REGHA
Aku tahu dia sangat
terkejut. Aku sendiri juga tak kalah kagetnya dengan keberanianku. Dadaku
bergemuruh dengan keras. Dentuman detak jantungku bergema ditelingaku. Nafasku
juga pendek-pendek seakan habis berlari jauh. Aku sebenarnya juga merasa takut.
Sangat takut. Tapi………..persetan! Kalau tidak melakukannya sekarang, aku mungkin
akan kehilangan keberanianku selamanya.
Jadi aku maju
selangkah. Zaki mundur. Wajahnya masih menyiratkan kekagetan, seakan-akan tak
percaya kalau ini aku. Aku kembali melangkah maju, dan dia tetap mundur. Hingga
kemudian aku berada dalam kamarnya. Dengan mata yang masih melihatnya, aku
meraih pintu. Menutup, dan kemudian menguncinya. Mata Zaki mengikuti semua
gerakanku dengan ekspresi yang sama.
Dan tiap kali aku
maju, dia terus mundur. Hingga kemudian dia tak bisa mundur lagi. Kakinya
menyentuh ujung tempat tidur, dan dengan kaget dia terjatuh ke atasnya. Tapi
dia segera bangkit, kembali berdiri. Dan sebelum dia bisa mengatakan apa-apa,
aku sudah menciumnya lagi.
Kali ini tangan
kananku juga bergerak menelusuri leher, dan naik ke rambutnya dari belakang.
Aku lalu memberikan kuluman singkat di bibir bawahnya yang merah dan
menggemaskan itu, lalu menggigitnya sedikit. Kuusapkan lidahku dipermukaan
bibirnya, sedikit memberinya dorongan untuk membuka.
Zaki mengerang
lirih, membuatku tersenyum. Tahu kalau dia mulai tergoda. Aku kembali memagut
bibir bawahnya, mengulum dan menariknya sedikit. Lalu kembali mengusapkan
lidahku. Zaki kembali mengerang dan kali ini dia menyerah. Bibirnya terbuka dan
lidah kami bertemu. Kurasakan tangannya bergerak meraih pinggangku dan dengan
sebuah tarikan keras, bagian bawah tubuh kamipun menempel.
Jiwaku serasa
melayang. Aku ingin jatuh ke dalam tubuhnya. Keinginan untuk menyatukan tubuh
kami begitu kuatnya hingga membuatku gemetar. Tapi aku mati-matian berusaha
menahan diri. Aku lalu melepaskan tanganku dari kepalanya dan kini bergerak
untuk membuka kancing bajunya. Sedikit memerlukan usaha karena bibir kami yang
terus berpagutan dan sesekali aku harus menarik nafas agar tidak pingsan.
Dan saat tanganku
menyentuh dada telanjangnya, aku mengeluarkan suara rintihan lirih yang membuat
Zaki melepaskan pagutan bibirnya. Ini adalah untuk pertama kalinya, tanganku
menyentuh kulit dadanya. Terasa halus dan sedikit menggelitik oleh bulu dadanya
yang terasa di telapakku. Mataku langsung beralih menjelajahi dadanya yang kini
ku sentuh. Dada yang penuh dan tegap itu bergerak naik turun dalam gerakan
cepat karena nafasnya yang memburu. Aku menatapnya dengan takjub. Mengikuti
pola bulu dadanya yang sedikit melingkar dibagian atas, dan agak menebal
dibagian tengah. Pelan, kugerakkan kudua telapakku menelusuri dadanya yang
sedikit berbulu itu. Dan saat ujung tanganku menyentuh puting dadanya, Zaki
kembali mengeluarkan suara terkesiap kaget. Aku tesenyum dan kemudian menekan
sedikit ujungnya yang sepertinya mengeras.
Zaki mengelurkan
suara menggeram yang asing dan belum pernah ku dengar sebelumnya. Dan tahu-tahu
dia sudah merenggut tubuhku dan menjatuhkannya ke tempat tidur. Tangannya
bergerak meraba bajuku dan dengan gerakan tiba-tiba menyentakkannya, sehingga
sebagian kancingnya terlepas diikuti oleh suara robek.
Sesaat kami terpaku
akan gairah kami yang mencengangkan.
“Aku…akan
menggantinya,” kata Zaki singkat dan kembali menciumku. Dan aku menyambutnya.
Ciumannya kali ini dalam, menuntut dan menguasai. Aku sedikit kelabakan untuk
mengimbanginya. Tapi aku haus akan dirinya. Aku begitu menginginkan
sentuhannya. Tanganku bergerak mengusap punggungnya dan beralih dengan cepat ke
kepalanya. Menekannya agar dia memperdalam ciuman panasnya.
Hingga kemudian
tangan Zaki bergerak didadaku. Seperti tanganku, tangan itu menemukan puting
dadaku yang mendadak saja menjadi begitu sensitif hingga aku mendesis saat dia
mengusapnya. Aku benar-benar tak bisa menguasai diri lagi karena sentuhannya
itu. Punggungku melengkung diiringi lenguhan tertahanku. Dan aku hampir-hampir
mempermalukan diri saat lidah panas Zaki menemukan putting dadaku dan menjilatnya.
Aku mendesah lirih dan kemudian terkesiap keras saat dia mengulum dan menggigit
ujungnya.
“Zaake..” bisikku
dan mengerang.
“Kau tak tahu berapa
kali aku membayangkan untuk bisa melakukan ini,” ujarnya dan kemudian menjiat,
mengulum lalu menggigit ujung puting kiriku, “Tiap kali kau mengenakan t-shirt
tipismu yang membuat ujung dada ini tercetak jelas, aku selalu nyaris
kehilangan kendali. It drives me mad..” katanya dan kembali mempermainkan ujung
dadaku bergantian.
Aku tahu kalau aku
membiarkannya, permainan ini akan berakhir dengan cepat dengan aku sebagai
pihak yang kalah. Aku segera menariknya untuk naik dan kemudian kembali
menciumnya. Tanganku bergerak kebawah dan kini berusaha membuka ikat
pinggangnya.
”Tunggu!!” cegah
Zaki dengan nafasnya yang memburu. Dia menahan tanganku dengan mata yang
terpejam. Saat dia membukanya, aku bisa tahu kalau dia berusaha menahan diri,
“A-are sure of it?” tanyanya.
Aku tak menjawab,
hanya tersenyum dan mengangguk dan tersenyum ketika Zaki mengeluarkan desahan
lega. Aku kembali berusaha untuk membuka celananya. Tapi entah mengapa, aku
kesulitan melakukannya. Berkali-kali aku men mencoba tapi gagal hingga tanpa
sadar aku mengeluarkan erangan frustasi.
Zaki mengumpat lirih
dan kemudian bangkit. Dengan cepat dia bangkit dan membuka seluruh pakaian
bagian bawahnya. Dan akupun ternganga.
Disanalah dia,
berdiri dengan nafas memburu dengan semua atribut kelakiannya yang membuatku
sedikit ngeri. Aku tahu dia memiliki darah campuran dan bisa membayangkan perbedaan
fisik yang kami miliki. Tapi apa yang kulihat didepanku, melebihi apa yang
selama ini aku bayangkan. Tanpa sadar aku merapatkan pahaku dengan mata yang
masih terbelalak lebar.
Zaki hanya tersenyum
dan kemudian menunduk padaku. Tangannya bergerak untuk membuka celana dalamku,
berikut yang lainnya. Tapi aku yang sudah mengalami krisis percaya diri
mendekap bagian pribadiku dengan kedua tanganku erat-erat. Ya Tuhan, kalau
dibandingkan dengannya……..
“Gha, please…….?” pintanya
pelan.
Aku hanya
menggelengkan kepalaku. Kali ini Zaki kembali mendekat dan membaringkan
tubuhnya di sebelahku. Dia tak mengatakan apapun. Tangannya bergerak mengusap
rahangku dengan lembut.
“Kau tak perlu malu
dengan tubuhmu. You are perfect…to me,” bisiknya dan kemudian menarik wajahku.
Dia lalu kembali menciumku. Tangannya lalu menarikku hingga kemudian aku berada
diatas tubuhnya. Dia terus menggodaku dengan kuluman lembutnya. Tangannya
bergerak mengusap tubuhku bagian depan. Kembali mempermainkan ujung dadaku yang
kembali sensitive. Dan tahu-tahu, kedua tanganku telah berada dalam
genggamnnya. Lalu dengan sebuah sentakan keras, dia kembali berada di atasku.
Dia tak melepaskan
ciumannya. Tapi kemudian bibirnya bergerak ke dagu dan leherku. Menjelajahiku.
Kedua jemari tangan kami yang bertemu saling bertaut. Kedua tubuh kami saling
bergesekan. Dan setiap kali kulit kami bergesek, setiap bagian yang bertemu,
menimbulkan semacam getaran asing yang terasa di bagian bawah perutku. Dan saat
dia menggesekkan bagian pinggangnya padaku, aku mengerang dengan keras.
Rasanya semua
pandangan mataku tiba-tiba saja menjadi kabur. Lalu kurasakan tubuhnya
terangkat. Aku membuka mataku yang ternyata sudah menutup tadi. Kutemukan
wajahnya yang begitu dekat denganku tersenyum. Dia lalu sedikit mengangkat
bagian tubuh bawahnya dan melihat ke tubuh bagian bawah kami berdua.
“See? Sou don’t have
to be ashamed..” ujarnya lagi dengan nafasnya yang memburu. Aku tak mengatakan
apa-apa selain mengangkat kepalaku dan mengecup bibirnya yang terlihat lebih
penuh dan jauh lebih merah dari sebelumnya.
“Wait…” katanya
kemudian dan melepaskan ciumanku, “ Sebelum kita teruskan……..kurasa sebaiknya
kita membicarakan hal ini terlebih dahulu.’
Aku tak tahu apa
yang dia maksud, jadi aku hanya menatapnya tak mengerti.
“Kau tahu kalau
seseorang dari kita harus……” Dia tak meneruskan kalimatnya. Tapi aku mengerti.
Fakta bahwa dia bermaksud membicarakannya saja sudah membuatku merasa lebih
baik. Ketakutan yang kurasakan tadi sedikit terobati. Zaki sudah menunjukkan
bahwa dia peduli karena dia sudah mau membicarakan ini. Dia tidak mau memaksa
atau berasumsi berdasarkan pertimbangannya sendiri.
“May be we should
decide who’s gonna do it first,” ujarnya lagi.
Aku tanpa sadar
melirik ke bagian bawah tubuh kami dan menelan ludah. Aku tahu bahwa suatu
saat, kami berdua toh harus melakukannya juga. Tergantung waktu saja. Jadi
akupun menarik nafas dan mengambil keputusan.
ZAKI
“I don’t mind to
bottom first,” kata Regha sedikit bergetar. Aku menatap wajahnya. Menelusuri
setiap bagiannya yang juga menatapku. Lalu kuusap keningnya yang sedikit
berkeringat, menyingkirkan rambut-rambut basah yang menempel.
“You’d do that for
me..?’ tanyaku sembari memberinya kecupan kecil.
“Yeah…..tapi sebelum
itu aku ingin melakukan ini.”
Regha menarik
tubuhku untuk berbaring di sebelahnya dan dia kembali berada di atasku. Dia
menciumi seluruh wajahku. Menelusuri semua bagiannya. Dari kening, turun ke
mata, pipi, telinga, dagu, rahang dan leher. Aku tak sanggup menahan eranganku
saat dia mencium bagian dekat jakunku, karena itu salah satu bagian sensitive
ditubuhku. Ciumannya kemudian turun kebawah, menjelajahi dadaku. Mengulum,
menghisap bahkan menggigit dadaku, untuk kemudian turun ke perutku. Untuk
sejenak dia menengadah melihatku dengan tatapan nyaris memuja sementara
tangannya menelusuri arah tumbuhnya bulu-buluku disana. Saat tangannya
menyentuh bagian pribadiku yang sudah dalam keadaan siap, aku merintih dan
menutup mata.
Aku tak boleh
melihatnya. Pemandangan dia yang berada dibawah sana terlalu menggodaku dan aku
bisa saja…
HOLY
SHIIIIIIIIIIITTTT!!!
Aku mengerang lagi
dan lagi saat ujung bagian utama tubuhku terbungkus oleh mulut hangat dan
tersapu lidah basahnya. Tanpa sadar aku mengangkat pinggangku, mengikuti
ritmenya. Aku bersyukur karena aku menutup mataku, karena kalau tidak, aku akan
mencapai garis finish saat itu juga. Aku sudah hampir tak tahan. Jadi aku
segera membuka mataku dan menariknya lepas.
Regi mengeluarkan
suara keluhan kecil yang membuatku tertawa kecil, “I’m sorry. But if you keep
doing it……” aku tak meneruskan kalimatku. Hanya menggelengkan kepalaku. Regha
akhirnya tersenyum dengan tatapan matanya. Ujung lidahnya kemudian keluar untuk
menjilat bibir bagian bawahnya, membersihkan sisa-sisa apa yang dia lakukan
tadi.
Dan aku hanya mampu mengeluarkan
geraman tertahan. Aku harus segera menyatukan tubuh kami, atau aku akan gila.
Hingga kemudian aku sadar…
“SHIT!!” aku
mengumpat keras. Dan mengusap wajahku dengan kesal.
“Apa?” tanya Regha
heran.
“Aku tak tahu kalau
kita akan…. Aku tak membawa apapun,” lanjutku lagi.
“Saku celana
belakangku,” kata Regha kemudian dengan nada malu. Aku mengangkat alisku, tapi
lalu turun untuk mengambil celana yang dia maksud. Aku menemukan sebuah kondom
dan pelumas compact didalamnya. Mau tak mau aku tertawa mengetahui kalau dia
telah mempersiapkan semuanya.
“Kau…..sudah
merencanakannya?” tanyaku menggoda.
Regha menggeleng,
“Aku selalu membawa itu setiap kali kita keluar sejak 2 minggu yang lalu.
Untuk……….jaga-jaga,” katanya dengan pipi memerah hingga aku kembali terkekeh.
Aku membaca bungkusnya dan keningku langsung berkerut.
“Ukurannya…………….terlalu
kecil untukku…”kataku pelan lalu menoleh padanya.
“Jadi…..?”
“Do you trust me?”
tanyaku kemudian setelah berpikir beberapa saat. Aku tahu aku tidak seharusnya
melakukan ini, tapi aku tak memiliki opsi lain. Ku lihat Regha menganggukkan
kepalanya, “I’m clean. Dan aku tahu kau……masih bersih. Jadi aku yakin kau juga
bersih dari apapun. Kalau kau mengijinkan…..”
Aku tak meneruskan
kalimatku. Aku tahu mungkin aku meminta terlalu banyak. Tapi aku tahu kalau
diriku bersih dari apapun. Aku selalu berhati-hati. Dan biasanya aku pandai
dalam menahan diri. Tapi malam ini…….. aku tak bisa. Meski seandainya Regha
menolak, aku tak akan memaksanya dan akan mencari alternatif lain untuk menyalurkan
hasratku.
“Look, if you said
no, it’s fine. I really am clean, Gha. Kalau kau mau, let’s get tested together
soon. But I’m telling you, I’m clean. And I trust that you are too. So…..you
decide. Should we go on or……find another way.”
Aku menahan nafas saat
dia terlihat berpikir. Sejenak dia melihatku, mencoba untuk mengumpulkan
keyakinan. Dan aku mencoba menyampaikan kebenaran lewat mataku.
“Let’s do it…”
katanya kemudian. Tanpa sadar aku menghembuskan nafasku. Aku segera
mendekatinya dan menciumnya dengan lembut.
“Thank you for
trusting me….” Kataku lirih. Aku segera merobek bungkus pelumas yang dia bawa,
“I’m gonna prepare you,” kataku.
Aku kemudian
meletakkan sebuah bantal dibawah pinggang Regha sehingga bagian bawah tubuhnya
tampak jelas. Aku mengusapkan cairan yang sudah kukeluarkan disana dengan
perlahan. Regha mendesis.
“Dingin…” katanya
singkat.
Aku nyaris tak
mendengarnya. Telingaku seakan tuli dengan debaran jantungku yang dengan keras
memukul dadaku. Rasanya begitu berbeda dengan bagian pribadi wanita yang
biasanya kupegang. Bagian tubuh Regha yang sedikit berbulu ini
lebih…..bertenaga. aku bisa merasakan kekuatannya pada lingkar cincinnya. Dan
saat aku dengan hati-hati menusukkan ujung jari telunjukku kedalamnya…..
Erangan Regha membuat
perhatianku terpecah.
“Is it hurt?”
bisikku.
Regha menggeleng,
“……sedikit aneh,” katanya pelan. Aku lalu kembali mendorong masuk sisa jari
telunjukku. Regha mendesah, sementara aku terpaku dengan gerakan meremas yang
terasa pada jariku itu. Ya Tuhan, kalau dia melakukannya pada mr. P ku, aku
mungkin akan langsung…
“Re-relax…” kataku
sedikit gugup. Padahal kata tadi seharusnya kutujukan pada diriku sendiri. Aku
berada pada titik rawan sekarang ini. Semua bagian tubuhku, terutama bagian
pusat, seakan-akan berteriak meminta dan menuntut.
Regha mencoba
melakukannya. Aku mnggerakkan jariku itu maju mundur. Saat Regha mulai terlihat
nyaman, aku memasukkan jari tengahku. Dia kembali mendesis. Aku mencoba
menulikan telinga agar tak terganggu. Kugerakkan kedua jariku itu dengan
gerakan memutar. Hingga tiba-tiba saja Regha terlonjak dengan suara memekik
keras.
“WHOAAHH!!! Apa yang
kau lakukan?”
Aku yang segera
menarik lepas jariku karena ketakutan menggelengkan kepala, “A-apa?” tanyaku
bingung.
“Kau menyentuh….”
Aku menarik nafas
lega, “So that’s where it is. That’s your prostate. Aku harus mengingat
tempatnya,” kataku dan tertawa pelan. Dari sinar matanya yang tidak bertanya,
sepertinya Regha sudah tahu apa itu prostat. Jadi aku tak perlu menjelaskannya.
Bagus lah. Karena aku sudah tak tahan lagi, “A-are you ready…?” tanyaku
kemudian.
Regha menganggukkan
kepala, “Ka-kau ingin aku teng-tengkurap atau…”
Aku menggelengkan
kepalaku, “I wanna see you. Jadi aku bisa tahu kalau kau…. You know…”
Regha hanya
mengangguk. Aku segera menempatkan diriku diantara kedua kakinya. Lalu kuangkat
kaki kanannya dan kuletakkan diatas bahuku. Aku mengatur posisiku dan memegang
bagian tubuh pribadiku dan mengarahkannya ke tubuh Regha. Sejenak aku melihat
kearah Regha. Wajahnya terlihat tegang dengan
mata terbuka lebar melihat ke arah kejantananku. Dia gugup dan nyaris
ketakutan. Well, dia tidak sendiri. Aku juga merasakannya. Hanya saja, aku tak
sabar untuk segera melakukannya.
“Gha, kau siap…?”
tanyaku lagi.
Dia melihatku dan
mengangguk dengan gugup.
“Just, relax ok?
Justru akan terasa sakit kalau kau tegang. Jangan ragu untuk memintaku berhenti
kalau kau merasa sakit. I swear I’ll stop,” kataku menenangkannya.
Regha menjilat
bibirnya gugup, “Zake….” panggilnya pelan.
“Yes..?”
“Go slowly, ok?” pintanya.
Aku tersenyum
menenangkannya, “I will,” kataku.
Setelah tubuhnya
kurasakan sudah tidak tegang lagi, aku kembali memegang kejantananku dan
mendekatkannya ke bagian tubuh Regha itu. Begitu ujung mr.P ku menyentuh cincin
lubang anusnya, tubuh Regha kembali menegang.
“Gha……tenangkan
dirimu. We’ll do it slowly..” kataku mengingatkan sembari menahan diriku
sendiri.
“I’m so-sorry…” kata
Regha.
“Don’t be..” balasku
dan mengusap pelan paha kakinya yang ada dibahuku. Tubuhnya perlahan melemas.
Dan saat dia santai, aku mendorong tubuhku maju.
Regha mengerang. Dan
aku gagal karena Regha kembali menegang.
Kejadian itu
terulang beberapa kali. Dan setiap kali, aku harus menenangkannya, meski
keringat sudah membasahi sekujur tubuhku.
“Gha… look at me,”
pintaku kemudian. Dia melakukannya. Aku bisa melihat ketakutan dimatanya. Tapi
aku juga melihat kepercayaannya padaku disana. Jadi aku mengatakan apa yang ada
dipikiranku yang mungkin bisa menenangkannya, “I love you…” bisikku dan
mendorong tubuhku maju.
Regha mengerang
keras saat ujung bagian pribadiku menembus lingkar cincinnya. Dia melengkungkan
punggungnya dengan wajah mengernyit. Aku segera merangkul dan tubuhku jatuh
diatas tubuhnya yang kembali terbaring di kasur. Bersamaan dengan jatuhnya
tubuhku, sedikit bagian dari kejantananku kembali terdorong masuk ke dalam
tubuh Regha.
“Ki…!! Wait!” desis
Regha yang wajahnya tersembunyi dileherku.
Sontan aku menahan
gerak tubuhku. Dan rasanya………………………..hampir mati!
Seakan-akan
gravitasi yang ada disekitarku menghilang dan berkumpul menjadi satu pada
seperempat bagian kejantananku yang masuk ke tubuh Regha. Bagian itu terasa
ditarik dan diremas dengan begitu kuatnya. Memaksaku untuk terus membenamkan
bagian yang tersisa pada tubuh Regha. Tapi Regha memintaku berhenti. Jadi aku
menahan tubuhku mati-matian.
Untuk beberapa saat
lamanya kami terdiam dengan nafas yang memburu. Hanya beberapa detik berlalu.
Tapi itu adalah detik-detik terlama dan paling menyiksa dalam hidupku. Aku
harus menggigit bibirku kuat-kuat. Aku lalu sedikit mengangkat wajahku.
“Gha….” panggilku.
Bisa ku lihat dia menahan sakit. Tapi dia berpaling untuk melihatku. Kuusap
keningnya yang kembali basah oleh keringat, “Keep looking at me. Jangan melihat
kearah yang lain, ok?” pintaku.
Dia mengambil nafas
untuk mengumpulkan kekuatan dan kemudian mengangguk. Aku tak melepaskan
pandanganku. Aku tetap menatap matanya, mencoba mengunci perhatiannya. Mencoba
menyalurkan kekuatanku padanya lewat mataku dan kemudian kembali mendorong maju
pinggangku.
Regha kembali mengeluh
dan matanya terpejam..
”Keep looking at
me…” kataku lagi sehingga dia kembali membuka matanya. Aku kembali mencoba
mengunci perhatiannya. Kali ini aku raih tangan kanannya dan ku lingkarkan di
leherku, “Jangan memejamkan mata. Jangan melihat kearah lain. Lihat saja aku…..
It’s me. Zaki. You trust me, right?”
Dia mengangguk pelan
sementara tangannya kini meramati rambut dibagian belakang kepalaku.
“You love me, don’t
you?” tanyaku dengan suara tertahan. Rasanya aku hampir mati menahan diri.
Rasanya…… benar-benar tersiksa, “Please, say it. Tell me you love me…..”
“I love you…”
Dan akupun
menenggelamkan tubuhku ke dalam dirinya.
Regha melenguh keras
saat semua bagian tubuhku dari atas ke bawah jatuh diatasnya. Dan semua bagian
pribadiku menyatu dengannya. Aku langsung mencium bibirnya, merasakan untuk
pertama kalinya tubuh kami bersatu. Kami…………bersatu.
Dan selama aku
hidup, tidak pernah aku merasakan keintiman seperti ini. Kedekatan seperti ini.
Karena bukan hanya tubuh kami yang menyatu lewat seonggok daging. Tapi ini
lebih terasa sebagai sebuah ikatan. Ikatan yang menyatukan kami. Tubuh dan jiwa
kami.
Aku sudah bercinta
dengan beberapa orang gadis. Aku cukup membanggakan diri dengan pengalaman yang
ku punya. Tapi bersama Regha, semuanya terasa lain. Tubuhku bagaikan tersedot
terus ke dalam tubuhnya. Semua bagian sel dari tubuhku seakan-akan mengalir
menuju sebuah pusat yang tak ku ketahui keberadaannya. Aku tahu kalau aku harus
bergerak. Tapi Regha….
“Gha…. I should
move. Kalau tidak……aku akan… Please….? Let me..” pintaku dengan suara tertahan
dan geraham yang kuketatkan untuk menahan diri. Aku tak bisa melanjutkan
kalimatku. Aku benar-benar akan mempermalukan diri dan predikatku sebagai
pecinta berpengalaman mungkin akan segera tercabut.
“Please…slowly,”
bisik Regha ditelingaku.
Akupun mulai menarik
sedikit tubuhku, lalu membenamkannya lagi. Mulanya perlahan dan semakin lama,
semakin cepat. Ku lakukan berulang-ulang, dan setiap kali aku menarik bagian
tubuhku lebih panjang dari sebelumnya. Hingga pada tarikan ke sepuluh, hanya
bagian ujung kejantananku yang tersisa pada tubuh Regha. Bagian Regha itu
mencoba terus menarikku. Tubuh Regha terus-terusan menggelitikku dengan
hisapan, remasan dan kehangatan yang membungkusku.
Dan akupun lupa diri.
Tubuhku sudah
menemukan ritmenya saat tubuh Regha kembali tersentak ketika kejantananku
menyentuh prostatnya. Dan aku kembali diingatkan, bagian mana yang harus aku
beri perlakuan khusus. Kamipun tenggelam dalam tarian primitive kuno yang
terasa nyaris sakral. Aku menghunjamkan tubuhku pada Regha yang menerimaku.
Bagian tengah tubuh kami bertemu dengan suara keras. Deru nafas kami semakin
memburu. Erangan dan rintihan kami saling bersahutan. Makin lama makin
mengeras. Seiring gerakan kami yang makin lama makin cepat. Kata perlahan dan
berhati-hati sudah hilang sama sekali dalam kosakata kami.
Regha bahkan
menerimakau dengan gairah yang terus menanjak. Aku hampir-hampir tak merasakan
kuku-kukunya yang mencakar, menggaruk dan mencengkeram punggungku. Aku hampir
tak mendengar lenguhan, rintihan dan erangannya. Mungkin juga ada beberapa
suara keluhan yang dia keluarkan. Aku tak taju. Dan kalau memang ada, aku tak
mendengarnya. Mataku tertutup dalam ekstasi yang kini makin memuncak dan terus
memuncak. Aku harus menggigit bibirku untuk menahan diri.
Pertahananku bobol
saat aku menghunjam dengan keras dan Regha mengeluarkan erangan panjang dengan
giginya menancap di bahuku. Tubuhnya mengejat dengan tegang dibawahku. Dan
akupun melenguh panjang dan memuntahkan cairan tubuhku ke dalam tubuhnya.
Tubuh kami terhempas
kembali ke kasur dalam keadaan lemas. Aku merasa seakan-akan semua bagian
tulangku hilang. Tak ada tenaga yang tersisa. Kami terbaring dan berusaha
bernafas normal. Hanya kesadaran samar bahwa aku menindih tubuh Regha yang
memaksaku untuk bergerak. Aku tak ingin menyakitinya.
“I’ll move…” bisikku
pelan. Aku kemudian menggulingkan tubuhku dengan perlahan dan berhati-hati dan
bagian tubuh kami yang menyatupun terpisah diiringi desisan Regha. Aku mengerang
bukan hanya karena terpisahnya tubuh kami menimbulkan sensasi yang terasa
sensual, tapi juga karena aku merasakan kehampaan aneh saat tubuh kami kini tak
lagi bersentuhan. Padahal kami hanya terpisah beberapa senti. Tapi tiap jengkal
tubuhku menuntut untuk segera berdekatan dan bersentuhan dengan tubuhnya.
Kulitku merindukan kulitnya.
Aku menarik tubuh
Regha untuk kemudian menempelkan punggungnya ke dadaku. Gerakan sederhana yang
dengan segera menenangkan jiwaku yang tadinya berteriak. Aku tarik selimut yang
hampir jatuh untuk menutupi tubuh telanjang kami. Regha meringkuk dalam
pelukanku. Tangankupun melingkar diperutnya. Melindunginya dan menariknya untuk
lebih mendekat.
Kelelahan yang
akhirnya membuat kami tertidur dengan tubuh nyaris bersatu.
REGHA
Gerakan pelan yang
berasal dari sebelahku membuat tidurku terganggu. Aku bisa merasakan Zaki yang
mengangkat tangannya dari tubuhku dengan berhati-hati supaya aku tidak
terbangun. Hingga kemudian kehangatan yang tadinya kurasakan mengalir dari
punggungku, menghilang. Udara dingin membuatku bergerak pelan, meski kemudian
aku segera menghentikan tubuhku yang semula hendak menggeliat, karena ada
selimut yang Zaki pakaikan padaku dan juga karena sentakan nyeri dari bagian
belakang tubuhku.
Ingatan semalam
segera saja membanjiri ingatanku. Percintaan kami yang membara dan menguras
habis tenagaku. Aku nyaris bisa merasakan bagian tubuh Zaki bergerak dalam
tubuhku. Masih kuingat rasa sakit dan penuh yang kurasakan, yang kemudian berganti
dengan rasa……nikmat dan sedikit geli. Geli yang menggelitik pada satu titik
dalam tubuhku yang membawa gairahku menuju suatu puncak. Seluruh syaraf tubuhku
seakan-akan terentang tegang. Mataku tertutup oleh gelembung-gelembung indah
yang memenuhi otakku. Hingga kemudian gelembung-gelembung itu pecah, meledak.
Membuatku terhempas dalam kelelahan dan kepuasan yang selama ini belum pernah
kurasakan.
Semua otot dalam
tubuhku hampir mustahil digerakkan sesudahnya.
Tapi kini Zaki pergi
meninggalkanku sendirian di tempat tidur ini, entah setelah berapa lama kami
tertidur. Hatiku mencelos dan tubuhku kembali terasa dingin. Mungkinkah
dia…….kecewa? Apa mungkin karena aku tidak memenuhi harapannya.
Mataku perlahan
terbuka dan kutelengkan kepalaku, mencari sosok Zaki. Ku lihat dia berdiri
menghadap kearah luar kamar yang menampakkan pemandangan subuh. Langit sudah
agak terang. Dia lalu membuka pintu kaca dan korden yang menutupinya. Balkon
kamar itu memiliki sepasang kursi malas panjang disana. Kukira dia akan duduk
disana. Tapi Zaki tetap berdiri telanjang dan memandang alam yang ada
didepannya dengan tangan yang terlipat di dada. Kakinya terentang, memberiku
pandangan sekilas kejantanannya yang menggantung diantara kedua kakinya.
Aku yang merasa
dingin kemudian bangkit dan menyelubungkan selimut ke sekujur tubuhku yang juga
telanjang bulat. Perlahan aku bangkit dan melangkah mendekatinya yang berdiri
diam membelakangiku.
“Zake…..dingin.
Kenapa berdiri disini?” tanyaku pelan. Aku mendekatinya lagi dan dengan ragu
meraih tangannya. Kulitnya terasa dingin dibawah tanganku.
Zaki menoleh padaku.
Matanya bersinar dengan sayu saat melihatku. Dia lalu meraih ujung selimutku
dan menariknya lepas hingga tubuh telanjangku terekspos. Aku yang segera
diterpa angin pegunungan yang dingin mendekap bagian bawah tubuhku.
“Come here..”
katanya yang kemudian menarik tanganku untuk berdiri didepannya. Menarikku
mendekat hingga punggungku menempel didadanya. Aku bisa merasakan kejantanannya
yang mulai bangun menekanku. Dadaku kembali berdebar keras. Tidak secepat ini
kan? Tubuhku memerlukan waktu untuk pulih, pikirku sedikit panik.
Dia lalu
menyampirkan selimut tebal itu pada tubuh kami berdua. Membungkus tubuh kami
yang tadinya kedinginan. Aku bahkan masih bisa merasakan kulitnya yang dingin
menyentuhku.
Zaki merangkulku erat,
kemudian memberikan ciuman-ciuman lembut di bahu dan leherku. Tangannya yang
merangkul perutku dan menariknya semakin dekat dengannya. Aku kini denagn jelas
merasakan bagaimana kejantanannya dalam keadaan full siaga. Menekan bagian atas
pantatku. Tanpa sadar aku menghela nafas dengan tubuh yang sedikit gemetar.
Karena gairahku mulai terpancing.
“Are you okay?”
tanyanya lembut.
“Hm-mh… Just a bit
sore,” balasku pelan.
“Did I hurt you? I’m
sorry. Sepertinya aku kehilangan control semalam…”
Aku meremas kedua
lengannya yang memelukku saat mendengar nada panik dalam suaranya. Tubuhnya
yang sedikit tegang mulai mengendur, “It’s fine… Aku…………mungkin membutuhkan
sedikit waktu untuk pulih. Kau…….. melebihi dugaanku.”
Dia menekan tubuhku
sekilas dan kembali mecium leherku.
“Nggak apa-apa kan?”
“Tentu saja. Kenapa
kau menanyakannya?’ tanya Zaki heran.
“Entahlah…” kataku
berusaha terdengar santai meski dalam hati sedikit khawatir, “Kau…..tidak
kecewa?”
Zaki mengangkat
kepalanya yang tadinya bersandar di bahuku. Dia lalu membalikkan tubuhku. Aku
lebih memilih untuk tidak melihat matanya, jadi aku menancapkan mataku
didadanya. Menelusuri pola rambut yang tumbuh disana.
“Gha…” panggil Zaki
dan kemudian tangannya terangkat untuk memegang daguku lembut, memintaku untuk
mendongak dan melihatnya. Aku tahu dia bertanya dengan sorot matanya itu. Aku
hanya tersenyum tipis, “What do you mean?” tanya Zaki dengan nada menuntut.
“You know……….tentang
semalam. Aku mungkin…………tidak sebaik Anna atau…”
“Kau takut aku
kecewa karena merasa tidak puas?” potong Zaki.
Ada nada bingung
dalam suaranya. Aku mulai sadar kalau aku telah bertindak konyol. Aku kembali
menurunkan pandanganku ke dadanya. Terlalu malu untuk beradu pandang dengannya.
Zaki lalu tertawa kecil. Yang sedikit mengejutkan adalah saat dia mengangkat
pinggangku dan kemudian menyandarkan tubuhku di pintu kaca yang masih setengah
terbuka. Dia menahanku sejenak disana dengan bagian bawah tubuhnya lalu satu
tangannya membimbing satu kakiku untuk melingkar di pinggangnya.
Secara instingtif,
aku menurut dan melingkarkan kedua kakiku pada tengah tubuhnya.
“Look at me…”
bisiknya.
Aku sudah hendak
menoleh namun segera mendesis saat kurasakan kejantanannya menusuk bagian
belakang tubuhku yang masih sakit. Refleks aku sedikit mengangkat tubuhku.
“Oops, sorry! My
tender has it’s own idea…” katanya nyengir kemudian dan mengangkat sedikit
tubuhku, sehingga kepalaku sedikit lebih tinggi darinya. Kedua tangannya kini
menahan bagian bawahku dengan kuat, “Look at me…” pintanya lagi.
Aku melakukannya.
Dia menatapku lembut. Pandangannya menelusuri wajahku sehingga aku jadi
tersipu, “Last night was….perfect,” bisiknya kemudian, “Semalam adalah
pengalaman yang paling menakjubkan yang pernah ku rasakan. Bagiku,
kau…………..menakjubkan. Tak ada duanya. You remember that, ok?”
Aku yang terlalu
malu hanya menunduk dan kemudian menyatukan kening kami, “Thank you…” Hanya itu
yang bisa kukatakan padanya. Zaki menghela nafas panjang dan memberiku kecupan
singkat diujung hidungku….
“Dan kalau aku tak
salah ingat………….kau juga merasakan hal yang sama semalam kan? Kau sudah lihat,
bekas yang kau tinggalkan di tubuhku?” bisiknya dengan nada menggoda, membuatku
segera menarik wajahku. Dia benar. Di lehernya aku bisa melihat bekas gigitan
dan……cupang. Gustii!! Itu saya yang bikin semuanya? pikirku takjub. Tanpa
sadar, tanganku mengusap pungungnya. Ingat bagaimana tanganku semalam
mencengkeram dan mencakarnya. Aku beringsut turun dan membalikkan tubuhnya.
Yup!! Ada beberapa
bekas cakaran dan entah apa disana. Aku mengusap bekas luka itu pelan lembut..
“I’m sorry…”
bisikku.
Zaki tertawa dan
kembali berbalik untuk menghadapku, “It’s fine. Karena ini berarti kalau aku
telah melakukannya dengan benar untukmu,” godanya lagi dengan mata bersinar
nakal, “Don’t worry about it. Aku hanya harus mengenakan baju turtleneck selama
beberapa hari ke depan. Lagipula…..luka-luka ini bukan hal penting yang harus
dipikirkan.”
Ekspresi wajahnya
berubah. Kerlingan nakal di matanya kembali menghilang, berganti dengan
ekspresi yang sama, saat dia berdiri menghadap keluar kamar tadi.
“I’m scared now…”
katanya lirih.
Aku mengangkat
kepalaku dan menatapnya heran, “Takut? Dengan apa?”
“I’ve never felt so
close to a person like now,” katanya pelan tanpa melepas kontak mata, “Ever!
Tidak pernah sekalipun aku merasa sedekat ini. Tidak dengan semua orang yang
pernah dekat denganku. Tidak sekalipun. Tapi bersamamu, aku merasa memiliki
rasa keterikatan yang dalam. Bersamamu aku merasa memiliki……..akar. Tempat
untuk berpijak. It’s like now, I’m belong to something. To someone.
Keberadaanku kini serasa memiliki sebuah arti. It’s like for the first time, I
know that I’m no longer…..alone.”
Dia melihatku dan
aku bisa melihatnya menelan ludah. Lalu akupun menyadari tatapannya itu. Dia
benar-benar ketakutan. Perasaan itu terpancar kuat.
“Bagaimana kalau
semua ini berakhir?” tanyanya dengan suara tercekat, “Bagaimana kalau suatu
hari kau……..” dia kembali harus menelan ludah, “…………pergi,” lanjutnya pelan,
hampir tak kudengar.
“Zake…”
“I know. I know it
sounds ridiculous,” selanya, “But I can’t help it. Aku tahu kalau kau mungkin
berpikir kalau ini hanya sebuah fase. Sementara. Seperti yang pernah kau
bilang. But I don’t wanna it to be that way. I want it for real,” katanya
dengan cepat dan kemudian menciumku, menyampaikan rasa kalutnya lewat ciumannya
yang cepat, “I want it to last. I want us to work. Promise me..”
Dia tak tahu kalau
kalimatnya tadi nyaris membuatku menangis dengan menyedihkan karena haru.
“Promise me that
you’d die trying to make us work, please?” pinta Zaki diantara ciuamannya.
“Zake……….aku yang
seharusnya takut,” kataku kemudian setelah bisa mengatasi keharuan yang nyaris
memecahkan dadaku. Dia berhenti dan kembali memandangku, bingung. Aku jadi
tertawa kecil, “Zake, kau adalah…………..Zaki. You have everything. You could have
everything. Kau memiliki banyak untuk ditawarkan. Sedangkan aku….. Selama ini
aku selalu berpikir, bagaimana kalau suatu saat nanti, kau sadar dari mimpi
ini? Kalau kau akan tertarik pada wanita lain? Wanita cantik seperti Anna atau
Emma. Aku tak mungkin bersaing dengan mereka. Aku tak memiliki apapun untuk
bisa bersaing dengan mereka. Aku selalu bertanya-tanya, kapan kau akan bosan
dan akhirnya mencari apa yang dulu pernah kau miliki? Apa yang harus…”
Dia sudah menciumku.
Ciumannya merambat dari bibir, leher dan garis rahangku.
“I won’t leave. I
swear, I won’t.”
“You swear?” tanyaku
diantara ciuamannya.
Dia kembali
menyatukan kening kami, “I swear…” bisiknya.
Aku hanya mengangguk
untuk mengatakan kalau aku mendengarnya.
“And now…… I know
you’re still sore. Tapi…………..kurasa sekarang giliranku. Are you ready?”
Aku hanya tertawa
dan menciumnya.
Dan kamipun
melakukannya.
Dan aku bersumpah
kalau aku tak akan pernah melakukannya lagi.
Dari eksperimen kami pagi itu, kami berdua sepakat akan peran kami
masing-masing. Zaki hanya tertawa saat aku dengan resmi mengetuk bantal untuk
mengesahkan keputusanku. Dia mengatakan bahwa dia siap berganti peran kalau aku
ingin variasi. Aku hanya menggerutu untuk menjawabnya.
Setelah sebuah sesi bercinta
singkat dan cepat di kamar mandi, kamipun turun ke bawah, dan menemukan Regi
dan Vivi yang sibuk didapur, sementara Jordan mengerjakan sesuatu di luar. Zaki
segera berpamitan untuk keluar membantunya. Aku sudah akan mengikutinya tapi
Regi meminta bantuanku untuk mengolesi roti panggang dengan mentega dan selai.
Tapi yang membuatku
ngeri adalah saat Regi tiba-tiba diam dan memandangku dengan seksama. Kedua
matanya menyipit tajam. Aku hanya nyengir untuk menutupi kegugupanku.
“Kalian
melakukannya!” cetusnya dengan wajah terperangah. Aku terlalu lambat untuk
bereaksi karena sepertinya Regi telah menemukan jawaban yang dia cari di
wajahku. Dia langsung melompat-lompat dengan girang dan meraih tanganku.
“Jadi…..siapa yang
jadi top dan bot semalam?” tanyanya denagn mata berbinar penasaran. Aku hampir
saja menjatuhkan roti dan pisau dapur yang ku pegang.
“Aa-a-apa?”
“Ga usah bohong.
Ikke bisa liat gimana wajah yey en Zaki bersinar dengan aura yang gak biasa and
he’s wearing that turtleneck shirt!! You guys are glowing. So, spill? Who’s
catching and who’s pitching?”
“YOU TELL HIM??!!”
seru Zaki yang tiba-tiba saja ada di pintu dapur.
Ganti aku yang
terperangah. Aku menatap mereka berdua bergantian dengan panik, “I di-didn’t…”
jawabku gugup dan menggeleng.
“Shut up and spill!”
perintah Regi dan menunjuk pada Zaki, “You! Kau sudah mempraktekkan semua yang
ada pada video itu kan? Jangan katakan kalau semua pelajaran yang kuberikan
padamu gagal!”
Aku ternganga dengan
semburan Regi itu, “Kamu juga berguru ke Regi?!” tanyaku pada Zaki dengan nada
kaget.
Zaki yang mukanya
sudah melebihi kepiting rebus warnanya balik memandangku terperanjat, “You
too?!”
“Oh, please. Pada
siapa lagi kalian bertanya. Now, spill it out! Regha, how big is he?!!” seru
Regi padaku yang kemudian diikuti oleh sorakan Vivi dan Jordan yang ikut-ikutan
bertanya sembari ngakak.
“DON’T YOU DARE TELL
HIM!!!” seru Zaki yang segera berlari mendekat dan menutup mulutku dengan
tangannya dari belakang.
“HEII!! CURANG!!
TELL ME HOW BIG IS ZAKI?!!!!” raung Regi. Aku yang masih berada dalam bekapan
Zaki hanya bisa menggeleng dengan wajah merah padam.
“SHUT UP!!!” bentak
Zaki kesal.
“Okay, then tell me
who’s the top and who’s the bot last night? Did you bot Zak? Atau elu Gha? Atau
mungkin kalian gentian ya?” selidik Regi seolah-olah tak mendengar Zaki.
Zaki yang mukanya
makin merah sepertiku, hanya menggeram dan kemudian menyeretku untuk pergi dari
sana. Meninggalkan Regi yang masih ngamuk menuntut dan Vivi serta Jordan
tertawa keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar