VIII
Setelah
semua selesai, ada sedikit kelegaan yang kurasakan. Tapi juga ada kebingungan
dan ketakutan yang ikut merambat. Untuk waktu yang lama, kami hanya terbaring
diam, terlentang tanpa bicara. Semua masih baru, aneh dan membingungkan. Hingga
kemudian aku sadar kalau aku harus pulang.
"Aku
harus pulang," kataku dan segera bangkit. Hari sudah gelap dan hujanpun
telah sejak tadi berhenti tanpa kusadari."Boleh pinjam bajunya?"
Rafly yg
masih terbaring memandangku sejenak lalu bangkit menuju lemarinya. Dia
mencarikanku satu stel baju dan menyerahkannya padaku tanpa berbicara. Akupun
memakainya tanpa suara. Dan begitu selesai, aku hanya diam disana, melihatnya
yg juga memandangku. Aku bisa merasakan keheningan yg janggal dan
membingungkan. Dia hanya berdiri diam memperhatikanku, padahal dia dalam
keadaan telanjang bulat.
Aku lalu
celingukan mencari kunci. Rafly mengulurkan kunci mobilku yg kucari entah dari
mana.
“Aku
pulang,” pamitku pelan dan melangkah dg tertunduk. Tapi sebelum mencapai pintu,
Rafly menahanku. Dg satu sentakan keras, dia menarikku kembali ke dalam
pelukannya dan menciumku. Ciuman lembut yg begitu dalam dan hampir membuatku
lupa untuk pergi. Butuh beberapa waktu bagiku untuk bisa mengendalikan diri.
Hingga akhirnya aku menahan dadanya dan mendorongnya sedikit. Aku tersenyum dan
mengangguk padanya, lalu pergi.
Saat
melaju dijalanan pikiranku mulai berantakan. Kesadaran akan apa yang telah
terjadi menghampiriku perlahan berikut dengan semua hal yang pernah aku
pelajari dalam kehidupanku sebelumnya, yang boleh dibilang religius.
Aku mengendarai mobilku dg pikiran kacau
balau. Kejadian tadi melintas diotakku seperti slide show yg terputar terus
menerus. Aku ingat bagaimana tubuh kami saling bersentuhan, bergesekan, dan
menindih. Aku ingat bagaimana bibir kami saling berpagut, mengulum dan
menghisap. Dan aku ingat bagaimana tangan kami saling meraba,mengusap atau
meremas. Aku nyaris bisa merasakan hembusan nafas Rafly ditubuhku sekarang. Aku
menggigil keras.
Aku juga
teringat dg semua ajaran agama dan semua petuah-petuah dari para alim ulama yg
selama ini membimbingku dan sungguh. . . . . aku merasa kotor. Aku merasa
bersalah. Karena kini, setelah semua hasrat ku tadi tersalurkan,aku kembali
disadarkan pada fakta bahwa kami sama-sama lelaki. Kami berjenis kelamin sama
dan apa yg tadi kami lakukan tidak seharusnya terjadi.
Agama kami
mengutuknya. Ajaran adat kami melarangnya. Dan jika ada orang tahu apa yg kami
lakukan tadi, entah apa yg akan mereka timpakan pd kami. Kalau ada 2 orang
berzina harus dihukum cambuk, mungkin kami akan dirajam sampai mati.
Tanganku
yg memegang setir gemetar hebat. Perutku bergolak keras sementara keringan
dingin mulai merembes dari pori-pori disekujur tubuhku. Saat aku tak bisa
menahannya lagi, aku hentikan mobilku ditepi jalan, dan dg cepat keluar.
Aku muntah
hebat!
Ada
sedikit keramaian yg terdengar dari ruang tamuku. Untuk sesaat aku jadi sedikit
ketakutan kalau rahasia ku telah terbongkar. Entah bagaimana ada orang yg
melihat apa yg aku dan Rafly lakukan dan dia memberitahu orang tuaku. Tanpa
kusadari, keringat dingin mulai kembali mengucur dari tubuhku.
“Dimaz
sayaaaang!!” panggilan itu diikuti oleh pelukan erat dari Tante ku Ruli yg
berasal dari Jakarta. Kemunculannya dari pintu masuk membuatku agak tertegun.
“T-tante.
. . . ,” aku sedikit tergagap karenanya, “Kapan datang?”
“Beberapa
jam yg lalu. Tante kesini membawa kabar bagus untukmu,” kata beliau tapi
kemudian diam memperhatikanku. “Kamu sedikit pucat. Sakit?’ tanya beliau.
Aku hanya
tertawa gugup, “Tadi cuma sedikit kehujanan Tan. Kok mendadak sih?"
“Tantemu
lagi kumat isengnya Maz,” tukas Ummi ku
sedikit menggerutu. Beliau melambai agar kami segera masuk.
“Kamu itu
memang udah ketularan suamimu Lis," cemooh Tante Ruli pd adiknya,
ibuku."Jangan pedulikan Ummi mu. Dimaz ingat gak foto2 Dimaz yg dulu Tante
ambil?” Tanya Tante Ruli. Aku ingat. Tanteku yg satu ini memang hobi fotografi.
Dan dari hobinya, sekarang dia memiliki sebuah studio foto yg cukup terkenal di
Jakarta. Sialnya, tiap kali aku kesana, aku selalu ditodongnya untuk jadi model
dadakan.
Akupun
mengangguk, "Ingat Tante. Kenapa?"
"Tante
kirim foto-fotomu itu ke sebuah pemilihan model di majalah ternama. Dan kamu
masuk final!!" pekik Tante girang. "Tante dapet telepon sabtu kemarin
dan pengumumannya bisa dilihat dari majalah yg akan beredar besok senin. Tapi,
malam ini jg kamu ikut Tante ke Jakarta, karena minggu depan kamu akan
karantina. Kita cuma punya waktu satu minggu untuk membekalimu. Dan. . .
."
Kata-kata
Tante Ruli sudah tak kudengar lagi. Karena seperti biasa, otakku dg cepat bisa
melihat kesempatan ini. Ini yg kuperlukan!! Waktu untuk menjauh dari Rafly.
Waktu untuk menjernihkan otakku. Waktu untuk mengembalikan akal sehatku.
"Tante
yg akan bicara dg Abi mu dan. . ."
"Saya
ikut Tante!" sahutku singkat bahkan sebelum beliau selesai berucap! Dan
malam itu jg, kami berangkat ke Jakarta.
IX
Aku tahu,
aku mungkin terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Tapi aku jg tahu,
kalau aku harus segera pergi menjauh dari Rafly, karena kalau tidak. . . . ,
aku yakin kejadian itu akan terulang lagi. Aku tak menyangkal kalau apa yg
terjadi antara kami adalah pengalaman yg sangat manis. Tapi hal itu juga. . . .
, mengguncangku. Dg caraku dibesarkan, adat dan ajaran agamaku, menjadi gay
adalah terlarang. Bersama dg Rafly adalah suatu kemustahilan bagiku. Aku tak
yakin kalau aku menginginkannya. Jadi, aku pergi. Atau mungkin lebih tepatnya,
melarikan diri. Aku tahu ini tindakan pengecut. Tapi, pilihan apa yg kupunya?!
Setelah masa
karantina selama 2 minggu, siapa sangka, akhirnya aku menjadi juara ke 3 dalam
ajang pemilihan wajah sampul itu. Dan jelas, aku mendapat banyak tawaran
pekerjaan disini setelahnya. Dengan alasan itu, aku meminta untuk meneruskan
sekolahku disini. Tante Ruli cukup mebantuku untuk meyakinkan Ummi dan Abi.
Meski dengan berat hati, mereka mengijinkanku. Tapi dengan syarat, aku harus
tinggal bersama Tante. Aku dengan cepat menyetujuinya sembari berjanji dalam
hati, aku akan tinggal sendiri saat lulus SMA nanti.
Disini,
dalam dunia model ini, mulanya aku sedikit jengah. Karena ternyata, dunia asing
yg pernah kurasakan bersama Rafly, sudah bukan menjadi hal yg aneh. Apalagi
dalam dunia entertaint. Banyak kutemui atau kudengar para pelaku dari dunia gay
yg sudah mengaku secara terang-terangan. Tapi aku tak tertarik. Aku menjauhkan
diri secara sopan dan baik-baik dari dunia itu. Juga dari dunia gemerlap yg
hanya menawarkan kenikmatan sesaat. Hingga pernah suatu saat sebuah majalah
memberiku sebutan model alim.
Dunia
model kujalani karena aku memperoleh banyak manfaat darinya. Selain pekerjaan
yg cukup menghasilkan, dg menjadi model waktuku akan berguna secara efektif.
Dan aku tak perlu diam terlalu lama memikirkan Rafly. Meski sering sekali aku
teringat padanya. Tapi aku berusaha mati-matian untuk tak menghiraukannya.
Kupusatkan
konsentrasi dan tenagaku pd pendidikan dan pekerjaan. Aku mencoba hidup normal,
kembali pd ajaran-ajaran yg telah lama ku anut dan kupercaya. Akupun lebih
selektif dalam memilih pekerjaan.
Kuakui,
aku hampir tak tahan untuk kembali mencari Rafly. Apa lagi pd bulan-bulan
pertama keberadaanku di Jakarta. Tapi aku takut, bingung dan menyangkal
habis-habisan perasaanku. Hal itu absurd dan mustahil terjadi. TIDAK BOLEH
terjadi! Jadi aku berusaha mati-matian untuk melupakannya. Menjauh dari segala
sesuatu yg berhubungan dg Rafly. Termasuk kampung halamanku.
Selama 3
tahun aku menjalani kehidupanku di Jakarta, dan tak sekalipun aku pernah pulang
ke kampung halamanku. Aku telah kuliah disebuah perguruan tinggi negeri yang
cukup terkenal dan juga tinggal dalam apartemenku sendiri. Aku tak pernah
kembali kedaerah asalku. Dg alasan pekerjaan dan yg lainnya, aku selalu menolak
permintaan orang tuaku untuk pulang, hingga akhirnya orang tuaku yg datang ke
Jakarta untuk merayakan hari-hari besar bersama. Dan selama itu, hanya satu
kali aku mendengar lagi nama Rafly disebut.
Pada waktu
pertama kali orang tuaku datang, Ummi memberiku sebuah bungkusan. Beliau bilang
seorang temanku yg bernama Rafly datang mencariku kerumah. Dia tak mengatakan
apa-apa, hanya menitipkan bungkusan itu. Saat kubuka, isinya adalah pakaianku
yg kupakai saat kehujanan waktu itu. Juga selembar surat yg hanya berisi satu
kata;
KENAPA?!
Malam
harinya, untuk pertama kalinya, aku menangis hebat. Hingga dadaku terasa luar
biasa nyeri.
Hingga
kemudian 3 tahun itu berlalu.
Orang
bijak berkata bahwa sedalam apapun sebuah luka, suatu saat, seiring dg
berlalunya waktu, pasti akan sembuh juga. Tapi sialnya, orang bijak brengsek yg
membuat kalimat itu jg tidak tahu pasti, berapa lama tepatnya waktu yg
dibutuhkan agar luka itu benar-benar sembuh.
Dan kini 3
tahun berlalu. Ku jalani kehidupanku di Jakarta dg berbagai kesibukan. Baik
kerja dan kuliah. Dan masih juga sesekali, Rafly terbayang di benakku. Ada luka
yang masih bisa kurasakan menganga dalam diriku. Aku masih bertanya-tanya
bagaimana keadaannya sekarang, apa yg dia lakukan, atau apa yg dia pikirkan.
Meski tiap kali hal itu terlintas, aku selalu berusaha menyingkirkannya.
Mencoba melarikan diri darinya. Ada sedikit kesadaran samar yg kuacuhkan, kalau
dg perginya aku dari kampung halamanku, pd hakikatnya, aku tidak saja melarikan
diri dari Rafly saja. Tapi aku jg melarikan diri dari kenyataan yg tak pernah
mau aku akui. Kenyataan yang bahkan aku membuatku terlalu takut hanya dengan
mengatakannya saja.
Untuk
sementara, aku pikir aku telah terbebas dari semua itu. Sampai akhirnya aku
bertemu Jeffry.
X
Awal
pertemuan kami bukanlah awal yg menyenangkan. Bahkan cenderung mengesalkan.
Waktu itu, aku dan beberapa orang model baru saja selesai Gladi Resik dari
sebuah pagelaran busana salah seorang designer wanita Indonesia. Setelah
latihan, kami duduk-duduk santai dan ngobrol. Berbicara tentang bgmn kami
mengawali karir, latar belakang kami dan lain sebagainya. Sampai salah seorang
dari dari kami bertanya, apa yg kami lakukan saat tidak laku lagi didunia
modelling.
Berbagai
jawaban terlontar. Ada yg mau meneruskan sekolah, terjun kedunia akting, jadi
pelatih dan lain-lain. Sampai akhirnya giliranku.
"Yg
jelas harus selesein kuliah dan mungkin aku akan ikut salah satu kerabatku
disini. Kebetulan beberapa dari mereka punya usaha yg terbilang sukses. Pada
siapa lagi kita bergantung saat kita butuh bantuan kalo nggak saudara
kan?" jawabku.
"Itu
jawaban yg bodoh!" celetuk seseorang dari belakangku dengan suara lantang
mencemooh. Hampir semua dari kami menoleh kearah asal suara itu. Dan untuk
pertama kalinya saat aku melihat siapa yg mengeluarkannya, aku benar-benar
dibuat terpesona oleh fisik seorang cowok. Padahal aku berada didunia modelling
yg notabene adalah sarangnya cowok-cowok berfisik bagus. Tapi dia lain.
Aku bisa
merasakan pancaran aura seksi yg kuat darinya. Sex appeal yg dimilikinya
benar-benar menakjubkan. Dia kira-kira seusia dgku, bertubuh tinggi tegap,
kulit putih dg kesan liar dan seksi yg menguar dari setiap bagian tubuhnya.
Wajahnya yg terkesan acuh, sedikit sinis dan bandel itu benar-benar mengundang
untuk diperhatikan. Luar biasa! Hanya dg melihatnya saja, aku jadi begitu ingin
melompat kedalam pelukannya.
Aku tentu
saja terheran-heran. Bukan hanya karena aku belum pernah merasakan hal ini,
tapi jg karena kupikir, aku tak akan pernah lagi tertarik dg seorang cowok.
Namun orang ini berhasil membuatku berpikir lain. Aku mengenali wajahnya.
Selama ini aku hanya melihatnya di majalah atau televisi. Seorang model yg kini
menekuni dunia akting. Dan namanya sedang meroket tajam dalam dunia
entertainment. Ini pertama kalinya aku bisa melihatnya secara langsung dan
dalam jarak sedekat ini.
"Jeffry.
. .!!"
Beberapa
orang yg sepertinya sudah kenal menyapanya akrab, atau mungkin terlalu akrab?
Kulihat banyak diantaranya langsung bangkit dan saling mencium pipi, padahal
sesama model cowok. Sepanjang ingatanku, meski kami sama-sama model, tak ada model
str8t yg menyapa teman seprofesi mereka dg mencium pipi. Apakah dia. . . .?
Pikiran
itu terlepas saat kulihat dia tanpa sungkan menyapa beberapa model cewek dan
mencium bibir mereka dengan antusiasme yang membuat risih. No gay man would
have kissed a girl like that, pikirku saat kulihat aksi Don Juan nya.
Sepertinya bukan aku saja yg tertarik dg fisik Jeffry. Beberapa model
disekelilingku tampak tertarik dengan mata yang menelusuri tubuh cowok itu
penuh minat. Aku jd tersipu sendiri memikirkan hal itu.
Dia
melihatku dg tatapan mencemooh setelah semua sapaan yg super akrab itu.
"Bodoh kalau kau pikir kau bisa mengandalkan orang lain! Bahkan jika itu
saudaramu sendiri. Mereka cuma baik ketika mereka menginginkan sesuatu darimu.
Ketika kau masih bermanfaat bagi mereka. Bila tidak, mereka tak akan
menggubrismu. Ingat itu!!" katanya tajam dan berlalu ketika asisten sang
designer memanggilnya.
Aku
tercenung untuk sesaat. Beberapa orang yg tadi mendengarkan argumennya tampak
saling berbisik dan bergumam. "Dia bermasalah dg keluarga?" tanyaku
pelan lebih pada diri sendiri.
"Kamu
gak pernah liat infotainment ya Maz?" tanya seorang model cewek yg bernama
Maya.
Beberapa
orang yg menganggap pertanyaan itu lucu, tertawa."Lo kaya gak tau Dimaz
aja May! Mana pernah dia tau yg begituan?!" seloroh temanku Radit, seorang
model yg berdarah Sunda. Aku cuma meringis mendengarnya. Aku memang tak terlalu
peduli dg semua itu. Karena sejujurnya, dunia ini hanya pelarianku dari Rafly
saja. Dan aku tak begitu peduli apakah aku bisa bertahan atau tidak. Dari awal
aku tak punya niat untuk tetap berada didunia yg glamour tapi sedikit
menakutkan ini.
"Lo
tanya aja Radit Maz. Sedikit banyak dia tahu. Kebanyakan dari kita juga tahu
siapa Jeffry. Cuman lo aja yg bersih!" tukas Maya lalu bangkit diikuti yg
lain.
Aku
memandang Radit heran. Cowok berkaca mata itu cuma menghela nafas. "Gak
ada yg tahu pastinya Maz. Tapi rumor bilang kalo dia udah gak punya ortu dan
dulu sempet disia-siakan ma sodara-sodara nya," jelas Radit yg masih duduk
disampingku.
"Karena
itu dia begitu. . . . sinis?" gumamku lagi.
"Lo
jauh-jauh aja dari dia Maz. Lebih aman!" tukas Radit cepat.
Aku jelas
jadi heran mendengar peringatannya. "Emang kenapa? Emang dia penjahat
apa?!" selorohku.
"Iya!
Penjahat kelamin! Jeffry dikenal sebagai mesin sex didunia kita. Banyak teman
seprofesi kita yg bisik-bisik kalau dia hebat diranjang, gede, gak nguatin atau
apalah!" kata Radit sembari mengibaskan tangannya, tampak jengah dg topik
yg kami bahas.
"Tapi.
. . . bukannya emang banyak pelaku hal seperti itu dari dunia kita ini?"
tanyaku lagi. Free sex bukan lagi hal baru disini. Karena itu aku tak ingin
selamanya di dunia modelling.
Kembali
Radit menghela nafas. "Kalo dia tidur ama pacarnya mungkin biasa aja Maz.
Tapi dia tidur dg siapa aja yg dia mau. SIAPA AJA!! Cowok ataupun cewek. Dan
biasanya tak ada yg lebih dari dua kali. Jadi. . . . daftarnya cukup
panjang!" kata Radit sehingga aku ternganga.
Aku tahu,
banyak model cowok yg gay. Ada beberapa yg jelas-jelas melambai dan tak
menyembunyikan ke gay an mrk, sampai yg sebenarnya str8t, tapi tak keberatan
untuk melakukan sex hanya agar mereka dipakai dalam show. Namun orang yg
seperti Jeffry, itu hal baru.
"Kenapa?
Heran?" tanya Radit dg senyum simpul. "Kalau begitu, mungkin
sebaiknya aku nggak usah bercerita tentang apa yg bisa dia lakukan pd teman
tidurnya. Kau akan sulit tidur. Tapi yg jelas, banyak isu yg beredar dan aku
ragu kalau itu benar. Kalau benar. . . . , mungkin aku harus berguru
padanya!"
Alisku
makin terangkat tinggi.
"Let's
just say kalau gosip-gosip itu terlalu berlebihan untuk jadi nyata," tukas
Radit sedikit tersipu. "Banyak yg sudah mendengar kabar burung tentangnya.
Kalau aku jadi kamu, mungkin aku akan menjauh. Dan orang yg berpikiran sehat jg
pasti begitu, tapi. . . . siapa yg bisa menolaknya? Kau lihat sendiri seperti
apa dia."
"Kau
iri? Apa kau ingin sepertinya?" godaku.
"Huh!
Dengar, mungkin saja aku iri. Lihat saja, dia bisa menyuruh seorang wanita
telanjang hanya dg melihatnya. Bahkan pria juga. Tapi untuk bisa seperti dia. .
. .," Panji menggeleng, "Aku tak mau. Aku sudah cukup bingung musti
salut atau membencinya. Dia benar-benar iblis yg mengerikan sekaligus
mengagumkan," pungkas Radit.
"Jadi
kesimpulannya adalah. . .?"
"Dia
berbahaya dan menjauhlah darinya," rangkum Radit singkat dan bangkit.
" Kamu nggak pulang?" tanyanya lagi.
"Duluan
aja. Aku mau ambil tas ku diruang ganti," kataku dan ikut bangkit. Radit
mengucapkan salam pamit dan pergi.
Aku
melangkah ke ruang ganti dg pikiran yg sedikit melamun. Radit tidak salah.
Kalau isu-isu itu benar, aku memang harus menjauh dari Jeffry. Selama ini, aku
sudah berusaha menjauh dari Rafly, menjauh dari hal yg selama ini tak kuakui.
Dan Jeffry jelas berbahaya. Mungkin tak
akan sulit. Toh dia sudah menganggapku bodoh, pikirku kecut.
Radit
merupakan satu dari segelintir teman modelku yg masih bisa mempertahankan
prinsipnya didalam dunia ini. Dia memang ikut membaur. Hura-hura, clubbing,
atau hang out dg yg lain. Tapi mengenai pasangan, dia punya prinsip yg kuat.
Radit orang yg straight dan konvensional mengenai pendamping hidupnya. Pacarnya
adalah seorang mahasiswi di Cairo. Alumnus sebuah pondok pesantren dari daerah
asalnya. Dan Radit sangat menghormati dan memuja pacarnya itu. Mungkin karena
itu kami bisa akrab.
Jadi kesimpulannya, Jeffry berbahaya, pikirku
lagi tersenyum mengingat ekspresi Radit tadi yg tercabik antara kesal dan salut
pada Jeffry. Kubuka pintu ruang ganti, dan saat itu juga aku mematung kaku.
Didalam
kulihat Jeffry yg sedang membuka celana dalamnya. Dg santai dia menaruh celana
dalamnya itu diatas kursi dan menoleh padaku. "Belom pulang?"
tanyanya santai.
Aku tak
menjawab. Tapi dg ternganga aku menelusuri tubuh telanjangnya. Kalau tadi saat
berpakaian lengkap dia memacarkan aura seksi yg kuat, sekarang saat telanjang,
aku setuju dg pendapat Radit tadi. Dia benar-benar iblis yg mengerikan
sekaligus mengagumkan. Tubuhnya yg tinggi tegap dg lekuk-lekuk nyaris sempurna
sungguh menawan. Dihiasi dg bulu-bulu kehitaman yg seakan-akan tumbuh
ditempat-tempat yg seharusnya, dalam jumlah yg tepat. Kulitnya yg putih bersih
membuat bulu-bulu yg tersebar di beberapa bagian tubuhnya itu terlihat jelas.
Dan kejantanan yg masih lemas itu tampak berayun-ayun saat dia melangkah ke rak
yg menggantung baju-baju yg akan dipamerkan. Gila!! Turunan apa dia?! pikirku ngeri.
"Hei!!
Sudah puas?! Ada yg kau sukai?" tanya Jeffry dg santai dan mengembangkan
tangannya.
Aku segera
menutup mulutku yg dg konyolnya membuka sedari tadi dg wajah yg memanas. Sial!! Untuk apa aku memandanginya?! gerundengku.
Jeffry tampaknya tidak terpengaruh. Dg santai dia mengambil sebuah baju
berwarna putih dan memakainya. Gerakannya perlahan, seolah-olah sengaja agar
aku memperhatikannya. Dia beralih mengambil sebuah celana hitam berpotongan
lebar yg sekilas mirip sarung tapi dihiasi dg ukiran batik modern. Baju itu
tampak pas membungkus tubuhnya. Dan celana tadi seakan-akan memperkuat kesan
jantan pada tubuh bagian atasnya.
Dia memang
pantas menjadi model utama pada pagelaran ini pikirku. Tapi sikap tengilnya
bener-bener bikin jengkel. Dia sepertinya paham betul bagaimana reaksi
orang-orang kalau berada didekatnya, dan dia tampak sangat terbiasa dan
menikmatinya. Lihat aja tuh, senyum sinisnya mulai muncul. Dalam hati aku
mengutuk reaksiku tadi. Harusnya aku tak usah ikut-ikutan menyuntik egonya yg
sudah terlampau besar.
"Bisa
tolong ambilkan syal hitam itu?" pintanya menunjuk pd sebuah syal yg
berada tak jauh dariku.
Tak ingin
lagi menjadi mainannya, aku mengambil syal itu dan cepat-cepat menyerahkan
padanya. Lalu segera mencari tasku yg ternyata ada di atas sebuah kursi yg
berada disebelah tas Jeffry.
"Mau
pulang?" tanya Jeffry lagi.
"Yeah!
Aku cuma mau mengambil tas. Maaf!" kataku dan segera mengambil tasku dan
pergi. Waktu berjalan sampai mobil, pikiranku kembali terbayang pada sosok
kunyuk itu. Senyum mengejeknya membayang jelas hingga aku kesal. Dg marah
kulempar tasku dikursi belakang mobil dan kuhempaskan tubuhku dikursi. Sambil
menggerutu aku memukul kepalaku sendiri. Hingga kemudian sebuah ketukan dikaca
mobilku mengejutkanku.
"Eeeuuhh.
. . . kau baik-baik saja?"
Aku sontan
berpaling kearah sampingku dan mendapati Jeffry sedang melihatku dg senyum
simpul khasnya yg berkesan mengejek itu.Tanpa sadar aku menggeram pelan, lalu
membuka kacaku demi kesopanan. "Yah. Nggak papa kok!" sahutku cepat
dan segera menghidupkan mobil.
"Bisa
numpang nggak? Mobilku mogok," katanya.
Untuk
sesaat, reaksi pertamaku adalah ingin menolaknya. Insiden tadi sudah menjadi
alasan yg cukup bagiku. Dia kan bisa naik taksi. Tapi aku tak tahu apakah mudah
mendapatkan taksi didaerah kota tua ini, dan sekarang sudah malam jadi aku tak
tega juga. Ugh!! Kenapa harus ketemu lagi sih?
"Kamu mau ke daerah mana?" tanyaku akhirnya.
Jeffry
menyebut sebuah alamat yg kutahu merupakan salah satu perumahan elit di
Jakarta. Aku harus sedikit memutar untuk mengantarnya. Tapi. . . . tak apalah!
"Masuk!"
kataku pelan. Dg bersiul ia berjalan memutar untuk masuk ke mobilku. Senyumnya
yg terkesan mengejek itu kembali tersungging saat dia duduk disampingku. Aku
mencoba mengacuhkannya dan menjalankan mobil.
Untuk
beberapa saat lamanya kami melaju dalam diam. Hanya siulan Jeffry yg terdengar.
Aku sendiri tak tertarik untuk memulai percakapan karena bagiku, diam adalah
tamengku untuk tidak terpengaruh olehnya. Iblis yg menggoda, pikirku.
"Boleh
nyalain musik?" tanya Jeffry sesaat kemudian. Aku cuma mengangguk,
membiarkannya memilih cd. Dan suara Michael Buble yg melantunkan Home pun
mengalun. Sial! Ngapain dia pasang lagu yg justru mengingatkanku akan
kerinduanku pada kampung halaman dan Rafly ini?!!
"Aku
suka lagu ini," celetuk Jeffry. "Mengingatkanku akan hal yg tak
pernah kumiliki. Kampung halaman dan kekasih," katanya lagi.
Keningku
sedikit berkerut. "Tapi kudengar kau tak pernah kehabisan stok,"
sahutku sedikit ketus. Mulanya kukira dia akan marah. Sebaliknya, ternyata
Jeffry hanya tersenyum mengejek.
Sial!! Dia
benar-benar menjengkelkan!
"Aku
ingin tahu, kenapa kau tadi menyebutku bodoh!" serangku lagi. Mungkin aku
harus membuatnya meminta maaf padaku agar senyum mengejek diwajahnya itu
hilang. Memberinya sedikit pelajaran.
"Aku
nggak bilang kalau kamu bodoh!" sahutnya santai. "Kalau aku gak salah
ingat, aku bilang jawabanmu tadi itu adalah jawaban bodoh," sambungnya
lagi tanpa beban.
Well,
ternyata dia orang yg cerdik, pikirku. "Bukankah hanya orang bodoh yg bisa
mengeluarkan jawaban bodoh? Dg kata lain, kau bilang aku orang bodoh!"
serangku lagi.
Jeffry
menggeleng. "Tindakan atau pemikiran bodoh, tidak selalu dilakukan oleh
orang bodoh. Kadang kala orang jeniuspun bisa melakukan kesalahan kan?
Melakukan sesuatu yg bodoh. Hanya saja mereka bisa menyadari dan tidak
mengulanginya."
Satu-kosong,
pikirku kecut. " Baiklah, sekarang coba sadarkan aku agar aku tak
melakukan kebodohan yg sama. Kenapa kau mengatakan bahwa jika pd saat kita
mengalami kesulitan dan kita berpaling pd saudara kita, itu adalah bodoh!"
Eh, udah
berapa kali kata 'bodoh' terlontar ya? pikirku kecut.
"Jawab
pertanyaan ini. Siapa yg menentukan masa depan apa yg akan kau jalani?"
tanya Jeffry dengan mimik serius.
"Tentu
saja aku!"
"Siapa
yg menentukan nasibmu nanti? Atau siapa yg menentukan berhasil atau tidaknya
kau dalam menjalani kehidupanmu? Saudaramu? Paman? Bibi? Atau kakek
nenek?" tanya dia.
Aku tak
menjawab.
"It's
you!. Kau yg menentukan akan jadi apa dan mau seperti apa nantinya. Jadi kalau
kau menganggap saudaramu yg bisa membantumu, kau salah! Hanya kau yg bisa
membantumu sendiri."
"Tapi
kan gak ada salahnya kalo kita minta bantuan sodara kan?" tanyaku ngeyel.
"Itu
kalo sodaramu bener-bener bisa dan mau membantumu," sahutnya sinis.
"Sepanjang yg aku tahu, tak ada sesuatupun yg gratis. Bila kau meminta
bantuan mereka, suatu saat kau harus membayarnya. And you'll pay bigger than
before. Always!"
Ada nada
dingin yg sedikit membuat merinding dalam kata-katanya, sehingga untuk sesaat,
aku hanya mampu diam sejenak merenungkan jawabannya. "Jadi. . . . , kau
tak pernah meminta bantuan pada salah satu saudaramu?"
"Tidak
secara langsung. Tapi percayalah, aku sudah membayar lebih dari apa yg pernah
kudapat. Dan sekarang, aku tak pernah mau melakukannya lagi. Aku sudah lama
memutus ikatanku dg mereka," sahutnya.
Begitu
dingin dan sepi. Itu yg kutangkap dari percakapan kami dan sikapnya. Ada
kepahitan dalam hidupnya yg sekarang membuatnya begitu acuh dan nyaris sedikit
kejam. Tapi sosok tegar dan kuat serta keras yg dia tampilkan, kini justru
terlihat sebagai topeng bagiku. Topeng yg berlapis dan masih banyak lapisan
lagi yg ada baliknya.
Mobil
kuhentikan saat lampu merah menyala. Dan seperti kebanyakan daerah lampu merah
di Jakarta, saat mobil-mobil berhenti gerombolan peminta-minta dan pengamen
menyerbu. Mirisnya, banyak diantara mereka adalah anak-anak usia sekolah. Pada
waktu pertama kali ke Jakarta, aku sempat kaget dan tak henti-hentinya berpikir
akan malangnya nasib mereka. Tapi dg seiringnya waktu, aku mulai terbiasa dg
fenomena dikota besar ini.
Yg
mengejutkanku, Jeffry mengeluarkan sebuah topi dari dalam tasnya, dan
memakainya dalam-dalam sehingga sebagian besar wajahnya tersembunyi. Dia lalu
membuka kaca mobil dan menyerahkan uang 50rb pada sepasang pengamen kecil kurus
yg bernyanyi asal di sebelahnya. Kedua anak itu tampak sangat gembira,
sementara Jeffry hanya mengibaskan tangan dan cepat-cepat menutup kembali kaca
mobil.
Tak
kusadari, ada senyum lebar yg tersungging dibibirku, namun aku cepat-cepat
menyembunyikannya sebelum Jeffry tahu. Sepertinya ada banyak sisi lain dari
iblis satu ini, pikirku.
Butuh
waktu sekitar satu setengah jam bagi kami untuk akhirnya masuk dikawasan
perumahan tempat Jeffry tinggal. Sebuah kawasan elit yg konon dihuni oleh
orang-orang terkenal. Pintu masuknya dijaga oleh satpam bersenjata dan ada buku
tamu yg harus diisi. Sungguh jauh berbeda dg tempatku berasal, dimana semua
orang bisa bertandang kerumah orang lain tanpa protokol yg ribet.
"Itu!"
tunjuk Jeffry pada sebuah rumah tak jauh didepan. Sebuah rumah dg design modern
dg tanaman-tanaman palem dihalamannya. Rumah itu bertingkat dua dan cukup
besar, membuatku bertanya - tanya seperti apa dalamnya. "Bisa pinjam hp
mu? Punyaku low batt," pinta Jeffry saat kami berhenti didepan rumahnya.
Aku
menyerahkannya tanpa kata. Kuperhatikan saja saat dia memijit beberapa nomor
hingga akhirnya kudengar suara dering ponsel yg bertema sebuah lagu dari 50
cent. Dalam hati aku sontan mengumpat kesal setelah tahu apa yg dia lakukan.
Jeffry
mengeluarkan ponselnya lalu dg senyum khas nya dia kembalikan milikku.
"Thanks! Sekarang aku sudah punya nomormu. Nanti aku hubungi. Makasih
ya?" katanya santai dan keluar. "Yakin gak mau mampir dulu?" tawarnya
murah hati.
Aku
terlalu kesal untuk membalasnya dan lebih memilih untuk segera pergi dari situ,
atau aku akan meledak oleh tingkah usilnya!
XI
Seperti
umumnya semua pagelaran busana, back stage selalu saja jadi medan heboh. Suara
panggilan, teriakan dan orang-orang berseliweran bercampur jadi satu dalam
suasana yang kacau balau. Mungkin banyak yg tidak tahu. Orang awam bisa saja
mengira kalau di backstage, semua model cuma duduk manis dan menunggu giliran
tampil. Padahal ada satu kata yg bisa menggambarkan suasana disana saat ini.
Chaos!
Radit
panik karena make upnya belum selesai. Ria heboh karena keliman bajunya ada yg
terurai. Andre berteriak minta bantuan karena rambutnya belum ditata. Aku
sendiri dari tadi sibuk mencari selendang yg sebenernya harus aku pakai di
leherku, tapi kini raib entah kemana. Padahal seingatku, aku sudah
meletakkannya di dekat baju gantiku.
"Dimaz,
cepat bersiap! 3 menit lagi kamu jalan!" kata stage director.
Kepanikanku
semakin menjadi. Kalau aku tak menemukanya bisa gawat! Aku sudah berusaha
mencarinya, dan hasilnya nihil! Karena tak ada jalan lain, aku memutuskan untuk
menemui Tante AA(samaran) sang designer
yg berdiri tak jauh dari pintu keluar ke runway. Dan kusiapkan mentalku untuk
menerima semprotan beliau.
"Tante,
maaf saya. . . ,"
"Kamu
sebentar lagi kan Dimaz?!" tanya beliau cepat dan menelitiku, "Ok
bagus. Tinggal. . . . ," beliau celingukan sebentar, "Jeffry!!"
panggil beliau ke belakangku.
Aku sudah
hendak kembali membuka mulutku untuk menjelaskan kondisiku saat kurasakan
sebuah tangan menyelempangkan selendang yg dari tadi kucari ke leherku.
"Sorry.
Tadi aku meminjamnya sebentar karena aku tertarik dg design nya," kata
Jeffry yg sudah ada disampingku. Senyum khasnya itu kembali tersungging.
"Tante udah kasih ijin kok tadi," imbuhnya cepat saat dia mulai
melihat ekspresi marah di wajahku.
"Dimaz,
bersiap!" kata Tante AA mengingatkanku.
"Smile!"
ujar Jeffry dg senyum usil. Aku yg sebenarnya sudah tak tahan untuk mengumpat
terpaksa menelan kemarahanku. Kutarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri
dan bersiap-siap keluar. Nggak mungkin kalau aku harus jalan di runway dg bibir
cemberut.
Diluar
semua itu, pagelaran berjalan dg sukses. Dan hingga pagelaran selesai,
kemarahanku pd Jeffry tetap menyala, meski aku harus susah payah menahannya.
Sumpah mampus! Kunyuk satu itu bener-bener ngeselin. Gak sekalipun dia
memperlihatkan kalau dia telah menyesal telah membuatku sport jantung. Enak aja
dia hahahihi, berpose jd bintang utama dlm pagelaran.
Hasilnya,
aku sedikit uring-uringan juga selama show berlangsung. Dg kesal aku
membereskan barangku ke dalam tas. Make up ku sudah kubersihkan dari tadi,
mendahului teman-teman yg lain. Malam ini, mereka berencana untuk clubbing ke
sebuah club, tapi aku jelas dg sopan menolak untuk ikut. Jadi sebelum mereka
berangkat, aku harus terlebih dulu pulang.
"Bisa
bareng?" tanya seseorang yg sudah ada di belakangku, mengikutiku ke tempat
parkir. Tanpa melihatnya, aku tahu dia Jeffry. Lihat tuh! Masih ada nyali juga
dia ngomong santai ke aku. Gak nyadar apa kalo sepanjang pagelaran tadi aku
jutekin?
"Anak-anak
mau clubbing ke club. Kenapa kamu gak join mereka?" tanyaku tanpa berbalik
atau menghentikan langkah.
"Lagi
males."
"Cari
taksi aja," saranku ketus.
"Aku
nggak bawa cash. Anterin aku bentar," pintanya lagi.
Aku yg
sudah sampai didekat mobilku berhenti. Kutarik nafas panjang untuk menenangkan
diri. Lalu perlahan aku berbalik, menatapnya tajam dg tangan dikedua
pinggangku. "Sebelumnya, ada sesuatu yg harus kau katakan padaku?"
tanyaku yg hebatnya dg suara tenang.
"Apa?"
tanya Jeffry dg nada bingung. Mukanya polos aja kaya gak punya dosa.
Aku
menggeram pelan. "Kau mengambil tanpa ijin selendang yg akan
kupakai!" kataku gusar sementara rahang terkatup geram.
"Aku
udah izin sama Tante."
"Tapi
aku yg harusnya pake selendang itu. Dan aku mencari-carinya setengah mati
karenamu. Aku udah bersiap-siap kena semprot karena kupikir benda itu tak
sengaja kuhilangkan. Lalu KAU!!!" tunjukku ke mukanya jengkel, " enak
aja muncul sambil cengar cengir ngomong kalo benda sialan itu kau pinjam! KAMU
NGGAK TAHU GIMANA BINGUNGNYA AKU TADI??!!!!"
Jeffry
menghembuskan nafas. "Baiklah. Pertama, aku tak tahu kalo kamu yg akan
pake selendang itu. Kedua, aku udah ijin ke pemiliknya tante AA. Jadi
seharusnya, kamu nggak perlu semarah ini!"
Rasa-rasanya,
aku bisa melihat kepulan asap muncrat keluar dari kedua lubang hidungku.
"Narsis edan!!" gerundengku tertahan lalu segera masuk kemobil. Tapi
Jeffry, kembali dg santai mengetok jendela mobilku.
"Bisa
ya?" pintanya lagi.
AAAAAARRRGGGHHHH!!!!
Aku tak
memperdulikannya. Ku mundurkan mobil untuk mengeluarkannya dari tempat parkir.
Aku males kalo musti ngeliat kunyuk satu itu, jadi aku konsen saja pd spion,
sampai kudengar suara gedubrakan dan teriakan Jeffry. Ya Tuhan, aku menabraknya!!! Dg cepat aku keluar dari mobil dan memburu
Jeffry yg terbaring di sebelah moncong mobilku.
"JEFF!!!
Maaf!! Kamu nggak papa?" pekikku khawatir dan berjongkok untuk
memeriksanya.
Jeffry
meringis dan memegangi kaki sebelah kanannya. "Kalo nggak mau ditebengin,
gak usah pake nabrak dong!" gerundengnya kesal.
"Maaf!
Aku gak bermaksud begitu. Kita ke Rumah Sakit," kataku dan membantunya
berdiri. Ku lingkarkan lengan kirinya dibahuku.
"Nggak
usah! Anter aku pulang aja. Paling cuma lebam aja," katanya sembari
mengernyit menahan nyeri. Perlahan dia menggulung bagian bawah celananya
keatas. Tak jauh dari dengkulnya, kulihat sebuah luka gores yg lumayan besar.
Sebagian kulitnya terkelupas, dan mulai mengeluarkan darah!
"Kita
ke Rumah sakit aja!" kataku dan memapahnya kemobil.
"Nggak
usah!" kata Jeffry yg kembali melangkah dg sedikit terpincang.
"Dikasih obat merah juga sembuh. Cuman lecet gini kok!"
"Kamu
kan bisa menghindar tadi," gerutuku pelan karena kekeras kepalaannya.
Jeffry
berhenti melangkah. Dg kesal dia melepas tangannya dan mendorongku untuk
menjauh. "Kamu pulang aja deh! Gak usah bantu! Keliatan banget gak
ikhlasnya!" tukasnya sengit dan melangkah terpincang meninggalkanku.
"Jeff!!"
aku segera menahan lengannya. "Kuantar pulang!" kataku dg nada pelan.
"Nggak
perlu!" sahutnya dan mencoba mengibaskan tanganku. Tapi aku tetap
menahannya.
"Maaf
ok?!" pintaku sungguh-sungguh. Aku menyesal karena aku memang tak ada niat
untuk melukainya.
"Percuma
kalo kamu minta maaf tapi masih juga ngedumel gak jelas. Maafmu nggak
tulus!!"
"Aku
benar-benar minta maaf!" pintaku serius. Jeffry hanya menatapku. Dia
tampak ragu. Namun beberapa saat kemudian pandangan tajamnya mulai melunak.
"Biar kuantar pulang ok?!" kataku lagi.
Akhirnya
dia cuma mengangkat bahu dan mau untuk kupapah ke mobil. Untungnya, karena
malam telah sedikit agak larut, kami jadi terbebas dari macet sehingga bisa
sampai kerumah Jeffry agak cepat.
Aku
kembali membantunya untuk keluar dari mobil dan masuk kerumahnya. Saat aku
masuk kedalam, mau tak mau aku dibuat kagum dg interior rumahnya yg terkesan
simpel, modern namun toh tetap elegan dan cowok banget. Warnanya didominasi
oleh warna putih, hitam dan coklat. Pada ruang tamunya diisi dg kursi sova
putih, dipadu meja dg warna hitam dan beberapa pernak-pernik coklat. Aku
mendudukannya disana.
"Bisa
tolong kau ambilkan kotak obat di dapur. Sebelah sana!" tunjuk Jeffry ke
arah belakang. "Kotaknya ada disebelah lemari es," katanya lagi saat
aku cuma diam dan meninggalkannya untuk mengambil kotak obat.
Dapur
Jeffry khas dapur seorang single. Peralatannya simpel dan compact, meski
kulihat cukup lengkap. Kebanyakan peralatannya didominasi warna silver. Tapi
aku tak punya waktu untuk mengagumi interior dapurnya. Aku harus cepat kembali
pada Jeffry dan pulang. Aku segera meraih kota P3K yg ada didekat kulkas
besarnya.
"Jeff,
ini. . . ."
Aku tak
dapat meneruskan kalimatku karena kulihat Jeffry yg telah duduk disova hanya
memakai celana dalam saja. Dia sudah membuka celana dan t-shirtnya. Untuk apa dia buka baju segala? gerundengku
dlm hati.
"Kok
malah bengong?!" sergah Jeffry sedikit mengagetkanku. "Sini bantu
obatin!" katanya lagi sembari menunjuk lukanya.
"Kamu
gak harus buka baju segala kan?" gerutuku pelan dan berusaha mengacuhkan
kepolosannya. Kupusatkan perhatianku pada luka dikakinya.
"Kenapa?
Orang aku dirumah sendiri. Lagian mau istirahat ini. Aku mana bisa tidur pake
baju."
"Memang
kenapa kalo pake baju?" tanyaku sedikit heran. "Aku aja pake piyama
lengkap."
"Gerah!
Aku justru telanjang bulat," jawabnya enteng.
Setengah
mati aku berusaha menampakkan wajah datar meski otakku mulai memvisualisasikan
gambar Jeffry yg berbaring diranjangnya tanpa sehelai benangpun. Membayangkan
bagaimana kain selimut itu membelai tubuhnya. Bagaimana dia menggeliat
menggerakkan otot-otot bisepnya, dan menampakkan lekuk-lekuk diperut
rampingnya.
Aku
menutup mata dan menyebut nama Tuhan beberapa kali. Ngawur!!! Sadarkan dirimu!!
Kau tidak seharusnya memikirkan hal itu!!
"Kenapa?"
tanya Jeffry dg nada heran.
"Pusing!"
jawabku pelan dan dg cepat kembali membersihkan lukanya dg cairan steril. Lalu
kuolesi obat luka tanpa sedikitpun melihatnya. Selesai akupun bangkit dan
meletakkan kembali kotak obat itu ditempat aku menemukannya td. "Aku
pulang!" pamitku dan langsung menuju pintu.
"Terimakasih
udah mau nganter!" seru Jeffry, tapi aku hanya melambaikan tangan untuk
menjawabnya. Radit Benar! Aku harus
menjauh dari iblis itu.
XII
Pekerjaanku
adalah pelarianku. Aku melakukannya untuk lari dari Rafly. Tubuhku yg lelah,
biasanya tak memberiku kesempatan untuk memikirkan hal lain selain istirahat.
Sedikit menyiksa. Tapi aku menyukainya. Karena dalam pekerjaan adalah
satu-satunya tempat dimana aku memperoleh sedikit ketenangan. Meski aku harus
menjauh dari beberapa hal yg tak kusukai dalam dunia kerjaku ini. Dan menjauh
dari tipe orang seperti Jeffry adalah salah satunya.
Untungnya,
lingkungan kami sering berbeda. Plus aku tahu, kalau dia mempunyai jadwal yg
jauh lebih padat dibandingkan aku. Dia bintang yang sedang meroket didunia
entertainment. Jadi aku sedikit bisa merasa lega, meski tidak sepenuhnya. Aku
tak menyangkal kalau sikap nakal Jeffry yg seolah-olah mengiming-imingi itu
sedikit mempengaruhiku. Selain tingkah tengilnya yg selalu membuatku geram, dia
memang salah satu manusia berfisik indah. Dia bisa membuatku merasakan sesuatu
yg sudah lama kulupakan. Kukira aku tak akan lagi bisa tertarik pada sesama
jenis seperti aku menyukai Rafly.
Aaahh. . .
.
Rafly! Apa
yg sekarang dia lakukan? Apa yg sedang dia pikirkan? Apakah dia membenciku atau
malah . . . . , merindukanku?!
Goncangan
mobil yg melewati sebuah undakan membuatku terhenyak kaget dan kembali pada
kenyataan! Aku menghela nafas dan memandang ke pemandangan yg aku lewati.
Selama 2 hari ini, aku mendapat jadwal pemotretan dari sebuah majalah pria yg
cukup beken di Indonesia. Dan pemotretan kali ini dilakukan di Bali. Saat ini
aku meluncur menuju daerah Ulu Watu.
Pemandangan
yg kami lewati cukup membuatku kagum. Berbeda dg kota Denpasar yg lumayan padat
dan macet, daerah ini udaranya masih lumayan segar. Rumah-rumah yg tersebar tak begitu padat.
Masih banyak rimbunan tanaman hijau yg menyegarkan mata. Dan kulihat ada
beberapa bangunan villa yg berarsitektur etnis Bali, meski tak sedikit yg bernuansa
modern.
Mobil
berbelok menuju kawasan resort Namoss. Menurut apa yg kudengar tadi, fotoshoot
kali ini memang dilakukan didaerah Namoss ini karena disini pantainya tidak
begitu ramai dan lokasinya cukup eksotis. Dan tak lama kami pun berhenti di
pelataran parkir resort Namoss. Kulihat ada beberapa mobil yg jg terparkir,
meski tak begitu banyak.
"Kita
udah siapin kamar buat kamu Maz. Biar nanti Mas Arya yg tunjukin kamarmu,"
kata Mbak Ully, fashion director yg menemaniku. Dia menunjuk pada Mas Arya,
sang photographer yg telah muncul dari gerbang resort menyambut kami.
"Dimaz!!
Capek?" tanya Mas Arya yg sudah cukup akrab dgku. Kami pernah bekerja sama
beberapa kali, dan aku sangat suka dg sikapnya yg terbuka dan mampu memahami
batasan-batasan yg kuminta dalam pemotretan. Seperti aku yg tak pernah mau
difoto telanjang. Dia menghargai batasanku dan masih bisa mengambil fotoku yg
berkesan seksi tanpa harus melepas baju. Benar-benar hebat! Salah satau
photographer faoritku dalam dunia model ini.
"Lumayan
Mas. Dari bandara tadi langsung kesini," sahutku nyengir.
Mas Arya
tertawa, "Kalau begitu, ayo kutunjukkan kamarmu agar kau bisa langsung
beristirahat," katanya dg senyum yg terus terkembang.
Harus
kuakui, tempat ini menakjubkan. Resort ini berdiri diketinggian tebing sehingga
kita bisa melihat hamparan laut yg ada dibawah. Perpaduan pemandangan yg unik,
seakan-akan kita berada diketinggian gunung, namun begitu dekat dg pantai. Aku
melihat turis-turis asing yg asyik bercengkrama serta beberapa turis lokal yg
mencoba terlihat seperti turis luar.
Ada satu
cewek yg berpakaian sok seksi dan membuatku mengangkat sebelah alis. Tubuhnya
yg ramping dibalut gaun hitam berpotongan minim dg punggung terbuka. Yg
membuatku super heran adalah saat aku melihat sepatu high heels stileto yg ia
pake. Sepatu dg hak tinggi yg lancip dan ramping itu malah menjadi aneh untuk
dipakai pada daerah wisata pantai seperti ini. Apa lagi semua orang tampak
begitu casual, sementara dia. . . justru
kelihatan seperti maju kemedan perang gitu.
Aku
menggelengkan kepala melihatnya. Korban mode apa korban sok bule tuh, pikirku.
"Aneh?"
tanya Mas Arya yg tahu kemana perhatianku terarah.
Aku cuma
tertawa kecil dan mengikutinya berbelok kekanan. Tapi tawaku langsung lenyap
begitu aku melihat sosok Jeffry yg sedang duduk dipinggir kolam renang bersama
seorang cewek bule. Tampak seakan-akan mereka telah lama mengenal. Dg cepat aku
menoleh pd Mas Arya, kaget.
"Kenapa?"
tanya Mas Arya heran melihat reaksiku.
"Jangan
katakan kalau Jeffry juga akan ikut dlm pemotretan ini," desisku pelan dg
nada berharap. Tentu saja aku menyadari bahwa harapannya tipis.
"Dia
memang partnermu," jawab Mas Arya masih dg keheranannya membuatku
mengerang pelan. "Sebenernya dia sudah menolak karena jadwal yg
berbenturan, tapi untungnya disaat-saat terakhir, pihak management nya memberi
kabar kalo Jeffry luang. Tema kita kali ini Hot n Cold. Liar dan Jinak. Hitam
putih. Kalian berdua benar-benar mewakili deskripsi itu."
"Sudah
datang?" sapa Jeffry yg tahu-tahu sudah ada didekat kami bahkan sebelum
aku bereaksi pada kalimat Mas Arya tadi. Sebelah lengannya melingkar dipinggang
cewek bule itu, mesra.
"Sepertinya
sudah akrab nih Jeff?" goda Mas Arya.
"Lumayan
buat nemenin disini Ar. Whitney, I want you to meet my friend Dimaz. Dimaz, ini
Whitney dari Hawaii!" kata Jeffry.
Demi kesopanan,
aku mengulurkan tangan pada cewek bule berambut kecoklatan itu. Dia cukup
cantik dg tubuh ramping sekitar 160 cm,bermata biru dan tampak ramah.
"Are
you a model too?" tanyanya tertarik dg mata yg mengamatiku penuh minat.
"Well,
actually, I'm just Jeffry's assistant. It's nice meeting you Whitney, but I
have a job to do," kataku cepat dan berpaling pada Mas Arya tanpa
memperdulikan ekspresi kaget diwajah Jeffry ataupun keheranan Whitney.
"Mas, kamarku?"
Mas Arya
segera tanggap dan kembali melangkah untuk menunjukkan letak kamarku. Aku
benar-benar ingin beristirahat karena tiba-tiba saja, kepalaku berdenyut sakit.
Ya Tuhan. . . .!! Perasaanku jadi gak enak nih!! Semoga
saja tak ada insiden ditempat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar