ZAKI
Sejak aku mengerti
bagaimana berpacaran, ini adalah kali pertama aku tak tahu harus melakukan apa.
Biasanya pada setiap kencan, aku akan memulai dengan makan malam dengan suasana
yang tenang, dilanjut dengan menghabiskan waktu bersama. Entah itu dirumahku,
atau di kamar teman kencanku. Atau kalau tidak, kita nonton dan kemudian
melakukan sesuatu didalam cinema dan sesudahnya. I thought I was an expert. Or
at least, I know what to do. But with Regha…………..I absolutely have no idea!
I swear it is very
confusing! Aku tak mau memperlakukan Regha seperti aku memperlakukan
mantan-mantanku yang dulu. First,
because he’s a boy. And I’m very aware of that. Dan aku tak mau dia tersinggung
dengan menganggapnya sebagai cewek. And second, because I have no experience of
being…… a gay.
See? Aku bahkan
masih memerlukan waktu untuk terbiasa dengan istilah itu. Menyandangkan nama
itu pada diriku saja cukup untuk membuatku mengernyit. I know I will get used
to it. Someday.
Hopefully!
Berhubungan dengan
Regha sebenarnya cukup ‘menantang’. Banyak hal baru yang aku pelajari
dengannya. Selalu ada kejadian unik dan terkadang lucu.
Contohnya kejadian
dengan Mommy.
Aku tahu kalau suatu
saat aku harus menjelaskannya. Niatku sebenarnya ingin melakukan hal itu dengan
caraku sendiri. Pada waktu yang ku anggap tepat. Tapi siapa sangka kalau si
ceroboh itu memaksaku untuk bertindak lain. Waktu itu aku masih ingat reaksinya
saat aku memergokinya ngobrol dengan Mommy di taman Panti.
“Mom? You’re here?”
tanyaku heran. Tak ada berita apapun darinya selama beberapa waktu. Ku kira
Mommy masih ada di Australia, menyelesaikan apapun itu urusannya. Siapa sangka
kalau dia tiba-tiba saja ada dipanti minggu ini. Terlebih lagi asyik ngobrol
dengan Regha.
Tapi jelas Regha
tidak tahu kalau wanita yang bersamanya adalah Mommy. Karena waktu itu dia
terlihat super kaget. Mulutnya menganga terbuka dan sepertinya hendak
mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar selain beberapa bunyi vocal
dan gumaman tak jelas. Dahiku langsung mengernyit begitu melihat wajah Regha
mulai memucat.
“What are you guys
talking about?” tanyaku lagi dengan nada sedikit tegang. Jangan katakan kalau
mereka sedang membicarakanku! batinku.
“I-I w-was j-just…”
“Hanya membicarakan
panti ini. Temanmu yang satu ini memberikan opini yang bagus dan patut untuk
diperhitungkan. Menarik sekali,” ujar Mommy santai.
Regha tak mampu
mengatakan apapun. Akhirnya dia bergumam, pamit dan kemudian pergi dengan
langkah tergesa-gesa. Aku hanya melihatnya pergi. Tercabik antara keinginan
untuk menyusulnya dan menghadapi Mommy. Tidak perlu ditanya aku lebih suka
melakukan yang mana. Tapi……aku harus menghadapi Mommy. Jadi aku kembali
memalingkan wajah padanya.
“Kapan Mommy
datang?”
“Tadi pagi. Hampir
bersamaan saat kau berangkat kemari” ujarnya dan bangkit. Matanya masih melihat
ke arah tempat Regha menghilang tadi, “He’s…………….interesting.”
Tubuhku sedikit
menegang saat mendengarnya. Kalau pendapat itu keluar dari Mommy, aku tak yakin
apakah itu pujian ataukah kritik. Tapi, persetan! Cepat ataupun lambat, aku toh
harus menghadapinya. Jadi, kenapa tidak sekarang saja?
“Mom, kau tahu
tentang aku dan dia?”
Mommy melihatku
sejenak, “Sedikit,” jawabnya dan berjalan mendahuluiku, “Mungkin kita
membutuhkan tempat yang sedikit pribadi untuk membicarakannya, don’t you
think?!”
Aku mendengus dan
langsung mengikutinya. It’s time to face the devil. Jadi meski aku bisa mengira
chaos seperti apa yang akan terjadi, aku melangkah dengan kepala tegak. Menolak
untuk terintimidasi. Kami memasuki ruang kantorku yang kedap suara. Dan Mommy
menututp pintu begitu aku masuk. Aku sendiri langsung duduk di kursi tamu,
menunggunya.
“So……Regha. Anything
you want to tell me about him?” Tanya Mommy untuk kemudian duduk didepanku
dengan kedua tangan bersatu diatas meja.
“Tentang apa, Mom?
Bahwa kami berkencan? Yes, that’s true. Bahwa aku mencintainya? Yes, that’s
also true. Aku yakin tak ada hal yang belum kau ketahui,” jawabku dingin.
I caught her off
guard, I could tell you that. Mommy kehilangan kata-kata untuk sesaat. Dia cuma
duduk disana dengan tubuh kaku dengan mata terbelalak, memandangku kaget.
Mungkin dia mengira kalau aku akan mengarang berbagai macam dalih untuk
menutupinya. But you’re wrong, Mom. Kali
ini kau akan langsung mendengarnya dariku. No cover. No lies! I’m ready! batinku.
“You’re dating?”
“Seperti kau tidak
tahu saja,” dengusku.
“Bagaimana dengan
gadis-gadis itu? Emma? Anna?” tanyanya sedikit bingung.
See? Dia mengenal
dua nama yang bahkan tak pernah ku sebutkan didepannya, pikirku lagi, “What
about ‘em?” tanyaku santai.
“Well, don’t you
like them?”
“I did! Tapi aku
tidak serius dengan mereka, Mom. I’m just being a guy. Melakukan apa yang
membuatku senang. Tak ada yang berarti diantara kami.”
Ganti Mommy yang
mendengus, “Aku bisa melihat kemiripanmu
dengan ayahmu sekarang. Like father like son, I guess. Dan dengan Regha ini
kau…………..”
“I’m serious. We.
Are. Serious!” jawabku dan menekankan setiap patah kata dari kalimat tadi.
Mommy kembali terdiam dengan mata yang tertancap padaku. Aku sendiri menolak
untuk kalah dan berpaling. Jadi dengan keras kepala, aku balas menatapnya.
“I guess you are,”
gumamnya pelan, “Kalau tidak, tak mungkin kau berhubungan dengan lelaki
manapun. Sepanjang yang ku tahu, kau selalu dengan gadis-gadis bebal itu.
Kimberly saat kau di Australia. Dia yang paling lama. Disini Emma yang cukup
lama mengikatmu. Dan Anna. Tapi tidak ada satupun yang kau biarkan untuk terus
berada disamping. Tak ada satupun dari mereka yang tahu tentang panti ini.
Sudah berapa lama….?”
“Come on, Mom!
Clearly you know it already,” ujarku dengan nada bosan.
“Aku tadi hendak
menanyakan, kenapa kau membantunya dengan bekerja disini, Zake. Aku hanya ingin
tahu alasanmu membawa Regha kesini. Bukannya kenapa kalian berpacaran.”
Ganti aku yang kini
terdiam, “Kau………….tidak tahu?”
Mommy menggeleng,
“Yang aku tahu bahwa dia bekerja disini. Dan kau yang membawanya. And yes, aku
juga tahu kalau dia telah beberapa kali ke rumah kita. Tapi aku tak tahu kalau
ada konteks romantis disana. Ku kira kalian hanya berkawan baik. So, yes. I
don’t know. At all!”
Well, SHIT!!!! batinku kaget. Padahal selama ini, Mommy
selalu tahu akan segalanya. Bahkan hal yang tidak pernah ku singgung didepannya.
Jadi, kukira dia pura-pura saja. Meski kalau dipikir-pikir, wajar saja tak ada
yang tahu. Selama ini aku dan Regha lebih terlihat sebagai teman daripada
sepasang kekasih. Bukan hanya karena kami sama-sama pria, dan aku sudah biasa
terlihat mengencani cewek, tapi juga karena sikap kami. Kami berdua masih kaku
dan aku juga belum tahu bagaimana harus memperlakukannya. Jadi baik didepan umum,
atau saat kami sendiri, kami hampir-hampir tak pernah terlihat intim.
Berpegangan tangan saja jarang, apa lagi berciuman. Jadi…………kalaupun ada yang
mengawasi, mereka mungkin mengira bahwa kami hanya berteman. And I just blurted it out to her,
pikirku kecut.
“Zake, are you sure
with this?” tanya Mommy lagi, membuatku terlempar dari lamunanku.
“Do you think I’m
playing?” tanyaku balik.
“I guess, you
don’t,” ujar Mommy setelah berpikir beberapa saat lamanya, “Aku tahu kau tak
akan mungkin melakukan hal sebesar ini hanya untuk bermain. Kalau kau sudah
memutuskan ini, berarti kau sudah yakin.”
Aku kaget
mendengarnya. Siapa sangka kalau Mommy memiliki pemikiran seperti itu
tentangku. It’s been a really weird day after all.
“Yes, Zake! I notice
that. Hanya karena aku tidak berada disampingmu, bukan berarti aku tidak
memperhatikanmu. Atau tidak memperdulikanmu,” ujarnya lagi melihat keherananku.
Dia berhenti untuk mengusap keningnya dengan gerakan lelah. Dan saat itulah aku
melihat guratan samar usia yang mulai tampak di wajahnya. Bagiku selama ini dia
hanyalah……Mommy. Wanita super power yang mengendalikan kerajaan bisnisnya
dengan segala kekuasaan yang dia miliki. Wanita kuat yang selalu tampak tegas,
kaku dan tidak akan menerima bantahan dalam bentuk apapun. Wanita yang selalu terlihat sama.
Tapi kali ini aku
melihatnya dari sudut pandang berbeda. Dia wanita berusia hampir setengah abad.
Dan aku bisa bersumpah bahwa hari ini, di ruangan ini, dia terlihat lelah
dan……menunjukkan usia yang sebenarnya. Bahkan aku tak bisa menggunakan kata tua
untuknya. Karena dia selalu terlihat……………….powerful dalam benakku. Kecuali saat
ini. Dia terlihat lebih……………manusiawi.
“Kau ingat apa yang
Mommy katakan saat Dad meninggal?”
Bagaimana aku bisa
lupa? Saat itu adalah awal mula hidupku dan hubunganku dengan Mommy berubah.
Titik dimana kami berdua berpisah dan menempuh jalan yang berbeda, “That it was
only both of us then. Bahwa aku harus jadi kuat, dan tidak boleh lemah. Ataupun
menangis lagi..,” bisikku pahit.
“Kau tahu apa yang
dilakukan oleh keluarga Dad kan? Your grandparents and everyone else? Mereka
mencoba mengambil apa yang menjadi milik kita. Milikmu! Saat itu yang ada
dipikiran Mom adalah, kita tidak boleh membiarkannya. Aku dan Daddy-mu telah
berusaha mati-matian untuk membangun usaha ini untuk keluarga kita. Untukmu!
Saat itu, Mom harus bisa kuat dan berusaha mati-matian. Untukmu. Bukan untuk
Mommy. Dan Mom berjanji pada diri sendiri bahwa mereka, orang-orang yang
berusaha menghancurkan kita, tidak akan bisa menang. Mom akan melawan dan
membuktikan pada mereka bahwa kita tidak boleh diremehkan. Terutama dirimu. Mom
berjanji pada diri sendiri bahwa suatu saat nanti, mereka harus memandangmu
dengan hormat. Karena itu Mom berusaha menjadikanmu orang yang kuat.
Mendorongmu hingga limit yang kau mampu. Menuntut yang terbaik padamu.
Meski terdengar
salah, but I really did them for you. Semua yang Mom miliki saat ini untukmu.
Semua ini!!” Mom mengembangkan tangannya untuk menunjukkan padaku.
“We’ve had enough,
Mom,” bisikku lirih. “More than enough! Kita sudah memiliki cukup banyak hal
yang tak akan habis selama beberapa generasi. Tidak bisakah kau berhenti?’
Mommy memandangku
sedih, “Dan kita menjadi asing satu sama lain sebagai konsekuensinya.
Aku…..kehilangan peranku sebagai seorang Ibu untukmu. Kau tumbuh menjadi
seorang pemuda yang bahkan nyaris mustahil ku kenali. Apakah Mom melakukan
segalanya dengan salah?”
Aku tak menjawab,
hanya tersenyum kecut, “Aku bisa mengerti kenapa Mom melakukan semuanya. Aku bisa
menerima kenapa Mom harus melakukannya. Yang tidak bisa aku terima adalah
kenapa Mom harus berhenti menjadi seorang Ibu? I didn’t ask much. Just a tiny
bit of your time. Mom bisa bepergian ke luar negeri atau kemanapun yang Mom
mau, tapi haruskah sepanjang waktu? We barely see each other. Even on holidays.
Ada saat dimana kadang aku bertanya, kenapa Mom harus seperti itu? Apa mungkin
karena aku mengingatkan Mom pada Dad? Apakah melihatku melukai Mom karena
mengingatkan Mom pada Dad?”
Mom mengejutkanku
dengan berdiri dan meraih tanganku, “Tak ada apapun didunia ini yang lebih
berarti bagi Mommy selain kamu, Zake. Mom lebih memilih kehilangan semua,
semuanya, daripada Mom harus kehilanganmu. That’s for sure.”
“Just be my Mom,
then,” kataku pelan dan menatapnya, “Aku tahu kalau kita harus menjadi kuat.
Aku tahu Mom harus melakukannya semua ini. But can’t we do this together?
Side by side? As a family?”
“You and me against
the world?” bisik Mommy dengan mata basah.
“Together…” lanjutku
dengan senyum.
Tak ada kata yang
bisa kami katakan lagi. Mom meraih kepalaku dan mendekapnya dalam pelukannya.
Pertama kalinya setelah bertahun-tahun
berlalu, aku kembali menjadi seorang anak. Aku kembali memiliki seorang
Ibu. Pelukan yang sekarang ini kurasakan adalah pelukan yang sama yang dulu
pernah ku terima. Sebelum semuanya berubah. Sebelum kami berdua terpisah oleh
kesibukan masing-masing. Pelukan yang jauh dalam rongga hatiku yang terdalam,
masih tersimpan kenangannya.
Kami diam seperti
itu hingga semua perasaan kami yang terpendam menguap ke permukaan. Hingga
semua kebekuan yang selama ini mengendap, lumer menjadi aliran yang berlalu.
Mommy yang pertama kali melepas pelukannya dan mengusap kepalaku pelan.
“Kita harus menebus
banyak sekali waktu kita yang terbuang,” ujarnya dengan senyum haru.
“Kita bisa
memulainya perlahan,” jawabku.
“Bagaimana kalau
kita mulai dengan Regha? Kapan kau mau memperkenalkannya pada Mommy?”
Tubuhku menegang
saat kembali diingatkan akan hal itu. Tapi yang mengherankanku, tak ada gurat
kemarahan pada wajah Mommy. Dia menanyakan hal itu dengan keingintahuan murni, “M-mom,
y-you don’t mind?” tanyaku sedikit gagap.
“Why shouldn’t I?
Kau mencintainya kan?”
Okay! Mungkin kami
mulai belajar untuk membangun sebuah hubungan Ibu dan anak yang baru. Tapi
tetap saja, membicarakan masalah percintaanmu dengan Ibu, bukanlah topik yang
membuatmu nyaman. Apalagi kalau pacarmu memiliki jenis kelamin yang sama. Itu
bukan jenis kisah cinta yang konvensional. Wajahku tetap saja memerah.
“I do..” gumamku
pelan.
“Kalau begitu kenapa
Mom harus meributkannya?” Tanya Mom heran.
“In case you didn’t
notice, he’s…. a guy?” kataku lagi dengan nada tanya.
“Zake, please! Mom bukan
orang yang hidup di zaman batu. Mom juga hidup selama bertahun-tahun di
Australia. Meski akar mom tetaplah Indonesia. Tapi Mom sudah melihat banyak
wajah dunia. Mom sudah tahu dan mengerti apa itu gay. In fact, beberapa kolega
dan orang kepercayaan Mommy adalah gay. And I must admit, most of them are
great persons. Menjadi seorang gay tidak berarti kau abnormal. Kau hanya
mencintai. That’s it.”
“Apa kau tidak
kecewa, Mom?”
“Kenapa harus
kecewa? Meski kau gay, itu tidak mengubah hubungan kita sebagai Ibu dan anak?
You’re my son. Fakta bahwa kau mampu mencintai adalah hal yang patut
disyukuri.”
“Kukira……………….kau
menginginkan anak yang normal. Yang mungkin…..tidak membuatmu malu pada teman
kerjamu,” kataku lagi. Karena jujur saja, hal itu jadi salah satu pikiranku
beberapa waktu terakhir.
Mommy mengibaskan
tangannya, “Please. Mom sudah melihat beberapa tingkah menjijikkan oleh orang
yang kau bilang normal itu. Percayalah, ada saat dimana kadang Mommy berpikir
bahwa rekan kerja Mommy yang gay, lebih pantas mendapat predikat normal.
Kualitas seseorang tidak ditentukan dengan siapa kau tidur, Zake. Tapi lebih
bagaimana kau bersikap. Bagaimana kau memperlakukan orang lain. Dan bagaimana
kau menjalani hidupmu. So you love a boy too, then what? Kau tidak mencuri,
menyakiti atau merebut hak milik orang lain kan?” Mommy lalu meletakkan satu
tangannya di pipiku, “Mom justru akan kecewa kalau kau tumbuh menjadi pribadi
yang jahat, getir dan tidak peduli akan orang lain. Tapi kau yang sekarang…..
yang tahu cara mencintai dan peduli orang lain, membuat Mommy bangga. Jangan
lupakan itu…”
“Bagaimana dengan
cucu Mom? Kau tidak menginginkannya?”
“Kau ingin memiliki
anak?” tanya Mommy balik. Tentu saja aku mengangguk, “We can use surrogate
mother, can’t we? Tapi itu akan kita bicarakan nanti pada waktunya. Bukankah
terlalu dini kalau kita bicarakan sekarang. Kau…………tidak berpikir untuk menikah
dengan Regha kan?”
Aku tertawa kecil,
“Not yet, Mom. It’s kinda new for us…”
“Well, kalau memang
dia berpotensi menjadi menantu Mommy dan merupakan orang yang penting bagimu,
kenapa tidak kau perkenalkan kami secara benar? Kami memang sudah sedikit
berbicara. And he’s…………..” Mommy berpikir sejenak, “……….a very interesting
person.”
Aku kembali tertawa
mendengarnya, “Itu kalimat yang cukup murah hati untuknya. Mom tak akan percaya
apa yang pernah dia lakukan. But we can talk about that later. I’ll call him,”
ujarku dan mengambil ponselku untuk memanggil Regha.
Saat masuk ke ruang
kerjaku, mata Regha memancarkan kekagetan luar biasa begitu pandangannya
tertumbuk pada Mommy yang duduk di kursiku. Aku tersenyum mencoba
menenangkannya. Kuulurkan tanganku padanya. Regha tidak menyambutku. Dia hanya
memandang tanganku itu dengan tatapan ngeri. Pandangannya beralih, bergantian
antara tanganku dan Mommy yang duduk santai.
Aku tahu konflik
yang berkecamuk dalam hatinya. Aku mengangguk untuk meyakinkannya. Tapi tetap
saja. Jadi aku yang mendekatinya dan menautkan tangan kami berdua.
“Gha, I want you to
meet my Mom, Anggrid Maharani Osmond. Mom, this is Regha. My……boyfriend,”
kataku pelan. Regha kontan menoleh ke arahku dengan wajah yang mulai memucat
kembali, ketakutan.
“Regha….” Mommy
bangkit dan kemudian mendekati Regha untuk kemudian mengulurkan tangannya,
“Maaf kita belum diperkenalkan secara benar. Senang akhirnya bisa bertemu pacar
Zaki…”
Regha sukses bengong
hebat, tapi dia segera menjabat tangan Mommy sembari bergumam, “Saya juga, Bu.
Maaf tadi…”
“Tadi adalah sebuah
pembicaraan singkat yang menarik. Kapan-kapan aku ingin kita bisa ngobrol dalam
suasana yang lebih santai. Bisa kan?”
Regha hanya
mengangguk patah-patah dan tertawa gugup.
“Dan kalau aku tidak
salah mengira, teman yang kau ceritakan tadi Zaki kan?”
Wajah Regha memerah
parah. Dia hanya menunduk dan menggumankan kembali kata maaf.
“Regha, please. Aku
malah bersyukur karena dia telah bertemu denganmu. Lebih bersyukur lagi karena
dia telah bertemu dengan keluargamu. Hal itu sudah membuat pandangannya
berubah. Dan aku telah bersyukur bahwa aku telah bertemu denganmu, karena kau
juga telah merubah pandanganku. Jadi kalau bisa disimpulkan, kami berhutang
padamu, dan juga keluargamu. Kalau diperbolehkan, aku ingin bertemu dengan
mereka…”
“But Mom, keluarga
Regha tidak tahu kalau……………..”
Mom segera tanggap,
“Aah, I see. Well, kalau begitu, kita akan menyimpan fakta itu untuk kita
sendiri. Tapi aku sungguh ingin bertemu dengan mereka. Untuk bersillaturahmi.
Tidak banyak kenalanku di Bandung ini yang tersisa.”
“Bagaimana kalau
weekend ini kita kesana?” usulku. Lagi-lagi Regha berpaling kaget padaku.
“Kalian bicarakan
saja berdua dulu. Nanti kita bicarakan lagi. Mom harus kembali ke rumah. Kita
bertemu disana, ok?” pamit Mommy padaku. Dia lalu kembali berpaling pada Regha,
“Aku benar-benar senang kita telah berbicara dan bertemu. Thank you,” kata Mommy
dan meremas sekilas bahu Regha.
Begitu tubuh Mommy
hilang dibalik pintu, Regha langsung berbalik padaku, “A-ap-apa itu tadi?
Wh-what was really going on? Bagaimana bi-bisa…”
Aku tertawa kecil
dan menariknya untuk duduk dikursi. Kuulurkan segelas air agar dia bisa sedikit
menenangkan diri. Lalu kuceritakan semuanya. Bagaimana kami berbicara.
Bagaimana aku mengatakan apa yang kurasakan tentangnya. Dan juga apa yang
kurasakan dan kuinginkan dari Mommy. Regha mendengarkan dalam diam. Dan begitu
aku selesai, aku bisa melihat keharuan yang tersirat dari matanya yang mulai
menggenang.
“Aku bersyukur
untukmu……” bisiknya. Tangan kanannya terulur untuk meremas tanganku yang ada
diatas meja. Aku tersenyum dan memandang tangan kami yang bersatu. Aku lalu
menautkan jemari tangan kanan kami berdua. Kumasukkan jari jemariku diantara
jemarinya. Merasakan kehangatannya yang mengalir padaku.
Dan weekend itu
menjadi salah satu weekend terbaik sepanjang ingatanku. Kami bertamu ke rumah
Regha. Mamah dan Abah menyambut Mommy dengan keramahan yang seperti biasa
mereka tunjukkan. Mommy bahkan membawakan sedikit oleh-oleh untuk mereka.
Termasuk untuk Agus dan Asti. Aku juga dibuat kagum oleh bagaimana Mommy bisa
connect dengan Mamah meski keduanya boleh dibilang memiliki latar belakang yang
berbeda. Mereka segera saja akrab dan ngobrol dengan asyiknya.
Dan aku duduk
disana. Memandang mereka semua berinteraksi. Mamah yang dengan akrabnya ngobrol
dengan Mommy. Sesekali Abah ikutan nimbrung. Regha yang ngobrol bareng Agus dan
Asti. Semuanya larut dalam sebuah kebersamaan yang terasa nyaris sakral bagiku.
Ini kali pertama aku benar-benar merasa memiliki sebuah keluarga dalam artian
yang sebenarnya.
Keluarga yang ada
didepanku ini. Aku bukan hanya melihat mereka. Aku bagian dari mereka. Mereka
milikku. Dan aku berjanji dalam hatiku bahwa aku akan melakukan apapun untuk
memastikan mereka semua baik-baik saja. Aku akan melindungi mereka dengan
sekuat tenagaku. Tak akan kubiarkan mereka tersentuh oleh tangan-tangan jahat
yang dapat menghancurkan mereka.
Keluargaku!
Rasa haru yang
akhirnya membuatku bangkit dan menjauh. Aku harus sendiri untuk beberapa saat.
Kalau aku tetap berada disana bersama mereka, aku akan mempermalukan diriku
sendiri. Aku nyaris tak bisa menahan diri. Jadi aku bergumam pamit untuk pergi
ke sungai. Tempat yang mulai akrab dan memanggil setiap kali aku datang ke
daerah ini.
Disana aku berdiri
menghadap ke matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat dengan mata terpejam.
Sekali lagi membiarkan musik alam melenakanku. Gemericik air yang terpecah oleh
bebatuan, serangga-serangga malam yang mulai bermunculan, juga gemerisik daun
dan ranting yang digerakkan oleh angin. Suara-suara itu menjadi suara latar
saat aku kembali memutar rekaman keakraban keluargaku yang aku saksikan tadi.
Kali ini, kubiarkan emosiku mengalir dengan hebatnya.
Mataku yang masih
terpejam segera saja basah. Dan aku membiarkannya. Membiarkan semua yang
kurasakan meluap dan keluar seperti mata air yang mengalir. Hingga kemudian
sebuah tangan melingkar dengan lembutnya di pinggangku. Dan sebuah tubuh
menempel dipunggungku. Kehangatan tubuh yang akrab itu membungkusku. Tanganku
meraih tangan Regha yang ada dipinggangku, menarik tubuhnya untuk berada
didepanku. Agar aku bisa memeluknya. Agar aku bisa menenggelamkannya dalam
dadaku. Agar aku bisa menyandarkan daguku diatas kepalanya. Dan membiarkan alam
melenakan kami.
Dan disanalah dia
untuk beberapa lamanya.
Menyatu dengan tubuh
dan jiwaku diantara nyanyian nina bobo alam yang mulai berganti wajah.
Dan hubungan kami
berjalan dengan lambat!
Teman-temanku di
Australia, Justin dan yang lain, mungkin akan tertawa sampai mereka sakit perut
kalau saja aku mengatakan bahwa aku sudah berkencan dengan seseorang selama 2
bulan dan aku masih belum pernah menciumnya. Disana mungkin akan ada beberapa
cewek yang akan menertawakan kalian kalau kalian mengatakan hal yang sama. Aku
punya reputasi yang cukup membanggakan disana. Tapi itu jika aku berurusan
dengan cewek. Dengan Regha, lain ceritanya.
I have no fucking
clue what to do with him! It’s like I’m back into a virgin once more!
Menjengkelkan dan nyaris saja membuatku frustasi. Semua kencan yang kami
lakukan berjalan dengan kaku dan tidak mengenakkan. Regha sendiri juga terlihat
sama kakunya denganku. Well, meski dia masih bisa dimaklumi. Tapi aku? Dengan
semua pengalaman yang aku miliki, hal itu sangat memalukan. Padahal aku begitu
ingin meraihnya. Memeluknya. Dan bahkan mencium bibirnya yang terkadang dia
jilat hingga basah saat dia merasa gugup. Masih banyak hal lagi yang ingin aku
lakukan padanya. Tapi……………..aku tak tahu harus bagaimana memulainya.
Sial!!!
Belum lagi Regha
yang kadang menjauh. Ada saat-saat dimana aku merasa bahwa hubungan kami saat
masih sebagai teman dan atasan, jauh lebih akrab dan dekat dibandingkan saat
kami berpacaran. Kalau dulu dia masih bisa ‘lepas’ saat bersamakau, bahkan
memanggilku dengan sebutan bule setengah jadi pengidap megalomaniak akut, kini dia terlihat begitu
‘berhati-hati’ bila ada disekitarku. Dia nyaris terkesan takut saat melakukan
apapun. Dan itu membuatku bingung harus bagaimana. Aku ingin dia bisa rileks
seperti dulu lagi, kalau bisa lebih, karena status kami sekarang adalah
kekasih.
Dan aku baru tahu
penyebabnya beberapa saat yang dulu saat dia curhat ke Regi. Waktu itu aku memang
mencarinya. Vivi yang berpapasan denganku memberitahu kalau Regha berada berada
di ruang redaksi bulletin kampus. Dan disanalah dia, menceritakan bagaiaman dia
merasa begitu rendah diri berhadapan denganku. Aku memang merasakan sedikit
kemarahan mendengarnya yang boleh dibilang ragu padaku. Terintimidasi olehku.
Tapi aku sedikit terenyuh saat menyadari bahwa aku bisa dibilang pacar
pertamanya. Regha tak memiliki pengalaman apapun.
Regi yang pertama
kali menyadari kedatanganku. Dia menolehku dengan tatapannya yang memintaku
untuk menunggu. Dia sengaja membiarkan aku tahu dan mendengar percakapan mereka
berdua. Dia memintaku untuk mengerti apa yang menjadi kendala Regha. Jadi aku
diam disana.
Hanya saat Regi
mengikutkan aku dalam kalimatnya, aku berani muncul. Waktu itu aku hanya memberi
sedikit remasan kecil dibahu Regha agar dia tahu bahwa aku mengerti. Dan Regi
yang kemudian membawa kami ke sebuah gay club di Jakarta.
Jujur, aku super
panik dan nyaris melarikan diri. Untung saja aku sudah terlatih untuk menahan
diri. Belum lagi dua orang teman Regi yang bernama Rio dan Rudi. Duo melambai
yang bahkan boleh dibilang jauh lebih rame daripada Regi. Saat kami masuk, aku
kembali merasa risih. Ada beberapa orang yang jelas-jelas menunjukkan minatnya
padaku. Beberapa yang lainnya bahkan memandangku seperti seekor pemangsa yang
melihat hewan buruannya. Mengerikan! Aku mati-matian berusaha terlihat tenang
demi Regha. Dia terlihat sudah hampir pingsan. Kalau saja bukan Regi yang membawa
kami, aku pasti sudah menyeretnya pergi.
Hingga kemudian kami
ngobrol banyak dengan Rudi dan Rio. Mengejutkan bagaimana kami berdua belajar
banyak dari pengalaman mereka berdua. Bagaimana apa yang kami miliki, justru
menjadi hal yang mereka cari-cari. Sementara kami berdua justru memilikinya
tanpa sengaja. Dari mereka berdua aku belajar untuk menghargai apa yang kami
miliki. Menyenangkan sebenarnya jika keberadaan kami disana tidak terlihat
aneh. Melegakan karena bersama mereka, apa yang kami miliki diakui. Diluar, aku
dan Regha berusaha menutupi apa yang kami miliki dari mata orang lain. Aku
mungkin bisa bersikap tak peduli, tapi Regha bisa saja tersakiti. Itu yang
ingin ku hindari.
Pembicaraan kami
kemudian sempat terganggu oleh kedatangan seorang pemuda. Dia mungkin terlihat
sangat menarik bagi mereka yang ada disana . Karena Rudi dan Rio tidak bisa
menahan diri untuk menggodanya. Tapi………pemuda itu menunjukkan ketertarikannya
padaku. Dia dengan percaya diri menunjukkan kelebihan yang dimilikinya.
Seakan-akan menawarkan diri tanpa malu. Aku berani bersumpah bahwa dia dengan
sengaja berusaha menunjukkan lengan bisepnya dan menahan perutnya agar terlihat
lebih ramping dan kekar. Bagiku dia justru terlihat konyol.
Please. Aku juga
punya apa yang sedang kau pamerkan, batinku waktu itu. Jadi, tanpa menutupi
kekesalanku, aku mengusirnya. Aku lalu mengajak Regha untuk ke lantai dansa.
Aku ingin menunjukkan pada mereka semua yang ada disana kalau aku sudah
memiliki Regha, dan aku tak memerlukan yang lainnya.
Tidak ada satupun
yang kuinginkan di ruangan itu selain Regha.
Dari sana hubungan
kami sedikit berkembang. Aku mulai berani untuk menunjukkan sedikit perasaanku
pada Regha. Regha juga mulai menghangat. Dia bahkan yang memiliki ide agar kami
mendapatkan sedikit waktu bersama di ruang menontonku. Aku sempat kaget saat
dia menyarankan hal itu. Tapi tentu saja aku menyambut dengan antusias.
Dan aku sudah
bersikap hati-hati meski semuanya kacau. Aku bahkan membuatnya ketakutan.
Dimulai saat dia
menyebut nama Rizky yang selalu mengesalkanku. Lalu agar dia berhenti menyebut
nama Rizky, aku menariknya untuk lebih mendekat. Kubawa dia agar berada
diantara kedua kakiku. Perasaan nyaman yang kurasakan saat dia berada
dipelukanku saat itu, tidak bisa digambarkan melalui kata-kata. Bagaimana aku mendekap
tubuhnya yang seakan-akan tenggelam dalam rengkuhanku, nyaris membuat suasana
jadi magical. Aku tak tahan untuk tidak menciumnya.
Selama ini, jujur
aku bingung bagaimana harus memulai kemesraan dengan Regha seperti ini. I have
plenty of sex before. With girls. Aku tahu harus bagaimana bersama mereka. Aku
tahu bagian mana dari tubuh mereka yang harus ku sentuh. Aku tahu apa yang aku
lakukan agar mereka juga ‘tertarik’ untuk bertindak lebih jauh. Dan bagaimana
membuat mereka terpuaskan. Tapi dengan Regha, aku tak tahu apa yang harus aku
lakukan, mengingat dia memiliki anatomi tubuh yang berbeda. Konyol rasanya
kalau aku harus meremas dada Regha seperti aku meremas dengan lembut dada Anna
ataupun Emma. Dia juga tak memiliki klitoris yang bisa ku mainkan. Jadi aku
sering bingung harus bagaimana melakukannya.
Tapi tentu saja, aku
tak akan membuat Regha tahu soal itu. Jadi, meski masih belum mengerti, aku
berusaha menutupinya. Setidaknya aku tahu bagaimana harus mencium, pikirku.
Kuberikan kecupan
ringan di bibirnya yang bergetar itu. Tubuhnya jadi sedikit menegang karenanya.
Jadi aku mencoba membuatnya rileks. Aku memberikannya kuluman singkat yang
nyaris membuatku tak bisa menahan diri. Aku tahu kalau aku harus bersikap
hati-hati dan pelan padanya. Aku tahu kalau aku harus memberinya waktu. Tapi
saat dia mengeluarkan erangan pelan dari bibirnya itu, aku lupa diri. Aku bisa
merasakan kalau tubuhnya meresponku. Dan akupun membawanya lebih jauh. Aku
membuatnya terbaring dibawahku. Menindihnya. Menyatukan tubuh kami. Dan saat
itulah dia mulai panik dan mendorongku.
Dia duduk disana
dengan wajah agak pucat dan tubuh yang gemetaran.
DAMN!! makiku dalam
hati kesal karena kehilangan kontrol. Akhirnya aku hanya bergumam pelan untuk
pamit keluar. Memberinya waktu untuk memulihkan diri. Dan aku berjanji akan
lebih berhati-hati nantinya.
Dan sejak kejadian
itu aku memutuskan, aku butuh bantuan! And soon! Mulanya aku berpikir untuk
mengontak Justin, tapi aku segera sadar. He won’t let me live in peace if he
knows my problem. Aku akan menjadi bulan-bulanannya selama bertahun-tahun. And
like hell I would let him. Jadi aku mencari satu-satunya orang yang ku kenal
memiliki referensi gay sex.
REGI!!
Pagi itu aku sengaja
mencegatnya didekat pintu gerbang kampus. Aku melihatnya datang dari kejauhan
menggunakan angkot. Dia bahkan belum sempat mengatakan apapun saat aku
menyeretnya. Regi sempat berjingkat kaget, tapi begitu tahu aku yang
menyeretnya, dia menurut tanpa berontak.
“Am I in trouble?
What did I do?” tanyanya bingung begitu kami berhenti didekat mobilku.
“I need your help,
and…”
“REGII!!” panggilan
keras itu berasal dari Regha yang berlari menuju kami. Dia berhenti berlari
saat kami berjarak sekitar 8 meter. Bola matanya membesar saat melihatku yang
berdiri di sebelah Regi. Dan saat dia makin mendekat, aku bisa melihat dengan
jelas kalau pipinya merona. Dia pasti teringat kejadian terakhir kami di kamar.
Dan tanpa dapat ku kendalikan, mukaku jadi ikut-ikutan memanas.
“Ha-hai…” sapanya
lemah padaku sembari melambai satu tangannya, kikuk. Aku menjawabnya dengan
anggukan kaku. Regi yang harus ku akui dengan jeli memandang kami bergantian
dengan matanya yang tajam.
“What? What’s going
on with you two?” tanyanya lagi penasaran.
“Nggak ada apa-apa
kok,” jawab Regha cepat. Terlalu cepat sehingga Regi bisa melihat keanehannya.
Dia mendengus keras pada Regha yang tak memberi penjelasan lebih lanjut. Hanya
nyengir kuda.
“Ada apaan
tereak-tereak tadi?”
“A-anu…gue butuh
ba-bantuan? Bisa kita ngomong bentar?”
“Tapi tadi Zaki
bilang dia…”
“We’ll talk later,”
potongku segera, “Give me your number,” kataku lagi dan segera memasukkan
nomernya ke ponselku.
“Are you sure?”
tanya Regi.
“I am. Nanti saja.
Kalau waktu istirahat. Jam 2?” tawarku yang dijawab dengan anggukan oleh Regi.
Aku lalu berpaling
pada Regha yang mencuri pandang padaku. Dia masih canggung untuk menatapku
langsung. Aku berdehem untuk sekedar menghilangkan kekakuan diantara kami.
Pipinya kembali merona saat mata kami bertemu. Gosh…! I swear I’m gonna kiss him
now if we are alone, batinku gemas.
“I’ll call you,”
kataku pada Regi, “Aku pergi dulu,” pamitku pada Regha dan menyapukan tanganku
sekilas pada tangannya. Aku lalu segera masuk ke mobil dan melesat dari sana.
Dan seperti janjiku,
aku meneleponnya saat istirahat siang dan memintanya untuk datang ke lapangan
parkir. Herannya, Regi bilang dia membutuhkan waktu 10 menitan. Meski sedikit
heran, aku mengiyakan saja. Aku menunggunya sembari mendengarkan musik di
mobil. Aku sengaja memilih lapangan parkir karena biasanya jam segini, parkiran
cenderung sepi. Anak-anak lain lebih suka nongkrong di kantin.
Ketukan dijendela
membuatku sedikit kaget. Regi yang di luar memberiku tanda untuk membuka pintu.
“Pheeewww…panas juga
hari ini. Okay. Ini ada beberapa film yang mungkin bisa menjadi referensi
bagimu. Aku sudah membakarnya dalam dvd disc ini. Salah satunya ada yang
berjudul Pinoy Gay Kamasutra. I think you could start with that. And also I
added a few of gay ebooks. Some of them
are romance and pretty romantic. I think you could learn one or two moves from
them,” cerocosnya langsung.
Tentu saja aku
ternganga kaget luar biasa. Wajahku segera saja memanas, “How did you…. Why are
you…..Assuming…”
Aku tak tahu harus
mengatakan apa.
“What? Masalahmu
berhubungan dengan gay sex kan?” tanyanya kalem.
“WHAT?!! How… Did
Regha tell you what happened last night?!!”
“So something
happened last night? Interesting. Please, do tell me,” pintanya dengan nada
antusias, “Come on! Start talking. I want all the dirt.”
“I AM NOT GONNA TELL
YOU ANYTHING!!” raungku. Aku mengeluh keras dan menutup wajahku dengan tangan.
Belum pernah seumur hidup aku malu seperti ini. Dari semua orang, kenapa harus
Regi? batinku kesal.
“Fine!” sergah Regi
dengan sinis dan menggerutu kesal, “Pokoknya kau pelajari saja semua yang ada
dalam video dan buku itu. Itu mungkin akan memberimu banyak petunjuk tentang
apa yang harus kau lakukan. Dan ingat, you have to be gentle. It’s..”
“Gi, please. Shut up
for a moment,” keluhku lemas, masih super duper malu. I’m talking about my sex
life here, for God sake.
Regi mengibaskan
tangannya cuek, “Please. We’re all adults. Dan kau bukan perawan suci yang
tidak mengenal sex. I’ve heard some rumors about you and that witch, Emma.”
“Bagaimana kau bisa
berpikiran kalau aku membutuhkan bantuan soal sex?” sergahku.
Regi menghela nafas
dengan gaya dramatis, “Isn’t it? Zake, kau mungkin seorang cassanova dalam
straight world. But in the gay world, you’re practically a virgin. Dan kau
menbutuhkan bantuanku. That’s a big clue. Kau tak akan mungkin membutuhkan
bantuanku selain urusan yang berhubungan dengan Regha. Ku lihat kalian
baik-baik saja. You guys talked this morning. Dan kalau kau punya masalah
dengan Regha hanya ada satu kemungkinan. It’s about gay sex. Do I have to
continue?”
“Don’t bother….
Just…..talk…” kataku akhirnya dengan nada lemah.
Regi tersenyum penuh
kemenangan, “So, dalam pinoy gay sex kamasutra, kau bisa menemukan beberapa
posisi yang mungkin..”
“GI!!” potongku
segera, “Get to the point, please. Aku akan mempelajari video itu nanti,”
sergahku tak sabar.
“Hanya ada beberapa
hal penting saja yang harus kau ketahui,” ujar Regi melanjutkan, kali ini
dengan nada serius, “Dalam gay sex biasanya ada istilah top, bottom and
versatile. Top is the pitcher. Bottom is the catcher. Vers could do both. Are
you with me?”
Aku kembali
mengerang dan hanya mengangguk.
“Dan aku mengerti
kalau kalian berdua berasal dari straight. Jadi mungkin……….kalian harus sedikit
bereksperimen.”
“Bereksperimen?”
tanyaku heran.
“Well, kau tidak
beranggapan kalau Regha hanya akan menjadi bottom kan? Kalian berdua straight
sebelumnya. Kalian berdua pasti berpikiran bila berhubungan sex, kalian pasti
jadi pihak yang memasukkan penis kalian ke..”
“I get the picture!
Lalu?” potongku lagi dengan wajah yang kembali memanas.
“Jadi…..sebelum
kalian memutuskan peranan kalian, kalian berdua mungkin harus bereksperimen seperti
kataku. Kalian bergantian untuk jadi…………bottom.”
Hening!!
“Fuck!!” umpatku.
Dan kedua tangan dan kakiku menjadi dingin dengan mendadak. Oh my Gosh! That thing
never crossed my mind before! Aku mengerang keras dan menelungkupkan wajahku ke
kemudi.
“Zake, we’re talking
about sex, remember.? Tak ada yang mengerikan dengan sex. Kau akan
menikmatinya. Relax,” ujar Regi kalem.
“B-but…..wouldn’t it
be………h-hurt?” tanyaku lemah.
“Well, yeah, at
first!!”
Aku kembali
mengerang keras.
“Oh just shush!! You
got nothing to worry. Kalau memang ada yang harus khawatir, Reghalah orangnya.
Bukan kau.”
“Kenapa cuma Regha?”
tuntutku.
“Kau tahulah. Kami
Asia memiliki ukuran penis yang biasa. Sementara kau, masih memiliki darah
caucasia. Kemungkinan besar, kau memiliki ukuran yang lebih besar dari kami.
And longer. So I think Regha will hurt more than you will,” jelasnya enteng.
“Bagaimana kau bisa
mengatakannya dengan santai begitu? Kita bicara soal memasukkan sesuatu ke
dalam….” Aku bergidik, tak mampu meneruskan kalimatku.
“Oh, please. If you
hit the right spot, aku yakin baik kau ataupun Regha akan kecanduan dengan sex
itu sendiri.”
“The right spot?”
“Yes, it’s called
prostate. Kau akan menemukan penjelasan lebih lanjut di buku dan film yang ada
pada disc itu. So, make sure to read and watch all of them. Bagimu mungkin tak
ada masalah. You have the advantage of size. Ukuranmu mungkin akan
mempermudahmu menyentuhnya. Tapi omong-omong……..what is your girth?”
“Girth? DID YOU JUST
ASK ABOUT MY GIRTH?”
“Yeah. I wanna know.
Jadi aku bisa membandingkannya dengan Nick,” jawabnya tanpa dosa.
Aku menggeram marah,
“Dream on!!” tukasku kesal. Regi hanya tertawa sambil menjulurkan lidahnya
padaku. Tapi ekspresi wajahnya langsung berubah saat mata kami bertemu.
Sepertinya dia bisa menangkap ketakutan yang kurasakan. Dia lalu menawarkan
senyum menenangkannya.
“It’s fine, Zake.
Apakah menurutmu orang gay tidak akan berhenti melakukannya jika hal itu
menyakitkan?” hiburnya.
“But…”
“I know. The idea of
having something shoved up your ass ain’t pretty at all…”
“UGHHH!!!”
Regi tertawa senang
dengan reaksiku, “I won’t worry about you. Kau punya banyak pengalaman.
Aku…………lebih mengkhawatirkan Regha. Zake, promise me something,” pintanya
kemudian. Tak ada lagi nada menggoda dalam suaranya.
“Apa?”
“Be gentle to him,
please. Kau adalah yang pertama baginya…”
“He’s my first
too..”
“Dalam segala hal,
Zake.” lanjut Regi seolah tak mendengar selaanku tadi, “Kau cinta pertama yang
dia miliki. Kau juga ciuman pertamanya. Kau sadar itu kan? Aku tak ingin
pengalaman pertamanya menjadi trauma…”
“I’m not gonna rape
him, Gi.”
“I’m just saying…
Please, don’t hurt him..”
“You know I care for
him. Aku orang terakhir yang ingin dia terluka. I promise you that I would do
anything to keep him safe and happy. Apa itu cukup bagimu?” Regi mengangguk dan
tersenyum. Aku membalas senyumannya dan sudah hendak mengucapkan terimakasih
saat ponselku bordering. Regha, “Ya? Aku
ada dilapangan parkir. Kuliahmu sudah selesai? That’s good. Bagaimana kalau
kita makan siang bersama? Aku bersama Regi sekarang. Yeah, sure. I’ll be here,”
kataku dan menutup telpon.
“Regha?” tanya Regi.
Aku mengangguk,
“Yeah. Dia akan kesini.”
“That’s my cue,”
katanya dan beranjak hendak keluar.
“Kau ikut saja makan
siang bersama kami. Nanti aku antar kau pulang bareng Regha. Sepertinya Vivi
menelantarkanmu akhir-akhir ini,” kataku menggoda.
Regi cemberut,
“Gajah bengkak itu sedang bahagia bersama Jordan. Siang ini dia mendapat
undangan makan siang bersama ayah dan Ibu Jordan. Kemarin dia ribut ngajak aku
belanja untuk persiapan hari ini.”
“Don’t you happy for
her?”
“Of course I am.
Tapi kan tetep aja jadi kesepian. Regha juga sibuk denganmu. Gosh!!! Aku benar-benar
tak tahan untuk segera pergi ke Belanda. I miss my Nick,” gumamnya denagn mata
menerawang, “Oops, that’s your boyfriend. “
Aku menoleh dan
melihat Regha yang berjalan menuju kami dengan membawa tas ranselnya. Regi
segera keluar untuk pindah ke kursi belakang. Siang itu sebenernya aku hendak
membawa mereka ke restaurant favoritku. Tapi Regha dan Regi bersekongkol untuk
memaksaku membawa mereka ke fastfood saja. Saat aku mencoba berargumen bahwa
ayam goreng yang mereka makan itu dibunuh secara massal dengan cara yang
mengerikan dan menyebutkan banyaknya lemak serta zat berbahaya lain yang ada dimakanan
mereka itu, keduanya cuma mendengus hebat dan mengibaskan tangannya. Jadi kami
menghabiskan sisa siang itu di salah satu cabang restaurant fastfood itu.
Kalau kencan
berduaku dengan Regha biasanya berjalan kaku, dengan adanya Regi, suasana
menjadi santai dan penuh canda. Dia bisa mencairkan suasana dengan
banyolan-banyolan khasnya. Dan setelahnya, kami mengantar Regi untuk pulang.
Regi ternyata
tinggal di daerah Cicalengka yang bisa ditempuh selama 1 jaman dari tengah
kota. Aku cukup terkejut dan heran kenapa
dia tidak kost saja daripada harus bolak-balik menempuh jarak yang cukup jauh.
Tapi Regi bilang dia suka, karena waktu yang dia tempuh membuatnya bisa
berpikir akan berbagai hal. Sejenis terapi yang dia bilang sangat dia sukai.
Aku dan Regi hanya saling bertatapan heran. Tapi mengingat sikapnya yang
eksentrik, kami hanya saling mengangkat bahu.
Kami berhenti
disebuah rumah yang berukuran sedang dengan pagar besi setinggi pinggang. Rumah
itu terkesan hijau dengan berbagai jenis tanaman bunga yang ada didepannya.
“Ini rumah gue,”
ujar Regi dan sudah hendak mengatakan sesuatu namun urung saat pintu rumahnya
terbuka. Aku dan Regha segera keluar dari mobil untuk mengikuti Regi. Seorang
wanita berusia di akhir 40an menyambut kami dengan senyum ramahnya.
“Guys, ini nyokap
gue. Mah, ieu teh babaturan abdi. Regha. Itu Zaki. Guys, my Mom, Suciati,” kata
Regi memperkenalkan.
“Selamat datang di
rumah kami. Ayo, silahkan masuk dulu,” ujarnya mempersilahkan setelah kami
bersalaman. Aku sebenarnya ragu untuk menerimanya saat melihat ekspresi Regi
yang berubah. Tapi Ibu Regi meraih tanganku dan Regha, lalu menarik kami untuk
masuk. Meski naluriku berkata untuk menolaknya, tapi aku memaksakan diri demi
Ibu Regi.
Kami digiring masuk
ke sebuah ruang tamu keluarga yang terkesan minimalis namun toh bersih dan
rapi. Tidak terlalu banyak ornament di ruangan itu. Hanya sebuah vas bunga
besar, sebuah lukisan pemandangan gunung dan sebuah foto seorang laki-laki yang
menggunakan seragam tentara. Foto itu sudah lama.
Regi pamit ke
belakang sementara Ibunya ke dapur. Kalau dilihat, Regi berasal dari keluarga
kelas menengah. Tapi salut rasanya mengingat apa yang telah dia lakukan untuk
Regha. Kurasa Regha juga berpikiran sama karena kulihat matanya mulai terlihat
muram.
“Selama ini kupikir
dia berasal dari keluarga yang cukup berlebih dibanding keluargaku,” bisiknya
pelan, “Dia telah memberiku banyak sekali, tanpa mengharap balasan. Masih ingat
uang yang pernah dia bberikan. Siapa sangka….” Dia tak meneruskannya, tercekat
oleh rasa haru. Aku hanya tersenyum. Kuremas tangannya yang berada disebelahku.
“Itulah salah satu
kelebihan yang dia miliki….”
Suara pintu terbuka
membuatku urung meneruskan kalimatku. Seorang bapak-bapak masuk. Matanya
menatap heran pada kami berdua. Butuh waktu beberapa detik bagiku untuk sadar
bahwa dia adalah orang yang sama dengan yang ada dalam foto tadi. Jadi
kemungkinan dia…
“Siapa kalian?”
tanyanya dengan suara yang terkesan curiga dan cukup mengesalkan.
Aku bangkit,
menawarkan senyum diplomasi yang kugunakan dalam menghadapi rekan bisnis,
“Maaf, Pak. Saya Zaki, dan Ini Regha. Kami teman kuliah Regi.”
Dia mendengus kecil,
“Teman Regi? Aku Suprapto, ayahnya. Kalian berada dijurusan yang sama?” tanya
Bapak itu dan duduk didepan kami setelah bersalaman dengan Regha. Sikapnya
menunjukkan kalau dia adalah pemimpin disini dan kami berdua diharapkan untuk
hormat padanya. Aku kembali tersenyum, “Tidak, Pak. Kami berada di jurusan yang
berbeda. We just know each other…”
“Kalian…………………terlihat
berbeda dari beberapa teman Regi. Biasanya kalau tidak teman gadisnya yang
kesini, pasti teman-teman lainnya yang tingkahnya tidak jelas itu,” kata Bapak
Suprapto itu. Pembicaraan kami terputus saat Ibu Regi masuk sembari membawa
sebaki minuman dan makanan kecil. Pandangannya sedikit kaget saat melihat bahwa
kami tidak sendiri.
“Bapak sudah
pulang?” tanyanya pelan dengan nada yang sedikit membuatku mengerutkan kening.
Apalagi saat kulihat tangannya yang meletakkan gelas minuman kami di meja
sedikit gemetar,”Bapak mau dibikinkan kopi?” tawarnya pada suaminya itu.
Pak Suprapto hanya
mengangguk dan kemudian mendengus saat kulihat Regi yang muncul dari ruang
tengah. Regi sempat berhenti melangkah sejenak, tapi kemudian dia
melanjutkannya dengan ekspresi wajah datar.
“Kalian sudah ketemu
Abah rupanya,” katanya dengan keriangan yang jelas dipaksakan yang kami jawab
dengan anggukan.
“Ngomong-ngomong,
dari mana asal kalian? Bandung semua?” tanya Bapak Suprapto lagi.
“Regha asli dar…”
“Mereka punya mulut
sendiri,” sela Pak suprapto, memotong kalimat Regi, “Biarkan mereka
menjawabnya. Abah nggak nanya sama kamu.”
Kulihat tubuh Regi
langsung menegang karenanya.
“Saya dari
Majalengka, Pak,” jawab Regha cepat dengan nada datar. Dia mulai kesal rupanya.
“Saya pindahan dari
Australia, Sir.”
“Australia? Huh? Pantas
kau terlihat berbeda. Lalu……apa kalian berada di klub yang sama dengan Regi?
Kalian juga suka membuat desain pakaian untuk wanita seperti itu?” tanya Pak
Suprapto lagi dengan nada mencemooh.
“Abah!!” teguran itu
berasal dari Ibu Regi yang kini datang dengan secangkir kopi ditangannya.
“It’s fine,” jawabku
dan tertawa kecil, “I don’t think we have that kinda club.”
Bapak dan Ibu Regi
memandangku dengan tatapan tanya, hingga aku sadar kalau aku tadi menggunakan
bahasa Inggris.
“Maksud saya, tidak
ada klub seperti itu di kampus kami. Regha yang satu klub dengan Regi. Tapi
klub Jurnalistik. Dan tidak. Saya tidak suka dan tidak bisa membuat design baju
untuk pria ataupun wanita,” jawabku santai.
“Huh? Lalu apa
hobimu? Menari?”
“Abah!!”
“It’s okay,” kataku
pada Ibu Regi yang wajahnya sudah mulai memerah, sementara Regi saat kulirik
sudah memalingkan wajahnya dari kami, “I wish I could dance, but I can’t. Saya
suka berburu saat masih di Australia.”
“Berburu? Waah, itu
baru hobi lelaki. Aku suka padamu. Apa yang biasanya kau tembak?”
“Rusa biasanya.
Kadang juga yang lain. Tergantung tempat saja. Saya pernah menembak seekor
antelop di Afrika dua tahun kemarin. Itu terakhir kali saya berburu. Saya
terlalu sibuk dengan urusan panti dua tahun terakhir ini.”
“Panti?” tanya Bapak
Regi dengan kening berkerut.
“Yes. Kebetulan
keluarga saya memiliki resort yang diperuntukkan untuk orang tua. What do you
call it?” tanyaku meminta bantuan Regha.
“Panti jompo,” jawab
Regha singkat.
“Yes, panti jompo.
Mommy meminta saya untuk mengurusnya. Jadi saya tidak memiliki banyak waktu
untuk liburan..”
“Waah..waaahh!!
Masih muda tapi sudah memegang sebuah usaha besar. Hebat sekali kau anak
muda.,” puji Pak Suprapto yang hanya kubalas dengan senyuman terimakasih, “Coba
saja anakku lebih sepertimu. Gagah, tegas dan kuat. Suka berburu pula. Aku
pensiunan TNI, jadi tahu sedikit soal senjata. Mungkin akan menyenangkan kalau
anakku punya hobi sepertimu. Setidaknya ada sesuatu yang bisa kami bicarakan.
Dia malah lebih suka berurusan dengan perancang yang tidak jelas itu,” ujarnya
dengan nada menggerutu.
Aku mulai mengerti
kenapa perubahan sikap Regi tadi. Ku lihat dia masih memalingkan mukanya dari
kami. Namun kedua tangannya yang ada dipangkuannya mengepal kuat. Sementara Ibu
Regi memberikan senyum malunya dengan tatapan menyesal. Aku juga bisa merasakan
ketegangan dari tubuh Regha yang ada di sebelahku.
“Actually….” kataku
memulai, “Saya justru bersyukur bahwa saya mempunyai teman seperti Regi. Anda
seharusnya bangga. Regi adalah orang yang paling baik, loyal dan ringan tangan
dalam membantu temannya. Saya belum pernah menemukan seorang teman lelaki yang
memiliki empati sebesar dia. In fact, dia sudah beberapa kali membantu saya,
saat saya berada dalam kesulitan besar. Dan saya dengan pasti bisa mengatakan
bahwa saya, sangat beruntung memiliki dia sebagai teman.”
Kalimatku itu
membungkam mereka semua. Regi berpaling padaku dengan mata haru penuh
terimakasih. Ibunya menunduk tak mampu mengangkat mukanya. Dan ketegangan dari
tubuh Regha kini mulai mengendur. Aku tersenyum pada Bapak Regi yang menatapku
dengan mulut terbuka, kaget.
“Seriously, anda
seharusnya bangga memiliki dia sebagai seorang anak,” ujarku lagi dan kemudian
bangkit, “Well, saya berterimakasih atas keramahan Bapak dan Ibu. Saya permisi
dulu. Come on Regha. We gotta go. It’s late,” lanjutku.
Regha yang tampak
lega segera bangkit. Kami lalu bersalaman dengan Bapak Regi dan Ibunya yang
memberikan remasan lembut padaku. Aku hanya memberikan senyumku padanya.
Sedikit merasa kasihan karena aku bisa menduga kalau selama ini, dia terus
hidup dibawah bayang-bayang suaminya yang terperangkap pada stigma macho
seorang lelaki. Mungkin dia seperti itu karena dia seorang mantan tentara.
Regi mengikuti kami
hingga ke mobil.
“Thank you…” bisik
Regi saat kami berada didekat mobilku. Aku sedikit kaget dengan suaranya yang
agak gemetar. Dan baru kusadari kalau pipinya telah basah. Regha sebagai orang
yang lebih dekat dengan Regi, segera saja memeluknya. Aku hanya mengangguk dan
memberinya remasan lembut di bahunya.
Selama beberapa
menit kami melaju, baik Regha atau aku tak ada yang berbicara. Kami sama-sama
belum pulih dari kekagetan kami tadi. Siapa sangka kalau Regi yang periang,
ramai dan seakan-akan tanpa beban, hidup dalam rumah yang cukup menekan seperti
itu. Kita memang tidak bisa menilai sebuah buku dari cover-nya. Bagi Regi, mungkin
mulutnya selama ini yang selalu pedas dengan gaya feminimnya menjadi sebuah
mekanisme pertahanan diri.
Aku menghela nafas
panjang. Untuk satu dan lain hal, aku merasa lebih beruntung darinya. Siapa
sangka ada begitu banyak drama dalam dunia ini. Padahal menurutku selama ini
aku sudah cukup melihat drama dalam hidupku. Dan baru kusadari kalau sedari
tadi, Regha tidak berhenti melihatku.
Aku melihatnya
sekilas. Ada binar dimatanya, sementara senyumnya terulas dengan lebar.
“Apa?” tanyaku
heran.
“Kamu belain Regi
tadi…” katanya dengan nada senang seperti anak kecil yang mendapat hadiah
natal, membuatku tertawa.
“Well, yeah. Kinda.
His dad is…..awful!”
“I’M PROUD OF
YOU!!!!” seru Regha dan tiba-tiba saja menubruk dan merangkulku sembari mencium
pipiku dengan keras. Aku yang sedang mengendalikan mobil, tentu saja terpekik
kaget, sehingga untuk sesaat mobil oleng. Untung saja jalanan sepi dan tak ada
kendaraan lain di jalan. Kalau tidak…..
“Watch it!!”
gerutuku kesal, “Hati-hati dong kalo mau nyium!”
Regha hanya nyengir.
Aku yang hanya pura-pura marah tadi akhirnya tak tahan dan ikutan nyengir.
“Could you do that
again?”
Regha tertawa keras
dan kemudian kembali merangkul dan menciumku dengan suara lebih keras dari
sebelumnya.
Dan malam itu aku
baru tidur pada jam 5 pagi setelah menonton semua film yang diberikan oleh
Regi. Ada beberapa scene yang membuatku bergidik, meski ada pula beberapa scene
yang cukup menyentuh. But all and all……..aku masih belum tahu kalau aku bisa
melakukannya atau tidak. Yang jelas, seperti janjiku pada Regha, we’re just
gonna take it slowly. Aku tak ingin melakukan segala sesuatunya dengan gegabah
dan pada akhirnya hanya akan menyakiti kami berdua.
Semua akan terjadi
pada waktunya. Saat kami berdua menginginkannya. Saat kami berdua telah siap.
Untuk sementara aku mungkin hanya butuh untuk belajar medan dan strategi yang
mungkin aku perlukan. Akhirnya, karena mengantuk, aku memutuskan untuk membaca
ebook setelah tidur.
Dan siapa sangka
bahwa waktu itu terjadi cukup cepat.
Weekend itu Jordan
mengundang aku, Regha, Regi dan Vivi untuk menginap di villa keluarganya yang
ada didaerah Lembang. Karena harus absen dari panti, aku dan Regha mencoba
menyelesaikan semua tugas kami pada hari kamis, karena jum’at sore kami
berangkat.
Kami tiba di villa
keluarga Jordan pada pukul 3 sore. Villa keluarga Jordan cukup impresif. Gedung
dengan arsitek Yunani kuno itu memiliki 3 lantai. Ada sekitar 6 kamar. Dua
kamar di setiap lantainya. Aku langsung menyeret Regha untuk menempati 2 kamar
di lantai 3. Regi mengikuti kami dan mendapat kamar di lantai 2. Jordan
ngomel-ngomel saat dia dan Vivi harus menempati dua kamar di bawah. Villa
Jordan itu memiliki pekarangan yang cukup lebar dan dibatasi dengan pagar yang
cukup tinggi. Ada beberapa villa lain yang berada di dekatnya. Jordan bilang,
ada keamanan yang berpatroli setiap malamnya. Karena beberapa property yang ada
disana miliki pejabat teras Negara ini. Begitu selesai menaruh koper, Jordan
membawa kami ke bagian belakang villa yang jauh lebih luas daripada pekarangan
depannya.
Regi yang tadi satu
mobil dengan kami langsung heboh begitu melihat kalau villa Jordan ada kolam
renang dan Jacuzzi-nya. Aku dan Regha hanya mampu menggelengkan kepala dengan
kehebohan Regi yang mulai terlihat biasa di mataku. Tapi aku kira semua orang
pasti akan bereaksi sama. Pekarangan belakang villa Jordan ini berbatasan
dengan tebing yang dibawahnya terhampar kebun teh sepanjang mata memandang. Pengurus
villa Jordan sudah menyediakan semua keperluan kami. Dapur sudah penuh dengan
persediaan makanan yang cukup selama seminggu.
Kami akhirnya
memutuskan kalau urusan dapur akan ditangani oleh Vivi dan Regi. Sementara aku,
Regha dan Jordan mendapat tugas untuk membawa berbagai macam alat dan keperluan
berat lainnya. Kami memutuskan untuk membuat barbeque party malam itu di tepi
kolam renang.
Dan malam itu, alam
sedang tersenyum pada kami. Langit cerah dan penuh bintang. Seusai barbeque
party, kami putuskan untuk mengobrol di pekarangan yang hanya diterangi oleh
beberapa obor. Suasana remang-remang malam itu begitu membius dan nyaris gaib.
Aku duduk setengah berbaring di sebuah kursi santai panjang dengan Regha yang
bersandar didadaku. Regi berada ditengah kami dan menyemprot tubuhnya dengan
cairan anti nyamuk, sementara Vivi berada dalam pelukan Jordan di kursi
sebelahnya.
Aku benar-benar
terbawa suasana romantis malam itu. Keremangan malam dengan gemerlapnya bintang diatas menciptakan ilusi samar yang
melenakan. Seakan-akan kami berlima berada dalam sebuah alam lain. Terpisah
dari dunia luar dengan semua hiruk pikuknya. Kami seakan-akan masuk ke dalam
alam lain yang diperuntukkan hanya untuk kami.
Tanganku yang
memeluk perut Regha tanpa sadar menariknya, agar dia lebih mendekat padaku.
Regha mendongak melihatku dengan kening berkerut, bertanya. Aku tak mengatakan
apapun. Hanya tersenyum dan mencium keningnya dengan lembut. Mengungkapkan apa
yang ada dalam hatiku dengan ciuman itu.
“Mengejutkan
bagaimana hidup berjalan ya?” celetuk Regi pelan.
Kami semua segera
saja berpaling padanya dengan heran. Regi tidak langsung menjawab kami. Dia
menoleh bergantian pada kami yang berada di kedua sisinya.
“Pernahkan kalian
berpikir bahwa kita akan berakhir ditempat ini bersama?” tanyanya yang kemudian
berbaring di kursi malasnya. Pandangannya lurus ke atas, mungkin menatap
bintang dan bulan sabit yang menggantung di langit, “Kalau kalian mau berpikir,
beberapa bulan kemarin, rasanya mustahil kita semua bisa berada ditempat ini,
dalam suasana yang menakjubkan seperti sekarang ini. Beberapa bulan yang lalu,
Zaki masih seorang cowok angkuh yang menggandeng nenek sihir tercantik di
kampus kita. Jordan masih seorang cowok brengsek dengan mulut yang bikin gue
napsu buat ngegaplok pake sepatu. No offense, Jordan.”
“Non taken!” jawab
Jordan singkat dan mengangkat tangan kanannya. Kami semua tertawa kecil.
“Vivi masih cewek
montok yang terus-terusan mengeluh pengen punya cowok cakep. Regha masih jadi
cowok culun yang serampangan dan agak oon.”
“HEY!!” protes
Regha, sementara kami kembali tergelak.
“Dan elu masih jadi
banci sinting yang ngomongnya suka bikin kuping panas, “ timpal Vivi yang
dijawab Regi dengan juluran lidahnya.
“Kita semua
berbeda,” lanjut Regi, “sangat jauh berbeda. Kita berinteraksi dengan
orang-orang yang berbeda. Memiliki
kesukaan yang berbeda. Dan juga memiliki mimpi yang berbeda. Namun toh
hidup mengumpulkan kita di tempat ini dalam kebersamaan yang indah. Zaki dan
Regha….siapa yang menyangka kan?”
Regha yang berada
dipelukanku hanya bergerak kecil, salah tingkah. Aku hanya berbisik pelan
sembari menyurukkan kepalaku dilehernya. Dia jadi sedikit rileks dalam
pelukanku.
“Vivi dan Jordan.
Kejutan bukan? Kalian lihat? Tali nasib kita yang sebelumnya terpisah,
tiba-tiba saja bersatu dalam sebuah simpul. Begitu indahnya hidup merangkai
sebuah cerita ya? Banyak kejutan dan konflik yang membuat arah langkah nasib
kita berbelok, jauh dari dugaan dan rencana otak kita sebagai manusia. Begitu
banyak pelajaran yang hidup berikan sehingga kita menjadi diri kita sekarang.
Kalau kalian mau
mengingat, pasti sudah ada banyak sekali orang –orang yang pernah singgah dalam
hidup kalian. Orang-orang yang pernah meninggalkan jejak dan kini tidak berada
di sisi kalian lagi. Seperti Zaki yang dulu pasti tidak pernah terpisah dengan
Justin. Gue ma teman-teman gue dulu, dan mungkin Regha dengan semua teman
SMA-nya. Orang-orang itu pernah membentuk sebuah kenangan bersama kalian. Mereka
meninggalkan jejak dalam hidup kita. Dan kini mereka semua menempuh jalan hidup
masing-masing.
Dan kini kalian ada
disini. Membuat sebuah kenangan bersama gue. Dan gue…………bersyukur, gue bisa
bertemu dan memiliki kalian..” Regi diam sejenak dan menarik nafas panjang.
“Entah apa yang ada
pada malam ini, tapi saat ini, malam ini, gue ingin mengucapkan terimakasih
pada kalian. Terima kasih telah singgah dalam cerita hidup gue. Terimakasih telah
mengajarkan banyak hal ke gue.”
Regi lalu melihat ke
arahku dan Regha, “Kalian berdua mengajarkan ke gue bahwa masih ada yang
namanya keajaiban dalam cinta. Masih ada ketulusan yang tercipta, bahkan dalam
situasi yang terlihat mustahil. Dari kalian gue bisa belajar tentang indahnya
menyayangi seseorang, meski perasaan itu tertuju pada seorang individu yang
jauh di luar dugaan kita. Kalian mengajarkan cinta……”
Dia lalu berpaling
pada Vivi, “Lo ngajarin gue tentang menjadi seorang teman. Menjadi seorang
pribadi yang punya empati pada individu lain, meski kita berada dalam sebuah
tekanan. Kalo lo gak berinisiatif ngajak gue bantuin Regha dulu, kita mungkin
tak akan sedekat ini. Dan lo ma Jordan, memberi gue keyakinan bahwa selalu ada
rencana Tuhan yang indah dibalik sesuatu yang tertunda. Jordan, dari lo gue
belajar buat menyuarakan suara gue. Berani menjadi diri sendiri. Thank you
guys…. Tapi……kalo boleh, gue pengen minta satu hal lagi…”
Kami diam sejenak,
hingga akhirnya Regha yang memecahkan keheningan diantara kami.
“Apa Gi?”
“Kita pertahankan
apa yang kita miliki saat ini,” ujar Regi, “Gue gak pengen jadi salah satu
orang yang cuma lewat dalam hidup kalian. I wanna stay. Terutama lo Gha, Vi.
Kalo bisa, gue pengen kita bisa tetap berhubungan. Gue gak pengen jadi sebuah
wajah yang cuma bakal kalian inget dalam kenangan, seperti orang-orang yang
pernah singgah dalam hidup kalian. Gue pengen kita jaga apa yang kita punya
sekarang…”
Kembali hening.
Masing-masing dari kami seakan-akan terperangkap dalam suasana malam ini yang
kian menjadi ajaib. Tak ada satupun yang menyangka kalau Regi akan mengangkat
topik seperti ini. Malam ini dia bukan lagi Regi yang rame dan lincah. Dia
menjadi sosok lain yang belum pernah ku lihat.
Hingga kemudian aku
menyadarinya….
“Kau akan pergi….” kataku
pelan.
Regi tak mengatakan
apapun. Dia hanya menatapku dengan tatapan datar. Kurasakan tubuh Regha
menegang dalam pelukanku. Hampir bersamaan, dia dan Vivi duduk tegak dan bangkit
mendekati Regi.
“Bener, Gi?”
Regi hanya
mengangguk.
“Kemana?” tanya Vivi
dengan suara tercekat.
“Belanda. Gue mo
nyusul Nick, Vi. Ga ada sesuatu yang menahan gue disini. Kalian tahu itu kan?”
kata Regi padaku dan Regha.
Regha dan Vivi
segera saja protes dan mengajukan berbagai macam alasan. Tapi Regi hanya diam
mendengarkan mereka hingga keduanya berhenti.
“Udah? Gue juga mo
bilang, kalo gue gak sekarang perginya. Gue kudu ngelarin kuliah gue disini.
Tapi begitu gue lulus, gue segera ke Belanda. Jadi kita masih punya waktu buat
bersenang-senang dengan kalian. Jadi….tenang aja, ok?”
“Lo yakin, Gi?”
tanya Regha akhirnya.
“Apalagi yang bisa
menahan gue disini? Disana gue ada Nick. Kan gue bisa mesong berdua kek
kalian,” ujarnya nyengir.
“Ortu lo?”
“Nyokap gue udah
kasih ijin. Itu yang penting.”
“What’s your plan
there?” tanyaku akhirnya.
“I’m gonna work
there. Mas Rudi punya seorang kenalan disana yang siap nerima gue. Mungkin gue
kudu kasih tahu kalian, sebenernya, selama ini gue kerja freelance buat Mas Rudi.
Lo tahu kan gue tertarik ma dunia fashion. Gue punya beberapa sketsa yang dulu sempet gue tunjukin ke Mas Rudi. Beliau
suka dan ngebimbing gue.”
“How did you know
him anyway?” tanyaku lagi.
“Dari gay chat,”
jawab Regi nyengir, “Kita kenalan, ketemu. Dan kita langsung cocok sebagai
temen. Mas Rudi memperlakukanku kayak adek dia sendiri, Zake. There’s no
romance between us. Apalagi saat dia tahu gimana kondisi keluarga gue. You
should’ve seen my father’s face when Mas Rudi was there. It was epic! Father’s
was like gonna explode. That was one of my best moment, ever.”
Aku hanya bisa
tertawa kecil membayangkan wajah Pak Suprapto saat itu, “Yeaaah, I can imagine
that…”
“So…that’s why,
selagi sempat, dan selagi suasananya mendukung, gue pengen katakan yang udah
gue utarakan tadi. Gue berharap kita bisa tetap berhubungan. Terpisah benua
bukan berarti kita harus hilang kontak. Karena gue ingin bisa jadi bagian dari
kalian. Dan melihat kalian bersama seperti ini…………….gue ingin cepat-cepat pergi
ke Belanda. Gue bosan jadi kambing congek seperti ini,” ujarnya menggerutu
meski bibirnya tersenyum.
Regha dan Vivi
mendekat dan mereka berpelukan. Regi tertawa dan menyambut mereka. Mata kami
berpapasan. Dan lewat kontak mata singkat itu, aku mengerti apa yang ingin dia
sampaikan. Jadi aku mengangguk untuk menunjukkan bahwa aku paham.
“Tell me if you need
anything,”kataku lagi. Regi membalasnya dengan senyuman.
“Kalau begitu, aku
ingin beristirahat dulu didalam dan menelepon Nick. Might get lucky and have a
bit phone sex with him,” ujar Regi membuat Regha dan Vivi langsung melepas
pelukannya sambil mengeluarkan erangan jijjik. Regi ngakak.
“Kurasa kita memang
harus beristirahat,” kataku dan bangkit. Yang lainpun setuju. Kamipun masuk ke
villa, menuju lantai masing-masing setelah mengucapkan selamat malam. Aku
melangkah dibelakang Regha yang segera mendahuluiku.
“Are you ok?”
tanyaku saat kami menaiki tangga, “You know, about Regi and all.”
“Mungkin itu yang
terbaik baginya,” jawab Regha sambil melirik sekilas ke belakang, “Kurasa dia
punya hak dalam mengejar kebahagiaannya sendiri. Sesuatu yang mungkin tidak dia
dapatkan disini.”
Aku sedikit
tercenung mendengarnya. Yeahh, mungkin saja disini Regi tak bisa meraih
kebahagiaan sesuai dengan yang diinginkannya. Di Belanda dia memiliki Nick dan
karir yang bisa ia kejar. Hal itu membuatku bertanya-tanya sendiri, dimana
kebahagiaanku nantinya? Dan dimana kebahagiaan Regha sebenarnya? pikirku dan
berhenti didepan pintu kamarku.
“Nite…” pamit Regha
dan terus melangkah menuju kamarnya. Aku tak menjawab, hanya menatap
punggungnya yang menjauh.
“Regha!” panggilku.
Dia berhenti dan membalikkan tubuh, menatapku dengan pandangan tanya, “Are you
happy?” tanyaku kemudian.
Regha tak
menjawabnya. Dia berdiri diam disana dan tidak melepas kontak mata denganku.
Hingga kemudian dia tersenyum, “Very..” jawabnya pelan, “Nite…”
Aku ikut tersenyum
dan menganggukkan kepalaku, “Good nite..” kataku dan masuk ke kamar. Begitu
pintu tertutup, aku berhenti melangkah dan menarik nafas panjang. Lalu
bersandar pada daun pintu, tercenung. Ingat akan kata-kata Regi tadi.
Memang benar. Kalau
dipikir, telah ada begitu banyak orang yang lewat dalam kehidupanku selama ini.
Dad, Teman-temanku di Australia, cewek-cewek yang pernah ku kencani disana,
Emma, Anna, dan beberapa cewek yang pernah lewat sebelum mereka, dan………….cewek
dari klub yang pernah menemaniku hanya semalam dihotel waktu itu. Aku bahkan
tak ingat apakah aku pernah menanyakan namanya.
Kebanyakan dari
mereka itu hanya lewat sejenak dalam kehidupanku. Masing-masing meninggalkan
kenangan tersendiri. Ada yang pahit, ada pula yang manis. Ada kenangan yang
masih terpatri dengan jelas, ada pula yang kabur dan nyaris terkubur. Beberapa
dari mereka masih hidup dan masih berhubungan. Beberapa diantaranya telah meninggal
dan ada yang hilang entah kemana.
Hidup terus berjalan
membawa orang-orang baru ke dalam kehidupanku. Regi, vivi, Mamah, Abah, Asti,
Agus, Rizky dan tentu saja………Regha. Seperti yang Regi ucapkan tadi, aku juga
harus mengakui kalau aku tak ingin Regha hanya menjadi orang yang lewat begitu
saja dalam kehidupanku. Disini, dalam kamar ini, terpisah hanya beberapa meter
darinya, aku mengakui dalam hatiku bahwa aku ingin dia tinggal. Aku ingin dia
terus ada dalam kehidupanku. Kini dan nanti. Dan aku ingin dia tahu itu.
Aku menegakkan
tubuh.Aku akan kekamarnya. Aku akan mengatakannya. Aku ingin dia ta..
Suara ketukan di pintu
yang tadinya hendak kubuka membuatku sedikit kaget. Aku harus menengkan diri
sejenak dan menarik nafas panjang sekali, lalu membukanya.
“Regha?” ujarku
heran melihat Regha yang berdiri didepanku dengan ekspresi wajah yang tak bisa
kubaca. Aku menoleh ke kanan dan kiri kami. Sunyi, tak ada suara atau apapun,
“Ada apa?” tanyaku lagi.
Regha tak menjawabku.
Dia hanya berdiri disana dengan ekspresi wajah yang tak bisa ku baca. Campuran
antara takut, ragu dan serba salah. Aku mengernyit heran dibuatnya. Aku sudah
hendak bertanya saat dia kemudian tiba-tiba maju dan bibir kami bertemu!
Aku mengeluarkan
suara terkesiap yang cukup keras saking kagetnya. Mulutku tertutup secara
refleks sehingga ciuman Regha hanya sejenak berada di bibirku. Aku mundur dan
melihatnya dengan mata melebar. Siapa sangka Regha akan berani melakukan ini
padaku. Selama ini, dia lebih banyak menjadi pihak yang pasif. Aku yang
terbiasa menjadi pihak yang menyerang terlebih dahulu. Kali ini menyerangku
diluar dugaan, hingga cukup membuatku terguncang.
Jadi untuk beberapa
saat lamanya, aku hanya terpaku disana, menatapnya dengan mata terbelalak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar