Translate

Jumat, 30 Januari 2015

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 46 - Aftermath, Rizky



RIZKY

Keberadaan seseorang akan terasa maknanya tatkala dia telah menghilang dari hidup kita. Aku tak bisa mengatakan efek apa yang kurasakan akibat kehilangan Rizky. Yang jelas ada sebuah celah yang terus menganga, dan tak ku ketahui, bagaimana menambalnya. Bukan hanya aku yang merasakan kehilangan itu. Seminggu setelah kepergian Ferdy, Shella meneleponku dengan menangis. Mengatakan diantara isakannya bahwa Ferdy telah berangkat ke Jerman, tanpa mengatakan apapun padanya.
Tak ada yang bisa kukatakan padanya selain bahwa dia harus bersabar dan merelakannya. Sedikit menyakitkan bagaimana aku yang harus menjilati lukaku dan harus mengobati luka Shella, sementara yang menjadi sumbernya adalah orang yang sama.
Tapi hidup terus berjalan.
Tak peduli bagaimana luka menggerus kita, roda hidup tidak akan berhenti berputar. Dan kita akan dipaksa untuk terus menjalaninya. Tak peduli bagaimana susahnya kita harus bangkit dari tempat tidur dan menjalankan apa yang menjadi kewajiban kita. Menyeret kaki kita untuk berjalan, selangkah demi selangkah. Semua di sekeliling kita akan terus berjalan dan berubah mengikuti aliran waktu. Memaksa kita untuk berjalan dengannya.
Dan itulah yang aku lakukan.
Aku terus menjalani hidupku. Menelan bulat-bulat semua pahit getirnya. Menjalani hari demi hari, menyelesaikan semua tugas dan kewajiban, berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Meyakinkan diri sendiri bahwa peristiwa kemarin hanyalah sebuah episode kelam yang akan segera terlupakan. Bahwa akan ada episode baru yang sudah menanti didepanku.
Hubunganku dan Shella berkembang dengan sendirinya. Kami dipersatukan oleh duka kami akan kepergian Ferdy. Telepon berjam-jam, saling memberikan pesan untuk mengangkat semangat dan saling mengingatkan, bahwa hidup kami, tidak berhenti disini. Kedekatan kami terus berkembang tanpa kami sadari.
Bahka keputusan Shella untuk akhirnya meneruskan kuliahnya di Bandung, terasa normal dan sudah sewajarnya. Aku yang membantunya mencari kontrakan, mengantar ke kampus dan menyelesaikan keperluan lainnya. Setiap kali memiliki waktu luang, kami menghabiskannya bersama. Berdua kami saling mengobati luka kami. Tanpa sadar kami mulai terbiasa dengan kehadiran masing-masing diri kami. Secara alami, kami tahu kapan harus berada disisi salah satunya. Dengan sendirinya kami membiasakan diri dan mengikuti ritme masing-masing.
Aku membiarkan semuanya. Aku tak melawannya.
Dan ketika kami berdua secara tak sengaja bertemu dengan Ibu dan Ayah di suatu mall, aku mengenalkan mereka dengan biasa. Aku bisa melihat bagaiamana Ibu langsung menyukai Shella. Beliau tak pernah berhenti mengajaknya bicara. Ayah tak mengatakan apapun. Tapi saat kami makan malam bersama, senyum lebar tak pernah lepas dari wajahnya. Dan dia, melihatku dengan tatapan bangga.
Aku tahu apa yang ada dalam benak mereka.
Karena itu, kuutarakan niatku pada Shella untuk membina sebuah hubungan khusus. Malam itu, tak ada yang Shella katakana. Dia hanya menundukkan kepala, terisak pelan dan membiarkanku memeluknya. Tak perlu ada kalimat yang harus kami ucapkan lagi. Masing-masing dari kami sudah mengerti.
3 bulan kemudian, aku melamarnya.
Saat aku mengutarakannya pada Ibu, beliau langsung memekik gembira dan segera memelukku dan menangis dengan kerasnya. Berkali-kali beliau mengucapkan syukur kepada Tuhan atas keputusanku. Ayah tak mengatakan apapun. Beliau hanya tersenyum dan menepuk bahuku.
Setidaknya ada lebih dari satu orang yang akan bahagia sekarang, pikirku.
Persiapan segera dilakukan. Ibu segera heboh mempersiapkan semua keperluan yang akan dibawa ke Yogyakarta, menemui calon besannya. Melamar Shella secara resmi untukku. Aku membiarkan beliau yang seolah-olah memiliki tenaga ekstra. Tak mengenal lelah bolak balik keluar dan berbelanja. Aku hanya melihatnya dan menganggukkan kepala. Setuju dengan apapun yang beliau putuskan. Aku bahkan sedikit menikmati bagaimana paniknya beliau saat ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Belum pernah sekalipun aku melihat Ibu begitu bersemangat dan penuh gairah hidup.
Acara lamaran kami berlangsung dengan lancar. Orang tua Shella menerima lamaran kami dengan gembira. Aku memenuhi harapan mereka. Dan segera saja mereka menentukan tanggal pernikahan yang akan dilakukan dalam 3 bulan kedepan. Dan berhubung Shella masih berkuliah di Bandung, mereka menitipkan shella dan berpesan agar kami berdua harus bisa menjaga diri. Bahwa kami harus bersabar karena pernikahan kami hanya 3 bulan lagi.
Aku hanya mengangguk dan berjanji akan menjaga Shella untuk mereka.
Kini, malam minggu aku punya jadwal tetap bersamanya. Meski kebanyakan kami menghabiskan waktu bersama Ayah dan Ibu dirumah. Ibu dengan telatennya mengajarkan berbagai macam hal pada Shella. Seakan-akan dia memang mempersiapkan putrinya sendiri untuk menjadi istri yang baik. Semua pelajaran memasak pertama yang Shella ajari adalah semua masakan yang menjadi favoritku.
Aku sudah mengatakan pada Shella kalau dia santai saja dalam menghadapi Ibu. Tapi Shella ternyata merasa cocok dengan beliau. Dengan serius dia sibuk berdua dengan Ibu, tiap kali kami menghabiskan malam minggu di rumah. Dia juga tak sungkan untuk datang membantu Ibu di wwarung makan. Hanya dalam waktu sebentar saja, keduanya hampir tak terpisahkan.
Dan kejutan datang sekitar satu bulan setelah pertunangan kami. Waktu itu seperti biasa, Shella bereksperimen dan berlatih dengan Ibu didapur.
“Apa yang mereka buat kali ini, Ky?” tanya Ayah yang muncul dari kamarnya.
“Nggak tahu, Yah. Katanya kudapan buat temen kita nonton tv malam ini,” sahutku yang sedang duduk diruang tengah menonton.
Ayah terkekeh, “Entah bagaimana dengan kamu, tapi….rasa-rasanya, sejak Shella ada, semua celana Ayah jadi makin sempit. Tiap hari kali ada Shella, ibumu itu adaaaa saja yang mau dimasak.”
Aku tersenyum. Ingat bagaimana minggu kemarin, kami dipaksa harus menghabiskan 3 gulung roti lapis yang mereka buat. Padahal sebelumnya kami sudah makan malam dengan soto ayam special yang mereka persiapkan.
Ayah yang duduk tak jauh dariku menelengkan kepalanya saat mendengar tawa Ibu yang terdengar dari dapur, “Sudah lama Ayah tak mendengar tawa seperti itu dari Ibumu. Ayah berterimakasih padamu. Ayah tahu kalau mungkin tak mudah bagimu untuk melakukannya?”
Tubuhku mendadak kaku. Aku hanya mampu berbalik untuk menatap Ayah yang duduk santai di sebelah kananku, “Maksudnya?”
“Ayah tahu kalau ada sesuatu yang mendorongmu untuk melakukan ini. Kau………….yang tak pernah membawa seorangpun ke rumah, tiba-tiba saja hendak menikah dalam hitungan kurang dari setahun? Pasti ada cerita disana. Dan Ayah ykin, kau mungkin tak ingin membaginya dengan kami, keluargamu. Tapi………apapun itu, Ayah senang kau melakukannya. Kalau Ayah boleh mengatakannya……..kau sudah benar melakukan hal ini. Jangan ragu untuk terus maju melangkah. Kadang kita harus menelan pil pahit kehidupan untuk tumbuh sehat,” kata beliau dengan mata yang kemudian beralih ke televisi.
Aku sudah hendak bertanya namun urung saat mendengar suara ponsel Shella bordering. Dan kemudian hening yang mencekam terasa, sesaat setelah Shella menjawabnya. Dia muncul dari arah dapur dengan mata yang melebar, kaget. Secara naluriah, aku berdiri karena merasakan emosinya.
“Mas Ferdy?” tanya Shella dengan kaget.
Aku memberinya isyarat untuk mengikutiku keluar ke teras, sambil mencoba tidak mengacuhkan tatapan penuh tanya Ayah. Ku tutup pintu rumah begitu Shella keluar, agar pembicaraan kami tidak terdengar oleh Ayah ataupun Ibu. Aku meraih ponsel Shella dan menekan tombol speaker.
“Selamat ya, Shel atas pertunangannya. Maaf terlambat. Lagi sibuk dengan sekolah,” terdengar suara Ferdy yang lama tak kudengar. Kurasakan sebuah remasan di dadaku saat suara itu menyapa telingaku. Suara dari masa lalu yang pernah membayangiku, meski kini aku telah menguburnya dalam. Berpura-pura bahwa dia menjadi sebuah episode yang telah berlalu. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi menahan diri. Jelas Ferdy telah berusaha keras untuk bisa melakukan ini. Jadi aku member tanda pada Shella untuk menjawabnya.
”Makasih ya, Mas. Mas Ferdy apa kabar? Sehat?”
Ferdy tertawa, “Sehat, Shell.Cuman agak demam dari kemaren. Musin dingin disini gila banget. Gimana persiapan pernikahannya? Sudah beres semua?”
“Hampir, Mas. Sudah 60% sih. Ibu Indri yang paling heboh mempersiapkannya, Mas. Mas Ferdy akan pulang kan?”
“Akan kuusahakan, Shel. Kalau bisa aku pasti datang. Tanggalnya masih belum berubah kan?”
“Enggaklah, Mas. Masih sama.”
Ferdy tertawa, “Kalau begitu beres. Aku akan mencoba membersihkan jadwalku hari itu. Shella aja yang harus mempersiapkan diri. Jangan banyak begadang lho. Kuliahnya bagaimana, Shel? Kuliah di Bandung seru, kan?”
“Seru, Mas. Disini suasana rame. Lagipula ada ayah dan Ibu. Jadi Shella ndak kesepian.”
“Itulah enaknya kalau dekat mertua. Rizky, kamu apa kabar?”
Pertanyaan itu mengejutkan kami berdua. Ferdy bertanya dengan nada seolah-olah dia sudah tahu kalau sedari tadi, aku bersama dengan Shella. Aku meraih ponsel Shella, “Shella ke belakang saja dulu sama Ibu ya? Biar Mas yang ngomong dengannya,” ujarku.
Shella tak menjawab, hanya mengangguk dan segera berlalu meski matanya memncarkan keraguan. Salah satu kualitas yang dia miliki adalah dia sangat menghormati pasangannya.
“Sehat, Fer?” tanyaku dengan suara kubuat tenang.
“Tidak. Aku masih menahan marah dan ingin memakimu dari tadi,” jawab Ferdy dengan nada yang jauh lebih santai, “Tapi……….kurasa itu tidak akan menimbulkan efek bagimu.”
“Maaf, Fer?”
“Untuk apa Ky? Menyakitiku? Menikahi mantan tunanganku? Yang mana?”
“…………..semua…” jawabku dengan nada tercekat, “Kau tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan sejak kejadian di rumah sakit waktu itu.”
“Menjelaskan apa, Ky? Bukannya sudah jelas? Aku hanya tak ingin membahasnya karena tahu apa yang akan kau katakan. Lagipula, kalau dipikir-pikir, aku juga yang salah. Aku yang selalu jadi pihak yang mengemis perhatian darimu. Aku selalu jadi pihak yang siap menerima sisa remah darimu…”
“Tapi tidak waktu itu…”
“Karena aku sudah terlampau sakit, Ky. Aku tak bisa terus berada disana. Tidak saat kau memintaku untuk jadi pacarku, dan tidak mengakuinya dihadapan Regha beberapa jam kemudian…”
“Keluarkan semua, Fer…” pintaku. Aku benar-benar ingin dia mengungkapkan semuanya. Ferdy tertawa pahit.
“Untuk apa? Agar kau merasa kalau kita impas setelah aku mencaci makimu?”
“Apa itu akan mampu menyamakan keadaan?”
“Menurutmu? Coba kau katakan padaku apa yang rasakan kalau kau berada di pihakku? Setelah semua yang terjadi diantara kita, beberapa bulan kemudian aku menerima berita akan pertunanganmu bersama Shella. Dan kemudian dilanjut dengan undangan pernikahan. Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau katakan, Ky?”
“……….entahlah,” jawabku akhirnya.
“Tepat. Aku juga tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Aku bahkan tak tahu menggolongkanmu sebagai manusia apa?”
“Aku juga membenci diriku sendiri….” Bisikku.
“Oh please, aku ragu kalau kau memiliki kepedulian akan orang lain selain dirimu sendiri. Kita berdua tahu itu. Aku bahkan menerima surat undanganmu yang indah itu…”
“Kau tak akan datang….” Kataku lemah.
“Oh, aku pasti datang. Aku akan memberimu kesempatan terakhir untuk memnyakitiku. Percayalah, aku pasti datang agar kau bisa melihatku terluka lagi. Kado terakhirku untukmu..”
“Aku tak pernah bermaksud menyakitimu, Fer.”
“Simpan kalimat itu untuk dirimu sendiri, Ky. Kita berdua sama-sama tahu kalau hal itu hanya basa-basi. Yang aku khawatirkan adalah Shella. Apa yang dia ketahui tentangmu? Aku tak sanggup membayangkannya kalau akan tetap berkelakuan sama setelah kalian menikah..”
“Fer…..setelah aku menikah, aku tak akan pernah menoleh lagi ke dalam dunia abu-abu. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri akan hal itu. Bahkan sebelum aku bertemu denganmu..”
Diam sejenak…
“Semoga saja itu benar.”
“Itu benar!”
“Kalau begitu maafkan aku karena tidak mempercayaimu. Masalahnya aku memiliki sedikit masalah untuk mempercayaimu setelah apa yang terjadi antara kita,” sergah Ferdy dengan nada sinis, “Sudahlah. Aku hanya ingin mengucapkan selamat pada Shella. Tak kusangka kalau dia ada di rumahmu. Sampaikan salamku padanya.”
‘Fer, aku benar-benar minta maaf atas semu..”
Dia telah menutup teleponnya. Aku diam disana mendengarkan nada statis yang terdengar dari seberang sana. Dan kemudian hening…
Ya Tuhan…. Kenapa seakan-akan aku harus terus menerus menyakitinya? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku lalu mencoba melihat nomor Ferdy. Namun langsung lemas saat kulihat dia memanggil dengan menyembunyikan nomornya. Masih kuingat bagaimana dia berkata tadi, bahwa dia akan datang ke pernikahanku. Bahwa dia akan memberiku kesempatan untuk menyakitinya, terakhir kali.
“Bagaimana aku bisa menebus kesalahanku, Fer?” bisikku lirih dan berjalan gontai untuk kembali masuk ke dalam. Shella menyambutku dengan tatapan khawatir. Aku tersenyum menenangkannya.
“Ada salam dari Ferdy. Dia bilang dia akan memastikan kedatangannya,” kataku.
Shella tersenyum dengan lega dan kembali ceria, mengobrol dengan Ibu. Dia tak perlu tahu, batinku. Tak perlu menambah jumlah orang yang telah terluka. Biar saja hanya aku dan Ferdy yang memiliki bekas luka masa lalu kami. Aku tak akan pernah menoleh ke belakang lagi. Hidupku akan berjalan ke depan. Bersama dia, istriku.

Dan memang itulah yang terjadi….
Aku dan Shella menikah!
Pesta resepsi pernikahan kami yang pertama dilaksanakan di Yogyakarta. Di kediaman keluarga Shella yang cukup luas. Rombongan keluargaku tiba disana pada siang, satu hari sebelumnya. Kami disambut oleh deretan keluarga besar Shella. Dan juga……Ferdy.
Dia ada disana. Bediri dengan tenangnya dengan mengenakan baju batik khas Jawa Tengah. Wajahnya terlihat lebih putih dari yang ku ingat. Hanya setengah tahun kami tak bertemu dan aku bahkan nyaris tak bisa merasa yakin apakah memang dia seperti ini dari dulu, ataukah dia hanya terlihat lebih….pucat.
Kami bersalaman. Kedua tangan kami bertemu sekilas. Tapi mata Ferdy tidak sekalipun bertemu denganku. Dia dengan sengaja langsung mengalihkan pandangannya pada Ibuku yang langsung mengenalnya. Mereka segera saja terlibat dalam percakapan yang akrab. Aku ingin menariknya. Mencari ruang kosong dimana aku bisa berbicara dengan leluasa dengannya. Tapi aku sadar kalau aku tak mungkin melakukannya tanpa memancing perhatian keluarga kami. Aku memutuskan untuk melakukannya kami.
Dan itu bukanlah hal yang mudah.
Entah bagaimana, Ferdy selalu bisa menghindar dan menyibukkan diri. Selalu saja dia tengah mengerjakan sesuatu, pergi untuk mengurus sesuatu, atau menemani seseorang. Dia tak pernah terlihat diam. Dan sering menghilang. Bahkan hingga kami kembali ke hotel, aku tak bisa mengajaknya bicara. Aku harus menelan kekecewaanku. Nomor hape lama dia yang lamapun sudah tak bisa kuhubungi lagi. Dan karena aku tak bisa menemukan cara lain, akhirnya aku menelepon Shella yang mungkin tahu nomor barunya. Aku dan Shella tidak bertemu muka tadi siang karena dia dalam pingitan. Kami baru bisa bertemu besok, saat pernikahan. Kukatakan padanya bahwa hape Ferdy tak bisa kuhubungi, dan bertanya apakah ada nomor lain yang bisa kugunakan karena ada beberapa hal yang harus ku bicarakan dengannya.
Shella ternyata juga tidak memiliki nomor Ferdy yang baru. Tapi dia memberiku nomor telepon rumahnya. Aku tak menunggu lagi dan langsung menelpon nomor yang Shella berikan.
“Hallo?”
Dan siapa sangka. Ferdy, batinku.
“Kita harus bicara. Ku tunggu di hotel. Dalam satu jam kau tak kesini, aku akan ke rumahmu” kataku singkat dan langsung menutup telepon. Dan selanjutnya, kita tunggu, pikirku kecut.
Memang tak adil rasanya… Selalu saja aku yang bersikap semau sendiri, dan membuat Ferdy harus selalu mengikuti apa yang ku mau. Berulang kali. Tapi mungkin ini terakhir kalinya kami bisa berbicara. Aku ingin menyelesaikan apapun yang tersisa diantara kami berdua. Aku bahkan ingin melakukan apapun yang dia inginkan, sebelum akhirnya aku melangkah ke dalam kehidupan baruku. Dan sedikit saja, aku ingin melakukan sebuah penebusan padanya, atas semua yang pernah ku lakukan padanya. Sebuah penutup bagi kisah kami.
Apapun itu….
Dan saat dia muncul didepan kamarku, mendadak saja tenggorokanku menjadi kering……
Ferdy tak mengatakan apapun. Dia diam disana dan menungguku untuk berbicara. Tatapan matanya dingin dan nyaris tak ku kenali. Aku membutuhkan beberapa saat untuk bisa menguasai diri. Aku lalu sedikit menepi, memberinya sedikit ruang untuk bisa melangkah masuk ke dalam kamar. Dia masuk, masih dengan kediamannya.
“Kau ingin minum?” tanyaku sembari memberinya tanda untuk duduk di kursi yang ada disana.
Ferdy hanya menggelengkan kepalanya dan duduk. Dan kemudian kembali memandangku, menunggu.
“Apa kabar, Fer?” tanyaku dan duduk didepannya.
“Tidak begitu baik. Aku ingin menyakitimu sekarang ini,” jawabnya singkat.
Aku menelan ludah dan mencoba untuk memberinya sebuah senyum tipis. Dia diam tak bereaksi. Aku kembali berdehem dan menggaruk ujung hidungku, mencoba menguasai kegugupanku dan mencari cara untuk membuat percakapan kami menjadi lebih ringan. Lebih baik. Tidak seperti sebuah persidangan seperti ini.
“Ada…..yang ingin kau sampaikan padaku, Fer?”
“Banyak. Tapi tak ada satupun yang bagus. Jadi……………sebaiknya tak usah.”
Jawaban yang lugas. Wajar saja bukan? Aku telah banyak menyakitinya. Jadi aku hanya menarik nafas panjang dan menyiapkan diri, “Aku ingin kau mengeluarkan apapun yang ingin kau katakan padaku. Aku ingin kau melakukan apapun yang ingin kau lakukan padaku. Sekarang. Karena mungkin, ini akan menjadi kesempatan terakhir yang ku miliki. Aku tahu kau kembali ke Negara ini bukan untukku. Tapi lebih untuk Shella. Setelah ini, mungkin aku tak akan bisa menemuimu lagi. Jadi, please…..lakukan. Apapun itu.”
“Aku tak ingin membuatmu tampak buruk di hari pernikahanmu..” tukasnya setelah diam beberapa saat.
Aku bangkit dan berdiri dengan sikap menyerah, “Mungkin aku pantas mendapatkannya?” balasku dengan sebuah senyum miris.
Ferdy bangkit dan mendekat. Dia berhenti persis didepanku dan menatap langsung ke dalam mataku, “Apapun?” tanyanya lagi.
Tanpa sadar aku bergidik memandangnya. Kedua matanya begitu datar, dan nyaris tanpa emosi. Meski aku bisa melihat sedikit riak terluka disana. Dan aku tahu bahwa aku adalah satu-satunya orang yang menjadi penyebabnya. Aku ingin dia merasa sedikit lebih baik. Jadi aku mengangguk, “Apapun..” bisikku.
Detik berikutnya, Ferdy sudah menciumku!
Bibirnya melumat bibirku tanpa ampun. Dan sebelum aku bisa bereaksi, aku mendengar bunyi kain yang sobek saat dia menyentakkan kemeja yang ku kenakan. Kancing-kancingnya berhamburan entah kemana. Aku hanya sanggup mengeluarkan suara terkesiap kecil. Tapi Ferdy tak memberiku banyak waktu untuk berpikir. Dia lalu menarik dan mendorongku jatuh ke tempat tidur dan kemudian menindihku.
Bibirnya kembali melumatku dengan gerakan kasar dan panas. Tak ada kelembutan ataupun romantisme yang selalu dia tunjukkan padaku sebelumnya. Seakan-akan dia ingin meluluh lantakkan aku yang ada dibawahnya. Melumatku hingga halus. Tangannya meremas dadaku dengan kuat sehingga aku mengeluh pelan. Tapi dia beralih untuk kemudian melepas celanaku. Aku merasa seperti diperkosa dan sudah hampir mendorongnya saat kurasakan wajahku basah.
Aku meraih wajah Ferdy dan sedikit menjauhkan wajah kami berdua. Mulanya dia berontak, tapi dengan keras kepala aku menahannya. Saat itulah aku bisa melihat kalau dia menangis tanpa suara. Hanya dadanya yang bergerak naik turun dengan cepat. Dan tak sekalipun dia melihatku. Dia lebih memilih untuk memandang kearah samping. Menghindar.
Rasanya ada yang memilin ulu hatiku dengan begitu kuatnya sehingga aku hampir-hampir tak bisa menarik nafas. Luka seperti apa yang sebenarnya telah kutinggalkan pada orang sebaik ini? pikirku ngeri. Jejak apa yang sebenarnya ku tinggalkan dalam hidupnya? Bagaimana aku bisa membuat seseorang yang dulu begitu mencintaiku, siap berkorban apapun untuuku, menjadi pribadi yang tampak rapuh dan nyaris hancur seperti ini? Manusia seperti apa aku dimatanya?
Dengan dada yang sesak, aku menarik wajah Ferdy untuk lebih mendekat. Dengan lembut aku mencium bibirnya. Mengulumnya dengan gerakan pelan dan penuh kasih. Sebanyak yang bisa kumiliki. Aku ingin membalut sedikit saja luka yang aku pernah berikan padanya. Aku tahu mungkin sudah terlambat dan apapun yang pernah kami miliki sudah tak akan pernah ada lagi. Tapi sedikit saja. Sedikit saja aku ingin memberitahunya, bahwa aku peduli. Aku peduli padanya. Dan tak ada yang bisa aku lakukan lagi untuknya nanti. Karena besok, aku akan menjalani sebuah kehidupan yang berbeda. Dan aku tak akan mungkin melakukan apapun untuknya lagi. Ini salam perpisahanku.
Jadi kali ini, kuberikan semua yang kumiliki padanya. Semua yang tersisa dari diriku yang menyedihkan.
Aku kembali menciumnya dengan lembut. Mengusap, menghisap, mengulum bibirnya dengan bibir dan lidahku. Merasakan setiap inci darinya. Dia mencoba untuk kembali melumatku dengan kasar. Tapi aku menunjukkan padanya, bahwa dia tak perlu melakukan itu. Hari ini dia memiliki aku sepenuhnya. Dia bisa melakukan apapun padaku. Tak perlu terburu-buru. Dengan lembut aku membuka bajunya, tanpa sedikitpun melepas bibir kami yang berpagutan. Mengusapkan telapak tanganku ke dadanya dan menggesekkan bagian depan tubuh kami. Aku segera bangkit dan kemudian melucuti apa yang tersisa ditubuh kami.
Dan kembali meraih wajahnya.
Kusatukan kedua tangan kami diatas kepalanya. Ku tindih tubuhnya dan menekan bagian pinggang kami. Menggesekkannya dengan gerakan memutar. Kutelusuri semua bagian wajahnya dengan bibir dan lidahku. Dan saat aku mencium rahangnya, kurasakan dadanya berguncang pelan. Dan aku bisa mendengar isakan pelan diantara deru nafas kami yang mulai memburu.
Aku bisa merasakan sakit yang ada di dadanya. Aku tahu bahwa aku yang membuat luka itu. Luka yang akan terus memberikan bekas di kehidupannya. Tapi aku tahu, bahwa tak ada lagi yang bisa kutawarkan lagi untuknya. Besok, kami akan menjalani kehidupan yang berbeda. Dan semua yang kami pernah punya, tak akan pernah ada lagi.
Tapi kami masih punya sisa hari ini. Dan aku ingin dia mendapatkan sedikit penebusan dariku. Aku tahu dia layak mendapatkan lebih. Tapi aku tak memiliki hal lain yang bisa sebanding dengan luka yang kutinggalkan padanya. Hanya ini penebusanku. Hanya ini permintaan maafku.
Aku kembali mencium bibirnya. Memagutnya. Menyampaikan semua yang tak pernah bisa ku katakan padanya lewat bibirku. Bahwa aku tahu. Aku peduli. Aku sayang padanya. Tapi bagaimanapun juga, akan ada batas dari apa yang bisa kutawarkan. Dan tak ada lagi nanti yang bisa kuberikan. Dia harus tahu bahwa mulai besok, aku bukan Rizky yang pernah dia kenal. Aku sudah memiliki sebuah tanggung jawab. Aku sudah akan memiliki seseorang yang harus mendapatkan semua yang aku miliki. Dan aku minta maaf padanya. Setulus hati. Karena keegoisanku, pengorbananku pada keluargaku, akan meninggalkan bekas yang tak akan hilang padanya.
Aku hampir tak menyadari kalau pipiku juga basah!
Aku lalu membalikkan tubuhnya. Dan kemudian, dengan perlahan menyatukan tubuh kami.
Ferdy mengeluarkan erangan frustasi yang membuatku berkernyit saat aku memasuki tubuhnya. Erangan itu membuat sebuah baret tak kasat mata didadaku. Rasa nyeri yang kurasakan membuatku menenggelamkan wajahku diantara leher dan bahunya. Aku menciumnya. Menggigit lehernya dengan putus asa. Dan tanpa sadar menggumamkan kata maaf yang samar dan hampir tak terdengar.
Ferdy kembali terisak pelan. Tangannya lalu bergerak meraih tanganku, melingkarkannya dipingganya. Lalu beralih meraih kepalaku. Pinggangnya bergerak maju, hanya meninggalkan ujung bagian tubuhku dalam dirinya. Kemudian dengan keras, dia kembali mendorong tubuhnya mundur sehingga semua bagian tubuhku kembali tenggelam dalam raganya. Aku mengerang dan segera mengetatkan peganganku diperutnya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup aku tahu, bahwa manusia bisa bercinta dalam sebuah tangis keputus asaan yang miris.
Hampir tak ada kata yang kami ucapkan dalam sisa hari itu. Setelah kami berdua mencapai puncak gairah, kami akan berbaring dengan tubuh menyatu dan tangan saling melilit, dalam keheningan. Lalu entah setelah berapa lama, Ferdy sedikit mengangkat tubuhnya, melihatku. Memandangku dengan tatapan yang entah kenapa bisa aku mengerti. Sulit untuk mendeskripsikannya dalam kalimat. Yang jelas ada kesedihan, kesenduan yang hampir-hampir tak tertahankan. Lalu dia akan menciumku. Dan permainan cinta mellow kamipun kembali terulang. Berulang-ulang. Sepanjang malam. Hingga fajar mulai menyapa kembali bumi Yogyakarta.
Pagi itu, saat seberkas cahaya matahari pagi menerobos celah jendela, masuk ke dalam kamar, aku tahu bahwa sudah tiba waktunya. Waktu untuk mengucapkan selamat tinggal padanya. Namun sebelum aku mengatakannya, Ferdy telah bangkit, melepaskan dirinya dari pelukanku. Tanpa berbicara dia mengambil bajunya yang berserakan.
Aku diam memandangnya yag bergerak dalam keremangan kamar. Kamar yang kini pekat akan bau bekas gairah, keringan dan mani kami. Dia telah menemukan celana dalamnya.
“Kita mandi dulu,” kataku. Aku bangkit, meraih tangannya yang sudah setengah jalan. Ferdy terlihat sudah hendak membantahku. Tapi dia diam saat pandangan kami bertemu. Dia kembali menjatuhkan bajunya, dan kemudian membiarkanku membawanya ke kamar mandi. Aku menuntunnya ke bawah shower dan menghidupkannya. Air yang mengalir dan jatuh diatas kepala kami hangat dan menenangkan.
Kami berdiri diam dengan pandangan saling menatap di bawah siraman air itu. Mencoba berkomunikasi dengan pandangan mata kami. Namun hanya selang beberapa saat kemudian, mata Ferdy mulai memerah dan akupun tahu. Air yang mengalir dari wajahnya kini telah bercampur dengan air mata. Tangannya kemudian terangkat dan mengusap sudut mataku yang juga telah perih tanpa kusadari.
“Kau sudah siap ?” tanya Ferdy untuk pertama kalinya. Suaranya terdengar serak dan lelah.
Aku menggeleng, membiarkan suara air yang mengalir mengisi keheningan diantara kami, selagi aku mengumpulkan suaraku, “Aku nyaris tak akan pernah siap. Kau tahu itu. Tapi………..sudah tak ada lagi ikatan yang menahanku.”
Ironis. Saat kalimat itu terlontar, aku baru menyadarinya. Memang sudah tak ada lagi yang ingin membuatku bertahan di dunia abu-abu ini. Aku mahfum dan yakin kalau Ferdy, tak akan pernah menungguku lagi. Dia sudah melangkah maju dengan luka yang kuberikan. Tak ada lagi ruang bagiku dalam kehidupannya. Aku juga tahu bahwa Regha, telah menjauh dari hidupku. Dan semua itu seakan-akan menjadi pengikat terakhir yang menghubungkanku dengan dunia abu-abu ini. Kedua ikatan itu baru kusadari kini, telah terlepas dan tak akan pernah bisa ku raih lagi. Dan aku tak ingin memiliki ikatan apapun lagi. Gelasku……telah penuh.
“Jadi Regha meninggalkanmu?” tanyanya lagi.
“Kau tahu kalau aku tak pernah memilikinya. Aku…………hanya memiliki ilusi sepihak dengannya.”
“Aku tahu,” ujar Ferdy dengan senyum sedih, “Aku sudah berusaha menemanimu. Menjadi jangkarmu hingga kau menyadarinya. Tapi……..pada akhirnya aku tak tahan. Terlalu menyakitkan untuk terus berada di sisimu tanpa kau menyadarinya. Aku lelah…”
“Aku tak bisa menyalahkanmu. Aku saja yang terlalu bodoh untuk menyadarinya, Fer.”
“Aku ingin membencimu,” katanya lagi. Aku mengangguk. Paham betapa aku sudah begitu melukainya. Wajar kalau dia ingin marah dan membenciku. Aku tak menyalahkannya. Aku akan menerima semua luapan perasaannya itu dengan senang hati. Tapi seperti biasanya, Ferdy terlalu sayang padaku.
“Aku mungkin akan merasa lebih baik kalau kau melakukannya. Tapi……………..kau justru membuatku merasa lebih parah dari sebelumnya. Kau justru mengasihaniku kan?”
“Kenapa menurutmu?”
“Karena aku melarikan diri dengan pernikahan ini. Berkompromi dengan apa yang ku miliki. Meraih remah yang mungkin bisa membuatku bertahan hidup…”
“Kau bisa pergi dari Negara ini…”
Aku menggelengkan kepalaku, “Kau tahu aku tak bisa. Orang tuaku satu-satunya alasan kenapa aku bertahan dan melakukan semua ini…”
“Dan saat mereka sudah tak ada di dunia ini lagi…”
“Aku akan bertahan sampai akhirnya hidup menggerogotiku. Mungkin aku akan bisa hidup hingga cucuku lahir.”
“Atau kau mati sengsara karena menginginkan hal yang tak pernah kau miliki lagi…”
Aku diam dan kemudian mengangkat bahu, “Mungkin saja…”
“Kau tak takut? Bagaimana kalau nantinya, setelah orang tuamu meninggal, setelah kewajibanmu telah terlaksana? Menurutmu kau tidak berakhir menjadi seorang lelaki yang getir karena terjebak dalam kehidupan yang bukan pilihanmu? Mengingat ke belakang akan masa-masa dimana kau masih bisa merubah kehidupanmu, seperti yang kau inginkan?”
Aku menunduk dan menyatukan kening kami berdua, “Aku mungkin akan seperti itu. Aku tahu itu,” bisikku, “Aku mungkin akan berakhir menjadi seorang lelaki paroh baya yang getir, sengsara dan menyedihkan. Terjebak dalam lingkaran kehidupan yang tak kuinginkan. Terikat dalam kewajiban dan beban pada istri dan anakku nantinya. Lalu mencoba menemukan kembali semangat hidupku dengan memelihara remaja lelaki belasan tahun dibelakang keluargaku. Menyirami mereka dengan uang. Berharap mereka akan tetap di sisiku. Membuatku merasa sedikit hidup. Dan tetap menganggapku menarik. Bukannya bandot tua yang menyedihkan…”
Ferdy mengerang pelan dan kembali terisak pelan.
“Kalau pada akhirnya aku menjadi orang seperti itu, dan entah bagaimana kemudian hidup mempertemukan kita lagi, berpura-puralah tak mengenalku. Palingkan wajahmu.”
“Ky…”
“Atau kau bisa membunuhku dan mengakhiri penderitaanku. Aku tak akan menyalahkanmu. Dan akan kupastikan sebelumnya, tak akan ada yang menuntutmu. Hal itu akan..”
Ferdy sudah mencium bibirku…..
Dia lalu merangkum wajahku sementara wajahnya sendiri berkernyit seakan-akan menahan sakit yang tak tertahankan, “Berjanjilah kau akan bertahan semampumu..” pintanya sedikit tersendat.
“Fer..”
“Demi Tuhan, bersumpahlah kalau kau tak akan berakhir seperti itu!”
Aku hanya diam menatap langsung ke bola matanya untuk beberapa lama, “Kenapa kau terlalu baik padaku? Bukannya seharusnya kau menyumpahiku agar aku benar-benar menjadi seperti itu?” bisikku lemah.
“Karena nantinya, kau tidak menjalani hidupmu sendiri. Shella tak boleh terkena imbas dari keputusanmu. Berjanjilah kau akan berusaha hingga batas kemampuanmu. Demi shella dan mungkin, anakmu nantinya..”
Aku mengangguk pelan, “Aku akan berusaha..” bisikku dan kembali menciumnya.
Kami kembali bercinta di pagi itu, dibawah siraman air yang mengalir. Mencoba melarutkan sisa dari kehidupan lamaku bersama alirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar