ZAKI
“You are one stupid
jerk!” desis Regi geram dan segera berlalu dari hadapanku. Vivi hanya
mengikuti, sementara Jordan menatap bingung padaku, tapi kemudian menyusul
Vivi. Aku diam disana dengan tubuh yang tiba-tiba saja terasa dingin dan kaku.
Aku tak sempat membalas kata-kata Regi tadi. Hanya menatap semuanya dengan
pikiran kebas dan kosong. Aku tak tahu pasti apa yang kurasakan, yang jelas,
sentakan yang terasa di dadaku hampir-hampir tak tertahan. Aku melepas
pelukanku pada pinggang Anna dan kembali ke tempat dudukku. Ku raih gelas jus
jerukku sembari merutuki tanganku yang sedikit gemetar.
“Did you have to do
that?” tanya Anna yang kemudian mengikutiku.
Aku menoleh padanya,
mencoba menampilkan wajah pokerku, “Apa maksudmu?” tanyaku balik.
Anna tak menjawab,
hanya menatapku sejenak dan mengangkat bahunya. Dia lalu menyambar gelas yang
kupegang dan menandaskannya. Dia kemudian tersenyum puas lalu meletakkan gelas
itu didepanku, “Well, it’s your life honey. Kau bisa melakukan apapun yang kau
inginkan,” ujarnya.
“Honestly, aku sama
sekali tidak paham apa maksudmu,” selorohku.
“I reminded you last
night,” ujar Justin yang baru kusadari masih duduk didepanku. Sedari tadi dia
dan Robin hanya diam saja.
“About what? Oh by
the way, Anna. I want you to meet my friend, Justin. Dan itu pacar Justin,
Robin,’ kataku seraya mengibaskan tangan. Mereka saling memperkenalkan diri
dengan sopan. Aku sendiri berusaha menghindari tatapan Justin. Pada akhirnya,
dia tampak menyerah dan menghembuskan nafas. Aku hanya nyengir dan mengangkat
bahu.
“So, kemana
rencananya kita hari ini?” tanyaku.
“Kau …….jadi ikut?’
Tanya Robin, terdengar heran.
“Yeah, sure! Why
not?” tanyaku balik.
“Tidakkah kau harus
menyelesaikan sesuatu Zake?” tegur Justin.
“Apa?”
“Regha?!” ujarnya
dengan nada tanya dan sedikit kesal.
Kembali aku
mengibaskan tangan, “Oh, he’s fine. Regha anaknya memang sedikit ceroboh.
Mungkin dia hanya sakit kepala dan membutuhkan istirahat. I’m sure he’ll be
fine soon,” kataku santai.
“Aku harap kau tak
pernah menyesalinya Zake,” kata Justin setelah terdiam beberapa saat. Aku hanya
memutar bola mataku mendengarnya.
“Don’t be such a
drama,” gerutuku pelan dan bangkit, “I’m gonna get ready. Ayo Anna. I’ll show
you my room,” kataku. Anna kembali mengangkat bahu dan mengikutiku.
“Kalian tunggu
disini sebentar ok?” kataku pada Justin dan Robin sembari melangkah dengan
menggandeng tangan Anna. Berusaha menghapus kejadian beberapa menit tadi dari
mataku.
REGHA
Entah berapa lama
waktu berlalu. Aku sudah kehilangan orientasi sejak beberapa jam tadi. Yang
jelas, aku menyadari Regi dan Vivi sama sekali tak beranjak dari sisiku. Mereka
berdua duduk diam disampingku tanpa mengatakan apapun. Hanya tetap berada
disana untuk menunjukkan dukungan mereka yang tak terucap padaku. Hingga
kemudian keheningan diantara kami dipecahkan oleh dering ponselku.
Aku bangkit dari
tempat tidur dengan tubuh kaku, nyaris tak bisa digerakkan. Regi yang akhirya ikut
bangkit dan menyerahkan ponselku yang tadinya ku letakkan dimeja. Aku menyambutnya
dengan senyum tipis. Ada nama Asti yang muncul dilayar. Dan detik itu juga, aku
seakan-akan baru diingatkan bahwa aku masih memiliki mereka, keluargaku. Tempat
perlindungan terakhirku. Tempat dimana aku mendapatkan bantuan, kapanpun aku
butuh. Bahkan saat dunia dan seluruh isinya memusuhiku.
“Assalamu’alaikum…”
sapaku dengan suara sedikit bergetar.
“Wa’alaikumsalam.Halo,
Aa?” suara Mamah dari seberang menjawabku. Dan hanya dengan mendengar suaranya,
leherku kembali terasa tercekat. Aku kembali merasa begitu cengeng dan lemah.
Rasa-rasanya suara beliau menarik jiwaku.
“Mah…..” hanya itu
yang sanggup aku katakan. Kalau aku meneruskannya, sudah dapat dipastikan aku
akan kembali merengek.
Mamah diam sejenak
mendengar suaraku, “Aa tidak pulang?” Tanya Mamah akhirnya setelah aku menunggu
dengan sedikit tegang. Tak ada pertanyaan atau apa. Tapi sepertinya Mamah telah
memberitahu dengan jelas, apa yang harus aku lakukan. Beliau seperti mengajukan
jawaban dari pertanyaan yang tidak aku ajukan.
“Iya Mah. Aa segera
pulang,” jawabku, berusaha sebisa mungkin agar suaraku terdengar biasa.
“Diantosan nya?”
ujar Mamah yang segera kuiyakan. Beliau langsung pamit dan menutup telepon,
seakan-akan tahu, kalau tak ada lagi yang bisa aku katakan. Aku berpaling pada
Regi dan Vivi yang kembali menatapku dengan mata iba. Membuatku semakin merasa
kecil dan nelangsa.
“Gue harus pulang,”
hanya itu yang bisa aku bisikkan dengan lirih pada mereka.
Regi bangkit dari
duduknya dan kembali duduk dipembaringan, tepat disisi kananku. Tangan kirinya
terangkat dan menyentuh bahuku. Dia meremasnya dengan pelan, “Gue tahu kalau
saat ini, gak akan ada kalimat penghiburan yang bisa bikin lo ngerasa lebih
baik. Gue bisa berempati akan shock yang lo rasain. Setelah melewati masa-masa
penyangkalan dan dalih yang berulangkali lo katakana, pada akhirnya kini, lo
bisa menerima dan mengakui apa yang lo rasain. Dan…………. lo kudu ngeliat hal
tadi. Gue bisa tahu kalo lo sakit.”
“Gi..”
“Tapi lo kudu inget
juga satu hal,” potong Regi mendahuluiku, tahu bahwa sebenarnya aku tak ingin
membahasnya, “Masa-masa penyangkalan, tak percaya dan berusaha mencari dalih
yang lo lakuin en rasain dulu….. hal itu juga mungkin sekarang dialami ma
Zaki.”
Aku diam. Tak tahu
harus menjawab apa. Hanya duduk disana dengan kepala tertunduk.
“Hal ini bukan hanya
berat bagi lo Gha. Gue tahu dan yakin, Zaki juga merasakannya. Dia bahkan
mati-matian buat ngeyakinin dirinya bahwa dia gak ngerasain apa yang lo rasain
sekarang.”
“Gue kira dia sudah
menunjukkan dengan jelas bahwa lo salah Gi,” kataku pelan.
“Gha..”
“Gue mau pulang,”
ganti aku yang kini memotong kalimatnya. Tubuh dan pikiranku terasa penat untuk
berpikir. Yang ingin ku lakukan adalah pergi secepatnya dari sini. Kembali ke
naungan rumah orang tuaku di Majalengka. Berada kembali pada kedamaian desa disana.
Jauh dari semua ini, “Gue harus pulang,” kataku lagi. Kali ini dengan nada yang
lebih tegas.
“Lo inget aja apa
yang Regi katakana tadi Gha,” cetus Vivi yang akhirnya membuka suara. Dia menatapku
dengan senyum mendukungnya, “Karena gue juga berpikiran sama. He’s in denial.
Dan gue kira hal itu wajar. Gak ada satupun dari kalian, elo maupun Zaki yang
berpikiran buat jatuh cinta pada sesama cowok. Dia juga ngerasain apa yang dulu
lo rasain.”
“Gue harus pulang,”
kataku lagi cepat, pura-pura tak mendengar kalimat Vivi tadi dan bangkit,
“Maaf, gara-gara gue kalian gak jadi jalan-jalan. Tolong sampein maaf gue ke
Nick dan juga Jordan, ok?!” kataku dan mengambil tas ranselku dari kloset kecil
yang ada di sisi pembaringan. Tapi kemudian aku ingat satu hal. Aku meraih
dompetku dan mengeluarkan kartu kredit Zaki yang semalam lupa aku kembalikan.
Aku mengulurkannya pada Regi.
“Ini punya Zaki?”
Tanya dia yang kemudian ku jawab dengan anggukan, “Terus, lo ada uang buat beli
tiket?”
Aku tercenung sesaat
dan berbalik pada menghadap mereka kembali. Baru aku sadari kalau kantongku
super cekak saat ini, “Maaf, bisa kalian pinjamin gue…”
“Biar gue yang
urus,” serobot Regi dengan tersenyum, “Lo packing aja. Gue kasih tau Nick
bentar kalo gue mo anter lo ke bandara, ok?” ujarnya dan segera bangkit.
“Gue ke Jordan dulu.
Kita tunggu dibawah ya?” kata Vivi yang juga bangkit menyusul Regi. Aku hanya
tersenyum tipis dan mengangguk. Aku harus segera pergi, batinku dan kembali
memberesi barang-barangku.
ZAKI
Aku sama sekali
tidak ingat tempat apa saja yang kami datangi tadi. Atau apa saja yang telah
kami lihat dan lakukan. Aku bahkan nyaris tak ingat makanan apa yang kami
santap saat ini di sebuah restoran yang ada di pinggir pantai. Wait? Ini Kuta
atau Nusa Dua? Where the fuck are we?
“…..Zake…..”
Aku menoleh pada
Justin yang melihatku. Sepertinya tadi dia mengatakan sesuatu padaku, “Sorry,
what was that?” tanyaku.
Justin hanya
menggelengkan kepala dan mengangkat sendoknya. Dengan santai dia mengunyah
makanannya, membiarkan aku menunggu, “I said, kita akan segera kembali ke
Kuta,” katanya akhirnya.
“Kembali ke Kuta?”
gumamku dan memandang ke sekeliling kami. Huh? Jadi kami tidak berada di Kuta
sekarang?
“Apa kau sudah menyadari
apa yang telah kau lakukan?” Tanya Robin dari sebelah kiri. Aku mengangkat
sebelah alisku mendengarnya.
“Ku kira
peringatanku semalam sudah lebih dari cukup,” sahut Justin dan menggelengkan
kepalanya tak percaya.
“Are you two
speaking in human language?” selorohku kesal.
“Aku harap kau tak
menyesal dengan apa yang telah kau lakukan,” gumam Robin pelan, dan kemudian
dia menutup mulutnya sembari menoleh pada Anna yang duduk diseberangnya.
Anna hanya tertawa
kecil dan mengibaskan tangannya, “Please, like I don’t know,” dengusnya santai.
Justin dan Robin tampak jelas kaget mendengarnya. Keduanya saling berpandangan
untuk beberapa saat lamanya.
“You do?” Tanya
Robin tak percaya.
Anna mengangguk
sekilas, “Been a while. Hanya saja, mungkin tak akan benar kalau aku
mengatakannya. Kalaupun aku katakan, aku ragu kalau hasilnya akan baik. Akan
lebih baik kalau dia yang mengerti dengan sendirinya,” ujar Anna dan mengangkat
bahunya.
“Well……….. itu
mungkin benar karena tak akan mudah bagi dia,” gumam Robin.
“Aku benar-benar tak
mengerti, apa yang sedang kalian katakan,” gerutuku kesal, merasa tak diacuhkan
oleh mereka.
“Apa kau pernah
jatuh cinta Zake?” Tanya Robin tiba-tiba.
Aku mendengus dan
menyambar gelas minumku, “Tentu saja. Aku bukan orang udik yang tidak pernah
keluar rumah.”
“Benar-benar jatuh
cinta?”
“Apa maksudmu dengan
itu?” tanyaku heran.
“Benar-benar jatuh
cinta. Terbayang akan seseorang sepanjang hari. Tak bisa menjauhkan pikiranmu
darinya. Selalu ingin berada dekat dengannya.”
“I do now,”
selorohku sembari melingkarkan tangan kananku di bahu Anna. Cewek itu hanya
mendengus tanpa meresponku.
“Zake, aku tak membicarakan
tentang penaklukan-penaklukanmu akan wanita yang kau kejar. Aku tidak berbicara
tentang sebuah hubungan yang lahir dari sebuah perencanaan dan
strategi-strategi. Aku berbicara tentang perasaan yang tumbuh tanpa kau sadari.
Perasaan yang kau tahu ada, namun jarang kau hargai, dan bahkan kau abaikan.”
Aku menatap Robin
seakan-akan dia makhluk luar angkasa.
“What the heck are
you talking about?” sergahku.
“Kau tahu bagaimana
kau mengejar Rhonda, setelah kau putus dengan Kim?” Tanya Justin, mencoba
membantu. Aku tertawa mendengarnya.
“The head
cheerleader? Tentu saja. Waktu itu dia baru putus dari pacarnya yang pecundang
itu. What was his name? Ken? Is it?”
“Ben!” sahut Robin
sedikit kesal.
“Yup! Ben! Aku masih
ingat bagaimana seluruh sekolah heboh karena ada yang melihat kami keluar dari
hotel itu,” tukasku dan terkekeh. Dulu Rhonda adalah ketua geng popular di
Senior High. Dan begitu ada kabar bahwa dia putus dari Ben, akupun
mendekatinya.
“Kau masih ingat
bagaimana perjuanganmu dulu?” Tanya Justin lagi, “Kau mencari tahu hobi dia,
film favoritnya, bunga yang disukai, bahkan merk underwear yang biasa dia
pakai.”
“Yeah. Dan
seingatku, kau yang menyewa detektif itu. Great job!”
“Aku tidak
membanggakan hal itu Zake. Aku bahkan menyesalinya,” gumam Justin membuatku
terkekeh. Apa lagi saat Robin mengerling kesal padanya, “What?! He’s my
friend!” bantahnya dengan wajah memerah.
“Whatever. That’s not
love Zake. That’s lust! Kau memperlakukan Rhonda seperti sebuah hal yang harus
kau tundukkan. Kau membangun sebuah hubungan berdasarkan
perhitungan-perhitungan dan trik-trik tertentu agar Rhonda menyukaimu. Mungkin
kalian memang memiliki beberapa momen intim yang dengan naifnya kau sebut
cinta. But they were not! Those were lust. Dan aku yakin bahwa hal itu bertahan
hanya beberapa waktu saja. Begitu dia tunduk, kau segera merasa bosan.”
“It was two months,”
gumamku.
“Sementara yang aku
maksud adalah cinta yang kau rasakan tanpa kau sadari,” sambung Robin
seolah-olah tak mendengarku, “Cinta yang tumbuh secara tak terduga. Perasaan
yang tanpa kau sadari, membuatmu terikat pada seseorang. Perasaan yang mungkin
selama ini telah coba kau sangkal. But it’s there! Apa kau merasakannya?”
Aku mengernyitkan
dahi, “I’m not sure,” gumamku.
Anna mendesah pelan
disebelahku, “Pernahkah kau bertanya pada dirimu sendiri, kenapa kau tadi pagi
menciumku seperti itu didepan teman-temanmu? You don’t fall for me, do you?”
tanyanya enteng.
“Anna, I told you
that…”
“We are fuck
buddies, I get that,’ potong Anna cepat, tanpa beban, “Jadi pikirkan, kenapa
kau menciumku seakan-akan kau ingin menelanku bulat-bulat tadi? Karena kau
memang merindukanku, atau karena kau ingin menunjukkan sesuatu pada seseorang?”
Aku melongo
mendengarnya. Aku tahu apa yang dia coba katakan. Juga apa maksud dari kalimat
Robin tadi, serta Justin. Aku memandang mereka bertiga secara bergantian.
Tatapan mereka yang menunggu konfirmasiku menunjukan kalau mereka semua sepakat
akan hal itu.
“Wait! Kalian tidak
bermaksud mengatakan kalau semua ini berhubungan dengan Regha kan?” sergahku.
Dan entah karena apa, aku mulai resah.
“Kenapa kau berpikir
begitu?” Tanya Anna santai.
“Well, Vivi ada
Jordan. Regi ada Nick. Justin dan Robin. Jelas kau tidak sedang membicarakan
dirimu sendiri. Jadi yang tersisa hanya Regha. What are you people trying to
say?”
“You know that he
loves you, right?” Tanya Justin pelan.
Aku menggeleng
dengan cepat, “No! Kalian salah. Kami hanya berteman. Ada insiden yang membuat
dia berhubungan denganku. Plus, dia bekerja padaku. Regha hanya kebetulan saja
telah sukses membantuku dalam sebuah event di panti kemarin. Karena itu aku
mengajaknya kemari sebagai ucapan terimakasih. Begitu juga dengan Regi dan yang
lain.”
“He loves you, Zake.
Apa kau masih mau berpura-pura untuk tidak melihat reaksinya tadi saat kau
mencium Anna? Dia hampir pingsan ditempat. Wajahnya memucat dalam hitungan
detik. Dia bahkan harus dibantu untuk kembali ke kamar. Apa yang sebenarnya
terjadi antara kalian berdua?”
“Nothing!!” sergahku
cepat dan berdiri, “Look, you guys are wrong. There’s nothing between me and
Regha. Dia hanya pegawaiku. Dan kami tidak lebih dari sekedar teman saja. And
that’s it! I’m sorry, but I’m not gay like you are!” kataku kesal dan
membanting lapku untuk kemudian pergi dengan kesal.
Mereka sinting!!!
ZAKI
Aku diam sejenak
didepan kamar Regha. Ragu-ragu untuk mengetuk pintu. Kilasan pembicaraanku
dengan Justin dan yang lain tadi tanpa sadar membuatku bergidik. Dia
menyukaiku. Regha menyukaiku. Aku ingin merasa jijik, atau setidaknya
ketakutan. Tapi ……….tidak. Aku sama sekali tidak merasakan ketidaknyamanan yang
sebelumnya kukira akan ada. Aku justru merasa…..
Aku menggelengkan
kepalaku kuat-kuat. Jangan gila! rutukku dalam hati kesal dan langsung mengetuk
pintu, kemudian menunggu. Tak ada sahutan. Aku mengulanginya setelah beberapa
saat. Tapi tetap tak ada sahutan. Mungkin dia pergi dengan Regi dan yang lain.
Tak ada satupun dari mereka yang ku lihat tadi. Padahal kupikir dia akan
beristirahat. Aku berbalik untuk kembali ke kamarku saat Regi dan yang lain
muncul di ujung lorong. Nick, Vivi dan Jordan mengikuti dibelakangnya.
“Dari man….”
“Nganter Regha ke
bandara,” jawabnya mendahuluiku tanpa berhenti melangkah mendekat, “Pesawatnya
sudah take off beberapa menit tadi. Dan ini….” Regi melemparkan sebuah benda
yang untungnya bisa kutangkap tangan. Kartu kreditku. Seingatku masih dipegang
oleh Regha.
“Take off?”
“He went home,
Zake,” tukas Vivi dan berhenti disebelah
Regi. Jordan mencium pipinya sekilas kemudian berlalu sembari menepuk bahuku
pelan. Sepertinya dia ingin memberi kami waktu pribadi, karena Nick juga
berlalu, mendahului Regi yang berhenti didepanku, “What do you expect?”
“Apa yang terjadi?
Apa keadaannya parah? Dia benar-benar sakit?” tanyaku saat tubuh Jordan dan
Nick menghilang dibalik pintu kamar.
Regi yang
mendengarku mengangkat sebelah alisnya dengan senyum sinis tersungging, “Apa
pedulimu? Bukankah akan lebih baik kalau dia tak ada? Kau tak perlu berakting
seperti seorang actor amatiran payah. And by the way, you suck. Aktor bukan
karir yang tepat bagimu,” cetusnya santai.
“Don’t play game
with me,” tukasku mulai kesal.
“Or what?!” sahut
Regi, kali ini dengan nada luar biasa dingin yang belum pernah ku dengar,
“Sudah ku peringatkan dari dulu kalau Regha, tidak sendiri. Dia memiliki kami.
Jadi jangan harap kau mampu menyakitinya lebih dari apa yang kau lakukan tadi
pagi.”
“I didn’t even touch
him!!” sergahku, nyaris berteriak. Kesal dengan Regi yang sepertinya kukuh
untuk tidak menjawab pertanyaanku.
“You did worse!”
cetus Vivi yang akhirnya angkat bicara, “Kau pasti sudah tahu kalau Regha
menyukaimu kan?”
Aku tidak langsung
bereaksi. Lagi-lagi hal itu diungkit, dan kembali aku tak tahu harus bereaksi
bagaimana. Aku hanya terpaku disana, menatap Vivi yang juga memandangku dengan
datar. Pikiran pertamaku ingin menyangkal dan mengatakan kalau mereka ngawur.
Tapi entah kenapa, aku merasa kalau hal itu akan terdengar konyol.
“Aku…..tak tahu
itu,” hanya itu yang bisa aku gumamkan sementara batinku meriakkan sebuah kata.
LIAR!!! Aku mendengus pelan dan mengusap atas bibirku dengan punggung tangan,
“Look, jangan terlalu mendramatisir keadaan. Regha bisa saja hanya…”
“Bukankah sudah
kukatakan tadi kalau kau tidak berbakat menjadi seorang actor Zake!” potong
Regi cepat.
Tanpa dapat kutahan
aku memejamkan mataku dan menyandarkan punggungku yang tiba-tiba saja terasa
lelah ke dinding lorong. Mendekap kepalaku dengan kedua tangan, bingung.
“Kalau kau tak
menyukainya, kau tak perlu melakukan drama konyol tadi pagi itu. Tanpa perlu
kau sindir dengan itu, hal ini sudah berat bagi Regha. Dia juga tak pernah
menyadarinya Zake,” ujar Vivi dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya,
“Kau tak bisa membayangkan pergulatan batin yang dia alami sebelum akhirnya dia
bisa mengakui perasaannya padamu. Regha bukan Regi yang sudah meghadapi konflik
itu sedari kecil Zake. Tak ada sedikitpun niat dari dirinya untuk menyukai
sesama pria. Dia cukup terguncang. Dan apa yang kau lakukan tadi pagi, lebih
terasa sebagai sebuah tamparan baginya. Dengan itu dia kembali merasa……tidak
normal dan aneh.”
“Tapi kurasa kau
bisa dengan jelas memahami apa yang dia rasakan kan Zake?” sahut Regi pelan.
Aku berpaling
padanya dengan sedikit ngeri. Ada kalanya ku pikir pria melambai didepanku ini
bisa membaca isi kepalaku. Seperti saat ini. Pertanyaan dan pernyataannya
membuatku mengkerut ketakutan.
“A-apa maksudmu?”
tanyaku setengah berharap kalau suaraku tidak menunjukkan kegugupanku.
“Well, drama satu
babak pagi yang kau gelar tadi jelas menunjukkan bahwa kau menyadari perasaan
Regha. Kau bisa memahami dan mengerti apa yang dia rasakan. Karena itu kau
berusaha memberitahu Regha dengan aktingmu itu bahwa kau tidak seperti dia.
Tapi yang ingin aku tahu, sebenarnya siapa yang coba kau yakinkan bahwa kau
normal. Regha…..atau dirimu sendiri?”
Leherku tercekat
saat aku menatap Regi nanar. Pemuda ini memang berbahaya dan harus ku jauhi,
“Aku tak mengerti apa yang kau katakana,” ujarku cepat sembari menegakkan diri,
“Aku hanya ingin tahu bagaimana Regha. Tapi entah kenapa, kalian justru
membicarakan hal-hal absurd lainnya.”
“Kau benar-benar
sadar kan akan perasaan Regha padamu?’ Tanya Vivi.
Aku menghela nafas
dan mengusap dahiku yang ternyata telah berkeringat, “I don’t know, ok?!
Ya…mungkin saja…. Aku kira….” Aku tak tahu apa yang hendak ku katakana padanya,
“Entahlah…” sahutku akhirnya.
“Well, kalau memang
tadinya kau tak tahu, atau pura-pura tak tahu, sekarang kau sudah
mengetahuinya. Dan dia sudah kembali ke Bandung. Aku membelikan tiket dengan
karttu kreditmu itu. Ada baiknya dia pergi dari sini, menjauh darimu. Kau tidak
berharap kalau dia akan tetap diam merana disini kan?”
“Kadang kala kau
benar-benar menakutkan, do you know that?” gerutuku sembari mengeluarkan
ponselku dari kantong untuk mencari nomor Regha.
“What are you
doing?” Tanya Vivi.
“I’m gonna call
him,” jawabku singkat.
“Zake, kalau kau
hanya ingin membuatnya sa…”
“Aku hanya ingin
tahu kalau dia baik-baik saja, ok?” potongku tanpa memperdulikan Vivi lagi.
Sialnya, panggilanku masuk dalam inbox.
“Dia mematikan
ponselnya,” jelas Regi membuatku menggerutu karena dia tidak mengatakannya
sedari tadi. Regi hanya mengangkat bahu dan melenggang pergi, “Aku harap kau
tak akan pernah menyesali apa yang sudah kau lakukan,” katanya tanpa berbalik.
Aku mengumpat dalam
hati dan segera kembali ke kamarku. Disana aku menemukan Anna yang duduk di
pembaringan dengan selembar handuk membungkus kepalanya yang basah. Piyama
mandinya yang berwarna putih sedikit tersingkap di bagian paha. Aku juga bisa
melihat bagian atas dadanya yang putih mulus. Begitu melihatku, Anna hanya
mengernyitkan dahinya.
“Ada apa?” Tanya dia
dengan nada ingin tahu.
“I’m sorry!”
Aku tercengang.
Kalimat itu keluar dengan sendirinya tanpa dapat aku kontrol. Aku bahkan tak
tahu kenapa aku mengatakannya. Tapi sepertinya aku harus. Anna sendiri hanya
tertawa kecil dan bangkit sembari melepas penutup kepalanya.
“Kau sudah memesan
tiket untuk pulang?” Tanya Anna yang kini mengusap rambut basahnya dengan
handuk.
“Tiket? Untuk apa?”
gumamku pelan.
Anna menatapku, diam
sejenak, “Kau tidak mau menyusulnya? Mungkin dia membutuhkanmu saat ini. Atau
mungkin kau ingin memberinya waktu untuk menenangkan diri dulu?”
Aku melihatnya
seakan-akan dia orang yang baru aku kenal.
Anna memutar bola
matanya, “Regha?” katanya.
“Apa? Oh ya…. Biar
tenang dulu,” gumamku lagi dan dengan langkah linglung mendekat ke ranjang dan
kemudian membaringkan tubuhku yang entah kenapa terasa begitu penat. Aku
memejamkan mata rapat-rapat. Aku hanya ingin beristirahat sejenak, batinku.
Hari berikutnya,
bukannya merasa tenang, aku justru bertambah resah. Entah karena perkataan
Regi, Vivi dan yang lain, ataukah memang aku benar-benar merasa melakukan
kesalahan. Tapi….. yang jelas aku tak
bisa sedikitpun berhenti untuk memikirkan Regha. Segenap pikiranku menyuruh
untuk segera kembali ke Bandung dan membereskan semuanya. Tapi kemudian,
bagaimana? Apa yang harus ku katakan? Maaf, aku telah menyakiti perasaanmu?
Maaf aku tak tahu peraaanmu?
Bahkan hanya
membayangkannya saja terasa konyol. Aku tak tahu harus bagaimana kalau
berhadapan dengannya. Sudah jelas aku tak mungkin mengatakan kalau aku juga
menyukainya. I ain’t gay for God sake! Atau mungkin aku harus membiarkannya
saja? Pura-pura tak tahu?
SIAL!!!!!
Sentakan rasa nyeri
kembali terasa didadaku saat kelebatan wajah Regha yang terluka melintas. Aku
mengernyit menahan rasa nyeri itu. Memejamkan mata, membiarkan suara-suara
disekitarku memenuhi indra pendengaranku. Suara ombak, desir angin, dedaunan
yang bergesekan ,dan juga suara-suara manusia yang lewat. Regi dan yang lain
tadi keluar. Anna ikut bersama mereka. Malam nanti aku ada janji keluar dengan
Justin dan Robin. Mungkin kami akan hang out di sebuah klub. Aku belum berhasil
membujuk Justin dan Robin untuk bolos kuliah dan singgah sebentar ke Bandung.
Tapi mereka sudah berjanji lain kali akan berkunjung. Untuk saat ini kami akan
menghabiskan waktu bersama di Bali.
Justin dan Robin!
Bahkan hingga kini
aku terkadang masih mempertanyakan apakah Justin waras.Tak ada sedikitpun
indikasi sebelumnya kalau dia gay. Dia sama seperti kami yang lain. Tidak
melambai atau lembek seperti Regi dan Robin. Tak pernah menunjukkan
ketertarikan sedikitpun pada pria. Selama hampir tiga tahun bersamanya, aku
sudah bosan melihat dia berganti pasangan. Tapi siapa sangka…..
Bukankah sama dengan
Regha?
Celetukan singkat
itu melintas, seolah-olah menyindirku. Tentu saja. Regha juga sama. Cara dia
bicara, berjalan dan lain sebagainya, biasa-biasa saja. Sama seperti anak
kampus cowok kebanyakan. Dia bahkan sedikit terlalu…. berantakan dari profil
gay kebanyakan. Yang aku tahu, orang gay sangat memperhatikan penampilan.
Perlente dan selalu mengikuti mode. Regha? Baju andalannya cuma t-shirt dan
jeans belel. Wajah dia juga masih alami. Dan jelas hampir tak pernah tersentuh
kosmetik. Jadi……..
Aku mengacak-acak
rambutku dengan kesal dan kembali menyandarkan punggungku pada kursi malas.
Kupejamkan mataku yang tadi terbuka. Membiarkan indra pendengaranku bekerja.
Sialnya, justru wajah Regha yang membayang di pelupukku. Lintasan
peristiwa-peristiwa yang kami alami berkelebat bagai putaran film lama.
Masih ku ingat
bagaimana awal kami bertemu. Aku yang hampir menabraknya 2 kali dalam sehari.
Reaksinya waktu itu. Berdiri didepan mobilku dengan wajah pucat dan kaki
gemetar. Sadar kalau dia nyaris kehilangan nyawa. Aku yang tadinya kesal mampus
justru malah berbalik kasihan. Tapi bagaimanapun juga, karena gusar luar biasa,
dahi yang terluka dan penyoknya mobilku, aku berniat untuk memberinya
pelajaran. Karena itu aku pura-pura menuntut ganti rugi. Semula kupikir aku
akan mendengar rengekan cengengnya, permintaan agar aku menaruh belas kasihan
padanya. Siapa sangka, dengan gagah berani dia datang ke rumah dengan sejumlah
uang. Dan hanya meminta perpanjangan waktu. Aku tentu saja tak bisa membuatnya
lepas dari hukuman yang aku rencanakan. Karena itu aku merekrutnya untuk ikut
bekerja di Panti. Aku berniat membuatnya kerja keras. Membuatnya melemah dan
pada akhirnya memohon padaku. Tapi lagi-lagi Regha mengejutkanku.
Dengan tabahnya dia
menjalankan semua hal yang kutugaskan padanya tanpa mengeluh. Bahkan saat aku
bolak balik membentak dan menekannya. Dia melakukan semuanya tanpa ada
sekalipun kata lelah dia ucapkan. Tapi tentu saja, sikap cerobohnya itu masih
saja tak bisa lepas. Seakan-akan dia justru member alasan bagiku untuk terus
memarahi dan membentaknya. Tapi Regha terus maju dan mengerjakan tugasnya
hingga sempurna, sesuai yang aku inginkan.
Pernah beberapa kali
dia ku tinggal dan ku minta salah satu pegawai panti mengawasinya. Regha tidak
sekalipun menunjukkan penurunan dalam kinerjanya. Dia masih menggunakan
standart yang aku kerjakan, bahkan saat aku tak ada. Dia menunjukkan
keseriusannya dalam memegang tanggung jawab yang diberikan padanya.
Lalu ada saat aku
melarikan diri, ikut ke kampung halamannya. Dan kembali aku mendapatkan
kejutan. Disana aku tidak hanya menemukan pengalaman baru, tapi juga pelajaran
berharga. Aku mendapatkan pengetahuan akan hakikat keluarga yang sesungguhnya.
Dari Regha, Agus serta Asti aku belajar bagaimana interaksi antara saudara di
Negara ini. Kultur budaya yang berbeda tidak membuatku menganggap mereka
ketinggalan zaman. Kedekatan mereka justru membuatku kagum. Bagaimana Regha
yang ceroboh dan serampangan bisa mengayomi kedua adiknya. Juga bagaimana Asti
dan Agus menghormati kakak mereka. Sikap mereka berdua padaku membuatku merasa
dihormati dan juga tersanjung. Belum lagi Mamah dan Abah. Konsep keluarga yang
mereka tunjukkan, jauh berbeda dengan sikap keluarga yang ada di Australia.
Mamah menunjukkan pengabdian tulusnya sebagai istri dan juga Ibu yang mengasuh
anak-anaknya. Tanpa mengeluh dia menyiapkan makan serta keperluan anggotanya,
mulai dari terbit fajar, hingga malam menjelang.
“Gosh…..!! What have
I done?” gumamku lirih. Tanpa menunggu lagi, aku segera bangkit!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar