Translate

Selasa, 29 September 2015

LONELY NO MORE







LONELY NO MORE





Abi  kembali melirik pada Dani yang baru keluar dari ruang rapat. Seperti biasa, lelaki itu terlihat menawan. Dengan tubuh tegap, baju yang tersetrika rapi dan jelas meneriakkan kata mahal serta di dukung oleh postur tubuhnya yang tinggi itu, membuat dia menjadi bahan gosipan para pegawai wanita di kantor ini. Fakta bahwa dia bujang, dan juga putra tunggal dari firma hukum Soeryawan malah menambah poinnya dimata para pemujanya yang tak berhenti kasak kusuk. Wajahnya yang kadang bisa berubah dari ramah, ke dingin dan bahkan nyaris kejam justru semakin memperkuat daya tariknya. Sebuah majalah hukum ternama di Indonesia menggambarkan Dani sebagai aktor kawakan panggung pengadilan termuda yang dimiliki negara ini. Dia bisa menjadi seorang lelaki dengan kebaikan malaikat dalam satu detik dan tiada ampun sekejam iblis pada detik berikutnya. Dalam waktu kurang dari dua tahun dia sudah memiliki reputasi yang nyaris menyamai ayahnya, Johan Soeryawan. Dan sudah beberapa tahun ini, dia menjadi aktor utama dalam setiap mimpi erotis Abi.

Tapi Abi sudah hampir kehilangan akal dibuatnya. Dani menjadi nemesis yang seakan akan tak pernah berhenti menerornya. Hal itu diperburuk oleh sikapnya yang entah kenapa selalu saja baik pada Abi. Ada saat dimana Abi berpikir bahwa Dani, hanya bersikap seperti itu padanya. Tidak pada orang lain. Tidak satupun selain pada dirinya.

Lemah lembut, sabar dan nyaris penuh kasih sayang. Tidak sekalipun dia melihat ataupun mendengar Dani berbicara pada pegawai kantor lainnya, seperti caranya berbicara pada Abi. Bahkan Abi berani bersumpah, tatapan matanya terlihat .......begitu sendu saat menatapnya.

Abi tahu kalau hal itu mungkin hanyalah khayalan konyolnya. Tapi............................ada saat dimana dia mempertanyakan kebenaran hal itu.  Karena kebaikan Abi itu sudah dia rasakan sejak mereka berada di SMA.



Abi sudah tahu dia gay semenjak dia berada di kelas 9. Saat dimana tubuhnya mulai bereaksi pada rangsangan seksual, dan tubuh telanjang serta kecantikan teman-teman ceweknya di sekolah tak mampu membuatnya terpaku. Tapi saat dia di shower setelah kelas Olah Raga, tubuh telanjang teman- teman cowoknya membuat Abi merasakan getaran aneh diperutnya. Sejak itu dia tahu kalau dia gay.

Dan sejak dia mengaku pada Kathy, tetangganya yang dia kira adalah sahabatnya, hidup Abi tak pernah tenang lagi. Hanya dalam hitungan hari, seluruh sekolah tahu akan orientasi seksnya. Terimakasih pada bakat bergosip Kathy yang menakjubkan.  Dan hidup Abi pun tak pernah menjadi neraka tiada henti.

Abi menjadi sasaran bullying cowok-cowok disekolahnya. Mereka yang mengaku normal dan jijik akan orientasi seks Abi. Berbagai macam penindasan yang pernah disebutkan dalam novel roman gay picisan sudah pernah dia rasakan. Dijegal saat berjalan, di dorong, ditelanjangi di kamar mandi, hingga dipermalukan di depan segenap murid yang ada di kantin, sudah dia rasakan. Akibatnya, Abi tak pernah berani melangkah dengan wajah terangkat. Dia selalu berusaha agar dia tak terlihat oleh mereka. Menarik diri dari pergaulan sosial dan kekejaman yang mereka lakukan. Meski para bully itu selalu saja menemukan berbagai macam cara untuk menyiksanya.

Bukan sekali dua kali lockernya rusak dan kotor oleh coretan-coretan tak senonoh. Berbagai macam sebutan yang cukup memalukan sudah pernah dia sandang. Banci, Bencong Taman Lawang, Faggot ataupun Pecinta K*ntol hanyalah beberapa diantaranya.

Abi nyaris ingin berhenti sekolah dan memilih Home School hingga kemudian dia bertemu Dani.
Dani adalah murid pindahan dari Sidney. Beachport International High School bukanlah sekolah yang biasa. Sekolah internasional yang memiliki program mirip dengan SMA di luar negeri sono itu boleh dibilang kandangnya anak-anak kaya yang banyak diantaranya berdarah campuran, dan kedatangan Dani yang dari kota kembang segera saja menjadi berita besar. Terutama karena latar belakang dan prestasinya. Abi mendengar selentingan-selentingan dari bisik-bisik yang beredar di sekolah. Dan terus terang, dia tak tertarik mendengarnya. Tapi yang jelas, semua kasak kusuk itu membuatnya sedikit terganggu.

Hampir di setiap pojokan sekolah, dia mendengar nama Dani disebut. Para cowok menggosipkan bagaimana dia menjadi bintang baru di lapangan baseball dan juga basket. Prestasinya yang meroket di sekolah asalnya, Sidney mengikuti cowok itu ke Beachport International High. Bahkan kepala sekolah menyebutkan bagaimana sekolah yang dia pimpin begitu beruntung mendapatkan murid dengan prestasi seperti itu.

Sementara para cewek disana meributkan bagaimana daya tarik fisiknya, menggeser Mike yang dulunya cowok paling populer ke deretan rakyat jelata. Mereka menggosipkan tubuhnya yang tinggi tegap, dadanya yang penuh, bibirnya yang penuh dan merah basah serta bagaiaman suaranya sanggup membuat celana dalam mereka basah. Beberapa diantara mereka bahkan mengaku kalau mereka tak akan bisa terlelap sebelum memandang wajah Dani di hape-nya.

Oh, please, gerutu Abi waktu itu. Abi sadar kalau SMA adalah saat saat dimana para remaja berada pada masa puncak dimana hormon dan keingintahuan mereka akan seks berkuasa. Tapi apakah harus seperti itu?

Abi tak akan pernah mengenal Dani kalau saja tak ada kejadian di kantin waktu itu. Saat dimana Abi lupa membawa bekalnya dari rumah, jadi dia tak memiliki pilihan lain selain membeli makan siang di kantin. Sebenarnya Abi lebih memilih menahan lapar hingga jam pulang, tapi hari itu dia bangun kesiangan dan tak sempat sarapan. Jadi pilihannya adalah pingsan di tengah-tengah ulangan aljabar nanti atau membeli makan siang di kantin. Dan dengan kepala tertunduk dan pikiran resah, dia menuju kantin.

Tak ada insiden yang terjadi pada awalnya. Abi berhasil mengisi nampannya dengan makan siangnya dan melangkah menuju pojok kantin dimana tak seorangpun yang akan memperhatikannya. Tapi di tengah perjalanannya, tiba-tiba saja seseorang  mendorong dan seorang lagi menjegalnya. Dengan suara berdebum, dia jatuh. Nampan beserta isinya berhamburan di lantai dengan suara keras. 
Tawa geli segera saja bergema di penjuru kantin.

“Lihat kemana kau melangkah, Faggot. ...!” seru seseorang yang berusaha Abi blokir dari pendengarannya. Wajahnya segera saja memerah dalam hitungan detik. Seharusnya dia tahu kalau hal ini akan terjadi. Lebih baik dia pingsan kelaparan daripada dipermalukan seperti ini. Sayangnya dia berusaha mempertahankan huruf A dalam raportnya. Kini Abi mulai mempertanyakan apakah semua itu layak...

“Kau baik-baik saja?” tanya seseorang yang memiliki suara paling dalam namun lembut yang pernah Abi dengar. Dia mendongak dan menemukan sesosok wajah paling menakjubkan yang pernah dia lihat.Wajah itu tak mungkin dimiliki oleh seorang murid SMA. Dia memiliki rahang sempurna dengan garis wajah yang menghiasi sampul semua novel remaja yang pernah dia baca.Wajah yang digambarkan sebagai pahatan sempurna alam. Dengan garis rahang tegas. Wajah yang membuat semua karakter cewek dalam novel novel itu bertekuk lutut. Warna kulitnya yang kuning langsat terlihat cerah, nyaris bersinar. Lengkap dengan atribut kecowokannya yang membuat semua cowok di sekolah ini terlihat seperti remaja puber yang mengenaskan. Bekas cukuran yang membiru disepanjang garis rahangnya itu hanya layak berada dalam sebuah film remaja Amerika. Dan lihatlah betapa indahnya kedua mata hitam yang dalam itu.

Abi, kan? Kamu baik-baik saja?”

Abi menggelengkan kepalanya dan segera bangkit. Dia sudah  hendak memungut nampannya tapi pemuda yang menakjubkan itu mendahuluinya.

“Makananmu sudah tak bisa dimakan. Biar ku ganti..” katanya dan mulai melangkah pergi.

“Tapi...”
“Jangan khawatir. Aku yang traktir,” ujar pemuda itu dan tersenyum. Dia menarik tangan Abi untuk mengikutinya. Abi hanya terpaku dan mengikutinya dengan bego. Terlalu kaget untuk bereaksi. Dia bisa merasakan perubahan atmosfir di kantin itu. Suasana senyap yang tiba-tiba saja menggantung di udara. Tatapan mata yang mengikuti mereka berdua.

Dia pasti Dani yang kemarin terus mereka bicarakan di sekolah ini, batin Abi ngeri. Ternyata hampir semua gosip itu benar. Dani benar-benar spesies yang layak untuk digunjingkan. Dan .......dia lebih dari sekedar gosip yang beredar.

Abi melihat Dani memesan makanan yang persis sama dengan yang dia pesan tadi. Membayarnya dan menyerahkan nampan yang penuh itu padanya.

“Ayo..!” ajaknya pada Dani, seolah-olah mereka adalah kawan lama yang sudah sering hang out bareng.

Dani, bro. Lo ngapain?” tegur Will. Salah seorang anggota tim baseball yang juga cowok yang gemar mengganggu Abi. Meski cowok berdarah campuran Australia itu cakep, tapi tabiat brengseknya membuat Abi ngeri.

“Makan siang. Kenapa?” tanya Dani santai.

“Yeah, aku tahu itu. Tapi.................dia Abi,” jelas Will seakan-akan sedang menerangkan sesuatu yang aneh.

“Dan..........?”

Dia bencong?” kata Will lagi dengan nada bertanya.

“Istilah yang benar adalah gay. Memang kenapa kalau dia gay? Apa dia melecehkanmu?” tanya Dani heran.

“No..”

“Dia...................mencoba mendekatimu?”

“NO!” sergah Will dengan wajah jijik.

“Jadi...apa masalahnya? Kalau memang dia gay itu kan keputusan dia sendiri. Itu urusan Abi sendiri. Apa urusannya denganku? Atau denganmu? Toh dia tak mengganggu atau merugikanmu kan?” kata Dani santai.

Will hanya terlongong tak bisa menjawab. Dani berpaling pada Abi yang juga hanya mampu termangu dibelakangnya, “Bullying sudah dianggap sebagai kejahatan di dunia. Papaku pengacara. Kalau kau ingin mengadukan pelaku yang menindasmu, aku akan membantumu bicara pada Papa. Aku yakin dia akan mampu membantumu. Jadi tenang saja, ok?” katanya santai dan memberi tanda pada Abi untuk mengikutinya.

Dan sejak itu Abi sedikit bisa merasakan damai di sekolah. Dani jadi seperti seorang bodyguard tidak resminya. Entah bagaimana, Jordan seakan-akan tahu kapan Abi membutuhkannya.

Contohnya saat Will dan Mike memojokkannya dibelakang sekolah. Mereka memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang hubungannya dengan Dani yang tiba-tiba saja dekat. Tentu saja Abi tak bisa memberikan jawaban yang mereka inginkan, karena dia sendiri tak mengerti. Pada akhirnya mereka  mendorongnya ke tembok sekolah dan mengancam untuk tidak macam-macam dengan Dani. Abi waktu itu hanya bisa mengkeret ketakutan dan pasrah kalau mereka memukulinya. Tapi kemudian tiba-tiba saja Dani memanggil namanya dari balik gedung.

“Apa yang kalian lakukan?” tanya Dani dengan tatapan curiga pada Will dan Mike yang memojokkan Abi.

“Nothing man,” jawab Will dan menjauhi Abi, “Just messing around, “ katanya lagi dan segera menyeret pergi Mike yang mengangkat kedua tangannya, tanda damai dengan Dani.

Dani  tak mengatakan apapun sampai kedua pemuda itu pergi, “Kau baik-baik saja? Apa mereka melukaimu?”

Abi menggelengkan kepala, “Kau tak harus melakukannya..” ujar Abi dengan bibir bergetar.

“Melakukan apa?” tanya Dani bingung.

“Baik padaku,” kata Abi pelan, “....semua orang di sekolah ini tahu kalau aku gay.”

“Dan?”

“Namamu akan ikut kotor kalau kau baik padaku. Mereka mungkin akan berpikir kalau kau memiliki hubungan denganku.”

Dani  hanya tertawa, “Aku tak peduli apa yang mereka katakan. Toh tak ada apa-apa diantara kita. Aku akan berteman dengan siapapun yang aku inginkan. Tak ada satupun orang yang berhak mengatur dengan siapa aku boleh atau tidak boleh berteman. Seharusnya kau tahu itu,” jawabnya enteng dan segera pergi.


Dan memang seperti itulah Dani. Dia baik dengan siapapun. Dia tak membatasi pergaulannya. Dia tak peduli dengan pengkotak-kotakan strata sosial yang biasanya berlaku di sekolah. Dia hapal semua teman sekelasnya. Dia tak ragu menyapa mereka. Baik mereka yang populer ataupun para nerd yang biasanya menjadi bulan-bulanan. Dia tak segan membantu ataupun menemani cewek cheers yang populer, ataupun cewek gendut yang sering jadi bahan olok-olokan. Dia memperlakukan mereka dengan keramahan yang sama. Dia membaur dengan semua kalangan. Dan itu membuatnya semakin populer dan dikenal. Tak terhitung cewek yang mengajaknya berkencan. Semua diperlakukan sama. Mengagumkan bagaimana dia dengan luwesnya menolak tanpa menyakiti semua pengagumnya.

Dan dia menjadi seperti hero di mata Abi. Dia menjadi sosok idola yang Abi jadikan contoh. Dan saat dia tahu bahwa Dani berencana kuliah di jurusan hukum, Abi pun mengikutinya. Mereka masuk di perguruan tinggi yang sama. Dan tak sekalipun sikap Dani berubah. Dia tetap baik seperti saat mereka berada di SMA.

Ketika lulus, Dani langsung di rekrut oleh ayahnya. Dan Abi melamar di kantor itu untuk mengikutinya, dan diterima. Mereka bekerja di perusahaan yang sama, meski tentu saja, berada di posisi yang berbeda.

Satu hal yang tak berubah adalah kebaikan Dani padanya. Yang berubah adalah perasaan Abi. Dani tak lagi menjadi sosok idola yang dia jadikan contoh. Dia kini menjadi hidup Abi. Sosok yang membuat hari-harinya hidup. Lelaki yang kini menjadi dambaannya. Pusat seluruh dunianya. Perhatian dan perasaannya. Lelaki yang dia anggap....belahan hatinya.

Abi tak bisa menahan diri. Semua lelaki selalu dia ukur berdasarkan standart Dani. Saat dia menyukai seorang bintang film ataupun penyanyi, tanpa sadar dia akan membandingkannya dengan Dani. Saat dia mengagumi seorang lelaki di jalan, diapun akan membandingkan lelaki itu dengan Dani. Abi tahu kalau perasaannya tak akan berbalas. Tapi dia tak dapat menahan perasaannya. Dan dia sudah merasa cukup hanya dengan berada di dekat Dani. Menjadi bayang-bayangnya di kejauhan.


**********************************


Abi, tugas yang biasa. Selesaikan, ok?”

Abi hanya menatap tumpukan file yang dibanting oleh Robi  itu di mejanya. Accounting bukanlah pekerjaannya. Dan Robi  sudah beberapa kali menyuruhnya untuk menyelesaikan laporan yang menjadi tanggung jawabnya itu. Abi pernah menolaknya, namun Robi  pernah membungkamnya dengan sebuah bogem mentah yang membuat matanya biru selama seminggu.

Bullying tidak hanya terjadi di sekolah, pikir Abi kecut. Dani pernah menanyakan kenapa wajahnya lebam. Waktu itu dia hanya meringis dan mengatakan jatuh di kamar mandi, lalu segera pergi. Kini, hampir tiap bulan dia mengerjakan laporan Robi. Sialnya, lelaki terkutuk itu memberi kisikan pada beberapa temannya. Dan tahu-tahu, Abi  sudah memikul tanggung jawab bulanan dari 4 orang lainnya. Dan hal itu sering membuatnya harus bekerja ekstra di kantor. Bekerja saat semua orang telah pulang bukan lagi menjadi hal baru baginya.

Dan kali inipun sepertinya dia harus pulang telat ke rumahnya. Meski tak menyukainya, Abi terkadang bersyukur. Di saat seperti ini, kantor akan terasa begitu tenang. Jauh dari suasana siang yang nyaris terus menerus bising. Tak ada teriakan keras dan perintah-perintah panik berkumandang. Tak ada manusia brengsek macam Robi yang bukan hanya suka memerintahnya dan bersikap seperti Bos, tapi juga senang menyindirnya dengan sebutan-sebutan yang membuat panas di telinga. Abi kira dunia kerja adalah dunia yang akan cukup toleran dalam menerima perbedaan. Mereka toh bukan sekumpulan anak sekolah yang kadang rasis dan dangkal. Tapi ternyata Robi lebih parah dari mereka. Dia kembali membuat Abi merasa kalau dirinya aneh, menjijikan dan tak layak ada. Meski sejak kecil dia sudah menerima perlakuan seperti itu, bukan berarti Abi kebal.

Ada saat dimana dia begitu muak dan ingin berteriak. Tapi tentu saja, hal itu hanya akan membuatnya terlihat konyol. Masih diingat bagaimana dia lebih memilih diam dan mengecilkan tubuhnya agar tak diperhatikan. Seakan-akan ingin meringkuk di pojokan dunia, meminta untuk dibiarkan. Tapi selalu saja ada orang yang menempatkannya di bawah lampu sorot. Yang paling parah adalah saat celaan itu datang dari mereka yang mengatas namakan Tuhan. Mengutuknya dan juga mengancamnya dengan berbagai macam jenis hukuman Tuhan yang membuatnya mimpi buruk.

Abi ingin meminta mereka untuk membantunya. Membenarkannya jika dia salah. Membimbingnya ke jalan yang benar. Tapi hal itu jelas mustahil, karena begitu dia mencoba mendekat ataupun bercerita, mereka telah mengeluarkan berbagai macam kutukan dan ancaman itu. Melabelinya dengan berbagai macam nama yang mengerikan untuk di sebut.

Dunia memnag berisi dengan berbagai macam warna, pikir Abi dan meneruskan laporan untuk Robi. Dia menyambungkan headset hp-nya ke computer dan memutar playlist favoritnya dengan suara yang cukup kencang. Salah satu cara yang sering dia lakukan untuk kabur dari  sesaknya dunia nyata. Pikirannya segera saja teralih. Kepalanya mengangguk-angguk dengan seru sembari sesekali bergumam mengikuti lagu.


Dan entah berapa jam waktu berlalu hingga akhirnya dia selesai.  Setelah menyimpan semua data ke dalam flashdisk, Abi pun mematikan komputernya. Waktu untuk beristirahat, pikir Abi sembari memberesi mejanya. Tapi kemudian dia ingat akan Pak Andi dan Pak Obi, dua satpam malam yang menjaga kantor ini. Dua orang yang saking seringnya bertemu gara-gara hal seperti sekarang ini, menjadi teman akrabnya. Dia pernah berniat untuk membelikan satu kotak rokok untuk mereka berdua. Dan sampai sekarang dia masih belum melunasi hutang niatnya itu karena lupa. Abi mengetikkan hal itu ke dalam reminder hape-nya supaya ingat.

“Sudah selesai?”
Abi terlonjak dan sudah hampir berteriak ketakutan. Entah bagiamana, dia tak bisa melihat Dani yang duduk di meja Mia tak jauh dari miliknya. Lelaki itu terlihat tersenyum geli dengan kedua tangan terlipat di dadanya.

Lihat itu. Pose seperti itu seharusnya ada di sampul sebuah majalah, pikirnya.

“Abi?” tegur Dani yang segera saja membuatnya gelagapan.

“Su-sudah, Pak. Maaf tadi saya tak melihat Pak Dani, “ ujarnya cepat. Dia langsung memalingkan muka dan melanjutkan memberesi mejanya dengan cepat. Dan yang membuatnya ngeri adalah saat Dani menegakkan tubuhnya lalu berjalan mendekati mejanya.

“Bisa pinjam flashdisk-mu tadi?” pinta Dani dengan suara kalemnya.

Meski bingung, Abi hanya mengangguk patuh dan dengan gerakan agak gemetar dia mengulurkan flashdisk yang dia ambil dari dalam tas kerjanya.

“Dan……………..bisakah kau berhenti memanggilku Pak saat kita berada di luar jam kantor? Kau masih ingat kan kalau kita teman sejak SMA?” godanya lagi.

Abi cuma bisa kembali mengangguk dengan senyum gugup.

“Aku akan menahan flshdisk ini. Tugas yang kau kerjakan tadi adalah tugas yang kuserahkan pada Robi. Dan aku ingin tahu bagaimana bisa kau yang justru mengerjakannya?”

Tubuh Abi langsung menegang. Dani memang mengucapkan kalimat tadi dengan nada santai dan bertanya, seperti layaknya orang yang ingin tahu. Tapi jelas ada teguran disana.  Kalau Robi tahu…..
Abi tak mampu meneruskan kalimat itu dalam hatinya.

“Tugas Robi yang selama ini ku periksa………………. Kau juga yang mengerjakannya?” tanya Dani lagi.

Abi cuma tertunduk dengan kedua tangan terkepal dipahanya. Betapa dia ingin bisa menghilang saat ini juga dari tempat ini. Tak mungkin dia mengatakan hal yang sebenarnya pada Dani kan? Hal itu bukan hanya mengancam posisi Robi, tapi juga dirinya.

“Abi….bisa melihatku sebentar?” pinta Dani lagi.

Abi memejamkan matanya sejenak. Dia tak memiliki pilihan lain kan? Apa yang terjadi, terjadilah, pikirnya pasrah. Dengan gerakan pelan dia mengangkat wajahnya untuk bertemu dengan mata Dani. Lelaki itu menatapnya dengan tenang, sementara senyumnya tersungging. Dia terlihat santai dan mempesona seperti biasanya. Tak ada kemarahan atau teguran dari sorot matanya.

“Aku bertanya sebagai seorang teman yang sudah lama mengenalmu. Tolong jawab pertanyaanku. Benar kau yang mengerjakan tugas-tugas Robi selama ini?” tanya Dani, masih dengan ekspresi yang sama.

“Ti-tidak selalu…” kata Abi dengan suara pelan dan terdengar aneh di telinganya sendiri.

“Tugas laporan bulanan?” tanya Dani.

Abi menjawabnya dengan anggukan.

“Mingguan?”

Kembali anggukan yang diberikan oleh Abi. Dani mengangkat wajah dan menarik nafas panjang. Dia mengusap wajahnya dengan tangan kiri.  Bahunya terlihat sedikit turun saat dia kembali memalingkan matanya pada Abi.

Yang mengejutkan adalah saat kemudian dia berjongkok, mensejajarkan diri dengan pandangan Abi,  dan menatap Abi dengan matanya yang lembut itu, “Sudah berapa lama kau melakukannya?” tanya Dani lagi.

“B-beberapa bu-bulan…” jawab Abi dan menundukkan wajahnya, menghindari tatapan Dani yang membuatnya jengah.

“Setahunan?”

Abi kembali mengangguk tanpa mengatakan apapun. Dia mendengar Dani kembali menarik nafas panjang sejenak.

“Abi……….bisakah kau berhenti terlihat ketakutan seperti ini? Aku yang berdiri di hadapanmu sekarang ini hanyalah Dani. Temanmu. Bukan atasanmu,” ujar Dani.

Dengar itu. Setelah bertahun-tahun berlalu. Dia masih saja sebaik ini. Belum pernah ada seorangpun lelaki yang memperlakukan dia seperti Dani. Menghormatinya seperti yang Dani lakukan. Segera saja rasa haru menyerangnya. Kali inipun dia hanya mampu menyampaikan apa yang dia katakan dengan anggukan.

“Sudahlah. Kau pulang saja. Istirahatlah. Aku yang mengurus ini, ok?” kata Dani lagi.

Abi cepat-cepat bangkit dari meja kerjanya dan keluar dari ruangan itu tanpa sekalipun melihat lagi ke arah Dani. Kalau dia melakukannya, dia yakin dia hanya akan mempermalukan diri dengan menangis di hadapannya.




Hari berikutnya adalah hari yang paling menegangkan bagi Abi. Sepanjang malam dia membayangkan berbagai macam scenario bagaimana hari ini akan berlalu. Sayangnya di semua scenario, ada satu hal yang pasti. Dia akan menerima ‘sesuatu’ dari  Robi yang mungkin akan membuatnya kesakitan selama beberapa hari.

Pagi ini dia datang lebih awal dari biasanya. Tapi yang mengagetkannya adalah saat dia melewati ruang kerja Dani, dia melihat pria itu sedang duduk menghadap layar laptopnya. Dan seolah-olah mengetahuinya, Dani mengangkat wajah untuk melihatnya.

“Sudah datang?” sapanya dengan senyum ramah.

“Se-selamat pagi, Pak,” ujar Abi sedikit gugup seraya mengangguk.

“Abi!” panggil Dani, membuat langkah Abi yang sudah ingin segera pergi berhenti.

“I-iya, Pak?”

“Nanti bisa makan siang bareng kan? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

Untuk sejenak Abi hanya mampu termangu. Tapi dia kemudian mengangguk untuk menyetujuinya.  Hatinya berdebar dengan keras. Campuran ingin tahu pada apa yang ingin Dani bicarakan dengannya, serta apa yang harus ia katakan pada Robi. Beberapa kali dia melihat kearah pintu masuk. Berdoa agar Robi tidak masuk kerja hari ini.

Harapan itu hanya berada di hatinya selama kurang dari dari satu jam. Tubuhnya kembali menegang saat dia mendengar tawa keras Robi beberapa menit kemudian. Begitu melangkah masuk, mata Robi langsung terarah padanya. Dia melangkah menuju ke meja Abi dengan senyum tengiknya.

“Semua segera masuk ke dalam ruang rapat!!”

Abi tanpa sadar menarik nafas lega saat mendengar suara keras Dani yang berdiri di depan ruang kerjanya. Untuk beberapa saat lamanya, banyak diantara para pegawai yang cuma berdiri bengong. Mungkin karena kaget karena tak ada agenda rapat pada hari ini.

“SEKARANG!!” tegas Dani lagi yang segera saja membuat semua bawahannya bergegas. Abi sendiri mulai merasa resah, karena entah mengapa, dia punya perasaan kalau semua ini berhubungan dengannya. Dia segera menuju ruang rapat dan menempati kursinya yang berada di pojokan.

Ada banyak gumaman yang terdengardi ruang rapat. Ada yg berpendapat kalo rapat hari ini berhubungan dengan kasus terbaru yang Dani tangani. Soal perebutan harga gono gini seorang artis yang ditinggal mati oleh suami ketiganya. Beritanya sudah sering muncul di media elektronik. Wanita itu tidak segan-segan membeberkan kasusnya. Malah seperti menikmati perhatian awak media.

Dan suara gumaman itu terhenti saat Dani memasuki ruangan dengan wajah kaku.
“Kemarin malam saya kerja lembur di kantor,” kata Dani memulai sambil berjalan menuju kursinya yang ada di ujung ruangan, “Saya kira saya hanya sendiri di kantor ini. Ketika jam 11 malam saya keluar dari ruangan saya, saya menemukan satu orang sedang mengerjakan tugasnya disini.”

Tubuh Abi mulai terasa dingin dengan cepat.

“Robi! Kamu ada di club PRIVATE  sampai jam berapa semalam?” tanya Dani dengan tatapan tajamnya.

Robi tampak kaget dengan pertanyaan Dani, “Bagaimana…” dia tak meneruskannya. Hanya melihat ke sekeliling ruangan dengan gugup.

“Saya meminta salah satu pegawai firma melacak keberadaanmu semalam karena saya mendapati Abi mengerjakan tugas yang saya bebankan padamu. Sampai jam berapa?”

“…………………..jam 2, Pak,” sahut Robi pelan.

“Ada alasan khusus kenapa Abi harus mengerjakan tugasmu di kantor ini sampai jam 12 malam, sementara kamu berada di club? Ada klien yang kamu temui disana? Atau mungkin hanya keberatan dengan tugas yang saya bebankan padamu?”

Robi terlihat menelan ludah dan menggeleng panik.

“Yang saya sayangkan adalah kenapa kalian semua, terutama yang berada di ruangan yang sama dengan Abi, diam saja dan membiarkan hal ini terjadi selama setahunan. Dimana solidaritas kalian sebagai teman?”

Tak ada satupun yang menyahut. Sebagian besar yang ada di ruangan itu hanya menunduk.
“Kalian sudah pernah berada di kantor hingga jam 12 malam?”

Hening!

“JAWAB!!!” bentak Dani keras.

Banyak yang terlonjak kaget saat mendengar bentakan itu. Beberapa menggumamkan jawaban tidak dengan suara lirih.

“Bagus kalau kalian tidak pernah merasakannya. Karena hari ini, kalian akan berada di kantor ini hingga jam 12 malam. Saya tidak perduli kalian mengerjakan apa. Tapi saya hanya akan mengijinkan kalian, yang berada di departemen yang saya pimpin,  pulang setelah jam 12 malam. Dengan begitu kalian akan tahu apa yang Abi rasakan selama ini. Kalian semua yang berada dalam ruangan ini, ikut bersalah karena kalian membiarkan ketidak adilan ini terjadi begitu lama. Mungkin dengan begitu kalian akan belajar untuk berempati.

Segera hubungi keluarga kalian. Beritahukan mereka bahwa kalian tidak akan bisa pulang hingga jam 12 malam. Bagi yang keberatan, saya sarankan untuk segera membuat surat pengunduran diri. Saya sendiri yang akan memberikan pesangon bagi kalian. Dan kalau sekali lagi saya menemukan ketidak adilan seperti ini kembali terjadi, saya tidak akan segan-segan memberikan teguran yang lebih dari ini. Saya orang yang memperjuangkan keadilan di ruang sidang. Dan saya tidak akan membiarkan sebuah ketidak adilan terjadi di tempat yang saya naungi.

Ada lagi. Saya juga tahu kalau bukan hanya Robi yang menjadi bully di kantor ini. Saya sarankan bagi mereka yang pernah membebankan tugasnya pada Abi, untuk segera ke menghadap ke ruangan saya. Saya akan tunggu sampai jam makan siang. Setelah itu, saya akan menolak siapapun yang datang menghadap. Dan saya akan pastikan, mereka yang tidak masuk ke ruangan saya, dipecat dengan tidak hormat dan tanpa surat rekomendasi.

Dengan kalimat terakhir itu Dani berbalik dari tempatnya dan melangkah pergi. Tapi saat hendak mencapai pintu, dia berhenti dan kembali berbalik, “Satu hal lagi yang saya lupa. Robi, saya berikan posisimu pada Abi, karena secara tidak langsung, selama ini dialah yang bekerja. Segera bersihkan ruanganmu dan ambil meja Abi. Abi?!”

Abi menoleh padanya, bengong.

“Kau sudah aku promosikan. Selamat! Segera tempati kantor barumu dan ku harap kau tetap memberikan dedikasimu terhadap firma ini,” kata Dani dengan senyum menawannya. Dan dia pun keluar dengan langkah lebar.  

Keheningan dalam ruangan itupun pecah. Banyak dari mereka yang melampiaskan kemarahan mereka pada Robi dan sekutunya. Beberapa bahkan tak segan mengeluarkan makian keras yang diikuti dengan daftar akibat dan resiko yang mereka tanggung akibat ulah Robi. Abi sendiri lebih memilih diam.

Dia sadar semua bukan kesalahannya, tapi hal itu tidak berarti dia lepas dari cacian mereka. Sepanjang hidupnya dia sudah terlalu sering mendapati dirinya disalahkan atas perbuatan yang bahkan bukan keinginannya. Contohnya saja orientasi seksnya.

Karena itu dengan kepala tertunduk dan sedikit takut, dia bangkit dan perlahan-lahan keluar dari sana. Dia segera menuju mejanya dan duduk disana dengan benak yang masih berkabut karena kejadian tadi. Apakah benar dia harus segera mengemasi mejanya dan pindah ke ruang  Robi? Itu berarti dia menjabat sebagai head accounting dari departemen ini.

“Bi, perlu bantuan beresin mejamu?” tanya Mia yang mejanya semalam diduduki oleh Dani.

“Eng-enggak Mi. Makasih..” jawabnya agak gagap.

Mia mengangguk, “Selamat ya?! Maaf kalo selama ini aku gak pernah bantuin. Tahulah… Sama-sama kacung kecil. Mau protes juga bakal dapat marah doang,” katanya lagi.

Abi hanya mampu menjawabnya dengan cengiran kecil. Memang benar. Siapa sih yang bakal dengerin mereka yang cuma staff kecil?

Akhirnya dengan sedikit ragu, dia mulai mengemasi meja kerjanya.

Jam-jam berikutnya berlalu tanpa Abi sadari. Banyak tugas yang harus dia bereskan pada posisi barunya. Dan pada hari pertamanya ini, dia ingin menunjukkan pada Dani, bahwa dia tak salah menunjuknya sebagai head accounting.



Sudah siap Bi?” tanya Dani yang tiba-tiba ada didepan pintu ruang kerjanya.

Abi mendongak tak langsung menjawab. Tapi malah bengong melihat Dani yang dengan langkah santainya berjalan mendekat. Dia terlihat segar dan harum tubuhnya tercium. Apa dia habis mandi?

“Bi…..?”

“Maaf..!” ujar Abi dan segera menggelengkan kepalanya, “Se-sebentar. Aku akan menyimpan file dulu,” jawabnya cepat sembari berpaling pada layar komputernya.

“Suka kantor barumu?”

Abi tak langsung menjawab. Dia menghentikan sejenak jemarinya yang berada di atas keyboard. Sejak tadi dia ragu untuk mengatakan sesuatu, tapi dia mencoba memberanikan diri, “Ma-maaf, Pak. Tapi……………..apa perlu posisi ini saya yang isi? Sa-saya rasa banyak yang lebih layak…”

“Bukan mereka yang selama ini mengerjakan tugas Robi. Kau yang mengerjakannya. Kau sudah menempati posisi ini, tanpa kau sadari. Dan hasil kerjamu yang ditunjukkan Robi selama ini telah membuktikan kalau kau komnpeten. Jadi…………ini hanya bentuk resminya saja.”

Abi terdiam tanpa mampu menjawabnya.

Dani hanya tersenyum dengan sikapnya, “Sudahlah. Ayo! Aku sudah lapar,” ajak Dani lagi.
Abi tersenyum tipis yang mungkin lebih mirip dengan cengiran. Diapun menutup komputernya dan bangkit mengikuti Dani yang menunggunya di pintu. Dan begitu mereka melangkah keluar, Abi bisa merasakan pandangan beberapa rekan kantor yang memperhatikan. Dalam benak Abi, mereka seolah-olah mengiringi tiap langkahnya dengan suara kasak kusuk yang mengambang di udara. Entah itu memang benar atau hanya perasaannya. Yang jelas, Abi menjadi tak nyaman dibuatnya.

Aku hanya akan membuat reputasi baiknya ternoda, pikir Abi muram.



Hal itu terus menjadi beban di benaknya selama makan siang. Dani yang mencoba mengajaknya bicara kadang harus mengulang pertanyaannya.

“Mungkin kau terlalu tegang disini,” ujar Dani dan menatap berkeliling pada restoran yang cukup ramai, “Ikut aku…” katanya dan bangkit.

Abi yang bengong hanya mampu mengikutinya. Dani membawanya ke taman kota yang ada di dekat kantor mereka. Taman yang sore hari biasanya ramai itu kini cukup sepi. Hanya ada satu dua orang yang lewat. Dani membawanya ke sebuah gazebo dekat kolam setelah membeli sandwich dan dua botol minuman.

“Disini tempat biasanya aku beristirahat kalau jenuh dengan suasana kantor,” jelasnya singkat sembari menyerahkan satu sandwich pada Abi. Abi hanya mampu menerimanya dengan kikuk.

Lalu keheningan kembali menyelimuti mereka.

“Kenapa Bi?” tanya Dani heran, “Kamu sadar kalo sejak tadi tak sekalipun kau mengatakan sesuatu?” tanya Dani yang akhirnya tak tahan dengan keheningan diantara mereka.

“Seharusnya kau tak perlu mengajakku,” gumam Abi  pelan tanpa mengangkat wajah.

“Kenapa memangnya?”

“Aku hanya akan merusak nama baikmu. Semua orang di kantor tahu kalau aku…” Abi tak mampu membuatnya meneruskan kalimatnya.

“Gay?” lanjut Dani singkat membuat Abi terkesiap kaget. Dani tertawa kecil dengan reaksinya, “Tak ada satupun orang yang berhak mengatur dengan siapa aku boleh atau tidak boleh berteman. Seharusnya kau tahu itu,” sambung Dani santai.

Abi terpana. Dia serasa mengalami sebuah déjà vu. Beberapa tahun yang lalu, Dani juga mengatakan hal yang sama. Seakan waktu berputar kembali disaat mereka hanyalah dua orang remaja SMA yang naïf dan belum mengenal dunia.

“Kau pernah mengatakan hal yang sama saat kita masih SMA,” gumam Abi.

“Aku masih tetap Dani yang sama, Bi. Dani yang dulu pernah kau temani, meski semua orang menjauhinya..”

Abi tentu saja hanya bisa terlongong heran dengan kalimat Dani tadi. Lelaki itu melihatnya dengan senyum tipis. Tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Abi merasa ditarik.

“Kau benar-benar tak mengingatnya ya?” tanya Dani pelan. Dia mengambil gelas jus-nya dan menyesap isinya tanpa sekalipun melepas kontak mata mereka.

Abi menggeleng ragu.

“Bertahun-tahun aku menunggumu untuk mengingatnya. Tapi seolah-olah kau menghapus kenangan yang kau miliki bersamaku. Sejak pertama kali kita bertemu, tak sekalipun kau menyebutku. Selama bertahun-tahun, tak sekalipun kau bercerita tentang masa-masa dimana hanya ada kita berdua. Berjalan bersama menyusuri jalanan kampung dengan sebuah tampah di kepala dan ranjang di tanganku. Di siang yang terik dan bergantian kita berteriak ‘pisang goreeeeng’.”

Tanpa sadar Abi menarik nafas kaget. Ingatannya kembali pada saat dia masih berumur 8 tahunan. Masa dimana dia tinggal di sebuah desa kecil yang ada di lereng gunung Parahiyangan. Masa yang ia lalui bersama dengan bocah lelaki pertama yang membuat dunianya kacau balau.

“Da-Dadang?!” gumamnya tak percaya.

Dani mengangguk dengan bibir yang masih tersungging, “Itu nama yang diberikan oleh orang tuaku. Kau benar-benar tak bisa melihat sosokku yang sebenarnya, Bi?” tanya Dani dengan suara lembut.

Hanya butuh hitungan detik bagi mata Abi untuk mengembang basah.

Dadang adalah seorang anak yatim yang paling dekat dengannya. Dulu saat pertma kali ayahnya yang seorang guru ditugaskan di kampong CIXXX yang ada di kaki gunung Parahyangan, Abi merasa sedih. Kampung itu benar-benar terpelosok. Suasanya begitu kental dengan suasana derah kaki gunung. Rumah-rumah banyak yang terbuat dari kayu dan bamboo. Hanya beberapa rumah saja yang memiliki aliran listrik. Sementara yang lain masih menggunakan minyak tanah. Jalanan kampung yang masih berupa tanah dan kadang becek karena hujan. Sungai yang selalu ramai oleh para penduduk yang mandi, mencuci ataupun membersihkan ternak mereeka.

Di tempat itu, Abi melihat sosok Dadang pertama kali yang berjalan keliling kampung dengan mengusung sebuah tampah serta menjinjing sebuah keranjang berisi jajanan. Masih jelas diingatnya suara kecil yang sedikit nyaring, terdengar setiap siang dan sore melewati depan rumah dinas ayahnya. Sosok kecil itu menjajakan dagangannya dengan rajin setiap hari, tanpa memperdulikan cuaca yang kadang panas ataupun hujan.

Yang membuatnya dia terkesan adalah saat dia tahu Dadang adalah teman sekelasnya di SD. Dan bahwa Dadang adalah pemegang juara kelas sejak kelas 1. Di sekolah Dadang termasuk anak yang cukup penyendiri. Apalagi sikap beberapa temannya yang terkadang membuat Abi tak enak hati. Mereka sering mengolok baju Dadang yang lusuh, serta sepatunya yang sobek dan penuh tambalan. Terkadang anak-anak memang bisa menjadi kejam. Mereka dengan polos bisa mengatakan apa yang ada dalam benak mereka tanpa memperdulikan efek yang dirasakan oleh korbannya.

Dari Ayahnya yang juga guru kelas 4 di SD-nya Abi tahu bahwa Dadang memang berasal dari keluarga tak mampu. Dia hanya memiliki seorang Ibu yang kini hanya mampu terbaring karena sakit stroke yang di deritanya.

Ayahnya telah kabur beberapa tahun lalu dan tak ada kabar hingga kini. Konon dia sudah meninggal di negeri orang. Dadang kecil adalah tulang punggung keluarga. Dia yang mencari nafkah untuk Ibu dan dirinya. Memasak, merawat sang Ibu dan berusaha untuk tetap bertahan hidup dalam segala keterbatasan mereka.

Benak Abi yang waktu itu masih kecil memang tak bisa mencerna dengan dalam kehebatan Dadang dalam bertahan hidup. Tapi yang dia tahu adalah dia merasa sangat salut akan kemampuan Dadang. Dia tak mengerti bagaimana Dadang bisa mengurus dirinya sendiri beserta Ibunya. Dia masih bisa bersekolah, berjualan, dan mengurus keperluan hidupnya. Abi sendiri kadang merasa kewalahan dalam membereskan kamarnya. Selalu saja ada barang yang tergeletak. Tapi Dadang bisa membereskan rumah dan juga hidupnya.

“Karena itu kamu harus bisa belajar dari Dadang, Bi,” ujar ayahnya waktu itu saat Abi menyebutkan kekagumannya, “Kalau Dadang yang sudah sendiri mampu seperti itu, kamu yang masih memiliki ayah dan Ibu, harus bisa lebih.”

Keberanian Abi untuk menyapa sosok yang entah kenapa membuatnya terkesan itu adalah saat Dadang lewat, berjualan ketika hujan mulai turun. Ayahnya yang memanggil Dadang untuk membeli beberapa gorengannya. Hujan turun dengan deras ketika Dadang baru saja melangkah masuk ke serambi rumahnya.

“Waduuhh deras juga. Kamu tunggu disini saja Dang. Kalau hujan sudah reda, kamu bisa melanjutkan jualannya, “ saran Ayah Abi.

“Nuhun Pak,” jawab Dadang waktu itu pelan. Tapi matanya menatap sedih ke arah hujan yang mengguyur.

Abi tak tahu apa yang mendorongnya, tapi dia mendekat perlahan ke Dadang, “Udah laku banyak Dang?” tanyanya.

“Lumayan Bi,” jawab Dadang tanpa melihatnya. Abi lalu mengulurkan uangnya untuk membeli 4 gorengan.

“Dadang mau masuk dulu? Kan bisa nonton tv sambil nunggu hujan reda,” tawar Ibu Abi yang muncul dari dalam dengan membawa piring kosong.

“Terimakasih, Bu. Disini saja,” jawab Dadang sembari mengangguk takdim.

“Ya sudah. Ibu beli…” beliau menoleh pada Abi yang sudah asyik mengunyah gorengannya,
Abi sudah beli juga?”

Abi hanya mengagguk sembari nyengir.

“Ibu beli 10 ya, Dang. Si ayah nanti malam mau lihat pertandingan bola katanya. Jadi butuh camilan,” lanjut Ibu dan menyerahkan piring kosongnya pada Dadang.

“Nuhun Bu,” jawab Dadang dan segera mengisi piring setelah menerima uang dari Ibu Abi.

“Abi mau nemenin Dadang dulu?” tanya Ibu yang sudah hendak beranjak. Abi hanya mengangguk untuk menjawabnya.

Saat Ibu dan Ayah Abi menghilang ke dalam rumah, untuk beberapa saat lamanya Abi dan Dadang hanya duduk disana sembari memandang hujan.

“Sudah lama kamu berjualan gini, Dang?” tanya Abi akhirnya, memecah keheningan.

“Lumayan, Bi.”

“Kamu yang bikin sendiri?”

“Enggak lah. Ada tetanggaku, deket rumah. Aku cuma jualan saja,” jawab Dadang dengan mata yang masih menatap hujan. Dia terlihat cemas.

“Kenapa Dang? Kok kamu….keliatan bingung?” tanya Abi penasaran.

“Hujannya lama. Kalau gini nanti aku bisa terlambat pulang. Kan masih harus ke desa sebelah. Aku kasian ma Ibu di rumah, nungguin,” ujar Dadang dengan nada sedih.  

Saat itu, untuk pertama kalinya Abi sangat ingin memeluk Dadang. Otak anak-anaknya memang tak bisa memahami mengapa dia begitu ingin melakukannya, yang jelas dia merasa kalau Dadang sangat membutuhkan sebuah pelukan hangat. Tapi tentu saja, dia tidak melakukannya. Akan terasa aneh. Dan Dadang mungkin akan menganggapnya gila.

Untuk mengatasi kecanggungan serta keheningan diantara mereka, Abi mengajaknya ngobrol ngalor ngidul. Dari pembicaraan itu, Abi banyak mengetahui kegiatan sehari-hari Dani.
Waktunya habis ia gunakan untuk mengurus rumah, Ibu, bersekolah dan berjualan. Dia tak memiliki waktu luang seperti anak-anak kebanyakan. Bermain bagi Dadang sama dengan berjualan. Dia harus berkeliling di beberapa kampung sebelah untuk menjajakan dagangannya. Melewati jalanan persawahan dan hutan kecil. Bagi Dadang itulah saat-saat dia bermain. Menyusuri jalanan, berhenti untuk beristirahat di bawah rindang sebuah pohon atau di pinggir sungai. Menikmati pemandangan alam dan ciptaan Tuhan.

Dan untuk kesekian kalinya, Abi merasakan iba padanya. Dia sendiri terkadang terlalu banyak memiliki waktu luang hingga tak tahu harus melakukan apa. Paling-paling ia gunakan untuk tidur. Tapi Dadang….

Kedekatan merekapun dimulai sejak hari itu.


Atas izin ayahnya pula, Abi ikut menemani Dadang berjualan. Waktu itu dengan tersenyum Ayah Abi berkata, “Sudah waktunya kamu belajar lebih menghargai apa yang sudah kamu miliki. Mungkin bersama dengan Dadang, kamu akan mengerti makna dari sebuah perjuangan hidup. Bersama dengannya mungkin kamu akan belajar menjadi pribadi yang baru. Dan Ayah bangga, kamu bisa memiliki empati yang besar untuk anak seusiamu.”

Waktu itu Abi tak begitu memahami apa makna dari kalimat ayahnya itu. Dia hanya tersenyum senang apalagi saat Ayahnya mengusap kepalanya dengan lembut sementara senyum bangga tersungging di bibirnya. Sepertinya dia telah melakukan hal yang benar.

Meski sang Ibu sedikit keberatan dan memberinya berbagai macam nasihat, menyuruhnya untuk selalu memakai topi dan baju lengan panjang sebagai pelindung dari sengatan matahari. Tapi atas bujukan Ayah, Ibunya membiarkannya.

Petualangan kecil mereka berduapun dimulai. Berkeliling dari satu desa ke desa lainnya. Menyusuri jalanan sembari bercanda. Sesekali berhenti sebentar di pematang sawah ataupun pinggir sungai. Ngobrol akan segala macam hal. Membuat Abi semakin memahami akan ritme dan situasi hidup Dadang. Membuatnya semakin kagum akan sosoknya.

Bagi Abi, Dadang seperti superhero yang dia lihat di tv. Dia kuat dan tangguh. Meski usia mereka sama, tapi Dadang memikul beban yang jauh lebih berat darinya. Kalau dibandingkan dengannya, Abi merasa kecil dan malu. Dia sudah mengeluh ketika Ayahnya di tugaskan di kampung ini. Tapi lihatlah Dadang…

Abipun tak segan membagi apa yang dia miliki. Setiap kali dia mendapatkan hadiah dari Ayah atau Ibu yang pulang sejenak menjenguk kakek dan Nenek di Bandung, Abi akan membaginya dengan Dadang. Mainan akan mereka gunakan bersama. Makananpun akan mereka nikmati bersama. Dan sesekali Dadang juga mendapatkan hadiah sendiri dari orang tua Abi.

Dan Abi tak pernah merasa dekat dengan orang lain seperti kedekatannya bersama Dadang. Kalau dipikir, mungkin itu adalah pertama kalinya dia jatuh cinta. Dadang menjadi satu sosok penting dalam masa kecilnya. Kedekatan mereka berdua memiliki makna dalam yang terlalu sulit untuk dipahami oleh benak polos mereka. Yang jelas, Abi selalu ingin bersama dengan Dadang.

Tapi kemudian kematian Ibu Dadang mengubah segalanya.

Waktu itu Abi hanya mampu terus berada di sisi Dadang yang terkesan menarik diri. Tidak sekalipun dia bicara ataupun menangis. Dia sekan-akan memisahkan diri dari sekelilingnya. Ayah Abi yang membantu mengurus segalanya mencoba membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk Dadang, bersama dengan aparat desa. Tapi mereka tak bisa menemukan sanak saudara yang mungkin bisa mengurus Dadang.

Hingga kemudian salah seorang teman Ayah Abi memiliki kenalan yang bersedia mengadopsi Dadang. Hari dimana mereka menjemput Dadang dengan sebuah mobil adalah hari yang tidak pernah Abi lupakan. Waktu itu dia hanya bisa berdiri didepan rumahnya. Melihat ke arah Dadang yang berdiri di samping mobil tanpa mengangkat kepalanya. Sejak Ibunya meninggal, dia nyaris tak pernah berbicara dengan siapapun, termasuk Abi. Abi sendiri ingin mengatakan sesuatu. Mengajaknya bercanda dan ngobrol seperti biasa. Tapi Dadang tak terpengaruh. Dia menolak untuk bereaksi. Bahkan hingga kini saat mereka hendak terpisah jauh.

Abi Cuma berdiri di tempatnya saat Dadang naik ke mobil. Hingga mobil kemudian bergerak menjauh, tak sekalipun Dadang mengangkat wajahnya. Dia menghindari tatapan semua orang. Abi menyadari kalau Dadang sedih. Tapi dia juga tak tahu harus melakukan apa. Jadi dia hanya berdiri disana. Menatap mobil yang kian mengecil itu dan akhirnya menghilang di kejauhan.

Saat itulah dia baru sadari kalau pipinya telah basah. Dan ada rasa sakit aneh yang dia rasakan di dadanya. Rasa sakit yang hingga kini, bertahun-tahun kemudian, baru ia pahami. Itu adalah rasa sakit yang akan dirasakan seseorang ketika mereka kehilangan orang yang di cintai.

Dan kini, Dani yang duduk dihadapannya mengatakan bahwa dia adalah Dadang. Cinta pertamanya.


“Aku masih ingat bagaimana kita berjalan-jalan menyusuri jalanan kampung sebelah. Menjajakan gorengan Teh Ririn. Dari semua temanku, hanya kau yang mampu mengerti kehidupan seperti apa yang aku jalani, “ujar Dani pelan, “Bahkan ketika masih kecil, kau sudah memiliki empati yang begitu besar. Menakjubkan bagaimana kau yang masih berusia 9 tahun, bisa mengerti kalau aku membutuhkan seseorang. Kau tahu kalau aku tak bisa bermain seperti anak-anak pada umumnya. Aku memiliki tanggung jawab yang harus ku pikul. Dan entah bagaimana, kau bisa mengerti itu.”

Abi tak tahu harus mengatakan apa.

“Kau memberikan satu hal yang paling aku butuhkan saat itu..”

Abi hanya mampu melihatnya dengan tatapan tanya.

Teman. Kau tak bisa membayangkan betapa kesepiannya aku sebelum kau datang. Aku tak pernah memiliki waktu untuk bermain bersama anak-anak seusiaku. Aku punya banyak hal yang harus ku bereskan. Menjadi bulan-bulanan anak-anak kampung sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Aku tak bisa menyatu dengan mereka karena keadaanku. Bajuku selalu lusuh dan penuh tambalan. Penampilanku kumuh dan tak terawat. Sekarang aku bisa  memahami kalau mereka hanyalah anak-anak. Tapi tetap, saat itu aku selalu merasa berbeda dan bukan bagian mereka.

Tapi kau…..justru datang mendekat. Mengulurkan tanganmu padaku. Membagi apa yang telah kau miliki denganku. Menemaniku. Berkeliling kampung menjajakan gorenganku. Hal yang selama ini menjadi lelucon bagi anak-anak seusiaku.”

“Aku justru kagum dengan apa yang kau lakukan,” bisik Abi lirih dengan senyum tipisnya,
“Kau menanggung beban yang terlalu berat pada usia yang masih muda. Tapi kau bisa melakukannya.”

Dani tertawa kecil, “Kau lihat? Bahkan untuk seorang anak kecil, kau memiliki empati yang mengagumkan. Dan penyesalan terbesarku adalah saat aku harus berpisah denganmu tanpa mengatakan apapun…”

Abi menarik nafas tertahan.

“Aku tak mampu mengucapkannya Bi,” jelas Dani. Tangan kanannya terulur dan menarik jemari kiri Abi, menggenggamnya sejenak, “Kalau waktu itu aku mengucapkan selamat tinggal padamu, aku merasa seakan-akan aku memutuskan segala yang telah kita miliki bersama.  Ucapan selamat tinggal akan terasa final dan akhir dari segalanya. Satu-satunya hal yang aku bawa dari kampung itu adalah kenanganku bersamamu. Ketika aku masuk ke dalam mobil Papa dan meninggalkanmu yang berdiri didepan rumahmu itu, aku berjanji pada diriku sendiri. Bahwa aku akan kembali. Aku akan menemuimu lagi. Suatu saat..

Dan aku kembali ke sana, Bi. Mencarimu. Tapi berita yang kudapatkan adalah kalian sekeluarga telah pindah. Untunglah aku bisa menemukan kalian sekeluarga. Tapi kau………………..begitu jauh berbeda. Kau bahkan tak mengenalku.”

Abi yang bisa melihat ironi dalam cerita Dani tertawa, “Bagaimana aku bisa mengenalmu? Kau jauh dari sosok Dadang yang aku tahu. Kau bukan lagi bocah dengan kulit kusam dan baju lusuh seperti dulu. Kau Dani, anak pindahan dari Sidney dengan segudang prestasi dan penampilan yang…..” Abi ingin mengatakan ‘menakjubkan’, tapi ragu. Takut akan reaksi Dani nantinya.

“Papa mengubah namaku. Dia bilang, aku mulai menapaki kehidupan baru. Sudah seharusnya aku melepas bayangan masa laluku. Agar aku tumbuh menjadi pribadi yang baru dan berbeda. Waktu itu aku hanya menurutinya. Aku tak perlu lagi berdagang keliling kampung di bawah terik matahari. Papa memberikan segala macam fasilitas yang sebelumnya tak pernah ku dapatkan. Dan aku tak ingin mengecewakannya. Jadi aku berusaha sebaik mungkin.”

“Jadi kau harus maklum kalau aku tak mengenalmu lagi kan?’” seloroh Abi.

Dani tersenyum, “Aku masih Dadang yang sama, Bi. Tapi kau…….”

“Kenapa?”

“Kenapa kau jadi sosok yang……………..penyendiri. Kau terkesan memisahkan diri dari lingkungan. Bahkan ketika aku mencoba mendekatimu. Kau nyaris selalu terkesan…………………ketakutan.”

“Kau sudah tahu berita yang tersebar di sekolah dulu kan?”

“Bahwa kau gay?”

Abi mengangguk pelan, “Aku sudah terlalu sering menjadi bulan-bulanan. Jadi aku lebih suka menjauh,” jelas Abi mencoba terdengar biasa, meski tetap tak bisa menyembunyikan kegetiran dalam suaranya.

“Kenapa kau tidak bangkit dan melawan mereka?”

Kali ini Abi tertawa pahit dengan saran Dani, “Kau lupa kita berada dimana? Kita di Indonesia, Dan. Bukan Sidney, Australia. Disini gay identik dengan bencong pinggir jalan yang menawarkan jasa untuk menjilati kejantananmu,” tukasnya. Dan detik dimana kalimat itu keluar, Abi menyesalinya. Tapi sudah kepalang basah, “Di mata masyarakat aku sudah menjadi aib. Pemuka agama mengutuk orang-orang seperti aku.”

“Bi…”

“Aku sudah jadi makhluk aneh sejak aku tertarik pada sesama jenis, Dan. Kau mungkin merasa berbeda saat kau kecil. Tapi kau berbeda karena melakukan perbuatan terpuji. Kau berjuang demi hidupmu dan Ibumu. Tapi bisa kau bayangkan tumbuh sebagai remaja yang berbeda karena dia memiliki aib yang bukan hanya menjadi momok dalam lingkungan tempat tinggalmu, tapi juga di dunia?”

“Sudah banyak belahan dunia yang menerima gay.”

“Tapi tidak seperti itu rasanya bagiku,” ujar Abi pahit, “Disini aku selalu merasa dituding dan di hakimi. Disini aku selalu merasa kalau aku kotor dan terkutuk. Rasanya tak ada yang bisa mengerti aku. Tak mungkin ada yang bisa menerimaku. Mereka bahkan sudah menghakimi sebelum aku membuka mulut. Kau tahu sendiri bagaimana sikap teman-teman sekolah kita.”
“Itu karena kau menbiarkannya, Bi.”

“Kalau aku melawan, siapa yang akan mendukungku, Dan?” tanya Abi.

“Aku..” jawab Dani lugas.

Mendengar jawaban singkat Dani, Abipun tersenyum, “Aku tahu itu. Bahkan sejak SMA dulu. Dan aku berterima kasih karenanya. Kau membuat masa remajaku terasa lebih ringan. Kini aku tahu kenapa.”

“Kau tak pernah membiarkanku mendekat. Kau selalu menjaga jarak denganku..”

“Aku tak ingin menyeretmu dalam kubanganku, Dan. Kau sudah cukup membantuku. Kau satu-satunya hal yang memberiku dorongan untuk maju. Aku tak ingin kehilanganmu sebagai sosok yang ku panuti karena fakta bahwa aku menyukai sesama jenis. Kau punya banyak hal yang patut di banggakan.” 

“Kapan kau menyadari kalau aku tak memperdulikan hal itu?” tanya Dani.

“ Tapi aku peduli, Dan. Tak mungkin aku menyeret orang lain ke dalam atmosfir menyedihkan yang ku miliki. Orang-orang akan menuding dan menghakimimu. Kau akan memiliki coreng yang selamanya ada di dahimu. Bayangkan akalu orang tua angkatmu tahu. Mereka akan..”

“Mereka sudah tahu..”

Untuk sejenak Abi terdiam. Dia hanya memandang Dani bingung, “Ma-maksudmu…”

“Mereka tahu aku gay.”

Hening!

“Ba-bagaimana…” Abi tak mampu meneruskan kalimatnya.

Dani mengangkat bahunya, “Aku sudah menyadarinya saat aku tak pernah bisa melupakanmu dari kehidupanku. Papa mengatakan agar aku menjadi seorang pribadi baru, karena aku memiliki kehidupan bersamanya. Aku meninggalkan semua kenangan pahitku di belakang, Bi. Kecuali apa yang pernah ku miliki bersamamu. Menurutmu kenapa aku mencarimu kembali ke kampung itu?”

“D-Dan…”

“Tapi tiap kali aku mencoba mendekatimu, kau selalu menghindar. Selalu terlihat rapuh dan takut. Jadi kupikir…………aku akan membiarkanmu tumbuh seperti apa yang kau mau. Tapi hingga kini…..aku belum pernah melihatmu melangkah maju. Aku sudah menyiapkan diri untuk melihatmu jatuh cinta pada seorang pria. Membuka dirimu. Pergi berkencan dan mengenal pacaran. Mungkin merasakan sakit hati. Pada saat itu aku akan selalu ada di sampingmu. Menenangkanmu dan memberimu cinta yang mungkin akan membuatmu jatuh hati padaku.”

Seperti ada gumpalan menyakitkan yang ada di tenggorokan Abi. Gumpalan yang membuatnya sulit untuk menelan ludah dan membuat matanya perih. Dia hanya mampu mengerang pelan dan menggelengkan kepalanya.

“Bi…?” panggil Dani pelan.

“Tak pernah….” Abi diam sejenak untuk mengumpulkan suara, “….tak pernah ada orang lain dlam hidupku, Dan.”

“Aku tahu itu…..”

“Karena aku tak pernah melihat orang lain selain kamu…”

Kalimat yang tidak terlalu penjang itu seperti mengangkat beban yang ada didada Abi. Dia tertawa kecil dengan ekspresi Dani. Dia mengutuk dirinya sendiri. Semua celaan, hinaan dan pelecehan yang dilakukan oleh orang-orang di masa remajanya telah membuatnya menjadi pribadi yang pengecut. Membuatnya menjadi orang yang selalu takut akan rasa sakit dan hinaan. Membuatnya menarik diri dari hubungan sosial. Terlalu takut untuk memiliki sebuah hubungan. Rasa kecewa dan sakit hati akan pengkhianatan Kathy yang menjadi awal dari segalanya. Dia berpikir, kalau Kathy yang sahabatnya saja bisa mengkhianatinya, apalagi orang lain.

Dan lihat akibatnya. Dia menjadi tidak peka. Dan terlalu bodoh untuk menyadari bahwa ada seseorang yang peduli padanya. Orang yang berada begitu dekat dengannya. Tapi semua itu tertutupi. Selama bertahun-tahun dia tak mampu melihatnya.

“Bi…”

“Kau selalu menjadi cinta pertama bagiku. Dadang menjadi sosok pertama yang dekat dengan hatiku, Dan,” bisiknya lirih.

Senyum lebar yang tersungging di bibir Dani nyaris tak terlihat oleh Abi. Matanya kabur oleh air mata yang menggenang. Dan ketika Dani bangkit dan mengembangkan kedua tangannya, mengundangnya, Abi segera menjatuhkan dirinya dalam pelukannya. Tahu bahwa kini dia sudah memiliki seseorang. Dia tidak lagi sendiri.

Dia memiliki Dani.