Kami duduk saling berhadapan di kafe yang tenang itu seperti dua orang asing. Ironis, mengingat kalo beberapa bulan kemarin, kami tak pernah bisa berhenti berkomunikasi. Entah lewat media gadget, atau bertemu langsung. Tapi kini...
"Kau sehat?" tanyaku pelan sembari mengaduk minuman di gelasku, entah untuk ke berapa kali.
Dia hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Pandangannya kembali jatuh ke luar, dimana beberapa kendaraan berlalu lalang. Pemandangan itu lebih menarik baginya daripada aku yang duduk persis didepannya. Susah payah aku menahan diri untuk tidak berteriak marah. Kuturunkan tanganku yang mulai gemetaran ke bawah meja.
Aku benci situasi seperti ini! Aku benci bagaimana dia bisa menempatkan aku di posisi bersalah.
"Aku didepanmu Wan. Bukan di luar sana," tegurku dingin. Hal itu membuatnya sedikit kaget. Bola matanya membesar dan kemudian tersipu.
"Maaf. Aku hanya melihat..."
"Istrimu di luar sana?!" lanjutku lagi tanpa ampun.
"Don, bisa kita jauhkan dia? Dia..."
"Tak ada hubungannya dengan kita. Kau sudah mengatakannya. Aku masih ingat dengan jelas," potongku cepat, "Kau tak perlu khawatir."
Wawan menghela nafas panjang dan akhirnya melihatku. Dan aku kembali menggertakkan gerahamku saat melihat sinar iba yang kutangkap dari matanya.
"Kau sehat?" tanyanya pelan.
"Secara fisik atau emosi?" tanyaku balik dengan nada sarkas.
"Don, please. Bisakah kita tidak bertengkar? Aku capek."
"Denganku atau hubungan kita?"
Dia diam sejenak dengan mata yg lurus menatapku, "Semua...," jawabnya pelan, "Tidak bisakah kau mengerti aku?"
Aku tertawa kering, merasa konyol dengan permintaannya, "Pengertian seperti apa lagi yang kau minta dariku Wan?" tanyaku lagi. Kali ini tak bisa menyembunyikan kekecewaan yang sedari tadi ku pendam.
Kalau mau jujur, dia bukanlah satu-satunya pihak yang lelah dengan semua ini. Aku juga lelah. Lelah dengan menunggu, mengerti dan memahaminya.
Aku selalu menjadi pihak yang di nomor duakan. Aku selalu menjadi orang yang harus menunggu. Yang harus berhati-hati. Menjaga dan mengerti posisinya.
"Bagaimana denganku?" tanyaku lagi.
Dia yang tadinya menunduk, kembali mengangkat wajah dan melihatku.
"Kapan kau akan mengerti aku?" tanyaku ganti dengan suara getir.
"Kau sudah tahu bagaimana keadaanku saat kita memutuskan untuk bersama..."
Kalimatnya itu membungkamku untuk beberapa saat lamanya.
Tentu saja aku tahu!
Tapi bodohnya, hal itu tak juga bisa menghentikanku!
Kami bertemu secara tak sengaja melalui dunia maya. Dari komen iseng, saling inbox hingga akhirnya curhat. Wawan bercerita tentang masalah yg membelit rumah tangganya. Dia seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Mengajar kelas akselerasi dimana salah seorang muridnya, jatuh hati padanya.
Wawan mencoba bersikap sopan dan menanggapi seperlunya. Dia tak ingin mendapatkan masalah. Dia seorang pria yg telah berumah tangga. Terlebih lagi, murid yang menyukainya adalah.....pria.
Sial bagi Wawan, kebaikan sikapnya diartikan lain, hingga kemudian muridnya itu mengancam akan membuat kisruh dalam rumah tangganya.
Aku memberikan beberapa saran yang akhirnya bisa membantu Wawan. Dan dari situlah kemudian hubungan kami berkembang. Kami mulai banyak mengobrol tentang kehidupan kami.
Wawanpun mengaku kalau dulu, dia sempat suka dengan salah seorang teman prianya. Mereka sempat memiliki hubungan spesial, meski belum pernah melangkah terlalu jauh. Hingga kemudian dia memutuskan untuk menikah.
Aku sendiri yang juga memiliki ketertarikan seperti dia, mendapati Wawan sebagai seorang sosok yang menarik. Lucu rasanya saat Wawan yang mengaku sangat mencintai istri dan anaknya, ternyata masih bisa mengingat akan 'affair' dengan teman sesamanya di masa lalu. Bagaimana mereka berinteraksi, seperti apa bersama dengannya dan apa yg dia rasakan saat itu. Dia seperti memiliki sebuah keingin tahuan yang belum terpuaskan.
Bagiku dia seperti sebuah sumur ilmu yang ingin aku pelajari dan pahami. Dan aku semakin tertarik padanya.
Hingga kemudian kami memutuskan untuk jadian. Tentu saja dengan beberapa persyaratan.
Keluarganya berada di atas segala-galanya. Mereka yang utama. Dan kalo ada sesuatu yang bisa menyakiti istri dan anaknya, kami akan berusaha bersama untuk menyelesaikannya.
Dan kami juga saling berkomitmen untuk bersama. Aku akan membiarkan Wawan bereksplorasi akan dunia abu-abu ini denganku. Tidak dengan yang lainnya. Apalagi setelah tahu status kami berdua, 'aman'.
Dan aku, akan mencoba menimba ilmu darinya. Aku juga menginginkan kehidupan yang dia jalani sekarang. Sebagai orang yang tumbuh dengan adat ketimuran dan Islam, aku sadar sepenuhnya bila suatu saat, aku harus meninggalkan dunia abu-abu ini, dan menikah. Membina sebuah rumah tangga dan memiliki keturunan. Dan aku bisa belajar itu dari Wawan.
Dan perjalanan cerita cinta terlarang kamipun di mulai..
Hampir setiap hari kami berkomunikasi. Saling bercerita tentang apa yang kami alami dan rasakan. Bertukar pikiran akan berbagai hal. Saling mengingatkan, hingga kemudian.....berhubungan badan.
Semua berjalan dengan sendirinya. Hingga kemudian, istri Wawan menemukan sebuah sms yang ku kirimkan.
Sms bernada biasa, yang menanyakan hari dan apa yang dia lakukan. Tak ada sedikitpun kalimat yang mengimplikasikan bahwa kami, memiliki sebuah hubungan.
Siapa sangka hal itu langsung membuat Wawan panik. Dia segera memblokir akun facebook dan juga teleponku.
Lebih dari seminggu dia membiarkanku kebingungan tanpa penjelasan. Hingga kemudian dia meneleponku, kurang dari satu menit, dengan sebuah penjelasan singkat, bahwa istrinya membaca pesanku.
Hanya itu.
Dan dia, menjauh dariku.
Mulanya kupikir dia hanya memerlukan sedikit waktu sendiri. Jadi aku membiarkannya. Namun Wawan......benar-benar memutuskan semua yang menghubungkan dirinya denganku.
Aku.......terluka. Aku merasa diperlakukan tak adil. Seakan-akan dia sudah mendapatkan yang dia inginkan dariku, dan kemudian membuangku.
Dan disinilah kami sekarang...
"Aku tau persis apa yang ku dapati saat aku memutuskan untuk jadian denganmu. Dan aku mengerti bahwa istri dan anakmu, harus di utamakan. Tapi itu bukan berarti kau bisa menggunakan aku dan kemudian membuangku seperti barang rongsokan!" tegurku dingin. Hal itu membuat Wawan berkernyit dan melihatku dengan tatapan bersalahnya.
"Aku tak pernah bermaksud....."
"Tapi seperti itulah yang aku rasakan," tukasku mendahuluinya, "Aku sadar Wan. Keluargamu, berada diatas segala-galanya. Aku juga sadar sesadar-sadarnya, bahwa andaikan kau diharuskan memilih, kau akan memilih mereka. Bukan aku. Dan percayalah, aku akan mendukungnya! Aku akan support kamu dalam melakukannya!"
"Karena itu aku harus meninggalkanmu...!"
"Hanya dengan sebuah telepon singkat yang mengatakan bahwa istrimu membaca pesanku? Apa dia curiga? Apa dia menuntut penjelasan darimu?!"
Wawan hanya menggelengkan kepalanya perlahan.
"Lalu apa yang membuatmu begitu ketakutan?"
"Aku mungkin bisa lolos saat itu, Don. Tapi lain kali? Bisa saja kemudian aku teledor dan dia memergoki kita. Kau tau apa jadinya?!"
Aku memejamkan mata dengan pelipis yang mulai berdenyut sakit. Apa yang bisa kukatakan? Sejak awal, apa yang kami lakukan adalah salah. Dan Wawanpun selalu mengatakan bahwa keluarganya, adalah yang utama. Hak apa yang ku miliki untuk bisa menentangnya?
"Maaf kalau aku meninggalkanmu begitu saja. Tapi mereka keluargaku. Tanggung jawabku! Aku harus melindungi mereka."
"Dan aku?!" tanyaku getir.
Dia tak menjawabnya. Dan rasanya, aku tak memerlukan dia untuk membuka suara. Karena sepertinya, aku tahu.
Kembali aku tertawa pahit, ".......yeeaaahh seharusnya aku sadar diri. Dari awal, apa yang kita miliki, tidak lebih dari sekedar ilusi. Kau yang ingin bereksplorasi. Dan aku yang ingin lebih memahami. Kita berdua sepertinya cuma membuat sebuah dalih untuk membenarkan kesalahan yang kita lakukan. Dari awalpun sudah ditegaskan bahwa kau adalah milik keluargamu. Aku tak pernah memilikimu. Aku tahu itu. Aku memahami itu. Bahkan mendukungmu. Bodohnya aku, aku hanyut dalam ilusi yang aku buat sendiri. Dengan semua pemahaman yang aku tahu itu, aku hanya membuat sebuah kesalahan."
Dia menatapku tak mengerti, "Apa?"
Aku menatapnya lurus. Dan kali ini, aku membiarkan semuanya terlihat di wajahku,
"Aku......benar-benar jatuh cinta padamu," bisikku.
Dan sorot mata penuh penyesalan itu kembali terlihat di wajahnya, "Doni...."
Aku mengangkat tangan untuk menghentikannya. Aku tak membutuhkan kata-kata penghiburan apalagi permintaan maaf darinya. Karena itu hanya akan membuatku merasa lebih buruk lagi, "Aku tahu. Tak usah kau teruskan. Aku sendiri yang melakukan kebodohan itu..."
“Maaf Don… “
“Untuk apa? Untuk meninggalkanku atau untuk memiliki hubungan denganku?” tanyaku. Dan lagi-lagi dia tak bisa menjawabnya. Aku menggelengkan kepala tak percaya, “Aku benci ketika berada di situasi seperti ini. Saat dimana aku merasa menjadi orang yang bersalah. Aku tahu seharusnya aku tak boleh memiliki hubungan denganmu. Aku sebagai pihak yang masih sendiri, seharusnya tahu diri. Kau telah memiliki istri dan anak. Kau sudah menjadi milik mereka. Aku tak punya hak untuk bersamamu. Dimata orang lain, aku akan selalu menjadi perusak rumah tangga. Jadi pihak yang menanggung semua kesalahan.”
“Kau bukan satu-satunya pihak yang bersalah, Don. Aku juga.”
“Tepat sekali!” sahutku cepat, “Bukan hanya aku yang melakukan kesalahan. Kau seharusnya bisa menahan diri dan sadar akan tanggung jawabmu. Hidupmu bukan lagi milikmu.. Detik dimana kau mengucapkan sumpah pernikahan, kau tidak lagi bertanggung jawab akan hidupmu. Tapi juga istrimu. Dan kini…………..anakmu. Kita berdua bersalah. Kau dan aku!”
Wawan hanya tersenyum tipis dengan mata bersalahnya.
“Tapi yang menyebalkan adalah, orang lain akan selalu menuding aku sebagai kambing hitamnya. Aku! Bukan kau! Dan kau tahu apa hal yang paling menyedihkan? Pada akhirnya, kau akan pulang, kembali ke pelukan dan kehangatan istri dan anakmu. Aku? Aku akan kembali ke tempat tinggalku yang menyedihkan, sendiri bersama embel-embel yang mereka sematkan padaku.”
“Don..”
“Kau tak akan merasa kesepian ataupun menyedihkan seperti aku, Wan. Akan ada orang lain yang menemanimu. Tertawa bersamamu dan pada akhirnya akan membuatmu lupa denganku. Dan aku?”
“Doni..”
“Bagaimanpun juga akhirnya, aku akan selalu menjadi pecundang bukan? Pada akhirnya, aku akan selalu kalah. Karena dari awal, aku tak pernah menang. Tak pernah benar-benar mendapatkanmu.”
“Aku sudah memberitahumu keadaanku yang sebenarnya sedari kita mulai dekat. Aku tak menutupi statusku, bukan?”
“Memang tidak,” bisikku sedih, “Dan aku dengan lapang dada menerima itu. Bersedia menjadi simpananmu yang selalu harus mengalah. Tidak bisa bebas menghubungi ataupun menemuimu.
Hanya bisa menunggu kau datang atau menghubungiku. Tapi itu tidak berarti kau bisa memperlakukanku seperti barang rombeng yang bisa kau ambil dan buang semaumu kan?”
“Aku tak pernah berpikiran seperti itu!”
“Namun toh kau telah bersikap persis seperti itu,” tukasku langsung memotongnya, “Bersamamu ku kira aku akan mendapatkan pelajaran. Pemahaman yang lebih akan dunia abu-abu ini. Kau nyaris seperti idola bagiku. Panutanku. Karena pada suatu saat nanti aku akan menikah juga. Tapi……”
Kalimatku terpotong saat aku menyadari sesuatu. Dan detik itu juga aku memandang Wawan seperti sosok yang berbeda. Aku tertawa dengan pencerahan yang kudapatkan. Betapa bodohnya, pikirku. Dari awal hal itu sudah ada. Aku sudah melihatnya. Sadar akan keberadaannya. Tapi dengan idiotnya, aku menutup mataku.
“Bodoh!” gumamku dan menggelengkan kepala dengan tawa kecil yang kembali terdengar, “Aku meralat kalimatku tadi. Aku tak pernah mau sepertimu.”
“Apa maksudmu?” tanya Wawan tak mengerti.
“Aku akan menikah suatu saat nanti. Tapi aku tak akan menjadi seorang suami sepertimu. Aku tak akan mau menjadi seorang suami yang masih terjebak dalam dunia abu-abu ini. Saat aku menikah nanti, aku akan menjadi suami dalam artian yang sebenarnya. Aku tak akan membiarkan diriku mencari pemuasan rasa penasaran dan nafsuku di belakang istriku.”
“Don…..”
“Aku benar-benar bodoh! Salah satu alasanku menerimamu adalah agar aku bisa belajar darimu. Tapi aku justru tertutupi akan pelajaran terbesar yang harusnya ku dapatkan,” aku tertawa lagi dan kali ini bisa menatapnya dengan sebuah senyum di bibirku, “Terimakasih. Terimakasih telah memberitahu aku tantang hal ini,” kataku dengan tulus.
Yeaaahh… Kali ini aku bisa melihatnya dengan jelas. Dulu bagiku adalah seorang pria dalam artian sesungguhnya. Orang yang bisa menjadi contoh bagiku. Aku ingin bisa menjadi sepertinya. Tahu akan dunia abu-abu ini, pernah berada didalamnya, namun toh dia bisa membina sebuah rumah tangga yang nyata. Memiliki seorang putra yang lucu dan istri yang bisa dibanggakan. Mirisnya, kini aku bisa melihat dengan jelas, dengan semua berkah yang dia miliki, Wawan masih belum bisa mendapatkan kebahagiaan.
Ironis rasanya saat melihatnya yang memiliki hampir segala hal yang diinginkan oleh pria secara umum, namun dia tidak bisa menghargainya. Dia masih bermain-main. Dia masih mencari. Masih berpetualang menemukan sedikit hal yang dia sebut kebahagiaan, sementara kebahagiaan sejati telah dia dapatkan.
Dia tak ubahnya seperti seorang bocah lelaki yang berdiri di depan sebuah toko permen, begitu ingin masuk ke dalam toko untuk membeli berbagai macam manisan yang tersedia disana, sementara dalam sakunya, dia telah memiliki sebungkus coklat yang lezat. Dia masih mencari sesuatu yang tidak di miliki, meski sejatinya hal yang dia cari itu begitu semu dan tidak baik untuknya.
Aku bahkan mulai merasa kasihan dengannya. Karena kini, aku tahu. Dia akan terus berada di sana. Terjebak oleh rasa penasaran dan petualangan konyol. Pembuktian diri yang tak berarti. Bermain-main. Selamanya.
Aku harap dia segera sadar akan kesalahannya itu, batinku dan bangkit.
“Selamat tinggal, Wan. Aku harap kau menyadari apa yang telah kau miliki,” kataku dan berbalik untuk pergi. Aku baru berjalan dua langkah saat ingat akan sesuatu. Aku berbalik untuk melihatnya yang ternyata masih terpaku di tempatnya.
“Kalau boleh aku bertanya, “ kataku memulai, “ Selama kita bersama. Semua kata-kata yang pernah kau katakana padaku. Bahwa kau menyayangiku, peduli padaku, dan kangen padaku saat kita tak bersama, apakah semua itu benar? Apa kau benar-benar pernah mencintaiku?”
Dia tak menjawab. Hanya diam menatapku dari tempatnya duduk. Dan itu lebih dari sebuah jawaban bagiku. Ya Tuhan, kenapa dia tampak begitu menyedihkan disana? Pikirku miris.
Aku memberinya senyum tulus untuk kemudian pergi. Menjauhkan diriku darinya. Menjauhkan hidupku darinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar