REGHA
Aku berdiri disebelah kolam renang, membirkan
udara dingin malam menerpa tubuhku dengan hembusannya yang sedikit kejam malam
ini. Aku bisa merasakan gesekan udara di kulitku, merasakan dinginnya yang
menembus tubuhku. Meski biasanya aku tak menyukainya, tapi malam ini aku menyambut
rasa dingin itu dengan penuh rasa syukur. Aku lebih memilih merasakan dingin
ini daripada kebingungan yang ada dalam benakku sekarang. Aku tak ingin
memikirkan apapun. AKu ingin pikiranku kosong, hampa. Tapi… begitu banyak hal
yang berkecamuk didalamnya. Hampir-hampir membuatku kewalahan.
Aaaaahhh........
Aku mendesah,
mencoba mengenyahkan rasa sesak yang kurasakan sejak kami pulang dari makan
malam tadi. Tak ada gunanya bukan? Entah
apapun dalih yang aku pikirkan, hal itu tak akan mengubah kenyataan.
"Belum tidur
Gha?"
Teguran yang berasal
dari belakang itu sedikit mengejutkanku. Aku berpaling dengan cepat, mendapati
Regi yang berdiri disana dengan senyum tipisnya. Dibelakangnya, aku bisa
melihat sosok Nick yang melangkah masuk kedalam hotel.
"Baru pulang
Gi?" tanyaku balik.
Regi mengangguk dan
kemudian duduk di kursi panjang di pinggir kolam. Lalu dia kembali menatapku
dengan sorot yang biasanya. Pandangan yang seolah-olah mengatakan bahwa dia
tahu apa yang sedang kupikirkan.
"Gua harus minta maaf ma elu Gha," katanya
pelan, membuatku mengangkat sebelah alis. Regi tak langsung menjawab. Dia hanya
kembali tersenyum lalu menunjuk ke kursi yang ada di depannya.
Aku menurutinya
meski sedikit heran.
"Gue minta maaf
kalau siang tadi gua nyolot ma elo.
Seharusnya gue bisa lebih bersimpati. Kalo gue yang udah jelas gini aja masih
bisa galau dulu, apalagi elu yang normal asalnya," ujar Regi pelan.
Aku semakin
mengerutkan dahi mendengarnya.
"Ketertarikan
lo ma Zaki," jelasnya dengan nada gemas dan menjitak pelan kepalaku seraya
menggeram pelan, "Dari semua orang yang ada, mestinya gue orang yang
paling bisa ngerti kegalauan en kebimbangan yang lo rasain. Gue pernah berada
dalam posisi lo Gha. Gue pernah berada dalam kebimbangan. Masa-masa dimana
terkadang gue......ngerasa gak layak buat hidup. Apalagi dengan sikap bokap
gue....." Regi menghela nafas dengan tatapan menerawang.
"Bokap gue
adalah orang yang paling gak bisa nerima keadaan gue yang kayak gini. Dan dia
sudah sering menunjukkannya tanpa sungkan. Baik lewat lisan, ataupun tindakan.
Sering kali gue ngerasa kalo dia .....menyesal punya anak kaya gue. Ada masa
dimana dulu gue mati-matian berusaha agar dia mau nerima gue. Gue ikut klub
karate, merokok, pacaran ma cewek dan berbagai macam tingkah macho lainnya.
Tapi gue tetep ga bisa. Gue selalu kalah dalam pertandingan. Minum bikin gue
sakit. Merokok juga bikin gue batuk berkepanjangan. Pada akhirnya.......gue
tetep ga bisa memenuhi ekpektasi dia. Dan....tetep mengecewakannya. Gue anak
laki-laki dia yang bikin dia malu di hadapan teman-temannya. Padahal dia
anggota militer di negara ini. Bisa lo bayangin gimana kacaunya keadaan gue
dulu? Dan waktu itu....gue sendiri Gha. Ga ada yang bisa gue ajak bicara dan
berbagi. Karena gue selalu ngerasa kalau gue.......aneh. Bahkan terkutuk.
Jadi......gue tau bener apa yang lo rasain sekarang."
Aku terdiam. Duduk
dengan kaku didepannya tanpa bisa mengatakan apapun.
"Gha, gua tahu,
mungkin gua bukan orang orang yang paling sempurna dan baik. Gua masih punya
banyak sekali kebusukan dalam diri gua. Gua juga telah banyak sekali melakukan
kesalahan. Gua masih bisa ngerasa iri, dendam ataupun dengki. Dan nasehat dari
gue mungkin bakal lo anggap sampah. Tapi tong denger gue. Gue tahu lo sekarang
bingung, galau dan mungkin ketakutan. Tapi ga ada salahnya dalam mencintai
seseorang Gha. Jangan pernah menganggap kalo diri lo hina. Apa lagi terkutuk.
Gua tahu agama kita memandang homoseksualitas sebagai dosa dan perbuatan
terkutuk. Tapi satu hal yang kudu lo yakinin, lo ada karena ada satu alas an di
baliknya. Tuhan cip[tain lo, bukan untuk berakhir dengan sebuah predikat
terkutuk, ataupun kesia-siaan belaka. Dulu gue juga berada di tempat lo
sekarang ini. Gue selalu ngerasa kalo gue gak layak berada di dunia. Dunia akan
lebih baik kalo makhluk seperti gue…tidak ada. Gua gak lebih dari sebuah produk
gagal dari Tuhan Tapi perjalanan hidup membuat gue tahu.
Gue ada karena ada
satu tujuan. Gue hidup karena memang Tuhan menginginkannya. Hidup gue, bukan
sebuah kesia-siaan, apalagi petaka. Begitu juga elo. Sama seperti gue Gha. Lo
punya pilihan. Lo mau hidup dengan penuh kepahitan, tenggelam dalam semua
penyesalan dan gagal memenuhi ekspektasi orang yang gak tau dengan hidup yang
lo jalani. Atau lu bangkit. Hidup dengan sesungguhnya dan merangkul apapun yang
telah hidup berikan untuk lo. Memenuhi gelas kehidupan lo dengan pelajaran dan
pengalaman yang akan membentuk lo menjadi sesuatu. Kesalahan bukan akhir dari
sebuah perjalanan Gha. Kepahitan dalam hidup gak harus bikin lo jadi getir dan
berhenti ngejalaninnya. Tapi dia bisa menjadi pengalaman yang bisa bikin lo
kuat dan bijak. Lo yang nentuin gimana lo menjalani hidup. Kalau bisa gua kasih
saran, jangan takut. Hidup Gha. Hiduplah. Itu aja."
“Tapi……gimana dengan
hal lainnya Gi? Keluarga gue…. Gue memiliki kewajiban pada mereka. Gue harus
berbakti pada orang tua gue dan…”
“Berbakti pada orang
tua itu berbeda dengan menelan bulat-bulat arti kata itu Gha. Lo emag harus
berbakti pada orang tua. Tapi yang lo kudu tau, lo juga punya kehidupan sendiri.
Lo punya hak untuk menjalani apapun kehidupan yang lo inginkan. Benar bahwa
orang tua kasih lo bekal buat ngejalanin hidup. Tapi hidup itu sendiri, elo
yang jalanin. Berbakti pada orang tua bukan berarti lo hidup sesuai dengan cara
dan keinginan mereka bukan?”
Aku tak menjawab.
Aku hanya duduk terpaku dan memandang ke air kolam yang beriak. Tak berani
mengatakan apapun pada Regi. Aku kembali berpaling saat kurasakan dia meraih
bahuku.
“Jangan takut buat
ngejalanin hidup ataupun berbuat salah,” ujar Regi dan tersenyum, “Dan jangan
pernah nganggap kalo diri lo itu aneh dan gak layak. Inget aja satu hal, lo ada
karena memang Tuhan menginginkannya. Dan ga ada satu orangpun didunia ini yang
memiliki hak untuk mendiskreditkan pilihan hidup yang lo jalani. Apapun itu.
Well, kecuali kalo lo berubah sinting dan mulai membantai orang-orang yang lo
kenal.”
Aku tersenyum dan
menepis tangannya, “Dasar banci sarap!!” umpatku pelan.
Regi tertawa kecil,
“Jangan lupain itu ya?” katanya pelan dan bangkit. Aku yang mengikutinya hanya
mengangguk.
“Makasih Gi,”
kataku.
Regi mengangguk, “Lo
ga masuk?” tanyanya lagi dan menunjuk ke belakang.
Aku menggeleng, “Gua
masih pengen disini dulu,” jawabku tersenyum, “Lo aja yang masuk. Kasian si
Nick lo anggurin.”
“Ih mana mungkin!
Malam ini kita berdua bakal bulan madu. Jangan ngintip ya?” godanya sembari
mengerlingkan mata.
“Najis!!!” umpatku
dan berusaha memukulnya. Regi cuma cekikikan dan berlari menghindar dariku. Aku
tersenyum melihatnya menjauh.
Mungkin banyak orang
yang menyepelekan Regi karena caranya bersikap. Tapi dia benar-benar
seseorangyang bisa diandalkan. Seorang teman yang tak akan pernah ragu untuk
membantu. Bisa diandalkan dan dipercaya. Aku beruntung memilikinya. Bisa
berbagi pengalaman hidup yang dia rasakan. Meski tak pernah sekalipun aku
berpikir kalau kami akan memiliki masalah yang sama.
Aku kembali berbalik
dan menatap laut dan deburan ombaknya di kegelapan. Melihat bayangan samar
putih buih-buih ombak di kejauhan yang kadang terlihat.
Jatuh cinta pada
Zaki…..
Aku kembali menarik
nafas panjang. Membiarkan udara malam yang dingin memasuki rongga dadaku.
Berharap dinginnya bisa sedikit meringankanku. Apa yang harus aku lakukan
sekarang? Meski mungkin aku bisa menerima kalau aku jatuh cinta pada Zaki yang
nota bene sesame pria, kemudian? Tak ada yang bisa aku lakukan bukan? Zaki
sudah jelas suka dengan cewek…
Benarkah Gha?
Bagaimana kalau Regi dan Vivi benar? Bahwa Zaki juga menyukaimu…..
Benakku berputar,
mencoba mengingat semua hal yang pernah aku lewati bersama Zaki. Mencoba
mengingat, bagian mana yang membuat Regi dan Vivi berpikiran seperti itu. Apa
karena Zaki pernah memelukku? Seingatku, tak ada sentuhan yang bersifat seksual
darinya. Bahkan ciumannya waktu itu hanya dia maksudkan untuk membungkamku kan?
Zaki memang mengatakan kalau dia tak bermasalah kalau memang dia harus
‘berhubungan’ dengan lelaki. Tapi siapa yang percaya? Anna dan Emma adalah
bukti nyata kalau dia lebih menyukai cewek. Dan tak sekalipun pernah beredar
kabar kalau Zaki memiliki hubungan istimewa dengan seorang pria.
Lalu…….aku harus
bagimana?
Aku diam disana,
entahuntuk berapa lama. Membiarkan benakku mengembara tak karuan. Mengacuhkan
semua yang ada di sekelilingku. Menutup semua panca indraku dari segalanya. Aku
ingin berada dalam sebuah kehampaan absolut dimana tak ada beban pikiran yang
kurasakan. Dimana aku bebas dan menjadi diriku sendiri. Tak tersakiti.
“Kau bisa sakit?”
Bisikan pelan itu
membuatku membuka mata. Tubuhku tahu-tahu telah terbungkus sebuah jaket . Dan
rasa hangat yang menenangkan terasa dari arah belakang. Mengalir dari tubuh
Zaki yang nyaris menempel di punggungku. Tanpa sadar aku menahan nafas.
”Apa yang kau
lakukan disini?” tanya Zaki dekat dengan telingaku, “Aku memanggilmu beberapa
kali tadi. Tapi kau tak menyahut. Are you okay?”
“Fine!” jawabku,
terlalu cepat. Menunjukkan dengan jelas kegugupanku.
Zaki tertawa kecil.
Tawa yang membuat dadanya berguncang dan sedikit menggesek punggungku.
Tiba-tiba saja, indra perasa dibagian tubuhku itu menajam dengan intensitas
yang mencengangkan. Bulu kudukku sontan meremang.
“Kau kedinginan,”
ujar Zaki dibelakangku. Dan aku nyaris pingsan saat kurasakan tangannya
melingkar didadaku dan menarikku untuk lebih mendekat. Menempelkan punggung
didadanya. Membuat hawa hangat itu makin jelas terasa. Aku sudah hendak
berontak tapi nafasku kembali terhenti saat Zaki menekan tubuh kami berdua dan
dia…… mendesah pelan.
Lututku terasa lemas
dan nyaris tak mampu menahan berat tubuhku. Tanpa kusadari tanganku
mencengkeram erat lengan dan tangan Zaki yang melingkar didadaku. Kepalaku
bersandar dengan sendirinya di bahunya, sehingga keningku bersentuhan dengan
rahangnya.
Demi Tuhann!!!!!
“Tubuhmu dingin,”
bisiknya dan aku berni bersumpah bahwa dengan sengaja dia mengusapkan rahangnya
ke sisi wajahku, ”Ngapain sih diam disini?”
Aku ingin menjawab.
Tapi mulutku tak sanggup mengeluarkan sedikitpun suara. Kedekatan kami begitu
menguasaiku. Tubuhku yang jauh lebih kecil darinya seakan-akan tenggelam ke
dalam tubuh Zaki. Aroma harum tubuhnya yang biasa tercium bagai melingkupi
udara yang ku hirup ke dalam sebuah gelembung suara.
“Gha…?”
Aku mencoba berdehem
untuk mengumpulkan suara, ”Hanya i-ingin ber-berpikir,” kataku, hamper-hampir
tak terdengar, bahkan oleh telingaku sendiri.
“Berpikir? Tentang
apa?” Tanya Zaki lagi.
“Entahlah…………..
Banyak hal,” jawabku dengan nada sama.
“Nggak dingin?”
Aku memejamkan
mataku dan hanya mampu mengangguk untuk menjawabnya. Apa yang bisa kulakukan?
“Kutemani sebentar,
lalu kau harus kedalam ok?” kata Zaki dengan nada meminta.
Lagi-lagi aku hanya
menjawabnya dengan anggukan.
Kemudian kurasakan
tangan Zaki kembali mempererat pelukannya didadaku dan kini dia benar-benar
menempelkan dan mengusapkan rahangnya ke pipiku. Aku mengeluarkan suara desahan
pelan dan akhirnya menyerah. Kusandarkan tubuhku padanya. Ku pasrahkan kepalaku
ke dalam naungan hangat lehernya. Ku hirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang
harum seperti biasa.
…………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………
Aku mencintainya…….
ZAKI
Aku duduk diatas
pembaringan dan menatap layar tv plasma yang menyala didepanku tanpa tahu apa
yang sedang tayang. Suara tv yang sebgaja ku kecilkan menjadikan tv itu seperti
sebuah suara latar samar yang menjadi penghubung antara dunia yang ada
dibenakku dan dunia nyata yang entah kenapa, terasa begitu jauh dan aneh. Kedua
tanganku terkepal diantara kedua pahaku. Aku nyaris masih bisa merasakan
kehangatan tubuh Regha yang tadi kupeluk. Lekuk tubuhnya yang menyatu didadaku.
Terasa begitu pas, nyaman dan sudah tepat ditempatnya. Perasaan aneh yang baru
sekali itu kurasakan saat tubuhku menyatu dengan pikiranku. Beberapa menit
momen yang begitu intim yang kami bersama. Kedamaian aneh dan asing namun toh
terasa begitu nyata dan berkesan, sehingga bahkan saat kini kami terpisah, aku masih
bisa merasakan gelitik rasanya diantara kedua dadaku dan juga jemari tanganku.
Baru beberapa menit tadi, tapi tubuhku sudah menginginkan untuk kembali bersatu
dengannya lagi. Fisik kami yang kusadari telah terpisah, perlahan-lahan
memunculkan sebuah sensasi nyeri didadaku yang kini mulai bertambah secara
perlahan. Begitu menyakitkan sehingga tahu-tahu tubuhku mulai bergetar.
Hatiku serasa
diremas oleh dua tangan tak tampak. Kedua tangan yang seakan-akan memerah habis
segenap panca indraku. Meminta dan bahkan mencoba memerintah tubuhku untuk
kembali menemukan kehangatan tubuh Regha yang tadi kurasa. Hanya dalam hitungan
menit, dan seolah-olah aku telah menjadi seorang pecandu akan tubuh Regha.
Rasanya benar-benar menyakitkan……
Tubuhku bergetar
hebat sementara nafasku berubah menjadi pendek dan terengah-engah.
Aku menjatuhkan diri
di pembaringan dengan mata terpejam.
Percakapanku bersama
Justin di restoran tadi kembali terdengar…….
Saat itu aku sudah
mulai hendak mengatakan sesuatu saat ponsel Robin bordering dan sedikit
mengagetkan kami. Robin mengangkatnya dan segera, sebuah kerutan muncul
dikeningnya.
“Wait a moment,
please,” pamitnya pada siapapun yang menghubunginya, dan menoleh pada Justin,
“Our tour guide is in hotel now. I have to meet him. You stay here and catch up
with Zake and let me handle him ok?”
Justin mengangguk,
melepaskan sebelah tangan Robin yang sedari tadi digenggamnya, “You know that I
might…”
“Take as much time
as you need,” potong Robin sembari bangkit, “I need to go Zake. So sorry I
can’t accompany you much longer. I’ll see you next time, ok”? pamitnya yang
hanya ku balas dengan anggukan.
Kami berdua
mengamatinya pergi dengan mata kami. Saat tubuhnya menghilang dari pintu
restoran, aku berpaling pada Justin. Memperhatikannya yang juga melihatku
dengan mata datarnya.
”You really love
him, do you? It’s not like those other times before,” gumamku tanpa
menyembunyikan keherananku. Selama kami bersama, Aku Justin dan yang lain, aku
benar0benar belum pernah melihat Justin memandang seseorang seperti dia
memandang Robin tadi. Kedekatan mereka, interaksi fisik mereka, bahasa tubuh
mereka. Seakan-akan aku melihat sisi asing dari Justin yang selama ini tak
pernah ku ketahui.
“I do Zake. And
trust me, it was scary at first,” kata Justin dan mengangkat bahunya.
“Justin……… bagaimana
bisa.. Kau…” aku bahkan tak tahu bagaimana meneruskan kalimatku.
“Aku tak tahu Zake.
I just love him. Percayalah, aku sudah berusaha menyangkal dan melawan
perasaanku padanya. Aku berkali-kali menyakiti Robin dalam proses penerimaan
diriku. Aku mendekatinya, memanfaatkannya, lalu membuang dirinya keesokan hari.
Aku mencintainya, menyayangi dan memeluknya di satu saat, tapi hanya berselang
beberapa kemudian, aku membenci dan menyakitinya. Menjauhkan diriku sebisa
mungkin darinya. But I keep coming back. Karena saat terpisah darinya, tubuh
dan pikiranku berteriak untuk kembali memeluknya. Aku membenci sekaligus
membencinya pada saat yang bersamaan. Semuanya sangat……… membingungkan dan
membuatku frustasi.”
“Tidakkah kau
mencoba untuk berhubungan dengan cewek lagi, seperti dulu?”
“I did,” jawab
Justin dan tertawa kecil, “Bahkan saat dia masih berada di apartemenku, saat
kesadaranku muncul, aku akan langsung panik dan menelepon siapapun yang ada di
ponselku dan memintanya datang saat itu juga. Aku akan meniduri siapapun yang
kemudian bisa ku hubungi dan datang. Bahkan sebelum Robin pergi dari sana.
Membiarkannya melihatku menyetubuhi cewek-cewek itu. Menunjukkan padanya bahwa
kami berdua, berbeda. Bahwa aku tidak sama sepertinya. Bahwa aku…….bukan
seorang gay.”
Suara Justin menjadi
semakin pelan. Matanya menerawang dengan kening berkerut, seakan-akan mengingat
sebuah kenangan yang menyakitkan.
“It was sick Zake.
It was….. disgusting. Aku nyaris tak merasakan apapun saat itu. Saat aku
menggunakan tubuh mereka, saat aku menyetubuhi cewek-cewek itu, seakan-akan aku
sedang membunuh perlahan jiwaku sendiri. Aku berakhir muntah dikamar mandi
sesudahnya. Merasa begitu rendah, sakit dan menjijikkan. I can’t Zake. I’ve
tried. I didi everything I could. Tapi pada akhirnya, aku memang membutuhkan
Robin.”
Kembali untuk
beberapa lamanya kami berdua terdiam. Membiarkan sedikit atmosfir berat
diantara kami berdua menguap.
“Lalu bagaimana
dengan dirimu? Kau sudah bisa memahami perasaan yang kau rasakan? Tidak lagi
bingung dengan orientasimu kan?”
Aku tersentak kaget.
Justin hanya tersenyum tipis dengan mata yang menatapku datar.
“Come on, Zake. I’m
not that stupid. Aku tahu waktu itu kau menanyakan masalahmu sendiri. Have you
slept with him?”
“W-what? No! I
haven’t!” sangkalku cepat dengan wajah yang seakan terbakar.
“Haven’t?” tanya
Justin dengan sebelah alis terangkat.
“I WON’T!!” sergahku
keras.
“Fine! You don’t
have to be defensive. I hear you,” tukasnya dan sedikit tertawa geli.
“JUSTIN!!”
“I’m sorry,” ujar
Justin dan berusaha menahan diri, “Look, I’ve been there Zake. It hurts and
confusing. Tak ada orang lain yang bisa membuatmu melakukan apa yang tak kau
inginkan, aku tahu itu. Kau yang harus memahaminya sendiri. Whether you love
him or not!”
Aku terperangah
mendengarnya, “I deinately don’t love him!”
“Then good for you!
Tapi jika ada keraguan yang kau rasakan, kau mungkin harus memikirkannya lagi.
Tapi, ambillah contoh dariku. Jangan berbuat bodoh hanya untuk menyangkal apa
yang kau rasakan. Hingga kini, aku masih bergidik jika mengingat apa yang ku
lakukan untuk menyakiti Robin. Jangan melakukannya. Karena itu akan terus
menghantuimu.”
“I don’t love him,
Justin!” gerutuku dengan menekankan kalimat tadi.
“I’m just saying
that it’s okay if you do!” dia mengangkat tangannya untuk menahanku yang sudah
bersiap untuk menyangkal, “Coba untuk lebih memahami apa yang kau rasakan.
Kalau kau merasa sakit saat jauh darinya. Kalau kau tak pernah bisa terlepas
dari bayangannya. Saat bersama dengan orang lain terasa salah, saat memeluk dan
bercinta dengan orang lain membuatmu membenci dirimu sendiri, maka kau tahu,
bahwa kau….menciantainya, “ kata Justin dengan mata yang langsung menatapku.
Kalimat terakhirnya
itu yang kini terngiang di telingaku.
It can’t be,
batinku. Aku tak mungkin mencin……
See? Bahkan mencoba
mengucapkannya terasa begitu salah bagiku. Tak mungkin! Meski aku harus
mengakui, bahwa memeluk tubuhnya terasa begitu nyaman dan menenangkan. Mendekap
tubuhnya memberikan kedamaian asing yang terasa akrab dan ku rindukan. Tapi itu
tidak berarti aku mencintainya. Shit!!!
I need to get my head straight! Pikirku kesal dan segera meraih
ponselku. Mencoba untuk tidak mengacuhkan rasa melilit yang tiba-tiba saja
terasa diperutku.
REGHA
Aku duduk dan
mencoba menelan sarapanku. Zaki telah mengatur kalau sarapan kami diantar ke
kamar tiap paginya. Dan aku masih terjaga saat pelayan hotel datang membawa
trolley mereka. Semalaman mataku tak bisa kupejamkan. Semalaman aku mencoba
menata hati dan perasaanku yang kacau balau. Setelah apa yang terjadi semalam,
aku tak tahu harus melakukan apa.
Ok, mungkin aku
telah bisa mengakui perasaanku terhadap Zaki. Lalu? Dan pertanyaan yang paling
penting adalah, bagaimana perasaan Zaki terhadapku? Apa benar dia juga memiliki
perasaan yang sama padaku seperti yang dikatakan oleh Vivi dan Regha?
Pelukannya semalam……..itu tak berarti kalau dia juga menyukaiku kan?
Malam itu, setelah
keheningan yang nyaman dan entah berapa lama, kami berdua akhirnya memutuskan
untuk masuk ke dalam kamar hotel. Udara sudah semakin terasa menususk
dinginnya. Aku juga masih ingat rasa canggung yang sepertinya tidak saja
dirasakan olehku, tapi juga Zaki saat kami berpisah didepan pintu kamarku. Ada
kilasan ide konyol saat aku ingin mengundangnya masuk ke dalam kamarku. Tapi
aku bisa menahan mulutku pada detik terakhir. Dan diapun berlalu dengan langkah
perlahan.
Aku mendesah pelan….
Mengingat kembali
apa yang kurasakan semalam saat memeluknya membuatku teringat akan kenyamanan
luar biasa yang jauh lebih menenangkan dari apapun yang pernah kurasakan
sebelumnya. Kedekatan kami semalam merupakan hal terintim yang pernah kurasakan
bersama dengan orang lain, selain keluargaku sendiri.
“NEEEKKK!!! Jij
sutra bangun tintaaa?!!”
Teriakan cempreng
Regi membuat langkahku ke beranda terhenti. Pagi-pagi sudah ribut aja tuh anak,
batinku geli, “Udah Gi! Masuk aja!!” balasku dan meneruskan langkah untuk duduk
di balkon hotel. Sepertinya sarapan sembari memandang pantai di pagi hari
adalah ide yang bagus!
Regi menyusulku
heboh bersama dengan Vivi. Mereka langsung duduk didepanku sembari meletakkan
sarapan mereka dimejaku.
“Jadi gimana?” tanya
Regi dengan wajah berbinar antusias. Vivi yang berdiri disebelahnya ikutan
pasang tampang mupeng ga jelas. Tentu saja aku bengong.
“Apanya?” tanyaku
bingung.
“Elu ma Zaki
semalem. Did he kiss you?” Tanya Vivi.
Mulutku terbuka lebar
tanpa ada suara yang keluar. Reaksi pertamaku, tentu saja ingin mengatakan
kalau mereka sudah hilang akal, atau enggak, ngigo. Tapi aku segera mengerti
kenapa mereka menanyakannya.
“Kalian ngintip
semalem kan?” Ganti aku yang bertanya dengan nada geram, meski wajahku mulai
terasa panas.
“Gak sengaja. Jadi
kemaren ikke ma Nick ciuman di balkon. Terus ngeliat kalian pelukan mesra di
bawah. Ikke pengen ngintip, tapi Nick gak bolehin. Padahal kan ikke penasaran.
Jadi gimana? Apa semalem kalian….”
“JANGAN SINTING!!”
sergahku gerah. Aku benar-benar ingin mengalihkan pembicaraan kami kea rah
lain. Tapi mereka berdua jelas tak akan membiarkannya. Keduanya duduk diam
untuk mendengar penjelasanku, “Tak ada ciuman Gi, Vi. Semalem gue Cuma ngerasa
kedinginan, jadi dia……..peluk gue.” Dua
kata terakhir kuucapkan dengan lirih dan nyaris tak terdengar, sementara
wajahku kali ini benar-benar terasa seperti digoreng.
“Kenapa gak lo cium
aja sih dia?” serobot Vivi, terdengar sedikit kesal.
“Apaan sih lu?!!”
sentakku dan segera bangkit untuk menjauh dari mereka.
“GHA!!!” panggil
Regi, membuatku berhenti, meski aku tetap tak membalikkan badan, “Jadi……………lo
udah ngerti apa yang lo rasain?”
Diam sejenak. Aku
ingin memberikan dalih-dalih lama yang sudah sering aku katakana pada mereka
berdua. Tapi aku tahu, percuma. Baik Vivi ataupun Regi, telah menyadari
semuanya. Bahkan sebelum aku bisa mengakuinya. Jadi……………tak aka nada gunanya.
“I really love him,”
bisikku lirih. Terlalu ngeri untuk mengucapkannya dengan nada normal. Sesaat
kemudian, kurasakan sebuah tangan meremas bahuku. Vivi mendekat dari sisi
kananku dengan Regi yang mengikuti disisi lainnya.
“Gak ada yang salah
dengan itu Gha,” kata Vivi, “Lu hanya mencintai seseorang. Dan itu indah kok.”
“Gue tahu lu masih
butuh waktu untuk menerima semuanya. Tapi dengan mengucapkan kalimat tadi, lu
udah selangkah lebih maju dari sebelumnya,” sambung Regi pelan, “Dan gak ada
seorangpun didunia ini yang bisa mendikte elu, untuk ngelakuin hal yang tidak
lu inginkan. Hanya karena lu cinta Zaki, gak berarti lu akan jadi seperti gue
atau orang lain. Atau banci gaul lain yang beredar di luar sana..’
“Gi……”
“Elu tetaplah elu!
Regha!” potong Regi, “Jadi jangan pernah menganggap diri lu turun derajat atau
menjadi lebih rendah dari sebelumnya. Lu jauh lebih baik dari beberapa orang
terhormat yang gua kenal di luar sana. Jangan lupakan itu ya?”
Aku hanya mampu
mengangguk untuk meresponnya, “Lagipula, gak ada yang bisa gua lakukan dengan
perasaan ini. Gua gak mungkin juga nembak Zaki kan? Cukuplah gua jadi anak
ceroboh dimatanya. Jangan yang lain. Ngeri kalau dia ngeliat gua sebagai
seorang………..”
“Dia juga peduli ma
elo Gha,” sela Vivi membuatku sontan berpaling padanya. Bahkan Regi yang
kemudian berdiri disampingnya ikut meyakinkanku dengan menganggukkan kepala.
“Gak mungkin.
Dia………”
“Selalu ada buat lo.
Bantu elo. Pernah cium lo seklai. Dan semalem dengan santainya memeluk elo,
padahal lo cuma kedinginan doing. Lo ga buta kan?” serobot vivi dengan nada tak
sabar. Aku diam, tak mampu menjawabnya. Keheningan diantara kami dipecah oleh
bunyi sms yang masuk di ponselku. Aku membaca pesan yang ternyata dari Zaki.
“Zaki ingin kita
gabung sarapan di bawah bareng yang lain. Dia bilang ada yang ingin diomongin,”
kataku pada mereka, mencoba untuk tidak memperdulikan pembicaraan kami
sebelumnya.
“Pikirkan saja apa
yang kami katakana tadi, ok?” ujar Vivi. Aku hanya mengangguk dan mendahului
mereka melangkah keluar. Kami bertemu Nick yang ternyata telah berada di
lorong, menunggu Regi. Dia mengulurkan tangannya dan bersama kami turun ke
bawah.
Kami mendapati Zaki sedang duduk bersama dengan dua orang temannya yang semalam.
Mereka tampak mengobrol dengan santai. Zaki melambaikan tangan saat melihat
kami mendekat.
“Guys, I want you to
meet my friend. This is Justin. And that is…..” dia tampak ragu sejenak dan
memandang Justin, seolah-olah meminta persetujuannya.
“This is my
boyfriend, Robin,” ujar Justin yang kemudian bangkit dan mengulurkan tangan.
Hal itu tentu saja membuat kami semua sedikit tertegun. Regi yang akhirnya
sadar terlebih dulu dan menyambut uluran tangan Justin.
“Hi, Justin, Robin.
I’m so sorry. But you got us off guard,” ujarnya dan tertawa kecil, membuat
kami semua seperti tersadar dari keterpakuan kami, “I’m Regi. And this is my
boyfriend, Nick.”
Ku lihat sedikit
ketegangan yang tampak pada Robin mengendur saat Regi mengenalkan Nick sebagai
pacarnya. Sepertinya dia cukup was-was akan reaksi kami. Meski mungkin dia
seharusnya lebih santai dan mungkin bangga. Justin cowok yang menarik. Memiliki
tubuh gagah dengan rambut pirang, kulit khas anak bule pantai yang tanned dan
mata biru menawan. Robin sendiri bertubuh lebih pendek dan lebih ramping
darinya.
“Hallo,” sapaku,
“Regha,” kataku memperkenalkan diri yang kemudian diikuti oleh Vivi.
“Kalian tidak keberatn
ikut tur wisata bareng Justin dan Robin kan?” kata Zaki saat kami semua telah
duduk.
“Kebetulan kami
telah menyewa jasa tur Bali yang memiliki rekomendasi bagus. Mobil yang kami
pakai cukup lapang. Dan akan lebih meriah kalau kalian bisa bergabung bersama
kami,” kata Justin.
‘Yeah, kenapa
enggak”? ujar Regi dan menoleh pada kami yang lain. aku Cuma mengangkat bagu
untuk menjawabnya.
“And I have surprise
for you Vi,” kata Zaki dan menunjuk ke arah samping dengan dagunya. Kulihat
Jordan melambaikan tangannya pada kami. Vivi memekik girang dan segera bangkit
untuk menyambutnya. Tapi mataku terpaku pada sosok yang kemudian muncul di
belakang Jordan dan mendekat dengan cepat ke arah kami.
Anna!
Zaki bangkit
menyambut Anna yang akhirnya menjatuhkan dirinya dalam pelukan Zaki. Dan detik
berikutnya, zaki telah mencium bibir Anna dengan penuh gairah. Kami bahkan bisa
mendengar desahannya dari tempat duduk kami. Perutku langsung terasa mulas.
Sementara dadaku terasa nyeri luar biasa, dan tubuhku mendadak kaku.
Aku lalu tak
mendengar lagi siapa yang kemudian bicara, atau apa yang mereka katakan.
Telingaku seakan-akan tertutup
selaput tebal, sementara rasa
nyeri dan sakit di dadaku semakin menghebat. Hanya dalam hitungan detik,
nafasku mulai terasa sesak. Aku memejamkan mata rapat, karena
kalau tidak, aku pasti akan muntah.
“REGHA!!!”
Panggilan keras dan
goncangan yang cukup kuat dibahuku membuatku membuka mata. Kudapati Regi dan
yang lain menatapku dengan pandangan cemas. Dan baru kemudian aku sadar kalau
sedari tadi aku menahan nafasku. Aku menarik nafas panjang. Mengisi paru-paruku
yang sesak. Aku terengah-engah tanpa mampu menahannya. Kudekap kedua tanganku
di dada untuk menahan nyeri. Dan tubuhku mulai berkeringat.
“Lu gak papa?” tanya
Regi khawatir dan meraba keningku. Tapi aku bisa melihat sorot iba dari matanya
dan juga Vivi. Aku mencoba tersenyum dan menggeleng.
“M-ma-maaf,” kataku
dengan suara gemetar. Aku berdehem keras untuk mengumpulkan suara. Ku angkat
tanganku untuk mengusap dahiku yang basah dalam sekejap, “Se-sepertinya aku
masuk angin. Ma-maaf. Sepertinya aku tak bisa ikut tur kalian. Kalian pergi
saja. Aku akan beristirahat di kamar.” Kataku dan bangkit. Tapi mungkin karena
bergerak terlalu cepat, kepalaku langsung pusing dan dunia seakan-akan berputar.
Kalau saja Nick tidak sigap dan menahanku, aku pasti sudah terjatuh. Beberapa
dari mereka memekik kaget.
“Gha, lo…”
“Gua gak pa-pa.
Maaf. Hanya butuh istirahat,” gumamku pelan.
“Let me take him,”
kata Nick yang kemudian setengah memeluk untuk menyanggahku dan kemudian
membawaku menjauh.
“Thanks Nick,”
bisikku lirih saat kami melangkah. Nick hanya menjawab dengan remasan pelan
dibahuku yang entah mengapa terasa menenangkan. Seakan-akan dia mencoba
menyampaikan simpatinya dengan itu, dan aku memahaminya. Aku benar-benar ingin
memejamkan mata dan berbaring di kasur. Sebenarnya aku ingin pergi sendiri,
kembali ke kamarku. Sebuah tempat perlindungan kecil yang terasa begitu penting
bagiku saat ini. Aku tak ingin semakin mempermalukan diri ataupun membuat yang lain
merasa heran dan bertanya-tanya. Tapi kakiku benar-benar tak sanggup menopang
tubuhku. Nick nyaris harus mengangkat tubuhku.
Aku sungguh merasa
lega saat kami telah sampai dalam kamarku. Sial! Aku bahkan hampir terisak saat melihat tempat tidur konyol itu.
“Be careful,” ujar
Nick pelan dan membantuku untuk berbaring. Begitu tubuhku rebah, aku memejamkan
mataku rapat. Kugunakan lengan kananku untuk menutupi mataku yang mendadak
kembali nyeri.
“Thanks…” bahkan
membisikkan kata itu terasa hamper mustahil. Namun toh aku mampu melakukannya,
meski mungkin tak dapat didengar oleh Nick.
“Gha….”
Panggilan pelan Regi
membuatku membuka mata dan bangkit duduk. Regi mengikuti duduk disebelahku.
Pandangan ibanya saat melihatku membuatku semakin merasa nelangsa. Apalagi Vivi
yang kemudian masuk mengikutinya dengan tatapan yang sama. Aku mencoba mengulas
senyum untuk mereka. Hanya itu yang mampu ku lakukan, karena aku yakin, kalau
aku membuka mulutku, air mataku akan tumpah. Tak tertahan. Apa kata Nick nanti.
Yang tak disangka
adalah saat Nick bergumam pelan dan pamit keluar. Saat itulah aku pertahananku
runtuh. Aku mencengkeram dadaku yang kembali terasa nyeri.
“Sakit Gi…” bisikku
lirih.
Regi hanya tersenyum
tipis dan mengangguk paham. Aku tahu dia mengerti. Dia dan juga Vivi yang
menyeka sudut matanya tahu benar apa yang aku rasakan. Jadi aku membiarkan
semuanya mengalir. Membiarkan rasa sakit itu menyebar ke sekujur tubuhku.
Membuatku gemetar dengan begitu hebatnya. Regi meraihku dalam pelukannya.
Dan akupun menangis disana…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar