Translate

Jumat, 30 Januari 2015

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 44 - Aftermath, Zaki



ZAKI

Sejak aku mengerti bagaimana berpacaran, ini adalah kali pertama aku tak tahu harus melakukan apa. Biasanya pada setiap kencan, aku akan memulai dengan makan malam dengan suasana yang tenang, dilanjut dengan menghabiskan waktu bersama. Entah itu dirumahku, atau di kamar teman kencanku. Atau kalau tidak, kita nonton dan kemudian melakukan sesuatu didalam cinema dan sesudahnya. I thought I was an expert. Or at least, I know what to do. But with Regha…………..I absolutely have no idea!
I swear it is very confusing! Aku tak mau memperlakukan Regha seperti aku memperlakukan mantan-mantanku  yang dulu. First, because he’s a boy. And I’m very aware of that. Dan aku tak mau dia tersinggung dengan menganggapnya sebagai cewek. And second, because I have no experience of being…… a gay.
See? Aku bahkan masih memerlukan waktu untuk terbiasa dengan istilah itu. Menyandangkan nama itu pada diriku saja cukup untuk membuatku mengernyit. I know I will get used to it. Someday.
Hopefully!
Berhubungan dengan Regha sebenarnya cukup ‘menantang’. Banyak hal baru yang aku pelajari dengannya. Selalu ada kejadian unik dan terkadang lucu.
Contohnya kejadian dengan Mommy.
Aku tahu kalau suatu saat aku harus menjelaskannya. Niatku sebenarnya ingin melakukan hal itu dengan caraku sendiri. Pada waktu yang ku anggap tepat. Tapi siapa sangka kalau si ceroboh itu memaksaku untuk bertindak lain. Waktu itu aku masih ingat reaksinya saat aku memergokinya ngobrol dengan Mommy di taman Panti.
“Mom? You’re here?” tanyaku heran. Tak ada berita apapun darinya selama beberapa waktu. Ku kira Mommy masih ada di Australia, menyelesaikan apapun itu urusannya. Siapa sangka kalau dia tiba-tiba saja ada dipanti minggu ini. Terlebih lagi asyik ngobrol dengan Regha.
Tapi jelas Regha tidak tahu kalau wanita yang bersamanya adalah Mommy. Karena waktu itu dia terlihat super kaget. Mulutnya menganga terbuka dan sepertinya hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar selain beberapa bunyi vocal dan gumaman tak jelas. Dahiku langsung mengernyit begitu melihat wajah Regha mulai memucat.
“What are you guys talking about?” tanyaku lagi dengan nada sedikit tegang. Jangan katakan kalau mereka sedang membicarakanku! batinku.
“I-I  w-was j-just…”
“Hanya membicarakan panti ini. Temanmu yang satu ini memberikan opini yang bagus dan patut untuk diperhitungkan. Menarik sekali,” ujar Mommy santai.
Regha tak mampu mengatakan apapun. Akhirnya dia bergumam, pamit dan kemudian pergi dengan langkah tergesa-gesa. Aku hanya melihatnya pergi. Tercabik antara keinginan untuk menyusulnya dan menghadapi Mommy. Tidak perlu ditanya aku lebih suka melakukan yang mana. Tapi……aku harus menghadapi Mommy. Jadi aku kembali memalingkan wajah padanya.
“Kapan Mommy datang?”
“Tadi pagi. Hampir bersamaan saat kau berangkat kemari” ujarnya dan bangkit. Matanya masih melihat ke arah tempat Regha menghilang tadi, “He’s…………….interesting.”
Tubuhku sedikit menegang saat mendengarnya. Kalau pendapat itu keluar dari Mommy, aku tak yakin apakah itu pujian ataukah kritik. Tapi, persetan! Cepat ataupun lambat, aku toh harus menghadapinya. Jadi, kenapa tidak sekarang saja?
“Mom, kau tahu tentang aku dan dia?”
Mommy melihatku sejenak, “Sedikit,” jawabnya dan berjalan mendahuluiku, “Mungkin kita membutuhkan tempat yang sedikit pribadi untuk membicarakannya, don’t you think?!”
Aku mendengus dan langsung mengikutinya. It’s time to face the devil. Jadi meski aku bisa mengira chaos seperti apa yang akan terjadi, aku melangkah dengan kepala tegak. Menolak untuk terintimidasi. Kami memasuki ruang kantorku yang kedap suara. Dan Mommy menututp pintu begitu aku masuk. Aku sendiri langsung duduk di kursi tamu, menunggunya.
“So……Regha. Anything you want to tell me about him?” Tanya Mommy untuk kemudian duduk didepanku dengan kedua tangan bersatu diatas meja.
“Tentang apa, Mom? Bahwa kami berkencan? Yes, that’s true. Bahwa aku mencintainya? Yes, that’s also true. Aku yakin tak ada hal yang belum kau ketahui,” jawabku dingin.
I caught her off guard, I could tell you that. Mommy kehilangan kata-kata untuk sesaat. Dia cuma duduk disana dengan tubuh kaku dengan mata terbelalak, memandangku kaget. Mungkin dia mengira kalau aku akan mengarang berbagai macam dalih untuk menutupinya. But you’re wrong, Mom. Kali ini kau akan langsung mendengarnya dariku. No cover. No lies! I’m ready! batinku.
“You’re dating?”
“Seperti kau tidak tahu saja,” dengusku.
“Bagaimana dengan gadis-gadis itu? Emma? Anna?” tanyanya sedikit bingung.  
See? Dia mengenal dua nama yang bahkan tak pernah ku sebutkan didepannya, pikirku lagi, “What about ‘em?” tanyaku santai.
“Well, don’t you like them?”
“I did! Tapi aku tidak serius dengan mereka, Mom. I’m just being a guy. Melakukan apa yang membuatku senang. Tak ada yang berarti diantara kami.”
Ganti Mommy yang mendengus,  “Aku bisa melihat kemiripanmu dengan ayahmu sekarang. Like father like son, I guess. Dan dengan Regha ini kau…………..”
“I’m serious. We. Are. Serious!” jawabku dan menekankan setiap patah kata dari kalimat tadi. Mommy kembali terdiam dengan mata yang tertancap padaku. Aku sendiri menolak untuk kalah dan berpaling. Jadi dengan keras kepala, aku balas menatapnya.
“I guess you are,” gumamnya pelan, “Kalau tidak, tak mungkin kau berhubungan dengan lelaki manapun. Sepanjang yang ku tahu, kau selalu dengan gadis-gadis bebal itu. Kimberly saat kau di Australia. Dia yang paling lama. Disini Emma yang cukup lama mengikatmu. Dan Anna. Tapi tidak ada satupun yang kau biarkan untuk terus berada disamping. Tak ada satupun dari mereka yang tahu tentang panti ini. Sudah berapa lama….?”
“Come on, Mom! Clearly you know it already,” ujarku dengan nada bosan.
“Aku tadi hendak menanyakan, kenapa kau membantunya dengan bekerja disini, Zake. Aku hanya ingin tahu alasanmu membawa Regha kesini. Bukannya kenapa kalian berpacaran.”
Ganti aku yang kini terdiam, “Kau………….tidak tahu?”
Mommy menggeleng, “Yang aku tahu bahwa dia bekerja disini. Dan kau yang membawanya. And yes, aku juga tahu kalau dia telah beberapa kali ke rumah kita. Tapi aku tak tahu kalau ada konteks romantis disana. Ku kira kalian hanya berkawan baik. So, yes. I don’t know. At all!”
Well, SHIT!!!! batinku kaget. Padahal selama ini, Mommy selalu tahu akan segalanya. Bahkan hal yang tidak pernah ku singgung didepannya. Jadi, kukira dia pura-pura saja. Meski kalau dipikir-pikir, wajar saja tak ada yang tahu. Selama ini aku dan Regha lebih terlihat sebagai teman daripada sepasang kekasih. Bukan hanya karena kami sama-sama pria, dan aku sudah biasa terlihat mengencani cewek, tapi juga karena sikap kami. Kami berdua masih kaku dan aku juga belum tahu bagaimana harus memperlakukannya. Jadi baik didepan umum, atau saat kami sendiri, kami hampir-hampir tak pernah terlihat intim. Berpegangan tangan saja jarang, apa lagi berciuman. Jadi…………kalaupun ada yang mengawasi, mereka mungkin mengira bahwa kami hanya berteman. And I just blurted it out to her, pikirku kecut.
“Zake, are you sure with this?” tanya Mommy lagi, membuatku terlempar dari lamunanku.   
“Do you think I’m playing?” tanyaku balik.
“I guess, you don’t,” ujar Mommy setelah berpikir beberapa saat lamanya, “Aku tahu kau tak akan mungkin melakukan hal sebesar ini hanya untuk bermain. Kalau kau sudah memutuskan ini, berarti kau sudah yakin.”
Aku kaget mendengarnya. Siapa sangka kalau Mommy memiliki pemikiran seperti itu tentangku. It’s been a really weird day after all.
“Yes, Zake! I notice that. Hanya karena aku tidak berada disampingmu, bukan berarti aku tidak memperhatikanmu. Atau tidak memperdulikanmu,” ujarnya lagi melihat keherananku. Dia berhenti untuk mengusap keningnya dengan gerakan lelah. Dan saat itulah aku melihat guratan samar usia yang mulai tampak di wajahnya. Bagiku selama ini dia hanyalah……Mommy. Wanita super power yang mengendalikan kerajaan bisnisnya dengan segala kekuasaan yang dia miliki. Wanita kuat yang selalu tampak tegas, kaku dan tidak akan menerima bantahan dalam bentuk apapun. Wanita  yang selalu terlihat sama.
Tapi kali ini aku melihatnya dari sudut pandang berbeda. Dia wanita berusia hampir setengah abad. Dan aku bisa bersumpah bahwa hari ini, di ruangan ini, dia terlihat lelah dan……menunjukkan usia yang sebenarnya. Bahkan aku tak bisa menggunakan kata tua untuknya. Karena dia selalu terlihat……………….powerful dalam benakku. Kecuali saat ini. Dia terlihat lebih……………manusiawi.
“Kau ingat apa yang Mommy katakan saat Dad meninggal?”
Bagaimana aku bisa lupa? Saat itu adalah awal mula hidupku dan hubunganku dengan Mommy berubah. Titik dimana kami berdua berpisah dan menempuh jalan yang berbeda, “That it was only both of us then. Bahwa aku harus jadi kuat, dan tidak boleh lemah. Ataupun menangis lagi..,” bisikku pahit.
“Kau tahu apa yang dilakukan oleh keluarga Dad kan? Your grandparents and everyone else? Mereka mencoba mengambil apa yang menjadi milik kita. Milikmu! Saat itu yang ada dipikiran Mom adalah, kita tidak boleh membiarkannya. Aku dan Daddy-mu telah berusaha mati-matian untuk membangun usaha ini untuk keluarga kita. Untukmu! Saat itu, Mom harus bisa kuat dan berusaha mati-matian. Untukmu. Bukan untuk Mommy. Dan Mom berjanji pada diri sendiri bahwa mereka, orang-orang yang berusaha menghancurkan kita, tidak akan bisa menang. Mom akan melawan dan membuktikan pada mereka bahwa kita tidak boleh diremehkan. Terutama dirimu. Mom berjanji pada diri sendiri bahwa suatu saat nanti, mereka harus memandangmu dengan hormat. Karena itu Mom berusaha menjadikanmu orang yang kuat. Mendorongmu hingga limit yang kau mampu. Menuntut yang terbaik padamu.
Meski terdengar salah, but I really did them for you. Semua yang Mom miliki saat ini untukmu. Semua ini!!” Mom mengembangkan tangannya untuk menunjukkan padaku.
“We’ve had enough, Mom,” bisikku lirih. “More than enough! Kita sudah memiliki cukup banyak hal yang tak akan habis selama beberapa generasi. Tidak bisakah kau berhenti?’
Mommy memandangku sedih, “Dan kita menjadi asing satu sama lain sebagai konsekuensinya. Aku…..kehilangan peranku sebagai seorang Ibu untukmu. Kau tumbuh menjadi seorang pemuda yang bahkan nyaris mustahil ku kenali. Apakah Mom melakukan segalanya dengan salah?”
Aku tak menjawab, hanya tersenyum kecut, “Aku bisa mengerti kenapa Mom melakukan semuanya. Aku bisa menerima kenapa Mom harus melakukannya. Yang tidak bisa aku terima adalah kenapa Mom harus berhenti menjadi seorang Ibu? I didn’t ask much. Just a tiny bit of your time. Mom bisa bepergian ke luar negeri atau kemanapun yang Mom mau, tapi haruskah sepanjang waktu? We barely see each other. Even on holidays. Ada saat dimana kadang aku bertanya, kenapa Mom harus seperti itu? Apa mungkin karena aku mengingatkan Mom pada Dad? Apakah melihatku melukai Mom karena mengingatkan Mom pada Dad?”
Mom mengejutkanku dengan berdiri dan meraih tanganku, “Tak ada apapun didunia ini yang lebih berarti bagi Mommy selain kamu, Zake. Mom lebih memilih kehilangan semua, semuanya, daripada Mom harus kehilanganmu. That’s for sure.”
“Just be my Mom, then,” kataku pelan dan menatapnya, “Aku tahu kalau kita harus menjadi kuat. Aku tahu Mom harus melakukannya semua ini. But can’t we do this together? Side  by side? As a family?”
“You and me against the world?” bisik Mommy dengan mata basah.
“Together…” lanjutku dengan senyum.
Tak ada kata yang bisa kami katakan lagi. Mom meraih kepalaku dan mendekapnya dalam pelukannya. Pertama kalinya setelah bertahun-tahun  berlalu, aku kembali menjadi seorang anak. Aku kembali memiliki seorang Ibu. Pelukan yang sekarang ini kurasakan adalah pelukan yang sama yang dulu pernah ku terima. Sebelum semuanya berubah. Sebelum kami berdua terpisah oleh kesibukan masing-masing. Pelukan yang jauh dalam rongga hatiku yang terdalam, masih tersimpan kenangannya.
Kami diam seperti itu hingga semua perasaan kami yang terpendam menguap ke permukaan. Hingga semua kebekuan yang selama ini mengendap, lumer menjadi aliran yang berlalu. Mommy yang pertama kali melepas pelukannya dan mengusap kepalaku pelan.
“Kita harus menebus banyak sekali waktu kita yang terbuang,” ujarnya dengan senyum haru.
“Kita bisa memulainya perlahan,” jawabku.
“Bagaimana kalau kita mulai dengan Regha? Kapan kau mau memperkenalkannya pada Mommy?”
Tubuhku menegang saat kembali diingatkan akan hal itu. Tapi yang mengherankanku, tak ada gurat kemarahan pada wajah Mommy. Dia menanyakan hal itu dengan keingintahuan murni, “M-mom, y-you don’t mind?” tanyaku sedikit gagap.
“Why shouldn’t I? Kau mencintainya kan?”
Okay! Mungkin kami mulai belajar untuk membangun sebuah hubungan Ibu dan anak yang baru. Tapi tetap saja, membicarakan masalah percintaanmu dengan Ibu, bukanlah topik yang membuatmu nyaman. Apalagi kalau pacarmu memiliki jenis kelamin yang sama. Itu bukan jenis kisah cinta yang konvensional. Wajahku tetap saja memerah.
“I do..” gumamku pelan.
“Kalau begitu kenapa Mom harus meributkannya?” Tanya Mom heran.
“In case you didn’t notice, he’s…. a guy?” kataku lagi dengan nada tanya.
“Zake, please! Mom bukan orang yang hidup di zaman batu. Mom juga hidup selama bertahun-tahun di Australia. Meski akar mom tetaplah Indonesia. Tapi Mom sudah melihat banyak wajah dunia. Mom sudah tahu dan mengerti apa itu gay. In fact, beberapa kolega dan orang kepercayaan Mommy adalah gay. And I must admit, most of them are great persons. Menjadi seorang gay tidak berarti kau abnormal. Kau hanya mencintai. That’s it.”
“Apa kau tidak kecewa, Mom?”
“Kenapa harus kecewa? Meski kau gay, itu tidak mengubah hubungan kita sebagai Ibu dan anak? You’re my son. Fakta bahwa kau mampu mencintai adalah hal yang patut disyukuri.”
“Kukira……………….kau menginginkan anak yang normal. Yang mungkin…..tidak membuatmu malu pada teman kerjamu,” kataku lagi. Karena jujur saja, hal itu jadi salah satu pikiranku beberapa waktu terakhir.
Mommy mengibaskan tangannya, “Please. Mom sudah melihat beberapa tingkah menjijikkan oleh orang yang kau bilang normal itu. Percayalah, ada saat dimana kadang Mommy berpikir bahwa rekan kerja Mommy yang gay, lebih pantas mendapat predikat normal. Kualitas seseorang tidak ditentukan dengan siapa kau tidur, Zake. Tapi lebih bagaimana kau bersikap. Bagaimana kau memperlakukan orang lain. Dan bagaimana kau menjalani hidupmu. So you love a boy too, then what? Kau tidak mencuri, menyakiti atau merebut hak milik orang lain kan?” Mommy lalu meletakkan satu tangannya di pipiku, “Mom justru akan kecewa kalau kau tumbuh menjadi pribadi yang jahat, getir dan tidak peduli akan orang lain. Tapi kau yang sekarang….. yang tahu cara mencintai dan peduli orang lain, membuat Mommy bangga. Jangan lupakan itu…”
“Bagaimana dengan cucu Mom? Kau tidak menginginkannya?”
“Kau ingin memiliki anak?” tanya Mommy balik. Tentu saja aku mengangguk, “We can use surrogate mother, can’t we? Tapi itu akan kita bicarakan nanti pada waktunya. Bukankah terlalu dini kalau kita bicarakan sekarang. Kau…………tidak berpikir untuk menikah dengan Regha kan?”
Aku tertawa kecil, “Not yet, Mom. It’s kinda new for us…”
“Well, kalau memang dia berpotensi menjadi menantu Mommy dan merupakan orang yang penting bagimu, kenapa tidak kau perkenalkan kami secara benar? Kami memang sudah sedikit berbicara. And he’s…………..” Mommy berpikir sejenak, “……….a very interesting person.”
Aku kembali tertawa mendengarnya, “Itu kalimat yang cukup murah hati untuknya. Mom tak akan percaya apa yang pernah dia lakukan. But we can talk about that later. I’ll call him,” ujarku dan mengambil ponselku untuk memanggil Regha.
Saat masuk ke ruang kerjaku, mata Regha memancarkan kekagetan luar biasa begitu pandangannya tertumbuk pada Mommy yang duduk di kursiku. Aku tersenyum mencoba menenangkannya. Kuulurkan tanganku padanya. Regha tidak menyambutku. Dia hanya memandang tanganku itu dengan tatapan ngeri. Pandangannya beralih, bergantian antara tanganku dan Mommy yang duduk santai.
Aku tahu konflik yang berkecamuk dalam hatinya. Aku mengangguk untuk meyakinkannya. Tapi tetap saja. Jadi aku yang mendekatinya dan menautkan tangan kami berdua.
“Gha, I want you to meet my Mom, Anggrid Maharani Osmond. Mom, this is Regha. My……boyfriend,” kataku pelan. Regha kontan menoleh ke arahku dengan wajah yang mulai memucat kembali, ketakutan.
“Regha….” Mommy bangkit dan kemudian mendekati Regha untuk kemudian mengulurkan tangannya, “Maaf kita belum diperkenalkan secara benar. Senang akhirnya bisa bertemu pacar Zaki…”
Regha sukses bengong hebat, tapi dia segera menjabat tangan Mommy sembari bergumam, “Saya juga, Bu. Maaf tadi…”
“Tadi adalah sebuah pembicaraan singkat yang menarik. Kapan-kapan aku ingin kita bisa ngobrol dalam suasana yang lebih santai. Bisa kan?”
Regha hanya mengangguk patah-patah dan tertawa gugup.
“Dan kalau aku tidak salah mengira, teman yang kau ceritakan tadi Zaki kan?”
Wajah Regha memerah parah. Dia hanya menunduk dan menggumankan kembali kata maaf.
“Regha, please. Aku malah bersyukur karena dia telah bertemu denganmu. Lebih bersyukur lagi karena dia telah bertemu dengan keluargamu. Hal itu sudah membuat pandangannya berubah. Dan aku telah bersyukur bahwa aku telah bertemu denganmu, karena kau juga telah merubah pandanganku. Jadi kalau bisa disimpulkan, kami berhutang padamu, dan juga keluargamu. Kalau diperbolehkan, aku ingin bertemu dengan mereka…”
“But Mom, keluarga Regha tidak tahu kalau……………..”
Mom segera tanggap, “Aah, I see. Well, kalau begitu, kita akan menyimpan fakta itu untuk kita sendiri. Tapi aku sungguh ingin bertemu dengan mereka. Untuk bersillaturahmi. Tidak banyak kenalanku di Bandung ini yang tersisa.”
“Bagaimana kalau weekend ini kita kesana?” usulku. Lagi-lagi Regha berpaling kaget padaku.
“Kalian bicarakan saja berdua dulu. Nanti kita bicarakan lagi. Mom harus kembali ke rumah. Kita bertemu disana, ok?” pamit Mommy padaku. Dia lalu kembali berpaling pada Regha, “Aku benar-benar senang kita telah berbicara dan bertemu. Thank you,” kata Mommy dan meremas sekilas bahu Regha.
Begitu tubuh Mommy hilang dibalik pintu, Regha langsung berbalik padaku, “A-ap-apa itu tadi? Wh-what was really going on? Bagaimana bi-bisa…”
Aku tertawa kecil dan menariknya untuk duduk dikursi. Kuulurkan segelas air agar dia bisa sedikit menenangkan diri. Lalu kuceritakan semuanya. Bagaimana kami berbicara. Bagaimana aku mengatakan apa yang kurasakan tentangnya. Dan juga apa yang kurasakan dan kuinginkan dari Mommy. Regha mendengarkan dalam diam. Dan begitu aku selesai, aku bisa melihat keharuan yang tersirat dari matanya yang mulai menggenang.
“Aku bersyukur untukmu……” bisiknya. Tangan kanannya terulur untuk meremas tanganku yang ada diatas meja. Aku tersenyum dan memandang tangan kami yang bersatu. Aku lalu menautkan jemari tangan kanan kami berdua. Kumasukkan jari jemariku diantara jemarinya. Merasakan kehangatannya yang mengalir padaku.
Dan weekend itu menjadi salah satu weekend terbaik sepanjang ingatanku. Kami bertamu ke rumah Regha. Mamah dan Abah menyambut Mommy dengan keramahan yang seperti biasa mereka tunjukkan. Mommy bahkan membawakan sedikit oleh-oleh untuk mereka. Termasuk untuk Agus dan Asti. Aku juga dibuat kagum oleh bagaimana Mommy bisa connect dengan Mamah meski keduanya boleh dibilang memiliki latar belakang yang berbeda. Mereka segera saja akrab dan ngobrol dengan asyiknya.
Dan aku duduk disana. Memandang mereka semua berinteraksi. Mamah yang dengan akrabnya ngobrol dengan Mommy. Sesekali Abah ikutan nimbrung. Regha yang ngobrol bareng Agus dan Asti. Semuanya larut dalam sebuah kebersamaan yang terasa nyaris sakral bagiku. Ini kali pertama aku benar-benar merasa memiliki sebuah keluarga dalam artian yang sebenarnya. 
Keluarga yang ada didepanku ini. Aku bukan hanya melihat mereka. Aku bagian dari mereka. Mereka milikku. Dan aku berjanji dalam hatiku bahwa aku akan melakukan apapun untuk memastikan mereka semua baik-baik saja. Aku akan melindungi mereka dengan sekuat tenagaku. Tak akan kubiarkan mereka tersentuh oleh tangan-tangan jahat yang dapat menghancurkan mereka.
Keluargaku!
Rasa haru yang akhirnya membuatku bangkit dan menjauh. Aku harus sendiri untuk beberapa saat. Kalau aku tetap berada disana bersama mereka, aku akan mempermalukan diriku sendiri. Aku nyaris tak bisa menahan diri. Jadi aku bergumam pamit untuk pergi ke sungai. Tempat yang mulai akrab dan memanggil setiap kali aku datang ke daerah ini.
Disana aku berdiri menghadap ke matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat dengan mata terpejam. Sekali lagi membiarkan musik alam melenakanku. Gemericik air yang terpecah oleh bebatuan, serangga-serangga malam yang mulai bermunculan, juga gemerisik daun dan ranting yang digerakkan oleh angin. Suara-suara itu menjadi suara latar saat aku kembali memutar rekaman keakraban keluargaku yang aku saksikan tadi. Kali ini, kubiarkan emosiku mengalir dengan hebatnya.
Mataku yang masih terpejam segera saja basah. Dan aku membiarkannya. Membiarkan semua yang kurasakan meluap dan keluar seperti mata air yang mengalir. Hingga kemudian sebuah tangan melingkar dengan lembutnya di pinggangku. Dan sebuah tubuh menempel dipunggungku. Kehangatan tubuh yang akrab itu membungkusku. Tanganku meraih tangan Regha yang ada dipinggangku, menarik tubuhnya untuk berada didepanku. Agar aku bisa memeluknya. Agar aku bisa menenggelamkannya dalam dadaku. Agar aku bisa menyandarkan daguku diatas kepalanya. Dan membiarkan alam melenakan kami.
Dan disanalah dia untuk beberapa lamanya.
Menyatu dengan tubuh dan jiwaku diantara nyanyian nina bobo alam yang mulai berganti wajah.

Dan hubungan kami berjalan dengan lambat!
Teman-temanku di Australia, Justin dan yang lain, mungkin akan tertawa sampai mereka sakit perut kalau saja aku mengatakan bahwa aku sudah berkencan dengan seseorang selama 2 bulan dan aku masih belum pernah menciumnya. Disana mungkin akan ada beberapa cewek yang akan menertawakan kalian kalau kalian mengatakan hal yang sama. Aku punya reputasi yang cukup membanggakan disana. Tapi itu jika aku berurusan dengan cewek. Dengan Regha, lain ceritanya.
I have no fucking clue what to do with him! It’s like I’m back into a virgin once more! Menjengkelkan dan nyaris saja membuatku frustasi. Semua kencan yang kami lakukan berjalan dengan kaku dan tidak mengenakkan. Regha sendiri juga terlihat sama kakunya denganku. Well, meski dia masih bisa dimaklumi. Tapi aku? Dengan semua pengalaman yang aku miliki, hal itu sangat memalukan. Padahal aku begitu ingin meraihnya. Memeluknya. Dan bahkan mencium bibirnya yang terkadang dia jilat hingga basah saat dia merasa gugup. Masih banyak hal lagi yang ingin aku lakukan padanya. Tapi……………..aku tak tahu harus bagaimana memulainya.
Sial!!!
Belum lagi Regha yang kadang menjauh. Ada saat-saat dimana aku merasa bahwa hubungan kami saat masih sebagai teman dan atasan, jauh lebih akrab dan dekat dibandingkan saat kami berpacaran. Kalau dulu dia masih bisa ‘lepas’ saat bersamakau, bahkan memanggilku dengan sebutan bule setengah jadi pengidap  megalomaniak akut, kini dia terlihat begitu ‘berhati-hati’ bila ada disekitarku. Dia nyaris terkesan takut saat melakukan apapun. Dan itu membuatku bingung harus bagaimana. Aku ingin dia bisa rileks seperti dulu lagi, kalau bisa lebih, karena status kami sekarang adalah kekasih.
Dan aku baru tahu penyebabnya beberapa saat yang dulu saat dia curhat ke Regi. Waktu itu aku memang mencarinya. Vivi yang berpapasan denganku memberitahu kalau Regha berada berada di ruang redaksi bulletin kampus. Dan disanalah dia, menceritakan bagaiaman dia merasa begitu rendah diri berhadapan denganku. Aku memang merasakan sedikit kemarahan mendengarnya yang boleh dibilang ragu padaku. Terintimidasi olehku. Tapi aku sedikit terenyuh saat menyadari bahwa aku bisa dibilang pacar pertamanya. Regha tak memiliki pengalaman apapun.
Regi yang pertama kali menyadari kedatanganku. Dia menolehku dengan tatapannya yang memintaku untuk menunggu. Dia sengaja membiarkan aku tahu dan mendengar percakapan mereka berdua. Dia memintaku untuk mengerti apa yang menjadi kendala Regha. Jadi aku diam disana.
Hanya saat Regi mengikutkan aku dalam kalimatnya, aku berani muncul. Waktu itu aku hanya memberi sedikit remasan kecil dibahu Regha agar dia tahu bahwa aku mengerti. Dan Regi yang kemudian membawa kami ke sebuah gay club di Jakarta.
Jujur, aku super panik dan nyaris melarikan diri. Untung saja aku sudah terlatih untuk menahan diri. Belum lagi dua orang teman Regi yang bernama Rio dan Rudi. Duo melambai yang bahkan boleh dibilang jauh lebih rame daripada Regi. Saat kami masuk, aku kembali merasa risih. Ada beberapa orang yang jelas-jelas menunjukkan minatnya padaku. Beberapa yang lainnya bahkan memandangku seperti seekor pemangsa yang melihat hewan buruannya. Mengerikan! Aku mati-matian berusaha terlihat tenang demi Regha. Dia terlihat sudah hampir pingsan. Kalau saja bukan Regi yang membawa kami, aku pasti sudah menyeretnya pergi.
Hingga kemudian kami ngobrol banyak dengan Rudi dan Rio. Mengejutkan bagaimana kami berdua belajar banyak dari pengalaman mereka berdua. Bagaimana apa yang kami miliki, justru menjadi hal yang mereka cari-cari. Sementara kami berdua justru memilikinya tanpa sengaja. Dari mereka berdua aku belajar untuk menghargai apa yang kami miliki. Menyenangkan sebenarnya jika keberadaan kami disana tidak terlihat aneh. Melegakan karena bersama mereka, apa yang kami miliki diakui. Diluar, aku dan Regha berusaha menutupi apa yang kami miliki dari mata orang lain. Aku mungkin bisa bersikap tak peduli, tapi Regha bisa saja tersakiti. Itu yang ingin ku hindari.
Pembicaraan kami kemudian sempat terganggu oleh kedatangan seorang pemuda. Dia mungkin terlihat sangat menarik bagi mereka yang ada disana . Karena Rudi dan Rio tidak bisa menahan diri untuk menggodanya. Tapi………pemuda itu menunjukkan ketertarikannya padaku. Dia dengan percaya diri menunjukkan kelebihan yang dimilikinya. Seakan-akan menawarkan diri tanpa malu. Aku berani bersumpah bahwa dia dengan sengaja berusaha menunjukkan lengan bisepnya dan menahan perutnya agar terlihat lebih ramping dan kekar. Bagiku dia justru terlihat konyol.
Please. Aku juga punya apa yang sedang kau pamerkan, batinku waktu itu. Jadi, tanpa menutupi kekesalanku, aku mengusirnya. Aku lalu mengajak Regha untuk ke lantai dansa. Aku ingin menunjukkan pada mereka semua yang ada disana kalau aku sudah memiliki Regha, dan aku tak memerlukan yang lainnya.
Tidak ada satupun yang kuinginkan di ruangan itu selain Regha.

Dari sana hubungan kami sedikit berkembang. Aku mulai berani untuk menunjukkan sedikit perasaanku pada Regha. Regha juga mulai menghangat. Dia bahkan yang memiliki ide agar kami mendapatkan sedikit waktu bersama di ruang menontonku. Aku sempat kaget saat dia menyarankan hal itu. Tapi tentu saja aku menyambut dengan antusias.
Dan aku sudah bersikap hati-hati meski semuanya kacau. Aku bahkan membuatnya ketakutan.
Dimulai saat dia menyebut nama Rizky yang selalu mengesalkanku. Lalu agar dia berhenti menyebut nama Rizky, aku menariknya untuk lebih mendekat. Kubawa dia agar berada diantara kedua kakiku. Perasaan nyaman yang kurasakan saat dia berada dipelukanku saat itu, tidak bisa digambarkan melalui kata-kata. Bagaimana aku mendekap tubuhnya yang seakan-akan tenggelam dalam rengkuhanku, nyaris membuat suasana jadi magical. Aku tak tahan untuk tidak menciumnya.
Selama ini, jujur aku bingung bagaimana harus memulai kemesraan dengan Regha seperti ini. I have plenty of sex before. With girls. Aku tahu harus bagaimana bersama mereka. Aku tahu bagian mana dari tubuh mereka yang harus ku sentuh. Aku tahu apa yang aku lakukan agar mereka juga ‘tertarik’ untuk bertindak lebih jauh. Dan bagaimana membuat mereka terpuaskan. Tapi dengan Regha, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, mengingat dia memiliki anatomi tubuh yang berbeda. Konyol rasanya kalau aku harus meremas dada Regha seperti aku meremas dengan lembut dada Anna ataupun Emma. Dia juga tak memiliki klitoris yang bisa ku mainkan. Jadi aku sering bingung harus bagaimana melakukannya.
Tapi tentu saja, aku tak akan membuat Regha tahu soal itu. Jadi, meski masih belum mengerti, aku berusaha menutupinya. Setidaknya aku tahu bagaimana harus mencium, pikirku.
Kuberikan kecupan ringan di bibirnya yang bergetar itu. Tubuhnya jadi sedikit menegang karenanya. Jadi aku mencoba membuatnya rileks. Aku memberikannya kuluman singkat yang nyaris membuatku tak bisa menahan diri. Aku tahu kalau aku harus bersikap hati-hati dan pelan padanya. Aku tahu kalau aku harus memberinya waktu. Tapi saat dia mengeluarkan erangan pelan dari bibirnya itu, aku lupa diri. Aku bisa merasakan kalau tubuhnya meresponku. Dan akupun membawanya lebih jauh. Aku membuatnya terbaring dibawahku. Menindihnya. Menyatukan tubuh kami. Dan saat itulah dia mulai panik dan mendorongku.
Dia duduk disana dengan wajah agak pucat dan tubuh yang gemetaran.
DAMN!! makiku dalam hati kesal karena kehilangan kontrol. Akhirnya aku hanya bergumam pelan untuk pamit keluar. Memberinya waktu untuk memulihkan diri. Dan aku berjanji akan lebih berhati-hati nantinya.
Dan sejak kejadian itu aku memutuskan, aku butuh bantuan! And soon! Mulanya aku berpikir untuk mengontak Justin, tapi aku segera sadar. He won’t let me live in peace if he knows my problem. Aku akan menjadi bulan-bulanannya selama bertahun-tahun. And like hell I would let him. Jadi aku mencari satu-satunya orang yang ku kenal memiliki referensi gay sex.
REGI!!
Pagi itu aku sengaja mencegatnya didekat pintu gerbang kampus. Aku melihatnya datang dari kejauhan menggunakan angkot. Dia bahkan belum sempat mengatakan apapun saat aku menyeretnya. Regi sempat berjingkat kaget, tapi begitu tahu aku yang menyeretnya, dia menurut tanpa berontak.
“Am I in trouble? What did I do?” tanyanya bingung begitu kami berhenti didekat mobilku.
“I need your help, and…”
“REGII!!” panggilan keras itu berasal dari Regha yang berlari menuju kami. Dia berhenti berlari saat kami berjarak sekitar 8 meter. Bola matanya membesar saat melihatku yang berdiri di sebelah Regi. Dan saat dia makin mendekat, aku bisa melihat dengan jelas kalau pipinya merona. Dia pasti teringat kejadian terakhir kami di kamar. Dan tanpa dapat ku kendalikan, mukaku jadi ikut-ikutan memanas.
“Ha-hai…” sapanya lemah padaku sembari melambai satu tangannya, kikuk. Aku menjawabnya dengan anggukan kaku. Regi yang harus ku akui dengan jeli memandang kami bergantian dengan matanya yang tajam.
“What? What’s going on with you two?” tanyanya lagi penasaran.
“Nggak ada apa-apa kok,” jawab Regha cepat. Terlalu cepat sehingga Regi bisa melihat keanehannya. Dia mendengus keras pada Regha yang tak memberi penjelasan lebih lanjut. Hanya nyengir kuda.
“Ada apaan tereak-tereak tadi?”
“A-anu…gue butuh ba-bantuan? Bisa kita ngomong bentar?”
“Tapi tadi Zaki bilang dia…”
“We’ll talk later,” potongku segera, “Give me your number,” kataku lagi dan segera memasukkan nomernya ke ponselku.
“Are you sure?” tanya Regi.
“I am. Nanti saja. Kalau waktu istirahat. Jam 2?” tawarku yang dijawab dengan anggukan oleh Regi.
Aku lalu berpaling pada Regha yang mencuri pandang padaku. Dia masih canggung untuk menatapku langsung. Aku berdehem untuk sekedar menghilangkan kekakuan diantara kami. Pipinya kembali merona saat mata kami bertemu. Gosh…! I swear I’m gonna kiss him now if we are alone, batinku gemas.
“I’ll call you,” kataku pada Regi, “Aku pergi dulu,” pamitku pada Regha dan menyapukan tanganku sekilas pada tangannya. Aku lalu segera masuk ke mobil dan melesat dari sana.
Dan seperti janjiku, aku meneleponnya saat istirahat siang dan memintanya untuk datang ke lapangan parkir. Herannya, Regi bilang dia membutuhkan waktu 10 menitan. Meski sedikit heran, aku mengiyakan saja. Aku menunggunya sembari mendengarkan musik di mobil. Aku sengaja memilih lapangan parkir karena biasanya jam segini, parkiran cenderung sepi. Anak-anak lain lebih suka nongkrong di kantin.
Ketukan dijendela membuatku sedikit kaget. Regi yang di luar memberiku tanda untuk membuka pintu.
“Pheeewww…panas juga hari ini. Okay. Ini ada beberapa film yang mungkin bisa menjadi referensi bagimu. Aku sudah membakarnya dalam dvd disc ini. Salah satunya ada yang berjudul Pinoy Gay Kamasutra. I think you could start with that. And also I added  a few of gay ebooks. Some of them are romance and pretty romantic. I think you could learn one or two moves from them,” cerocosnya langsung.
Tentu saja aku ternganga kaget luar biasa. Wajahku segera saja memanas, “How did you…. Why are you…..Assuming…”
Aku tak tahu harus mengatakan apa.
“What? Masalahmu berhubungan dengan gay sex kan?” tanyanya kalem.
“WHAT?!! How… Did Regha tell you what happened last night?!!”
“So something happened last night? Interesting. Please, do tell me,” pintanya dengan nada antusias, “Come on! Start talking. I want all the dirt.”
“I AM NOT GONNA TELL YOU ANYTHING!!” raungku. Aku mengeluh keras dan menutup wajahku dengan tangan. Belum pernah seumur hidup aku malu seperti ini. Dari semua orang, kenapa harus Regi? batinku kesal.
“Fine!” sergah Regi dengan sinis dan menggerutu kesal, “Pokoknya kau pelajari saja semua yang ada dalam video dan buku itu. Itu mungkin akan memberimu banyak petunjuk tentang apa yang harus kau lakukan. Dan ingat, you have to be gentle. It’s..”
“Gi, please. Shut up for a moment,” keluhku lemas, masih super duper malu. I’m talking about my sex life here, for God sake.
Regi mengibaskan tangannya cuek, “Please. We’re all adults. Dan kau bukan perawan suci yang tidak mengenal sex. I’ve heard some rumors about you and that witch, Emma.”
“Bagaimana kau bisa berpikiran kalau aku membutuhkan bantuan soal sex?” sergahku.
Regi menghela nafas dengan gaya dramatis, “Isn’t it? Zake, kau mungkin seorang cassanova dalam straight world. But in the gay world, you’re practically a virgin. Dan kau menbutuhkan bantuanku. That’s a big clue. Kau tak akan mungkin membutuhkan bantuanku selain urusan yang berhubungan dengan Regha. Ku lihat kalian baik-baik saja. You guys talked this morning. Dan kalau kau punya masalah dengan Regha hanya ada satu kemungkinan. It’s about gay sex. Do I have to continue?”
“Don’t bother…. Just…..talk…” kataku akhirnya dengan nada lemah.
Regi tersenyum penuh kemenangan, “So, dalam pinoy gay sex kamasutra, kau bisa menemukan beberapa posisi yang mungkin..”
“GI!!” potongku segera, “Get to the point, please. Aku akan mempelajari video itu nanti,” sergahku tak sabar.
“Hanya ada beberapa hal penting saja yang harus kau ketahui,” ujar Regi melanjutkan, kali ini dengan nada serius, “Dalam gay sex biasanya ada istilah top, bottom and versatile. Top is the pitcher. Bottom is the catcher. Vers could do both. Are you with me?”
Aku kembali mengerang dan hanya mengangguk.
“Dan aku mengerti kalau kalian berdua berasal dari straight. Jadi mungkin……….kalian harus sedikit bereksperimen.”
“Bereksperimen?” tanyaku heran.
“Well, kau tidak beranggapan kalau Regha hanya akan menjadi bottom kan? Kalian berdua straight sebelumnya. Kalian berdua pasti berpikiran bila berhubungan sex, kalian pasti jadi pihak yang memasukkan penis kalian ke..”
“I get the picture! Lalu?” potongku lagi dengan wajah yang kembali memanas.
“Jadi…..sebelum kalian memutuskan peranan kalian, kalian berdua mungkin harus bereksperimen seperti kataku. Kalian bergantian untuk jadi…………bottom.”
Hening!!
“Fuck!!” umpatku. Dan kedua tangan dan kakiku menjadi dingin dengan mendadak. Oh my Gosh! That thing never crossed my mind before! Aku mengerang keras dan menelungkupkan wajahku ke kemudi.
“Zake, we’re talking about sex, remember.? Tak ada yang mengerikan dengan sex. Kau akan menikmatinya. Relax,” ujar Regi kalem.
“B-but…..wouldn’t it be………h-hurt?” tanyaku lemah.
“Well, yeah, at first!!”
Aku kembali mengerang keras.
“Oh just shush!! You got nothing to worry. Kalau memang ada yang harus khawatir, Reghalah orangnya. Bukan kau.”
“Kenapa cuma Regha?” tuntutku.
“Kau tahulah. Kami Asia memiliki ukuran penis yang biasa. Sementara kau, masih memiliki darah caucasia. Kemungkinan besar, kau memiliki ukuran yang lebih besar dari kami. And longer. So I think Regha will hurt more than you will,” jelasnya enteng.
“Bagaimana kau bisa mengatakannya dengan santai begitu? Kita bicara soal memasukkan sesuatu ke dalam….” Aku bergidik, tak mampu meneruskan kalimatku.
“Oh, please. If you hit the right spot, aku yakin baik kau ataupun Regha akan kecanduan dengan sex itu sendiri.”
“The right spot?”
“Yes, it’s called prostate. Kau akan menemukan penjelasan lebih lanjut di buku dan film yang ada pada disc itu. So, make sure to read and watch all of them. Bagimu mungkin tak ada masalah. You have the advantage of size. Ukuranmu mungkin akan mempermudahmu menyentuhnya. Tapi omong-omong……..what is your girth?”
“Girth? DID YOU JUST ASK ABOUT MY GIRTH?”
“Yeah. I wanna know. Jadi aku bisa membandingkannya dengan Nick,” jawabnya tanpa dosa.
Aku menggeram marah, “Dream on!!” tukasku kesal. Regi hanya tertawa sambil menjulurkan lidahnya padaku. Tapi ekspresi wajahnya langsung berubah saat mata kami bertemu. Sepertinya dia bisa menangkap ketakutan yang kurasakan. Dia lalu menawarkan senyum menenangkannya.
“It’s fine, Zake. Apakah menurutmu orang gay tidak akan berhenti melakukannya jika hal itu menyakitkan?” hiburnya.
“But…”
“I know. The idea of having something shoved up your ass ain’t pretty at all…”
“UGHHH!!!”
Regi tertawa senang dengan reaksiku, “I won’t worry about you. Kau punya banyak pengalaman. Aku…………lebih mengkhawatirkan Regha. Zake, promise me something,” pintanya kemudian. Tak ada lagi nada menggoda dalam suaranya.
“Apa?”
“Be gentle to him, please. Kau adalah yang pertama baginya…”
“He’s my first too..”
“Dalam segala hal, Zake.” lanjut Regi seolah tak mendengar selaanku tadi, “Kau cinta pertama yang dia miliki. Kau juga ciuman pertamanya. Kau sadar itu kan? Aku tak ingin pengalaman pertamanya menjadi trauma…”
“I’m not gonna rape him, Gi.”
“I’m just saying… Please, don’t hurt him..”
“You know I care for him. Aku orang terakhir yang ingin dia terluka. I promise you that I would do anything to keep him safe and happy. Apa itu cukup bagimu?” Regi mengangguk dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dan sudah hendak mengucapkan terimakasih saat ponselku bordering. Regha,  “Ya? Aku ada dilapangan parkir. Kuliahmu sudah selesai? That’s good. Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Aku bersama Regi sekarang. Yeah, sure. I’ll be here,” kataku dan menutup telpon.
“Regha?” tanya Regi.
Aku mengangguk, “Yeah. Dia akan kesini.”
“That’s my cue,” katanya dan beranjak hendak keluar.
“Kau ikut saja makan siang bersama kami. Nanti aku antar kau pulang bareng Regha. Sepertinya Vivi menelantarkanmu akhir-akhir ini,” kataku menggoda.
Regi cemberut, “Gajah bengkak itu sedang bahagia bersama Jordan. Siang ini dia mendapat undangan makan siang bersama ayah dan Ibu Jordan. Kemarin dia ribut ngajak aku belanja untuk persiapan hari ini.”
“Don’t you happy for her?”
“Of course I am. Tapi kan tetep aja jadi kesepian. Regha juga sibuk denganmu. Gosh!!! Aku benar-benar tak tahan untuk segera pergi ke Belanda. I miss my Nick,” gumamnya denagn mata menerawang, “Oops, that’s your boyfriend. “
Aku menoleh dan melihat Regha yang berjalan menuju kami dengan membawa tas ranselnya. Regi segera keluar untuk pindah ke kursi belakang. Siang itu sebenernya aku hendak membawa mereka ke restaurant favoritku. Tapi Regha dan Regi bersekongkol untuk memaksaku membawa mereka ke fastfood saja. Saat aku mencoba berargumen bahwa ayam goreng yang mereka makan itu dibunuh secara massal dengan cara yang mengerikan dan menyebutkan banyaknya lemak serta zat berbahaya lain yang ada dimakanan mereka itu, keduanya cuma mendengus hebat dan mengibaskan tangannya. Jadi kami menghabiskan sisa siang itu di salah satu cabang restaurant fastfood itu.
Kalau kencan berduaku dengan Regha biasanya berjalan kaku, dengan adanya Regi, suasana menjadi santai dan penuh canda. Dia bisa mencairkan suasana dengan banyolan-banyolan khasnya. Dan setelahnya, kami mengantar Regi untuk pulang.
Regi ternyata tinggal di daerah Cicalengka yang bisa ditempuh selama 1 jaman dari tengah kota. Aku cukup terkejut dan heran  kenapa dia tidak kost saja daripada harus bolak-balik menempuh jarak yang cukup jauh. Tapi Regi bilang dia suka, karena waktu yang dia tempuh membuatnya bisa berpikir akan berbagai hal. Sejenis terapi yang dia bilang sangat dia sukai. Aku dan Regi hanya saling bertatapan heran. Tapi mengingat sikapnya yang eksentrik, kami hanya saling mengangkat bahu.
Kami berhenti disebuah rumah yang berukuran sedang dengan pagar besi setinggi pinggang. Rumah itu terkesan hijau dengan berbagai jenis tanaman bunga yang ada didepannya.
“Ini rumah gue,” ujar Regi dan sudah hendak mengatakan sesuatu namun urung saat pintu rumahnya terbuka. Aku dan Regha segera keluar dari mobil untuk mengikuti Regi. Seorang wanita berusia di akhir 40an menyambut kami dengan senyum ramahnya.
“Guys, ini nyokap gue. Mah, ieu teh babaturan abdi. Regha. Itu Zaki. Guys, my Mom, Suciati,” kata Regi memperkenalkan.
“Selamat datang di rumah kami. Ayo, silahkan masuk dulu,” ujarnya mempersilahkan setelah kami bersalaman. Aku sebenarnya ragu untuk menerimanya saat melihat ekspresi Regi yang berubah. Tapi Ibu Regi meraih tanganku dan Regha, lalu menarik kami untuk masuk. Meski naluriku berkata untuk menolaknya, tapi aku memaksakan diri demi Ibu Regi.
Kami digiring masuk ke sebuah ruang tamu keluarga yang terkesan minimalis namun toh bersih dan rapi. Tidak terlalu banyak ornament di ruangan itu. Hanya sebuah vas bunga besar, sebuah lukisan pemandangan gunung dan sebuah foto seorang laki-laki yang menggunakan seragam tentara. Foto itu sudah lama.
Regi pamit ke belakang sementara Ibunya ke dapur. Kalau dilihat, Regi berasal dari keluarga kelas menengah. Tapi salut rasanya mengingat apa yang telah dia lakukan untuk Regha. Kurasa Regha juga berpikiran sama karena kulihat matanya mulai terlihat muram.
“Selama ini kupikir dia berasal dari keluarga yang cukup berlebih dibanding keluargaku,” bisiknya pelan, “Dia telah memberiku banyak sekali, tanpa mengharap balasan. Masih ingat uang yang pernah dia bberikan. Siapa sangka….” Dia tak meneruskannya, tercekat oleh rasa haru. Aku hanya tersenyum. Kuremas tangannya yang berada disebelahku.
“Itulah salah satu kelebihan yang dia miliki….”
Suara pintu terbuka membuatku urung meneruskan kalimatku. Seorang bapak-bapak masuk. Matanya menatap heran pada kami berdua. Butuh waktu beberapa detik bagiku untuk sadar bahwa dia adalah orang yang sama dengan yang ada dalam foto tadi. Jadi kemungkinan dia…
“Siapa kalian?” tanyanya dengan suara yang terkesan curiga dan cukup mengesalkan.
Aku bangkit, menawarkan senyum diplomasi yang kugunakan dalam menghadapi rekan bisnis, “Maaf, Pak. Saya Zaki, dan Ini Regha. Kami teman kuliah Regi.”
Dia mendengus kecil, “Teman Regi? Aku Suprapto, ayahnya. Kalian berada dijurusan yang sama?” tanya Bapak itu dan duduk didepan kami setelah bersalaman dengan Regha. Sikapnya menunjukkan kalau dia adalah pemimpin disini dan kami berdua diharapkan untuk hormat padanya. Aku kembali tersenyum, “Tidak, Pak. Kami berada di jurusan yang berbeda. We just know each other…”
“Kalian…………………terlihat berbeda dari beberapa teman Regi. Biasanya kalau tidak teman gadisnya yang kesini, pasti teman-teman lainnya yang tingkahnya tidak jelas itu,” kata Bapak Suprapto itu. Pembicaraan kami terputus saat Ibu Regi masuk sembari membawa sebaki minuman dan makanan kecil. Pandangannya sedikit kaget saat melihat bahwa kami tidak sendiri.
“Bapak sudah pulang?” tanyanya pelan dengan nada yang sedikit membuatku mengerutkan kening. Apalagi saat kulihat tangannya yang meletakkan gelas minuman kami di meja sedikit gemetar,”Bapak mau dibikinkan kopi?” tawarnya pada suaminya itu.
Pak Suprapto hanya mengangguk dan kemudian mendengus saat kulihat Regi yang muncul dari ruang tengah. Regi sempat berhenti melangkah sejenak, tapi kemudian dia melanjutkannya dengan ekspresi wajah datar.
“Kalian sudah ketemu Abah rupanya,” katanya dengan keriangan yang jelas dipaksakan yang kami jawab dengan anggukan.
“Ngomong-ngomong, dari mana asal kalian? Bandung semua?” tanya Bapak Suprapto lagi.
“Regha asli dar…”
“Mereka punya mulut sendiri,” sela Pak suprapto, memotong kalimat Regi, “Biarkan mereka menjawabnya. Abah nggak nanya sama kamu.”
Kulihat tubuh Regi langsung menegang karenanya.
“Saya dari Majalengka, Pak,” jawab Regha cepat dengan nada datar. Dia mulai kesal rupanya.
“Saya pindahan dari Australia, Sir.”
“Australia? Huh? Pantas kau terlihat berbeda. Lalu……apa kalian berada di klub yang sama dengan Regi? Kalian juga suka membuat desain pakaian untuk wanita seperti itu?” tanya Pak Suprapto lagi dengan nada mencemooh.
“Abah!!” teguran itu berasal dari Ibu Regi yang kini datang dengan secangkir kopi ditangannya.
“It’s fine,” jawabku dan tertawa kecil, “I don’t think we have that kinda club.”
Bapak dan Ibu Regi memandangku dengan tatapan tanya, hingga aku sadar kalau aku tadi menggunakan bahasa Inggris.
“Maksud saya, tidak ada klub seperti itu di kampus kami. Regha yang satu klub dengan Regi. Tapi klub Jurnalistik. Dan tidak. Saya tidak suka dan tidak bisa membuat design baju untuk pria ataupun wanita,” jawabku santai.
“Huh? Lalu apa hobimu? Menari?”
“Abah!!”
“It’s okay,” kataku pada Ibu Regi yang wajahnya sudah mulai memerah, sementara Regi saat kulirik sudah memalingkan wajahnya dari kami, “I wish I could dance, but I can’t. Saya suka berburu saat masih di Australia.”
“Berburu? Waah, itu baru hobi lelaki. Aku suka padamu. Apa yang biasanya kau tembak?”
“Rusa biasanya. Kadang juga yang lain. Tergantung tempat saja. Saya pernah menembak seekor antelop di Afrika dua tahun kemarin. Itu terakhir kali saya berburu. Saya terlalu sibuk dengan urusan panti dua tahun terakhir ini.”
“Panti?” tanya Bapak Regi dengan kening berkerut.
“Yes. Kebetulan keluarga saya memiliki resort yang diperuntukkan untuk orang tua. What do you call it?” tanyaku meminta bantuan Regha.
“Panti jompo,” jawab Regha singkat.
“Yes, panti jompo. Mommy meminta saya untuk mengurusnya. Jadi saya tidak memiliki banyak waktu untuk liburan..”
“Waah..waaahh!! Masih muda tapi sudah memegang sebuah usaha besar. Hebat sekali kau anak muda.,” puji Pak Suprapto yang hanya kubalas dengan senyuman terimakasih, “Coba saja anakku lebih sepertimu. Gagah, tegas dan kuat. Suka berburu pula. Aku pensiunan TNI, jadi tahu sedikit soal senjata. Mungkin akan menyenangkan kalau anakku punya hobi sepertimu. Setidaknya ada sesuatu yang bisa kami bicarakan. Dia malah lebih suka berurusan dengan perancang yang tidak jelas itu,” ujarnya dengan nada menggerutu.
Aku mulai mengerti kenapa perubahan sikap Regi tadi. Ku lihat dia masih memalingkan mukanya dari kami. Namun kedua tangannya yang ada dipangkuannya mengepal kuat. Sementara Ibu Regi memberikan senyum malunya dengan tatapan menyesal. Aku juga bisa merasakan ketegangan dari tubuh Regha yang ada di sebelahku.
“Actually….” kataku memulai, “Saya justru bersyukur bahwa saya mempunyai teman seperti Regi. Anda seharusnya bangga. Regi adalah orang yang paling baik, loyal dan ringan tangan dalam membantu temannya. Saya belum pernah menemukan seorang teman lelaki yang memiliki empati sebesar dia. In fact, dia sudah beberapa kali membantu saya, saat saya berada dalam kesulitan besar. Dan saya dengan pasti bisa mengatakan bahwa saya, sangat beruntung memiliki dia sebagai teman.”
Kalimatku itu membungkam mereka semua. Regi berpaling padaku dengan mata haru penuh terimakasih. Ibunya menunduk tak mampu mengangkat mukanya. Dan ketegangan dari tubuh Regha kini mulai mengendur. Aku tersenyum pada Bapak Regi yang menatapku dengan mulut terbuka, kaget.
“Seriously, anda seharusnya bangga memiliki dia sebagai seorang anak,” ujarku lagi dan kemudian bangkit, “Well, saya berterimakasih atas keramahan Bapak dan Ibu. Saya permisi dulu. Come on Regha. We gotta go. It’s late,” lanjutku.
Regha yang tampak lega segera bangkit. Kami lalu bersalaman dengan Bapak Regi dan Ibunya yang memberikan remasan lembut padaku. Aku hanya memberikan senyumku padanya. Sedikit merasa kasihan karena aku bisa menduga kalau selama ini, dia terus hidup dibawah bayang-bayang suaminya yang terperangkap pada stigma macho seorang lelaki. Mungkin dia seperti itu karena dia seorang mantan tentara.
Regi mengikuti kami hingga ke mobil.
“Thank you…” bisik Regi saat kami berada didekat mobilku. Aku sedikit kaget dengan suaranya yang agak gemetar. Dan baru kusadari kalau pipinya telah basah. Regha sebagai orang yang lebih dekat dengan Regi, segera saja memeluknya. Aku hanya mengangguk dan memberinya remasan lembut di bahunya.
Selama beberapa menit kami melaju, baik Regha atau aku tak ada yang berbicara. Kami sama-sama belum pulih dari kekagetan kami tadi. Siapa sangka kalau Regi yang periang, ramai dan seakan-akan tanpa beban, hidup dalam rumah yang cukup menekan seperti itu. Kita memang tidak bisa menilai sebuah buku dari cover-nya. Bagi Regi, mungkin mulutnya selama ini yang selalu pedas dengan gaya feminimnya menjadi sebuah mekanisme pertahanan diri.
Aku menghela nafas panjang. Untuk satu dan lain hal, aku merasa lebih beruntung darinya. Siapa sangka ada begitu banyak drama dalam dunia ini. Padahal menurutku selama ini aku sudah cukup melihat drama dalam hidupku. Dan baru kusadari kalau sedari tadi, Regha tidak berhenti melihatku.
Aku melihatnya sekilas. Ada binar dimatanya, sementara senyumnya terulas dengan lebar.
“Apa?” tanyaku heran.
“Kamu belain Regi tadi…” katanya dengan nada senang seperti anak kecil yang mendapat hadiah natal, membuatku tertawa.
“Well, yeah. Kinda. His dad is…..awful!”
“I’M PROUD OF YOU!!!!” seru Regha dan tiba-tiba saja menubruk dan merangkulku sembari mencium pipiku dengan keras. Aku yang sedang mengendalikan mobil, tentu saja terpekik kaget, sehingga untuk sesaat mobil oleng. Untung saja jalanan sepi dan tak ada kendaraan lain di jalan. Kalau tidak…..
“Watch it!!” gerutuku kesal, “Hati-hati dong kalo mau nyium!”
Regha hanya nyengir. Aku yang hanya pura-pura marah tadi akhirnya tak tahan dan ikutan nyengir.
“Could you do that again?”
Regha tertawa keras dan kemudian kembali merangkul dan menciumku dengan suara lebih keras dari sebelumnya.
Dan malam itu aku baru tidur pada jam 5 pagi setelah menonton semua film yang diberikan oleh Regi. Ada beberapa scene yang membuatku bergidik, meski ada pula beberapa scene yang cukup menyentuh. But all and all……..aku masih belum tahu kalau aku bisa melakukannya atau tidak. Yang jelas, seperti janjiku pada Regha, we’re just gonna take it slowly. Aku tak ingin melakukan segala sesuatunya dengan gegabah dan pada akhirnya hanya akan menyakiti kami berdua.
Semua akan terjadi pada waktunya. Saat kami berdua menginginkannya. Saat kami berdua telah siap. Untuk sementara aku mungkin hanya butuh untuk belajar medan dan strategi yang mungkin aku perlukan. Akhirnya, karena mengantuk, aku memutuskan untuk membaca ebook setelah tidur.
Dan siapa sangka bahwa waktu itu terjadi cukup cepat.
Weekend itu Jordan mengundang aku, Regha, Regi dan Vivi untuk menginap di villa keluarganya yang ada didaerah Lembang. Karena harus absen dari panti, aku dan Regha mencoba menyelesaikan semua tugas kami pada hari kamis, karena jum’at sore kami berangkat.
Kami tiba di villa keluarga Jordan pada pukul 3 sore. Villa keluarga Jordan cukup impresif. Gedung dengan arsitek Yunani kuno itu memiliki 3 lantai. Ada sekitar 6 kamar. Dua kamar di setiap lantainya. Aku langsung menyeret Regha untuk menempati 2 kamar di lantai 3. Regi mengikuti kami dan mendapat kamar di lantai 2. Jordan ngomel-ngomel saat dia dan Vivi harus menempati dua kamar di bawah. Villa Jordan itu memiliki pekarangan yang cukup lebar dan dibatasi dengan pagar yang cukup tinggi. Ada beberapa villa lain yang berada di dekatnya. Jordan bilang, ada keamanan yang berpatroli setiap malamnya. Karena beberapa property yang ada disana miliki pejabat teras Negara ini. Begitu selesai menaruh koper, Jordan membawa kami ke bagian belakang villa yang jauh lebih luas daripada pekarangan depannya.
Regi yang tadi satu mobil dengan kami langsung heboh begitu melihat kalau villa Jordan ada kolam renang dan Jacuzzi-nya. Aku dan Regha hanya mampu menggelengkan kepala dengan kehebohan Regi yang mulai terlihat biasa di mataku. Tapi aku kira semua orang pasti akan bereaksi sama. Pekarangan belakang villa Jordan ini berbatasan dengan tebing yang dibawahnya terhampar kebun teh sepanjang mata memandang. Pengurus villa Jordan sudah menyediakan semua keperluan kami. Dapur sudah penuh dengan persediaan makanan yang cukup selama seminggu.
Kami akhirnya memutuskan kalau urusan dapur akan ditangani oleh Vivi dan Regi. Sementara aku, Regha dan Jordan mendapat tugas untuk membawa berbagai macam alat dan keperluan berat lainnya. Kami memutuskan untuk membuat barbeque party malam itu di tepi kolam renang.
Dan malam itu, alam sedang tersenyum pada kami. Langit cerah dan penuh bintang. Seusai barbeque party, kami putuskan untuk mengobrol di pekarangan yang hanya diterangi oleh beberapa obor. Suasana remang-remang malam itu begitu membius dan nyaris gaib. Aku duduk setengah berbaring di sebuah kursi santai panjang dengan Regha yang bersandar didadaku. Regi berada ditengah kami dan menyemprot tubuhnya dengan cairan anti nyamuk, sementara Vivi berada dalam pelukan Jordan di kursi sebelahnya.
Aku benar-benar terbawa suasana romantis malam itu. Keremangan malam dengan gemerlapnya  bintang diatas menciptakan ilusi samar yang melenakan. Seakan-akan kami berlima berada dalam sebuah alam lain. Terpisah dari dunia luar dengan semua hiruk pikuknya. Kami seakan-akan masuk ke dalam alam lain yang diperuntukkan hanya untuk kami.
Tanganku yang memeluk perut Regha tanpa sadar menariknya, agar dia lebih mendekat padaku. Regha mendongak melihatku dengan kening berkerut, bertanya. Aku tak mengatakan apapun. Hanya tersenyum dan mencium keningnya dengan lembut. Mengungkapkan apa yang ada dalam hatiku dengan ciuman itu.
“Mengejutkan bagaimana hidup berjalan ya?” celetuk Regi pelan.
Kami semua segera saja berpaling padanya dengan heran. Regi tidak langsung menjawab kami. Dia menoleh bergantian pada kami yang berada di kedua sisinya.
“Pernahkan kalian berpikir bahwa kita akan berakhir ditempat ini bersama?” tanyanya yang kemudian berbaring di kursi malasnya. Pandangannya lurus ke atas, mungkin menatap bintang dan bulan sabit yang menggantung di langit, “Kalau kalian mau berpikir, beberapa bulan kemarin, rasanya mustahil kita semua bisa berada ditempat ini, dalam suasana yang menakjubkan seperti sekarang ini. Beberapa bulan yang lalu, Zaki masih seorang cowok angkuh yang menggandeng nenek sihir tercantik di kampus kita. Jordan masih seorang cowok brengsek dengan mulut yang bikin gue napsu buat ngegaplok pake sepatu. No offense, Jordan.”
“Non taken!” jawab Jordan singkat dan mengangkat tangan kanannya. Kami semua tertawa kecil.
“Vivi masih cewek montok yang terus-terusan mengeluh pengen punya cowok cakep. Regha masih jadi cowok culun yang serampangan dan agak oon.”
“HEY!!” protes Regha, sementara kami kembali tergelak.
“Dan elu masih jadi banci sinting yang ngomongnya suka bikin kuping panas, “ timpal Vivi yang dijawab Regi dengan juluran lidahnya.
“Kita semua berbeda,” lanjut Regi, “sangat jauh berbeda. Kita berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda. Memiliki  kesukaan yang berbeda. Dan juga memiliki mimpi yang berbeda. Namun toh hidup mengumpulkan kita di tempat ini dalam kebersamaan yang indah. Zaki dan Regha….siapa yang menyangka kan?”
Regha yang berada dipelukanku hanya bergerak kecil, salah tingkah. Aku hanya berbisik pelan sembari menyurukkan kepalaku dilehernya. Dia jadi sedikit rileks dalam pelukanku.
“Vivi dan Jordan. Kejutan bukan? Kalian lihat? Tali nasib kita yang sebelumnya terpisah, tiba-tiba saja bersatu dalam sebuah simpul. Begitu indahnya hidup merangkai sebuah cerita ya? Banyak kejutan dan konflik yang membuat arah langkah nasib kita berbelok, jauh dari dugaan dan rencana otak kita sebagai manusia. Begitu banyak pelajaran yang hidup berikan sehingga kita menjadi diri kita sekarang.
Kalau kalian mau mengingat, pasti sudah ada banyak sekali orang –orang yang pernah singgah dalam hidup kalian. Orang-orang yang pernah meninggalkan jejak dan kini tidak berada di sisi kalian lagi. Seperti Zaki yang dulu pasti tidak pernah terpisah dengan Justin. Gue ma teman-teman gue dulu, dan mungkin Regha dengan semua teman SMA-nya. Orang-orang itu pernah membentuk sebuah kenangan bersama kalian. Mereka meninggalkan jejak dalam hidup kita. Dan kini mereka semua menempuh jalan hidup masing-masing.
Dan kini kalian ada disini. Membuat sebuah kenangan bersama gue. Dan gue…………bersyukur, gue bisa bertemu dan memiliki kalian..” Regi diam sejenak dan menarik nafas panjang.
“Entah apa yang ada pada malam ini, tapi saat ini, malam ini, gue ingin mengucapkan terimakasih pada kalian. Terima kasih telah singgah dalam cerita hidup gue. Terimakasih telah mengajarkan banyak hal ke gue.”
Regi lalu melihat ke arahku dan Regha, “Kalian berdua mengajarkan ke gue bahwa masih ada yang namanya keajaiban dalam cinta. Masih ada ketulusan yang tercipta, bahkan dalam situasi yang terlihat mustahil. Dari kalian gue bisa belajar tentang indahnya menyayangi seseorang, meski perasaan itu tertuju pada seorang individu yang jauh di luar dugaan kita. Kalian mengajarkan cinta……”
Dia lalu berpaling pada Vivi, “Lo ngajarin gue tentang menjadi seorang teman. Menjadi seorang pribadi yang punya empati pada individu lain, meski kita berada dalam sebuah tekanan. Kalo lo gak berinisiatif ngajak gue bantuin Regha dulu, kita mungkin tak akan sedekat ini. Dan lo ma Jordan, memberi gue keyakinan bahwa selalu ada rencana Tuhan yang indah dibalik sesuatu yang tertunda. Jordan, dari lo gue belajar buat menyuarakan suara gue. Berani menjadi diri sendiri. Thank you guys…. Tapi……kalo boleh, gue pengen minta satu hal lagi…”
Kami diam sejenak, hingga akhirnya Regha yang memecahkan keheningan diantara kami.
“Apa Gi?”
“Kita pertahankan apa yang kita miliki saat ini,” ujar Regi, “Gue gak pengen jadi salah satu orang yang cuma lewat dalam hidup kalian. I wanna stay. Terutama lo Gha, Vi. Kalo bisa, gue pengen kita bisa tetap berhubungan. Gue gak pengen jadi sebuah wajah yang cuma bakal kalian inget dalam kenangan, seperti orang-orang yang pernah singgah dalam hidup kalian. Gue pengen kita jaga apa yang kita punya sekarang…”
Kembali hening. Masing-masing dari kami seakan-akan terperangkap dalam suasana malam ini yang kian menjadi ajaib. Tak ada satupun yang menyangka kalau Regi akan mengangkat topik seperti ini. Malam ini dia bukan lagi Regi yang rame dan lincah. Dia menjadi sosok lain yang belum pernah ku lihat.
Hingga kemudian aku menyadarinya….
“Kau akan pergi….” kataku pelan.
Regi tak mengatakan apapun. Dia hanya menatapku dengan tatapan datar. Kurasakan tubuh Regha menegang dalam pelukanku. Hampir bersamaan, dia dan Vivi duduk tegak dan bangkit mendekati Regi.
“Bener, Gi?”
Regi hanya mengangguk.
“Kemana?” tanya Vivi dengan suara tercekat.
“Belanda. Gue mo nyusul Nick, Vi. Ga ada sesuatu yang menahan gue disini. Kalian tahu itu kan?” kata Regi padaku dan Regha.
Regha dan Vivi segera saja protes dan mengajukan berbagai macam alasan. Tapi Regi hanya diam mendengarkan mereka hingga keduanya berhenti.
“Udah? Gue juga mo bilang, kalo gue gak sekarang perginya. Gue kudu ngelarin kuliah gue disini. Tapi begitu gue lulus, gue segera ke Belanda. Jadi kita masih punya waktu buat bersenang-senang dengan kalian. Jadi….tenang aja, ok?”
“Lo yakin, Gi?” tanya Regha akhirnya.
“Apalagi yang bisa menahan gue disini? Disana gue ada Nick. Kan gue bisa mesong berdua kek kalian,” ujarnya nyengir.
“Ortu  lo?”
“Nyokap gue udah kasih ijin. Itu yang penting.”
“What’s your plan there?” tanyaku akhirnya.
“I’m gonna work there. Mas Rudi punya seorang kenalan disana yang siap nerima gue. Mungkin gue kudu kasih tahu kalian, sebenernya, selama ini gue kerja freelance buat Mas Rudi. Lo tahu kan gue tertarik ma dunia fashion. Gue punya beberapa sketsa yang  dulu sempet gue tunjukin ke Mas Rudi. Beliau suka dan ngebimbing gue.”
“How did you know him anyway?” tanyaku lagi.
“Dari gay chat,” jawab Regi nyengir, “Kita kenalan, ketemu. Dan kita langsung cocok sebagai temen. Mas Rudi memperlakukanku kayak adek dia sendiri, Zake. There’s no romance between us. Apalagi saat dia tahu gimana kondisi keluarga gue. You should’ve seen my father’s face when Mas Rudi was there. It was epic! Father’s was like gonna explode. That was one of my best moment, ever.”
Aku hanya bisa tertawa kecil membayangkan wajah Pak Suprapto saat itu, “Yeaaah, I can imagine that…”
“So…that’s why, selagi sempat, dan selagi suasananya mendukung, gue pengen katakan yang udah gue utarakan tadi. Gue berharap kita bisa tetap berhubungan. Terpisah benua bukan berarti kita harus hilang kontak. Karena gue ingin bisa jadi bagian dari kalian. Dan melihat kalian bersama seperti ini…………….gue ingin cepat-cepat pergi ke Belanda. Gue bosan jadi kambing congek seperti ini,” ujarnya menggerutu meski bibirnya tersenyum.
Regha dan Vivi mendekat dan mereka berpelukan. Regi tertawa dan menyambut mereka. Mata kami berpapasan. Dan lewat kontak mata singkat itu, aku mengerti apa yang ingin dia sampaikan. Jadi aku mengangguk untuk menunjukkan bahwa aku paham.
“Tell me if you need anything,”kataku lagi. Regi membalasnya dengan senyuman.
“Kalau begitu, aku ingin beristirahat dulu didalam dan menelepon Nick. Might get lucky and have a bit phone sex with him,” ujar Regi membuat Regha dan Vivi langsung melepas pelukannya sambil mengeluarkan erangan jijjik. Regi ngakak.
“Kurasa kita memang harus beristirahat,” kataku dan bangkit. Yang lainpun setuju. Kamipun masuk ke villa, menuju lantai masing-masing setelah mengucapkan selamat malam. Aku melangkah dibelakang Regha yang segera mendahuluiku.
“Are you ok?” tanyaku saat kami menaiki tangga, “You know, about Regi and all.”
“Mungkin itu yang terbaik baginya,” jawab Regha sambil melirik sekilas ke belakang, “Kurasa dia punya hak dalam mengejar kebahagiaannya sendiri. Sesuatu yang mungkin tidak dia dapatkan disini.”
Aku sedikit tercenung mendengarnya. Yeahh, mungkin saja disini Regi tak bisa meraih kebahagiaan sesuai dengan yang diinginkannya. Di Belanda dia memiliki Nick dan karir yang bisa ia kejar. Hal itu membuatku bertanya-tanya sendiri, dimana kebahagiaanku nantinya? Dan dimana kebahagiaan Regha sebenarnya? pikirku dan berhenti didepan pintu kamarku.
“Nite…” pamit Regha dan terus melangkah menuju kamarnya. Aku tak menjawab, hanya menatap punggungnya yang menjauh.
“Regha!” panggilku. Dia berhenti dan membalikkan tubuh, menatapku dengan pandangan tanya, “Are you happy?” tanyaku kemudian.
Regha tak menjawabnya. Dia berdiri diam disana dan tidak melepas kontak mata denganku. Hingga kemudian dia tersenyum, “Very..” jawabnya pelan, “Nite…”
Aku ikut tersenyum dan menganggukkan kepalaku, “Good nite..” kataku dan masuk ke kamar. Begitu pintu tertutup, aku berhenti melangkah dan menarik nafas panjang. Lalu bersandar pada daun pintu, tercenung. Ingat akan kata-kata Regi tadi.
Memang benar. Kalau dipikir, telah ada begitu banyak orang yang lewat dalam kehidupanku selama ini. Dad, Teman-temanku di Australia, cewek-cewek yang pernah ku kencani disana, Emma, Anna, dan beberapa cewek yang pernah lewat sebelum mereka, dan………….cewek dari klub yang pernah menemaniku hanya semalam dihotel waktu itu. Aku bahkan tak ingat apakah aku pernah menanyakan namanya.
Kebanyakan dari mereka itu hanya lewat sejenak dalam kehidupanku. Masing-masing meninggalkan kenangan tersendiri. Ada yang pahit, ada pula yang manis. Ada kenangan yang masih terpatri dengan jelas, ada pula yang kabur dan nyaris terkubur. Beberapa dari mereka masih hidup dan masih berhubungan. Beberapa diantaranya telah meninggal dan ada yang hilang entah kemana.
Hidup terus berjalan membawa orang-orang baru ke dalam kehidupanku. Regi, vivi, Mamah, Abah, Asti, Agus, Rizky dan tentu saja………Regha. Seperti yang Regi ucapkan tadi, aku juga harus mengakui kalau aku tak ingin Regha hanya menjadi orang yang lewat begitu saja dalam kehidupanku. Disini, dalam kamar ini, terpisah hanya beberapa meter darinya, aku mengakui dalam hatiku bahwa aku ingin dia tinggal. Aku ingin dia terus ada dalam kehidupanku. Kini dan nanti. Dan  aku ingin dia tahu itu.
Aku menegakkan tubuh.Aku akan kekamarnya. Aku akan mengatakannya. Aku ingin dia ta..
Suara ketukan di pintu yang tadinya hendak kubuka membuatku sedikit kaget. Aku harus menengkan diri sejenak dan menarik nafas panjang sekali, lalu membukanya.
“Regha?” ujarku heran melihat Regha yang berdiri didepanku dengan ekspresi wajah yang tak bisa kubaca. Aku menoleh ke kanan dan kiri kami. Sunyi, tak ada suara atau apapun, “Ada apa?” tanyaku lagi.
Regha tak menjawabku. Dia hanya berdiri disana dengan ekspresi wajah yang tak bisa ku baca. Campuran antara takut, ragu dan serba salah. Aku mengernyit heran dibuatnya. Aku sudah hendak bertanya saat dia kemudian tiba-tiba maju dan bibir kami bertemu!
Aku mengeluarkan suara terkesiap yang cukup keras saking kagetnya. Mulutku tertutup secara refleks sehingga ciuman Regha hanya sejenak berada di bibirku. Aku mundur dan melihatnya dengan mata melebar. Siapa sangka Regha akan berani melakukan ini padaku. Selama ini, dia lebih banyak menjadi pihak yang pasif. Aku yang terbiasa menjadi pihak yang menyerang terlebih dahulu. Kali ini menyerangku diluar dugaan, hingga cukup membuatku terguncang.
Jadi untuk beberapa saat lamanya, aku hanya terpaku disana, menatapnya dengan mata terbelalak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar