REGHA
Ujian berlalu tanpa begitu banyak insiden. Meski aku
sudah berusaha semampuku, aku sedikit ragu akan hasil ujianku kali ini. Semoga
aja hasilnya tidak begitu mengecewakan.
Atau setidaknya, tidak membuat IP-ku turun. Begitu banyak hal, selain
ujian yang menyita perhatianku semester ini. Keluargaku, Mas Rizky dan juga
Zaki. Semester ini benar-benar semester yang mengejutkan dan penuh dengan
berbagai peristiwa yang banyak mempengaruhiku.
Keluargaku banyak mendapat ujian beberapa waktu terakhir. Rusaknya rumah dan sawah kami karena badai waktu itu. Hingga kecelakaan yang menimpa Abah dan Agus.
Ada juga Mas Rizky dan pengakuannya yang
mengejutkanku. Tentu saja aku tak bisa membalasnya. Terkadang aku merasa kalau
aku telah memperlakukannya dengan tidak adil. Pertemuan terakhir kami kemarin,
kukira akan berlangsung canggung dan tak menyenangkan. Karena ulah Zaki dan karena
aku mengembalikan uang yang dulu pernah ia berikan padaku. Yang mengejutkan,
Mas Rizky bersikap tenang seperti biasanya. Tak ada riak yang kupikir akan
muncul. Mas Rizky semula ingin menolak, karena dia memberikan uang itu padaku.
Bukan meminjamkannya. Tapi aku memaksa. Mas Rizky akhirnya mau menerima. Kami
kemudian mengobrol seperti biasanya. Tapi jelas, masing-masing dari kami seakan
kompak dalam satu hal. Kami berdua mencoba untuk tidak menyebutkan nama Zaki
dalam pembicaraan kami. Meski mau tidak mau, sesekali namanya tersebut juga.
Dan walau aku tak bisa menyukai Mas Rizky seperti yang dia inginkan, perasaan
kagumku padanya tak pernah berkurang.
Lalu kedekatan Zaki dan berkembangnya perasaanku
padanya. Hal yang bukan hanya mengagetkanku, tapi juga mengubah cara pandangku
padanya. Oke, baiklah! Kuakui pendapatku sebelumnya memang salah. Dulu bagiku,
Zaki hanya seorang megalomaniak sinting yang Bossy dan suka seenaknya.
Pandanganku memang tidak obyektif. Lebih terpengaruh oleh kekesalanku padanya.
Tapi kini............. aku melihatnya dengan mata yang berbeda.
Aku bisa melihat daya tarik yang dia miliki. Fisik
sudah jelas di atas rata-rata. Semua orang bisa langsung setuju akan hal itu.
Tubuhnya yang tinggi menjulang, terbentuk dengan kesempurnaan seorang pemuda
yang terawat baik, dan didukung oleh darahnya yang campuran. Rona kulitnya yang
berbeda dan jauh lebih terang dari kami yang pribadi, membuatnya terlihat
mencolok dan lain. Bentuk hidungnya yang lebih mancung, bibirya yang jauh lebih
tipis dan merah, juga bentuk rahangnya. Bekas cukuran yang membingkai wajah dan
atas bibirnya seperti ikut menguatkan bahwa dia hasil dari kawin silang. Belum
lagi fakta bahwa dia mapan dalam ekonomi. Pakaian yang melekat di tubuhnya juga
bukan berasal dari toko pinggir jalan. Semua aksesoris dari sepatu, ikat
pinggang hingga jam tangan yang dia pakai meneriakkan kata mahal bagi yang
melihatnya. Dan sialnya, hal itu didukung oleh pembawaannya yang jelas
menunjukkan bahwa dia memiliki kelas. Postur tubuhnya, cara dia berjalan dan
bahkan bagaimana dia diam ataupun tertawa!!!
Sigh...........
Sialan!!!! Aku benar-benar jatuh cinta padanya.
Sekarang, aku tak bisa melihatnya tanpa debaran jantung yang menggila. Dengan
melihatnya dari jauh saja, jantungku seakan-akan melakukan gerakan salto yang
membuatku kesulitan untuk bernafas. Berada di dekatnya malah semakin parah.
Tubuhku bisa panas dingin dan berkeringat. Terakhir kali kami berada begitu
dekat adalah saat kembali dari panti waktu itu. Aku hampir-hampir tak bisa
menjawab semua pertanyaan yang dia ajukan. Dia harus selalu mengulangi
pertanyaannya, minimal 2 kali sebelum membuatku mengerti. Yang membuatku
bersyukur adalah pada akhirnya dia membiarkanku sendiri dan menggumamkan
kalimat yang intinya aku sebaiknya beristirahat untuk memulihkan diri.
Zaki memberiku libur minggu berikutnya dengan alasan
bahwa aku harus konsen untuk ujianku. Dan malam minggu itu, aku kembali bertemu
dengan Mas Rizky. Kami memutuskan untuk makan-makan di warung jawa timur.
Mencari tempat yang di pojokan dan agak sepi.
"Gimana Abah dan Agus, Gha?" tanya Mas
Rizky waktu itu. Aku lalu menjelaskan dengan singkat. Mas Rizky hanya diam
mendengarkan. Sebenarnya aku sedikit agak heran, karena Mas Rizky terlihat
lebih pendiam dari biasanya. Terkesan agak menjaga jarak. Sesekali bahkan aku
melihat matanya menerawang jauh.
"Mas Rizky baik-baik saja?" tanyaku yang
akhirnya tak tahan.
Mas Rizky menolehku, tak langsung menjawab. Malah
seakan-akan lebih senang memperhatikanku saja, seperti sedang menelaah sesuatu.
Akhirnya dia cuma tersenyum dan menggelengkan kepala tanpa memberiku jawaban.
"Ada yang bisa Egha bantu Mas?" tanyaku.
"Egha gak mungkin bisa membantu," jawab
Mas Rizky pelan sembari mengaduk minumannya dengan tatapan kosong.
Aku tertohok. Ingin rasanya aku mengatakan pada Mas
Rizky bahwa aku benar-benar menyesal tak bisa membantunya jika hal itu mengenai
perasaannya padaku. Tapi aku tak bisa. Sama tak bisanya saat aku harus
mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta pada Zaki. Bayangkan saja bagaimana
reaksinya saat aku mengatakan itu. Bisa-bisa dia langsung menjauhiku dan tak
ingin mengenalku lagi.
"Egha tahu bagaimana sulitnya memahami dan
menangani persoalan yang menyangkut perasaan Mas," kataku pelan. Mas Rizky
menoleh padaku mendengarnya.
"Egha tak akan pernah tahu karena Egha lain
denganku," kata Mas Rizky, "Apa yang kurasakan dianggap aib oleh
beberapa orang dan golongan. Yang lain menganggapnya sebagai cacat. Abnormal.
Bahkan bagi mereka yang mencoba untuk toleran, hanya menganggapnya sebagai
pujian saat rasa suka kami tunjukkan padanya. Tanpa bisa ataupun mau
membalasnya. Seperti Egha. Egha mungkin bisa berempati. Tapi Egha tak akan
mungkin tahu, ataupun mengerti."
Aku menarik tanganku yang gemetar dan
menyembunyikannya di bawah meja. Dengan kepala tertunduk, aku diam
memandangi
hidanganku yang tiba-tiba terasa hambar, "Maaf, Mas," kataku pelan.
Mas Rizky menarik nafas panjang, "Sudahlah.
Bukan salah Egha. Maaf ya? Aku sedang banyak pikiran. Jadi bikin suasana gak
enak gini. Kita teruskan saja makannya," kata Mas Rizky. Kami memang
meneruskan acara makan kami. Tapi suasanya begitu menekan dan terasa sangat
berat. Kemudian aku teringat amplop yang ku bawa. Aku lalu meletakkannya di
atas meja dan menyorongkannya pada Mas Rizky yang terlihat bingung.
"Maaf Mas. Egha baru bisa mengembalikan uang
itu sekarang. Egha makasih banget Mas Rizky dulu mau membantu Egha,"
kataku.
Mas Rizky mengambil amplop itu dan melihat isinya,
"Zaki?" tanya Mas Rizky pelan.
Aku hanya mengangguk dengan kepala tertunduk.
"Ambil saja," kata Mas Rizky dan
meletakkan kembali amplop itu.
"Mas, tolong ambil. Itu uang Mas Rizky. Uang
itu tak pernah diterima dalam artian yang sebenarnya oleh Zaki. Zaki hanya
ingin memberi Egha peringatan, Mas. Uang Vivi dan Regi juga sudah dikembalikan.
Yang terjadi kemarin sebenarnya lebih karena kebodohan dan kecerobohan Egha.
Zaki sebenarnya tidak menuntut uang ganti rugi karena sudah memiliki asuransi.
Uang yang dulu Egha serahkan hanya dia simpan. Jadi, Egha minta Mas
menerimanya."
Mas Rizky kembali menghela nafas. Ekspresi wajahnya
berubah datar, dan nyaris terlihat lelah, "Baiklah. Kau sudah selesai?
Kita pulang," kata Mas Rizky dan segera bangkit mendahuluiku. Begitu
sampai di kostan, Mas Rizky langsung pamit pulang, dengan dalih ada sesuatu
yang harus dia lakukan. Terlepas itu benar atau tidak, aku merasa sangat tidak
enak.
Tapi aku tak tahu harus melakukan apa agar kami
berdua merasa lebih baik.
"Akhirnya selesai juga ya neeekk," desah
Regi saat kami kembali berkumpul di ruang redaksi.
"Emberr!! Besok udah liburan seminggu! Kalian
ada rencana?" tanya Vivi sembari meneliti artikel yang tengah digarapnya.
"Gua gak kemana-mana kayaknya Vi. Kan masih
harus kerja di tempat Bu Indri ma panti," kataku pelan.
"Ga balik Gha?" tanya Vivi heran.
Aku menggeleng, "Kemarin kan udah libur buat
ujian Vi. Jadi ga mungkin ambil libur lagi."
"Ini cuman ada kita bertiga nih? Yang laen pada
kemana sih?" tanya Regi sembari menyesap jus jeruk yang tadi dibelinya.
"Mas Angga ma Lutfi katanya mau wawancara Dosen
Inggris yang kemaren digosipin mo nikah itu," jawab Vivi tanpa mengalihkan
pandangannya dari screen tv, "Yang laen kalo ga nyari bahan di Perpus,
pasti pulang."
"Artikel jij udah jadi Nek?" tanya Regi.
"Udah. Tinggal serahin ke Mas Ang...."
"There you are!!"
Hampir bersamaan kami berdua menoleh ke arah pintu
dimana Zaki melangkah masuk. aku langsung membuka laptop yang ku pegang,
pura-pura sibuk memeriksa sesuatu.
"Aku sudah mencari kalian. Here! I got you
something," ujarnya dan meletakkan tiga buah amplop ke atas meja. Dia lalu
duduk di seberangku. Aku sedikit bersyukur karena hari ini, aku duduk diantara
Vivi dan Regi. Jadi setidaknya, Zaki tidak berada persis di sebelahku.
"Apaan nih?" tanya Vivi dan mengambil satu
amplop yang bertulis namanya. Dia membukanya dan melongo. Dari dalamnya dia
menarik keluar sebuah cek.
"Itu hak kalian atas bantuan yang
kemarin," kata Zaki ringan, "Kalian sudah berhasil membuat kesan yang
baik. Mereka terkesan oleh parcel yang kalian kerjakan. Kalau tidak keberatan,
bulan Maret akan ada salah satu penghuni panti yang berulang tahun. Dan mereka
ingin kembali menyerahkan kepada kita. If you guys interested, you get the
job!"
"Yang bener?!!" pekik Regi dan langsung
menyambar amplopnya. Dia langsing jingkrak-jingkrak kegirangan melihat jumlah yang tertera pada ceknya, "ASEEEEKK!!! Ikke bisa pake buat shopping ke
Bali!!!"
"Lo mo ke Bali Gi?" tanya Vivi.
"Ember!!! Ikke mo liburan kesana."
"Bareng siapa?"
"Sendiri," jawab Regi dengan senyum
misterius, "Ada seseorang yang harus ikke temuin disana. Udah hampir
setahun kami gak ketemu."
"Siapa?" tanyaku dengan kening berkerut.
"Ada dehh. Mawar tahu goreng ajijah ih!"
sahut Regi membuatku ngedumel pelan.
"Kalian sudah pernah ke Bali?" tanya Zaki.
Aku dan Vivi menggeleng. Hanya Regi yang mengangguk.
"Gue kesana hampir setahun kemarin. Diusahakan
setahun sekali sih. Tapi, waktunya aja yang gak pasti. Tergantung dengan
luangnya waktu dan jadwal. Jij kudu kesana Nek. Kalo buat liburan en
seneng-seneng, Bali cucok. "
"Boro-boro," gerundengku, "Mending
juga buat beli beras."
"Emang lu ga pengen Gha?" tanya Vivi
heran, "Gue pengen banget lho. Siapa sih yang ga kenal ma Bali. Bule-bule
luar aja mungkin lebih akrab ma Bali daripada Jakarta, ibukota kita."
"Pengen lah Vi. Siapa yang enggak? Semua orang
juga pada ngomongin Bali. Tapi kan gak mungkin," jawabku dengan senyum
datar.
"Jadi kalian berdua belum pernah ke Bali. Good
news! Sebagai ucapan terimakasih, aku akan membawa kalian liburan kesana
beberapa hari," celetuk Zaki membuat kami semua sontan terdiam cengo.
"A-apa?"
"Ada beberapa voucher berlibur yang tak
terpakai di rumah. Sayang sekali kalau tidak digunakan, seperti kata Regha.
Jadi, itu akan jadi bonus kalian semua. Kita berangkat besok pagi. Akan
kuberitahu jadwal penerbangannya ke Regha. Biar dia nantinya yang akan
mengabari kalian. Oh ya, Vivi, coba hubungi Jordan. Aku yakin dia akan senang
hati bergabung. Orang tuanya juga sedang ke luar negeri. Tapi, jangan katakan
apapun pada yang lain ok?" kata Zaki sembari mengerling dan bangkit, tapi
baru beberapa langkah kemudian dia berhenti, "Semua harus ikut!"
katanya singkat dan melenggang.
Hening!
Detik berikutnya, pekik teriakan Vivi dan Regi
terdengar bersahutan. Aku hanya diam memandang pintu tempat Zaki tadi melangkah
keluar.
Apa yang harus aku lakukan? batinku.
Zaki menjemputku keesokan harinya. Pesawat kami
dijadwalkan pada jam 9 pagi. Jadi kami berangkat ke bandara jam 7. Regi yang
memintanya, dengan alasan lebih baik kepagian daripada kesiangan. Aku yang tak
terbiasa bepergian, hanya membawa sebuah tas ransel berisi 2 celana dan 3 baju
ganti, beberapa celana dalam, sebuah topi yang ku pakai. Mungkin karena memang
belum pernah bepergian jauh, aku tak tahu apa saja yang harus aku persiapkan.
Terlebih lagi, ini adalah pertama kalinya aku naik pesawat. Meski sangat
antusias, aku juga sedikit takut.
Regi dan Vivi sudah menunggu kami didepan pintu.
Mataku terbuka lebar melihat Regi yang membawa satu koper besar. Koper Vivi
berukuran sedikit lebih kecil. Dan yang paling ajaib adalah melihat Regi yang
mengenakan baju safari, celana pendek, plus kaca mata item gede yang cuma cocok
dipake artis nongkrong di atas kepalanya.
"Busyet!! Koper lu gede amat Gi!" sapaku
dan mendekat.
"Iya lah. Secara, Bali. Ikke kan kudu keliatan
eksisnya."
"Isinya apaan? Ada mayat gak didalamnya?"
selorohku.
"Rumpik!! Cuman beberapa baju ganti buat
maen-maen ma clubbing. Sepatu, beberapa ikat pinggang, sunblock, dan beberapa
kosmetik laen."
"Nih banci lebih rese daripada gue yang
cewek," gerundeng Vivi yang dijawab Regi dengan juluran lidah.
"Where's Jordan?" tanya Zaki yang baru
menyusulku pada Vivi. Sama sepertiku, dia juga hanya membawa sebuah tas ransel.
Hari ini dia memakai celana pendek army yang berwarna hitam dan t-shirt putih v
neck. Dibalut sebuah jaket katun berwarna hitam. Simpel, namun toh tetep aja
kelihatan bedanya dengan aku yang masih gembel.
"Dia ada urusan. Disuruh ma ortunya. Katanya mo
nyusul aja," kata Vivi, sedikit menggerutu.
"Let's wait inside. I need to grab a
coffee," ajak Zaki dan mendahului kami.
Aku hanya mengekor di belakang mereka. Karena takut
keliatan udiknya, aku sengaja memilih berada dibelakang barisan, sembari
memperhatikan apa yang mereka lakukan. Dari mulai pemeriksaan tiket sampai
boarding. Setelah satu jam lebih menunggu, kami akhirnya masuk pesawat. Zaki
sebenarnya sempat menggerutu saat aku lebih memilih berada dibarisan belakang.
Tapi aku cuma menjawabnya dengan cengiran. Sedapat mungkin terlihat biasa dan
seperti turis karatan yang sudah bolak-balik naik pesawat.
Tapi tentu saja, mataku tetap jelalatan memandang
dan memperhatikan segalanya. Sempat nyengir gugup pada pramugari cantik yang
mengangguk dan menyapa kami.
"Kau duduk dekat jendela saja," kata Zaki
dan mempersilahkanku masuk. Aku hanya mengangguk dan sudah hendak masuk saat
Zaki menahanku, "Tasmu," kata Zaki dan menunjuk ransel yang ku bawa.
Aku sempet bengong, tapi jadi ngeh saat melihatnya
membuka kompartemen di atas tempat duduk kami. Aku menaruh tasku disana dan
kemudian duduk.
"Pertama kali naik pesawat?" tanya Zaki
pelan.
Aku tak menjawab, hanya memandangnya dengan tatapan
bertanya.
"Kau terlihat sedikit resah dan matamu tak
pernah diam. just relax, ok?" katanya pelan dan tersenyum. Aku hanya
mengangguk, tanpa menjawabnya, kemudian mengalihkan pandanganku ke luar
pesawat. Meencoba mengacuhkan suara-suara di sekitarku. Sesekali kudengar tawa
Regi dan Vivi yang duduk dibelakang kami. Saat pesawat mulai bergerak, aku
mulai sedikit dilanda kepanikan. Apalagi ketika getaran pesawat semakin kuat
dan suara derungan mesin semakin keras.
"Eat this," ujar Zaki yang mengulurkan
sebutir permen padaku, "Ini akan membantumu mengatasi sensasi tertekan
pada telinga yang mungkin akan kau rasakan," jelasnya.
Aku mengambilnya dengan cepat dan menjejalkannya ke
mulutku.
"Just relax," kata Zaki lagi. Aku
mencobanya. Tapi tetap saja tubuhku tegang. Berita-berita tentang kecelakaan
pesawat yang pernah muncul di tv, berkelebat di otakku. Data statistik memang
menunjukkan bahwa bepergian dengan pesawat lebih sedikit resiko kecelakaannya.
Tapi tetap saja ada.
"Bagaimana dengan ijin di restoran? Ada
masalah?" tanya Zaki santai.
"Nope! Kebetulan Bu Indri juga hendak libur 2
hari. Ada saudara yang sedang hajatan. Jadi tak ada masalah," jawabku.
"Look, I'm a bit curious. Restoran macam apa
sebenarnya tempatmu bekerja? Masakan Indonesia atau luar?"
Aku sedikit kaget dengan pertanyaannya. Yang aku
tahu, Zaki tidak menyukai Mas Rizky atau segala sesuatu yang berhubungan
dengannya. Dia tahu aku bekerja di rumah makan milik Ibu Mas rizky, "Well,
it's not a restaurant actually. Lebih ke rumah makan sih. Masakan Indonesia
yang sudah umum. You should come and try. Rumah makan Bu Indri sudah terkenal
di Bandung."
"Ada sambal dan lalapan?" tanya Zaki
membuatku tertawa. Ingat bahwa dia menyukai sambal pedas gara-gara masakan
Mamah.
"Banyak."
"May be I will. Kau sudah tenang? Kita sudah
mengudara," katanya dan mengerling.
Aku bengong sejenak, lalu segera berpaling melihat
keluar jendela. Dia benar! Aku bisa melihat gedung-gedung di bawah kami yang
terlihat semakin mengecil. Sumpah aneh!!! Aku tak pernah menyangka kalau
terbang bisa menciptakan ilusi singkat seakan-akan kita sendiri terbang menjauh
dari bumi seperti ini. Seakan-akan kita terbang vertikal dalam sebuah kotak.
Aku bisa merasakan getaran dan dengung mesin dalam udara di sekitar kami.
Sementara jejeran rumah dibawah menjadi terlihat seperti tumpukan rumah dalam
permainan monopoli.
"Sudah bisa melepas tanganku sekarang?"
tanya Zaki santai, namun toh bisa langsung membuat tubuhku menegang. Karena
saat aku baru sadar kalau aku telah menggenggam erat tangan kirinya sedari
tadi.
"So-sorry...!" kataku gugup sembari segera
melepasnya.
Zaki hanya tertawa kecil dan mengacak-acak rambutku,
"It's fine. Sekarang santai saja. Penerbangan ini cuma sekitar 45 menit sampai
satu jam. It'll be over before you know it."
Aku hanya mengangguk tanpa mampu memandangnya.
Berusaha menenangkan debaran jantungku yang langsung menggila dalam hitungan
detik. Aku bahkan hampir-hampi mencondongkon tubuhku, agar dia bisa lebih lama
mengusap kepalaku tadi.
Ya Allaaaahhh!! Aku benar-benar berada dalam masalah
besar!
RIZKY
Aku terbangun saat merasakan gerakan samar
disebelahku. Ferdy mencoba bangkit tapi aku kembali menahannya. Aku tak
melepaskan tanganku yang melingkar diperutnya. Ferdy tertawa kecil dan kembali
jatuh berbaring ditempat tidur, sementara aku lalu menariknya untuk lebih
mendekat. Menempelkan punggungnya ke dadaku, dan menyurukkan kepalaku dilekuk
lehernya.
"Mau kemana?" tanyaku dengan suara yang
berat karena kantuk.
"Sudah pagi lho Ky. Ga laper?" tanya Ferdy
sembari mengusap tanganku yang melingkar diperutnya.
"Laper juga. Tapi aku lebih tertarik
menghangatkan diri disini. Cihideung punya udara yang cocok untuk tidur,"
gumamku dan kembali mempererat pelukanku diperutnya. Ferdy hanya tertawa kecil
dan kemudian menarik lagi selimut untuk menutupi tubuh telanjang kami hingga ke
dagu.
Saat ini kami berada pada sebuah villa di Cihideung.
Daerah yang berada dibawah kaki dataran tinggi Lembang.
"Aku senang Dokter Stevan memberi kita libur
selama dua hari," gumam Ferdy, "Kamu gak apa-apa nggak ikut Ibu ke
acara keluarga?"
"Cuman selamatan kecil. Lagipula, Ayah juga ada
disana. Aku lebih suka disini," jawabku.
Ferdy tertawa kecil, “Tapi kita tak akan mungkin
diam dikamar sepanjang hari. Kita harus memanfaatkan kesempatan untuk menikmati
keindahan daerah ini. Aku lihat ada kebun strawberry dibawah sana. Bagaimana
kalau kita jalan-jalan dan memetik buah strawberry segar untuk malam nanti?”
Aku malah mengerang malas untuk menunjukkan
keenggananku, “Aku hanya ingin tidur sepanjang hari.”
“Kau pernah dengar kalau strawberry bagus untuk
libido pria kan?”
“Ayo berangkat!!” ujarku dan cepat bangkit diikuti
oleh tawa geli Ferdy.
Wisata taman strawberry yang ada didekat villa ini
ternyata cukup ramai dan memiliki fasilitas yang lengkap. Kavling strawberry
ini juga menyewakan kuda bagi mereka yang ingin berkeliling. Ada area bermain
untuk anak-anak, café dan juga wisata outbond. Aku yang memang sedang tidak
tertarik untuk berolah raga berat dan capek, menolak saat Ferdy menyarankan
untuk ikut wisata outbond. Aku lebih memilih berkeliling perkebunan itu,
menikmati sejuknya udara Lembang dan memetik strawberry.
Ada lima kavling kebun strawberry disini. Kami
berada di kavling dua dan sudah siap dengan keranjang. Aku dan Ferdy memegang
satu dan taruhan siapa yang nantinya paling cepat mengumpulkan buah strawberry.
Ada beberapa orang lain yang ikut bersama grup kami. Beberapa diantaranya
pasangan paro baya yang tampak begitu menikmati kebersamaan mereka.
Sialnya, Ferdy mengalahkanku dalam lomba
mengumpulkan buah. Dia berhasil mengumpulkan hampir satu kilo. Di akhir wisata
kami duduk di taman, menikmati sekeranjang kecil buah strawberry sembari
memanjakan mata akan indahnya taman bunga. Dibawah sebatang pohon besar kami
duduk melepas lelah, dibelai oleh sejuknya udara Lembang.
“Akan kau apakan sisa buah strawberry yang dimobil
nanti, Fer?” tanyaku sembari meludahkan daun buah yang ikut kukunyah tadi.
“Entahlah. Aku mungkin akan menyimpannya di kulkas
agar kau habiskan.”
“Kau ingin aku sakit perut apa?’ gerutuku kesal.
“Hei, kau kan yang ingin meningkatkan libido, bukan
aku,” cengirnya dan kembali memasukkan sebutir buah strawberry ke mulutnya.
Aku sudah hendak membalas keisengannya saat sepasang
suami istri berusia sekitar 50an yang tadi ikut tur bersama kami mendekat.
Wajah mereka yang sumringah tampak segar dan nyaris kekanakan.
“Maaf anak muda, boleh kami ikut duduk disini?”
pinta sang suami sembari menunjuk pada sisa kosong kursi panjang yang kami
duduki.
“Silahkan, Pak,” ujar Ferdy dan bergeser untuk lebih
merapat padaku.
“Terimakasih. Kenalkan, saya Suratman. Dan ini istri
saya, Ibu Utami,” ujar beliau sembari mengulurkan tangan.
Kami menyambutnya dan saling memperkenalkan diri.
Dengan keramahan yang luar biasa, sepasang suami istri itu mengajak kami
ngobrol seperti teman lama. Bapak Suratman datang kesini dengan serombongan
keluarganya. Ada dua orang anak perempuan mereka, berikut suami dan 3 orang
cucu tepatnya. Beliau menunjuk pada anak dan cucu mereka yang bermain di
kejauhan. Sementara yang lain sedang berkeliling dengan kuda.
Mereka semua datang dari Banjarmasin dan menyewa
sebuah villa tak jauh dari sana. Sebenarnya mereka berniat untuk menyewa villa
di puncak, tapi ternyata sudah penuh. Ini pertama kalinya mereka berlibur ke
Bandung. Biasanya mereka cuma ke Jakarta. Pak Suratman sebenarnya lahir di
Surabaya, tapi beliau tumbuh di Banjarmasin. Ikut orang tuanya yang hijrah
kesana.
Tak berapa lama, Bu Utami dipanggil oleh putrinya yang
sepertinya membutuhkan bantuan untuk menangani kedua anaknya.
“Kalian hanya berdua disini?” Tanya Pak Suratman
saat Bu Utami telah menjauh.
“Iya, Pak,” jawab Ferdy. Menakjubkan bagaimana dia
masih bisa menjawab dengan jelas pertanyaan Pak Suratman, meski dia masih
mengunyah buahnya.
“Dimana pacar kalian? Atau mungkin kalian sudah
berkeluarga?’
“Belum, pak,” jawabku ringan, “Tapi Ferdy sudah
bertunangan. Tapi tunangannya ada di Yogyakarta. Kebetulan Ferdy ada di Bandung
untuk coass-nya.”
“Waduhh! Jadi kalian Dokter Muda?” seru Pak Suratman
dengan nada kagum, “Menakjubkan. Begitu muda tapi telah
memiliki masa depan
yang menjanjikan. Apa yang kalian tunggu? Kenapa tidak menikah saja?” Tanya Pak
Suratman namun lebih ditujukan padaFerdy.
“Masih belum siap, Pak. Masih banyak hal dalam hidup
saya yang masih belum ditata,” elak Ferdy berdiplomasi.
“Bagaimana denganmu Rizky?”
“Belum menemukan jodohnya, Pak,” jawabku santai.
Pak Suratman tertawa mendengar jawabanku, “Khas anak
muda sekarang. Ingin bersenang-senang dulu dan memandang pernikahan seperti
sebuah penjara yang mengerikan. Kalian tahu, kalau saja aku tahu bagaimana
indah dan nikmatnya menikah sejak usia akil baligh, aku pasti sudah menikah
saat itu juga.”
Aku dan Ferdy hanya bisa nyengir untuk mengimbangi beliau.
“Kalau nunggu siap, sepertinya semua orang akan
menjawab tidak siap jika mereka ditanya Fer,” sambung Pak Suratman lagi, “Tapi
kalau aku boleh memberi saran, segeralah menikah. Sementara untuk jodoh, itu
hal yang sedikit rumit.”
“Kenapa rumit, pak?’ tanyaku iseng.
“Yaah…jodoh itu terkadang tak terduga dan
mengejutkan. Contohnya Bapak sendiri. Bapak tak ada sedikitpun pikiran kalau
nantinya Bapak akan menikah dengan Bu Utami. Dulu….Bapak jatuh cinta pada
wanita lain. Mati-matian Bapak mengejarnya. Berkorban begitu banyak. Waktu,
uang, tenaga dan bahkan mengorbankan hubungan baik bapak dengan orang tua. Ayah
dan Ibu dulu menentang hubungan kami. Tapi semakin ditentang, semakin yakin
Bapak kalau bapak, harus menikahi wanita itu. Sementara Bu Utami adalah
tetangga Bapak yang sudah sejak dulu menyukai Bapak. Hanya saja……tak pernah
terlihat. Kami tumbuh bersama dan Bapak hanya menganggapnya teman baik. Hingga
kemudian dia yang akhirnya datang saat bapak telah kehilangan segalanya…..”
Aku menatap pak Suratman yang duduk dengan mata
menerawang jauh, tenggelam dalam kenangan masa mudanya.
“Wanita yang Bapak cintai………kabur dengan pria lain.
Padahal Bapak telah habis-habisan. Tapi dia tetap meninggalkan Bapak tanpa ada
sepatah katapun. Bapak kehilangan kepercayaan keluarga, materi dan juga harga
diri. Saat hampir semua orang menjauh, Bu Utami yang mendekat dan mendampingi
Bapak. Menguatkan dan menemani Bapak dalam menghadapi semuanya. Jadi saat orang
tua Bapak meminta Bapak untuk menikahinya, Bapak setuju. Kami menikah. Dan
keluarga kami berkembang hingga kini. Dan setelah hampir 35 tahun kami menikah,
Bapak tak pernah membayangkan bagaimana hidup Bapak tanpanya.”
Kami berdua terdiam.
“Lucu kan bagaimana jodoh itu? Bapak yang tadinya
mati-matian berusaha mendapatkan wanita yang Bapak cintai, akhirnya justru
menikahi teman semasa kecil. Dan hingga detik ini, Bapak tak pernah berhenti
bersyukur telah dibuang oleh wanita itu. Karena kalau kami menikah, mungkin
Bapak tidak akan bahagia seperti sekarang. Mungkin Bapak akan terus berusaha
mati-matian menyenangkan wanita itu, tanpa memperhatikan kebahagiaan Bapak
sendiri. Kepergian wanita itu justru membawa Utami kedalam hidup Bapak. Dan setiap
hari, Bapak mensyukurinya. Lucu bagaimana mata kita begitu tertutup dan
mengejar mimpi semu yang sebenarnya tidak akan baik bagi kita. Menutup semua
keindahan dan berkah yang sebenarnya telah Tuhan siapkan disekitar kita.
Mungkin Rizky yang masih mencari jodoh harus lebih jeli melihat sekitar Rizky.
Mungkin saja cinta sejati Rizky telah ada didekat Rizky, hanya saja Rizky belum
menyadarinya. Rizky masih sibuk mengejar mimpi dan angan semu yang menipu.
Mungkin sudah waktunya bagi Rizky untuk lebih menghargai dan bersyukur dengan
apa yang Rizky miliki saat ini. Mungkin dengan begitu, Rizky akan melihat cinta
sejati didepan Rizky…”
Untuk beberapa saat lamanya, baik aku ataupun Ferdy
tak bersuara. Hanya diam mencerna dan mengendapkan kata-kata Pak Suratman.
“Mata dan pikiran manusia itu gampang sekali tertipu
dan dibelokkan anak muda. Terkadang kalian hanya perlu bersyukur dengan apa
yang kalian miliki, dan Tuhan akan membuka mata kalian atas apa yang selama ini
tertutupi oleh angan dan mimpi semu.”
“Tapi bagaimana kalau saya tidak menginginkan apa
yang saat ini saya miliki?” tanyaku tanpa dapat menahan diri,
“Bagaimana kalau
saya menginginkan hal lain?”
Pak Suratman tersenyum mendengarku, “Apa yang kita
ingin dan apa yang kita butuhkan terkadang dua hal yang berlawanan. Kalau dulu
kalian tanya, dulu Bapak menginginkan wanita itu untuk menjadi istri Bapak.
Tapi Tuhan tahu kalau Bapak membutuhkan Bu Utami untuk bisa hidup dan bahagia.
Terkadang Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Dan kalau kalian tanya, Bapak lebih memilih mendapatkan apa yang Bapak butuhkan
daripada mendapatkan apa yang Bapak inginkan,” jawab Pak Suratman.
Kembali kami berdua terbungkam.
Dan hampir sepanjang sia hari itu, percakapan antara
kami dan Pak Suratman terngiang di telingaku.
ZAKI
Kami disambut didepan hotel oleh beberapa bellboy
yang segera meraih tas kami. Aku sudah memesan empat kamar yang berjajar dengan
balkon yang menghadap ke pantai Legian. Sengaja aku memilihnya hotel XX ini
karena letaknya cukup nyaman. Keramaian pantai Kuta bisa ditempuh dengan
berjalan kaki. Begitu juga dengan Beachwalk, dimana mungkin Regi dan yang lain
bisa berbelanja. Centro juga bisa dilihat dengan mata telanjang. Berbagai club
dan diskotik juga bisa ditemukan disepanjang garis pantai. Sementara hotel ini
berada di kawasan pantai Legian yang cukup tenang bila dibandingkan dengan Kuta
yang menurutku lebih ramai dan hingar bingar. Meski biasanya aku lebih suka
berada di daerah Nusa Dua, tapi saat ingin bersenang-senang, biasanya aku juga
menginap disini. Pemiliknya adalah salah satu rekan bisnis Mommy yang selalu
memberiku akses dengan mudah. Terlebih lagi, hotel yang sebetulnya berukuran
sedang ini biasanya diperuntukkan sebagai tempat beristirahat bagi rekanan
bisnisnya. Jadi privasi dan pelayanannya cukup memuaskanku.
Regha terlihat lebih baik dari tadi. Aku bisa
melihat binar matanya yang bersemangat. Matanya tak pernah berhenti bergerak
dengan antusiasme yang besar. Aku hanya tersenyum kecil. Geli bagaimana
seesuatu yang menurutku biasa saja dan tak bermakna, terkesan sangat wah dan
menakjubkan dari ekspresinya. Antusiasmenya sedikit menular padaku.
"Tolong taruh di dalam saja," kataku pada
bellboy yang mengantarku dan meneruskan langkahku untuk mengikuti Regha. Aku
khawatir dia akan bersikap aneh pada bellboy yang mengantarnya.
"Ini kamar anda," kata bellboy yang
mengantar Regha.
"You can go," kataku padanya sembari
mengulurkan tanganku untuk mengambil kartu kunci dari tangannya. Bellboy itu
hanya mengangguk dan memberikannya padaku. Regha hanya bengong melihat. Aku
menunggu bellboy itu pergi sebelum menunjukkan pada Regha, bagaimana dia bisa
menggunakan kartu itu.
"Ini kamarmu," kataku dan masuk. Sekali
lagi tersenyum melihat ekspresi wajah Regha. Tampak begitu takjub dan nyaris
kekanakan, "Ini kamar tidur. Dan kamar mandi disitu. Ada water heater dan
bath tub, juga shower. Mau kutunjukkan caranya?" tawarku.
Regha hanya mengangguk dengan muka tersipu. Aku
hanya tertawa kecil dan ke kamar mandi untuk menunjukkan caranya. Banyak kran
dan tombol yang mungkin tidak dia pahami. Jadi aku memberinya tour singkat.
"Handuk ada di laci itu. Juga beberapa
keperluan mandi. Telepon saja room service kalau kau memerlukan sesuatu,"
kataku dan keluar, "Oh ya, itu balkon yang bisa kau gunakan untuk
bersantai. Balkon ini langsung menghadap pantai," jelasku dan membuka
pintu menuju balkon.
"Whoooaaaa....."
Aku hanya tersenyum dan melihat keluar, ke arah
pantai dimana beberapa orang turis sedang berjemur di bawah payun-payung besar.
Beberapa bahkan sedang berselancar. Hanya sedikit yang berlalu-lalang di
pinggir pantai, "It's a private part of the beach. Jadi kau bisa tenang
menikmati pantai atau sekedar berjemur. Don't be afraid to get naked."
Regha tak menyahut, hanya menggerutu pelan. Aku
hanya tersenyum menanggapinya dan kembali melihat pantai. Dan entah kenapa,
kilauan air dikejauhan dan keberadaan Regha membuatku teringat suasana sore di
Majalengka. Ketika aku begitu terpesona oleh keajaiban sunset di pingir sungai
itu. Membuatku berpikir, apakah keajaiban alam it bisa kembali
kurasa disini,
bersama dengan Regha.
"NEEEKKKK!!! Kita mo jalan-jalan ke
pantai!!!"
Teriakan keras Regi membuatku sedikit kaget.
Lamunanku seketika buyar dan tanpa sadar menghela nafas panjang. Apa yang
sebenarnya terjadi? pikirku tak habis mengerti. Kenapa hampir setiap saat aku
seperti berjalan dalam lamunan seperti ini? Konyol. Bagaimana bisa ak
membandingkan sunset di pantai Kuta dan Legian dengan Majalengka.
"........ki..."
Aku mengerjapkan mata, melihat Regi dan Vivi yang
berada didepanku dengan bingung, "So-sorry. What?" tanyaku. Aku
bahkan tak mengerti apa yang mereka katakan tadi.
"I said, aku mau jalan-jalan dulu bareng yang
lain. Sayang sekali kalo kita diam saja. Atau kau punya rencana yang lain untuk
kita?" tanya Regi.
"No! You guys do anything you like. Kita bikin
rencana bersama nanti," jawabku cepat.
"Kamu nggak bareng kita aja?" tawar Vivi.
Aku menggeleng, "Kalian jalan saja. Aku ingin
santai sebentar. But what about lunch? Kalian nggak makan siang dulu? Kita bisa
cari restoran," tawarku.
"Rencananya kita mo makan di Mc.D aja. Dekat
Hard Rock. Regi ilang dia mau ke Kartika buat nyari baju," jawab Vivi
sembari memakai topi pantailebarnya.
"Okay. You have fun. Aku akan meminta sebuah
mobil untuk kalian gunakan," kataku.
"No!! You don't have to!" cegah Regi,
"Kami akan jalan kaki. Sayang dong kalo kita ngelewatin pemandangan keren
dan turis-turis telanjang sepanjan pantai, em?" cetus Regi.
"Tapi........... hari ini cukup panas,"
ujarku dengan kening berkerut, "Kau tak apa-apa?" tanyaku pada Regha
yang sedari tadi hanya diam. Dia hanya mengangguk dengan gerakan samar.
"Don't worry about us!" tukas Regi dan
melangkah keluar diikuti oleh Vivi dan Regha.
"Fine! Kau bawa topimu kan?" tanyaku lagi
pada Regha. Kembali dia mengangguk dan mengambil topi dari tas ranselnya.
Sepertinya dia membawa sedikit sekali didalamnya. Aku hanya menghela nafas dan
meraih kacamata hitam yang ada disakuku, "Use it! Ini akan melindungi
matamu dari matahari," kataku dan mengulurkannya pada Regha.
Sejenak dia tampak Regha, tapi kemudian dia
mengambilnya.
"You guys have fun. Aku akan menunggu
disini," kataku dan meninggalkan mereka untuk masuk ke kamarku.
REGHA
Hari itu berlalu dengan cepat. Rasanya sedikit aneh
bagaimana kami yang berada di Bandung tiba-tiba saja berkeliaran di jalanan
Kuta Bali hanya dalam hitungan jam. Dan jalan-jalan bersama Vivi dan Regi,
benar-benar menguras tenaga. Mula-mula mereka mengajakku berjalan di sepanjang
garis pantai Legian dan Kuta, di tengah-tengah hari yang panas dan cukup
menyengat. Sesekali mereka mengomentari beberapa turis yang kami lewati.
Meski semula aku merasa kalau kegiatan seperti ini
lebih pantas bila hanya dilakukan oleh Regi dan Vivi, tapi lama-lama aku juga
ikut tertawa oleh komentar-komentar usil mereka. Aku yang semula risih dan
merasa kalau gosip-menggosip sangat tabu untuk cowok akhirnya menyerah dan ikut
tertawa lepas bersama mereka. Bagaimana tidak tertawa jika kami melihat seorang
turis cewek yang super gede, dengan pede-nya menggunakan swimsuit two piece
sembari pose ngangkang dibawah mentari Kuta. Regi dengan isengnya mengambil
gambar foto turis itu, posting di twitter-nya sembari memberi komentar 'paus
terdampar'.
Vivi dengan iseng ikutan mengambil foto seorang
turis yang berbicara dengan bahasa Itali dan memberinya judul, mutasi Yetti,
hanya karena hampir seluruh tubuh bapak-bapak itu ditumbuhi bulu. Sesekali
mereka berdua bengong kalo ada bule berondong lewat. Apa lagi kalau tuh cowok
telanjang dada dengan boxer basah yang mencetak dengan jelas 'bungkusan' yang
dia bawa, plus bawa papan surfing. Vivi dan Regi nggak ragu-ragu untuk berhenti
melangkah dengan mata melotot lebar sembari mulut nganga ala kuda nil. Sempet
sampai ada seorang bule berambut pirang yang sadar mereka pandangi, balas
memandang keduanya dengan sebelah alis terangkat. Tanpa malu-malu keduanya cuma
nyengir dan melambaikan tangan.
Aku buru-buru ngacir . Ogah kalo disangka satu
komplotan dengan dua manusia durjana itu!
Tapi............. aku tak bisa menepis rasa aneh
yang tiba-tiba bergolak dalam benakku. Jujur, beberapa cowok yang kami lewati
boleh dibilang seksi. Aku bisa melihat daya tarik mereka sebagai seorang cowok.
Tubuh yang kekar dan dada yang bidang. Beberapa diantara mereka bebulu. Wajah
bule mereka juga cukup menarik. Buktinya, Vivi dan Regi ngeces hebat beberapa
kali. Tapi hanya itu....
Aku bisa mengapresiasi daya tarik yang mereka
miliki. Tapi tidak lebih dari itu. Aku tak merasakan gelenyar aneh yang ada
dipeutku saat melihat tubuh mereka yang nyaris telanjang. Tak ada hasrat
berlebih, atau reaksi aneh pada tubuhku. Tak ada keringat dingin, gugup ataupun
salah tingkah. Bagiku mereka hanya sosok yang menarik. Hanya itu....
Dan itu menggangguku!
Kalau memang aku gay, kenapa aku tak bisa..........
bernafsu. Berhasrat! Merasakan gairah dan ketertarikan seperti yang Regi
tunjukkan. Malah jujur, aku lebih 'tegang' melihat beberapa turis cewek yang
tanpa sungkan-sungkan memerkan bagian atas tubuh mereka. Tapi................
kenapa tubuhku bereaksi lain pada Zaki?! Janggal rasanya kalau hanya pada Zaki
aku bisa seperti itu kan? Jadi...... apa penjelasan yang sebenarnya?
Karena tak mampu menemukan jawaban yang bisa
memuaskan, aku mengutarakan hal itu pada Vivi dan Regi.
"Jadi.......... ada kemungkinan kalau gue bukan
gay kan?" tukasku saat kami makan siang di Mc.D Kuta. Sengaja kami memilih
tempat duduk di sudut sehingga kami bisa mendapatkan sedikit privasi,
"Kalau memang gue gay, gue harusnya merasakan............. ketertarikan,
hasrat.."
"Secara seksual?" potong Regi dengan
sebelah alis terangkat dan senyum gelinya.
Meski bergidik, aku mengangguk untuk membenarkannya,
"Ya, secara seksual. Lo liat sendiri kan? Beberapa cowok yang kita lewatin
tadi menarik, seksi. Hell, sangat seksi malah. Tapi gua gak bisa ngerasain
apapun. Gua gak............ tertarik."
"Sama sekali?" tanya Vivi.
"Sama sekali! Jujur, gue justru lebih tertarik
ma beberapa cewek berdada super tadi!"
"Pervert!" umpat Vivi dongkol.
"Intinya adalah, mungkin saja apa yang gue
rasain ke Zaki, bukanlah cinta. Mungkin aja gue cuma.............. kagum. Kagum
dan mungkin............ merasa berhutang budi atas semua yang udah dia lakuin
buat gue. Iya kan? Ini. gak berarti cinta. Munkin gue cuma ...... salah dalam
memahami apa yang gue rasain ke dia."
"Honey, lo bisa mencari dalih sebanyak apapun
yang lo bisa. Tapi lo gak bakal bisa mengingkari kebenarannya," komentar
Regi santai.
"Kebenaran apa?"
"Bahwa jij mencintai Zaki!" jawab Regi
kalem.
"Tapi gue gak......."
"Ngaceng ngeliat bule berondong yang nyaris
telanjang di depan mata lo. Ya, ya! Gue udah denger lo ngulang kalimat tadi
beberapa kali. Dan gue gak budek. Jadi jangan khawatir," potong Regi cuek.
Aku menelan ludah dan menoleh ke samping kiri kanan
kami, khawatir ada orang yang mendengar komentar Regi tadi. Tuh
banci enteng
aja bilang ngaceng di tempat umum gini. Untungnya, tak ada satupun dari
orang-orang itu melirik kami dengan tatapan curiga. Mereka semua tampak sibuk
dengan apapun yang mereka kerjakan sendiri.
"Bisa lebih pelan dikit kan?" gerundengku
kesal.
Regi hanya memutar bola matanya dengan eekspresi
bosan, "Ikke bener-bener kagum ma kekeras kepalaan lo! Baru beberapa hari
kemaren lo ngakuin kalo lo jatuh cinta ma Zaki. Ini udah ganti lagi. Besok
apa?"
"Gue..."
"No! Lo denger gue!!" potong Regi dengan
nada dingin, "Lo bisa mencari seribu alasan apapun yang bisa lo ikir pake
otak lo itu. Tapi satu hal yang jelas, dan bahkan sudah lo akui sebelumnya, LO
CINTA ZAKI!! Ya, gue tau itu mengerikan buat lo. But that's the truth. Lo boleh
menyangkalnya mati-matian. Tapi gue ma Vivi bisa melihatnya dengan jelas.
Perkara kenapa lo gak ngaceng ngeliat berondong bule telanjang, itu cuma
nunjukin kalo lo cinta ma Zaki. Hanya Zaki! Karena itu semua hal selain Zaki ga
bisa bikin lo tertarik. Dan lo mau tau apa buktinya?"
"Apa?" tanyaku sedikit ngeper.
Jarang-jarangan aku melihat sisi Regi yang dingin dan judes seperti ini. Dan
dia ternyata cukup mengintimidasi.
"Karena kalo ma Zaki, lo bisa ngaceng!"
Aku hendak membuka mulut untuk membantah. Namun
bahkan pada saat itu aku tahu kalau itu benar. Bahkan jauh sebelum ini, jauh
sebelum aku mampu mengakuinya, keberadaan Zaki secara fisik didekatku, telah
membuat tubuhku bereaksi. Masih ku ingat dengan jelas bagaimana reaksiku saat
Zaki memelukku di tepi sungai itu.
"Tapi.............. kalo gua bisa tegang karena
keberadaan seorang cowok, bukankah itu berarti gue gay?"
"Lo jatuh cinta ma Zaki, Gha. It's that simple.
Lo ga suka semua cowok. Hanya Zaki. Itu cuma bukti tambahan gimana tulusnya
perasaan cinta yang lo rasakan ke Zaki," ujar Vivi pelan.
Aku bahkan nyaris tertawa mendengarnya. Ketulusan
perasaan? Demi Tuhan! Apa kita sedang syuting sinetron sekarang?
"Cinta dan nafsu selalu ada dalam satu paket
Gha. Lo gak mungkin bisa cinta ma seseorang tanpa adanya nafsu. Tapi nafsu,
bisa berdiri sendiri tanpa cinta."
Aku menatap Vivi dengan tatapan bingung.
"Kita bicara soal cinta yang kita rasakan pada
manusia lain sebagai pasangan. Coba lo pikir, beda kan perasaan sayang yang lo
rasain sekarang ke Zaki dengan sayang lo ke sodara-sodara lo? Sesayang apapun
lo ma mereka, mustahil lo bisa terangsang ngeliat mereka telanjang. Tapi lo
mungkin akan bereaksi lain kalo Zaki yang telanjang didepan lo. Itu karena lo
ngerasain cinta ke Zaki. Dan mustahil lo bisa ngerasain cinta itu ke Zaki tanpa
ada nafsu didalamnya Bukan cinta layaknya sebuah hubungan darah. Tapi cinta
yang tumbuh dari seorang manusia kepada manusia lain. Cinta yang mengharapkan
keberadaan orang itu dalam hidup lo. Nemenin lo. Singkatnya, cinta layaknya
seorang soulmate. Tapi kalo nafsu...." Vivi menoleh ke arah Regi.
"Sementara ketertarikan yang lo rasain ke
bule-bule cewek telanjang tadi, itulah yang disebut nafsu. Apa yang lo bisa
dapetin dari itu hanya pemuasan sesaat. yang bakal langsung ilang, segera
setelah lo mencapai orgasme! Dan kalopun misalnya lo bisa tidur dengan salah
satu dari mereka, gua yakin lo gak akan mau kalo disuruh nikah en hidup dengan
mereka selamanya. Lo gak akan mau mereka terusan ngintil kemana aja lo pergi.
Tapi kalo lo cinta ma seseorang, lo gak akan pernah mau berpisah ma mereka.
Keberadaan mereka menjadi semacam kebutuhan bagi lo," lanjut Regi.
Aku diam.
"Sekarang coba pikir. Apa yang lo rasain ke
Zaki. Itu cinta atau nafsu?"
Aku kembali tak menjawab Regi.
Regi kembali tersenyum sedikit sinis, "Sudah
gue duga. Oh ya, satu hal lagi, jangan pernah masukin diri lo ke dalam golongan
tertentu. Berhentilah memberi brand ke diri lo sendiri. You are you! You are
what you are. Lo bukan golongan elit yang cuma ada segelintir di dunia ini. Lo
sama ma kita semua. Manusia!" tukasnya lagi. Kata-katanya yang tajam dan
bisa dibilang kejam membuatku sedikit terhenyak, tapi aku tak bisa
membantahnya. Jadi aku hanya bisa diam disana dengan tubuh kaku dan benak yang
nyaris kebas.