RIZKY
Keberadaan seseorang
akan terasa maknanya tatkala dia telah menghilang dari hidup kita. Aku tak bisa
mengatakan efek apa yang kurasakan akibat kehilangan Rizky. Yang jelas ada
sebuah celah yang terus menganga, dan tak ku ketahui, bagaimana menambalnya.
Bukan hanya aku yang merasakan kehilangan itu. Seminggu setelah kepergian Ferdy,
Shella meneleponku dengan menangis. Mengatakan diantara isakannya bahwa Ferdy
telah berangkat ke Jerman, tanpa mengatakan apapun padanya.
Tak ada yang bisa
kukatakan padanya selain bahwa dia harus bersabar dan merelakannya. Sedikit
menyakitkan bagaimana aku yang harus menjilati lukaku dan harus mengobati luka
Shella, sementara yang menjadi sumbernya adalah orang yang sama.
Tapi hidup terus
berjalan.
Tak peduli bagaimana
luka menggerus kita, roda hidup tidak akan berhenti berputar. Dan kita akan
dipaksa untuk terus menjalaninya. Tak peduli bagaimana susahnya kita harus
bangkit dari tempat tidur dan menjalankan apa yang menjadi kewajiban kita.
Menyeret kaki kita untuk berjalan, selangkah demi selangkah. Semua di
sekeliling kita akan terus berjalan dan berubah mengikuti aliran waktu. Memaksa
kita untuk berjalan dengannya.
Dan itulah yang aku
lakukan.
Aku terus menjalani
hidupku. Menelan bulat-bulat semua pahit getirnya. Menjalani hari demi hari, menyelesaikan
semua tugas dan kewajiban, berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Meyakinkan
diri sendiri bahwa peristiwa kemarin hanyalah sebuah episode kelam yang akan
segera terlupakan. Bahwa akan ada episode baru yang sudah menanti didepanku.
Hubunganku dan
Shella berkembang dengan sendirinya. Kami dipersatukan oleh duka kami akan
kepergian Ferdy. Telepon berjam-jam, saling memberikan pesan untuk mengangkat
semangat dan saling mengingatkan, bahwa hidup kami, tidak berhenti disini.
Kedekatan kami terus berkembang tanpa kami sadari.
Bahka keputusan
Shella untuk akhirnya meneruskan kuliahnya di Bandung, terasa normal dan sudah
sewajarnya. Aku yang membantunya mencari kontrakan, mengantar ke kampus dan
menyelesaikan keperluan lainnya. Setiap kali memiliki waktu luang, kami
menghabiskannya bersama. Berdua kami saling mengobati luka kami. Tanpa sadar
kami mulai terbiasa dengan kehadiran masing-masing diri kami. Secara alami,
kami tahu kapan harus berada disisi salah satunya. Dengan sendirinya kami
membiasakan diri dan mengikuti ritme masing-masing.
Aku membiarkan
semuanya. Aku tak melawannya.
Dan ketika kami
berdua secara tak sengaja bertemu dengan Ibu dan Ayah di suatu mall, aku
mengenalkan mereka dengan biasa. Aku bisa melihat bagaiamana Ibu langsung
menyukai Shella. Beliau tak pernah berhenti mengajaknya bicara. Ayah tak
mengatakan apapun. Tapi saat kami makan malam bersama, senyum lebar tak pernah
lepas dari wajahnya. Dan dia, melihatku dengan tatapan bangga.
Aku tahu apa yang
ada dalam benak mereka.
Karena itu,
kuutarakan niatku pada Shella untuk membina sebuah hubungan khusus. Malam itu,
tak ada yang Shella katakana. Dia hanya menundukkan kepala, terisak pelan dan
membiarkanku memeluknya. Tak perlu ada kalimat yang harus kami ucapkan lagi.
Masing-masing dari kami sudah mengerti.
3 bulan kemudian,
aku melamarnya.
Saat aku
mengutarakannya pada Ibu, beliau langsung memekik gembira dan segera memelukku
dan menangis dengan kerasnya. Berkali-kali beliau mengucapkan syukur kepada
Tuhan atas keputusanku. Ayah tak mengatakan apapun. Beliau hanya tersenyum dan
menepuk bahuku.
Setidaknya ada lebih
dari satu orang yang akan bahagia sekarang, pikirku.
Persiapan segera
dilakukan. Ibu segera heboh mempersiapkan semua keperluan yang akan dibawa ke
Yogyakarta, menemui calon besannya. Melamar Shella secara resmi untukku. Aku
membiarkan beliau yang seolah-olah memiliki tenaga ekstra. Tak mengenal lelah
bolak balik keluar dan berbelanja. Aku hanya melihatnya dan menganggukkan
kepala. Setuju dengan apapun yang beliau putuskan. Aku bahkan sedikit menikmati
bagaimana paniknya beliau saat ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Belum pernah sekalipun aku melihat Ibu begitu bersemangat dan penuh gairah
hidup.
Acara lamaran kami
berlangsung dengan lancar. Orang tua Shella menerima lamaran kami dengan
gembira. Aku memenuhi harapan mereka. Dan segera saja mereka menentukan tanggal
pernikahan yang akan dilakukan dalam 3 bulan kedepan. Dan berhubung Shella
masih berkuliah di Bandung, mereka menitipkan shella dan berpesan agar kami berdua
harus bisa menjaga diri. Bahwa kami harus bersabar karena pernikahan kami hanya
3 bulan lagi.
Aku hanya mengangguk
dan berjanji akan menjaga Shella untuk mereka.
Kini, malam minggu
aku punya jadwal tetap bersamanya. Meski kebanyakan kami menghabiskan waktu
bersama Ayah dan Ibu dirumah. Ibu dengan telatennya mengajarkan berbagai macam
hal pada Shella. Seakan-akan dia memang mempersiapkan putrinya sendiri untuk
menjadi istri yang baik. Semua pelajaran memasak pertama yang Shella ajari
adalah semua masakan yang menjadi favoritku.
Aku sudah mengatakan
pada Shella kalau dia santai saja dalam menghadapi Ibu. Tapi Shella ternyata
merasa cocok dengan beliau. Dengan serius dia sibuk berdua dengan Ibu, tiap
kali kami menghabiskan malam minggu di rumah. Dia juga tak sungkan untuk datang
membantu Ibu di wwarung makan. Hanya dalam waktu sebentar saja, keduanya hampir
tak terpisahkan.
Dan kejutan datang
sekitar satu bulan setelah pertunangan kami. Waktu itu seperti biasa, Shella
bereksperimen dan berlatih dengan Ibu didapur.
“Apa yang mereka
buat kali ini, Ky?” tanya Ayah yang muncul dari kamarnya.
“Nggak tahu, Yah.
Katanya kudapan buat temen kita nonton tv malam ini,” sahutku yang sedang duduk
diruang tengah menonton.
Ayah terkekeh,
“Entah bagaimana dengan kamu, tapi….rasa-rasanya, sejak Shella ada, semua
celana Ayah jadi makin sempit. Tiap hari kali ada Shella, ibumu itu adaaaa saja
yang mau dimasak.”
Aku tersenyum. Ingat
bagaimana minggu kemarin, kami dipaksa harus menghabiskan 3 gulung roti lapis
yang mereka buat. Padahal sebelumnya kami sudah makan malam dengan soto ayam
special yang mereka persiapkan.
Ayah yang duduk tak
jauh dariku menelengkan kepalanya saat mendengar tawa Ibu yang terdengar dari
dapur, “Sudah lama Ayah tak mendengar tawa seperti itu dari Ibumu. Ayah
berterimakasih padamu. Ayah tahu kalau mungkin tak mudah bagimu untuk
melakukannya?”
Tubuhku mendadak
kaku. Aku hanya mampu berbalik untuk menatap Ayah yang duduk santai di sebelah
kananku, “Maksudnya?”
“Ayah tahu kalau ada
sesuatu yang mendorongmu untuk melakukan ini. Kau………….yang tak pernah membawa
seorangpun ke rumah, tiba-tiba saja hendak menikah dalam hitungan kurang dari
setahun? Pasti ada cerita disana. Dan Ayah ykin, kau mungkin tak ingin
membaginya dengan kami, keluargamu. Tapi………apapun itu, Ayah senang kau
melakukannya. Kalau Ayah boleh mengatakannya……..kau sudah benar melakukan hal
ini. Jangan ragu untuk terus maju melangkah. Kadang kita harus menelan pil
pahit kehidupan untuk tumbuh sehat,” kata beliau dengan mata yang kemudian
beralih ke televisi.
Aku sudah hendak
bertanya namun urung saat mendengar suara ponsel Shella bordering. Dan kemudian
hening yang mencekam terasa, sesaat setelah Shella menjawabnya. Dia muncul dari
arah dapur dengan mata yang melebar, kaget. Secara naluriah, aku berdiri karena
merasakan emosinya.
“Mas Ferdy?” tanya
Shella dengan kaget.
Aku memberinya
isyarat untuk mengikutiku keluar ke teras, sambil mencoba tidak mengacuhkan
tatapan penuh tanya Ayah. Ku tutup pintu rumah begitu Shella keluar, agar
pembicaraan kami tidak terdengar oleh Ayah ataupun Ibu. Aku meraih ponsel
Shella dan menekan tombol speaker.
“Selamat ya, Shel
atas pertunangannya. Maaf terlambat. Lagi sibuk dengan sekolah,” terdengar
suara Ferdy yang lama tak kudengar. Kurasakan sebuah remasan di dadaku saat suara
itu menyapa telingaku. Suara dari masa lalu yang pernah membayangiku, meski
kini aku telah menguburnya dalam. Berpura-pura bahwa dia menjadi sebuah episode
yang telah berlalu. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi menahan diri. Jelas
Ferdy telah berusaha keras untuk bisa melakukan ini. Jadi aku member tanda pada
Shella untuk menjawabnya.
”Makasih ya, Mas.
Mas Ferdy apa kabar? Sehat?”
Ferdy tertawa,
“Sehat, Shell.Cuman agak demam dari kemaren. Musin dingin disini gila banget.
Gimana persiapan pernikahannya? Sudah beres semua?”
“Hampir, Mas. Sudah
60% sih. Ibu Indri yang paling heboh mempersiapkannya, Mas. Mas Ferdy akan
pulang kan?”
“Akan kuusahakan,
Shel. Kalau bisa aku pasti datang. Tanggalnya masih belum berubah kan?”
“Enggaklah, Mas.
Masih sama.”
Ferdy tertawa,
“Kalau begitu beres. Aku akan mencoba membersihkan jadwalku hari itu. Shella
aja yang harus mempersiapkan diri. Jangan banyak begadang lho. Kuliahnya
bagaimana, Shel? Kuliah di Bandung seru, kan?”
“Seru, Mas. Disini
suasana rame. Lagipula ada ayah dan Ibu. Jadi Shella ndak kesepian.”
“Itulah enaknya
kalau dekat mertua. Rizky, kamu apa kabar?”
Pertanyaan itu
mengejutkan kami berdua. Ferdy bertanya dengan nada seolah-olah dia sudah tahu
kalau sedari tadi, aku bersama dengan Shella. Aku meraih ponsel Shella, “Shella
ke belakang saja dulu sama Ibu ya? Biar Mas yang ngomong dengannya,” ujarku.
Shella tak menjawab,
hanya mengangguk dan segera berlalu meski matanya memncarkan keraguan. Salah
satu kualitas yang dia miliki adalah dia sangat menghormati pasangannya.
“Sehat, Fer?”
tanyaku dengan suara kubuat tenang.
“Tidak. Aku masih
menahan marah dan ingin memakimu dari tadi,” jawab Ferdy dengan nada yang jauh
lebih santai, “Tapi……….kurasa itu tidak akan menimbulkan efek bagimu.”
“Maaf, Fer?”
“Untuk apa Ky?
Menyakitiku? Menikahi mantan tunanganku? Yang mana?”
“…………..semua…”
jawabku dengan nada tercekat, “Kau tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan
sejak kejadian di rumah sakit waktu itu.”
“Menjelaskan apa,
Ky? Bukannya sudah jelas? Aku hanya tak ingin membahasnya karena tahu apa yang
akan kau katakan. Lagipula, kalau dipikir-pikir, aku juga yang salah. Aku yang
selalu jadi pihak yang mengemis perhatian darimu. Aku selalu jadi pihak yang
siap menerima sisa remah darimu…”
“Tapi tidak waktu
itu…”
“Karena aku sudah
terlampau sakit, Ky. Aku tak bisa terus berada disana. Tidak saat kau memintaku
untuk jadi pacarku, dan tidak mengakuinya dihadapan Regha beberapa jam
kemudian…”
“Keluarkan semua,
Fer…” pintaku. Aku benar-benar ingin dia mengungkapkan semuanya. Ferdy tertawa
pahit.
“Untuk apa? Agar kau
merasa kalau kita impas setelah aku mencaci makimu?”
“Apa itu akan mampu
menyamakan keadaan?”
“Menurutmu? Coba kau
katakan padaku apa yang rasakan kalau kau berada di pihakku? Setelah semua yang
terjadi diantara kita, beberapa bulan kemudian aku menerima berita akan
pertunanganmu bersama Shella. Dan kemudian dilanjut dengan undangan pernikahan.
Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau katakan, Ky?”
“……….entahlah,”
jawabku akhirnya.
“Tepat. Aku juga tak
bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Aku bahkan tak tahu menggolongkanmu
sebagai manusia apa?”
“Aku juga membenci
diriku sendiri….” Bisikku.
“Oh please, aku ragu
kalau kau memiliki kepedulian akan orang lain selain dirimu sendiri. Kita
berdua tahu itu. Aku bahkan menerima surat undanganmu yang indah itu…”
“Kau tak akan
datang….” Kataku lemah.
“Oh, aku pasti
datang. Aku akan memberimu kesempatan terakhir untuk memnyakitiku. Percayalah,
aku pasti datang agar kau bisa melihatku terluka lagi. Kado terakhirku
untukmu..”
“Aku tak pernah
bermaksud menyakitimu, Fer.”
“Simpan kalimat itu
untuk dirimu sendiri, Ky. Kita berdua sama-sama tahu kalau hal itu hanya
basa-basi. Yang aku khawatirkan adalah Shella. Apa yang dia ketahui tentangmu?
Aku tak sanggup membayangkannya kalau akan tetap berkelakuan sama setelah
kalian menikah..”
“Fer…..setelah aku
menikah, aku tak akan pernah menoleh lagi ke dalam dunia abu-abu. Aku sudah
berjanji pada diriku sendiri akan hal itu. Bahkan sebelum aku bertemu
denganmu..”
Diam sejenak…
“Semoga saja itu
benar.”
“Itu benar!”
“Kalau begitu
maafkan aku karena tidak mempercayaimu. Masalahnya aku memiliki sedikit masalah
untuk mempercayaimu setelah apa yang terjadi antara kita,” sergah Ferdy dengan
nada sinis, “Sudahlah. Aku hanya ingin mengucapkan selamat pada Shella. Tak
kusangka kalau dia ada di rumahmu. Sampaikan salamku padanya.”
‘Fer, aku
benar-benar minta maaf atas semu..”
Dia telah menutup
teleponnya. Aku diam disana mendengarkan nada statis yang terdengar dari
seberang sana. Dan kemudian hening…
Ya Tuhan…. Kenapa
seakan-akan aku harus terus menerus menyakitinya? Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku lalu mencoba melihat nomor Ferdy. Namun langsung lemas saat kulihat dia
memanggil dengan menyembunyikan nomornya. Masih kuingat bagaimana dia berkata
tadi, bahwa dia akan datang ke pernikahanku. Bahwa dia akan memberiku
kesempatan untuk menyakitinya, terakhir kali.
“Bagaimana aku bisa
menebus kesalahanku, Fer?” bisikku lirih dan berjalan gontai untuk kembali
masuk ke dalam. Shella menyambutku dengan tatapan khawatir. Aku tersenyum
menenangkannya.
“Ada salam dari
Ferdy. Dia bilang dia akan memastikan kedatangannya,” kataku.
Shella tersenyum
dengan lega dan kembali ceria, mengobrol dengan Ibu. Dia tak perlu tahu,
batinku. Tak perlu menambah jumlah orang yang telah terluka. Biar saja hanya
aku dan Ferdy yang memiliki bekas luka masa lalu kami. Aku tak akan pernah
menoleh ke belakang lagi. Hidupku akan berjalan ke depan. Bersama dia, istriku.
Dan memang itulah
yang terjadi….
Aku dan Shella
menikah!
Pesta resepsi
pernikahan kami yang pertama dilaksanakan di Yogyakarta. Di kediaman keluarga
Shella yang cukup luas. Rombongan keluargaku tiba disana pada siang, satu hari
sebelumnya. Kami disambut oleh deretan keluarga besar Shella. Dan juga……Ferdy.
Dia ada disana. Bediri
dengan tenangnya dengan mengenakan baju batik khas Jawa Tengah. Wajahnya
terlihat lebih putih dari yang ku ingat. Hanya setengah tahun kami tak bertemu
dan aku bahkan nyaris tak bisa merasa yakin apakah memang dia seperti ini dari
dulu, ataukah dia hanya terlihat lebih….pucat.
Kami bersalaman.
Kedua tangan kami bertemu sekilas. Tapi mata Ferdy tidak sekalipun bertemu
denganku. Dia dengan sengaja langsung mengalihkan pandangannya pada Ibuku yang
langsung mengenalnya. Mereka segera saja terlibat dalam percakapan yang akrab.
Aku ingin menariknya. Mencari ruang kosong dimana aku bisa berbicara dengan
leluasa dengannya. Tapi aku sadar kalau aku tak mungkin melakukannya tanpa
memancing perhatian keluarga kami. Aku memutuskan untuk melakukannya kami.
Dan itu bukanlah hal
yang mudah.
Entah bagaimana,
Ferdy selalu bisa menghindar dan menyibukkan diri. Selalu saja dia tengah
mengerjakan sesuatu, pergi untuk mengurus sesuatu, atau menemani seseorang. Dia
tak pernah terlihat diam. Dan sering menghilang. Bahkan hingga kami kembali ke
hotel, aku tak bisa mengajaknya bicara. Aku harus menelan kekecewaanku. Nomor
hape lama dia yang lamapun sudah tak bisa kuhubungi lagi. Dan karena aku tak
bisa menemukan cara lain, akhirnya aku menelepon Shella yang mungkin tahu nomor
barunya. Aku dan Shella tidak bertemu muka tadi siang karena dia dalam
pingitan. Kami baru bisa bertemu besok, saat pernikahan. Kukatakan padanya
bahwa hape Ferdy tak bisa kuhubungi, dan bertanya apakah ada nomor lain yang
bisa kugunakan karena ada beberapa hal yang harus ku bicarakan dengannya.
Shella ternyata juga
tidak memiliki nomor Ferdy yang baru. Tapi dia memberiku nomor telepon
rumahnya. Aku tak menunggu lagi dan langsung menelpon nomor yang Shella
berikan.
“Hallo?”
Dan siapa sangka.
Ferdy, batinku.
“Kita harus bicara.
Ku tunggu di hotel. Dalam satu jam kau tak kesini, aku akan ke rumahmu” kataku
singkat dan langsung menutup telepon. Dan selanjutnya, kita tunggu, pikirku
kecut.
Memang tak adil
rasanya… Selalu saja aku yang bersikap semau sendiri, dan membuat Ferdy harus
selalu mengikuti apa yang ku mau. Berulang kali. Tapi mungkin ini terakhir
kalinya kami bisa berbicara. Aku ingin menyelesaikan apapun yang tersisa
diantara kami berdua. Aku bahkan ingin melakukan apapun yang dia inginkan,
sebelum akhirnya aku melangkah ke dalam kehidupan baruku. Dan sedikit saja, aku
ingin melakukan sebuah penebusan padanya, atas semua yang pernah ku lakukan
padanya. Sebuah penutup bagi kisah kami.
Apapun itu….
Dan saat dia muncul
didepan kamarku, mendadak saja tenggorokanku menjadi kering……
Ferdy tak mengatakan
apapun. Dia diam disana dan menungguku untuk berbicara. Tatapan matanya dingin
dan nyaris tak ku kenali. Aku membutuhkan beberapa saat untuk bisa menguasai
diri. Aku lalu sedikit menepi, memberinya sedikit ruang untuk bisa melangkah
masuk ke dalam kamar. Dia masuk, masih dengan kediamannya.
“Kau ingin minum?”
tanyaku sembari memberinya tanda untuk duduk di kursi yang ada disana.
Ferdy hanya
menggelengkan kepalanya dan duduk. Dan kemudian kembali memandangku, menunggu.
“Apa kabar, Fer?”
tanyaku dan duduk didepannya.
“Tidak begitu baik.
Aku ingin menyakitimu sekarang ini,” jawabnya singkat.
Aku menelan ludah
dan mencoba untuk memberinya sebuah senyum tipis. Dia diam tak bereaksi. Aku
kembali berdehem dan menggaruk ujung hidungku, mencoba menguasai kegugupanku
dan mencari cara untuk membuat percakapan kami menjadi lebih ringan. Lebih
baik. Tidak seperti sebuah persidangan seperti ini.
“Ada…..yang ingin
kau sampaikan padaku, Fer?”
“Banyak. Tapi tak
ada satupun yang bagus. Jadi……………sebaiknya tak usah.”
Jawaban yang lugas.
Wajar saja bukan? Aku telah banyak menyakitinya. Jadi aku hanya menarik nafas
panjang dan menyiapkan diri, “Aku ingin kau mengeluarkan apapun yang ingin kau
katakan padaku. Aku ingin kau melakukan apapun yang ingin kau lakukan padaku.
Sekarang. Karena mungkin, ini akan menjadi kesempatan terakhir yang ku miliki.
Aku tahu kau kembali ke Negara ini bukan untukku. Tapi lebih untuk Shella.
Setelah ini, mungkin aku tak akan bisa menemuimu lagi. Jadi, please…..lakukan.
Apapun itu.”
“Aku tak ingin
membuatmu tampak buruk di hari pernikahanmu..” tukasnya setelah diam beberapa
saat.
Aku bangkit dan
berdiri dengan sikap menyerah, “Mungkin aku pantas mendapatkannya?” balasku
dengan sebuah senyum miris.
Ferdy bangkit dan
mendekat. Dia berhenti persis didepanku dan menatap langsung ke dalam mataku,
“Apapun?” tanyanya lagi.
Tanpa sadar aku
bergidik memandangnya. Kedua matanya begitu datar, dan nyaris tanpa emosi.
Meski aku bisa melihat sedikit riak terluka disana. Dan aku tahu bahwa aku
adalah satu-satunya orang yang menjadi penyebabnya. Aku ingin dia merasa
sedikit lebih baik. Jadi aku mengangguk, “Apapun..” bisikku.
Detik berikutnya,
Ferdy sudah menciumku!
Bibirnya melumat
bibirku tanpa ampun. Dan sebelum aku bisa bereaksi, aku mendengar bunyi kain
yang sobek saat dia menyentakkan kemeja yang ku kenakan. Kancing-kancingnya
berhamburan entah kemana. Aku hanya sanggup mengeluarkan suara terkesiap kecil.
Tapi Ferdy tak memberiku banyak waktu untuk berpikir. Dia lalu menarik dan
mendorongku jatuh ke tempat tidur dan kemudian menindihku.
Bibirnya kembali
melumatku dengan gerakan kasar dan panas. Tak ada kelembutan ataupun romantisme
yang selalu dia tunjukkan padaku sebelumnya. Seakan-akan dia ingin meluluh
lantakkan aku yang ada dibawahnya. Melumatku hingga halus. Tangannya meremas
dadaku dengan kuat sehingga aku mengeluh pelan. Tapi dia beralih untuk kemudian
melepas celanaku. Aku merasa seperti diperkosa dan sudah hampir mendorongnya
saat kurasakan wajahku basah.
Aku meraih wajah
Ferdy dan sedikit menjauhkan wajah kami berdua. Mulanya dia berontak, tapi
dengan keras kepala aku menahannya. Saat itulah aku bisa melihat kalau dia
menangis tanpa suara. Hanya dadanya yang bergerak naik turun dengan cepat. Dan
tak sekalipun dia melihatku. Dia lebih memilih untuk memandang kearah samping.
Menghindar.
Rasanya ada yang
memilin ulu hatiku dengan begitu kuatnya sehingga aku hampir-hampir tak bisa
menarik nafas. Luka seperti apa yang sebenarnya telah kutinggalkan pada orang
sebaik ini? pikirku ngeri. Jejak apa yang sebenarnya ku tinggalkan dalam
hidupnya? Bagaimana aku bisa membuat seseorang yang dulu begitu mencintaiku,
siap berkorban apapun untuuku, menjadi pribadi yang tampak rapuh dan nyaris
hancur seperti ini? Manusia seperti apa aku dimatanya?
Dengan dada yang
sesak, aku menarik wajah Ferdy untuk lebih mendekat. Dengan lembut aku mencium
bibirnya. Mengulumnya dengan gerakan pelan dan penuh kasih. Sebanyak yang bisa
kumiliki. Aku ingin membalut sedikit saja luka yang aku pernah berikan padanya.
Aku tahu mungkin sudah terlambat dan apapun yang pernah kami miliki sudah tak
akan pernah ada lagi. Tapi sedikit saja. Sedikit saja aku ingin memberitahunya,
bahwa aku peduli. Aku peduli padanya. Dan tak ada yang bisa aku lakukan lagi
untuknya nanti. Karena besok, aku akan menjalani sebuah kehidupan yang berbeda.
Dan aku tak akan mungkin melakukan apapun untuknya lagi. Ini salam
perpisahanku.
Jadi kali ini,
kuberikan semua yang kumiliki padanya. Semua yang tersisa dari diriku yang menyedihkan.
Aku kembali
menciumnya dengan lembut. Mengusap, menghisap, mengulum bibirnya dengan bibir
dan lidahku. Merasakan setiap inci darinya. Dia mencoba untuk kembali melumatku
dengan kasar. Tapi aku menunjukkan padanya, bahwa dia tak perlu melakukan itu.
Hari ini dia memiliki aku sepenuhnya. Dia bisa melakukan apapun padaku. Tak
perlu terburu-buru. Dengan lembut aku membuka bajunya, tanpa sedikitpun melepas
bibir kami yang berpagutan. Mengusapkan telapak tanganku ke dadanya dan
menggesekkan bagian depan tubuh kami. Aku segera bangkit dan kemudian melucuti
apa yang tersisa ditubuh kami.
Dan kembali meraih
wajahnya.
Kusatukan kedua
tangan kami diatas kepalanya. Ku tindih tubuhnya dan menekan bagian pinggang
kami. Menggesekkannya dengan gerakan memutar. Kutelusuri semua bagian wajahnya
dengan bibir dan lidahku. Dan saat aku mencium rahangnya, kurasakan dadanya
berguncang pelan. Dan aku bisa mendengar isakan pelan diantara deru nafas kami
yang mulai memburu.
Aku bisa merasakan
sakit yang ada di dadanya. Aku tahu bahwa aku yang membuat luka itu. Luka yang
akan terus memberikan bekas di kehidupannya. Tapi aku tahu, bahwa tak ada lagi
yang bisa kutawarkan lagi untuknya. Besok, kami akan menjalani kehidupan yang
berbeda. Dan semua yang kami pernah punya, tak akan pernah ada lagi.
Tapi kami masih
punya sisa hari ini. Dan aku ingin dia mendapatkan sedikit penebusan dariku.
Aku tahu dia layak mendapatkan lebih. Tapi aku tak memiliki hal lain yang bisa
sebanding dengan luka yang kutinggalkan padanya. Hanya ini penebusanku. Hanya
ini permintaan maafku.
Aku kembali mencium
bibirnya. Memagutnya. Menyampaikan semua yang tak pernah bisa ku katakan
padanya lewat bibirku. Bahwa aku tahu. Aku peduli. Aku sayang padanya. Tapi
bagaimanapun juga, akan ada batas dari apa yang bisa kutawarkan. Dan tak ada
lagi nanti yang bisa kuberikan. Dia harus tahu bahwa mulai besok, aku bukan
Rizky yang pernah dia kenal. Aku sudah memiliki sebuah tanggung jawab. Aku
sudah akan memiliki seseorang yang harus mendapatkan semua yang aku miliki. Dan
aku minta maaf padanya. Setulus hati. Karena keegoisanku, pengorbananku pada
keluargaku, akan meninggalkan bekas yang tak akan hilang padanya.
Aku hampir tak
menyadari kalau pipiku juga basah!
Aku lalu membalikkan
tubuhnya. Dan kemudian, dengan perlahan menyatukan tubuh kami.
Ferdy mengeluarkan
erangan frustasi yang membuatku berkernyit saat aku memasuki tubuhnya. Erangan
itu membuat sebuah baret tak kasat mata didadaku. Rasa nyeri yang kurasakan
membuatku menenggelamkan wajahku diantara leher dan bahunya. Aku menciumnya.
Menggigit lehernya dengan putus asa. Dan tanpa sadar menggumamkan kata maaf
yang samar dan hampir tak terdengar.
Ferdy kembali
terisak pelan. Tangannya lalu bergerak meraih tanganku, melingkarkannya
dipingganya. Lalu beralih meraih kepalaku. Pinggangnya bergerak maju, hanya
meninggalkan ujung bagian tubuhku dalam dirinya. Kemudian dengan keras, dia
kembali mendorong tubuhnya mundur sehingga semua bagian tubuhku kembali
tenggelam dalam raganya. Aku mengerang dan segera mengetatkan peganganku
diperutnya.
Dan untuk pertama
kalinya dalam hidup aku tahu, bahwa manusia bisa bercinta dalam sebuah tangis
keputus asaan yang miris.
Hampir tak ada kata
yang kami ucapkan dalam sisa hari itu. Setelah kami berdua mencapai puncak
gairah, kami akan berbaring dengan tubuh menyatu dan tangan saling melilit,
dalam keheningan. Lalu entah setelah berapa lama, Ferdy sedikit mengangkat
tubuhnya, melihatku. Memandangku dengan tatapan yang entah kenapa bisa aku
mengerti. Sulit untuk mendeskripsikannya dalam kalimat. Yang jelas ada
kesedihan, kesenduan yang hampir-hampir tak tertahankan. Lalu dia akan
menciumku. Dan permainan cinta mellow kamipun kembali terulang. Berulang-ulang.
Sepanjang malam. Hingga fajar mulai menyapa kembali bumi Yogyakarta.
Pagi itu, saat
seberkas cahaya matahari pagi menerobos celah jendela, masuk ke dalam kamar,
aku tahu bahwa sudah tiba waktunya. Waktu untuk mengucapkan selamat tinggal
padanya. Namun sebelum aku mengatakannya, Ferdy telah bangkit, melepaskan
dirinya dari pelukanku. Tanpa berbicara dia mengambil bajunya yang berserakan.
Aku diam
memandangnya yag bergerak dalam keremangan kamar. Kamar yang kini pekat akan
bau bekas gairah, keringan dan mani kami. Dia telah menemukan celana dalamnya.
“Kita mandi dulu,”
kataku. Aku bangkit, meraih tangannya yang sudah setengah jalan. Ferdy terlihat
sudah hendak membantahku. Tapi dia diam saat pandangan kami bertemu. Dia
kembali menjatuhkan bajunya, dan kemudian membiarkanku membawanya ke kamar
mandi. Aku menuntunnya ke bawah shower dan menghidupkannya. Air yang mengalir
dan jatuh diatas kepala kami hangat dan menenangkan.
Kami berdiri diam
dengan pandangan saling menatap di bawah siraman air itu. Mencoba berkomunikasi
dengan pandangan mata kami. Namun hanya selang beberapa saat kemudian, mata
Ferdy mulai memerah dan akupun tahu. Air yang mengalir dari wajahnya kini telah
bercampur dengan air mata. Tangannya kemudian terangkat dan mengusap sudut
mataku yang juga telah perih tanpa kusadari.
“Kau sudah siap ?”
tanya Ferdy untuk pertama kalinya. Suaranya terdengar serak dan lelah.
Aku menggeleng,
membiarkan suara air yang mengalir mengisi keheningan diantara kami, selagi aku
mengumpulkan suaraku, “Aku nyaris tak akan pernah siap. Kau tahu itu.
Tapi………..sudah tak ada lagi ikatan yang menahanku.”
Ironis. Saat kalimat
itu terlontar, aku baru menyadarinya. Memang sudah tak ada lagi yang ingin
membuatku bertahan di dunia abu-abu ini. Aku mahfum dan yakin kalau Ferdy, tak
akan pernah menungguku lagi. Dia sudah melangkah maju dengan luka yang
kuberikan. Tak ada lagi ruang bagiku dalam kehidupannya. Aku juga tahu bahwa
Regha, telah menjauh dari hidupku. Dan semua itu seakan-akan menjadi pengikat
terakhir yang menghubungkanku dengan dunia abu-abu ini. Kedua ikatan itu baru
kusadari kini, telah terlepas dan tak akan pernah bisa ku raih lagi. Dan aku
tak ingin memiliki ikatan apapun lagi. Gelasku……telah penuh.
“Jadi Regha
meninggalkanmu?” tanyanya lagi.
“Kau tahu kalau aku
tak pernah memilikinya. Aku…………hanya memiliki ilusi sepihak dengannya.”
“Aku tahu,” ujar Ferdy
dengan senyum sedih, “Aku sudah berusaha menemanimu. Menjadi jangkarmu hingga
kau menyadarinya. Tapi……..pada akhirnya aku tak tahan. Terlalu menyakitkan
untuk terus berada di sisimu tanpa kau menyadarinya. Aku lelah…”
“Aku tak bisa
menyalahkanmu. Aku saja yang terlalu bodoh untuk menyadarinya, Fer.”
“Aku ingin
membencimu,” katanya lagi. Aku mengangguk. Paham betapa aku sudah begitu
melukainya. Wajar kalau dia ingin marah dan membenciku. Aku tak menyalahkannya.
Aku akan menerima semua luapan perasaannya itu dengan senang hati. Tapi seperti
biasanya, Ferdy terlalu sayang padaku.
“Aku mungkin akan
merasa lebih baik kalau kau melakukannya. Tapi……………..kau justru membuatku
merasa lebih parah dari sebelumnya. Kau justru mengasihaniku kan?”
“Kenapa menurutmu?”
“Karena aku
melarikan diri dengan pernikahan ini. Berkompromi dengan apa yang ku miliki.
Meraih remah yang mungkin bisa membuatku bertahan hidup…”
“Kau bisa pergi dari
Negara ini…”
Aku menggelengkan
kepalaku, “Kau tahu aku tak bisa. Orang tuaku satu-satunya alasan kenapa aku
bertahan dan melakukan semua ini…”
“Dan saat mereka
sudah tak ada di dunia ini lagi…”
“Aku akan bertahan
sampai akhirnya hidup menggerogotiku. Mungkin aku akan bisa hidup hingga cucuku
lahir.”
“Atau kau mati
sengsara karena menginginkan hal yang tak pernah kau miliki lagi…”
Aku diam dan
kemudian mengangkat bahu, “Mungkin saja…”
“Kau tak takut?
Bagaimana kalau nantinya, setelah orang tuamu meninggal, setelah kewajibanmu
telah terlaksana? Menurutmu kau tidak berakhir menjadi seorang lelaki yang
getir karena terjebak dalam kehidupan yang bukan pilihanmu? Mengingat ke
belakang akan masa-masa dimana kau masih bisa merubah kehidupanmu, seperti yang
kau inginkan?”
Aku menunduk dan
menyatukan kening kami berdua, “Aku mungkin akan seperti itu. Aku tahu itu,”
bisikku, “Aku mungkin akan berakhir menjadi seorang lelaki paroh baya yang
getir, sengsara dan menyedihkan. Terjebak dalam lingkaran kehidupan yang tak
kuinginkan. Terikat dalam kewajiban dan beban pada istri dan anakku nantinya.
Lalu mencoba menemukan kembali semangat hidupku dengan memelihara remaja lelaki
belasan tahun dibelakang keluargaku. Menyirami mereka dengan uang. Berharap
mereka akan tetap di sisiku. Membuatku merasa sedikit hidup. Dan tetap
menganggapku menarik. Bukannya bandot tua yang menyedihkan…”
Ferdy mengerang
pelan dan kembali terisak pelan.
“Kalau pada akhirnya
aku menjadi orang seperti itu, dan entah bagaimana kemudian hidup mempertemukan
kita lagi, berpura-puralah tak mengenalku. Palingkan wajahmu.”
“Ky…”
“Atau kau bisa membunuhku
dan mengakhiri penderitaanku. Aku tak akan menyalahkanmu. Dan akan kupastikan
sebelumnya, tak akan ada yang menuntutmu. Hal itu akan..”
Ferdy sudah mencium
bibirku…..
Dia lalu merangkum
wajahku sementara wajahnya sendiri berkernyit seakan-akan menahan sakit yang
tak tertahankan, “Berjanjilah kau akan bertahan semampumu..” pintanya sedikit
tersendat.
“Fer..”
“Demi Tuhan,
bersumpahlah kalau kau tak akan berakhir seperti itu!”
Aku hanya diam
menatap langsung ke bola matanya untuk beberapa lama, “Kenapa kau terlalu baik
padaku? Bukannya seharusnya kau menyumpahiku agar aku benar-benar menjadi
seperti itu?” bisikku lemah.
“Karena nantinya,
kau tidak menjalani hidupmu sendiri. Shella tak boleh terkena imbas dari
keputusanmu. Berjanjilah kau akan berusaha hingga batas kemampuanmu. Demi
shella dan mungkin, anakmu nantinya..”
Aku mengangguk
pelan, “Aku akan berusaha..” bisikku dan kembali menciumnya.
Kami kembali
bercinta di pagi itu, dibawah siraman air yang mengalir. Mencoba melarutkan
sisa dari kehidupan lamaku bersama alirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar