananku dan meremasnya. Untuk beberapa saat
lamanya kami seperti itu. Hingga kemudian aku merasa lebih baik dan melepaskan
diri.
“Bagaimana kondisinya?”
Tanya Vivi.
“Sudah melewati saat
kritis,’ sahutku dan mengusap wajahku, letih, “Dokter berhasil menanganinya
dengan segera, jadi gak ada resiko besar. Dia beruntung bisa segera dibawa
kesini.”
“Tapi Gha…..over
dosis? Itu seperti bukan Zaki,” gumam Regi.
Aku hanya tersenyum
tipis, “Siapa juga yang nyangka, Gi. Tapi…..sepertinya aku turut andil menjadi
penyebab dia begini,” ujarku lirih. Lalu aku menceritakan percakapan singkatku
bersama dengan Anna tadi. Mereka berdua diam saja mendengarkan tanpa menyela.
Saat aku selesai, kembali mereka berdua saling berpandangan dengan tatapan
saling memahami seperti yang biasa mereka lakukan.
“Gua udah pernah
bilang kan, kalau beberapa cowok kadang bersikap ekstrim dan bodoh dalam
menghadapi masalah yang tak bisa mereka selesaikan,” gumam Regi.
Aku hanya mengulas
senyum kecut, “Apapun penyebabnya, gue gak pengen dia kayak gini Gi. Jelas
apapun yang dia rasain ke gue, tidak membuatnya nyaman. Dia tak menyukainya.
Gue beruntung memiliki kalian, tapi Zaki…….” Aku menggelengkan kepala dengan
mata yang mulai memanas, “…..dia menghadapi itu semua sendiri. Dia…”
Aku harus berhenti
karena kalau tidak, aku akan merengek seperti anak kecil.
“Itu bukan salah elo
Gha,” kata Vivi.
“Tapi keberadaan gue
bikin dia seperti ini, Vi. Meski tidak secara langsung. Tapi jelas, itu gak
bikin dia seneng. Bahkan bikin dia menderita. Kalo emang dia suka ma gue
seperti yang kalian bilang, jelas banget hal itu gak dia inginkan. Gue bisa
paham betul yang dia rasakan. Gue juga tahu banget gimana gak enaknya hal itu.
Gimana gak nyamannya gue karena ngerasa salah, dosa, kotor dan menjijikkan. Lo
tau sendiri gimana gue berulangkali mencoba mencari dalih buat menyangkal
perasaan gue. Dan Zaki…..” aku mengusap air mataku yang terlanjur turun di pipi
dengan punggung tangan,
“Dia punya
segalanya, Vi. Masa depan dia sudah jelas. Dia akan menikah dengan seorang
cewek, punya anak dan mungkin meneruskan usaha keluarganya. Hal itu yang
seharusnya terjadi. Apa yang dia rasain ke gue, apa yang gue rasain ke dia, gak
boleh bikin dia berpaling dari jalan itu. Gue juga enggak. Ini…..ini bukan
jalan yang benar. Apa yang gue rasain bukan hal yang benar. Ini salah. Kalau
ini benar, Zaki gak mungkin…”
Aku tak sanggup
lagi. Rasanya tak ada lagi tenaga yang tersisa ditubuhku. Aku jatuh terduduk di
lantai dan mengerang lirih. Vivi dan Regi segera meraih dan memelukku. Untuk
beberapa saat lamanya kami bertiga duduk disana, saling berpelukan. Sementara
aku membiarkan rasa sakit yang ada dalam dadaku untuk menguasai indraku yang makin
terasa tumpul.
ZAKI
Hal pertama yang kurasakan saat kubuka mata adalah
rasa sakit dan nyeri disekujur tubuhku yang membuatku mengerang pelan dan
meringis. Benakku seperti berkabut dan samar. Aku memandang ke sekelilingku
yang tampak asing. Baru beberapa detik kemudian aku sadar kalau aku berada di
rumah sakit dan juga kenapa aku bisa berada ditempat ini. Aku kembali mengernyit
saat melihat selang infus yang melekat
dilenganku.
Pandanganku kemudian tertumbuk pada sosok Regha yang
tertidur disebelah kananku. Dia tertidur dikursi dengan mulut terbuka. Sesaat
aku pikir aku kembali melihat halusinansi yang menipuku. Tapi dia nyata. Aku
bisa melihat rona kelelahan diwajahnya yang tenang saat ini. Entah sudah berapa
lama dia berada disana.
Aku tak bisa bersamanya lagi, pikirku dengan
perasaan ngeri. Ada sentakan nyeri didadaku saat aku memutuskan hal itu. Tapi
aku tahu itu benar. Aku harus segera menjauhkan diri darinya. Aku harus
memutuskan semua ikatan dengannya. Karena kalau tidak, aku akan menjadi orang
lain yang tidak aku inginkan.
Berhubungan dengannya adalah kesalahan besar yang
harus segera kuperbaiki.
Tengah aku berpikir, ku lihat tubuhnya bergerak
pelan. Kelopak matanya juga bergerak dan kemudian terbuka. Dia melihatku dengan
tatapan tidak fokus untuk beberapa saat lamanya. Setelah dia tahu betul bahwa
aku sedang memandangnya, Regha terlonjak bangun.
“Zake, kau sudah sadar?!” serunya dan segera bangkit
mendekatiku. Tangannya terulur untuk memegang tanganku yang tergeletak. Bagai
terkena siraman air panas, aku langsung menarik tanganku yang tersentuh olehnya.
Untuk beberapa detik lamanya, Regha hanya terpaku
kaget melihatku.
“What are you doing here?” desisku tajam.
“Zake, kau sadar kenapa kau berada ditempat ini?” tanya
Regha dengan wajah khawatir.
Aku tak menjawabnya.
“Zake, kau over dosis. Kau ingat apa yang kau konsumsi
saat bersama dengan Anna?” tanya Regha lagi dan kembali mendekatiku. Satu
tangannya terulur untuk meraihku, “Aku tak tahu apa yang kau lakukan, tapi kau
bukan orang bodoh yang biasanya melakukan kekonyolan seperti ini. Apa yang…”
“DON’T TOUCH ME!!!” bentakku kasar membuat tangannya
yang hampir menyentuh dahiku berhenti. Regha menarik kembali tangannya dengan
tatapan kaget. Aku hanya menatapnya tajam.
Tentu saja. Aku ingat betul bagaimana pikiranku
hampir penat karena bayangannya. Bahkan di club. Saat semua kebisingan dan
keramaian itu bergerak dengan kehebohan yang luar biasa di sekelilingku, aku
masih bisa merasakan dia. Melihat dia. Regha benar-benar mengacaukanku. Karena
itu, aku dengan tololnya, mengambil lagi beberapa pil dari tas Anna. Sialnya,
kombinasi pil dan semua minuman yang ku tenggak sebelumnya bereaksi lain. Aku
mengernyit saat mengingat rasa panas didadaku yang tiba-tiba saja kembali
terasa.
‘Zake..”
“You are fired!” desisku pelan dan menatapnya marah.
Sudah sukup dia mengacaukan kepalaku. Aku tak akan membiarkannya lagi.
“Zake….?”
“Kau dengar aku? Aku tak ingin kau datang ke rumah
atau panti lagi. Kau kupecat. Urusan kita selesai.”
“Aku masih punya hutang yang harus ku..”
“I DON’T CARE ABOUT THAT!!” bentakku lagi meski
harus kembali mengernyit karenanya, “Tak usah kau pedulikan semua urusan uang
itu. You and me are through. Tak ada lagi urusan antara kau dan aku. Anggap
semua terbayar lunas. Kau dengar?”
Wajah Regha perlahan-lahan makin kehilangan
warnanya, “Za-zake…”
“Aku tak ingin berurusan denganmu lagi. Keluar..”
usirku pelan dan memejamkan mata. Tidak! Aku tak akan melihatnya. Kalau aku
melihat wajahnya yang seperti itu, aku akan kembali lembek seperti sebelumnya.
Aku tak boleh membiarkan diriku kembali jatuh pada pola yang sama.
“Zake, please…”
Aku membuka mataku, marah, “I SAID GET THE FUCK
OUT!!!!” bentakku lebih nyaring dari sebelumnya. Aku bisa merasakan kemarahanku
yang berdenyut dipelipisku. Hal itu cukup membuat Regha tersentak. Dia
melangkah mundur, sedikit terhuyung dangan mata terbelalak.
“Ma-ma-maaf….. A-aku ng-nggak a-aa-akan lagi….” gumamnya
dengan bibir bergetar. Dia tak mampu meneruskan kalimatnya. Hanya bergumam maaf
lagi beberapa kali dengan pelan. Akhirnya dia berbalik dan dengan cepat
berjalan keluar dari pintu. Aku memejamkan mata begitu sosoknya lenyap dan
mencoba mengatur nafasku yang ternyata telah memburu. Kembali kurasakan rasa
nyeri didadaku yang menyengat.
Aku membuka mata dan memegang dada kiriku dengan
tangan kanan.
UGH!!! Sial!!! Kenapa rasa nyeri ini berpusat didada
kiriku. Dan…..semakin sakit. Aku mengernyit menahan rasa nyeri yang terus
meningkat. Tanpa sadar aku meremas dada kiriku dengan kuat, mencoba meredakan
sengatannya. Tapi rasa itu tak kunjung hilang. Malah terus menajam. Aku
membungkuk dan akhirnya meringkuk saking tak kuatnya. Sakitnya nyaris tak
tertahankan. Aku mencoba mengangkat tubuhku dan untuk memencet bel perawat.
Tapi aku benar-benar tak sanggup.
Aku mengeluh pelan dan terus meringkuk sembari
mencengkeram erat dada kiriku. Aku tak tahu harus bagaimana. Seakan-akan aku
mendapati kematian didepanku. Kengerian yang begitu hebat merambatiku.
“My Goood….” keluhku lirih. Rasa nyeri didadaku
benar-benar menyengat dan menyakitkan. Tangan kembali meremas dada kiriku
dengan kuat. Aku mencoba menarik nafas dengan susah payah. Nyeri! Sakit! Bahkan
ketika hanya sedikit oksigen berhasil ku hirup. Aku megap-megap.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhku?” keluhku
pelan dan tersengal-sengal mengatur nafas. Kembali aku memejamkan mata untuk
menahannya. Cengeraman tangan kananku yang kuat, nyaris tak terasa.
“Sakit bukan?”
Aku berpaling cepat dan mendapati Regi yang berdiri
didepan pintu dengan tangan terlipat didada.
“Gi, can you please…”
“It hurts. doesn’t it? Menyakiti Regha, terasa
sangat menyakitkan bukan? Pernah bertanya kenapa kau bisa merasakan sakit
seperti itu, padahal kaulah yang menyakiti Regha?”
Aku menatapnya bingung, “Kamu ngomong apa sih?”
Regi hanya tersenyum, “Kapan kau mau membuka mata,
Zake? Kalau kau melukai Regha, itu sama saja dengan melukai dirimu sendiri.”
“Stop it..”
“Kau over dosis Zake. Bukan kena penyakit jantung.
Untuk apa kau mencengkeram dadamu seperti itu? Apa dadamu sakit saat kau bangun
tadi? Atau sakitnya hanya terasa setelah membentak dan mengusir Regha tadi?’
Aku terdiam kaku.
“Bayangkan wajahnya saat pergi tadi…”
Hampir secara otomatis, benakku menuruti kalimat
Regi tadi, dan hanya selang beberapa detik kemudian aku melenguh dengan tangan
yang kembali mencengkeram dada. Aku mengernyit menahan nyeri yang kembali
menyengat.
“Hurts, doesn’t it? Hatimu terasa begitu nyeri,
nyaris tak tertahankan membayangkan bagaimana sakit yang dia rasakan bukan?”
“In case you didn’t see, I’m in a hospital. Jadi jelas
memang aku sakit. Tak berarti aku sakit karena Regha,” sentakku, sedikit
terlalu kasar dari yang aku maksudkan. Tapi Regi tak bergeming. Dia tetap
berdiri di ujung tempat tidurku dengan senyumnya.
“Fine, then. Katakan dalih apapun yang mungkin
membuatmu merasa lebih baik. Kau tak perlu khawatir akan Regha. Dia pasti akan
baik-baik saja. Sudah ada orang yang siap menemaninya kok,” ujarnya sembari
berbalik, melangkah santai hendak keluar.
“Apa maksudmu?” tanyaku tanpa mampu menahan diri.
“Mas Rizky tadi datang dan segera menyusul Regha.
Jadi, tenanglah. Sudah ada orang yang siap menambal kerusakan yang kau buat.
Mungkin butuh waktu bagi Regha untuk menyesuaikan diri. Tapi, aku yakin. Mas
Rizky akan mampu memenangkan hati Regha. Someday. And I hope, soon,” ujarnya
lagi enteng tanpa berhenti melangkah.
Aku tak mengatakan
apapun. Jadi Rizky sudah siap menjadi ksatria penyelamat Regha. Memang itu yang
dia inginkan bukan? Dan tanpa sengaja, aku sudah memuluskan jalannya. Aku
membuatnya terlihat bagus dihadapan Regha.
“Oh ya, ada satu hal
lagi yang mungkin bisa kau lakukan untuk meyakinkan dirimu,” ujar Regi yang
berhenti didepan pintu, “Bayangkan Regha dalam pelukan Mas Rizky dan apa yang
bisa mereka lakukan setelahnya. That’ll help,” sambungnya.
“Aku tak akan membiarkan
diriku terperosok dalam jebakanmu. Your mind trick won’t work,” sergahku lagi.
Lebih kasar dari sebelumnya.
“Hanya sekedar saran,”
sahutnya kalem dan melenggang pergi.
Aku diam termenung
ditempat tidurku dengan dadaku yang semakin nyeri dan perasaan yang makin
menumpul.
RIZKY
Aku segera turun
dari mobil begitu Ferdy berhasil memarkirnya. Aku bisa mendengarnya mengekor
dibelakangku. Berusaha menjejeri langkahku yang berjalan dengan tergesa.
“Kamu yakin gak
apa-apa?” tanyaku seraya meliriknya.
“Kau mungkin
membutuhkanku,” sahut Ferdy tanpa berhenti. Aku yang mendengarnya hanya
menghela nafas dan menatap ke depan. Tadi Regi sudah mengabariku dimana kamar
Zaki berada. Mereka sudah ada disana sejak beberapa jam waktu yang lalu. Hari
sudah hampir pagi.
Dari ujung lorong
aku bisa melihat sosok Regi dan Vivi serta dua orang cowok, berdiri didepan
sebuah kamar. Salah satunya aku ingat bernama Ari. Sementara satunya tak ku
kenal. Mereka tampak diam dengan postur sedikit tegang, sementara tubuh mereka
condong seakan-akan tengah mendengarkan sesuatu.
“Regi…”
Panggilanku terhenti
saat kami mendengar bentakan keras dari dalam kamar. Aku dan Ferdy juga sontan
berhenti melangkah. Dan beberapa saat kemudian, Regha berlari keluar dari dalam
kamar itu dengan wajah basah.
“REGHA!!!” aku
segera berlari menyusulnya.
Regha terus berlari hingga keluar dari gedung
dan berhenti di lapangan parkir yang kini sepi. Dia membungkukkan tubuhnya
dengan bahu terguncang. Aku mendekat perlahan dari arah belakang, tak ingin
mengagetkannya.
“Gha….” Panggilku
pelan dan memegang bahunya. Yang tak ku sangka kemudian adalah saat Regha
berbalik dan dengan cepat menubrukku. Dia memelukku erat dan terisak.
Menumpahkan semua tangisnya dalam pelukanku.
Aku mendekapnya erat
sembari menopang tubuhnya yang sedikit lemas. Kuusap punggungnya dan beberapa
kali menggumamkan kata-kata lembut untuk menenangkannya. Aku lalu membawanya
untuk duduk di bangku panjang di pinggir lapangan parker agar kami tidak
memancing perhatian orang.
Hampir lima menit kemudian,
Regha baru bisa menguasai dirinya.
“Apa yang tadi terjadi?”
tanyaku setelah ku pikir dia agak tenang, “Ada yang bisa aku lakukan?”
Regha menggeleng dan
kembali menyusut hidung, “Hanya Zake yang bersikap seperti biasanya Mas,”
ujarnya. Regha berpaling untuk melihatku. Dan dia berhenti sejenak,
memperhatikanku, seakan-akan baru pertama kali dia melihatku.
“Apa Gha?” tanyaku
heran.
“Mas Rizky baik,”
katanya kemudian pelan, hampir-hampir tak terdengar.
Aku hanya tersenyum
dan mengusap sedikit kepalanya, “Baru tau?” selorohku bercanda.
“Maaf ya Mas, kalo
selama ini Egha gak pernah bersikap benar pada Mas Rizky. Egha mungkin boleh
dibilang memanfaatkan Mas Rizky. Egha menolak untuk membalas perasaan Mas
Rizky, tapi Egha juga menolak untuk jauh dari Mas Rizky. Itu nggak adil kan?”
Aku tercenung tanpa
mampu mengedipkan mata menatapnya. Apa-apaan ini? Sebuah epiphany baru atau
apa? pikirku heran. Hingga kemudian aku sadar. Kekalutannya tadi. Yang
menyebabkan dia menangis tadi. Tentu saja, pikirku lagi, pahit.
Aku berpaling,
menatap satu dua kendaraan yang lewat didepan sana, “Zaki?” tanyaku tanpa
melihatnya.
Regha bergerak pelan
disebelahku dengan gelisah. Aku meliriknya sekilas, membiarkannya yang kini
justru tertunduk dan tak tahu harus berkata apa.
“Egha…….. suka dia?”
tanyaku lagi.
Regha tak menjawab,
hanya tertunduk dan sesaat kemudian mengusap matanya. Aku mendesah. Mencoba
untuk tak menghiraukan sesak yang kemudian kurasa. Entah aku mau mengakuinya
atau tidak, aku sudah tahu akan hal ini sejak beberapa waktu yang lalu.
Seharusnya aku sudah bisa menerimanya.
“Bagaimana Egha yang
straight……bisa menyukai Zaki? Apa yang membuat….”
“Egha gak tau, Mas,”
potongnya cepat dan kembali menyusut hidung, “Egha sumpah, tak ada sedikitpun
keinginan dalam benak Egha untuk merasakan ini. Gak pernah sedikitpun terbersit
dalam hati Egha, untuk jatuh cinta pada sesama pria. Egha selalu berpikiran
kalau suatu saat Egha akan menikah dengan seorang gadis cantik, memiliki
beberapa anak dan tumbuh bersama mereka. Seperti Abah dan Mamah di kampung…
Begitu tahu dan sadar, Egha berusaha menyangkal dan mencari berbagai macam
dalih untuk menyangkalnya. Tapi, perasaan Egha…… gak juga hilang….
Egha masih terus
memikirkan Zaki. Dan saat ini, Egha bahkan tak memiliki dalih lagi yang bisa Egha
utarakan untuk menyangkalnya.”
“Rumit kan Gha?
Bagaimana kita yang pria, memiliki ketertarikan yang kuat pada pria lain. jauh
lebih kuat dan lebih berpengaruh daripada bagaimana kita melihat dan tertarik
pada lawan jenis…”
Regha memejamkan
mata, “Rasa-rasanya hampir gila, Mas. Penat rasanya otak Egha untuk mencari
dalih agar bisa menyangkalnya. Rasanya……”
Dia tak bisa
meneruskan kalimatnya. Hanya menggeleng dan menunduk, kalah.
“Zaki menolak Egha?”
tanyaku kemudian setelah keheningan yang cukup lama.
“Egha bahkan belum
mengutarakan perasaan Egha, Mas. Tapi sepertinya Zaki tahu. Dan dia tak
menginginkannya. Dia mengusir Egha…. Egha kini tahu, bagaimana rumit dan
membingungkannya hal ini. Bagaimana tidak enak dan sesaknya yang Mas rasakan,
saat Egha…. menolak Mas. Maaf ya, Mas Rizky.”
“Gha, aku nggak….”
“Kalau Mas Rizky
masih menginginkannya, Egha mau, Mas…” potong Regha yang kali ini lurus
melihatku.
Aku tak bisa
langsung bereaksi, hanya memandangnya dengan bibir terbuka, tanpa suara.
“Seperti yang Mas
Rizky pernah bilang, Egha juga ingin memahami semua hal tentang dunia ini. Egha
ingin memahami kenapa Egha bisa merasakan ini. Egha juga ingin belajar
mengerti, akan apa yang ditawarkan oleh dunia ini. Egha mau belajar, Mas. Bantu
Egha untuk mengerti. Egha gak ingin kalau suatu saat nanti, Egha terus
bertanya-tanya dan akhirnya memilih meninggalkan istri dan anak Egha. Jika
memang Egha harus merasakan sakit, Egha ingin merasakannya sekarang.. Saat Egha
masih sendiri…”
“Gha….”
“Bantu Egha, Mas.
Egha janji, Egha akan belajar untuk menyayangi Mas Rizky. Egha janji, Egha gak
akan memalingkan wajah pada pria lain. Hanya Mas Rizky.”
“Itu komitmen besar
dan bukan main-main Gha.”
“Egha tahu, Mas. Dan
Egha janji! Sumpah!! Kecuali……………kalau Mas Rizky sudah…” dia menggantungkan
kalimatnya.
Aku menoleh padanya
ingin tahu, “Apa?”
“Kecuali kalau Mas
Rizky sudah memiliki pria pendamping. Pacar,” gumamnya dan kembali menunduk.
Kali ini kakinya bergera-gerak dengan resah, “Apa pria ganteng tadi pacar Mas
Rizky?”
“Ferdy?” tukasku
pelan.
Regha mengangguk,
“Kalo Egha gak salah ingat, dia yang waktu itu bertemu dengan kita di Gramedia
kan, Mas? Dia orangnya? Pacar Mas Rizky?”
Kembali aku tak
langsung menjawabnya, dan lebih memilih memandangnya lekat-lekat. Mata Regha
memancarkan sedikit ketakutan, cemas menunggu jawabanku. Aku tahu kalau
seharusnya aku mengatakan situasi yang sebenarnya. Tapi dengan ngeri, kudapati
diriku berkata, “Tidak…… Dia bukan pacarku..”
Aku bahkan merasakan
sesal yang menggeliat di sudut hatiku saat kalimat tadi terlontar. Tapi aku tak
mengacuhkannya. Hanya diam dan memandang wajah Regha yang sedikit berubah
cerah.
“Egha…………..masih
memiliki kesempatan, Mas? Kita…………………….. pacaran?”
Aku hanya mengangguk
untuk menjawabnya, “Pacar……..” ulangku kemudian dengan berbisik lirih. Dan
Regha pun jatuh dalam pelukan lenganku yang kini,entah kenapa, terasa begitu
berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar