ZAKI
Tak sekalipun aku
menoleh pada Regha yang duduk disebelahku. Terlalu kesal pada pengumumannya
tadi di rumah sakit. Like hell I care. Biar saja dia dijemput oleh Rizky. Apa
peduliku?! They can fuck each other for all I care. That ain’t my business,
pikirku. Regha juga memilih untuk diam saja. Sesekali dia mengetik sesuatu di
hapenya. Mungkin janjian dengan Rizky.
Dan tentu saja, saat
mobil mendekati pagar depan rumah, aku melihat Rizky yang berdiri dengan tangan
berlipat didada, bersandar pada mobilnya. Aku tak mampu menahan diri untuk
tidak memutar bola mataku kesal. Jelas kunyuk itu berdandan khusus untuk
menjemput Regha. Dia terlihat segar dengan pakaian rapi. Bahkan rambutnyapun
tampak masih basah.
Pak Adam membunyikan
klakson dan menunggu hingga pintu pagar terbuka. Tapi aku sudah turun dari
mobil untuk menemui tamuku yang tak diundang.
“Bagaimana
keadaanmu, Zaki?” tanya Rizky padaku dengan nada seorang sahabat lama yang baru
bertemu setelah sekian tahun.
Like you care,
batinku kesal. Tapi kalau memang dia ingin bersikap civil, aku juga bisa
melakukannya kan? Jadi aku mengulas senyumku yang aku yakin tidak mencapai
mataku yang masih menatapnya kesal, “Cukup baik. Tidak kesulitan menemukan
rumahku kan?”
“Sama sekali tidak,”
sahutnya ringan dan mengalihkan pandangannya pada Regha yang mendekat dari
belakangku. Tanpa mengatakan apapun dia mengulurkan tangannya. Yang membuatku
mengatupkan geraham kesal adalah saat Regha menyambut uluran tangan itu. Untuk
sejenak mereka berdiri disana dengan dua tangan bertaut.
Great! pikirku,
lebih kesal dari sebelumnya. Sekarang kita tonton acara selanjutnya. Gay
romance, live!
“Kau bagaimana?” tanya
Rizky dengan tatapan lembut. Regha kulihat hanya mengangguk. Perlahan kemudian
dia berbalik untuk melihat ke arahku.
“Kurasa…….ini
terakhir kalinya kita berurusan,” katanya padaku.
Meski menujukan
kalimat itu padaku, mata Regha tertuju pada sesuatu dibelakangku. Bukan padaku.
Dia melakukannya dengan sengaja. Dan aku tak suka karenanya. Aku ingin dia
melihat jelas padaku!! Kenapa dia tak melakukannya?
“Aku……………berterimakasih
atas semuanya, Zak. Bantuanmu padaku, pada keluargaku…..semuanya. Aku mungkin
tak akan bisa membalasnya. Dan sekali lagi……maaf. Juga atas semuanya..”
Aku tak menjawab.
Meski aku mendengarnya, tapi mataku tertuju pada tangan Rizky yang berhenti di
pinggang Regha, sementara satu tangannya yang lain dibahunya. Dia menarik tubuh
Regha mendekat sehingga punggung Regha menempel di dadanya. Kulihat tangan kiri
Regha kini berada diatas tangan kanan Rizky yang sudah melingkar diperutnya.
Aku bisa membayangkan dengan jelas. Dengan posisi mereka yang seperti itu,
Rizky hanya harus memutar pinggang Regha yang dipeluknya, dan dia bisa mencium
Regha didepanku.
Dan matakupun
tertutup oleh selaput merah, marah!
Sebelum aku bisa
menahan diri, aku sudah maju dan merenggut tangan Regha dari pelukannya. Tanpa
memperdulikan kekagetan dimata Regha, aku menariknya untuk berada dibelakangku.
Ku tatap Rizky dengan kemarahan yang tak lagi ku tahan.
“Pergi dari sini!
Dan jangan pernah lagi kau sentuh Regha dengan tanganmu. Paham?!” desisku
dengan nada terdingin yang aku bisa.
Hening!!
Perlahan aku
berpaling pada Regha yang berdiri dibelakangku dengan mata terbelalak lebar,
“Jangan pergi. Aku membutuhkanmu…” bisikku pelan.
REGHA
Ini lelucon,
pikirku. Tak mungkin ini terjadi. Dia
pasti merencanakan sesuatu.Tapi………..mata itu begitu jujur dan sarat akan
penekanan. Tak ada sedikitpun riak keraguan ataupun main-main. Seakan-akan dia
memang bermaksud begitu.
Aku membuka mulut
hendak mengatakan sesuatu. Tapi apapun yang akan ku katakan tadi, semuanya
tiba-tiba hilang diujung lidahku. Aku tak bisa mengingatnya.
“Aku tahu aku sudah
mengatakan banyak hal yang menyakitkan. Aku tahu aku melukaimu. Tapi aku
membutuhkanmu. Dan tak akan pernah ku biarkan kau bersama dengannya.. Tidak
selama aku masih hidup. Stay! Stay here,” ujar Zaki dengan nada sedikit
bergetar. Entah bagaimana, kini aku bisa melihat kerapuhan yang selama ini ku
kira tak akan pernah ada padanya. Ada panik dan takut yang ku kira melintas
dengan cepat dimatanya.
“Ki….”
“I’m scared….” bisiknya
lirih.
Ketakutan yang tadi
hanya sekilas membayang dimatanya, kini terlihat jelas bagiku. Tak ada lagi
sosok Zaki yang keras dan ketus tadi di rumah sakit. Seakan-akan dia sedang menunjukkan padaku apa yang sebenarnya dia
rasakan sekarang. Tak ada lagi topeng berlapis yang selama ini dia kenakan. Aku
mengerjapkan mata bingung. Mana sosok dia yang sebenarnya? Mataku lalu
tertumbuk pada Mas Rizky yang berdiri terpaku dibelakangnya. Mungkinkah?
“Aku tak tahu harus
bagaiamana menanganinya. I’m really scared, Gha. It’s like I’m loosing my mind!”
“Zaki, kau tak perlu
melakukan ini karena Mas Rizky. Dia…”
“I DON’T GIVE A DAMN
ABOUT HIM!!!” sentaknya keras. Zaki menjambak pelan rambutnya dengan gerakan
kalut dan frustasi. Dia lalu tertunduk lemas, “Don’t you see? Aku tak peduli
Rizky melakukan apa dengan siapa. As long as it’s not with you. Aku tak peduli
dia memegang ataupun memeluk siapa. Tapi saat dia menyentuhmu…….. all I can see
is red. Angry! Aku tak suka dia melakukannya. Aku tak ingin dia menyentuhmu
seperti tadi,” ujarnya pelan. Dia lalu menoleh ke belakang pada Mas Rizky, “Dan
aku bersumpah! Kau akan menyesal bila aku melihatmu melakukannya lagi,”
ancamnya dengan tubuh gemetar menahan marah.
Aku menutup mulutku
dengan tangan, terperangah. Ini………….mustahil. Aku masih termangu kaget saat dia
mendekat dan meraih tangan kananku.
“I don’t get it. Aku
tak mengerti,” bisiknya lirih, “Tapi aku tak pernah bisa mengeluarkanmu dari
pikiranku. I’ve tried everything. Sex, anger, drink, drugs… Mereka tidak
berguna. Kau masih ada didalam sini,” dia menunjuk kepalanya dengan tangan
kirinya, “Aku menyerah, Gha. I can’t do this no more. I’m giving up now.”
“Ki….”
“Stay….” pintanya
bergetar, “Tinggallah disini. Bantu aku mengerti dan memahaminya. Aku tak mau
melihatmu bersama dengan orang lain. Aku tak bisa. Aku sudah kalah. Aku tak
bisa membuatmu pergi dari sini,” ujarnya pelan dan meraba dadanya sekilas.
Aku tak menjawabnya.
“Don’t leave. Help
me. Bantu aku untuk memahaminya. Hanya kau yang bisa membantuku…”
“Pernahkah kau
berpikir kalau aku juga tak mengerti?” ujarku dan menarik tanganku perlahan
dari genggamannya. Aku melangkah mundur satu langkah, sedikit memberi jarak
pada kami. Jarak memberiku sedikit kekuatan. Memberiku sedikit keberanian untuk
mengatakan apa yang ada dalam benakku. Kalau kami dekat, aku hanya akan
terdiam. Larut dalam kehangatan tubuhnya yang menyapa kulitku dengan keakraban
yang ku rindukan. Bahkan bau harum tubuhnya sanggup membuatku kalah.
“Kau bukan
satu-satunya yang bingung. Believe me. Aku juga berusaha mati-matian untuk
menganggap semuanya ini cuma fase konyol yang akan berlalu dalam hitungan
hari.”
“Kalau begitu kita
berusaha bersama memahaminya.”
“Hingga kapan? Berapa
lama yang kau tawarkan? Satu bulan? Dua? Atau mungkin setahun?” kejarku. Aku
mulai melihat pola itu sekarang. Sama sepertiku. Zaki juga mengalami apa yang
dulu ku rasakan. Semua kebingungan, ketakutan dan dilemma yang sama. Dia ingin
memahami dan mengerti. Tapi dia juga takut. Karena dia sadar bahwa bukan hal
ini yang ada dalam benaknya. Sama sepertiku. Dia juga berpikiran bahwa dia akan
menikah dengan seorang wanita, membina sebuah rumah tangga dan mungkin dengan
satu atau dua anak.
Jatuh cinta pada
sesama jenis tidak ada dalam agenda hidupnya. Rute hidupnya saja yang tiba-tiba
berubah dan mempertemukan kami. Dan akupun tahu, bahwa seindah apapun yang kami
miliki, jika kami bersama, pada satu titik nanti, kami akan berpisah.
Dan aku tak bisa
membayangkan kalau aku berada disana jika hal itu terjadi. Karena kini, aku
menyadari betapa kuatnya perasaanku padanya. Kalau aku bersamanya, jika tiba
saat kami harus berpisah, aku yakin, aku akan lebur menjadi kepingan-kepingan
kecil yang tak akan pernah utuh lagi. Dan aku tak ingin itu terjadi.
“Kau tak bisa
mengatakannya kan? Karena kita berdua tahu dan sadar sepenuhnya, tak ada masa
depan bagi kita. Aku tahu kau ingin menikah dengan seorang wanita. Memiliki
anak dan tua bersama dengannya. Aku juga, Ki. Aku juga memiliki impian yang
sama. Jadi…………sebaiknya jangan. Jangan biarkan dirimu tersentuh hal ini. Jangan
bereksperimen ataupun ingin tahu. Pergilah dan kembali ke dalam hidupmu yang
sempurna. That’s where you belong,” ujarku pelan dan melangkah untuk melewatinya.
Aku harus segera pergi. Aku tak bisa berlama-lama menatap wajahnya yang
sepertinya semakin pucat dimataku.
Memang sudah
seharusnya begini. Zaki memiliki segalanya. Jauh lebih banyak dan lebih baik
daripada yang aku miliki. Dia bisa memiliki masa depan yang baik dan indah
tanpa ada aku didalamnya. Dia tak perlu harus berurusan dengan hal yang bagi
sebagian orang adalah aib ini. Kalau bisa, aku tak akan membiarkannya. Cukup
aku saja. Dan ini mungkin akan menyelamatkan kami berdua dari luka permanen yang
mungkin akan timbul nantinya.
“Please….”
Hanya tinggal satu
langkah, aku akan berada disisi Mas Rizky yang sepertinya masih terlalu kaget
dengan situasi kami. Tapi satu kata itu membuat langkahku sontan terhenti.
ZAKI
Belum pernah dalam
hidupku aku memohon pada seseorang. Belum pernah juga dalam hidupku, aku
menangis karena seseorang. Tapi bayangan akan kehilangan Regha pada orang lain,
terutama sekali Rizky, membuatku nyaris mustahil untuk menahan diri. Nyeri di
dadaku kembali menyengat saat Regha melangkah melewatiku. Saat dia memutuskan
kalau sebaiknya kami…………tidak bersama. Rasa nyeri sama yang membuatku
mengernyit kesakitan di rumah sakit sebelumnya, saat aku mengusir dan
menyakitinya dengan kata-kataku. Hanya saja kali ini,rasa nyeri itu dibarengi
oleh ketakutan.
Ketakutan bahwa ini
adalah terakhir kalinya aku bisa melihatnya sedekat ini. Sadar bahwa pada saat
kami bertemu nanti, dia sudah memiliki embel-embel Rizky pada dirinya.
Aku memang mengakui
semua perkataannya tadi. Mungkin boleh dibilang aku bereksperimen karena
memutuskan untuk bersamanya. Mungkin juga kami berdua hanya akan memiliki
sebuah hubungan singkat yang akan bertahan selama beberapa waktu. Dan aku juga
memang berpikiran bahwa suatu saat aku akan menikah dengan seorang wanita dan menjadi
tua, bersama dengan keluargaku. Aku menginginkan semua itu…..sebelumnya. Saat
ini, aku menginginkan Regha. Hatiku memintanya untuk tetap ada. Karena
betapapun mengerikannya fakta yang aku sadari kini, semua sel dan pori di
tubuhku tak bisa menyangkalnya.
Aku tak bisa lagi
melawannya. Karena itu aku menyerah. Aku sudah lelah menentang perasaanku.
Mengingkari dan menekannya. Aku kalah dalam peperangan ini.
Regha yang kini
berhenti kemudian berbalik untuk kembali menghadapku. Aku membiarkannya melihat
semua yang kurasakan di wajahku. Terpancar dari mataku. Kubiarkan semuanya
terlihat jelas. Aku juga tak lagi menahan rasa nyeri didadaku. Kubiarkan rasa
nyeri itu merayapi sekujur tubuhku. Menggerakkan berbagai bagian dalam tubuhku,
setiap sel yang bisa diraih, dengan kekuatannya yang menyakitkan, namun toh aku
terima sebagai sebuah fakta dan kebenaran absolut.
Rasa nyeri yang
membuat nafasku tersengal.
Rasa nyeri yang
membuat tubuhku lemas dan hampir tak dapat berdiri dengan tegak.
Rasa nyeri yang
membuat mataku perih dan berair. Kubiarkan aliran air dimataku jatuh tanpa
mengusapnya. Aku sudah lelah. Aku sudah lelah menahan semuanya. Aku mengaku
kalah. Jadi aku mengatakan apa yang selama ini ada di sudut hatiku yang paling
dalam pada Regha dengan sebuah kalimat…
“I love you…”
bisikku lirih.
Regha menatapku
terkesima.
“Please…. I don’t
wanna be alone. I’m so sorry for hurting you over and over again. But……….stay. I
need you. I ca-can’t….. I just can’t…” aku tak bisa mengatakan apapun lagi.
Rasa nyeri yang menyengat tubuhku sepertinya telah mengusap habis sisa tenagaku
yang belum pulih. Aku terhuyung..
Tapi Regha menangkap
tubuhku dan memelukku erat.
Aku menarik nafas
perlahan-lahan. Satu tanganku terangkat memegang belakang kepalanya.
Kusandarkan kepalaku disisi wajahnya. Menopangkan daguku pada bahunya yang
hangat, “I love you..” bisikku lagi lirih ditelinganya.
Tak ada sahutan dari
Regha. Tapi bahunya berguncang pelan dan pelukannya semakin erat. Akupun balas
memeluknya, sementara mataku beralih pada Rizky yang masih berdiri menatap kami
berdua.
“Pergilah…” kataku
pelan, “Tak ada apapun untukmu disini. Aku tak akan menyerahkannya padamu. He’s
mine,” lanjutku lagi.
Rizky tak menyahut.
Hanya ada sebuah kilatan pemahaman melintas dimatanya. Setelah itu dia berbalik
dan masuk ke mobilnya. Kemudian pergi meninggalkan kami berdua…
RIZKY
Jauh dilubuk hatiku,
aku tahu. Aku tahu bagaimana semuanya berakhir. Mungkin karena itu, aku hanya
bisa diam saja disana menyaksikan semuanya. Rasanya terlalu lancang dan bukan
tempatnya aku ikut dan mengacau pembicaraan mereka. Bagaimana Zaki yang
akhirnya mengakui perasaannya membuat atmosfir antara mereka begitu…………sakral
bagiku.
Aku tahu dan paham
bagaimana rumitnya bergumul dengan kesadaran diri, seperti yang dialami Zaki.
Aku paham betul bagaimana sulitnya mengakui hal itu dengan lisan. Apalagi
didepan orang lain. terlebih didepan orang yang berarti bagi kita. Karena itu,
rasanya begitu salah kalau tadi, aku ikut campur dalam percakapan mereka yang
begitu intim. Jadi aku diam ditempatku berdiri. Melihat bagaimana Zaki akhirnya
menyerah kalah pada hatinya. Melihat Regha yang akhirnya menyadari, apa yang
terpenting baginya.
Kini giliranku untuk
meraih apa yang mungkin terpenting bagiku. Meski aku takut kalau aku sudah
terlambat..
Aku tiba di Rumah
sakit setelah satu jam. Aku sudah hendak menuju ruang Dokter Stevan saat aku
lihat beliau keluar dari kantor.
“Rizky? Bukannya
tadi Dokter Ferdy bilang kau ada keperluan?” Tanya beliau heran.
“Batal, Dok.
Ditunda. Dokter Ferdy ada diruangannya Dok?”
“Oh, baru saja
pergi. Dia akan pulang ke Yogya untuk mengurus keperluannya. Surat-suratnya
harus segera diurus. Aku senang karena dia memutuskan untuk menerimanya. Negara
kita membutuhkan banyak tenaga ahli muda,” ujar Dokter Stevan dan melangkah
meninggalkanku.
Aku segera menjejeri
langkahnya, “Surat?” ulangku tak mengerti.
“Iya. Dia harus
segera berangkat ke Jerman di akhir bulan ini. Dia memutuskan untuk menerima
tawaran beasiswa yang dia terima. Beberapa kali dia mencoba berkonsultasi
denganku. Tentu saja aku mendukungnya. Dia masih muda, cerdas dan tidak
terikat. Ini kesempatan emas baginya untuk menjadi tenaga ahli bedah muda di
Negara kita. Aku heran, apa yang dulu sempat membuatnya ragu untuk menerima
tawaran beasiswa itu,” ujar Dokter Stevan sedikit menggerutu.
Langkahku terhenti
ditempat.
Beasiswa?
Jerman?!!
REGHA
Aku hanya bisa
menatap saat Mas Rizky berlalu dengan mobilnya tanpa sekalipun menoleh padaku.
Tak ada yang bisa ku lakukan. Aku tahu kalau sikapku sangat kejam padanya.
Apalagi setelah semua yang dia lakukan padaku. Mas Rizky tak layak mendapat
perlakuan seperti ini. Terlebih dariku. Aku berjanji dalam hati bahwa suatu
saat nanti, aku akan menebusnya. Tapi saat ini…..yang ada hanyalah Zaki.
Kehangatan tubuhnya
yang begitu dekat, dan harum tubuhnya menyapaku dengan begitu akrab.
Dia……berada dalam dekapanku, batinku. Dan aku hampir saja melangkah pergi
darinya. Tapi…………… Gusti! Siapa yang bisa melakukan itu kalau dia menatapku
dengan matanya yang basah? Memintaku padaku untuk tetap bersamanya. Memohon
padaku dengan matanya itu. Andai dia saat ini memintaku untuk terjun ke jurang,
akupun akan melakukannya. Sakit rasanya dadaku melihatnya begitu karenaku.
Kesadaran bahwa aku bisa membuat matanya berair seperti itu justru membuatku
merasa terluka. Aku tak menginginkan dia terluka ataupun menderita seperti ini.
Yang ingin aku lakukan adalah menghapus ketakutan dan kesakitan itu dari
matanya. Dengan mengorbankan apapun. Bahkan jika itu berarti aku harus melukai
Mas Rizky. Bahkan jika nantinya aku akan hancur, remuk menjadi kepingan kecil
yang tak mungkin disatukan lagi. Aku rela melakukannya.
Aku kemudian sedikit
menjauhkan diri darinya, memperhatikan wajahnya, “Kau yakin ingin melakukan
ini? Kau sadar kan, ada banyak hal yang akan berubah bagi kita nantinya?”
tanyaku dengan suara pelan.
“Kau kira aku
peduli? As long as you are here, I say hell with everything else,” jawabnya
mantap dan kemudian memejamkan matanya. Tubuhnya kembali sedikit terhuyung.
Kini bisa dengan jelas kulihat bahwa wajahnya
kembali memucat. Dia perlu beristirahat untuk memulihkan diri. Aku lalu
melingkarkan satu tangannya dibahuku.
“Kita ke dalam. Kau
harus beristirahat,” ujarku. Zaki tak menjawab. Dia bersuara dan hanya menurut,
membiarkanku membantunya untuk masuk ke dalam. Kami segera menuju ke kamarnya.
Ku minta salah satu pembantunya untuk menyediakan air minum dan membawanya ke
kamar.
Setibanya disana,
dengan perlahan aku membantunya untuk rebah di ranjang. Zaki mengeluarkan
erangan kelegaan pelan saat tubuhnya terbaring dikasurnya yang empuk itu. Aku
juga melepas sepatunya dan kemudian menyelimuti tubuhnya.
Aku sudah hendak
keluar dari kamar agar dia bisa beristirahat dengan tenang, tapi tangan kiriku
tertahan. Aku hanya mampu diam melihat tangan kiriku yang ia pegang.
“Don’t leave. Stay,”
pintanya singkat dan kemudian memejamkan mata tanpa melepas pegangannya padaku.
Aku urung pergi dan
kembali mendekat untuk kemudian duduk disisinya. Memandangnya yang kini terbaring
tenang. Untuk beberapa lamanya aku hanya diam dan memperhatikannya. Mematrikan
setiap lekuk dari wajahnya. Menyadari bahwa kini, aku telah mengikat diriku
padanya dalam artian yang sebenarnya. Dalam tingkatan yang lebih dari
sebelumnya. Menyadari bahwa mungkin saja, aku akan melakukan hal yang bisa saja
akan ku sesali nantinya.
Atau mungkin aku
telah mendapatkan hal terhebat dalam hidupku, pikirku.
Waktu yang akan
menunjukannya.
Tangan kananku
terangkat dan kuusap lembut sisi wajahnya dengan gerakan pelan. Zaki bergerak tanpa
sadar, mencondongkan sedikit wajahnya untuk bertemu dengan usapanku. Kemudian
dia menghela nafas panjang. Tubuhnya menjadi lebih rileks.
ZAKI
Kelegaan dan kedamaian
luar biasa menyelimutiku.
Tangan Regha yang
kugenggam seakan-akan memberikan kekuatan aneh yang merambati sekujur tubuhku.
Tahu bahwa dia berada disana, disisiku, membuatku tenang. Apalagi saat
kurasakan usapan lembutnya disisi wajahku. Aku hanya memiringkan wajahku untuk
bertemu dengan tangannya itu. Haus akan sentuhannya yang memberikan sensasi
aneh namun toh nyaris adiktif bagiku.
Dia memilihku!
Aku tak tahu apa
yang akan hidup hidangkan nanti didepanku. Yang jelas saat ini, aku hanya ingin
bersamanya. Karena bersama Regha, aku merasa utuh. Hanya dengannya aku
menemukan pandangan baru akan makna hidup. Dan aku tak akan melepasnya selagi
aku mampu.
RIZKY
Rumah kontrakan itu
kosong.
Menakjubkan
bagaimana Ferdy bisa pergi dari kota ini dan dari hidupku dengan begitu
cepatnya.
Menakjubkan
bagaimana kita, manusia, terkadang begitu mudah ditipu oleh angan dan obsesi
semu yang kejam. Impian yang bahkan dalam sudut hati kita yang terdalam, sudah
terasa salah. Namun toh kerapuhan kendali akan nafsu dan ego kita mengalahkan
akal sehat dan hati nurani yang sebenarnya telah berontak.
Terkadang jarak
antara kebahagiaan dan kebodohan kita itu hanya terpisah oleh selembar kelambu
tipis angan yang memberikan ilusi singkat memikat. Membujuk dan menarik kita ke
dalam perangkapnya yang manis. Hingga kita terperosok kedalam lubangnya.
Dan penyesalanpun
datang menjadi teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar