ZAKI
Aku tahu kalau aku
seharusnya merasa lega. Regha tak menuntut apapun dariku. Dia tidak
mengungkapkan perasaannya ataupun menunjukkan perasaanya itu melalui sikap. Dia
justru berusaha terlihat dan bersikap normal. Meski dia jelas menahan diri. Dia
berusaha untuk tidak berada dalam satu ruang denganku terlalu lama. Berusaha berbicara denganku hanya seperlunya. Di kampus aku nyaris tidak pernah
melihatnya. Bahkan saat kami berangkat bersama ke Panti, dia selalu menyibukkan
diri. Meski aku sudah membawa sopir dan dia bersamaku di kursi belakang, dia
akan selalu melakukan sesuatu. Entah memeriksa berkas, mendengarkan mp3,
mengetik sesuatu di laptopnya, ataupun bermain dengan hapenya. Seharusnya aku
merasa tenang kan?
Tapi, tidak! Aku
justru merasa dijauhi dan tidak tenang. Beberapa kali aku mendpati diriku
mencoba untuk menarik perhatiannya. Mengajaknya ngobrol tentang pekerjaan atau
yang lainya. Dia akan menjawabnya dengan singkat dan cepat. Dan, begitu sudah
tak ada lagi yang aku bicarakan, dia akan segera berlalu pergi.
UGH!!!!
Kami jadi lebih
mirip seperti pasangan yang sedang piring dingin.
Akhirnya aku
menyerah. Aku mencoba mengalihkan perhatianku pada Anna. Dia sedikit bisa
menemaniku. Dan hari
ini, dia kembali menginap dirumahku setelah kami
berpesta semalaman yang dilanjutkan dengan pesta panas pribadi kami di kamar.
Aku harus mengatakan
kalau dia adalah partner bercinta yang menakjubkan. Anna tahu bagaimana
memuaskan pasangannnya. Dia bisa melakukan hal-hal yang aku kira tak akan
pernah mau dilakukan oleh seorang cewek. Kreatifitasnya dalam bercinta hampir membuatku mengangkat alis. Begitu mengagumkan bagaimana dia bisa
menemukan hal-hal berguna yang bisa dilakukan dan dijelajahi dari tubuh seorang
pria. Dan bersamanya, aku bisa mendapat sedikit ketenangan. Pagi ini aku
kembali bangun dengan tubuh lemas dan lelah.
Aku turun ke bawah
tanpa mandi terlebih dulu karena jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Regha
pasti sudah menungguku diruang kerja. Dan benar saja, dia sudah tampak mengetik
sesuatu di laptopnya saat aku membuka pintunya.
“Aku sarapan dulu,”
kataku lemas. Regha mengangkat wajahnya dan melihatku dengan tatapan tak suka.
Ahh, persetan! Dia tahu kalau aku mengencani Anna. Lagipula dia sudah bisa
menerimanya kan?
“Ada beberapa berkas
yang harus kau periksa dan tanda tangani,” katanya seraya kembali memalingkan
wajahnya ke screen. Tidak bisakah dia menatap wajahku sedikit lebih lama dari
itu? pikirku kesal.
“Bawa ke ruang
makan,” sahutku pendek dan melangkah mendahuluinya. Di ruang makan ternyata
sudah ada Anna yang menungguku. Dengan hanya mengenakan piyama dengan belahan
dada rendah, dia duduk sembari mengoleskan mentega di roti panggangnya.
“Kau mau?” tawarnya.
Aku hanya mengangguk sembari duduk lesu dihadapannya. Kusambar gelas susu
didepanku dan menandaskannya. Tak berapa lama Regha muncul. Semula dia tampak
ragu saat dia melihat Anna.
“Hai, Regha.
Sarapan?” tawar Anna.
Regha hanya
menggeleng, “Te-terimakasih. Aku sudah tadi,” jawabnya dan mengangguk kikuk.
Aku hanya mendengus dan memberinya isyarat untuk duduk.
“Mana berkasku?”
tanyaku langsung. Regha mendekat dan duduk dalam jarak dua kursi dariku. Apa
dia akan tertular penyakit kalau duduk disebelahku? Pikirku kesal. Aku lalu
meraih berkas yang dia sodorkan. Memeriksanya sembari melahap sandwich yang
tadi dibuat oleh Anna.
“Kalian akan ke
Panti?’ Tanya Anna.
“Yup!” jawabku,
sementara Regha mengangguk, “Biasanya kami sudah berangkat. Tapi kau semalam
kau membuatku kelelahan. Jadi kami terlambat,” sambungku lagi. Ku lihat
punggung Regha tiba-tiba saja menegang dan tegak. Aku hanya meliriknya sekilas.
Anna mengangkat sebelah
alisnya padaku, “Kau kelelahan?”
“Three times is
quite amazing, you know,” godaku dengan senyum simpul, “Lagipula siangnya aku
cukup banyak pekerjaan. Jadi wajar saja kalau tadi malam menguras tenagaku. But
I can promise you, lain kali, kau yang akan kelelahan.”
“You do know that we
have a company now, don’t you?” tukas Anna dengan kening berkerut.
Aku megibaskan
tangan sembari mengunyah rotiku, “Please, Regha tak akan tertarik dengan
hubungan kita. Dia menyukai hal lain,’ selorohku singkat, sedikit tertawa kecil
saat Regha kembali menegang.
Anna tak mengatakan
apa-apa lagi dan melanjutkan makannya seolah-olah tak mendengar apapun. Regha
juga tak mengatakan apa-apa. Dia diam disana sembari menyibukkan diri dengan
berkas-berkas yang telah aku periksa dan tanda tangani, meski aku tahu dia
sudah melakukannya tadi. Baru saat kami melaju dijalanan dia mengajukan ketidak
sukaannya.
“Kau tak harus
mengatakannya kan?” tegurnya singkat.
“Soal apa?” tanyaku
acuh sembari memainkan ponselku.
“Hal yang kau katakan
tadi pada Anna tentangku,” sahutnya lagi.
Aku menoleh dengan
sebelah alis terangkat, “Memang apa yang ku katakan? Bahwa kau gay dan
menyukaiku? Tidak kan?”
Aku tahu kalau aku
mungkin sudah keterlaluan dan melewati batas. Wajah Regha terhenyak dan
memucat. Dia melirik pada Pak Adam yang aku yakin mendengar kami dengan jelas
karena dia melirik dari spion mobil. Punggung Regha kembali menegak. Tapi aku
hanya menatapnya dengan mulut tersenyum mengejek. Well, setidaknya aku mendapat
sedikit reaksi darinya, pikirku.
“Ada apa denganmu?”
desisnya pelan.
Aku memutar bola
mata, “Well, I didn’t say the words, did I? Aku hanya mengatakan bahwa kau
menyukai hal lain. I said nothing about sex. Kau sudah tahu bahwa kita memiliki
pandangan yang berbeda akan hal itu. Kau sudah menegaskannya beberapa waktu
yang lalu,” sahutku santai.
“What the hell is
wrong with you?” desis Regha lagi, “Haruskah kau mengatakan tentang itu
sekarang?”
“Excuse me, bukan
aku yang memulainya bukan? Kau yang bertanya, aku hanya mencoba menjawab.Kenapa
kau marah?”
“Aku kira kau cukup
terpelajar dengan mengatakan sesuatu itu dalam bahasa yang layak. Kita tidak
sendirian sekarang kan?”
“Look, kalau kau tak
suka akan jawban yang mungkin akan kau dengar, lebih baik kau tak usah
bertanya, ok?” selorohku kesal.
Regha menatapku
geram. Ku kira dia akan meledak dan memberiku alasan lain untuk memancingnya,
tapi Regha hanya menarik nafas dan kemudian bersandar dengan mata lurus ke
depan. Aku hanya mengangkat bahu acuh dan kemudian meneruskan bermain dengan
ponsel tanpa menoleh lagi padanya. Berusaha menyembunyikan kedua tanganku yang
sedikit gemetar.
Aku tak tahu apa
yang sebenarnya terjadi, tapi rasa-rasanya aku memang harus melakukannya. Aku
harus bersikap seperti ini. Karena kalau aku tidak begini, kalau aku bersikap
lembut padanya, aku akan….
Aku mendengus keras!
Mengenyahkan pikiran sinting yang mulai membayang dibenakku!
Dan itu berlaku pada
beberapa hari kedepannya. Setiap melihat Regha, rasa-rasanya aku harus terus
marah. Mempermasalahkan hal-hal sepele yang sebenarnya tak perlu membuatku
meledak. Mengeluarkan kata-kata kasar yang bahkan membuatku bergidik
sesudahnya. Menyuruhnya melakukan hal-hal yang sebenarnya tak perlu, dan
mencela setelah hasilnya hanya berbeda sedikit dengan apa yang ku inginkan.
Aku benar-benar
kesal hanya dengan memandangnya saja. Ada saat-saat dimana aku ingin meraihnya,
mengguncang-guncang-tubuhnya, hanya agar dia balas marah dan meledak. Berharap
kalau dia akan mengkonfrontasiku. Berharap agar dia marah dan pada akhirnya
akan membuat kami bertengkar hebat. Atau mungkin……..berkelahi. Membiarkannya
melayangkan bogem padaku. Sepertinya akan sangat melegakan kalau itu terjadi.
Tapi tidak! Bocah
sial itu seakan-akan memiliki kesabaran seorang santo! Dia menerima semua
perlakuanku dengan diam dan nyaris tanpa ekspresi. Dia menelan begitu saja
semua sikapku yang kasar dan bahkan bagiku sendiri, sangat menjengkelkan. Aku yang
justru makin lama makin kesal! Sial!!
Hampir setiap hari
aku harus selalu mengingat bagaimana kasarnya sikapku. Bagaimana buruknya aku
memperlakukannya. Dan bagaimana dengan heningnya, dia menerima semuanya.
Aku….kesal! Aku tak tahan. Seakan-akan aku terus menerus, perlahan-lahan justru
membuat diriku sendiri terluka. Nyaris gila rasanya. Aku ingin sebentar saja
mengenyahkannya dari benakku. Untuk sejenak saja, aku ingin berada dalam
keadaan yang tenang, damai dan rileks. Tidak selalu dikejar bayangan dosa dan
perbuatanku sendiri.
TAPI AKU TAK
BISA!!!!
Seakan-akan ada yang
sengaja menyiksaku. Seakan-akan ada orang yang dengan sengaja meletakkan
rekaman apa yang telah aku lakukan dan bagaimana wajah Regha. Persis didepan
mukaku. Pernah dengan nekat aku menghabiskan sebotol anggur yang kuambil dari
tempat penyimpanan sendiri, Hasilnya, pagi sesudahnya kepalaku serasa terbelah
dua. Untuk beberapa jam aku hanya diam ditempat tidur. Dan selama aku berbaring
itu, mencoba memulihkan hang overku, bayangan Regha kembali bermain dengan
kejamnya dibenakku. DAMN!!!!!
“Kenapa kita tidak
ke club?!” saran Anna yang malam ini berkunjung ke rumah, “Sepertinya kau butuh
sedikit suasana baru. Kau sadar kalau kau terlihat super kacau kan?” celanya
dan melenggang masuk kekamarku, melewatiku yang tadi membuka pintu dan hanya
diam memandangnya.
“Club? Yang pernah
kita kunjungi dulu itu?” tanyaku. Teringat akan club yang menyajikan stripper
pria dan wanita dulu itu.
“Yeah! Mungkin suara
hingar binger disana akan membuatmu lebih baik. Plus, we can dance and drink,
all night!”
“Good idea! I’ll get
shower first!” pamitku dan langsung ke kamar mandi. Menghabiskan malam ini
ditengah dentuman musik keras, minuman serta kerumunan orang banyak sepertinya
akan menjadi solusi yang bagus. Karena itu, dalam beberapa menit kemudian, kami
sudah melaju untuk menuju tempat itu.
Dentuman suara musik
yang menyambut kami sempat membuatku mengernyitkan dahi. Suasana remang-remang,
kilatan lampu dan tubuh-tubuh telanjang yang menari dalam sangkar-sangkar yang
bertebaran di beberapa tempat, seakan-akan mengucapkan selamat datang. Tanpa
dapat ditahan, aku mengulas senyum. Mungkin hingar bingar seperti ini yang aku
butuhkan.
“Kita minum dulu,”
ajakku pada Anna yang hanya tersenyum dan menarik tangan kananku. Seperti
biasanya, Anna yang sudah dikenal disana disapa oleh bartender kenalannya. Kali
ini yang melayani kami bernama Danny.
“Gin and tonic,”
pesanku sedikit mengeraskan suara.
“Bagaimana?” tanya
Anna yang duduk sembari menggerakkan kepalanya disebelahku.
Aku hanya tersenyum
mendengarnya dan menyesap minumanku yang telah datang, “Lumayan. Mungkin aku
memang but…..” aku yang sudah merasa sedikit baik langsung tercenung saat
kulihat kelebatan tubuh Regha yang sangat ku kenal melintas. Tak mungkin dia
ada disini, pikirku dan mengejar orang tadi cepat, “WHAT THE HECK ARE YOU DOING
IN HERE?!!” bentakku keras dan menyambar tangannya.
“HEY??!!” pemuda itu mengibaskan tangannya dari
genggamanku dengan kesal. Wajahnya yang semula kaget langsung berupa geram. Dan
aku sama sekali tak mengenalnya.
“Sorry,” gumamku
cepat dan segera berbalik, kembali ke Anna dengan kesal.
“Siapa?” Tanya Anna
heran begitu aku kembali.
“Nobody,” gumamku
dan langsung kembali menyambar gelas minumanku dan menandaskannya. Ku beri
Danny kode untuk mengisinya kembali.
“Dia mirip Regha
sekilas,” ujar Anna yang hanya ku jawab dengan dengusan keras. That’s what I
thought.
“Kau punya
multivitamin yang biasa?” tanyaku membuat Anna mengangkat sebelah alis. Dia
tidak menjawab tapi langsung menarik keluar sebuah tabung obat yang isinya
masih cukup banyak.
Aku menyambarnya dan
mengambil dua buah pil dan menelannya, “Let’s dance!” ajakku dan menarik
tangannya. Anna menurut setelah terlebih dahulu menitipkan tasnya. Dan kamipun
menari dengan iringan music elektronik yang menghentak. Kucoba menepiskan
bayangan-bayangan kacau yang melintas. Pil-pil tadi cukup membantuku. Kepalaku
mulai terasa ringan, apalagi ditambah beberapa gelas minuman yang terus
kupesan. Suara-suara berisik disekelilingku mulai terasa kacau. Orang-orang
disekeliling kami yang tadinya kulihat bergoyang dengan gerakan dinamis seiring
dengan music, kini menjadi pelan, seakan-akan ada orang yang mulai menekan
tombol slow. Aku tertawa keras dan memejamkan mata. Kami semua seperti bergerak
dalam air.
Aku tertawa, tapi
itupun hanya sebentar. Aku kembali melihat sosok Regha yang kini berdiri
disebelah bar tempatku duduk tadi. Dia melihatku dengan tatapan tak suka dan
nyaris marah. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Meyakinkan diri bahwa itu
memang sosoknya dan bukan bayanganku saja.
Sosok itu masih ada
disana. Masih menatap tajam. Bahkan kini sepasang mata itu mencorong dan senyum
mengejek tersungging di bibirnya.
Aku mendengus keras
dan segera menghampirinya tanpa memperdulikan panggilan Anna. Dan begitu sampai
didekat bar, tiba-tiba sosok itu hilang. Lenyap tak berbekas. Aku memandang
berkeliling, mencarinya yang mungkin sedang melarikan diri.
Nihil! Aku bahkan
tak bisa melihat dengan jelas. Gerakan-gerakan orang disekelilingku makin
terlihat kacau. Bahkan bayangannyapun tak terlihat. Tapi mata itu…. Tatapannya
yang menusuk itu terus membayang dengan begitu jelasnya.
“Fuck!!!” umpatku
kesal dan duduk. Aku lalu meminta Danny untuk memberikan tas Anna tadi. Aku
kembali mencari tabung obat itu dan mengambil beberapa butir pil, kemudian
langsung menelannya.
Aku tak ingat jelas
apa yang terjadi selanjutnya.
Yang jelas aku
merasakan panas dan sesak didadaku yang kemudian merambat naik dan terasa
mencekik dileherku. Bayang-bayang orang yang bergerak dengan aneh dan
suara-suara tak jelas disekelilingku kemudian lenyap mendadak. Digantikan
dengan gempa bumi yang begitu keras dan mengguncang-guncang tubuhku dengan
hebatnya.
Dan kemudian, hitam!
REGHA
Aku menghempaskan
tubuhku ke kasur busaku yang sudah sangat tipis, dan membuatku mengumpat pelan
saat kepalaku membentur lantai dengan suara yang sedikit keras. Benar-benar
menyebalkan! Beberapa waktu terakhir, sepertinya Zaki hendak kembali
mengibarkan bendera perang padaku. Tingkahnya seakan-akan dilakukan dengan
sengaja untuk memancing kemarahanku. Sikapnya berubah 180 derajat dibandingkan
saat kami berada di Majalengka.
Aku tak ingat dan
juga tak tahu apa yang menjadi pemicunya. Seingatku semua berjalan dengan
baik-baik saja. Malah boleh dibilang, aku super ekstra hati-hati dalam bersikap
padanya. Aku bahkan tak sanggup untuk beradu pandang dengannya. Apalagi kini,
saat dia dengan jelas tahu bagaimana perasaanku padanya.
Saat kami dalam
perjalanan kembali ke Bandung dari Majalengkapun, sikapnya masih baik. Aku yang
waktu itu hanya mampu duduk diam dengan pandangan lurus disebelahnya sebenarnya
sangat tidak tenang. Aku harus menahan diri kuat-kuat, namun toh tetap
kecolongan. Beberapa kali, saat dia tidak melihat, aku mencuri pandang padanya.
Memperhatikan semua detil dari sosoknya. Mencoba kembali meyakinkan diri bahwa
aku……jatuh hati padanya. Aku seakan-akan melihat sosok Zaki dari sebuah sudut
baru yang sebelumnya tidak aku sadari.
Dia
terlihat…..bercahaya, menyilaukan. Melihatnya seakan-akan melihat mentari
disiang hari yang terik. Tidak mampu kutahan dengan kemampuan mataku yang
terbatas. Aku mahfum, kalau tak akan ada yang terjadi diantara kami berdua.
Zaki sudah menjelaskannya. Tapi itu kan tidak berarti kalau aku tak bisa mencintainya.
Aku bebas mencintai seseorang kan? Dan Zaki juga memiliki kebebasan untuk
mencintai siapapun yang dia inginkan. Aku tak mengharapkan kalau dia akan
membalas perasaanku.
Aku memutuskan untuk
menikmati saja indahnya perasaanku, hingga suatu saat nanti, perasaan ini akan
layu dan berlalu. Aku hanya akan berdiri tak bergerak disebuah sudut,
memperhatikannya dalam diam.
Itu niatku semula.
Tapi……Zaki nyaris membuatnya mustahil.
Tiba-tiba saja dia
mulai bersikap aneh. Dimulai saat aku ke rumahnya, dimana kudapati dia kembali
bersama Anna. Jelas hubungan apapun yang mereka miliki, masih terus berlanjut.
Friends with benefit atau apapun itu. Waktu itu aku hanya menatap dengan tidak
senang, karena aku tahu kalau aku tak memiliki hak apapun untuk melarangnya.
Sayang sekali kalau melihat mereka berdua yang memiliki semua kelebihan, baik
secara fisik dan intelektual, membiarkan birahi menguasai diri mereka, pikirku.
Sikap Zaki
berikutnya yang kemudian mengagetkanku. Dia seakan-akan menantangku untuk
memberontak. Seakan-akan sengaja memamerkan perbuatannya.
Dan hari-hari
setelah itu……tingkahnya semakin menjadi! Tak ada satupun tindakanku yang bisa
menyenangkannya. Tak ada satupun tugasku yang beres dimatanya. Aku harus selalu
berhati-hati dan memeriksa apapun yang akan dan telah aku lakukan, lebih dari
sekali. Tapi……tetap saja. Aku bagai melangkah diatas kaca retak. Zaki
sepertinya sedang menguji kesabaranku.
Bila kata-katanya
sudah keterlaluan, biasanya aku hanya akan diam, menunduk, dan menarik nafas
panjang. Saat sudah tenang, aku akan mengangkat wajah dan menatapnya datar. Aku
tahu, kalau aku ikut-ikutan terpancing, masalahnya akan jadi runyam. Aku ikhlas
menerima apapun yang dia lakukan. Bukan hanya karena aku jatuh cinta padanya,
tetapi aku juga berhutang banyak padanya.
Meski ada saat-saat
dimana aku ingin balas teriak padanya. Mengatakan bahwa dia sudah sinting dan
keterlaluan. Namun entah kenapa, aku selalu kembali menelan kemarahanku.
Membuangnya jauh-jauh dan mengingat semua hal baik yang pernah dia lakukan
padaku, juga keluargaku. Mengingat bahwa semua hal yang pernah dia lakukan
padaku, meski itu tak sejalan dengan pikiranku, semua ditujukan untuk
kepentinganku. Kebaikanku. Sekonyol apapun hal itu, aku berusaha menekankan hal
itu dibatinku.
Tapi……. kemarin aku
nyaris kehilangan kendali saat Zaki meledak dikantor. Aku selama ini menguatkan
diri untuk menerima semua luapan kemarahannya. Karena Zaki tak pernah melakukan
hal itu saat ada orang lain. Tapi kemarin, aku tanpa sengaja menumpahkan
segelas kopi panas kebagian depan jasnya. Salahku sebenarnya. Seperti biasa,
aku membawa kopi yang baru kubuat dari pantry itu ke mejaku dengan kepala
tertunduk. Berusaha untuk menghilang dalam setting kantor, berharap agar Zaki
tak melihatku. Sialnya, waktu itu Zaki keluar dari ruangannya dan nyelonong
untuk ke pantry. Semua terjadi begitu cepat. Tahu-tahu, nyaris semua kopi panas
yang ada digelas yang kupegang, pindah ke bagian depan kemejanya.
Zaki meledak!
Dia mengeluarkan
makian dan umpatan kasar yang bahkan mungkin akan membuat seorang sopir truk
malu. Meski kebanyakan dalam bahasa Inggris. Dia meneriakkan tentang
kecerobohanku, dan bagaimana mahalnya baju yang dia pakai. Bahwa bahkan bila
gajiku dijumlahkan dalam setahun, aku masih tak akan mampu mengganti baju yang
dia pakai.
Dan dia melakukannya
didepan segenap staff kantor yang saat itu lengkap berada di ruangan.
Aku menunduk dalam
dengan wajah yang terasa begitu panas dan menggumamkan kata maaf dan
mati-matian menahan tangis. Baru kali itu aku merasa dipermalukan. Kalau kami
hanya berdua, aku masih bisa tahan. Tapi didepan banyak orang seperti ini…….
itu lain ceritanya.
Saat aku kembali ke
mejaku, aku bisa merasakann tatapan iba beberapa teman sekantorku yang coba aku
acuhkan. Aku hanya menancapkan mataku pada layar komputerku. Mencoba
melanjutkan kembali perkerjaanku, meski kedua tanganku gemetar hebat.
Tadi aku
menceritakan kembali kejadian itu pada Vivi dan Regi. Untuk beberapa saat
lamanya mereka tak mampu berkomentar. Hanya diam dengan pandangan datar.
“Lo………pasti gak akan
percaya kalo gue bilang Zaki begitu karena dia bingung, gimana ngehadapin elu
kan?” Tanya Vivi pelan.
Aku mendengus keras.
“Gha…..” desah Regi
pelan, “Zaki adalah seorang cowok yang memiliki harga diri yang tinggi. Dia
cowok dalam artian yang sebenarnya. Dia di didik untuk menjadi seorang
pemimpin. Seorang alpha. Dan dia tak terbiasa berada dalam sebuah tekanan yang
tak bisa dia pahami. Dia tidak terbiasa berada dalam situasi yang membingungkan
dan meresahkannya. Dia orang yang selalu menjadi pusat perhatian. Orang yang
selalu bisa menguasai keadaan. Tapi dihadapan lo…….dia kalah, bingung dan
resah!”
Aku mendengus lebih
keras daripada tadi.
“Itu benar, Gha,”
sambung Vivi, “Dia………terintimidasi oleh keberadaan lo. Dia bingung, resah dan
mungkin takut akan elo. Cowok emang seperti itu. Saat mereka tak bisa memahami
atau mengendalikan situasi, mereka akan kembali ke insting primitive mereka.
Defensif dan marah. Itu nggak berarti dia benci elo, Gha. Itu justru
menunjukkan kalo keberadaan lo, menimbulkan efek khusus dalam dirinya.”
“Untuk menjadi
seorang pembunuh?” serobotku kesal.
Kembali Regi
mendesah pelan, “Terserah kalo lo emang ga percaya. Tapi setiap orang emang
memiliki cara sendiri dalam menghadapi masalah. Dan rata-rata cowok emang
begitu. Kalo mentok, mereka biasanya mengungkapkan rasa frustasinya dengan
marah. Ada juga kok yang minum-minum, ngedrugs dan bahkan dengan sex.”
Aku berjegit
mendengarnya, “Lu tuh kadang bisa nyeremin juga ya?” gerutuku kesal.
“Zaki juga bilang
gitu,” komentarnya sembari mengangkat bahunya acuh.
Aku hanya
menggelengkan kepalaku dan diam. Membiarkan apa yang mereka berdua katakan tadi
mengendap diotakku. Dan kembali, aku hanya bisa menarik nafas panjang tanpa
mampu memutuskan. Mana yang benar dan tidak. Apa emang, Zaki harus marah
seperti itu hanya karena dia bingung bagaimana menghadapiku? Aku toh hanya diam
saja selama ini. Aku tak pernah melakukan sesuatu diluar batas. Aku malah
berhati-hati dalam bersikap. Sangat berhati-hati malah. Hanya pada saat dia tak
melihatku, terkadang aku membiarkan diriku menatapnya dengan intens and maybe……with
a little bit dreamy eyes. Tapi tak pernah saat berhadapan langsung dengannya.
Sudah kuputuskan untuk membiarkan perasaanku padanya menjadi sebuah fase, yang
ku harap, akan segera berlalu.
Aku menghela nafas.
“Gha?”
Panggilan pelan dari
Ari itu membuatku sedikit kaget dan segera bangun dari tdurku,”Ya, Ar. Masuk
aja. Nggak dikunci kok,” sahutku.
Pintu terbuka
perlahan, menampakkan Ari yang sejenak elongokkan kepalanya, “Lo lagi sendiri
kan? Ga ngumpetin cewek?”
“Gue ngumpetin cowok
kok. Namanya Alvian dan ada dikantong tas gue. Lo kenal?’ sahutku dengan senyum
manis.
“Eh? Lo doyan juga
ma Al? Ntar gua kasih tau dia deh. Kali aja kita bisa threesome,” sahutnya
girang dan masuk. Aku langsung misuh-misuh mendengarnya.
“Sarap! Ogah gua
jadi madu lo. Sengsara!” umpatku yang ia sahuti dengan tawa geli.
“Ya kali aja, Gha.
Kan lumayan buat variasi. Bosen berdua mulu!” selorohnya, nyengir.
“Gua aduin lu ke Mas
alvian ya?!”
“Rese lo, ah! Ntar
gua gak dikasih jatah tauk?! Eh, Gha. Lo ada contoh proposal buat penggalian
dana gak sih? Gue butuh nih.”
“Ada di lappy. Buat
apa Ar? Lagian udah mau jam 10 gini masih nyari-nyari proposal. Kurang kerjaan
amat! Mo bikin proposal ke camer emang?” tanyaku balik dan segera meraih
laptopku. Seingatku ada sebuah proposal buat panti yang file-nya masih
tersimpan disana. Sengaja tidak ku hapus buat sekedar contoh.
“Tugas,” sahutnya
singkat. Dia lalu menerima laptop yang aku ulurkan dan memeriksanya, “Keren
ya?” ujarnya dan memeriksa dokumen yang ku punya.
Aku mengangkat
alisku mendengarnya, “Apanya? Proposal gue? Iya dong. Siapa dulu yang bikin.
Regha!”
“Laptop Apple ini,
Dodol! Elo mah gak ada keren-kerennya. Loading lo aja kalah cepet ma computer
yang processornya intel 1,” gerutunya tanpa menoleh. Dengan kesal aku menabok
bahunya.
“Jurig siah!!”
Ari terkekeh,
“Serius nih, keren! Jadi iri! Elo yang kemaren-kemaren masih nebeng ma laptop
butut gue, sekarang lo malah pegang Apple gini. Ga ada lowongan lagi ditempat
lo gawe, Gha? Gua mau deh,” ujar Ari tanpa mengalihkan matanya dari layar.
“Jangan deh, Ar. Bos
gue galaknya bikin herder ngiri! Bisa TBC lu dalam hitungan bulan.”
“Zaki?” Tanya Ari
heran dan kini berpaling padaku.
Aku hanya mengangkat
bahu, “Akhir-akhir ini dia lebih cerewet daripada nenek nenek yang lagi datang
bulan. Ga tau kenapa. Udah kaya bini mudanya aja gue. Gak ada kerjaan gue yang
beres. Kalo gak inget semuanya, udah cabut gua,” gerutuku.
Ari tertawa kecil
dan kembali menatap screen, “Dia lagi ada masalah kali, Gha. Lo aja yang sabar
dulu. Kadang cowok tuh emang gitu. Kalo ada masalah yang gak bisa dia beresin,
ya ngamuk. Cewek mah nangis.”
Aku mendengus keras,
“Lo orang ke tiga yang ngomong gitu ke gue. Dan gue asli menolak mentah-mentah
teori itu. Karena gue yang jadi korban pelampiasannya. Gak asyik tahu, saban hari
jadi kaya sparing partner orang bertinju.”
“Itu karena
keberadaan lo yang mungkin membuatnya begitu,” sahut Ari santai. Aku yang
tadinya sedikit santai langsung menegang. Tubuhku kaku mendadak.
“Ma-maksud lo?”
tanyaku agak gugup. Ya Allah, jangan katakan kalau dia……
“Well, dia hanya
seneng ngamuk ke lo kan? Ma orang lain biasa-biasa aja?” Tanya Ari balik.
Aku diam tak
menjawab. Iya juga kan? Sikap Zaki normal-normal aja ma yang laen. Hanya padaku
saja sepertinya dia memiliki dendam kesumat, “Apa nggak bisa semuanya
dibicarakan dengan baik-baik saja?” gumamku pelan.
“Kalo bisa, dia gak
akan marah-marah seperti itu, Gha. Itu lebih karena dia bingung dan gak tahu
mesti gimana lagi, makanya kelakuannya jadi primitive seperti itu. Kalo emang
dia bisa menyelesaikan semuanya dengan baik-baik, gue rasa Zaki pasti udah
pasti melakukannya. Tapi karena dia gak tau en bingung, ya gitu. Emang dia udah
tahu kalo lo suka dia? Lo udah nembak dia?”
Aku terhenyak kaget
dan cuma melihat Ari yang kini melihatku dengan tatapan santai, seolah-olah dia
baru saja membahas harga cabe dipasar. Mulutku yang ternganga tak bisa
mengeluarkan kata-kata.
“Udah ya?” tanya Ari
lagi, sama kalemnya ma tadi.
“Gimana lo…. Apa
yang…. Si-siapa yang…..” Demi Tuhan aku tak tahu harus mengatakan apa.
“Cuma orang bego en
gak pernah jatuh cinta yang gak bisa mengerti bagaimana cara kalian
berinteraksi, cara kalian saling bereaksi, dan juga cara lo ngeliatin dia,”
jelas Ari.
“Ta-tapi….”
“Sulit kan buat
dipahami dan dimengerti? Mungkin itu yang dia rasain, Gha. Bagi lo mungkin
mudah, karena lo punya Regi dan Vivi yang bisa bimbing. Tapi Zaki……….dia
sendiri. Buat memahami hal seperti ini, apalagi mengakui, bukan hal gampang.
Karena selama ini dia sudah terbiasa menjadi cowok normal. Apalgi dengan kualitas
dan pengalamannya bersama beberapa cewek di kampus. Gue bisa ngerti itu karena
gue juga dulu ngalamin sendiri. Gue gak tau musti cerita ke siapa, pergi kemana
atau harus ngapain. Alvian juga. Lo udah tahu juga kan ceritanya. Dia mungkin
gak ngamuk-ngamuk kaya Zaki. Dia mencoba menyelesaikannya dengan minum.”
“Tapi Ar, gu-gue….”
Kalimatku terpotong
saat ponselku berdering. Saking leganya mendapat interupsi itu, aku langsung
mengangkat tanpa melihat siapa yang menghubungiku, “Ya, halo?”
Aku mendengar suara
Anna yang menghubungiku dengan panik. Penjelasan yang dia sampaikan dengan
suara tersedu itu membuat duniaku seolah-olah berhenti. Seakan-akan ada
seseorang yang telah menekan tombol pause sehingga tak ada satupun yang
bergerak. Begitu juga aliran darahku. Hawa dingin yang terasa hingga ke sumsum
merambati tubuhku yang segera saja menggigil.
”Gha?!! Ada apa?”
Tanya Ari dengan kening berkerut dalam.
Aku melihatnya
dengan tatapan hampa, “Zaki….di rumah sakit. Over dosis!” hanya itu yang bisa
ku katakana, karena kemudian segalanya gelap.
RIZKY
“Ada apa?” Tanya
Ferdy heran sembari melirik ke arahku. Aku yang sedari tadi memandanginya hanya
mengangkat bahu dan tersenyum. Sedari pulang dari Chideung beberapa hari yang
lalu, aku tak pernah berhenti memikirkan kalimat-kalimat dari Pak Suratman.
Lucu memang
bagaimana kita, kebanyakan manusia, begitu bersemangat dalam mengejar sebuah
keinginan, obsesi yang sering hanya sebuah pepesan kosong, dan mengindahkan
semua berkah dan kenikmatan yang kita miliki. Apa yang kita inginkan,
seringkali bukanlah hal yang kita butuhkan. Jadi, mengapa kita tidak berusaha
menghargai apa yang kita miliki saat ini?
Sejak beberapa hari
ini pula aku diam-diam memperhatikan Ferdy. Secara fisik, dia sudah
sangat-sangat menawan. Tubuhnya tinggi dan ramping. Berkulit putih bersih
dengan wajah yang tidak bisa dikategorikan biasa. Dia memiliki kehalusan wajah
jawa yang bisa dibilang ningrat. Dengan hidung bangir dan lurus, bibir tipis
dan kemerahan serta lesung pipi yang tampak tiap kali dia tersenyum. Rambutnya
yang lurus terpotong pendek dan selalu dalam keadaan rapid an diminyaki.
Sikapnya pun ramah dan begitu menghargai pasien. Dia juga memiliki sesuatu
dalam suaranya yang membuat para psien dan menurut. Gerak-geriknya halus dan
khas orang Jawa Tengah. Bicaranya selalu diikuti oleh gerakan agak membungkuk,
tanda menghormati mereka yang usianya lebih tua. Otaknyapun encer. Dan…..dia
begitu menyukaiku.
Tak terhitung lagi
berapa kali aku menyakitinya. Disengaja ataupun tidak. Tapi dia nyaris selalu
memberiku senyuman. Dia bahkan merelakan dirinya menjadi saran kemarahan orang
tuanya, karena aku memintanya memutuskan pertunangannya dengan Shella. Bila aku
berada dalam posisinya, mungkin aku akan langsung melarikan diri. Mana mau aku
menjadi bulan-bulanan seperti itu?
Tapi bukankah kau
sudah menjadi bahan bulan-bulanan seseorang selama ini, Ky?
Batinku berbisik,
seolah-olah sengaja mengejekku. Aku mengepalkan jari-jariku dengan kuat.
Berusaha dengan cepat mengenyahkan pikiran yang melintas tadi.
Saat ini kami sedang
mengerjakan laporan bulanan kami di kontrakan Ferdy. Aku sudah menyelesaikan
laporanku beberapa saat tadi. Tapi Ferdy masih berkutat dengan miliknya.
Perfeksionis, pikirku. Pasti dia kembali melakukan crosscheck pada laporannya.
Entah untuk ke berapa kalinya.
“Apaan sih?” Tanya
Ferdy sembari kembali melirikku.
Aku tertawa kecil,
“Untuk keberapa kalinya kau memeriksa laporan itu?”
Ferdy hanya
mendengus pelan, “Aku Cuma gak pengen ada yang salah,” jawabnya acuh.
Aku hanya tersenyum
geli dan bangkit, “Aku haus. Jus jeruknya masih ada?” tanyaku lagi dan bangkit.
Ferdy tak mengalihkan tatapannya dari screen laptop, hanya mengangguk dan
menggumamkan kata kulkas dengan pelan. Aku segera ke dapur dan membuka kulkas.
Mataku langsung tertumbuk pada sebuah kotak plastic yang berisi beberapa buah
strawberry yang masih tersisa dari wisata kebun kami kemarin. Aku tersenyum dan
meraihnya.
Entah memang benar
atau tidak buah ini meningkatkan libido seseorang, kami hampir tiap hari
bercinta sepulang dari kerja, sebelum aku balik ke rumahku. Aku lalu menyambar
dua botol jus jeruk dan menutup pintu kulkas. Saat aku kembali, Ferdy masih
konsen dengan laporannya.
“Kamu mau jus
jeruk?’ tanyaku yang berhenti dibelakangnya. Kuletakkan jus jeruk tadi
disebelah laptopnya. Ferdy kembali menyahutiku dengan gumaman pelan. Aku
tersenyum dan perlahan aku melingkarkan tangan kananku diperutnya dan
menyurukkan wajahku diantara leher dan bahunya.
“Kenapa kau tak
istirahat sejenak dan menikmati ini?” bisikku menggoda sembari meletakkan
sekotak buah strawberry itu di meja, “Seseorang mengatakan padaku kalo buah ini
bagus untuk libido seseorang.”
Ferdy yang
melihatnya tergelak, “Mungkin orang itu salah,” sahutnya dan kembali memeriksa
laporannya.
“Oh, ayolah…” rayuku
dan kini melingkarkan kedua tanganku dipinggangnya. Dia saat itu sedang duduk
dikursi tanpa sandaran sehingga aku bisa dengan bebas menarik tubuhnya untuk
mendekat padaku yang berada dibelakangnya.
“Ky…aku harus
kelarin laporan ini dulu,” gerutunya dan berusaha melepaskan diri, tapi aku
menahannya dengan kuat.
“Aku yakin kalau
laporan itu sudah selesai sejak setengah jam tadi. Kau saja yang senang
menyiksa diri. Kau tahu kalau aku orang yang egois. Dan aku tak suka kalau
pacarku tidak mengacuhkanku,” ujarku santai sembari meletakkan daguku diatas
kepalanya. Aku bisa merasakan tubuh Ferdy yang ada dalam pelukanku menegang.
“Pacar?” gumam Ferdy
pelan.
Aku tersenyum dan
membiarkannya lepas dari pelukanku. Ferdy berbalik dan menatapku dengan
pandangan kaget. Aku mengangguk untuk meyakinkannya, “Aku sudah cape. Kamu yang
selalu ada disisiku selama ini. seperti kata pak Suratman, mungkin sudah
waktunya aku untuk lebih menghargai apa yang sudah aku miliki,” kataku dan
mengulurkan tangan untuk kembali merengkuhnya. Mendekapnya ke dalam pelukanku
dan kemudian mencium sisi wajahnya, “Terimakasih sudah bertahan. Aku beruntung
memilikimu…” bisikku pelan.
Ferdy menarik
sedikit wajahnya agar bisa melihatku. Matanya yang sedikit berkaca kini
menatapku haru. Kelihatan sekali dia berusaha untuk mengatakan sesuatu, tapi
tak bisa.
Aku tersenyum dan
mendekatkan wajahku. Mencium bibirnya dan memberikan sebuah kuluman lembut yang
dalam, “Banyak yang harus ku bayar padamu. Tapi………kau tahu kalau aku masih
perlu untuk belajar menghargai apa yang aku miliki. Maaf kalau selama ini aku
tak pernah melakukan ini,” bisikku dan meraih wajahnya dan kembali mencium
bibirnya.
Kali ini Ferdy
bereaksi dan mengecupku. Tangannya bergerak mengusap kepala dan masuk diantara
helai rambutku dan menekan wajahku. Memperdalam ciuman kami. Aku meraih
pinggang Ferdy dan mengangkatnya. Membiarkannya melingkarkan kedua kakinya
padaku, dan membawanya menuju kamar tidur.
Kami bercinta dengan
lembut dan perlahan. Menjelajahi setiap jengkal tubuh kami. Memainkan semua
bagian tubuh yang kami temukan. Mengeksplor segala kemungkinan untuk
menyenangkan masing-masing dari kami. Menyatukan kami dalam sebuah gerakan slow
motion yang lembut dan menggairahkan. Membangun kenikmatan dari titik terbawah,
hingga akhirnya semua meledak dan kami terbaring lemas dengan tubuh yang masih
menyatu.
Deringan ponsel itu
memaksaku membuka mataku yang berat. Dengan mata setengah terpejam aku
meraba-raba untuk menemukan ponselku yang sepertinya ada dibawah ranjang. Aku
menemukannya setelah beberapa saat, “Ha-haloo..” kataku dengan sura berat.
“Ma-mas Rizky.
Bi-bisa tolong Egha? Egha ada di rumah sakit..”
Suara Regha yang
terdengar kalut dan dibalut tangis itu sontan membuat mataku yang ngantuk
nyalang terbuka. Aku bangkit dari tidurku, “Egha?” tanyaku kaget. Aku lalu
berpaling pada Ferdy yang juga telah bangun dan memandangku dengan tatapan
aneh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar