Translate

Jumat, 30 Januari 2015

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 37- Regrets?



ZAKI

“You are one stupid jerk!” desis Regi geram dan segera berlalu dari hadapanku. Vivi hanya mengikuti, sementara Jordan menatap bingung padaku, tapi kemudian menyusul Vivi. Aku diam disana dengan tubuh yang tiba-tiba saja terasa dingin dan kaku. Aku tak sempat membalas kata-kata Regi tadi. Hanya menatap semuanya dengan pikiran kebas dan kosong. Aku tak tahu pasti apa yang kurasakan, yang jelas, sentakan yang terasa di dadaku hampir-hampir tak tertahan. Aku melepas pelukanku pada pinggang Anna dan kembali ke tempat dudukku. Ku raih gelas jus jerukku sembari merutuki tanganku yang sedikit gemetar.
“Did you have to do that?” tanya Anna yang kemudian mengikutiku.
Aku menoleh padanya, mencoba menampilkan wajah pokerku, “Apa maksudmu?” tanyaku balik.
Anna tak menjawab, hanya menatapku sejenak dan mengangkat bahunya. Dia lalu menyambar gelas yang kupegang dan menandaskannya. Dia kemudian tersenyum puas lalu meletakkan gelas itu didepanku, “Well, it’s your life honey. Kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan,” ujarnya.
“Honestly, aku sama sekali tidak paham apa maksudmu,” selorohku.
“I reminded you last night,” ujar Justin yang baru kusadari masih duduk didepanku. Sedari tadi dia dan Robin hanya diam saja.
“About what? Oh by the way, Anna. I want you to meet my friend, Justin. Dan itu pacar Justin, Robin,’ kataku seraya mengibaskan tangan. Mereka saling memperkenalkan diri dengan sopan. Aku sendiri berusaha menghindari tatapan Justin. Pada akhirnya, dia tampak menyerah dan menghembuskan nafas. Aku hanya nyengir dan mengangkat bahu.
“So, kemana rencananya kita hari ini?” tanyaku.
“Kau …….jadi ikut?’ Tanya Robin, terdengar heran.
“Yeah, sure! Why not?” tanyaku balik.
“Tidakkah kau harus menyelesaikan sesuatu Zake?” tegur Justin.
“Apa?”
“Regha?!” ujarnya dengan nada tanya dan sedikit kesal.
Kembali aku mengibaskan tangan, “Oh, he’s fine. Regha anaknya memang sedikit ceroboh. Mungkin dia hanya sakit kepala dan membutuhkan istirahat. I’m sure he’ll be fine soon,” kataku santai.
“Aku harap kau tak pernah menyesalinya Zake,” kata Justin setelah terdiam beberapa saat. Aku hanya memutar bola mataku mendengarnya.
“Don’t be such a drama,” gerutuku pelan dan bangkit, “I’m gonna get ready. Ayo Anna. I’ll show you my room,” kataku. Anna kembali mengangkat bahu dan mengikutiku.
“Kalian tunggu disini sebentar ok?” kataku pada Justin dan Robin sembari melangkah dengan menggandeng tangan Anna. Berusaha menghapus kejadian beberapa menit tadi dari mataku.   

REGHA

Entah berapa lama waktu berlalu. Aku sudah kehilangan orientasi sejak beberapa jam tadi. Yang jelas, aku menyadari Regi dan Vivi sama sekali tak beranjak dari sisiku. Mereka berdua duduk diam disampingku tanpa mengatakan apapun. Hanya tetap berada disana untuk menunjukkan dukungan mereka yang tak terucap padaku. Hingga kemudian keheningan diantara kami dipecahkan oleh dering ponselku.
Aku bangkit dari tempat tidur dengan tubuh kaku, nyaris tak bisa digerakkan. Regi yang akhirya ikut bangkit dan menyerahkan ponselku yang tadinya ku letakkan dimeja. Aku menyambutnya dengan senyum tipis. Ada nama Asti yang muncul dilayar. Dan detik itu juga, aku seakan-akan baru diingatkan bahwa aku masih memiliki mereka, keluargaku. Tempat perlindungan terakhirku. Tempat dimana aku mendapatkan bantuan, kapanpun aku butuh. Bahkan saat dunia dan seluruh isinya memusuhiku.
“Assalamu’alaikum…” sapaku dengan suara sedikit bergetar.
“Wa’alaikumsalam.Halo, Aa?” suara Mamah dari seberang menjawabku. Dan hanya dengan mendengar suaranya, leherku kembali terasa tercekat. Aku kembali merasa begitu cengeng dan lemah. Rasa-rasanya suara beliau menarik jiwaku.
“Mah…..” hanya itu yang sanggup aku katakan. Kalau aku meneruskannya, sudah dapat dipastikan aku akan kembali merengek.
Mamah diam sejenak mendengar suaraku, “Aa tidak pulang?” Tanya Mamah akhirnya setelah aku menunggu dengan sedikit tegang. Tak ada pertanyaan atau apa. Tapi sepertinya Mamah telah memberitahu dengan jelas, apa yang harus aku lakukan. Beliau seperti mengajukan jawaban dari pertanyaan yang tidak aku ajukan.
“Iya Mah. Aa segera pulang,” jawabku, berusaha sebisa mungkin agar suaraku terdengar biasa.
“Diantosan nya?” ujar Mamah yang segera kuiyakan. Beliau langsung pamit dan menutup telepon, seakan-akan tahu, kalau tak ada lagi yang bisa aku katakan. Aku berpaling pada Regi dan Vivi yang kembali menatapku dengan mata iba. Membuatku semakin merasa kecil dan nelangsa.
“Gue harus pulang,” hanya itu yang bisa aku bisikkan dengan lirih pada mereka.
Regi bangkit dari duduknya dan kembali duduk dipembaringan, tepat disisi kananku. Tangan kirinya terangkat dan menyentuh bahuku. Dia meremasnya dengan pelan, “Gue tahu kalau saat ini, gak akan ada kalimat penghiburan yang bisa bikin lo ngerasa lebih baik. Gue bisa berempati akan shock yang lo rasain. Setelah melewati masa-masa penyangkalan dan dalih yang berulangkali lo katakana, pada akhirnya kini, lo bisa menerima dan mengakui apa yang lo rasain. Dan…………. lo kudu ngeliat hal tadi. Gue bisa tahu kalo lo sakit.”
“Gi..”
“Tapi lo kudu inget juga satu hal,” potong Regi mendahuluiku, tahu bahwa sebenarnya aku tak ingin membahasnya, “Masa-masa penyangkalan, tak percaya dan berusaha mencari dalih yang lo lakuin en rasain dulu….. hal itu juga mungkin sekarang dialami ma Zaki.”
Aku diam. Tak tahu harus menjawab apa. Hanya duduk disana dengan kepala tertunduk.
“Hal ini bukan hanya berat bagi lo Gha. Gue tahu dan yakin, Zaki juga merasakannya. Dia bahkan mati-matian buat ngeyakinin dirinya bahwa dia gak ngerasain apa yang lo rasain sekarang.”
“Gue kira dia sudah menunjukkan dengan jelas bahwa lo salah Gi,” kataku pelan.
“Gha..”
“Gue mau pulang,” ganti aku yang kini memotong kalimatnya. Tubuh dan pikiranku terasa penat untuk berpikir. Yang ingin ku lakukan adalah pergi secepatnya dari sini. Kembali ke naungan rumah orang tuaku di Majalengka. Berada kembali pada kedamaian desa disana. Jauh dari semua ini, “Gue harus pulang,” kataku lagi. Kali ini dengan nada yang lebih tegas.
“Lo inget aja apa yang Regi katakana tadi Gha,” cetus Vivi yang akhirnya membuka suara. Dia menatapku dengan senyum mendukungnya, “Karena gue juga berpikiran sama. He’s in denial. Dan gue kira hal itu wajar. Gak ada satupun dari kalian, elo maupun Zaki yang berpikiran buat jatuh cinta pada sesama cowok. Dia juga ngerasain apa yang dulu lo rasain.”
“Gue harus pulang,” kataku lagi cepat, pura-pura tak mendengar kalimat Vivi tadi dan bangkit, “Maaf, gara-gara gue kalian gak jadi jalan-jalan. Tolong sampein maaf gue ke Nick dan juga Jordan, ok?!” kataku dan mengambil tas ranselku dari kloset kecil yang ada di sisi pembaringan. Tapi kemudian aku ingat satu hal. Aku meraih dompetku dan mengeluarkan kartu kredit Zaki yang semalam lupa aku kembalikan. Aku mengulurkannya pada Regi.
“Ini punya Zaki?” Tanya dia yang kemudian ku jawab dengan anggukan, “Terus, lo ada uang buat beli tiket?”
Aku tercenung sesaat dan berbalik pada menghadap mereka kembali. Baru aku sadari kalau kantongku super cekak saat ini, “Maaf, bisa kalian pinjamin gue…”
“Biar gue yang urus,” serobot Regi dengan tersenyum, “Lo packing aja. Gue kasih tau Nick bentar kalo gue mo anter lo ke bandara, ok?” ujarnya dan segera bangkit.
“Gue ke Jordan dulu. Kita tunggu dibawah ya?” kata Vivi yang juga bangkit menyusul Regi. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Aku harus segera pergi, batinku dan kembali memberesi barang-barangku.

ZAKI
Aku sama sekali tidak ingat tempat apa saja yang kami datangi tadi. Atau apa saja yang telah kami lihat dan lakukan. Aku bahkan nyaris tak ingat makanan apa yang kami santap saat ini di sebuah restoran yang ada di pinggir pantai. Wait? Ini Kuta atau Nusa Dua? Where the fuck are we?
“…..Zake…..”
Aku menoleh pada Justin yang melihatku. Sepertinya tadi dia mengatakan sesuatu padaku, “Sorry, what was that?” tanyaku.
Justin hanya menggelengkan kepala dan mengangkat sendoknya. Dengan santai dia mengunyah makanannya, membiarkan aku menunggu, “I said, kita akan segera kembali ke Kuta,” katanya akhirnya.
“Kembali ke Kuta?” gumamku dan memandang ke sekeliling kami. Huh? Jadi kami tidak berada di Kuta sekarang?
“Apa kau sudah menyadari apa yang telah kau lakukan?” Tanya Robin dari sebelah kiri. Aku mengangkat sebelah alisku mendengarnya.
“Ku kira peringatanku semalam sudah lebih dari cukup,” sahut Justin dan menggelengkan kepalanya tak percaya.
“Are you two speaking in human language?” selorohku kesal.
“Aku harap kau tak menyesal dengan apa yang telah kau lakukan,” gumam Robin pelan, dan kemudian dia menutup mulutnya sembari menoleh pada Anna yang duduk diseberangnya.
Anna hanya tertawa kecil dan mengibaskan tangannya, “Please, like I don’t know,” dengusnya santai. Justin dan Robin tampak jelas kaget mendengarnya. Keduanya saling berpandangan untuk beberapa saat lamanya.
“You do?” Tanya Robin tak percaya.
Anna mengangguk sekilas, “Been a while. Hanya saja, mungkin tak akan benar kalau aku mengatakannya. Kalaupun aku katakan, aku ragu kalau hasilnya akan baik. Akan lebih baik kalau dia yang mengerti dengan sendirinya,” ujar Anna dan mengangkat bahunya.
“Well……….. itu mungkin benar karena tak akan mudah bagi dia,” gumam Robin.
“Aku benar-benar tak mengerti, apa yang sedang kalian katakan,” gerutuku kesal, merasa tak diacuhkan oleh mereka.
“Apa kau pernah jatuh cinta Zake?” Tanya Robin tiba-tiba.
Aku mendengus dan menyambar gelas minumku, “Tentu saja. Aku bukan orang udik yang tidak pernah keluar rumah.”
“Benar-benar jatuh cinta?”
“Apa maksudmu dengan itu?” tanyaku heran.
“Benar-benar jatuh cinta. Terbayang akan seseorang sepanjang hari. Tak bisa menjauhkan pikiranmu darinya. Selalu ingin berada dekat dengannya.”
“I do now,” selorohku sembari melingkarkan tangan kananku di bahu Anna. Cewek itu hanya mendengus tanpa meresponku.
“Zake, aku tak membicarakan tentang penaklukan-penaklukanmu akan wanita yang kau kejar. Aku tidak berbicara tentang sebuah hubungan yang lahir dari sebuah perencanaan dan strategi-strategi. Aku berbicara tentang perasaan yang tumbuh tanpa kau sadari. Perasaan yang kau tahu ada, namun jarang kau hargai, dan bahkan kau abaikan.”
Aku menatap Robin seakan-akan dia makhluk luar angkasa.
“What the heck are you talking about?” sergahku.
“Kau tahu bagaimana kau mengejar Rhonda, setelah kau putus dengan Kim?” Tanya Justin, mencoba membantu. Aku tertawa mendengarnya.
“The head cheerleader? Tentu saja. Waktu itu dia baru putus dari pacarnya yang pecundang itu. What was his name? Ken? Is it?”
“Ben!” sahut Robin sedikit kesal.
“Yup! Ben! Aku masih ingat bagaimana seluruh sekolah heboh karena ada yang melihat kami keluar dari hotel itu,” tukasku dan terkekeh. Dulu Rhonda adalah ketua geng popular di Senior High. Dan begitu ada kabar bahwa dia putus dari Ben, akupun mendekatinya.
“Kau masih ingat bagaimana perjuanganmu dulu?” Tanya Justin lagi, “Kau mencari tahu hobi dia, film favoritnya, bunga yang disukai, bahkan merk underwear yang biasa dia pakai.”
“Yeah. Dan seingatku, kau yang menyewa detektif itu. Great job!”
“Aku tidak membanggakan hal itu Zake. Aku bahkan menyesalinya,” gumam Justin membuatku terkekeh. Apa lagi saat Robin mengerling kesal padanya, “What?! He’s my friend!” bantahnya dengan wajah memerah.
“Whatever. That’s not love Zake. That’s lust! Kau memperlakukan Rhonda seperti sebuah hal yang harus kau tundukkan. Kau membangun sebuah hubungan berdasarkan perhitungan-perhitungan dan trik-trik tertentu agar Rhonda menyukaimu. Mungkin kalian memang memiliki beberapa momen intim yang dengan naifnya kau sebut cinta. But they were not! Those were lust. Dan aku yakin bahwa hal itu bertahan hanya beberapa waktu saja. Begitu dia tunduk, kau  segera merasa bosan.”
“It was two months,” gumamku.
“Sementara yang aku maksud adalah cinta yang kau rasakan tanpa kau sadari,” sambung Robin seolah-olah tak mendengarku, “Cinta yang tumbuh secara tak terduga. Perasaan yang tanpa kau sadari, membuatmu terikat pada seseorang. Perasaan yang mungkin selama ini telah coba kau sangkal. But it’s there! Apa kau merasakannya?”
Aku mengernyitkan dahi, “I’m not sure,” gumamku.
Anna mendesah pelan disebelahku, “Pernahkah kau bertanya pada dirimu sendiri, kenapa kau tadi pagi menciumku seperti itu didepan teman-temanmu? You don’t fall for me, do you?” tanyanya enteng.
“Anna, I told you that…”
“We are fuck buddies, I get that,’ potong Anna cepat, tanpa beban, “Jadi pikirkan, kenapa kau menciumku seakan-akan kau ingin menelanku bulat-bulat tadi? Karena kau memang merindukanku, atau karena kau ingin menunjukkan sesuatu pada seseorang?”
Aku melongo mendengarnya. Aku tahu apa yang dia coba katakan. Juga apa maksud dari kalimat Robin tadi, serta Justin. Aku memandang mereka bertiga secara bergantian. Tatapan mereka yang menunggu konfirmasiku menunjukan kalau mereka semua sepakat akan hal itu.
“Wait! Kalian tidak bermaksud mengatakan kalau semua ini berhubungan dengan Regha kan?” sergahku. Dan entah karena apa, aku mulai resah.
“Kenapa kau berpikir begitu?” Tanya Anna santai.
“Well, Vivi ada Jordan. Regi ada Nick. Justin dan Robin. Jelas kau tidak sedang membicarakan dirimu sendiri. Jadi yang tersisa hanya Regha. What are you people trying to say?”
“You know that he loves you, right?” Tanya Justin pelan.
Aku menggeleng dengan cepat, “No! Kalian salah. Kami hanya berteman. Ada insiden yang membuat dia berhubungan denganku. Plus, dia bekerja padaku. Regha hanya kebetulan saja telah sukses membantuku dalam sebuah event di panti kemarin. Karena itu aku mengajaknya kemari sebagai ucapan terimakasih. Begitu juga dengan Regi dan yang lain.”
“He loves you, Zake. Apa kau masih mau berpura-pura untuk tidak melihat reaksinya tadi saat kau mencium Anna? Dia hampir pingsan ditempat. Wajahnya memucat dalam hitungan detik. Dia bahkan harus dibantu untuk kembali ke kamar. Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian berdua?”
“Nothing!!” sergahku cepat dan berdiri, “Look, you guys are wrong. There’s nothing between me and Regha. Dia hanya pegawaiku. Dan kami tidak lebih dari sekedar teman saja. And that’s it! I’m sorry, but I’m not gay like you are!” kataku kesal dan membanting lapku untuk kemudian pergi dengan kesal.
Mereka sinting!!!
ZAKI

Aku diam sejenak didepan kamar Regha. Ragu-ragu untuk mengetuk pintu. Kilasan pembicaraanku dengan Justin dan yang lain tadi tanpa sadar membuatku bergidik. Dia menyukaiku. Regha menyukaiku. Aku ingin merasa jijik, atau setidaknya ketakutan. Tapi ……….tidak. Aku sama sekali tidak merasakan ketidaknyamanan yang sebelumnya kukira akan ada. Aku justru merasa…..
Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Jangan gila! rutukku dalam hati kesal dan langsung mengetuk pintu, kemudian menunggu. Tak ada sahutan. Aku mengulanginya setelah beberapa saat. Tapi tetap tak ada sahutan. Mungkin dia pergi dengan Regi dan yang lain. Tak ada satupun dari mereka yang ku lihat tadi. Padahal kupikir dia akan beristirahat. Aku berbalik untuk kembali ke kamarku saat Regi dan yang lain muncul di ujung lorong. Nick, Vivi dan Jordan mengikuti dibelakangnya.
“Dari man….”
“Nganter Regha ke bandara,” jawabnya mendahuluiku tanpa berhenti melangkah mendekat, “Pesawatnya sudah take off beberapa menit tadi. Dan ini….” Regi melemparkan sebuah benda yang untungnya bisa kutangkap tangan. Kartu kreditku. Seingatku masih dipegang oleh Regha.
“Take off?”
“He went home, Zake,” tukas Vivi  dan berhenti disebelah Regi. Jordan mencium pipinya sekilas kemudian berlalu sembari menepuk bahuku pelan. Sepertinya dia ingin memberi kami waktu pribadi, karena Nick juga berlalu, mendahului Regi yang berhenti didepanku, “What do you expect?”
“Apa yang terjadi? Apa keadaannya parah? Dia benar-benar sakit?” tanyaku saat tubuh Jordan dan Nick menghilang dibalik pintu kamar.
Regi yang mendengarku mengangkat sebelah alisnya dengan senyum sinis tersungging, “Apa pedulimu? Bukankah akan lebih baik kalau dia tak ada? Kau tak perlu berakting seperti seorang actor amatiran payah. And by the way, you suck. Aktor bukan karir yang tepat bagimu,” cetusnya santai.
“Don’t play game with me,” tukasku mulai kesal.
“Or what?!” sahut Regi, kali ini dengan nada luar biasa dingin yang belum pernah ku dengar, “Sudah ku peringatkan dari dulu kalau Regha, tidak sendiri. Dia memiliki kami. Jadi jangan harap kau mampu menyakitinya lebih dari apa yang kau lakukan tadi pagi.”
“I didn’t even touch him!!” sergahku, nyaris berteriak. Kesal dengan Regi yang sepertinya kukuh untuk tidak menjawab pertanyaanku.
“You did worse!” cetus Vivi yang akhirnya angkat bicara, “Kau pasti sudah tahu kalau Regha menyukaimu kan?”
Aku tidak langsung bereaksi. Lagi-lagi hal itu diungkit, dan kembali aku tak tahu harus bereaksi bagaimana. Aku hanya terpaku disana, menatap Vivi yang juga memandangku dengan datar. Pikiran pertamaku ingin menyangkal dan mengatakan kalau mereka ngawur. Tapi entah kenapa, aku merasa kalau hal itu akan terdengar konyol.
“Aku…..tak tahu itu,” hanya itu yang bisa aku gumamkan sementara batinku meriakkan sebuah kata. LIAR!!! Aku mendengus pelan dan mengusap atas bibirku dengan punggung tangan, “Look, jangan terlalu mendramatisir keadaan. Regha bisa saja hanya…”
“Bukankah sudah kukatakan tadi kalau kau tidak berbakat menjadi seorang actor Zake!” potong Regi cepat.
Tanpa dapat kutahan aku memejamkan mataku dan menyandarkan punggungku yang tiba-tiba saja terasa lelah ke dinding lorong. Mendekap kepalaku dengan kedua tangan, bingung.
“Kalau kau tak menyukainya, kau tak perlu melakukan drama konyol tadi pagi itu. Tanpa perlu kau sindir dengan itu, hal ini sudah berat bagi Regha. Dia juga tak pernah menyadarinya Zake,” ujar Vivi dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya, “Kau tak bisa membayangkan pergulatan batin yang dia alami sebelum akhirnya dia bisa mengakui perasaannya padamu. Regha bukan Regi yang sudah meghadapi konflik itu sedari kecil Zake. Tak ada sedikitpun niat dari dirinya untuk menyukai sesama pria. Dia cukup terguncang. Dan apa yang kau lakukan tadi pagi, lebih terasa sebagai sebuah tamparan baginya. Dengan itu dia kembali merasa……tidak normal dan aneh.”
“Tapi kurasa kau bisa dengan jelas memahami apa yang dia rasakan kan Zake?” sahut Regi pelan.
Aku berpaling padanya dengan sedikit ngeri. Ada kalanya ku pikir pria melambai didepanku ini bisa membaca isi kepalaku. Seperti saat ini. Pertanyaan dan pernyataannya membuatku mengkerut ketakutan.
“A-apa maksudmu?” tanyaku setengah berharap kalau suaraku tidak menunjukkan kegugupanku.
“Well, drama satu babak pagi yang kau gelar tadi jelas menunjukkan bahwa kau menyadari perasaan Regha. Kau bisa memahami dan mengerti apa yang dia rasakan. Karena itu kau berusaha memberitahu Regha dengan aktingmu itu bahwa kau tidak seperti dia. Tapi yang ingin aku tahu, sebenarnya siapa yang coba kau yakinkan bahwa kau normal. Regha…..atau dirimu sendiri?”
Leherku tercekat saat aku menatap Regi nanar. Pemuda ini memang berbahaya dan harus ku jauhi, “Aku tak mengerti apa yang kau katakana,” ujarku cepat sembari menegakkan diri, “Aku hanya ingin tahu bagaimana Regha. Tapi entah kenapa, kalian justru membicarakan hal-hal absurd lainnya.”
“Kau benar-benar sadar kan akan perasaan Regha padamu?’ Tanya Vivi.
Aku menghela nafas dan mengusap dahiku yang ternyata telah berkeringat, “I don’t know, ok?! Ya…mungkin saja…. Aku kira….” Aku tak tahu apa yang hendak ku katakana padanya, “Entahlah…” sahutku akhirnya.
“Well, kalau memang tadinya kau tak tahu, atau pura-pura tak tahu, sekarang kau sudah mengetahuinya. Dan dia sudah kembali ke Bandung. Aku membelikan tiket dengan karttu kreditmu itu. Ada baiknya dia pergi dari sini, menjauh darimu. Kau tidak berharap kalau dia akan tetap diam merana disini kan?”
“Kadang kala kau benar-benar menakutkan, do you know that?” gerutuku sembari mengeluarkan ponselku dari kantong untuk mencari nomor Regha.
“What are you doing?” Tanya Vivi.
“I’m gonna call him,” jawabku singkat.
“Zake, kalau kau hanya ingin membuatnya sa…”
“Aku hanya ingin tahu kalau dia baik-baik saja, ok?” potongku tanpa memperdulikan Vivi lagi. Sialnya, panggilanku masuk dalam inbox.
“Dia mematikan ponselnya,” jelas Regi membuatku menggerutu karena dia tidak mengatakannya sedari tadi. Regi hanya mengangkat bahu dan melenggang pergi, “Aku harap kau tak akan pernah menyesali apa yang sudah kau lakukan,” katanya tanpa berbalik.
Aku mengumpat dalam hati dan segera kembali ke kamarku. Disana aku menemukan Anna yang duduk di pembaringan dengan selembar handuk membungkus kepalanya yang basah. Piyama mandinya yang berwarna putih sedikit tersingkap di bagian paha. Aku juga bisa melihat bagian atas dadanya yang putih mulus. Begitu melihatku, Anna hanya mengernyitkan dahinya.
“Ada apa?” Tanya dia dengan nada ingin tahu.
“I’m sorry!”
Aku tercengang. Kalimat itu keluar dengan sendirinya tanpa dapat aku kontrol. Aku bahkan tak tahu kenapa aku mengatakannya. Tapi sepertinya aku harus. Anna sendiri hanya tertawa kecil dan bangkit sembari melepas penutup kepalanya.
“Kau sudah memesan tiket untuk pulang?” Tanya Anna yang kini mengusap rambut basahnya dengan handuk.
“Tiket? Untuk apa?” gumamku pelan.
Anna menatapku, diam sejenak, “Kau tidak mau menyusulnya? Mungkin dia membutuhkanmu saat ini. Atau mungkin kau ingin memberinya waktu untuk menenangkan diri dulu?”
Aku melihatnya seakan-akan dia orang yang baru aku kenal.
Anna memutar bola matanya, “Regha?” katanya.
“Apa? Oh ya…. Biar tenang dulu,” gumamku lagi dan dengan langkah linglung mendekat ke ranjang dan kemudian membaringkan tubuhku yang entah kenapa terasa begitu penat. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Aku hanya ingin beristirahat sejenak, batinku.


Hari berikutnya, bukannya merasa tenang, aku justru bertambah resah. Entah karena perkataan Regi, Vivi dan yang lain, ataukah memang aku benar-benar merasa melakukan kesalahan. Tapi….. yang  jelas aku tak bisa sedikitpun berhenti untuk memikirkan Regha. Segenap pikiranku menyuruh untuk segera kembali ke Bandung dan membereskan semuanya. Tapi kemudian, bagaimana? Apa yang harus ku katakan? Maaf, aku telah menyakiti perasaanmu? Maaf aku tak tahu peraaanmu?
Bahkan hanya membayangkannya saja terasa konyol. Aku tak tahu harus bagaimana kalau berhadapan dengannya. Sudah jelas aku tak mungkin mengatakan kalau aku juga menyukainya. I ain’t gay for God sake! Atau mungkin aku harus membiarkannya saja? Pura-pura tak tahu?
SIAL!!!!!
Sentakan rasa nyeri kembali terasa didadaku saat kelebatan wajah Regha yang terluka melintas. Aku mengernyit menahan rasa nyeri itu. Memejamkan mata, membiarkan suara-suara disekitarku memenuhi indra pendengaranku. Suara ombak, desir angin, dedaunan yang bergesekan ,dan juga suara-suara manusia yang lewat. Regi dan yang lain tadi keluar. Anna ikut bersama mereka. Malam nanti aku ada janji keluar dengan Justin dan Robin. Mungkin kami akan hang out di sebuah klub. Aku belum berhasil membujuk Justin dan Robin untuk bolos kuliah dan singgah sebentar ke Bandung. Tapi mereka sudah berjanji lain kali akan berkunjung. Untuk saat ini kami akan menghabiskan waktu bersama di Bali.
Justin dan Robin!
Bahkan hingga kini aku terkadang masih mempertanyakan apakah Justin waras.Tak ada sedikitpun indikasi sebelumnya kalau dia gay. Dia sama seperti kami yang lain. Tidak melambai atau lembek seperti Regi dan Robin. Tak pernah menunjukkan ketertarikan sedikitpun pada pria. Selama hampir tiga tahun bersamanya, aku sudah bosan melihat dia berganti pasangan. Tapi siapa sangka…..
Bukankah sama dengan Regha?
Celetukan singkat itu melintas, seolah-olah menyindirku. Tentu saja. Regha juga sama. Cara dia bicara, berjalan dan lain sebagainya, biasa-biasa saja. Sama seperti anak kampus cowok kebanyakan. Dia bahkan sedikit terlalu…. berantakan dari profil gay kebanyakan. Yang aku tahu, orang gay sangat memperhatikan penampilan. Perlente dan selalu mengikuti mode. Regha? Baju andalannya cuma t-shirt dan jeans belel. Wajah dia juga masih alami. Dan jelas hampir tak pernah tersentuh kosmetik. Jadi……..
Aku mengacak-acak rambutku dengan kesal dan kembali menyandarkan punggungku pada kursi malas. Kupejamkan mataku yang tadi terbuka. Membiarkan indra pendengaranku bekerja. Sialnya, justru wajah Regha yang membayang di pelupukku. Lintasan peristiwa-peristiwa yang kami alami berkelebat bagai putaran film lama.
Masih ku ingat bagaimana awal kami bertemu. Aku yang hampir menabraknya 2 kali dalam sehari. Reaksinya waktu itu. Berdiri didepan mobilku dengan wajah pucat dan kaki gemetar. Sadar kalau dia nyaris kehilangan nyawa. Aku yang tadinya kesal mampus justru malah berbalik kasihan. Tapi bagaimanapun juga, karena gusar luar biasa, dahi yang terluka dan penyoknya mobilku, aku berniat untuk memberinya pelajaran. Karena itu aku pura-pura menuntut ganti rugi. Semula kupikir aku akan mendengar rengekan cengengnya, permintaan agar aku menaruh belas kasihan padanya. Siapa sangka, dengan gagah berani dia datang ke rumah dengan sejumlah uang. Dan hanya meminta perpanjangan waktu. Aku tentu saja tak bisa membuatnya lepas dari hukuman yang aku rencanakan. Karena itu aku merekrutnya untuk ikut bekerja di Panti. Aku berniat membuatnya kerja keras. Membuatnya melemah dan pada akhirnya memohon padaku. Tapi lagi-lagi Regha mengejutkanku.
Dengan tabahnya dia menjalankan semua hal yang kutugaskan padanya tanpa mengeluh. Bahkan saat aku bolak balik membentak dan menekannya. Dia melakukan semuanya tanpa ada sekalipun kata lelah dia ucapkan. Tapi tentu saja, sikap cerobohnya itu masih saja tak bisa lepas. Seakan-akan dia justru member alasan bagiku untuk terus memarahi dan membentaknya. Tapi Regha terus maju dan mengerjakan tugasnya hingga sempurna, sesuai yang aku inginkan.
Pernah beberapa kali dia ku tinggal dan ku minta salah satu pegawai panti mengawasinya. Regha tidak sekalipun menunjukkan penurunan dalam kinerjanya. Dia masih menggunakan standart yang aku kerjakan, bahkan saat aku tak ada. Dia menunjukkan keseriusannya dalam memegang tanggung jawab yang diberikan padanya.
Lalu ada saat aku melarikan diri, ikut ke kampung halamannya. Dan kembali aku mendapatkan kejutan. Disana aku tidak hanya menemukan pengalaman baru, tapi juga pelajaran berharga. Aku mendapatkan pengetahuan akan hakikat keluarga yang sesungguhnya. Dari Regha, Agus serta Asti aku belajar bagaimana interaksi antara saudara di Negara ini. Kultur budaya yang berbeda tidak membuatku menganggap mereka ketinggalan zaman. Kedekatan mereka justru membuatku kagum. Bagaimana Regha yang ceroboh dan serampangan bisa mengayomi kedua adiknya. Juga bagaimana Asti dan Agus menghormati kakak mereka. Sikap mereka berdua padaku membuatku merasa dihormati dan juga tersanjung. Belum lagi Mamah dan Abah. Konsep keluarga yang mereka tunjukkan, jauh berbeda dengan sikap keluarga yang ada di Australia. Mamah menunjukkan pengabdian tulusnya sebagai istri dan juga Ibu yang mengasuh anak-anaknya. Tanpa mengeluh dia menyiapkan makan serta keperluan anggotanya, mulai dari terbit fajar, hingga malam menjelang.
“Gosh…..!! What have I done?” gumamku lirih. Tanpa menunggu lagi, aku segera bangkit!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar