REGHA
Deringan ponselku
yang akhirnya membuat aku menjauhkan diri dari perlindungan hangat dekapan Mas
Rizky. Aku tersenyum padanya dengan perasaan yang sedikit ringan. Kehadiran Mas
Rizky memberiku suntikan support yang sangat kubutuhkan. Aku tahu mungkin
tindakanku kali ini agak impulsive, tanpa pertimbangan yang matang. Tapi, siapa
lagi yang bisa kujadikan mentor untuk memahami dunia abu-abu yang membingungkan
ini? Mas Rizky selama ini sudah begitu baik. Dia selalu memberiku ruang untuk
berpikir, menunjukkan kasih sayangnya, tapi tetap memberiku kebebasan. Aku yang
telah berlaku tidak adil dan menggantungnya. Aku selalu menjaganya untuk tetap
berada didekatku,meski aku tetap tak bisa membalas perasaannya.
Kali ini aku
berjanji pada diriku sendiri untuk lebih memperhatikannya. Mencoba membina
sebuah hubungan yang lebih dalam dan bermakna.
“Sebentar, Mas,”
pamitku dan menjawab panggilan pak Arya, “Ya, Pak?”
“Regha, aku sudah
menghubungi Ibu Pak Zaki. Beliau sedang berada di Australia.”
“Kapan beliau
datang, Pak?”
“Beliau tidak
datang, Gha. Tadi beliau sudah bilang kalau dokter pribadi keluarga telah
memberikan laporan lengkap, dan menurutnya, tak ada gunanya beliau berada
disini karena kondisi Pak Zaki tidak membahayakan. Beliau hanya memintaku untuk
menangani panti sementara ini.”
Aku tak percaya
mendengarnya, “Tapi Zaki baru saja keluar dari ICU! Apakah beliau….” Aku
memejamkan mataku saat sadar suaraku meninggi karena geram, “Maaf Pak. Saya…”
Pak Arya hanya
tertawa kecil, “Kurasa beliau punya pertimbangan sendiri. Kita lebih baik
membiarkannya dan mengurus tugas kita saja. Jadi, kau disana saja dan pastikan
Pak Zaki dalam kondisi baik. Dokter sudah membolehkan beliau untuk rawat jalan
dirumah. Jadi, pastikan ada mobil yang menjemputnya siang ini.”
“Baik Pak Arya…”
jawabku singkat, tak ingin meninggalkan kesan lancang lebih parah lagi. Aku
menutup telepon dan berpaling pada Mas Rizky, “Zaki boleh keluar dari sini
siang ini, Mas. Aku harus memastikan kalau sopirnya menjemput kesini.”
Mas Rizky hanya
mengangguk, “Syukurlah…”
Aku tersenyum,
“Terimakasih sudah datang, Mas. Egha benar-benar membutuhkannya,” ujarku dan
mendekat. Dengan gerakan sedikit kaku, ku ulurkan tanganku dan meraih
jemarinya. Aku menautkan jari jemari kami dengan gerakan perlahan dan sedikit
ragu, “Egha juga berterimakasih untuk kesempatan kedua yang Mas berikan. Egha
tahu kalau Egha masih harus banyak memperbaiki diri. Egha harap, Mas Rizky mau
bersabar membimbing Egha..”
Mas Rizky
menggenggam jariku dengan kuat, “Kita sama-sama mencoba ya?” ujarnya.
Aku mengangguk, “Mas
Rizky hari ini ke rumah sakit?”
“Ya. Jam 9 nanti
masuknya..”
“Kalau begitu Mas
Rizky sebaiknya pulang dan beristirahat. Egha sudah baik-baik saja Mas. Egha
hanya akan disini sampai nanti sopir Zaki datang. Mungkin mengantarnya pulang
dan setelah itu……. urusan kami selesai. Egha nggak akan lagi berhubungan
dengannya. Zaki sudah memecat Egha. Jadi Egha bisa santai…”
“Kalau begitu aku
akan menjemputmu di rumah Zaki.”
“Gak perlu, Mas. Mas
bisa cape dan…”
“Aku akan ijin pagi
ini…”
Aku tak bisa
mengatakan apa-apa. Hanya mengangguk dan tersenyum. Aku beruntung memilikinya
kan? pikirku. Cukup. Sudah cukup dengan keberadaannya disisiku. Aku akan
baik-baik saja.
Aku lalu memberikan
alamat dan petunjuk agar Mas Rizky bisa menemukan rumah Zaki dengan mudah. Aku
lalu berpamitan untuk kembali ke Vivi,Regi dan yang lain, yang mungkin masih
menungguku dan mengurus keperluan Zaki untuk pulang nanti. Mas Rizky hanya
tersenyum dan mengangguk. Setelah itu, aku hanya mampu berdiri canggung
didepannya, tak tahu harus bagaimana baiknya. Setelah kini kami memiliki sebuah
‘hubungan’, kalau berpisah begini sebaiknya bagaimana? Kan gak mungkin aku
menciumnya atau…
Mas Rizky
membereskan hal itu dengan mendekat dan memelukku. Dia kemudian memberikan
sebuah ciuman ringan diujung kepalaku. Aku hanya mampu menunduk dan bergumam
tak jelas, untuk kemudian melangkah pergi dengan wajah panas.
Saat hendak kembali
masuk ke gedung, aku yang berjalan dengan mata ke bawah dan hampir saja
menabrak teman Mas Rizky yang berdiri di sudut tembok.
“Eh, Mas. Maaf,”
kataku pelan dan mencoba tersenyum. Dia tak melihat apa yang kami lakukan tadi
kan? pikirku agak khawatir. Teman Mas Rizky, Ferdy kalau gak salah, hanya
tersenyum dan mengangguk. Saat kami dekat begini baru aku menyadari betapa
menariknya cowok ini. Wajahnya yang bersih dan tampan itu dihiasi dengan dua
lesung pipit yang akan kelihatan begitu dia tersenyum. Meski matanya agak sayu.
Sepertinya dia sudah mengantuk.
“Terimakasih ya,
Mas. Sudah mengantar Mas Rizky kesini,” kataku, berusaha mengatasi kekakuan
atmosfir.
“Sama-sama.
Kebetulan saja tadi kami bersama. Regha baik-baik saja?”
Aku mengangguk, “Sekarang
sudah merasa jauh lebih baik, Mas. Mas Ferdy kan ya?”
Dia kembali
menunjukkan lesung pipitnya dan mengangguk, “Syukurlah kalau begitu. Aku akan
ke Rizky dulu.”
“Iya, Mas. Tadi aku
sudah meminta Mas Rizky buat istirahat saja. Nanti jam 9 kan ke rumah sakit.
Tapi tadi katanya mau libur saja. Mas Ferdy juga sebaiknya istirahat. Mas
kelihatan sangat lelah,” ujarku dengan nada menyesal.
Mas Ferdy tertawa
kecil mendengarku, “Kalau saja kamu tahu…” selorohnya geli.
“Maaf, Mas. Regha
bikin repot..” kataku lagi dengan tulus.
Mas Ferdy hanya
tersenyum dan kemudian menepuk bahuku, “Kalau begitu aku pergi dulu ya..”
pamitnya yang ku jawab dengan anggukan. Aku bergegas masuk kedalam. Dari ujung
lorong ditempat Zaki dirawat, aku bisa melihat Regi dan Vivi yang masih berdiri
didepan pintu kamar sembari mengobrol. Mereka yang melihatku, langsung terdiam,
menunggu.
“Maaf…..aku tadi
nyelonong,” kataku akhirnya setelah dekat dan mencoba mengalihkan mata dari
memandang langsung wajah keduanya. Aku tak ingin melihat iba disana. Sudah
cukup aku merasa kecil dan terbantu oleh mereka. Mereka pasti sudah mendengar
dengan jelas, bagaimana pembicaraan terakhirku dengan Zaki tadi yang tidak
berjalan dengan baik. Bentakan Zaki……
Belum lagi fakta
baru, kalau aku sudah jadian dengan Mas Rizky. Jangan-jangan Regi bakal
mencekikku kalau tahu. Tapi……bagaimanapun, aku harus memberitahukannya kan?
Mungkin dengan begitu, mereka tahu kalau aku akan baik-baik saja. Bahwa aku
nggak sendiri lagi.
Regi hanya mendekat
kesamping dan meraih bahuku, “Kita tadi sempat khawatir dan….”
“Gue jadian ma Mas
Rizky!!”
Aku bengong!
Sumpah! Tak ada
rencana dibenakku untuk mengatakan kalimat tadi dengan begitu saja! Aku ingin
menyampaikannya dengan pelan dan disertai sedikit kalimat pembuka yang mungkin
bisa memperhalus suasana. Tapi saat Regi mengatakan kata khawatir tadi, mulutku
tahu-tahu saja bergerak dengan sendiri.
Apa yang aku pikirkan tadi? batinku ngeri.
Baik Vivi maupun
Regi hanya menatapku sejenak, kaget!
“JADIAN MA MAS
RIZKY!!!!” pekik Regi keras!
“Ssssssttttt…..!”
desisku dan melirik kearah pintu kamar Zaki dengan gugup. Vivi lalu menyeretku
untuk menjauh sejenak dari pintu. Dan tiba-tiba saja, tangan kanannya menepuk
belakang kepalaku dengan sedikit keras. Aku mengaduh hamper bersamaan dengan dengan
bunyi plak yang ditimbulkan.
“Lu sarap ya?!!”
desisnya geram.
“Lo gak bisa jadian
Mas Rizky! Dia harusnya ma gue!!!” tuntut Regi dengan kedua tangan mengepal.
Serentak, aku dan Vivi memandangnya kesal.
“Nick mau elo
kemanain, bencong?!” sentak Vivi yang kemudian ganti noyor kepala Regi.
“Selingkuh ma gue
maksudnya,” seloroh Regi, nyengir.
“Najis!” umpat Vivi
dongkol, dan kemudian berpaling padaku, “Ghaaa……lo sadar lo udah ngelakuin
apa?” tanyanya cemas dengan suara tertahan.
Aku mengangguk, “Gua
rasa itu jalan yang terbaik, Vi. Gua gak tahu dengan pasti, pada titik mana
hidup dan cara pandang gua berubah. Tapi……kalo pada akhirnya gua bisa masuk ke
dalam dunia abu-abu ini, gua mau memahaminya dengan benar.”
“Memahami?” ulang
Vivi pelan.
Aku mengangguk, “Yang
gua tahu, gua gak mungkin hidup selamanya dalam dunia ini kan? Semua yang ada
didunia abu-abu mungkin hanya berjalan untuk beberapa waktu saja. Sementara.
Tak istilah ‘happily ever after’ atau ‘bahagia’ selamanya dalam dunia ini. Tak
ada pernikahan diujung dunia abu-abu ini!”
“HEY!!! Gue
berencana kawin ma Nick ye?!” protes Regi keras. Kami berdua memandangnya
heran, “……di Belanda,” lanjutnya, nyengir.
“Tapi tidak disini,
Gi. Gua hidup di Indonesia. Dan lagipula, sudah tertanam dalam diri gua, bahwa nantinya,
gua akan hidup bersama dengan seorang wanita, menikah dan mempunyai keturunan.
Apa yang terjadi pada diri gua dan Zaki………….adalah suatu hal yang tdak
direncanakan. Semuanya tumbuh dengan sendirinya. Dan gua gak bisa menyangkal
kalau gua, jatuh cinta padanya. Fakta bahwa gua bisa jatuh cinta seperti ini
pada sebuah cowok, masih menjadi hal yang ………….” Aku berusaha mencari kata yang
tepat, “……………..ajaib. Fakta bahwa gua bisa merasakan ini, menjadi misteri yang
bahkan gua sendiri gak tahu gimana awalnya. Karena itu, gua pengen mahamin hal
ini. Gua pengen ngertiin semua yang ditawarkan oleh dunia ini sekarang. Saat
gua masih sendiri. Saat gua harus mempertanggung jawabkan hal ini sendiri. Agar
nanti, saat gua mutusin buat menikah, gua udah tahu semua. Gua udah melihat dan
merasakan sendiri, apa yang ada dalam
dunia abu-abu ini. Dan tidak lagi mempertanyakan apa yang mungkin bisa terjadi.
Agar gua……bisa meneruskan hidup gua bersama dengan anak dan istri gua.
Gua……….ngeri kalo ngebayangin, bahwa ada kemungkinan gua bisa meninggalkan anak
dan istri gua, hanya demi sebuah ‘petualangan’ bersama dengan seorang lelaki.
Kalian mengerti?”
“Agar lo gak tergoda
lagi nantinya?”
Aku mengangguk pada
Vivi, “Setidaknya, gua udah dapat pengalaman kan?”
“Lo yakin?” tanya
Regi, “Lo yakin, lo gak bakal jatuh cinta lagi dengan seorang pria? Seperti lo
jatuh cinta ma Zaki?”
Aku hanya
menggeleng, “Gua gak tahu, Gi. Mungkin saja. Tapi kalopun itu terjadi,
setidaknya, gua tahu apa yang ditawarkan oleh dunia abu-abu ini. Gua tahu ujung
dari cerita itu. Karena gua paham, apa yang ada di ending-nya. Karena itu gua
jadian ma Mas Rizky…”
“Gha….tidakkah itu
seperti memanfaatkan Mas Rizky?” Tanya Vivi.
Aku tersenyum, “Pada
suatu titik, iya. Tapi……….Mas Rizky memiliki pandangan yang sama,” jelasku.
Vivi dan Regi memandangku tak mengerti, “Mas Rizky juga sadar, kalo pada suatu
saat, dia harus menikah dengan seorang wanita, dan meneruskan garis keturunan
keluarganya. Bukan hanya karena itu hal normal dan semestinya, juga karena
tanggung jawabnya pada keluarga. Mas Rizky sudah mahfum, bahwa tak perduli
sebesar apapun dia menyukai seorang pria, pada satu titik, dia harus
melepaskannya. Dia ‘akan’ melepaskannya. Dia sadar sesadar-sadarnya, bahwa tak
akan ada pernikahan di akhir cerita cinta antara dua anak Adam. Itu juga alasan
kenapa gua mutusin buat jadian dengan dia Vi. Bersama, gua dan Mas Rizky akan
belajar buat memahami hidup…”
Diam sejenak….
“Kenapa harus begitu
sih?” cetus Vivi pelan, hampir dengan nada menyesal, “Kenapa gak boleh ada
akhir bahagia bagi dua orang yang saling mencintai? Bahkan meski cinta itu
terjadi antara dua lelaki…”
Aku tertawa kecil,
sedikit getir, “Normalnya kan memang begitu, Vi…” selorohku mencoba bercanda.
Meski dalam hati aku tak bisa menyangkal kalau aku juga ingin
mempertanyakannya. Sentakan rasa nyeri didadaku saat mendengar Vivi tadi
membuktikan hal itu.
“Normal… Itu kata
yang bagus kan?” gumam Regi, membuat kami berdua berpaling, “Kalian mengerti
nggak definisi normal itu apa?”
Kami berdua
memandangnya dengan tatapan tak mengerti.
“Kalo lo liat
definisi normal dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata normal berarti sesuai
dengan aturan dan tidak menyimpang. Nah sekarang gua tanya, sesuai dengan
aturan siapa? Tidak menyimpang menurut siapa?”
Aku dan Vivi memandangnya
kebingungan. Tak tahu apa yang hendak disampaikan Regi.
“Kalian tahu tentang
kaki teratai wanita kuno china? Dimana para wanita bangsawan, membebat kakinya,
menekuk sedemikian rupa kakinya, sampai berlipat dan muat dalam sepatu
berukuran kecil? Apa itu normal menurut kalian? Karena itu normal bagi para
penduduk cina di jaman lampau. Bahkan menjadi sebuah identitas status social.
Meski pada akhirnya, para wanita itu harus kesakitan sepanjang sisa usia
mereka. Itu normal?”
Kami tak menjawab.
“Kalian pernah
dengar, kalau suku Aghori di Varanasi India, memakan mayat keluarga mereka yang
sudah meninggal? Menurut kalian itu normal? Karena menurut mereka, hal itu
normal dan itu adalah salah satu jalan menuju pencerahan yang mereka yakini…”
Kami masih terdiam.
“Atau mungkin kalian
pernah dengar kebiasaan orang-orang syiah yang akan menyakiti tubuh mereka
dengan pisau dan lain-lainnya hingga berdarah di hari asyura? Mereka bahkan
menggunakan agama sebagai dalihnya. Itu normal? Karena bagi gue, itu enggak. Menurut
gua, normal bisa diartikan suatu kebiasaan atau tindakan yang dianggap wajar
dan sesuai aturan oleh segolongan orang. Hanya segolongan orang! Standart
normal, bahkan bagi setiap orang, bisa saja berbeda. Dalam sebuah komunitas,
bisa saja anggotanya memiliki pemikiran berbeda akan definisi normal. Kalo lo
nanya, apakah dua orang pria saling mencintai itu normal, gue bilang, iya. Tapi
kalo lo nanya ke orang lain, belom tentu. Dan gue yakin, akan banyak yang
menjawab, enggak. Pertanyaannya adalah, apakah elo, mau menyesuaikan diri
dengan standart mereka, atau memiliki definisi normal sendiri?”
“Kita kan hidup
disini, Gi..?”
“Siapa bilang lo
hidup di akhirat?” serobot Regi ketus.
Aku terdiam. Nih
anak kalo kumat judesnya, pinter dan seremnya keluar semua, batinku ngeri.
“Bukan gue tadi yang
bawa-bawa kata normal ye? Tapi elu!” sambungnya lagi tanpa ampun, “Kalo seorang
pria kudu menikah dengan cewek, tanpa memperdulikan ke ‘abnormal’an dia seperti
yang lo bilang tadi itu normal,” Regi memberikan tanda petik dengan kedua
tangannya untuk menekankan kata abnormal dan normal tadi, “….itu menurut lo!
Bagi gue, itu enggak. Karena bagi gue, itu disebut dengan pilihan!”
“Gi, ajaran agama,
adat dan istiadat kita bagaimana? Belom lagi hubungannya dengan orang tua
kita?”
“Kenapa dengan
mereka?” Tanya Regi dingin, “Kita gak ngomongin agama kan? Kita ngomongin
normal yang lo bilang tadi. Gha, gue gak akan bilang kalo ajaran agama itu
salah. Gila aja! Masa gue mo samain diri gue ma nabi! Bisa di gorok gue ma
ormas Islam. Maksud gue, bagaimana kita menjalani hidup, itu pilihan Gha. Bukan
standart normal yang lo bilang tadi. Sama dengan saat lo memilih sebuah agama.
Lo punya hak penuh meyakini dan memeluk mana agama yang lo mau. Itu hak lo.
Begitu pula dengan bagaimana lo menjalani hidup. Saran gue, jalani saja sesuai
dengan keyakinan lo. Kalo emang jadian dengan Mas Rizky dan belajar jadi homo
yang baik dengan dia adalah jalan yang terbaik, lakuin!”
Regi tak
memperdulikan bagaimana aku mengernyit ngeri saat dia menggunakan istilah ‘homo
yang baik’ tadi. Malah dia tersenyum geli seakan-akan menikmatinya.
“Jangan hidup dengan
standart normal orang lain. Gue udah bolak balik bilang, ini hidup elo. Susah
atau senengnya, elo yang jalanin. Elo yang tentuin! Jadi jangan gunakan kata
normal yang bikin gue gondok tadi, ok? Karena gue suka lekong, gue mau kewong
ma lekong. Dan gue normal, em?!” selorohnya dengan gayanya yang biasa.
Aku dan Vivi hanya
tertawa kecil. Salah satu kehebatan Regi adalah bagaimana dia bisa menyetir
sebuah pembicaraan yang serius, kembali ke suasana yang santai, hanya dalam
hitungan detik. Meski kelihatan seperti cowok gay melambai yang dangkal, dia
benar-benar memiliki pengetahuan dan pemahaman dalam tentang hidup. Orang bisa
saja salah menilai Regi dari tampilan luarnya. Tapi aku telah belajar bahwa
dia, jauh dari apa yang dia perlihatkan. Kadang aku merasa bahwa perilaku melambainya
yang cenderung feminim hanyalah sebuah mekanisme pertahanan dan cover yang
sengaja dia pasang untuk menipu.
“Jadi……………lu ma
Zaki….” Vivi tak melanjutkan pertanyaannya.
“Dia udah pecat gue,
Vi. Setelah ini selesai, gua gak akan lagi berhubungan dengan dia.Mungkin itu
yang terbaik…” kataku pelan mencoba menampilkan ekspresi yang datar di wajahku.
Vivi tersenyum dan
menepuk bahuku, “Mungkin memang itu yang terbaik. Lo aja yang terus maju. Kita
berdua akan support kok. Meski……mungkin ada satu hal yang lo kudu tau..”
ujarnya dan melirik Regi dengan mimik khawatir.
“Apa?’ tanyaku
bingung dan jadi ikutan cemas.
“Waktu lo ma Zaki
bertengkar tadi……….. Jordan denger semuanya. Dia…..tau,” lanjutnya lagi.
Aku hanya mampu
ternganga.
“Tapi dia gak akan
bilang apapun. Dia udah janji!” sambung Vivi cepat dengan suara mantap.
Aku hanya mampu
mengangguk. Aku sama sekali tak melihat sosok Jordan tadi. Pikiranku terlalu
penuh oleh hal yang lainnya. Meski yang tahu tentang perasaanku pada Zaki
adalah Jordan, dan dia adalah pacar Vivi, aku masih merasa tak enak. Untuk
menerima kenyataan bahwa aku menyukai Zaki sendiri membutuhkan waktu bagiku.
Dan kini, fakta bahwa ada orang lain yang tahu akan hal itu, sedikit membuatku
tidak nyaman. Mungkin aku harus membiasakan diri kalau memang ada yang akan
memandangku dengan sinis. Toh aku memutuskan untuk memahami dunia ini kan? batinku
kecut.
“Dia dimana?”
“Didalam…” jawab
Vivi dan menunjuk kamar Zaki. Aku hanya mengangguk dan tanpa sadar menelan
ludah.
“Aku-aku mau
menelepon sopir Zaki dulu,” pamitku dan agak menjauh dari mereka. Mereka berdua
hanya mengangguk dan kembali tersenyum.
ZAKI
Kami berdua sedikit
kaget mendengar teriakan keras Regi tadi. Untuk beberapa saat lamanya, hening
menggantung dan memotong pembicaraan kami. Jordan mulai tampak gelisah dan
bergerak-gerak resah ditempat duduknya. Sejak semula, sebenarnya aku merasa
kalau dia ingin mengatakan sesuatu, tapi jelas dia menahan diri. Aku tak tahu
seberapa banyak hal yang dia pahami. Meski aku tak akan heran dia tahu beberapa
hal. Dia dan Vivi memiliki hubungan serius. Kalau mereka berbagi, itu bukan
sesuatu yang aneh. Dan……aku merasa tak nyaman karenanya.
“Anyting you wanna
say, Jordan?” tanyaku akhirnya.
Jordan memandangiku
ragu, namun hanya untuk sejenak. Karena beberapa detik kemudian dia terlihat
membulatkan tekad, “Are you okay with this?”
“Dengan apa
maksudmu?’ tanyaku heran.
“Ini semua…” jawab
Jordan dan mengembangkan kedua lengannya, “Kau yang menghancurkan dirimu
sendiri. Acting like a hell-with-you player, drugs, overdose and……Regha. Apa
kau akan membiarkannya bersama dengan Rizky atau siapapun itu?”
“Sebaiknya kau
berhenti disana, Jordan,” selaku dingin.
“Look, Zake! Hear me
out! Aku hanya akan membahasnya sekali ini. I won’t talk about it, ever again!
So please, bear with me. Kau yakin akan membiarkannya? Zake, beberapa waktu
yang lalu, aku tak akan pernah membiarkanmu tenang kalau tahu hal ini. Aku akan
terus mencela dan mengejekmu hingga mungkin kau akan ingin membunuhku. But I’m
a different guy now. Or so I think. I’ve learned my lesson, Zake. Aku dulu
begitu peduli akan bagaimana orang memandangku. Aku dulu begitu khawatir dengan
bagaimana orang akan berkata soal aku. Aku membiarkan lingkungan, teman-temanku,
mendikte apa yang terbaik buatku. Saat mereka menertawakan Regha yang
penampilannya kampungan, aku ikut ketawa. Saat mereka mempermalukan Regi yang
melambai, aku ikut-ikutan nge-bully dia. Bahkan saat mereka mengolok-olok Vivi
dengan tubuhnya, aku yang paling vokal. Aku khawatir kalo aku gak bertindak
sesuai dengan persetujuan mereka, aku bakal dianggap aneh. Aku nggak bisa
bilang kalo aku naksir Vivi gegara takut dianggap fetish dan sinting oleh
mereka..
I’m scared! Tapi hal
itu bikin cape, Zake. Aku kehilangan diriku sendiri. Aku gak bisa menikmati apa
yang bikin aku seneng dan bahagia. Aku bergantung pada persetujuan mereka. And
that sucks. Apa kau mau jatuh pada pola yang sama denganku dulu?”
Aku tak menjawabnya.
“May be you don’t
realize it, but I look up to you. I really do! Bagiku, kamu cowok yang matang
untuk usia kita. Kamu bertindak, mengatakan dan melakukan apapun sesuai dengan
kemauanmu. Kamu ngelakuin dan bersikap begitu percaya diri dan tegas. Aku suka
itu. Kamu masa bodoh ma pendapat orang atau aku. Kamu gak segan-segan menegur
atau memprotes kalo ada yang gak sesuai menurutmu. Kenapa harus berubah sekarang
zake?’
“Apa maksudmu
berubah?”
“Kamu suka Regha,”
ujar Jordan pelan. Dia tidak mengatakan kalimat tadi dengan nada tanya. Dia
hanya mengungkapkan fakta yang sepertinya sudah dia ketahui kebenarannya.
“You’re out of your
mind!” desisku pelan.
“Am I?’’ tanya
Jordan pelan dengan senyum kecil, “Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana
kalian berinteraksi. Aku liat sendiri, bagaimana kalian berdua bersikap dan
bereaksi, satu sama lain. Bersamanya kau menjelma menjadi sosok
yang…..berkuasa. It’s like you’re the alpha of a wolf pack.”
“Alpha? Wolf pack?
Apa yang kau minum tadi? Segelas heroin cair?’ selorohku kesal.
“No, it’s true. It
might sound weird, but it’s true. Didekat Regha, kau bersikap seperti seorang
alpha yang begitu berkuasa dan siap mempertahankan teritorinya. Kau jadi
posesif dan protektif saat bersamanya. Seakan-akan, kau siap untuk
mencabik-cabik, siapapun yang mendekat. You’re practically glowing.”
“Ada yang salah
dengan otakmu,” komentarku singkat.
“You didn’t know it,
did you? Kamu bahkan tidak menyadari bagaiamana berbedanya dirimu saat berada
didekatnya. You’re like………someone else. Belum pernah aku melihatmu begitu
peduli dengan seseorang. Not even Emma or Anna. And you banged those chicks
mercilessly. Tapi dengan Regha…..kau begitu peduli. Caramu
memandangnya…….begitu lembut dan manis. Kau hanya akan berubah menjadi sosok
yang keras dan tegas saat kau merasa kalau Regha berada dalam situasi sulit.
Saat kau tahu bahwa Regha akan…..terluka. Saat itulah kau menjadi Alpha. Baginya..”
Leherku tiba-tiba
terasa tercekat. Bahkan untuk menelan ludah, sekedar membasahi tenggorokanku
yang kering, terasa sulit bagiku.
“Apa kau akan
membiarkan Regha menjadi milik Rizky begitu saja? Kau bisa menerimanya?
Bagaimana kalau Rizky itu menyakitinya? Bagaimana kalau Rizky itu memperkosa
Regha? Menyodominya seperti berita yang ada di..”
“SHUT THE HELL UP!!”
bentakku dengan suara tertahan.
“Kau bisa
membayangkan itu terjadi?”
“Tutup mulutmu atau
aku bersumpah, apapun yang bisa ku pegang oleh tanganku sekarang, akan singgah
di mukamu,” desisku geram.
Jordan hanya
tersenyum dan tertawa, “See? Kau lihat sendiri kan?”
“Aku hanya tak ingin
mendengar skenario gila apapun yang muncul dari mulutmu itu sekarang. Kau
psycho, you know that?!”
“Alpha,” tukasnya singkat
dengan nada penuh kemenangan.
“Shut the fuck up!
Orang-orang akan menganggapnya benar kalau mereka mendengarnya.”
“Oh, please!” sergah
Jordan dan mengibaskan tangannya, “People will always criticize. Entah kau
melakukan perbuatan baik, atau buruk, benar ataupun salah, orang-orang akan
tetap mengkritikmu. Mereka akan tetap menemukan hal yang bisa mereka gosipkan.
Kau tak mungkin menyenangkan semua orang. Lagipula, sejak kapan kau peduli
omongan orang?”
“I. Don’t. Like.
Him,” kataku lagi jengkel dan menekankan setiap kata tadi.
“Yeah, you don’t
like him. Just love him!”
“Jordan..” Kalimatku
terputus saat pintu kamar terbuka. Wajah Regha muncul dan tampak ragu, meski
akhirnya dia masuk. Dengan pelan dia mendekat dan melempar senyum tipis pada
Jordan.
“Maaf, kalau aku
mengganggu. Pak Arya tadi telepon dan mengatakan kalau kau bisa keluar siang
ini. Aku sudah menghubungi Pak Adam. Dia akan menjemput jam 9. Dan Pak Arya
juga bilang kalau ibumu…………tidak bisa datang. Maaf,” katanya.
Yang membuatku kesal
adalah satu kata maaf yang dia ucapkan tadi. Untuk apa dia minta maaf,
sementara dia tak melakukan apapun. Untuk apa maaf tadi sebenarnya? Karena
menyampaikan berita tadi? Atau karena Mommy tidak bisa datang? Meski hal itu
bukan hal yang mengherankan. Aku bisa membayangkan kalau Mommy hanya akan
memandangku dengan sinis dan berkata bahwa aku telah berubah menjadi penderita
autis akut sehingga bisa sampai ke kamar ini.
Bukan hal yang baru. Aku sudah beberapa kali mengecewakannya karena
tidak memenuhi standart yang dia inginkan.
“Itu saja?” tanyaku
dengan nada sedikit agak kasar dari yang ingin ku lakukan.
“Ak..”
“Aku akan keluar
dulu mencari sarapan dengan Vivi,” sela Jordan dan bangkit, “Kalian bisa
membicarakan detilnya dengan bebas. Ingat Zaki, alpha!”
Aku melempar
bantalku pada Jordan yang cuma tertawa dan menangkisnya. Regha mengambil bantal
yang jatuh ke lantai, lalu mengulurkannya padaku. Dengan kesal, aku merenggut
bantal itu dari tangannya.
“Kau……….butuh
sesuatu?” Tanya Regha.
“I’ll call the nurse
if I need any. So don’t you worry,” kataku dengan nada sarkas.
Regha tampak menarik
nafas panjang. Sikap ketusku mungkin akan membuatnya tak tahan dan pergi.
“Pak Arya akan
menangani panti sesuai perintah Ibumu. Dan beliau memintaku untuk berjaga
disini sampai mengantarmu pulang nanti.”
“I don’t need a baby
sitter,” kataku jengkel dengan geraham terkatup.
“Aku tidak
mengatakan kalau kau butuh,” jawab Regha dengan nada kalah, “Jangan khawatir, segera
setelah kau sampai ke rumahmu nanti, urusan apapun antara kita akan selesai.
Aku akan berusaha untuk tidak muncul dihadapanmu lagi. Anggap saja ini tugas
terakhirku yang diberikan oleh Pak arya. So bear with me. Percayalah. Aku akan
mencoba untuk berbicara sesedikit mungkin denganmu kalau memang perlu, ok?”
Aku tak menjawab.
Aku hanya meletakkan kembali bantal yang ku pegang kebelakang kepalaku dan
langsung memejamkan mata. Mungkin aku bisa tidur sebentar dan menganggap semua
percakapanku dengan Jordan tadi, tak pernah terjadi.
Alpha My Ass!
gerutuku dalam hati.
RIZKY
“Kita pulang.”
Aku yang duduk
termenung jadi sedikit terlonjak kaget saat mendengar suara Ferdy yang berasal
dari belakangku. Dia tak mengatakan apapun lagi, dan langsung melangkah
mendahuluiku menuju mobil. Aku segera bangkit dan mengikutinya. Aku segera
sadar bahwa ada sesuatu yang salah begitu kami berdua duduk didalam mobil.
Ferdy tetap diam.
Dia hanya menyandarkan punggungnya, lalu memejamkan mata. Seolah-olah
menghindari tatapanku. Akupun menghidupkan mobil dan dengan pelan, kami melaju
keluar dari area rumah sakit. Aku melirik Ferdy beberapa kali sebelum akhirnya
berdehem untuk mengumpulkan suara. Tak ada reaksi darinya.
“Fer, kenap…”
“Jangan katakan
apapun,” potong Ferdy datar tanpa ekspresi dengan kedua mata masih terpejam,
“Aku sudah mendengar dan melihat semuanya. Jangan karang sebuah dalih yang
hanya akan membuatku benci padamu,” lanjutnya lagi. Masih tanpa membuka
matanya.
Tanganku
mencengkeram kemudi dengan kuat. Sekarang aku tahu kenapa dia bersikap seperti
ini. Aku tak bisa menyalahkannya. Yeah….aku tahu. Tak ada yang bisa aku katakan
untuk membuat segalanya lebih baik untuknya. Mungkin aku hanya akan lebih
menyakitinya. Dia sudah mendengar dan melihat percakapanku dengan Regha tadi.
Jadi……
Aku menghela nafas
panjang dan akhirnya memilih untuk ikut diam. Membiarkan perasaan aneh yang
berat mengendap di sudut benakku. Berusaha tak menghiraukan alam bawah sadarku
yang mengejek dan mengeluarkan beberapa umpatan yang ditujukan pada diriku
sendiri. Membiarkan rasa bersalah menggelayuti hatiku. Dan membiarkan mataku
menatap lurusan kearah jalanan pagi Bandung yang sepi.
Ferdy membuka
matanya saat aku menghentikan mobil didepan kontrakan. Dia segera membuka seat
belt, “Akan ku pamitkan pada Dokter Stevan kalau hari ini kamu gak masuk.
Terimakasih sudah mengantar..” katanya dan segera keluar sebelum aku bisa
mengucapkan apapun. Aku diam disana, melihatnya yang segera membuka pintu dan
menghilang di baliknya, tanpa sedikitpun menoleh ke belakang.
Aku kembali menghela
nafas.
Ada kecemasan dalam
hatiku. Sepertinya aku tak akan bisa memperbaiki apa yang hari ini ku lakukan
padanya…
REGHA
Pak Adam mengirimkan
pesan pada jam 9 kurang ke ponselku. Mengatakan bahwa beliau sudah menunggu di
lapangan parkir. Aku yang baru keluar dari toilet segera membalasnya. Aku
langsung ke lapangan parkir menemui beliau yang menunggu di luar mobil.
“Bapak bawa pakaian
ganti yang saya pesan?”
“Ada Mas,” jawab Pak
Adam dan membuka pintu lalu mengulurkan bungkusan plastik yang tadi dia ambil.
“Pak Adam tunggu
saja disini. Saya dan Zaki akan segera keluar,” kataku seraya menerima
bungkusan itu.
Akupun bergegas ke
kamar Zaki. Regi dan yang lain ada disana menemani Zaki. Saat aku masuk, Regi
dan Vivi yang duduk bersebelahan dengan Jordan mengobrol santai. Zaki kulihat
memilih diam di tempat tidur. Tidak mengacuhkan mereka. Heran bener ma nih
anak. Emang sesulit apa soh bersikap manis pada tamu? gerutuku dalam hati.
“Pak Adam sudah
datang,” ujarku memberi penjelasan tanpa ditanya. Aku mendekat ke Zaki dan
mengulurkan bungkusan ditanganku, “Sebaiknya kau berganti pakaian,”sambungku.
Zaki tak menjawab.
Dia menerima bungkusan itu dariku dan perlahan bangkit. Wajahnya yang masih
sedikit pucat mengernyit seperti menahan sakit, sehinggan refleks, aku mendekat
dan memegang lengannya untuk membantu. Tapi Zaki dengan kasar mengibaskan
peganganku, “Aku bukan invalid,” desisnya geram.
Aku mundur, membiarkannya melakukannya sendiri. Aku
kemudian memilih untuk mendekat ke arah Vivi dan yang lain. Mereka memandangku
dengan tatapan mengerti. Aku membalasnya dengan senyum.
“Sebentar lagi
selesai,” gumamku pelan sedikit bergetar.
Regi mengulurkan
tangannya yang kemudian ku sambut. Ku hempaskan tubuhku di sofa kosong sebelahnya
sembari melirik sekilas kearah Zaki yang melangkah masuk ke kamar mandi.
“Baik-baik saja?”
tanyanya pelan.
Aku menjawabnya
dengan senyum lemah lalu menyandarkan tubuhku. Kuusap wajahku dengan kedua
tangan, “Tak lama lagi,” jawabku. Ku arahkan pandanganku ke langit-langit kamar
yang berwarna putih. Memperhatikan retakan-retakan samar yang ada disana.
“Zaki akan menyesali
keputusannya dengan melepasmu pada si Rizky.”
Celetukan itu
membuat aku, Regi dan Vivi sontan berpaling pada Jordan. Kaget.
“Apa?” tanya Jordan
santai lalu menenggak minuman kalengnya.
“Lo….sadar lo tadi
ngomong apa?” tanya Regi balik.
“Gue belom sarap
ataupun amnesia. Jadi gue inget. Hanya orang bodoh yang rela kehilangan
kesempatan berharga mendapatkan pengalaman mencinta dan dicintai dengan tulus.
The greatest thing you’ve ever learned, is just to love, and be loved in
return. Gue setuju dengan sebait kalimat dalam lagu Nature Boy-nya Eden Ahbez.”
“Lo kenal Eden
ahbez?”
“Enggak. Tapi gue
tau lagu dia sejak era Nat King Cole itu…”
Regi memandang
Jordan dengan pandangan terkesima. Jelas dia tak menyangka kalau kalimat tadi
bisa keluar dari mulut Jordan. Dia memandang cowok itu seakan-akan baru
mengenalnya, “Ok. Lo sekarang dapat respek gue. Gue aja kenal lagu itu sejak
jadi soundtrack Moulin Rogue dan kemudian dinyanyikan Celine Dion. Gue tau Eden
Ahbez aja pas gue pelajari dari google.”
“Telat,” komentar
Jordan dan menjulurkan lidahnya.
“Vi…..pacar lo..”
Regi tak mengatakan apa-apa. Hanya mengacungkan kedua jempolnya. Aku jadi
mengangkat alis mendengarnya. Aku sendiri tak mengenal nama-nama yang mereka
sebutkan. Ataupun lagu yang mereka katakan. Tapi syair yang Jordan ucapkan tadi
jelas sekali keindahannya.
“Dia emang keren
kan?” cengir Vivi dan langsung mendekatkan tubuhnya untuk mencium pipi Jordan.
“Lo sadar kalo tadi
lo memilih pro buat Zaki…”
“Pacaran ma elo?”
sambung Jordan memotong kalimatku, masih dengan cengirannya, “Gue juga gak
bakalan nyangka kalo gue bisa ngomong kayak gini suatu saat. Tapi…anggep aja
gue udah up grade otak gegara pacaran ma Vivi.”
“Up grade?” ulang
Regi tanpa dapat menahan senyumnya.
“Gue belajar lebih
menghargai cinta dari dia…” ujar Jordan dan tersenyum pada Vivi. Aku bisa
melihat ketulusan perasaan yang dia miliki untuk temanku itu. Dia lalu
berpaling pada kami berdua, “……………juga dari kalian,” sambungnya pelan.
“Terimakasih…” hanya
itu yang bisa kuucapkan dengan lirih pada Jordan, karena dadaku segera saja
terasa sesak. Penuh akan rasa haru. Aku bersyukur dia bukan lagi menjadi Jordan
yang dulu ku tahu. Aku senang untuknya, dan untuk Vivi. Aku hampir tak bisa
menahan diri, tapi keheningan haru diantara kami dipecah oleh Zaki yang muncul
dari kamar mandi.
“Let’s go…”
“Zake, aku akan
mengantar Vivi dan Regi, ok? You go ahead with Regha and take a rest.”
“Lo siapa yang
nganter pulang ntar Gha?”
“Gue udah kasih tau
Mas Rizky, Gi. Dia yang akan jemput gue,” ujarku dan bangkit untuk keluar kamar
tanpa menoleh lagi pada Zaki yang ada dibelakangku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar