Translate

Jumat, 30 Januari 2015

MEMOIRS III (The Triangle) Aftermath Chapter 43 - Regha



REGHA

Orang bilang, pacaran itu enak, bikin ketagihan dan bikin lupa yang lainnya. Pacaran tuh bikin dunia serasa milik berdua, sementara orang lain cuma ngontrak! Tapi kalau aku ditanya, saat ini pacaran itu MEMBINGUNGKAN!!!
Mungkin kalau aku pacaran dengan Emma atau yang lain, semuanya akan menjadi lain. Aku sedikit tahu dan punya bayangan akan apa yang harus aku lakukan pada cewekku nantinya. Tapi……aku pacaran dengan Zaki yang boleh dibilang adalah sebuah enigma. Bagiku, dia juga seorang sosok, yang tak akan mungkin bisa memiliki hubungan dengan manusia seperti aku.
Yang pertama, dari fisik, dia sudah mendapat pengakuan dari berbagai kalangan. Kalo dibandingin denganku…..? Mungkin hanya butuh waktu satu detik bagi orang untuk memutuskan hasilnya, kalau dia harus memilih salah seorang dari kami.
Kedua, dia berasal dari kultur berbeda dengan aku. Dia tumbuh dengan pola pemikiran yang mungkin jauh lebih modern, liberal dan frontal. Aku tumbuh di Majalengka, yang boleh dibilang masih kental budaya ketimurannya. Dalam bergaul, kami yang hidup disana, masih memiliki norma dan batasan yang jelas. Aku tahu kalau hal itu berlaku bagi pasangan berbeda jenis, tapi kan tetap saja. Bagiku yang tumbuh dan besar dengan budaya timur, semua hal itu tetap berlaku.
Zaki memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dan lebih lengkap dibandingkan denganku. Aku sudah menjadi saksi hidup, bagaimana gaya berpacarannya. Sementara aku, ciuman baru sekali. Itupun dengan Zaki dan dalam situasi yang tidak kondusif. Waktu itu Zaki menciumku hanya untuk membungkam dan mengejekku. Aku benar-benar minim pengalaman. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tak mau kalau sampai Zaki berpikiran bahwa dia punya pacar seorang pengidap autis akut. Yang membawaku ke poin ke tiga.
Aku merasa bahwa kami berbeda kelas. Dan Zaki, menurutku, lebih pantas bersama dengan orang yang memiliki kualitas jauh lebih baik dariku. Semua hal yang menempel di tubuh Zaki meneriakkan kelas elit yang jelas. Cara dia bersikap, berpakaian, berbicara ataupun berjalan. Semuanya. Rasa-rasanya aku hanya menjadi upik abu konyol kalau bersanding dengannya. Seringkali aku merasa rendah diri. Bahkan, terselip rasa tak tak percaya bahwa kami benar-benar ‘bersama’.
Dan ternyata………….aku tidak sendiri dalam hal ini. Zaki sendiri juga jelas mendapatkan sedikit ‘kesulitan’ saat beradaptasi denganku. Contohnya saja kejadian pas dia main ke kostku.
Waktu itu Zaki memang memberiku kabar kalau dia akan maen dan kebetulan saja Regi dan Vivi juga lagi bareng disana untuk menyelesaikan artikel bulletin kampus. Kami berempat duduk santai di serambi kostan. Ngobrol dan sesekali bercanda.
Saat itu lewat Mas Bagus. Pedagang sate keliling yang asli dari Madura dan berwajah arab gelap. Regi yang beberapa kali pernah mencicipi kelezatan sate Madura-nya langsung saja bangkit dan berteriak heboh memanggil Mas Bagus. Banci sarap yang satu itu emang kadang suka menggoda Mas Bagus yang menurutnya berwajah manis. Keduanya sudah cukup akrab untuk ukuran penjual dan pelanggan. Mas Bagus terkadang suka membalas godaan Regi dengan tak kalah serunya.
“Mas ikke mawar dong satenya. Yang pedes ya? Lapangan bola nehh. Kalian mawar juga kan?” tawarnya pada Vivi dan aku yang segera saja mengangguk antusias.
Saat itu Zaki hanya mengangkat bahu dan kemudian berpaling padaku, “You know what, sometimes I don’t get him. Dia terkadang berbicara dengan pola kalimat yang absurd dan sulit dimengerti. It’s like he’s talking with a different language,” tukasnya dengan kening berkerut.
Vivi tergelak kecil, “Itu bahasa gaul, Ki.”
“Bahasa gaul? Is that a new languange?”
“Nope! Bahasa gaul sebenarnya hanya pengembangan dari bahasa Indonesia yang sudah ada. Bahasa gaul lebih sebagai bahasa yang digunakan untuk kalangan tertentu. Sejenis bahasa sandi yang menggunakan kata-kata yang sudah ada, tapi bermakna lain. Semua orang sudah pake kaleee,” seloroh Regi yang sudah kembali duduk disebelah kami untuk menunggu satenya.
“Tapi kenapa tak ada satupun selain kamu yang menggunakannya?” tanya Zaki bingung.
“Karena cuma anak gaul yang hip dan up to date yang bisa menggunakannya. Gampang kok. Misalnya saja kalau kamu mau beli sate kayak aku tadi, kamu hanya harus bilang, ‘Mas, akika mawar makasar satenya juga. Lapangan bola nih,’. Yang kalau diartikan dalam bahasa baku berarti, Mas, aku mau makan satenya juga ya? Lapar berat ,” celoteh Regi lancar yang membuat aku dan Vivi cuma mesem mendengarnya.
“Akika….mawar makasar sate? Lapangan bola?” ulang Zaki dengan kening sedikit berkerut.
“Yup!!” sahut Regi yang kemudian bangkit dipanggil Mas Bagus. Aku dan Vivi Cuma saling menatap dan menggelengkan kepala dengan keisengan Regi, lalu kembali mengetik artikel kami yang hanya perlu sedikit editing.
Dan kami berdua langsung terlengak kaget saat beberapa detik kemudian kami mendengar Zaki berkata, “Eeeuuh Mas, akika mawar…makasar juga satenya. Lapangan bola.”
Kalau Regi bisa mengucapkan kalimat itu dengan luwes dan gaya yang khas, Zaki mengucapkan kalimat tadi dengan sikapnya yang macho, kaku dan tegas. Aku, Vivi dan Regi yang masih berdiri memegang piringnya, bengong hebat. Bahkan Mas Bagus juga tak kalah kagetnya.
“Ya Allaaaahh, jadi ente banci juga? Gak nyangka ane. Padahal muka bule, cakep, gagah lagi. Ck..ck…ck…” decak mas Bagus dengan suara maduranya yang lantang membahana.
Aku, Vivi dan Regi langsung bangkit, balik arah dan berjingkat pergi dari sana secepat mungkin. Hanya beberapa detik kemudian terdengar raungan keras Zaki yang membahana.
“REGIIIIII!!!!”
Kalian lihat kan? Kadang ku kira Zaki itu cuma salah bergaul. Dia seperti orang yang salah tempat jika bersama dengan kami. Seakan-akan dia lebih pantas bersama dengan orang lain. Mereka yang boleh dibilang lebih beradab dan lebih….sophisticated daripada aku dan teman-temanku.
Dan tak ada lagi tempatku untuk bercerita, selain pada banci sarap satu yang jadi temanku. Regi.
Pertama kali aku memberitahuku akan perasaanku tentang hubunganku dengan Zaki, dengan soknya dia mengangguk paham.
“Lo masih ragu kalau dia beneran suka ma lo apa enggak?” rangkumnya singkat. Menakjubkan bagaimana dia bisa menyingkat cerita panjangku selama hampir setengah jam itu dengan sebuah kalimat tanya. Tapi memang itu benar kan? Aku boleh dibilang memang ragu akan semua ini.
“Gue…”
“Ragu…” timpal Regi kalem.
“Gi, dia bisa ngedapetin siapa aja yang dia mau. Cowok ataupun cewek. Gak akan aneh misalnya kalo dia jalan ma Jordan. Mereka lebih pantas..”
“Dan Vivi pasti bakal ribut ngajak gue ke dukun buat nyantet Zaki kalo aja dia ngegaet Jordan,” selanya kemudian. Mau tak mau aku jadi tertawa kecil mendengarnya.
”Sarap lo!” gerutuku.
“Gha, dia emang bisa ngedapetin siapa aja yang dia mau. Tapi dia kan cuma mau ma elu.”
“Gi…”
“Iya gue tahu,” sergahnya, memotong rengekanku, ”Gini aja. Gue punya ide. Gue akan bawa kalian berdua ke suatu tempat. Weekend ini kita kesana. Kita test kesiapan dan kesungguhan kalian berdua dalam menjalin hubungan ini. Gue tahu ini sangat baru dan aneh buat kalian berdua. Jadi wajar kalo kalian ngerasa gak karuan begini. Anggap aja gue jadi guide kalian berdua, ok?”
Aku bengong saat dia menggunakan kata ganti orang ketiga jamak pas bicara tadi. Padahal awalnya dia cuma menggunakan kata ganti orang kedua. Regi sepertinya tahu kalau aku merasa heran. Karena dia kemudian memberikan isyarat padaku untuk menoleh ke belakang.
Hatiku mencelos saat kulihat Zaki berdiri dipintu masuk ruang redaksi yang sepi. Jelas dia sudah mendengar semuanya. Aku sudah khawatir kalau dia akan meledak seperti biasanya. Tapi cowok itu hanya berjalan mendekat untuk kemudian berhenti disebelahku.
“Sure! Aku siap pergi,” ujarnya singkat dan meletakkan satu tangannya dibahuku. Regi tersenyum dan kemudian berpaling padaku dengan tatapan tanya.
Akupun akhirnya mengangguk untuk menyanggupinya.
******************************************************************************************

Sabtu pagi sekitar jam 8, Zaki menjemputku ke kostan. Regi ku lihat ada bersamanya di kursi belakang. Aku sudah hendak masuk untuk duduk bersama Regi, namun urung saat Regi justru melotot dan memberiku isyarat untuk duduk didepan bareng Zaki. Aku hanya nyengir dan nurut.
“Kita mau kemana sebenernya?” tanyaku saat kami telah melaju di jalan raya.
“Jakarta,” jawab Regi singkat tanpa memberiku penjelasan lebih jauh. Aku dan Zaki hanya bisa saling memandang sejenak. Bahkan hingga kami memasuki daerah ibukota, Regi tetap tak mengatakan apapun. Dia hanya member petunjuk arah agar Zaki belok atau jalan lurus. Dan tiba-tiba dia meminta Zaki untuk mencari sebuah hotel. Yang bikin kesel adalah saat dengan cueknya Regi memesan dua kamar.
“Kok dua Gi? Kita kan bertiga?’ tanyaku saat kami di lobby sebuah hotel kelas menengah yang dirujuk Regi.
“Lo kan bisa tidur bareng Zaki,” jawabnya kalem sembari mengisi buku tamu.
“Gi!!” tegurku kesal dengan suara tertahan. Zaki yang dibelakang kami hanya berdiri gelisah. Dan aku berani bersumpah kalau wajahnya jadi memerah karena malu. Aku sendiri jadi tak berani menghadapkan wajahku yang mungkin sudah lebih merah darinya.
“Kenapa sih, ah? Gak bakal hamil ini,” sahutnya santai tanpa dosa membuatku makin melotot.
“Gua tidur ma elu, sarap!!!!” desisku ditelinganya.
Regi hanya menjulurkan lidah dan kemudian berpaling pada Zaki, “Your platinum card,” pintanya santai tanpa beban. Zaki tak mengatakan apapun selain mengambil dompet dan menyerahkan kartu kreditnya pada Regi yang kemudian dengan bergaya menyerahkan kartu itu pada staff hotel yang melayani kami, “Since I’m doing this favour for you both, you’ll pay for everything. Got it? And……do you trust me?” tanyanya kemudian setelah menerima kembali kartu kredit Zaki dari staff hotel.
Zaki yang ditanyai hanya mengangguk dengan raut bingung.
“Kalau begitu aku akan membawa ini,” ujar Regi sembari melambaikan kartu kredit yang masih dia pegang, “Cause we still have a lot to do.And I wanna do ‘ The Pretty woman make over’ to him,” ujarnya dan menunjukku dengan jempolnya. Zaki kembali hanya mengangguk dengan gaya pasrah. Aku menatap mereka berdua, bingung.
“Pretty woman make over?” ulangku bingung.
“Kamu istirahat saja. Capek kan udah bawa mobil,” katanya pada Zaki tanpa memperdulikanku, “And yey, ikatan ma ikke, cuss…” ujarnya tanpa menjawab pertanyaanku dan kemudian menyeretku pergi.
Jadilah seharian itu aku dibawa keliling oleh Regi. Pertama kami pergi ke sebuah distro dimana dia membeli beberapa t-shirt, kemeja dan celana. Lalu ke toko sepatu. Berhenti sejenak di food court untuk makan siang. Disana dia menelepon Zaki dan mengatakan untuk bersiap-siap pada jam 7 malam. Pemberhentian kami selanjutnya adalah di sebuah salon yang cukup besar, dimana Regi disambut seperti seorang teman lama.
“NEEEEKKK!!! Ya ambruukk!! Sutra lambreta tinta ketumbar ih. Jaharaaa!!” pekik seorang cowok kurus dengan wajah yang terlalu sering terpapar kosmetik. Dia segera mendekat dengan gerakan heboh pada Regi. Mereka berdua cium pipi kanan kiri sebelum mata cowok itu beralih padaku yang berdiri gelisah dibelakang. Mungkin dengan wajah yang sedikit memucat.
Mati gue!!! Regi punya rencana gila apa lagi nih? Kenapa gue dibawa ke sarang jin gini, batinku cemas. Aku melempar senyum gugup pada Mas Mas tadi.
“Siapose dese? Lekong barakatak?” tanyanya dengan senyum simpul, “Luncang nek..”
“Rumpik ah! Tinta. Dese tembikar akika. Ikke bawa dese ke sindang buat make over. Yey bisikan make over dese kan? Ikke mawar diana tampil cucok marucok ntar mak lampir. Kita mawar ke N*RV*N*. Yey kudu ikatan nek. Ntar ikke teli teli si Bobby, em?” celoteh Regi.
“Dese mawar yey bawa kesana? Diana hemi?” tanya Mas mas itu heran.
Regi hanya tersenyum, “Yey urus dese dari atas ke bawah, em? Ikke mawar dese kinclong pas ke sandra. Yey polo kerajaan mak lampir jampi berapose?”
“Sembilan,” jawab Mas Mas tadi. Dan memperhatikanku dari atas ke bawah dengan pandangan menilai. Dia lalu meraih bahuku dan kemudian memutar tubuhku. Beberapa kali dia membalikkan tubuhku dengan kening berkerut. Dia lalu meletakkan tangannya di dagu.
“Hemi barakatak ye nek?” Tanya dia pada Regi.
“Ikke tinta bisikan ngobrasin itu ah. Gimande?”
“Debby dese di wax juga?”
Regi mikir sebentar, “Boleh deh. Sekalian ikke juga. Sutra lambreta ikke tinta perawatan. Cuss ah!!” kata Regi dan kemudian berpaling padaku, “Gha, kita relaksasi bentar ya? Gue mau lo treatment dari atas ke bawah. Gue temenin kok. Gue juga mau perawatan. Jangan khawatir, ok? Lo percaya aja ma gue..”
Kalau saja bukan Regi yang mengatakan itu, aku mungkin sudah minggat dari tempat ini. Tapi ini Regi yang ada didepanku. Orang yang sudah membuktikan kualitasnya sebagai teman padaku. Orang yang berulang kali mau membantuku tanpa segan. Jadi aku percaya sepenuhnya. Akupun mengangguk mantap.
Dan aku menyesalinya!!
Perawatan yang dimaksud saat aku dipijat dan dikeramas masih bisa aku nikmati. Tapi aku harus menahan sakit dan juga umpatan kesal saat mereka menyerang wajahku. Entah apa yang mereka lakukan. Selain mengolesi mukaku dengan berbagai macam cairan, mereka juga menusukkan berbagai alat. Katanya untuk membersihkan komedo dan entah apa lagi. Mereka juga mencabut alisku. Padahal apa gunanya? Toh ini alis. Siapa peduli? Dan sakitnya membuat mataku berair.
Tapi semua itu tidak bisa dibandingkan ketika mereka menelanjangiku lalu mengusapkan sejenis cairan pada bagian pantatku. Waktu itu, andai saja tidak ada Regi yang menunggui disebelahku, aku mungkin mengira kalau aku akan diperkosa, dan mungkin sudah melayangkan bogem pada cowok kemayu temen Regi itu. Regi sepertinya menyadari kecemasanku, karena waktu itu dia hanya tertawa kecil saat aku memandangnya dengan panik ketika aku diminta untuk membuka sisa baju yang melekat di tubuhku. Padahal dibalik piyama yang ku pakai, aku hanya mengenakan celana dalam saja.
”Gue disini Gha. Jangan khawatir,” ujarnya menenangkanku yang mungkin sudah pucat pasi. Akupun kembali menurut. Juga saat aku diminta tidur tengkurap di meja pasien itu dan diminta untuk meregangkan kakiku. Aku memejamkan mata, menahan diri sekuat tenaga. Menerima apapun yang mereka lakukan padaku. Aku hanya mengeluarkan suara desis saat kurasakan ada cairan yang diusapkan diantara kedua belah pantatku. Ya Allaaah Regiiiiii!! Apa lagi ini?!!! batinku ngeri.
 “Lo tahan dulu ya? Mungkin bakal…”
Aku menjerit kaget saat Mas-Mas sialan itu menyentakkan apapun yang mereka tempelkan dibagian belakang tubuhku. Aku mengumpat keras tanpa dapat ku kendalikan. Sumpah! Sakitnya ampun-ampunan. Apapun yang mereka tempelkan tadi, benda itu telah membawa serta sedikit kulit dan rambutku yang tumbuh didaerah itu.
Regi tergelak lalu membisikkan sesuatu yang serta merta membuatku merah padam.
“Jangan gila!!!” sentakku ngeri dengan tubuh sedikit gemetar menahan rasa sakit dan membayangkan hal yang dia katakan tadi.
Dan cara jalanku keluar dari salonpun jadi berbeda dengan saat aku masuk tadi.

Namun terlepas dari itu semua, aku mungkin harus berterimakasih pada Regi. Karena saat kami bertemu Zaki di lobby hotel, dia melihatku dengan tatapan kagum yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Penampilanku memang berbeda dari biasanya. Dengan baju dan segala atribut yang Regi pilihkan, aku terlihat seperti anak kota yang sudah terbiasa keluar masuk tempat-tempat gaul. Meski aku mengutuk siapapun yang mendesign celana ketat yang sekarang ku gunakan. Bagian pribadiku seperti ditekan dan sangat tidak nyaman rasanya.
“Pretty woman Make Over?” tegur Zaki dengan sebelah alis terangkat pada Regi, “Aku sudah khawatir tadi. Untung saja kau tidak mengecat rambutnya dengan warna-warna pelangi.”
“Sempat kepikiran warna pirang dan tembaga sih tadi. Mungkin kita harus kembali ke salon dan…” Regi berhenti disana karena aku menggeram marah padanya.
“Demi apapun juga, gua gak akan pernah masuk ke salon lagi ma lo. Lo harus membunuh dan menyeret  tubuh gue terlebih dahulu,” desisku.
“Bisa diatur,” seloroh Regi dan tersenyum tanpa dosa, “Nah, tempat berikutnya yang akan kita tuju, akan buka beberapa jam lagi. Tak lama setelah temanku balik kerja. Jadi………bagaimana kalau kita makan malam dulu?”
“After you…” ujar Zaki yang tersenyum geli, mempersilahkan kami untuk mendahuluinya ke mobil.
“What a gentleman,” komentar Regi sedikit sarkas, meski bibirnya tersenyum. Dia lalu mengulurkan kartu kredit Zaki saat kami melangkah keluar. Membuatku ingat sesuatu.
“Gi….”
“Dia tak akan mau menerimanya, Gha,” jawab Regi, bahkan sebelum aku mengatakan sesuatu lagi.
“Ada apa?” Tanya Zaki begitu kami masuk ke dalam mobil.
“Dia bilang akan mengganti uang yang kami habiskan tadi. Hari ini dia tidak membawa uang banyak. Jadi dia minta maaf,” jawab Regi dari kursi belakang.
“GI!!” tegurku. Aku tadi memang membicarakan hal itu dengannya. Aku sudah memintanya untuk meminjamiku terlebih dulu.
”Sorry, Gha. Gue juga gak bawa uang cash banyak,” lanjutnya kalem.
“You don’t have to,” kata Zaki. Tapi aku menolak untuk melihatnya.
”Harus, Ki. Aku tak mau mengulang…” kalimatku terhenti disana, karena tangan Zaki yang kini berada diatas tanganku yang bersatu dipangkuanku.
“Aku malah berterimaksih karena Regi melakukannya. Kau……..terlihat berbeda. I like it. And it’s all worth it,” tukasnya lembut.
Aku tak bisa mengatakan apapun lagi. Jadi aku menutup mulutku. Tapi usapan pelan tangan Zaki dibelakang kepalaku membuatku jadi tertunduk malu.
“Cuss ah jalan. Ikke lapangan bola,” serobot Regi dari belakang. Membuat kami berdua sedikit tersentak, sadar kalau kami sedang tidak sendiri, “Nanti aja dilanjut di kamar. Lo ntar tidur dikamar Zaki kan?” godanya lagi dengan senyum licik.
Aku kembali menggeram dan melempar kotak tisu dari dashboard ke arahnya.
Dan aku ternganga ngeri saat kami tiba di tempat yang dimaksud Regi sebelumnya. Ternyata itu adalah sebuah klub yang ada di jalan M.H Thamrin. Lapangan parkirnya cukup penuh. Begitu Zaki menghentikan mobil, Regi langsung keluar dan matanya jelalatan mencari-cari.
“Eeeeuuhh, Regi. Are you sure we’re in the right place?” tanya Zaki yang sudah ikut keluar.
“We are. Ini salah satu gay klub yang cukup dikenal disini. Listen to me first,” kata Regi buru-buru saat kami berdua hampir serempak mengajukan protes, “Regha, gue bisa mengerti kenapa lo ragu dengan Zaki. Zaki memang bukan dari golongan orang yang biasa berinteraksi dengan lo.  And Zake, I hope you can understand that. Dia tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup. Not because he doesn’t love you. Well, you are…YOU. Aku rasa Regha hanya merasa terintimidasi denganmu. Dan aku membawa kalian kesini, bukan karena aku ingin menyamakan kalian dengan stereotype gay yang ada pada umumnya. Kalian adalah kalian. Kalian adalah pribadi yang memiliki sikap, pikiran dan kesadaran sendiri. Kalian tidak perlu memberi label pada diri kalian. Kalian berbeda dengan orang lain. Aku mengajak kalian kesini hanya agar kalian melihat dunia gay dari sudut pandang lain yang mungkin tidak kalian ketahui. Ada banyak sisi di dunia gay itu sendiri. Ini sisi lain yang menjadi bagian dari dunia abu-abu itu. Dan dunia ini bukanlah definisi dari kalian. Ingat itu! kalian adalah pribadi merdeka yang bisa melakukan apapun yang kalian mau, tanpa embel-embel label yang tak berguna. Kalian paham?”
Regi dan semua filosofinya, pikirku. Aku mengangguk. Begitu pula Zaki.
“BANCIIIIII!!! SINDAAAANGG!!!”
Hanya berselang beberapa detik, dan kami berdua dikejutkan karena Regi kembali ke sosok banci sarapnya. Tiba-tiba saja dia berteriak kenceng sembari melambai heboh pada dua orang yang baru turun dari taksi. Salah satunya adalah Mas Mas yang dari salon tadi. Dia bersama dengan seorang lelaki yang sama melambainya dengan yang tadi. Hanya saja, temannya itu agak botak kepalanya.
“Neeeeekkk!! Kangen deh ikke ma yey..!” sapa lelaki agak botak itu dan mereka saling mencium pipi dengan hebohnya.
“Sori nek. Tadi machicha dijalan. Ines lagi so Bobi. Dendong lolaaaaa amir! Sebel dah. Sutra botita jugong kan nek? Herman deh. Masa bedakan ajijah sejam. Segitu gedongnya jidat dese, em?” cerocos Mas salon.
“Rumpik!!” seru si Bobby kesal sambil nabok bahu temennya, “Nambreta ajijah mawar ajijong cyin. Harus dong mbak e tampil centong. Siapose tahu goreng ajijah ikke lakaran, em?” sambungnya lagi santai.
“Teuteup ya boo’, jualan,” sindir Regi dengan senyum dikulum.
“Emberr,” jawab si Bobby santai dan matanyapun terarah pada kami.
Aku yang sedari tadi jadi sedikit pusing karena hanya separuh percakapan mereka yang ku mengerti mulai merasa khawatir. Gila aja si Regi. Tadi siang gue yang dia umpanin ke salon banci. Nah sekarang, kami berdua yang disodorin ke mereka. Kadang gua nyesel nurut ma nih anak, batinku. Dan aku tak bisa menahan sedikit rasa tak suka yang melingkupiku saat mata mereka terhenti pada Zaki. Aku bisa melihat sorot kekaguman di mata itu. Sama dengan sorot mata yang biasa ku lihat pada anak-anak cewek dikampus saat Zaki lewat. Tapi pria yang bernama Bobby dan juga si Mas Salon itu, lebih berani dalam menunjukkan ketertarikan mereka. Dan itu membuatku tidak nyaman, hingga tanpa sadar aku mulai bergerak gelisah.
“Gha, kenalin temen-temen gue. Ama Mas Rudi lo udah ketemu tadi siang kan? Dia yang punya salon itu. Dan ini Mas Rio. Cyin, kenalin tembikar akika. Ines Regha,” ujar Regi memperkenalkan kami dengan senyum simpulnya. Dia terlihat sangat menikmati ketidaknyamananku. Zaki sendiri tak mengatakan apapun. Wajahnya datar, tapi aku bisa merasakan ketegangan pada postur tubuhnya yang kaku.
Aku mengulurkan tangan pada Mas Rudi, “Regha, Mas. Maaf kalo tadi siang kita nggak kenalan secara benar,” ujarku yang disambut oleh ketawa ringan Mas Rudi.
“Gimana bisa kenalan kalo wajahmu tadi siang pucat ketakutan begitu,” selorohnya dengan senyum geli. Aku hanya mampu mengeluarkan tawa kecil sedikit malu karenanya. Aku lalu berpaling pada Mas satunya.
“Regha, Mas Rio…..atau Bobby sebenernya?” celetukku heran, karena jelas tadi mas Rudi memanggilnya Bobby.
“Rio, Gha,” jawabnya santai dengan senyum genit.
“Bobby itu nama panggilan dia, Gha. Kepanjangan dari Botak Biadab!” sahut Regi santai.
“Banci gambreng,” cela Mas Rio pada Regi yang dia jawab dengan juluran lidah, “Ga usah dengerin banci sarap itu, Gha.”
“Ines Zaki, cyin,” ujar Regi lagi. Zaki hanya mengangguk dan menyalami keduanya.
“Cucok nek. Akika mawar dong. Dese hemi tinta?” celoteh Mas Rudi dengan kerlingan mata centil.
“Yey mawar metong sukria ma dese? Dese lekong Regha,” jawab Regi dengan senyum geli. Baik Mas Rio dan Mas Rudi sama-sama terlongong tak percaya. Mereka menatap aku dan Zaki bergantian dengan heran.
“Seriosa yey? Tinta mungkar ah!” sergah Mas Rudi.
“Hemi barakatak, Nek. Makanya ikke bawa mereka kesini, supaya mereka sedikit tahu goring,” jelas Regi lagi. Kedua orang itu tak mengatakan apapun, masih dengan pose kaget dengan mulut terbuka memandang kami berdua. Regi ngikik dan melambaikan tangan didepan keduanya, “Sutra ah. Yuk, cuss. Ikke sutra mawar ajojing. Sutra lambreta tinta maskulin ke sindang ikke,” ujar Regi dan mendahului kami untuk masuk kedalam.
Kami semua mengikuti dibelakangnya. Zaki kemudian tampak melambankan langkahnya, menungguku dan menjejeri langkahku yang agak ragu, “Gha, are you sure of it?” bisiknya pelan.
Aku menghela nafas panjang. Kalau Zaki yang biasanya bisa menguasai diri saja jadi keder, apalagi aku, “Actually, no! Tapi ini Regi yang membawa kita. Meski terlihat gila, tapi aku mempercayainya,” ujarku tanpa berhenti melangkah. Yang mengejutkanku kemudian adalah saat tangan kiri Zaki meraih tangan kananku. Sepanjang jalan masuk ke club, dia tak pernah melepaskannya. Aku bisa merasakan sedikit ketenangan aneh menyelimutiku begitu tangan kami bersentuhan.
Selama kami berdua, sangat jarang Zaki menunjukkan keintiman. Apa lagi dimuka umum. Kalaupun kami bersama, suasana diantara kami cenderung canggung dan kaku. Makan malam di restoran kadang berjalan dengan tidak nyaman. Pernah juga kami nonton bareng. Tapi atmosfir diantara kami lebih mirip temen yang sedang bertengkar daripada orang yang berpacaran.
Kadang aku merasa sedikit frustasi dan ingin melakukan sesuatu. Tapi apa dan bagaimana? Rasanya segan sekali, bahkan untuk berbicara sambil menatap matanya saja jarang bisa ku lakukan.
Karena itu, saat ini, saat dia menggenggam tanganku di muka umum seperti ini, aku agak kaget. Meskipun senang, tapi mau tak mau mataku jelalatan ke sekeliling. Takut akan reaksi orang-orang disekitar kami. Tapi yang membuatku heran adalah mereka semua sepertinya tak peduli. Tak ada pandangan menghina, cibiran kasar atau umpatan tak menyenangkan.
Aku bisa merasakan kalau mereka memperhatikan kami. Aku bisa melihat kalau mereka memandang kami berdua. Tapi pandangan mereka lebih terasa…….seperti iri. Bukan mencibir. Ada sedikit kesan memuja pada sorot mereka. Terlebih saat pandangan mereka tertumbuk pada Zaki. Kalau itu mungkin aku bisa mengerti. Regi yang sempat menoleh ke belakang pada kami hanya tersenyum dan mengangguk padaku.
Dan begitu didalam, lagi-lagi aku dibuat kaget. Suasana club yang temaram kini terkesan erotis dan panas. Bagaimana tidak, hampir semua orang yang ada di dalam ruangan ini bertelanjang dada. Mereka yang baru masuk bersama kami juga mulai menggerakkan kepala mereka sesuai dengan hentakan musik dan melucuti baju atas mereka. Atmosfir diruangan club itu sedikit membuatku penih. Udara pekat dengan bau gairah dan testosterone.
Tanpa sadar aku meremas tangan Zaki yang menggenggamku dan berhenti melangkah. Aku mulai panik. Kalau Regi pikir dia bisa membuatku berkeliaran disini dengan dada terbuka, dia salah besar. Aku tak peduli kalau dia mau ngamuk atau apa. Aku tak akan melakukannya.
Zaki yang ikut berhenti hanya memandangku, “Ada apa?” tanyanya dengan suara yang sedikit dikeraskan untuk menengahi dentuman musik.
Aku tak menjawab. Hanya melayangkan pandanganku ke sekeliling club dengan mata panik dan hamper histeris.
“Ini memang topless night, Gha. Tapi lo bebas buat ikutan atau tetap pake baju. Gak ada larangan,” jelas Regi yang tiba-tiba saja sudah disampingku. Aku merasa sedikit lega mendengar itu. Tapi, tetap saja. Kepanikanku tidak bisa hilang sepenuhnya.
“Kita cari meja aja biar dia duduk bentar,” saran Mas Rio yang kemudian memberi tanda pada kami untuk mengikutinya.
Kami menemukan meja di salah satu sudut club yang cukup strategis. Meja itu memberikan area pandang yang baik. Kami bisa melihat hampir ke segala penjuru ruang. Aku dengan lega segera duduk dan sudah akan bersandar saat Zaki kemudian menarik tubuhku untuk bersandar padanya. Dia merangkul bahuku dengan sikap sedikit protektif. Mau tak mau wajahku memanas karenanya.
“Gi…..don’t you think it’s a bit over for him?” tegurnya pada Regi.
“I’m fine,” sahutku cepat. Aku tak ingin kalau sampai Zaki marah pada Regi. Dia cukup mengintimidasi kalau sudah keluar tanduknya.
Regi cuma nyengir dan bangkit, “Gue ambilin minum dulu,” ujarnya kalem, “Kalian mau apa?”
“Ginger ale aja deh bo..” sahut Mas Rio yang disetujui oleh Mas Rudi juga.
“Orange juice ya, Gi,” pintaku.
“Aku juga,” sambung Zaki yang kemudian menyerahkan kartu kreditnya pada Regi. Dia segera kembali duduk disampingku setelahnya, “Just say it, and we’re out of here,” ujarnya.
Aku makin tersipu dengan perhatiannya yang kali ini begitu intens didepan publik. Apa lagi dengan adanya Mas Rio dan Rudi yang tersenyum simpul didekat kami. Tapi aku tak mungkin mengacaukan malam ini yang sengaja Regi lakukan untuk kami berdua. Jadi aku hanya menggeleng.
“Kalian manis banget siiihh,” desah Mas Rio dengan mata yang menerawang dan sayu.
“Iya. Bikin iri deh. Udah lama jadian?” tanya Mas Rudi ikutan nimbrung.
Aku kembali dibuat malu karenanya. Aku lalu berpandangan sejenak dengan Zaki. Dia sepertinya juga merasakan hal yang sama, karena aku nyaris bisa merasakan kecanggungan yang menguar dari tubuhnya. Bahkan untuk menjawab pertanyaan yang sederhana itu, kami berdua membutuhkan sedikit waktu untuk memulihkan diri.
“Baru saja kok Mas. Hampir dua bulan….” Jawabku akhirnya. Zaki mengangguk untuk membenarkannya.
“Pasti sulit bagi kalian untuk bisa sampai kesini ya?” ujar Mas Rio kemudian dengan nada penuh simpati.
Pertanyaannya itu membungkam kami berdua untuk beberapa saat lamanya. Apa yang bisa kami jawab selain membenarkannya?
“You have no idea,” gumam Zaki pelan. Mas Rio kembali tersenyum penuh pengertian.
“Aku bisa membayangkannya. Kalau bagi kami yang begini saja membutuhkan banyak waktu dan usaha untuk menerima, apa lagi kalian yang terlihat begitu……”
“Straight?” celetuk Regi yang kemudian muncul dengan seorang waitress yang berwajah cukup menarik di belakangnya. Aku memilih untuk segera meraih gelas orange juice –ku dan menenggaknya sedikit untuk menenangkan syaraf. Ini dia, batinku. Kalau Regi udah nimbrung, bakalan rame nih.
“Yey yang ngejodohin mereka nek?” Tanya Mas Rudi.
“Tinta lah. Gilingan ajijah. Mereka berdua bukan golongan kita yang biasa. Seperti yang yey bilang, proses mereka berdua tuh bikin puyunghai abis. Tapi mereka membentuk hubungan itu sendiri. Ikke cuman bantu mereka buat buka mata doang,” jawab Regi santai.
“Lucu kan, bagaimana kadang hidup ini berjalan? Sesuatu yang kadang tidak kita inginkan, justru menjadi hal yang kita dapatkan,” seloroh Mas Rudi dan meraih gelasnya, “Kalian cukup beruntung memiliki Regi yang mungkin bisa menjadi nara sumber yang cukup baik. Orang lain kadang harus menyadarinya lewat proses yang jauh lebih panjang dan menyakitkan. Kami berdua contohnya,” lanjutnya lagi dan menunjuk dirinya sendiri serta Mas Rio.
“Ortu gue nyesel punya anak banci kayak gue,” cetus Mas Rio dengan nada kalem yang membuatku heran. Karena bahkan, aku sendiri harus berjegit saat kalimat tadi keluar. Tapi Mas Rio cuma tertawa kecil, “Kenapa? Masih ngeri dengan kata banci?”
Aku hanya nyengir tanpa mampu menjawabnya.
“Sejak kecil, aku sudah jadi bulan-bulanan keluarga dan teman-temanku,” katanya memulai. Hilang sudah kalimatnya yang cenderung cablak dan urakan. Berganti dengan kalimat yang serius,  “Hampir semua kakak laki-lakiku malu untuk mengakuiku sebagai adik. Terlebih ayahku. Kakak perempuan dan ibuku memilih untuk menutup telinga dan mata saat aku dilecehkan. Sejak kecil, aku lebih memilih aktifitas yang cenderung feminim. Aku lebih memilih mengerjakan pekerjaan sekitar rumah, daripada harus nguber layangan putus bareng temen-temen cowok. Saat mereka maen petak umpet atau bola, aku lebih memilih maen boneka dan mendandani bonekaku dengan baju yang kubuat sendiri dari kain bekas…..”
Mas Rudi yang ada disebelahnya tergelak kecil, “Udah ada bakat jadi banci ya neeekk,” selorohnya.
“Embeer!!” sahut Mas Rio dengan gayanya yang biasa.
“Kalau aku lebih suka mempercantik orang. Menata rambut dan make up mereka,” kata Mas Rudi, “Intinya kurang lebih sama juga dengan Rio. Selalu dicela dan dipermalukan. Orang-orang lain menganggapku badut yang lucu dan menghibur. Temen-teman cowok hanya bisa mencela. Dan aku merasa lebih nyaman berteman dengan cewek, karena mereka lebih peka dan pengertian. Ada saat dimana terkadang aku membenci diriku sendiri.”
“Bener banget..” sahut Mas Rio.
“Benci karena aku lebih suka mendandani orang dan juga diriku sendiri. Benci karena aku nggak bisa sama dengan teman cowokku yang lain. Tak bisa sekuat dan selincah mereka. Benci karena aku berbeda dan mengecewakan keluargaku. Tapi…….kalau dipikir, justru kesukaan kami itu yang membuat kami bisa bertahan hidup dan membantu keluarga kami yang dulu hanya bisa mencela…”
Aku dan Zaki hanya bisa melihat Mas Rudi dengan pandangan bingung.
“Mas Rudi adalah salah satu make up artist yang cukup dikenal di Negara ini, Gha. Banyak selebriti dan keluarga pejabat yang jadi langganannya. Dan Mas Rio adalah salah satu perancang berbakat Negara ini yang karyanya sudah diakui di dunia fashion. Beberapa karya Mas Rio pernah dibeli oleh salah satu fashion icon dunia..” jelas Regi.
“Lucu kan, bagaimana hal yang kami benci sebelumnya, justru menjadi alasan kami bisa sukses. Orang-orang yang dulu mencela dan menghina kami justru kini menjadi orang-orang yang bekerja  pada kami,” tukas  Mas Rudi.
“Dan keluarga yang dulu tak mau mengakui dan malu akan keberadaan kami, kini justru mulai mendekat dan ingin ikut merasakan kesuksesan kami. Manusia memang makhluk yang hebat kan?” imbuh Mas Rio.
“Mas Rio dan Mas Rudi…………….menerima mereka?” tanyaku.
“Bagaimanapun juga, mereka keluarga,” jawa Mas Rio dan mengangkat bahu, “Betapapun menyakitkannya perbuatan mereka, aku tetap memiliki ikatan darah dengan mereka.”
“Memangnya apa yang sebenarnya mereka lakukan, Mas?”
“Euuuuhh, nggak banyak sih. Kebanyakan mereka cuman memukul. Tapi  ada salah satu paman yang pernah memperkosaku dan juga orang tuaku yang dulu pernah mengusirku. Gak banyak kan?”
Aku kembali berjegit dengan bagaimana Mas Rudi mengatakan semua hal itu dengan enteng.
“Aku paling parah cuman pernah ditelanjangi dan dipermalukan dimuka umum. Mereka bilang, mereka ingin menunjukkan bahwa aku benar-benar memiliki k#nt*l dan bukan v*gina. Keluarga yang hebat kan? Karena itu aku minggat dari rumah begitu lulus SMA. Karena aku muak. Muak sudah dipermalukan dan disakiti oleh orang-orang yang seharusnya melindungi dan menyayangiku. Aku pergi ke kota dan mulai belajar hidup sesuai dengan apa yang diinginkan. Aku tak mengijinkan lagi orang-orang menyakiti dan mempermalukanku. Aku tak membiarkan lagi mereka mengatur dan mendikte apa yang harus ku lakukan dan tidak. Aku hidup sesuai dengan kemauan dan keinginanku sendiri. Banci menang, em?” seru Mas Rio yang kemudian ber-high five dengan Mas Rudi.
“Embeerr…! Kita sekarang bisa mendapatkan juga apa yang kita mau. Melakukan apa yang cuma bisa dimimpikan oleh mereka yang dulu menyakiti kami. Belanja dan wisata ke luar negeri, beli barang-barang mewah, mobil…”
“Juga lekong cakep, em?!”
“Embeeeeerrr!! Tapi…..kami belum mendapatkan apa yang kalian  dan Regi miliki….” Ujar Mas Rudi. Dia lalu mengambil gelasnya dan meminumnya.
“Apa yang kami miliki?” tanyaku heran.
Mas Rudi mengangguk, “Cinta…” sahutnya kemudian singkat.
Aku tertegun dan tanpa sadar menautkan taganku pada tangan Zaki dibawah meja. Aku berpaling padanya. Wajah Zaki datar dan tenang. Dia lalu tersenyum sekilas padaku dan kemudian meremas tanganku yang menyatu dengannya.
“See? Apa yang kalian miliki itu indah dan cukup langka. Apa lagi di dunia abu-abu seperti ini. Look around, Zaki…” kata Mas Rudi dan melambaikan tangannya ke sekeliling ruangan, “Di ruangan yang penuh sesak dengan lelaki yang mengaku gay ini, ada berapa cinta yang kau lihat? Kau bisa menemukannya?”
Kami mngedarkan pandangan kami. Yang kami lihat kebanyakan cowok-cowok berbagai bentuk dan jenis yang mencoba menikmati suasana malam ini. Udara memang dipenuhi dengan gairah dan seks. Tapi aku tak melihat cinta. Ada beberapa cowok dengan dandanan keren yang berdansa dengan sensual dengan pasangan mereka yang terlihat lebih tua. Beberapa bahkan lebih pantas dipanggil sebagai ayah mereka. Ada yang juga berdansa dengan partner yang usianya hampir sama. Tapi menurutku, mereka lebih terkesan hanya teman, atau kalau tidak, aku hanya melihat nafsu disana.
“This is the world, Zaki,” ujar Mas Rio, “Yang kau lihat disini hanyalah contoh dari dunia kebanyakan di luar sana. And I’m not talking about gay world only. But the world in general. Jarang ku lihat keindahan dan kelembutan yang kalian miliki. Baik di dunia gay ataupun straight. You care about each other. I can see that. And that’s precious honey.”
“Kalian beruntung. Hingga kini, kami berdua masih mencari, apa yang telah kalian miliki sekarang. Orang-orang yang mendekati kami, kebanyakan menginginkan sesuatu,” sambung Mas Rudi, “Kebanyakan cowok normal akan malu kalau terlihat bersama dengan kami. Sikap mereka kurang lebih sama seperti apa yang kalian tunjukkan saat kita pertama kali bertemu tadi, di luar.”
Sindiran itu kembali membuat wajahku dan Zaki merona dalam hitungan detik. Mas Rudi dan Mas Rio kembali tergelak.
“Tak usah malu. Percayalah, kalian bukan orang pertama yang melakukannya,” ujar Mas Rio dan mengibaskan tangannya.
“Maaf, Mas,” kataku cepat.
Mas Rio kembali tertawa dan mengibaskan tangannya, “Udah biasa. Dulu mungkin aku akan ngamuk dan balik mengataka sesuatu yang akan membuatmu lebih malu. Sekarang, aku sudah tak peduli lagi. Aku adalah aku. Orang-orang harus belajar menerimanya. Aku sudah tak mau lagi didikte oleh orang lain.”
“Dan kalian harus belajar untuk lebih menghargai apa yang kalian miliki saat ini,” sambung Mas Rudi.
Untuk beberapa saat lamanya kami terdiam. Aku benar-benar dibuat malu didepan mereka. Kalau aku membayangkan memiliki masa lalu seperti mereka, aku mungkin tak akan mampu bangkit. Aku mungkin akan menjadi orang yang getir dan sinis dalam memandang dunia. Tapi mereka berdua begitu hidup dan santai. Kepahitan mereka justru membuat mereka kuat. Kulit mereka menebal seiring waktu.
“We’re still trying to adapt,” ujar Zaki akhirnya, “It’s kinda new for us. Mungkin kami bisa dibilang masih shock. Butuh waktu bagi kami untuk beradaptasi dan menerimanya. Belum lagi imej yang beredar diluaran…”
“Apalagi di Indonesia ini, Mas,” sambungku, “Mas Rudi dan Mas Rio, tentu paham bagaimana pandangan masyarakat kita. Masih ada juga ajaran agama yang kita anut disini…”
Mas Rio mengangguk dan tersenyum, “Aku dulu pernah berada pada fase dimana aku menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi padaku. Aku marah dan menuntut padaNya. Kenapa aku harus dilahirkan berbeda. Kenapa aku lebih tertarik melakukan kegiatan wanita daripada pria? Tapi sekarang, kalau dipikir, aku tak akan mungkin menjadi perancang yang diperhitungkan kalau aku tak suka bermain dengan boneka dan kain bekasku. Aku tak mungkin tahu bagaimana membuat karya yang indah kalau saja dulu aku lebih suka main laying-layang dibandingkan dengan boneka.”
“Pernah dengar bahwa Tuhan bekerja dengan caraNya yang misterius? Ungkapan itu sering terngiang dulu ditelingaku,” sambung Mas Rudi, “Terkadang, otak manusia kita terlalu bodoh untuk memahami rencana Tuhan. Aku selalu percaya bahwa ada tujuan dan maksud tersembunyi akan keberadaan kita. Tuhan sudah mempersiapkan pola dan jalan hidup bagi kita. Dia juga sudah membekali kita dengan kebutuhan kita nantinya. Kita hanya harus memanfaatkan fasilitas yang Dia berikan dan hidup dengan baik. Contohnya saja Rio tadi. Dan juga aku. Kalau aku tak suka mendandani teman-temanku, aku mungkin tak akan bisa menjadi seorang make up artist seperti sekarang. Kesukaanku dalam mempercantik penampilan seseorang, menjadi bekal yang diberikan Tuhan, agar aku bisa bertahan hidup didunia. Aku tak bisa membayangkan bagaimana aku bisa bertahan tanpa kesukaanku itu. Jadi…………..percayalah, ada suatu alasan, kenapa kalian bisa saling menyukai. Meski untuk saat ini, kalian seakan-akan melawan arus, aneh dan tak masuk akal. Ada alasan kenapa Tuhan membuat kalian berbeda. Kalian hanya harus percaya dan menjalani hidup sebaik mungkin. Suatu saat, alasan itu akan kalian lihat dan sadari.”
“Jangan pernah merasa bahwa kalian tidak normal,” kata Mas Rio, “Jangan memberati diri kalian sendiri dengan label. Ataupun memasukkan diri kalian dalam golongan tertentu. Kalian sama dengan manusia lainnya. Darah yang mengalir dalam tubuh kalian juga berwarna merah seperti merahnya darah mereka. Kalian menghirup udara yang sama. Jadi jangan pernah merasa aneh dan lain. Kalian boleh merasa aneh kalau kalian sudah berubah jadi orang sinting yang suka menyakiti orang lain. Tapi jangan pernah merasa aneh karena saling mencintai. Kalau kalian masih bisa merasakan cinta, itu berarti kalian masih normal. Hanya orang psikopat  saja yang mungkin tak bisa memahami konsep mencintai dengan benar. Aku mungkin akan merasa bangga, kalau memiliki cinta seperti yang kalian punya.”
“And be sure to know, that both of you are very lucky,” kata Mas Rudi lagi.
Untuk beberapa saat lamanya, kami kembali terdiam. Kami semua meresapi pembicaraan kami tadi. Sedikit terasa aneh bahwa kami membicarakan tentang hidup di sebuah club yang hingar bingar seperti ini. Mungkin tidak semua orang melakukannya. Namun toh tetap tak mengurangi esensi dari pembicaraan kami.
“Kalian lihat? Kita semua memiliki cerita hidup yang berbeda. Kita memiliki latar belakang yang berbeda. Karena itu kalian tak perlu menyamakan diri dengan orang lain. Tak perlu memberi label pada diri kalian. You are what you are. Kalian memiliki hak sama dalam menentukan hidup. Selama kalian tidak merugikan orang lain, masa bodo saja dengan gunjingan orang,” lanjut Regi dengan kalemnya.
“Dan Regha…………mungkin Zaki memang bisa mendapatkan siapapun yang dia inginkan. Yes, he has all those qualities, tapi dia memilihmu. Dan inilah buktinya…” ujarnya lagi dan mengembangkan tangannya.
Aku tentu saja mengangkat alis, bingung. Aku mengedarkan pandanganku, mencoba mengerti maksudnya, tapi aku tak bisa. Bahkan Zaki sendiri juga terlihat sama bingungnya denganku. Jadi aku kembali melihatnya dengan tatapan tanya. Regi menghela nafas dengan gaya dramatis.
“Lo liat gimana cara para homo yang ada diruangan ini memandangnya?” tanyanya dan kemudian menunjuk dengan dagunya, “Kalo lo perhatiin, banci gambreng yang sedang berjalan menuju kesini itu sudah sekitar tiga kali bolak-balik melewati meja kita. Dan matanya tak pernah lepas dari Zaki.”
Aku mengedarkan pandanganku. Dari awal kami masuk tadi, aku sudah menyadari itu. Hingga kemudian aku melihat cowok  yang dimaksud Regi.
Seorang cowok cakep dengan bentuk tubuh yang cukup mengesankan berjalan kearah meja kami. Begitu tahu kalau kami sedang melihatnya, dia merubah gaya berjalannya dengan langkah yang sebenarnya pantas dilakukan di catwalk. Dadanya yang tegap tampak berkilat. Kulitnya yang putih membuatnya mudah tertangkap oleh mata. Otot lengannya yang membentuk itu terlihat cukup impresif saat dia mengayunkannya dengan setiap langkah yang dia ambil.
Jelas dia pandai dalam merawat dirinya. Begitu dekat, mau tak mau aku harus mengakui kalau dia tampak lebih mengesankan dibandingkan saat dia jauh. Dan dia………sangat tampan. Temen cewek dikampusku bisa nangis semua kalau tahu cowok secakep dia homo. Kalau dibandingkan denganku……
Aku tak ingin memikirkannya, karena hal itu hanya akan mempermalukanku.
Dia berhenti didepan meja kami dan menyunggingkan senyum sejuta dollarnya. Giginya yang terlihat tertata rapi dan rata itu cukup mengintimidasi. Sial!! Semua hal yang ada pada dirinya meneriakkan kelas dan percaya diri kuat!!
“Hai…..” sapanya. Mas Rio dan Mas Rudi tentu saja langsung membalasnya dan melambai dengan ramah. Aku hanya bisa mengangguk dengan kecut. Sementara Zaki ku lihat hanya diam dan menatapnya datar. Sementara Regi hanya terkekeh pelan sehingga aku berpaling padanya dengan sebelah alis terangkat. Dia mengibaskan tangannya padaku dan memberi tanda dengan dagunya padaku untuk melihat ke depan.
“Boleh gabung?” tanyanya lagi. Dia sepertinya memang menanyakan hal itu pada kami. Tapi matanya tak lepas dari Zaki. Dia sudah menunjukkan dengan jelas, siapa yang dia inginkan.
Mas Rio dan Mas Rudi segera bergeser untuk memberinya tempat. Sebenarnya aku sudah hendak bergeser, karena tahu kalau dia ingin mendekati Zaki. Tapi gerakanku tertahan saat tanganku kembali diraih oleh Zaki. Dia menatapku dengan dahi berkerut, tak senang.
“What the heck do you think you are doing?” tegurnya tak suka. Aku gelagapan tak bisa menjawab. Tak tahu harus mengatakan apa.
“Kau lihat, Gha?! Dari semua orang ditempat ini. Dari semua orang yang dia bisa pilih malam ini, dan termasuk cowok seperti dia..” tunjuk Regi langsung pada cowok tadi yang hanya berdiri melihat aku dan Zaki dengan sorot kaget, “…..Zaki lebih memilihmu. He doesn’t care with everyone else. Dia menginginkanmu,” sambung Regi lagi. Dia lalu beralih pada cowok cakep tadi, “Maaf, sayang. Tapi kau harus mencoba untuk menggaet cowok lain, ok? Yang ini sudah ada yang punya. Now, shuuussh!”
Aku kasihan pada cowok itu yang diusir oleh Regi seakan-akan dia sedang mengusir seekor kucing. Wajahnya terlihat seketika menggelap.
“Don’t you hear him? Go!” tegur Zaki dingin dengan wajah kesal.
Aku tak bisa membayangkan perasaan cowok malang itu. Dia lalu berbalik dan segera pergi dengan kesal. Tapi aku bisa mendengar samar suara umpatannya. Mas Rio dan Mas Rudi ngakak puas.
“Let’s dance..” ujar Zaki dan kemudian bangkit. Dia lalu bangkit dan membuka kancing kemeja yang dia pakai. Aku bisa mendengar suara terkesiap keras yang dikeluarkan oleh Mas Rudi dan Mas Rio. Aku segera saja menahan tangannya yang sudah sampai pada pertengahan kancing bajunya.
“Please, don’t!” pintaku. Sumpah! Bukan hanya karena aku tak rela bila semua mata yang ada diruangan ini bisa menikmati kesempurnaan fisiknya, tapi juga karena aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksiku nanti. Nggak lucu kalau nanti aku harus berdiri sambil menutupi bagian depan tubuhku yang menegang. Dia melihatku dengan tatapan heran. Aku bisa melihat erangan kesal dari Mas Rio dan Mas Rudi yang gagal mendapatkan tontonan menarik gratis.
Aku cuma nyengir dan sudah berniat hendak menolak ajakannya untuk turun ke lantai. Tapi dia kemudian menarik tanganku untuk mengikutinya. Aku menoleh panik pada Regi yang dengan santai melambaikan tangannya sambil mengucapkan selamat bersenang-senang padaku dengan bahasa bibirnya.
Tiba dilantai yang penuh sesak, Zaki menyentakkan tanganku sehingga tubuh kami saling bertubrukan. Aku sedikit gelagapan karena bagian depan tubuh kami begitu menempel. Dan tangannya dengan cepat melingkar dipinggangku dan dia menarikku untuk lebih mendekat dengannya. Aku terpaku kaku ditempatku berdiri.
Ruangan club yang hingar bingar beserta semua orang lainnya yang bergerak mengikuti musik disekitar kami seakan-akan menghilang secara tiba-tiba. Di ruangan ini hanya tersisa kami berdua.
Aku merasakan tubuhku mulai berkeringat saking gugupnya. Apalagi saat satu tangan Zaki merambat naik ke punggungku, dan mendorong bagian atas tubuhku untuk mendekat padanya. Dia lalu mencondongkan tubuhnya sehingga wajahku tersembunyi di lekukan antara bahu dan lehernya.
“Don’t ever doubt me again. Ever,” bisiknya pelan dan membawa tubuhku untuk bergerak.

SIGH………………..

Mudah baginya berkata begitu. Lagipula, masalahnya bukan dia. Tapi aku. Bukan sekali atau dua kali aku merasa rendah diri karenanya. Perbandingan kami begitu jauh. Dia…………terlalu sempurna untukku. Belum lagi berbagai kekonyolan dan ketololan yang ku lakukan.
Contohnya kejadian yang terjadi sekitar satu bulan setelah kami jadian itu. Waktu itu kondisinya sudah pulih dan kami mulai kembali aktif di panti. Zaki yang memintaku untuk tetap bekerja disana. Dia bahkan memintaku untuk keluar dari rumah makan Bu Indri. Meski segan, apalagi pada Mas Rizky, aku akhirnya menyetujuinya.
 Aku melakukannya bukan semata untuk Zaki, tapi juga karena aku ingin menjaga perasaan Mas Rizky. Aku sudah menemuinya untuk berbicara.
Tak ada yang Mas Rizky sampaikan padaku. Dia hanya mendengarkanku waktu itu. Dia diam mendengarkan dan mengangguk saat aku meminta maaf padanya. Dia bahkan memberiku sebuah senyum perpisahan meski senyum itu tak mencapai matanya yang begitu datar dan penuh penyesalan. Hatiku sungguh teriris dan menyesal untuknya. Tapi tak ada yang bisa aku lakukan.
Karena itu aku mengundurkan diri dari sana. Kuberikan berbagai alasan pada Bu Indri yang coba menahanku. Meski menyangkannya, akhirnya beliau mengijinkanku. Beliau juga berpesan kalau aku bisa datang kapan saja kesana. Waktu itu aku hanya mengangguk dan mengucapkan terimakasih dengan haru.
Zaki menyambut gembira keputusanku. Kamipun kembali ke kesibukan panti. Dan aku mendapat tugas yang lebih banyak dari sebelumnya. Ada beberapa tanggung jawab baru yang dia bebankan padaku. Dia juga memperingatkanku bahwa apapun yang ada diantara kami, tidak boleh mempengaruhi pekerjaan kami dipanti. Dia bahkan berkata kalau dia akan tetap memarahiku kalau aku melakukan kesalahan. Dan akan ada hukuman bila kesalahanku fatal. Meski statusku adalah pacarnya. Aku hanya mampu mesem kecut.
Dasar bule sarap!!
Suatu minggu, panti kedatangan beberapa keluarga dari para penghuni yang berkunjung. Setelah membantu  merapikan kamar-kamar para penghuni, akupun bergegas menuju kantor untuk menyelesaikan laporanku. Saat melewati pavilion Orchid, aku melihat seorang ibu-ibu yang duduk diam disebuah bangku dengan mata terpaku pada kolam ikan didepannya. Wajahnya terasa akrab meski aku tak bisa mengingat dimana pernah aku melihatnya. Bajunya yang rapi dan berpotongan resmi terlihat begitu mewah dan berkelas di tubuhnya. Make up diwajahnya terlihat natural serta tatanan rambutnya yang ditata lurus membuatnya terlihat lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Melihatnya saja sudah membuatku maklum kalau dia berasal dari kalangan elit.
Aku mendekatinya dengan langkah pelan, “Maaf, Ibu. Ada yang bisa saya bantu? Pertemuan keluarga diadakan di taman tengah. Apa Ibu tersesat atau…” aku tak meneruskan kalimatku saat dia tersenyum dan mengibaskan tanganku.
“Aku hanya mencari sedikit ketenangan disini,” sahutnya dengan suaranya yang terdengar begitu berwibawa dan berkuasa. Aku tidak heran kalau dia adalah wanita karir dengan posisi tinggi diperusahaannya.
“Waduh, maaf Bu. Saya kira Ibu membutuhkan bantuan,” ujarku sembari tersenyum.
Wanita itu hanya tersenyum dan memperhatikanku dengan seksama, “Kau………….sudah lama bekerja disini?” tanyanya ingin tahu.
“Saya masih baru kok, Bu. Teman saya yang membantu saya untuk mendapatkan pekerjaan ini. Dia putra dari pemilik fasilitas ini.”
Alis wanita itu terangkat, “Benarkah? Kau beruntung kalau begitu bisa masuk kesini dengan koneksi.”
Aku tertawa kecil, “Meski begitu dia menuntut kesempurnaan dalam bekerja, Bu. Jadi jangan salah. Meski saya masuk melalui koneksi, saya tidak mendapat perlakuan berbeda dengan pegawai lainnya. Saya akan dimarahi kalau melakukan kesalahan. Saya juga sering dibentak kalau lalai. Bos saya itu memiliki etos kerja yang tinggi dan mengharap kesempurnaan pada setiap tugas yang dia bebankan pada pegawainya. Jadi Ibu bisa mengandalkan kemampuan kami disini.”
“Waahh! Senang mendengarnya. Dia pasti Bos yang hebat.”
“Sangat, Bu.”
“Kau pasti menyukai Bosmu…”
Aku mengangguk, “Sangat! Dia mengajarkan banyak hal pada saya…”
“Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Itu berarti kau senang bekerja disini. Kalau boleh tahu, diluar kapasitasmu sebagai pegawai disini, apa pendapatmu tentang panti ini?” tanya Ibu itu dengan nada ringan.
“Menurut saya ini adalah sebuah panti luar biasa dengan fasilitas menakjubkan dan pelayanan yang tiada tercela,” sahutku tanpa ragu.
Ibu itu tertawa kecil mendengarnya, “Aaaaww…..ternyata kau pegawai yang loyal rupanya?”
Aku tersenyum mendengarnya, “Tidak. Itu murni pendapat saya. Lihat saja. Panti ini berada didaerah dataran tinggi yang jauh dari kebisingan kota dan polusi. Dikelilingi pepohonan yang hijau yang rindang. Keamanan yang terjaga, fasilitas lengkap seperti sebuah kota kecil. Serta pelayanan yang tak ada cacatnya. Secara umum, anda tidak akan menemukan fasilitas sebaik ini di Indonesia. Tempat ini sebuah tempat peristirahatan impian. Namun tetap saja………ini sebuah penjara,” kataku dan mengedarkan pandanganku, “Mewah……….namun tetap saja sebuah penjara.”
Ibu itu tidak langsung berkomentar. Dia diam sejenak memperhatikanku dengan matanya yang tajam, “Well, itu pendapat yang cukup…………mengejutkan. Kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Saya berasal dari keluarga sederhana yang hidup di kota kecil dan kental budaya ketimuran asli Indonesianya,” ujarku memulai dengan senyumku,  ”Saya dibesarkan dengan ajaran bahwa kitalah yang seharusnya bertanggung jawab dan merawat orang tua kita saat mereka telah berusia senja. Melayani mereka, dan memastikan kenyamanan mereka. Bukannya mengirim mereka ke sebuah tempat mewah ditengah perbukitan, dirawat oleh sekumpulan orang asing dan berinteraksi dengan orang-orang dengan usia yang sama. Lalu mengunjunginya seminggu sekali. Atau mungkin lebih parah, satu bulan sekali. Mereka boleh berkilah bahwa itu untuk kebaikan orang tua mereka. Tapi menurut saya, mereka sama saja dengan mengasingkan orang tua mereka sendiri.
Orang tua seharusnya dikelilingi oleh keluarga mereka. Anak-anak dan juga cucu mereka. Hidup dengan kehangatan keluarga yang sebenarnya. Dan kalau bisa, meninggal dengan tenang, dikelilingi oleh orang-orang yang sayang padanya. Keluarganya. Bukannya jauh dari mereka. Menurut saya ironis, bagaimana para orang tua itu telah merawat, membiayai, membesarkan dan menyekolahkan anak mereka dengan cucuran keringat dan air mata. Berkorban dengan sekuat tenaga agar mereka tumbuh menjadi orang yang pintar dan sukses, namun saat mereka tua, mereka disingkirkan jauh dari orang-orang yang dulu mereka besarkan sendiri. Tidak adil kan?”
Ibu itu tercenung. Masih belum melepaskan pandangannya dariku. Hingga kemudian baru aku sadar bahwa mungkin saja, wanita yang ada didepanku ini telah melakukan hal yang ku lakukan tadi.
“Aduh, Bu. Maaf,” ujarku cepat, “Saya tidak bermaksud untuk menyinggung Ibu dengan kalimat saya tadi. Saya hanya mengungkapkan pendapat saya. Maaf. Tak ada niat untuk mengatakan kalau Ibu…”
Ibu itu hanya tersenyum dan mengangkat tangannya untuk menenangkanku, “Aku yang meminta pendapatmu. Brutal, tapi toh aku tak bisa menyangkalnya. Memang ada kebenaran disana. Tapi…kau sadar kan, bahwa terkadang pihak keluarga tak memiliki waktu yang cukup bagi orang tua mereka? Mereka terkadang memiliki pekerjaan yang sangat menyita waktu. Harus sering keluar kota atau mungkin bahkan keluar negeri. Cucu-cucu mereka kadang juga sibuk dengan sekolah, les dan mungkin kegiatan ektra lainnya.”
“Tapi tidak semua anggota keluarga itu berada diluar 24 jam kan? Dan juga ada hari libur. Anak yang sekolah ataupun les, pada akhirnya akan pulang juga. Orang yang keluar kota pada waktunya juga akan kembali ke rumah kan?” ujarku dan tersenyum. Aku lalu mendesah pelan,”Terkadang saya pikir, konsep keluarga sudah mulai bergeser maknanya di zaman  modern ini. Orang boleh bilang bahwa mereka mengikuti perkembangan zaman agar tidak ketinggalan. Namun bagi saya, ada banyak sekali ajaran dan budaya kuno ketimuran yang harus kita lestarikan. Contohnya adalah nilai dan konsep sebuah keluarga. Keluarga adalah orang-orang yang memiliki ikatan baik oleh darah, seperti ayah dan Ibu. Atau mereka yang terikat pada kita oleh hukum dan perjanjian agama. Seperti suami atau istri. Mereka orang-orang yang hidup di sekitar kita. Tapi…..konsep itu sudah mulai  kabur dan mengalami pergeseran.
Para orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tak tahu bagaimana pertumbuhan, perkembangan dan pergaulan sosial si anak. Para anak juga terlalu sibuk dengan teman-teman dan sekolah mereka, sehingga sangat jarang bisa berkumpul bersama orang tua. Mereka seakan-akan memiliki dunia masing-masing yang berbeda. Konyol bukan?
Teman saya contohnya. Dia hanya memiliki seorang Ibu saja. Ayahnya telah meninggal. Ibunya seorang wanita karir yang sangat sukses. Tapi dia harus sering berada di luar negeri hingga sering menelantarkan anaknya. Yang saya sayangkan, dia bahkan terlalu sibuk untuk menemui anaknya yang masuk rumah sakit karena overdosis obat-obatan. Wanita itu lebih memilih untuk tetap berada di luar negeri, tanpa menjenguk anaknya. Ironis kan? Teman saya itu bahkan pernah mengatakan bahwa dia iri dengan saya. Waktu itu dia pernah saya bawa ke rumah saya di Majalengka. Aneh rasanya kalau orang yang memiliki, hampir segalanya seperti dia, merasa iri pada saya yang tak punya apa-apa. Dia punya rumah besar yang mewah, mobil import, uang berlimpah dan barang-barang mahal lainnya. Tapi sebenarnya yang dia inginkan hanya perhatian Ibunya.
Dia pernah mengatakan bahwa dia sadar dan maklum sekali, kalau Ibunya adalah orang yang sibuk. Tapi, dia hanya ingin Ibunya itu meluangkan sedikit waktu untuknya. Bukannya memperlakukan anaknya layaknya seorang karyawannya saja. Saya…………terkadang merasa kasihan padanya.”
Ibu itu mendesah dan kemudian menarik nafas panjang. Dia menyandarkan tubuhnya dengan pandangan lurus ke depan, “Kalau kau bercerita seperti itu…….sepertinya sang Ibu itu orang yang sangat jahat ya? Tapi………….. tidakkah itu berat sebelah? Apa kau pernah mendengar alasan sang Ibu melakukannya?”
“Hah?” aku ternganga tak mengerti.
“Hei, selalu ada dua sisi dalam sebuah cerita kan? Kurasa sang Ibu itu, mengingat dia seorang wanita karir yang sukses dan itu menunjukkan bahwa dia orang pintar, pasti dia melakukannya karena memiliki sebuah alasan yang kuat. Tak ada seorang Ibu yang dengan sadar, mengacuhkan anaknya. Mungkin dia hanya menginginkan anaknya tumbuh menjadi seorang pribadi yang kuat dan mandiri. Seperti seorang kenalanku.
Dia adalah seorang wanita kelahiran Bandung yang kebetulan, cukup cerdas dan mendapatkan sebuah beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Di sebuah universitas yang cukup ternama. Disana dia bertemu dengan seorang pria. Mereka jatuh cinta. Sayangnya, si pria itu berasal dari keluarga terpandang yang memiliki standart khusus untuk pendamping putra mereka. Mereka menentang hubungan keduanya. Klasik kan? Pada akhirnya, mereka berdua nekat menikah, meski sebagai akibatnya, si pria dibuang oleh keluarganya. Tapi keduanya tak peduli. Meski mereka sama-sama tak memiliki apapun, mereka nekat dan membina kehidupan bersama. Mereka bahagia. Dan kehidupanpun tersenyum pada mereka. Mereka dikaruniai seorang putra. Bisnis yang dirintis oleh si pria mulai berkembang. Tapi………..cerita kehidupan tak akan seru tanpa adanya konflik kan? Dan………….itulah yang terjadi.
Suami wanita itu meninggal karena sakit. Lucunya, setelah si pria meninggal, keluarganya yang dulu membuangnya, tiba-tiba saja menuntut untuk menguasai perusahaan yang dirintis oleh mereka berdua.”
“Mereka berhasil?” tanyaku.
Ibu itu menggeleng, “Untungnya mereka berdua sangat cerdas. Sejak mereka mulai merintis usaha itu, mereka sudah memastikan bahwa tak akan ada yang bisa mengambilnya dari mereka. Perusahaan itu aman. Si istri yang akhirnya meneruskan usaha sang suami. Tapi……….semua ada konsekuensinya. Usaha mereka yang baru berkembang itu membutuhkan banyak sekali curahan perhatian, pikiran dan tenaga. Wanita itu tahu, kalau dia tak mungkin membagi perhatiannya. Karena itu, dia harus memilih. Dia harus mencurahkan perhatiannya pada perusahaan itu, karena dia tak akan membiarkan putra mereka yang masih kecil bernasib sama dengannya. Dilecehkan, hanya karena tak memiliki harta. Dia menyiapkan putranya itu untuk menjadi penerus usaha mereka. Dia mencoba memberikan persiapan yang diperlukan oleh sang anak, agar nanti dia bisa menjadi penerus yang sukses. Dia juga menuntut sang anak untuk selalu berusaha sebaik mungkin. Dalam pendidikan dan juga hal lainnya.
Wanita itu memang tak bisa untuk terus berada di sisi sang anak, karena dia harus mengurus perusahaannya yang terus berkembang. Tapi hal itu tidak berarti bahwa dia tidak peduli atau tidak perhatian. Karena dia terus memantau. Terus memperhatikan sang anak dari jauh. Dia menempatkan banyak mata di sekitar sang anak. Tanpa setahu anak itu. Dia terus ada untuk anaknya, meski tidak secara fisik…..”
“Tapi apa itu bisa dibenarkan?”
“Menurutmu?” tanya Ibu itu balik.
“Menurut saya tidak.”
“Salah jika seorang Ibu menginginkan anaknya tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri? Salah jika sang Ibu ingin agar anaknya tidak bergantung pada orang lain? Salah jika Ibu itu mencoba mempersiapkan sang anak agar dia tidak mengalami nasib yang sama dengannya? Dilecehkan, bahkan disakiti oleh keluarganya sendiri. Kakeknya, neneknya, paman dan bibinya, serta semua sepupu yang seharusnya tumbuh bersamanya. Apa yang salah dengan itu?”
“Saya akan berterimakasih jika Ibu saya melakukan hal itu. Tapi itu kan tidak berarti harus mengorbankan hubungan mereka sebagai Ibu dan anak. Saya percaya, mungkin pada awalnya sang Ibu akan sulit membagi waktu antara perusahaan dan anaknya. Saya bisa memahaminya. Mengingat suaminya baru meninggal dan perusahaanpun baru berkembang. Tapi……….itu tidak harus berlangsung selama bertahun-tahun kan? Katakanlah satu tahun yang dibutuhkan bagi sang Ibu untuk beradaptasi dengan rutinitasnya, setelah itu, seharusnya sang Ibu sudah bisa untuk mengatur dan mencuri waktu agar dia bisa bersama sang anak….”
Ibu itu tertawa kecil, “Mungkin saja. Tapi…………sepertinya mereka terjebak dalam dunia masing-masing seperti yang kau katakan tadi. Seiring waktu, mereka mendapati diri mereka berada pada dunia yang berbeda…”
“Masih belum terlambat bagi si Ibu itu untuk memperbaikinya kan? Sang anak mungkin tak akan bisa memulai lebih dulu, karena dia masih muda dan emosional. Mungkin sang Ibu yang kembali harus membimbing sang anak. Agar mereka berdua kembali memiliki hubungan keluarga yang normal.”
“Kau cukup unik untuk seorang  pegawai panti biasa,” komentar Ibu itu setelah diam beberapa saat.
Aku nyengir mendengarnya, “Hanya pandangan sederhana seorang anak desa, Bu. Saya…”
“GHA!!! What are you doing there? Laporan itu harus…” Teguran Zaki yang berjalan dari arah samping kantor berhenti saat melihat aku tak sendiri.
“I’m sorry. Hanya tinggal sedikit kok. Aku akan menyerahkannya padamu sebentar lagi. Aku sedang menemani Ibu ini ngobrol dan..”
“Mom? You’re here?” tanyanya kaget.
Aku berpaling cepat pada Ibu yang duduk disebelahku. Wajahnya yang familiar itu ternyata benar pernah ku lihat. Di ruang tamu utama rumah Zaki. Lukisan minyak yang besar itu. Seharusnya aku tahu!
Detik itu juga aku ingin menceburkan diriku ke kolam!!

See?
Aku pandai dalam mengacaukan segala sesuatunya. Sepertinya aku memiliki bakat alam akan hal itu. Jadi wajar kan kalau aku merasa rendah diri bersama Zaki?
Dan……..belum lagi fakta bahwa Zaki memiliki ‘pengalaman’ yang lebih dibandingkan denganku.
Kedekatan terintim yang pernah aku lakukan dengan seseorang selain dia, hanyalah memegang tangan seorang cewek. Aku bahkan belum pernah berciuman secara benar. Yang pernah dilakukan Zaki padaku dulu tidak bisa dihitung sebagai ‘pengalaman’, karena tak ada romantisme disana. Aku tak tahu bagaimana seharusnya melakukan French kiss. Apalagi untuk lebih jauh dari itu. Sementara Zaki…………. tak perlu dikatakan lagi.
Aku bukan bocah yang terlalu naïf. Aku tahu kalau Zaki pasti memiliki ‘kebutuhan’ akan hal itu. Hell, bahkan akupun menginginkan dan membutuhkannya. Aku ingin mendapatkan ‘pengalaman’ itu. Tapi aku pasti hanya akan mempermalukan diri didepan Zaki.
Selama kami berkencan, suasana canggung dan kaku hampir selalu ada. Baik aku ataupun Zaki tak tahu harus bagaimana. Andai saja Zaki cewek, mungkin aku bisa memiliki ’rencana’ harus melakukan apa. Bagaimana memulai dan menyerahkan sisanya pada waktu. Tapi……kami sama-sama pria. Jadi…..aku tak tahu harus melakukan apa. Aku nyaris frustasi.
Dan saking putus asanya, aku menemui satu-satunya orang yang ku kenal dan yang jelas memiliki pengalaman.
Regi!!
Waktu itu aku meminta Regi untuk tinggal di ruang redaksi dengan alsan bahwa ada yang harus aku tanyakan. Regi mengiyakan saja meski mukanya jelas menampakkan keheranan saat aku menolak untuk meminta Vivi untuk bergabung bersama kami. Aku menunggu sampai ruang reaksi sepi, dan hanya tersisa kami berdua.
“Lo jadi mo nanyain sesuatu ke gue gak sih?” tegur Regi saat untuk beberapa lamanya aku mendiamkannya. Sedari tadi aku menyibukkan diriku dengan laptopku. Tak tahu harus memulai darimana.
“Eeeerrr….gini Gi. Gue mo nanya soal…..” aku kembali kehilangan kata-kata. Gila!!! Masa gue kudu jelasin ini ke Regi! Tengsin abisss!!!!
“Apaan?” sergah Regi tak sabar.
“Eeuuh ini, Gi. Lo bi-bisa… Maksud gue, anu….Gu-gue mo nanya so-soal..”
“Sex?”
Mukaku segera memerah dalam hitungan detik. Aku hanya mampu mengerang kesal. Sementara Regi langsung ngakak sampe terbungkuk-bungkuk begitu tahu tebakannya tepat. Aku menelungkupkan kepalaku dimeja. Malu luar biasa. Menutupi kepalaku dengan buku diktat yang ku bawa dan mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa ini cuma mimpi buruk. Seharusnya aku tahu kalau berbicara soal ini dengan Regi adalah ide buruk. 
“Yaolooooohh!! Ikke gak nyangka kalo bakal datang hari dimana yey nanyain soal gimana meyong ma lekong,” seru Regi dan kembali ngikik, “Yaolooooh perut gue sakit!” keluhnya lagi sembari mengusap sudut matanya yang basah.
“Lupain aja! Gue pulang,” gerutuku dan bangkit. Tak mampu lagi menahan rasa malu.
“Eh, bentar dong. Sorryy. Kasih ikke waktu sebentar yee…” pintanya dan kemudian menarik nafas, terlihat berusaha menahan diri. Dan beberapa detik kemudian……….,
“GYAAAAAHAHAHAAHAHAAHAA…….!!!!” Dia kembali ngakak dengan senengnya. Aku merengut kesal karena dia begitu menikmati, sementara aku salah tingkah dan malu setengah mati.
“Seneng ya lu kalo liat gue galau gini…?” sungutku kesal.
“Abis yey gilingan ah. Masa mo mesong aja bingung. Bukannya itu udeh naluri?”
“Kalo gue ngelakuinnya ma cewek, gue gak bakal nanya ma elu, Gi. Ini…….. Zaki. Kami……sama-sama cowok. Plus…..dia punya pengalaman yang jauh lebih banyak.” jelasku dengan sedikit nada panik.
“Lo beneran virgin, Gha?”
“Ciuman bibir dengan bener aja gue belom pernah, Gi,” ujarku dengan muka sengsara, “Gimana kalo gue bikin dia ….”
Regi meletakkan satu tangannya di lenganku untuk menahanku, “Kalo soal dia kecewa atau enggak, lo gak perlu musingin itu. Gue rasa Zaki bukan orang dangkal yang bakalan ninggalin lo cuman karena lo gak tau cara ciuman yang bener. Lo emang belom pernah liat bokep?”
“Pernah lah Gi. Tapi straight! Kalo yang gitu gue tahu…”
“Pada prinsipnya sama kok. Foreplay ma pettingnya gak jauh beda. Bentar deh, gue punya beberapa video di hape gue,” ujarnya dan mengeluarkan hapenya, “Lo bisa liat langsung gimana foreplay-nya. Ini bagus dan halus mainnya. Sweet banget. Lo liat deh..” ujarnya dan menarikku untuk mendekat. Dia meletakkan hp-nya ditengah meja.
Adegan itu dimulai dengan seorang cowok bule yang sedang memasak didapur. Beberapa detik kemudian, pemeran kedua, seorang cowok cakep pirang dengan tubuh kekar masuk. Tahu-tahu mereka berdua berciuman, saling meraba dan dilanjutkan terlepasnya pakaian yang melekat di tubuh mereka. Tahu-tahu si cowok yang masak tadi sudah memegang kemaluan pasangannya lalu………..memasukkannya ke mulutnya.
Tubuhku langsung kaku dengan tangan yang jadi sedingin es melihat adegan itu. Aku bisa melihat bagaimana cowok yang sedang mengulum penis itu begitu menikmatinya. Seakan-akan dia sedang menjilati sebatang es krim terlezat di dunia. Cowok pasangannya juga merem melek dan mengeluarkan erang kenikmatan.
Gustiiiii!!! Apa mungkin aku bisa melakukan hal itu? Apa bisa aku memegang titit orang lain dan…
Aku terbelalak hebat saat cowok priang tadi menarik berdiri pasangannya. Membalikkan badannya dan kemudian mengarahkan penisnya yang menegang hebat ke bagian belakang tubuh pasangannya dan kemudian…
Aku memejamkan mataku rapat-rapat!
“Matiin Gi!” desisku dengan suara bergetar. Aku tak membuka mataku sampai akhirnya Regi mencolek tanganku pelan. Aku berpaling untuk melihatnya. Matanya tenang dan bibirnya tersenyum. Tapi mungkin dia melihat dengan jelas ketakutan dimataku karena dia tak mengeluarkan sedikitpun lelucon untuk menggodaku. Aku mencoba bangkit, tapi tubuhku terlalu lemas sehingga aku jatuh kembali di kursiku. Kakiku seperti tak bertulang.
Aku menunduk dan baru sadar kalau tanganku gemetar hebat. Aku menoleh pada Regi, panik.
“Apa gue ha-harus….ha-harus…” aku tak sanggup melanjutkan kalimatku.
“Lo nggak harus melakukannya kalo lo gak mau…” jawab Regi dengan bibir yang tersenyum. Dia lalu bangkit berdiri. Kukira dia pergi meninggalkanku sendiri untuk menenangkan diri, tapi beberapa saat kemudian dia kembali dengan segelas air, “Lo minum dulu.”
Aku menurut saja apa katanya. Gemetar di tubuhku memang sedikit mereda setelah aku minum sedikit air, tapi panikku masih belum hilang. Adegan tadi masih terbayang dengan jelas. Pria itu tadi memasukkan kejantanannya yang panjang itu ke dalam……
Allaaaahh!! Aku tak ingin mengingatnya!
“Gha, seks itu bukan hanya tentang pelampiasan nafsu ataupun pemenuhan kebutuhan biologis semata. Seks bisa menjadi sakral dan bahkan menjadi sebuah bentuk ibadah bagi pasangan suami istri. Tidak ada hal menjijikan tentang seks. Kecuali bagi mereka yang mengeksploitasi dan menjadikannya komoditi. Bagi gue, seks antara dua orang yang saling mencintai adalah sakral. Karena dalam seks itu, ada dua jiwa yang bertemu dan saling mencintai. Ada dua tubuh yang disatukan oleh kebutuhan jiwa dalam memenuhi tuntutan naluri primitifnya. Dan itu bisa menjadi indah dan tak akan pernah terlupakan…”
Aku menarik nafas panjang dan menoleh ke arahnya, ”Deskripsi yang indah, Gi. Tapi tetap saja hal itu gak menghapus fakta kalau pantat gue mungkin harus di….” Aku kembali tak bisa meneruskan kalimatku. Aku meraih gelas minumanku tadi dan menandaskan isinya.
Regha tergelak, “Well, lo bisa menolaknya kalau emang lo gak mau. Biar Zaki yang…”
“Lo ngigo apa?” sergahku cepat memotongnya, “Lo liat sendiri sosok Zaki. Dia seorang…..pria dalam artian yang sesungguhnya. Baik dari segi fisik ataupun kepribadian. Gak mungkin kalau dia…” Lagi-lagi kalimatku terhenti.
“Tubuh yang gagah, titit gede dan sikap macho bukan menjadi alasan seseorang itu menjadi bottom kok.”
Aku hanya melihatnya dengan tatapan heran. Regi memutar bola matanya.
“Bottom itu istilah buat yang nerima. Dan Top untuk yang memberi,” jelasnya kemudian. Dia lalu kembali meraih hapenya, “Lo liat ini. Namanya Leo Giamatti. Bintang porno gagah yang tubuhnya lebih kekar dari bodyguard presiden dan tititnya segede pentungan maling. Tapi dia bisa jadi bottom….”
Regi menyerahkan hapenya itu padaku. Aku melihat sekilas fast forward adegannya. Dia benar. Siapa sangka seorang lelaki dengan fisik sangar seperti itu bisa bottom.
“Dan jangan pernah berpikiran kalau menjadi bottom berarti lo bukan cowok. Being a bottom doesn’t mean you’re less than a guy. Atau jadi bottom berarti lo jadi ceweknya. Itu Cuma pandangan gay picik yang suka memberi label dengan stigma salah kaprah dan munafik luar biasa. Seks itu saling memberi, memuaskan dan setara. Gay itu hubungan antara 2 orang yang sama-sama pria. Bukan satu pihak pura-pura menjadi wanita. Itu transgender. Dan itu berbeda. Ini tentang posisi yang lebih nyaman bagi kalian berdua. Kalo satu pihak lebih nyaman jadi top, ya top aja. Kalo memang lebih nyaman dan suka jadi bottom, ya bottom aja. Gak ada hubungannya dengan  status mana yang lebih pria dan mana yang jadi wanitanya. Jadi gak usah diributin.”
“Terus gimana kita mutusin siapa yang jadi top atau bottom? Kalo ama Zaki, jelas gue yang jadi bottom kan?” sergahku lagi.
Regi mendecak keras, “Belum tentu juga kali, Gha. Kedudukan lo ma Zaki itu setara. Kalo gue bilang sih kalian berdua perlu bereksperimen bareng. Kalian menentukan bersama. Atau kalo emang ga ada masalah, kalian bergiliran aja semaunya.”
“Tapi Zaki…”
“Kalo dia maksa lo, lo tinggalin dia!” potong Regi, "Kalo emang Zaki maksa elo buat jadi bottom, berarti dia ga cinta ma lo. Dia cuma mencari pemenuhan kebutuhan dan penaklukan seperti biasanya. Lo tinggalin dia. Jadi jangan pernah ragu buat bilang ‘tidak!’ padanya. Ok?”
Aku hanya bisa mengangguk lebih karena ekspresi wajahnya yang kembali menjadi sosok Regi yang tegas dan keras. Aku tak ingin membantahnya dalam kondisinya seperti ini. Meski aku masih belum yakin kalau aku sudah menemukan solusi dari masalahku.

Dan akupun mendapat kursus kilat khusus sore itu dari Regi.
Dan prakteknya, itu lain cerita.
Pertama kukira semua akan berjalan dengan lancar setelah kursus yang aku terima. Aku yang sudah beberapa lamanya hampir frustasi dengan lambatnya perkembangan hubungan kami, mulai mendapat sedikit kepercayaan diri. Bayangkan saja, selama lebih dua bulan kami jadian, hal terintim yang kami lakukan hanya pegangan tangan. Itupun hanya saat kami akan berpisah dan cuma sebentar. Padahal aku sudah gemas untuk bisa merasakan bibirnya yang merah itu. Setiap kali kami duduk berdekatan, di mobil ataupun di bioskop, rasa-rasanya aku ingin menerkamnya.
Harum tubuh floralnya yang mengingatkanku akan kesegaran hawa pegunungan membuat irama detak jantungku meningkat. Tiap kali ku lihat dia berdiri didepanku, dengan memakai baju apapun- t-shirt ataupun kemeja- yang entah bagaimana bisa begitu pas dan memperkuat lengkung tubuhnya, aku diam-diam menelan ludah. Aku bahkan nyaris bisa melihat gerakan naik turun dadanya yang tegap. Dan tiap kali kami berbicara, dia yang duduk atau berdiri didepanku, dengan sesekali menjilat ataupun mengigit bibirnya, membuatku harus mati-matian menahan diri untuk tidak menerkamnya.
Sial!!!
Semula ku kira semuanya akan terasa aneh dan tidak menyenangkan. Tapi apa yang aku rasakan bersamanya, gairah, kedekatan kami dan reaksi tubuh kami, semua terasa begitu normal. Seperti yang pernah ku rasakan pada lawan jenisku dulu. Fakta bahwa kami sama-sama lelaki dengan anatomi tubuh yang sama, tidak membuatku ngeri. Aku bahkan nyaris tidak bisa menahan diri. Pokoknya kali ini harus berhasil!
Karena itulah saat Zaki meminta pendapatku ingin pergi kemana malam ini, aku hanya menjawab singkat, “Nonton,” lalu masuk ke dalam mobilnya.
Dia tertawa kecil, “Nggak bosen? Bukannya hampir semua film yang sedang tayang sudah kita tonton bareng?” tanyanya geli.
Aku menggeleng, “Aku nggak ingin nonton bioskop. Aku ingin kita nonton dikamarmu. Seperti yang kita lakukan dulu,” kataku lagi pelan.
Sejenak dia memandangku seakn tak percaya kalau barusan aku mengatakan hal itu, hingga kemudian senyumnya kembali muncul, “I think that’s a good idea. Ada film tertentu yang ingin kamu liat?” tanya Zaki dengan nada menggoda dan menggigit bibirnya. Kebiasaan yang tanpa sengaja dia lakukan saat dia menggodaku.
Tuh kan? Bisakah kau hentikan itu?!!! Aku mungkin harus menyeretmu ke kamar kostku lagi! batinku. Tapi aku harus menahan diri dan menarik nafas panjang, “Kenapa kita tidak melihat koleksimu lagi, dan kita putuskan nanti,” jawabku dan memalingkan wajah ke depan untuk mengalihkan perhatianku dari bibirnya. Lagi-lagi dia cuma tertawa dan menghidupkan mobilnya.
Sepanjang perjalanan dari kost ke rumahnya, otakku sudah merancang 1001 jenis skenario, bagaimana malam ini harus berjalan. Semua tertata dan tergambar dengan detil. Sejak serangan pertama, hingga ekspresi yang mungkin akan muncul di wajahnya. Tapi begitu mobil Zaki memasuki pagar, aku mulai ragu apakah semua rencana tadi bisa berhasil, ataukah aku justru akan terlihat konyol. Saat berjalan memasuki rumahnya, tangan dan kakiku mulai berkeringat. Mencapai kamarnya, tangan dan kakiku sudah sedingin es. Dan begitu masuk entertainment room-nya, otakku langsung blank!
Jadi aku cuma berdiri disana sambil memandang ke saentero ruangan, seakan-akan aku pertama kali melihatnya. Jadi diruangan ini semuanya akan terjadi, batinku. Disini aku akan kehilangan keperjakaanku dan akan ada sesuatu yang memasuki…
Tubuhku mendadak kaku.
“Gha? What’s wrong?” tanya Zaki yang berdiri didepanku dengan tatapan bingung.
“Hah? W-what?” tanyaku balik bego.
“Ada yang salah?”
Aku cepat-cepat menggeleng dan tersenyum untuk menutupi kegugupanku, “No-nothing. It’s fine….” Jawabku dengan suara yang tiba-tiba saja naik 3 oktaf dari biasanya. Aku mencoba tertawa, tapi tawaku justru terdengar aneh dan dipaksakan.
Zaki diam dan memperhatikanku, hingga akhirnya dia mengangguk dengan senyum tersenyum, “Oooh, I see. Kamu……takut ya?”
Aku menyentakkan diriku dari hipnotis matanya yang tadinya memerangkapku. Aku kembali tertawa, meski masih gugup, “En-enggak kok. A-aku…”
Zaki mengangkat tangannya, “It’s fine. Me too…” potongnya dengan senyum malu-malu.
Aku tak tahu harus merasa lega ataukah bagaimana. Selama ini masing-masing dari kami tak pernah membicarakan perasaan yang muncul diantara kami pada saat seperti ini. Kami hanya berpura-pura bahwa semua ketegangan diantara kami saat berdua itu tak ada. Sepertinya kami berdua terlalu malu dan gengsi untuk mengakuinya. Siapa yang tidak?
“Aku berjanji kalau kita tidak akan melakukan sesuatu yang tidak kau inginkan, ok?” katanya lagi. Aku hanya mengangguk. Tubuhku menjadi sedikit rileks. Jadi aku melempar senyum tipisku padanya.
“Thanks…” bisikku lirih.
Dia mengangguk dengan senyum tenang untuk meyakinkanku, “Now…..kenapa kau tidak memilih film apa yang kau ingin tonton. Aku akan ke bawah untuk mengambil sedikit makanan dan buah. The fridge is full of beverage only, ok?” katanya dan berlalu meninggalkanku.
Begitu dia hilang, aku menepuk jidatku dengan kesal, “Bego! Bego! Bego!! Ngapain coba lu berdiri bengong doang?!” gerutuku kesal pada diriku sendiri. Harusnya tadi aku melangkah mendekatinya dengan senyum menggoda, meletakkan telapak tanganku di dadanya. Menyatukan tubuh bagian depan kami, sedikit menggeseknya dan mengatakan bahwa satu-satunya hal yang aku inginkan adalah melumat habis bibir merahnya. Tapi aku malah bengong dengan pose orang autis parah!
Akhirya aku memilih untuk mencari film yang mungkin akan memperbaiki mood kami berdua. Pilihanku jatuh pada film The Holiday-nya Kate Winslet dan Cameron Diaz.
“So, what are we gonna watch?” tanya Zaki yang baru masuk. Dia langsung duduk di permadani, sambil bersandar pada sofa. Diletakkannya sepiring buah-buahan dan beberapa camilan di sebelahnya.
“The Holiday. Film lama. Tapi…….sepertinya bagus,” ujarku dan mendekat. Aku lalu duduk disebelahnya dan meraih setangkai buah anggur hijau. Untuk beberapa lamanya kami hanya diam dan melihat adegan film di layar. Baru beberapa menit adegan berjalan, kami sudah disuguhi drama Kate Winslet yang naksir pada teman sekantornya. Sang pria itu selalu bersikap baik padanya. Memberinya sedikit perhatian yang memang agak berlebih dari sekedar teman biasa, membuat Kate terus-terusan mencintainya. Tapi selang beberapa saat kemudian, didepan semua teman kerja mereka, si pria mengumumkan pertunangannya dengan wanita lain.
Kate patah hati.
Dan anganku melayang pada Mas Rizky.Rasa bersalah kembali menggelayutiku. Perjumpaan terakhir kami berjalan begitu hambar. Aku bisa melihat perubahan Mas Rizky. Dia………..bukan lagi pribadi yang ku kenal dulu. Ada kesedihan yang terlihat jelas darinya. Pandangannya yang datar dan bahunya yang turun semakin membuatku terbebani. Aku ingin melakukan sesuatu untuknya. Tapi…………..apa?
“You’re crying?” tegur Zaki heran, “Filmnya……………tidak begitu sedih kan?”
“Aku……….ingat Mas Rizky,” kataku pelan. Zaki langsung menggeram mendengar itu. Reaksi yang selalu dia tunjukkan saat mendengarku menyebut nama Mas Rizky didepannya, “Bukan seperti itu, Ki. Entah kau mau mengakuinya atau tidak, aku berhutang banyak padanya. Dan aku tidak memberinya apapun selain…..luka.”
Zaki tak mengatakan apa-apa. Dia hanya menyingkirkan baki berisi buah dan camilan, lalu meraih kepalaku dan menyandarkannya di bahunya. Untuk sesaat tubuhku kembali kaku mendadak. Dan tanpa sadar aku telah menahan nafas.
“It’s fine,” bisiknya pelan dengan pipi yang menempel di kepalaku, “Aku tahu kau peduli pada Rizky. Aku hanya tidak suka kalau dia membuatmu merasa kacau seperti ini.”
Usapan pelannya dikepalaku yang akhirnya membuatku ingat untuk menarik nafas. Bersamaan dengan oksigen yang masuk ke hidungku, aku kembali bisa mencium harum floral tubuhnya yang membuat semua indraku terbangun. Kehangatan dan harum tubuhnya yang akhirnya membuatku mengumpulkan keberanian dan beringsut untuk lebih mendekat padanya. Hingga akhirnya wajahku tersembunyi dilehernya. Dan rahangnya menempel pada ujung kepalaku. Tubuhkupun kini berada diantara kedua kakinya.
Untuk kali pertama, dalam kedekatan seperti ini, kami berada dalam satu ruangan. Untuk pertama kalinya  kami berada dalam keintiman yang pribadi seperti ini. Keintiman yang hanya kami miliki bersama. Tanpa orang lain. Layar yang masih menayangkan lanjutan film itupun terlupakan. Aku mengangkat wajahku untuk melihatnya. Dengan punggung yang ditahan oleh lengan kuatnya, aku sedikit menjauhkan wajahku untuk menelusuri wajahnya.
Pandanganku tertumbuk pertama kali pada bibirnya yang kini merah membasah. Garis belah diatasnya, naik ke hidung dan berhenti dimatanya. Mata yang kini juga melihatku dengan tatapan seksama. Tanganku terangkat perlahan dan berhenti disisi wajahnya. Kuusapkan pelan telapakku pada rahang, pipi dan berhenti pada dagunya. Aku bisa merasakan cambang yang tumbuh disepanjang garis rahang dan dagunya.
Orang ini…..
Wajah yang menawan ini….
Milikku….
Wajah Zaki semakin mendekat hingga profilnya memenuhi pandanganku. Mataku terpejam saat bibirnya yang basah menyentuh bibirku yang gemetar. Sebuah kecupan ringan diberikannya dengan lembut. Sentuhan ringan saja. Dan dia kembali menarik wajahnya. Tanpa sadar aku mengeluarkan erangan kecil kecewa karena bibir itu hanya singgah sebentar diatas bibirku.
Jika beberapa waktu yang lalu ada orang yang mengatakan bahwa berciuman dengan seseorang adalah hal yang biasa dan wajar, aku mungkin akan mengangguk dan menyetujuinya. Tapi percayalah. Hal itu salah besar. Karena berciuman adalah sebuah hal yang luar biasa. Seperti sekarang.
Aku bisa merasakan saat Zaki kembali menciumku, kali ini diikuti oleh kuluman lembut, singkat namun sensual yang membuatku terkesiap menahan nafas. Aku bisa merasakan bibirnya. Bibir yang lembut, kenyal dan manis. Dan dengan setiap gerakan kuluman lembut bibirnya, dia seolah-olah menarik sebagian jiwaku dengannya. Tahu-tahu tangan kananku sudah bergerak diantara rambutnya, berhenti di belakang kepalanya, dan menekan wajahnya agar tak menjauh lagi.
Zaki tidak berontak. Dia kembali mendaratkan bibirnya pada bibirku. Bibirnya kembali mengulum bagian bawah bibirku. Kali ini ditambah dengan gigitan-gigitan kecil. Dan aku kembali terkesiap saat lidahnya mengusap garis bibirku. Menggodaku, memintaku untuk membuka bibir. Dan aku melakukannya.
Ciumannya yang lembut kini semakin dalam. Setip kuluman bibirnya membuatku kepalaku berputar. Setiap usapan lidahnya di lidahku membuatku mengerang. Kedua tanganku kini berada dibelakang kepalanya. Semua yang ada disekelilingku mulai tak terlihat. Semua hilang dalam putaran kencang yang menyeretku larut didalamnya. Seperti sebuah lubang hitam yang terus menerus menarikku. Dan aku tak melakukan perlawanan. Kuikuti arus beputar yang membuatku pening dan terbang itu. Satu-satunya hal yang membuatku sedikit sadar adalah saat kurasakan sekujur tubuhku seperti ditekan. Aku menarik nafas singkat tertahan begitu tahu bahwa kini tubuh Zaki yang besar itu telah menindihku.
Dia diatasku…
Dia menekanku..
Aku sontan gelagapan dan secara refleks mendorong tubuh Zaki hingga dia jatuh ke sampingku!!

Entah untuk berapa lamanya kami berdua saling berpandangan dengan mata terbelalak, kaget. Nafas kami sama-sama memburu. Pikiran kami sama-sama tak berfungsi untuk beberapa saat lamanya. Saat aku sadar, tahu-tahu aku mulai beringsut duduk dan meringkuk sembari memeluk kedua kakiku.
“Ma-ma-maaf…”ujar Zaki gelagapan dan berdiri. Dia berupaya merapikan bajunya yang sedikit kusut. Dan menyisir rambutnya yang berantakan dengan tangan, “So-sorry. Aku sedikit t-terbawa. A-aku k-keluar sebentar untuk…..a-air..” ocehnya tak jelas dan segera keluar dengan wajah merah padam.
Sekitar satu menitan setelah dia keluar, aku baru sadar betapa konyolnya reaksiku. Aku bertingkah sekan-akan dia berusaha memperkosaku. Padahal boleh dibilang aku yang punya inisiatif. Tapi aku justru ketakutan. Aku menepuk jidatku dengan keras.
“Goblok!!!” umpatku kesal. Padahal tadi………..bibirnya sudah….
AAARRRRGGHHH!!!!!
Aku mengacak-acak rambutku!!!
Sisa malam itu berjalan dengan kami duduk terisah sekitar 2 meter dan menonton lanjutan film The Holiday dalam keheningan yang mencekam. Begitu film selesai, dia meawarkan diri untuk mengantarkanku pulang yang tak lagi bisa ku tolak. Dalam perjalanan kembali ke kostan, kamipun tidak saling bicara ataupun melihat. Aku ingin memperbaiki kesalahanku, tapi tak tahu harus bagaimana.
“We’re here.”
Dan tahu-tahu kami telah sampai, pikirku kesal. Aku tidak langsung turun. Tapi diam disana dengan kepala tertunduk dan jari jemari yang bergerak gelisah di pangkuanku.
“I’m sorry,” bisikku akhirnya, masih dengan kepala yang tak mampu ku angkat.
“Don’t be,” jawab Zaki singkat.
Aku mengangkat wajahku dan berpaling untuk melihatnya, “Zake, aku tadi…”
“Aku juga ketakutan…” jelasnya singkat. Tak ada riak kemarahan dalam matanya. Dia hanya mengatakan apa adanya. Dalam tatapan lembutnya, aku hanya melihat bahwa dia peduli, “Kita tak perlu memaksakan diri untuk melakukan apapun yang tidak kita inginkan. Kita akan melakukannya saat kita berdua siap. It’s kinda new for us. Wajar kalau kita berdua……kacau. Aku tak ingin memaksamu melakukan sesuatu hanya karena aku menginginkannya. I love you too much to do that. Dan kaupun jangan segan untuk memberiku batasan. Segala sesuatunya akan terjadi saat kita telah siap. Saat kita berdua menginginkannya. Pada waktunya…. Before that, we just to have it slowly. Deal?”
Dadaku berbungan dan kelegaan. Kurasa aku telah kembali jatuh cinta padanya. Jadi aku menatapnya dengan lembut dan berkata, “Kalau begitu, bisakah kau memberiku sebuah ciuman lagi?”
Dan dia melakukannya. Sebuah ciuman, kuluman lembut dibibirku dengan bibirnya yang merah dan memabukkanku. Aku hampir saja mempermalukan diri dan mengerang saat dia melepaskan bibirnya dariku.
“Good nite, Gha,” katanya.
Aku hanya mengangguk dengan pipi merona.
Malam itu aku tertidur dengan senyum. Dan aku masih bisa merasakan gerakan bibirnya diatas bibirku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar