Translate

Jumat, 30 Januari 2015

MEMOIRS III (The Triangle) Final Chapter- Epilogue



ZAKI

Aku meneliti blue print yang diserahkan oleh arsitek yang ada didepanku dengan seksama. Aku memang sudah menyetujui rancangan baru panti jompo cabang Bali yang akan direnovasi awal bulan nanti. Setelah lima tahun beroperasi, kami memutuskan untuk menambahkan beberapa fasilitas. Selain itu, ada beberapa rekan kerja baru yang bergabung dengan kami. Jadi gedung staff juga perlu mendapatkan penambahan.
Agus yang merekomendasikan kontraktor yang kami sewa. Arsiteknya yang bernama Dava ini cukup brilliant. Dia tidak hanya menambahkan gedung baru. Dia juga menambahkan dan memperbaiki beberapa detil landscape kami yang dia bilang, masih kurang ‘Bali’. Dia ingin menggabungkan fasilitas modern kami dengan budaya asli Bali. Bukan usul yang jelek. Apalagi dengan adanya beberapa member baru kami dari Australia yang memang ingin panti cabang Bali ini lebih bernuansa Bali.
“Jadi berapa lama pastinya?” tanyaku tanpa mengangkat muka.
“Maksimal 3 bulan akan sudah selesai, Pak,” jawab Dava dengan pasti. Dia menoleh ke arah pantai saat mendengar pekik anak kecil. Istri dan anaknya sedang bermain disana.
“Maaf kalau aku meminta bertemu pada saat seperti ini. Aku mengganggu acara liburanmu,” kataku dengan nada menyesal. Tapi memang hanya hari ini waktu yang kami punya. Aku dan Regha punya banyak hal yang harus kami urus. Besok kami akan terbang ke Bandung.
“Tidak apa-apa, Pak. Sudah tugas saya…”
Aku tersenyum, “Still, I should say it. And…..” aku menghentikan kalimatku saat melihat Regha yang baru masuk dari lobby hotel. Aku segera melambai padanya yang melangkah mendekat dengan membawa beberapa bungkusan. Tadi dia pamit untuk membeli beberapa pesanan Asti dan Agus, “Udah dapet?” tanyaku padanya yang mendekati kami.
“Udah. Tinggal sarung bali aja yang……”
“WAIT!!!” seruku saat ayunan tas yang dia bawa terlalu dekat dengan meja disamping kami yang diatasnya terdapat beberapa botol minuman bekas orang. Terlambat! Tas yang dibawanya menyenggol benda itu dan segera saja terdengar suara gaduh saat botol-botol itu jatuh dan pecah.
Untuk sesaat Regha berdiri bengong dan kemudian nyengir dengan muka menyesal, “Sorry…” bisiknya lemah. Seorang staff hotel segera mendekat dan membersihkan lokasi.
“Kapan kau akan sembuh dari sifat cerobohmu itu?” gerutuku yang hanya dia jawab dengan juluran lidah. Ku kira setelah hampir 7 tahun kami bersama, dia akan menjadi pribadi lain yang lebih baik. Well, in a way, he is actually. Setidaknya cara dia berbicara dan berpakaian sudah lebih baik. Tapi untuk beberapa hal, dia masih Regha yang dulu.
“Guess somethings remain the same,” selorohnya dan duduk di sebelahku.
Aku mendengus dan melirik ke sekumpulan tas yang dia letakkan di sebelahnya, “Do you have something for me?”
“Tadinya. Tapi berhubung tadi kau memanggilku ceroboh, aku akan memakainya sendiri,” selorohnya dan tersenyum santai saat mendengarku menggeram, “Kidding! Aku menemukan kaos pantai couple yang bisa kita pakai nanti.”
Aku tersenyum meraih tangan kanannya. Dimana cincin pertunangan kami dia pakai. Entah kenapa, aku senang mengusap jari manisnya dimana cincin itu tersemat. Aku selalu melakukannya dimanapun aku bisa. Kecuali saat kami berada di Bandung.
“Eeeuuhh, Zake? You do realize we got company, right?” protesnya dengan sudut bibir dan melirik kearah Dava.
“Dava, I want you to meet Regha,” kataku dan memperkenalkan mereka. Regha menarik lepas tangannya untuk bersalaman dengan Dava. Aku bisa melihat tatapan pria itu yang menyiratkan rasa ingin tahu yang besar, “He’s my partner,” jelasku lagi.
Lagi-lagi dia tercenung dan hanya mengangguk.
“Kau………..tidak bermasalah meski harus bekerja untuk kami yang gay bukan?” tanyaku langsung. Kalau memang dia keberatan, aku akan langsung mencari perusahaan lain.
“Oh, tidak!” sahutnya cepat dan menawarkan senyumnya yang terlihat sedikit gugup, “Kehidupan pribadi Bapak tidak ada sangkut pautnya dengan bisnis kita.”
Aku tersenyum untuk menenangkannya.
“Maaf, tapi sudah lama anda bersama?” tanya Dava lagi.
“Sekitar tujuh tahun. Kami akan menikah di Australia minggu depan,” kataku lugas. Keterus teranganku bukan hanya membuat Dava tertegun, tapi juga mengejutkan Regha. Dia menatapku kaget. Selama ini, kami berdua sudah setuju untuk menyembunyikan apapun urusan pribadi kami dari mata masyarakat luar. Terutama mereka yang ada di Indonesia. Aku masih harus melindungi Regha dan keluarganya.
“Ki…?” tegur Regha mencoba memperingatkanku.
“Relax. He’s gay too. Or at least, he was karena dia sudah menikah dan memiliki anak,” kataku sembari menunjuk keluarga Dava yang bermain dengan daguku, “Bukankah begitu, Dava?” tanyaku santai.
“Zake!!” tegur Regha meski matanya terbelalak dan memperhatikan Dava dengan tatapan ingin tahu. Wajah pria didepanku berubah pucat. Tubuhnya segera kaku dan defensive.
“Kenapa…Bapak bisa berkata seperti..”
“Kita berada kurang dari setengah jam disini. Tapi kau sudah melihat dan memperhatikan dadaku setidaknya 5 kali. Dan juga selakanganku for at least ten times. Lebih banyak daripada kau melihat kearah istri dan anakmu yang sedang bermain di pantai. I’m a businessman Dava. I read people  to win. Kau nyaris menelanjangiku dengan matamu tadi. Jadi aku membuatnya mudah untukmu. Yes, I’m gay. But I’m not interested with you. I’m about to married.”
“Maaf, pak. Saya tidak bermaksud untuk kurang ajar atau…”
Aku sudah mengangkat tangan untuk menghentikannya, “Aku hanya ingin memberi sedikit preview padamu tentang bagaimana berurusan denganku. I don’t deal with bullshit. I don’t take crap. So don’t you dare trying.”
Ku lihat dia menelan ludah sejenak. Bagus. Aku sudah mendapat perhatiannya sekarang. Dan dia bisa berhenti omong kosong didepanku.
“Baik, Pak. Saya mengerti,” ujarnya dengan nada lemah.
“Bagus! Saranku, lain kali berhati-hatilah. Kau tentu tak ingin mereka tau,” ujarku lagi dan menunjuk keluarganya dengan daguku.
Dava mengangguk setelah terdiam beberapa saat lamanya, “Terimakasih, Pak. Tapi maaf, apakah sejelas itu?” tanyanya lagi. Aku bisa menangkap sedikit ketakutannya.
“Jadi benar?” sergah Regha yang sedari tadi diam. Aku langsung meliriknya tajam, “What? You brought it up,” kilahnya.
Dava tersenyum melihat kami, “Tidak apa-apa. Saya……pernah memiliki hubungan dengan seseorang disini. Satu-satunya pria yang pernah saya pacari…”
Regha ternganga tapi segera sadar dan menutup mulutnya, “Kita harus mengobrol setelah meeting kalian usai. Kalau kau tidak keberatan,” ujarnya bersemangat. Akhir-akhir ini dia memang memiliki keingintahuan yang besar akan pengalaman seseorang yang pernah terlibat di dunia gay. Dia bahkan menjadi member di sebuah forum gay Indonesia. Tentu saja dengan menggunakan nama samaran. Dia juga memberiku beberapa cerita yang dimuat dalam forum itu. Sebagian bagus. Meski sebagian lain terlalu drama bagiku.
Kebiasaannya itu dulu sempat membuatku khawatir. Bagiku, Regha seakan-akan berusaha mencari petunjuk dan dukungan untuk menjauh. Pertama kali, aku mengkonfrontasinya dan mengajukan berbagai argument. Hanya karena aku takut kehilangan dia. Kami sempat bertengkar. Salah satu pertengkaran terhebat yang pernah kami alami selama kami bersama.
Namun Regha mengatakan bahwa dengan mengunjungi forum itu, dia tahu, bahwa dia bukan satu-satunya orang di Indonesia ini yang jatuh cinta dengan sesama jenis. Forum itu membuatnya sedikit merasa lebih baik dan tidak sendiri. Tidak merasa menjadi satu-satunya orang aneh. Aneh karena dia tidak bisa lepas dariku. Forum itu memberinya sedikit kelegaan. Meski itu tidak mutlak.
Aku tahu kalau selama ini dia selalu bergelut dengan dirinya sendiri. Fakta bahwa gay masih dianggap tabu dan cacat di Negara ini selalu menjadi beban baginya. Ajaran, adat, hukum agama dan sosial disini masih menghramkannya. Dan Regha terus berusaha berdamai dengan satu sisi dirinya yang masih menjadi bagian Negara dan adat disini. Satu sisi dirinya yang terluka akan pandangan mereka. Satu sisi dirinya yang tak bisa ku obati. Menyakitkan tiap kali aku melihatnya kembali terluka saat kami harus bersembunyi seperti pencuri. Dari masyarakat umum. Dan yang paling menyakitinya, dari keluarganya.
Hingga kini, tak ada seorangpun keluarganya yang tahu. Dan kami berusaha menjaganya seperti itu. Bukan untuk kami. Tapi untuk mereka. Apalagi sejak Abah meninggal 1 tahun yang lalu. Regha menjadi lebih sensitif dan paranoid kalau berurusan dengan keluarganya. Aku berusaha mengikuti dan memahami. Tapi saat dia berbicara tentang forum itu, aku ketakutan.
Aku takut dia akan menemukan alasan untuk tidak bersamaku lagi. Alasan untuk bisa bertahan tanpaku. Apalagi saat dia mengatkan bahwa beberapa orang di forum itu juga menikah secara normal.
Aku meledak!
Hingga dia mengatakan dengan jelas, bahwa dia tak akan meninggalkanku. Bahwa dia hanya ingin mencari sedikit ketenangan.
Akupun akhirnya mengakui dan menjelaskan akan ketakutanku padanya. Bayangan kalau dia meninggalkanku benar-benar tak tertahankan. Selama ini, meski dia menganggapku sebagai pihak yang selalu kuat, sedikit banyak aku bergantung padanya.
Bersama Regha, aku menjadi sosok yang lebih baik. Bersamanya, aku selalu ingin menjadi seseorang yang kuat, dan bisa dia andalkan. Bersamanya aku merasa kalau aku bisa melakukan segalanya. Aku harus bisa melakukan segalanya. Bukan hanya untukku. Tapi juga untuknya. Aku ingin menjadi orang yang bisa memecahkan dan menghilangkan semua masalahnya. Aku ingin menjadi satu-satunya orang yang tempatnya bersandar. Yang dia harapkan. Dan yang dia inginkan. Bersamanya, seakan-akan tak ada limit bagiku. Bersamanya, aku kuat. Dia jangkar yang membuatku bisa tenang. Dia mungkin mengira aku akulah pihak yang menguatkannya. Dia tidak tahu bahwa pada kenyataannya, justru dialah yang membuatku kuat. He make the best out of me.
Dan setelah pertengkaran itu, setelah semua kami tumpahkan dan dia menjelaskan alasannya, aku melamarnya. Aku meminta Regha untuk mengikat dirinya padaku dalam sebuah janji hidup bersama. Dalam sebuah sumpah pernikahan. Sumpah yang bisa meyakinkan dan menangkanku dari ketakutan bahwa dia berusaha lepas dariku. Bahkan jika kami masih harus merahasiakannya di Indonesia ini. Tapi di luar sana, jauh dari mata keluarganya, aku ingin dia memiliki ikatan permanen denganku.
Dan dia setuju.
Akupun tenang dan membiarkannya dengan forum itu. Aku bahkan membaca beberapa cerita yang dia ambil dari sana. Dan dia paling suka cerita dengan tokoh straight yang entah bagaimana, akhirnya jatuh cinta pada sesame jenis. Jadi saat dia tahu Dava adalah salah satu contoh hidup, dia langsung antusias seperti itu.
Meski aku membiarkannya, bukan berarti aku suka. Apalagi Dava adalah pria yang cukup menarik. Pembawaannya yang terlihat cukup tenang dan matang menjadi ancaman samar yang tak ku sukai. Wajahnya yang mungkin bisa dibilang jantan terlihat bersih. Dan kalau saja dia tidak memperhatikanku dengan matanya, aku mungkin tak akan tahu kalau dia gay. Dia benar-benar terlihat seperti lelaki normal.
“Tentu saja. Tapi mungkin………saya harus mengantar keluarga saya pulang dulu. Karena…” Dava tampak sedikit ragu.
“Ah ya, tentu. Tapi berjanjilah kalau kita bisa ngobrol sembari makan atau minum nantinya. Besok siang kami harus kembali ke Bandung. Ya kan?” tanya Regha padaku untuk memastikan. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan singkat.
“Baiklah. Bagaimana kalau jam 5 sore nanti saya kembali ke sini?”
“Sounds great,” jawabku yang segera dianggukkan oleh Regha. Tak berapa lama, Dava sudah berpamitan untuk kembali bersama keluarganya. Aku hanya mempersilahkannya dan memperhatikannya yang berjalan menjauh dengan langkah pelannya.
“I have no idea that he’s like us..”
“Dia masih mencintai siapapun pria yang dulu dicintainya itu…” kataku dan bangkit sembari mengambil beberapa barang yang Regha bawa tadi. Aku menyadarinya sekarang. Tatapan Dava yang sedikit melamun saat melihatku dan Regha, menunjukkan hal itu. Cara dia memperhatikan kami seakan-akan dia melihat sebuah mimpi yang dulu pernah dia miliki. Aku mengerti kalau dia membayangkan bahwa dia sedang melihat dirinya bersama pria yang dulu dicintainya saat melihatku dan Regha.
“Kenapa begitu?” tanya Regha yang segera mengikutiku.
“Tatapannya saat melihat kita nyaris seperti orang yang bermimpi. It’s like he’s not seeing us. But seeing himself with his boyfriend. If you ask me, menurutku dia memiliki urusan yang belum tuntas dengan mantannya. Apapun itu. He’s holding on to it,” kataku dan masuk ke kamar kami. Kuletakkan bungkusan Regha tadi di atas tempat tidur dan langsung menuju balkon hotel.
Aku duduk disana, setengah berbaring di kursi malas panjang berlapis busa tebal dan empuk, menikmati hembusan angin pantai. Dari tingkat dua ini, aku masih bisa mendengar suara orang-orang di pantai yang terbawa angin. Malah sayup-sayup aku bisa mendengar teriakan anak Dava yang memanggilnya dengan keras.
“Menyedihkan ya…” ujar Regha yang menyusulku. Dia langsung saja duduk dan menyusupkan dirinya diantara kedua kakiku. Bersandar di dadaku dengan santai dan menghela nafas. Kupeluk perutnya, lalu memberinya ciuman sekilas di sisi keningnya.
“Salah satu alasan lain aku bersyukur karena memilikimu…” kataku pelan.
Regha menelengkan kepalanya sejenak untuk melihatku. Dia tersenyum dan kemudian mencium rahangku dengan suara cipokan keras sembari tertawa kecil, “Aku juga bersyukur memilikimu…” balasnya nyengir.
“You’re okay with me, aren’t you?” tanyaku.
“Maksudnya?” tanya Regha tak mengerti. Dia kembali menyandarkan kepalanya dibahuku dan memandang ke hamparan laut dan langit diluar sana.
“Aku memintamu untuk menikah denganku. Tapi itupun tidak bisa dibilang dalam artian yang selama ini kau tahu. Kau masih harus menyembunyikan semuanya dari Mamah dan yang lain. Apakah itu cukup bagimu? Have I given you enough?”
“Bukannya pertanyaan itu seharusnya ku ajukan padamu?” tanya Regha balik setelah menghela nafas panjang, “Aku menyembunyikanmu seakan-akan aku malu. Seakan-akan kau adalah sebuah aib yang harus ku tutupi. Apakah itu cukup bagimu?”
“Apa kau malu denganku?”
Dia tertawa kecil dan meraih tangan kananku. Dia mencium telapakku dengan lembut untuk kemudian dia usapkan dipipinya, “Sebenarnya aku ingin memamerkanmu pada semua orang. Aku ingin meneriakkan pada semua orang bahwa kau, milikku. Aku ingin mereka semua tahu agar tak ada lagi yang melihatmu dengan tatapan lapar. Terutama wanita-wanita bebal yang berpikir dia bisa menjadikanmu sugar daddy mereka. I hate them all!!” gerutunya membuatku tergelak. Masih ingat akan pertemuan bisnisku di Singapura beberapa waktu yang lalu. Ada beberapa orang wanita yang nyata-nyata menunjukkan ketertarikannya padaku. Salah satu dari mereka malah membisikkan no kamar hotelnya saat kami berdansa. Regha dengan kesal mendekat, menyela kami dan menarik tanganku.
“Aku suka saat kau cemburu…” godaku dan kembali mencium sisi wajahnya dan memberinya sedikit gigitan di telinga.
“Mungkin aku harus memberi tulisan di keningmu yang berbunyi, ‘private property of Regha. BACK OFF’ dengan tinta permanen.’
“Yeah, right. Dan aku tidak akan terlihat konyol karenanya,” selorohku dengan nada sarkas.
Regha tak menjawab. Dia hanya memiringkan tubuhnya. Menyurukkan wajahnya diantara leher dan bahu kiriku, sementara tangan kanannya bergerak perlahan mengusap dadaku. Salah satu hal yang sangat suka dilakukannya. Apalagi saat kami menjelang tidur. Meski aku protes beberapa kali karena kadang dia juga mempermainkan puting dadaku, yang justru membuatku sulit tertidur gara-gara geli dan malah horny.
“Maaf, aku tak bisa berteriak keras, memberitahu semua orang yang ada di Indonesia ini, bahwa kau milikku. Tak ada satu halpun yang membuatku malu. Kau tahu kalau hanya Mamah, Asti dan Agus lah yang menjadi alasanku. “
“Kau tak menyesal memilih hidup dalam ‘dosa’ ini bersamaku?” tanyaku lagi.
“Kalau ini memang dosa, aku tak sendiri kan? Aku memilikimu bersamaku kan? You’re not gonna leave me, are you?”
Aku meraih tangan kanannya, menyatukan jemarinya dengan jemari tangan kiriku. Tanganku kembali mengusap cincin yang melingkar di jari manisnya, “Not as long as I live,” bisikku dan mencium jemarinya yang dihiasi cincin pertunangan kami itu.
Regha lalu menegakkan dirinya. Dia menyilangkan kedua kakinya hingga kini dia menduduki perutku. Satu tangannya terulur mengusap pipiku, “Kalau begitu sudah cukup. Itu sudah cukup bagiku,” bisik Regha dan kemudian mencium leherku, “Kita akan membuat dunia kecil kita sendiri dalam luasnya dunia ini. Our own world, dimana kita bebas dari tudingan dan penghakiman manusia lain. Dimana kita hanyalah dua orang yang hidup dalam sebuah ikatan sakral pernikahan, seperti mereka yang menyebut diri mereka normal. Dunia kita sendiri. Kebahagiaan kita.”
Aku melingkarkan kedua tanganku dibelakang pinggangnya, “Our own little world…” bisikku pelan. Kalimat itu terdengar begitu magical ditelingaku. Aku suka bagaimana kalimat tadi terucap dari lidahku, “I like that…”
Regha tersenyum, “I do too…”
Lucunya, saat itulah aku teringat akan Dava dan keluarganya tadi. Entah kenapa, aku membayangkan kalau mereka sudah memilikinya. Aku ingin seperti itu. Seperti Dava memiliki dunia sendiri. Meski aku tak menginginkan kegetiran yang dia rasakan. Tapi dunia kecil seperti dia yang ku inginkan. Hanya saja, akan kupastikan, duniaku akan lebih indah dan hangat. Membuatku tak mampu menahan senyumku.
“Apa?” tanya Regha heran.
“Bagaimana pendapatmu tentang seorang anak?”
Butuh waktu sejenak bagi Regha untuk memahami apa yang ku katakan. Begitu dia paham, bola matanya langsung saja membesar, “Anak?” sergahnya terperangah.
Aku mengangguk sigap, “Anak…” ulangku mantap.
“Adopsi..?”
Aku menggeleng, “I’m thinking about surrogate mother. Mommy pernah menyarankannya padaku. Dan kurasa itu ide bagus. Taruhan, Mommy akan langsung berburu kandidat terbaik begitu aku meyebutkannya,” ujarku dan nyengir.
“Surrogate mother?”
“Yes! Kita bisa memiliki dua kalau kau mau. Satu dariku. Dan satu darimu. More if you want to. I don’t mind 3 or  4 kids. That’s gonna be awesome!!!”
“Me-menurutmu ki-kita si-siap?” tanya Regha sedikit tergagap.
“Well, I am!” jawabku. Aku lalu merangkum wajahnya, menariknya untuk mendekat dan mencium bibirnya, “Aku ingin memiliki keluarga dalam artian yang sebenarnya denganmu. Membesarkan anak-anak kita bersama. Growing old together. Isn’t that what a marriage is?”
Regha masih terperangah. Dia lalu bangkit dari tubuhku dengan wajah panik, “Ya Tuhan. Ini nyata …. This is real…! We’re really gonna do it, aren’t we? Anak…” dia berjalan ke kamar dan mondar mandir dengan kedua tangan menutup mulutnya.
“Regha?” panggilku yang sudah mengikutinya ke dalam dengan cemas.
“Anak kita…” gumamnya dia lalu berhenti dan menatapku dengan takjub.
Aku mengangguk padanya, “Anak kita…” ulangku.
Diam sejenak. Dia lalu berlari dan melompat kedalam pelukanku dan hampir saja membuat kami jatuh, “Yess!!! Let’s do it!!!” bisiknya ditelingaku.
Aku tertawa bahagia.
Dan kebahagiaanku akan segera lengkap, batinku.


REGHA

7 tahun kami bersama, hingga akhirnya Zaki melamarku dan dengan gilanya, aku mengatakan ‘ya’ padanya. Aku tahu kalau mungkin kalian berpikir aku hilang akal. Percayalah, untuk sesaat aku juga berpikir seperti itu. Aku tahu kalau apa yang kami miliki ini, bagi sebagian besar orang, dianggap sebagai aib, dosa dan terkutuk. Aku sudah begitu banyak membaca buku dari berbagai bidang sekedar untuk menenangkan batinku. Batin yang terkadang begitu nelangsa saat melihat seorang pemuda dan pemudi bermesraan dengan indahnya didepan orang banyak. Tak ada satupun dari mereka yang meneriaki, mencemooh ataupun melarangnya. Tapi bila ada 2 orang dengan jenis kelamin yang sama melakukan hal itu, lemparan batu mungkin menjadi reaksi yang dianggap wajar.
Aku tahu juga kalau sebagian orang berkata bahwa yang aku miliki dengan Zaki hanyalah imitasi menyedihkan dari apa yang orang normal miliki. Bagi mereka kami hanya sepasang manusia sinting yang menentang hukum alam. Tidak normal. An abomination!
Ada saat dimana aku begitu marah. Marah pada mereka dan juga pada diriku sendiri. Marah kenapa mereka begitu tega memberikan label yang mengerikan pada hubungan yang kami miliki. All we do is loving. Kami tidak mengambil hak orang lain. Tidak menyakiti orang lain. Tidak memaksa orang lain untuk mengikuti kami. Kami hanya melakukan apa yang ingin kami lakukan, dalam damai. Meski terdengar begitu naïf dan bodoh, tetapi apakah itu berlebihan?
Aku juga terkadang memarahi diriku sendiri yang menurutku lemah. Terlalu cepat kalah dalam mengendalikan diri dan syahwatku. Tapi demi tuhan, membayangkan untuk tidak bersama Zaki, cukup untuk membuat tubuhku dingin mendadak, kebas dan nyaris tak mampu bergerak. Kehadirannya memberikan efek yang begitu hebat padaku. Dan tak ada yang bisa aku lakukan lagi. Aku tenggelam terlalu dalam padanya. Dan setelah 7 tahun kami bersama, kami masih tak terpisahkan. Peran Zaki dalam kehidupanku justru makin besar.
Dia batu sandaranku. Dia yang menguatkanku. Dia yang membuatku bisa melangkah maju mengahadapi hidupku. Tak terhitung berapa kali telah dia membantuku. Juga keluargaku.
Asti sudah lulus berada di semester akhir sekolah kedokterannya. Selain bekerja di Panti yang ada di Bogor, dia juga ingin meneruskan kuliahnya untuk mengambil spesialis penyakit dalam. Boleh dibilang dia membiayai kuliah dengan gajinya sendiri. Meski aku tahu, Zaki membantunya. Karena tak mungkin gaji Asti bisa memenuhi semua kebutuhannya. Zaki memberinya gaji yang cukup besar dengan tugas ringan dan malah bagus baginya. Asti langsung mendampingi Dokter Ahli di Panti. Dan aku juga tahu kalau Dokter Ahli itu mendapat instruksi dari Zaki untuk membimbing Asti.
Agus berada pada tahun kedua kuliahnya. Dia mengambil Hubungan Internasional. Jurusan yang sedikit mengagetkanku, mengingat dia yang sedikit bicara. Tapi Agus bilang, justru karena itu dia mengambil jurusan itu. Dia juga membantu di Panti Dia bahkan memegang tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan aku dulu. Hingga kini, dia masih mengidolakan Zaki. Hingga kadang, Agus membuatku agak khawatir akan kepatuhannya pada Zaki. Dia menyelesaikan tugas yang Zaki berikan dengan sangat baik. Bahkan melampaui standart Zaki. Aku bisa melihat kebanggaan yang terpancar dari wajahnya saat Zaki memberi pujian.
Oke..!
Aku sedikit cemburu! Adik kandungku lebih mengagumi Zaki daripada aku, kakaknya sendiri. Sial!!
Zaki sering menggodaku karenanya. Dia bilang kalau Agus lebih kompeten 5 kali lipat dibandingkan aku. Zaki malah berencana untuk memberi tanggung jawab yang lebih besar lagi, andai saja Agus sudah menyelesaikan kuliahnya. Kedekatan mereka benar-benar membuatku jengkel dan iri!
Mamah sendiri mulai bisa menjadi hidup barunya tanpa Abah dengan baik. Mommy (Ibu Zaki sudah lama memintaku untuk memanggilnya begitu) banyak membantu. Karena tak ada lagi pengikat Mamah untuk ada di Majalengka, aku membeli sebuah rumah di Bandung dan memboyong Mamah dan yang lain untuk tinggal disana. Dengan begitu, Mamah akan terus bisa bersama dan menjaga Asti dan Agus selama mereka kuliah. Dia tidak akan kesepian. Plus memiliki banyak kegiatan. Belum lagi Mommy yang kini menjadi teman dekatnya. Terkadang mereka berdua keluar melakukan kegiatan bersama. Mommy  terkadang mengenalkan kehidupan modern pada Mamah yang sering membuatku mengernyitkan dahi dan nyaris tak bisa membayangkannya. Seperti mengajak Mamah untuk belajar Yoga.
Tapi apapun itu, they get along fine.
Rumah yang ada di Majalengka kami rawatkan pada seseorang, sementara sawah dan sebagian kebun, kami sewakan. Sesekali Mamah pulang kesana untuk melihat keadaan rumah ataupun ziarah ke makam Abah.
Dan aku berusaha sedapat mungkin agar kehidupan pribadiku, tidak sampai menjamah mereka. Ada saat-saat dimana aku mengunjungi mereka sendiri, tanpa Zaki, hanya untuk menghindari hal-hal yang tidak aku inginkan. Meski Zaki sangat membenci momen-momen itu karena merasa dipinggirkan. Tapi akan berbahaya kalau aku selalu pulang ke Mamah bersamanya. Jadi, meski berat, dia mencoba mengerti dan membiarkannya.
Aku tahu mungkin aku telah bersikap tidak adil padanya. Tapi……..aku benar-benar tak ingin mengecewakan keluargaku. Aku ingin menjaga mereka dari segala bahaya, sekecil apapun. Terlebih lagi bahaya yang mungkin timbul karena ulahku. Dan mengingat bagaimana pandangan orang-orang di Negara ini tentang hubungan yang ku miliki bersama Zaki, aku memilih untuk menjauhkan mereka. Semua perbuatanku ku lakukan atas kesadaran dan kemauanku sendiri. Tak ada hubungannya dengan mereka. Dunia akhirat, aku yang akan menanggungnya. Aku sungguh tak sanggup membayangkan bagaimana ekspresi wajah keluargaku, terutama Mamah kalau dia tahu.
Sejak Abah meninggal satu tahun yang lalu, boleh dibilang, akulah imam dalam keluargaku. Akulah pemegang tanggung jawab kehidupan mereka. Namun untunglah, aku memiliki Zaki. Aku masih ingat bagaimana kacaunya aku pada saat Abah meninggal.
Agus yang meneleponku kalau Abah mendadak sakit dan harus dibawa ke Rumah Sakit. Aku yang sedang berada di Australia bersama Zaki, langsung panik dan mengajaknya pulang. Zaki, betapa aku sangat menyayanginya, langsung saja meninggalkan apapun yang sedang dia kerjakan sat itu. Kami terbang kembali ke Indonesia dengan pesawat paling awal yang bisa kami temukan.
Dan saat aku baru turun di Bandara Soekaro-Hatta, Agus meneleponku dengan suaranya yang tak jelas karena tangis. Aku nyaris tak bisa menangkap apa yang dia katakan. Tapi aku mendengar kalau dia mengatakan, meninggal.
Saat kami melaju menuju Majalengka, aku benar-benar kacau. Menangis tak terkendali dan menceracau tak jelas. Zaki yang tetap disampingku terus berusaha menenangkanku. Dan aku hampir saja tak mendengarnya. Tapi ada kalimatnya yang serta merta membuatku mati-matian menahan diri.
“Baby, ingat akan Mamah, Agus dan Asti. Kamu harus kuat. Mereka membutuhkanmu. Kamu yang menjadi pengganti Abah kini bagi mereka. Mereka akan menjadi tanggung jawabmu. You can’t let them see you like this. They need you to be strong…” katanya.
Dan aku tahu dia benar. Mamah dan yang lain akan membutuhkanku. Kalau aku luluh lantak seperti ini, akan jadi bagaimana keluargaku? Aku harus kuat! Aku harus kuat untuk mereka! pikirku waktu itu. Hingga kemudian kepanikan mulai merambatiku.
Apakah aku mungkin bisa melakukannya? Menanggung Mamah, Asti dan Agus bukan tanggung jawab enteng. Bagaimana aku bisa melakukannya?
Zaki sepertinya menyadari kepanikan yang terpancar dari wajahku.
“You have me!” bisiknya waktu itu dengan nada mantap. Dia meraih dan memelukku erat, “I swear I’ll take care of you all. I swear I’ll do everything I can to make sure you’re all alright. Kau tahu kalau aku tak akan meninggalkanmu sendiri kan?”
Aku kembali merengek karenanya. Tahu bahwa aku tak akan menghadapinya sendiri.
“Menangislah hingga kau lega. Tapi saat kita tiba disana, kau harus bisa tegar dan kuat. Kau harus bisa menjadi sandaran mereka!”
Dan itulah yang terjadi.
Zaki menemaniku setiap saat. Hanya keberadaannya yang bisa membantuku. Menguatkan aku saat aku harus merengkuh tubuh rapuh Mamah yang tersedu dalam pelukanku. Ikut menenangkan Asti yang agak histeris melihat kedatanganku. Juga memastikan Agus untuk makan ketika dia nyaris tak menyadarinya. Dan malam harinya, saat semua orang telah tertidur dan aku yang tak mampu memejamkan mata, menemukan Zaki yang duduk di beranda rumah sembari memandang ke dalam kegelapan dengan pipi basah.
“Tuhan telah mengambil ayah kedua yang aku miliki!” bisiknya pelan.
Kamipun menangis bersama, lirih.
Semua itu juga menjadi salah satu alasanku untuk mantap mengikat diriku dalam sebuah sumpah pernikahan dengannya. Meski aku tahu mungkin, akan banyak orang yang memandang sinis dan mencemooh kami. Bagaimana aku bisa meninggalkan seseorang yang begitu berarti seperti dia? Bagaimana aku lebih meperdulikan omongan penuh kebencian orang-orang yang bisanya hanya mencela dan mengutuk hubungan kami tanpa peduli borok dan kebobrokan dirinya sendiri daripada dia?
Persetan dengan mereka!
Aku sayang Zaki. Dan itu sudah tidak bisa aku pungkiri. Perhatian dan pengertiannya yang begitu besar kadang membuatku takjub. Dia mau menjalani sebuah hubungan tersembunyi denganku. Dia rela berpura-pura didepan keluargaku. Tak sekalipun dia menuntut ataupun mengeluh. Dia bahkan mau bergiliran denganku saat ingin mengunjungi Mamah dan yang lain.
Aku merasa beruntung memilikinya. Dan berjanji, aku akan melakukan apapun untuk mempertahankannya. Untuk terus berada disisinya. Bahkan jika itu berarti aku harus menjadi bahan gunjingan. Ataupun hidup bersama dalam sebuah kehidupan yang bagi sebagian orang adalah dosa dan terkutuk.



.

Kami baru saja mendarat di Bandung dan meluncur menuju rumah Zaki. Besok aku baru berencana ke rumahku. Malam ini Zaki memintaku untuk menginap ditempatnya untuk menemui Mommy dan menyampaikan keputusan yang kami ambil kemarin.
 “Undangan untuk Regi dan Nick, beserta tiket pesawatnya sudah kau pastikan?” tanya Zaki yang mengecek catatan yang kuberikan tadi
“Yup! Dan kau harus tahu kalau Nick masih menyalahkanmu karena menikah lebih cepat dari dia dan Regi kan? Dia bilang Regi masih belum terima kalau kita mendahuluinya,” ujarku dan nyengir.
Zaki mengerang kesal, “He’s still on that? Masa aku harus pamit dulu untuk melamarmu,” gerutunya pelan.
“Dia bilang kalau seharusnya kita dulu yang berangkat ke Belanda menghadiri pernikahannya. Dia bilang kalau sebagai guru, dia tidak boleh didahului,” jelasku lagi. Masih ingat bagaimana Regi mencak-mencak di computer saat kami memberitahunya. Dia langsung ngamuk pada Nick yang waktu itu ada disebelahnya. Ngomel karena Nick yang menurutnya terlalu lamban untuk melamarnya.
“Mungkin dia akan diam kalo aku bilang bahwa kita akan mengunjunginya bulan depan,” ujar Zaki dengan ekspresi berpikir. Kami memang berencana untuk mengunjungi Regi di Belanda untuk sekalian bulan madu, “By the way, Vivi dan Jordan?”
“Masih di Hongkong. Tapi mereka bilang akan segera ke Australia, satu minggu sebelum hari H,” kataku dan menunjukkan pesan singkat yang Vivi kirimkan kemarin.
“Bagaimana dengan Jordan jr?” tanya Zaki lagi sembari meraih ponselku. Kemarin Vivi juga mengirim foto anak kedua mereka yang mereka beri nama Jordan juga. Putri pertama mereka Mia sudah 5 tahun.
“Vivi bilang dia sudah mulai tumbuh gigi.”
Zaki memandangi foto Vividan anaknya sejenak tanpa mengatakan apapun, lalu menoleh padaku dengan senyumnya, “I can’t wait to hold our own baby,” bisiknya pelan.
Dia meraih tanganku dan meremasnya pelan. Aku hanya membalasnya singkat karena ada Pak Adam yang membawa mobil. Meski Pak Adam sudah mengetahui kebenaran kami, aku masih risih untuk bersikap intim didepannya.
Anak….
Aku cukup kaget saat Zaki mengangkat topik itu. Meski sebenarnya, aku sangat menginginkannya. Sejak pertama kali aku menggendong putri Vivi. Hanya saja waktu itu aku lebih merasa sedih, karena diingatkan akan hubunganku dengan Zaki, dimana ku pikir, kami tak akan mungkin memilikinya. Anak. Darah daging kami sendiri. Tapi kini………….semuanya mungkin. Ada harapan bahwa kami akan memiliki keluarga kami yang sebenarnya. Keluarga yang akan kami bina. Dunia kecil milik kami. Dunia yang kami ciptakan dan bangun sendiri.
“Me too,” bisikku. Dan wajah Zakipun makin bersinar mendengarnya.

Mommy  menyambut kehadiran kami dengan pelukan hangat. Dan begitu Zaki mengutarakan niat kami untuk mencari surrogate mother saat makan malam, Mommy memekik keras dan bangkit memeluk kami. Beliau menitikkan air mata haru dan hanya mampu terisak selama beberapa saat.
“Now it’s complete,” bisiknya setelah bisa menguasai diri, “Aku tak akan kehilangan seorang putra. Tapi aku mendapatan seorang putra lagi. Dan juga cucu.”
Dan begitu beliau sadar sepenuhnya, beliau segera menyusun daftar tentang kualifikasi surrogate mother yang cocok. Dia bahkan berencana mencarikan satu bagi masing-masing kami. Mommy merepet tanpa henti sehingga Zaki harus memegang tangannya agar dia sadar dan mengatakan bahwa dua orang bayi akan membuat kami kewalahan, dan memulainya dengan 1 saja mungkin ide yang bagus.
“Lebih baik merencanakan dari sekarang. Kalian tenang saja. Mommy yang akan urus semuanya,” ujar beliau dan mengibaskan tangannya. Beliau segera pergi meninggalkan kami dan langsung menuju ruang kerja. Zaki hanya tertawa kecil.
“I told you so,” ujarnya padaku.
Malam itu, kami banyak mengobrol di tempat tidur. Kami bahkan sudah memilih beberapa nama bagi anak kami. Nama untuk bayi lelaki dan perempuan. Sedikit beradu argument dan menggoda tentang bagaimana kami akan membesarkannya. Sekolah seperti apa yang kami inginkan. Dan pembagian waktu kami dalam mengasuhnya. Meski mungkin kami harus bersaing dalam membesarkannya dengan Mommy. Dan jauh di sudut hatiku, aku bisa merasakan sedikit ruang hampa yang coba ku singkirkan.
Tak ada pembicaraan sedikitpun tentang keterlibatan keluargaku.
Aku tahu kalau menjauhkan semua hal tentang kami berdua dari keluargaku adalah permintaanku. Zaki melakukan semuanya untukku. Tapi….tetap saja. Alangkah bahagianya jika Mamah bersikap sama dengan Mommy tadi. Alangkah sempurnanya dunia kecil kami nantinya.
Kau tak boleh serakah, Gha. Kau tak mungkin memiliki semuanya, batinku. Zaki, meski tidak mengatakannya secara langsung, bisa menyadari kegundahanku. Di akhir pembicaraan kami, dia mencium keningku pelan dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku memegang kata-katanya dan meresapkannya dalam hatiku. Aku memiliki dia kan? desahku dalam hati dan menyurukkan kepalaku di lengkung lehernya. Mencoba mencari kedamaian dalam rengkuhan hangatnya yang biasanya selalu menenangkanku.

Besok siangnya, aku langsung menuju rumahku. Tapi sayangnya tak ada seorangpun disana. Aku segera menghubungi Agus yang sedang kuliah. Dia bilang Mamah sedang ke Majalengka dari kemarin, dan mungkin akan kembali sore ini. Akhirnya aku menutup telepon dan menuju kampus Agus. Kampus yang sama tempat aku dulu menuntut ilmu. Tempat dimana aku dan Zaki memulai segalanya.
Dan rasanya seperti sebuah déjà zu. Sebuah replay tentang masa lalu yang kini terasa begitu melankolis. Saat aku melaju melewati jalan dimana Zaki hampir menabrakku, aku hampir tak mampu menahan tawa kecilku. Insiden itu yang merubah kami. Pot semen besar yang dulu ditabrak oleh mobil Zaki sudah tidak ada lagi. Sudah berganti dengan pot lain yang lebih besar.
Kampus ini telah banyak mengalami perubahan. Namun toh aku masih bisa merasakan jejak kisah kami yang tertinggal. Aku nyaris bisa melihat Regi dan Vivi melangkah disini, beserta dengan keramaian mereka yang ku rindukan. Bahkan lapangan parkirnyapun masih bisa membuatku tersenyum. Aku yang sudah menempatkan mobil keluar dan berdiri diam dibawah kerindangan sebatang pohon. Memandang ke saentero tempat yang bersejarah bagiku dan Zaki ini. Mungkin nanti aku akan berjalan-jalan sejenak, pikirku.
“AA!!!”
Seruan itu sedikit membuatku kaget. Tahu-tahu Agus sudah menubruk dan memelukku dengan erat. Aku tertawa kecil dan membalas pelukannya. Tubuhnya yang kini jauh lebih jangkung dan besar nyaris saja membuatku jatuh. Tapi aku masih bisa melihat sosok Agus yang lama padanya. Dia lalu meraih dan mencium tanganku.
“GUUUSSS!! Lo selingkuh yaaahh?!! Gua bilangin Yani lo selingkuh ma Oom-oom ntaaarr!!” seruan itu terdengar dari ujung lapangan parkir dimana sekelompok mahasiswa sedang berjalan menuju salah satu gedung.
“INI KAKAK GUE, DODOOOL!!” balas Agus tak kalah kerasnya. Aku hanya menggerutu mendengar sebutan Oom oom yang mereka gunakan.
“Kapan datang A?” tanya Agus dan bahkan sebelum aku menjawabnya, matanya sudah jelalatan mencari-cari di belakangku, “A Zaki mana?”
Tuh kan? Menakjubkan bagaimana dia bisa mengingat dan menanyakan Zaki setiap kali aku pulang kesini, “Kemarin. Zaki ada di rumahnya. Kamu masih ada kuliah?”
“Ada A. Tapi dosennya gak masuk dan kasih tugas. Dede udah kelarin tugasnya kok.”
“Makan yuk? Si eneng teh kamana?” ajakku dan melangkah menuju mobil.
“Teteh kan ikutan seminar di Jakarta A. Tapi besok juga pulang. Ari oleh-oleh buat dede mana atuh A? malah nanyain teteh. A Zaki beliin Dede apa?”
Aku menggerutu, ingat akan bungkusan yang ada di bagasi. Sepertinya Zaki sudah terlalu memanjakan kedua adikku. Tiap kali kami kembali dari Australia, dia selalu membelikan berbagai oleh-oleh untuk mereka. Padahal banyak sekali hadiah dari rekan kerja kami yang Zaki langsung kirim pada mereka. Walk in closet miliknya yang ada di rumah kini jauh lebih lega, karena hadiah yang dulu bertumpuk, sudah memiliki tempat penampungan. Kamar Agus dan Asti. Bahkan meski kini beberapa barangku sudah ada didalamnya.
“Ada di bagasi,” jawabku dan masuk ke mobil, dan kembali menggerutu saat Agus mengepalkan tangannya ke udara, senang.
“Kita makan di warung sunda A,” ajak Agus dan menyebutkan sebuah alamat yang tak ku ketahui. Akhirnya aku bertukar tempat dan membiarkannya membawa mobil untukku.
“Jadi siapa Yani tadi?’ tanyaku saat kami melaju. Aku perhatikan dia tertawa kecil gugup dengan pipi merona, “Pacar Dede?’ tanyaku lagi.
Agus menolehku dan nyengir, salah tingkah, “Iya A..” jawabnya malu-malu.
“Anak mana?”
“Jakarta, A.”
Aku diam dan mengangguk. Agus kini terlihat sedikit tegang dan mulai bergerak gelisah, “Ada yang perlu Dede ceritakan soal Yani ke Aa? Mamah udah tahu? Sudah dikenalkan?”
“Belum A…”
“Kenapa belum?”
“Masih baru A…” jawab Agus singkat dan membelokkan mobil. Dia membawa kami ke sebuah restoran tradisional yang memiliki beberapa saung. Restoran yang berada diluar kota itu cukup asri dengan banyaknya pepohonan didepannya. Terkesan rindang dan sejuk.
Agus sendiri sepertinya mencoba mengalihkan perhatianku. Dengan cepat dia mengajakku keluar dan mengatakan bahwa dia sudah lapar. Dia bilang dia hanya sarapan nasi goreng buatan sendiri tadi pagi. Aku menurutinya. Membiarkannya lepas sejenak. Aku masih penasaran dengan Yani pacarnya itu. Agus bukan tipe orang yang suka bermain. Kalau dia berpacaran dengan seseorang, dia pasti serius. Jadi, aku ingin tahu lebih banyak.
“Kenapa belum dikenalin ke Mamah De?” tanyaku lagi saat kami mulai menikmati makanan kami, “Aa teh kenal pisan sama Dede. Kalo Dede gak bener-bener suka sama Yani, Dede pasti gak akan memacarinya. Bawa atuh ke si mamah. Kenalin. Siapa tahu Mamah seneng, terus nyuruh Dede cepet menikah. Aa juga pengen liat Dede atau si Eneng segera nikah. Supaya cepet si Mamah punya cucu, buat nemenin di rumah. Jangan khawatarin soal yang lain-lain. Dede jeung si Eneng nanti Aa siapin rumahnya. Mau bangun tanah kita yang di Majalengka atau di bikin di Bandung saja? Si Mamah teh pasti mau ikut salah satu dari kalian. Jadi Aa titip si Mamah yah? Terus..”
“Dede gak mungkin nikah sebelum Aa,” potong Agus membuatku terdiam.
Aku tersenyum, “Kenapa? Takut Aa nggak laku? Dede percaya dengan mitos itu?”
Agus menggeleng pelan.
“Nah kan? Jangan khawatarin Aa. Kalau memang Dede mantap, segera kenalin ke Mamah. Kalau restu sudah didapat, kita lamar dia. Kalau Aa mah gak usah ditunggu buat nikahnya.”
“Karena Aa masih sama A Zaki?”
Kalimat itu terlontar pelan dari bibirnya, namun aku mendengarnya seakan-akan melalui sebuah megaphone berukuran raksasa. Begitu jelas dan nyaring. Hembusan angin di saung yang mulanya kurasakan begitu sejuk, kini tiba-tiba saja menjadi begitu dingin. Angin yang menyentuh lenganku terasa begitu menggigit sehingga membuat bulu-bulu halusku berdiri.
Aku tak salah dengar kan? pikirku panik dan menatap Agus yang tertunduk di depanku tanpa menyentuh makanannya. Perlahan dia mengangkat wajahnya. Aku bisa melihat sorot sedih dan penyesalan dimatanya. Sorot yang serta merta membuat sesak dadaku.
“Dede sudah lama tau kalau Aa…..sama A Zaki,” ujarnya lagi dan kembali menundukkan kepala.
“Ba-bagaimana…” aku berhenti sejenak untuk menormalkan suaraku yang sedikit bergetar, “…bagaimana Dede tau?” tanyaku akhirnya. Seingatku aku selalu berhati-hati. Bahkan sangat ekstra hati-hati jika bersama keluargaku.
“Dede dulu liat Aa pelukan sama A Zaki. Waktu Mommy A Zaki datang ke rumah. Di sungai.”
Aku memejamkan mata. Aku ingat saat itu. Kami hanya berdiri diam disana dengan tubuhku berada dalam dekapan erat Zaki. Menikmati orchestra alam yang disajikan Tuhan dalam kedekatan kami. Dan aku tak mendengar suara apapun selain suara alam dan debaran di dada Zaki. Dan Agus melihatnya…
“Waktu itu Dede takut. Teu ngarti oge. Dede pikir itu cuma tindakan teman dekat saja. Kebiasaan orang bule. Tapi dengan seiringnya waktu, Dede bisa melihat bagaimana cara Aa ngeliat A Zaki. Juga bagaimana A Zaki di sisi Aa. Cara A Zaki ngeliat Aa, mirip dengan cara Abah ngeliat Mamah. Penuh pemujaan, sayang dan…..protektif. Dede dulu sempat bingung A. Sempet gak ngerti. Gimana Aa dan A Zaki bisa seperti itu?”
“Dede benci Aa?” tanyaku dengan suara berbisik.
Agus menggeleng, “Dede dulu cuma gak tau kudu bersikap gimana. Kalau melihat dari cara kita dibesarkan, hukum Negara dan agama kita, Dede tau itu salah. Orang-orang bilang itu dosa. Yang Dede tau, orang-orang selalu bilang kalau banci itu nakutin. Suka ngerjain lalaki. Tapi Aa juga A Zaki tidak seperti itu. Aa baik. A Zaki bahkan jauh lebih baik. Mau menolong kita yang bukan keluarganya. A Zaki banyak membantu kita. Dede tau itu…. Jadi Dede banyak mencari tahu lewat internet dan yang lainnya. Dede juga pernah hampir pacaran sama teman lelaki SMA Dede…”
“De….” tegurku dengan nada protes karena kaget.
“Dede cuma ingin ngerti A. Bagaimana bisa seorang lelaki bisa menyukai lelaki juga. Gimana Aa bisa suka ma A Zaki. Gimana A Zaki yang nyaris sempurna bisa begitu sayang sama Aa. Tapi Dede gak bisa. Dede gak ngerasain apa-apa dengan teman Dede itu..”
“Itu karena Dede straight..”
Agus mengangguk, “Dede tahu itu sekarang A. Dede tahu kalau kita diciptakan Allah dengan berbeda. Sama seperti ada orang yang dilahirkan dengan punggung bungkuk, orang yang dilahirkan buta atau orang yang dilahirkan dengan perbedaan lainnya. Aa hanya berbeda dengan orang lain. Tapi Aa juga A Zaki nggak jahat. Aa juga A Zaki orang baik yang gak pernah bikin perkara atau masalah.”
“Tapi Aa tetap salah di mata agama…”
“Dede bukan orang yang berhak memberi label dosa A. Dosa adalah perbuatan yang akan kita pertanggungjawabkan pada Allah. Bukan manusia. Dede sempat ingin bicara pada Aa untuk kembali ke ajaran agama. Tapi kemudian Dede tahu kalau Aa pasti sudah memikirkan hal itu sebelumnya. Aa pasti sudah memiliki alasan hingga kemudian menjalaninya. Yang selama ini Dede liat, baik Aa ataupun A Zaki adalah sosok Aa yang baik dan bertanggung jawab. Aa memberi contoh yang baik bagi Dede. Selalu ngingetin Dede. Memenuhi semua kebutuhan Dede. Memberi fasilitas pada Dede untuk lebih maju. Menasehati, mengingatkan dan membimbing Dede. Nggak pernah sekalipun Aa meminta Dede melakukan sesuatu yang menyimpang dari ajaran agama. Itu yang membuat Dede tahu dan yakin kalau Aa ataupun A Zaki adalah orang baik. Hanya saja …..berbeda”
Aku terpaku..
“Dan Dede juga tau bagaimana Aa dan A Zaki berusaha sedapat mungkin menyembunyikannya semuanya dari Mamah, Teteh dan juga Dede…”
“Aa gak ingin memberi kalian contoh yang buruk. Aa gak ingin kalian kecewa. Terutama Mamah…” bisikku pelan. Kali ini kubiarkan saja pipiku basah. Apa lagi yang bisa aku lakukan? Tak ada gunanya menyangkal atau menyembunyikannya.
“Aa ingin menanggung semuanya sendiri…”
Aku memejamkan mata dan mengangguk, “Kalau ini adalah dosa, ini dosa Aa. Aa gak ingin kamu, eneng dan terutama Mamah terkena efeknya. Kalau memang Aa harus menerima predikat jelek, cukup Aa saja yang menerimanya. Tapi kamu, eneng dan Mamah tak boleh terciprati noda itu sedikitpun. Dede dan Eneng harus hidup dengan baik. Jadi orang yang sukses dan mampu membahagiakan Mamah dan almarhum Abah. Dede dan Eneng harus bisa menjadi orang-orang yang terhormat. Mengangkat derajat keluarga kita…” kataku mantap. Hal itulah yang menjadi idamanku. Keinginan terbesarku bagi mereka.
Agus hanya memberiku senyum sedih, “Pasti berat bagi Aa untuk memikul semuanya sendiri..”
Aku terenyuh dan nyaris merengek didepannya. Tapi aku hanya meraih tangannya dan memegangnya dengan erat, “Jangan memikirkan Aa, ok? Dede hanya harus belajar yang benar. Menjalani kehidupan yang baik dan bahagia. Aa hanya titip Mamah karena Aa tak mungkin bisa menjadi anak yang beliau harapkan. Dede dan Eneng yang harus bisa membahagiakan Mamah, ok?”
“Teteh sudah tahu A….”
Tubuhku jadi lemas mendengarnya…
“Dan Mamah mungkin juga sudah menyadarinya…”
Aku mengeluarkan suara tercekat keras.
“Dede tidak mengatakan apapun A. Sumpah!! Teteh menyadarinya sendiri. Teteh tak mungkin bisa kuliah kedokteran kalau tak bisa melihatnya. Teteh juga yang memberi wawasan pada Dede tentang apa itu gay dari kacamata medis.”
“Jadi semua sudah tahu….” bisikku panik. Kuusap wajahku dengan kedua tangan, kalut. Ya Allah, apa yang Mamah pikirkan selama ini kalau beliau melihatku? Anak durhaka? Pendosa? Makhluk terkutuk?
“Dede sama sekali tidak pernah mendiskusikan hal ini selain dengan Teteh, A. Mamah sendiri tak pernah menyinggungnya. Tapi yang jelas, Mamah tak pernah menunjukkan kebencian atau ketidak sukaan pada Aa ataupun A Zaki kan? Mamah masih sama peduli dan saying seperti dulu kan? Baik ke Aa ataupun A Zaki. Kalau A Zaki berkunjung, Mamah selalu memperlakukannya sama seperti anak sendiri..”
Aku hampir kehilangan kendali diri mendengarnya, “Menurut Dede….Mamah tidak akan membenci Aa? Mengutuk Aa?”
“Kasih orang tua itu tak akan pernah berkurang A. Kasih ibu itu abadi. Mamah mungkin tak akan bisa melafalkan restunya dengan kata-kata. Tapi sikap beliau yang selama ini tetap sayang ke Aa menunjukkan kalau dia masih menganggap Aa anaknya.”
Selembar pertahanan tipis yang kupertahankan putus. Disana, didepan adikku, untuk pertama kalinya aku menangis terisak dengan hebatnya. Agus diam ditempatnya, menungguku hingga bisa menguasai diri. Butuh waktu bagiku untuk bisa memulihkan diri. Perasaan nelangsa, bersalah dan sedih bercampur baur sehingga sulit untuk kupahami. Namun yang masih kusadari adalah aku masih memiliki keluargaku. Aku masih memiliki Agus yang masih menghormatiku sebagai kakaknya. Menunjukkan dukungan lewat sikapnya yang memang tak banyak kata. Asti yang hingga kini tak pernah memperlakukanku berbeda dari sebelumnya. Mamah yang tak pernah sekalipun menunjukkan ketidaksukaannya, meski kini aku tahu beliau telah menyadari semuanya.
Aku masih beruntung
Dan aku memutuskan untuk membuka semuanya. Ku ceritakan rencanaku dan Zaki pada Agus. Hal itu sedikit mengagetkannya. Akhirnya dia berkata bahwa apapun yang terjadi, aku masih kakaknya. Orang yang akan terus dia hormati dan turuti. Pengganti dari Abah. Tapi menurutnya, setidaknya aku harus membicarakannya dengan Asti. Perkara Mamah, mungkin akan lebih baik kalau aku membiarkannya saja. Mengahadapi apapun itu nantinya. Insyaallah Mamah tak akan pernah berubah.
Pundakku terasa sedikit ringan saat aku melangkah keluar dari restaurant itu. Ada sedikit beban yang terasa hilang. Tak menunggu lama, selagi kami melaju untuk kembali ke rumah, aku menelepon Zaki. Ku ceritakan semuanya. Aku nyaris menjatuhkan ponselku karena aku kembali tak bisa menahan air mataku. Pada akhir ceritaku, Zaki hanya menarik nafas dan berkata…
“Aku akan segera kesana…”
Di rumah, aku dan Agus mendapati Mamah telah pulang dari Majalengka. Dan adegan sedih pada hari itu kembali terulang. Aku langsung memeluk Mamah. Bersujud dan mencium kakinya, menyampaikan maafku berulang kali. Mamah tentu saja kaget. Tapi beliau orang yang sudah kenyang akan asam garam dunia. Beliau hanya balas memeluk dan mencoba menenangkanku. Kami berdua tidak pernah sedikitpun menyinggung kenapa hari ini bisa berjalan seperti sebuah sinetron. Baik aku dan Mamah seakan-akan memiliki kesepakatan tak terucap. Kami berdua seakan-akan mengerti akan apa yang seharusnya kami katakan tanpa perlu melakukannya. Sambil mengusap matanya yang basah, Mamah hanya mengatakan kalau dia akan menyiapkan sambal petei kesukaanku. Dia sudah membawa petei segar dari Majalengka. Hasil dari kebun kami sendiri.
Saat Zaki tiba, Mamah menyambutnya seperti biasa. Bahkan setelah Zaki mencium punggung tangan beliau seperti biasanya, Mamah memberinya sebuah pelukan hangat dan mengucapkan sebuah kata yang membuat mata Zaki berkaca-kaca.
“Terimakasih…” kata beliau pelan.


RIZKY

Waktu memang obat dari segala luka. Seiring dengan berlalunya waktu, luka yang kita miliki akan sembuh. Meski mungkin, kita masih bisa melihat bekasnya. Terkadang waktu juga membuat indra perasa kita yang setiap saat terasa nyeri, berangsur-angsur kebas. Waktu juga yang akhirnya membuat kita berkompromi dan terbiasa pada hal yang dulunya kita benci. Waktu juga yang terkadang membuat kita mampu menghargai apa yang telah kita miliki.
Aku tak mengatakan kalau aku membenci hidupku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa awalnya, bukan ini kehidupan yang sebenarnya aku inginkan. Tidak pula bermaksud mengatakan kalau aku memiliki kehidupan yang buruk. Aku punya istri yang cantik, putri yang lucu berusia 6 tahun, seorang putra nakal berusia 3 tahun, dan seorang putra lagi yang akan segera menyusul. Sebuah keluarga yang menakjubkan bukan?
Aku mengakui kalau awalnya, aku tidak mencintai Shella. Aku peduli padanya. Dia wanita yang luar biasa. Tapi di awal pernikahan kami, ketika bangun tidur, beberapa kali aku kaget saat melihatnya berada di sisiku, sebelum sadar kalau dia telah menjadi istriku. Perlu waktu bagiku untuk menyesuaikan diri. Tapi kemudian, kehadirannya mulai membuatku terbiasa. Aku mulai bisa menerimanya sebagai bagian dari kehidupanku.
Dan kehamilannya yang kami ketahui 7 bulan setelah pernikahan kami, disambut dengan baik oleh keluargaku. Baik Ayah dan Ibu memperlakukan Shella seperti barang antik. Aku yang terkadang harus menyadarkan mereka kalau Shella, juga memerlukan senam untuk ibu hamil. Sementara aku, menjalani kehidupanku dengan datar. Jujur aku tak pernah merasakan percikan gairah yang bisa membuatku bersemangat dalam menjalani keseharianku. Aku menjalaninya dengan hampir otomatis.
Bangun tidur, aku bersiap-siap kerja. Shella akan menyiapkan sarapan dan tas kerjaku. Setelah itu dia akan menyertai, hingga aku sampai ke mobil. Aku akan mengambil tasku darinya. Dia lalu mengambil tanganku dan mencium punggungnya. Aku akan membalasnya dengan mencium keningnya, kemudian berpamitan. Aku bekerja hingga sore. Pulang dari bekerja, dia pasti sudah menungguku dan menyiapkan segala sesuatunya. Minuman, camilan ataupun makan. Tergantung moodku. Aku juga membuka praktek di rumah hingga jam 9 malam. Ada saat-saat dimana aku juga dipanggil mendadak ke Rumah Sakit Kota.
Aktivitas malam kami juga berjalan dengan biasa. Shella sesekali meminta terlebih dahulu untuk bercinta. Aku sendiri sebisa mungkin menggaulinya minimal seminggu sekali. Dalam artian umum, tak ada kesulitan bagiku untuk membuatnya terpuaskan dalam urusan sex. Justru aku sendiri yang cukup sulit untuk puas. Ada saat dimana kadang aku harus berpura-pura orgasme. Tentu saja hal itu ku lakukan setelah aku terlebih dulu aku memuaskannya.
Menyedihkan?
Mungkin saja. Aku memang tidak lagi bercinta dengan liar dan penuh gairah seperti sebelumnya. Tapi aku sudah memilih kehidupan ini. Dan aku akan menjalaninya. Beserta semua pil pahit yang harus aku telan bersamanya.
Tapi saat putriku lahir……..aku nyaris tak merasakan semua kegetiran itu.
Saat kudekap tubuh mungilnya dipelukanku, merasakan gerakan tubuhnya…..aku hampir saja terisak dengan memalukan. Melihat wajahnya yang kecil dan kemerahan itu, aku tahu kalau aku tak menyesal. Dia menjadi obat dari segala kegetiran dan kepahitan yang pernah kurasakan dalam memilih kehidupanku yang sekarang. Dia keajaiban yang terjadi setelah semua pengorbananku. Dia ……..jadi hidupku. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa terlahir kembali.
Aku masih ingat bagaimana aku mendekati Shella yang masih terbaring lemas setelah perjuangannya. Menunjukkan makhluk kecil yang menakjubkan dalam pelukanku padanya. Aku masih ingat bagaimana aku tersenyum dengan pipi basah padanya, mencium keningnya yang masih berkeringat dan berbisik, “Terimakasih telah membuatku hidup…”
Aku tak tahu apakah Shella mengerti atau tidak kenapa aku mengatakannya. Yang jelas waktu itu dia juga menangis dan tampak bahagia. Dia mengangguk dan entah kenapa, tersenyum dengan helaan nafas panjang.
Kehadiran Syafira Prameswari Rizky Putri merubah segalanya.
Aku mulai melihat sedikit warna dalam kehidupanku. Aku mulai bisa menerima Shella sebagai pasanganku dalam artian yang sesungguhnya. Dia tidak lagi terlihat seperti sebuah pelengkap. Dia menjadi sebuah bagian penting yang tak terpisahkan dari kehidupanku. Aku bisa melihat langsung kematanya tanpa harusmeyakinkan diri, melafalkan bahwa aku memilihnya berulang kali dalam hatiku. Untuk pertama kalinya, aku melihatnya sebagai seorang istri sepenuhnya. Istriku! Ibu dari anakku. Dan hubungan kamipun menghangat.
Kami hidup bersama dalam sebuah dinamika kehidupan yang mulai terasa nyata. Aku nyaris tak  bisa berhenti memikirkan Shella, terlebih Syafira sepanjang waktu. Ada saat-saat dimana kadang Shella menggoda dengan mengeluh karena aku terlalu sering menelponnya saat sedang tugas di Rumah Sakit. Meski aku tahu kalau sebenarnya, dia menikmati perhatianku.
Kebahagiaan Ayah dan Ibu nyaris tak tertahankan. Aku dan Shella cukup kewalahan dan kadang merasa bahwa kami sedang bersaing dalam membesarkan dan memanjakan Syafira. Karena itu, saat Syafira berusia dua tahun lebih, aku meminta Shella untuk memberiku seorang anak lagi. Dan lahirlah Revan Ferdy Rizky Putra.
Jagoan kecil yang segera saja menjadi saingan Syafira dalam memenangkan kasih sayang kami.
Kalian mungkin menyadari bagaimana aku menyelipkan nama Ferdy padanya. Shella yang juga menyadarinyapun hanya mengangguk menyetujui nama yang kuberikan. Mungkin jauh dalam hatinya, Shella juga tahu kalau kami berdua berhutang pada Ferdy.
Ferdy yang menghilang dari kehidupan kami.
Selama hampir tujuh tahun sejak pernikahan kami, hanya sekali aku bertemu dengan Ferdy. Itupun tanpa sengaja. Shella waktu itu masih mengandung Revan. Usia kandungannya sudah hampir 9 bulan. Dan nama Revan Ferdy Rizky Putra, sudah kami siapkan semenjak shella hamil 7 bulan.
Pada saat itu aku menghadiri sebuah seminar tentang penyakit penyakit flu yang disebarkan oleh hewan di Jakarta. Salah satu nara sumbernya adalah seorang Dokter Muda dari berkebangsaan Swiss. Aku cukup dibuat kagum karena ternyata, usia kami hanya terpaut 2 tahun. Setelah symposium yang berlangsung selama beberapa jam, beberapa orang dari peserta yang hadir berkesempatan untuk makan siang di sebuah restoran ternama ibukota bersama Dr. Mark Quinton itu. Termasuk aku.
Dan yang mengejutkan adalah saat dia muncul di restoran bersama dengan Ferdy yang berjalan disebelahnya. Mark memperkenalkan Ferdy sebagai partnernya. Dan tidak sedikitpun Ferdy menunjukkan tanda-tanda kalau dia mengenalku pada saat kami bersalaman.
Tapi sebelum makan siang itu berakhir, aku berhasil mencegat Ferdy yang pamit ke kamar mandi. Saat dia keluar dari bilik kecil itu dan menemukanku menunggunya, Ferdy tak mengatakan apapun. Dia hanya mencuci tangannya di wastafel tanpa sekalipun melihatku.
“Kau…….baik-baik saja, Fer?” tanyaku akhirnya.
“Baik, Ky. Kamu?” Tanya Ferdy sembari mengambil tissue untuk mengeringkan tangannya. Nadanya datar tanpa emosi.
“Aku baik……” sahutku. Dia mengeringkan tangannya dengan santai dan masih menghindarkan pandangannya dariku, “……………begitu juga Shella.”
“Syukurlah….” Sahutnya dan beranjak pergi.
“Apa kau akan terus pura-pura tak mengenalku?”
Pertanyaan itu membuatnya berhenti melangkah. Ferdy perlahan berbalik untuk melihatku langsung, “Bukankah aku sudah membalas sapaanmu tadi? Kau ingin aku mengatakan apa lagi?”  
“Tidak penting juga kau membalas sapaanku tadi kalau kau bersikap seolah-olah kau tak mengenalku di luar tadi.”
Ferdy menghela nafas, “Aku hanya tak ingin membuat Mark terusik. Dia tipe orang yang lumayan pencemburu. Akan lebih baik kalau dia tak tahu apapun tentang kita.”
“Memang apa yang akan dia lakukan padaku?”
“Jujur aku tak tahu dan tak ingin tahu. Aku hanya tak ingin dia mengenalmu sebagai masa laluku. Aku tak ingin ada konflik. Itu saja..” sahutnya santai.
“Kau tak pernah member kabar…”
“Untuk apa? Agar kita bisa menjadi teman? Kau tahu kalau itu tak mungkin kan?”
“Benarkah? Apa terlalu mustahil untuk itu?”
“Menurutmu?” tanyanya balik.
“Aku ingin kita masih berkomunikasi. Saling member kabar dan bertukar berita. Aku benar-benar ingin berteman denganmu, Fer.”
“Aku yang tak ingin, Ky. Kalau saja bisa, aku ingin menghapus ingatan tentang apa yang pernah ku alami, denganmu.”
Aku diam sejenak, terkejut dengan sakit hati yang kurasakan saat mendengarnya mengatakan itu. Meski aku bisa memakluminya kenapa, namun toh hal itu masih membuat perasaanku terluka, “Baik aku ataupun Shella, tak pernah melupakanmu, Fer.”
Ganti dia yang terdiam untuk beberapa saat lamanya, “Bagaimana dia?” Tanya Ferdy akhirnya.
“Baik. Dia sehat..”
“Berapa anak yang sudah kalian miliki?”
“Satu. Syafira. Dan anak kedua kami akan lahir sebentar lagi..”
“Benarkah?”
“Kalau USG benar, dia laki-laki. Kami bahkan sudah menyiapkan nama untuknya. Kau ingin tahu?”
Dia tak menjawabku, hanya menatap dengan tatapan kosong.
“Revan Ferdy Rizky Putra,” lanjutku lagi. Ada sedikit kilatan kulihat muncul dimata Ferdy. Hanya sekilas, namun segera hilang hingga membuatku berpikir kalau aku hanya membayangkannya.
“Terimakasih..” ujar Ferdy.
“Kami berdua ingin mengenangmu dengan itu.”
Ferdy tersenyum tipis, “Kalian terlalu murah hati..”
“Aku bersungguh-sungguh Fer.”
Lagi-lagi dia hanya tersenyum, “Apa kau bahagia Ky?”
“Dengan keluargaku? Tentu saja!”
“Baguslah kalau begitu. Itu yang terpenting bukan? Kalau aku, seperti yang kau bilang, sebaiknya menjadi kenangan. Memang begitulah seharusnya aku bagi kalian. Hanya kenangan. Sampaikan salamku padanya,” ujar Ferdy dan berlalu sebelum aku bisa menahannya. Aku masih terpaku ditempatku berdiri, terlalu kaget dengan reaksi dinginnya.
 Dan itu terakhir kali aku melihat dan mendengarnya.
Ferdy yang tidak pernah sekalipun memberi kabar. Benar bahwa kini, aku tak pernah lagi menoleh ke belakang, pada duniaku yang dulu. Tapi ada saat-saat dimana aku berharap Ferdy, masih menjadi bagian dari kehidupanku. Apalagi pada masa-masa awal aku menikah. Aku akui ada saat dimana aku begitu mengharapkan kehadirannya untuk bisa menenangkanku. Tapi kini, aku hanya ingin bisa bertemu dan menjalin sebuah persahabatan dengannya. Aku bahkan mengharapkan agar kami menjadi keluarga dalam artian harfiah. Tapi Ferdy, benar-benar menghilang.
Jadi aku jalani kehidupanku seperti apa adanya. Mencoba mengabaikan kangen dan juga perasaan bersalah yang terkadang menyelinap.
Hari ini aku baru kembali dari sebuah seminar di Jakarta. Ada beberapa rekan Dokter dan mahasiswa kedokteran yang juga ikut bersama rombongan. Menyenangkan melihat bagaimana antusiasme mereka. Rasa-rasanya, spirit kami kembali ke masa-masa menuntut ilmu dulu.
“Dokter Rizky ikut bareng rombongan nanti?” tanya salah satu mahasiswi itu. Kalau tidak salah dia dipanggil Ajeng. Salah satu calon dokter muda wanita yang bersemangat. Aku suka akan gairah dan hasrat belajarnya yang tinggi. Dia menjejeri langkahku yang berjalan keluar dari bandara dengan pelan.  Suitcase kecil yang baru saja dia ambil tampak sedikit merepotkannya. Aku membetulkan handle kopernya sebentar dan menggeleng. Aku lalu melangkah menuju gerbang keluar gedung bandara ini.
“Istriku akan menjemput di bandara. Jadi maaf sekali,” kataku dan menunjuk keluar dengan daguku. Ajeng nyengir.
“Sama Dok. Saya juga nggak bisa ikut. Dijemput sodara,” tukasnya, “Oh ya Dok, bila tidak keberatan, boleh minta nomor kontaknya? Saya suka dengan presentasi Dokter kemarin dan mungkin saya membutuhkan sedikit bimbingan nantinya. Bila tidak merepotkan, saya ingin bisa menanyakan beberapa hal.”
“Nomor kantor tidak apa-apa kan?” tanyaku. Sebenarnya aku tak pernah member nomor pribadi atau kantorku pada orang yang baru kenal. Apalagi pada mahasiswa kedokteran. Ada beberapa dari mereka yang dengan terus terang menunjukkan ketertarikannya padaku. Dan aku………..tidak tertarik untuk menanggapi mereka. Tapi Ajeng cukup bisa menempatkan diri. Dia memang berusaha mendekatiku, berusaha untuk akrab, tapi dalam konteks edukasi dan kesopanan yang menyenangkan. Jadi aku mau memberi nomor kantor praktekku. Bahkan kini, saat kami berjalan beriringan keluar dari pintu bandara, dia tahu kalau dia harus menjaga jarak dariku.
“Ahh, itu kakak-kakak saya Dok,” tunjuk Ajeng dengan suara senang, “A EGHAAAAAA!! A ZAKIIII!!!” serunya. Dan dengan kegembiraan seorang bocah, Ajeng berlari tanpa memperdulikan kopernya menuju dua orang yang sangat ku kenal dari masa laluku. Dua orang yang berperan dalam merubah arah kehidupanku.
Ajeng menubruk dua orang itu dan langsung berceloteh riang. Meski ada sedikit hawa dingin aneh yang kurasakan merambati tubuhku, aku berusaha terlihat tenang. Pelan aku meraih handle koper kecil Ajeng dan melangkah mendekati mereka. Mata Regha yang melihatku segera membesar, terbelalak kaget. Untuk beberapa saat lamanya dia hanya diam dengan mulut ternganga tanpa memperdulikan ocehan Ajeng.
“Addduuuhh, maaf Dok merepotkan,” ujar Ajeng malu-malu dan meraih kopernya dariku, “Dok, kenalin ini kakak-kakak saya….”
“Apa kabar, Gha?” sapaku pelan dan kemudian berpaling pada Zaki yang masih menampakkan sorot tak sukanya padaku, seperti dulu, “Ki…” sapaku dan mengangguk padanya.
“Mas Rizky?” gumam Regha takjub, meski keheranannya kalah dengan yang ada di wajah Ajeng. Gadis itu bergantian memandang kami dengan mulut terbuka.
“Aku tak tahu kalau Ajeng adalah adikmu,” kataku lagi.
“I-iya, Mas. Hanya saja kami biasa memanggilnya Asti. Nama lengkapnya Ajeng Prasasti Widhiaryani. Ba-bagaimana…” dia hanya menunjukku dan adiknya.
“Dokter Rizky jadi narasumber dan pembimbing kami selama seminar A. Tapi A Egha kok….”
“Kami teman lama,” kataku menawarkan saat baik Regha maupun Zaki tak bisa menjawab Ajeng. Aku mungkin harus memanggilnya Asti seperti Regha, “Kami dulu sering hang out bareng saat Regha masih kuliah. Tapi sejak lulus, kami sudah jarang kontak. Bukan begitu?”
“I-iya,” sahut Regha sedikit gagap dan kemudian nyengir pada Zaki, “Mas Rizky apa kabar?” tanya Regha lagi.
“Baik, Gha. Aku…”
“PAPAAAAA!!!”
Teriakan keras yang begitu akrab ditelingaku itu membuat kami semua berpaling. Aku terawa kecil saat dua sosok kecil yang ku rindukan berlari dari sebelah kanan kami. Aku berjongkok dan mengembangkan tanganku menyambut mereka yang langsung menubrukku. Revan segera saja ngoceh bercerita tentang kakaknya yang dia bilang tadi pagi menolak minum susu yang segera saja dibantah oleh Syafira. Dalam beberapa detik, mereka berada dalam ajang saling adu otot dan teriak. Shella yang mendekat dengan perutnya yang berusia 5 bulan hanya menggeleng.
“Tanya Mama, Pa! Kak Fira tadi gak minum susunya kan Ma?” adu Revan meminta dukungan. Shella hanya mampu menggelengkan kepala dengan kehebohan mereka.
“Fira, Revan, Papa kan baru turun dari pesawat. Masih cape…”
Revan tak memperdulikan Mamanya. Dia langsung melingkarkan lengan kecilnya ke leherku, menolak untuk melepaskannya. Bahkan saat aku harus bangkit dari dudukku. Jadi aku menggendongnya dan membiarkan Shella meraih dan mencium punggung tangan kananku.
“Fira tadi memang gak mau minum susunya Pa. Katanya dia udah besar, jadi gak mau minum susu lagi,” lanjut Shella dengan senyum menggoda. Aku yang telah mencium keningnya sekilas, melirik pada Fira yang berdiri di sebelahku dengan kepala tertunduk dan bibir mengerucut.
“Jadi Fira sudah gede ya?” ujarku dengan alis terangkat. Anakku itu tak mau menjawab, hanya bergumam pelan tanpa mau mengangkat wajahnya. Aku tersenyum kecil pada Shella yang menutup mulutnya untuk menahan tawa, hingga kemudian ingat, “Ma, kenalin. Ini Regha, Zaki dan adik mereka, Asti.”
Shella menyalami ketiga orang yang terlihat terpana akan keriuhan keluargaku.
“Fira, kenalin ini temen Papa. Oom Regha dan oom Zaki, dan ini kak Asti. Dia adalah calon dokter. Coba tanya ke Kak Asti yang sudah besar, Kak Asti masih minum susu gak?” Fira tampak malu-malu saat mendekat dan meraih tangan mereka untuk menciumnya.
Asti segera saja menunduk, berjongkok dan mengajak Fira berdiskusi. Aku tertawa kecil dan kembali berpaling pada Regha dan Zaki, “Dan jagoan kecilku ini Revan, Gha. Ayo Revan, kasih salam pada Oom Regha dan Oom Zaki,” kataku.
Regha menyunggingkan senyum ramah dan membuka kedua tangan, mengundang Revan ke dalam gendongannya. Revan yang biasanya menolak saat ada orang asing mendekati, kali ini membuat pengecualian. Dia mengembangkan kedua tangannya, menyambut rengkuhan Regha. Aku jelas sedikit terpana dibuatnya. Bahkan Shella agak membelalakkan matanya.
“Revan cakep banget sih… Udah sekolah, sayang?” tanyanya lembut yang di jawab dengan anggukan oleh Revan.
Aku tertawa, “Tapi dia cukup bandel, Gha. Kemarin  gurunya bilang dia abis mukul teman sekelasnya.”
“Tapi si Beni ambil buku Revan, Pa,” protesnya yang disambut Regha dengan tawa kecil. Dia mencubit pipi kecil Revan lalu menciumnya. Sementara Zaki memandangi keduanya dengan tatapan lembut. Dia menggelengkan kepala melihat Regha dan Revan yang segera akrab.
“Dia mirip kamu Mas,” ujar Regha dengan senyumnya. Aku hanya mengangguk. Beberapa orang memang mengatakan hal yang sama. Aku sudah hendak mengatakan sesuatu saat Fira menarik kain celanaku.
“Pa, Fira mo minum susu…” rengeknya.
“Lho, katanya udah gede, gak mau minum susu?”
Fira menggeleng, “Kata Kak Asti, kalo Fira mo jadi Dokter kayak Papa, Fira harus minum susu. Beliin..” rengeknya. Pemikiran polosnya yang masih mudah dipengaruhi membuat kami semua tertawa.
“Ma… cari susu di sekitar sini ya?” pintaku. Istriku itu hanya mengangguk dan menggandeng tangan Fira. Asti yang tak mau ketinggalan ikut menyusul mereka. Melihat itu, Revan yang ada dalam gendongan Regha mulai merengek untuk ikut.
“Bagaimana kalo bareng sama Oom Zaki?’ tawar Zaki dengan suara ramahnya. Hal itu sedikit mengejutkanku. Dan alisku makin terangkat tinggi saat Revan dengan riangnya menyambut tangan Zaki yang terbuka. Dengan patuhnya dia melingkarkan lengan kecilnya ke leher Zaki.
Zaki melihatku dengan wajah yang dia angkat tinggi, “What? I’m good with kids,” selorohnya santai dan mengangkat bahu. Dia melangkah pelan menyusul Asti dan yang lain. Tapi baru sekitar 5 langkah kemudian, dia berbalik lagi pada kami, “Gha, I’ve changed my mind. I’m not gonna let him win easy. Let’s just have two right away. Yours and mine.”
“KI?!!!” tegur Regha. Aku yang tak mengerti dengan maksud mereka hanya melihat dengan tatapan heran. Wajah Regha terlihat memerah sementara Zaki hanya mengangkat bahu dan kembali melangkah.
“Ada apa Gha?” tanyaku.
“A-anu, Mas. Biasa, si Zaki. Tau sendiri lah..,” kilahnya yang membuatku hanya menatap dengan diam. Seperti Regha yang dulu, dia nyengir malu dan bergerak gelisah, “Euuhh, Mas Rizky, kalau tidak keberatan, bisa kita meluangkan waktu? Egha tau Mas Rizky cape dan mungkin ingin segera berkumpul, tapi….mumpung Mas. Kalau Mas bersedia….”
Untuk beberapa waktu, aku hanya menatapnya yang masih menampakkan senyum malu-malu. Dan untuk sejenak, aku seakan kembali ke beberapa tahun ke belakang dan melihat sosok Regha yang dulu. Orang yang pernah menjadi pusat dari semua perhatian dan perasaanku. Orang yang membuatku buta dan bodoh, tak mampu melihat dan menerima perasaan Rizky, yang hingga kini menghilang dari hidupku. Aku tak memiliki dendam padanya. Akupun tak memiliki rasa benci pada orang yang berdiri dihadapanku ini. Dan baru ku sadari kemudian, bahwa aku nyaris tak merasakan apapun padanya kini.
Dia seperti album lama yang telah lama tak ku lihat. Aku tahu, tak akan pernah ada lagi cerita diantara kami. Hanya kenangan yang bahkan tak pernah ingin ku lihat lagi. Dan apapun yang terjadi padanya, aku hanya akan melihatnya. Dia sudah tak memiliki pengaruh padaku.
“Apa penting?” tanyaku datar.
“Bagi Egha iya, Mas,” ujarnya.
Aku hanya menawarkan senyum tipis padanya dan mengangguk, lalu melangkah menuju Shella menghilang tadi. Kutemukan mereka sudah keluar dari kedai yang menjual beberapa jenis minuman. Revan masih saja santai dalam pelukan Zaki. Dia asyik berceloteh dengan riangnya, seakan-akan telah lama mengenal lelaki itu.
“Ma…” panggilku pada Shella yang segera mendekat, “Papa ada sedikit kepentingan dengan Regha. Ada beberapa hal yang perlu kami bicarakan. Mama pulang dulu ya? Nanti Papa naik taksi saja, ok?”
Shella tersenyum dan menganggukan kepalanya, “Iya, Pa. Kalo bisa pulangnya nanti beliin kelapa muda ya, Pa? Lagi pengen,” pintanya sembari mengusap perutnya. Aku hanya terawa dan ikut mengusap gundukan perutnya. Aku lalu mengulurkan tanganku pada Revan yang segera menyambutnya.
“Revan dan Fira pulang bareng Mama ya? Papa ada urusan sama Oom Regha. Gak lama kok. Nanti pulangnya Papa beliin martabak bulan langganan kita. Ga papa kan?”
“Fira juga mau, Pa…” rengek Fira yang mendengarku.
“Iyaaa… Papa nanti sekalian beli buat Ayah dan Ibu,” kataku dan mengusap lembut kepalanya. Mereka berdua memang terbiasa memanggil ayah dan Ibu pada kakek neneknya. Meniruku.
“Kalo gitu Mama pulang deh, Pa. Kopernya biar sekalian Mama yang bawa,” ujarnya dan meraih koperku. Dia lalu melihat Zaki dan yang lain, “Mari…” pamit Shella pada Regha dan yang lain lalu menuntun Revan yang kuturunkan.
“Revan gak boleh lari. Jaga Mama dan Kakak yaaa?” pintaku yang segera dianggukkan oleh Revan. Dia langsung meraih tangan kakaknya yang sudah hendak berlari. Aku tersenyum saat mendengar Revan memarahi kakaknya.
“Guess I’d better go. Come on, Asti,” ajak Zaki yang membuatku kembali berpaling padanya. Dia melihat ke arah Regha, “Are you gonna be ok?”
Regha mengangguk, “I’ll get taxi. Kamu bawa aja Asti,” ujar Regha. Zaki lalu mengangguk lalu berpaling padaku. Dia tak mengatakan apapun, hanya mengangguk singkat, kemudian berbalik pergi sambil membawa koper Asti. Asti berpamitan dengan cepat pada kami dan segera mengikuti Zaki.
“Kita cari café sekitar sini saja?” ajakku. Regha hanya mengangguk dan mengikutiku.
Aku membawanya ke sebuah café dan langsung memesan coffee au lait. Regha yang kemudian duduk disampingku memesan orange juice. Setelah beberapa waktu lamanya kami diam sembari menunggu pesanan, aku sadar bagaimana Regha yang terus-terusan melihatku.
“Apa?” tanyaku singkat dengan alis terangkat.
“Seneng liat Mas Rizky dengan keluarganya. Mas Rizky terlihat………….bahagia. Aku iri Mas…”
“Kalo gitu cepat menikah, Gha,” selorohku dan nyengir. Mulanya kukira dia akan membalas candaanku. Tapi dia justru tertunduk malu dengan pipi yang merona. Tentu saja aku heran, hingga kemudian aku mengerti apa maksud perkataan Zaki tadi, “Kau…………….beneran mau menikah?” tanyaku.
Dia melihatku sebentar dan kemudian mengangguk.
“Dengan Zaki..?”
Dia kembali mengangguk.
Tanpa sadar aku menahan nafas, kaget. Siapa sangka? Regha yang baru mengenal dunia gay, dan setahuku hanya berhubungan dengan Zaki-sampai sekarang sepertinya- akhirnya memutuskan menikah dengan kekasih prianya itu. Lalu aku ingat akan celetukan Zaki tadi dan segera saja memahami maksudnya yang tersembunyi.
“Kalian sudah berencana memiliki anak juga,” bisikku pelan dan tahu pasti bahwa itu benar, “………Zaki menginginkan dua. Darimu dan darinya.”
“Kami masih baru mencari surrogate mother Mas. Mommy yang akan menentukan pilihannya. Kami memasrahkan urusan itu padanya. Dan prosesnya mungkin agak lama…”
“Menikah……” gumamku setelah terdiam. Aku menghembuskan nafas panjang, “Maaf……aku hanya kaget.”
Regha tersenyum, “Gila ya, Mas?” tanya Regha pelan.
Aku menatapnya sebelum menjawab. Aku memang tak melihat keraguan disana. Dia yakin akan apa yang dia lakukan. Hanya saja, Regha seolah-olah mencari pembenarannya, “Kau yakin itu?”
“Menikah dengan Zaki? Yakin, Mas. Egha nggak menginginkan orang lain…”
“Keluargamu…?”
“Adik Egha sudah tahu. Dan sepertinya, Mamah juga mengerti, meski beliau tak pernah mengatakan apapun. Seorang Ibu, Mas. Abah Egha meninggal setahunan kemarin,” jelasnya tanpa kuminta.
“Kalau begitu………..selamat,” ujarku, tak tahu harus mengatakan apa lagi.
“Mas tidak berpikir kalau itu gila?” tanya Regha.
Aku hanya menggeleng, “Siapalah aku, Gha. Kalau memang ada yang harusnya mengerti keadaanmu, akulah orangnya. Aku pernah berada di posisimu, ingat? Hanya saja, aku tak bisa melakukan apa yang ku inginkan.”
“Kenapa Mas nggak nasehatin Regha untuk hidup seperti Mas Rizky? Menikah dengan seorang wanita dan hidup bahagia….”
“Kau ingin aku mengatakan itu?”
Dia tertegun, dan kemudian menggeleng, “Egha nggak tahu, Mas…”
“Aku tak berhak memberitahu apa yang harus kau lakukan, Gha. Sebagai teman, aku mungkin hanya bisa memberi saran.”
“Kalau begitu, beri Egha saran, Mas.”
Pembicaraan kami terpotong saat seorang waitress membawa pesanan kami. Untuk beberapa lamanya, hening menyelimuti kami. Hanya suara-suara orang dan kesibukan bandara yang terdengar. Menciptakan sebuah latar yang terkesan rancu dan aneh.
“Apa menurutmu aku orang yang tepat? Aku hanya beruntung, Gha…” kataku kemudian. Ku lihat dia menegakkan tubuhnya dan mendengarkanku dengan seksama, “Saat pertama kali aku menikahi Shella, aku sama sekali tidak mencintainya. Aku……………mencintai Ferdy. Mantan tunangan Shella. Tapi waktu itu aku begitu dibutakan oleh obsesiku padamu, sehingga aku tak pernah menghargai cinta yang Ferdy tawarkan padaku. Kau masih ingat bagaimana aku mengejarmu kan?”
Tak ada suara. Dia hanya mengangguk.
Aku lalu menceritakan semua. Pertemuanku dengan Ferdy. Hubungan kami. Shella. Keluarga Ferdy. Keluargaku. Pa yang terjadi antara aku dan Ferdy. Semuanya. Regha diam didepanku, mendengar dan melahap semuanya. Aku terkadang memperhatikan ekspresi wajahnya yang beberapa kali berubah. Beberapa kali dia terlihat seperti terluka saat kuceritakan kebodohanku dalam memperlakukan Ferdy.
“Maaf, Mas. Egha gak pernah tahu pengorbanan apa yang telah Mas lakukan untuk Egha. Maaf, Egha tak pernah menghargainya,” kata Regha setelah mendengarku. Satu tangannya terulur untuk meraih tangan kananku yang ada diatas meja. Biasanya sentuhan yang ia berikan akan membuatku merasakan sesuatu. Tapi kini, sentuhan itu sudah tak memiliki makna. Hanya sensasi yang diterima oleh indra perasaku. Tak lebih dari itu.
Aku tersenyum tipis, “Mungkin itu adalah definisi tepat dengan apa yang disebut ‘bukan jodoh’ ya Gha?” selorohku ringan, “Saat kita telah berusaha sekuat tenaga, mengorbankan segalanya, tapi orang yang kita sukai, tidak akan pernah bisa kita miliki. Mungkin itulah Egha bagiku. Egha bukanlah jodohku. Jadi bagaimanapun kukuhnya aku berusaha, kita tidak akan bisa bersama.”
Mata Regha seakan-akan terluka mendengarku, “Maaf, Mas,” katanya lagi. Aku tertawa kecil dibuatnya.
“Untuk apa, Gha? Aku sudah tak apa-apa. Memang menderita pada awalnya. Kehilangan Ferdy, kamu. Hingga kemudian aku memutuskan untuk menikah dengan Shella. Ku akui pada awalnya dia hanyalah sebuah ‘kepantasan’ dan bagian dari kewajiban yang aku lakukan demi orang tuaku. Mencoba menjadi normal seperti yang masyarakat kita pahami. Tapi seperti yang kau lihat, keluargaku telah tumbuh dan berkembang. Mereka menjadi hidupku. Dan dengan adanya Fira dan Revan, tidak sekalipun aku menyesalinya. Aku telah menerima Shella sebagai bagian dari kehidupanku. Tanpa aku sadari, mereka menjadi obat bagi lukaku. Aku sembuh, Gha. Aku sudah memeluk hidup baruku.”
“Dan aku ikut senang, Mas. Revan dan Fira benar-benar lucu dan menggemaskan.”
“Dan kalau aku tak salah dengar tadi, mungkin kau akan segera memiliki anak juga kan? Mungkin kau harus berlatih menjadi seorang ayah.”
Regha hanya memberikan senyum tipis.
“Coba ceritakan bagaimana kisahmu dan Zaki. Aku tak pernah tahu secara benar,” kataku kemudian. Regha mengangguk dan mulai menceritakan kisahnya.
Kisah yang menurutku manis. Aku kembali dibuat kagum akan bagaimana Tuhan mampu membalikkan jalan kehidupan seseorang. Lucu juga bila mengingat, bagaimana Regha dengan segala kepolosannya, yang tumbuh dalam lingkungan normal seperti sebagian besar masyarakat di sini, pada akhirnya menempuh sebuah jalan hidup yang berbeda 180 derajat dari itu. Arah hidup manusia ternyata bisa berubah begitu drastisnya.
“Dan kau setuju menikah dengannya?” tanyaku saat Regha menceritakan bagaimana Zaki melamarnya.
“Mas pernah merasa menjadi utuh? Merasa bahwa kehidupan Mas terasa lengkap dengan kehadiran seseorang?”
Aku berpikir sejenak. Hingga kemudian aku teringat akan perasaan yang menghinggapiku saat aku memeluk tubuh mungil Fira untuk pertama kalinya, “Pernah…” bisikku pelan. Yeah….aku baru mengerti. Itulah kali pertama dalam hidupku aku merasakannya.
“Seperti itulah yang kurasakan bersama Zaki, Mas. It might sound cheesy or corny, tapi Zaki menjadi pelengkap dalam kehidupan Egha. Dan Egha tak bisa membayangkan untuk menjalani kehidupan Egha tanpanya. Dia menjadi tiang sandaran Egha. Orang yang menguatkan Egha dalam menjalani hidup. Bagian hidup Egha sendiri.”
“Dan kenapa Egha masih memerlukan advice dariku? Keraguan apa yang Egha rasakan dan kenapa?” tanyaku heran. Regha tak langsung menjawab. Dia menghela nafas dan melihat ke kaca pembatas yang memisahkan kafe ini dengan keriuhan bandara.
“Lihat mereka, Mas,” tunjuknya dengan dagu. Aku melihat sepasang lelaki dan wanita berjalan dengan bergandengan tangan, “Selalu ada rasa sakit di dada Egha ketika melihat sepasang lelaki dan wanita yang bermesraan. Di mata dunia, itulah yang dinamakan normal. Sedang yang Egha miliki tidak. Egha tahu kalau hal ini masalah klasik yang selalu menjadi pergulatan batin bagi kaum gay. Mas Rizky pernah berada didalamnya kan? Jadi Mas Rizky tentu tahu dilemma ini. Meski Egha tak lagi merasa aneh dengan mencintai pria lain, tapi tetap saja. Saat melihat pemandangan seperti itu, Egha kembali menanyakan kewarasan Egha. Egha, tanpa sadar, bertanya pada diri sendiri, apakah yang Egha lakukan adalah benar. Karena Egha tahu, kalau egha dan Zaki melakukan hal yang sama seperti mereka, reaksi yang orang tunjukkan, akan jauh berbeda.”
“Hanya itu?” tanyaku setelah terdiam beberapa lama.
Regha menoleh padaku dan kembali memberikan senyum tipisnya, “Pergulatan yang sama antara perasaan Egha dan Tuhan, Mas. Pertanyaan akan dosa, pertanggung jawaban hidup dan juga kehidupan Egha setelah mati nantinya. Surga ataukah neraka…? Konflik klasik yang mungkin selalu dialami oleh para gay. Konflik yang mungkin akan terus menerus, berulang-ulang dipikirkan oleh kaum gay di Negara kita. Masalah yang mungkin membuat sebagian dari mereka terasa bosan dalam membahas dan membicarakannya.”
“Klasik ya?”
Regha mengangguk dan kali ini ada kesedihan pada senyumnya, “Klasik..” katanya menyetujuiku.
“Jadi Egha juga sering bertanya pada diri sendiri apakah Egha berdosa? Apakah Tuhan pada akhirnya akan menghukum Egha?”
“Terkadang, Mas. Apalagi sekarang, saat Egha memutuskan untuk menikah dengan Zaki dan berencana untuk memiliki momongan dengan ilmu pengetahuan modern kedokteran. Ada saat dimana kadang Egha merasa kalau Egha bergerak melawan arus. Melawan hukum alam dan hukum……….Tuhan,” bisiknya pelan.
“Tapi pernahkah Egha berpikir kalau Tuhan juga yang membawa Zaki ke dalam kehidupan Egha? Tuhan juga yang memberikan rasa cinta yang Egha miliki pada Zaki? Dan begitu juga sebaliknya?”
Regha tertegun tanpa menjawabku.
Aku tersenyum, “Aku percaya bahwa tak ada satupun yang terjadi di dunia ini tanpa rencana dari Tuhan, Gha. Alam bergerak dalam sebuah aktifitas kosmik yang random bagi kita. Tapi sebenarnya tidak. Tuhan sudah merancang segalanya. Bukankah tak ada selembar daun pun yang jatuh dari sebuah ranting tanpa perencanaan Tuhan?”
Dia kembali tak menjawabku.
“Aku yakin ada alasan kenapa Dia menempatkan Zaki dalam kehidupanmu. Seperti yang kau bilang tadi, mngkin Dia menempatkan Zaki disisimu untuk menguatkanmu. Menjadi penopangmu. Sama seperti orang yang memberikan kelebihan pada mereka yang terlahir dengan fisik tidak sempurna. Mungkin memang itulah rencana Tuhan bagimu. Dan Egha memiliki pilihan. Untuk tetap bersama di sisi Zaki, ataukan meninggalkannya. Ajaran dari Tuhan memberikan kita pilihan dalam melangkah, Gha. Konsekuensi yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan di hadapanNya. Dan Egha yang harus memilihnya. Masyarakat memang memiliki standart akan kenormalan menurut mereka. Tapi masyarakat kita bukanlah satu-satunya kelompok manusia yang memiliki standart itu. Bukankah diluar sana sudah mulai terjadi perubahan dan banyak penerimaan?”
Regha mengangguk.
“Maka Egha seharusnya tahu kalau masyarakat yang ada diluar sana bukanlah orang yang akan mempertanggung jawabkan perbuatan yang Egha lakukan. Egha memiliki kuasa penuh dalam menentukan aksi Egha. Selama itu tidak merugikan masyarakat umum, kurasa Egha tidak akan mendapatkan masalah. Hanya saja Egha juga harus tahu menempatkan diri dan bertoleransi. Egha harus tahu bagaimana bersikap. Masyarakat kita memiliki batas yang berbeda dengan mereka yang ada di luar negeri. Egha harus tahu dan menghormati batasan mereka. Egha tahu kan?”
Regha mengangguk, “Egha paham akan batasan itu, Mas.”
 “Syukurlah. Maka tak ada lagi kan yang harus dikhawatirkan? Hanya Egha yang harus memantapkan diri. Konflik akan selalu terjadi dimana-mana Gha. Akan selalu ada pro dan kontra. Akan selalu ada pergulatan dalam batin Egha karena berbeda. Tapi Egha sendiri yang harus tahu, apa yang Egha inginkan. Dan menerima konsekuensi yang akan muncul nantinya. Egha harus siap…”
Regha menatapku dalam diam, “Manusia akan terus mengalami konflik ya Mas?”
“Tak terhindarkan bukan? Kita makhluk yang terus berevolusi. Baik secara fisik maupun pemikiran. Hidup akan menghidangkan berbagai masalah baru yang harus kita pecahkan, tantangan-tantangan dan konflik baru,  juga orang-orang baru untuk kita kenal. Kita akan menghadapi dan berinteraksi dengan mereka. Dan seiring dengan waktu, kita akan pemikiran kita mungkin akan berubah dan makin matang. Bukankah itu yang dinamakan dinamika hidup? Tak akan mungkin hidup berjalan dengan datar. Tentu akan sangat membosankan. Akan selalu ada gelombang dan kerikil tajam sepanjang jalan.”
“Tak akan berhenti ya, Mas?”
“Mungkin baru akan berhenti saat kita telah mati. Tapi kerikil-kerikil hidup itu yang menempa kita, Gha. Menjadikan kita makin dewasa, kuat dan bijak. Jadi menurutku …..kita memang harus mengahadapinya.”
“Lalu bagaimana dengan kebahagiaan? Apakah mungkin kita akan mencapai sebuah ketenangan dalam menjalani kehidupan kita?”
“Tak akan ada kebahagiaan kalau kau sendiri tidak mencoba untuk bahagia dan juga bersyukur dengan apa yang kau miliki. Lihatlah dirimu. Kau jauh lebih baik daripada Regha yang ku kenal dulu. Secara ekonomi, kau sudah jauh lebih mapan. Kau punya kekasih yang mencintaimu dan siap membangun sebuah rumah tangga denganmu. Kau punya saudara dan Ibu yang menerimamu. Beberapa tahun yang lampau, aku akan merasa sangat iri padamu. Kau punya segala sesuatu yang aku inginkan. Tapi lihat! Kau masih mencari dalih untuk merasa sedih dan tidak bahagia. Bagaimana kau bisa menemukan ketenangan ataupun kebahagiaan dalam hidup kalau kau sendiri belum bisa menerima dirimu sendiri sepenuhnya? Ka uterus menerus memikirkan perbedaan yang kau miliki dengan mereka yang mengatakan dirinya normal. Selama kau masih terus merasa aneh, berbeda dan mungkin berdosa, kau tak akan pernah menemukan ketenangan ataupun kebahagiaan yang kau inginkan. Kau masih belum berdamai dengan dirimu sendiri.”
“Mas….”
“Belajarlah untuk lebih menghargai apa yang sudah kau miliki, Gha. Hidup itu singkat. Jangan sia-siakan dengan mengkhawatirkan hal-hal yang tidak berguna. Jangan sia-siakan dengan sibuk memikirkan opini, ekspektasi dan anggapan orang-orang di sekelilingmu yang hanya bisa berkicau dan mengkritik. Jangan buang waktumu dengan semua itu. Belajarlah untuk lebih menghargai dan menerima dirimu sendiri. Dengan segenap kekurangan yang kau miliki. Kau akan terus merasa tertekan dan bersalah jika tidak bisa menerima dirimu sendiri apa adanya. Bagaimana orang bisa menerima keberadaanmu sementara kau sendiri tak bisa menerima dirimu sendiri?”
“Jadi kunci segalanya ada pada diri Egha sendiri, Mas?”
“Benar…..” jawabku dan mengangguk, “Kalau kau memandang hidup yang kau jalani sebagai sebuah dosa, kutukan dan beban, maka akan terasa seperti itulah hidupmu. Kau akan terus dihantui perasaan bersalah, kotor dan terasingkan. Segala sesuatunya akan terlihat salah . Kau hanya akan terperangkap dalam gelembung kehidupan yang kau ciptakan sendiri. Sengsara dan tak akan pernah mengecap bahagia. Tapi bila kau melihat dan menerima hidupmu sebagai sebuah berkah, anugerah yang indah, maka kau akan bisa melihat kebaikan dan kebahagiaan dlam segala hal. Semuanya bergantung pada bagaimana kau memandang hidup yang kau jalani.”
Regha tertunduk dengan dua tangan terkepal.
“Itu yang dulu kurasakan, Gha. Saat aku menjalani pernikahanku hanya sebagai sebuah kewajiban dan beban yang tak ku inginkan. Aku terus merasa sesak dan terperangkap. Tapi saat pertama kali aku memeluk Fira, aku bisa melihat kalau aku sudah melakukan hal yang benar. Aku yakin dengn hidup yang ku pilih. Aku mulai memeluk jalan hidup yang ku ambil. Mensyukuri dan menerimanya. Menerima Shella dan semuanya. Dan akupun mulai merasakan bahagia.”
“Aku bisa melihatnya Mas…”
“Kalau begitu berhentilah memusingkan segala hal itu. Sudah waktunya kau menerima diri dan hidupmu dengan sepenuhnya. Raih kebahagiaan itu. Pernikahanmu sudah didepan mata kan? Ada Zaki disana yang sedang menunggumu..”
Untuk pertama kalinya ku lihat senyum tulus di wajah Regha. Bahunya tidak lagi terlihat turun. Dia terlihat menarik nafas panjang penuh kelegaan. Sedikit beban sepertinya telah terangkat dari dadanya, “Mas benar. Aku harus mulai belajar menghargai yang aku miliki. Toh aku tak mengambil hak orang lain. Aku tak menyakiti dan merugikan orang lain kan, Mas?”
Aku mengangguk, “Kau hanya menjalani kehidupan seperti yang kau inginkan dengan orang yang kau cintai. Simple kan?”
Regha kembali meraih satu tanganku dan meremasnya, “Terimakasih, Mas. Terimakasih sudah menjadi Mas Rizky yang ku kenal dulu. Orang yang selalu kujadikan panutan dan member Egha ketenangan. Egha harap kita bisa terus berhubungan…”
“Akan kita lihat nanti. Kurasa hal itu harus kau bicarakan dengan Zaki terlebih dulu. Karena kulihat, dia masih tidak menyukaiku,” selorohku.
Kami terkekeh kecil dengan satu fakta itu.
“Egha akan berubah, Mas. Egha akan berjalan menempuh kehidupan yang Egha pilih ini dengan kepala tegak!” tekadnya. Aku hanya mengangguk dan kemudian mencoba mengalihkan pembicaraan kami pada hal yang lebih ringan. Dalam hati aku hanya mampu bergumam.
Kehidupan manusia…..
Benar-benar mencengangkan bagaimana kehidupan berjalan. Mencengangkan bagaimana rute kita bisa berbelok dengan begitu drastisnya. Jauh dari apa yang kita rencanakan sebelumnya. Namun toh selalu ada mutiara-mutiara kehidupan yang bisa kita pungut dalam setiap rute yang kita jalani. Ada buah ilmu dan kebijaksanaa yang bisa kita nikmati dari baret dan luka kala kita melangkah. Aku yang dulu begitu mengidamkan kehidupan bahagia bersama seorang lelaki yang ku cintai, malah berakhir bahagia dengan istri dan anakku. Regha yang dulu hanya memiliki pikiran untuk menikah dengan seorang wanita, membina rumah tangga yang normal, malah akan menikah dengan Zaki yang juga lelaki. Lucu bukan?
 Aku dan Regha hanya satu bagian kecil dari sekian banyaknya kisah yang terjadi pada dunia. Cerita hidup kami tak lebih dari sebuah spektrum maha kecil pada besarnya pelangi dunia. Sebuah warna kecil yang ikut menyumbang dinamika pada perputaran roda dunia.
Kami berdua mungkin bukan orang-orang besar yang mengubah wajah dunia. Kami orang-orang biasa yang menapaki dunia dengan segala keterbatasan kami. Kami bukan orang manusia suci yang mendapat jaminan surga pada akhir hidup kami. Kami hanya debu kecil yang mencoba hidup dan menemukan kehidupan bahagia dengan semua keterbatasan kami. Kami mungkin salah. Kami mungkin bukan sebuah panutan yang patut diikuti. Kami hanya mencoba menggapai kebahagiaan kecil yang secara absolute menjadi milik kami. Bukan kami yang menentukan apakah yang kami jalani ini benar ataupun salah. Mungkin masyarakat luas yang akan memberi nilai itu pada kami. Tapi toh bukan mereka yang menjalani. Keberadaan kami bagai sebuah ion kecil dari sebuah benda maha besar. Nyaris tak berarti.
Kami hanya sebuah cerita.
Bagian kecil dari dunia.
Bagian dari kalian semua yang ada didalamnya.
  

Rogojampi, October 7, 2014. 2.07pm
DJ’s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar