Translate

Jumat, 30 Januari 2015

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 39 - Confusion



ZAKI

Aku tahu kalau aku seharusnya merasa lega. Regha tak menuntut apapun dariku. Dia tidak mengungkapkan perasaannya ataupun menunjukkan perasaanya itu melalui sikap. Dia justru berusaha terlihat dan bersikap normal. Meski dia jelas menahan diri. Dia berusaha untuk tidak berada dalam satu ruang denganku terlalu lama. Berusaha berbicara denganku hanya seperlunya. Di kampus aku nyaris tidak pernah melihatnya. Bahkan saat kami berangkat bersama ke Panti, dia selalu menyibukkan diri. Meski aku sudah membawa sopir dan dia bersamaku di kursi belakang, dia akan selalu melakukan sesuatu. Entah memeriksa berkas, mendengarkan mp3, mengetik sesuatu di laptopnya, ataupun bermain dengan hapenya. Seharusnya aku merasa tenang kan?
Tapi, tidak! Aku justru merasa dijauhi dan tidak tenang. Beberapa kali aku mendpati diriku mencoba untuk menarik perhatiannya. Mengajaknya ngobrol tentang pekerjaan atau yang lainya. Dia akan menjawabnya dengan singkat dan cepat. Dan, begitu sudah tak ada lagi yang aku bicarakan, dia akan segera berlalu pergi.
UGH!!!!
Kami jadi lebih mirip seperti pasangan yang sedang piring dingin.
Akhirnya aku menyerah. Aku mencoba mengalihkan perhatianku pada Anna. Dia sedikit bisa menemaniku. Dan hari ini, dia kembali menginap dirumahku setelah kami berpesta semalaman yang dilanjutkan dengan pesta panas pribadi kami di kamar.
Aku harus mengatakan kalau dia adalah partner bercinta yang menakjubkan. Anna tahu bagaimana memuaskan pasangannnya. Dia bisa melakukan hal-hal yang aku kira tak akan pernah mau dilakukan oleh seorang cewek. Kreatifitasnya dalam bercinta hampir membuatku mengangkat alis. Begitu mengagumkan bagaimana dia bisa menemukan hal-hal berguna yang bisa dilakukan dan dijelajahi dari tubuh seorang pria. Dan bersamanya, aku bisa mendapat sedikit ketenangan. Pagi ini aku kembali bangun dengan tubuh lemas dan lelah.
Aku turun ke bawah tanpa mandi terlebih dulu karena jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Regha pasti sudah menungguku diruang kerja. Dan benar saja, dia sudah tampak mengetik sesuatu di laptopnya saat aku membuka pintunya.
“Aku sarapan dulu,” kataku lemas. Regha mengangkat wajahnya dan melihatku dengan tatapan tak suka. Ahh, persetan! Dia tahu kalau aku mengencani Anna. Lagipula dia sudah bisa menerimanya kan?
“Ada beberapa berkas yang harus kau periksa dan tanda tangani,” katanya seraya kembali memalingkan wajahnya ke screen. Tidak bisakah dia menatap wajahku sedikit lebih lama dari itu? pikirku kesal.
“Bawa ke ruang makan,” sahutku pendek dan melangkah mendahuluinya. Di ruang makan ternyata sudah ada Anna yang menungguku. Dengan hanya mengenakan piyama dengan belahan dada rendah, dia duduk sembari mengoleskan mentega di roti panggangnya.
“Kau mau?” tawarnya. Aku hanya mengangguk sembari duduk lesu dihadapannya. Kusambar gelas susu didepanku dan menandaskannya. Tak berapa lama Regha muncul. Semula dia tampak ragu saat dia melihat Anna.
“Hai, Regha. Sarapan?” tawar Anna.
Regha hanya menggeleng, “Te-terimakasih. Aku sudah tadi,” jawabnya dan mengangguk kikuk. Aku hanya mendengus dan memberinya isyarat untuk duduk.
“Mana berkasku?” tanyaku langsung. Regha mendekat dan duduk dalam jarak dua kursi dariku. Apa dia akan tertular penyakit kalau duduk disebelahku? Pikirku kesal. Aku lalu meraih berkas yang dia sodorkan. Memeriksanya sembari melahap sandwich yang tadi dibuat oleh Anna.
“Kalian akan ke Panti?’ Tanya Anna.
“Yup!” jawabku, sementara Regha mengangguk, “Biasanya kami sudah berangkat. Tapi kau semalam kau membuatku kelelahan. Jadi kami terlambat,” sambungku lagi. Ku lihat punggung Regha tiba-tiba saja menegang dan tegak. Aku hanya meliriknya sekilas.
Anna mengangkat sebelah alisnya padaku, “Kau kelelahan?”
“Three times is quite amazing, you know,” godaku dengan senyum simpul, “Lagipula siangnya aku cukup banyak pekerjaan. Jadi wajar saja kalau tadi malam menguras tenagaku. But I can promise you, lain kali, kau yang akan kelelahan.”
“You do know that we have a company now, don’t you?” tukas Anna dengan kening berkerut.
Aku megibaskan tangan sembari mengunyah rotiku, “Please, Regha tak akan tertarik dengan hubungan kita. Dia menyukai hal lain,’ selorohku singkat, sedikit tertawa kecil saat Regha kembali menegang.
Anna tak mengatakan apa-apa lagi dan melanjutkan makannya seolah-olah tak mendengar apapun. Regha juga tak mengatakan apa-apa. Dia diam disana sembari menyibukkan diri dengan berkas-berkas yang telah aku periksa dan tanda tangani, meski aku tahu dia sudah melakukannya tadi. Baru saat kami melaju dijalanan dia mengajukan ketidak sukaannya.
“Kau tak harus mengatakannya kan?” tegurnya singkat.
“Soal apa?” tanyaku acuh sembari memainkan ponselku.
“Hal yang kau katakan tadi pada Anna tentangku,” sahutnya lagi.
Aku menoleh dengan sebelah alis terangkat, “Memang apa yang ku katakan? Bahwa kau gay dan menyukaiku? Tidak kan?”
Aku tahu kalau aku mungkin sudah keterlaluan dan melewati batas. Wajah Regha terhenyak dan memucat. Dia melirik pada Pak Adam yang aku yakin mendengar kami dengan jelas karena dia melirik dari spion mobil. Punggung Regha kembali menegak. Tapi aku hanya menatapnya dengan mulut tersenyum mengejek. Well, setidaknya aku mendapat sedikit reaksi darinya, pikirku.
“Ada apa denganmu?” desisnya pelan.
Aku memutar bola mata, “Well, I didn’t say the words, did I? Aku hanya mengatakan bahwa kau menyukai hal lain. I said nothing about sex. Kau sudah tahu bahwa kita memiliki pandangan yang berbeda akan hal itu. Kau sudah menegaskannya beberapa waktu yang lalu,” sahutku santai.
“What the hell is wrong with you?” desis Regha lagi, “Haruskah kau mengatakan tentang itu sekarang?”
“Excuse me, bukan aku yang memulainya bukan? Kau yang bertanya, aku hanya mencoba menjawab.Kenapa kau marah?”
“Aku kira kau cukup terpelajar dengan mengatakan sesuatu itu dalam bahasa yang layak. Kita tidak sendirian sekarang kan?”
“Look, kalau kau tak suka akan jawban yang mungkin akan kau dengar, lebih baik kau tak usah bertanya, ok?” selorohku kesal.
Regha menatapku geram. Ku kira dia akan meledak dan memberiku alasan lain untuk memancingnya, tapi Regha hanya menarik nafas dan kemudian bersandar dengan mata lurus ke depan. Aku hanya mengangkat bahu acuh dan kemudian meneruskan bermain dengan ponsel tanpa menoleh lagi padanya. Berusaha menyembunyikan kedua tanganku yang sedikit gemetar.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi rasa-rasanya aku memang harus melakukannya. Aku harus bersikap seperti ini. Karena kalau aku tidak begini, kalau aku bersikap lembut padanya, aku akan….
Aku mendengus keras! Mengenyahkan pikiran sinting yang mulai membayang dibenakku!
Dan itu berlaku pada beberapa hari kedepannya. Setiap melihat Regha, rasa-rasanya aku harus terus marah. Mempermasalahkan hal-hal sepele yang sebenarnya tak perlu membuatku meledak. Mengeluarkan kata-kata kasar yang bahkan membuatku bergidik sesudahnya. Menyuruhnya melakukan hal-hal yang sebenarnya tak perlu, dan mencela setelah hasilnya hanya berbeda sedikit dengan apa yang ku inginkan.
Aku benar-benar kesal hanya dengan memandangnya saja. Ada saat-saat dimana aku ingin meraihnya, mengguncang-guncang-tubuhnya, hanya agar dia balas marah dan meledak. Berharap kalau dia akan mengkonfrontasiku. Berharap agar dia marah dan pada akhirnya akan membuat kami bertengkar hebat. Atau mungkin……..berkelahi. Membiarkannya melayangkan bogem padaku. Sepertinya akan sangat melegakan kalau itu terjadi.
Tapi tidak! Bocah sial itu seakan-akan memiliki kesabaran seorang santo! Dia menerima semua perlakuanku dengan diam dan nyaris tanpa ekspresi. Dia menelan begitu saja semua sikapku yang kasar dan bahkan bagiku sendiri, sangat menjengkelkan. Aku yang justru makin lama makin kesal! Sial!!
Hampir setiap hari aku harus selalu mengingat bagaimana kasarnya sikapku. Bagaimana buruknya aku memperlakukannya. Dan bagaimana dengan heningnya, dia menerima semuanya. Aku….kesal! Aku tak tahan. Seakan-akan aku terus menerus, perlahan-lahan justru membuat diriku sendiri terluka. Nyaris gila rasanya. Aku ingin sebentar saja mengenyahkannya dari benakku. Untuk sejenak saja, aku ingin berada dalam keadaan yang tenang, damai dan rileks. Tidak selalu dikejar bayangan dosa dan perbuatanku sendiri.
TAPI AKU TAK BISA!!!!
Seakan-akan ada yang sengaja menyiksaku. Seakan-akan ada orang yang dengan sengaja meletakkan rekaman apa yang telah aku lakukan dan bagaimana wajah Regha. Persis didepan mukaku. Pernah dengan nekat aku menghabiskan sebotol anggur yang kuambil dari tempat penyimpanan sendiri, Hasilnya, pagi sesudahnya kepalaku serasa terbelah dua. Untuk beberapa jam aku hanya diam ditempat tidur. Dan selama aku berbaring itu, mencoba memulihkan hang overku, bayangan Regha kembali bermain dengan kejamnya dibenakku. DAMN!!!!!
“Kenapa kita tidak ke club?!” saran Anna yang malam ini berkunjung ke rumah, “Sepertinya kau butuh sedikit suasana baru. Kau sadar kalau kau terlihat super kacau kan?” celanya dan melenggang masuk kekamarku, melewatiku yang tadi membuka pintu dan hanya diam memandangnya.
“Club? Yang pernah kita kunjungi dulu itu?” tanyaku. Teringat akan club yang menyajikan stripper pria dan wanita dulu itu.
“Yeah! Mungkin suara hingar binger disana akan membuatmu lebih baik. Plus, we can dance and drink, all night!”
“Good idea! I’ll get shower first!” pamitku dan langsung ke kamar mandi. Menghabiskan malam ini ditengah dentuman musik keras, minuman serta kerumunan orang banyak sepertinya akan menjadi solusi yang bagus. Karena itu, dalam beberapa menit kemudian, kami sudah melaju untuk menuju tempat itu.
Dentuman suara musik yang menyambut kami sempat membuatku mengernyitkan dahi. Suasana remang-remang, kilatan lampu dan tubuh-tubuh telanjang yang menari dalam sangkar-sangkar yang bertebaran di beberapa tempat, seakan-akan mengucapkan selamat datang. Tanpa dapat ditahan, aku mengulas senyum. Mungkin hingar bingar seperti ini yang aku butuhkan.
“Kita minum dulu,” ajakku pada Anna yang hanya tersenyum dan menarik tangan kananku. Seperti biasanya, Anna yang sudah dikenal disana disapa oleh bartender kenalannya. Kali ini yang melayani kami bernama Danny.
“Gin and tonic,” pesanku sedikit mengeraskan suara.
“Bagaimana?” tanya Anna yang duduk sembari menggerakkan kepalanya disebelahku.
Aku hanya tersenyum mendengarnya dan menyesap minumanku yang telah datang, “Lumayan. Mungkin aku memang but…..” aku yang sudah merasa sedikit baik langsung tercenung saat kulihat kelebatan tubuh Regha yang sangat ku kenal melintas. Tak mungkin dia ada disini, pikirku dan mengejar orang tadi cepat, “WHAT THE HECK ARE YOU DOING IN HERE?!!” bentakku keras dan menyambar tangannya.
“HEY??!!”  pemuda itu mengibaskan tangannya dari genggamanku dengan kesal. Wajahnya yang semula kaget langsung berupa geram. Dan aku sama sekali tak mengenalnya.
“Sorry,” gumamku cepat dan segera berbalik, kembali ke Anna dengan kesal.
“Siapa?” Tanya Anna heran begitu aku kembali.
“Nobody,” gumamku dan langsung kembali menyambar gelas minumanku dan menandaskannya. Ku beri Danny kode untuk mengisinya kembali.
“Dia mirip Regha sekilas,” ujar Anna yang hanya ku jawab dengan dengusan keras. That’s what I thought.
“Kau punya multivitamin yang biasa?” tanyaku membuat Anna mengangkat sebelah alis. Dia tidak menjawab tapi langsung menarik keluar sebuah tabung obat yang isinya masih cukup banyak.
Aku menyambarnya dan mengambil dua buah pil dan menelannya, “Let’s dance!” ajakku dan menarik tangannya. Anna menurut setelah terlebih dahulu menitipkan tasnya. Dan kamipun menari dengan iringan music elektronik yang menghentak. Kucoba menepiskan bayangan-bayangan kacau yang melintas. Pil-pil tadi cukup membantuku. Kepalaku mulai terasa ringan, apalagi ditambah beberapa gelas minuman yang terus kupesan. Suara-suara berisik disekelilingku mulai terasa kacau. Orang-orang disekeliling kami yang tadinya kulihat bergoyang dengan gerakan dinamis seiring dengan music, kini menjadi pelan, seakan-akan ada orang yang mulai menekan tombol slow. Aku tertawa keras dan memejamkan mata. Kami semua seperti bergerak dalam air.
Aku tertawa, tapi itupun hanya sebentar. Aku kembali melihat sosok Regha yang kini berdiri disebelah bar tempatku duduk tadi. Dia melihatku dengan tatapan tak suka dan nyaris marah. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Meyakinkan diri bahwa itu memang sosoknya dan bukan bayanganku saja.
Sosok itu masih ada disana. Masih menatap tajam. Bahkan kini sepasang mata itu mencorong dan senyum mengejek tersungging di bibirnya.
Aku mendengus keras dan segera menghampirinya tanpa memperdulikan panggilan Anna. Dan begitu sampai didekat bar, tiba-tiba sosok itu hilang. Lenyap tak berbekas. Aku memandang berkeliling, mencarinya yang mungkin sedang melarikan diri.
Nihil! Aku bahkan tak bisa melihat dengan jelas. Gerakan-gerakan orang disekelilingku makin terlihat kacau. Bahkan bayangannyapun tak terlihat. Tapi mata itu…. Tatapannya yang menusuk itu terus membayang dengan begitu jelasnya.
“Fuck!!!” umpatku kesal dan duduk. Aku lalu meminta Danny untuk memberikan tas Anna tadi. Aku kembali mencari tabung obat itu dan mengambil beberapa butir pil, kemudian langsung menelannya.
Aku tak ingat jelas apa yang terjadi selanjutnya.
Yang jelas aku merasakan panas dan sesak didadaku yang kemudian merambat naik dan terasa mencekik dileherku. Bayang-bayang orang yang bergerak dengan aneh dan suara-suara tak jelas disekelilingku kemudian lenyap mendadak. Digantikan dengan gempa bumi yang begitu keras dan mengguncang-guncang tubuhku dengan hebatnya.
Dan kemudian, hitam!

REGHA

Aku menghempaskan tubuhku ke kasur busaku yang sudah sangat tipis, dan membuatku mengumpat pelan saat kepalaku membentur lantai dengan suara yang sedikit keras. Benar-benar menyebalkan! Beberapa waktu terakhir, sepertinya Zaki hendak kembali mengibarkan bendera perang padaku. Tingkahnya seakan-akan dilakukan dengan sengaja untuk memancing kemarahanku. Sikapnya berubah 180 derajat dibandingkan saat kami berada di Majalengka.
Aku tak ingat dan juga tak tahu apa yang menjadi pemicunya. Seingatku semua berjalan dengan baik-baik saja. Malah boleh dibilang, aku super ekstra hati-hati dalam bersikap padanya. Aku bahkan tak sanggup untuk beradu pandang dengannya. Apalagi kini, saat dia dengan jelas tahu bagaimana perasaanku padanya.
Saat kami dalam perjalanan kembali ke Bandung dari Majalengkapun, sikapnya masih baik. Aku yang waktu itu hanya mampu duduk diam dengan pandangan lurus disebelahnya sebenarnya sangat tidak tenang. Aku harus menahan diri kuat-kuat, namun toh tetap kecolongan. Beberapa kali, saat dia tidak melihat, aku mencuri pandang padanya. Memperhatikan semua detil dari sosoknya. Mencoba kembali meyakinkan diri bahwa aku……jatuh hati padanya. Aku seakan-akan melihat sosok Zaki dari sebuah sudut baru yang sebelumnya tidak aku sadari.
Dia terlihat…..bercahaya, menyilaukan. Melihatnya seakan-akan melihat mentari disiang hari yang terik. Tidak mampu kutahan dengan kemampuan mataku yang terbatas. Aku mahfum, kalau tak akan ada yang terjadi diantara kami berdua. Zaki sudah menjelaskannya. Tapi itu kan tidak berarti kalau aku tak bisa mencintainya. Aku bebas mencintai seseorang kan? Dan Zaki juga memiliki kebebasan untuk mencintai siapapun yang dia inginkan. Aku tak mengharapkan kalau dia akan membalas perasaanku.
Aku memutuskan untuk menikmati saja indahnya perasaanku, hingga suatu saat nanti, perasaan ini akan layu dan berlalu. Aku hanya akan berdiri tak bergerak disebuah sudut, memperhatikannya dalam diam.
Itu niatku semula. Tapi……Zaki nyaris membuatnya mustahil.
Tiba-tiba saja dia mulai bersikap aneh. Dimulai saat aku ke rumahnya, dimana kudapati dia kembali bersama Anna. Jelas hubungan apapun yang mereka miliki, masih terus berlanjut. Friends with benefit atau apapun itu. Waktu itu aku hanya menatap dengan tidak senang, karena aku tahu kalau aku tak memiliki hak apapun untuk melarangnya. Sayang sekali kalau melihat mereka berdua yang memiliki semua kelebihan, baik secara fisik dan intelektual, membiarkan birahi menguasai diri mereka, pikirku.
Sikap Zaki berikutnya yang kemudian mengagetkanku. Dia seakan-akan menantangku untuk memberontak. Seakan-akan sengaja memamerkan perbuatannya.
Dan hari-hari setelah itu……tingkahnya semakin menjadi! Tak ada satupun tindakanku yang bisa menyenangkannya. Tak ada satupun tugasku yang beres dimatanya. Aku harus selalu berhati-hati dan memeriksa apapun yang akan dan telah aku lakukan, lebih dari sekali. Tapi……tetap saja. Aku bagai melangkah diatas kaca retak. Zaki sepertinya sedang menguji kesabaranku.
Bila kata-katanya sudah keterlaluan, biasanya aku hanya akan diam, menunduk, dan menarik nafas panjang. Saat sudah tenang, aku akan mengangkat wajah dan menatapnya datar. Aku tahu, kalau aku ikut-ikutan terpancing, masalahnya akan jadi runyam. Aku ikhlas menerima apapun yang dia lakukan. Bukan hanya karena aku jatuh cinta padanya, tetapi aku juga berhutang banyak padanya.
Meski ada saat-saat dimana aku ingin balas teriak padanya. Mengatakan bahwa dia sudah sinting dan keterlaluan. Namun entah kenapa, aku selalu kembali menelan kemarahanku. Membuangnya jauh-jauh dan mengingat semua hal baik yang pernah dia lakukan padaku, juga keluargaku. Mengingat bahwa semua hal yang pernah dia lakukan padaku, meski itu tak sejalan dengan pikiranku, semua ditujukan untuk kepentinganku. Kebaikanku. Sekonyol apapun hal itu, aku berusaha menekankan hal itu dibatinku.
Tapi……. kemarin aku nyaris kehilangan kendali saat Zaki meledak dikantor. Aku selama ini menguatkan diri untuk menerima semua luapan kemarahannya. Karena Zaki tak pernah melakukan hal itu saat ada orang lain. Tapi kemarin, aku tanpa sengaja menumpahkan segelas kopi panas kebagian depan jasnya. Salahku sebenarnya. Seperti biasa, aku membawa kopi yang baru kubuat dari pantry itu ke mejaku dengan kepala tertunduk. Berusaha untuk menghilang dalam setting kantor, berharap agar Zaki tak melihatku. Sialnya, waktu itu Zaki keluar dari ruangannya dan nyelonong untuk ke pantry. Semua terjadi begitu cepat. Tahu-tahu, nyaris semua kopi panas yang ada digelas yang kupegang, pindah ke bagian depan kemejanya.
Zaki meledak!
Dia mengeluarkan makian dan umpatan kasar yang bahkan mungkin akan membuat seorang sopir truk malu. Meski kebanyakan dalam bahasa Inggris. Dia meneriakkan tentang kecerobohanku, dan bagaimana mahalnya baju yang dia pakai. Bahwa bahkan bila gajiku dijumlahkan dalam setahun, aku masih tak akan mampu mengganti baju yang dia pakai.
Dan dia melakukannya didepan segenap staff kantor yang saat itu lengkap berada di ruangan.
Aku menunduk dalam dengan wajah yang terasa begitu panas dan menggumamkan kata maaf dan mati-matian menahan tangis. Baru kali itu aku merasa dipermalukan. Kalau kami hanya berdua, aku masih bisa tahan. Tapi didepan banyak orang seperti ini……. itu lain ceritanya.
Saat aku kembali ke mejaku, aku bisa merasakann tatapan iba beberapa teman sekantorku yang coba aku acuhkan. Aku hanya menancapkan mataku pada layar komputerku. Mencoba melanjutkan kembali perkerjaanku, meski kedua tanganku gemetar hebat.
Tadi aku menceritakan kembali kejadian itu pada Vivi dan Regi. Untuk beberapa saat lamanya mereka tak mampu berkomentar. Hanya diam dengan pandangan datar.
“Lo………pasti gak akan percaya kalo gue bilang Zaki begitu karena dia bingung, gimana ngehadapin elu kan?” Tanya Vivi pelan.
Aku mendengus keras.
“Gha…..” desah Regi pelan, “Zaki adalah seorang cowok yang memiliki harga diri yang tinggi. Dia cowok dalam artian yang sebenarnya. Dia di didik untuk menjadi seorang pemimpin. Seorang alpha. Dan dia tak terbiasa berada dalam sebuah tekanan yang tak bisa dia pahami. Dia tidak terbiasa berada dalam situasi yang membingungkan dan meresahkannya. Dia orang yang selalu menjadi pusat perhatian. Orang yang selalu bisa menguasai keadaan. Tapi dihadapan lo…….dia kalah, bingung dan resah!”
Aku mendengus lebih keras daripada tadi.
“Itu benar, Gha,” sambung Vivi, “Dia………terintimidasi oleh keberadaan lo. Dia bingung, resah dan mungkin takut akan elo. Cowok emang seperti itu. Saat mereka tak bisa memahami atau mengendalikan situasi, mereka akan kembali ke insting primitive mereka. Defensif dan marah. Itu nggak berarti dia benci elo, Gha. Itu justru menunjukkan kalo keberadaan lo, menimbulkan efek khusus dalam dirinya.”
“Untuk menjadi seorang pembunuh?” serobotku kesal.
Kembali Regi mendesah pelan, “Terserah kalo lo emang ga percaya. Tapi setiap orang emang memiliki cara sendiri dalam menghadapi masalah. Dan rata-rata cowok emang begitu. Kalo mentok, mereka biasanya mengungkapkan rasa frustasinya dengan marah. Ada juga kok yang minum-minum, ngedrugs dan bahkan dengan sex.”
Aku berjegit mendengarnya, “Lu tuh kadang bisa nyeremin juga ya?” gerutuku kesal.
“Zaki juga bilang gitu,” komentarnya sembari mengangkat bahunya acuh.
Aku hanya menggelengkan kepalaku dan diam. Membiarkan apa yang mereka berdua katakan tadi mengendap diotakku. Dan kembali, aku hanya bisa menarik nafas panjang tanpa mampu memutuskan. Mana yang benar dan tidak. Apa emang, Zaki harus marah seperti itu hanya karena dia bingung bagaimana menghadapiku? Aku toh hanya diam saja selama ini. Aku tak pernah melakukan sesuatu diluar batas. Aku malah berhati-hati dalam bersikap. Sangat berhati-hati malah. Hanya pada saat dia tak melihatku, terkadang aku membiarkan diriku menatapnya dengan intens and maybe……with a little bit dreamy eyes. Tapi tak pernah saat berhadapan langsung dengannya. Sudah kuputuskan untuk membiarkan perasaanku padanya menjadi sebuah fase, yang ku harap, akan segera berlalu.
Aku menghela nafas.
“Gha?”
Panggilan pelan dari Ari itu membuatku sedikit kaget dan segera bangun dari tdurku,”Ya, Ar. Masuk aja. Nggak dikunci kok,” sahutku.
Pintu terbuka perlahan, menampakkan Ari yang sejenak elongokkan kepalanya, “Lo lagi sendiri kan? Ga ngumpetin cewek?”
“Gue ngumpetin cowok kok. Namanya Alvian dan ada dikantong tas gue. Lo kenal?’ sahutku dengan senyum manis.
“Eh? Lo doyan juga ma Al? Ntar gua kasih tau dia deh. Kali aja kita bisa threesome,” sahutnya girang dan masuk. Aku langsung misuh-misuh mendengarnya.
“Sarap! Ogah gua jadi madu lo. Sengsara!” umpatku yang ia sahuti dengan tawa geli.
“Ya kali aja, Gha. Kan lumayan buat variasi. Bosen berdua mulu!” selorohnya, nyengir.
“Gua aduin lu ke Mas alvian ya?!”
“Rese lo, ah! Ntar gua gak dikasih jatah tauk?! Eh, Gha. Lo ada contoh proposal buat penggalian dana gak sih? Gue butuh nih.”
“Ada di lappy. Buat apa Ar? Lagian udah mau jam 10 gini masih nyari-nyari proposal. Kurang kerjaan amat! Mo bikin proposal ke camer emang?” tanyaku balik dan segera meraih laptopku. Seingatku ada sebuah proposal buat panti yang file-nya masih tersimpan disana. Sengaja tidak ku hapus buat sekedar contoh.
“Tugas,” sahutnya singkat. Dia lalu menerima laptop yang aku ulurkan dan memeriksanya, “Keren ya?” ujarnya dan memeriksa dokumen yang ku punya.
Aku mengangkat alisku mendengarnya, “Apanya? Proposal gue? Iya dong. Siapa dulu yang bikin. Regha!”
“Laptop Apple ini, Dodol! Elo mah gak ada keren-kerennya. Loading lo aja kalah cepet ma computer yang processornya intel 1,” gerutunya tanpa menoleh. Dengan kesal aku menabok bahunya.
“Jurig siah!!”
Ari terkekeh, “Serius nih, keren! Jadi iri! Elo yang kemaren-kemaren masih nebeng ma laptop butut gue, sekarang lo malah pegang Apple gini. Ga ada lowongan lagi ditempat lo gawe, Gha? Gua mau deh,” ujar Ari tanpa mengalihkan matanya dari layar.
“Jangan deh, Ar. Bos gue galaknya bikin herder ngiri! Bisa TBC lu dalam hitungan bulan.”
“Zaki?” Tanya Ari heran dan kini berpaling padaku.
Aku hanya mengangkat bahu, “Akhir-akhir ini dia lebih cerewet daripada nenek nenek yang lagi datang bulan. Ga tau kenapa. Udah kaya bini mudanya aja gue. Gak ada kerjaan gue yang beres. Kalo gak inget semuanya, udah cabut gua,” gerutuku.
Ari tertawa kecil dan kembali menatap screen, “Dia lagi ada masalah kali, Gha. Lo aja yang sabar dulu. Kadang cowok tuh emang gitu. Kalo ada masalah yang gak bisa dia beresin, ya ngamuk. Cewek mah nangis.”
Aku mendengus keras, “Lo orang ke tiga yang ngomong gitu ke gue. Dan gue asli menolak mentah-mentah teori itu. Karena gue yang jadi korban pelampiasannya. Gak asyik tahu, saban hari jadi kaya sparing partner orang bertinju.”
“Itu karena keberadaan lo yang mungkin membuatnya begitu,” sahut Ari santai. Aku yang tadinya sedikit santai langsung menegang. Tubuhku kaku mendadak.
“Ma-maksud lo?” tanyaku agak gugup. Ya Allah, jangan katakan kalau dia……
“Well, dia hanya seneng ngamuk ke lo kan? Ma orang lain biasa-biasa aja?” Tanya Ari balik.
Aku diam tak menjawab. Iya juga kan? Sikap Zaki normal-normal aja ma yang laen. Hanya padaku saja sepertinya dia memiliki dendam kesumat, “Apa nggak bisa semuanya dibicarakan dengan baik-baik saja?” gumamku pelan.
“Kalo bisa, dia gak akan marah-marah seperti itu, Gha. Itu lebih karena dia bingung dan gak tahu mesti gimana lagi, makanya kelakuannya jadi primitive seperti itu. Kalo emang dia bisa menyelesaikan semuanya dengan baik-baik, gue rasa Zaki pasti udah pasti melakukannya. Tapi karena dia gak tau en bingung, ya gitu. Emang dia udah tahu kalo lo suka dia? Lo udah nembak dia?”
Aku terhenyak kaget dan cuma melihat Ari yang kini melihatku dengan tatapan santai, seolah-olah dia baru saja membahas harga cabe dipasar. Mulutku yang ternganga tak bisa mengeluarkan kata-kata.
“Udah ya?” tanya Ari lagi, sama kalemnya ma tadi.
“Gimana lo…. Apa yang…. Si-siapa yang…..” Demi Tuhan aku tak tahu harus mengatakan apa.
“Cuma orang bego en gak pernah jatuh cinta yang gak bisa mengerti bagaimana cara kalian berinteraksi, cara kalian saling bereaksi, dan juga cara lo ngeliatin dia,” jelas Ari.
“Ta-tapi….”
“Sulit kan buat dipahami dan dimengerti? Mungkin itu yang dia rasain, Gha. Bagi lo mungkin mudah, karena lo punya Regi dan Vivi yang bisa bimbing. Tapi Zaki……….dia sendiri. Buat memahami hal seperti ini, apalagi mengakui, bukan hal gampang. Karena selama ini dia sudah terbiasa menjadi cowok normal. Apalgi dengan kualitas dan pengalamannya bersama beberapa cewek di kampus. Gue bisa ngerti itu karena gue juga dulu ngalamin sendiri. Gue gak tau musti cerita ke siapa, pergi kemana atau harus ngapain. Alvian juga. Lo udah tahu juga kan ceritanya. Dia mungkin gak ngamuk-ngamuk kaya Zaki. Dia mencoba menyelesaikannya dengan minum.”
“Tapi Ar, gu-gue….”
Kalimatku terpotong saat ponselku berdering. Saking leganya mendapat interupsi itu, aku langsung mengangkat tanpa melihat siapa yang menghubungiku, “Ya, halo?”
Aku mendengar suara Anna yang menghubungiku dengan panik. Penjelasan yang dia sampaikan dengan suara tersedu itu membuat duniaku seolah-olah berhenti. Seakan-akan ada seseorang yang telah menekan tombol pause sehingga tak ada satupun yang bergerak. Begitu juga aliran darahku. Hawa dingin yang terasa hingga ke sumsum merambati tubuhku yang segera saja menggigil.
”Gha?!! Ada apa?” Tanya Ari dengan kening berkerut dalam.
Aku melihatnya dengan tatapan hampa, “Zaki….di rumah sakit. Over dosis!” hanya itu yang bisa ku katakana, karena kemudian segalanya gelap.

RIZKY

“Ada apa?” Tanya Ferdy heran sembari melirik ke arahku. Aku yang sedari tadi memandanginya hanya mengangkat bahu dan tersenyum. Sedari pulang dari Chideung beberapa hari yang lalu, aku tak pernah berhenti memikirkan kalimat-kalimat dari Pak Suratman.
Lucu memang bagaimana kita, kebanyakan manusia, begitu bersemangat dalam mengejar sebuah keinginan, obsesi yang sering hanya sebuah pepesan kosong, dan mengindahkan semua berkah dan kenikmatan yang kita miliki. Apa yang kita inginkan, seringkali bukanlah hal yang kita butuhkan. Jadi, mengapa kita tidak berusaha menghargai apa yang kita miliki saat ini?
Sejak beberapa hari ini pula aku diam-diam memperhatikan Ferdy. Secara fisik, dia sudah sangat-sangat menawan. Tubuhnya tinggi dan ramping. Berkulit putih bersih dengan wajah yang tidak bisa dikategorikan biasa. Dia memiliki kehalusan wajah jawa yang bisa dibilang ningrat. Dengan hidung bangir dan lurus, bibir tipis dan kemerahan serta lesung pipi yang tampak tiap kali dia tersenyum. Rambutnya yang lurus terpotong pendek dan selalu dalam keadaan rapid an diminyaki. Sikapnya pun ramah dan begitu menghargai pasien. Dia juga memiliki sesuatu dalam suaranya yang membuat para psien dan menurut. Gerak-geriknya halus dan khas orang Jawa Tengah. Bicaranya selalu diikuti oleh gerakan agak membungkuk, tanda menghormati mereka yang usianya lebih tua. Otaknyapun encer. Dan…..dia begitu menyukaiku.
Tak terhitung lagi berapa kali aku menyakitinya. Disengaja ataupun tidak. Tapi dia nyaris selalu memberiku senyuman. Dia bahkan merelakan dirinya menjadi saran kemarahan orang tuanya, karena aku memintanya memutuskan pertunangannya dengan Shella. Bila aku berada dalam posisinya, mungkin aku akan langsung melarikan diri. Mana mau aku menjadi bulan-bulanan seperti itu?
Tapi bukankah kau sudah menjadi bahan bulan-bulanan seseorang selama ini, Ky?
Batinku berbisik, seolah-olah sengaja mengejekku. Aku mengepalkan jari-jariku dengan kuat. Berusaha dengan cepat mengenyahkan pikiran yang melintas tadi.
Saat ini kami sedang mengerjakan laporan bulanan kami di kontrakan Ferdy. Aku sudah menyelesaikan laporanku beberapa saat tadi. Tapi Ferdy masih berkutat dengan miliknya. Perfeksionis, pikirku. Pasti dia kembali melakukan crosscheck pada laporannya. Entah untuk ke berapa kalinya.
“Apaan sih?” Tanya Ferdy sembari kembali melirikku.
Aku tertawa kecil, “Untuk keberapa kalinya kau memeriksa laporan itu?”
Ferdy hanya mendengus pelan, “Aku Cuma gak pengen ada yang salah,” jawabnya acuh.
Aku hanya tersenyum geli dan bangkit, “Aku haus. Jus jeruknya masih ada?” tanyaku lagi dan bangkit. Ferdy tak mengalihkan tatapannya dari screen laptop, hanya mengangguk dan menggumamkan kata kulkas dengan pelan. Aku segera ke dapur dan membuka kulkas. Mataku langsung tertumbuk pada sebuah kotak plastic yang berisi beberapa buah strawberry yang masih tersisa dari wisata kebun kami kemarin. Aku tersenyum dan meraihnya.
Entah memang benar atau tidak buah ini meningkatkan libido seseorang, kami hampir tiap hari bercinta sepulang dari kerja, sebelum aku balik ke rumahku. Aku lalu menyambar dua botol jus jeruk dan menutup pintu kulkas. Saat aku kembali, Ferdy masih konsen dengan laporannya.
“Kamu mau jus jeruk?’ tanyaku yang berhenti dibelakangnya. Kuletakkan jus jeruk tadi disebelah laptopnya. Ferdy kembali menyahutiku dengan gumaman pelan. Aku tersenyum dan perlahan aku melingkarkan tangan kananku diperutnya dan menyurukkan wajahku diantara leher dan bahunya.
“Kenapa kau tak istirahat sejenak dan menikmati ini?” bisikku menggoda sembari meletakkan sekotak buah strawberry itu di meja, “Seseorang mengatakan padaku kalo buah ini bagus untuk libido seseorang.”
Ferdy yang melihatnya tergelak, “Mungkin orang itu salah,” sahutnya dan kembali memeriksa laporannya.
“Oh, ayolah…” rayuku dan kini melingkarkan kedua tanganku dipinggangnya. Dia saat itu sedang duduk dikursi tanpa sandaran sehingga aku bisa dengan bebas menarik tubuhnya untuk mendekat padaku yang berada dibelakangnya.
“Ky…aku harus kelarin laporan ini dulu,” gerutunya dan berusaha melepaskan diri, tapi aku menahannya dengan kuat.
“Aku yakin kalau laporan itu sudah selesai sejak setengah jam tadi. Kau saja yang senang menyiksa diri. Kau tahu kalau aku orang yang egois. Dan aku tak suka kalau pacarku tidak mengacuhkanku,” ujarku santai sembari meletakkan daguku diatas kepalanya. Aku bisa merasakan tubuh Ferdy yang ada dalam pelukanku menegang.
“Pacar?” gumam Ferdy pelan.
Aku tersenyum dan membiarkannya lepas dari pelukanku. Ferdy berbalik dan menatapku dengan pandangan kaget. Aku mengangguk untuk meyakinkannya, “Aku sudah cape. Kamu yang selalu ada disisiku selama ini. seperti kata pak Suratman, mungkin sudah waktunya aku untuk lebih menghargai apa yang sudah aku miliki,” kataku dan mengulurkan tangan untuk kembali merengkuhnya. Mendekapnya ke dalam pelukanku dan kemudian mencium sisi wajahnya, “Terimakasih sudah bertahan. Aku beruntung memilikimu…” bisikku pelan.
Ferdy menarik sedikit wajahnya agar bisa melihatku. Matanya yang sedikit berkaca kini menatapku haru. Kelihatan sekali dia berusaha untuk mengatakan sesuatu, tapi tak bisa.
Aku tersenyum dan mendekatkan wajahku. Mencium bibirnya dan memberikan sebuah kuluman lembut yang dalam, “Banyak yang harus ku bayar padamu. Tapi………kau tahu kalau aku masih perlu untuk belajar menghargai apa yang aku miliki. Maaf kalau selama ini aku tak pernah melakukan ini,” bisikku dan meraih wajahnya dan kembali mencium bibirnya.
Kali ini Ferdy bereaksi dan mengecupku. Tangannya bergerak mengusap kepala dan masuk diantara helai rambutku dan menekan wajahku. Memperdalam ciuman kami. Aku meraih pinggang Ferdy dan mengangkatnya. Membiarkannya melingkarkan kedua kakinya padaku, dan membawanya menuju kamar tidur.
Kami bercinta dengan lembut dan perlahan. Menjelajahi setiap jengkal tubuh kami. Memainkan semua bagian tubuh yang kami temukan. Mengeksplor segala kemungkinan untuk menyenangkan masing-masing dari kami. Menyatukan kami dalam sebuah gerakan slow motion yang lembut dan menggairahkan. Membangun kenikmatan dari titik terbawah, hingga akhirnya semua meledak dan kami terbaring lemas dengan tubuh yang masih menyatu.

Deringan ponsel itu memaksaku membuka mataku yang berat. Dengan mata setengah terpejam aku meraba-raba untuk menemukan ponselku yang sepertinya ada dibawah ranjang. Aku menemukannya setelah beberapa saat, “Ha-haloo..” kataku dengan sura berat.
“Ma-mas Rizky. Bi-bisa tolong Egha? Egha ada di rumah sakit..”
Suara Regha yang terdengar kalut dan dibalut tangis itu sontan membuat mataku yang ngantuk nyalang terbuka. Aku bangkit dari tidurku, “Egha?” tanyaku kaget. Aku lalu berpaling pada Ferdy yang juga telah bangun dan memandangku dengan tatapan aneh.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar