Translate

Jumat, 30 Januari 2015

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 42 - He's Mine...



ZAKI

Tak sekalipun aku menoleh pada Regha yang duduk disebelahku. Terlalu kesal pada pengumumannya tadi di rumah sakit. Like hell I care. Biar saja dia dijemput oleh Rizky. Apa peduliku?! They can fuck each other for all I care. That ain’t my business, pikirku. Regha juga memilih untuk diam saja. Sesekali dia mengetik sesuatu di hapenya. Mungkin janjian dengan Rizky.
Dan tentu saja, saat mobil mendekati pagar depan rumah, aku melihat Rizky yang berdiri dengan tangan berlipat didada, bersandar pada mobilnya. Aku tak mampu menahan diri untuk tidak memutar bola mataku kesal. Jelas kunyuk itu berdandan khusus untuk menjemput Regha. Dia terlihat segar dengan pakaian rapi. Bahkan rambutnyapun tampak masih basah.
Pak Adam membunyikan klakson dan menunggu hingga pintu pagar terbuka. Tapi aku sudah turun dari mobil untuk menemui tamuku yang tak diundang.
“Bagaimana keadaanmu, Zaki?” tanya Rizky padaku dengan nada seorang sahabat lama yang baru bertemu setelah sekian tahun.
Like you care, batinku kesal. Tapi kalau memang dia ingin bersikap civil, aku juga bisa melakukannya kan? Jadi aku mengulas senyumku yang aku yakin tidak mencapai mataku yang masih menatapnya kesal, “Cukup baik. Tidak kesulitan menemukan rumahku kan?”
“Sama sekali tidak,” sahutnya ringan dan mengalihkan pandangannya pada Regha yang mendekat dari belakangku. Tanpa mengatakan apapun dia mengulurkan tangannya. Yang membuatku mengatupkan geraham kesal adalah saat Regha menyambut uluran tangan itu. Untuk sejenak mereka berdiri disana dengan dua tangan bertaut.
Great! pikirku, lebih kesal dari sebelumnya. Sekarang kita tonton acara selanjutnya. Gay romance, live!
“Kau bagaimana?” tanya Rizky dengan tatapan lembut. Regha kulihat hanya mengangguk. Perlahan kemudian dia berbalik untuk melihat ke arahku.
“Kurasa…….ini terakhir kalinya kita berurusan,” katanya padaku.
Meski menujukan kalimat itu padaku, mata Regha tertuju pada sesuatu dibelakangku. Bukan padaku. Dia melakukannya dengan sengaja. Dan aku tak suka karenanya. Aku ingin dia melihat jelas padaku!! Kenapa dia tak melakukannya?
“Aku……………berterimakasih atas semuanya, Zak. Bantuanmu padaku, pada keluargaku…..semuanya. Aku mungkin tak akan bisa membalasnya. Dan sekali lagi……maaf. Juga atas semuanya..”
Aku tak menjawab. Meski aku mendengarnya, tapi mataku tertuju pada tangan Rizky yang berhenti di pinggang Regha, sementara satu tangannya yang lain dibahunya. Dia menarik tubuh Regha mendekat sehingga punggung Regha menempel di dadanya. Kulihat tangan kiri Regha kini berada diatas tangan kanan Rizky yang sudah melingkar diperutnya. Aku bisa membayangkan dengan jelas. Dengan posisi mereka yang seperti itu, Rizky hanya harus memutar pinggang Regha yang dipeluknya, dan dia bisa mencium Regha didepanku.
Dan matakupun tertutup oleh selaput merah, marah!
Sebelum aku bisa menahan diri, aku sudah maju dan merenggut tangan Regha dari pelukannya. Tanpa memperdulikan kekagetan dimata Regha, aku menariknya untuk berada dibelakangku. Ku tatap Rizky dengan kemarahan yang tak lagi ku tahan.
“Pergi dari sini! Dan jangan pernah lagi kau sentuh Regha dengan tanganmu. Paham?!” desisku dengan nada terdingin yang aku bisa.
Hening!!
Perlahan aku berpaling pada Regha yang berdiri dibelakangku dengan mata terbelalak lebar, “Jangan pergi. Aku membutuhkanmu…” bisikku pelan.

REGHA

Ini lelucon, pikirku. Tak mungkin ini  terjadi. Dia pasti merencanakan sesuatu.Tapi………..mata itu begitu jujur dan sarat akan penekanan. Tak ada sedikitpun riak keraguan ataupun main-main. Seakan-akan dia memang bermaksud begitu.
Aku membuka mulut hendak mengatakan sesuatu. Tapi apapun yang akan ku katakan tadi, semuanya tiba-tiba hilang diujung lidahku. Aku tak bisa mengingatnya.
“Aku tahu aku sudah mengatakan banyak hal yang menyakitkan. Aku tahu aku melukaimu. Tapi aku membutuhkanmu. Dan tak akan pernah ku biarkan kau bersama dengannya.. Tidak selama aku masih hidup. Stay! Stay here,” ujar Zaki dengan nada sedikit bergetar. Entah bagaimana, kini aku bisa melihat kerapuhan yang selama ini ku kira tak akan pernah ada padanya. Ada panik dan takut yang ku kira melintas dengan cepat dimatanya.
“Ki….”
“I’m scared….” bisiknya lirih.
Ketakutan yang tadi hanya sekilas membayang dimatanya, kini terlihat jelas bagiku. Tak ada lagi sosok Zaki yang keras dan ketus tadi di rumah sakit. Seakan-akan dia sedang  menunjukkan padaku apa yang sebenarnya dia rasakan sekarang. Tak ada lagi topeng berlapis yang selama ini dia kenakan. Aku mengerjapkan mata bingung. Mana sosok dia yang sebenarnya? Mataku lalu tertumbuk pada Mas Rizky yang berdiri terpaku dibelakangnya. Mungkinkah?
“Aku tak tahu harus bagaiamana menanganinya. I’m really scared, Gha. It’s like I’m loosing my mind!”
“Zaki, kau tak perlu melakukan ini karena Mas Rizky. Dia…”
“I DON’T GIVE A DAMN ABOUT HIM!!!” sentaknya keras. Zaki menjambak pelan rambutnya dengan gerakan kalut dan frustasi. Dia lalu tertunduk lemas, “Don’t you see? Aku tak peduli Rizky melakukan apa dengan siapa. As long as it’s not with you. Aku tak peduli dia memegang ataupun memeluk siapa. Tapi saat dia menyentuhmu…….. all I can see is red. Angry! Aku tak suka dia melakukannya. Aku tak ingin dia menyentuhmu seperti tadi,” ujarnya pelan. Dia lalu menoleh ke belakang pada Mas Rizky, “Dan aku bersumpah! Kau akan menyesal bila aku melihatmu melakukannya lagi,” ancamnya dengan tubuh gemetar menahan marah.
Aku menutup mulutku dengan tangan, terperangah. Ini………….mustahil. Aku masih termangu kaget saat dia mendekat dan meraih tangan kananku.
“I don’t get it. Aku tak mengerti,” bisiknya lirih, “Tapi aku tak pernah bisa mengeluarkanmu dari pikiranku. I’ve tried everything. Sex, anger, drink, drugs… Mereka tidak berguna. Kau masih ada didalam sini,” dia menunjuk kepalanya dengan tangan kirinya, “Aku menyerah, Gha. I can’t do this no more. I’m giving up now.”
“Ki….”
“Stay….” pintanya bergetar, “Tinggallah disini. Bantu aku mengerti dan memahaminya. Aku tak mau melihatmu bersama dengan orang lain. Aku tak bisa. Aku sudah kalah. Aku tak bisa membuatmu pergi dari sini,” ujarnya pelan dan meraba dadanya sekilas.
Aku tak menjawabnya.
“Don’t leave. Help me. Bantu aku untuk memahaminya. Hanya kau yang bisa membantuku…”
“Pernahkah kau berpikir kalau aku juga tak mengerti?” ujarku dan menarik tanganku perlahan dari genggamannya. Aku melangkah mundur satu langkah, sedikit memberi jarak pada kami. Jarak memberiku sedikit kekuatan. Memberiku sedikit keberanian untuk mengatakan apa yang ada dalam benakku. Kalau kami dekat, aku hanya akan terdiam. Larut dalam kehangatan tubuhnya yang menyapa kulitku dengan keakraban yang ku rindukan. Bahkan bau harum tubuhnya sanggup membuatku kalah.
“Kau bukan satu-satunya yang bingung. Believe me. Aku juga berusaha mati-matian untuk menganggap semuanya ini cuma fase konyol yang akan berlalu dalam hitungan hari.”
“Kalau begitu kita berusaha bersama memahaminya.”
“Hingga kapan? Berapa lama yang kau tawarkan? Satu bulan? Dua? Atau mungkin setahun?” kejarku. Aku mulai melihat pola itu sekarang. Sama sepertiku. Zaki juga mengalami apa yang dulu ku rasakan. Semua kebingungan, ketakutan dan dilemma yang sama. Dia ingin memahami dan mengerti. Tapi dia juga takut. Karena dia sadar bahwa bukan hal ini yang ada dalam benaknya. Sama sepertiku. Dia juga berpikiran bahwa dia akan menikah dengan seorang wanita, membina sebuah rumah tangga dan mungkin dengan satu atau dua anak.
Jatuh cinta pada sesama jenis tidak ada dalam agenda hidupnya. Rute hidupnya saja yang tiba-tiba berubah dan mempertemukan kami. Dan akupun tahu, bahwa seindah apapun yang kami miliki, jika kami bersama, pada satu titik nanti, kami akan berpisah.
Dan aku tak bisa membayangkan kalau aku berada disana jika hal itu terjadi. Karena kini, aku menyadari betapa kuatnya perasaanku padanya. Kalau aku bersamanya, jika tiba saat kami harus berpisah, aku yakin, aku akan lebur menjadi kepingan-kepingan kecil yang tak akan pernah utuh lagi. Dan aku tak ingin itu terjadi.
“Kau tak bisa mengatakannya kan? Karena kita berdua tahu dan sadar sepenuhnya, tak ada masa depan bagi kita. Aku tahu kau ingin menikah dengan seorang wanita. Memiliki anak dan tua bersama dengannya. Aku juga, Ki. Aku juga memiliki impian yang sama. Jadi…………sebaiknya jangan. Jangan biarkan dirimu tersentuh hal ini. Jangan bereksperimen ataupun ingin tahu. Pergilah dan kembali ke dalam hidupmu yang sempurna. That’s where you belong,” ujarku pelan dan melangkah untuk melewatinya. Aku harus segera pergi. Aku tak bisa berlama-lama menatap wajahnya yang sepertinya semakin pucat dimataku.
Memang sudah seharusnya begini. Zaki memiliki segalanya. Jauh lebih banyak dan lebih baik daripada yang aku miliki. Dia bisa memiliki masa depan yang baik dan indah tanpa ada aku didalamnya. Dia tak perlu harus berurusan dengan hal yang bagi sebagian orang adalah aib ini. Kalau bisa, aku tak akan membiarkannya. Cukup aku saja. Dan ini mungkin akan menyelamatkan kami berdua dari luka permanen yang mungkin akan timbul nantinya.
“Please….”
Hanya tinggal satu langkah, aku akan berada disisi Mas Rizky yang sepertinya masih terlalu kaget dengan situasi kami. Tapi satu kata itu membuat langkahku sontan terhenti.


ZAKI

Belum pernah dalam hidupku aku memohon pada seseorang. Belum pernah juga dalam hidupku, aku menangis karena seseorang. Tapi bayangan akan kehilangan Regha pada orang lain, terutama sekali Rizky, membuatku nyaris mustahil untuk menahan diri. Nyeri di dadaku kembali menyengat saat Regha melangkah melewatiku. Saat dia memutuskan kalau sebaiknya kami…………tidak bersama. Rasa nyeri sama yang membuatku mengernyit kesakitan di rumah sakit sebelumnya, saat aku mengusir dan menyakitinya dengan kata-kataku. Hanya saja kali ini,rasa nyeri itu dibarengi oleh ketakutan.
Ketakutan bahwa ini adalah terakhir kalinya aku bisa melihatnya sedekat ini. Sadar bahwa pada saat kami bertemu nanti, dia sudah memiliki embel-embel Rizky pada dirinya.
Aku memang mengakui semua perkataannya tadi. Mungkin boleh dibilang aku bereksperimen karena memutuskan untuk bersamanya. Mungkin juga kami berdua hanya akan memiliki sebuah hubungan singkat yang akan bertahan selama beberapa waktu. Dan aku juga memang berpikiran bahwa suatu saat aku akan menikah dengan seorang wanita dan menjadi tua, bersama dengan keluargaku. Aku menginginkan semua itu…..sebelumnya. Saat ini, aku menginginkan Regha. Hatiku memintanya untuk tetap ada. Karena betapapun mengerikannya fakta yang aku sadari kini, semua sel dan pori di tubuhku tak bisa menyangkalnya.
Aku tak bisa lagi melawannya. Karena itu aku menyerah. Aku sudah lelah menentang perasaanku. Mengingkari dan menekannya. Aku kalah dalam peperangan ini.
Regha yang kini berhenti kemudian berbalik untuk kembali menghadapku. Aku membiarkannya melihat semua yang kurasakan di wajahku. Terpancar dari mataku. Kubiarkan semuanya terlihat jelas. Aku juga tak lagi menahan rasa nyeri didadaku. Kubiarkan rasa nyeri itu merayapi sekujur tubuhku. Menggerakkan berbagai bagian dalam tubuhku, setiap sel yang bisa diraih, dengan kekuatannya yang menyakitkan, namun toh aku terima sebagai sebuah fakta dan kebenaran absolut.
Rasa nyeri yang membuat nafasku tersengal.
Rasa nyeri yang membuat tubuhku lemas dan hampir tak dapat berdiri dengan tegak.
Rasa nyeri yang membuat mataku perih dan berair. Kubiarkan aliran air dimataku jatuh tanpa mengusapnya. Aku sudah lelah. Aku sudah lelah menahan semuanya. Aku mengaku kalah. Jadi aku mengatakan apa yang selama ini ada di sudut hatiku yang paling dalam pada Regha dengan sebuah kalimat…
“I love you…” bisikku lirih.
Regha menatapku terkesima.
“Please…. I don’t wanna be alone. I’m so sorry for hurting you over and over again. But……….stay. I need you. I ca-can’t….. I just can’t…” aku tak bisa mengatakan apapun lagi. Rasa nyeri yang menyengat tubuhku sepertinya telah mengusap habis sisa tenagaku yang belum pulih. Aku terhuyung..
Tapi Regha menangkap tubuhku dan memelukku erat.
Aku menarik nafas perlahan-lahan. Satu tanganku terangkat memegang belakang kepalanya. Kusandarkan kepalaku disisi wajahnya. Menopangkan daguku pada bahunya yang hangat, “I love you..” bisikku lagi lirih ditelinganya.
Tak ada sahutan dari Regha. Tapi bahunya berguncang pelan dan pelukannya semakin erat. Akupun balas memeluknya, sementara mataku beralih pada Rizky yang masih berdiri menatap kami berdua.
“Pergilah…” kataku pelan, “Tak ada apapun untukmu disini. Aku tak akan menyerahkannya padamu. He’s mine,” lanjutku lagi.
Rizky tak menyahut. Hanya ada sebuah kilatan pemahaman melintas dimatanya. Setelah itu dia berbalik dan masuk ke mobilnya. Kemudian pergi meninggalkan kami berdua…

RIZKY

Jauh dilubuk hatiku, aku tahu. Aku tahu bagaimana semuanya berakhir. Mungkin karena itu, aku hanya bisa diam saja disana menyaksikan semuanya. Rasanya terlalu lancang dan bukan tempatnya aku ikut dan mengacau pembicaraan mereka. Bagaimana Zaki yang akhirnya mengakui perasaannya membuat atmosfir antara mereka begitu…………sakral bagiku.
Aku tahu dan paham bagaimana rumitnya bergumul dengan kesadaran diri, seperti yang dialami Zaki. Aku paham betul bagaimana sulitnya mengakui hal itu dengan lisan. Apalagi didepan orang lain. terlebih didepan orang yang berarti bagi kita. Karena itu, rasanya begitu salah kalau tadi, aku ikut campur dalam percakapan mereka yang begitu intim. Jadi aku diam ditempatku berdiri. Melihat bagaimana Zaki akhirnya menyerah kalah pada hatinya. Melihat Regha yang akhirnya menyadari, apa yang terpenting baginya.
Kini giliranku untuk meraih apa yang mungkin terpenting bagiku. Meski aku takut kalau aku sudah terlambat..
Aku tiba di Rumah sakit setelah satu jam. Aku sudah hendak menuju ruang Dokter Stevan saat aku lihat beliau keluar dari kantor.
“Rizky? Bukannya tadi Dokter Ferdy bilang kau ada keperluan?” Tanya beliau heran.
“Batal, Dok. Ditunda. Dokter Ferdy ada diruangannya Dok?”
“Oh, baru saja pergi. Dia akan pulang ke Yogya untuk mengurus keperluannya. Surat-suratnya harus segera diurus. Aku senang karena dia memutuskan untuk menerimanya. Negara kita membutuhkan banyak tenaga ahli muda,” ujar Dokter Stevan dan melangkah meninggalkanku.
Aku segera menjejeri langkahnya, “Surat?” ulangku tak mengerti.
“Iya. Dia harus segera berangkat ke Jerman di akhir bulan ini. Dia memutuskan untuk menerima tawaran beasiswa yang dia terima. Beberapa kali dia mencoba berkonsultasi denganku. Tentu saja aku mendukungnya. Dia masih muda, cerdas dan tidak terikat. Ini kesempatan emas baginya untuk menjadi tenaga ahli bedah muda di Negara kita. Aku heran, apa yang dulu sempat membuatnya ragu untuk menerima tawaran beasiswa itu,” ujar Dokter Stevan sedikit menggerutu.
Langkahku terhenti ditempat.
Beasiswa?
Jerman?!!

REGHA

Aku hanya bisa menatap saat Mas Rizky berlalu dengan mobilnya tanpa sekalipun menoleh padaku. Tak ada yang bisa ku lakukan. Aku tahu kalau sikapku sangat kejam padanya. Apalagi setelah semua yang dia lakukan padaku. Mas Rizky tak layak mendapat perlakuan seperti ini. Terlebih dariku. Aku berjanji dalam hati bahwa suatu saat nanti, aku akan menebusnya. Tapi saat ini…..yang ada hanyalah Zaki.
Kehangatan tubuhnya yang begitu dekat, dan harum tubuhnya menyapaku dengan begitu akrab. Dia……berada dalam dekapanku, batinku. Dan aku hampir saja melangkah pergi darinya. Tapi…………… Gusti! Siapa yang bisa melakukan itu kalau dia menatapku dengan matanya yang basah? Memintaku padaku untuk tetap bersamanya. Memohon padaku dengan matanya itu. Andai dia saat ini memintaku untuk terjun ke jurang, akupun akan melakukannya. Sakit rasanya dadaku melihatnya begitu karenaku. Kesadaran bahwa aku bisa membuat matanya berair seperti itu justru membuatku merasa terluka. Aku tak menginginkan dia terluka ataupun menderita seperti ini. Yang ingin aku lakukan adalah menghapus ketakutan dan kesakitan itu dari matanya. Dengan mengorbankan apapun. Bahkan jika itu berarti aku harus melukai Mas Rizky. Bahkan jika nantinya aku akan hancur, remuk menjadi kepingan kecil yang tak mungkin disatukan lagi. Aku rela melakukannya.
Aku kemudian sedikit menjauhkan diri darinya, memperhatikan wajahnya, “Kau yakin ingin melakukan ini? Kau sadar kan, ada banyak hal yang akan berubah bagi kita nantinya?” tanyaku dengan suara pelan.
“Kau kira aku peduli? As long as you are here, I say hell with everything else,” jawabnya mantap dan kemudian memejamkan matanya. Tubuhnya kembali sedikit terhuyung.
 Kini bisa dengan jelas kulihat bahwa wajahnya kembali memucat. Dia perlu beristirahat untuk memulihkan diri. Aku lalu melingkarkan satu tangannya dibahuku.
“Kita ke dalam. Kau harus beristirahat,” ujarku. Zaki tak menjawab. Dia bersuara dan hanya menurut, membiarkanku membantunya untuk masuk ke dalam. Kami segera menuju ke kamarnya. Ku minta salah satu pembantunya untuk menyediakan air minum dan membawanya ke kamar.
Setibanya disana, dengan perlahan aku membantunya untuk rebah di ranjang. Zaki mengeluarkan erangan kelegaan pelan saat tubuhnya terbaring dikasurnya yang empuk itu. Aku juga melepas sepatunya dan kemudian menyelimuti tubuhnya.
Aku sudah hendak keluar dari kamar agar dia bisa beristirahat dengan tenang, tapi tangan kiriku tertahan. Aku hanya mampu diam melihat tangan kiriku yang ia pegang.
“Don’t leave. Stay,” pintanya singkat dan kemudian memejamkan mata tanpa melepas pegangannya padaku.
Aku urung pergi dan kembali mendekat untuk kemudian duduk disisinya. Memandangnya yang kini terbaring tenang. Untuk beberapa lamanya aku hanya diam dan memperhatikannya. Mematrikan setiap lekuk dari wajahnya. Menyadari bahwa kini, aku telah mengikat diriku padanya dalam artian yang sebenarnya. Dalam tingkatan yang lebih dari sebelumnya. Menyadari bahwa mungkin saja, aku akan melakukan hal yang bisa saja akan ku sesali nantinya.
Atau mungkin aku telah mendapatkan hal terhebat dalam hidupku, pikirku.
Waktu yang akan menunjukannya.
Tangan kananku terangkat dan kuusap lembut sisi wajahnya dengan gerakan pelan. Zaki bergerak tanpa sadar, mencondongkan sedikit wajahnya untuk bertemu dengan usapanku. Kemudian dia menghela nafas panjang. Tubuhnya menjadi lebih rileks.

ZAKI

Kelegaan dan kedamaian luar biasa menyelimutiku.
Tangan Regha yang kugenggam seakan-akan memberikan kekuatan aneh yang merambati sekujur tubuhku. Tahu bahwa dia berada disana, disisiku, membuatku tenang. Apalagi saat kurasakan usapan lembutnya disisi wajahku. Aku hanya memiringkan wajahku untuk bertemu dengan tangannya itu. Haus akan sentuhannya yang memberikan sensasi aneh namun toh nyaris adiktif bagiku.
Dia memilihku!
Aku tak tahu apa yang akan hidup hidangkan nanti didepanku. Yang jelas saat ini, aku hanya ingin bersamanya. Karena bersama Regha, aku merasa utuh. Hanya dengannya aku menemukan pandangan baru akan makna hidup. Dan aku tak akan melepasnya selagi aku mampu.

RIZKY

Rumah kontrakan itu kosong.
Menakjubkan bagaimana Ferdy bisa pergi dari kota ini dan dari hidupku dengan begitu cepatnya.
Menakjubkan bagaimana kita, manusia, terkadang begitu mudah ditipu oleh angan dan obsesi semu yang kejam. Impian yang bahkan dalam sudut hati kita yang terdalam, sudah terasa salah. Namun toh kerapuhan kendali akan nafsu dan ego kita mengalahkan akal sehat dan hati nurani yang sebenarnya telah berontak.
Terkadang jarak antara kebahagiaan dan kebodohan kita itu hanya terpisah oleh selembar kelambu tipis angan yang memberikan ilusi singkat memikat. Membujuk dan menarik kita ke dalam perangkapnya yang manis. Hingga kita terperosok kedalam lubangnya.
Dan penyesalanpun datang menjadi teman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar