Translate

Jumat, 30 Januari 2015

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 36 - Hurts



REGHA

Aku  berdiri disebelah kolam renang, membirkan udara dingin malam menerpa tubuhku dengan hembusannya yang sedikit kejam malam ini. Aku bisa merasakan gesekan udara di kulitku, merasakan dinginnya yang menembus tubuhku. Meski biasanya aku tak menyukainya, tapi malam ini aku menyambut rasa dingin itu dengan penuh rasa syukur. Aku lebih memilih merasakan dingin ini daripada kebingungan yang ada dalam benakku sekarang. Aku tak ingin memikirkan apapun. AKu ingin pikiranku kosong, hampa. Tapi… begitu banyak hal yang berkecamuk didalamnya. Hampir-hampir membuatku kewalahan.
Aaaaahhh........
Aku mendesah, mencoba mengenyahkan rasa sesak yang kurasakan sejak kami pulang dari makan malam tadi. Tak ada gunanya bukan? Entah apapun dalih yang aku pikirkan, hal itu tak akan mengubah kenyataan.
"Belum tidur Gha?"
Teguran yang berasal dari belakang itu sedikit mengejutkanku. Aku berpaling dengan cepat, mendapati Regi yang berdiri disana dengan senyum tipisnya. Dibelakangnya, aku bisa melihat sosok Nick yang melangkah masuk kedalam hotel.
"Baru pulang Gi?" tanyaku balik.
Regi mengangguk dan kemudian duduk di kursi panjang di pinggir kolam. Lalu dia kembali menatapku dengan sorot yang biasanya. Pandangan yang seolah-olah mengatakan bahwa dia tahu apa yang sedang kupikirkan.
"Gua  harus minta maaf ma elu Gha," katanya pelan, membuatku mengangkat sebelah alis. Regi tak langsung menjawab. Dia hanya kembali tersenyum lalu menunjuk ke kursi yang ada di depannya.
Aku menurutinya meski sedikit heran.
"Gue minta maaf kalau siang tadi gua  nyolot ma elo. Seharusnya gue bisa lebih bersimpati. Kalo gue yang udah jelas gini aja masih bisa galau dulu, apalagi elu yang normal asalnya," ujar Regi pelan.
Aku semakin mengerutkan dahi mendengarnya.
"Ketertarikan lo ma Zaki," jelasnya dengan nada gemas dan menjitak pelan kepalaku seraya menggeram pelan, "Dari semua orang yang ada, mestinya gue orang yang paling bisa ngerti kegalauan en kebimbangan yang lo rasain. Gue pernah berada dalam posisi lo Gha. Gue pernah berada dalam kebimbangan. Masa-masa dimana terkadang gue......ngerasa gak layak buat hidup. Apalagi dengan sikap bokap gue....." Regi menghela nafas dengan tatapan menerawang.
"Bokap gue adalah orang yang paling gak bisa nerima keadaan gue yang kayak gini. Dan dia sudah sering menunjukkannya tanpa sungkan. Baik lewat lisan, ataupun tindakan. Sering kali gue ngerasa kalo dia .....menyesal punya anak kaya gue. Ada masa dimana dulu gue mati-matian berusaha agar dia mau nerima gue. Gue ikut klub karate, merokok, pacaran ma cewek dan berbagai macam tingkah macho lainnya. Tapi gue tetep ga bisa. Gue selalu kalah dalam pertandingan. Minum bikin gue sakit. Merokok juga bikin gue batuk berkepanjangan. Pada akhirnya.......gue tetep ga bisa memenuhi ekpektasi dia. Dan....tetep mengecewakannya. Gue anak laki-laki dia yang bikin dia malu di hadapan teman-temannya. Padahal dia anggota militer di negara ini. Bisa lo bayangin gimana kacaunya keadaan gue dulu? Dan waktu itu....gue sendiri Gha. Ga ada yang bisa gue ajak bicara dan berbagi. Karena gue selalu ngerasa kalau gue.......aneh. Bahkan terkutuk. Jadi......gue tau bener apa yang lo rasain sekarang."
Aku terdiam. Duduk dengan kaku didepannya tanpa bisa mengatakan apapun.
"Gha, gua tahu, mungkin gua bukan orang orang yang paling sempurna dan baik. Gua masih punya banyak sekali kebusukan dalam diri gua. Gua juga telah banyak sekali melakukan kesalahan. Gua masih bisa ngerasa iri, dendam ataupun dengki. Dan nasehat dari gue mungkin bakal lo anggap sampah. Tapi tong denger gue. Gue tahu lo sekarang bingung, galau dan mungkin ketakutan. Tapi ga ada salahnya dalam mencintai seseorang Gha. Jangan pernah menganggap kalo diri lo hina. Apa lagi terkutuk. Gua tahu agama kita memandang homoseksualitas sebagai dosa dan perbuatan terkutuk. Tapi satu hal yang kudu lo yakinin, lo ada karena ada satu alas an di baliknya. Tuhan cip[tain lo, bukan untuk berakhir dengan sebuah predikat terkutuk, ataupun kesia-siaan belaka. Dulu gue juga berada di tempat lo sekarang ini. Gue selalu ngerasa kalo gue gak layak berada di dunia. Dunia akan lebih baik kalo makhluk seperti gue…tidak ada. Gua gak lebih dari sebuah produk gagal dari Tuhan Tapi perjalanan hidup membuat gue tahu.
Gue ada karena ada satu tujuan. Gue hidup karena memang Tuhan menginginkannya. Hidup gue, bukan sebuah kesia-siaan, apalagi petaka. Begitu juga elo. Sama seperti gue Gha. Lo punya pilihan. Lo mau hidup dengan penuh kepahitan, tenggelam dalam semua penyesalan dan gagal memenuhi ekspektasi orang yang gak tau dengan hidup yang lo jalani. Atau lu bangkit. Hidup dengan sesungguhnya dan merangkul apapun yang telah hidup berikan untuk lo. Memenuhi gelas kehidupan lo dengan pelajaran dan pengalaman yang akan membentuk lo menjadi sesuatu. Kesalahan bukan akhir dari sebuah perjalanan Gha. Kepahitan dalam hidup gak harus bikin lo jadi getir dan berhenti ngejalaninnya. Tapi dia bisa menjadi pengalaman yang bisa bikin lo kuat dan bijak. Lo yang nentuin gimana lo menjalani hidup. Kalau bisa gua kasih saran, jangan takut. Hidup Gha. Hiduplah. Itu aja."
“Tapi……gimana dengan hal lainnya Gi? Keluarga gue…. Gue memiliki kewajiban pada mereka. Gue harus berbakti pada orang tua gue dan…”
“Berbakti pada orang tua itu berbeda dengan menelan bulat-bulat arti kata itu Gha. Lo emag harus berbakti pada orang tua. Tapi yang lo kudu tau, lo juga punya kehidupan sendiri. Lo punya hak untuk menjalani apapun kehidupan yang lo inginkan. Benar bahwa orang tua kasih lo bekal buat ngejalanin hidup. Tapi hidup itu sendiri, elo yang jalanin. Berbakti pada orang tua bukan berarti lo hidup sesuai dengan cara dan keinginan mereka bukan?”
Aku tak menjawab. Aku hanya duduk terpaku dan memandang ke air kolam yang beriak. Tak berani mengatakan apapun pada Regi. Aku kembali berpaling saat kurasakan dia meraih bahuku.
“Jangan takut buat ngejalanin hidup ataupun berbuat salah,” ujar Regi dan tersenyum, “Dan jangan pernah nganggap kalo diri lo itu aneh dan gak layak. Inget aja satu hal, lo ada karena memang Tuhan menginginkannya. Dan ga ada satu orangpun didunia ini yang memiliki hak untuk mendiskreditkan pilihan hidup yang lo jalani. Apapun itu. Well, kecuali kalo lo berubah sinting dan mulai membantai orang-orang yang lo kenal.”
Aku tersenyum dan menepis tangannya, “Dasar banci sarap!!” umpatku pelan.
Regi tertawa kecil, “Jangan lupain itu ya?” katanya pelan dan bangkit. Aku yang mengikutinya hanya mengangguk.
“Makasih Gi,” kataku.
Regi mengangguk, “Lo ga masuk?” tanyanya lagi dan menunjuk ke belakang.
Aku menggeleng, “Gua masih pengen disini dulu,” jawabku tersenyum, “Lo aja yang masuk. Kasian si Nick lo anggurin.”
“Ih mana mungkin! Malam ini kita berdua bakal bulan madu. Jangan ngintip ya?” godanya sembari mengerlingkan mata.
“Najis!!!” umpatku dan berusaha memukulnya. Regi cuma cekikikan dan berlari menghindar dariku. Aku tersenyum melihatnya menjauh.
Mungkin banyak orang yang menyepelekan Regi karena caranya bersikap. Tapi dia benar-benar seseorangyang bisa diandalkan. Seorang teman yang tak akan pernah ragu untuk membantu. Bisa diandalkan dan dipercaya. Aku beruntung memilikinya. Bisa berbagi pengalaman hidup yang dia rasakan. Meski tak pernah sekalipun aku berpikir kalau kami akan memiliki masalah yang sama.
Aku kembali berbalik dan menatap laut dan deburan ombaknya di kegelapan. Melihat bayangan samar putih buih-buih ombak di kejauhan yang kadang terlihat.
Jatuh cinta pada Zaki…..
Aku kembali menarik nafas panjang. Membiarkan udara malam yang dingin memasuki rongga dadaku. Berharap dinginnya bisa sedikit meringankanku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Meski mungkin aku bisa menerima kalau aku jatuh cinta pada Zaki yang nota bene sesame pria, kemudian? Tak ada yang bisa aku lakukan bukan? Zaki sudah jelas suka dengan cewek…
Benarkah Gha? Bagaimana kalau Regi dan Vivi benar? Bahwa Zaki juga menyukaimu…..
Benakku berputar, mencoba mengingat semua hal yang pernah aku lewati bersama Zaki. Mencoba mengingat, bagian mana yang membuat Regi dan Vivi berpikiran seperti itu. Apa karena Zaki pernah memelukku? Seingatku, tak ada sentuhan yang bersifat seksual darinya. Bahkan ciumannya waktu itu hanya dia maksudkan untuk membungkamku kan? Zaki memang mengatakan kalau dia tak bermasalah kalau memang dia harus ‘berhubungan’ dengan lelaki. Tapi siapa yang percaya? Anna dan Emma adalah bukti nyata kalau dia lebih menyukai cewek. Dan tak sekalipun pernah beredar kabar kalau Zaki memiliki hubungan istimewa dengan seorang pria.
Lalu…….aku harus bagimana?
Aku diam disana, entahuntuk berapa lama. Membiarkan benakku mengembara tak karuan. Mengacuhkan semua yang ada di sekelilingku. Menutup semua panca indraku dari segalanya. Aku ingin berada dalam sebuah kehampaan absolut dimana tak ada beban pikiran yang kurasakan. Dimana aku bebas dan menjadi diriku sendiri. Tak tersakiti.
“Kau bisa sakit?”
Bisikan pelan itu membuatku membuka mata. Tubuhku tahu-tahu telah terbungkus sebuah jaket . Dan rasa hangat yang menenangkan terasa dari arah belakang. Mengalir dari tubuh Zaki yang nyaris menempel di punggungku. Tanpa sadar aku menahan nafas.
”Apa yang kau lakukan disini?” tanya Zaki dekat dengan telingaku, “Aku memanggilmu beberapa kali tadi. Tapi kau tak menyahut. Are you okay?”
“Fine!” jawabku, terlalu cepat. Menunjukkan dengan jelas kegugupanku.
Zaki tertawa kecil. Tawa yang membuat dadanya berguncang dan sedikit menggesek punggungku. Tiba-tiba saja, indra perasa dibagian tubuhku itu menajam dengan intensitas yang mencengangkan. Bulu kudukku sontan meremang.
“Kau kedinginan,” ujar Zaki dibelakangku. Dan aku nyaris pingsan saat kurasakan tangannya melingkar didadaku dan menarikku untuk lebih mendekat. Menempelkan punggung didadanya. Membuat hawa hangat itu makin jelas terasa. Aku sudah hendak berontak tapi nafasku kembali terhenti saat Zaki menekan tubuh kami berdua dan dia…… mendesah pelan.
Lututku terasa lemas dan nyaris tak mampu menahan berat tubuhku. Tanpa kusadari tanganku mencengkeram erat lengan dan tangan Zaki yang melingkar didadaku. Kepalaku bersandar dengan sendirinya di bahunya, sehingga keningku bersentuhan dengan rahangnya.
Demi Tuhann!!!!!
“Tubuhmu dingin,” bisiknya dan aku berni bersumpah bahwa dengan sengaja dia mengusapkan rahangnya ke sisi wajahku, ”Ngapain sih diam disini?”
Aku ingin menjawab. Tapi mulutku tak sanggup mengeluarkan sedikitpun suara. Kedekatan kami begitu menguasaiku. Tubuhku yang jauh lebih kecil darinya seakan-akan tenggelam ke dalam tubuh Zaki. Aroma harum tubuhnya yang biasa tercium bagai melingkupi udara yang ku hirup ke dalam sebuah gelembung suara.
“Gha…?”
Aku mencoba berdehem untuk mengumpulkan suara, ”Hanya i-ingin ber-berpikir,” kataku, hamper-hampir tak terdengar, bahkan oleh telingaku sendiri.
“Berpikir? Tentang apa?” Tanya Zaki lagi.
“Entahlah………….. Banyak hal,” jawabku dengan nada sama.
“Nggak dingin?”
Aku memejamkan mataku dan hanya mampu mengangguk untuk menjawabnya. Apa yang bisa kulakukan?
“Kutemani sebentar, lalu kau harus kedalam ok?” kata Zaki dengan nada meminta.
Lagi-lagi aku hanya menjawabnya dengan anggukan.
Kemudian kurasakan tangan Zaki kembali mempererat pelukannya didadaku dan kini dia benar-benar menempelkan dan mengusapkan rahangnya ke pipiku. Aku mengeluarkan suara desahan pelan dan akhirnya menyerah. Kusandarkan tubuhku padanya. Ku pasrahkan kepalaku ke dalam naungan hangat lehernya. Ku hirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang harum seperti biasa.
…………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………
Aku mencintainya…….

ZAKI

Aku duduk diatas pembaringan dan menatap layar tv plasma yang menyala didepanku tanpa tahu apa yang sedang tayang. Suara tv yang sebgaja ku kecilkan menjadikan tv itu seperti sebuah suara latar samar yang menjadi penghubung antara dunia yang ada dibenakku dan dunia nyata yang entah kenapa, terasa begitu jauh dan aneh. Kedua tanganku terkepal diantara kedua pahaku. Aku nyaris masih bisa merasakan kehangatan tubuh Regha yang tadi kupeluk. Lekuk tubuhnya yang menyatu didadaku. Terasa begitu pas, nyaman dan sudah tepat ditempatnya. Perasaan aneh yang baru sekali itu kurasakan saat tubuhku menyatu dengan pikiranku. Beberapa menit momen yang begitu intim yang kami bersama. Kedamaian aneh dan asing namun toh terasa begitu nyata dan berkesan, sehingga bahkan saat kini kami terpisah, aku masih bisa merasakan gelitik rasanya diantara kedua dadaku dan juga jemari tanganku. Baru beberapa menit tadi, tapi tubuhku sudah menginginkan untuk kembali bersatu dengannya lagi. Fisik kami yang kusadari telah terpisah, perlahan-lahan memunculkan sebuah sensasi nyeri didadaku yang kini mulai bertambah secara perlahan. Begitu menyakitkan sehingga tahu-tahu tubuhku mulai bergetar.
Hatiku serasa diremas oleh dua tangan tak tampak. Kedua tangan yang seakan-akan memerah habis segenap panca indraku. Meminta dan bahkan mencoba memerintah tubuhku untuk kembali menemukan kehangatan tubuh Regha yang tadi kurasa. Hanya dalam hitungan menit, dan seolah-olah aku telah menjadi seorang pecandu akan tubuh Regha. Rasanya benar-benar menyakitkan……
Tubuhku bergetar hebat sementara nafasku berubah menjadi pendek dan terengah-engah.
Aku menjatuhkan diri di pembaringan dengan mata terpejam.
Percakapanku bersama Justin di restoran tadi kembali terdengar…….

Saat itu aku sudah mulai hendak mengatakan sesuatu saat ponsel Robin bordering dan sedikit mengagetkan kami. Robin mengangkatnya dan segera, sebuah kerutan muncul dikeningnya.
“Wait a moment, please,” pamitnya pada siapapun yang menghubunginya, dan menoleh pada Justin, “Our tour guide is in hotel now. I have to meet him. You stay here and catch up with Zake and let me handle him ok?”
Justin mengangguk, melepaskan sebelah tangan Robin yang sedari tadi digenggamnya, “You know that I might…”
“Take as much time as you need,” potong Robin sembari bangkit, “I need to go Zake. So sorry I can’t accompany you much longer. I’ll see you next time, ok”? pamitnya yang hanya ku balas dengan anggukan.
Kami berdua mengamatinya pergi dengan mata kami. Saat tubuhnya menghilang dari pintu restoran, aku berpaling pada Justin. Memperhatikannya yang juga melihatku dengan mata datarnya.
”You really love him, do you? It’s not like those other times before,” gumamku tanpa menyembunyikan keherananku. Selama kami bersama, Aku Justin dan yang lain, aku benar0benar belum pernah melihat Justin memandang seseorang seperti dia memandang Robin tadi. Kedekatan mereka, interaksi fisik mereka, bahasa tubuh mereka. Seakan-akan aku melihat sisi asing dari Justin yang selama ini tak pernah ku ketahui.
“I do Zake. And trust me, it was scary at first,” kata Justin dan mengangkat bahunya.
“Justin……… bagaimana bisa.. Kau…” aku bahkan tak tahu bagaimana meneruskan kalimatku.
“Aku tak tahu Zake. I just love him. Percayalah, aku sudah berusaha menyangkal dan melawan perasaanku padanya. Aku berkali-kali menyakiti Robin dalam proses penerimaan diriku. Aku mendekatinya, memanfaatkannya, lalu membuang dirinya keesokan hari. Aku mencintainya, menyayangi dan memeluknya di satu saat, tapi hanya berselang beberapa kemudian, aku membenci dan menyakitinya. Menjauhkan diriku sebisa mungkin darinya. But I keep coming back. Karena saat terpisah darinya, tubuh dan pikiranku berteriak untuk kembali memeluknya. Aku membenci sekaligus membencinya pada saat yang bersamaan. Semuanya sangat……… membingungkan dan membuatku frustasi.”
“Tidakkah kau mencoba untuk berhubungan dengan cewek lagi, seperti dulu?”
“I did,” jawab Justin dan tertawa kecil, “Bahkan saat dia masih berada di apartemenku, saat kesadaranku muncul, aku akan langsung panik dan menelepon siapapun yang ada di ponselku dan memintanya datang saat itu juga. Aku akan meniduri siapapun yang kemudian bisa ku hubungi dan datang. Bahkan sebelum Robin pergi dari sana. Membiarkannya melihatku menyetubuhi cewek-cewek itu. Menunjukkan padanya bahwa kami berdua, berbeda. Bahwa aku tidak sama sepertinya. Bahwa aku…….bukan seorang gay.”
Suara Justin menjadi semakin pelan. Matanya menerawang dengan kening berkerut, seakan-akan mengingat sebuah kenangan yang menyakitkan.
“It was sick Zake. It was….. disgusting. Aku nyaris tak merasakan apapun saat itu. Saat aku menggunakan tubuh mereka, saat aku menyetubuhi cewek-cewek itu, seakan-akan aku sedang membunuh perlahan jiwaku sendiri. Aku berakhir muntah dikamar mandi sesudahnya. Merasa begitu rendah, sakit dan menjijikkan. I can’t Zake. I’ve tried. I didi everything I could. Tapi pada akhirnya, aku memang membutuhkan Robin.”
Kembali untuk beberapa lamanya kami berdua terdiam. Membiarkan sedikit atmosfir berat diantara kami berdua menguap.
“Lalu bagaimana dengan dirimu? Kau sudah bisa memahami perasaan yang kau rasakan? Tidak lagi bingung dengan orientasimu kan?”
Aku tersentak kaget. Justin hanya tersenyum tipis dengan mata yang menatapku datar.
“Come on, Zake. I’m not that stupid. Aku tahu waktu itu kau menanyakan masalahmu sendiri. Have you slept with him?”
“W-what? No! I haven’t!” sangkalku cepat dengan wajah yang seakan terbakar.
“Haven’t?” tanya Justin dengan sebelah alis terangkat.
“I WON’T!!” sergahku keras.
“Fine! You don’t have to be defensive. I hear you,” tukasnya dan sedikit tertawa geli.
“JUSTIN!!”
“I’m sorry,” ujar Justin dan berusaha menahan diri, “Look, I’ve been there Zake. It hurts and confusing. Tak ada orang lain yang bisa membuatmu melakukan apa yang tak kau inginkan, aku tahu itu. Kau yang harus memahaminya sendiri. Whether you love him or not!”
Aku terperangah mendengarnya, “I deinately don’t love him!”
“Then good for you! Tapi jika ada keraguan yang kau rasakan, kau mungkin harus memikirkannya lagi. Tapi, ambillah contoh dariku. Jangan berbuat bodoh hanya untuk menyangkal apa yang kau rasakan. Hingga kini, aku masih bergidik jika mengingat apa yang ku lakukan untuk menyakiti Robin. Jangan melakukannya. Karena itu akan terus menghantuimu.”
“I don’t love him, Justin!” gerutuku dengan menekankan kalimat tadi.
“I’m just saying that it’s okay if you do!” dia mengangkat tangannya untuk menahanku yang sudah bersiap untuk menyangkal, “Coba untuk lebih memahami apa yang kau rasakan. Kalau kau merasa sakit saat jauh darinya. Kalau kau tak pernah bisa terlepas dari bayangannya. Saat bersama dengan orang lain terasa salah, saat memeluk dan bercinta dengan orang lain membuatmu membenci dirimu sendiri, maka kau tahu, bahwa kau….menciantainya, “ kata Justin dengan mata yang langsung menatapku.

Kalimat terakhirnya itu yang kini terngiang di telingaku.
It can’t be, batinku. Aku tak mungkin mencin……
See? Bahkan mencoba mengucapkannya terasa begitu salah bagiku. Tak mungkin! Meski aku harus mengakui, bahwa memeluk tubuhnya terasa begitu nyaman dan menenangkan. Mendekap tubuhnya memberikan kedamaian asing yang terasa akrab dan ku rindukan. Tapi itu tidak berarti aku mencintainya. Shit!!!  I need to get my head straight! Pikirku kesal dan segera meraih ponselku. Mencoba untuk tidak mengacuhkan rasa melilit yang tiba-tiba saja terasa diperutku.

REGHA

Aku duduk dan mencoba menelan sarapanku. Zaki telah mengatur kalau sarapan kami diantar ke kamar tiap paginya. Dan aku masih terjaga saat pelayan hotel datang membawa trolley mereka. Semalaman mataku tak bisa kupejamkan. Semalaman aku mencoba menata hati dan perasaanku yang kacau balau. Setelah apa yang terjadi semalam, aku tak tahu harus melakukan apa. 
Ok, mungkin aku telah bisa mengakui perasaanku terhadap Zaki. Lalu? Dan pertanyaan yang paling penting adalah, bagaimana perasaan Zaki terhadapku? Apa benar dia juga memiliki perasaan yang sama padaku seperti yang dikatakan oleh Vivi dan Regha? Pelukannya semalam……..itu tak berarti kalau dia juga menyukaiku kan?
Malam itu, setelah keheningan yang nyaman dan entah berapa lama, kami berdua akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kamar hotel. Udara sudah semakin terasa menususk dinginnya. Aku juga masih ingat rasa canggung yang sepertinya tidak saja dirasakan olehku, tapi juga Zaki saat kami berpisah didepan pintu kamarku. Ada kilasan ide konyol saat aku ingin mengundangnya masuk ke dalam kamarku. Tapi aku bisa menahan mulutku pada detik terakhir. Dan diapun berlalu dengan langkah perlahan.
Aku mendesah pelan….
Mengingat kembali apa yang kurasakan semalam saat memeluknya membuatku teringat akan kenyamanan luar biasa yang jauh lebih menenangkan dari apapun yang pernah kurasakan sebelumnya. Kedekatan kami semalam merupakan hal terintim yang pernah kurasakan bersama dengan orang lain, selain keluargaku sendiri.
“NEEEKKK!!! Jij sutra bangun tintaaa?!!”
Teriakan cempreng Regi membuat langkahku ke beranda terhenti. Pagi-pagi sudah ribut aja tuh anak, batinku geli, “Udah Gi! Masuk aja!!” balasku dan meneruskan langkah untuk duduk di balkon hotel. Sepertinya sarapan sembari memandang pantai di pagi hari adalah ide yang bagus!
Regi menyusulku heboh bersama dengan Vivi. Mereka langsung duduk didepanku sembari meletakkan sarapan mereka dimejaku.
“Jadi gimana?” tanya Regi dengan wajah berbinar antusias. Vivi yang berdiri disebelahnya ikutan pasang tampang mupeng ga jelas. Tentu saja aku bengong.
“Apanya?” tanyaku bingung.
“Elu ma Zaki semalem. Did he kiss you?” Tanya Vivi.
Mulutku terbuka lebar tanpa ada suara yang keluar. Reaksi pertamaku, tentu saja ingin mengatakan kalau mereka sudah hilang akal, atau enggak, ngigo. Tapi aku segera mengerti kenapa mereka menanyakannya.
“Kalian ngintip semalem kan?” Ganti aku yang bertanya dengan nada geram, meski wajahku mulai terasa panas.
“Gak sengaja. Jadi kemaren ikke ma Nick ciuman di balkon. Terus ngeliat kalian pelukan mesra di bawah. Ikke pengen ngintip, tapi Nick gak bolehin. Padahal kan ikke penasaran. Jadi gimana? Apa semalem kalian….”
“JANGAN SINTING!!” sergahku gerah. Aku benar-benar ingin mengalihkan pembicaraan kami kea rah lain. Tapi mereka berdua jelas tak akan membiarkannya. Keduanya duduk diam untuk mendengar penjelasanku, “Tak ada ciuman Gi, Vi. Semalem gue Cuma ngerasa kedinginan, jadi dia……..peluk gue.”  Dua kata terakhir kuucapkan dengan lirih dan nyaris tak terdengar, sementara wajahku kali ini benar-benar terasa seperti digoreng.
“Kenapa gak lo cium aja sih dia?” serobot Vivi, terdengar sedikit kesal.
“Apaan sih lu?!!” sentakku dan segera bangkit untuk menjauh dari mereka.
“GHA!!!” panggil Regi, membuatku berhenti, meski aku tetap tak membalikkan badan, “Jadi……………lo udah ngerti apa yang lo rasain?”
Diam sejenak. Aku ingin memberikan dalih-dalih lama yang sudah sering aku katakana pada mereka berdua. Tapi aku tahu, percuma. Baik Vivi ataupun Regi, telah menyadari semuanya. Bahkan sebelum aku bisa mengakuinya. Jadi……………tak aka nada gunanya.
“I really love him,” bisikku lirih. Terlalu ngeri untuk mengucapkannya dengan nada normal. Sesaat kemudian, kurasakan sebuah tangan meremas bahuku. Vivi mendekat dari sisi kananku dengan Regi yang mengikuti disisi lainnya.
“Gak ada yang salah dengan itu Gha,” kata Vivi, “Lu hanya mencintai seseorang. Dan itu indah kok.”
“Gue tahu lu masih butuh waktu untuk menerima semuanya. Tapi dengan mengucapkan kalimat tadi, lu udah selangkah lebih maju dari sebelumnya,” sambung Regi pelan, “Dan gak ada seorangpun didunia ini yang bisa mendikte elu, untuk ngelakuin hal yang tidak lu inginkan. Hanya karena lu cinta Zaki, gak berarti lu akan jadi seperti gue atau orang lain. Atau banci gaul lain yang beredar di luar sana..’
“Gi……”
“Elu tetaplah elu! Regha!” potong Regi, “Jadi jangan pernah menganggap diri lu turun derajat atau menjadi lebih rendah dari sebelumnya. Lu jauh lebih baik dari beberapa orang terhormat yang gua kenal di luar sana. Jangan lupakan itu ya?”
Aku hanya mampu mengangguk untuk meresponnya, “Lagipula, gak ada yang bisa gua lakukan dengan perasaan ini. Gua gak mungkin juga nembak Zaki kan? Cukuplah gua jadi anak ceroboh dimatanya. Jangan yang lain. Ngeri kalau dia ngeliat gua sebagai seorang………..”
“Dia juga peduli ma elo Gha,” sela Vivi membuatku sontan berpaling padanya. Bahkan Regi yang kemudian berdiri disampingnya ikut meyakinkanku dengan menganggukkan kepala.
“Gak mungkin. Dia………”
“Selalu ada buat lo. Bantu elo. Pernah cium lo seklai. Dan semalem dengan santainya memeluk elo, padahal lo cuma kedinginan doing. Lo ga buta kan?” serobot vivi dengan nada tak sabar. Aku diam, tak mampu menjawabnya. Keheningan diantara kami dipecah oleh bunyi sms yang masuk di ponselku. Aku membaca pesan yang ternyata dari Zaki.
“Zaki ingin kita gabung sarapan di bawah bareng yang lain. Dia bilang ada yang ingin diomongin,” kataku pada mereka, mencoba untuk tidak memperdulikan pembicaraan kami sebelumnya.
“Pikirkan saja apa yang kami katakana tadi, ok?” ujar Vivi. Aku hanya mengangguk dan mendahului mereka melangkah keluar. Kami bertemu Nick yang ternyata telah berada di lorong, menunggu Regi. Dia mengulurkan tangannya dan bersama kami turun ke bawah.
Kami mendapati Zaki sedang duduk bersama dengan dua orang temannya yang semalam. Mereka tampak mengobrol dengan santai. Zaki melambaikan tangan saat melihat kami mendekat.
“Guys, I want you to meet my friend. This is Justin. And that is…..” dia tampak ragu sejenak dan memandang Justin, seolah-olah meminta persetujuannya.
“This is my boyfriend, Robin,” ujar Justin yang kemudian bangkit dan mengulurkan tangan. Hal itu tentu saja membuat kami semua sedikit tertegun. Regi yang akhirnya sadar terlebih dulu dan menyambut uluran tangan Justin.
“Hi, Justin, Robin. I’m so sorry. But you got us off guard,” ujarnya dan tertawa kecil, membuat kami semua seperti tersadar dari keterpakuan kami, “I’m Regi. And this is my boyfriend, Nick.”
Ku lihat sedikit ketegangan yang tampak pada Robin mengendur saat Regi mengenalkan Nick sebagai pacarnya. Sepertinya dia cukup was-was akan reaksi kami. Meski mungkin dia seharusnya lebih santai dan mungkin bangga. Justin cowok yang menarik. Memiliki tubuh gagah dengan rambut pirang, kulit khas anak bule pantai yang tanned dan mata biru menawan. Robin sendiri bertubuh lebih pendek dan lebih ramping darinya.
“Hallo,” sapaku, “Regha,” kataku memperkenalkan diri yang kemudian diikuti oleh Vivi.
“Kalian tidak keberatn ikut tur wisata bareng Justin dan Robin kan?” kata Zaki saat kami semua telah duduk.
“Kebetulan kami telah menyewa jasa tur Bali yang memiliki rekomendasi bagus. Mobil yang kami pakai cukup lapang. Dan akan lebih meriah kalau kalian bisa bergabung bersama kami,” kata Justin.
‘Yeah, kenapa enggak”? ujar Regi dan menoleh pada kami yang lain. aku Cuma mengangkat bagu untuk menjawabnya.
“And I have surprise for you Vi,” kata Zaki dan menunjuk ke arah samping dengan dagunya. Kulihat Jordan melambaikan tangannya pada kami. Vivi memekik girang dan segera bangkit untuk menyambutnya. Tapi mataku terpaku pada sosok yang kemudian muncul di belakang Jordan dan mendekat dengan cepat ke arah kami.
Anna!
Zaki bangkit menyambut Anna yang akhirnya menjatuhkan dirinya dalam pelukan Zaki. Dan detik berikutnya, zaki telah mencium bibir Anna dengan penuh gairah. Kami bahkan bisa mendengar desahannya dari tempat duduk kami. Perutku langsung terasa mulas. Sementara dadaku terasa nyeri luar biasa, dan tubuhku mendadak kaku.
Aku lalu tak mendengar lagi siapa yang kemudian bicara, atau apa yang mereka katakan. Telingaku seakan-akan tertutup selaput tebal, sementara rasa nyeri dan sakit di dadaku semakin menghebat. Hanya dalam hitungan detik, nafasku mulai terasa sesak. Aku memejamkan mata rapat, karena kalau tidak, aku pasti akan muntah.
“REGHA!!!”
Panggilan keras dan goncangan yang cukup kuat dibahuku membuatku membuka mata. Kudapati Regi dan yang lain menatapku dengan pandangan cemas. Dan baru kemudian aku sadar kalau sedari tadi aku menahan nafasku. Aku menarik nafas panjang. Mengisi paru-paruku yang sesak. Aku terengah-engah tanpa mampu menahannya. Kudekap kedua tanganku di dada untuk menahan nyeri. Dan tubuhku mulai berkeringat.
“Lu gak papa?” tanya Regi khawatir dan meraba keningku. Tapi aku bisa melihat sorot iba dari matanya dan juga Vivi. Aku mencoba tersenyum dan menggeleng.
“M-ma-maaf,” kataku dengan suara gemetar. Aku berdehem keras untuk mengumpulkan suara. Ku angkat tanganku untuk mengusap dahiku yang basah dalam sekejap, “Se-sepertinya aku masuk angin. Ma-maaf. Sepertinya aku tak bisa ikut tur kalian. Kalian pergi saja. Aku akan beristirahat di kamar.” Kataku dan bangkit. Tapi mungkin karena bergerak terlalu cepat, kepalaku langsung pusing dan dunia seakan-akan berputar. Kalau saja Nick tidak sigap dan menahanku, aku pasti sudah terjatuh. Beberapa dari mereka memekik kaget.
“Gha, lo…”
“Gua gak pa-pa. Maaf. Hanya butuh istirahat,” gumamku pelan.
“Let me take him,” kata Nick yang kemudian setengah memeluk untuk menyanggahku dan kemudian membawaku menjauh.
“Thanks Nick,” bisikku lirih saat kami melangkah. Nick hanya menjawab dengan remasan pelan dibahuku yang entah mengapa terasa menenangkan. Seakan-akan dia mencoba menyampaikan simpatinya dengan itu, dan aku memahaminya. Aku benar-benar ingin memejamkan mata dan berbaring di kasur. Sebenarnya aku ingin pergi sendiri, kembali ke kamarku. Sebuah tempat perlindungan kecil yang terasa begitu penting bagiku saat ini. Aku tak ingin semakin mempermalukan diri ataupun membuat yang lain merasa heran dan bertanya-tanya. Tapi kakiku benar-benar tak sanggup menopang tubuhku. Nick nyaris harus mengangkat tubuhku.
Aku sungguh merasa lega saat kami telah sampai dalam kamarku. Sial! Aku bahkan hampir terisak saat melihat tempat tidur konyol itu.
“Be careful,” ujar Nick pelan dan membantuku untuk berbaring. Begitu tubuhku rebah, aku memejamkan mataku rapat. Kugunakan lengan kananku untuk menutupi mataku yang mendadak kembali nyeri.
“Thanks…” bahkan membisikkan kata itu terasa hamper mustahil. Namun toh aku mampu melakukannya, meski mungkin tak dapat didengar oleh Nick.
“Gha….”
Panggilan pelan Regi membuatku membuka mata dan bangkit duduk. Regi mengikuti duduk disebelahku. Pandangan ibanya saat melihatku membuatku semakin merasa nelangsa. Apalagi Vivi yang kemudian masuk mengikutinya dengan tatapan yang sama. Aku mencoba mengulas senyum untuk mereka. Hanya itu yang mampu ku lakukan, karena aku yakin, kalau aku membuka mulutku, air mataku akan tumpah. Tak tertahan. Apa kata Nick nanti.
Yang tak disangka adalah saat Nick bergumam pelan dan pamit keluar. Saat itulah aku pertahananku runtuh. Aku mencengkeram dadaku yang kembali terasa nyeri.
“Sakit Gi…” bisikku lirih.
Regi hanya tersenyum tipis dan mengangguk paham. Aku tahu dia mengerti. Dia dan juga Vivi yang menyeka sudut matanya tahu benar apa yang aku rasakan. Jadi aku membiarkan semuanya mengalir. Membiarkan rasa sakit itu menyebar ke sekujur tubuhku. Membuatku gemetar dengan begitu hebatnya. Regi meraihku dalam pelukannya.
Dan akupun menangis disana…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar