ZAKI
Aku meneliti blue
print yang diserahkan oleh arsitek yang ada didepanku dengan seksama. Aku
memang sudah menyetujui rancangan baru panti jompo cabang Bali yang akan
direnovasi awal bulan nanti. Setelah lima tahun beroperasi, kami memutuskan
untuk menambahkan beberapa fasilitas. Selain itu, ada beberapa rekan kerja baru
yang bergabung dengan kami. Jadi gedung staff juga perlu mendapatkan
penambahan.
Agus yang
merekomendasikan kontraktor yang kami sewa. Arsiteknya yang bernama Dava ini
cukup brilliant. Dia tidak hanya menambahkan gedung baru. Dia juga menambahkan
dan memperbaiki beberapa detil landscape kami yang dia bilang, masih kurang
‘Bali’. Dia ingin menggabungkan fasilitas modern kami dengan budaya asli Bali.
Bukan usul yang jelek. Apalagi dengan adanya beberapa member baru kami dari
Australia yang memang ingin panti cabang Bali ini lebih bernuansa Bali.
“Jadi berapa lama
pastinya?” tanyaku tanpa mengangkat muka.
“Maksimal 3 bulan
akan sudah selesai, Pak,” jawab Dava dengan pasti. Dia menoleh ke arah pantai
saat mendengar pekik anak kecil. Istri dan anaknya sedang bermain disana.
“Maaf kalau aku meminta
bertemu pada saat seperti ini. Aku mengganggu acara liburanmu,” kataku dengan
nada menyesal. Tapi memang hanya hari ini waktu yang kami punya. Aku dan Regha
punya banyak hal yang harus kami urus. Besok kami akan terbang ke Bandung.
“Tidak apa-apa, Pak.
Sudah tugas saya…”
Aku tersenyum,
“Still, I should say it. And…..” aku menghentikan kalimatku saat melihat Regha
yang baru masuk dari lobby hotel. Aku segera melambai padanya yang melangkah
mendekat dengan membawa beberapa bungkusan. Tadi dia pamit untuk membeli
beberapa pesanan Asti dan Agus, “Udah dapet?” tanyaku padanya yang mendekati
kami.
“Udah. Tinggal
sarung bali aja yang……”
“WAIT!!!” seruku
saat ayunan tas yang dia bawa terlalu dekat dengan meja disamping kami yang
diatasnya terdapat beberapa botol minuman bekas orang. Terlambat! Tas yang
dibawanya menyenggol benda itu dan segera saja terdengar suara gaduh saat
botol-botol itu jatuh dan pecah.
Untuk sesaat Regha
berdiri bengong dan kemudian nyengir dengan muka menyesal, “Sorry…” bisiknya
lemah. Seorang staff hotel segera mendekat dan membersihkan lokasi.
“Kapan kau akan
sembuh dari sifat cerobohmu itu?” gerutuku yang hanya dia jawab dengan juluran
lidah. Ku kira setelah hampir 7 tahun kami bersama, dia akan menjadi pribadi
lain yang lebih baik. Well, in a way, he is actually. Setidaknya cara dia
berbicara dan berpakaian sudah lebih baik. Tapi untuk beberapa hal, dia masih
Regha yang dulu.
“Guess somethings
remain the same,” selorohnya dan duduk di sebelahku.
Aku mendengus dan
melirik ke sekumpulan tas yang dia letakkan di sebelahnya, “Do you have
something for me?”
“Tadinya. Tapi
berhubung tadi kau memanggilku ceroboh, aku akan memakainya sendiri,”
selorohnya dan tersenyum santai saat mendengarku menggeram, “Kidding! Aku
menemukan kaos pantai couple yang bisa kita pakai nanti.”
Aku tersenyum meraih
tangan kanannya. Dimana cincin pertunangan kami dia pakai. Entah kenapa, aku
senang mengusap jari manisnya dimana cincin itu tersemat. Aku selalu
melakukannya dimanapun aku bisa. Kecuali saat kami berada di Bandung.
“Eeeuuhh, Zake? You
do realize we got company, right?” protesnya dengan sudut bibir dan melirik
kearah Dava.
“Dava, I want you to
meet Regha,” kataku dan memperkenalkan mereka. Regha menarik lepas tangannya
untuk bersalaman dengan Dava. Aku bisa melihat tatapan pria itu yang
menyiratkan rasa ingin tahu yang besar, “He’s my partner,” jelasku lagi.
Lagi-lagi dia
tercenung dan hanya mengangguk.
“Kau………..tidak
bermasalah meski harus bekerja untuk kami yang gay bukan?” tanyaku langsung.
Kalau memang dia keberatan, aku akan langsung mencari perusahaan lain.
“Oh, tidak!”
sahutnya cepat dan menawarkan senyumnya yang terlihat sedikit gugup, “Kehidupan
pribadi Bapak tidak ada sangkut pautnya dengan bisnis kita.”
Aku tersenyum untuk
menenangkannya.
“Maaf, tapi sudah
lama anda bersama?” tanya Dava lagi.
“Sekitar tujuh
tahun. Kami akan menikah di Australia minggu depan,” kataku lugas. Keterus
teranganku bukan hanya membuat Dava tertegun, tapi juga mengejutkan Regha. Dia
menatapku kaget. Selama ini, kami berdua sudah setuju untuk menyembunyikan
apapun urusan pribadi kami dari mata masyarakat luar. Terutama mereka yang ada
di Indonesia. Aku masih harus melindungi Regha dan keluarganya.
“Ki…?” tegur Regha
mencoba memperingatkanku.
“Relax. He’s gay
too. Or at least, he was karena dia sudah menikah dan memiliki anak,” kataku
sembari menunjuk keluarga Dava yang bermain dengan daguku, “Bukankah begitu,
Dava?” tanyaku santai.
“Zake!!” tegur Regha
meski matanya terbelalak dan memperhatikan Dava dengan tatapan ingin tahu.
Wajah pria didepanku berubah pucat. Tubuhnya segera kaku dan defensive.
“Kenapa…Bapak bisa
berkata seperti..”
“Kita berada kurang
dari setengah jam disini. Tapi kau sudah melihat dan memperhatikan dadaku
setidaknya 5 kali. Dan juga selakanganku for at least ten times. Lebih banyak
daripada kau melihat kearah istri dan anakmu yang sedang bermain di pantai. I’m
a businessman Dava. I read people to
win. Kau nyaris menelanjangiku dengan matamu tadi. Jadi aku membuatnya mudah
untukmu. Yes, I’m gay. But I’m not interested with you. I’m about to married.”
“Maaf, pak. Saya
tidak bermaksud untuk kurang ajar atau…”
Aku sudah mengangkat
tangan untuk menghentikannya, “Aku hanya ingin memberi sedikit preview padamu
tentang bagaimana berurusan denganku. I don’t deal with bullshit. I don’t take
crap. So don’t you dare trying.”
Ku lihat dia menelan
ludah sejenak. Bagus. Aku sudah mendapat perhatiannya sekarang. Dan dia bisa
berhenti omong kosong didepanku.
“Baik, Pak. Saya
mengerti,” ujarnya dengan nada lemah.
“Bagus! Saranku, lain
kali berhati-hatilah. Kau tentu tak ingin mereka tau,” ujarku lagi dan menunjuk
keluarganya dengan daguku.
Dava mengangguk
setelah terdiam beberapa saat lamanya, “Terimakasih, Pak. Tapi maaf, apakah
sejelas itu?” tanyanya lagi. Aku bisa menangkap sedikit ketakutannya.
“Jadi benar?” sergah
Regha yang sedari tadi diam. Aku langsung meliriknya tajam, “What? You brought
it up,” kilahnya.
Dava tersenyum
melihat kami, “Tidak apa-apa. Saya……pernah memiliki hubungan dengan seseorang
disini. Satu-satunya pria yang pernah saya pacari…”
Regha ternganga tapi
segera sadar dan menutup mulutnya, “Kita harus mengobrol setelah meeting kalian
usai. Kalau kau tidak keberatan,” ujarnya bersemangat. Akhir-akhir ini dia
memang memiliki keingintahuan yang besar akan pengalaman seseorang yang pernah
terlibat di dunia gay. Dia bahkan menjadi member di sebuah forum gay Indonesia.
Tentu saja dengan menggunakan nama samaran. Dia juga memberiku beberapa cerita
yang dimuat dalam forum itu. Sebagian bagus. Meski sebagian lain terlalu drama
bagiku.
Kebiasaannya itu dulu
sempat membuatku khawatir. Bagiku, Regha seakan-akan berusaha mencari petunjuk
dan dukungan untuk menjauh. Pertama kali, aku mengkonfrontasinya dan mengajukan
berbagai argument. Hanya karena aku takut kehilangan dia. Kami sempat
bertengkar. Salah satu pertengkaran terhebat yang pernah kami alami selama kami
bersama.
Namun Regha
mengatakan bahwa dengan mengunjungi forum itu, dia tahu, bahwa dia bukan
satu-satunya orang di Indonesia ini yang jatuh cinta dengan sesama jenis. Forum
itu membuatnya sedikit merasa lebih baik dan tidak sendiri. Tidak merasa
menjadi satu-satunya orang aneh. Aneh karena dia tidak bisa lepas dariku. Forum
itu memberinya sedikit kelegaan. Meski itu tidak mutlak.
Aku tahu kalau
selama ini dia selalu bergelut dengan dirinya sendiri. Fakta bahwa gay masih
dianggap tabu dan cacat di Negara ini selalu menjadi beban baginya. Ajaran,
adat, hukum agama dan sosial disini masih menghramkannya. Dan Regha terus
berusaha berdamai dengan satu sisi dirinya yang masih menjadi bagian Negara dan
adat disini. Satu sisi dirinya yang terluka akan pandangan mereka. Satu sisi
dirinya yang tak bisa ku obati. Menyakitkan tiap kali aku melihatnya kembali
terluka saat kami harus bersembunyi seperti pencuri. Dari masyarakat umum. Dan
yang paling menyakitinya, dari keluarganya.
Hingga kini, tak ada
seorangpun keluarganya yang tahu. Dan kami berusaha menjaganya seperti itu.
Bukan untuk kami. Tapi untuk mereka. Apalagi sejak Abah meninggal 1 tahun yang
lalu. Regha menjadi lebih sensitif dan paranoid kalau berurusan dengan
keluarganya. Aku berusaha mengikuti dan memahami. Tapi saat dia berbicara
tentang forum itu, aku ketakutan.
Aku takut dia akan
menemukan alasan untuk tidak bersamaku lagi. Alasan untuk bisa bertahan tanpaku.
Apalagi saat dia mengatkan bahwa beberapa orang di forum itu juga menikah
secara normal.
Aku meledak!
Hingga dia
mengatakan dengan jelas, bahwa dia tak akan meninggalkanku. Bahwa dia hanya
ingin mencari sedikit ketenangan.
Akupun akhirnya
mengakui dan menjelaskan akan ketakutanku padanya. Bayangan kalau dia
meninggalkanku benar-benar tak tertahankan. Selama ini, meski dia menganggapku
sebagai pihak yang selalu kuat, sedikit banyak aku bergantung padanya.
Bersama Regha, aku
menjadi sosok yang lebih baik. Bersamanya, aku selalu ingin menjadi seseorang
yang kuat, dan bisa dia andalkan. Bersamanya aku merasa kalau aku bisa
melakukan segalanya. Aku harus bisa melakukan segalanya. Bukan hanya untukku.
Tapi juga untuknya. Aku ingin menjadi orang yang bisa memecahkan dan
menghilangkan semua masalahnya. Aku ingin menjadi satu-satunya orang yang
tempatnya bersandar. Yang dia harapkan. Dan yang dia inginkan. Bersamanya,
seakan-akan tak ada limit bagiku. Bersamanya, aku kuat. Dia jangkar yang
membuatku bisa tenang. Dia mungkin mengira aku akulah pihak yang menguatkannya.
Dia tidak tahu bahwa pada kenyataannya, justru dialah yang membuatku kuat. He
make the best out of me.
Dan setelah
pertengkaran itu, setelah semua kami tumpahkan dan dia menjelaskan alasannya,
aku melamarnya. Aku meminta Regha untuk mengikat dirinya padaku dalam sebuah
janji hidup bersama. Dalam sebuah sumpah pernikahan. Sumpah yang bisa
meyakinkan dan menangkanku dari ketakutan bahwa dia berusaha lepas dariku.
Bahkan jika kami masih harus merahasiakannya di Indonesia ini. Tapi di luar
sana, jauh dari mata keluarganya, aku ingin dia memiliki ikatan permanen
denganku.
Dan dia setuju.
Akupun tenang dan
membiarkannya dengan forum itu. Aku bahkan membaca beberapa cerita yang dia
ambil dari sana. Dan dia paling suka cerita dengan tokoh straight yang entah
bagaimana, akhirnya jatuh cinta pada sesame jenis. Jadi saat dia tahu Dava
adalah salah satu contoh hidup, dia langsung antusias seperti itu.
Meski aku
membiarkannya, bukan berarti aku suka. Apalagi Dava adalah pria yang cukup
menarik. Pembawaannya yang terlihat cukup tenang dan matang menjadi ancaman
samar yang tak ku sukai. Wajahnya yang mungkin bisa dibilang jantan terlihat
bersih. Dan kalau saja dia tidak memperhatikanku dengan matanya, aku mungkin
tak akan tahu kalau dia gay. Dia benar-benar terlihat seperti lelaki normal.
“Tentu saja. Tapi
mungkin………saya harus mengantar keluarga saya pulang dulu. Karena…” Dava tampak
sedikit ragu.
“Ah ya, tentu. Tapi
berjanjilah kalau kita bisa ngobrol sembari makan atau minum nantinya. Besok
siang kami harus kembali ke Bandung. Ya kan?” tanya Regha padaku untuk
memastikan. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan singkat.
“Baiklah. Bagaimana
kalau jam 5 sore nanti saya kembali ke sini?”
“Sounds great,”
jawabku yang segera dianggukkan oleh Regha. Tak berapa lama, Dava sudah
berpamitan untuk kembali bersama keluarganya. Aku hanya mempersilahkannya dan
memperhatikannya yang berjalan menjauh dengan langkah pelannya.
“I have no idea that
he’s like us..”
“Dia masih mencintai
siapapun pria yang dulu dicintainya itu…” kataku dan bangkit sembari mengambil
beberapa barang yang Regha bawa tadi. Aku menyadarinya sekarang. Tatapan Dava
yang sedikit melamun saat melihatku dan Regha, menunjukkan hal itu. Cara dia
memperhatikan kami seakan-akan dia melihat sebuah mimpi yang dulu pernah dia
miliki. Aku mengerti kalau dia membayangkan bahwa dia sedang melihat dirinya
bersama pria yang dulu dicintainya saat melihatku dan Regha.
“Kenapa begitu?”
tanya Regha yang segera mengikutiku.
“Tatapannya saat
melihat kita nyaris seperti orang yang bermimpi. It’s like he’s not seeing us.
But seeing himself with his boyfriend. If you ask me, menurutku dia memiliki
urusan yang belum tuntas dengan mantannya. Apapun itu. He’s holding on to it,”
kataku dan masuk ke kamar kami. Kuletakkan bungkusan Regha tadi di atas tempat
tidur dan langsung menuju balkon hotel.
Aku duduk disana,
setengah berbaring di kursi malas panjang berlapis busa tebal dan empuk,
menikmati hembusan angin pantai. Dari tingkat dua ini, aku masih bisa mendengar
suara orang-orang di pantai yang terbawa angin. Malah sayup-sayup aku bisa
mendengar teriakan anak Dava yang memanggilnya dengan keras.
“Menyedihkan ya…”
ujar Regha yang menyusulku. Dia langsung saja duduk dan menyusupkan dirinya
diantara kedua kakiku. Bersandar di dadaku dengan santai dan menghela nafas.
Kupeluk perutnya, lalu memberinya ciuman sekilas di sisi keningnya.
“Salah satu alasan
lain aku bersyukur karena memilikimu…” kataku pelan.
Regha menelengkan
kepalanya sejenak untuk melihatku. Dia tersenyum dan kemudian mencium rahangku
dengan suara cipokan keras sembari tertawa kecil, “Aku juga bersyukur
memilikimu…” balasnya nyengir.
“You’re okay with
me, aren’t you?” tanyaku.
“Maksudnya?” tanya
Regha tak mengerti. Dia kembali menyandarkan kepalanya dibahuku dan memandang
ke hamparan laut dan langit diluar sana.
“Aku memintamu untuk
menikah denganku. Tapi itupun tidak bisa dibilang dalam artian yang selama ini
kau tahu. Kau masih harus menyembunyikan semuanya dari Mamah dan yang lain.
Apakah itu cukup bagimu? Have I given you enough?”
“Bukannya pertanyaan
itu seharusnya ku ajukan padamu?” tanya Regha balik setelah menghela nafas
panjang, “Aku menyembunyikanmu seakan-akan aku malu. Seakan-akan kau adalah
sebuah aib yang harus ku tutupi. Apakah itu cukup bagimu?”
“Apa kau malu
denganku?”
Dia tertawa kecil
dan meraih tangan kananku. Dia mencium telapakku dengan lembut untuk kemudian
dia usapkan dipipinya, “Sebenarnya aku ingin memamerkanmu pada semua orang. Aku
ingin meneriakkan pada semua orang bahwa kau, milikku. Aku ingin mereka semua
tahu agar tak ada lagi yang melihatmu dengan tatapan lapar. Terutama
wanita-wanita bebal yang berpikir dia bisa menjadikanmu sugar daddy mereka. I
hate them all!!” gerutunya membuatku tergelak. Masih ingat akan pertemuan
bisnisku di Singapura beberapa waktu yang lalu. Ada beberapa orang wanita yang
nyata-nyata menunjukkan ketertarikannya padaku. Salah satu dari mereka malah
membisikkan no kamar hotelnya saat kami berdansa. Regha dengan kesal mendekat,
menyela kami dan menarik tanganku.
“Aku suka saat kau
cemburu…” godaku dan kembali mencium sisi wajahnya dan memberinya sedikit
gigitan di telinga.
“Mungkin aku harus
memberi tulisan di keningmu yang berbunyi, ‘private property of Regha. BACK
OFF’ dengan tinta permanen.’
“Yeah, right. Dan
aku tidak akan terlihat konyol karenanya,” selorohku dengan nada sarkas.
Regha tak menjawab.
Dia hanya memiringkan tubuhnya. Menyurukkan wajahnya diantara leher dan bahu
kiriku, sementara tangan kanannya bergerak perlahan mengusap dadaku. Salah satu
hal yang sangat suka dilakukannya. Apalagi saat kami menjelang tidur. Meski aku
protes beberapa kali karena kadang dia juga mempermainkan puting dadaku, yang
justru membuatku sulit tertidur gara-gara geli dan malah horny.
“Maaf, aku tak bisa
berteriak keras, memberitahu semua orang yang ada di Indonesia ini, bahwa kau
milikku. Tak ada satu halpun yang membuatku malu. Kau tahu kalau hanya Mamah,
Asti dan Agus lah yang menjadi alasanku. “
“Kau tak menyesal
memilih hidup dalam ‘dosa’ ini bersamaku?” tanyaku lagi.
“Kalau ini memang
dosa, aku tak sendiri kan? Aku memilikimu bersamaku kan? You’re not gonna leave
me, are you?”
Aku meraih tangan
kanannya, menyatukan jemarinya dengan jemari tangan kiriku. Tanganku kembali
mengusap cincin yang melingkar di jari manisnya, “Not as long as I live,”
bisikku dan mencium jemarinya yang dihiasi cincin pertunangan kami itu.
Regha lalu
menegakkan dirinya. Dia menyilangkan kedua kakinya hingga kini dia menduduki
perutku. Satu tangannya terulur mengusap pipiku, “Kalau begitu sudah cukup. Itu
sudah cukup bagiku,” bisik Regha dan kemudian mencium leherku, “Kita akan
membuat dunia kecil kita sendiri dalam luasnya dunia ini. Our own world, dimana
kita bebas dari tudingan dan penghakiman manusia lain. Dimana kita hanyalah dua
orang yang hidup dalam sebuah ikatan sakral pernikahan, seperti mereka yang
menyebut diri mereka normal. Dunia kita sendiri. Kebahagiaan kita.”
Aku melingkarkan
kedua tanganku dibelakang pinggangnya, “Our own little world…” bisikku pelan.
Kalimat itu terdengar begitu magical ditelingaku. Aku suka bagaimana kalimat
tadi terucap dari lidahku, “I like that…”
Regha tersenyum, “I
do too…”
Lucunya, saat itulah
aku teringat akan Dava dan keluarganya tadi. Entah kenapa, aku membayangkan
kalau mereka sudah memilikinya. Aku ingin seperti itu. Seperti Dava memiliki
dunia sendiri. Meski aku tak menginginkan kegetiran yang dia rasakan. Tapi
dunia kecil seperti dia yang ku inginkan. Hanya saja, akan kupastikan, duniaku
akan lebih indah dan hangat. Membuatku tak mampu menahan senyumku.
“Apa?” tanya Regha
heran.
“Bagaimana
pendapatmu tentang seorang anak?”
Butuh waktu sejenak
bagi Regha untuk memahami apa yang ku katakan. Begitu dia paham, bola matanya
langsung saja membesar, “Anak?” sergahnya terperangah.
Aku mengangguk
sigap, “Anak…” ulangku mantap.
“Adopsi..?”
Aku menggeleng, “I’m
thinking about surrogate mother. Mommy pernah menyarankannya padaku. Dan kurasa
itu ide bagus. Taruhan, Mommy akan langsung berburu kandidat terbaik begitu aku
meyebutkannya,” ujarku dan nyengir.
“Surrogate mother?”
“Yes! Kita bisa
memiliki dua kalau kau mau. Satu dariku. Dan satu darimu. More if you want to.
I don’t mind 3 or 4 kids. That’s gonna
be awesome!!!”
“Me-menurutmu
ki-kita si-siap?” tanya Regha sedikit tergagap.
“Well, I am!”
jawabku. Aku lalu merangkum wajahnya, menariknya untuk mendekat dan mencium
bibirnya, “Aku ingin memiliki keluarga dalam artian yang sebenarnya denganmu.
Membesarkan anak-anak kita bersama. Growing old together. Isn’t that what a
marriage is?”
Regha masih
terperangah. Dia lalu bangkit dari tubuhku dengan wajah panik, “Ya Tuhan. Ini
nyata …. This is real…! We’re really gonna do it, aren’t we? Anak…” dia
berjalan ke kamar dan mondar mandir dengan kedua tangan menutup mulutnya.
“Regha?” panggilku
yang sudah mengikutinya ke dalam dengan cemas.
“Anak kita…”
gumamnya dia lalu berhenti dan menatapku dengan takjub.
Aku mengangguk
padanya, “Anak kita…” ulangku.
Diam sejenak. Dia
lalu berlari dan melompat kedalam pelukanku dan hampir saja membuat kami jatuh,
“Yess!!! Let’s do it!!!” bisiknya ditelingaku.
Aku tertawa bahagia.
Dan kebahagiaanku
akan segera lengkap, batinku.
REGHA
7 tahun kami
bersama, hingga akhirnya Zaki melamarku dan dengan gilanya, aku mengatakan ‘ya’
padanya. Aku tahu kalau mungkin kalian berpikir aku hilang akal. Percayalah,
untuk sesaat aku juga berpikir seperti itu. Aku tahu kalau apa yang kami miliki
ini, bagi sebagian besar orang, dianggap sebagai aib, dosa dan terkutuk. Aku
sudah begitu banyak membaca buku dari berbagai bidang sekedar untuk menenangkan
batinku. Batin yang terkadang begitu nelangsa saat melihat seorang pemuda dan
pemudi bermesraan dengan indahnya didepan orang banyak. Tak ada satupun dari
mereka yang meneriaki, mencemooh ataupun melarangnya. Tapi bila ada 2 orang
dengan jenis kelamin yang sama melakukan hal itu, lemparan batu mungkin menjadi
reaksi yang dianggap wajar.
Aku tahu juga kalau
sebagian orang berkata bahwa yang aku miliki dengan Zaki hanyalah imitasi
menyedihkan dari apa yang orang normal miliki. Bagi mereka kami hanya sepasang
manusia sinting yang menentang hukum alam. Tidak normal. An abomination!
Ada saat dimana aku
begitu marah. Marah pada mereka dan juga pada diriku sendiri. Marah kenapa
mereka begitu tega memberikan label yang mengerikan pada hubungan yang kami
miliki. All we do is loving. Kami tidak mengambil hak orang lain. Tidak
menyakiti orang lain. Tidak memaksa orang lain untuk mengikuti kami. Kami hanya
melakukan apa yang ingin kami lakukan, dalam damai. Meski terdengar begitu naïf
dan bodoh, tetapi apakah itu berlebihan?
Aku juga terkadang
memarahi diriku sendiri yang menurutku lemah. Terlalu cepat kalah dalam
mengendalikan diri dan syahwatku. Tapi demi tuhan, membayangkan untuk tidak
bersama Zaki, cukup untuk membuat tubuhku dingin mendadak, kebas dan nyaris tak
mampu bergerak. Kehadirannya memberikan efek yang begitu hebat padaku. Dan tak
ada yang bisa aku lakukan lagi. Aku tenggelam terlalu dalam padanya. Dan
setelah 7 tahun kami bersama, kami masih tak terpisahkan. Peran Zaki dalam
kehidupanku justru makin besar.
Dia batu sandaranku.
Dia yang menguatkanku. Dia yang membuatku bisa melangkah maju mengahadapi hidupku.
Tak terhitung berapa kali telah dia membantuku. Juga keluargaku.
Asti sudah lulus
berada di semester akhir sekolah kedokterannya. Selain bekerja di Panti yang
ada di Bogor, dia juga ingin meneruskan kuliahnya untuk mengambil spesialis
penyakit dalam. Boleh dibilang dia membiayai kuliah dengan gajinya sendiri.
Meski aku tahu, Zaki membantunya. Karena tak mungkin gaji Asti bisa memenuhi
semua kebutuhannya. Zaki memberinya gaji yang cukup besar dengan tugas ringan
dan malah bagus baginya. Asti langsung mendampingi Dokter Ahli di Panti. Dan
aku juga tahu kalau Dokter Ahli itu mendapat instruksi dari Zaki untuk
membimbing Asti.
Agus berada pada
tahun kedua kuliahnya. Dia mengambil Hubungan Internasional. Jurusan yang
sedikit mengagetkanku, mengingat dia yang sedikit bicara. Tapi Agus bilang,
justru karena itu dia mengambil jurusan itu. Dia juga membantu di Panti Dia
bahkan memegang tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan aku dulu. Hingga
kini, dia masih mengidolakan Zaki. Hingga kadang, Agus membuatku agak khawatir
akan kepatuhannya pada Zaki. Dia menyelesaikan tugas yang Zaki berikan dengan
sangat baik. Bahkan melampaui standart Zaki. Aku bisa melihat kebanggaan yang
terpancar dari wajahnya saat Zaki memberi pujian.
Oke..!
Aku sedikit cemburu!
Adik kandungku lebih mengagumi Zaki daripada aku, kakaknya sendiri. Sial!!
Zaki sering
menggodaku karenanya. Dia bilang kalau Agus lebih kompeten 5 kali lipat
dibandingkan aku. Zaki malah berencana untuk memberi tanggung jawab yang lebih
besar lagi, andai saja Agus sudah menyelesaikan kuliahnya. Kedekatan mereka benar-benar
membuatku jengkel dan iri!
Mamah sendiri mulai
bisa menjadi hidup barunya tanpa Abah dengan baik. Mommy (Ibu Zaki sudah lama
memintaku untuk memanggilnya begitu) banyak membantu. Karena tak ada lagi pengikat
Mamah untuk ada di Majalengka, aku membeli sebuah rumah di Bandung dan
memboyong Mamah dan yang lain untuk tinggal disana. Dengan begitu, Mamah akan
terus bisa bersama dan menjaga Asti dan Agus selama mereka kuliah. Dia tidak
akan kesepian. Plus memiliki banyak kegiatan. Belum lagi Mommy yang kini
menjadi teman dekatnya. Terkadang mereka berdua keluar melakukan kegiatan
bersama. Mommy terkadang mengenalkan
kehidupan modern pada Mamah yang sering membuatku mengernyitkan dahi dan nyaris
tak bisa membayangkannya. Seperti mengajak Mamah untuk belajar Yoga.
Tapi apapun itu,
they get along fine.
Rumah yang ada di
Majalengka kami rawatkan pada seseorang, sementara sawah dan sebagian kebun,
kami sewakan. Sesekali Mamah pulang kesana untuk melihat keadaan rumah ataupun
ziarah ke makam Abah.
Dan aku berusaha
sedapat mungkin agar kehidupan pribadiku, tidak sampai menjamah mereka. Ada
saat-saat dimana aku mengunjungi mereka sendiri, tanpa Zaki, hanya untuk
menghindari hal-hal yang tidak aku inginkan. Meski Zaki sangat membenci
momen-momen itu karena merasa dipinggirkan. Tapi akan berbahaya kalau aku
selalu pulang ke Mamah bersamanya. Jadi, meski berat, dia mencoba mengerti dan membiarkannya.
Aku tahu mungkin aku
telah bersikap tidak adil padanya. Tapi……..aku benar-benar tak ingin
mengecewakan keluargaku. Aku ingin menjaga mereka dari segala bahaya, sekecil
apapun. Terlebih lagi bahaya yang mungkin timbul karena ulahku. Dan mengingat
bagaimana pandangan orang-orang di Negara ini tentang hubungan yang ku miliki
bersama Zaki, aku memilih untuk menjauhkan mereka. Semua perbuatanku ku lakukan
atas kesadaran dan kemauanku sendiri. Tak ada hubungannya dengan mereka. Dunia
akhirat, aku yang akan menanggungnya. Aku sungguh tak sanggup membayangkan
bagaimana ekspresi wajah keluargaku, terutama Mamah kalau dia tahu.
Sejak Abah meninggal
satu tahun yang lalu, boleh dibilang, akulah imam dalam keluargaku. Akulah
pemegang tanggung jawab kehidupan mereka. Namun untunglah, aku memiliki Zaki.
Aku masih ingat bagaimana kacaunya aku pada saat Abah meninggal.
Agus yang
meneleponku kalau Abah mendadak sakit dan harus dibawa ke Rumah Sakit. Aku yang
sedang berada di Australia bersama Zaki, langsung panik dan mengajaknya pulang.
Zaki, betapa aku sangat menyayanginya, langsung saja meninggalkan apapun yang
sedang dia kerjakan sat itu. Kami terbang kembali ke Indonesia dengan pesawat
paling awal yang bisa kami temukan.
Dan saat aku baru
turun di Bandara Soekaro-Hatta, Agus meneleponku dengan suaranya yang tak jelas
karena tangis. Aku nyaris tak bisa menangkap apa yang dia katakan. Tapi aku mendengar
kalau dia mengatakan, meninggal.
Saat kami melaju
menuju Majalengka, aku benar-benar kacau. Menangis tak terkendali dan
menceracau tak jelas. Zaki yang tetap disampingku terus berusaha menenangkanku.
Dan aku hampir saja tak mendengarnya. Tapi ada kalimatnya yang serta merta
membuatku mati-matian menahan diri.
“Baby, ingat akan
Mamah, Agus dan Asti. Kamu harus kuat. Mereka membutuhkanmu. Kamu yang menjadi
pengganti Abah kini bagi mereka. Mereka akan menjadi tanggung jawabmu. You
can’t let them see you like this. They need you to be strong…” katanya.
Dan aku tahu dia
benar. Mamah dan yang lain akan membutuhkanku. Kalau aku luluh lantak seperti
ini, akan jadi bagaimana keluargaku? Aku harus kuat! Aku harus kuat untuk
mereka! pikirku waktu itu. Hingga kemudian kepanikan mulai merambatiku.
Apakah aku mungkin
bisa melakukannya? Menanggung Mamah, Asti dan Agus bukan tanggung jawab enteng.
Bagaimana aku bisa melakukannya?
Zaki sepertinya
menyadari kepanikan yang terpancar dari wajahku.
“You have me!”
bisiknya waktu itu dengan nada mantap. Dia meraih dan memelukku erat, “I swear
I’ll take care of you all. I swear I’ll do everything I can to make sure you’re
all alright. Kau tahu kalau aku tak akan meninggalkanmu sendiri kan?”
Aku kembali merengek
karenanya. Tahu bahwa aku tak akan menghadapinya sendiri.
“Menangislah hingga
kau lega. Tapi saat kita tiba disana, kau harus bisa tegar dan kuat. Kau harus
bisa menjadi sandaran mereka!”
Dan itulah yang
terjadi.
Zaki menemaniku
setiap saat. Hanya keberadaannya yang bisa membantuku. Menguatkan aku saat aku
harus merengkuh tubuh rapuh Mamah yang tersedu dalam pelukanku. Ikut
menenangkan Asti yang agak histeris melihat kedatanganku. Juga memastikan Agus
untuk makan ketika dia nyaris tak menyadarinya. Dan malam harinya, saat semua
orang telah tertidur dan aku yang tak mampu memejamkan mata, menemukan Zaki
yang duduk di beranda rumah sembari memandang ke dalam kegelapan dengan pipi
basah.
“Tuhan telah
mengambil ayah kedua yang aku miliki!” bisiknya pelan.
Kamipun menangis
bersama, lirih.
Semua itu juga
menjadi salah satu alasanku untuk mantap mengikat diriku dalam sebuah sumpah
pernikahan dengannya. Meski aku tahu mungkin, akan banyak orang yang memandang
sinis dan mencemooh kami. Bagaimana aku bisa meninggalkan seseorang yang begitu
berarti seperti dia? Bagaimana aku lebih meperdulikan omongan penuh kebencian
orang-orang yang bisanya hanya mencela dan mengutuk hubungan kami tanpa peduli
borok dan kebobrokan dirinya sendiri daripada dia?
Persetan dengan
mereka!
Aku sayang Zaki. Dan
itu sudah tidak bisa aku pungkiri. Perhatian dan pengertiannya yang begitu
besar kadang membuatku takjub. Dia mau menjalani sebuah hubungan tersembunyi
denganku. Dia rela berpura-pura didepan keluargaku. Tak sekalipun dia menuntut
ataupun mengeluh. Dia bahkan mau bergiliran denganku saat ingin mengunjungi
Mamah dan yang lain.
Aku merasa beruntung memilikinya. Dan berjanji, aku akan melakukan
apapun untuk mempertahankannya. Untuk terus berada disisinya. Bahkan jika itu
berarti aku harus menjadi bahan gunjingan. Ataupun hidup bersama dalam sebuah
kehidupan yang bagi sebagian orang adalah dosa dan terkutuk.
.
Kami baru saja
mendarat di Bandung dan meluncur menuju rumah Zaki. Besok aku baru berencana ke
rumahku. Malam ini Zaki memintaku untuk menginap ditempatnya untuk menemui
Mommy dan menyampaikan keputusan yang kami ambil kemarin.
“Undangan untuk Regi dan Nick, beserta tiket
pesawatnya sudah kau pastikan?” tanya Zaki yang mengecek catatan yang kuberikan
tadi
“Yup! Dan kau harus
tahu kalau Nick masih menyalahkanmu karena menikah lebih cepat dari dia dan
Regi kan? Dia bilang Regi masih belum terima kalau kita mendahuluinya,” ujarku
dan nyengir.
Zaki mengerang
kesal, “He’s still on that? Masa aku harus pamit dulu untuk melamarmu,”
gerutunya pelan.
“Dia bilang kalau
seharusnya kita dulu yang berangkat ke Belanda menghadiri pernikahannya. Dia
bilang kalau sebagai guru, dia tidak boleh didahului,” jelasku lagi. Masih
ingat bagaimana Regi mencak-mencak di computer saat kami memberitahunya. Dia
langsung ngamuk pada Nick yang waktu itu ada disebelahnya. Ngomel karena Nick
yang menurutnya terlalu lamban untuk melamarnya.
“Mungkin dia akan
diam kalo aku bilang bahwa kita akan mengunjunginya bulan depan,” ujar Zaki
dengan ekspresi berpikir. Kami memang berencana untuk mengunjungi Regi di
Belanda untuk sekalian bulan madu, “By the way, Vivi dan Jordan?”
“Masih di Hongkong.
Tapi mereka bilang akan segera ke Australia, satu minggu sebelum hari H,”
kataku dan menunjukkan pesan singkat yang Vivi kirimkan kemarin.
“Bagaimana dengan
Jordan jr?” tanya Zaki lagi sembari meraih ponselku. Kemarin Vivi juga mengirim
foto anak kedua mereka yang mereka beri nama Jordan juga. Putri pertama mereka
Mia sudah 5 tahun.
“Vivi bilang dia
sudah mulai tumbuh gigi.”
Zaki memandangi foto
Vividan anaknya sejenak tanpa mengatakan apapun, lalu menoleh padaku dengan
senyumnya, “I can’t wait to hold our own baby,” bisiknya pelan.
Dia meraih tanganku
dan meremasnya pelan. Aku hanya membalasnya singkat karena ada Pak Adam yang
membawa mobil. Meski Pak Adam sudah mengetahui kebenaran kami, aku masih risih
untuk bersikap intim didepannya.
Anak….
Aku cukup kaget saat
Zaki mengangkat topik itu. Meski sebenarnya, aku sangat menginginkannya. Sejak
pertama kali aku menggendong putri Vivi. Hanya saja waktu itu aku lebih merasa
sedih, karena diingatkan akan hubunganku dengan Zaki, dimana ku pikir, kami tak
akan mungkin memilikinya. Anak. Darah daging kami sendiri. Tapi
kini………….semuanya mungkin. Ada harapan bahwa kami akan memiliki keluarga kami
yang sebenarnya. Keluarga yang akan kami bina. Dunia kecil milik kami. Dunia
yang kami ciptakan dan bangun sendiri.
“Me too,” bisikku.
Dan wajah Zakipun makin bersinar mendengarnya.
Mommy menyambut kehadiran kami dengan pelukan
hangat. Dan begitu Zaki mengutarakan niat kami untuk mencari surrogate mother
saat makan malam, Mommy memekik keras dan bangkit memeluk kami. Beliau
menitikkan air mata haru dan hanya mampu terisak selama beberapa saat.
“Now it’s complete,”
bisiknya setelah bisa menguasai diri, “Aku tak akan kehilangan seorang putra.
Tapi aku mendapatan seorang putra lagi. Dan juga cucu.”
Dan begitu beliau
sadar sepenuhnya, beliau segera menyusun daftar tentang kualifikasi surrogate
mother yang cocok. Dia bahkan berencana mencarikan satu bagi masing-masing
kami. Mommy merepet tanpa henti sehingga Zaki harus memegang tangannya agar dia
sadar dan mengatakan bahwa dua orang bayi akan membuat kami kewalahan, dan
memulainya dengan 1 saja mungkin ide yang bagus.
“Lebih baik
merencanakan dari sekarang. Kalian tenang saja. Mommy yang akan urus semuanya,”
ujar beliau dan mengibaskan tangannya. Beliau segera pergi meninggalkan kami
dan langsung menuju ruang kerja. Zaki hanya tertawa kecil.
“I told you so,”
ujarnya padaku.
Malam itu, kami
banyak mengobrol di tempat tidur. Kami bahkan sudah memilih beberapa nama bagi
anak kami. Nama untuk bayi lelaki dan perempuan. Sedikit beradu argument dan
menggoda tentang bagaimana kami akan membesarkannya. Sekolah seperti apa yang
kami inginkan. Dan pembagian waktu kami dalam mengasuhnya. Meski mungkin kami
harus bersaing dalam membesarkannya dengan Mommy. Dan jauh di sudut hatiku, aku
bisa merasakan sedikit ruang hampa yang coba ku singkirkan.
Tak ada pembicaraan
sedikitpun tentang keterlibatan keluargaku.
Aku tahu kalau
menjauhkan semua hal tentang kami berdua dari keluargaku adalah permintaanku.
Zaki melakukan semuanya untukku. Tapi….tetap saja. Alangkah bahagianya jika
Mamah bersikap sama dengan Mommy tadi. Alangkah sempurnanya dunia kecil kami
nantinya.
Kau tak boleh
serakah, Gha. Kau tak mungkin memiliki semuanya, batinku. Zaki, meski tidak
mengatakannya secara langsung, bisa menyadari kegundahanku. Di akhir
pembicaraan kami, dia mencium keningku pelan dan mengatakan bahwa semuanya akan
baik-baik saja. Aku memegang kata-katanya dan meresapkannya dalam hatiku. Aku
memiliki dia kan? desahku dalam hati dan menyurukkan kepalaku di lengkung
lehernya. Mencoba mencari kedamaian dalam rengkuhan hangatnya yang biasanya
selalu menenangkanku.
Besok siangnya, aku
langsung menuju rumahku. Tapi sayangnya tak ada seorangpun disana. Aku segera
menghubungi Agus yang sedang kuliah. Dia bilang Mamah sedang ke Majalengka dari
kemarin, dan mungkin akan kembali sore ini. Akhirnya aku menutup telepon dan
menuju kampus Agus. Kampus yang sama tempat aku dulu menuntut ilmu. Tempat
dimana aku dan Zaki memulai segalanya.
Dan rasanya seperti
sebuah déjà zu. Sebuah replay tentang masa lalu yang kini terasa begitu
melankolis. Saat aku melaju melewati jalan dimana Zaki hampir menabrakku, aku
hampir tak mampu menahan tawa kecilku. Insiden itu yang merubah kami. Pot semen
besar yang dulu ditabrak oleh mobil Zaki sudah tidak ada lagi. Sudah berganti
dengan pot lain yang lebih besar.
Kampus ini telah
banyak mengalami perubahan. Namun toh aku masih bisa merasakan jejak kisah kami
yang tertinggal. Aku nyaris bisa melihat Regi dan Vivi melangkah disini,
beserta dengan keramaian mereka yang ku rindukan. Bahkan lapangan parkirnyapun
masih bisa membuatku tersenyum. Aku yang sudah menempatkan mobil keluar dan
berdiri diam dibawah kerindangan sebatang pohon. Memandang ke saentero tempat
yang bersejarah bagiku dan Zaki ini. Mungkin nanti aku akan berjalan-jalan
sejenak, pikirku.
“AA!!!”
Seruan itu sedikit
membuatku kaget. Tahu-tahu Agus sudah menubruk dan memelukku dengan erat. Aku
tertawa kecil dan membalas pelukannya. Tubuhnya yang kini jauh lebih jangkung
dan besar nyaris saja membuatku jatuh. Tapi aku masih bisa melihat sosok Agus
yang lama padanya. Dia lalu meraih dan mencium tanganku.
“GUUUSSS!! Lo
selingkuh yaaahh?!! Gua bilangin Yani lo selingkuh ma Oom-oom ntaaarr!!” seruan
itu terdengar dari ujung lapangan parkir dimana sekelompok mahasiswa sedang
berjalan menuju salah satu gedung.
“INI KAKAK GUE,
DODOOOL!!” balas Agus tak kalah kerasnya. Aku hanya menggerutu mendengar
sebutan Oom oom yang mereka gunakan.
“Kapan datang A?”
tanya Agus dan bahkan sebelum aku menjawabnya, matanya sudah jelalatan
mencari-cari di belakangku, “A Zaki mana?”
Tuh kan? Menakjubkan
bagaimana dia bisa mengingat dan menanyakan Zaki setiap kali aku pulang kesini,
“Kemarin. Zaki ada di rumahnya. Kamu masih ada kuliah?”
“Ada A. Tapi
dosennya gak masuk dan kasih tugas. Dede udah kelarin tugasnya kok.”
“Makan yuk? Si eneng
teh kamana?” ajakku dan melangkah menuju mobil.
“Teteh kan ikutan
seminar di Jakarta A. Tapi besok juga pulang. Ari oleh-oleh buat dede mana atuh
A? malah nanyain teteh. A Zaki beliin Dede apa?”
Aku menggerutu,
ingat akan bungkusan yang ada di bagasi. Sepertinya Zaki sudah terlalu memanjakan
kedua adikku. Tiap kali kami kembali dari Australia, dia selalu membelikan
berbagai oleh-oleh untuk mereka. Padahal banyak sekali hadiah dari rekan kerja
kami yang Zaki langsung kirim pada mereka. Walk in closet miliknya yang ada di
rumah kini jauh lebih lega, karena hadiah yang dulu bertumpuk, sudah memiliki
tempat penampungan. Kamar Agus dan Asti. Bahkan meski kini beberapa barangku
sudah ada didalamnya.
“Ada di bagasi,”
jawabku dan masuk ke mobil, dan kembali menggerutu saat Agus mengepalkan tangannya
ke udara, senang.
“Kita makan di
warung sunda A,” ajak Agus dan menyebutkan sebuah alamat yang tak ku ketahui.
Akhirnya aku bertukar tempat dan membiarkannya membawa mobil untukku.
“Jadi siapa Yani
tadi?’ tanyaku saat kami melaju. Aku perhatikan dia tertawa kecil gugup dengan
pipi merona, “Pacar Dede?’ tanyaku lagi.
Agus menolehku dan
nyengir, salah tingkah, “Iya A..” jawabnya malu-malu.
“Anak mana?”
“Jakarta, A.”
Aku diam dan
mengangguk. Agus kini terlihat sedikit tegang dan mulai bergerak gelisah, “Ada
yang perlu Dede ceritakan soal Yani ke Aa? Mamah udah tahu? Sudah dikenalkan?”
“Belum A…”
“Kenapa belum?”
“Masih baru A…”
jawab Agus singkat dan membelokkan mobil. Dia membawa kami ke sebuah restoran
tradisional yang memiliki beberapa saung. Restoran yang berada diluar kota itu
cukup asri dengan banyaknya pepohonan didepannya. Terkesan rindang dan sejuk.
Agus sendiri
sepertinya mencoba mengalihkan perhatianku. Dengan cepat dia mengajakku keluar
dan mengatakan bahwa dia sudah lapar. Dia bilang dia hanya sarapan nasi goreng
buatan sendiri tadi pagi. Aku menurutinya. Membiarkannya lepas sejenak. Aku
masih penasaran dengan Yani pacarnya itu. Agus bukan tipe orang yang suka
bermain. Kalau dia berpacaran dengan seseorang, dia pasti serius. Jadi, aku ingin
tahu lebih banyak.
“Kenapa belum
dikenalin ke Mamah De?” tanyaku lagi saat kami mulai menikmati makanan kami,
“Aa teh kenal pisan sama Dede. Kalo Dede gak bener-bener suka sama Yani, Dede
pasti gak akan memacarinya. Bawa atuh ke si mamah. Kenalin. Siapa tahu Mamah
seneng, terus nyuruh Dede cepet menikah. Aa juga pengen liat Dede atau si Eneng
segera nikah. Supaya cepet si Mamah punya cucu, buat nemenin di rumah. Jangan
khawatarin soal yang lain-lain. Dede jeung si Eneng nanti Aa siapin rumahnya.
Mau bangun tanah kita yang di Majalengka atau di bikin di Bandung saja? Si
Mamah teh pasti mau ikut salah satu dari kalian. Jadi Aa titip si Mamah yah?
Terus..”
“Dede gak mungkin
nikah sebelum Aa,” potong Agus membuatku terdiam.
Aku tersenyum,
“Kenapa? Takut Aa nggak laku? Dede percaya dengan mitos itu?”
Agus menggeleng
pelan.
“Nah kan? Jangan
khawatarin Aa. Kalau memang Dede mantap, segera kenalin ke Mamah. Kalau restu
sudah didapat, kita lamar dia. Kalau Aa mah gak usah ditunggu buat nikahnya.”
“Karena Aa masih
sama A Zaki?”
Kalimat itu
terlontar pelan dari bibirnya, namun aku mendengarnya seakan-akan melalui
sebuah megaphone berukuran raksasa. Begitu jelas dan nyaring. Hembusan angin di
saung yang mulanya kurasakan begitu sejuk, kini tiba-tiba saja menjadi begitu
dingin. Angin yang menyentuh lenganku terasa begitu menggigit sehingga membuat
bulu-bulu halusku berdiri.
Aku tak salah dengar
kan? pikirku panik dan menatap Agus yang tertunduk di depanku tanpa menyentuh
makanannya. Perlahan dia mengangkat wajahnya. Aku bisa melihat sorot sedih dan
penyesalan dimatanya. Sorot yang serta merta membuat sesak dadaku.
“Dede sudah lama tau
kalau Aa…..sama A Zaki,” ujarnya lagi dan kembali menundukkan kepala.
“Ba-bagaimana…” aku
berhenti sejenak untuk menormalkan suaraku yang sedikit bergetar, “…bagaimana
Dede tau?” tanyaku akhirnya. Seingatku aku selalu berhati-hati. Bahkan sangat
ekstra hati-hati jika bersama keluargaku.
“Dede dulu liat Aa
pelukan sama A Zaki. Waktu Mommy A Zaki datang ke rumah. Di sungai.”
Aku memejamkan mata.
Aku ingat saat itu. Kami hanya berdiri diam disana dengan tubuhku berada dalam
dekapan erat Zaki. Menikmati orchestra alam yang disajikan Tuhan dalam
kedekatan kami. Dan aku tak mendengar suara apapun selain suara alam dan
debaran di dada Zaki. Dan Agus melihatnya…
“Waktu itu Dede
takut. Teu ngarti oge. Dede pikir itu cuma tindakan teman dekat saja. Kebiasaan
orang bule. Tapi dengan seiringnya waktu, Dede bisa melihat bagaimana cara Aa
ngeliat A Zaki. Juga bagaimana A Zaki di sisi Aa. Cara A Zaki ngeliat Aa, mirip
dengan cara Abah ngeliat Mamah. Penuh pemujaan, sayang dan…..protektif. Dede
dulu sempat bingung A. Sempet gak ngerti. Gimana Aa dan A Zaki bisa seperti
itu?”
“Dede benci Aa?”
tanyaku dengan suara berbisik.
Agus menggeleng,
“Dede dulu cuma gak tau kudu bersikap gimana. Kalau melihat dari cara kita
dibesarkan, hukum Negara dan agama kita, Dede tau itu salah. Orang-orang bilang
itu dosa. Yang Dede tau, orang-orang selalu bilang kalau banci itu nakutin.
Suka ngerjain lalaki. Tapi Aa juga A Zaki tidak seperti itu. Aa baik. A Zaki
bahkan jauh lebih baik. Mau menolong kita yang bukan keluarganya. A Zaki banyak
membantu kita. Dede tau itu…. Jadi Dede banyak mencari tahu lewat internet dan
yang lainnya. Dede juga pernah hampir pacaran sama teman lelaki SMA Dede…”
“De….” tegurku
dengan nada protes karena kaget.
“Dede cuma ingin
ngerti A. Bagaimana bisa seorang lelaki bisa menyukai lelaki juga. Gimana Aa
bisa suka ma A Zaki. Gimana A Zaki yang nyaris sempurna bisa begitu sayang sama
Aa. Tapi Dede gak bisa. Dede gak ngerasain apa-apa dengan teman Dede itu..”
“Itu karena Dede
straight..”
Agus mengangguk,
“Dede tahu itu sekarang A. Dede tahu kalau kita diciptakan Allah dengan
berbeda. Sama seperti ada orang yang dilahirkan dengan punggung bungkuk, orang
yang dilahirkan buta atau orang yang dilahirkan dengan perbedaan lainnya. Aa
hanya berbeda dengan orang lain. Tapi Aa juga A Zaki nggak jahat. Aa juga A
Zaki orang baik yang gak pernah bikin perkara atau masalah.”
“Tapi Aa tetap salah
di mata agama…”
“Dede bukan orang
yang berhak memberi label dosa A. Dosa adalah perbuatan yang akan kita
pertanggungjawabkan pada Allah. Bukan manusia. Dede sempat ingin bicara pada Aa
untuk kembali ke ajaran agama. Tapi kemudian Dede tahu kalau Aa pasti sudah
memikirkan hal itu sebelumnya. Aa pasti sudah memiliki alasan hingga kemudian
menjalaninya. Yang selama ini Dede liat, baik Aa ataupun A Zaki adalah sosok Aa
yang baik dan bertanggung jawab. Aa memberi contoh yang baik bagi Dede. Selalu
ngingetin Dede. Memenuhi semua kebutuhan Dede. Memberi fasilitas pada Dede
untuk lebih maju. Menasehati, mengingatkan dan membimbing Dede. Nggak pernah
sekalipun Aa meminta Dede melakukan sesuatu yang menyimpang dari ajaran agama.
Itu yang membuat Dede tahu dan yakin kalau Aa ataupun A Zaki adalah orang baik.
Hanya saja …..berbeda”
Aku terpaku..
“Dan Dede juga tau
bagaimana Aa dan A Zaki berusaha sedapat mungkin menyembunyikannya semuanya
dari Mamah, Teteh dan juga Dede…”
“Aa gak ingin
memberi kalian contoh yang buruk. Aa gak ingin kalian kecewa. Terutama Mamah…”
bisikku pelan. Kali ini kubiarkan saja pipiku basah. Apa lagi yang bisa aku
lakukan? Tak ada gunanya menyangkal atau menyembunyikannya.
“Aa ingin menanggung
semuanya sendiri…”
Aku memejamkan mata
dan mengangguk, “Kalau ini adalah dosa, ini dosa Aa. Aa gak ingin kamu, eneng
dan terutama Mamah terkena efeknya. Kalau memang Aa harus menerima predikat
jelek, cukup Aa saja yang menerimanya. Tapi kamu, eneng dan Mamah tak boleh terciprati
noda itu sedikitpun. Dede dan Eneng harus hidup dengan baik. Jadi orang yang
sukses dan mampu membahagiakan Mamah dan almarhum Abah. Dede dan Eneng harus
bisa menjadi orang-orang yang terhormat. Mengangkat derajat keluarga kita…”
kataku mantap. Hal itulah yang menjadi idamanku. Keinginan terbesarku bagi
mereka.
Agus hanya memberiku
senyum sedih, “Pasti berat bagi Aa untuk memikul semuanya sendiri..”
Aku terenyuh dan
nyaris merengek didepannya. Tapi aku hanya meraih tangannya dan memegangnya
dengan erat, “Jangan memikirkan Aa, ok? Dede hanya harus belajar yang benar.
Menjalani kehidupan yang baik dan bahagia. Aa hanya titip Mamah karena Aa tak
mungkin bisa menjadi anak yang beliau harapkan. Dede dan Eneng yang harus bisa
membahagiakan Mamah, ok?”
“Teteh sudah tahu
A….”
Tubuhku jadi lemas
mendengarnya…
“Dan Mamah mungkin
juga sudah menyadarinya…”
Aku mengeluarkan
suara tercekat keras.
“Dede tidak
mengatakan apapun A. Sumpah!! Teteh menyadarinya sendiri. Teteh tak mungkin
bisa kuliah kedokteran kalau tak bisa melihatnya. Teteh juga yang memberi
wawasan pada Dede tentang apa itu gay dari kacamata medis.”
“Jadi semua sudah
tahu….” bisikku panik. Kuusap wajahku dengan kedua tangan, kalut. Ya Allah, apa
yang Mamah pikirkan selama ini kalau beliau melihatku? Anak durhaka? Pendosa?
Makhluk terkutuk?
“Dede sama sekali
tidak pernah mendiskusikan hal ini selain dengan Teteh, A. Mamah sendiri tak
pernah menyinggungnya. Tapi yang jelas, Mamah tak pernah menunjukkan kebencian
atau ketidak sukaan pada Aa ataupun A Zaki kan? Mamah masih sama peduli dan
saying seperti dulu kan? Baik ke Aa ataupun A Zaki. Kalau A Zaki berkunjung,
Mamah selalu memperlakukannya sama seperti anak sendiri..”
Aku hampir
kehilangan kendali diri mendengarnya, “Menurut Dede….Mamah tidak akan membenci
Aa? Mengutuk Aa?”
“Kasih orang tua itu
tak akan pernah berkurang A. Kasih ibu itu abadi. Mamah mungkin tak akan bisa
melafalkan restunya dengan kata-kata. Tapi sikap beliau yang selama ini tetap
sayang ke Aa menunjukkan kalau dia masih menganggap Aa anaknya.”
Selembar pertahanan
tipis yang kupertahankan putus. Disana, didepan adikku, untuk pertama kalinya
aku menangis terisak dengan hebatnya. Agus diam ditempatnya, menungguku hingga
bisa menguasai diri. Butuh waktu bagiku untuk bisa memulihkan diri. Perasaan
nelangsa, bersalah dan sedih bercampur baur sehingga sulit untuk kupahami.
Namun yang masih kusadari adalah aku masih memiliki keluargaku. Aku masih
memiliki Agus yang masih menghormatiku sebagai kakaknya. Menunjukkan dukungan
lewat sikapnya yang memang tak banyak kata. Asti yang hingga kini tak pernah
memperlakukanku berbeda dari sebelumnya. Mamah yang tak pernah sekalipun
menunjukkan ketidaksukaannya, meski kini aku tahu beliau telah menyadari
semuanya.
Aku masih beruntung
Dan aku memutuskan
untuk membuka semuanya. Ku ceritakan rencanaku dan Zaki pada Agus. Hal itu
sedikit mengagetkannya. Akhirnya dia berkata bahwa apapun yang terjadi, aku
masih kakaknya. Orang yang akan terus dia hormati dan turuti. Pengganti dari
Abah. Tapi menurutnya, setidaknya aku harus membicarakannya dengan Asti.
Perkara Mamah, mungkin akan lebih baik kalau aku membiarkannya saja.
Mengahadapi apapun itu nantinya. Insyaallah Mamah tak akan pernah berubah.
Pundakku terasa
sedikit ringan saat aku melangkah keluar dari restaurant itu. Ada sedikit beban
yang terasa hilang. Tak menunggu lama, selagi kami melaju untuk kembali ke
rumah, aku menelepon Zaki. Ku ceritakan semuanya. Aku nyaris menjatuhkan
ponselku karena aku kembali tak bisa menahan air mataku. Pada akhir ceritaku,
Zaki hanya menarik nafas dan berkata…
“Aku akan segera
kesana…”
Di rumah, aku dan
Agus mendapati Mamah telah pulang dari Majalengka. Dan adegan sedih pada hari
itu kembali terulang. Aku langsung memeluk Mamah. Bersujud dan mencium kakinya,
menyampaikan maafku berulang kali. Mamah tentu saja kaget. Tapi beliau orang yang
sudah kenyang akan asam garam dunia. Beliau hanya balas memeluk dan mencoba
menenangkanku. Kami berdua tidak pernah sedikitpun menyinggung kenapa hari ini
bisa berjalan seperti sebuah sinetron. Baik aku dan Mamah seakan-akan memiliki
kesepakatan tak terucap. Kami berdua seakan-akan mengerti akan apa yang
seharusnya kami katakan tanpa perlu melakukannya. Sambil mengusap matanya yang
basah, Mamah hanya mengatakan kalau dia akan menyiapkan sambal petei
kesukaanku. Dia sudah membawa petei segar dari Majalengka. Hasil dari kebun
kami sendiri.
Saat Zaki tiba,
Mamah menyambutnya seperti biasa. Bahkan setelah Zaki mencium punggung tangan
beliau seperti biasanya, Mamah memberinya sebuah pelukan hangat dan mengucapkan
sebuah kata yang membuat mata Zaki berkaca-kaca.
“Terimakasih…” kata
beliau pelan.
RIZKY
Waktu memang obat
dari segala luka. Seiring dengan berlalunya waktu, luka yang kita miliki akan
sembuh. Meski mungkin, kita masih bisa melihat bekasnya. Terkadang waktu juga
membuat indra perasa kita yang setiap saat terasa nyeri, berangsur-angsur
kebas. Waktu juga yang akhirnya membuat kita berkompromi dan terbiasa pada hal
yang dulunya kita benci. Waktu juga yang terkadang membuat kita mampu
menghargai apa yang telah kita miliki.
Aku tak mengatakan
kalau aku membenci hidupku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa awalnya, bukan ini
kehidupan yang sebenarnya aku inginkan. Tidak pula bermaksud mengatakan kalau
aku memiliki kehidupan yang buruk. Aku punya istri yang cantik, putri yang lucu
berusia 6 tahun, seorang putra nakal berusia 3 tahun, dan seorang putra lagi yang
akan segera menyusul. Sebuah keluarga yang menakjubkan bukan?
Aku mengakui kalau
awalnya, aku tidak mencintai Shella. Aku peduli padanya. Dia wanita yang luar
biasa. Tapi di awal pernikahan kami, ketika bangun tidur, beberapa kali aku
kaget saat melihatnya berada di sisiku, sebelum sadar kalau dia telah menjadi
istriku. Perlu waktu bagiku untuk menyesuaikan diri. Tapi kemudian,
kehadirannya mulai membuatku terbiasa. Aku mulai bisa menerimanya sebagai
bagian dari kehidupanku.
Dan kehamilannya
yang kami ketahui 7 bulan setelah pernikahan kami, disambut dengan baik oleh
keluargaku. Baik Ayah dan Ibu memperlakukan Shella seperti barang antik. Aku
yang terkadang harus menyadarkan mereka kalau Shella, juga memerlukan senam
untuk ibu hamil. Sementara aku, menjalani kehidupanku dengan datar. Jujur aku
tak pernah merasakan percikan gairah yang bisa membuatku bersemangat dalam
menjalani keseharianku. Aku menjalaninya dengan hampir otomatis.
Bangun tidur, aku
bersiap-siap kerja. Shella akan menyiapkan sarapan dan tas kerjaku. Setelah itu
dia akan menyertai, hingga aku sampai ke mobil. Aku akan mengambil tasku
darinya. Dia lalu mengambil tanganku dan mencium punggungnya. Aku akan
membalasnya dengan mencium keningnya, kemudian berpamitan. Aku bekerja hingga
sore. Pulang dari bekerja, dia pasti sudah menungguku dan menyiapkan segala
sesuatunya. Minuman, camilan ataupun makan. Tergantung moodku. Aku juga membuka
praktek di rumah hingga jam 9 malam. Ada saat-saat dimana aku juga dipanggil
mendadak ke Rumah Sakit Kota.
Aktivitas malam kami
juga berjalan dengan biasa. Shella sesekali meminta terlebih dahulu untuk
bercinta. Aku sendiri sebisa mungkin menggaulinya minimal seminggu sekali.
Dalam artian umum, tak ada kesulitan bagiku untuk membuatnya terpuaskan dalam
urusan sex. Justru aku sendiri yang cukup sulit untuk puas. Ada saat dimana
kadang aku harus berpura-pura orgasme. Tentu saja hal itu ku lakukan setelah
aku terlebih dulu aku memuaskannya.
Menyedihkan?
Mungkin saja. Aku
memang tidak lagi bercinta dengan liar dan penuh gairah seperti sebelumnya.
Tapi aku sudah memilih kehidupan ini. Dan aku akan menjalaninya. Beserta semua
pil pahit yang harus aku telan bersamanya.
Tapi saat putriku
lahir……..aku nyaris tak merasakan semua kegetiran itu.
Saat kudekap tubuh
mungilnya dipelukanku, merasakan gerakan tubuhnya…..aku hampir saja terisak
dengan memalukan. Melihat wajahnya yang kecil dan kemerahan itu, aku tahu kalau
aku tak menyesal. Dia menjadi obat dari segala kegetiran dan kepahitan yang
pernah kurasakan dalam memilih kehidupanku yang sekarang. Dia keajaiban yang
terjadi setelah semua pengorbananku. Dia ……..jadi hidupku. Dan untuk pertama
kalinya, aku merasa terlahir kembali.
Aku masih ingat
bagaimana aku mendekati Shella yang masih terbaring lemas setelah
perjuangannya. Menunjukkan makhluk kecil yang menakjubkan dalam pelukanku
padanya. Aku masih ingat bagaimana aku tersenyum dengan pipi basah padanya,
mencium keningnya yang masih berkeringat dan berbisik, “Terimakasih telah membuatku
hidup…”
Aku tak tahu apakah
Shella mengerti atau tidak kenapa aku mengatakannya. Yang jelas waktu itu dia
juga menangis dan tampak bahagia. Dia mengangguk dan entah kenapa, tersenyum
dengan helaan nafas panjang.
Kehadiran Syafira
Prameswari Rizky Putri merubah segalanya.
Aku mulai melihat
sedikit warna dalam kehidupanku. Aku mulai bisa menerima Shella sebagai
pasanganku dalam artian yang sesungguhnya. Dia tidak lagi terlihat seperti
sebuah pelengkap. Dia menjadi sebuah bagian penting yang tak terpisahkan dari
kehidupanku. Aku bisa melihat langsung kematanya tanpa harusmeyakinkan diri,
melafalkan bahwa aku memilihnya berulang kali dalam hatiku. Untuk pertama
kalinya, aku melihatnya sebagai seorang istri sepenuhnya. Istriku! Ibu dari
anakku. Dan hubungan kamipun menghangat.
Kami hidup bersama
dalam sebuah dinamika kehidupan yang mulai terasa nyata. Aku nyaris tak bisa berhenti memikirkan Shella, terlebih
Syafira sepanjang waktu. Ada saat-saat dimana kadang Shella menggoda dengan
mengeluh karena aku terlalu sering menelponnya saat sedang tugas di Rumah
Sakit. Meski aku tahu kalau sebenarnya, dia menikmati perhatianku.
Kebahagiaan Ayah dan
Ibu nyaris tak tertahankan. Aku dan Shella cukup kewalahan dan kadang merasa
bahwa kami sedang bersaing dalam membesarkan dan memanjakan Syafira. Karena itu,
saat Syafira berusia dua tahun lebih, aku meminta Shella untuk memberiku
seorang anak lagi. Dan lahirlah Revan Ferdy Rizky Putra.
Jagoan kecil yang
segera saja menjadi saingan Syafira dalam memenangkan kasih sayang kami.
Kalian mungkin
menyadari bagaimana aku menyelipkan nama Ferdy padanya. Shella yang juga menyadarinyapun
hanya mengangguk menyetujui nama yang kuberikan. Mungkin jauh dalam hatinya,
Shella juga tahu kalau kami berdua berhutang pada Ferdy.
Ferdy yang menghilang
dari kehidupan kami.
Selama hampir tujuh
tahun sejak pernikahan kami, hanya sekali aku bertemu dengan Ferdy. Itupun
tanpa sengaja. Shella waktu itu masih mengandung Revan. Usia kandungannya sudah
hampir 9 bulan. Dan nama Revan Ferdy Rizky Putra, sudah kami siapkan semenjak
shella hamil 7 bulan.
Pada saat itu aku
menghadiri sebuah seminar tentang penyakit penyakit flu yang disebarkan oleh
hewan di Jakarta. Salah satu nara sumbernya adalah seorang Dokter Muda dari
berkebangsaan Swiss. Aku cukup dibuat kagum karena ternyata, usia kami hanya
terpaut 2 tahun. Setelah symposium yang berlangsung selama beberapa jam,
beberapa orang dari peserta yang hadir berkesempatan untuk makan siang di
sebuah restoran ternama ibukota bersama Dr. Mark Quinton itu. Termasuk aku.
Dan yang mengejutkan
adalah saat dia muncul di restoran bersama dengan Ferdy yang berjalan
disebelahnya. Mark memperkenalkan Ferdy sebagai partnernya. Dan tidak
sedikitpun Ferdy menunjukkan tanda-tanda kalau dia mengenalku pada saat kami
bersalaman.
Tapi sebelum makan
siang itu berakhir, aku berhasil mencegat Ferdy yang pamit ke kamar mandi. Saat
dia keluar dari bilik kecil itu dan menemukanku menunggunya, Ferdy tak
mengatakan apapun. Dia hanya mencuci tangannya di wastafel tanpa sekalipun
melihatku.
“Kau…….baik-baik
saja, Fer?” tanyaku akhirnya.
“Baik, Ky. Kamu?”
Tanya Ferdy sembari mengambil tissue untuk mengeringkan tangannya. Nadanya
datar tanpa emosi.
“Aku baik……”
sahutku. Dia mengeringkan tangannya dengan santai dan masih menghindarkan pandangannya
dariku, “……………begitu juga Shella.”
“Syukurlah….”
Sahutnya dan beranjak pergi.
“Apa kau akan terus
pura-pura tak mengenalku?”
Pertanyaan itu
membuatnya berhenti melangkah. Ferdy perlahan berbalik untuk melihatku
langsung, “Bukankah aku sudah membalas sapaanmu tadi? Kau ingin aku mengatakan
apa lagi?”
“Tidak penting juga
kau membalas sapaanku tadi kalau kau bersikap seolah-olah kau tak mengenalku di
luar tadi.”
Ferdy menghela
nafas, “Aku hanya tak ingin membuat Mark terusik. Dia tipe orang yang lumayan
pencemburu. Akan lebih baik kalau dia tak tahu apapun tentang kita.”
“Memang apa yang
akan dia lakukan padaku?”
“Jujur aku tak tahu
dan tak ingin tahu. Aku hanya tak ingin dia mengenalmu sebagai masa laluku. Aku
tak ingin ada konflik. Itu saja..” sahutnya santai.
“Kau tak pernah
member kabar…”
“Untuk apa? Agar
kita bisa menjadi teman? Kau tahu kalau itu tak mungkin kan?”
“Benarkah? Apa
terlalu mustahil untuk itu?”
“Menurutmu?”
tanyanya balik.
“Aku ingin kita
masih berkomunikasi. Saling member kabar dan bertukar berita. Aku benar-benar
ingin berteman denganmu, Fer.”
“Aku yang tak ingin,
Ky. Kalau saja bisa, aku ingin menghapus ingatan tentang apa yang pernah ku
alami, denganmu.”
Aku diam sejenak,
terkejut dengan sakit hati yang kurasakan saat mendengarnya mengatakan itu.
Meski aku bisa memakluminya kenapa, namun toh hal itu masih membuat perasaanku
terluka, “Baik aku ataupun Shella, tak pernah melupakanmu, Fer.”
Ganti dia yang
terdiam untuk beberapa saat lamanya, “Bagaimana dia?” Tanya Ferdy akhirnya.
“Baik. Dia sehat..”
“Berapa anak yang
sudah kalian miliki?”
“Satu. Syafira. Dan
anak kedua kami akan lahir sebentar lagi..”
“Benarkah?”
“Kalau USG benar,
dia laki-laki. Kami bahkan sudah menyiapkan nama untuknya. Kau ingin tahu?”
Dia tak menjawabku,
hanya menatap dengan tatapan kosong.
“Revan Ferdy Rizky
Putra,” lanjutku lagi. Ada sedikit kilatan kulihat muncul dimata Ferdy. Hanya
sekilas, namun segera hilang hingga membuatku berpikir kalau aku hanya
membayangkannya.
“Terimakasih..” ujar
Ferdy.
“Kami berdua ingin
mengenangmu dengan itu.”
Ferdy tersenyum
tipis, “Kalian terlalu murah hati..”
“Aku
bersungguh-sungguh Fer.”
Lagi-lagi dia hanya
tersenyum, “Apa kau bahagia Ky?”
“Dengan keluargaku?
Tentu saja!”
“Baguslah kalau
begitu. Itu yang terpenting bukan? Kalau aku, seperti yang kau bilang,
sebaiknya menjadi kenangan. Memang begitulah seharusnya aku bagi kalian. Hanya
kenangan. Sampaikan salamku padanya,” ujar Ferdy dan berlalu sebelum aku bisa
menahannya. Aku masih terpaku ditempatku berdiri, terlalu kaget dengan reaksi
dinginnya.
Dan itu terakhir kali aku melihat dan
mendengarnya.
Ferdy yang tidak
pernah sekalipun memberi kabar. Benar bahwa kini, aku tak pernah lagi menoleh
ke belakang, pada duniaku yang dulu. Tapi ada saat-saat dimana aku berharap
Ferdy, masih menjadi bagian dari kehidupanku. Apalagi pada masa-masa awal aku
menikah. Aku akui ada saat dimana aku begitu mengharapkan kehadirannya untuk
bisa menenangkanku. Tapi kini, aku hanya ingin bisa bertemu dan menjalin sebuah
persahabatan dengannya. Aku bahkan mengharapkan agar kami menjadi keluarga
dalam artian harfiah. Tapi Ferdy, benar-benar menghilang.
Jadi aku jalani
kehidupanku seperti apa adanya. Mencoba mengabaikan kangen dan juga perasaan
bersalah yang terkadang menyelinap.
Hari ini aku baru
kembali dari sebuah seminar di Jakarta. Ada beberapa rekan Dokter dan mahasiswa
kedokteran yang juga ikut bersama rombongan. Menyenangkan melihat bagaimana
antusiasme mereka. Rasa-rasanya, spirit kami kembali ke masa-masa menuntut ilmu
dulu.
“Dokter Rizky ikut
bareng rombongan nanti?” tanya salah satu mahasiswi itu. Kalau tidak salah dia
dipanggil Ajeng. Salah satu calon dokter muda wanita yang bersemangat. Aku suka
akan gairah dan hasrat belajarnya yang tinggi. Dia menjejeri langkahku yang
berjalan keluar dari bandara dengan pelan.
Suitcase kecil yang baru saja dia ambil tampak sedikit merepotkannya.
Aku membetulkan handle kopernya sebentar dan menggeleng. Aku lalu melangkah
menuju gerbang keluar gedung bandara ini.
“Istriku akan
menjemput di bandara. Jadi maaf sekali,” kataku dan menunjuk keluar dengan
daguku. Ajeng nyengir.
“Sama Dok. Saya juga
nggak bisa ikut. Dijemput sodara,” tukasnya, “Oh ya Dok, bila tidak keberatan,
boleh minta nomor kontaknya? Saya suka dengan presentasi Dokter kemarin dan
mungkin saya membutuhkan sedikit bimbingan nantinya. Bila tidak merepotkan,
saya ingin bisa menanyakan beberapa hal.”
“Nomor kantor tidak
apa-apa kan?” tanyaku. Sebenarnya aku tak pernah member nomor pribadi atau
kantorku pada orang yang baru kenal. Apalagi pada mahasiswa kedokteran. Ada
beberapa dari mereka yang dengan terus terang menunjukkan ketertarikannya
padaku. Dan aku………..tidak tertarik untuk menanggapi mereka. Tapi Ajeng cukup
bisa menempatkan diri. Dia memang berusaha mendekatiku, berusaha untuk akrab,
tapi dalam konteks edukasi dan kesopanan yang menyenangkan. Jadi aku mau memberi
nomor kantor praktekku. Bahkan kini, saat kami berjalan beriringan keluar dari
pintu bandara, dia tahu kalau dia harus menjaga jarak dariku.
“Ahh, itu
kakak-kakak saya Dok,” tunjuk Ajeng dengan suara senang, “A EGHAAAAAA!! A
ZAKIIII!!!” serunya. Dan dengan kegembiraan seorang bocah, Ajeng berlari tanpa
memperdulikan kopernya menuju dua orang yang sangat ku kenal dari masa laluku.
Dua orang yang berperan dalam merubah arah kehidupanku.
Ajeng menubruk dua
orang itu dan langsung berceloteh riang. Meski ada sedikit hawa dingin aneh
yang kurasakan merambati tubuhku, aku berusaha terlihat tenang. Pelan aku
meraih handle koper kecil Ajeng dan melangkah mendekati mereka. Mata Regha yang
melihatku segera membesar, terbelalak kaget. Untuk beberapa saat lamanya dia
hanya diam dengan mulut ternganga tanpa memperdulikan ocehan Ajeng.
“Addduuuhh, maaf Dok
merepotkan,” ujar Ajeng malu-malu dan meraih kopernya dariku, “Dok, kenalin ini
kakak-kakak saya….”
“Apa kabar, Gha?”
sapaku pelan dan kemudian berpaling pada Zaki yang masih menampakkan sorot tak
sukanya padaku, seperti dulu, “Ki…” sapaku dan mengangguk padanya.
“Mas Rizky?” gumam
Regha takjub, meski keheranannya kalah dengan yang ada di wajah Ajeng. Gadis
itu bergantian memandang kami dengan mulut terbuka.
“Aku tak tahu kalau
Ajeng adalah adikmu,” kataku lagi.
“I-iya, Mas. Hanya
saja kami biasa memanggilnya Asti. Nama lengkapnya Ajeng Prasasti Widhiaryani.
Ba-bagaimana…” dia hanya menunjukku dan adiknya.
“Dokter Rizky jadi
narasumber dan pembimbing kami selama seminar A. Tapi A Egha kok….”
“Kami teman lama,”
kataku menawarkan saat baik Regha maupun Zaki tak bisa menjawab Ajeng. Aku
mungkin harus memanggilnya Asti seperti Regha, “Kami dulu sering hang out
bareng saat Regha masih kuliah. Tapi sejak lulus, kami sudah jarang kontak.
Bukan begitu?”
“I-iya,” sahut Regha
sedikit gagap dan kemudian nyengir pada Zaki, “Mas Rizky apa kabar?” tanya
Regha lagi.
“Baik, Gha. Aku…”
“PAPAAAAA!!!”
Teriakan keras yang
begitu akrab ditelingaku itu membuat kami semua berpaling. Aku terawa kecil
saat dua sosok kecil yang ku rindukan berlari dari sebelah kanan kami. Aku
berjongkok dan mengembangkan tanganku menyambut mereka yang langsung
menubrukku. Revan segera saja ngoceh bercerita tentang kakaknya yang dia bilang
tadi pagi menolak minum susu yang segera saja dibantah oleh Syafira. Dalam
beberapa detik, mereka berada dalam ajang saling adu otot dan teriak. Shella
yang mendekat dengan perutnya yang berusia 5 bulan hanya menggeleng.
“Tanya Mama, Pa! Kak
Fira tadi gak minum susunya kan Ma?” adu Revan meminta dukungan. Shella hanya
mampu menggelengkan kepala dengan kehebohan mereka.
“Fira, Revan, Papa
kan baru turun dari pesawat. Masih cape…”
Revan tak
memperdulikan Mamanya. Dia langsung melingkarkan lengan kecilnya ke leherku,
menolak untuk melepaskannya. Bahkan saat aku harus bangkit dari dudukku. Jadi
aku menggendongnya dan membiarkan Shella meraih dan mencium punggung tangan
kananku.
“Fira tadi memang
gak mau minum susunya Pa. Katanya dia udah besar, jadi gak mau minum susu
lagi,” lanjut Shella dengan senyum menggoda. Aku yang telah mencium keningnya
sekilas, melirik pada Fira yang berdiri di sebelahku dengan kepala tertunduk
dan bibir mengerucut.
“Jadi Fira sudah
gede ya?” ujarku dengan alis terangkat. Anakku itu tak mau menjawab, hanya
bergumam pelan tanpa mau mengangkat wajahnya. Aku tersenyum kecil pada Shella
yang menutup mulutnya untuk menahan tawa, hingga kemudian ingat, “Ma, kenalin.
Ini Regha, Zaki dan adik mereka, Asti.”
Shella menyalami
ketiga orang yang terlihat terpana akan keriuhan keluargaku.
“Fira, kenalin ini
temen Papa. Oom Regha dan oom Zaki, dan ini kak Asti. Dia adalah calon dokter.
Coba tanya ke Kak Asti yang sudah besar, Kak Asti masih minum susu gak?” Fira
tampak malu-malu saat mendekat dan meraih tangan mereka untuk menciumnya.
Asti segera saja
menunduk, berjongkok dan mengajak Fira berdiskusi. Aku tertawa kecil dan
kembali berpaling pada Regha dan Zaki, “Dan jagoan kecilku ini Revan, Gha. Ayo
Revan, kasih salam pada Oom Regha dan Oom Zaki,” kataku.
Regha menyunggingkan
senyum ramah dan membuka kedua tangan, mengundang Revan ke dalam gendongannya.
Revan yang biasanya menolak saat ada orang asing mendekati, kali ini membuat
pengecualian. Dia mengembangkan kedua tangannya, menyambut rengkuhan Regha. Aku
jelas sedikit terpana dibuatnya. Bahkan Shella agak membelalakkan matanya.
“Revan cakep banget
sih… Udah sekolah, sayang?” tanyanya lembut yang di jawab dengan anggukan oleh
Revan.
Aku tertawa, “Tapi
dia cukup bandel, Gha. Kemarin gurunya
bilang dia abis mukul teman sekelasnya.”
“Tapi si Beni ambil
buku Revan, Pa,” protesnya yang disambut Regha dengan tawa kecil. Dia mencubit
pipi kecil Revan lalu menciumnya. Sementara Zaki memandangi keduanya dengan
tatapan lembut. Dia menggelengkan kepala melihat Regha dan Revan yang segera
akrab.
“Dia mirip kamu Mas,”
ujar Regha dengan senyumnya. Aku hanya mengangguk. Beberapa orang memang
mengatakan hal yang sama. Aku sudah hendak mengatakan sesuatu saat Fira menarik
kain celanaku.
“Pa, Fira mo minum
susu…” rengeknya.
“Lho, katanya udah
gede, gak mau minum susu?”
Fira menggeleng,
“Kata Kak Asti, kalo Fira mo jadi Dokter kayak Papa, Fira harus minum susu.
Beliin..” rengeknya. Pemikiran polosnya yang masih mudah dipengaruhi membuat
kami semua tertawa.
“Ma… cari susu di
sekitar sini ya?” pintaku. Istriku itu hanya mengangguk dan menggandeng tangan
Fira. Asti yang tak mau ketinggalan ikut menyusul mereka. Melihat itu, Revan
yang ada dalam gendongan Regha mulai merengek untuk ikut.
“Bagaimana kalo
bareng sama Oom Zaki?’ tawar Zaki dengan suara ramahnya. Hal itu sedikit
mengejutkanku. Dan alisku makin terangkat tinggi saat Revan dengan riangnya
menyambut tangan Zaki yang terbuka. Dengan patuhnya dia melingkarkan lengan
kecilnya ke leher Zaki.
Zaki melihatku
dengan wajah yang dia angkat tinggi, “What? I’m good with kids,” selorohnya
santai dan mengangkat bahu. Dia melangkah pelan menyusul Asti dan yang lain.
Tapi baru sekitar 5 langkah kemudian, dia berbalik lagi pada kami, “Gha, I’ve
changed my mind. I’m not gonna let him win easy. Let’s just have two right
away. Yours and mine.”
“KI?!!!” tegur
Regha. Aku yang tak mengerti dengan maksud mereka hanya melihat dengan tatapan
heran. Wajah Regha terlihat memerah sementara Zaki hanya mengangkat bahu dan
kembali melangkah.
“Ada apa Gha?”
tanyaku.
“A-anu, Mas. Biasa,
si Zaki. Tau sendiri lah..,” kilahnya yang membuatku hanya menatap dengan diam.
Seperti Regha yang dulu, dia nyengir malu dan bergerak gelisah, “Euuhh, Mas
Rizky, kalau tidak keberatan, bisa kita meluangkan waktu? Egha tau Mas Rizky
cape dan mungkin ingin segera berkumpul, tapi….mumpung Mas. Kalau Mas
bersedia….”
Untuk beberapa
waktu, aku hanya menatapnya yang masih menampakkan senyum malu-malu. Dan untuk
sejenak, aku seakan kembali ke beberapa tahun ke belakang dan melihat sosok
Regha yang dulu. Orang yang pernah menjadi pusat dari semua perhatian dan
perasaanku. Orang yang membuatku buta dan bodoh, tak mampu melihat dan menerima
perasaan Rizky, yang hingga kini menghilang dari hidupku. Aku tak memiliki
dendam padanya. Akupun tak memiliki rasa benci pada orang yang berdiri
dihadapanku ini. Dan baru ku sadari kemudian, bahwa aku nyaris tak merasakan
apapun padanya kini.
Dia seperti album
lama yang telah lama tak ku lihat. Aku tahu, tak akan pernah ada lagi cerita
diantara kami. Hanya kenangan yang bahkan tak pernah ingin ku lihat lagi. Dan
apapun yang terjadi padanya, aku hanya akan melihatnya. Dia sudah tak memiliki
pengaruh padaku.
“Apa penting?”
tanyaku datar.
“Bagi Egha iya,
Mas,” ujarnya.
Aku hanya menawarkan
senyum tipis padanya dan mengangguk, lalu melangkah menuju Shella menghilang
tadi. Kutemukan mereka sudah keluar dari kedai yang menjual beberapa jenis
minuman. Revan masih saja santai dalam pelukan Zaki. Dia asyik berceloteh
dengan riangnya, seakan-akan telah lama mengenal lelaki itu.
“Ma…” panggilku pada
Shella yang segera mendekat, “Papa ada sedikit kepentingan dengan Regha. Ada
beberapa hal yang perlu kami bicarakan. Mama pulang dulu ya? Nanti Papa naik
taksi saja, ok?”
Shella tersenyum dan
menganggukan kepalanya, “Iya, Pa. Kalo bisa pulangnya nanti beliin kelapa muda
ya, Pa? Lagi pengen,” pintanya sembari mengusap perutnya. Aku hanya terawa dan
ikut mengusap gundukan perutnya. Aku lalu mengulurkan tanganku pada Revan yang
segera menyambutnya.
“Revan dan Fira
pulang bareng Mama ya? Papa ada urusan sama Oom Regha. Gak lama kok. Nanti
pulangnya Papa beliin martabak bulan langganan kita. Ga papa kan?”
“Fira juga mau, Pa…”
rengek Fira yang mendengarku.
“Iyaaa… Papa nanti
sekalian beli buat Ayah dan Ibu,” kataku dan mengusap lembut kepalanya. Mereka
berdua memang terbiasa memanggil ayah dan Ibu pada kakek neneknya. Meniruku.
“Kalo gitu Mama
pulang deh, Pa. Kopernya biar sekalian Mama yang bawa,” ujarnya dan meraih
koperku. Dia lalu melihat Zaki dan yang lain, “Mari…” pamit Shella pada Regha
dan yang lain lalu menuntun Revan yang kuturunkan.
“Revan gak boleh
lari. Jaga Mama dan Kakak yaaa?” pintaku yang segera dianggukkan oleh Revan.
Dia langsung meraih tangan kakaknya yang sudah hendak berlari. Aku tersenyum
saat mendengar Revan memarahi kakaknya.
“Guess I’d better
go. Come on, Asti,” ajak Zaki yang membuatku kembali berpaling padanya. Dia
melihat ke arah Regha, “Are you gonna be ok?”
Regha mengangguk,
“I’ll get taxi. Kamu bawa aja Asti,” ujar Regha. Zaki lalu mengangguk lalu
berpaling padaku. Dia tak mengatakan apapun, hanya mengangguk singkat, kemudian
berbalik pergi sambil membawa koper Asti. Asti berpamitan dengan cepat pada
kami dan segera mengikuti Zaki.
“Kita cari café
sekitar sini saja?” ajakku. Regha hanya mengangguk dan mengikutiku.
Aku membawanya ke
sebuah café dan langsung memesan coffee au lait. Regha yang kemudian duduk
disampingku memesan orange juice. Setelah beberapa waktu lamanya kami diam
sembari menunggu pesanan, aku sadar bagaimana Regha yang terus-terusan
melihatku.
“Apa?” tanyaku
singkat dengan alis terangkat.
“Seneng liat Mas
Rizky dengan keluarganya. Mas Rizky terlihat………….bahagia. Aku iri Mas…”
“Kalo gitu cepat
menikah, Gha,” selorohku dan nyengir. Mulanya kukira dia akan membalas
candaanku. Tapi dia justru tertunduk malu dengan pipi yang merona. Tentu saja
aku heran, hingga kemudian aku mengerti apa maksud perkataan Zaki tadi, “Kau…………….beneran
mau menikah?” tanyaku.
Dia melihatku
sebentar dan kemudian mengangguk.
“Dengan Zaki..?”
Dia kembali
mengangguk.
Tanpa sadar aku
menahan nafas, kaget. Siapa sangka? Regha yang baru mengenal dunia gay, dan
setahuku hanya berhubungan dengan Zaki-sampai sekarang sepertinya- akhirnya
memutuskan menikah dengan kekasih prianya itu. Lalu aku ingat akan celetukan
Zaki tadi dan segera saja memahami maksudnya yang tersembunyi.
“Kalian sudah
berencana memiliki anak juga,” bisikku pelan dan tahu pasti bahwa itu benar,
“………Zaki menginginkan dua. Darimu dan darinya.”
“Kami masih baru
mencari surrogate mother Mas. Mommy yang akan menentukan pilihannya. Kami
memasrahkan urusan itu padanya. Dan prosesnya mungkin agak lama…”
“Menikah……” gumamku
setelah terdiam. Aku menghembuskan nafas panjang, “Maaf……aku hanya kaget.”
Regha tersenyum,
“Gila ya, Mas?” tanya Regha pelan.
Aku menatapnya
sebelum menjawab. Aku memang tak melihat keraguan disana. Dia yakin akan apa
yang dia lakukan. Hanya saja, Regha seolah-olah mencari pembenarannya, “Kau
yakin itu?”
“Menikah dengan
Zaki? Yakin, Mas. Egha nggak menginginkan orang lain…”
“Keluargamu…?”
“Adik Egha sudah
tahu. Dan sepertinya, Mamah juga mengerti, meski beliau tak pernah mengatakan
apapun. Seorang Ibu, Mas. Abah Egha meninggal setahunan kemarin,” jelasnya
tanpa kuminta.
“Kalau
begitu………..selamat,” ujarku, tak tahu harus mengatakan apa lagi.
“Mas tidak berpikir
kalau itu gila?” tanya Regha.
Aku hanya
menggeleng, “Siapalah aku, Gha. Kalau memang ada yang harusnya mengerti
keadaanmu, akulah orangnya. Aku pernah berada di posisimu, ingat? Hanya saja,
aku tak bisa melakukan apa yang ku inginkan.”
“Kenapa Mas nggak
nasehatin Regha untuk hidup seperti Mas Rizky? Menikah dengan seorang wanita
dan hidup bahagia….”
“Kau ingin aku
mengatakan itu?”
Dia tertegun, dan
kemudian menggeleng, “Egha nggak tahu, Mas…”
“Aku tak berhak
memberitahu apa yang harus kau lakukan, Gha. Sebagai teman, aku mungkin hanya
bisa memberi saran.”
“Kalau begitu, beri
Egha saran, Mas.”
Pembicaraan kami
terpotong saat seorang waitress membawa pesanan kami. Untuk beberapa lamanya,
hening menyelimuti kami. Hanya suara-suara orang dan kesibukan bandara yang
terdengar. Menciptakan sebuah latar yang terkesan rancu dan aneh.
“Apa menurutmu aku
orang yang tepat? Aku hanya beruntung, Gha…” kataku kemudian. Ku lihat dia
menegakkan tubuhnya dan mendengarkanku dengan seksama, “Saat pertama kali aku
menikahi Shella, aku sama sekali tidak mencintainya. Aku……………mencintai Ferdy.
Mantan tunangan Shella. Tapi waktu itu aku begitu dibutakan oleh obsesiku
padamu, sehingga aku tak pernah menghargai cinta yang Ferdy tawarkan padaku.
Kau masih ingat bagaimana aku mengejarmu kan?”
Tak ada suara. Dia
hanya mengangguk.
Aku lalu
menceritakan semua. Pertemuanku dengan Ferdy. Hubungan kami. Shella. Keluarga
Ferdy. Keluargaku. Pa yang terjadi antara aku dan Ferdy. Semuanya. Regha diam
didepanku, mendengar dan melahap semuanya. Aku terkadang memperhatikan ekspresi
wajahnya yang beberapa kali berubah. Beberapa kali dia terlihat seperti terluka
saat kuceritakan kebodohanku dalam memperlakukan Ferdy.
“Maaf, Mas. Egha gak
pernah tahu pengorbanan apa yang telah Mas lakukan untuk Egha. Maaf, Egha tak
pernah menghargainya,” kata Regha setelah mendengarku. Satu tangannya terulur
untuk meraih tangan kananku yang ada diatas meja. Biasanya sentuhan yang ia
berikan akan membuatku merasakan sesuatu. Tapi kini, sentuhan itu sudah tak
memiliki makna. Hanya sensasi yang diterima oleh indra perasaku. Tak lebih dari
itu.
Aku tersenyum tipis,
“Mungkin itu adalah definisi tepat dengan apa yang disebut ‘bukan jodoh’ ya
Gha?” selorohku ringan, “Saat kita telah berusaha sekuat tenaga, mengorbankan
segalanya, tapi orang yang kita sukai, tidak akan pernah bisa kita miliki.
Mungkin itulah Egha bagiku. Egha bukanlah jodohku. Jadi bagaimanapun kukuhnya
aku berusaha, kita tidak akan bisa bersama.”
Mata Regha
seakan-akan terluka mendengarku, “Maaf, Mas,” katanya lagi. Aku tertawa kecil
dibuatnya.
“Untuk apa, Gha? Aku
sudah tak apa-apa. Memang menderita pada awalnya. Kehilangan Ferdy, kamu.
Hingga kemudian aku memutuskan untuk menikah dengan Shella. Ku akui pada
awalnya dia hanyalah sebuah ‘kepantasan’ dan bagian dari kewajiban yang aku
lakukan demi orang tuaku. Mencoba menjadi normal seperti yang masyarakat kita
pahami. Tapi seperti yang kau lihat, keluargaku telah tumbuh dan berkembang.
Mereka menjadi hidupku. Dan dengan adanya Fira dan Revan, tidak sekalipun aku
menyesalinya. Aku telah menerima Shella sebagai bagian dari kehidupanku. Tanpa
aku sadari, mereka menjadi obat bagi lukaku. Aku sembuh, Gha. Aku sudah memeluk
hidup baruku.”
“Dan aku ikut
senang, Mas. Revan dan Fira benar-benar lucu dan menggemaskan.”
“Dan kalau aku tak
salah dengar tadi, mungkin kau akan segera memiliki anak juga kan? Mungkin kau
harus berlatih menjadi seorang ayah.”
Regha hanya
memberikan senyum tipis.
“Coba ceritakan
bagaimana kisahmu dan Zaki. Aku tak pernah tahu secara benar,” kataku kemudian.
Regha mengangguk dan mulai menceritakan kisahnya.
Kisah yang menurutku
manis. Aku kembali dibuat kagum akan bagaimana Tuhan mampu membalikkan jalan
kehidupan seseorang. Lucu juga bila mengingat, bagaimana Regha dengan segala
kepolosannya, yang tumbuh dalam lingkungan normal seperti sebagian besar
masyarakat di sini, pada akhirnya menempuh sebuah jalan hidup yang berbeda 180
derajat dari itu. Arah hidup manusia ternyata bisa berubah begitu drastisnya.
“Dan kau setuju
menikah dengannya?” tanyaku saat Regha menceritakan bagaimana Zaki melamarnya.
“Mas pernah merasa
menjadi utuh? Merasa bahwa kehidupan Mas terasa lengkap dengan kehadiran
seseorang?”
Aku berpikir
sejenak. Hingga kemudian aku teringat akan perasaan yang menghinggapiku saat
aku memeluk tubuh mungil Fira untuk pertama kalinya, “Pernah…” bisikku pelan.
Yeah….aku baru mengerti. Itulah kali pertama dalam hidupku aku merasakannya.
“Seperti itulah yang
kurasakan bersama Zaki, Mas. It might sound cheesy or corny, tapi Zaki menjadi
pelengkap dalam kehidupan Egha. Dan Egha tak bisa membayangkan untuk menjalani
kehidupan Egha tanpanya. Dia menjadi tiang sandaran Egha. Orang yang menguatkan
Egha dalam menjalani hidup. Bagian hidup Egha sendiri.”
“Dan kenapa Egha
masih memerlukan advice dariku? Keraguan apa yang Egha rasakan dan kenapa?”
tanyaku heran. Regha tak langsung menjawab. Dia menghela nafas dan melihat ke
kaca pembatas yang memisahkan kafe ini dengan keriuhan bandara.
“Lihat mereka, Mas,”
tunjuknya dengan dagu. Aku melihat sepasang lelaki dan wanita berjalan dengan
bergandengan tangan, “Selalu ada rasa sakit di dada Egha ketika melihat
sepasang lelaki dan wanita yang bermesraan. Di mata dunia, itulah yang
dinamakan normal. Sedang yang Egha miliki tidak. Egha tahu kalau hal ini
masalah klasik yang selalu menjadi pergulatan batin bagi kaum gay. Mas Rizky
pernah berada didalamnya kan? Jadi Mas Rizky tentu tahu dilemma ini. Meski Egha
tak lagi merasa aneh dengan mencintai pria lain, tapi tetap saja. Saat melihat
pemandangan seperti itu, Egha kembali menanyakan kewarasan Egha. Egha, tanpa
sadar, bertanya pada diri sendiri, apakah yang Egha lakukan adalah benar.
Karena Egha tahu, kalau egha dan Zaki melakukan hal yang sama seperti mereka,
reaksi yang orang tunjukkan, akan jauh berbeda.”
“Hanya itu?” tanyaku
setelah terdiam beberapa lama.
Regha menoleh padaku
dan kembali memberikan senyum tipisnya, “Pergulatan yang sama antara perasaan
Egha dan Tuhan, Mas. Pertanyaan akan dosa, pertanggung jawaban hidup dan juga
kehidupan Egha setelah mati nantinya. Surga ataukah neraka…? Konflik klasik
yang mungkin selalu dialami oleh para gay. Konflik yang mungkin akan terus
menerus, berulang-ulang dipikirkan oleh kaum gay di Negara kita. Masalah yang
mungkin membuat sebagian dari mereka terasa bosan dalam membahas dan
membicarakannya.”
“Klasik ya?”
Regha mengangguk dan
kali ini ada kesedihan pada senyumnya, “Klasik..” katanya menyetujuiku.
“Jadi Egha juga
sering bertanya pada diri sendiri apakah Egha berdosa? Apakah Tuhan pada
akhirnya akan menghukum Egha?”
“Terkadang, Mas. Apalagi
sekarang, saat Egha memutuskan untuk menikah dengan Zaki dan berencana untuk
memiliki momongan dengan ilmu pengetahuan modern kedokteran. Ada saat dimana
kadang Egha merasa kalau Egha bergerak melawan arus. Melawan hukum alam dan
hukum……….Tuhan,” bisiknya pelan.
“Tapi pernahkah Egha
berpikir kalau Tuhan juga yang membawa Zaki ke dalam kehidupan Egha? Tuhan juga
yang memberikan rasa cinta yang Egha miliki pada Zaki? Dan begitu juga
sebaliknya?”
Regha tertegun tanpa
menjawabku.
Aku tersenyum, “Aku
percaya bahwa tak ada satupun yang terjadi di dunia ini tanpa rencana dari
Tuhan, Gha. Alam bergerak dalam sebuah aktifitas kosmik yang random bagi kita.
Tapi sebenarnya tidak. Tuhan sudah merancang segalanya. Bukankah tak ada
selembar daun pun yang jatuh dari sebuah ranting tanpa perencanaan Tuhan?”
Dia kembali tak
menjawabku.
“Aku yakin ada
alasan kenapa Dia menempatkan Zaki dalam kehidupanmu. Seperti yang kau bilang
tadi, mngkin Dia menempatkan Zaki disisimu untuk menguatkanmu. Menjadi
penopangmu. Sama seperti orang yang memberikan kelebihan pada mereka yang
terlahir dengan fisik tidak sempurna. Mungkin memang itulah rencana Tuhan
bagimu. Dan Egha memiliki pilihan. Untuk tetap bersama di sisi Zaki, ataukan
meninggalkannya. Ajaran dari Tuhan memberikan kita pilihan dalam melangkah,
Gha. Konsekuensi yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan di hadapanNya. Dan
Egha yang harus memilihnya. Masyarakat memang memiliki standart akan kenormalan
menurut mereka. Tapi masyarakat kita bukanlah satu-satunya kelompok manusia
yang memiliki standart itu. Bukankah diluar sana sudah mulai terjadi perubahan
dan banyak penerimaan?”
Regha mengangguk.
“Maka Egha
seharusnya tahu kalau masyarakat yang ada diluar sana bukanlah orang yang akan
mempertanggung jawabkan perbuatan yang Egha lakukan. Egha memiliki kuasa penuh
dalam menentukan aksi Egha. Selama itu tidak merugikan masyarakat umum, kurasa
Egha tidak akan mendapatkan masalah. Hanya saja Egha juga harus tahu
menempatkan diri dan bertoleransi. Egha harus tahu bagaimana bersikap.
Masyarakat kita memiliki batas yang berbeda dengan mereka yang ada di luar
negeri. Egha harus tahu dan menghormati batasan mereka. Egha tahu kan?”
Regha mengangguk,
“Egha paham akan batasan itu, Mas.”
“Syukurlah. Maka tak ada lagi kan yang harus
dikhawatirkan? Hanya Egha yang harus memantapkan diri. Konflik akan selalu
terjadi dimana-mana Gha. Akan selalu ada pro dan kontra. Akan selalu ada
pergulatan dalam batin Egha karena berbeda. Tapi Egha sendiri yang harus tahu,
apa yang Egha inginkan. Dan menerima konsekuensi yang akan muncul nantinya.
Egha harus siap…”
Regha menatapku
dalam diam, “Manusia akan terus mengalami konflik ya Mas?”
“Tak terhindarkan
bukan? Kita makhluk yang terus berevolusi. Baik secara fisik maupun pemikiran.
Hidup akan menghidangkan berbagai masalah baru yang harus kita pecahkan,
tantangan-tantangan dan konflik baru, juga orang-orang baru untuk kita kenal. Kita
akan menghadapi dan berinteraksi dengan mereka. Dan seiring dengan waktu, kita
akan pemikiran kita mungkin akan berubah dan makin matang. Bukankah itu yang
dinamakan dinamika hidup? Tak akan mungkin hidup berjalan dengan datar. Tentu
akan sangat membosankan. Akan selalu ada gelombang dan kerikil tajam sepanjang
jalan.”
“Tak akan berhenti
ya, Mas?”
“Mungkin baru akan
berhenti saat kita telah mati. Tapi kerikil-kerikil hidup itu yang menempa
kita, Gha. Menjadikan kita makin dewasa, kuat dan bijak. Jadi menurutku …..kita
memang harus mengahadapinya.”
“Lalu bagaimana
dengan kebahagiaan? Apakah mungkin kita akan mencapai sebuah ketenangan dalam
menjalani kehidupan kita?”
“Tak akan ada
kebahagiaan kalau kau sendiri tidak mencoba untuk bahagia dan juga bersyukur
dengan apa yang kau miliki. Lihatlah dirimu. Kau jauh lebih baik daripada Regha
yang ku kenal dulu. Secara ekonomi, kau sudah jauh lebih mapan. Kau punya
kekasih yang mencintaimu dan siap membangun sebuah rumah tangga denganmu. Kau
punya saudara dan Ibu yang menerimamu. Beberapa tahun yang lampau, aku akan
merasa sangat iri padamu. Kau punya segala sesuatu yang aku inginkan. Tapi
lihat! Kau masih mencari dalih untuk merasa sedih dan tidak bahagia. Bagaimana
kau bisa menemukan ketenangan ataupun kebahagiaan dalam hidup kalau kau sendiri
belum bisa menerima dirimu sendiri sepenuhnya? Ka uterus menerus memikirkan
perbedaan yang kau miliki dengan mereka yang mengatakan dirinya normal. Selama
kau masih terus merasa aneh, berbeda dan mungkin berdosa, kau tak akan pernah
menemukan ketenangan ataupun kebahagiaan yang kau inginkan. Kau masih belum
berdamai dengan dirimu sendiri.”
“Mas….”
“Belajarlah untuk
lebih menghargai apa yang sudah kau miliki, Gha. Hidup itu singkat. Jangan
sia-siakan dengan mengkhawatirkan hal-hal yang tidak berguna. Jangan sia-siakan
dengan sibuk memikirkan opini, ekspektasi dan anggapan orang-orang di
sekelilingmu yang hanya bisa berkicau dan mengkritik. Jangan buang waktumu
dengan semua itu. Belajarlah untuk lebih menghargai dan menerima dirimu
sendiri. Dengan segenap kekurangan yang kau miliki. Kau akan terus merasa
tertekan dan bersalah jika tidak bisa menerima dirimu sendiri apa adanya.
Bagaimana orang bisa menerima keberadaanmu sementara kau sendiri tak bisa
menerima dirimu sendiri?”
“Jadi kunci
segalanya ada pada diri Egha sendiri, Mas?”
“Benar…..” jawabku
dan mengangguk, “Kalau kau memandang hidup yang kau jalani sebagai sebuah dosa,
kutukan dan beban, maka akan terasa seperti itulah hidupmu. Kau akan terus
dihantui perasaan bersalah, kotor dan terasingkan. Segala sesuatunya akan
terlihat salah . Kau hanya akan terperangkap dalam gelembung kehidupan yang kau
ciptakan sendiri. Sengsara dan tak akan pernah mengecap bahagia. Tapi bila kau
melihat dan menerima hidupmu sebagai sebuah berkah, anugerah yang indah, maka
kau akan bisa melihat kebaikan dan kebahagiaan dlam segala hal. Semuanya
bergantung pada bagaimana kau memandang hidup yang kau jalani.”
Regha tertunduk
dengan dua tangan terkepal.
“Itu yang dulu
kurasakan, Gha. Saat aku menjalani pernikahanku hanya sebagai sebuah kewajiban
dan beban yang tak ku inginkan. Aku terus merasa sesak dan terperangkap. Tapi
saat pertama kali aku memeluk Fira, aku bisa melihat kalau aku sudah melakukan
hal yang benar. Aku yakin dengn hidup yang ku pilih. Aku mulai memeluk jalan
hidup yang ku ambil. Mensyukuri dan menerimanya. Menerima Shella dan semuanya.
Dan akupun mulai merasakan bahagia.”
“Aku bisa melihatnya
Mas…”
“Kalau begitu
berhentilah memusingkan segala hal itu. Sudah waktunya kau menerima diri dan
hidupmu dengan sepenuhnya. Raih kebahagiaan itu. Pernikahanmu sudah didepan
mata kan? Ada Zaki disana yang sedang menunggumu..”
Untuk pertama
kalinya ku lihat senyum tulus di wajah Regha. Bahunya tidak lagi terlihat
turun. Dia terlihat menarik nafas panjang penuh kelegaan. Sedikit beban
sepertinya telah terangkat dari dadanya, “Mas benar. Aku harus mulai belajar
menghargai yang aku miliki. Toh aku tak mengambil hak orang lain. Aku tak
menyakiti dan merugikan orang lain kan, Mas?”
Aku mengangguk, “Kau
hanya menjalani kehidupan seperti yang kau inginkan dengan orang yang kau
cintai. Simple kan?”
Regha kembali meraih
satu tanganku dan meremasnya, “Terimakasih, Mas. Terimakasih sudah menjadi Mas
Rizky yang ku kenal dulu. Orang yang selalu kujadikan panutan dan member Egha
ketenangan. Egha harap kita bisa terus berhubungan…”
“Akan kita lihat
nanti. Kurasa hal itu harus kau bicarakan dengan Zaki terlebih dulu. Karena
kulihat, dia masih tidak menyukaiku,” selorohku.
Kami terkekeh kecil
dengan satu fakta itu.
“Egha akan berubah,
Mas. Egha akan berjalan menempuh kehidupan yang Egha pilih ini dengan kepala
tegak!” tekadnya. Aku hanya mengangguk dan kemudian mencoba mengalihkan
pembicaraan kami pada hal yang lebih ringan. Dalam hati aku hanya mampu
bergumam.
Kehidupan manusia…..
Benar-benar mencengangkan bagaimana kehidupan berjalan. Mencengangkan bagaimana
rute kita bisa berbelok dengan begitu drastisnya. Jauh dari apa yang kita
rencanakan sebelumnya. Namun toh selalu ada mutiara-mutiara kehidupan yang bisa
kita pungut dalam setiap rute yang kita jalani. Ada buah ilmu dan kebijaksanaa
yang bisa kita nikmati dari baret dan luka kala kita melangkah. Aku yang dulu
begitu mengidamkan kehidupan bahagia bersama seorang lelaki yang ku cintai,
malah berakhir bahagia dengan istri dan anakku. Regha yang dulu hanya memiliki
pikiran untuk menikah dengan seorang wanita, membina rumah tangga yang normal,
malah akan menikah dengan Zaki yang juga lelaki. Lucu bukan?
Aku dan Regha hanya satu bagian kecil dari sekian
banyaknya kisah yang terjadi pada dunia. Cerita hidup kami tak lebih dari
sebuah spektrum maha kecil pada besarnya pelangi dunia. Sebuah warna kecil yang
ikut menyumbang dinamika pada perputaran roda dunia.
Kami berdua mungkin
bukan orang-orang besar yang mengubah wajah dunia. Kami orang-orang biasa yang
menapaki dunia dengan segala keterbatasan kami. Kami bukan orang manusia suci
yang mendapat jaminan surga pada akhir hidup kami. Kami hanya debu kecil yang
mencoba hidup dan menemukan kehidupan bahagia dengan semua keterbatasan kami.
Kami mungkin salah. Kami mungkin bukan sebuah panutan yang patut diikuti. Kami
hanya mencoba menggapai kebahagiaan kecil yang secara absolute menjadi milik
kami. Bukan kami yang menentukan apakah yang kami jalani ini benar ataupun
salah. Mungkin masyarakat luas yang akan memberi nilai itu pada kami. Tapi toh
bukan mereka yang menjalani. Keberadaan kami bagai sebuah ion kecil dari sebuah
benda maha besar. Nyaris tak berarti.
Kami hanya sebuah
cerita.
Bagian kecil dari
dunia.
Bagian dari kalian
semua yang ada didalamnya.
Rogojampi, October
7, 2014. 2.07pm
DJ’s