Translate

Rabu, 26 Juni 2013

MEMOIRS II (Dimaz' classic story) part 28-end


XXVIII

Aku sadar kalau aku harus menerima konsekuensi dari pilihanku. Tapi tetap saja aku merasa sakit meski aku sudah tahu apa yang akan kuhadapi. Terkadang aku tak habis pikir. Kata CINTA telah dibahas berulang-ulang dalam berbagai generasi dan zaman. Kata yang sepertinya kecil dan terkadang terasa remeh itu tanpa kita sadari telah bermakna besar dan dalam rentangan zaman telah menaklukkan banyak sekali orang-orang hebat dalam  sejarah.
Kitab suci telah mencatat bagaimana Adam terbuang dari surga untuk memenuhi permintaan istri tercintanya, Hawa. Julius Ceasar, penakluk sepertiga permukaan dunia yang tampak, telah jatuh terseok-seok karena cintanya dibawah kaki Cleopatra. Bahkan mantan pemimpin negara kita yang mahsyur, almarhum Soekarno, terkenal juga akan kelemahannya dalam cinta. Dia bisa mempesona anggota dewan PBB dunia, namun toh takluk karena cintanya pada wanita.
Atau B.J Habiebie. Salah satu cendekiawan asal negara kita yang mahsyur akan kekuatan otaknya, bisa dibuat mewek saat wanita yang dicintainya meninggal. Sepertinya, otak jenius yang beliau miliki juga tak terlepas dari virus cinta.
Aku bukan orang besar. Tapi aku juga mengalami penderitaan karena cinta seperti mereka. Nasehat-nasehat usang yang kudengar tentang bagaimana kita bisa survive meski cinta kita hilang, terdengar seperti sampah bagiku. Aku nyaris tak bisa menemukan alasan bagaimana aku harus mempertahankan kewarasanku. Tapi begitu melihat Abi dan Ummi, aku tahu aku harus kuat. Aku harus melakukan semua ini demi mereka. Rasa sakit yang kurasakan karena Jeffry sungguh kecil dibandingkan dengan kebahagiaan mereka. Aku sakit, hampir gila rasanya. Tapi aku tetap tersenyum.
Bahkan dalam pesta pertunanganku yang meriah ini, aku tampil dengan seyumku. Meski sekujur tubuhku hampir-hampir kebas.
Aku nyaris tak bisa merasakan minuman atau makanan yang tadi kusantap. Aku merasa begitu hampa. Seperti berada dalam sebuah film bisunya Charlie Chaplin, dimana semua hal disekelilingku sedang heboh melakukan sesuatu sementara aku tak mendengar sedikitpun suara yang mereka keluarkan. Seakan-akan telingaku tertutup oleh sebuah headset besar.
Pesta pertunangan ini berjalan lancar. Beberapa anggota keluarga ku dan pihak Oom Ghani hadir. Juga beberapa teman bisnis mereka. Setengah mati aku berusaha terlihat sebagai laki-laki yang bahagia. Menikmati godaan dan sindiran beberapa saudara. Mereka bilang aku beruntung memperoleh  Sarah yang menawan dan dari keluarga terpandang. Sepertinya gadis itu cukup terkenal didaerah ini. Aku hanya tertawa kecil dan menerima kecemburuan mereka dengan senyum.
Banyak orang yang mengucapkan selamat dan memberi hadiah pada kami malam itu. Entah berapa orang yang telah kusalami dan kuberi ucapan terimakasih. Aku sudah lupa. Aku benar-benar lelah. Yang aku inginkan hanya sendiri dikamarku dan menelepon Jeffry.
Bahkan tanpa ada kata berpisah, kami berdua telah paham bahwa apa yang kami miliki telah berakhir. Jeffry tak mengatakan apapun waktu itu selain, "Lakukan apa yang menurutmu yang terbaik!"
Kami berdua sudah tahu keputusan apa yang kuambil.
Aku masih ingat percakapan terakhir kami saat aku akan bertolak ke kampung halamanku. Waktu itu, aku telah menyelesaikan semua kontrak dan transfer kuliahku. Bahkan barang-barangkupun telah terbungkus rapi dan siap dikirim.
"Besok pagi aku berangkat," kataku pada Jeffry yang duduk diruang tengah menonton tv.
"Hmm. . . ? Well, sorry aku gak bisa nganter," sahutnya acuh tanpa berpaling dari layar.
Aku duduk disebelahnya. Ikut-ikutan memandang layar tv tanpa tahu apa yang sedang tayang. "Apa ada yang ingin kau katakan?" tanyaku pelan.
"Let me think," gumam Jeffry dengan jari telunjuk mengusap bibirnya. Ekspresi wajahnya seolah-olah dia sedang berfikir keras. "Semoga bahagia. Selamat menempuh hidup baru. Semoga sukses daaaaann. . . . I don't know. Menurutmu apa lagi yang harus ku ucapkan?" tanya Jeffry balik.
"Kau bisa memakiku," saranku.
Jeffry mendengus keras. "Itu cuma akan membuang-buang energiku. Thank you, but no! Thanks," selorohnya.
Tak ada suara. Hening diantara kami. Hanya televisi yang mengeluarkan bunyi-bunyian yang tak kumengerti. Saat ini, aku lebih berharap kalau Jeffry akan meledak. Mengeluarkan semua yang ingin dia lontarkan padaku sejak beberapa hari kemarin. Sikapnya yang datar dan biasa-biasa saja justru lebih menyiksaku.
"Sepertinya tak ada lagi yang bisa kukatakan padamu. Kau sudah mengambil keputusan," kata Jeffry akhirnya.
"Kalau begitu. . . ,boleh aku mengajukan satu permintaan?" tanyaku.
"Apa lagi yang kau inginkan dariku?" tanya Jeffry, masih dengan mata yang menatap layar tv.
"Jangan hapus aku dari kehidupanmu," pintaku lirih. "Tolong beri aku sedikit tempat dihidupmu. Aku tahu ini egois. Tapi aku masih ingin bisa bicara, bertemu dan tahu keadaanmu."
"I'm not gonna . . ."
"Aku tidak minta sex darimu!" potongku cepat. "Aku tahu aku tak berhak. I just wanna be a part of your life. We can be friends. Aku akan selalu ada kapanpun kau butuh. Aku janji! Kapanpun kau panggil, aku akan datang. Boleh?" tanyaku dan melihatnya.
Jeffry berpaling dan menatapku. "Untuk apa? Bukankah lebih baik kalau kita tak usah bertemu agar kau bisa hidup seperti yang orang tuamu inginkan? Akan lebih mudah bagimu."
"Jeff, aku bersumpah! Andai saja aku bisa, aku akan berikan apapun yang aku bisa untuk tetap berada disini. Apapun itu! Tapi aku tak bisa. Mereka membutuhkanku. Dan aku membutuhkanmu!"
"Untuk apa?!"
"Untuk tetap hidup! Untuk tetap waras!" jawabku keras. Aku tak tahan lagi. Aku biarkan air yang menggenang dimataku turun. Sudah tak ada gunanya lagi berpura-pura didepan Jeffry. Didepannya aku bisa menjadi diriku sendiri.
"Kau gila kalau berpikir aku akan diam saja disini menunggumu!" gumamnya dingin.
Aku menggeleng kuat-kuat mendengarnya. "Aku tak berhak meminta itu. Kau punya hak penuh dengan hidupmu. Kau bisa melakukan apapun maumu. Cari dan dapatkan orang yang lebih baik dariku. Yang kupinta, beri sedikit tempat dihidupmu untukku. Ijinkan sesekali aku menemuimu. Aku tak akan menghalangi apapun yang ingin kau lakukan. Aku tahu aku sudah kehilanganmu saat aku memutuskan untuk menuruti permintaan Abi dan Ummi. Tapi demi Tuhan, aku benar-benar membutuhkan- mu Jeff!"
Jeffy menarik nafas panjang dan mengangkat wajah, menatap langit-langit seolah-olah ada sesuatu yang menarik disana.
"Please. . . ," pintaku lagi lirih, hampir tak terdengar.
Tak ada jawaban dari Jeffry, tapi satu tangannya kemudian menarik dan memelukku. Dan untuk kesekian kalinya, aku menangis keras dalam dekapannya.  

Malam ini dia tak datang ke pesta dengan alasan syuting. Sebenarnya kalau boleh jujur, aku ingin dia ada disini untuk menemaniku. Permintaan yang egois. Aku tahu. Tak adil bagi Jeffry untuk melihatku bertunangan dengan orang lain. Jadi, kini aku harus menghadapinya sendiri. Berakting sebagai seorang pria yang bahagia dan menebarkan senyum ke segala arah.
Sungguh melelahkan!
Karena itu aku memilih untuk bersembunyi di pojokan saja. Siapa tahu mereka melupakanku. Ide konyol, tapi tak ada salahnya berusaha. Mumpung Sarah juga sedang sibuk dengan teman-temannya, pikirku dan melangkah
"Ah!!!" aku mendesah pelan,kesal saat tak sengaja tanganku yang memegang segelas minuman tersenggol seseorang yang lewat. Sedikit cairannya mengenai jasku yang untungnya berwarna hitam. Aku mengeluarkan sapu tanganku dan mencoba membersihkannya.
"Assalamualaikum Dimaz! Selamat ya atas pertunangannya," tegur seseorang dari sebelahku.
Bahkan saat aku belum mengangkat wajahku aku tahu siapa dia. Ya Tuhan, suara itu!! batinku mencelos. Bisa kurasakan desiran ngeri yang mengusap dadaku dengan tiba-tiba. Perlahan aku mengangkat pandanganku. Dia disana, berdiri dengan senyum ramahnya yang hanya beberapa kali kulihat seumur hidupku.
"Rafly. . . ," gumamku dengan wajah memucat.
"Hei! Awas ada lalat masuk. Mulutmu terlalu lebar kebuka tuh," godanya. Aku refleks menutup mulutku yang terbuka kaget karenanya. Tanpa sadar aku menelan ludah. Sosok Rafly berubah dengan dramatis. Tubuhnya jauh lebih tinggi. Bahunya lebih lebar daripada yang kuingat. Terlihat lebih gagah. Tapi senyumnya yang paling mengesankan. Selama aku kebersamaan kami yang singkat, hanya beberapa kali senyum selebar itu ia sunggingkan. Ekspresi ramah yang ada diwajahnya itu cuma pernah ia tampilkan hanya didepan Mas Arif dan aku saja.
Tapi lihat kini. . .
Aku sudah merasa tak nyaman dari awal acara malam ini. Fisik dan mentalku benar-benar diambang batas kemampuannya. Sedari tadi aku mencoba bertahan, tapi kehadiran Rafly merupakan sebuah pukulan yang telak padaku. Kelebatan dari semua hal yang pernah kami alami melintas dengan cepat. Berputar disekelilingku. Menjadikan ruangan ini benar-benar seperti bergerak cepat. Aku limbung.
"Dimaz!!!" seru Rafly kaget dan segera memburuku.
Aku mengangkat tangan,mencegah agar dia tidak mendekat. Untungnya aku telah berada dipojok ruangan sehingga aku bisa bersandar pada tembok. Karena kalau tidak, aku pasti sudah roboh.
"Perlu kupanggilkan orang? Kau pucat sekali!" tanya Rafly khawatir tanpa berani mendekat.
Aku ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa. Aku hanya mampu melihatnya. Menelusurinya dengan mataku. Bertahun-tahun aku membayangkan pertemuanku dengannya. Sudah ku buat banyak skenario dalam berbagai adegan dimana kami bertatap muka. Kebanyakan dalam scene itu dia marah. Dia akan menuntutku. Dia akan mengamuk, dengan ekspresi yang lebih mengerikan diwajah dinginnya. Bukannya menyapaku dengan santai dengan wajah kalem berhias senyumnya seperti sekarang.
"Dimaz! Kamu dicari Oom Ghani lho!" kata Ummi yang berjalan kearah kami. "Rupanya mojok disini. Beliau mau memperkenalkan saudaranya yang tinggal di Singapura dan. . . " Kalimat Ummi terhenti saat melihat Rafly yang berdiri tak jauh dariku.
"Tante. . . ," sapa Rafly hormat pada beliau.
"Rafly! Sudah bertemu kalian rupanya. Dari tadi ya?" tanya Ummi ramah.
Jelas saja aku kaget mereka bisa ngobrol akrab begini. Seingatku aku tak pernah mengenalkan mereka.
"Ummi nggak sengaja ketemu dia waktu belanja beberapa hari yang lalu. Ummi ingat dia yang titip bungkusan ke kamu waktu itu kan? Rafly bilang kalian sudah tak pernah berhubungan lagi sejak kamu pindah. Karena itu, Ummi kasih surprise kamu dengan mengundangnya ke pesta ini," jelas Ummi begitu tahu aku menatapnya heran. "Bagaimana menurutmu calon menantuku Raf?"
"Sangat cantik Tante! Cocok sekali dengan Dimaz!" sahut Rafly dengan tertawa kecil. Ummi jelas senang mendengarnya.
"Tuh Dimaz. Dengerin tuh. Kalau begitu, Tante pinjam Dimaz dulu ya? Ada saudara dari pihak besan yang belum melihatnya," pamit Ummi dan meraih tanganku, membawaku pergi mejauh dari Rafly. Meski aku ingin berteriak pada beliau agar meninggalkanku disana, aku hanya menurut mengikutinya. "Ayo Nak. Eh, kamu sakit?" tanya Ummi khawatir melihatku. Tatapannya meneliti wajahku yang mungkin sudah sepucat mayat.
"Enggak Mi. Cuma sedikit cape," dustaku pelan. Aku menoleh kebelakang dimana Rafly berdiri. Dia hanya kembali tersenyum dan mengangkat gelas minumannya padaku, dan kembali mengucapkan selamat dalam bahasa bibirnya.
Ya Tuhan!!! 

XXIX

Keesokan paginya, pada jam sepuluh pagi, aku sudah berada didepan rumah Rafly. Hampir semalaman aku tak bisa memejamkan mata. Yang terbayang dimataku adalah Rafly yang berdiri didepanku dengan tersenyum ramah. Sama seperti Jeffry, aku merasa mungkin akan lebih baik kalau Rafly meledak. Tapi semalam dia terlihat begitu santai dan tenang. Aku justru tambah merasa kacau karenanya. Aku nyaris tak bisa memahami apa omongan Oom Ghani semalam itu. Pikiranku benar-benar tak karuan. Aku ingin berbicara banyak pada Rafly. Ingin tahu apa saja yang telah terjadi dalam hidupnya. Ingin meminta maaf padanya. Sayangnya, hampir sepanjang sisa malam itu aku tak lagi melihatnya. Hingga aku tak tahan. Dan sebelum aku bisa menyadarinya, aku sudah berada disini sekarang.
Rumah Rafly tampak jauh lebih baik dari terakhir kali aku melihatnya. Tampak lebih bersih, asri dan lebih pantas disebut rumah. Berbeda dengan dulu yang selalu terlihat lengang dan tak berpenghuni. Sebagian rumahnya sudah ditembok. Aku mendekat untuk mengetuk pintu Rafly perlahan.
Rafly yang membuka pintu jelas kaget melihat kedatanganku. Tapi dia segera menguasai diri dan dengan tertawa santai mempersilahkanku masuk.
"Pagi bener Maz. Duduk dulu ya?" kata Rafly dan berlalu kedalam.
Aku hanya mengangguk padanya. Saat duduk didalam sini, aku juga merasakan atmosfir yang tak lagi sama seperti dulu. Lebih hangat dan nyaman. Terasa ada sentuhan-sentuhan berbeda dalam tiap sudutnya. Ruangan itu sudah banyak dihias. Taplak meja, bunga, hiasan didinding dan juga foto.
Mataku langsung tertancap pada foto berbingkai ukuran 10R itu. Foto Rafly dengan seorang gadis manis berambut panjang. Keduanya berpelukan dan tampak mesra. Ada sedikit ketidaknyamanan yang kurasa. Aku tak pernah melihat Rafly begitu intim dengan orang lain. Apalagi sampai berpelukan begitu.
"Itu Rasti," kata Rafly yang muncul dengan segelas teh hangat dan sekaleng kue kering.
"Pacar?" tanyaku.
Rafly tersenyum. "Tunangan," jawabnya singkat dan duduk.
Aku tak bisa berbicara, hanya menatapnya kaget. Lagi-lagi Rafly hanya tersenyum dengan reaksiku dan mempersilahkanku untuk duduk didepannya. Aku menurutinya dengan gerakan gamang. Apa yang kau harapkan Dimaz? Dia akan diam saja meratapi kesengsaraannya dan terus menunggumu? batinku getir.
"Sudah lama kalian. . . , bertunangan?"
"Sekita lima bulan. Akhir tahun ini kami menikah," jawab Rafly, lagi-lagi membuatku terlengak kaget.
"M-menikah?"
Rafly mengangguk. "Yup! Menikah. Aku sudah bosan hidup sendiri Maz. Rasti sudah memberiku banyak hal. Dia juga sudah banyak merubahku. Kau lihat kan? Rumahku pun jadi lain sekarang. Semua ini dia yang melakukannya. Setiap hari dia datang dan. . . "
"Assalamu'alakum wrwb!"
Wajah Rafly langsung sumringah mendengar salam itu. "Aaah Rasti. Wa'alaikumsalam," jawabnya.
"Oh ada tamu Bang?" sapa cewek itu lagi dan tersenyum. Dia masuk dan langsung menghampiri Rafly. Dia menyalami dan mencium tangannya takzim.
"Ras, ini teman lamaku Dimaz. Maz, Rasti tunanganku!" ujar Rafly memperkenalkan.
Mata Rasti terbelalak melihatku. "Teuku Dimaz Putra Alamsyah?! Yang selebriti itu kan? Ya ampuuun!! Benerr!!!!" Dengan antusias dia menyalamiku. Matanya berbinar menatapku dengan kekaguman.
"Hei! Jangan bikin Dimaz gak enak hati!" tegur Rafly ringan dan tertawa geli oleh reaksi heboh Rasti.
"Habis gak nyangka! Temen Abang ada yang artis juga!" jawab Rasti, masih dengan terpana dan mengamatiku.
Lagi-lagi Rafly tertawa. "Dasar! Oh ya, untuk acara kita hari ini mungkin harus diundur. Rasti gak papa kan pulang dulu?"
Rasti jadi sedikit kaget dan sontan berpaling pada Rafly yang hanya tersenyum dan mengangguk. Senyum pengertian segera tersungging dibibir Rasti. Bisa kulihat kedekatan mereka, hingga dengan satu isyarat kecil seperti itu sudah cukup untuk membuat mereka paham.
"Ya sudah. Rasti pulang dulu. Bang Dimaz, nanti Rasti minta foto sama tanda tangannya ya?" tukasnya riang. Aku hanya mampu tersenyum tipis menanggapinya. Benar-benar anak yang ceria.
"Gak apa-apa kan Ras?" tanya Rafly meyakinkan.
"Iya Bang. Rasti pamit ya?" kata Rasti lalu kembali menyalami dan mencium punggung tangan Rafly. Kali ini Rafly meneruskannya dengan meraih kepala Rasti dan mengecup keningnya. Rasti keluar, meninggalkan kami yang untuk sejenak jatuh dalam keheningan.
Aku mengamati semua itu dengan dada sesak dan mata yang sedikit perih. Entah apa yang sebenarnya kurasakan. Kaget, cemburu, tak rela, atau hanya menyesal. Aku hanya mampu menelan ludah dan berdehem pelan. Mencoba mengumpulkan suara dan bersikap biasa. "Dia. . . , manis sekali Raf," kataku setelah kediaman yang sedikit canggung itu.
Rafly tersenyum dan mengangguk. "Dia baik, tegar dan sangat menyayangiku," katanya dan menatapku tanpa berkedip. "Dia orang yang akhirnya bisa membuatku tersenyum setelah kepergianmu. Aku sempat down saat kau tiba-tiba menghilang. Sekali lagi, setelah kematian orang tuaku, kau membuatku merasa terbuang, tersisih, tak layak dicintai dan ditinggalkan. Apa lagi setelah apa yang terjadi diantara kita malam itu. Aku benar-benar merasa kau. . .  , buang. Aku merasa sangat bingung, takut dan terpukul," lanjut Rafly dengan nada pelan. Tak ada kesan menuntut atau marah dalam suaranya. Dia hanya sekedar bercerita. Tapi tetap saja, dadaku sontan luar biasa nyeri. Kali ini aku sudah tak sanggup menatapnya. Aku cuma mampu menunduk dengan pandangan yang mulai kabur. Nafasku tersendat keras.
"Sungguh! Aku benar-benar down. Kau menghilang tanpa satu katapun. Dua tahun aku berantakan. Untung saja Mas Arif tak henti-hentinya mengingatkanku. Agar aku terus selalu ingat akan studiku yang mulai terbengkalai. Dan seperti harapanmu, aku berhasil menjadi siswa terbaik disekolah kita. Bahkan mendapat beasiswa penuh di Perguruan Tinggi kota. Satu tahun pertama di Perguruan Tinggi itu, Rasti mendekatiku. Tak sedikitpun aku menggubrisnya. Takut akan terbuang dan sakit lagi. Terlebih, waktu itu aku tak yakin bisa menyukainya. Karena yang ada dipikiranku waktu itu . . . , hanya kamu," kata Rafly.
Aku tak mampu bersuara sama sekali. Tapi lantai dibawahku telah basah oleh air mataku.
"Tunggu sebentar," kata Rafly dan bangkit. Ia melangkah kedalam. Aku yang ditinggal cepat-cepat mengusap air mataku, meski aku tahu itu percuma karena Rafly jelas telah melihatnya. Tak berapa lama dia kembali dan mengangsurkan sebuah dokumen keeper tebal padaku. Aku menerimanya dengan pandangan tak mengerti. Rafly hanya mengangguk dan memberikan tanda agar aku membukanya.
Aku mendesah dengan mata yang kembali berair saat melihat isinya.
"Aku mengikuti ceritamu dari majalah-majalah, koran dan berbagai tabloid. Kukumpulkan semua gambar dan artikel tentangmu. Berharap bisa dekat denganmu dengan satu dan lain cara. Karena kau. . . , sama sekali tak kembali," kata Rafly yang kemudian duduk disampingku.
Aku memandangnya dengan penuh penyesalan. Hatiku benar-benar terasa sakit, sadar bahwa sepertinya aku telah melukainya terlalu dalam. Tapi nyatanya, dia tidak meledak didepanku. Dia justru begitu tenang dan terkendali. Justru aku yang tak karuan. Perasaan bersalahku jadi semakin membesar. "M-ma-af," pintaku lirih dan tersendat.
Rafly kembali tersenyum. "Memang sangat menyakitkan pada awalnya. Tapi Rasti muncul dalam kehidupanku. Dia terus berusaha masuk, tak perduli apapun yang kulakukan untuk mengusirnya. Kuacuhkan, ku konfrontasi, ku usir dan ku tolak mentah-mentah. Semuanya. Dia tetap terus berusaha mendekatiku. Hingga akhirnya aku menyerah. Menyerah menghalangi Rasti dan. . . ,menyerah mengharapkanmu. Dan siapa sangka, dengan Rasti, aku kembali hidup. Dia mampu membuatku melihat sisi lain dari hidupku, selain yang pernah kau tunjukkan. Dia mengajariku untuk bertahan dan menghargai semua yang ku miliki. Dia terus berada disampingku dan mendukungku. Aku kalah dan. . . . ,menyayanginya."
Rafly menatapku lembut dan memegang pundakku. "Aku sudah menemukannya. Orang yang benar-benar ingin membagi hidupnya denganku. Orang yang ingin kubagi hidupku dengannya. Karena itu, ambillah buku itu. Itu kenangan yang ku miliki tentangmu. Aku ingin kau menyimpannya. Karena aku akan segera membuat buku kenangan baru dengan Rasti."
Kata itu terdengar seperti ucapan selamat tinggal bagiku. Aku meraih tangannya yang dipundakku dan menggenggamnya erat. "Raf. . ., ma-maaf."
"Semua sudah berlalu. Aku sudah lama memaafkanmu. Meski aku punya beberapa pertanyaan yang ingin ku tahu. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa salahku?"
"Aku tahu seharusnya aku mengatakan sesuatu," sahutku cepat meski dengan mata dan hidung yang berair. "Waktu itu aku juga takut, bingung dan sama sekali tak mengerti. Kau bukan satu-satunya orang yang terbayang akan peristiwa itu. Aku juga! Saat perjalanan pulang, aku sempat mual dan muntah hebat. Yang ada dalam pikiranku hanyalah, ini salah! Apa yang kita lakukan itu salah menurut kepercayaan dan ajaran yang selama ini diberikan oleh orang tuaku! Mati-matian aku menyangkal apa yang kurasakan padamu. Mencoba menganggapmu sebagai satu fase gila dalam kehidupan remajaku. Meski dalam hati aku sadar kalau aku benar-benar menyayangimu. Karena itu aku pergi!
Kau tak tahu kehidupan seperti apa yang kujalani di Jakarta. Kuhabiskan semua waktu yang kumiliki dengan beraktifitas. Karena kalau aku diam, aku akan mengingatmu. Mengingat betapa aku sayang kamu! Ingat akan apa yang kita rasakan bersama. Aku belajar dan bekerja seperti orang gila. Aku hanya kembali kerumah saat aku sudah terlalu lelah untuk berpikir. Agar aku tak bisa mengingatmu. Aku terus berlari dari bayanganmu Raf. Meski akhirnya, aku tahu kalau aku tak bisa lari dari diriku yang sebenarnya." Aku mengusap wajahku dengan frustasi.
Rafly memandangku dengan sorot tanya yang besar.
Aku tertawa getir. "Aku gay Raf! Aku pergi ke Jakarta untuk lari darimu. Berharap dengan menjauh, aku bisa mengembalikan pikiran normalku. Tapi disana aku justru menemukan orang yang begitu mengingatkanku padamu. Kegetirannya pada hidup dan lingkungan sosial nya benar-benar mirip denganmu," kataku lagi. "Dan aku jatuh cinta setengah mati padanya. Ironis kan? Semuanya membuat aku sadar, kalau tindakanku lari darimu, penyangkalan perasaanku padamu dulu adalah tindakan bodoh dan sia-sia. Karena pada akhirnya, aku tak bisa lari dari diriku sendiri.
I'm gay! Aku kembali jatuh cinta pada seorang lelaki. Dan dia juga mencintaiku. Butuh usaha berat bagiku untuk mendapatkannya. Sama seperti Rasti berusaha mendapatkanmu, aku juga mati-matian berusaha untuknya. Karena aku tak ingin kehilangan dia, seperti aku kehilangan kamu. Tapi setelah kami akhirnya bersama, orang tuaku menjodohkanku dengan seorang gadis yang hampir-hampir tak kukenal."
"Dimaz. . . ," desah Rafly penuh simpati.
"Ini karma kan? Karma karena aku sudah meninggalkanmu. Menyakitimu."
"Dimaz. ."
"Demi Allah Raf! Aku juga bingung dan takut! Aku nggak mau jadi. . ." Aku sudah tak bisa lagi meneruskan kalimatku karena aku sudah menangis hebat, dan hanya mampu menggumamkan kata maaf berkali-kali padanya. Rafly memelukku erat, mencoba menenangkanku.
Dia tak tahu, waktu itu aku menangis bukan hanya karena aku menyesal atas apa yang telah kulakukan padanya, tapi juga karena ironi yang harus ku tanggung. Kenapa aku tak bisa seperti dia, yang pada akhirnya bisa mencintai dan menikahi seorang gadis? Aku justru jatuh cinta pada pria lain, sementara aku ditunangkan dengan seorang gadis yang benar-benar asing.

XXX

Terkadang keinginan manusia memang terbentur pada takdir yang memang harus kita jalani. Seberapa kerasnya usaha manusia dalam menggapai sesuatu, jika Tuhan tidak mengijinkan dia untuk memilikinya, maka manusia itu tak akan mendapatkannya. Tak perduli seberapa keras usahanya. Tak perduli apa saja yang telah dikorbankannya. Tak peduli berapa banyak keringat atau bahkan darah yang ia kucurkan. Takdir adalah keputusan final. Jadi manusia mutlak harus menerimanya.
Dan aku menerima takdirku! Bukan hal yang mudah. Aku banyak mendapat dukungan dari Rafly. Dia tak pernah lelah mendampingiku dan selalu ada saat aku membutuhkannya. Hubungan kami berbeda kalau dibandingkan dengan apa yang kami miliki zaman SMA dulu. Seperti yang pernah dia katakan padaku, "Aku mencintaimu. Dulu dan kini. Hanya saja porsi dan bentuk cintaku berbeda dengan dulu."
Aku paham apa maksud dari kata-kata Rafly. Rasa cinta yang kini ia rasakan padaku, tak ubahnya seperti cinta kita pada keluarga, yang selalu akan ada saat kita butuhkan. Dan memang begitulah Rafly. Dia selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Dia selalu mau meluangkan waktunya untukku. Kapanpun itu. Dan aku benar-benar bersyukur karenanya.
Sesekali aku juga menghubungi Jeffry. Sejak pindah kesini, hampir tiap hari aku menghubunginya. Baik telepon atau hanya sekedar sms. Balasan Jeffry mula-mula biasa saja. Tapi terkadang sedikit ketus. Lalu menjadi dingin. Kebanyakan dia hanya menjawab semua telepon dan sms ku seperlunya saja. Aku tak menyalahkannya. Dia mau membalas semua pesan dan teleponku saja sudah cukup bagiku.
Kabar yang mengejutkan datang sekitar 6 bulan setelah perpisahan kami. Saat kutelepon Jeffry mengatakan kalau dia baru saja keluar dengan temannya bernama TJ. Dan hampir beberapa hari berikutnya, nama itu kembali ia sebut. Semula kukira itu hanya akal-akalan Jeffry saja, agar aku tak menguhubunginya. Tapi pernah suatu malam aku telepon, dan Jeffry mengatakan sedang makan malam bersama TJ. Saat aku minta untuk berbicara dengan pria itu, Jeffry memberikannya. Suara asing yang terdengar sedikit membuatku sakit hati. Tapi aku berusaha untuk tetap tenang dan bergembira untuknya.
Belakangan kemudian saat Jeffry mengundangku ke Jakarta aku ketahui kalau ternyata TJ telah memiliki Soni. Pasangan jiwanya. Kemesraan yang mereka miliki benar-benar membuatku iri dan berharap kalau aku memiliki itu bersama dengan Jeffry.
Tapi harapan hanyalah harapan.

Pada akhirnya aku menikah dengan Sarah.
Jeffry, TJ dan Soni (belakangan aku berteman akrab dengan mereka berdua) juga turut hadir dalam acara pernikahanku. Mereka bahkan datang beeberapa hari sebelumnya, bersama dengan Jeffry. Jeffry sendiri terlihat santai dan menikmati suasana. Dia juga menyapa akrab Rafly yang kukenalkan padanya.
Tapi malam harinya, sebelum upacara pernikahanku, Jeffry muncul didepan pintu kamarku.
"Sorry ganggu. Gua tau besok lo bakalan sibuk. Bisa bicara sebentar?" pintanya dengan senyum tipis. Dan tanpa menunggu jawabanku dia melangkah masuk.
"Ada masalah Jeff?" tanyaku khawatir dan menutup pintu. Untuk mencegah insiden yang tidak mengenakkan, aku langsung menguncinya.
Jeffry yang telah duduk dikasurku kembali tersenyum. "Boleh dibilang begitu. Sebenarnya aku punya permintaan," katanya.
Giliran aku yang tersenyum mendengarnya. "Jangan katakan kalau kau punya ide gila tentang bagaimana kita harus menghabiskan sisa malam ini?" selorohku.
Jeffry tergelak dan menggeleng. Hal itu justru membuatku sedikit khawatir. Malam ini dia terlihat santai dan kembali seperti Jeffry yang pernah menjadi milikku. Bukannya Jeffry yang hampir setahun ini bersikap dingin padaku. Dia bisa tertawa lepas seperti tadi. Aku tahu aku seharusnya merasa senang. Tapi aku justru menjadi cemas.
"Ada masalah apa Jeff?" tanyaku dengan wajah menegang.Jeffry tak menjawab. Dia hanya melambai dan menepuk kasur disebelahnya, memintaku duduk disana. Aku menurut saja.
"Besok kamu akan menikah. Dan aku ingin mengucapkan selamat tinggal!" katanya enteng.
Sekarang tubuhku benar-benar menegang.
"Setelah besok, aku tak akan menemuimu lagi. Aku tak akan membalas telepon atau sms mu lagi. Aku ingin kita benar-benar berhenti berhubungan."
"Jeff. . "
Dia telah mengangkat tangannya. Mencegahku untuk protes. "Kau sudah memilih jalanmu. Dan aku ingin menjalani kehidupanku tanpa ada bayang-bayang masa laluku bersamamu. Sarah gadis yang luar biasa Maz. Orang tuamu juga orang-orang yang luar biasa. Mereka nggak pantas menerima lebih banyak lagi kebohonganmu. Kebohongan kita. Sudah waktunya kita berhenti, dan kau harus menjalani hidup barumu, lepas dari bayanganku."
Apa yang bisa kukatakan? Aku hanya terpekur diam dengan hati sakit dan pandangan yang kabur. Namun Jeffry tersenyum. Dia meraih tanganku dengan tangan kanannya. Dia lalu menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kananya yang bebas terulur dan mengusap aliran basah di pipiku.
"Terimakasih sudah menjadi bagian dalam ceritaku," bisiknya pelan. "Terimakasih sudah mengajariku untuk menghormati diri sendiri. Kamu hal terbaik yang pernah aku miliki. Karena kamu, aku bisa merasakan perasaan sayang yang kukira, tak akan pernah bisa aku rasakan lagi. Aku nggak akan lupa Maz. Pelajaran yang kau berikan, akan selalu kuingat. Aku janji nggak akan bandel lagi. Aku janji akan menghormati diriku sendiri, lebih dari sebelumnya. Dan aku janji, aku akan jadi orang yang lebih baik. Karena itu. . . . ,ijinkan aku pergi. Ok?"
Aku berusaha menampilkan senyumku untuknya. Berusaha menyampaikan restuku padanya. Tapi aku gagal. Aku hanya mampu terisak. Kutarik tanganku dari genggaman Jeffry. Cepat kuusap airmataku dan bangkit. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Mencoba mencegah diriku sendiri yang sebenarnya ingin berteriak keras. Bertanya pada Tuhan, kenapa aku bisa mencintai seseorang sebesar ini? Dan kenapa harus sesama lelaki?! Tiba-tiba saja kamarku yang besar terasa sempit dan pengap. Aku butuh udara segar.
"Maz. . . ," panggil Jeffry lirih membuatku yang sudah hendak menghambur keluar dari kamar, urung. Perlahan aku kembali memandangnya. Jeffry tersenyum dengan tatapan memohon. "Please. Bebaskan aku," pintanya.
Tuhanku!
Aku benar-benar ingin berteriak histeris sekarang.
Saat ini, barulah aku tahu. Semua tingkah santai dan dinginnya hanyalah akting. Dia sama terlukanya denganku. Dia sama sakitnya denganku. Dia juga. . . ,mencintaiku. Dia adalah Jeffry yang selalu berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya. Jeffry yang selalu menutupi rapuhnya dengan tingkah macho dan berangasan. Tapi saat ini, didepanku dia melepas semua topengnya. Matanya memancarkan luka yang selama ini dia sembunyikan. Sorot memelasnya membuat nafasku tersendat dan mataku semakin perih. Dari pandangannya, aku bisa memahami kalimat-kalimat yang tidak bisa dia ucapkan secara lisan. Tatapan itu seperti hamburan kata-kata yang begitu menyesakkan. Dan efeknya jauh lebih terasa dibandingkan bila Jeffry mengatakannya.
Aku memahaminya. Aku mengerti apa yang Jeffry ingin sampaikan. Kesedihannya, sakit hatinya, kebingungan, dan juga kepasrahannya pada takdir kami. Dia mengerti kalau tak ada lagi cerita yang bisa ditulis dengan tokoh Dimaz dan Jeffry. Kami. . . . , sudah tak ada lagi. Jeffry tahu itu.
Dengan matanya, dia seolah-olah ingin memberitahuku, bahwa kali ini, bukan hanya aku yang menderita. Bukan hanya aku yang menyesalkan fakta yang ada. Dia juga merasakannya. Karena dia juga. . . . , mencintaiku.
Nafasku seakan terhenti disana, sementara dadaku luar biasa nyeri, dan hampir-hampir tak tertahankan. Dan kulihat, selajur airmata menetes dari mata Jeffry yang masih juga memandangku tanpa berkedip.
Aku tak tahan melihatnya!
Cepat aku mendekati Jeffry dan mendekap kepalanya di dadaku. Sakit sekali dadaku melihatnya seperti itu. Aku tak sanggup lagi. Tuhanku, kenapa harus ada perasaan cinta seperti yang kami miliki? Kalau ini dosa, kenapa kau biarkan kami memilikinya? keluhku dalam hati nelangsa.
"Yah. . . ," bisikku tertahan diantara tangisku. "Aku be-bebaskan kau dariku," sambungku lirih. Kata-kata itu akhirnya kuucapkan. Kalimat yag mungkin seharusnya, sudah dari dulu kukatakan padanya.
Tak ada jawaban dari Jeffry. Tapi tangannya memeluk pinggangku dengan erat. Dibenamkannya wajahnya dalam-dalam ke pelukanku. Bahunya bergetar keras dan kurasakan, bagian depan kemeja yang kupakai mulai basah.
Untuk sesaat, tak ada satupun dari kami yang berbicara. Kami hanya berpelukan sembari terisak pelan. Mencoba melegakan pernafasan kami. Berharap sakit yang kami rasakan akan keluar dari tubuh kami bersama dengan air mata yang kami teteskan. Meski masing-masing dari kami tahu, luka itu masih ada.
Saat aku bisa menguasai diri, aku melepas pelukanku pada Jeffry. Kuusap pipinya. Membersihkan semua sisa airmatanya. "Carilah seseorang yang bisa menyayangimu," kataku pelan.
Jeffry tersenyum. "Pasti! Akan kucari orang yang bisa menyayangiku, lebih dari kamu!" sahutnya dengan senyum tipis. Hampir mirip senyuman pasrah seseorang yang kalah.
Aku mengangguk. "Harus. Dan aku mau kamu berjanji satu hal. Bila suatu saat kau membutuhkan seseorang, dan tak ada orang lain yang ada disisimu, kau harus datang padaku. Kau harus mencariku! Aku akan selalu ada untukmu"
Untuk sesaat Jeffry tak menjawabnya. Dia hanya diam menatapku.
"Berjanjilah!" pintaku lagi.
Jeffry mengangguk. Dan tanpa berkata apa-apa dia bangkit dan melangkah keluar dari kamarku . Dia tak menolehku lagi.
Saat tubuhnya lenyap dibalik pintu, aku sontan memejamkan mata. Kembali merasakan sensasi perih, seakan-akan ada bagian dari diriku yang direnggut dengan paksa.
Sakit!


Aku masih melihat Jeffry keesokan harinya. Setelah pembacaan kalimat ijab qabul, aku masih melihatnya yang berdiri tak jauh dariku. Dia mengacungkan jempolnya padaku. Saat berikutnya, aku dan Sarah menerima ucapan selamat dari beberapa orang. Aku sibuk dengan menyambut salam dari para tamu. Dan baru kusadari saat aku menyalami TJ dan Soni, bahwa Jeffry telah pergi.
Itulah saat terakhir aku melihatnya.


5 tahun telah berlalu.
Aku memiliki seorang putri yang berusia 3 tahun kini. Buah dari pernikahanku dengan Sarah. Kami hidup rukun bersama Abi dan Ummi yang tampak semakin bahagia dan sangat memanjakan cucunya. Kadang aku sampai harus menegur mereka. Tapi mereka malah memintaku untuk dibuatkan cucu lagi.
Sarah tetaplah wanita yang sama. Seorang istri yang benar-benar tahu bagaimana menghormati dan menghargai suami. Dan aku sudah menerima dia sebagai bagian dari hidupku. Aku menyayanginya. Meski aku memiliki satu bagian lain yang kusimpan untuk seorang Jeffry.
Hingga kini.
Aku tak pernah mencarinya. Aku bahkan menghindar untuk tahu beritanya. Aku tak pernah sekalipun membaca berita entertainment ataupun ulasan infotainment yang menjamur di Tv. Karena aku hanya akan menemui Jeffry, jika dia yang datang padaku. Karena aku sudah berjanji padanya. Dan aku sudah memilih jalanku.
Luka yang aku alami bersama dengan Jeffry memang telah sembuh. Tapi bekas luka itu masih ada. Masih nyata dengan jelas disana, dan akan terus ada sampai tiba waktunya nanti aku tak akan mampu melihatnya lagi.

Cerita ini baru aku ungkap pada seseorang beberapa hari yang lalu. Saat itu, aku yang sudah lama tidak berhubungan dengan dunia gay, tiba-tiba saja tergelitik rasa ingin tahu, apakah ada orang lain yang memiliki cerita yang sama denganku. Aku browsing google dengan kata kunci gay taubat. Secara tak sengaja aku menemukan sebuah Forum komunitas gay. Di forum ini ada berbagai tempat untuk ngobrol dan salah satunya adalah tempat untuk berbagi cerita. Dan aku iseng membaca sebuah judul cerita yang ditulis oleh seseorang. Aku tertarik dengan judulnya. Memoirs! Karena penasaran aku menghubungi email si pemilik cerita itu. And next thing I know, aku tumpahkan apa yang selama ini aku simpan padanya. Orang asing yang baru kukenal lewat dunia maya dalam hitungan hari.

Aku hanya berharap, ada orang lain diluar sana yang bisa belajar sesuatu dari kisahku. Mungkin banyak dari kalian disana yang mengalami masalah klasik yang pernah kualami.
Ada banyak orang lain yang mengalami apa yang kalian rasakan saat ini.
Itu satu hal yang harus diingat oleh kalian yang membaca kisah ini.
Kalian tidak sendiri.
===============the end==================                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar