LONELY NO MORE
Abi kembali melirik pada Dani yang baru keluar dari ruang rapat.
Seperti biasa, lelaki itu terlihat menawan. Dengan tubuh tegap, baju yang
tersetrika rapi dan jelas meneriakkan kata mahal serta di dukung oleh postur tubuhnya yang tinggi itu,
membuat dia menjadi bahan gosipan para pegawai wanita di kantor ini. Fakta
bahwa dia bujang, dan juga putra tunggal dari firma hukum Soeryawan malah menambah
poinnya dimata para pemujanya yang tak berhenti kasak kusuk. Wajahnya yang
kadang bisa berubah dari ramah, ke dingin dan bahkan nyaris kejam justru
semakin memperkuat daya tariknya. Sebuah majalah hukum ternama di Indonesia menggambarkan Dani sebagai aktor kawakan panggung
pengadilan termuda yang dimiliki negara ini. Dia bisa menjadi seorang lelaki
dengan kebaikan malaikat dalam satu detik dan tiada ampun sekejam iblis pada
detik berikutnya. Dalam waktu kurang dari dua tahun dia sudah memiliki reputasi
yang nyaris menyamai ayahnya, Johan
Soeryawan. Dan sudah beberapa tahun ini, dia menjadi aktor
utama dalam setiap mimpi erotis Abi.
Tapi
Abi
sudah hampir kehilangan akal dibuatnya. Dani menjadi nemesis yang seakan akan
tak pernah berhenti menerornya. Hal itu diperburuk oleh sikapnya yang entah kenapa
selalu saja baik pada Abi.
Ada saat dimana Abi
berpikir bahwa Dani,
hanya bersikap seperti itu padanya. Tidak pada orang lain. Tidak satupun selain
pada dirinya.
Lemah
lembut, sabar dan nyaris penuh kasih sayang. Tidak sekalipun dia melihat ataupun mendengar
Dani
berbicara pada pegawai kantor lainnya, seperti caranya berbicara pada Abi. Bahkan Abi berani bersumpah, tatapan matanya
terlihat .......begitu sendu saat menatapnya.
Abi tahu kalau hal itu mungkin
hanyalah khayalan konyolnya. Tapi............................ada saat dimana
dia mempertanyakan kebenaran hal itu. Karena kebaikan Abi itu sudah dia rasakan sejak mereka
berada di SMA.
Abi sudah tahu dia gay semenjak dia
berada di kelas 9. Saat dimana tubuhnya mulai bereaksi pada rangsangan seksual,
dan tubuh telanjang serta kecantikan teman-teman ceweknya di sekolah tak mampu
membuatnya terpaku. Tapi saat dia di shower setelah kelas Olah Raga, tubuh telanjang teman-
teman cowoknya membuat Abi
merasakan getaran aneh diperutnya. Sejak itu dia tahu kalau dia gay.
Dan
sejak dia mengaku pada Kathy, tetangganya yang dia kira adalah sahabatnya,
hidup Abi
tak pernah tenang lagi. Hanya dalam hitungan hari, seluruh sekolah tahu akan
orientasi seksnya. Terimakasih pada bakat bergosip Kathy yang menakjubkan. Dan hidup Abi pun tak pernah menjadi neraka
tiada henti.
Abi menjadi sasaran bullying
cowok-cowok disekolahnya. Mereka yang mengaku normal dan jijik akan orientasi
seks Abi.
Berbagai macam penindasan yang pernah disebutkan dalam novel roman gay picisan
sudah pernah dia rasakan. Dijegal saat berjalan, di dorong, ditelanjangi di
kamar mandi, hingga dipermalukan di depan segenap murid yang ada di kantin, sudah
dia rasakan. Akibatnya, Abi
tak pernah berani melangkah dengan wajah terangkat. Dia selalu berusaha agar
dia tak terlihat oleh mereka. Menarik diri dari pergaulan sosial dan kekejaman
yang mereka lakukan. Meski para bully itu selalu saja menemukan berbagai macam
cara untuk menyiksanya.
Bukan
sekali dua kali lockernya rusak dan kotor oleh coretan-coretan tak senonoh.
Berbagai macam sebutan yang cukup memalukan sudah pernah dia sandang. Banci, Bencong Taman Lawang, Faggot ataupun Pecinta K*ntol hanyalah beberapa
diantaranya.
Abi nyaris ingin berhenti sekolah dan
memilih Home School hingga kemudian dia bertemu Dani.
Dani adalah murid pindahan dari Sidney. Beachport International High School bukanlah
sekolah yang biasa. Sekolah
internasional yang memiliki program mirip dengan SMA di luar negeri sono itu
boleh dibilang kandangnya anak-anak kaya yang banyak diantaranya berdarah
campuran, dan kedatangan Dani yang dari kota kembang segera saja menjadi
berita besar. Terutama karena
latar belakang dan prestasinya. Abi
mendengar selentingan-selentingan dari bisik-bisik yang beredar di sekolah. Dan
terus terang, dia tak tertarik mendengarnya. Tapi yang jelas, semua kasak kusuk
itu membuatnya sedikit terganggu.
Hampir
di setiap pojokan sekolah, dia mendengar nama Dani disebut. Para cowok menggosipkan
bagaimana dia menjadi bintang baru di lapangan baseball dan juga basket.
Prestasinya yang meroket di sekolah asalnya, Sidney mengikuti cowok itu ke
Beachport International High.
Bahkan kepala sekolah menyebutkan bagaimana sekolah yang dia pimpin begitu
beruntung mendapatkan murid dengan prestasi seperti itu.
Sementara
para cewek disana meributkan bagaimana daya tarik fisiknya, menggeser Mike yang
dulunya cowok paling populer ke deretan rakyat jelata. Mereka menggosipkan tubuhnya
yang tinggi tegap, dadanya yang penuh, bibirnya yang penuh dan merah basah
serta bagaiaman suaranya sanggup membuat celana dalam mereka basah. Beberapa
diantara mereka bahkan mengaku kalau mereka tak akan bisa terlelap sebelum
memandang wajah Dani
di hape-nya.
Oh,
please, gerutu Abi
waktu itu. Abi
sadar kalau SMA
adalah saat saat dimana para remaja berada pada masa puncak dimana hormon dan
keingintahuan mereka akan seks berkuasa. Tapi apakah harus seperti itu?
Abi tak akan pernah mengenal Dani kalau saja tak ada kejadian di kantin
waktu itu. Saat dimana Abi
lupa membawa bekalnya dari rumah, jadi dia tak memiliki pilihan lain selain
membeli makan siang di kantin. Sebenarnya Abi lebih memilih menahan lapar hingga
jam pulang, tapi hari itu dia bangun kesiangan dan tak sempat sarapan. Jadi
pilihannya adalah pingsan
di tengah-tengah ulangan aljabar nanti atau membeli makan siang di kantin. Dan
dengan kepala tertunduk dan pikiran resah, dia menuju kantin.
Tak
ada insiden yang terjadi pada awalnya. Abi berhasil mengisi nampannya dengan
makan siangnya dan melangkah menuju pojok kantin dimana tak seorangpun yang
akan memperhatikannya. Tapi di tengah perjalanannya, tiba-tiba saja seseorang mendorong dan seorang lagi menjegalnya.
Dengan suara berdebum, dia jatuh. Nampan beserta isinya berhamburan di lantai
dengan suara keras.
Tawa
geli segera saja bergema di penjuru kantin.
“Lihat
kemana kau melangkah, Faggot. ...!”
seru seseorang yang berusaha Abi
blokir dari pendengarannya. Wajahnya segera saja memerah dalam hitungan detik.
Seharusnya dia tahu kalau hal ini akan terjadi. Lebih baik dia pingsan
kelaparan daripada dipermalukan seperti ini. Sayangnya dia berusaha
mempertahankan huruf A dalam raportnya. Kini Abi mulai mempertanyakan apakah semua
itu layak...
“Kau
baik-baik saja?” tanya seseorang yang memiliki suara paling dalam namun lembut
yang pernah Abi
dengar. Dia mendongak dan menemukan sesosok wajah paling menakjubkan yang
pernah dia lihat.Wajah itu tak mungkin dimiliki oleh seorang murid SMA. Dia memiliki rahang sempurna
dengan garis wajah yang menghiasi sampul semua novel remaja yang pernah dia
baca.Wajah yang digambarkan sebagai pahatan sempurna alam. Dengan garis rahang
tegas. Wajah yang membuat semua karakter cewek dalam novel novel itu bertekuk
lutut. Warna kulitnya
yang kuning langsat terlihat cerah, nyaris bersinar.
Lengkap dengan atribut kecowokannya yang membuat semua cowok di sekolah ini
terlihat seperti remaja puber yang mengenaskan. Bekas cukuran yang membiru
disepanjang garis rahangnya itu hanya layak berada dalam sebuah film remaja
Amerika. Dan lihatlah betapa indahnya kedua mata hitam yang dalam itu.
“Abi, kan? Kamu baik-baik saja?”
Abi menggelengkan kepalanya dan segera
bangkit. Dia sudah hendak memungut
nampannya tapi pemuda yang menakjubkan itu mendahuluinya.
“Makananmu
sudah tak bisa dimakan. Biar ku ganti..” katanya dan mulai melangkah pergi.
“Tapi...”
“Jangan
khawatir. Aku yang traktir,” ujar pemuda itu dan tersenyum. Dia menarik tangan Abi untuk mengikutinya. Abi hanya terpaku dan mengikutinya
dengan bego. Terlalu kaget untuk bereaksi. Dia bisa merasakan perubahan
atmosfir di kantin itu. Suasana senyap yang tiba-tiba saja menggantung di
udara. Tatapan mata yang mengikuti mereka berdua.
Dia
pasti Dani
yang kemarin terus mereka bicarakan di sekolah ini, batin Abi ngeri. Ternyata hampir semua gosip
itu benar. Dani
benar-benar spesies yang layak untuk digunjingkan. Dan .......dia lebih dari
sekedar gosip yang beredar.
Abi melihat Dani memesan makanan yang persis sama
dengan yang dia pesan tadi. Membayarnya dan menyerahkan nampan yang penuh itu
padanya.
“Ayo..!”
ajaknya pada Dani,
seolah-olah mereka adalah kawan lama yang sudah sering hang out bareng.
“Dani, bro. Lo ngapain?” tegur Will. Salah
seorang anggota tim baseball yang juga cowok yang gemar mengganggu Abi. Meski cowok berdarah campuran Australia itu cakep,
tapi tabiat brengseknya membuat Abi ngeri.
“Makan
siang. Kenapa?” tanya Dani
santai.
“Yeah,
aku tahu itu. Tapi.................dia Abi,” jelas Will seakan-akan sedang menerangkan sesuatu yang aneh.
“Dan..........?”
“Dia bencong?” kata Will lagi dengan nada bertanya.
“Istilah
yang benar adalah gay. Memang kenapa kalau dia gay? Apa dia melecehkanmu?”
tanya Dani
heran.
“No..”
“Dia...................mencoba
mendekatimu?”
“NO!”
sergah Will dengan wajah jijik.
“Jadi...apa
masalahnya? Kalau memang dia gay itu kan keputusan dia sendiri. Itu urusan Abi sendiri.
Apa urusannya denganku? Atau denganmu? Toh dia tak mengganggu atau merugikanmu
kan?” kata Dani
santai.
Will
hanya terlongong tak bisa menjawab.
Dani berpaling
pada Abi
yang juga hanya mampu termangu dibelakangnya, “Bullying sudah dianggap sebagai
kejahatan di dunia. Papaku pengacara. Kalau kau ingin mengadukan pelaku yang
menindasmu, aku akan membantumu bicara pada Papa. Aku yakin dia akan mampu
membantumu. Jadi tenang saja, ok?” katanya santai dan memberi tanda pada Abi untuk mengikutinya.
Dan
sejak itu Abi
sedikit bisa merasakan damai di sekolah. Dani jadi seperti seorang bodyguard
tidak resminya. Entah bagaimana, Jordan seakan-akan tahu kapan Abi membutuhkannya.
Contohnya
saat Will dan Mike memojokkannya dibelakang sekolah. Mereka memberondongnya
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang hubungannya dengan Dani yang tiba-tiba saja dekat. Tentu
saja Abi
tak bisa memberikan jawaban yang mereka inginkan, karena dia sendiri tak
mengerti. Pada akhirnya mereka
mendorongnya ke tembok sekolah dan mengancam untuk tidak macam-macam
dengan Dani. Abi
waktu itu hanya bisa mengkeret ketakutan dan pasrah kalau mereka memukulinya.
Tapi kemudian tiba-tiba saja Dani memanggil namanya dari balik gedung.
“Apa
yang kalian lakukan?” tanya Dani
dengan tatapan curiga pada Will dan Mike yang memojokkan Abi.
“Nothing
man,” jawab Will dan menjauhi Abi,
“Just messing around, “ katanya lagi dan segera menyeret pergi Mike yang
mengangkat kedua tangannya, tanda damai dengan Dani.
Dani tak mengatakan apapun sampai kedua pemuda itu
pergi, “Kau baik-baik saja? Apa mereka melukaimu?”
Abi menggelengkan kepala, “Kau tak
harus melakukannya..” ujar Abi
dengan bibir bergetar.
“Melakukan
apa?” tanya Dani
bingung.
“Baik
padaku,” kata Abi
pelan, “....semua orang di sekolah ini tahu kalau aku gay.”
“Dan?”
“Namamu
akan ikut kotor kalau kau baik padaku. Mereka mungkin akan berpikir kalau kau
memiliki hubungan denganku.”
Dani hanya tertawa, “Aku tak peduli apa yang mereka
katakan. Toh tak ada apa-apa diantara kita. Aku akan berteman dengan siapapun
yang aku inginkan. Tak ada satupun orang yang berhak mengatur dengan siapa aku
boleh atau tidak boleh berteman. Seharusnya
kau tahu itu,” jawabnya enteng dan segera pergi.
Dan
memang seperti itulah Dani.
Dia baik dengan siapapun. Dia tak membatasi pergaulannya. Dia tak peduli dengan
pengkotak-kotakan strata sosial yang biasanya berlaku di sekolah. Dia hapal
semua teman sekelasnya. Dia tak ragu menyapa mereka. Baik mereka yang populer
ataupun para nerd yang biasanya menjadi bulan-bulanan. Dia tak segan membantu
ataupun menemani cewek cheers yang populer, ataupun cewek gendut yang sering
jadi bahan olok-olokan. Dia memperlakukan mereka dengan keramahan yang sama.
Dia membaur dengan semua kalangan. Dan itu membuatnya semakin populer dan
dikenal. Tak terhitung cewek yang mengajaknya berkencan. Semua diperlakukan
sama. Mengagumkan bagaimana dia dengan luwesnya menolak tanpa menyakiti semua
pengagumnya.
Dan
dia menjadi seperti hero di mata Abi.
Dia menjadi sosok idola yang Abi
jadikan contoh. Dan saat dia tahu bahwa Dani berencana kuliah di jurusan hukum,
Abi
pun mengikutinya. Mereka masuk di perguruan tinggi yang sama. Dan tak sekalipun
sikap Dani berubah. Dia tetap baik seperti saat mereka berada di SMA.
Ketika
lulus, Dani
langsung di rekrut oleh ayahnya. Dan Abi melamar di kantor itu untuk mengikutinya, dan
diterima. Mereka bekerja di perusahaan yang sama, meski tentu saja, berada di
posisi yang berbeda.
Satu
hal yang tak berubah adalah kebaikan Dani padanya. Yang berubah adalah perasaan Abi. Dani tak lagi menjadi sosok idola
yang dia jadikan contoh. Dia kini menjadi hidup Abi. Sosok yang membuat hari-harinya
hidup. Lelaki yang kini menjadi dambaannya. Pusat seluruh dunianya. Perhatian
dan perasaannya. Lelaki yang dia anggap....belahan hatinya.
Abi tak bisa menahan diri. Semua
lelaki selalu dia ukur berdasarkan standart Dani. Saat dia menyukai seorang bintang
film ataupun penyanyi, tanpa sadar dia akan membandingkannya dengan Dani. Saat dia mengagumi seorang lelaki
di jalan, diapun akan membandingkan lelaki itu dengan Dani. Abi tahu kalau perasaannya tak akan
berbalas. Tapi dia tak dapat menahan perasaannya. Dan dia sudah merasa cukup
hanya dengan berada di dekat Dani.
Menjadi bayang-bayangnya di kejauhan.
**********************************
“Abi, tugas yang biasa. Selesaikan,
ok?”
Abi
hanya menatap tumpukan file yang dibanting oleh Robi itu di mejanya. Accounting bukanlah
pekerjaannya. Dan Robi sudah beberapa kali menyuruhnya untuk
menyelesaikan laporan yang menjadi tanggung jawabnya itu. Abi pernah menolaknya, namun Robi pernah membungkamnya dengan sebuah bogem
mentah yang membuat matanya biru selama seminggu.
Bullying
tidak hanya terjadi di sekolah, pikir Abi kecut. Dani pernah menanyakan kenapa wajahnya lebam. Waktu itu
dia hanya meringis dan mengatakan jatuh di kamar mandi, lalu segera pergi.
Kini, hampir tiap bulan dia mengerjakan laporan Robi. Sialnya, lelaki terkutuk itu
memberi kisikan pada beberapa temannya. Dan tahu-tahu, Abi sudah memikul tanggung jawab bulanan dari 4
orang lainnya. Dan hal itu sering membuatnya harus bekerja ekstra di kantor.
Bekerja saat semua orang telah pulang bukan lagi menjadi hal baru baginya.
Dan
kali inipun sepertinya dia harus pulang telat ke rumahnya. Meski tak menyukainya,
Abi terkadang
bersyukur. Di saat seperti
ini, kantor akan terasa begitu tenang. Jauh dari suasana siang yang nyaris
terus menerus bising. Tak ada
teriakan keras dan perintah-perintah panik berkumandang. Tak ada manusia
brengsek macam Robi yang bukan hanya suka memerintahnya dan bersikap seperti
Bos, tapi juga senang menyindirnya dengan sebutan-sebutan yang membuat panas di
telinga. Abi kira dunia kerja adalah dunia yang akan cukup toleran dalam
menerima perbedaan. Mereka toh bukan sekumpulan anak sekolah yang kadang rasis dan
dangkal. Tapi
ternyata Robi lebih parah dari mereka. Dia kembali membuat Abi merasa kalau
dirinya aneh, menjijikan dan tak layak ada. Meski sejak kecil dia sudah menerima
perlakuan seperti itu, bukan berarti Abi kebal.
Ada saat dimana dia begitu muak dan ingin berteriak.
Tapi tentu saja, hal itu hanya akan membuatnya terlihat konyol. Masih diingat
bagaimana dia lebih memilih diam dan mengecilkan tubuhnya agar tak diperhatikan.
Seakan-akan ingin meringkuk di pojokan dunia, meminta untuk dibiarkan. Tapi
selalu saja ada orang yang menempatkannya di bawah lampu sorot. Yang paling
parah adalah saat celaan itu datang dari mereka yang mengatas namakan Tuhan.
Mengutuknya dan juga mengancamnya dengan berbagai macam jenis hukuman Tuhan
yang membuatnya mimpi buruk.
Abi ingin meminta mereka untuk membantunya.
Membenarkannya jika dia salah. Membimbingnya ke jalan yang benar. Tapi hal itu
jelas mustahil, karena begitu dia mencoba mendekat ataupun bercerita, mereka
telah mengeluarkan berbagai macam kutukan dan ancaman itu.
Melabelinya dengan berbagai macam nama yang mengerikan untuk di sebut.
Dunia memnag berisi dengan berbagai macam warna, pikir
Abi dan meneruskan laporan untuk Robi. Dia menyambungkan headset hp-nya ke
computer dan memutar playlist favoritnya dengan suara yang cukup kencang. Salah
satu cara yang sering dia lakukan untuk kabur dari sesaknya dunia nyata. Pikirannya segera saja
teralih. Kepalanya mengangguk-angguk dengan seru sembari sesekali bergumam
mengikuti lagu.
Dan entah berapa jam waktu berlalu hingga akhirnya dia
selesai. Setelah menyimpan semua data ke
dalam flashdisk, Abi pun mematikan komputernya. Waktu untuk beristirahat, pikir
Abi sembari memberesi mejanya. Tapi kemudian dia ingat akan Pak Andi dan Pak
Obi, dua
satpam malam yang menjaga
kantor ini. Dua orang yang saking seringnya bertemu gara-gara hal seperti
sekarang ini, menjadi teman akrabnya. Dia pernah berniat untuk membelikan satu
kotak rokok untuk mereka berdua. Dan sampai sekarang dia
masih belum melunasi hutang niatnya itu karena lupa. Abi mengetikkan hal itu ke dalam reminder hape-nya
supaya ingat.
“Sudah selesai?”
Abi terlonjak dan sudah hampir berteriak ketakutan.
Entah bagiamana, dia tak bisa melihat Dani yang duduk di meja Mia tak jauh dari miliknya. Lelaki itu terlihat tersenyum geli dengan kedua
tangan terlipat di dadanya.
Lihat
itu. Pose seperti itu seharusnya ada di sampul sebuah majalah, pikirnya.
“Abi?” tegur Dani yang segera saja membuatnya
gelagapan.
“Su-sudah, Pak. Maaf tadi saya tak melihat Pak Dani, “
ujarnya cepat. Dia langsung memalingkan muka dan melanjutkan memberesi mejanya
dengan cepat. Dan yang membuatnya ngeri adalah saat Dani menegakkan tubuhnya
lalu berjalan mendekati mejanya.
“Bisa pinjam flashdisk-mu tadi?” pinta Dani dengan
suara kalemnya.
Meski bingung, Abi hanya mengangguk patuh dan dengan
gerakan agak gemetar dia mengulurkan flashdisk yang dia ambil dari dalam tas
kerjanya.
“Dan……………..bisakah kau berhenti memanggilku Pak saat
kita berada di luar jam kantor? Kau masih ingat kan kalau kita teman sejak
SMA?” godanya lagi.
Abi cuma bisa kembali mengangguk dengan senyum gugup.
“Aku akan menahan flshdisk ini. Tugas yang kau kerjakan
tadi adalah tugas yang kuserahkan pada Robi. Dan aku ingin tahu bagaimana bisa
kau yang justru mengerjakannya?”
Tubuh Abi langsung menegang. Dani memang mengucapkan
kalimat tadi dengan nada santai dan bertanya, seperti layaknya orang yang ingin
tahu. Tapi jelas ada teguran disana. Kalau Robi tahu…..
Abi tak mampu meneruskan kalimat itu dalam hatinya.
“Tugas Robi yang selama ini ku periksa………………. Kau juga
yang mengerjakannya?” tanya Dani lagi.
Abi cuma tertunduk dengan kedua tangan terkepal
dipahanya. Betapa dia ingin bisa menghilang saat ini juga dari tempat ini. Tak
mungkin dia mengatakan hal yang sebenarnya pada Dani kan? Hal itu bukan hanya
mengancam posisi Robi, tapi juga dirinya.
“Abi….bisa melihatku sebentar?” pinta Dani lagi.
Abi memejamkan matanya sejenak. Dia tak memiliki
pilihan lain kan? Apa yang terjadi,
terjadilah, pikirnya pasrah. Dengan gerakan pelan dia mengangkat wajahnya
untuk bertemu dengan mata Dani. Lelaki itu menatapnya dengan tenang, sementara
senyumnya tersungging. Dia terlihat santai dan mempesona seperti biasanya. Tak
ada kemarahan atau teguran dari sorot matanya.
“Aku bertanya sebagai seorang teman yang sudah lama
mengenalmu. Tolong jawab pertanyaanku. Benar kau yang mengerjakan tugas-tugas Robi selama ini?” tanya Dani,
masih dengan ekspresi yang sama.
“Ti-tidak selalu…” kata Abi dengan suara pelan dan
terdengar aneh di telinganya sendiri.
“Tugas laporan bulanan?” tanya Dani.
Abi menjawabnya dengan anggukan.
“Mingguan?”
Kembali anggukan yang diberikan oleh Abi. Dani
mengangkat wajah dan menarik nafas panjang. Dia mengusap wajahnya dengan tangan
kiri. Bahunya terlihat sedikit turun
saat dia kembali memalingkan matanya pada Abi.
Yang mengejutkan adalah saat kemudian dia berjongkok,
mensejajarkan diri dengan pandangan Abi, dan menatap Abi
dengan matanya yang lembut itu, “Sudah berapa lama kau melakukannya?” tanya
Dani lagi.
“B-beberapa bu-bulan…” jawab Abi dan menundukkan
wajahnya, menghindari tatapan Dani yang membuatnya jengah.
“Setahunan?”
Abi kembali mengangguk tanpa mengatakan apapun. Dia
mendengar Dani kembali menarik nafas panjang sejenak.
“Abi……….bisakah kau berhenti terlihat ketakutan
seperti ini? Aku yang
berdiri di hadapanmu sekarang ini hanyalah Dani. Temanmu. Bukan atasanmu,” ujar
Dani.
Dengar
itu. Setelah bertahun-tahun berlalu. Dia masih saja sebaik ini. Belum pernah
ada seorangpun lelaki yang memperlakukan dia seperti Dani. Menghormatinya
seperti yang Dani lakukan.
Segera saja rasa haru menyerangnya. Kali inipun dia hanya mampu menyampaikan
apa yang dia katakan dengan anggukan.
“Sudahlah. Kau pulang saja. Istirahatlah. Aku yang mengurus
ini, ok?” kata Dani lagi.
Abi cepat-cepat bangkit dari meja kerjanya dan keluar
dari ruangan itu tanpa sekalipun melihat lagi ke arah Dani. Kalau dia
melakukannya, dia yakin dia hanya akan mempermalukan diri dengan menangis di
hadapannya.
Hari berikutnya adalah hari yang paling menegangkan
bagi Abi. Sepanjang malam dia membayangkan berbagai macam scenario bagaimana
hari ini akan berlalu. Sayangnya di semua scenario, ada satu hal yang pasti.
Dia akan menerima ‘sesuatu’ dari Robi
yang mungkin akan membuatnya kesakitan selama beberapa hari.
Pagi ini dia datang lebih awal dari biasanya. Tapi yang mengagetkannya adalah saat
dia melewati ruang kerja Dani, dia melihat pria itu sedang duduk menghadap
layar laptopnya. Dan seolah-olah mengetahuinya, Dani mengangkat wajah untuk
melihatnya.
“Sudah datang?” sapanya dengan senyum ramah.
“Se-selamat pagi, Pak,” ujar Abi sedikit gugup seraya mengangguk.
“Abi!” panggil Dani, membuat langkah Abi yang sudah
ingin segera pergi berhenti.
“I-iya, Pak?”
“Nanti bisa makan siang bareng kan? Ada sesuatu yang
ingin aku bicarakan.”
Untuk sejenak Abi hanya mampu termangu. Tapi dia
kemudian mengangguk untuk menyetujuinya. Hatinya berdebar dengan keras. Campuran ingin
tahu pada apa yang ingin Dani bicarakan dengannya, serta apa yang harus ia
katakan pada Robi. Beberapa kali dia melihat kearah pintu masuk. Berdoa agar
Robi tidak masuk kerja hari ini.
Harapan itu hanya berada di hatinya selama kurang dari
dari satu jam. Tubuhnya kembali menegang saat dia mendengar tawa keras Robi
beberapa menit kemudian. Begitu melangkah masuk, mata Robi langsung terarah
padanya. Dia melangkah menuju ke meja Abi dengan senyum tengiknya.
“Semua segera masuk ke dalam ruang rapat!!”
Abi tanpa sadar menarik nafas lega saat mendengar
suara keras Dani yang berdiri di depan ruang kerjanya. Untuk beberapa saat
lamanya, banyak diantara para pegawai yang cuma berdiri bengong. Mungkin karena kaget karena tak
ada agenda rapat pada hari ini.
“SEKARANG!!” tegas Dani lagi yang segera saja membuat
semua bawahannya bergegas. Abi sendiri mulai merasa resah, karena entah mengapa, dia punya perasaan kalau semua ini berhubungan
dengannya. Dia segera menuju ruang rapat dan menempati kursinya yang berada di
pojokan.
Ada banyak gumaman yang terdengardi ruang rapat. Ada
yg berpendapat kalo rapat hari ini berhubungan dengan kasus terbaru yang Dani
tangani. Soal perebutan harga gono gini seorang artis yang ditinggal mati oleh
suami ketiganya. Beritanya sudah sering muncul di media elektronik. Wanita itu
tidak segan-segan membeberkan kasusnya. Malah seperti menikmati perhatian awak
media.
Dan suara gumaman itu terhenti saat Dani memasuki ruangan
dengan wajah kaku.
“Kemarin malam saya kerja lembur di kantor,” kata Dani
memulai sambil berjalan menuju kursinya yang ada di ujung ruangan, “Saya kira
saya hanya sendiri di kantor ini. Ketika jam 11 malam saya keluar dari ruangan
saya, saya menemukan satu orang sedang mengerjakan tugasnya disini.”
Tubuh Abi mulai terasa dingin dengan cepat.
“Robi! Kamu ada di club PRIVATE sampai jam berapa semalam?” tanya Dani dengan
tatapan tajamnya.
Robi tampak kaget dengan pertanyaan Dani, “Bagaimana…”
dia tak meneruskannya. Hanya melihat ke sekeliling ruangan dengan gugup.
“Saya meminta salah satu pegawai firma melacak
keberadaanmu semalam karena saya mendapati Abi mengerjakan tugas yang saya
bebankan padamu. Sampai jam berapa?”
“…………………..jam 2, Pak,” sahut Robi pelan.
“Ada alasan khusus kenapa Abi harus mengerjakan
tugasmu di kantor ini sampai jam 12 malam, sementara kamu berada di club? Ada
klien yang kamu temui disana? Atau mungkin hanya keberatan dengan tugas yang
saya bebankan padamu?”
Robi terlihat menelan ludah dan menggeleng panik.
“Yang saya sayangkan adalah kenapa kalian semua,
terutama yang berada di ruangan yang sama dengan Abi, diam saja dan membiarkan
hal ini terjadi selama setahunan. Dimana solidaritas kalian sebagai teman?”
Tak ada satupun yang menyahut. Sebagian besar yang ada
di ruangan itu hanya menunduk.
“Kalian sudah pernah berada di kantor hingga jam 12
malam?”
Hening!
“JAWAB!!!” bentak Dani keras.
Banyak yang terlonjak kaget saat mendengar bentakan
itu. Beberapa menggumamkan jawaban tidak dengan suara lirih.
“Bagus kalau kalian tidak pernah merasakannya. Karena
hari ini, kalian akan berada di kantor ini hingga jam 12 malam. Saya tidak
perduli kalian mengerjakan apa. Tapi saya hanya akan mengijinkan kalian, yang
berada di departemen yang saya pimpin,
pulang setelah jam 12 malam. Dengan begitu kalian akan tahu apa yang Abi
rasakan selama ini. Kalian semua yang berada dalam ruangan ini, ikut bersalah
karena kalian membiarkan ketidak adilan ini terjadi begitu lama. Mungkin dengan
begitu kalian akan belajar untuk berempati.
Segera hubungi keluarga kalian. Beritahukan mereka
bahwa kalian tidak akan bisa pulang hingga jam 12 malam. Bagi yang keberatan,
saya sarankan untuk segera membuat surat pengunduran diri. Saya sendiri yang
akan memberikan pesangon bagi kalian. Dan kalau sekali lagi saya menemukan
ketidak adilan seperti ini kembali terjadi, saya tidak akan segan-segan
memberikan teguran yang lebih dari ini. Saya orang yang memperjuangkan keadilan
di ruang sidang. Dan saya tidak akan membiarkan sebuah ketidak adilan terjadi
di tempat yang saya naungi.
Ada
lagi. Saya juga tahu kalau bukan hanya Robi yang menjadi bully di kantor ini.
Saya sarankan bagi mereka yang pernah membebankan tugasnya pada Abi, untuk
segera ke menghadap ke ruangan saya. Saya akan tunggu sampai jam makan siang.
Setelah itu, saya akan menolak siapapun yang datang menghadap. Dan saya akan
pastikan, mereka yang tidak masuk ke ruangan saya, dipecat dengan tidak hormat
dan tanpa surat rekomendasi.”
Dengan kalimat terakhir itu Dani berbalik dari
tempatnya dan melangkah pergi. Tapi saat hendak mencapai pintu, dia berhenti
dan kembali berbalik, “Satu hal lagi yang saya lupa. Robi, saya berikan
posisimu pada Abi, karena secara tidak langsung, selama ini dialah yang
bekerja. Segera bersihkan ruanganmu dan ambil meja Abi. Abi?!”
Abi menoleh padanya, bengong.
“Kau sudah aku promosikan. Selamat! Segera tempati
kantor barumu dan ku harap kau tetap memberikan dedikasimu terhadap firma ini,”
kata Dani dengan senyum menawannya. Dan dia pun keluar dengan langkah lebar.
Keheningan dalam ruangan itupun pecah. Banyak dari
mereka yang melampiaskan kemarahan mereka pada Robi
dan sekutunya. Beberapa
bahkan tak segan mengeluarkan makian keras yang diikuti dengan daftar akibat
dan resiko yang mereka tanggung akibat ulah Robi. Abi sendiri lebih memilih
diam.
Dia sadar semua bukan kesalahannya, tapi hal itu tidak
berarti dia lepas dari cacian mereka. Sepanjang hidupnya dia sudah terlalu
sering mendapati dirinya disalahkan atas perbuatan yang bahkan bukan keinginannya. Contohnya saja
orientasi seksnya.
Karena itu dengan kepala tertunduk dan sedikit takut,
dia bangkit dan perlahan-lahan keluar dari sana. Dia segera menuju mejanya dan
duduk disana dengan benak yang masih berkabut karena kejadian tadi. Apakah
benar dia harus segera mengemasi mejanya dan pindah ke ruang Robi? Itu berarti dia menjabat sebagai head
accounting dari departemen ini.
“Bi, perlu bantuan beresin mejamu?” tanya Mia yang
mejanya semalam diduduki oleh Dani.
“Eng-enggak Mi. Makasih..” jawabnya agak gagap.
Mia mengangguk, “Selamat ya?! Maaf kalo selama ini aku
gak pernah bantuin. Tahulah… Sama-sama kacung kecil. Mau protes juga bakal
dapat marah doang,”
katanya lagi.
Abi hanya mampu menjawabnya dengan cengiran kecil.
Memang benar. Siapa sih yang bakal dengerin mereka yang cuma staff kecil?
Akhirnya dengan sedikit ragu, dia mulai mengemasi meja
kerjanya.
Jam-jam berikutnya berlalu tanpa Abi sadari. Banyak
tugas yang harus dia bereskan pada posisi barunya. Dan pada hari pertamanya
ini, dia ingin menunjukkan pada Dani, bahwa dia tak salah menunjuknya
sebagai head accounting.
“Sudah siap Bi?” tanya Dani yang tiba-tiba ada didepan pintu
ruang kerjanya.
Abi mendongak tak langsung menjawab. Tapi malah
bengong melihat Dani yang dengan langkah santainya berjalan mendekat. Dia
terlihat segar dan harum tubuhnya tercium. Apa
dia habis mandi?
“Bi…..?”
“Maaf..!” ujar Abi dan segera menggelengkan kepalanya,
“Se-sebentar. Aku akan menyimpan file dulu,” jawabnya cepat sembari berpaling
pada layar komputernya.
“Suka kantor barumu?”
Abi tak langsung menjawab. Dia menghentikan sejenak
jemarinya yang berada di atas keyboard. Sejak tadi dia ragu untuk mengatakan
sesuatu, tapi dia mencoba memberanikan diri, “Ma-maaf, Pak. Tapi……………..apa
perlu posisi ini saya yang isi? Sa-saya rasa banyak yang lebih layak…”
“Bukan mereka yang selama ini mengerjakan tugas Robi.
Kau yang mengerjakannya. Kau sudah menempati posisi ini, tanpa kau sadari. Dan
hasil kerjamu yang ditunjukkan Robi selama ini telah membuktikan kalau kau
komnpeten. Jadi…………ini hanya bentuk resminya saja.”
Abi terdiam tanpa mampu menjawabnya.
Dani hanya tersenyum dengan sikapnya, “Sudahlah. Ayo!
Aku sudah lapar,” ajak Dani lagi.
Abi tersenyum tipis yang mungkin lebih mirip dengan
cengiran. Diapun menutup komputernya dan bangkit mengikuti Dani yang menunggunya
di pintu. Dan begitu mereka melangkah keluar, Abi bisa merasakan pandangan
beberapa rekan kantor yang memperhatikan. Dalam benak Abi, mereka seolah-olah
mengiringi tiap langkahnya dengan suara kasak kusuk yang mengambang di udara.
Entah itu memang benar atau hanya perasaannya. Yang jelas, Abi menjadi tak
nyaman dibuatnya.
Aku
hanya akan membuat reputasi baiknya ternoda, pikir Abi muram.
Hal itu terus menjadi beban di benaknya selama makan
siang. Dani yang mencoba mengajaknya bicara kadang harus mengulang
pertanyaannya.
“Mungkin kau terlalu tegang disini,” ujar Dani dan
menatap berkeliling pada restoran yang cukup ramai, “Ikut aku…” katanya dan
bangkit.
Abi yang bengong hanya mampu mengikutinya. Dani
membawanya ke taman kota yang ada di dekat kantor mereka. Taman yang sore hari
biasanya ramai itu kini cukup sepi. Hanya ada satu dua orang yang lewat. Dani
membawanya ke sebuah gazebo dekat kolam setelah membeli sandwich dan dua botol
minuman.
“Disini tempat biasanya aku beristirahat kalau jenuh
dengan suasana kantor,” jelasnya singkat sembari menyerahkan satu sandwich pada
Abi. Abi hanya mampu menerimanya dengan kikuk.
Lalu keheningan kembali menyelimuti mereka.
“Kenapa Bi?” tanya Dani heran, “Kamu sadar kalo sejak
tadi tak sekalipun kau mengatakan sesuatu?” tanya Dani yang akhirnya tak tahan
dengan keheningan diantara mereka.
“Seharusnya kau tak perlu mengajakku,” gumam Abi pelan tanpa mengangkat wajah.
“Kenapa memangnya?”
“Aku hanya akan merusak nama baikmu. Semua orang di
kantor tahu kalau aku…” Abi tak mampu membuatnya meneruskan kalimatnya.
“Gay?” lanjut Dani singkat membuat Abi terkesiap
kaget. Dani tertawa kecil dengan reaksinya, “Tak ada satupun
orang yang berhak mengatur dengan siapa aku boleh atau tidak boleh berteman. Seharusnya kau tahu itu,” sambung Dani santai.
Abi terpana. Dia serasa mengalami sebuah déjà vu.
Beberapa tahun yang lalu, Dani juga mengatakan hal yang sama. Seakan waktu
berputar kembali disaat mereka hanyalah dua orang remaja SMA yang naïf dan
belum mengenal dunia.
“Kau pernah mengatakan hal yang sama saat kita masih
SMA,” gumam Abi.
“Aku masih tetap Dani yang sama, Bi. Dani yang dulu
pernah kau temani, meski semua orang menjauhinya..”
Abi tentu saja hanya bisa terlongong heran dengan
kalimat Dani tadi. Lelaki itu melihatnya dengan senyum tipis. Tapi ada sesuatu
di matanya yang membuat Abi merasa ditarik.
“Kau benar-benar tak mengingatnya ya?” tanya Dani
pelan. Dia mengambil gelas jus-nya dan menyesap isinya tanpa sekalipun melepas
kontak mata mereka.
Abi menggeleng ragu.
“Bertahun-tahun aku menunggumu untuk mengingatnya.
Tapi seolah-olah kau menghapus kenangan yang kau miliki bersamaku. Sejak
pertama kali kita bertemu, tak sekalipun kau menyebutku. Selama bertahun-tahun,
tak sekalipun kau bercerita tentang masa-masa dimana hanya ada kita berdua.
Berjalan bersama menyusuri jalanan kampung dengan sebuah tampah di kepala dan
ranjang di tanganku. Di siang yang terik dan bergantian kita berteriak ‘pisang
goreeeeng’.”
Tanpa sadar Abi menarik nafas kaget. Ingatannya
kembali pada saat dia masih berumur 8 tahunan. Masa dimana dia tinggal di
sebuah desa kecil yang ada di lereng gunung Parahiyangan. Masa yang ia lalui
bersama dengan bocah lelaki pertama yang membuat dunianya kacau balau.
“Da-Dadang?!” gumamnya tak percaya.
Dani mengangguk dengan bibir yang masih tersungging,
“Itu nama yang diberikan oleh orang tuaku. Kau benar-benar tak bisa melihat
sosokku yang sebenarnya, Bi?” tanya Dani dengan suara lembut.
Hanya butuh hitungan detik bagi mata Abi untuk
mengembang basah.
Dadang adalah seorang anak yatim yang paling dekat
dengannya. Dulu saat pertma kali ayahnya yang seorang guru ditugaskan di
kampong CIXXX yang ada di kaki gunung Parahyangan, Abi merasa sedih. Kampung
itu benar-benar terpelosok. Suasanya begitu kental dengan suasana derah kaki
gunung. Rumah-rumah banyak yang terbuat dari kayu dan bamboo. Hanya beberapa
rumah saja yang memiliki aliran listrik. Sementara yang lain masih menggunakan
minyak tanah. Jalanan kampung yang masih berupa tanah dan kadang becek karena
hujan. Sungai yang selalu ramai oleh para penduduk yang mandi, mencuci ataupun
membersihkan ternak mereeka.
Di tempat itu, Abi melihat sosok Dadang pertama kali yang berjalan
keliling kampung
dengan mengusung sebuah tampah serta menjinjing sebuah keranjang berisi
jajanan. Masih jelas diingatnya suara kecil yang sedikit nyaring, terdengar
setiap siang dan sore melewati depan rumah dinas ayahnya. Sosok kecil itu
menjajakan dagangannya dengan rajin setiap hari, tanpa memperdulikan cuaca yang
kadang panas ataupun hujan.
Yang membuatnya dia terkesan adalah saat dia tahu
Dadang adalah teman sekelasnya di SD. Dan bahwa Dadang adalah pemegang juara
kelas sejak kelas 1. Di sekolah Dadang termasuk anak yang cukup penyendiri.
Apalagi sikap beberapa temannya yang terkadang membuat Abi tak enak hati.
Mereka sering mengolok baju Dadang yang lusuh, serta sepatunya yang sobek dan
penuh tambalan. Terkadang anak-anak memang bisa menjadi kejam. Mereka dengan
polos bisa mengatakan apa yang ada dalam benak mereka tanpa memperdulikan efek
yang dirasakan oleh korbannya.
Dari Ayahnya yang juga guru kelas 4 di SD-nya Abi tahu
bahwa Dadang memang berasal dari keluarga tak mampu. Dia hanya memiliki seorang
Ibu yang kini hanya
mampu terbaring karena sakit stroke yang di deritanya.
Ayahnya telah kabur beberapa tahun lalu dan tak ada
kabar hingga kini. Konon dia sudah meninggal di negeri
orang. Dadang kecil
adalah tulang punggung keluarga. Dia yang mencari nafkah untuk Ibu dan dirinya.
Memasak, merawat sang Ibu dan berusaha untuk tetap bertahan hidup dalam segala
keterbatasan mereka.
Benak Abi yang waktu itu masih kecil memang tak bisa
mencerna dengan dalam kehebatan Dadang dalam bertahan hidup. Tapi yang dia tahu
adalah dia merasa sangat salut akan kemampuan Dadang. Dia tak mengerti
bagaimana Dadang bisa mengurus dirinya sendiri beserta Ibunya. Dia masih bisa
bersekolah, berjualan, dan mengurus keperluan hidupnya. Abi sendiri kadang
merasa kewalahan dalam membereskan kamarnya. Selalu saja ada barang yang tergeletak.
Tapi Dadang bisa membereskan rumah dan juga hidupnya.
“Karena itu kamu harus bisa belajar dari Dadang, Bi,”
ujar ayahnya waktu itu saat Abi menyebutkan kekagumannya, “Kalau Dadang yang
sudah sendiri mampu seperti itu, kamu yang masih memiliki ayah dan Ibu, harus
bisa lebih.”
Keberanian Abi untuk menyapa sosok yang entah kenapa
membuatnya terkesan itu adalah saat Dadang lewat, berjualan ketika hujan mulai
turun. Ayahnya yang memanggil Dadang untuk membeli beberapa gorengannya. Hujan
turun dengan deras ketika Dadang baru saja melangkah masuk ke serambi rumahnya.
“Waduuhh deras juga. Kamu tunggu disini saja Dang.
Kalau hujan sudah reda, kamu bisa melanjutkan jualannya, “ saran Ayah Abi.
“Nuhun Pak,” jawab Dadang waktu itu pelan. Tapi
matanya menatap sedih ke arah hujan yang mengguyur.
Abi tak tahu apa yang mendorongnya, tapi dia mendekat
perlahan ke Dadang, “Udah laku banyak Dang?” tanyanya.
“Lumayan Bi,” jawab Dadang tanpa melihatnya. Abi lalu
mengulurkan uangnya untuk membeli 4 gorengan.
“Dadang mau masuk dulu? Kan bisa nonton tv sambil
nunggu hujan reda,” tawar Ibu Abi yang muncul dari dalam dengan membawa piring
kosong.
“Terimakasih, Bu. Disini saja,” jawab Dadang sembari
mengangguk takdim.
“Ya sudah. Ibu beli…” beliau menoleh pada Abi yang
sudah asyik mengunyah gorengannya,
Abi sudah beli juga?”
Abi sudah beli juga?”
Abi hanya mengagguk sembari nyengir.
“Ibu beli 10 ya, Dang. Si ayah nanti malam mau lihat
pertandingan bola katanya. Jadi butuh camilan,” lanjut Ibu dan menyerahkan
piring kosongnya pada Dadang.
“Nuhun Bu,” jawab Dadang dan segera mengisi piring
setelah menerima uang dari Ibu Abi.
“Abi mau nemenin Dadang dulu?” tanya Ibu yang sudah
hendak beranjak. Abi hanya mengangguk untuk menjawabnya.
Saat Ibu dan Ayah Abi menghilang ke dalam rumah, untuk
beberapa saat lamanya Abi dan Dadang hanya duduk disana sembari memandang
hujan.
“Sudah lama kamu berjualan gini, Dang?” tanya Abi
akhirnya, memecah keheningan.
“Lumayan, Bi.”
“Kamu yang bikin sendiri?”
“Enggak lah. Ada tetanggaku, deket rumah. Aku cuma
jualan saja,” jawab Dadang dengan mata yang masih menatap hujan. Dia terlihat
cemas.
“Kenapa Dang? Kok kamu….keliatan bingung?” tanya Abi
penasaran.
“Hujannya lama. Kalau gini nanti aku bisa terlambat
pulang. Kan masih harus ke desa sebelah. Aku kasian ma Ibu di rumah, nungguin,”
ujar Dadang dengan nada sedih.
Saat itu, untuk pertama kalinya Abi sangat ingin
memeluk Dadang. Otak anak-anaknya memang tak bisa memahami mengapa dia begitu
ingin melakukannya, yang jelas dia merasa kalau Dadang sangat membutuhkan
sebuah pelukan hangat. Tapi tentu saja, dia tidak melakukannya. Akan terasa
aneh. Dan Dadang mungkin akan menganggapnya gila.
Untuk mengatasi kecanggungan serta keheningan diantara
mereka, Abi mengajaknya ngobrol ngalor ngidul. Dari pembicaraan itu, Abi banyak
mengetahui kegiatan sehari-hari Dani.
Waktunya habis ia gunakan untuk mengurus rumah, Ibu,
bersekolah dan berjualan. Dia tak memiliki waktu luang seperti anak-anak
kebanyakan. Bermain bagi Dadang sama dengan berjualan. Dia harus berkeliling di
beberapa kampung
sebelah untuk menjajakan dagangannya. Melewati jalanan persawahan dan hutan
kecil. Bagi Dadang itulah saat-saat dia bermain. Menyusuri jalanan, berhenti
untuk beristirahat di bawah rindang sebuah pohon atau di pinggir sungai. Menikmati
pemandangan alam dan ciptaan Tuhan.
Dan untuk kesekian kalinya, Abi merasakan iba padanya.
Dia sendiri terkadang terlalu banyak memiliki waktu luang hingga tak tahu harus
melakukan apa. Paling-paling ia gunakan untuk tidur. Tapi Dadang….
Kedekatan merekapun dimulai sejak hari itu.
Atas izin ayahnya pula, Abi ikut menemani Dadang
berjualan. Waktu itu dengan tersenyum Ayah Abi berkata, “Sudah waktunya kamu
belajar lebih menghargai apa yang sudah kamu miliki. Mungkin bersama dengan
Dadang, kamu akan mengerti makna dari sebuah perjuangan hidup. Bersama
dengannya mungkin kamu akan belajar menjadi pribadi
yang baru. Dan Ayah bangga,
kamu bisa memiliki empati yang besar untuk anak seusiamu.”
Waktu itu Abi tak begitu memahami apa makna dari
kalimat ayahnya itu. Dia hanya tersenyum senang apalagi saat Ayahnya mengusap
kepalanya dengan lembut sementara senyum bangga tersungging di bibirnya.
Sepertinya dia telah melakukan hal yang benar.
Meski sang Ibu sedikit keberatan dan memberinya
berbagai macam nasihat, menyuruhnya untuk selalu memakai topi dan baju lengan
panjang sebagai pelindung dari sengatan matahari. Tapi atas bujukan Ayah,
Ibunya membiarkannya.
Petualangan kecil mereka berduapun dimulai.
Berkeliling dari satu desa ke desa lainnya. Menyusuri jalanan sembari bercanda.
Sesekali berhenti sebentar di pematang sawah ataupun pinggir sungai. Ngobrol
akan segala macam hal. Membuat Abi semakin memahami akan ritme dan situasi
hidup Dadang. Membuatnya semakin kagum akan sosoknya.
Bagi Abi, Dadang seperti superhero yang dia lihat di
tv. Dia kuat dan tangguh. Meski usia mereka sama, tapi Dadang memikul beban
yang jauh lebih berat darinya. Kalau dibandingkan dengannya, Abi merasa kecil
dan malu. Dia sudah mengeluh ketika Ayahnya di tugaskan di kampung ini. Tapi lihatlah Dadang…
Abipun tak segan membagi apa yang dia miliki. Setiap
kali dia mendapatkan hadiah dari Ayah atau Ibu yang pulang sejenak menjenguk
kakek dan Nenek di Bandung, Abi akan membaginya dengan Dadang. Mainan akan
mereka gunakan bersama. Makananpun akan mereka nikmati bersama. Dan sesekali Dadang juga mendapatkan hadiah sendiri
dari orang tua Abi.
Dan Abi tak pernah merasa dekat dengan orang lain
seperti kedekatannya bersama Dadang. Kalau dipikir, mungkin itu adalah pertama
kalinya dia jatuh cinta. Dadang menjadi satu sosok penting dalam masa kecilnya. Kedekatan mereka
berdua memiliki makna dalam yang terlalu sulit untuk dipahami oleh benak polos
mereka. Yang jelas, Abi selalu ingin bersama dengan Dadang.
Tapi kemudian kematian Ibu Dadang mengubah segalanya.
Waktu itu Abi hanya mampu terus berada di sisi Dadang
yang terkesan menarik diri. Tidak sekalipun dia bicara ataupun menangis. Dia
sekan-akan memisahkan diri dari sekelilingnya. Ayah Abi yang membantu mengurus
segalanya mencoba membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk Dadang,
bersama dengan aparat desa. Tapi mereka tak bisa menemukan sanak saudara yang
mungkin bisa mengurus Dadang.
Hingga kemudian salah seorang teman Ayah Abi memiliki
kenalan yang bersedia mengadopsi Dadang. Hari dimana mereka menjemput Dadang
dengan sebuah mobil adalah hari yang tidak pernah Abi lupakan. Waktu itu dia
hanya bisa berdiri didepan rumahnya. Melihat ke
arah Dadang yang berdiri di
samping mobil tanpa mengangkat kepalanya. Sejak Ibunya meninggal, dia nyaris
tak pernah berbicara dengan siapapun, termasuk Abi. Abi sendiri ingin
mengatakan sesuatu. Mengajaknya bercanda dan ngobrol seperti biasa. Tapi Dadang
tak terpengaruh. Dia menolak untuk bereaksi. Bahkan hingga kini saat mereka
hendak terpisah jauh.
Abi Cuma berdiri di tempatnya saat Dadang naik ke
mobil. Hingga mobil kemudian bergerak menjauh, tak sekalipun Dadang mengangkat
wajahnya. Dia menghindari tatapan semua orang. Abi menyadari kalau Dadang
sedih. Tapi dia juga tak tahu harus melakukan apa. Jadi dia hanya berdiri
disana. Menatap mobil yang kian mengecil itu dan akhirnya menghilang di
kejauhan.
Saat itulah dia baru sadari kalau pipinya telah basah.
Dan ada rasa sakit aneh yang dia rasakan di dadanya. Rasa sakit yang hingga
kini, bertahun-tahun kemudian, baru ia pahami. Itu adalah rasa sakit yang akan
dirasakan seseorang ketika mereka kehilangan orang yang di cintai.
Dan kini, Dani yang duduk dihadapannya mengatakan
bahwa dia adalah Dadang. Cinta pertamanya.
“Aku masih ingat bagaimana kita berjalan-jalan
menyusuri jalanan kampung
sebelah. Menjajakan gorengan Teh Ririn. Dari semua temanku, hanya kau yang
mampu mengerti kehidupan seperti apa yang aku jalani, “ujar Dani pelan, “Bahkan
ketika masih kecil, kau sudah memiliki empati yang begitu besar. Menakjubkan
bagaimana kau yang masih berusia 9 tahun, bisa mengerti kalau aku membutuhkan
seseorang. Kau tahu kalau aku tak bisa bermain seperti anak-anak pada umumnya.
Aku memiliki tanggung jawab yang harus ku pikul. Dan entah bagaimana, kau bisa
mengerti itu.”
Abi tak tahu harus mengatakan apa.
“Kau memberikan satu hal yang paling aku butuhkan saat
itu..”
Abi hanya mampu melihatnya dengan tatapan tanya.
”Teman. Kau tak bisa membayangkan betapa kesepiannya aku sebelum kau datang. Aku tak pernah memiliki waktu
untuk bermain bersama anak-anak seusiaku. Aku punya banyak hal yang harus ku
bereskan. Menjadi bulan-bulanan anak-anak kampung sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Aku tak bisa
menyatu dengan mereka karena keadaanku. Bajuku selalu lusuh dan penuh tambalan.
Penampilanku kumuh dan tak terawat. Sekarang aku bisa memahami kalau mereka hanyalah anak-anak.
Tapi tetap, saat itu aku selalu merasa berbeda dan bukan bagian mereka.
Tapi kau…..justru datang mendekat. Mengulurkan
tanganmu padaku. Membagi apa yang telah kau miliki denganku. Menemaniku.
Berkeliling kampung menjajakan gorenganku. Hal yang selama ini menjadi
lelucon bagi anak-anak seusiaku.”
“Aku justru kagum dengan apa yang kau lakukan,” bisik
Abi lirih dengan senyum tipisnya,
“Kau menanggung beban yang terlalu berat pada usia
yang masih muda. Tapi kau bisa melakukannya.”
Dani tertawa kecil, “Kau lihat? Bahkan untuk seorang
anak kecil, kau memiliki empati yang mengagumkan. Dan penyesalan terbesarku
adalah saat aku harus berpisah denganmu tanpa mengatakan apapun…”
Abi menarik nafas tertahan.
“Aku tak mampu mengucapkannya Bi,” jelas Dani. Tangan
kanannya terulur dan menarik jemari kiri Abi, menggenggamnya sejenak, “Kalau
waktu itu aku mengucapkan selamat tinggal padamu, aku merasa seakan-akan aku
memutuskan segala yang telah kita miliki bersama. Ucapan selamat tinggal akan terasa final dan
akhir dari segalanya. Satu-satunya hal yang aku bawa dari kampung itu adalah kenanganku bersamamu. Ketika aku masuk
ke dalam mobil Papa dan meninggalkanmu yang berdiri didepan rumahmu itu, aku
berjanji pada diriku sendiri. Bahwa aku akan kembali. Aku akan menemuimu lagi.
Suatu saat..
Dan aku kembali ke sana, Bi. Mencarimu. Tapi berita
yang kudapatkan adalah kalian sekeluarga telah pindah. Untunglah aku bisa
menemukan kalian sekeluarga. Tapi kau………………..begitu jauh berbeda. Kau bahkan
tak mengenalku.”
Abi yang bisa melihat ironi dalam cerita Dani tertawa,
“Bagaimana aku bisa mengenalmu? Kau jauh dari sosok Dadang yang aku tahu. Kau
bukan lagi bocah dengan kulit kusam dan baju lusuh seperti dulu. Kau Dani, anak
pindahan dari Sidney dengan segudang prestasi dan penampilan yang…..” Abi ingin
mengatakan ‘menakjubkan’, tapi ragu. Takut akan reaksi Dani nantinya.
“Papa mengubah namaku. Dia bilang, aku mulai menapaki
kehidupan baru. Sudah seharusnya aku melepas bayangan masa laluku. Agar aku
tumbuh menjadi pribadi yang baru dan berbeda. Waktu itu aku hanya menurutinya.
Aku tak perlu lagi berdagang keliling kampung di bawah terik matahari. Papa memberikan segala
macam fasilitas yang sebelumnya tak pernah ku dapatkan. Dan aku tak ingin
mengecewakannya. Jadi aku berusaha sebaik mungkin.”
“Jadi kau harus maklum kalau aku tak mengenalmu lagi
kan?’” seloroh Abi.
Dani tersenyum, “Aku masih Dadang yang sama, Bi. Tapi
kau…….”
“Kenapa?”
“Kenapa kau jadi sosok yang……………..penyendiri. Kau terkesan
memisahkan diri dari lingkungan. Bahkan ketika aku mencoba mendekatimu. Kau nyaris
selalu terkesan…………………ketakutan.”
“Kau sudah tahu berita yang tersebar di sekolah dulu kan?”
“Bahwa kau gay?”
Abi mengangguk pelan, “Aku sudah terlalu sering
menjadi bulan-bulanan. Jadi aku lebih suka menjauh,” jelas Abi mencoba
terdengar biasa, meski tetap tak bisa menyembunyikan kegetiran dalam suaranya.
“Kenapa kau tidak bangkit dan melawan mereka?”
Kali ini Abi tertawa pahit dengan saran Dani, “Kau
lupa kita berada dimana? Kita di Indonesia, Dan. Bukan Sidney, Australia.
Disini gay identik dengan bencong pinggir jalan yang menawarkan jasa untuk
menjilati kejantananmu,” tukasnya. Dan detik dimana kalimat itu keluar, Abi
menyesalinya. Tapi sudah kepalang basah, “Di mata masyarakat aku sudah menjadi
aib. Pemuka agama mengutuk orang-orang seperti aku.”
“Bi…”
“Aku sudah jadi makhluk aneh sejak aku tertarik pada
sesama jenis, Dan. Kau mungkin merasa berbeda saat kau kecil. Tapi kau berbeda
karena melakukan perbuatan terpuji. Kau berjuang demi hidupmu dan Ibumu. Tapi
bisa kau bayangkan tumbuh sebagai remaja yang berbeda karena dia memiliki aib
yang bukan hanya menjadi momok dalam lingkungan tempat tinggalmu, tapi juga di
dunia?”
“Sudah banyak belahan dunia yang menerima gay.”
“Tapi tidak seperti itu rasanya bagiku,” ujar Abi
pahit, “Disini aku selalu merasa dituding dan di hakimi. Disini aku selalu
merasa kalau aku kotor dan terkutuk. Rasanya tak ada yang bisa mengerti aku.
Tak mungkin ada yang bisa menerimaku. Mereka bahkan sudah menghakimi sebelum
aku membuka mulut. Kau tahu sendiri bagaimana sikap teman-teman sekolah kita.”
“Itu karena kau menbiarkannya, Bi.”
“Kalau aku melawan, siapa yang akan mendukungku, Dan?”
tanya Abi.
“Aku..” jawab Dani lugas.
Mendengar jawaban singkat Dani, Abipun tersenyum, “Aku
tahu itu. Bahkan sejak SMA dulu. Dan aku berterima kasih karenanya. Kau membuat
masa remajaku terasa lebih ringan. Kini aku tahu kenapa.”
“Kau tak pernah membiarkanku mendekat. Kau selalu
menjaga jarak denganku..”
“Aku tak ingin menyeretmu dalam kubanganku, Dan. Kau
sudah cukup membantuku. Kau satu-satunya hal yang memberiku dorongan untuk
maju. Aku tak ingin kehilanganmu sebagai sosok yang ku panuti karena fakta
bahwa aku menyukai sesama jenis. Kau punya banyak hal yang patut di banggakan.”
“Kapan kau menyadari kalau aku tak memperdulikan hal
itu?” tanya Dani.
“ Tapi aku peduli, Dan. Tak mungkin aku menyeret orang
lain ke dalam atmosfir menyedihkan yang ku miliki. Orang-orang akan menuding
dan menghakimimu. Kau akan memiliki coreng yang selamanya ada di dahimu.
Bayangkan akalu orang tua angkatmu tahu. Mereka akan..”
“Mereka sudah tahu..”
Untuk sejenak Abi terdiam. Dia hanya memandang Dani
bingung, “Ma-maksudmu…”
“Mereka tahu aku gay.”
Hening!
“Ba-bagaimana…” Abi tak mampu meneruskan kalimatnya.
Dani mengangkat bahunya, “Aku sudah menyadarinya saat
aku tak pernah bisa melupakanmu dari kehidupanku. Papa mengatakan agar aku
menjadi seorang pribadi baru, karena aku memiliki kehidupan bersamanya. Aku
meninggalkan semua kenangan pahitku di belakang, Bi. Kecuali apa yang pernah ku
miliki bersamamu. Menurutmu kenapa aku mencarimu kembali ke kampung itu?”
“D-Dan…”
“Tapi tiap kali aku mencoba mendekatimu, kau selalu
menghindar. Selalu terlihat rapuh dan takut. Jadi kupikir…………aku akan
membiarkanmu tumbuh seperti apa yang kau mau. Tapi hingga kini…..aku belum
pernah melihatmu melangkah maju. Aku sudah menyiapkan diri untuk melihatmu
jatuh cinta pada seorang pria. Membuka dirimu. Pergi berkencan dan mengenal
pacaran. Mungkin merasakan sakit hati. Pada saat itu aku akan selalu ada di
sampingmu. Menenangkanmu dan memberimu cinta yang mungkin akan membuatmu jatuh
hati padaku.”
Seperti ada gumpalan menyakitkan yang ada di
tenggorokan Abi. Gumpalan yang membuatnya sulit untuk menelan ludah dan membuat
matanya perih. Dia hanya mampu mengerang pelan dan menggelengkan kepalanya.
“Bi…?” panggil Dani pelan.
“Tak pernah….” Abi diam sejenak untuk mengumpulkan
suara, “….tak pernah ada orang lain dlam hidupku, Dan.”
“Aku tahu itu…..”
“Karena aku tak pernah melihat orang lain selain
kamu…”
Kalimat yang tidak terlalu penjang itu seperti mengangkat
beban yang ada didada Abi. Dia tertawa kecil dengan ekspresi Dani. Dia
mengutuk dirinya sendiri. Semua celaan, hinaan dan pelecehan yang dilakukan
oleh orang-orang di masa remajanya telah membuatnya menjadi pribadi yang
pengecut. Membuatnya menjadi orang yang selalu takut akan rasa sakit dan hinaan.
Membuatnya menarik diri dari hubungan sosial. Terlalu takut untuk memiliki
sebuah hubungan. Rasa kecewa dan sakit hati akan pengkhianatan Kathy yang
menjadi awal dari segalanya. Dia berpikir, kalau Kathy yang sahabatnya saja
bisa mengkhianatinya, apalagi orang lain.
Dan lihat akibatnya. Dia menjadi tidak peka. Dan
terlalu bodoh untuk menyadari bahwa ada seseorang yang peduli padanya. Orang
yang berada begitu dekat dengannya. Tapi semua itu tertutupi. Selama bertahun-tahun
dia tak mampu melihatnya.
“Bi…”
“Kau selalu menjadi cinta pertama bagiku. Dadang
menjadi sosok pertama yang dekat dengan hatiku, Dan,” bisiknya lirih.
Senyum lebar yang tersungging di bibir Dani nyaris tak
terlihat oleh Abi. Matanya kabur oleh air mata yang menggenang. Dan ketika Dani
bangkit dan mengembangkan kedua tangannya, mengundangnya, Abi segera
menjatuhkan dirinya dalam
pelukannya. Tahu bahwa kini dia sudah memiliki seseorang. Dia tidak lagi
sendiri.
Dia memiliki Dani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar