XXVIII
Aku sadar
kalau aku harus menerima konsekuensi dari pilihanku. Tapi tetap saja aku merasa
sakit meski aku sudah tahu apa yang akan kuhadapi. Terkadang aku tak habis
pikir. Kata CINTA telah dibahas berulang-ulang dalam berbagai generasi dan
zaman. Kata yang sepertinya kecil dan terkadang terasa remeh itu tanpa kita
sadari telah bermakna besar dan dalam rentangan zaman telah menaklukkan banyak
sekali orang-orang hebat dalam sejarah.
Kitab suci
telah mencatat bagaimana Adam terbuang dari surga untuk memenuhi permintaan
istri tercintanya, Hawa. Julius Ceasar, penakluk sepertiga permukaan dunia yang
tampak, telah jatuh terseok-seok karena cintanya dibawah kaki Cleopatra. Bahkan
mantan pemimpin negara kita yang mahsyur, almarhum Soekarno, terkenal juga akan
kelemahannya dalam cinta. Dia bisa mempesona anggota dewan PBB dunia, namun toh
takluk karena cintanya pada wanita.
Atau B.J
Habiebie. Salah satu cendekiawan asal negara kita yang mahsyur akan kekuatan
otaknya, bisa dibuat mewek saat wanita yang dicintainya meninggal. Sepertinya,
otak jenius yang beliau miliki juga tak terlepas dari virus cinta.
Aku bukan
orang besar. Tapi aku juga mengalami penderitaan karena cinta seperti mereka.
Nasehat-nasehat usang yang kudengar tentang bagaimana kita bisa survive meski
cinta kita hilang, terdengar seperti sampah bagiku. Aku nyaris tak bisa
menemukan alasan bagaimana aku harus mempertahankan kewarasanku. Tapi begitu
melihat Abi dan Ummi, aku tahu aku harus kuat. Aku harus melakukan semua ini
demi mereka. Rasa sakit yang kurasakan karena Jeffry sungguh kecil dibandingkan
dengan kebahagiaan mereka. Aku sakit, hampir gila rasanya. Tapi aku tetap
tersenyum.
Bahkan
dalam pesta pertunanganku yang meriah ini, aku tampil dengan seyumku. Meski sekujur
tubuhku hampir-hampir kebas.
Aku nyaris
tak bisa merasakan minuman atau makanan yang tadi kusantap. Aku merasa begitu
hampa. Seperti berada dalam sebuah film bisunya Charlie Chaplin, dimana semua
hal disekelilingku sedang heboh melakukan sesuatu sementara aku tak mendengar
sedikitpun suara yang mereka keluarkan. Seakan-akan telingaku tertutup oleh
sebuah headset besar.
Pesta
pertunangan ini berjalan lancar. Beberapa anggota keluarga ku dan pihak Oom
Ghani hadir. Juga beberapa teman bisnis mereka. Setengah mati aku berusaha
terlihat sebagai laki-laki yang bahagia. Menikmati godaan dan sindiran beberapa
saudara. Mereka bilang aku beruntung memperoleh
Sarah yang menawan dan dari keluarga terpandang. Sepertinya gadis itu
cukup terkenal didaerah ini. Aku hanya tertawa kecil dan menerima kecemburuan
mereka dengan senyum.
Banyak
orang yang mengucapkan selamat dan memberi hadiah pada kami malam itu. Entah
berapa orang yang telah kusalami dan kuberi ucapan terimakasih. Aku sudah lupa.
Aku benar-benar lelah. Yang aku inginkan hanya sendiri dikamarku dan menelepon
Jeffry.
Bahkan
tanpa ada kata berpisah, kami berdua telah paham bahwa apa yang kami miliki
telah berakhir. Jeffry tak mengatakan apapun waktu itu selain, "Lakukan
apa yang menurutmu yang terbaik!"
Kami
berdua sudah tahu keputusan apa yang kuambil.
Aku masih
ingat percakapan terakhir kami saat aku akan bertolak ke kampung halamanku.
Waktu itu, aku telah menyelesaikan semua kontrak dan transfer kuliahku. Bahkan
barang-barangkupun telah terbungkus rapi dan siap dikirim.
"Besok
pagi aku berangkat," kataku pada Jeffry yang duduk diruang tengah menonton
tv.
"Hmm.
. . ? Well, sorry aku gak bisa nganter," sahutnya acuh tanpa berpaling
dari layar.
Aku duduk
disebelahnya. Ikut-ikutan memandang layar tv tanpa tahu apa yang sedang tayang.
"Apa ada yang ingin kau katakan?" tanyaku pelan.
"Let
me think," gumam Jeffry dengan jari telunjuk mengusap bibirnya. Ekspresi
wajahnya seolah-olah dia sedang berfikir keras. "Semoga bahagia. Selamat
menempuh hidup baru. Semoga sukses daaaaann. . . . I don't know. Menurutmu apa
lagi yang harus ku ucapkan?" tanya Jeffry balik.
"Kau
bisa memakiku," saranku.
Jeffry
mendengus keras. "Itu cuma akan membuang-buang energiku. Thank you, but
no! Thanks," selorohnya.
Tak ada
suara. Hening diantara kami. Hanya televisi yang mengeluarkan bunyi-bunyian
yang tak kumengerti. Saat ini, aku lebih berharap kalau Jeffry akan meledak.
Mengeluarkan semua yang ingin dia lontarkan padaku sejak beberapa hari kemarin.
Sikapnya yang datar dan biasa-biasa saja justru lebih menyiksaku.
"Sepertinya
tak ada lagi yang bisa kukatakan padamu. Kau sudah mengambil keputusan,"
kata Jeffry akhirnya.
"Kalau
begitu. . . ,boleh aku mengajukan satu permintaan?" tanyaku.
"Apa
lagi yang kau inginkan dariku?" tanya Jeffry, masih dengan mata yang
menatap layar tv.
"Jangan
hapus aku dari kehidupanmu," pintaku lirih. "Tolong beri aku sedikit
tempat dihidupmu. Aku tahu ini egois. Tapi aku masih ingin bisa bicara, bertemu
dan tahu keadaanmu."
"I'm
not gonna . . ."
"Aku
tidak minta sex darimu!" potongku cepat. "Aku tahu aku tak berhak. I
just wanna be a part of your life. We can be friends. Aku akan selalu ada
kapanpun kau butuh. Aku janji! Kapanpun kau panggil, aku akan datang.
Boleh?" tanyaku dan melihatnya.
Jeffry
berpaling dan menatapku. "Untuk apa? Bukankah lebih baik kalau kita tak
usah bertemu agar kau bisa hidup seperti yang orang tuamu inginkan? Akan lebih
mudah bagimu."
"Jeff,
aku bersumpah! Andai saja aku bisa, aku akan berikan apapun yang aku bisa untuk
tetap berada disini. Apapun itu! Tapi aku tak bisa. Mereka membutuhkanku. Dan
aku membutuhkanmu!"
"Untuk
apa?!"
"Untuk
tetap hidup! Untuk tetap waras!" jawabku keras. Aku tak tahan lagi. Aku
biarkan air yang menggenang dimataku turun. Sudah tak ada gunanya lagi
berpura-pura didepan Jeffry. Didepannya aku bisa menjadi diriku sendiri.
"Kau
gila kalau berpikir aku akan diam saja disini menunggumu!" gumamnya
dingin.
Aku
menggeleng kuat-kuat mendengarnya. "Aku tak berhak meminta itu. Kau punya
hak penuh dengan hidupmu. Kau bisa melakukan apapun maumu. Cari dan dapatkan
orang yang lebih baik dariku. Yang kupinta, beri sedikit tempat dihidupmu
untukku. Ijinkan sesekali aku menemuimu. Aku tak akan menghalangi apapun yang
ingin kau lakukan. Aku tahu aku sudah kehilanganmu saat aku memutuskan untuk
menuruti permintaan Abi dan Ummi. Tapi demi Tuhan, aku benar-benar membutuhkan-
mu Jeff!"
Jeffy
menarik nafas panjang dan mengangkat wajah, menatap langit-langit seolah-olah
ada sesuatu yang menarik disana.
"Please.
. . ," pintaku lagi lirih, hampir tak terdengar.
Tak ada
jawaban dari Jeffry, tapi satu tangannya kemudian menarik dan memelukku. Dan
untuk kesekian kalinya, aku menangis keras dalam dekapannya.
Malam ini
dia tak datang ke pesta dengan alasan syuting. Sebenarnya kalau boleh jujur,
aku ingin dia ada disini untuk menemaniku. Permintaan yang egois. Aku tahu. Tak
adil bagi Jeffry untuk melihatku bertunangan dengan orang lain. Jadi, kini aku
harus menghadapinya sendiri. Berakting sebagai seorang pria yang bahagia dan
menebarkan senyum ke segala arah.
Sungguh
melelahkan!
Karena itu
aku memilih untuk bersembunyi di pojokan saja. Siapa tahu mereka melupakanku.
Ide konyol, tapi tak ada salahnya berusaha. Mumpung Sarah juga sedang sibuk
dengan teman-temannya, pikirku dan melangkah
"Ah!!!"
aku mendesah pelan,kesal saat tak sengaja tanganku yang memegang segelas
minuman tersenggol seseorang yang lewat. Sedikit cairannya mengenai jasku yang
untungnya berwarna hitam. Aku mengeluarkan sapu tanganku dan mencoba
membersihkannya.
"Assalamualaikum
Dimaz! Selamat ya atas pertunangannya," tegur seseorang dari sebelahku.
Bahkan
saat aku belum mengangkat wajahku aku tahu siapa dia. Ya Tuhan, suara itu!! batinku mencelos. Bisa kurasakan desiran
ngeri yang mengusap dadaku dengan tiba-tiba. Perlahan aku mengangkat
pandanganku. Dia disana, berdiri dengan senyum ramahnya yang hanya beberapa
kali kulihat seumur hidupku.
"Rafly.
. . ," gumamku dengan wajah memucat.
"Hei!
Awas ada lalat masuk. Mulutmu terlalu lebar kebuka tuh," godanya. Aku
refleks menutup mulutku yang terbuka kaget karenanya. Tanpa sadar aku menelan
ludah. Sosok Rafly berubah dengan dramatis. Tubuhnya jauh lebih tinggi. Bahunya
lebih lebar daripada yang kuingat. Terlihat lebih gagah. Tapi senyumnya yang
paling mengesankan. Selama aku kebersamaan kami yang singkat, hanya beberapa
kali senyum selebar itu ia sunggingkan. Ekspresi ramah yang ada diwajahnya itu
cuma pernah ia tampilkan hanya didepan Mas Arif dan aku saja.
Tapi lihat
kini. . .
Aku sudah
merasa tak nyaman dari awal acara malam ini. Fisik dan mentalku benar-benar
diambang batas kemampuannya. Sedari tadi aku mencoba bertahan, tapi kehadiran
Rafly merupakan sebuah pukulan yang telak padaku. Kelebatan dari semua hal yang
pernah kami alami melintas dengan cepat. Berputar disekelilingku. Menjadikan
ruangan ini benar-benar seperti bergerak cepat. Aku limbung.
"Dimaz!!!"
seru Rafly kaget dan segera memburuku.
Aku
mengangkat tangan,mencegah agar dia tidak mendekat. Untungnya aku telah berada
dipojok ruangan sehingga aku bisa bersandar pada tembok. Karena kalau tidak,
aku pasti sudah roboh.
"Perlu
kupanggilkan orang? Kau pucat sekali!" tanya Rafly khawatir tanpa berani
mendekat.
Aku ingin
mengatakan sesuatu tapi tak bisa. Aku hanya mampu melihatnya. Menelusurinya
dengan mataku. Bertahun-tahun aku membayangkan pertemuanku dengannya. Sudah ku
buat banyak skenario dalam berbagai adegan dimana kami bertatap muka.
Kebanyakan dalam scene itu dia marah. Dia akan menuntutku. Dia akan mengamuk,
dengan ekspresi yang lebih mengerikan diwajah dinginnya. Bukannya menyapaku
dengan santai dengan wajah kalem berhias senyumnya seperti sekarang.
"Dimaz!
Kamu dicari Oom Ghani lho!" kata Ummi yang berjalan kearah kami.
"Rupanya mojok disini. Beliau mau memperkenalkan saudaranya yang tinggal
di Singapura dan. . . " Kalimat Ummi terhenti saat melihat Rafly yang
berdiri tak jauh dariku.
"Tante.
. . ," sapa Rafly hormat pada beliau.
"Rafly!
Sudah bertemu kalian rupanya. Dari tadi ya?" tanya Ummi ramah.
Jelas saja
aku kaget mereka bisa ngobrol akrab begini. Seingatku aku tak pernah
mengenalkan mereka.
"Ummi
nggak sengaja ketemu dia waktu belanja beberapa hari yang lalu. Ummi ingat dia
yang titip bungkusan ke kamu waktu itu kan? Rafly bilang kalian sudah tak
pernah berhubungan lagi sejak kamu pindah. Karena itu, Ummi kasih surprise kamu
dengan mengundangnya ke pesta ini," jelas Ummi begitu tahu aku menatapnya
heran. "Bagaimana menurutmu calon menantuku Raf?"
"Sangat
cantik Tante! Cocok sekali dengan Dimaz!" sahut Rafly dengan tertawa
kecil. Ummi jelas senang mendengarnya.
"Tuh
Dimaz. Dengerin tuh. Kalau begitu, Tante pinjam Dimaz dulu ya? Ada saudara dari
pihak besan yang belum melihatnya," pamit Ummi dan meraih tanganku,
membawaku pergi mejauh dari Rafly. Meski aku ingin berteriak pada beliau agar
meninggalkanku disana, aku hanya menurut mengikutinya. "Ayo Nak. Eh, kamu
sakit?" tanya Ummi khawatir melihatku. Tatapannya meneliti wajahku yang
mungkin sudah sepucat mayat.
"Enggak
Mi. Cuma sedikit cape," dustaku pelan. Aku menoleh kebelakang dimana Rafly
berdiri. Dia hanya kembali tersenyum dan mengangkat gelas minumannya padaku,
dan kembali mengucapkan selamat dalam bahasa bibirnya.
Ya
Tuhan!!!
XXIX
Keesokan
paginya, pada jam sepuluh pagi, aku sudah berada didepan rumah Rafly. Hampir
semalaman aku tak bisa memejamkan mata. Yang terbayang dimataku adalah Rafly
yang berdiri didepanku dengan tersenyum ramah. Sama seperti Jeffry, aku merasa
mungkin akan lebih baik kalau Rafly meledak. Tapi semalam dia terlihat begitu
santai dan tenang. Aku justru tambah merasa kacau karenanya. Aku nyaris tak
bisa memahami apa omongan Oom Ghani semalam itu. Pikiranku benar-benar tak
karuan. Aku ingin berbicara banyak pada Rafly. Ingin tahu apa saja yang telah
terjadi dalam hidupnya. Ingin meminta maaf padanya. Sayangnya, hampir sepanjang
sisa malam itu aku tak lagi melihatnya. Hingga aku tak tahan. Dan sebelum aku
bisa menyadarinya, aku sudah berada disini sekarang.
Rumah
Rafly tampak jauh lebih baik dari terakhir kali aku melihatnya. Tampak lebih
bersih, asri dan lebih pantas disebut rumah. Berbeda dengan dulu yang selalu
terlihat lengang dan tak berpenghuni. Sebagian rumahnya sudah ditembok. Aku
mendekat untuk mengetuk pintu Rafly perlahan.
Rafly yang
membuka pintu jelas kaget melihat kedatanganku. Tapi dia segera menguasai diri
dan dengan tertawa santai mempersilahkanku masuk.
"Pagi
bener Maz. Duduk dulu ya?" kata Rafly dan berlalu kedalam.
Aku hanya
mengangguk padanya. Saat duduk didalam sini, aku juga merasakan atmosfir yang
tak lagi sama seperti dulu. Lebih hangat dan nyaman. Terasa ada
sentuhan-sentuhan berbeda dalam tiap sudutnya. Ruangan itu sudah banyak dihias.
Taplak meja, bunga, hiasan didinding dan juga foto.
Mataku
langsung tertancap pada foto berbingkai ukuran 10R itu. Foto Rafly dengan
seorang gadis manis berambut panjang. Keduanya berpelukan dan tampak mesra. Ada
sedikit ketidaknyamanan yang kurasa. Aku tak pernah melihat Rafly begitu intim
dengan orang lain. Apalagi sampai berpelukan begitu.
"Itu
Rasti," kata Rafly yang muncul dengan segelas teh hangat dan sekaleng kue
kering.
"Pacar?"
tanyaku.
Rafly
tersenyum. "Tunangan," jawabnya singkat dan duduk.
Aku tak
bisa berbicara, hanya menatapnya kaget. Lagi-lagi Rafly hanya tersenyum dengan
reaksiku dan mempersilahkanku untuk duduk didepannya. Aku menurutinya dengan
gerakan gamang. Apa yang kau harapkan
Dimaz? Dia akan diam saja meratapi kesengsaraannya dan terus menunggumu?
batinku getir.
"Sudah
lama kalian. . . , bertunangan?"
"Sekita
lima bulan. Akhir tahun ini kami menikah," jawab Rafly, lagi-lagi
membuatku terlengak kaget.
"M-menikah?"
Rafly mengangguk.
"Yup! Menikah. Aku sudah bosan hidup sendiri Maz. Rasti sudah memberiku
banyak hal. Dia juga sudah banyak merubahku. Kau lihat kan? Rumahku pun jadi
lain sekarang. Semua ini dia yang melakukannya. Setiap hari dia datang dan. . .
"
"Assalamu'alakum
wrwb!"
Wajah
Rafly langsung sumringah mendengar salam itu. "Aaah Rasti.
Wa'alaikumsalam," jawabnya.
"Oh
ada tamu Bang?" sapa cewek itu lagi dan tersenyum. Dia masuk dan langsung
menghampiri Rafly. Dia menyalami dan mencium tangannya takzim.
"Ras,
ini teman lamaku Dimaz. Maz, Rasti tunanganku!" ujar Rafly memperkenalkan.
Mata Rasti
terbelalak melihatku. "Teuku Dimaz Putra Alamsyah?! Yang selebriti itu
kan? Ya ampuuun!! Benerr!!!!" Dengan antusias dia menyalamiku. Matanya
berbinar menatapku dengan kekaguman.
"Hei!
Jangan bikin Dimaz gak enak hati!" tegur Rafly ringan dan tertawa geli
oleh reaksi heboh Rasti.
"Habis
gak nyangka! Temen Abang ada yang artis juga!" jawab Rasti, masih dengan
terpana dan mengamatiku.
Lagi-lagi
Rafly tertawa. "Dasar! Oh ya, untuk acara kita hari ini mungkin harus
diundur. Rasti gak papa kan pulang dulu?"
Rasti jadi
sedikit kaget dan sontan berpaling pada Rafly yang hanya tersenyum dan
mengangguk. Senyum pengertian segera tersungging dibibir Rasti. Bisa kulihat
kedekatan mereka, hingga dengan satu isyarat kecil seperti itu sudah cukup
untuk membuat mereka paham.
"Ya
sudah. Rasti pulang dulu. Bang Dimaz, nanti Rasti minta foto sama tanda
tangannya ya?" tukasnya riang. Aku hanya mampu tersenyum tipis
menanggapinya. Benar-benar anak yang ceria.
"Gak
apa-apa kan Ras?" tanya Rafly meyakinkan.
"Iya
Bang. Rasti pamit ya?" kata Rasti lalu kembali menyalami dan mencium
punggung tangan Rafly. Kali ini Rafly meneruskannya dengan meraih kepala Rasti
dan mengecup keningnya. Rasti keluar, meninggalkan kami yang untuk sejenak
jatuh dalam keheningan.
Aku
mengamati semua itu dengan dada sesak dan mata yang sedikit perih. Entah apa
yang sebenarnya kurasakan. Kaget, cemburu, tak rela, atau hanya menyesal. Aku
hanya mampu menelan ludah dan berdehem pelan. Mencoba mengumpulkan suara dan
bersikap biasa. "Dia. . . , manis sekali Raf," kataku setelah
kediaman yang sedikit canggung itu.
Rafly
tersenyum dan mengangguk. "Dia baik, tegar dan sangat menyayangiku,"
katanya dan menatapku tanpa berkedip. "Dia orang yang akhirnya bisa
membuatku tersenyum setelah kepergianmu. Aku sempat down saat kau tiba-tiba
menghilang. Sekali lagi, setelah kematian orang tuaku, kau membuatku merasa
terbuang, tersisih, tak layak dicintai dan ditinggalkan. Apa lagi setelah apa
yang terjadi diantara kita malam itu. Aku benar-benar merasa kau. . . , buang. Aku merasa sangat bingung, takut dan
terpukul," lanjut Rafly dengan nada pelan. Tak ada kesan menuntut atau
marah dalam suaranya. Dia hanya sekedar bercerita. Tapi tetap saja, dadaku sontan
luar biasa nyeri. Kali ini aku sudah tak sanggup menatapnya. Aku cuma mampu
menunduk dengan pandangan yang mulai kabur. Nafasku tersendat keras.
"Sungguh!
Aku benar-benar down. Kau menghilang tanpa satu katapun. Dua tahun aku
berantakan. Untung saja Mas Arif tak henti-hentinya mengingatkanku. Agar aku
terus selalu ingat akan studiku yang mulai terbengkalai. Dan seperti harapanmu,
aku berhasil menjadi siswa terbaik disekolah kita. Bahkan mendapat beasiswa
penuh di Perguruan Tinggi kota. Satu tahun pertama di Perguruan Tinggi itu,
Rasti mendekatiku. Tak sedikitpun aku menggubrisnya. Takut akan terbuang dan
sakit lagi. Terlebih, waktu itu aku tak yakin bisa menyukainya. Karena yang ada
dipikiranku waktu itu . . . , hanya kamu," kata Rafly.
Aku tak
mampu bersuara sama sekali. Tapi lantai dibawahku telah basah oleh air mataku.
"Tunggu
sebentar," kata Rafly dan bangkit. Ia melangkah kedalam. Aku yang
ditinggal cepat-cepat mengusap air mataku, meski aku tahu itu percuma karena
Rafly jelas telah melihatnya. Tak berapa lama dia kembali dan mengangsurkan
sebuah dokumen keeper tebal padaku. Aku menerimanya dengan pandangan tak
mengerti. Rafly hanya mengangguk dan memberikan tanda agar aku membukanya.
Aku
mendesah dengan mata yang kembali berair saat melihat isinya.
"Aku
mengikuti ceritamu dari majalah-majalah, koran dan berbagai tabloid.
Kukumpulkan semua gambar dan artikel tentangmu. Berharap bisa dekat denganmu
dengan satu dan lain cara. Karena kau. . . , sama sekali tak kembali,"
kata Rafly yang kemudian duduk disampingku.
Aku
memandangnya dengan penuh penyesalan. Hatiku benar-benar terasa sakit, sadar
bahwa sepertinya aku telah melukainya terlalu dalam. Tapi nyatanya, dia tidak
meledak didepanku. Dia justru begitu tenang dan terkendali. Justru aku yang tak
karuan. Perasaan bersalahku jadi semakin membesar. "M-ma-af," pintaku
lirih dan tersendat.
Rafly
kembali tersenyum. "Memang sangat menyakitkan pada awalnya. Tapi Rasti
muncul dalam kehidupanku. Dia terus berusaha masuk, tak perduli apapun yang
kulakukan untuk mengusirnya. Kuacuhkan, ku konfrontasi, ku usir dan ku tolak
mentah-mentah. Semuanya. Dia tetap terus berusaha mendekatiku. Hingga akhirnya
aku menyerah. Menyerah menghalangi Rasti dan. . . ,menyerah mengharapkanmu. Dan
siapa sangka, dengan Rasti, aku kembali hidup. Dia mampu membuatku melihat sisi
lain dari hidupku, selain yang pernah kau tunjukkan. Dia mengajariku untuk
bertahan dan menghargai semua yang ku miliki. Dia terus berada disampingku dan
mendukungku. Aku kalah dan. . . . ,menyayanginya."
Rafly
menatapku lembut dan memegang pundakku. "Aku sudah menemukannya. Orang
yang benar-benar ingin membagi hidupnya denganku. Orang yang ingin kubagi
hidupku dengannya. Karena itu, ambillah buku itu. Itu kenangan yang ku miliki
tentangmu. Aku ingin kau menyimpannya. Karena aku akan segera membuat buku
kenangan baru dengan Rasti."
Kata itu
terdengar seperti ucapan selamat tinggal bagiku. Aku meraih tangannya yang
dipundakku dan menggenggamnya erat. "Raf. . ., ma-maaf."
"Semua
sudah berlalu. Aku sudah lama memaafkanmu. Meski aku punya beberapa pertanyaan
yang ingin ku tahu. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa salahku?"
"Aku
tahu seharusnya aku mengatakan sesuatu," sahutku cepat meski dengan mata
dan hidung yang berair. "Waktu itu aku juga takut, bingung dan sama sekali
tak mengerti. Kau bukan satu-satunya orang yang terbayang akan peristiwa itu.
Aku juga! Saat perjalanan pulang, aku sempat mual dan muntah hebat. Yang ada
dalam pikiranku hanyalah, ini salah! Apa yang kita lakukan itu salah menurut
kepercayaan dan ajaran yang selama ini diberikan oleh orang tuaku! Mati-matian
aku menyangkal apa yang kurasakan padamu. Mencoba menganggapmu sebagai satu
fase gila dalam kehidupan remajaku. Meski dalam hati aku sadar kalau aku
benar-benar menyayangimu. Karena itu aku pergi!
Kau tak
tahu kehidupan seperti apa yang kujalani di Jakarta. Kuhabiskan semua waktu
yang kumiliki dengan beraktifitas. Karena kalau aku diam, aku akan mengingatmu.
Mengingat betapa aku sayang kamu! Ingat akan apa yang kita rasakan bersama. Aku
belajar dan bekerja seperti orang gila. Aku hanya kembali kerumah saat aku
sudah terlalu lelah untuk berpikir. Agar aku tak bisa mengingatmu. Aku terus
berlari dari bayanganmu Raf. Meski akhirnya, aku tahu kalau aku tak bisa lari
dari diriku yang sebenarnya." Aku mengusap wajahku dengan frustasi.
Rafly
memandangku dengan sorot tanya yang besar.
Aku
tertawa getir. "Aku gay Raf! Aku pergi ke Jakarta untuk lari darimu.
Berharap dengan menjauh, aku bisa mengembalikan pikiran normalku. Tapi disana
aku justru menemukan orang yang begitu mengingatkanku padamu. Kegetirannya pada
hidup dan lingkungan sosial nya benar-benar mirip denganmu," kataku lagi.
"Dan aku jatuh cinta setengah mati padanya. Ironis kan? Semuanya membuat
aku sadar, kalau tindakanku lari darimu, penyangkalan perasaanku padamu dulu
adalah tindakan bodoh dan sia-sia. Karena pada akhirnya, aku tak bisa lari dari
diriku sendiri.
I'm gay!
Aku kembali jatuh cinta pada seorang lelaki. Dan dia juga mencintaiku. Butuh
usaha berat bagiku untuk mendapatkannya. Sama seperti Rasti berusaha
mendapatkanmu, aku juga mati-matian berusaha untuknya. Karena aku tak ingin
kehilangan dia, seperti aku kehilangan kamu. Tapi setelah kami akhirnya
bersama, orang tuaku menjodohkanku dengan seorang gadis yang hampir-hampir tak
kukenal."
"Dimaz.
. . ," desah Rafly penuh simpati.
"Ini
karma kan? Karma karena aku sudah meninggalkanmu. Menyakitimu."
"Dimaz.
."
"Demi
Allah Raf! Aku juga bingung dan takut! Aku nggak mau jadi. . ." Aku sudah
tak bisa lagi meneruskan kalimatku karena aku sudah menangis hebat, dan hanya
mampu menggumamkan kata maaf berkali-kali padanya. Rafly memelukku erat,
mencoba menenangkanku.
Dia tak
tahu, waktu itu aku menangis bukan hanya karena aku menyesal atas apa yang
telah kulakukan padanya, tapi juga karena ironi yang harus ku tanggung. Kenapa
aku tak bisa seperti dia, yang pada akhirnya bisa mencintai dan menikahi
seorang gadis? Aku justru jatuh cinta pada pria lain, sementara aku ditunangkan
dengan seorang gadis yang benar-benar asing.
XXX
Terkadang
keinginan manusia memang terbentur pada takdir yang memang harus kita jalani.
Seberapa kerasnya usaha manusia dalam menggapai sesuatu, jika Tuhan tidak
mengijinkan dia untuk memilikinya, maka manusia itu tak akan mendapatkannya.
Tak perduli seberapa keras usahanya. Tak perduli apa saja yang telah
dikorbankannya. Tak peduli berapa banyak keringat atau bahkan darah yang ia
kucurkan. Takdir adalah keputusan final. Jadi manusia mutlak harus menerimanya.
Dan aku
menerima takdirku! Bukan hal yang mudah. Aku banyak mendapat dukungan dari Rafly.
Dia tak pernah lelah mendampingiku dan selalu ada saat aku membutuhkannya.
Hubungan kami berbeda kalau dibandingkan dengan apa yang kami miliki zaman SMA
dulu. Seperti yang pernah dia katakan padaku, "Aku mencintaimu. Dulu dan
kini. Hanya saja porsi dan bentuk cintaku berbeda dengan dulu."
Aku paham
apa maksud dari kata-kata Rafly. Rasa cinta yang kini ia rasakan padaku, tak
ubahnya seperti cinta kita pada keluarga, yang selalu akan ada saat kita
butuhkan. Dan memang begitulah Rafly. Dia selalu ada kapanpun aku
membutuhkannya. Dia selalu mau meluangkan waktunya untukku. Kapanpun itu. Dan
aku benar-benar bersyukur karenanya.
Sesekali
aku juga menghubungi Jeffry. Sejak pindah kesini, hampir tiap hari aku
menghubunginya. Baik telepon atau hanya sekedar sms. Balasan Jeffry mula-mula
biasa saja. Tapi terkadang sedikit ketus. Lalu menjadi dingin. Kebanyakan dia
hanya menjawab semua telepon dan sms ku seperlunya saja. Aku tak
menyalahkannya. Dia mau membalas semua pesan dan teleponku saja sudah cukup
bagiku.
Kabar yang
mengejutkan datang sekitar 6 bulan setelah perpisahan kami. Saat kutelepon
Jeffry mengatakan kalau dia baru saja keluar dengan temannya bernama TJ. Dan
hampir beberapa hari berikutnya, nama itu kembali ia sebut. Semula kukira itu
hanya akal-akalan Jeffry saja, agar aku tak menguhubunginya. Tapi pernah suatu
malam aku telepon, dan Jeffry mengatakan sedang makan malam bersama TJ. Saat
aku minta untuk berbicara dengan pria itu, Jeffry memberikannya. Suara asing
yang terdengar sedikit membuatku sakit hati. Tapi aku berusaha untuk tetap
tenang dan bergembira untuknya.
Belakangan
kemudian saat Jeffry mengundangku ke Jakarta aku ketahui kalau ternyata TJ
telah memiliki Soni. Pasangan jiwanya. Kemesraan yang mereka miliki benar-benar
membuatku iri dan berharap kalau aku memiliki itu bersama dengan Jeffry.
Tapi
harapan hanyalah harapan.
Pada
akhirnya aku menikah dengan Sarah.
Jeffry, TJ
dan Soni (belakangan aku berteman akrab dengan mereka berdua) juga turut hadir
dalam acara pernikahanku. Mereka bahkan datang beeberapa hari sebelumnya,
bersama dengan Jeffry. Jeffry sendiri terlihat santai dan menikmati suasana.
Dia juga menyapa akrab Rafly yang kukenalkan padanya.
Tapi malam
harinya, sebelum upacara pernikahanku, Jeffry muncul didepan pintu kamarku.
"Sorry
ganggu. Gua tau besok lo bakalan sibuk. Bisa bicara sebentar?" pintanya
dengan senyum tipis. Dan tanpa menunggu jawabanku dia melangkah masuk.
"Ada
masalah Jeff?" tanyaku khawatir dan menutup pintu. Untuk mencegah insiden
yang tidak mengenakkan, aku langsung menguncinya.
Jeffry
yang telah duduk dikasurku kembali tersenyum. "Boleh dibilang begitu.
Sebenarnya aku punya permintaan," katanya.
Giliran
aku yang tersenyum mendengarnya. "Jangan katakan kalau kau punya ide gila
tentang bagaimana kita harus menghabiskan sisa malam ini?" selorohku.
Jeffry
tergelak dan menggeleng. Hal itu justru membuatku sedikit khawatir. Malam ini
dia terlihat santai dan kembali seperti Jeffry yang pernah menjadi milikku.
Bukannya Jeffry yang hampir setahun ini bersikap dingin padaku. Dia bisa
tertawa lepas seperti tadi. Aku tahu aku seharusnya merasa senang. Tapi aku
justru menjadi cemas.
"Ada
masalah apa Jeff?" tanyaku dengan wajah menegang.Jeffry tak menjawab. Dia
hanya melambai dan menepuk kasur disebelahnya, memintaku duduk disana. Aku
menurut saja.
"Besok
kamu akan menikah. Dan aku ingin mengucapkan selamat tinggal!" katanya
enteng.
Sekarang
tubuhku benar-benar menegang.
"Setelah
besok, aku tak akan menemuimu lagi. Aku tak akan membalas telepon atau sms mu
lagi. Aku ingin kita benar-benar berhenti berhubungan."
"Jeff.
. "
Dia telah
mengangkat tangannya. Mencegahku untuk protes. "Kau sudah memilih jalanmu.
Dan aku ingin menjalani kehidupanku tanpa ada bayang-bayang masa laluku
bersamamu. Sarah gadis yang luar biasa Maz. Orang tuamu juga orang-orang yang
luar biasa. Mereka nggak pantas menerima lebih banyak lagi kebohonganmu.
Kebohongan kita. Sudah waktunya kita berhenti, dan kau harus menjalani hidup
barumu, lepas dari bayanganku."
Apa yang
bisa kukatakan? Aku hanya terpekur diam dengan hati sakit dan pandangan yang
kabur. Namun Jeffry tersenyum. Dia meraih tanganku dengan tangan kanannya. Dia
lalu menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kananya yang
bebas terulur dan mengusap aliran basah di pipiku.
"Terimakasih
sudah menjadi bagian dalam ceritaku," bisiknya pelan. "Terimakasih
sudah mengajariku untuk menghormati diri sendiri. Kamu hal terbaik yang pernah
aku miliki. Karena kamu, aku bisa merasakan perasaan sayang yang kukira, tak
akan pernah bisa aku rasakan lagi. Aku nggak akan lupa Maz. Pelajaran yang kau
berikan, akan selalu kuingat. Aku janji nggak akan bandel lagi. Aku janji akan
menghormati diriku sendiri, lebih dari sebelumnya. Dan aku janji, aku akan jadi
orang yang lebih baik. Karena itu. . . . ,ijinkan aku pergi. Ok?"
Aku
berusaha menampilkan senyumku untuknya. Berusaha menyampaikan restuku padanya.
Tapi aku gagal. Aku hanya mampu terisak. Kutarik tanganku dari genggaman
Jeffry. Cepat kuusap airmataku dan bangkit. Aku menarik nafas dalam-dalam
mencoba menenangkan diri. Mencoba mencegah diriku sendiri yang sebenarnya ingin
berteriak keras. Bertanya pada Tuhan, kenapa aku bisa mencintai seseorang
sebesar ini? Dan kenapa harus sesama lelaki?! Tiba-tiba saja kamarku yang besar
terasa sempit dan pengap. Aku butuh udara segar.
"Maz.
. . ," panggil Jeffry lirih membuatku yang sudah hendak menghambur keluar
dari kamar, urung. Perlahan aku kembali memandangnya. Jeffry tersenyum dengan
tatapan memohon. "Please. Bebaskan aku," pintanya.
Tuhanku!
Aku
benar-benar ingin berteriak histeris sekarang.
Saat ini,
barulah aku tahu. Semua tingkah santai dan dinginnya hanyalah akting. Dia sama
terlukanya denganku. Dia sama sakitnya denganku. Dia juga. . . ,mencintaiku.
Dia adalah Jeffry yang selalu berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya.
Jeffry yang selalu menutupi rapuhnya dengan tingkah macho dan berangasan. Tapi
saat ini, didepanku dia melepas semua topengnya. Matanya memancarkan luka yang
selama ini dia sembunyikan. Sorot memelasnya membuat nafasku tersendat dan
mataku semakin perih. Dari pandangannya, aku bisa memahami kalimat-kalimat yang
tidak bisa dia ucapkan secara lisan. Tatapan itu seperti hamburan kata-kata
yang begitu menyesakkan. Dan efeknya jauh lebih terasa dibandingkan bila Jeffry
mengatakannya.
Aku
memahaminya. Aku mengerti apa yang Jeffry ingin sampaikan. Kesedihannya, sakit
hatinya, kebingungan, dan juga kepasrahannya pada takdir kami. Dia mengerti
kalau tak ada lagi cerita yang bisa ditulis dengan tokoh Dimaz dan Jeffry.
Kami. . . . , sudah tak ada lagi. Jeffry tahu itu.
Dengan
matanya, dia seolah-olah ingin memberitahuku, bahwa kali ini, bukan hanya aku
yang menderita. Bukan hanya aku yang menyesalkan fakta yang ada. Dia juga
merasakannya. Karena dia juga. . . . , mencintaiku.
Nafasku
seakan terhenti disana, sementara dadaku luar biasa nyeri, dan hampir-hampir
tak tertahankan. Dan kulihat, selajur airmata menetes dari mata Jeffry yang
masih juga memandangku tanpa berkedip.
Aku tak
tahan melihatnya!
Cepat aku
mendekati Jeffry dan mendekap kepalanya di dadaku. Sakit sekali dadaku
melihatnya seperti itu. Aku tak sanggup lagi. Tuhanku, kenapa harus ada
perasaan cinta seperti yang kami miliki? Kalau ini dosa, kenapa kau biarkan
kami memilikinya? keluhku dalam hati nelangsa.
"Yah.
. . ," bisikku tertahan diantara tangisku. "Aku be-bebaskan kau
dariku," sambungku lirih. Kata-kata itu akhirnya kuucapkan. Kalimat yag
mungkin seharusnya, sudah dari dulu kukatakan padanya.
Tak ada
jawaban dari Jeffry. Tapi tangannya memeluk pinggangku dengan erat.
Dibenamkannya wajahnya dalam-dalam ke pelukanku. Bahunya bergetar keras dan
kurasakan, bagian depan kemeja yang kupakai mulai basah.
Untuk
sesaat, tak ada satupun dari kami yang berbicara. Kami hanya berpelukan sembari
terisak pelan. Mencoba melegakan pernafasan kami. Berharap sakit yang kami
rasakan akan keluar dari tubuh kami bersama dengan air mata yang kami teteskan.
Meski masing-masing dari kami tahu, luka itu masih ada.
Saat aku
bisa menguasai diri, aku melepas pelukanku pada Jeffry. Kuusap pipinya.
Membersihkan semua sisa airmatanya. "Carilah seseorang yang bisa
menyayangimu," kataku pelan.
Jeffry
tersenyum. "Pasti! Akan kucari orang yang bisa menyayangiku, lebih dari
kamu!" sahutnya dengan senyum tipis. Hampir mirip senyuman pasrah
seseorang yang kalah.
Aku
mengangguk. "Harus. Dan aku mau kamu berjanji satu hal. Bila suatu saat
kau membutuhkan seseorang, dan tak ada orang lain yang ada disisimu, kau harus
datang padaku. Kau harus mencariku! Aku akan selalu ada untukmu"
Untuk
sesaat Jeffry tak menjawabnya. Dia hanya diam menatapku.
"Berjanjilah!"
pintaku lagi.
Jeffry
mengangguk. Dan tanpa berkata apa-apa dia bangkit dan melangkah keluar dari
kamarku . Dia tak menolehku lagi.
Saat
tubuhnya lenyap dibalik pintu, aku sontan memejamkan mata. Kembali merasakan
sensasi perih, seakan-akan ada bagian dari diriku yang direnggut dengan paksa.
Sakit!
Aku masih
melihat Jeffry keesokan harinya. Setelah pembacaan kalimat ijab qabul, aku
masih melihatnya yang berdiri tak jauh dariku. Dia mengacungkan jempolnya
padaku. Saat berikutnya, aku dan Sarah menerima ucapan selamat dari beberapa
orang. Aku sibuk dengan menyambut salam dari para tamu. Dan baru kusadari saat
aku menyalami TJ dan Soni, bahwa Jeffry telah pergi.
Itulah
saat terakhir aku melihatnya.
5 tahun
telah berlalu.
Aku memiliki
seorang putri yang berusia 3 tahun kini. Buah dari pernikahanku dengan Sarah.
Kami hidup rukun bersama Abi dan Ummi yang tampak semakin bahagia dan sangat
memanjakan cucunya. Kadang aku sampai harus menegur mereka. Tapi mereka malah
memintaku untuk dibuatkan cucu lagi.
Sarah
tetaplah wanita yang sama. Seorang istri yang benar-benar tahu bagaimana
menghormati dan menghargai suami. Dan aku sudah menerima dia sebagai bagian
dari hidupku. Aku menyayanginya. Meski aku memiliki satu bagian lain yang
kusimpan untuk seorang Jeffry.
Hingga
kini.
Aku tak
pernah mencarinya. Aku bahkan menghindar untuk tahu beritanya. Aku tak pernah
sekalipun membaca berita entertainment ataupun ulasan infotainment yang
menjamur di Tv. Karena aku hanya akan menemui Jeffry, jika dia yang datang
padaku. Karena aku sudah berjanji padanya. Dan aku sudah memilih jalanku.
Luka yang
aku alami bersama dengan Jeffry memang telah sembuh. Tapi bekas luka itu masih
ada. Masih nyata dengan jelas disana, dan akan terus ada sampai tiba waktunya
nanti aku tak akan mampu melihatnya lagi.
Cerita ini
baru aku ungkap pada seseorang beberapa hari yang lalu. Saat itu, aku yang
sudah lama tidak berhubungan dengan dunia gay, tiba-tiba saja tergelitik rasa
ingin tahu, apakah ada orang lain yang memiliki cerita yang sama denganku. Aku
browsing google dengan kata kunci gay taubat. Secara tak sengaja aku menemukan
sebuah Forum komunitas gay. Di forum ini ada berbagai tempat untuk ngobrol dan
salah satunya adalah tempat untuk berbagi cerita. Dan aku iseng membaca sebuah
judul cerita yang ditulis oleh seseorang. Aku tertarik dengan judulnya.
Memoirs! Karena penasaran aku menghubungi email si pemilik cerita itu. And next
thing I know, aku tumpahkan apa yang selama ini aku simpan padanya. Orang asing
yang baru kukenal lewat dunia maya dalam hitungan hari.
Aku hanya
berharap, ada orang lain diluar sana yang bisa belajar sesuatu dari kisahku.
Mungkin banyak dari kalian disana yang mengalami masalah klasik yang pernah
kualami.
Ada banyak
orang lain yang mengalami apa yang kalian rasakan saat ini.
Itu satu
hal yang harus diingat oleh kalian yang membaca kisah ini.
Kalian
tidak sendiri.
===============the
end==================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar