REGHA
Orang bilang,
pacaran itu enak, bikin ketagihan dan bikin lupa yang lainnya. Pacaran tuh
bikin dunia serasa milik berdua, sementara orang lain cuma ngontrak! Tapi kalau
aku ditanya, saat ini pacaran itu MEMBINGUNGKAN!!!
Mungkin kalau aku
pacaran dengan Emma atau yang lain, semuanya akan menjadi lain. Aku sedikit
tahu dan punya bayangan akan apa yang harus aku lakukan pada cewekku nantinya. Tapi……aku
pacaran dengan Zaki yang boleh dibilang adalah sebuah enigma. Bagiku, dia juga
seorang sosok, yang tak akan mungkin bisa memiliki hubungan dengan manusia
seperti aku.
Yang pertama, dari
fisik, dia sudah mendapat pengakuan dari berbagai kalangan. Kalo dibandingin
denganku…..? Mungkin hanya butuh waktu satu detik bagi orang untuk memutuskan
hasilnya, kalau dia harus memilih salah seorang dari kami.
Kedua, dia berasal
dari kultur berbeda dengan aku. Dia tumbuh dengan pola pemikiran yang mungkin
jauh lebih modern, liberal dan frontal. Aku tumbuh di Majalengka, yang boleh
dibilang masih kental budaya ketimurannya. Dalam bergaul, kami yang hidup
disana, masih memiliki norma dan batasan yang jelas. Aku tahu kalau hal itu
berlaku bagi pasangan berbeda jenis, tapi kan tetap saja. Bagiku yang tumbuh
dan besar dengan budaya timur, semua hal itu tetap berlaku.
Zaki memiliki
pengalaman yang jauh lebih banyak dan lebih lengkap dibandingkan denganku. Aku
sudah menjadi saksi hidup, bagaimana gaya berpacarannya. Sementara aku, ciuman
baru sekali. Itupun dengan Zaki dan dalam situasi yang tidak kondusif. Waktu
itu Zaki menciumku hanya untuk membungkam dan mengejekku. Aku benar-benar minim
pengalaman. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tak mau kalau sampai
Zaki berpikiran bahwa dia punya pacar seorang pengidap autis akut. Yang
membawaku ke poin ke tiga.
Aku merasa bahwa
kami berbeda kelas. Dan Zaki, menurutku, lebih pantas bersama dengan orang yang
memiliki kualitas jauh lebih baik dariku. Semua hal yang menempel di tubuh Zaki
meneriakkan kelas elit yang jelas. Cara dia bersikap, berpakaian, berbicara
ataupun berjalan. Semuanya. Rasa-rasanya aku hanya menjadi upik abu konyol
kalau bersanding dengannya. Seringkali aku merasa rendah diri. Bahkan, terselip
rasa tak tak percaya bahwa kami benar-benar ‘bersama’.
Dan ternyata………….aku
tidak sendiri dalam hal ini. Zaki sendiri juga jelas mendapatkan sedikit
‘kesulitan’ saat beradaptasi denganku. Contohnya saja kejadian pas dia main ke
kostku.
Waktu itu Zaki
memang memberiku kabar kalau dia akan maen dan kebetulan saja Regi dan Vivi
juga lagi bareng disana untuk menyelesaikan artikel bulletin kampus. Kami
berempat duduk santai di serambi kostan. Ngobrol dan sesekali bercanda.
Saat itu lewat Mas
Bagus. Pedagang sate keliling yang asli dari Madura dan berwajah arab gelap.
Regi yang beberapa kali pernah mencicipi kelezatan sate Madura-nya langsung
saja bangkit dan berteriak heboh memanggil Mas Bagus. Banci sarap yang satu itu
emang kadang suka menggoda Mas Bagus yang menurutnya berwajah manis. Keduanya
sudah cukup akrab untuk ukuran penjual dan pelanggan. Mas Bagus terkadang suka
membalas godaan Regi dengan tak kalah serunya.
“Mas ikke mawar dong
satenya. Yang pedes ya? Lapangan bola nehh. Kalian mawar juga kan?” tawarnya
pada Vivi dan aku yang segera saja mengangguk antusias.
Saat itu Zaki hanya
mengangkat bahu dan kemudian berpaling padaku, “You know what, sometimes I
don’t get him. Dia terkadang berbicara dengan pola kalimat yang absurd dan
sulit dimengerti. It’s like he’s talking with a different language,” tukasnya
dengan kening berkerut.
Vivi tergelak kecil,
“Itu bahasa gaul, Ki.”
“Bahasa gaul? Is
that a new languange?”
“Nope! Bahasa gaul
sebenarnya hanya pengembangan dari bahasa Indonesia yang sudah ada. Bahasa gaul
lebih sebagai bahasa yang digunakan untuk kalangan tertentu. Sejenis bahasa
sandi yang menggunakan kata-kata yang sudah ada, tapi bermakna lain. Semua
orang sudah pake kaleee,” seloroh Regi yang sudah kembali duduk disebelah kami
untuk menunggu satenya.
“Tapi kenapa tak ada
satupun selain kamu yang menggunakannya?” tanya Zaki bingung.
“Karena cuma anak
gaul yang hip dan up to date yang bisa menggunakannya. Gampang kok. Misalnya
saja kalau kamu mau beli sate kayak aku tadi, kamu hanya harus bilang, ‘Mas,
akika mawar makasar satenya juga. Lapangan bola nih,’. Yang kalau diartikan
dalam bahasa baku berarti, Mas, aku mau makan satenya juga ya? Lapar berat ,”
celoteh Regi lancar yang membuat aku dan Vivi cuma mesem mendengarnya.
“Akika….mawar
makasar sate? Lapangan bola?” ulang Zaki dengan kening sedikit berkerut.
“Yup!!” sahut Regi
yang kemudian bangkit dipanggil Mas Bagus. Aku dan Vivi Cuma saling menatap dan
menggelengkan kepala dengan keisengan Regi, lalu kembali mengetik artikel kami
yang hanya perlu sedikit editing.
Dan kami berdua
langsung terlengak kaget saat beberapa detik kemudian kami mendengar Zaki
berkata, “Eeeuuh Mas, akika mawar…makasar juga satenya. Lapangan bola.”
Kalau Regi bisa
mengucapkan kalimat itu dengan luwes dan gaya yang khas, Zaki mengucapkan
kalimat tadi dengan sikapnya yang macho, kaku dan tegas. Aku, Vivi dan Regi yang
masih berdiri memegang piringnya, bengong hebat. Bahkan Mas Bagus juga tak
kalah kagetnya.
“Ya Allaaaahh, jadi
ente banci juga? Gak nyangka ane. Padahal muka bule, cakep, gagah lagi.
Ck..ck…ck…” decak mas Bagus dengan suara maduranya yang lantang membahana.
Aku, Vivi dan Regi
langsung bangkit, balik arah dan berjingkat pergi dari sana secepat mungkin.
Hanya beberapa detik kemudian terdengar raungan keras Zaki yang membahana.
“REGIIIIII!!!!”
Kalian lihat kan?
Kadang ku kira Zaki itu cuma salah bergaul. Dia seperti orang yang salah tempat
jika bersama dengan kami. Seakan-akan dia lebih pantas bersama dengan orang
lain. Mereka yang boleh dibilang lebih beradab dan lebih….sophisticated
daripada aku dan teman-temanku.
Dan tak ada lagi
tempatku untuk bercerita, selain pada banci sarap satu yang jadi temanku. Regi.
Pertama kali aku
memberitahuku akan perasaanku tentang hubunganku dengan Zaki, dengan soknya dia
mengangguk paham.
“Lo masih ragu kalau
dia beneran suka ma lo apa enggak?” rangkumnya singkat. Menakjubkan bagaimana
dia bisa menyingkat cerita panjangku selama hampir setengah jam itu dengan
sebuah kalimat tanya. Tapi memang itu benar kan? Aku boleh dibilang memang ragu
akan semua ini.
“Gue…”
“Ragu…” timpal Regi
kalem.
“Gi, dia bisa
ngedapetin siapa aja yang dia mau. Cowok ataupun cewek. Gak akan aneh misalnya
kalo dia jalan ma Jordan. Mereka lebih pantas..”
“Dan Vivi pasti
bakal ribut ngajak gue ke dukun buat nyantet Zaki kalo aja dia ngegaet Jordan,”
selanya kemudian. Mau tak mau aku jadi tertawa kecil mendengarnya.
”Sarap lo!”
gerutuku.
“Gha, dia emang bisa
ngedapetin siapa aja yang dia mau. Tapi dia kan cuma mau ma elu.”
“Gi…”
“Iya gue tahu,”
sergahnya, memotong rengekanku, ”Gini aja. Gue punya ide. Gue akan bawa kalian
berdua ke suatu tempat. Weekend ini kita kesana. Kita test kesiapan dan
kesungguhan kalian berdua dalam menjalin hubungan ini. Gue tahu ini sangat baru
dan aneh buat kalian berdua. Jadi wajar kalo kalian ngerasa gak karuan begini.
Anggap aja gue jadi guide kalian berdua, ok?”
Aku bengong saat dia
menggunakan kata ganti orang ketiga jamak pas bicara tadi. Padahal awalnya dia
cuma menggunakan kata ganti orang kedua. Regi sepertinya tahu kalau aku merasa
heran. Karena dia kemudian memberikan isyarat padaku untuk menoleh ke belakang.
Hatiku mencelos saat
kulihat Zaki berdiri dipintu masuk ruang redaksi yang sepi. Jelas dia sudah
mendengar semuanya. Aku sudah khawatir kalau dia akan meledak seperti biasanya.
Tapi cowok itu hanya berjalan mendekat untuk kemudian berhenti disebelahku.
“Sure! Aku siap
pergi,” ujarnya singkat dan meletakkan satu tangannya dibahuku. Regi tersenyum
dan kemudian berpaling padaku dengan tatapan tanya.
Akupun akhirnya
mengangguk untuk menyanggupinya.
******************************************************************************************
Sabtu pagi sekitar
jam 8, Zaki menjemputku ke kostan. Regi ku lihat ada bersamanya di kursi
belakang. Aku sudah hendak masuk untuk duduk bersama Regi, namun urung saat Regi
justru melotot dan memberiku isyarat untuk duduk didepan bareng Zaki. Aku hanya
nyengir dan nurut.
“Kita mau kemana
sebenernya?” tanyaku saat kami telah melaju di jalan raya.
“Jakarta,” jawab
Regi singkat tanpa memberiku penjelasan lebih jauh. Aku dan Zaki hanya bisa
saling memandang sejenak. Bahkan hingga kami memasuki daerah ibukota, Regi
tetap tak mengatakan apapun. Dia hanya member petunjuk arah agar Zaki belok
atau jalan lurus. Dan tiba-tiba dia meminta Zaki untuk mencari sebuah hotel.
Yang bikin kesel adalah saat dengan cueknya Regi memesan dua kamar.
“Kok dua Gi? Kita
kan bertiga?’ tanyaku saat kami di lobby sebuah hotel kelas menengah yang
dirujuk Regi.
“Lo kan bisa tidur
bareng Zaki,” jawabnya kalem sembari mengisi buku tamu.
“Gi!!” tegurku kesal
dengan suara tertahan. Zaki yang dibelakang kami hanya berdiri gelisah. Dan aku
berani bersumpah kalau wajahnya jadi memerah karena malu. Aku sendiri jadi tak
berani menghadapkan wajahku yang mungkin sudah lebih merah darinya.
“Kenapa sih, ah? Gak
bakal hamil ini,” sahutnya santai tanpa dosa membuatku makin melotot.
“Gua tidur ma elu,
sarap!!!!” desisku ditelinganya.
Regi hanya
menjulurkan lidah dan kemudian berpaling pada Zaki, “Your platinum card,”
pintanya santai tanpa beban. Zaki tak mengatakan apapun selain mengambil dompet
dan menyerahkan kartu kreditnya pada Regi yang kemudian dengan bergaya
menyerahkan kartu itu pada staff hotel yang melayani kami, “Since I’m doing
this favour for you both, you’ll pay for everything. Got it? And……do you trust
me?” tanyanya kemudian setelah menerima kembali kartu kredit Zaki dari staff
hotel.
Zaki yang ditanyai
hanya mengangguk dengan raut bingung.
“Kalau begitu aku
akan membawa ini,” ujar Regi sembari melambaikan kartu kredit yang masih dia
pegang, “Cause we still have a lot to do.And I wanna do ‘ The Pretty woman make
over’ to him,” ujarnya dan menunjukku dengan jempolnya. Zaki kembali hanya
mengangguk dengan gaya pasrah. Aku menatap mereka berdua, bingung.
“Pretty woman make
over?” ulangku bingung.
“Kamu istirahat saja.
Capek kan udah bawa mobil,” katanya pada Zaki tanpa memperdulikanku, “And yey,
ikatan ma ikke, cuss…” ujarnya tanpa menjawab pertanyaanku dan kemudian
menyeretku pergi.
Jadilah seharian itu
aku dibawa keliling oleh Regi. Pertama kami pergi ke sebuah distro dimana dia
membeli beberapa t-shirt, kemeja dan celana. Lalu ke toko sepatu. Berhenti
sejenak di food court untuk makan siang. Disana dia menelepon Zaki dan
mengatakan untuk bersiap-siap pada jam 7 malam. Pemberhentian kami selanjutnya
adalah di sebuah salon yang cukup besar, dimana Regi disambut seperti seorang
teman lama.
“NEEEEKKK!!! Ya
ambruukk!! Sutra lambreta tinta ketumbar ih. Jaharaaa!!” pekik seorang cowok
kurus dengan wajah yang terlalu sering terpapar kosmetik. Dia segera mendekat
dengan gerakan heboh pada Regi. Mereka berdua cium pipi kanan kiri sebelum mata
cowok itu beralih padaku yang berdiri gelisah dibelakang. Mungkin dengan wajah
yang sedikit memucat.
Mati gue!!! Regi
punya rencana gila apa lagi nih? Kenapa gue dibawa ke sarang jin gini, batinku
cemas. Aku melempar senyum gugup pada Mas Mas tadi.
“Siapose dese?
Lekong barakatak?” tanyanya dengan senyum simpul, “Luncang nek..”
“Rumpik ah! Tinta.
Dese tembikar akika. Ikke bawa dese ke sindang buat make over. Yey bisikan make
over dese kan? Ikke mawar diana tampil cucok marucok ntar mak lampir. Kita mawar
ke N*RV*N*. Yey kudu ikatan nek. Ntar ikke teli teli si Bobby, em?” celoteh
Regi.
“Dese mawar yey bawa
kesana? Diana hemi?” tanya Mas mas itu heran.
Regi hanya
tersenyum, “Yey urus dese dari atas ke bawah, em? Ikke mawar dese kinclong pas
ke sandra. Yey polo kerajaan mak lampir jampi berapose?”
“Sembilan,” jawab
Mas Mas tadi. Dan memperhatikanku dari atas ke bawah dengan pandangan menilai.
Dia lalu meraih bahuku dan kemudian memutar tubuhku. Beberapa kali dia
membalikkan tubuhku dengan kening berkerut. Dia lalu meletakkan tangannya di
dagu.
“Hemi barakatak ye
nek?” Tanya dia pada Regi.
“Ikke tinta bisikan
ngobrasin itu ah. Gimande?”
“Debby dese di wax
juga?”
Regi mikir sebentar,
“Boleh deh. Sekalian ikke juga. Sutra lambreta ikke tinta perawatan. Cuss ah!!”
kata Regi dan kemudian berpaling padaku, “Gha, kita relaksasi bentar ya? Gue
mau lo treatment dari atas ke bawah. Gue temenin kok. Gue juga mau perawatan.
Jangan khawatir, ok? Lo percaya aja ma gue..”
Kalau saja bukan
Regi yang mengatakan itu, aku mungkin sudah minggat dari tempat ini. Tapi ini
Regi yang ada didepanku. Orang yang sudah membuktikan kualitasnya sebagai teman
padaku. Orang yang berulang kali mau membantuku tanpa segan. Jadi aku percaya
sepenuhnya. Akupun mengangguk mantap.
Dan aku
menyesalinya!!
Perawatan yang
dimaksud saat aku dipijat dan dikeramas masih bisa aku nikmati. Tapi aku harus
menahan sakit dan juga umpatan kesal saat mereka menyerang wajahku. Entah apa
yang mereka lakukan. Selain mengolesi mukaku dengan berbagai macam cairan,
mereka juga menusukkan berbagai alat. Katanya untuk membersihkan komedo dan
entah apa lagi. Mereka juga mencabut alisku. Padahal apa gunanya? Toh ini alis.
Siapa peduli? Dan sakitnya membuat mataku berair.
Tapi semua itu tidak
bisa dibandingkan ketika mereka menelanjangiku lalu mengusapkan sejenis cairan
pada bagian pantatku. Waktu itu, andai saja tidak ada Regi yang menunggui
disebelahku, aku mungkin mengira kalau aku akan diperkosa, dan mungkin sudah
melayangkan bogem pada cowok kemayu temen Regi itu. Regi sepertinya menyadari
kecemasanku, karena waktu itu dia hanya tertawa kecil saat aku memandangnya
dengan panik ketika aku diminta untuk membuka sisa baju yang melekat di tubuhku.
Padahal dibalik piyama yang ku pakai, aku hanya mengenakan celana dalam saja.
”Gue disini Gha.
Jangan khawatir,” ujarnya menenangkanku yang mungkin sudah pucat pasi. Akupun
kembali menurut. Juga saat aku diminta tidur tengkurap di meja pasien itu dan
diminta untuk meregangkan kakiku. Aku memejamkan mata, menahan diri sekuat
tenaga. Menerima apapun yang mereka lakukan padaku. Aku hanya mengeluarkan
suara desis saat kurasakan ada cairan yang diusapkan diantara kedua belah
pantatku. Ya Allaaah Regiiiiii!! Apa lagi ini?!!! batinku ngeri.
“Lo tahan dulu ya? Mungkin bakal…”
Aku menjerit kaget
saat Mas-Mas sialan itu menyentakkan apapun yang mereka tempelkan dibagian
belakang tubuhku. Aku mengumpat keras tanpa dapat ku kendalikan. Sumpah!
Sakitnya ampun-ampunan. Apapun yang mereka tempelkan tadi, benda itu telah
membawa serta sedikit kulit dan rambutku yang tumbuh didaerah itu.
Regi tergelak lalu
membisikkan sesuatu yang serta merta membuatku merah padam.
“Jangan gila!!!”
sentakku ngeri dengan tubuh sedikit gemetar menahan rasa sakit dan membayangkan
hal yang dia katakan tadi.
Dan cara jalanku
keluar dari salonpun jadi berbeda dengan saat aku masuk tadi.
Namun terlepas dari
itu semua, aku mungkin harus berterimakasih pada Regi. Karena saat kami bertemu
Zaki di lobby hotel, dia melihatku dengan tatapan kagum yang belum pernah ku
lihat sebelumnya. Penampilanku memang berbeda dari biasanya. Dengan baju dan
segala atribut yang Regi pilihkan, aku terlihat seperti anak kota yang sudah
terbiasa keluar masuk tempat-tempat gaul. Meski aku mengutuk siapapun yang
mendesign celana ketat yang sekarang ku gunakan. Bagian pribadiku seperti
ditekan dan sangat tidak nyaman rasanya.
“Pretty woman Make
Over?” tegur Zaki dengan sebelah alis terangkat pada Regi, “Aku sudah khawatir
tadi. Untung saja kau tidak mengecat rambutnya dengan warna-warna pelangi.”
“Sempat kepikiran
warna pirang dan tembaga sih tadi. Mungkin kita harus kembali ke salon dan…”
Regi berhenti disana karena aku menggeram marah padanya.
“Demi apapun juga, gua
gak akan pernah masuk ke salon lagi ma lo. Lo harus membunuh dan menyeret tubuh gue terlebih dahulu,” desisku.
“Bisa diatur,”
seloroh Regi dan tersenyum tanpa dosa, “Nah, tempat berikutnya yang akan kita
tuju, akan buka beberapa jam lagi. Tak lama setelah temanku balik kerja.
Jadi………bagaimana kalau kita makan malam dulu?”
“After you…” ujar
Zaki yang tersenyum geli, mempersilahkan kami untuk mendahuluinya ke mobil.
“What a gentleman,”
komentar Regi sedikit sarkas, meski bibirnya tersenyum. Dia lalu mengulurkan
kartu kredit Zaki saat kami melangkah keluar. Membuatku ingat sesuatu.
“Gi….”
“Dia tak akan mau
menerimanya, Gha,” jawab Regi, bahkan sebelum aku mengatakan sesuatu lagi.
“Ada apa?” Tanya
Zaki begitu kami masuk ke dalam mobil.
“Dia bilang akan
mengganti uang yang kami habiskan tadi. Hari ini dia tidak membawa uang banyak.
Jadi dia minta maaf,” jawab Regi dari kursi belakang.
“GI!!” tegurku. Aku
tadi memang membicarakan hal itu dengannya. Aku sudah memintanya untuk
meminjamiku terlebih dulu.
”Sorry, Gha. Gue
juga gak bawa uang cash banyak,” lanjutnya kalem.
“You don’t have to,”
kata Zaki. Tapi aku menolak untuk melihatnya.
”Harus, Ki. Aku tak
mau mengulang…” kalimatku terhenti disana, karena tangan Zaki yang kini berada
diatas tanganku yang bersatu dipangkuanku.
“Aku malah
berterimaksih karena Regi melakukannya. Kau……..terlihat berbeda. I like it. And
it’s all worth it,” tukasnya lembut.
Aku tak bisa
mengatakan apapun lagi. Jadi aku menutup mulutku. Tapi usapan pelan tangan Zaki
dibelakang kepalaku membuatku jadi tertunduk malu.
“Cuss ah jalan. Ikke
lapangan bola,” serobot Regi dari belakang. Membuat kami berdua sedikit
tersentak, sadar kalau kami sedang tidak sendiri, “Nanti aja dilanjut di kamar.
Lo ntar tidur dikamar Zaki kan?” godanya lagi dengan senyum licik.
Aku kembali
menggeram dan melempar kotak tisu dari dashboard ke arahnya.
Dan aku ternganga
ngeri saat kami tiba di tempat yang dimaksud Regi sebelumnya. Ternyata itu
adalah sebuah klub yang ada di jalan M.H Thamrin. Lapangan parkirnya cukup
penuh. Begitu Zaki menghentikan mobil, Regi langsung keluar dan matanya
jelalatan mencari-cari.
“Eeeeuuhh, Regi. Are
you sure we’re in the right place?” tanya Zaki yang sudah ikut keluar.
“We are. Ini salah
satu gay klub yang cukup dikenal disini. Listen to me first,” kata Regi
buru-buru saat kami berdua hampir serempak mengajukan protes, “Regha, gue bisa
mengerti kenapa lo ragu dengan Zaki. Zaki memang bukan dari golongan orang yang
biasa berinteraksi dengan lo. And Zake,
I hope you can understand that. Dia tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup.
Not because he doesn’t love you. Well, you are…YOU. Aku rasa Regha hanya merasa
terintimidasi denganmu. Dan aku membawa kalian kesini, bukan karena aku ingin
menyamakan kalian dengan stereotype gay yang ada pada umumnya. Kalian adalah
kalian. Kalian adalah pribadi yang memiliki sikap, pikiran dan kesadaran
sendiri. Kalian tidak perlu memberi label pada diri kalian. Kalian berbeda
dengan orang lain. Aku mengajak kalian kesini hanya agar kalian melihat dunia
gay dari sudut pandang lain yang mungkin tidak kalian ketahui. Ada banyak sisi
di dunia gay itu sendiri. Ini sisi lain yang menjadi bagian dari dunia abu-abu
itu. Dan dunia ini bukanlah definisi dari kalian. Ingat itu! kalian adalah
pribadi merdeka yang bisa melakukan apapun yang kalian mau, tanpa embel-embel
label yang tak berguna. Kalian paham?”
Regi dan semua
filosofinya, pikirku. Aku mengangguk. Begitu pula Zaki.
“BANCIIIIII!!!
SINDAAAANGG!!!”
Hanya berselang
beberapa detik, dan kami berdua dikejutkan karena Regi kembali ke sosok banci
sarapnya. Tiba-tiba saja dia berteriak kenceng sembari melambai heboh pada dua
orang yang baru turun dari taksi. Salah satunya adalah Mas Mas yang dari salon
tadi. Dia bersama dengan seorang lelaki yang sama melambainya dengan yang tadi.
Hanya saja, temannya itu agak botak kepalanya.
“Neeeeekkk!! Kangen
deh ikke ma yey..!” sapa lelaki agak botak itu dan mereka saling mencium pipi
dengan hebohnya.
“Sori nek. Tadi
machicha dijalan. Ines lagi so Bobi. Dendong lolaaaaa amir! Sebel dah. Sutra
botita jugong kan nek? Herman deh. Masa bedakan ajijah sejam. Segitu gedongnya
jidat dese, em?” cerocos Mas salon.
“Rumpik!!” seru si
Bobby kesal sambil nabok bahu temennya, “Nambreta ajijah mawar ajijong cyin.
Harus dong mbak e tampil centong. Siapose tahu goreng ajijah ikke lakaran, em?”
sambungnya lagi santai.
“Teuteup ya boo’,
jualan,” sindir Regi dengan senyum dikulum.
“Emberr,” jawab si
Bobby santai dan matanyapun terarah pada kami.
Aku yang sedari tadi
jadi sedikit pusing karena hanya separuh percakapan mereka yang ku mengerti
mulai merasa khawatir. Gila aja si Regi. Tadi siang gue yang dia umpanin ke
salon banci. Nah sekarang, kami berdua yang disodorin ke mereka. Kadang gua nyesel
nurut ma nih anak, batinku. Dan aku tak bisa menahan sedikit rasa tak suka yang
melingkupiku saat mata mereka terhenti pada Zaki. Aku bisa melihat sorot
kekaguman di mata itu. Sama dengan sorot mata yang biasa ku lihat pada
anak-anak cewek dikampus saat Zaki lewat. Tapi pria yang bernama Bobby dan juga
si Mas Salon itu, lebih berani dalam menunjukkan ketertarikan mereka. Dan itu
membuatku tidak nyaman, hingga tanpa sadar aku mulai bergerak gelisah.
“Gha, kenalin
temen-temen gue. Ama Mas Rudi lo udah ketemu tadi siang kan? Dia yang punya
salon itu. Dan ini Mas Rio. Cyin, kenalin tembikar akika. Ines Regha,” ujar
Regi memperkenalkan kami dengan senyum simpulnya. Dia terlihat sangat menikmati
ketidaknyamananku. Zaki sendiri tak mengatakan apapun. Wajahnya datar, tapi aku
bisa merasakan ketegangan pada postur tubuhnya yang kaku.
Aku mengulurkan
tangan pada Mas Rudi, “Regha, Mas. Maaf kalo tadi siang kita nggak kenalan
secara benar,” ujarku yang disambut oleh ketawa ringan Mas Rudi.
“Gimana bisa kenalan
kalo wajahmu tadi siang pucat ketakutan begitu,” selorohnya dengan senyum geli.
Aku hanya mampu mengeluarkan tawa kecil sedikit malu karenanya. Aku lalu
berpaling pada Mas satunya.
“Regha, Mas
Rio…..atau Bobby sebenernya?” celetukku heran, karena jelas tadi mas Rudi
memanggilnya Bobby.
“Rio, Gha,” jawabnya
santai dengan senyum genit.
“Bobby itu nama
panggilan dia, Gha. Kepanjangan dari Botak Biadab!” sahut Regi santai.
“Banci gambreng,”
cela Mas Rio pada Regi yang dia jawab dengan juluran lidah, “Ga usah dengerin
banci sarap itu, Gha.”
“Ines Zaki, cyin,”
ujar Regi lagi. Zaki hanya mengangguk dan menyalami keduanya.
“Cucok nek. Akika
mawar dong. Dese hemi tinta?” celoteh Mas Rudi dengan kerlingan mata centil.
“Yey mawar metong
sukria ma dese? Dese lekong Regha,” jawab Regi dengan senyum geli. Baik Mas Rio
dan Mas Rudi sama-sama terlongong tak percaya. Mereka menatap aku dan Zaki
bergantian dengan heran.
“Seriosa yey? Tinta
mungkar ah!” sergah Mas Rudi.
“Hemi barakatak,
Nek. Makanya ikke bawa mereka kesini, supaya mereka sedikit tahu goring,” jelas
Regi lagi. Kedua orang itu tak mengatakan apapun, masih dengan pose kaget
dengan mulut terbuka memandang kami berdua. Regi ngikik dan melambaikan tangan
didepan keduanya, “Sutra ah. Yuk, cuss. Ikke sutra mawar ajojing. Sutra
lambreta tinta maskulin ke sindang ikke,” ujar Regi dan mendahului kami untuk
masuk kedalam.
Kami semua mengikuti
dibelakangnya. Zaki kemudian tampak melambankan langkahnya, menungguku dan
menjejeri langkahku yang agak ragu, “Gha, are you sure of it?” bisiknya pelan.
Aku menghela nafas
panjang. Kalau Zaki yang biasanya bisa menguasai diri saja jadi keder, apalagi
aku, “Actually, no! Tapi ini Regi yang membawa kita. Meski terlihat gila, tapi
aku mempercayainya,” ujarku tanpa berhenti melangkah. Yang mengejutkanku
kemudian adalah saat tangan kiri Zaki meraih tangan kananku. Sepanjang jalan
masuk ke club, dia tak pernah melepaskannya. Aku bisa merasakan sedikit
ketenangan aneh menyelimutiku begitu tangan kami bersentuhan.
Selama kami berdua,
sangat jarang Zaki menunjukkan keintiman. Apa lagi dimuka umum. Kalaupun kami
bersama, suasana diantara kami cenderung canggung dan kaku. Makan malam di
restoran kadang berjalan dengan tidak nyaman. Pernah juga kami nonton bareng.
Tapi atmosfir diantara kami lebih mirip temen yang sedang bertengkar daripada
orang yang berpacaran.
Kadang aku merasa
sedikit frustasi dan ingin melakukan sesuatu. Tapi apa dan bagaimana? Rasanya
segan sekali, bahkan untuk berbicara sambil menatap matanya saja jarang bisa ku
lakukan.
Karena itu, saat
ini, saat dia menggenggam tanganku di muka umum seperti ini, aku agak kaget.
Meskipun senang, tapi mau tak mau mataku jelalatan ke sekeliling. Takut akan
reaksi orang-orang disekitar kami. Tapi yang membuatku heran adalah mereka
semua sepertinya tak peduli. Tak ada pandangan menghina, cibiran kasar atau
umpatan tak menyenangkan.
Aku bisa merasakan
kalau mereka memperhatikan kami. Aku bisa melihat kalau mereka memandang kami
berdua. Tapi pandangan mereka lebih terasa…….seperti iri. Bukan mencibir. Ada
sedikit kesan memuja pada sorot mereka. Terlebih saat pandangan mereka
tertumbuk pada Zaki. Kalau itu mungkin aku bisa mengerti. Regi yang sempat
menoleh ke belakang pada kami hanya tersenyum dan mengangguk padaku.
Dan begitu didalam,
lagi-lagi aku dibuat kaget. Suasana club yang temaram kini terkesan erotis dan
panas. Bagaimana tidak, hampir semua orang yang ada di dalam ruangan ini
bertelanjang dada. Mereka yang baru masuk bersama kami juga mulai menggerakkan
kepala mereka sesuai dengan hentakan musik dan melucuti baju atas mereka.
Atmosfir diruangan club itu sedikit membuatku penih. Udara pekat dengan bau
gairah dan testosterone.
Tanpa sadar aku
meremas tangan Zaki yang menggenggamku dan berhenti melangkah. Aku mulai panik.
Kalau Regi pikir dia bisa membuatku berkeliaran disini dengan dada terbuka, dia
salah besar. Aku tak peduli kalau dia mau ngamuk atau apa. Aku tak akan
melakukannya.
Zaki yang ikut
berhenti hanya memandangku, “Ada apa?” tanyanya dengan suara yang sedikit
dikeraskan untuk menengahi dentuman musik.
Aku tak menjawab.
Hanya melayangkan pandanganku ke sekeliling club dengan mata panik dan hamper
histeris.
“Ini memang topless
night, Gha. Tapi lo bebas buat ikutan atau tetap pake baju. Gak ada larangan,”
jelas Regi yang tiba-tiba saja sudah disampingku. Aku merasa sedikit lega
mendengar itu. Tapi, tetap saja. Kepanikanku tidak bisa hilang sepenuhnya.
“Kita cari meja aja
biar dia duduk bentar,” saran Mas Rio yang kemudian memberi tanda pada kami
untuk mengikutinya.
Kami menemukan meja
di salah satu sudut club yang cukup strategis. Meja itu memberikan area pandang
yang baik. Kami bisa melihat hampir ke segala penjuru ruang. Aku dengan lega
segera duduk dan sudah akan bersandar saat Zaki kemudian menarik tubuhku untuk bersandar
padanya. Dia merangkul bahuku dengan sikap sedikit protektif. Mau tak mau
wajahku memanas karenanya.
“Gi…..don’t you
think it’s a bit over for him?” tegurnya pada Regi.
“I’m fine,” sahutku
cepat. Aku tak ingin kalau sampai Zaki marah pada Regi. Dia cukup
mengintimidasi kalau sudah keluar tanduknya.
Regi cuma nyengir
dan bangkit, “Gue ambilin minum dulu,” ujarnya kalem, “Kalian mau apa?”
“Ginger ale aja deh
bo..” sahut Mas Rio yang disetujui oleh Mas Rudi juga.
“Orange juice ya,
Gi,” pintaku.
“Aku juga,” sambung
Zaki yang kemudian menyerahkan kartu kreditnya pada Regi. Dia segera kembali
duduk disampingku setelahnya, “Just say it, and we’re out of here,” ujarnya.
Aku makin tersipu
dengan perhatiannya yang kali ini begitu intens didepan publik. Apa lagi dengan
adanya Mas Rio dan Rudi yang tersenyum simpul didekat kami. Tapi aku tak mungkin
mengacaukan malam ini yang sengaja Regi lakukan untuk kami berdua. Jadi aku
hanya menggeleng.
“Kalian manis banget
siiihh,” desah Mas Rio dengan mata yang menerawang dan sayu.
“Iya. Bikin iri deh.
Udah lama jadian?” tanya Mas Rudi ikutan nimbrung.
Aku kembali dibuat
malu karenanya. Aku lalu berpandangan sejenak dengan Zaki. Dia sepertinya juga
merasakan hal yang sama, karena aku nyaris bisa merasakan kecanggungan yang
menguar dari tubuhnya. Bahkan untuk menjawab pertanyaan yang sederhana itu,
kami berdua membutuhkan sedikit waktu untuk memulihkan diri.
“Baru saja kok Mas.
Hampir dua bulan….” Jawabku akhirnya. Zaki mengangguk untuk membenarkannya.
“Pasti sulit bagi
kalian untuk bisa sampai kesini ya?” ujar Mas Rio kemudian dengan nada penuh
simpati.
Pertanyaannya itu
membungkam kami berdua untuk beberapa saat lamanya. Apa yang bisa kami jawab
selain membenarkannya?
“You have no idea,”
gumam Zaki pelan. Mas Rio kembali tersenyum penuh pengertian.
“Aku bisa
membayangkannya. Kalau bagi kami yang begini saja membutuhkan banyak waktu dan
usaha untuk menerima, apa lagi kalian yang terlihat begitu……”
“Straight?” celetuk
Regi yang kemudian muncul dengan seorang waitress yang berwajah cukup menarik
di belakangnya. Aku memilih untuk segera meraih gelas orange juice –ku dan
menenggaknya sedikit untuk menenangkan syaraf. Ini dia, batinku. Kalau Regi
udah nimbrung, bakalan rame nih.
“Yey yang ngejodohin
mereka nek?” Tanya Mas Rudi.
“Tinta lah. Gilingan
ajijah. Mereka berdua bukan golongan kita yang biasa. Seperti yang yey bilang,
proses mereka berdua tuh bikin puyunghai abis. Tapi mereka membentuk hubungan
itu sendiri. Ikke cuman bantu mereka buat buka mata doang,” jawab Regi santai.
“Lucu kan, bagaimana
kadang hidup ini berjalan? Sesuatu yang kadang tidak kita inginkan, justru
menjadi hal yang kita dapatkan,” seloroh Mas Rudi dan meraih gelasnya, “Kalian
cukup beruntung memiliki Regi yang mungkin bisa menjadi nara sumber yang cukup
baik. Orang lain kadang harus menyadarinya lewat proses yang jauh lebih panjang
dan menyakitkan. Kami berdua contohnya,” lanjutnya lagi dan menunjuk dirinya
sendiri serta Mas Rio.
“Ortu gue nyesel
punya anak banci kayak gue,” cetus Mas Rio dengan nada kalem yang membuatku
heran. Karena bahkan, aku sendiri harus berjegit saat kalimat tadi keluar. Tapi
Mas Rio cuma tertawa kecil, “Kenapa? Masih ngeri dengan kata banci?”
Aku hanya nyengir
tanpa mampu menjawabnya.
“Sejak kecil, aku
sudah jadi bulan-bulanan keluarga dan teman-temanku,” katanya memulai. Hilang
sudah kalimatnya yang cenderung cablak dan urakan. Berganti dengan kalimat yang
serius, “Hampir semua kakak laki-lakiku
malu untuk mengakuiku sebagai adik. Terlebih ayahku. Kakak perempuan dan ibuku
memilih untuk menutup telinga dan mata saat aku dilecehkan. Sejak kecil, aku
lebih memilih aktifitas yang cenderung feminim. Aku lebih memilih mengerjakan
pekerjaan sekitar rumah, daripada harus nguber layangan putus bareng
temen-temen cowok. Saat mereka maen petak umpet atau bola, aku lebih memilih
maen boneka dan mendandani bonekaku dengan baju yang kubuat sendiri dari kain
bekas…..”
Mas Rudi yang ada
disebelahnya tergelak kecil, “Udah ada bakat jadi banci ya neeekk,” selorohnya.
“Embeer!!” sahut Mas
Rio dengan gayanya yang biasa.
“Kalau aku lebih
suka mempercantik orang. Menata rambut dan make up mereka,” kata Mas Rudi,
“Intinya kurang lebih sama juga dengan Rio. Selalu dicela dan dipermalukan.
Orang-orang lain menganggapku badut yang lucu dan menghibur. Temen-teman cowok
hanya bisa mencela. Dan aku merasa lebih nyaman berteman dengan cewek, karena
mereka lebih peka dan pengertian. Ada saat dimana terkadang aku membenci diriku
sendiri.”
“Bener banget..”
sahut Mas Rio.
“Benci karena aku
lebih suka mendandani orang dan juga diriku sendiri. Benci karena aku nggak
bisa sama dengan teman cowokku yang lain. Tak bisa sekuat dan selincah mereka.
Benci karena aku berbeda dan mengecewakan keluargaku. Tapi…….kalau dipikir,
justru kesukaan kami itu yang membuat kami bisa bertahan hidup dan membantu
keluarga kami yang dulu hanya bisa mencela…”
Aku dan Zaki hanya
bisa melihat Mas Rudi dengan pandangan bingung.
“Mas Rudi adalah
salah satu make up artist yang cukup dikenal di Negara ini, Gha. Banyak
selebriti dan keluarga pejabat yang jadi langganannya. Dan Mas Rio adalah salah
satu perancang berbakat Negara ini yang karyanya sudah diakui di dunia fashion.
Beberapa karya Mas Rio pernah dibeli oleh salah satu fashion icon dunia..”
jelas Regi.
“Lucu kan, bagaimana
hal yang kami benci sebelumnya, justru menjadi alasan kami bisa sukses.
Orang-orang yang dulu mencela dan menghina kami justru kini menjadi orang-orang
yang bekerja pada kami,” tukas Mas Rudi.
“Dan keluarga yang
dulu tak mau mengakui dan malu akan keberadaan kami, kini justru mulai mendekat
dan ingin ikut merasakan kesuksesan kami. Manusia memang makhluk yang hebat
kan?” imbuh Mas Rio.
“Mas Rio dan Mas
Rudi…………….menerima mereka?” tanyaku.
“Bagaimanapun juga,
mereka keluarga,” jawa Mas Rio dan mengangkat bahu, “Betapapun menyakitkannya
perbuatan mereka, aku tetap memiliki ikatan darah dengan mereka.”
“Memangnya apa yang
sebenarnya mereka lakukan, Mas?”
“Euuuuhh, nggak
banyak sih. Kebanyakan mereka cuman memukul. Tapi ada salah satu paman yang pernah memperkosaku
dan juga orang tuaku yang dulu pernah mengusirku. Gak banyak kan?”
Aku kembali berjegit
dengan bagaimana Mas Rudi mengatakan semua hal itu dengan enteng.
“Aku paling parah
cuman pernah ditelanjangi dan dipermalukan dimuka umum. Mereka bilang, mereka
ingin menunjukkan bahwa aku benar-benar memiliki k#nt*l dan bukan v*gina.
Keluarga yang hebat kan? Karena itu aku minggat dari rumah begitu lulus SMA.
Karena aku muak. Muak sudah dipermalukan dan disakiti oleh orang-orang yang
seharusnya melindungi dan menyayangiku. Aku pergi ke kota dan mulai belajar
hidup sesuai dengan apa yang diinginkan. Aku tak mengijinkan lagi orang-orang
menyakiti dan mempermalukanku. Aku tak membiarkan lagi mereka mengatur dan mendikte
apa yang harus ku lakukan dan tidak. Aku hidup sesuai dengan kemauan dan
keinginanku sendiri. Banci menang, em?” seru Mas Rio yang kemudian ber-high
five dengan Mas Rudi.
“Embeerr…! Kita
sekarang bisa mendapatkan juga apa yang kita mau. Melakukan apa yang cuma bisa
dimimpikan oleh mereka yang dulu menyakiti kami. Belanja dan wisata ke luar
negeri, beli barang-barang mewah, mobil…”
“Juga lekong cakep,
em?!”
“Embeeeeerrr!!
Tapi…..kami belum mendapatkan apa yang kalian
dan Regi miliki….” Ujar Mas Rudi. Dia lalu mengambil gelasnya dan
meminumnya.
“Apa yang kami
miliki?” tanyaku heran.
Mas Rudi mengangguk,
“Cinta…” sahutnya kemudian singkat.
Aku tertegun dan
tanpa sadar menautkan taganku pada tangan Zaki dibawah meja. Aku berpaling
padanya. Wajah Zaki datar dan tenang. Dia lalu tersenyum sekilas padaku dan
kemudian meremas tanganku yang menyatu dengannya.
“See? Apa yang
kalian miliki itu indah dan cukup langka. Apa lagi di dunia abu-abu seperti
ini. Look around, Zaki…” kata Mas Rudi dan melambaikan tangannya ke sekeliling
ruangan, “Di ruangan yang penuh sesak dengan lelaki yang mengaku gay ini, ada
berapa cinta yang kau lihat? Kau bisa menemukannya?”
Kami mngedarkan
pandangan kami. Yang kami lihat kebanyakan cowok-cowok berbagai bentuk dan
jenis yang mencoba menikmati suasana malam ini. Udara memang dipenuhi dengan
gairah dan seks. Tapi aku tak melihat cinta. Ada beberapa cowok dengan dandanan
keren yang berdansa dengan sensual dengan pasangan mereka yang terlihat lebih
tua. Beberapa bahkan lebih pantas dipanggil sebagai ayah mereka. Ada yang juga
berdansa dengan partner yang usianya hampir sama. Tapi menurutku, mereka lebih
terkesan hanya teman, atau kalau tidak, aku hanya melihat nafsu disana.
“This is the world,
Zaki,” ujar Mas Rio, “Yang kau lihat disini hanyalah contoh dari dunia
kebanyakan di luar sana. And I’m not talking about gay world only. But the
world in general. Jarang ku lihat keindahan dan kelembutan yang kalian miliki.
Baik di dunia gay ataupun straight. You care about each other. I can see that.
And that’s precious honey.”
“Kalian beruntung.
Hingga kini, kami berdua masih mencari, apa yang telah kalian miliki sekarang.
Orang-orang yang mendekati kami, kebanyakan menginginkan sesuatu,” sambung Mas
Rudi, “Kebanyakan cowok normal akan malu kalau terlihat bersama dengan kami.
Sikap mereka kurang lebih sama seperti apa yang kalian tunjukkan saat kita
pertama kali bertemu tadi, di luar.”
Sindiran itu kembali
membuat wajahku dan Zaki merona dalam hitungan detik. Mas Rudi dan Mas Rio
kembali tergelak.
“Tak usah malu.
Percayalah, kalian bukan orang pertama yang melakukannya,” ujar Mas Rio dan
mengibaskan tangannya.
“Maaf, Mas,” kataku
cepat.
Mas Rio kembali
tertawa dan mengibaskan tangannya, “Udah biasa. Dulu mungkin aku akan ngamuk
dan balik mengataka sesuatu yang akan membuatmu lebih malu. Sekarang, aku sudah
tak peduli lagi. Aku adalah aku. Orang-orang harus belajar menerimanya. Aku
sudah tak mau lagi didikte oleh orang lain.”
“Dan kalian harus
belajar untuk lebih menghargai apa yang kalian miliki saat ini,” sambung Mas
Rudi.
Untuk beberapa saat
lamanya kami terdiam. Aku benar-benar dibuat malu didepan mereka. Kalau aku
membayangkan memiliki masa lalu seperti mereka, aku mungkin tak akan mampu
bangkit. Aku mungkin akan menjadi orang yang getir dan sinis dalam memandang
dunia. Tapi mereka berdua begitu hidup dan santai. Kepahitan mereka justru
membuat mereka kuat. Kulit mereka menebal seiring waktu.
“We’re still trying
to adapt,” ujar Zaki akhirnya, “It’s kinda new for us. Mungkin kami bisa
dibilang masih shock. Butuh waktu bagi kami untuk beradaptasi dan menerimanya.
Belum lagi imej yang beredar diluaran…”
“Apalagi di
Indonesia ini, Mas,” sambungku, “Mas Rudi dan Mas Rio, tentu paham bagaimana
pandangan masyarakat kita. Masih ada juga ajaran agama yang kita anut disini…”
Mas Rio mengangguk
dan tersenyum, “Aku dulu pernah berada pada fase dimana aku menyalahkan Tuhan
atas apa yang terjadi padaku. Aku marah dan menuntut padaNya. Kenapa aku harus
dilahirkan berbeda. Kenapa aku lebih tertarik melakukan kegiatan wanita
daripada pria? Tapi sekarang, kalau dipikir, aku tak akan mungkin menjadi
perancang yang diperhitungkan kalau aku tak suka bermain dengan boneka dan kain
bekasku. Aku tak mungkin tahu bagaimana membuat karya yang indah kalau saja
dulu aku lebih suka main laying-layang dibandingkan dengan boneka.”
“Pernah dengar bahwa
Tuhan bekerja dengan caraNya yang misterius? Ungkapan itu sering terngiang dulu
ditelingaku,” sambung Mas Rudi, “Terkadang, otak manusia kita terlalu bodoh
untuk memahami rencana Tuhan. Aku selalu percaya bahwa ada tujuan dan maksud
tersembunyi akan keberadaan kita. Tuhan sudah mempersiapkan pola dan jalan
hidup bagi kita. Dia juga sudah membekali kita dengan kebutuhan kita nantinya.
Kita hanya harus memanfaatkan fasilitas yang Dia berikan dan hidup dengan baik.
Contohnya saja Rio tadi. Dan juga aku. Kalau aku tak suka mendandani
teman-temanku, aku mungkin tak akan bisa menjadi seorang make up artist seperti
sekarang. Kesukaanku dalam mempercantik penampilan seseorang, menjadi bekal
yang diberikan Tuhan, agar aku bisa bertahan hidup didunia. Aku tak bisa
membayangkan bagaimana aku bisa bertahan tanpa kesukaanku itu.
Jadi…………..percayalah, ada suatu alasan, kenapa kalian bisa saling menyukai.
Meski untuk saat ini, kalian seakan-akan melawan arus, aneh dan tak masuk akal.
Ada alasan kenapa Tuhan membuat kalian berbeda. Kalian hanya harus percaya dan
menjalani hidup sebaik mungkin. Suatu saat, alasan itu akan kalian lihat dan
sadari.”
“Jangan pernah
merasa bahwa kalian tidak normal,” kata Mas Rio, “Jangan memberati diri kalian
sendiri dengan label. Ataupun memasukkan diri kalian dalam golongan tertentu.
Kalian sama dengan manusia lainnya. Darah yang mengalir dalam tubuh kalian juga
berwarna merah seperti merahnya darah mereka. Kalian menghirup udara yang sama.
Jadi jangan pernah merasa aneh dan lain. Kalian boleh merasa aneh kalau kalian
sudah berubah jadi orang sinting yang suka menyakiti orang lain. Tapi jangan
pernah merasa aneh karena saling mencintai. Kalau kalian masih bisa merasakan
cinta, itu berarti kalian masih normal. Hanya orang psikopat saja yang mungkin tak bisa memahami konsep
mencintai dengan benar. Aku mungkin akan merasa bangga, kalau memiliki cinta
seperti yang kalian punya.”
“And be sure to
know, that both of you are very lucky,” kata Mas Rudi lagi.
Untuk beberapa saat
lamanya, kami kembali terdiam. Kami semua meresapi pembicaraan kami tadi.
Sedikit terasa aneh bahwa kami membicarakan tentang hidup di sebuah club yang
hingar bingar seperti ini. Mungkin tidak semua orang melakukannya. Namun toh
tetap tak mengurangi esensi dari pembicaraan kami.
“Kalian lihat? Kita
semua memiliki cerita hidup yang berbeda. Kita memiliki latar belakang yang
berbeda. Karena itu kalian tak perlu menyamakan diri dengan orang lain. Tak
perlu memberi label pada diri kalian. You are what you are. Kalian memiliki hak
sama dalam menentukan hidup. Selama kalian tidak merugikan orang lain, masa
bodo saja dengan gunjingan orang,” lanjut Regi dengan kalemnya.
“Dan
Regha…………mungkin Zaki memang bisa mendapatkan siapapun yang dia inginkan. Yes,
he has all those qualities, tapi dia memilihmu. Dan inilah buktinya…” ujarnya
lagi dan mengembangkan tangannya.
Aku tentu saja
mengangkat alis, bingung. Aku mengedarkan pandanganku, mencoba mengerti
maksudnya, tapi aku tak bisa. Bahkan Zaki sendiri juga terlihat sama bingungnya
denganku. Jadi aku kembali melihatnya dengan tatapan tanya. Regi menghela nafas
dengan gaya dramatis.
“Lo liat gimana cara
para homo yang ada diruangan ini memandangnya?” tanyanya dan kemudian menunjuk
dengan dagunya, “Kalo lo perhatiin, banci gambreng yang sedang berjalan menuju
kesini itu sudah sekitar tiga kali bolak-balik melewati meja kita. Dan matanya
tak pernah lepas dari Zaki.”
Aku mengedarkan
pandanganku. Dari awal kami masuk tadi, aku sudah menyadari itu. Hingga
kemudian aku melihat cowok yang dimaksud
Regi.
Seorang cowok cakep dengan
bentuk tubuh yang cukup mengesankan berjalan kearah meja kami. Begitu tahu
kalau kami sedang melihatnya, dia merubah gaya berjalannya dengan langkah yang
sebenarnya pantas dilakukan di catwalk. Dadanya yang tegap tampak berkilat.
Kulitnya yang putih membuatnya mudah tertangkap oleh mata. Otot lengannya yang
membentuk itu terlihat cukup impresif saat dia mengayunkannya dengan setiap
langkah yang dia ambil.
Jelas dia pandai
dalam merawat dirinya. Begitu dekat, mau tak mau aku harus mengakui kalau dia tampak
lebih mengesankan dibandingkan saat dia jauh. Dan dia………sangat tampan. Temen
cewek dikampusku bisa nangis semua kalau tahu cowok secakep dia homo. Kalau
dibandingkan denganku……
Aku tak ingin
memikirkannya, karena hal itu hanya akan mempermalukanku.
Dia berhenti didepan
meja kami dan menyunggingkan senyum sejuta dollarnya. Giginya yang terlihat
tertata rapi dan rata itu cukup mengintimidasi. Sial!! Semua hal yang ada pada
dirinya meneriakkan kelas dan percaya diri kuat!!
“Hai…..” sapanya.
Mas Rio dan Mas Rudi tentu saja langsung membalasnya dan melambai dengan ramah.
Aku hanya bisa mengangguk dengan kecut. Sementara Zaki ku lihat hanya diam dan
menatapnya datar. Sementara Regi hanya terkekeh pelan sehingga aku berpaling
padanya dengan sebelah alis terangkat. Dia mengibaskan tangannya padaku dan
memberi tanda dengan dagunya padaku untuk melihat ke depan.
“Boleh gabung?”
tanyanya lagi. Dia sepertinya memang menanyakan hal itu pada kami. Tapi matanya
tak lepas dari Zaki. Dia sudah menunjukkan dengan jelas, siapa yang dia
inginkan.
Mas Rio dan Mas Rudi
segera bergeser untuk memberinya tempat. Sebenarnya aku sudah hendak bergeser,
karena tahu kalau dia ingin mendekati Zaki. Tapi gerakanku tertahan saat
tanganku kembali diraih oleh Zaki. Dia menatapku dengan dahi berkerut, tak
senang.
“What the heck do
you think you are doing?” tegurnya tak suka. Aku gelagapan tak bisa menjawab.
Tak tahu harus mengatakan apa.
“Kau lihat, Gha?!
Dari semua orang ditempat ini. Dari semua orang yang dia bisa pilih malam ini,
dan termasuk cowok seperti dia..” tunjuk Regi langsung pada cowok tadi yang
hanya berdiri melihat aku dan Zaki dengan sorot kaget, “…..Zaki lebih
memilihmu. He doesn’t care with everyone else. Dia menginginkanmu,” sambung
Regi lagi. Dia lalu beralih pada cowok cakep tadi, “Maaf, sayang. Tapi kau
harus mencoba untuk menggaet cowok lain, ok? Yang ini sudah ada yang punya.
Now, shuuussh!”
Aku kasihan pada
cowok itu yang diusir oleh Regi seakan-akan dia sedang mengusir seekor kucing.
Wajahnya terlihat seketika menggelap.
“Don’t you hear him?
Go!” tegur Zaki dingin dengan wajah kesal.
Aku tak bisa
membayangkan perasaan cowok malang itu. Dia lalu berbalik dan segera pergi
dengan kesal. Tapi aku bisa mendengar samar suara umpatannya. Mas Rio dan Mas
Rudi ngakak puas.
“Let’s dance..” ujar
Zaki dan kemudian bangkit. Dia lalu bangkit dan membuka kancing kemeja yang dia
pakai. Aku bisa mendengar suara terkesiap keras yang dikeluarkan oleh Mas Rudi
dan Mas Rio. Aku segera saja menahan tangannya yang sudah sampai pada pertengahan
kancing bajunya.
“Please, don’t!”
pintaku. Sumpah! Bukan hanya karena aku tak rela bila semua mata yang ada
diruangan ini bisa menikmati kesempurnaan fisiknya, tapi juga karena aku tak
bisa membayangkan bagaimana reaksiku nanti. Nggak lucu kalau nanti aku harus
berdiri sambil menutupi bagian depan tubuhku yang menegang. Dia melihatku
dengan tatapan heran. Aku bisa melihat erangan kesal dari Mas Rio dan Mas Rudi
yang gagal mendapatkan tontonan menarik gratis.
Aku cuma nyengir dan
sudah berniat hendak menolak ajakannya untuk turun ke lantai. Tapi dia kemudian
menarik tanganku untuk mengikutinya. Aku menoleh panik pada Regi yang dengan
santai melambaikan tangannya sambil mengucapkan selamat bersenang-senang padaku
dengan bahasa bibirnya.
Tiba dilantai yang penuh
sesak, Zaki menyentakkan tanganku sehingga tubuh kami saling bertubrukan. Aku
sedikit gelagapan karena bagian depan tubuh kami begitu menempel. Dan tangannya
dengan cepat melingkar dipinggangku dan dia menarikku untuk lebih mendekat
dengannya. Aku terpaku kaku ditempatku berdiri.
Ruangan club yang
hingar bingar beserta semua orang lainnya yang bergerak mengikuti musik
disekitar kami seakan-akan menghilang secara tiba-tiba. Di ruangan ini hanya
tersisa kami berdua.
Aku merasakan
tubuhku mulai berkeringat saking gugupnya. Apalagi saat satu tangan Zaki
merambat naik ke punggungku, dan mendorong bagian atas tubuhku untuk mendekat
padanya. Dia lalu mencondongkan tubuhnya sehingga wajahku tersembunyi di
lekukan antara bahu dan lehernya.
“Don’t ever doubt me
again. Ever,” bisiknya pelan dan membawa tubuhku untuk bergerak.
SIGH………………..
Mudah baginya
berkata begitu. Lagipula, masalahnya bukan dia. Tapi aku. Bukan sekali atau dua
kali aku merasa rendah diri karenanya. Perbandingan kami begitu jauh.
Dia…………terlalu sempurna untukku. Belum lagi berbagai kekonyolan dan ketololan
yang ku lakukan.
Contohnya kejadian
yang terjadi sekitar satu bulan setelah kami jadian itu. Waktu itu kondisinya
sudah pulih dan kami mulai kembali aktif di panti. Zaki yang memintaku untuk
tetap bekerja disana. Dia bahkan memintaku untuk keluar dari rumah makan Bu
Indri. Meski segan, apalagi pada Mas Rizky, aku akhirnya menyetujuinya.
Aku melakukannya bukan semata untuk Zaki, tapi
juga karena aku ingin menjaga perasaan Mas Rizky. Aku sudah menemuinya untuk
berbicara.
Tak ada yang Mas
Rizky sampaikan padaku. Dia hanya mendengarkanku waktu itu. Dia diam mendengarkan
dan mengangguk saat aku meminta maaf padanya. Dia bahkan memberiku sebuah
senyum perpisahan meski senyum itu tak mencapai matanya yang begitu datar dan
penuh penyesalan. Hatiku sungguh teriris dan menyesal untuknya. Tapi tak ada
yang bisa aku lakukan.
Karena itu aku
mengundurkan diri dari sana. Kuberikan berbagai alasan pada Bu Indri yang coba
menahanku. Meski menyangkannya, akhirnya beliau mengijinkanku. Beliau juga
berpesan kalau aku bisa datang kapan saja kesana. Waktu itu aku hanya
mengangguk dan mengucapkan terimakasih dengan haru.
Zaki menyambut
gembira keputusanku. Kamipun kembali ke kesibukan panti. Dan aku mendapat tugas
yang lebih banyak dari sebelumnya. Ada beberapa tanggung jawab baru yang dia
bebankan padaku. Dia juga memperingatkanku bahwa apapun yang ada diantara kami,
tidak boleh mempengaruhi pekerjaan kami dipanti. Dia bahkan berkata kalau dia
akan tetap memarahiku kalau aku melakukan kesalahan. Dan akan ada hukuman bila
kesalahanku fatal. Meski statusku adalah pacarnya. Aku hanya mampu mesem kecut.
Dasar bule sarap!!
Suatu minggu, panti
kedatangan beberapa keluarga dari para penghuni yang berkunjung. Setelah membantu merapikan kamar-kamar para penghuni, akupun
bergegas menuju kantor untuk menyelesaikan laporanku. Saat melewati pavilion
Orchid, aku melihat seorang ibu-ibu yang duduk diam disebuah bangku dengan mata
terpaku pada kolam ikan didepannya. Wajahnya terasa akrab meski aku tak bisa
mengingat dimana pernah aku melihatnya. Bajunya yang rapi dan berpotongan resmi
terlihat begitu mewah dan berkelas di tubuhnya. Make up diwajahnya terlihat
natural serta tatanan rambutnya yang ditata lurus membuatnya terlihat lebih
muda dari usianya yang sebenarnya. Melihatnya saja sudah membuatku maklum kalau
dia berasal dari kalangan elit.
Aku mendekatinya
dengan langkah pelan, “Maaf, Ibu. Ada yang bisa saya bantu? Pertemuan keluarga
diadakan di taman tengah. Apa Ibu tersesat atau…” aku tak meneruskan kalimatku
saat dia tersenyum dan mengibaskan tanganku.
“Aku hanya mencari
sedikit ketenangan disini,” sahutnya dengan suaranya yang terdengar begitu
berwibawa dan berkuasa. Aku tidak heran kalau dia adalah wanita karir dengan posisi
tinggi diperusahaannya.
“Waduh, maaf Bu. Saya
kira Ibu membutuhkan bantuan,” ujarku sembari tersenyum.
Wanita itu hanya
tersenyum dan memperhatikanku dengan seksama, “Kau………….sudah lama bekerja
disini?” tanyanya ingin tahu.
“Saya masih baru
kok, Bu. Teman saya yang membantu saya untuk mendapatkan pekerjaan ini. Dia
putra dari pemilik fasilitas ini.”
Alis wanita itu
terangkat, “Benarkah? Kau beruntung kalau begitu bisa masuk kesini dengan
koneksi.”
Aku tertawa kecil,
“Meski begitu dia menuntut kesempurnaan dalam bekerja, Bu. Jadi jangan salah.
Meski saya masuk melalui koneksi, saya tidak mendapat perlakuan berbeda dengan
pegawai lainnya. Saya akan dimarahi kalau melakukan kesalahan. Saya juga sering
dibentak kalau lalai. Bos saya itu memiliki etos kerja yang tinggi dan
mengharap kesempurnaan pada setiap tugas yang dia bebankan pada pegawainya.
Jadi Ibu bisa mengandalkan kemampuan kami disini.”
“Waahh! Senang
mendengarnya. Dia pasti Bos yang hebat.”
“Sangat, Bu.”
“Kau pasti menyukai
Bosmu…”
Aku mengangguk,
“Sangat! Dia mengajarkan banyak hal pada saya…”
“Benarkah? Syukurlah
kalau begitu. Itu berarti kau senang bekerja disini. Kalau boleh tahu, diluar
kapasitasmu sebagai pegawai disini, apa pendapatmu tentang panti ini?” tanya
Ibu itu dengan nada ringan.
“Menurut saya ini
adalah sebuah panti luar biasa dengan fasilitas menakjubkan dan pelayanan yang
tiada tercela,” sahutku tanpa ragu.
Ibu itu tertawa
kecil mendengarnya, “Aaaaww…..ternyata kau pegawai yang loyal rupanya?”
Aku tersenyum
mendengarnya, “Tidak. Itu murni pendapat saya. Lihat saja. Panti ini berada
didaerah dataran tinggi yang jauh dari kebisingan kota dan polusi. Dikelilingi
pepohonan yang hijau yang rindang. Keamanan yang terjaga, fasilitas lengkap
seperti sebuah kota kecil. Serta pelayanan yang tak ada cacatnya. Secara umum,
anda tidak akan menemukan fasilitas sebaik ini di Indonesia. Tempat ini sebuah
tempat peristirahatan impian. Namun tetap saja………ini sebuah penjara,” kataku
dan mengedarkan pandanganku, “Mewah……….namun tetap saja sebuah penjara.”
Ibu itu tidak
langsung berkomentar. Dia diam sejenak memperhatikanku dengan matanya yang
tajam, “Well, itu pendapat yang cukup…………mengejutkan. Kenapa kau berpikir
seperti itu?”
“Saya berasal dari
keluarga sederhana yang hidup di kota kecil dan kental budaya ketimuran asli
Indonesianya,” ujarku memulai dengan senyumku,
”Saya dibesarkan dengan ajaran bahwa kitalah yang seharusnya bertanggung
jawab dan merawat orang tua kita saat mereka telah berusia senja. Melayani
mereka, dan memastikan kenyamanan mereka. Bukannya mengirim mereka ke sebuah
tempat mewah ditengah perbukitan, dirawat oleh sekumpulan orang asing dan
berinteraksi dengan orang-orang dengan usia yang sama. Lalu mengunjunginya
seminggu sekali. Atau mungkin lebih parah, satu bulan sekali. Mereka boleh
berkilah bahwa itu untuk kebaikan orang tua mereka. Tapi menurut saya, mereka
sama saja dengan mengasingkan orang tua mereka sendiri.
Orang tua seharusnya
dikelilingi oleh keluarga mereka. Anak-anak dan juga cucu mereka. Hidup dengan
kehangatan keluarga yang sebenarnya. Dan kalau bisa, meninggal dengan tenang,
dikelilingi oleh orang-orang yang sayang padanya. Keluarganya. Bukannya jauh
dari mereka. Menurut saya ironis, bagaimana para orang tua itu telah merawat,
membiayai, membesarkan dan menyekolahkan anak mereka dengan cucuran keringat
dan air mata. Berkorban dengan sekuat tenaga agar mereka tumbuh menjadi orang
yang pintar dan sukses, namun saat mereka tua, mereka disingkirkan jauh dari
orang-orang yang dulu mereka besarkan sendiri. Tidak adil kan?”
Ibu itu tercenung.
Masih belum melepaskan pandangannya dariku. Hingga kemudian baru aku sadar
bahwa mungkin saja, wanita yang ada didepanku ini telah melakukan hal yang ku
lakukan tadi.
“Aduh, Bu. Maaf,”
ujarku cepat, “Saya tidak bermaksud untuk menyinggung Ibu dengan kalimat saya
tadi. Saya hanya mengungkapkan pendapat saya. Maaf. Tak ada niat untuk
mengatakan kalau Ibu…”
Ibu itu hanya
tersenyum dan mengangkat tangannya untuk menenangkanku, “Aku yang meminta
pendapatmu. Brutal, tapi toh aku tak bisa menyangkalnya. Memang ada kebenaran
disana. Tapi…kau sadar kan, bahwa terkadang pihak keluarga tak memiliki waktu
yang cukup bagi orang tua mereka? Mereka terkadang memiliki pekerjaan yang
sangat menyita waktu. Harus sering keluar kota atau mungkin bahkan keluar
negeri. Cucu-cucu mereka kadang juga sibuk dengan sekolah, les dan mungkin
kegiatan ektra lainnya.”
“Tapi tidak semua
anggota keluarga itu berada diluar 24 jam kan? Dan juga ada hari libur. Anak
yang sekolah ataupun les, pada akhirnya akan pulang juga. Orang yang keluar
kota pada waktunya juga akan kembali ke rumah kan?” ujarku dan tersenyum. Aku
lalu mendesah pelan,”Terkadang saya pikir, konsep keluarga sudah mulai bergeser
maknanya di zaman modern ini. Orang
boleh bilang bahwa mereka mengikuti perkembangan zaman agar tidak ketinggalan.
Namun bagi saya, ada banyak sekali ajaran dan budaya kuno ketimuran yang harus
kita lestarikan. Contohnya adalah nilai dan konsep sebuah keluarga. Keluarga
adalah orang-orang yang memiliki ikatan baik oleh darah, seperti ayah dan Ibu.
Atau mereka yang terikat pada kita oleh hukum dan perjanjian agama. Seperti
suami atau istri. Mereka orang-orang yang hidup di sekitar kita. Tapi…..konsep
itu sudah mulai kabur dan mengalami
pergeseran.
Para orang tua
terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tak tahu bagaimana pertumbuhan,
perkembangan dan pergaulan sosial si anak. Para anak juga terlalu sibuk dengan
teman-teman dan sekolah mereka, sehingga sangat jarang bisa berkumpul bersama
orang tua. Mereka seakan-akan memiliki dunia masing-masing yang berbeda. Konyol
bukan?
Teman saya
contohnya. Dia hanya memiliki seorang Ibu saja. Ayahnya telah meninggal. Ibunya
seorang wanita karir yang sangat sukses. Tapi dia harus sering berada di luar
negeri hingga sering menelantarkan anaknya. Yang saya sayangkan, dia bahkan
terlalu sibuk untuk menemui anaknya yang masuk rumah sakit karena overdosis
obat-obatan. Wanita itu lebih memilih untuk tetap berada di luar negeri, tanpa
menjenguk anaknya. Ironis kan? Teman saya itu bahkan pernah mengatakan bahwa
dia iri dengan saya. Waktu itu dia pernah saya bawa ke rumah saya di
Majalengka. Aneh rasanya kalau orang yang memiliki, hampir segalanya seperti
dia, merasa iri pada saya yang tak punya apa-apa. Dia punya rumah besar yang
mewah, mobil import, uang berlimpah dan barang-barang mahal lainnya. Tapi
sebenarnya yang dia inginkan hanya perhatian Ibunya.
Dia pernah
mengatakan bahwa dia sadar dan maklum sekali, kalau Ibunya adalah orang yang
sibuk. Tapi, dia hanya ingin Ibunya itu meluangkan sedikit waktu untuknya.
Bukannya memperlakukan anaknya layaknya seorang karyawannya saja.
Saya…………terkadang merasa kasihan padanya.”
Ibu itu mendesah dan
kemudian menarik nafas panjang. Dia menyandarkan tubuhnya dengan pandangan
lurus ke depan, “Kalau kau bercerita seperti itu…….sepertinya sang Ibu itu
orang yang sangat jahat ya? Tapi………….. tidakkah itu berat sebelah? Apa kau
pernah mendengar alasan sang Ibu melakukannya?”
“Hah?” aku ternganga
tak mengerti.
“Hei, selalu ada dua
sisi dalam sebuah cerita kan? Kurasa sang Ibu itu, mengingat dia seorang wanita
karir yang sukses dan itu menunjukkan bahwa dia orang pintar, pasti dia
melakukannya karena memiliki sebuah alasan yang kuat. Tak ada seorang Ibu yang
dengan sadar, mengacuhkan anaknya. Mungkin dia hanya menginginkan anaknya
tumbuh menjadi seorang pribadi yang kuat dan mandiri. Seperti seorang
kenalanku.
Dia adalah seorang
wanita kelahiran Bandung yang kebetulan, cukup cerdas dan mendapatkan sebuah
beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Di sebuah universitas yang cukup ternama.
Disana dia bertemu dengan seorang pria. Mereka jatuh cinta. Sayangnya, si pria
itu berasal dari keluarga terpandang yang memiliki standart khusus untuk pendamping
putra mereka. Mereka menentang hubungan keduanya. Klasik kan? Pada akhirnya,
mereka berdua nekat menikah, meski sebagai akibatnya, si pria dibuang oleh
keluarganya. Tapi keduanya tak peduli. Meski mereka sama-sama tak memiliki
apapun, mereka nekat dan membina kehidupan bersama. Mereka bahagia. Dan
kehidupanpun tersenyum pada mereka. Mereka dikaruniai seorang putra. Bisnis
yang dirintis oleh si pria mulai berkembang. Tapi………..cerita kehidupan tak akan
seru tanpa adanya konflik kan? Dan………….itulah yang terjadi.
Suami wanita itu
meninggal karena sakit. Lucunya, setelah si pria meninggal, keluarganya yang
dulu membuangnya, tiba-tiba saja menuntut untuk menguasai perusahaan yang
dirintis oleh mereka berdua.”
“Mereka berhasil?”
tanyaku.
Ibu itu menggeleng,
“Untungnya mereka berdua sangat cerdas. Sejak mereka mulai merintis usaha itu,
mereka sudah memastikan bahwa tak akan ada yang bisa mengambilnya dari mereka. Perusahaan
itu aman. Si istri yang akhirnya meneruskan usaha sang suami. Tapi……….semua ada
konsekuensinya. Usaha mereka yang baru berkembang itu membutuhkan banyak sekali
curahan perhatian, pikiran dan tenaga. Wanita itu tahu, kalau dia tak mungkin
membagi perhatiannya. Karena itu, dia harus memilih. Dia harus mencurahkan
perhatiannya pada perusahaan itu, karena dia tak akan membiarkan putra mereka
yang masih kecil bernasib sama dengannya. Dilecehkan, hanya karena tak memiliki
harta. Dia menyiapkan putranya itu untuk menjadi penerus usaha mereka. Dia
mencoba memberikan persiapan yang diperlukan oleh sang anak, agar nanti dia
bisa menjadi penerus yang sukses. Dia juga menuntut sang anak untuk selalu
berusaha sebaik mungkin. Dalam pendidikan dan juga hal lainnya.
Wanita itu memang
tak bisa untuk terus berada di sisi sang anak, karena dia harus mengurus
perusahaannya yang terus berkembang. Tapi hal itu tidak berarti bahwa dia tidak
peduli atau tidak perhatian. Karena dia terus memantau. Terus memperhatikan
sang anak dari jauh. Dia menempatkan banyak mata di sekitar sang anak. Tanpa
setahu anak itu. Dia terus ada untuk anaknya, meski tidak secara fisik…..”
“Tapi apa itu bisa
dibenarkan?”
“Menurutmu?” tanya
Ibu itu balik.
“Menurut saya
tidak.”
“Salah jika seorang
Ibu menginginkan anaknya tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri? Salah
jika sang Ibu ingin agar anaknya tidak bergantung pada orang lain? Salah jika
Ibu itu mencoba mempersiapkan sang anak agar dia tidak mengalami nasib yang
sama dengannya? Dilecehkan, bahkan disakiti oleh keluarganya sendiri. Kakeknya,
neneknya, paman dan bibinya, serta semua sepupu yang seharusnya tumbuh
bersamanya. Apa yang salah dengan itu?”
“Saya akan
berterimakasih jika Ibu saya melakukan hal itu. Tapi itu kan tidak berarti harus
mengorbankan hubungan mereka sebagai Ibu dan anak. Saya percaya, mungkin pada
awalnya sang Ibu akan sulit membagi waktu antara perusahaan dan anaknya. Saya
bisa memahaminya. Mengingat suaminya baru meninggal dan perusahaanpun baru
berkembang. Tapi……….itu tidak harus berlangsung selama bertahun-tahun kan?
Katakanlah satu tahun yang dibutuhkan bagi sang Ibu untuk beradaptasi dengan
rutinitasnya, setelah itu, seharusnya sang Ibu sudah bisa untuk mengatur dan
mencuri waktu agar dia bisa bersama sang anak….”
Ibu itu tertawa
kecil, “Mungkin saja. Tapi…………sepertinya mereka terjebak dalam dunia
masing-masing seperti yang kau katakan tadi. Seiring waktu, mereka mendapati
diri mereka berada pada dunia yang berbeda…”
“Masih belum
terlambat bagi si Ibu itu untuk memperbaikinya kan? Sang anak mungkin tak akan
bisa memulai lebih dulu, karena dia masih muda dan emosional. Mungkin sang Ibu
yang kembali harus membimbing sang anak. Agar mereka berdua kembali memiliki
hubungan keluarga yang normal.”
“Kau cukup unik
untuk seorang pegawai panti biasa,”
komentar Ibu itu setelah diam beberapa saat.
Aku nyengir
mendengarnya, “Hanya pandangan sederhana seorang anak desa, Bu. Saya…”
“GHA!!! What are you
doing there? Laporan itu harus…” Teguran Zaki yang berjalan dari arah samping
kantor berhenti saat melihat aku tak sendiri.
“I’m sorry. Hanya
tinggal sedikit kok. Aku akan menyerahkannya padamu sebentar lagi. Aku sedang
menemani Ibu ini ngobrol dan..”
“Mom? You’re here?”
tanyanya kaget.
Aku berpaling cepat
pada Ibu yang duduk disebelahku. Wajahnya yang familiar itu ternyata benar
pernah ku lihat. Di ruang tamu utama rumah Zaki. Lukisan minyak yang besar itu.
Seharusnya aku tahu!
Detik itu juga aku
ingin menceburkan diriku ke kolam!!
See?
Aku pandai dalam
mengacaukan segala sesuatunya. Sepertinya aku memiliki bakat alam akan hal itu.
Jadi wajar kan kalau aku merasa rendah diri bersama Zaki?
Dan……..belum lagi
fakta bahwa Zaki memiliki ‘pengalaman’ yang lebih dibandingkan denganku.
Kedekatan terintim
yang pernah aku lakukan dengan seseorang selain dia, hanyalah memegang tangan
seorang cewek. Aku bahkan belum pernah berciuman secara benar. Yang pernah
dilakukan Zaki padaku dulu tidak bisa dihitung sebagai ‘pengalaman’, karena tak
ada romantisme disana. Aku tak tahu bagaimana seharusnya melakukan French kiss.
Apalagi untuk lebih jauh dari itu. Sementara Zaki…………. tak perlu dikatakan
lagi.
Aku bukan bocah yang
terlalu naïf. Aku tahu kalau Zaki pasti memiliki ‘kebutuhan’ akan hal itu.
Hell, bahkan akupun menginginkan dan membutuhkannya. Aku ingin mendapatkan
‘pengalaman’ itu. Tapi aku pasti hanya akan mempermalukan diri didepan Zaki.
Selama kami
berkencan, suasana canggung dan kaku hampir selalu ada. Baik aku ataupun Zaki
tak tahu harus bagaimana. Andai saja Zaki cewek, mungkin aku bisa memiliki
’rencana’ harus melakukan apa. Bagaimana memulai dan menyerahkan sisanya pada
waktu. Tapi……kami sama-sama pria. Jadi…..aku tak tahu harus melakukan apa. Aku
nyaris frustasi.
Dan saking putus
asanya, aku menemui satu-satunya orang yang ku kenal dan yang jelas memiliki
pengalaman.
Regi!!
Waktu itu aku
meminta Regi untuk tinggal di ruang redaksi dengan alsan bahwa ada yang harus
aku tanyakan. Regi mengiyakan saja meski mukanya jelas menampakkan keheranan
saat aku menolak untuk meminta Vivi untuk bergabung bersama kami. Aku menunggu
sampai ruang reaksi sepi, dan hanya tersisa kami berdua.
“Lo jadi mo nanyain
sesuatu ke gue gak sih?” tegur Regi saat untuk beberapa lamanya aku
mendiamkannya. Sedari tadi aku menyibukkan diriku dengan laptopku. Tak tahu
harus memulai darimana.
“Eeeerrr….gini Gi.
Gue mo nanya soal…..” aku kembali kehilangan kata-kata. Gila!!! Masa gue kudu
jelasin ini ke Regi! Tengsin abisss!!!!
“Apaan?” sergah Regi
tak sabar.
“Eeuuh ini, Gi. Lo
bi-bisa… Maksud gue, anu….Gu-gue mo nanya so-soal..”
“Sex?”
Mukaku segera
memerah dalam hitungan detik. Aku hanya mampu mengerang kesal. Sementara Regi
langsung ngakak sampe terbungkuk-bungkuk begitu tahu tebakannya tepat. Aku
menelungkupkan kepalaku dimeja. Malu luar biasa. Menutupi kepalaku dengan buku
diktat yang ku bawa dan mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa ini cuma mimpi
buruk. Seharusnya aku tahu kalau berbicara soal ini dengan Regi adalah ide
buruk.
“Yaolooooohh!! Ikke
gak nyangka kalo bakal datang hari dimana yey nanyain soal gimana meyong ma
lekong,” seru Regi dan kembali ngikik, “Yaolooooh perut gue sakit!” keluhnya
lagi sembari mengusap sudut matanya yang basah.
“Lupain aja! Gue
pulang,” gerutuku dan bangkit. Tak mampu lagi menahan rasa malu.
“Eh, bentar dong.
Sorryy. Kasih ikke waktu sebentar yee…” pintanya dan kemudian menarik nafas,
terlihat berusaha menahan diri. Dan beberapa detik kemudian……….,
“GYAAAAAHAHAHAAHAHAAHAA…….!!!!”
Dia kembali ngakak dengan senengnya. Aku merengut kesal karena dia begitu
menikmati, sementara aku salah tingkah dan malu setengah mati.
“Seneng ya lu kalo
liat gue galau gini…?” sungutku kesal.
“Abis yey gilingan
ah. Masa mo mesong aja bingung. Bukannya itu udeh naluri?”
“Kalo gue
ngelakuinnya ma cewek, gue gak bakal nanya ma elu, Gi. Ini…….. Zaki.
Kami……sama-sama cowok. Plus…..dia punya pengalaman yang jauh lebih banyak.” jelasku
dengan sedikit nada panik.
“Lo beneran virgin,
Gha?”
“Ciuman bibir dengan
bener aja gue belom pernah, Gi,” ujarku dengan muka sengsara, “Gimana kalo gue
bikin dia ….”
Regi meletakkan satu
tangannya di lenganku untuk menahanku, “Kalo soal dia kecewa atau enggak, lo
gak perlu musingin itu. Gue rasa Zaki bukan orang dangkal yang bakalan
ninggalin lo cuman karena lo gak tau cara ciuman yang bener. Lo emang belom
pernah liat bokep?”
“Pernah lah Gi. Tapi
straight! Kalo yang gitu gue tahu…”
“Pada prinsipnya
sama kok. Foreplay ma pettingnya gak jauh beda. Bentar deh, gue punya beberapa
video di hape gue,” ujarnya dan mengeluarkan hapenya, “Lo bisa liat langsung
gimana foreplay-nya. Ini bagus dan halus mainnya. Sweet banget. Lo liat deh..”
ujarnya dan menarikku untuk mendekat. Dia meletakkan hp-nya ditengah meja.
Adegan itu dimulai
dengan seorang cowok bule yang sedang memasak didapur. Beberapa detik kemudian,
pemeran kedua, seorang cowok cakep pirang dengan tubuh kekar masuk. Tahu-tahu
mereka berdua berciuman, saling meraba dan dilanjutkan terlepasnya pakaian yang
melekat di tubuh mereka. Tahu-tahu si cowok yang masak tadi sudah memegang
kemaluan pasangannya lalu………..memasukkannya ke mulutnya.
Tubuhku langsung
kaku dengan tangan yang jadi sedingin es melihat adegan itu. Aku bisa melihat
bagaimana cowok yang sedang mengulum penis itu begitu menikmatinya. Seakan-akan
dia sedang menjilati sebatang es krim terlezat di dunia. Cowok pasangannya juga
merem melek dan mengeluarkan erang kenikmatan.
Gustiiiii!!! Apa
mungkin aku bisa melakukan hal itu? Apa bisa aku memegang titit orang lain dan…
Aku terbelalak hebat
saat cowok priang tadi menarik berdiri pasangannya. Membalikkan badannya dan
kemudian mengarahkan penisnya yang menegang hebat ke bagian belakang tubuh
pasangannya dan kemudian…
Aku memejamkan mataku
rapat-rapat!
“Matiin Gi!” desisku
dengan suara bergetar. Aku tak membuka mataku sampai akhirnya Regi mencolek
tanganku pelan. Aku berpaling untuk melihatnya. Matanya tenang dan bibirnya
tersenyum. Tapi mungkin dia melihat dengan jelas ketakutan dimataku karena dia
tak mengeluarkan sedikitpun lelucon untuk menggodaku. Aku mencoba bangkit, tapi
tubuhku terlalu lemas sehingga aku jatuh kembali di kursiku. Kakiku seperti tak
bertulang.
Aku menunduk dan
baru sadar kalau tanganku gemetar hebat. Aku menoleh pada Regi, panik.
“Apa gue
ha-harus….ha-harus…” aku tak sanggup melanjutkan kalimatku.
“Lo nggak harus
melakukannya kalo lo gak mau…” jawab Regi dengan bibir yang tersenyum. Dia lalu
bangkit berdiri. Kukira dia pergi meninggalkanku sendiri untuk menenangkan
diri, tapi beberapa saat kemudian dia kembali dengan segelas air, “Lo minum
dulu.”
Aku menurut saja apa
katanya. Gemetar di tubuhku memang sedikit mereda setelah aku minum sedikit
air, tapi panikku masih belum hilang. Adegan tadi masih terbayang dengan jelas.
Pria itu tadi memasukkan kejantanannya yang panjang itu ke dalam……
Allaaaahh!! Aku tak
ingin mengingatnya!
“Gha, seks itu bukan
hanya tentang pelampiasan nafsu ataupun pemenuhan kebutuhan biologis semata.
Seks bisa menjadi sakral dan bahkan menjadi sebuah bentuk ibadah bagi pasangan
suami istri. Tidak ada hal menjijikan tentang seks. Kecuali bagi mereka yang
mengeksploitasi dan menjadikannya komoditi. Bagi gue, seks antara dua orang
yang saling mencintai adalah sakral. Karena dalam seks itu, ada dua jiwa yang
bertemu dan saling mencintai. Ada dua tubuh yang disatukan oleh kebutuhan jiwa
dalam memenuhi tuntutan naluri primitifnya. Dan itu bisa menjadi indah dan tak
akan pernah terlupakan…”
Aku menarik nafas
panjang dan menoleh ke arahnya, ”Deskripsi yang indah, Gi. Tapi tetap saja hal
itu gak menghapus fakta kalau pantat gue mungkin harus di….” Aku kembali tak
bisa meneruskan kalimatku. Aku meraih gelas minumanku tadi dan menandaskan
isinya.
Regha tergelak,
“Well, lo bisa menolaknya kalau emang lo gak mau. Biar Zaki yang…”
“Lo ngigo apa?”
sergahku cepat memotongnya, “Lo liat sendiri sosok Zaki. Dia seorang…..pria
dalam artian yang sesungguhnya. Baik dari segi fisik ataupun kepribadian. Gak
mungkin kalau dia…” Lagi-lagi kalimatku terhenti.
“Tubuh yang gagah,
titit gede dan sikap macho bukan menjadi alasan seseorang itu menjadi bottom
kok.”
Aku hanya melihatnya
dengan tatapan heran. Regi memutar bola matanya.
“Bottom itu istilah
buat yang nerima. Dan Top untuk yang memberi,” jelasnya kemudian. Dia lalu kembali
meraih hapenya, “Lo liat ini. Namanya Leo Giamatti. Bintang porno gagah yang
tubuhnya lebih kekar dari bodyguard presiden dan tititnya segede pentungan
maling. Tapi dia bisa jadi bottom….”
Regi menyerahkan
hapenya itu padaku. Aku melihat sekilas fast forward adegannya. Dia benar.
Siapa sangka seorang lelaki dengan fisik sangar seperti itu bisa bottom.
“Dan jangan pernah
berpikiran kalau menjadi bottom berarti lo bukan cowok. Being a bottom doesn’t
mean you’re less than a guy. Atau jadi bottom berarti lo jadi ceweknya. Itu
Cuma pandangan gay picik yang suka memberi label dengan stigma salah kaprah dan
munafik luar biasa. Seks itu saling memberi, memuaskan dan setara. Gay itu
hubungan antara 2 orang yang sama-sama pria. Bukan satu pihak pura-pura menjadi
wanita. Itu transgender. Dan itu berbeda. Ini tentang posisi yang lebih nyaman
bagi kalian berdua. Kalo satu pihak lebih nyaman jadi top, ya top aja. Kalo
memang lebih nyaman dan suka jadi bottom, ya bottom aja. Gak ada hubungannya
dengan status mana yang lebih pria dan
mana yang jadi wanitanya. Jadi gak usah diributin.”
“Terus gimana kita
mutusin siapa yang jadi top atau bottom? Kalo ama Zaki, jelas gue yang jadi
bottom kan?” sergahku lagi.
Regi mendecak keras,
“Belum tentu juga kali, Gha. Kedudukan lo ma Zaki itu setara. Kalo gue bilang
sih kalian berdua perlu bereksperimen bareng. Kalian menentukan bersama. Atau
kalo emang ga ada masalah, kalian bergiliran aja semaunya.”
“Tapi Zaki…”
“Kalo dia maksa lo,
lo tinggalin dia!” potong Regi, "Kalo emang Zaki maksa elo buat jadi
bottom, berarti dia ga cinta ma lo. Dia cuma mencari pemenuhan kebutuhan dan
penaklukan seperti biasanya. Lo tinggalin dia. Jadi jangan pernah ragu buat
bilang ‘tidak!’ padanya. Ok?”
Aku hanya bisa
mengangguk lebih karena ekspresi wajahnya yang kembali menjadi sosok Regi yang
tegas dan keras. Aku tak ingin membantahnya dalam kondisinya seperti ini. Meski
aku masih belum yakin kalau aku sudah menemukan solusi dari masalahku.
Dan akupun mendapat
kursus kilat khusus sore itu dari Regi.
Dan prakteknya, itu
lain cerita.
Pertama kukira semua
akan berjalan dengan lancar setelah kursus yang aku terima. Aku yang sudah
beberapa lamanya hampir frustasi dengan lambatnya perkembangan hubungan kami,
mulai mendapat sedikit kepercayaan diri. Bayangkan saja, selama lebih dua bulan
kami jadian, hal terintim yang kami lakukan hanya pegangan tangan. Itupun hanya
saat kami akan berpisah dan cuma sebentar. Padahal aku sudah gemas untuk bisa
merasakan bibirnya yang merah itu. Setiap kali kami duduk berdekatan, di mobil
ataupun di bioskop, rasa-rasanya aku ingin menerkamnya.
Harum tubuh
floralnya yang mengingatkanku akan kesegaran hawa pegunungan membuat irama
detak jantungku meningkat. Tiap kali ku lihat dia berdiri didepanku, dengan
memakai baju apapun- t-shirt ataupun kemeja- yang entah bagaimana bisa begitu
pas dan memperkuat lengkung tubuhnya, aku diam-diam menelan ludah. Aku bahkan
nyaris bisa melihat gerakan naik turun dadanya yang tegap. Dan tiap kali kami
berbicara, dia yang duduk atau berdiri didepanku, dengan sesekali menjilat ataupun
mengigit bibirnya, membuatku harus mati-matian menahan diri untuk tidak
menerkamnya.
Sial!!!
Semula ku kira
semuanya akan terasa aneh dan tidak menyenangkan. Tapi apa yang aku rasakan
bersamanya, gairah, kedekatan kami dan reaksi tubuh kami, semua terasa begitu
normal. Seperti yang pernah ku rasakan pada lawan jenisku dulu. Fakta bahwa
kami sama-sama lelaki dengan anatomi tubuh yang sama, tidak membuatku ngeri.
Aku bahkan nyaris tidak bisa menahan diri. Pokoknya kali ini harus berhasil!
Karena itulah saat
Zaki meminta pendapatku ingin pergi kemana malam ini, aku hanya menjawab
singkat, “Nonton,” lalu masuk ke dalam mobilnya.
Dia tertawa kecil,
“Nggak bosen? Bukannya hampir semua film yang sedang tayang sudah kita tonton
bareng?” tanyanya geli.
Aku menggeleng, “Aku
nggak ingin nonton bioskop. Aku ingin kita nonton dikamarmu. Seperti yang kita
lakukan dulu,” kataku lagi pelan.
Sejenak dia
memandangku seakn tak percaya kalau barusan aku mengatakan hal itu, hingga
kemudian senyumnya kembali muncul, “I think that’s a good idea. Ada film tertentu
yang ingin kamu liat?” tanya Zaki dengan nada menggoda dan menggigit bibirnya.
Kebiasaan yang tanpa sengaja dia lakukan saat dia menggodaku.
Tuh kan? Bisakah kau
hentikan itu?!!! Aku mungkin harus menyeretmu ke kamar kostku lagi! batinku.
Tapi aku harus menahan diri dan menarik nafas panjang, “Kenapa kita tidak
melihat koleksimu lagi, dan kita putuskan nanti,” jawabku dan memalingkan wajah
ke depan untuk mengalihkan perhatianku dari bibirnya. Lagi-lagi dia cuma
tertawa dan menghidupkan mobilnya.
Sepanjang perjalanan
dari kost ke rumahnya, otakku sudah merancang 1001 jenis skenario, bagaimana
malam ini harus berjalan. Semua tertata dan tergambar dengan detil. Sejak
serangan pertama, hingga ekspresi yang mungkin akan muncul di wajahnya. Tapi
begitu mobil Zaki memasuki pagar, aku mulai ragu apakah semua rencana tadi bisa
berhasil, ataukah aku justru akan terlihat konyol. Saat berjalan memasuki
rumahnya, tangan dan kakiku mulai berkeringat. Mencapai kamarnya, tangan dan
kakiku sudah sedingin es. Dan begitu masuk entertainment room-nya, otakku
langsung blank!
Jadi aku cuma
berdiri disana sambil memandang ke saentero ruangan, seakan-akan aku pertama
kali melihatnya. Jadi diruangan ini semuanya akan terjadi, batinku. Disini aku
akan kehilangan keperjakaanku dan akan ada sesuatu yang memasuki…
Tubuhku mendadak
kaku.
“Gha? What’s wrong?”
tanya Zaki yang berdiri didepanku dengan tatapan bingung.
“Hah? W-what?”
tanyaku balik bego.
“Ada yang salah?”
Aku cepat-cepat
menggeleng dan tersenyum untuk menutupi kegugupanku, “No-nothing. It’s fine….”
Jawabku dengan suara yang tiba-tiba saja naik 3 oktaf dari biasanya. Aku
mencoba tertawa, tapi tawaku justru terdengar aneh dan dipaksakan.
Zaki diam dan
memperhatikanku, hingga akhirnya dia mengangguk dengan senyum tersenyum, “Oooh,
I see. Kamu……takut ya?”
Aku menyentakkan
diriku dari hipnotis matanya yang tadinya memerangkapku. Aku kembali tertawa,
meski masih gugup, “En-enggak kok. A-aku…”
Zaki mengangkat
tangannya, “It’s fine. Me too…” potongnya dengan senyum malu-malu.
Aku tak tahu harus
merasa lega ataukah bagaimana. Selama ini masing-masing dari kami tak pernah
membicarakan perasaan yang muncul diantara kami pada saat seperti ini. Kami
hanya berpura-pura bahwa semua ketegangan diantara kami saat berdua itu tak
ada. Sepertinya kami berdua terlalu malu dan gengsi untuk mengakuinya. Siapa
yang tidak?
“Aku berjanji kalau
kita tidak akan melakukan sesuatu yang tidak kau inginkan, ok?” katanya lagi.
Aku hanya mengangguk. Tubuhku menjadi sedikit rileks. Jadi aku melempar senyum
tipisku padanya.
“Thanks…” bisikku
lirih.
Dia mengangguk
dengan senyum tenang untuk meyakinkanku, “Now…..kenapa kau tidak memilih film
apa yang kau ingin tonton. Aku akan ke bawah untuk mengambil sedikit makanan
dan buah. The fridge is full of beverage only, ok?” katanya dan berlalu
meninggalkanku.
Begitu dia hilang,
aku menepuk jidatku dengan kesal, “Bego! Bego! Bego!! Ngapain coba lu berdiri
bengong doang?!” gerutuku kesal pada diriku sendiri. Harusnya tadi aku
melangkah mendekatinya dengan senyum menggoda, meletakkan telapak tanganku di
dadanya. Menyatukan tubuh bagian depan kami, sedikit menggeseknya dan
mengatakan bahwa satu-satunya hal yang aku inginkan adalah melumat habis bibir
merahnya. Tapi aku malah bengong dengan pose orang autis parah!
Akhirya aku memilih
untuk mencari film yang mungkin akan memperbaiki mood kami berdua. Pilihanku
jatuh pada film The Holiday-nya Kate Winslet dan Cameron Diaz.
“So, what are we
gonna watch?” tanya Zaki yang baru masuk. Dia langsung duduk di permadani,
sambil bersandar pada sofa. Diletakkannya sepiring buah-buahan dan beberapa
camilan di sebelahnya.
“The Holiday. Film
lama. Tapi…….sepertinya bagus,” ujarku dan mendekat. Aku lalu duduk
disebelahnya dan meraih setangkai buah anggur hijau. Untuk beberapa lamanya
kami hanya diam dan melihat adegan film di layar. Baru beberapa menit adegan
berjalan, kami sudah disuguhi drama Kate Winslet yang naksir pada teman
sekantornya. Sang pria itu selalu bersikap baik padanya. Memberinya sedikit
perhatian yang memang agak berlebih dari sekedar teman biasa, membuat Kate
terus-terusan mencintainya. Tapi selang beberapa saat kemudian, didepan semua
teman kerja mereka, si pria mengumumkan pertunangannya dengan wanita lain.
Kate patah hati.
Dan anganku melayang
pada Mas Rizky.Rasa bersalah kembali menggelayutiku. Perjumpaan terakhir kami
berjalan begitu hambar. Aku bisa melihat perubahan Mas Rizky. Dia………..bukan
lagi pribadi yang ku kenal dulu. Ada kesedihan yang terlihat jelas darinya.
Pandangannya yang datar dan bahunya yang turun semakin membuatku terbebani. Aku
ingin melakukan sesuatu untuknya. Tapi…………..apa?
“You’re crying?”
tegur Zaki heran, “Filmnya……………tidak begitu sedih kan?”
“Aku……….ingat Mas
Rizky,” kataku pelan. Zaki langsung menggeram mendengar itu. Reaksi yang selalu
dia tunjukkan saat mendengarku menyebut nama Mas Rizky didepannya, “Bukan
seperti itu, Ki. Entah kau mau mengakuinya atau tidak, aku berhutang banyak
padanya. Dan aku tidak memberinya apapun selain…..luka.”
Zaki tak mengatakan
apa-apa. Dia hanya menyingkirkan baki berisi buah dan camilan, lalu meraih
kepalaku dan menyandarkannya di bahunya. Untuk sesaat tubuhku kembali kaku
mendadak. Dan tanpa sadar aku telah menahan nafas.
“It’s fine,”
bisiknya pelan dengan pipi yang menempel di kepalaku, “Aku tahu kau peduli pada
Rizky. Aku hanya tidak suka kalau dia membuatmu merasa kacau seperti ini.”
Usapan pelannya
dikepalaku yang akhirnya membuatku ingat untuk menarik nafas. Bersamaan dengan
oksigen yang masuk ke hidungku, aku kembali bisa mencium harum floral tubuhnya
yang membuat semua indraku terbangun. Kehangatan dan harum tubuhnya yang
akhirnya membuatku mengumpulkan keberanian dan beringsut untuk lebih mendekat
padanya. Hingga akhirnya wajahku tersembunyi dilehernya. Dan rahangnya menempel
pada ujung kepalaku. Tubuhkupun kini berada diantara kedua kakinya.
Untuk kali pertama,
dalam kedekatan seperti ini, kami berada dalam satu ruangan. Untuk pertama
kalinya kami berada dalam keintiman yang
pribadi seperti ini. Keintiman yang hanya kami miliki bersama. Tanpa orang
lain. Layar yang masih menayangkan lanjutan film itupun terlupakan. Aku
mengangkat wajahku untuk melihatnya. Dengan punggung yang ditahan oleh lengan
kuatnya, aku sedikit menjauhkan wajahku untuk menelusuri wajahnya.
Pandanganku
tertumbuk pertama kali pada bibirnya yang kini merah membasah. Garis belah
diatasnya, naik ke hidung dan berhenti dimatanya. Mata yang kini juga melihatku
dengan tatapan seksama. Tanganku terangkat perlahan dan berhenti disisi wajahnya.
Kuusapkan pelan telapakku pada rahang, pipi dan berhenti pada dagunya. Aku bisa
merasakan cambang yang tumbuh disepanjang garis rahang dan dagunya.
Orang ini…..
Wajah yang menawan
ini….
Milikku….
Wajah Zaki semakin
mendekat hingga profilnya memenuhi pandanganku. Mataku terpejam saat bibirnya
yang basah menyentuh bibirku yang gemetar. Sebuah kecupan ringan diberikannya
dengan lembut. Sentuhan ringan saja. Dan dia kembali menarik wajahnya. Tanpa
sadar aku mengeluarkan erangan kecil kecewa karena bibir itu hanya singgah
sebentar diatas bibirku.
Jika beberapa waktu
yang lalu ada orang yang mengatakan bahwa berciuman dengan seseorang adalah hal
yang biasa dan wajar, aku mungkin akan mengangguk dan menyetujuinya. Tapi
percayalah. Hal itu salah besar. Karena berciuman adalah sebuah hal yang luar
biasa. Seperti sekarang.
Aku bisa merasakan
saat Zaki kembali menciumku, kali ini diikuti oleh kuluman lembut, singkat
namun sensual yang membuatku terkesiap menahan nafas. Aku bisa merasakan
bibirnya. Bibir yang lembut, kenyal dan manis. Dan dengan setiap gerakan
kuluman lembut bibirnya, dia seolah-olah menarik sebagian jiwaku dengannya. Tahu-tahu
tangan kananku sudah bergerak diantara rambutnya, berhenti di belakang
kepalanya, dan menekan wajahnya agar tak menjauh lagi.
Zaki tidak berontak.
Dia kembali mendaratkan bibirnya pada bibirku. Bibirnya kembali mengulum bagian
bawah bibirku. Kali ini ditambah dengan gigitan-gigitan kecil. Dan aku kembali
terkesiap saat lidahnya mengusap garis bibirku. Menggodaku, memintaku untuk
membuka bibir. Dan aku melakukannya.
Ciumannya yang
lembut kini semakin dalam. Setip kuluman bibirnya membuatku kepalaku berputar.
Setiap usapan lidahnya di lidahku membuatku mengerang. Kedua tanganku kini
berada dibelakang kepalanya. Semua yang ada disekelilingku mulai tak terlihat.
Semua hilang dalam putaran kencang yang menyeretku larut didalamnya. Seperti
sebuah lubang hitam yang terus menerus menarikku. Dan aku tak melakukan
perlawanan. Kuikuti arus beputar yang membuatku pening dan terbang itu.
Satu-satunya hal yang membuatku sedikit sadar adalah saat kurasakan sekujur
tubuhku seperti ditekan. Aku menarik nafas singkat tertahan begitu tahu bahwa
kini tubuh Zaki yang besar itu telah menindihku.
Dia diatasku…
Dia menekanku..
Aku sontan gelagapan
dan secara refleks mendorong tubuh Zaki hingga dia jatuh ke sampingku!!
Entah untuk berapa
lamanya kami berdua saling berpandangan dengan mata terbelalak, kaget. Nafas
kami sama-sama memburu. Pikiran kami sama-sama tak berfungsi untuk beberapa
saat lamanya. Saat aku sadar, tahu-tahu aku mulai beringsut duduk dan meringkuk
sembari memeluk kedua kakiku.
“Ma-ma-maaf…”ujar
Zaki gelagapan dan berdiri. Dia berupaya merapikan bajunya yang sedikit kusut.
Dan menyisir rambutnya yang berantakan dengan tangan, “So-sorry. Aku sedikit
t-terbawa. A-aku k-keluar sebentar untuk…..a-air..” ocehnya tak jelas dan
segera keluar dengan wajah merah padam.
Sekitar satu menitan
setelah dia keluar, aku baru sadar betapa konyolnya reaksiku. Aku bertingkah
sekan-akan dia berusaha memperkosaku. Padahal boleh dibilang aku yang punya
inisiatif. Tapi aku justru ketakutan. Aku menepuk jidatku dengan keras.
“Goblok!!!” umpatku
kesal. Padahal tadi………..bibirnya sudah….
AAARRRRGGHHH!!!!!
Aku mengacak-acak
rambutku!!!
Sisa malam itu
berjalan dengan kami duduk terisah sekitar 2 meter dan menonton lanjutan film
The Holiday dalam keheningan yang mencekam. Begitu film selesai, dia meawarkan
diri untuk mengantarkanku pulang yang tak lagi bisa ku tolak. Dalam perjalanan
kembali ke kostan, kamipun tidak saling bicara ataupun melihat. Aku ingin
memperbaiki kesalahanku, tapi tak tahu harus bagaimana.
“We’re here.”
Dan tahu-tahu kami
telah sampai, pikirku kesal. Aku tidak langsung turun. Tapi diam disana dengan
kepala tertunduk dan jari jemari yang bergerak gelisah di pangkuanku.
“I’m sorry,” bisikku
akhirnya, masih dengan kepala yang tak mampu ku angkat.
“Don’t be,” jawab
Zaki singkat.
Aku mengangkat
wajahku dan berpaling untuk melihatnya, “Zake, aku tadi…”
“Aku juga
ketakutan…” jelasnya singkat. Tak ada riak kemarahan dalam matanya. Dia hanya
mengatakan apa adanya. Dalam tatapan lembutnya, aku hanya melihat bahwa dia
peduli, “Kita tak perlu memaksakan diri untuk melakukan apapun yang tidak kita
inginkan. Kita akan melakukannya saat kita berdua siap. It’s kinda new for us.
Wajar kalau kita berdua……kacau. Aku tak ingin memaksamu melakukan sesuatu hanya
karena aku menginginkannya. I love you too much to do that. Dan kaupun jangan
segan untuk memberiku batasan. Segala sesuatunya akan terjadi saat kita telah
siap. Saat kita berdua menginginkannya. Pada waktunya…. Before that, we just to
have it slowly. Deal?”
Dadaku berbungan dan
kelegaan. Kurasa aku telah kembali jatuh cinta padanya. Jadi aku menatapnya
dengan lembut dan berkata, “Kalau begitu, bisakah kau memberiku sebuah ciuman
lagi?”
Dan dia
melakukannya. Sebuah ciuman, kuluman lembut dibibirku dengan bibirnya yang
merah dan memabukkanku. Aku hampir saja mempermalukan diri dan mengerang saat
dia melepaskan bibirnya dariku.
“Good nite, Gha,”
katanya.
Aku hanya mengangguk
dengan pipi merona.
Malam itu aku
tertidur dengan senyum. Dan aku masih bisa merasakan gerakan bibirnya diatas
bibirku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar