Translate

Jumat, 30 Januari 2015

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 45 - Our First Time



REGHA

Aku tahu dia sangat terkejut. Aku sendiri juga tak kalah kagetnya dengan keberanianku. Dadaku bergemuruh dengan keras. Dentuman detak jantungku bergema ditelingaku. Nafasku juga pendek-pendek seakan habis berlari jauh. Aku sebenarnya juga merasa takut. Sangat takut. Tapi………..persetan! Kalau tidak melakukannya sekarang, aku mungkin akan kehilangan keberanianku selamanya.
Jadi aku maju selangkah. Zaki mundur. Wajahnya masih menyiratkan kekagetan, seakan-akan tak percaya kalau ini aku. Aku kembali melangkah maju, dan dia tetap mundur. Hingga kemudian aku berada dalam kamarnya. Dengan mata yang masih melihatnya, aku meraih pintu. Menutup, dan kemudian menguncinya. Mata Zaki mengikuti semua gerakanku dengan ekspresi yang sama.
Dan tiap kali aku maju, dia terus mundur. Hingga kemudian dia tak bisa mundur lagi. Kakinya menyentuh ujung tempat tidur, dan dengan kaget dia terjatuh ke atasnya. Tapi dia segera bangkit, kembali berdiri. Dan sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, aku sudah menciumnya lagi.
Kali ini tangan kananku juga bergerak menelusuri leher, dan naik ke rambutnya dari belakang. Aku lalu memberikan kuluman singkat di bibir bawahnya yang merah dan menggemaskan itu, lalu menggigitnya sedikit. Kuusapkan lidahku dipermukaan bibirnya, sedikit memberinya dorongan untuk membuka.
Zaki mengerang lirih, membuatku tersenyum. Tahu kalau dia mulai tergoda. Aku kembali memagut bibir bawahnya, mengulum dan menariknya sedikit. Lalu kembali mengusapkan lidahku. Zaki kembali mengerang dan kali ini dia menyerah. Bibirnya terbuka dan lidah kami bertemu. Kurasakan tangannya bergerak meraih pinggangku dan dengan sebuah tarikan keras, bagian bawah tubuh kamipun menempel.
Jiwaku serasa melayang. Aku ingin jatuh ke dalam tubuhnya. Keinginan untuk menyatukan tubuh kami begitu kuatnya hingga membuatku gemetar. Tapi aku mati-matian berusaha menahan diri. Aku lalu melepaskan tanganku dari kepalanya dan kini bergerak untuk membuka kancing bajunya. Sedikit memerlukan usaha karena bibir kami yang terus berpagutan dan sesekali aku harus menarik nafas agar tidak pingsan.
Dan saat tanganku menyentuh dada telanjangnya, aku mengeluarkan suara rintihan lirih yang membuat Zaki melepaskan pagutan bibirnya. Ini adalah untuk pertama kalinya, tanganku menyentuh kulit dadanya. Terasa halus dan sedikit menggelitik oleh bulu dadanya yang terasa di telapakku. Mataku langsung beralih menjelajahi dadanya yang kini ku sentuh. Dada yang penuh dan tegap itu bergerak naik turun dalam gerakan cepat karena nafasnya yang memburu. Aku menatapnya dengan takjub. Mengikuti pola bulu dadanya yang sedikit melingkar dibagian atas, dan agak menebal dibagian tengah. Pelan, kugerakkan kudua telapakku menelusuri dadanya yang sedikit berbulu itu. Dan saat ujung tanganku menyentuh puting dadanya, Zaki kembali mengeluarkan suara terkesiap kaget. Aku tesenyum dan kemudian menekan sedikit ujungnya yang sepertinya mengeras.
Zaki mengelurkan suara menggeram yang asing dan belum pernah ku dengar sebelumnya. Dan tahu-tahu dia sudah merenggut tubuhku dan menjatuhkannya ke tempat tidur. Tangannya bergerak meraba bajuku dan dengan gerakan tiba-tiba menyentakkannya, sehingga sebagian kancingnya terlepas diikuti oleh suara robek.
Sesaat kami terpaku akan gairah kami yang mencengangkan.
“Aku…akan menggantinya,” kata Zaki singkat dan kembali menciumku. Dan aku menyambutnya. Ciumannya kali ini dalam, menuntut dan menguasai. Aku sedikit kelabakan untuk mengimbanginya. Tapi aku haus akan dirinya. Aku begitu menginginkan sentuhannya. Tanganku bergerak mengusap punggungnya dan beralih dengan cepat ke kepalanya. Menekannya agar dia memperdalam ciuman panasnya.
Hingga kemudian tangan Zaki bergerak didadaku. Seperti tanganku, tangan itu menemukan puting dadaku yang mendadak saja menjadi begitu sensitif hingga aku mendesis saat dia mengusapnya. Aku benar-benar tak bisa menguasai diri lagi karena sentuhannya itu. Punggungku melengkung diiringi lenguhan tertahanku. Dan aku hampir-hampir mempermalukan diri saat lidah panas Zaki menemukan putting dadaku dan menjilatnya. Aku mendesah lirih dan kemudian terkesiap keras saat dia mengulum dan menggigit ujungnya.
“Zaake..” bisikku dan mengerang.
“Kau tak tahu berapa kali aku membayangkan untuk bisa melakukan ini,” ujarnya dan kemudian menjiat, mengulum lalu menggigit ujung puting kiriku, “Tiap kali kau mengenakan t-shirt tipismu yang membuat ujung dada ini tercetak jelas, aku selalu nyaris kehilangan kendali. It drives me mad..” katanya dan kembali mempermainkan ujung dadaku bergantian.
Aku tahu kalau aku membiarkannya, permainan ini akan berakhir dengan cepat dengan aku sebagai pihak yang kalah. Aku segera menariknya untuk naik dan kemudian kembali menciumnya. Tanganku bergerak kebawah dan kini berusaha membuka ikat pinggangnya.
”Tunggu!!” cegah Zaki dengan nafasnya yang memburu. Dia menahan tanganku dengan mata yang terpejam. Saat dia membukanya, aku bisa tahu kalau dia berusaha menahan diri, “A-are sure of it?” tanyanya.
Aku tak menjawab, hanya tersenyum dan mengangguk dan tersenyum ketika Zaki mengeluarkan desahan lega. Aku kembali berusaha untuk membuka celananya. Tapi entah mengapa, aku kesulitan melakukannya. Berkali-kali aku men mencoba tapi gagal hingga tanpa sadar aku mengeluarkan erangan frustasi.
Zaki mengumpat lirih dan kemudian bangkit. Dengan cepat dia bangkit dan membuka seluruh pakaian bagian bawahnya. Dan akupun ternganga.
Disanalah dia, berdiri dengan nafas memburu dengan semua atribut kelakiannya yang membuatku sedikit ngeri. Aku tahu dia memiliki darah campuran dan bisa membayangkan perbedaan fisik yang kami miliki. Tapi apa yang kulihat didepanku, melebihi apa yang selama ini aku bayangkan. Tanpa sadar aku merapatkan pahaku dengan mata yang masih terbelalak lebar.
Zaki hanya tersenyum dan kemudian menunduk padaku. Tangannya bergerak untuk membuka celana dalamku, berikut yang lainnya. Tapi aku yang sudah mengalami krisis percaya diri mendekap bagian pribadiku dengan kedua tanganku erat-erat. Ya Tuhan, kalau dibandingkan dengannya……..
“Gha, please…….?” pintanya pelan.
Aku hanya menggelengkan kepalaku. Kali ini Zaki kembali mendekat dan membaringkan tubuhnya di sebelahku. Dia tak mengatakan apapun. Tangannya bergerak mengusap rahangku dengan lembut.
“Kau tak perlu malu dengan tubuhmu. You are perfect…to me,” bisiknya dan kemudian menarik wajahku. Dia lalu kembali menciumku. Tangannya lalu menarikku hingga kemudian aku berada diatas tubuhnya. Dia terus menggodaku dengan kuluman lembutnya. Tangannya bergerak mengusap tubuhku bagian depan. Kembali mempermainkan ujung dadaku yang kembali sensitive. Dan tahu-tahu, kedua tanganku telah berada dalam genggamnnya. Lalu dengan sebuah sentakan keras, dia kembali berada di atasku.
Dia tak melepaskan ciumannya. Tapi kemudian bibirnya bergerak ke dagu dan leherku. Menjelajahiku. Kedua jemari tangan kami yang bertemu saling bertaut. Kedua tubuh kami saling bergesekan. Dan setiap kali kulit kami bergesek, setiap bagian yang bertemu, menimbulkan semacam getaran asing yang terasa di bagian bawah perutku. Dan saat dia menggesekkan bagian pinggangnya padaku, aku mengerang dengan keras.
Rasanya semua pandangan mataku tiba-tiba saja menjadi kabur. Lalu kurasakan tubuhnya terangkat. Aku membuka mataku yang ternyata sudah menutup tadi. Kutemukan wajahnya yang begitu dekat denganku tersenyum. Dia lalu sedikit mengangkat bagian tubuh bawahnya dan melihat ke tubuh bagian bawah kami berdua.
“See? Sou don’t have to be ashamed..” ujarnya lagi dengan nafasnya yang memburu. Aku tak mengatakan apa-apa selain mengangkat kepalaku dan mengecup bibirnya yang terlihat lebih penuh dan jauh lebih merah dari sebelumnya.
“Wait…” katanya kemudian dan melepaskan ciumanku, “ Sebelum kita teruskan……..kurasa sebaiknya kita membicarakan hal ini terlebih dahulu.’
Aku tak tahu apa yang dia maksud, jadi aku hanya menatapnya tak mengerti.
“Kau tahu kalau seseorang dari kita harus……” Dia tak meneruskan kalimatnya. Tapi aku mengerti. Fakta bahwa dia bermaksud membicarakannya saja sudah membuatku merasa lebih baik. Ketakutan yang kurasakan tadi sedikit terobati. Zaki sudah menunjukkan bahwa dia peduli karena dia sudah mau membicarakan ini. Dia tidak mau memaksa atau berasumsi berdasarkan pertimbangannya sendiri.
“May be we should decide who’s gonna do it first,” ujarnya lagi.
Aku tanpa sadar melirik ke bagian bawah tubuh kami dan menelan ludah. Aku tahu bahwa suatu saat, kami berdua toh harus melakukannya juga. Tergantung waktu saja. Jadi akupun menarik nafas dan mengambil keputusan.

ZAKI

“I don’t mind to bottom first,” kata Regha sedikit bergetar. Aku menatap wajahnya. Menelusuri setiap bagiannya yang juga menatapku. Lalu kuusap keningnya yang sedikit berkeringat, menyingkirkan rambut-rambut basah yang menempel.
“You’d do that for me..?’ tanyaku sembari memberinya kecupan kecil.
“Yeah…..tapi sebelum itu aku ingin melakukan ini.”
Regha menarik tubuhku untuk berbaring di sebelahnya dan dia kembali berada di atasku. Dia menciumi seluruh wajahku. Menelusuri semua bagiannya. Dari kening, turun ke mata, pipi, telinga, dagu, rahang dan leher. Aku tak sanggup menahan eranganku saat dia mencium bagian dekat jakunku, karena itu salah satu bagian sensitive ditubuhku. Ciumannya kemudian turun kebawah, menjelajahi dadaku. Mengulum, menghisap bahkan menggigit dadaku, untuk kemudian turun ke perutku. Untuk sejenak dia menengadah melihatku dengan tatapan nyaris memuja sementara tangannya menelusuri arah tumbuhnya bulu-buluku disana. Saat tangannya menyentuh bagian pribadiku yang sudah dalam keadaan siap, aku merintih dan menutup mata.
Aku tak boleh melihatnya. Pemandangan dia yang berada dibawah sana terlalu menggodaku dan aku bisa saja…
HOLY SHIIIIIIIIIIITTTT!!!
Aku mengerang lagi dan lagi saat ujung bagian utama tubuhku terbungkus oleh mulut hangat dan tersapu lidah basahnya. Tanpa sadar aku mengangkat pinggangku, mengikuti ritmenya. Aku bersyukur karena aku menutup mataku, karena kalau tidak, aku akan mencapai garis finish saat itu juga. Aku sudah hampir tak tahan. Jadi aku segera membuka mataku dan menariknya lepas.
Regi mengeluarkan suara keluhan kecil yang membuatku tertawa kecil, “I’m sorry. But if you keep doing it……” aku tak meneruskan kalimatku. Hanya menggelengkan kepalaku. Regha akhirnya tersenyum dengan tatapan matanya. Ujung lidahnya kemudian keluar untuk menjilat bibir bagian bawahnya, membersihkan sisa-sisa apa yang dia lakukan tadi.
Dan aku hanya mampu mengeluarkan geraman tertahan. Aku harus segera menyatukan tubuh kami, atau aku akan gila. Hingga kemudian aku sadar…
“SHIT!!” aku mengumpat keras. Dan mengusap wajahku dengan kesal.
“Apa?” tanya Regha heran.
“Aku tak tahu kalau kita akan…. Aku tak membawa apapun,” lanjutku lagi.
“Saku celana belakangku,” kata Regha kemudian dengan nada malu. Aku mengangkat alisku, tapi lalu turun untuk mengambil celana yang dia maksud. Aku menemukan sebuah kondom dan pelumas compact didalamnya. Mau tak mau aku tertawa mengetahui kalau dia telah mempersiapkan semuanya.
“Kau…..sudah merencanakannya?” tanyaku menggoda.
Regha menggeleng, “Aku selalu membawa itu setiap kali kita keluar sejak 2 minggu yang lalu. Untuk……….jaga-jaga,” katanya dengan pipi memerah hingga aku kembali terkekeh. Aku membaca bungkusnya dan keningku langsung berkerut.
“Ukurannya…………….terlalu kecil untukku…”kataku pelan lalu menoleh padanya.
“Jadi…..?”
“Do you trust me?” tanyaku kemudian setelah berpikir beberapa saat. Aku tahu aku tidak seharusnya melakukan ini, tapi aku tak memiliki opsi lain. Ku lihat Regha menganggukkan kepalanya, “I’m clean. Dan aku tahu kau……masih bersih. Jadi aku yakin kau juga bersih dari apapun. Kalau kau mengijinkan…..”
Aku tak meneruskan kalimatku. Aku tahu mungkin aku meminta terlalu banyak. Tapi aku tahu kalau diriku bersih dari apapun. Aku selalu berhati-hati. Dan biasanya aku pandai dalam menahan diri. Tapi malam ini…….. aku tak bisa. Meski seandainya Regha menolak, aku tak akan memaksanya dan akan mencari alternatif lain untuk menyalurkan hasratku.
“Look, if you said no, it’s fine. I really am clean, Gha. Kalau kau mau, let’s get tested together soon. But I’m telling you, I’m clean. And I trust that you are too. So…..you decide. Should we go on or……find another way.”
Aku menahan nafas saat dia terlihat berpikir. Sejenak dia melihatku, mencoba untuk mengumpulkan keyakinan. Dan aku mencoba menyampaikan kebenaran lewat mataku.
“Let’s do it…” katanya kemudian. Tanpa sadar aku menghembuskan nafasku. Aku segera mendekatinya dan menciumnya dengan lembut.
“Thank you for trusting me….” Kataku lirih. Aku segera merobek bungkus pelumas yang dia bawa, “I’m gonna prepare you,” kataku.
Aku kemudian meletakkan sebuah bantal dibawah pinggang Regha sehingga bagian bawah tubuhnya tampak jelas. Aku mengusapkan cairan yang sudah kukeluarkan disana dengan perlahan. Regha mendesis.
“Dingin…” katanya singkat.
Aku nyaris tak mendengarnya. Telingaku seakan tuli dengan debaran jantungku yang dengan keras memukul dadaku. Rasanya begitu berbeda dengan bagian pribadi wanita yang biasanya kupegang. Bagian tubuh Regha yang sedikit berbulu ini lebih…..bertenaga. aku bisa merasakan kekuatannya pada lingkar cincinnya. Dan saat aku dengan hati-hati menusukkan ujung jari telunjukku kedalamnya…..
Erangan Regha membuat perhatianku terpecah.
“Is it hurt?” bisikku.
Regha menggeleng, “……sedikit aneh,” katanya pelan. Aku lalu kembali mendorong masuk sisa jari telunjukku. Regha mendesah, sementara aku terpaku dengan gerakan meremas yang terasa pada jariku itu. Ya Tuhan, kalau dia melakukannya pada mr. P ku, aku mungkin akan langsung…
“Re-relax…” kataku sedikit gugup. Padahal kata tadi seharusnya kutujukan pada diriku sendiri. Aku berada pada titik rawan sekarang ini. Semua bagian tubuhku, terutama bagian pusat, seakan-akan berteriak meminta dan menuntut.
Regha mencoba melakukannya. Aku mnggerakkan jariku itu maju mundur. Saat Regha mulai terlihat nyaman, aku memasukkan jari tengahku. Dia kembali mendesis. Aku mencoba menulikan telinga agar tak terganggu. Kugerakkan kedua jariku itu dengan gerakan memutar. Hingga tiba-tiba saja Regha terlonjak dengan suara memekik keras.
“WHOAAHH!!! Apa yang kau lakukan?”
Aku yang segera menarik lepas jariku karena ketakutan menggelengkan kepala, “A-apa?” tanyaku bingung.
“Kau menyentuh….”
Aku menarik nafas lega, “So that’s where it is. That’s your prostate. Aku harus mengingat tempatnya,” kataku dan tertawa pelan. Dari sinar matanya yang tidak bertanya, sepertinya Regha sudah tahu apa itu prostat. Jadi aku tak perlu menjelaskannya. Bagus lah. Karena aku sudah tak tahan lagi, “A-are you ready…?” tanyaku kemudian.
Regha menganggukkan kepala, “Ka-kau ingin aku teng-tengkurap atau…”
Aku menggelengkan kepalaku, “I wanna see you. Jadi aku bisa tahu kalau kau…. You know…”
Regha hanya mengangguk. Aku segera menempatkan diriku diantara kedua kakinya. Lalu kuangkat kaki kanannya dan kuletakkan diatas bahuku. Aku mengatur posisiku dan memegang bagian tubuh pribadiku dan mengarahkannya ke tubuh Regha. Sejenak aku melihat kearah Regha. Wajahnya terlihat tegang dengan  mata terbuka lebar melihat ke arah kejantananku. Dia gugup dan nyaris ketakutan. Well, dia tidak sendiri. Aku juga merasakannya. Hanya saja, aku tak sabar untuk segera melakukannya.
“Gha, kau siap…?” tanyaku lagi.
Dia melihatku dan mengangguk dengan gugup.
“Just, relax ok? Justru akan terasa sakit kalau kau tegang. Jangan ragu untuk memintaku berhenti kalau kau merasa sakit. I swear I’ll stop,” kataku menenangkannya.
Regha menjilat bibirnya gugup, “Zake….” panggilnya pelan.
“Yes..?”
“Go slowly, ok?” pintanya.
Aku tersenyum menenangkannya, “I will,” kataku.
Setelah tubuhnya kurasakan sudah tidak tegang lagi, aku kembali memegang kejantananku dan mendekatkannya ke bagian tubuh Regha itu. Begitu ujung mr.P ku menyentuh cincin lubang anusnya, tubuh Regha kembali menegang.
“Gha……tenangkan dirimu. We’ll do it slowly..” kataku mengingatkan sembari menahan diriku sendiri.
“I’m so-sorry…” kata Regha.
“Don’t be..” balasku dan mengusap pelan paha kakinya yang ada dibahuku. Tubuhnya perlahan melemas. Dan saat dia santai, aku mendorong tubuhku maju.
Regha mengerang. Dan aku gagal karena Regha kembali menegang.
Kejadian itu terulang beberapa kali. Dan setiap kali, aku harus menenangkannya, meski keringat sudah membasahi sekujur tubuhku.
“Gha… look at me,” pintaku kemudian. Dia melakukannya. Aku bisa melihat ketakutan dimatanya. Tapi aku juga melihat kepercayaannya padaku disana. Jadi aku mengatakan apa yang ada dipikiranku yang mungkin bisa menenangkannya, “I love you…” bisikku dan mendorong tubuhku maju.
Regha mengerang keras saat ujung bagian pribadiku menembus lingkar cincinnya. Dia melengkungkan punggungnya dengan wajah mengernyit. Aku segera merangkul dan tubuhku jatuh diatas tubuhnya yang kembali terbaring di kasur. Bersamaan dengan jatuhnya tubuhku, sedikit bagian dari kejantananku kembali terdorong masuk ke dalam tubuh Regha.
“Ki…!! Wait!” desis Regha yang wajahnya tersembunyi dileherku.
Sontan aku menahan gerak tubuhku. Dan rasanya………………………..hampir mati!
Seakan-akan gravitasi yang ada disekitarku menghilang dan berkumpul menjadi satu pada seperempat bagian kejantananku yang masuk ke tubuh Regha. Bagian itu terasa ditarik dan diremas dengan begitu kuatnya. Memaksaku untuk terus membenamkan bagian yang tersisa pada tubuh Regha. Tapi Regha memintaku berhenti. Jadi aku menahan tubuhku mati-matian.
Untuk beberapa saat lamanya kami terdiam dengan nafas yang memburu. Hanya beberapa detik berlalu. Tapi itu adalah detik-detik terlama dan paling menyiksa dalam hidupku. Aku harus menggigit bibirku kuat-kuat. Aku lalu sedikit mengangkat wajahku.
“Gha….” panggilku. Bisa ku lihat dia menahan sakit. Tapi dia berpaling untuk melihatku. Kuusap keningnya yang kembali basah oleh keringat, “Keep looking at me. Jangan melihat kearah yang lain, ok?” pintaku.
Dia mengambil nafas untuk mengumpulkan kekuatan dan kemudian mengangguk. Aku tak melepaskan pandanganku. Aku tetap menatap matanya, mencoba mengunci perhatiannya. Mencoba menyalurkan kekuatanku padanya lewat mataku dan kemudian kembali mendorong maju pinggangku.
Regha kembali mengeluh dan matanya terpejam..
”Keep looking at me…” kataku lagi sehingga dia kembali membuka matanya. Aku kembali mencoba mengunci perhatiannya. Kali ini aku raih tangan kanannya dan ku lingkarkan di leherku, “Jangan memejamkan mata. Jangan melihat kearah lain. Lihat saja aku….. It’s me. Zaki. You trust me, right?”
Dia mengangguk pelan sementara tangannya kini meramati rambut dibagian belakang kepalaku.
“You love me, don’t you?” tanyaku dengan suara tertahan. Rasanya aku hampir mati menahan diri. Rasanya…… benar-benar tersiksa, “Please, say it. Tell me you love me…..”
“I love you…”
Dan akupun menenggelamkan tubuhku ke dalam dirinya.
Regha melenguh keras saat semua bagian tubuhku dari atas ke bawah jatuh diatasnya. Dan semua bagian pribadiku menyatu dengannya. Aku langsung mencium bibirnya, merasakan untuk pertama kalinya tubuh kami bersatu. Kami…………bersatu.
Dan selama aku hidup, tidak pernah aku merasakan keintiman seperti ini. Kedekatan seperti ini. Karena bukan hanya tubuh kami yang menyatu lewat seonggok daging. Tapi ini lebih terasa sebagai sebuah ikatan. Ikatan yang menyatukan kami. Tubuh dan jiwa kami.
Aku sudah bercinta dengan beberapa orang gadis. Aku cukup membanggakan diri dengan pengalaman yang ku punya. Tapi bersama Regha, semuanya terasa lain. Tubuhku bagaikan tersedot terus ke dalam tubuhnya. Semua bagian sel dari tubuhku seakan-akan mengalir menuju sebuah pusat yang tak ku ketahui keberadaannya. Aku tahu kalau aku harus bergerak. Tapi Regha….
“Gha…. I should move. Kalau tidak……aku akan… Please….? Let me..” pintaku dengan suara tertahan dan geraham yang kuketatkan untuk menahan diri. Aku tak bisa melanjutkan kalimatku. Aku benar-benar akan mempermalukan diri dan predikatku sebagai pecinta berpengalaman mungkin akan segera tercabut.
“Please…slowly,” bisik Regha ditelingaku.
Akupun mulai menarik sedikit tubuhku, lalu membenamkannya lagi. Mulanya perlahan dan semakin lama, semakin cepat. Ku lakukan berulang-ulang, dan setiap kali aku menarik bagian tubuhku lebih panjang dari sebelumnya. Hingga pada tarikan ke sepuluh, hanya bagian ujung kejantananku yang tersisa pada tubuh Regha. Bagian Regha itu mencoba terus menarikku. Tubuh Regha terus-terusan menggelitikku dengan hisapan, remasan dan kehangatan yang membungkusku.
Dan akupun lupa diri.
Tubuhku sudah menemukan ritmenya saat tubuh Regha kembali tersentak ketika kejantananku menyentuh prostatnya. Dan aku kembali diingatkan, bagian mana yang harus aku beri perlakuan khusus. Kamipun tenggelam dalam tarian primitive kuno yang terasa nyaris sakral. Aku menghunjamkan tubuhku pada Regha yang menerimaku. Bagian tengah tubuh kami bertemu dengan suara keras. Deru nafas kami semakin memburu. Erangan dan rintihan kami saling bersahutan. Makin lama makin mengeras. Seiring gerakan kami yang makin lama makin cepat. Kata perlahan dan berhati-hati sudah hilang sama sekali dalam kosakata kami.
Regha bahkan menerimakau dengan gairah yang terus menanjak. Aku hampir-hampir tak merasakan kuku-kukunya yang mencakar, menggaruk dan mencengkeram punggungku. Aku hampir tak mendengar lenguhan, rintihan dan erangannya. Mungkin juga ada beberapa suara keluhan yang dia keluarkan. Aku tak taju. Dan kalau memang ada, aku tak mendengarnya. Mataku tertutup dalam ekstasi yang kini makin memuncak dan terus memuncak. Aku harus menggigit bibirku untuk menahan diri.
Pertahananku bobol saat aku menghunjam dengan keras dan Regha mengeluarkan erangan panjang dengan giginya menancap di bahuku. Tubuhnya mengejat dengan tegang dibawahku. Dan akupun melenguh panjang dan memuntahkan cairan tubuhku ke dalam tubuhnya.
Tubuh kami terhempas kembali ke kasur dalam keadaan lemas. Aku merasa seakan-akan semua bagian tulangku hilang. Tak ada tenaga yang tersisa. Kami terbaring dan berusaha bernafas normal. Hanya kesadaran samar bahwa aku menindih tubuh Regha yang memaksaku untuk bergerak. Aku tak ingin menyakitinya.
“I’ll move…” bisikku pelan. Aku kemudian menggulingkan tubuhku dengan perlahan dan berhati-hati dan bagian tubuh kami yang menyatupun terpisah diiringi desisan Regha. Aku mengerang bukan hanya karena terpisahnya tubuh kami menimbulkan sensasi yang terasa sensual, tapi juga karena aku merasakan kehampaan aneh saat tubuh kami kini tak lagi bersentuhan. Padahal kami hanya terpisah beberapa senti. Tapi tiap jengkal tubuhku menuntut untuk segera berdekatan dan bersentuhan dengan tubuhnya. Kulitku merindukan kulitnya.
Aku menarik tubuh Regha untuk kemudian menempelkan punggungnya ke dadaku. Gerakan sederhana yang dengan segera menenangkan jiwaku yang tadinya berteriak. Aku tarik selimut yang hampir jatuh untuk menutupi tubuh telanjang kami. Regha meringkuk dalam pelukanku. Tangankupun melingkar diperutnya. Melindunginya dan menariknya untuk lebih mendekat.
Kelelahan yang akhirnya membuat kami tertidur dengan tubuh nyaris bersatu.

REGHA

Gerakan pelan yang berasal dari sebelahku membuat tidurku terganggu. Aku bisa merasakan Zaki yang mengangkat tangannya dari tubuhku dengan berhati-hati supaya aku tidak terbangun. Hingga kemudian kehangatan yang tadinya kurasakan mengalir dari punggungku, menghilang. Udara dingin membuatku bergerak pelan, meski kemudian aku segera menghentikan tubuhku yang semula hendak menggeliat, karena ada selimut yang Zaki pakaikan padaku dan juga karena sentakan nyeri dari bagian belakang tubuhku.
Ingatan semalam segera saja membanjiri ingatanku. Percintaan kami yang membara dan menguras habis tenagaku. Aku nyaris bisa merasakan bagian tubuh Zaki bergerak dalam tubuhku. Masih kuingat rasa sakit dan penuh yang kurasakan, yang kemudian berganti dengan rasa……nikmat dan sedikit geli. Geli yang menggelitik pada satu titik dalam tubuhku yang membawa gairahku menuju suatu puncak. Seluruh syaraf tubuhku seakan-akan terentang tegang. Mataku tertutup oleh gelembung-gelembung indah yang memenuhi otakku. Hingga kemudian gelembung-gelembung itu pecah, meledak. Membuatku terhempas dalam kelelahan dan kepuasan yang selama ini belum pernah kurasakan.
Semua otot dalam tubuhku hampir mustahil digerakkan sesudahnya.
Tapi kini Zaki pergi meninggalkanku sendirian di tempat tidur ini, entah setelah berapa lama kami tertidur. Hatiku mencelos dan tubuhku kembali terasa dingin. Mungkinkah dia…….kecewa? Apa mungkin karena aku tidak memenuhi harapannya.
Mataku perlahan terbuka dan kutelengkan kepalaku, mencari sosok Zaki. Ku lihat dia berdiri menghadap kearah luar kamar yang menampakkan pemandangan subuh. Langit sudah agak terang. Dia lalu membuka pintu kaca dan korden yang menutupinya. Balkon kamar itu memiliki sepasang kursi malas panjang disana. Kukira dia akan duduk disana. Tapi Zaki tetap berdiri telanjang dan memandang alam yang ada didepannya dengan tangan yang terlipat di dada. Kakinya terentang, memberiku pandangan sekilas kejantanannya yang menggantung diantara kedua kakinya.
Aku yang merasa dingin kemudian bangkit dan menyelubungkan selimut ke sekujur tubuhku yang juga telanjang bulat. Perlahan aku bangkit dan melangkah mendekatinya yang berdiri diam membelakangiku.
“Zake…..dingin. Kenapa berdiri disini?” tanyaku pelan. Aku mendekatinya lagi dan dengan ragu meraih tangannya. Kulitnya terasa dingin dibawah tanganku.
Zaki menoleh padaku. Matanya bersinar dengan sayu saat melihatku. Dia lalu meraih ujung selimutku dan menariknya lepas hingga tubuh telanjangku terekspos. Aku yang segera diterpa angin pegunungan yang dingin mendekap bagian bawah tubuhku.
“Come here..” katanya yang kemudian menarik tanganku untuk berdiri didepannya. Menarikku mendekat hingga punggungku menempel didadanya. Aku bisa merasakan kejantanannya yang mulai bangun menekanku. Dadaku kembali berdebar keras. Tidak secepat ini kan? Tubuhku memerlukan waktu untuk pulih, pikirku sedikit panik.
Dia lalu menyampirkan selimut tebal itu pada tubuh kami berdua. Membungkus tubuh kami yang tadinya kedinginan. Aku bahkan masih bisa merasakan kulitnya yang dingin menyentuhku.
Zaki merangkulku erat, kemudian memberikan ciuman-ciuman lembut di bahu dan leherku. Tangannya yang merangkul perutku dan menariknya semakin dekat dengannya. Aku kini denagn jelas merasakan bagaimana kejantanannya dalam keadaan full siaga. Menekan bagian atas pantatku. Tanpa sadar aku menghela nafas dengan tubuh yang sedikit gemetar. Karena gairahku mulai terpancing.
“Are you okay?” tanyanya lembut.
“Hm-mh… Just a bit sore,” balasku pelan.
“Did I hurt you? I’m sorry. Sepertinya aku kehilangan control semalam…”
Aku meremas kedua lengannya yang memelukku saat mendengar nada panik dalam suaranya. Tubuhnya yang sedikit tegang mulai mengendur, “It’s fine… Aku…………mungkin membutuhkan sedikit waktu untuk pulih. Kau…….. melebihi dugaanku.”
Dia menekan tubuhku sekilas dan kembali mecium leherku.
“Nggak apa-apa kan?”
“Tentu saja. Kenapa kau menanyakannya?’ tanya Zaki heran.
“Entahlah…” kataku berusaha terdengar santai meski dalam hati sedikit khawatir, “Kau…..tidak kecewa?”
Zaki mengangkat kepalanya yang tadinya bersandar di bahuku. Dia lalu membalikkan tubuhku. Aku lebih memilih untuk tidak melihat matanya, jadi aku menancapkan mataku didadanya. Menelusuri pola rambut yang tumbuh disana.
“Gha…” panggil Zaki dan kemudian tangannya terangkat untuk memegang daguku lembut, memintaku untuk mendongak dan melihatnya. Aku tahu dia bertanya dengan sorot matanya itu. Aku hanya tersenyum tipis, “What do you mean?” tanya Zaki dengan nada menuntut.
“You know……….tentang semalam. Aku mungkin…………tidak sebaik Anna atau…”
“Kau takut aku kecewa karena merasa tidak puas?” potong Zaki.
Ada nada bingung dalam suaranya. Aku mulai sadar kalau aku telah bertindak konyol. Aku kembali menurunkan pandanganku ke dadanya. Terlalu malu untuk beradu pandang dengannya. Zaki lalu tertawa kecil. Yang sedikit mengejutkan adalah saat dia mengangkat pinggangku dan kemudian menyandarkan tubuhku di pintu kaca yang masih setengah terbuka. Dia menahanku sejenak disana dengan bagian bawah tubuhnya lalu satu tangannya membimbing satu kakiku untuk melingkar di pinggangnya.
Secara instingtif, aku menurut dan melingkarkan kedua kakiku pada tengah tubuhnya.
“Look at me…” bisiknya.
Aku sudah hendak menoleh namun segera mendesis saat kurasakan kejantanannya menusuk bagian belakang tubuhku yang masih sakit. Refleks aku sedikit mengangkat tubuhku.
“Oops, sorry! My tender has it’s own idea…” katanya nyengir kemudian dan mengangkat sedikit tubuhku, sehingga kepalaku sedikit lebih tinggi darinya. Kedua tangannya kini menahan bagian bawahku dengan kuat, “Look at me…” pintanya lagi.
Aku melakukannya. Dia menatapku lembut. Pandangannya menelusuri wajahku sehingga aku jadi tersipu, “Last night was….perfect,” bisiknya kemudian, “Semalam adalah pengalaman yang paling menakjubkan yang pernah ku rasakan. Bagiku, kau…………..menakjubkan. Tak ada duanya. You remember that, ok?”
Aku yang terlalu malu hanya menunduk dan kemudian menyatukan kening kami, “Thank you…” Hanya itu yang bisa kukatakan padanya. Zaki menghela nafas panjang dan memberiku kecupan singkat diujung hidungku….
“Dan kalau aku tak salah ingat………….kau juga merasakan hal yang sama semalam kan? Kau sudah lihat, bekas yang kau tinggalkan di tubuhku?” bisiknya dengan nada menggoda, membuatku segera menarik wajahku. Dia benar. Di lehernya aku bisa melihat bekas gigitan dan……cupang. Gustii!! Itu saya yang bikin semuanya? pikirku takjub. Tanpa sadar, tanganku mengusap pungungnya. Ingat bagaimana tanganku semalam mencengkeram dan mencakarnya. Aku beringsut turun dan membalikkan tubuhnya.
Yup!! Ada beberapa bekas cakaran dan entah apa disana. Aku mengusap bekas luka itu pelan lembut..
“I’m sorry…” bisikku.
Zaki tertawa dan kembali berbalik untuk menghadapku, “It’s fine. Karena ini berarti kalau aku telah melakukannya dengan benar untukmu,” godanya lagi dengan mata bersinar nakal, “Don’t worry about it. Aku hanya harus mengenakan baju turtleneck selama beberapa hari ke depan. Lagipula…..luka-luka ini bukan hal penting yang harus dipikirkan.”
Ekspresi wajahnya berubah. Kerlingan nakal di matanya kembali menghilang, berganti dengan ekspresi yang sama, saat dia berdiri menghadap keluar kamar tadi. 
“I’m scared now…” katanya lirih.
Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya heran, “Takut? Dengan apa?”
“I’ve never felt so close to a person like now,” katanya pelan tanpa melepas kontak mata, “Ever! Tidak pernah sekalipun aku merasa sedekat ini. Tidak dengan semua orang yang pernah dekat denganku. Tidak sekalipun. Tapi bersamamu, aku merasa memiliki rasa keterikatan yang dalam. Bersamamu aku merasa memiliki……..akar. Tempat untuk berpijak. It’s like now, I’m belong to something. To someone. Keberadaanku kini serasa memiliki sebuah arti. It’s like for the first time, I know that I’m no longer…..alone.”
Dia melihatku dan aku bisa melihatnya menelan ludah. Lalu akupun menyadari tatapannya itu. Dia benar-benar ketakutan. Perasaan itu terpancar kuat.
“Bagaimana kalau semua ini berakhir?” tanyanya dengan suara tercekat, “Bagaimana kalau suatu hari kau……..” dia kembali harus menelan ludah, “…………pergi,” lanjutnya pelan, hampir tak kudengar.
“Zake…”
“I know. I know it sounds ridiculous,” selanya, “But I can’t help it. Aku tahu kalau kau mungkin berpikir kalau ini hanya sebuah fase. Sementara. Seperti yang pernah kau bilang. But I don’t wanna it to be that way. I want it for real,” katanya dengan cepat dan kemudian menciumku, menyampaikan rasa kalutnya lewat ciumannya yang cepat, “I want it to last. I want us to work. Promise me..”
Dia tak tahu kalau kalimatnya tadi nyaris membuatku menangis dengan menyedihkan karena haru.
“Promise me that you’d die trying to make us work, please?” pinta Zaki diantara ciuamannya.
“Zake……….aku yang seharusnya takut,” kataku kemudian setelah bisa mengatasi keharuan yang nyaris memecahkan dadaku. Dia berhenti dan kembali memandangku, bingung. Aku jadi tertawa kecil, “Zake, kau adalah…………..Zaki. You have everything. You could have everything. Kau memiliki banyak untuk ditawarkan. Sedangkan aku….. Selama ini aku selalu berpikir, bagaimana kalau suatu saat nanti, kau sadar dari mimpi ini? Kalau kau akan tertarik pada wanita lain? Wanita cantik seperti Anna atau Emma. Aku tak mungkin bersaing dengan mereka. Aku tak memiliki apapun untuk bisa bersaing dengan mereka. Aku selalu bertanya-tanya, kapan kau akan bosan dan akhirnya mencari apa yang dulu pernah kau miliki? Apa yang harus…”
Dia sudah menciumku. Ciumannya merambat dari bibir, leher dan garis rahangku.
“I won’t leave. I swear, I won’t.”
“You swear?” tanyaku diantara ciuamannya.
Dia kembali menyatukan kening kami, “I swear…” bisiknya.
Aku hanya mengangguk untuk mengatakan kalau aku mendengarnya.
“And now…… I know you’re still sore. Tapi…………..kurasa sekarang giliranku. Are you ready?”
Aku hanya tertawa dan menciumnya.
Dan kamipun melakukannya.
Dan aku bersumpah kalau aku tak akan pernah melakukannya lagi.  Dari eksperimen kami pagi itu, kami berdua sepakat akan peran kami masing-masing. Zaki hanya tertawa saat aku dengan resmi mengetuk bantal untuk mengesahkan keputusanku. Dia mengatakan bahwa dia siap berganti peran kalau aku ingin variasi. Aku hanya menggerutu untuk menjawabnya.
Setelah sebuah sesi bercinta singkat dan cepat di kamar mandi, kamipun turun ke bawah, dan menemukan Regi dan Vivi yang sibuk didapur, sementara Jordan mengerjakan sesuatu di luar. Zaki segera berpamitan untuk keluar membantunya. Aku sudah akan mengikutinya tapi Regi meminta bantuanku untuk mengolesi roti panggang dengan mentega dan selai.
Tapi yang membuatku ngeri adalah saat Regi tiba-tiba diam dan memandangku dengan seksama. Kedua matanya menyipit tajam. Aku hanya nyengir untuk menutupi kegugupanku.
“Kalian melakukannya!” cetusnya dengan wajah terperangah. Aku terlalu lambat untuk bereaksi karena sepertinya Regi telah menemukan jawaban yang dia cari di wajahku. Dia langsung melompat-lompat dengan girang dan meraih tanganku.  
“Jadi…..siapa yang jadi top dan bot semalam?” tanyanya denagn mata berbinar penasaran. Aku hampir saja menjatuhkan roti dan pisau dapur yang ku pegang.
“Aa-a-apa?”
“Ga usah bohong. Ikke bisa liat gimana wajah yey en Zaki bersinar dengan aura yang gak biasa and he’s wearing that turtleneck shirt!! You guys are glowing. So, spill? Who’s catching and who’s pitching?”
“YOU TELL HIM??!!” seru Zaki yang tiba-tiba saja ada di pintu dapur.
Ganti aku yang terperangah. Aku menatap mereka berdua bergantian dengan panik, “I di-didn’t…” jawabku gugup dan menggeleng.
“Shut up and spill!” perintah Regi dan menunjuk pada Zaki, “You! Kau sudah mempraktekkan semua yang ada pada video itu kan? Jangan katakan kalau semua pelajaran yang kuberikan padamu gagal!”
Aku ternganga dengan semburan Regi itu, “Kamu juga berguru ke Regi?!” tanyaku pada Zaki dengan nada kaget.
Zaki yang mukanya sudah melebihi kepiting rebus warnanya balik memandangku terperanjat, “You too?!”
“Oh, please. Pada siapa lagi kalian bertanya. Now, spill it out! Regha, how big is he?!!” seru Regi padaku yang kemudian diikuti oleh sorakan Vivi dan Jordan yang ikut-ikutan bertanya sembari ngakak.
“DON’T YOU DARE TELL HIM!!!” seru Zaki yang segera berlari mendekat dan menutup mulutku dengan tangannya dari belakang.
“HEII!! CURANG!! TELL ME HOW BIG IS ZAKI?!!!!” raung Regi. Aku yang masih berada dalam bekapan Zaki hanya bisa menggeleng dengan wajah merah padam.
“SHUT UP!!!” bentak Zaki kesal.
“Okay, then tell me who’s the top and who’s the bot last night? Did you bot Zak? Atau elu Gha? Atau mungkin kalian gentian ya?” selidik Regi seolah-olah tak mendengar Zaki.
Zaki yang mukanya makin merah sepertiku, hanya menggeram dan kemudian menyeretku untuk pergi dari sana. Meninggalkan Regi yang masih ngamuk menuntut dan Vivi serta Jordan tertawa keras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar