Translate

Rabu, 26 Juni 2013

MEMOIRS II (Dimaz' classic story) part 8-12


VIII
Setelah semua selesai, ada sedikit kelegaan yang kurasakan. Tapi juga ada kebingungan dan ketakutan yang ikut merambat. Untuk waktu yang lama, kami hanya terbaring diam, terlentang tanpa bicara. Semua masih baru, aneh dan membingungkan. Hingga kemudian aku sadar kalau aku harus pulang.
"Aku harus pulang," kataku dan segera bangkit. Hari sudah gelap dan hujanpun telah sejak tadi berhenti tanpa kusadari."Boleh pinjam bajunya?"
Rafly yg masih terbaring memandangku sejenak lalu bangkit menuju lemarinya. Dia mencarikanku satu stel baju dan menyerahkannya padaku tanpa berbicara. Akupun memakainya tanpa suara. Dan begitu selesai, aku hanya diam disana, melihatnya yg juga memandangku. Aku bisa merasakan keheningan yg janggal dan membingungkan. Dia hanya berdiri diam memperhatikanku, padahal dia dalam keadaan telanjang bulat.
Aku lalu celingukan mencari kunci. Rafly mengulurkan kunci mobilku yg kucari entah dari mana.
“Aku pulang,” pamitku pelan dan melangkah dg tertunduk. Tapi sebelum mencapai pintu, Rafly menahanku. Dg satu sentakan keras, dia menarikku kembali ke dalam pelukannya dan menciumku. Ciuman lembut yg begitu dalam dan hampir membuatku lupa untuk pergi. Butuh beberapa waktu bagiku untuk bisa mengendalikan diri. Hingga akhirnya aku menahan dadanya dan mendorongnya sedikit. Aku tersenyum dan mengangguk padanya, lalu pergi.
Saat melaju dijalanan pikiranku mulai berantakan. Kesadaran akan apa yang telah terjadi menghampiriku perlahan berikut dengan semua hal yang pernah aku pelajari dalam kehidupanku sebelumnya, yang boleh dibilang religius.
 Aku mengendarai mobilku dg pikiran kacau balau. Kejadian tadi melintas diotakku seperti slide show yg terputar terus menerus. Aku ingat bagaimana tubuh kami saling bersentuhan, bergesekan, dan menindih. Aku ingat bagaimana bibir kami saling berpagut, mengulum dan menghisap. Dan aku ingat bagaimana tangan kami saling meraba,mengusap atau meremas. Aku nyaris bisa merasakan hembusan nafas Rafly ditubuhku sekarang. Aku menggigil keras.
Aku juga teringat dg semua ajaran agama dan semua petuah-petuah dari para alim ulama yg selama ini membimbingku dan sungguh. . . . . aku merasa kotor. Aku merasa bersalah. Karena kini, setelah semua hasrat ku tadi tersalurkan,aku kembali disadarkan pada fakta bahwa kami sama-sama lelaki. Kami berjenis kelamin sama dan apa yg tadi kami lakukan tidak seharusnya terjadi.
Agama kami mengutuknya. Ajaran adat kami melarangnya. Dan jika ada orang tahu apa yg kami lakukan tadi, entah apa yg akan mereka timpakan pd kami. Kalau ada 2 orang berzina harus dihukum cambuk, mungkin kami akan dirajam sampai mati.
Tanganku yg memegang setir gemetar hebat. Perutku bergolak keras sementara keringan dingin mulai merembes dari pori-pori disekujur tubuhku. Saat aku tak bisa menahannya lagi, aku hentikan mobilku ditepi jalan, dan dg cepat keluar.
Aku muntah hebat!

Ada sedikit keramaian yg terdengar dari ruang tamuku. Untuk sesaat aku jadi sedikit ketakutan kalau rahasia ku telah terbongkar. Entah bagaimana ada orang yg melihat apa yg aku dan Rafly lakukan dan dia memberitahu orang tuaku. Tanpa kusadari, keringat dingin mulai kembali mengucur dari tubuhku.
“Dimaz sayaaaang!!” panggilan itu diikuti oleh pelukan erat dari Tante ku Ruli yg berasal dari Jakarta. Kemunculannya dari pintu masuk membuatku agak tertegun.
“T-tante. . . . ,” aku sedikit tergagap karenanya, “Kapan datang?”
“Beberapa jam yg lalu. Tante kesini membawa kabar bagus untukmu,” kata beliau tapi kemudian diam memperhatikanku. “Kamu sedikit pucat. Sakit?’ tanya beliau.
Aku hanya tertawa gugup, “Tadi cuma sedikit kehujanan Tan. Kok mendadak sih?"
“Tantemu lagi kumat isengnya Maz,” tukas  Ummi ku sedikit menggerutu. Beliau melambai agar kami segera masuk.
“Kamu itu memang udah ketularan suamimu Lis," cemooh Tante Ruli pd adiknya, ibuku."Jangan pedulikan Ummi mu. Dimaz ingat gak foto2 Dimaz yg dulu Tante ambil?” Tanya Tante Ruli. Aku ingat. Tanteku yg satu ini memang hobi fotografi. Dan dari hobinya, sekarang dia memiliki sebuah studio foto yg cukup terkenal di Jakarta. Sialnya, tiap kali aku kesana, aku selalu ditodongnya untuk jadi model dadakan.
Akupun mengangguk, "Ingat Tante. Kenapa?"
"Tante kirim foto-fotomu itu ke sebuah pemilihan model di majalah ternama. Dan kamu masuk final!!" pekik Tante girang. "Tante dapet telepon sabtu kemarin dan pengumumannya bisa dilihat dari majalah yg akan beredar besok senin. Tapi, malam ini jg kamu ikut Tante ke Jakarta, karena minggu depan kamu akan karantina. Kita cuma punya waktu satu minggu untuk membekalimu. Dan. . . ."
Kata-kata Tante Ruli sudah tak kudengar lagi. Karena seperti biasa, otakku dg cepat bisa melihat kesempatan ini. Ini yg kuperlukan!! Waktu untuk menjauh dari Rafly. Waktu untuk menjernihkan otakku. Waktu untuk mengembalikan akal sehatku.
"Tante yg akan bicara dg Abi mu dan. . ."
"Saya ikut Tante!" sahutku singkat bahkan sebelum beliau selesai berucap! Dan malam itu jg, kami berangkat ke Jakarta.
IX
Aku tahu, aku mungkin terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Tapi aku jg tahu, kalau aku harus segera pergi menjauh dari Rafly, karena kalau tidak. . . . , aku yakin kejadian itu akan terulang lagi. Aku tak menyangkal kalau apa yg terjadi antara kami adalah pengalaman yg sangat manis. Tapi hal itu juga. . . . , mengguncangku. Dg caraku dibesarkan, adat dan ajaran agamaku, menjadi gay adalah terlarang. Bersama dg Rafly adalah suatu kemustahilan bagiku. Aku tak yakin kalau aku menginginkannya. Jadi, aku pergi. Atau mungkin lebih tepatnya, melarikan diri. Aku tahu ini tindakan pengecut. Tapi, pilihan apa yg kupunya?!

Setelah masa karantina selama 2 minggu, siapa sangka, akhirnya aku menjadi juara ke 3 dalam ajang pemilihan wajah sampul itu. Dan jelas, aku mendapat banyak tawaran pekerjaan disini setelahnya. Dengan alasan itu, aku meminta untuk meneruskan sekolahku disini. Tante Ruli cukup mebantuku untuk meyakinkan Ummi dan Abi. Meski dengan berat hati, mereka mengijinkanku. Tapi dengan syarat, aku harus tinggal bersama Tante. Aku dengan cepat menyetujuinya sembari berjanji dalam hati, aku akan tinggal sendiri saat lulus SMA nanti.
Disini, dalam dunia model ini, mulanya aku sedikit jengah. Karena ternyata, dunia asing yg pernah kurasakan bersama Rafly, sudah bukan menjadi hal yg aneh. Apalagi dalam dunia entertaint. Banyak kutemui atau kudengar para pelaku dari dunia gay yg sudah mengaku secara terang-terangan. Tapi aku tak tertarik. Aku menjauhkan diri secara sopan dan baik-baik dari dunia itu. Juga dari dunia gemerlap yg hanya menawarkan kenikmatan sesaat. Hingga pernah suatu saat sebuah majalah memberiku sebutan model alim.
Dunia model kujalani karena aku memperoleh banyak manfaat darinya. Selain pekerjaan yg cukup menghasilkan, dg menjadi model waktuku akan berguna secara efektif. Dan aku tak perlu diam terlalu lama memikirkan Rafly. Meski sering sekali aku teringat padanya. Tapi aku berusaha mati-matian untuk tak menghiraukannya.
Kupusatkan konsentrasi dan tenagaku pd pendidikan dan pekerjaan. Aku mencoba hidup normal, kembali pd ajaran-ajaran yg telah lama ku anut dan kupercaya. Akupun lebih selektif dalam memilih pekerjaan.
Kuakui, aku hampir tak tahan untuk kembali mencari Rafly. Apa lagi pd bulan-bulan pertama keberadaanku di Jakarta. Tapi aku takut, bingung dan menyangkal habis-habisan perasaanku. Hal itu absurd dan mustahil terjadi. TIDAK BOLEH terjadi! Jadi aku berusaha mati-matian untuk melupakannya. Menjauh dari segala sesuatu yg berhubungan dg Rafly. Termasuk kampung halamanku.

Selama 3 tahun aku menjalani kehidupanku di Jakarta, dan tak sekalipun aku pernah pulang ke kampung halamanku. Aku telah kuliah disebuah perguruan tinggi negeri yang cukup terkenal dan juga tinggal dalam apartemenku sendiri. Aku tak pernah kembali kedaerah asalku. Dg alasan pekerjaan dan yg lainnya, aku selalu menolak permintaan orang tuaku untuk pulang, hingga akhirnya orang tuaku yg datang ke Jakarta untuk merayakan hari-hari besar bersama. Dan selama itu, hanya satu kali aku mendengar lagi nama Rafly disebut.
Pada waktu pertama kali orang tuaku datang, Ummi memberiku sebuah bungkusan. Beliau bilang seorang temanku yg bernama Rafly datang mencariku kerumah. Dia tak mengatakan apa-apa, hanya menitipkan bungkusan itu. Saat kubuka, isinya adalah pakaianku yg kupakai saat kehujanan waktu itu. Juga selembar surat yg hanya berisi satu kata;
KENAPA?!
Malam harinya, untuk pertama kalinya, aku menangis hebat. Hingga dadaku terasa luar biasa nyeri.    
Hingga kemudian 3 tahun itu berlalu.

Orang bijak berkata bahwa sedalam apapun sebuah luka, suatu saat, seiring dg berlalunya waktu, pasti akan sembuh juga. Tapi sialnya, orang bijak brengsek yg membuat kalimat itu jg tidak tahu pasti, berapa lama tepatnya waktu yg dibutuhkan agar luka itu benar-benar sembuh.
Dan kini 3 tahun berlalu. Ku jalani kehidupanku di Jakarta dg berbagai kesibukan. Baik kerja dan kuliah. Dan masih juga sesekali, Rafly terbayang di benakku. Ada luka yang masih bisa kurasakan menganga dalam diriku. Aku masih bertanya-tanya bagaimana keadaannya sekarang, apa yg dia lakukan, atau apa yg dia pikirkan. Meski tiap kali hal itu terlintas, aku selalu berusaha menyingkirkannya. Mencoba melarikan diri darinya. Ada sedikit kesadaran samar yg kuacuhkan, kalau dg perginya aku dari kampung halamanku, pd hakikatnya, aku tidak saja melarikan diri dari Rafly saja. Tapi aku jg melarikan diri dari kenyataan yg tak pernah mau aku akui. Kenyataan yang bahkan aku membuatku terlalu takut hanya dengan mengatakannya saja.
Untuk sementara, aku pikir aku telah terbebas dari semua itu. Sampai akhirnya aku bertemu Jeffry.

X

Awal pertemuan kami bukanlah awal yg menyenangkan. Bahkan cenderung mengesalkan. Waktu itu, aku dan beberapa orang model baru saja selesai Gladi Resik dari sebuah pagelaran busana salah seorang designer wanita Indonesia. Setelah latihan, kami duduk-duduk santai dan ngobrol. Berbicara tentang bgmn kami mengawali karir, latar belakang kami dan lain sebagainya. Sampai salah seorang dari dari kami bertanya, apa yg kami lakukan saat tidak laku lagi didunia modelling.
Berbagai jawaban terlontar. Ada yg mau meneruskan sekolah, terjun kedunia akting, jadi pelatih dan lain-lain. Sampai akhirnya giliranku.
"Yg jelas harus selesein kuliah dan mungkin aku akan ikut salah satu kerabatku disini. Kebetulan beberapa dari mereka punya usaha yg terbilang sukses. Pada siapa lagi kita bergantung saat kita butuh bantuan kalo nggak saudara kan?" jawabku.
"Itu jawaban yg bodoh!" celetuk seseorang dari belakangku dengan suara lantang mencemooh. Hampir semua dari kami menoleh kearah asal suara itu. Dan untuk pertama kalinya saat aku melihat siapa yg mengeluarkannya, aku benar-benar dibuat terpesona oleh fisik seorang cowok. Padahal aku berada didunia modelling yg notabene adalah sarangnya cowok-cowok berfisik bagus. Tapi dia lain.
Aku bisa merasakan pancaran aura seksi yg kuat darinya. Sex appeal yg dimilikinya benar-benar menakjubkan. Dia kira-kira seusia dgku, bertubuh tinggi tegap, kulit putih dg kesan liar dan seksi yg menguar dari setiap bagian tubuhnya. Wajahnya yg terkesan acuh, sedikit sinis dan bandel itu benar-benar mengundang untuk diperhatikan. Luar biasa! Hanya dg melihatnya saja, aku jadi begitu ingin melompat kedalam pelukannya.
Aku tentu saja terheran-heran. Bukan hanya karena aku belum pernah merasakan hal ini, tapi jg karena kupikir, aku tak akan pernah lagi tertarik dg seorang cowok. Namun orang ini berhasil membuatku berpikir lain. Aku mengenali wajahnya. Selama ini aku hanya melihatnya di majalah atau televisi. Seorang model yg kini menekuni dunia akting. Dan namanya sedang meroket tajam dalam dunia entertainment. Ini pertama kalinya aku bisa melihatnya secara langsung dan dalam jarak sedekat ini.
"Jeffry. . .!!"
Beberapa orang yg sepertinya sudah kenal menyapanya akrab, atau mungkin terlalu akrab? Kulihat banyak diantaranya langsung bangkit dan saling mencium pipi, padahal sesama model cowok. Sepanjang ingatanku, meski kami sama-sama model, tak ada model str8t yg menyapa teman seprofesi mereka dg mencium pipi. Apakah dia. . . .?
Pikiran itu terlepas saat kulihat dia tanpa sungkan menyapa beberapa model cewek dan mencium bibir mereka dengan antusiasme yang membuat risih. No gay man would have kissed a girl like that, pikirku saat kulihat aksi Don Juan nya. Sepertinya bukan aku saja yg tertarik dg fisik Jeffry. Beberapa model disekelilingku tampak tertarik dengan mata yang menelusuri tubuh cowok itu penuh minat. Aku jd tersipu sendiri memikirkan hal itu.
Dia melihatku dg tatapan mencemooh setelah semua sapaan yg super akrab itu. "Bodoh kalau kau pikir kau bisa mengandalkan orang lain! Bahkan jika itu saudaramu sendiri. Mereka cuma baik ketika mereka menginginkan sesuatu darimu. Ketika kau masih bermanfaat bagi mereka. Bila tidak, mereka tak akan menggubrismu. Ingat itu!!" katanya tajam dan berlalu ketika asisten sang designer memanggilnya.
Aku tercenung untuk sesaat. Beberapa orang yg tadi mendengarkan argumennya tampak saling berbisik dan bergumam. "Dia bermasalah dg keluarga?" tanyaku pelan lebih pada diri sendiri.
"Kamu gak pernah liat infotainment ya Maz?" tanya seorang model cewek yg bernama Maya.
Beberapa orang yg menganggap pertanyaan itu lucu, tertawa."Lo kaya gak tau Dimaz aja May! Mana pernah dia tau yg begituan?!" seloroh temanku Radit, seorang model yg berdarah Sunda. Aku cuma meringis mendengarnya. Aku memang tak terlalu peduli dg semua itu. Karena sejujurnya, dunia ini hanya pelarianku dari Rafly saja. Dan aku tak begitu peduli apakah aku bisa bertahan atau tidak. Dari awal aku tak punya niat untuk tetap berada didunia yg glamour tapi sedikit menakutkan ini.
"Lo tanya aja Radit Maz. Sedikit banyak dia tahu. Kebanyakan dari kita juga tahu siapa Jeffry. Cuman lo aja yg bersih!" tukas Maya lalu bangkit diikuti yg lain.
Aku memandang Radit heran. Cowok berkaca mata itu cuma menghela nafas. "Gak ada yg tahu pastinya Maz. Tapi rumor bilang kalo dia udah gak punya ortu dan dulu sempet disia-siakan ma sodara-sodara nya," jelas Radit yg masih duduk disampingku.
"Karena itu dia begitu. . . . sinis?" gumamku lagi.
"Lo jauh-jauh aja dari dia Maz. Lebih aman!" tukas Radit cepat.
Aku jelas jadi heran mendengar peringatannya. "Emang kenapa? Emang dia penjahat apa?!" selorohku.
"Iya! Penjahat kelamin! Jeffry dikenal sebagai mesin sex didunia kita. Banyak teman seprofesi kita yg bisik-bisik kalau dia hebat diranjang, gede, gak nguatin atau apalah!" kata Radit sembari mengibaskan tangannya, tampak jengah dg topik yg kami bahas.
"Tapi. . . . bukannya emang banyak pelaku hal seperti itu dari dunia kita ini?" tanyaku lagi. Free sex bukan lagi hal baru disini. Karena itu aku tak ingin selamanya di dunia modelling.
Kembali Radit menghela nafas. "Kalo dia tidur ama pacarnya mungkin biasa aja Maz. Tapi dia tidur dg siapa aja yg dia mau. SIAPA AJA!! Cowok ataupun cewek. Dan biasanya tak ada yg lebih dari dua kali. Jadi. . . . daftarnya cukup panjang!" kata Radit sehingga aku ternganga.
Aku tahu, banyak model cowok yg gay. Ada beberapa yg jelas-jelas melambai dan tak menyembunyikan ke gay an mrk, sampai yg sebenarnya str8t, tapi tak keberatan untuk melakukan sex hanya agar mereka dipakai dalam show. Namun orang yg seperti Jeffry, itu hal baru.
"Kenapa? Heran?" tanya Radit dg senyum simpul. "Kalau begitu, mungkin sebaiknya aku nggak usah bercerita tentang apa yg bisa dia lakukan pd teman tidurnya. Kau akan sulit tidur. Tapi yg jelas, banyak isu yg beredar dan aku ragu kalau itu benar. Kalau benar. . . . , mungkin aku harus berguru padanya!"
Alisku makin terangkat tinggi.
"Let's just say kalau gosip-gosip itu terlalu berlebihan untuk jadi nyata," tukas Radit sedikit tersipu. "Banyak yg sudah mendengar kabar burung tentangnya. Kalau aku jadi kamu, mungkin aku akan menjauh. Dan orang yg berpikiran sehat jg pasti begitu, tapi. . . . siapa yg bisa menolaknya? Kau lihat sendiri seperti apa dia."
"Kau iri? Apa kau ingin sepertinya?" godaku.
"Huh! Dengar, mungkin saja aku iri. Lihat saja, dia bisa menyuruh seorang wanita telanjang hanya dg melihatnya. Bahkan pria juga. Tapi untuk bisa seperti dia. . . .," Panji menggeleng, "Aku tak mau. Aku sudah cukup bingung musti salut atau membencinya. Dia benar-benar iblis yg mengerikan sekaligus mengagumkan," pungkas Radit.
"Jadi kesimpulannya adalah. . .?"
"Dia berbahaya dan menjauhlah darinya," rangkum Radit singkat dan bangkit. " Kamu nggak pulang?" tanyanya lagi.
"Duluan aja. Aku mau ambil tas ku diruang ganti," kataku dan ikut bangkit. Radit mengucapkan salam pamit dan pergi.
Aku melangkah ke ruang ganti dg pikiran yg sedikit melamun. Radit tidak salah. Kalau isu-isu itu benar, aku memang harus menjauh dari Jeffry. Selama ini, aku sudah berusaha menjauh dari Rafly, menjauh dari hal yg selama ini tak kuakui. Dan Jeffry jelas berbahaya. Mungkin tak akan sulit. Toh dia sudah menganggapku bodoh, pikirku kecut.
Radit merupakan satu dari segelintir teman modelku yg masih bisa mempertahankan prinsipnya didalam dunia ini. Dia memang ikut membaur. Hura-hura, clubbing, atau hang out dg yg lain. Tapi mengenai pasangan, dia punya prinsip yg kuat. Radit orang yg straight dan konvensional mengenai pendamping hidupnya. Pacarnya adalah seorang mahasiswi di Cairo. Alumnus sebuah pondok pesantren dari daerah asalnya. Dan Radit sangat menghormati dan memuja pacarnya itu. Mungkin karena itu kami bisa akrab.
Jadi kesimpulannya, Jeffry berbahaya, pikirku lagi tersenyum mengingat ekspresi Radit tadi yg tercabik antara kesal dan salut pada Jeffry. Kubuka pintu ruang ganti, dan saat itu juga aku mematung kaku.
Didalam kulihat Jeffry yg sedang membuka celana dalamnya. Dg santai dia menaruh celana dalamnya itu diatas kursi dan menoleh padaku. "Belom pulang?" tanyanya santai.
Aku tak menjawab. Tapi dg ternganga aku menelusuri tubuh telanjangnya. Kalau tadi saat berpakaian lengkap dia memacarkan aura seksi yg kuat, sekarang saat telanjang, aku setuju dg pendapat Radit tadi. Dia benar-benar iblis yg mengerikan sekaligus mengagumkan. Tubuhnya yg tinggi tegap dg lekuk-lekuk nyaris sempurna sungguh menawan. Dihiasi dg bulu-bulu kehitaman yg seakan-akan tumbuh ditempat-tempat yg seharusnya, dalam jumlah yg tepat. Kulitnya yg putih bersih membuat bulu-bulu yg tersebar di beberapa bagian tubuhnya itu terlihat jelas. Dan kejantanan yg masih lemas itu tampak berayun-ayun saat dia melangkah ke rak yg menggantung baju-baju yg akan dipamerkan. Gila!! Turunan apa dia?! pikirku ngeri.
"Hei!! Sudah puas?! Ada yg kau sukai?" tanya Jeffry dg santai dan mengembangkan tangannya.
Aku segera menutup mulutku yg dg konyolnya membuka sedari tadi dg wajah yg memanas. Sial!! Untuk apa aku memandanginya?! gerundengku. Jeffry tampaknya tidak terpengaruh. Dg santai dia mengambil sebuah baju berwarna putih dan memakainya. Gerakannya perlahan, seolah-olah sengaja agar aku memperhatikannya. Dia beralih mengambil sebuah celana hitam berpotongan lebar yg sekilas mirip sarung tapi dihiasi dg ukiran batik modern. Baju itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dan celana tadi seakan-akan memperkuat kesan jantan pada tubuh bagian atasnya.
Dia memang pantas menjadi model utama pada pagelaran ini pikirku. Tapi sikap tengilnya bener-bener bikin jengkel. Dia sepertinya paham betul bagaimana reaksi orang-orang kalau berada didekatnya, dan dia tampak sangat terbiasa dan menikmatinya. Lihat aja tuh, senyum sinisnya mulai muncul. Dalam hati aku mengutuk reaksiku tadi. Harusnya aku tak usah ikut-ikutan menyuntik egonya yg sudah terlampau besar.
"Bisa tolong ambilkan syal hitam itu?" pintanya menunjuk pd sebuah syal yg berada tak jauh dariku.
Tak ingin lagi menjadi mainannya, aku mengambil syal itu dan cepat-cepat menyerahkan padanya. Lalu segera mencari tasku yg ternyata ada di atas sebuah kursi yg berada disebelah tas Jeffry.
"Mau pulang?" tanya Jeffry lagi.
"Yeah! Aku cuma mau mengambil tas. Maaf!" kataku dan segera mengambil tasku dan pergi. Waktu berjalan sampai mobil, pikiranku kembali terbayang pada sosok kunyuk itu. Senyum mengejeknya membayang jelas hingga aku kesal. Dg marah kulempar tasku dikursi belakang mobil dan kuhempaskan tubuhku dikursi. Sambil menggerutu aku memukul kepalaku sendiri. Hingga kemudian sebuah ketukan dikaca mobilku mengejutkanku.
"Eeeuuhh. . . . kau baik-baik saja?"
Aku sontan berpaling kearah sampingku dan mendapati Jeffry sedang melihatku dg senyum simpul khasnya yg berkesan mengejek itu.Tanpa sadar aku menggeram pelan, lalu membuka kacaku demi kesopanan. "Yah. Nggak papa kok!" sahutku cepat dan segera menghidupkan mobil.
"Bisa numpang nggak? Mobilku mogok," katanya.
Untuk sesaat, reaksi pertamaku adalah ingin menolaknya. Insiden tadi sudah menjadi alasan yg cukup bagiku. Dia kan bisa naik taksi. Tapi aku tak tahu apakah mudah mendapatkan taksi didaerah kota tua ini, dan sekarang sudah malam jadi aku tak tega juga. Ugh!! Kenapa harus ketemu lagi sih?  "Kamu mau ke daerah mana?" tanyaku akhirnya.
Jeffry menyebut sebuah alamat yg kutahu  merupakan salah satu perumahan elit di Jakarta. Aku harus sedikit memutar untuk mengantarnya. Tapi. . . . tak apalah!
"Masuk!" kataku pelan. Dg bersiul ia berjalan memutar untuk masuk ke mobilku. Senyumnya yg terkesan mengejek itu kembali tersungging saat dia duduk disampingku. Aku mencoba mengacuhkannya dan menjalankan mobil.
Untuk beberapa saat lamanya kami melaju dalam diam. Hanya siulan Jeffry yg terdengar. Aku sendiri tak tertarik untuk memulai percakapan karena bagiku, diam adalah tamengku untuk tidak terpengaruh olehnya. Iblis yg menggoda, pikirku.
"Boleh nyalain musik?" tanya Jeffry sesaat kemudian. Aku cuma mengangguk, membiarkannya memilih cd. Dan suara Michael Buble yg melantunkan Home pun mengalun. Sial! Ngapain dia pasang lagu yg justru mengingatkanku akan kerinduanku pada kampung halaman dan Rafly ini?!!
"Aku suka lagu ini," celetuk Jeffry. "Mengingatkanku akan hal yg tak pernah kumiliki. Kampung halaman dan kekasih," katanya lagi.
Keningku sedikit berkerut. "Tapi kudengar kau tak pernah kehabisan stok," sahutku sedikit ketus. Mulanya kukira dia akan marah. Sebaliknya, ternyata Jeffry hanya tersenyum mengejek.
Sial!! Dia benar-benar menjengkelkan!
"Aku ingin tahu, kenapa kau tadi menyebutku bodoh!" serangku lagi. Mungkin aku harus membuatnya meminta maaf padaku agar senyum mengejek diwajahnya itu hilang. Memberinya sedikit pelajaran.
"Aku nggak bilang kalau kamu bodoh!" sahutnya santai. "Kalau aku gak salah ingat, aku bilang jawabanmu tadi itu adalah jawaban bodoh," sambungnya lagi tanpa beban.
Well, ternyata dia orang yg cerdik, pikirku. "Bukankah hanya orang bodoh yg bisa mengeluarkan jawaban bodoh? Dg kata lain, kau bilang aku orang bodoh!" serangku lagi.
Jeffry menggeleng. "Tindakan atau pemikiran bodoh, tidak selalu dilakukan oleh orang bodoh. Kadang kala orang jeniuspun bisa melakukan kesalahan kan? Melakukan sesuatu yg bodoh. Hanya saja mereka bisa menyadari dan tidak mengulanginya."
Satu-kosong, pikirku kecut. " Baiklah, sekarang coba sadarkan aku agar aku tak melakukan kebodohan yg sama. Kenapa kau mengatakan bahwa jika pd saat kita mengalami kesulitan dan kita berpaling pd saudara kita, itu adalah bodoh!"
Eh, udah berapa kali kata 'bodoh' terlontar ya? pikirku kecut.
"Jawab pertanyaan ini. Siapa yg menentukan masa depan apa yg akan kau jalani?" tanya Jeffry dengan mimik serius.
"Tentu saja aku!"
"Siapa yg menentukan nasibmu nanti? Atau siapa yg menentukan berhasil atau tidaknya kau dalam menjalani kehidupanmu? Saudaramu? Paman? Bibi? Atau kakek nenek?" tanya dia.
Aku tak menjawab.
"It's you!. Kau yg menentukan akan jadi apa dan mau seperti apa nantinya. Jadi kalau kau menganggap saudaramu yg bisa membantumu, kau salah! Hanya kau yg bisa membantumu sendiri."
"Tapi kan gak ada salahnya kalo kita minta bantuan sodara kan?" tanyaku ngeyel.
"Itu kalo sodaramu bener-bener bisa dan mau membantumu," sahutnya sinis. "Sepanjang yg aku tahu, tak ada sesuatupun yg gratis. Bila kau meminta bantuan mereka, suatu saat kau harus membayarnya. And you'll pay bigger than before. Always!"
Ada nada dingin yg sedikit membuat merinding dalam kata-katanya, sehingga untuk sesaat, aku hanya mampu diam sejenak merenungkan jawabannya. "Jadi. . . . , kau tak pernah meminta bantuan pada salah satu saudaramu?"
"Tidak secara langsung. Tapi percayalah, aku sudah membayar lebih dari apa yg pernah kudapat. Dan sekarang, aku tak pernah mau melakukannya lagi. Aku sudah lama memutus ikatanku dg mereka," sahutnya.
Begitu dingin dan sepi. Itu yg kutangkap dari percakapan kami dan sikapnya. Ada kepahitan dalam hidupnya yg sekarang membuatnya begitu acuh dan nyaris sedikit kejam. Tapi sosok tegar dan kuat serta keras yg dia tampilkan, kini justru terlihat sebagai topeng bagiku. Topeng yg berlapis dan masih banyak lapisan lagi yg ada baliknya.
Mobil kuhentikan saat lampu merah menyala. Dan seperti kebanyakan daerah lampu merah di Jakarta, saat mobil-mobil berhenti gerombolan peminta-minta dan pengamen menyerbu. Mirisnya, banyak diantara mereka adalah anak-anak usia sekolah. Pada waktu pertama kali ke Jakarta, aku sempat kaget dan tak henti-hentinya berpikir akan malangnya nasib mereka. Tapi dg seiringnya waktu, aku mulai terbiasa dg fenomena dikota besar ini.
Yg mengejutkanku, Jeffry mengeluarkan sebuah topi dari dalam tasnya, dan memakainya dalam-dalam sehingga sebagian besar wajahnya tersembunyi. Dia lalu membuka kaca mobil dan menyerahkan uang 50rb pada sepasang pengamen kecil kurus yg bernyanyi asal di sebelahnya. Kedua anak itu tampak sangat gembira, sementara Jeffry hanya mengibaskan tangan dan cepat-cepat menutup kembali kaca mobil.
Tak kusadari, ada senyum lebar yg tersungging dibibirku, namun aku cepat-cepat menyembunyikannya sebelum Jeffry tahu. Sepertinya ada banyak sisi lain dari iblis satu ini, pikirku.

Butuh waktu sekitar satu setengah jam bagi kami untuk akhirnya masuk dikawasan perumahan tempat Jeffry tinggal. Sebuah kawasan elit yg konon dihuni oleh orang-orang terkenal. Pintu masuknya dijaga oleh satpam bersenjata dan ada buku tamu yg harus diisi. Sungguh jauh berbeda dg tempatku berasal, dimana semua orang bisa bertandang kerumah orang lain tanpa protokol yg ribet.
"Itu!" tunjuk Jeffry pada sebuah rumah tak jauh didepan. Sebuah rumah dg design modern dg tanaman-tanaman palem dihalamannya. Rumah itu bertingkat dua dan cukup besar, membuatku bertanya - tanya seperti apa dalamnya. "Bisa pinjam hp mu? Punyaku low batt," pinta Jeffry saat kami berhenti didepan rumahnya.
Aku menyerahkannya tanpa kata. Kuperhatikan saja saat dia memijit beberapa nomor hingga akhirnya kudengar suara dering ponsel yg bertema sebuah lagu dari 50 cent. Dalam hati aku sontan mengumpat kesal setelah tahu apa yg dia lakukan.
Jeffry mengeluarkan ponselnya lalu dg senyum khas nya dia kembalikan milikku. "Thanks! Sekarang aku sudah punya nomormu. Nanti aku hubungi. Makasih ya?" katanya santai dan keluar. "Yakin gak mau mampir dulu?" tawarnya murah hati.
Aku terlalu kesal untuk membalasnya dan lebih memilih untuk segera pergi dari situ, atau aku akan meledak oleh tingkah usilnya!


XI

Seperti umumnya semua pagelaran busana, back stage selalu saja jadi medan heboh. Suara panggilan, teriakan dan orang-orang berseliweran bercampur jadi satu dalam suasana yang kacau balau. Mungkin banyak yg tidak tahu. Orang awam bisa saja mengira kalau di backstage, semua model cuma duduk manis dan menunggu giliran tampil. Padahal ada satu kata yg bisa menggambarkan suasana disana saat ini.
Chaos!
Radit panik karena make upnya belum selesai. Ria heboh karena keliman bajunya ada yg terurai. Andre berteriak minta bantuan karena rambutnya belum ditata. Aku sendiri dari tadi sibuk mencari selendang yg sebenernya harus aku pakai di leherku, tapi kini raib entah kemana. Padahal seingatku, aku sudah meletakkannya di dekat baju gantiku.
"Dimaz, cepat bersiap! 3 menit lagi kamu jalan!" kata stage director.
Kepanikanku semakin menjadi. Kalau aku tak menemukanya bisa gawat! Aku sudah berusaha mencarinya, dan hasilnya nihil! Karena tak ada jalan lain, aku memutuskan untuk menemui Tante AA(samaran)  sang designer yg berdiri tak jauh dari pintu keluar ke runway. Dan kusiapkan mentalku untuk menerima semprotan beliau.
"Tante, maaf saya. . . ,"
"Kamu sebentar lagi kan Dimaz?!" tanya beliau cepat dan menelitiku, "Ok bagus. Tinggal. . . . ," beliau celingukan sebentar, "Jeffry!!" panggil beliau ke belakangku.
Aku sudah hendak kembali membuka mulutku untuk menjelaskan kondisiku saat kurasakan sebuah tangan menyelempangkan selendang yg dari tadi kucari ke leherku.
"Sorry. Tadi aku meminjamnya sebentar karena aku tertarik dg design nya," kata Jeffry yg sudah ada disampingku. Senyum khasnya itu kembali tersungging. "Tante udah kasih ijin kok tadi," imbuhnya cepat saat dia mulai melihat ekspresi marah di wajahku.
"Dimaz, bersiap!" kata Tante AA mengingatkanku.
"Smile!" ujar Jeffry dg senyum usil. Aku yg sebenarnya sudah tak tahan untuk mengumpat terpaksa menelan kemarahanku. Kutarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri dan bersiap-siap keluar. Nggak mungkin kalau aku harus jalan di runway dg bibir cemberut.
Diluar semua itu, pagelaran berjalan dg sukses. Dan hingga pagelaran selesai, kemarahanku pd Jeffry tetap menyala, meski aku harus susah payah menahannya. Sumpah mampus! Kunyuk satu itu bener-bener ngeselin. Gak sekalipun dia memperlihatkan kalau dia telah menyesal telah membuatku sport jantung. Enak aja dia hahahihi, berpose jd bintang utama dlm pagelaran.
Hasilnya, aku sedikit uring-uringan juga selama show berlangsung. Dg kesal aku membereskan barangku ke dalam tas. Make up ku sudah kubersihkan dari tadi, mendahului teman-teman yg lain. Malam ini, mereka berencana untuk clubbing ke sebuah club, tapi aku jelas dg sopan menolak untuk ikut. Jadi sebelum mereka berangkat, aku harus terlebih dulu pulang.
"Bisa bareng?" tanya seseorang yg sudah ada di belakangku, mengikutiku ke tempat parkir. Tanpa melihatnya, aku tahu dia Jeffry. Lihat tuh! Masih ada nyali juga dia ngomong santai ke aku. Gak nyadar apa kalo sepanjang pagelaran tadi aku jutekin?
"Anak-anak mau clubbing ke club. Kenapa kamu gak join mereka?" tanyaku tanpa berbalik atau menghentikan langkah.
"Lagi males."
"Cari taksi aja," saranku ketus.
"Aku nggak bawa cash. Anterin aku bentar," pintanya lagi.
Aku yg sudah sampai didekat mobilku berhenti. Kutarik nafas panjang untuk menenangkan diri. Lalu perlahan aku berbalik, menatapnya tajam dg tangan dikedua pinggangku. "Sebelumnya, ada sesuatu yg harus kau katakan padaku?" tanyaku yg hebatnya dg suara tenang.
"Apa?" tanya Jeffry dg nada bingung. Mukanya polos aja kaya gak punya dosa.
Aku menggeram pelan. "Kau mengambil tanpa ijin selendang yg akan kupakai!" kataku gusar sementara rahang terkatup geram.
"Aku udah izin sama Tante."
"Tapi aku yg harusnya pake selendang itu. Dan aku mencari-carinya setengah mati karenamu. Aku udah bersiap-siap kena semprot karena kupikir benda itu tak sengaja kuhilangkan. Lalu KAU!!!" tunjukku ke mukanya jengkel, " enak aja muncul sambil cengar cengir ngomong kalo benda sialan itu kau pinjam! KAMU NGGAK TAHU GIMANA BINGUNGNYA AKU TADI??!!!!"
Jeffry menghembuskan nafas. "Baiklah. Pertama, aku tak tahu kalo kamu yg akan pake selendang itu. Kedua, aku udah ijin ke pemiliknya tante AA. Jadi seharusnya, kamu nggak perlu semarah ini!"
Rasa-rasanya, aku bisa melihat kepulan asap muncrat keluar dari kedua lubang hidungku. "Narsis edan!!" gerundengku tertahan lalu segera masuk kemobil. Tapi Jeffry, kembali dg santai mengetok jendela mobilku.
"Bisa ya?" pintanya lagi.
AAAAAARRRGGGHHHH!!!!
Aku tak memperdulikannya. Ku mundurkan mobil untuk mengeluarkannya dari tempat parkir. Aku males kalo musti ngeliat kunyuk satu itu, jadi aku konsen saja pd spion, sampai kudengar suara gedubrakan dan teriakan Jeffry.  Ya Tuhan, aku menabraknya!!!  Dg cepat aku keluar dari mobil dan memburu Jeffry yg terbaring di sebelah moncong mobilku.
"JEFF!!! Maaf!! Kamu nggak papa?" pekikku khawatir dan berjongkok untuk memeriksanya.
Jeffry meringis dan memegangi kaki sebelah kanannya. "Kalo nggak mau ditebengin, gak usah pake nabrak dong!" gerundengnya kesal.
"Maaf! Aku gak bermaksud begitu. Kita ke Rumah Sakit," kataku dan membantunya berdiri. Ku lingkarkan lengan kirinya dibahuku.
"Nggak usah! Anter aku pulang aja. Paling cuma lebam aja," katanya sembari mengernyit menahan nyeri. Perlahan dia menggulung bagian bawah celananya keatas. Tak jauh dari dengkulnya, kulihat sebuah luka gores yg lumayan besar. Sebagian kulitnya terkelupas, dan mulai mengeluarkan darah!
"Kita ke Rumah sakit aja!" kataku dan memapahnya kemobil.
"Nggak usah!" kata Jeffry yg kembali melangkah dg sedikit terpincang. "Dikasih obat merah juga sembuh. Cuman lecet gini kok!"
"Kamu kan bisa menghindar tadi," gerutuku pelan karena kekeras kepalaannya.
Jeffry berhenti melangkah. Dg kesal dia melepas tangannya dan mendorongku untuk menjauh. "Kamu pulang aja deh! Gak usah bantu! Keliatan banget gak ikhlasnya!" tukasnya sengit dan melangkah terpincang meninggalkanku.
"Jeff!!" aku segera menahan lengannya. "Kuantar pulang!" kataku dg nada pelan.
"Nggak perlu!" sahutnya dan mencoba mengibaskan tanganku. Tapi aku tetap menahannya.
"Maaf ok?!" pintaku sungguh-sungguh. Aku menyesal karena aku memang tak ada niat untuk melukainya.
"Percuma kalo kamu minta maaf tapi masih juga ngedumel gak jelas. Maafmu nggak tulus!!"
"Aku benar-benar minta maaf!" pintaku serius. Jeffry hanya menatapku. Dia tampak ragu. Namun beberapa saat kemudian pandangan tajamnya mulai melunak. "Biar kuantar pulang ok?!" kataku lagi.
Akhirnya dia cuma mengangkat bahu dan mau untuk kupapah ke mobil. Untungnya, karena malam telah sedikit agak larut, kami jadi terbebas dari macet sehingga bisa sampai kerumah Jeffry agak cepat.
Aku kembali membantunya untuk keluar dari mobil dan masuk kerumahnya. Saat aku masuk kedalam, mau tak mau aku dibuat kagum dg interior rumahnya yg terkesan simpel, modern namun toh tetap elegan dan cowok banget. Warnanya didominasi oleh warna putih, hitam dan coklat. Pada ruang tamunya diisi dg kursi sova putih, dipadu meja dg warna hitam dan beberapa pernak-pernik coklat. Aku mendudukannya disana.
"Bisa tolong kau ambilkan kotak obat di dapur. Sebelah sana!" tunjuk Jeffry ke arah belakang. "Kotaknya ada disebelah lemari es," katanya lagi saat aku cuma diam dan meninggalkannya untuk mengambil kotak obat.
Dapur Jeffry khas dapur seorang single. Peralatannya simpel dan compact, meski kulihat cukup lengkap. Kebanyakan peralatannya didominasi warna silver. Tapi aku tak punya waktu untuk mengagumi interior dapurnya. Aku harus cepat kembali pada Jeffry dan pulang. Aku segera meraih kota P3K yg ada didekat kulkas besarnya.
"Jeff, ini. . . ."
Aku tak dapat meneruskan kalimatku karena kulihat Jeffry yg telah duduk disova hanya memakai celana dalam saja. Dia sudah membuka celana dan t-shirtnya. Untuk apa dia buka baju segala? gerundengku dlm hati.
"Kok malah bengong?!" sergah Jeffry sedikit mengagetkanku. "Sini bantu obatin!" katanya lagi sembari menunjuk lukanya.
"Kamu gak harus buka baju segala kan?" gerutuku pelan dan berusaha mengacuhkan kepolosannya. Kupusatkan perhatianku pada luka dikakinya.
"Kenapa? Orang aku dirumah sendiri. Lagian mau istirahat ini. Aku mana bisa tidur pake baju."
"Memang kenapa kalo pake baju?" tanyaku sedikit heran. "Aku aja pake piyama lengkap."
"Gerah! Aku justru telanjang bulat," jawabnya enteng.
Setengah mati aku berusaha menampakkan wajah datar meski otakku mulai memvisualisasikan gambar Jeffry yg berbaring diranjangnya tanpa sehelai benangpun. Membayangkan bagaimana kain selimut itu membelai tubuhnya. Bagaimana dia menggeliat menggerakkan otot-otot bisepnya, dan menampakkan lekuk-lekuk diperut rampingnya.
Aku menutup mata dan menyebut nama Tuhan beberapa kali. Ngawur!!! Sadarkan dirimu!! Kau tidak seharusnya memikirkan hal itu!!
"Kenapa?" tanya Jeffry dg nada heran.
"Pusing!" jawabku pelan dan dg cepat kembali membersihkan lukanya dg cairan steril. Lalu kuolesi obat luka tanpa sedikitpun melihatnya. Selesai akupun bangkit dan meletakkan kembali kotak obat itu ditempat aku menemukannya td. "Aku pulang!" pamitku dan langsung menuju pintu.
"Terimakasih udah mau nganter!" seru Jeffry, tapi aku hanya melambaikan tangan untuk menjawabnya. Radit Benar! Aku harus menjauh dari iblis itu.

XII

Pekerjaanku adalah pelarianku. Aku melakukannya untuk lari dari Rafly. Tubuhku yg lelah, biasanya tak memberiku kesempatan untuk memikirkan hal lain selain istirahat. Sedikit menyiksa. Tapi aku menyukainya. Karena dalam pekerjaan adalah satu-satunya tempat dimana aku memperoleh sedikit ketenangan. Meski aku harus menjauh dari beberapa hal yg tak kusukai dalam dunia kerjaku ini. Dan menjauh dari tipe orang seperti Jeffry adalah salah satunya.
Untungnya, lingkungan kami sering berbeda. Plus aku tahu, kalau dia mempunyai jadwal yg jauh lebih padat dibandingkan aku. Dia bintang yang sedang meroket didunia entertainment. Jadi aku sedikit bisa merasa lega, meski tidak sepenuhnya. Aku tak menyangkal kalau sikap nakal Jeffry yg seolah-olah mengiming-imingi itu sedikit mempengaruhiku. Selain tingkah tengilnya yg selalu membuatku geram, dia memang salah satu manusia berfisik indah. Dia bisa membuatku merasakan sesuatu yg sudah lama kulupakan. Kukira aku tak akan lagi bisa tertarik pada sesama jenis seperti aku menyukai Rafly.
Aaahh. . . .
Rafly! Apa yg sekarang dia lakukan? Apa yg sedang dia pikirkan? Apakah dia membenciku atau malah . . . . , merindukanku?!
Goncangan mobil yg melewati sebuah undakan membuatku terhenyak kaget dan kembali pada kenyataan! Aku menghela nafas dan memandang ke pemandangan yg aku lewati. Selama 2 hari ini, aku mendapat jadwal pemotretan dari sebuah majalah pria yg cukup beken di Indonesia. Dan pemotretan kali ini dilakukan di Bali. Saat ini aku meluncur menuju daerah Ulu Watu.
Pemandangan yg kami lewati cukup membuatku kagum. Berbeda dg kota Denpasar yg lumayan padat dan macet, daerah ini udaranya masih lumayan segar.  Rumah-rumah yg tersebar tak begitu padat. Masih banyak rimbunan tanaman hijau yg menyegarkan mata. Dan kulihat ada beberapa bangunan villa yg berarsitektur etnis Bali, meski tak sedikit yg bernuansa modern.
Mobil berbelok menuju kawasan resort Namoss. Menurut apa yg kudengar tadi, fotoshoot kali ini memang dilakukan didaerah Namoss ini karena disini pantainya tidak begitu ramai dan lokasinya cukup eksotis. Dan tak lama kami pun berhenti di pelataran parkir resort Namoss. Kulihat ada beberapa mobil yg jg terparkir, meski tak begitu banyak.
"Kita udah siapin kamar buat kamu Maz. Biar nanti Mas Arya yg tunjukin kamarmu," kata Mbak Ully, fashion director yg menemaniku. Dia menunjuk pada Mas Arya, sang photographer yg telah muncul dari gerbang resort menyambut kami.
"Dimaz!! Capek?" tanya Mas Arya yg sudah cukup akrab dgku. Kami pernah bekerja sama beberapa kali, dan aku sangat suka dg sikapnya yg terbuka dan mampu memahami batasan-batasan yg kuminta dalam pemotretan. Seperti aku yg tak pernah mau difoto telanjang. Dia menghargai batasanku dan masih bisa mengambil fotoku yg berkesan seksi tanpa harus melepas baju. Benar-benar hebat! Salah satau photographer faoritku dalam dunia model ini.
"Lumayan Mas. Dari bandara tadi langsung kesini," sahutku nyengir.
Mas Arya tertawa, "Kalau begitu, ayo kutunjukkan kamarmu agar kau bisa langsung beristirahat," katanya dg senyum yg terus terkembang.
Harus kuakui, tempat ini menakjubkan. Resort ini berdiri diketinggian tebing sehingga kita bisa melihat hamparan laut yg ada dibawah. Perpaduan pemandangan yg unik, seakan-akan kita berada diketinggian gunung, namun begitu dekat dg pantai. Aku melihat turis-turis asing yg asyik bercengkrama serta beberapa turis lokal yg mencoba terlihat seperti turis luar.
Ada satu cewek yg berpakaian sok seksi dan membuatku mengangkat sebelah alis. Tubuhnya yg ramping dibalut gaun hitam berpotongan minim dg punggung terbuka. Yg membuatku super heran adalah saat aku melihat sepatu high heels stileto yg ia pake. Sepatu dg hak tinggi yg lancip dan ramping itu malah menjadi aneh untuk dipakai pada daerah wisata pantai seperti ini. Apa lagi semua orang tampak begitu casual, sementara dia. . .  justru kelihatan seperti maju kemedan perang gitu.
Aku menggelengkan kepala melihatnya. Korban mode apa korban sok bule tuh, pikirku.
"Aneh?" tanya Mas Arya yg tahu kemana perhatianku terarah.
Aku cuma tertawa kecil dan mengikutinya berbelok kekanan. Tapi tawaku langsung lenyap begitu aku melihat sosok Jeffry yg sedang duduk dipinggir kolam renang bersama seorang cewek bule. Tampak seakan-akan mereka telah lama mengenal. Dg cepat aku menoleh pd Mas Arya, kaget.
"Kenapa?" tanya Mas Arya heran melihat reaksiku.
"Jangan katakan kalau Jeffry juga akan ikut dlm pemotretan ini," desisku pelan dg nada berharap. Tentu saja aku menyadari bahwa harapannya tipis.
"Dia memang partnermu," jawab Mas Arya masih dg keheranannya membuatku mengerang pelan. "Sebenernya dia sudah menolak karena jadwal yg berbenturan, tapi untungnya disaat-saat terakhir, pihak management nya memberi kabar kalo Jeffry luang. Tema kita kali ini Hot n Cold. Liar dan Jinak. Hitam putih. Kalian berdua benar-benar mewakili deskripsi itu."
"Sudah datang?" sapa Jeffry yg tahu-tahu sudah ada didekat kami bahkan sebelum aku bereaksi pada kalimat Mas Arya tadi. Sebelah lengannya melingkar dipinggang cewek bule itu, mesra.
"Sepertinya sudah akrab nih Jeff?" goda Mas Arya.
"Lumayan buat nemenin disini Ar. Whitney, I want you to meet my friend Dimaz. Dimaz, ini Whitney dari Hawaii!" kata Jeffry.
Demi kesopanan, aku mengulurkan tangan pada cewek bule berambut kecoklatan itu. Dia cukup cantik dg tubuh ramping sekitar 160 cm,bermata biru dan tampak ramah.
"Are you a model too?" tanyanya tertarik dg mata yg mengamatiku penuh minat.
"Well, actually, I'm just Jeffry's assistant. It's nice meeting you Whitney, but I have a job to do," kataku cepat dan berpaling pada Mas Arya tanpa memperdulikan ekspresi kaget diwajah Jeffry ataupun keheranan Whitney. "Mas, kamarku?"
Mas Arya segera tanggap dan kembali melangkah untuk menunjukkan letak kamarku. Aku benar-benar ingin beristirahat karena tiba-tiba saja, kepalaku berdenyut sakit.
Ya Tuhan. . . .!! Perasaanku jadi gak enak nih!! Semoga saja tak ada insiden ditempat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar