Translate

Rabu, 26 Juni 2013

MEMOIRS II (Dimaz' classic story) part 13-17


XIII

Entah berapa lama aku beristirahat. Aku terbangun saat kudengar ketukan keras dipintu. Butuh beberapa saat bagiku untuk sadar dimana aku berada. Dan ketukan dipintu itu semakin keras dan cepat.
"YAA!!" teriakku sedikit serak agar ketukan yg membuatku agak sakit kepala itu berhenti. Aku bangun dan dg sedikit terseok, melangkah kepintu. Wajah Jeffry yg nyengir lebar muncul didepanku. Aku mendengus keras. "Nggak tertarik!" gerutuku cepat dan menutup pintu. Namun kaki Jeffry menahannya.
"That's rude!" protesnya dan membuka pintu. Dan baru kusadari ada Whitney disebelahnya. "Kamu masih belom makan kan? Cepat ganti baju. Kita makan malam," katanya dan tanpa menunggu ijinku masuk. Aku cuma bisa diam dg kecuekannya. Tak mampu melakukan apapun krn ada Whitney, meski sebenarnya aku ingin berteriak didepannya. Aku masih tahu harus menghormati Whitney.
"Well, what are you waiting for? Cepetan!" tukas Jeffry. Akhirnya aku menurut juga meski dg ogah-ogahan.

Dan seperti dugaanku, makan malamnya berlangsung dg tidak mengenakkan. Selain karena selera makanku yg sedang payah,meski masakan Itali direstoran ini cukup lezat, aku harus menikmati tayangan romans LIVE dari Jeffry dan Whitney didepanku. Aku heran bagaimana mereka bisa menemukan banyak alasan untuk berciuman.
Makan malam ini sangat lezat. Kiss
Terimakasih sudah menyuapiku. Kiss
Kau tampak cantik malam ini. Kiss
Aku sengaja memesan ini untukmu. Kiss
Besok aku harus kerja dan sementara waktu kita tak bisa bersama. Kiss.
AAAAAARRRGGGHHH!!!!!!!!!!!
WHY DON'T YOU JUST TAKE HER TO YOUR ROOM AND FUCK??!!!!! batinku kesel. Heran?! Si Jeffry kok gak risih meski ada aku didepan mukanya? Aku aja jengah luar biasa. Ini lagi, cewek sinting yg kelihatannya kena lem perekat ditubuh Jeffry. Bagaimana bisa dia jadi edan gini dg orang yg baru dikenalnya? Aku tahu ada perbedaan budaya antara kami, tapi kan gak perlu begini banget deh! Bikin empet.
"Kenapa Maz?!" tanya Jeffry heran. Mungkin dia bisa melihat kalau aku tak menikmati makananku. Atau mungkin, aku terlihat kesal?
"Nggak papa!" jawabku singkat dan dg ogah-ogahan kembali mengunyah spaghetti ku.
"Nggak suka masakannya ya? Nggak enak?" tanya Jeffry lg sementara satu tangannya mengusap kepala Whitney.
"Enak kok! Cuma pertunjukan langsungnya yg agak bikin empet!" gerundengku. Whitney jelas terlihat heran dg sikapku sehingga dia bertanya pd Jeffry apa yang ku katakan.
"Oh nothing. He just doesn't feel well. A bit dizzy with the long trip he had this morning," jawab Jeffry dg senyum menyebalkannya.
"Ooooww. . . ! You are such a good friend!" puji Whitney dan kembali mencium Jeffry.
"Oh please! Get a room!" gerutuku pelan dan segera bangkit. "Aku kembali ke kamar and you guys, enjoy the evening," pamitku dan langsung pergi tanpa menoleh lagi. Tapi aku sedikit heran saat kudengar Jeffry pamit sebentar pada Whitney.
"Kamu bener gak enak badan?" tanyanya dan menjejeri langkahku.
"Yup! Dan sudah lebih dari sepuluh menit tadi aku ingin muntah!" jawabku sinis meski senyumku terpampang lebar.
"Tidak bisakah kau sedikit bersenang-senang?" tanya Jeffry dg nada geli.
"Jelaskan maksudmu bersenang-senang?" tanyaku sengit dan melipat kedua tanganku didada. "Apakah aku harus nempel seperti benalu pada seseorang sepanjang makan malam? Ataukah setiap aku selesai mengeluarkan satu kalimat, aku harus mencium teman makanku sesudahnya? Oh rambutmu harum, then I kiss her. God, the weather is fine! Then kiss her. Ya ampun, taplak mejanya bagus, then kiss her! And OH My God, kamu bernafas, THEN I HAVE TO KISS?!!" semprotku kesal. Untung saja kami berada di lorong yg menuju kamar kami, yg waktu itu dalam keadaan sepi.
Yg membuatku heran, Jeffry justru tersenyum. Tampak lebih geli daripada tadi. "Are you jealous?" tanyanya dg senyum khasnya.
Rasa-rasanya ada asap yg keluar dari 2 lubang hidungku mendengar pertanyaan entengnya. "Kembali saja ke makan malam dan pacar sintingmu itu! Cium dia setelah kau bisa mengeluarkan satu kalimat utuh. Go get a room, and FUCK HER for God sake! So the rest of us bisa istirahat dg damai dan tidak menikmati drama romans kalian yg memuakkan. Ok?!" semburku sengit dan meninggalkannya tanpa menoleh lagi.
Begitu sampai dikamar, aku langsung mengganti baju dg seragam tidurku, kaos belel dan celana pendek, menghempaskan diri diranjang sembari memasang ipod dan menyalakannya dg suara yg cukup keras hingga aku teridur lagi.

XIV   

Sesi pemotretan dilakukan di salah satu sudut pantai yg ternyata harus dituju dg berjalan kaki. Sebenarnya, untuk turun kepantai,pihak resort menyediakan fasilitas lift. Tapi sayangnya, lokasi foto kali ini dilakukan didaerah pantai sebelah resort yg untuk mencapainya kami harus menuruni undakan semen yg jumlahnya ratusan.
Aku cukup bangga dg kemampuan fisikku. Tapi saat sampai dibawah, ternyata aku lumayan ngos-ngosan juga. Bahkan sedikit gemetar pada bagian kakiku. Gimana para kru yg kudu bawa peralatan ya?pikirku lagi. Dan herannya, kulihat beberapa dari mereka justru tertawa santai. Apa aku sudah harus merasa tua? pikirku kecut.
Dan Jeffry. . . . ,tampak cuek seperti biasanya. Hari ini dia terlihat casual dg celana pendek dan t-shirt tanpa lengan. Dia memakai kaca mata yg membuatnya terlihat gagah. Meski aku enggan untuk mengakui, tapi kunyuk satu itu memang punya aura yg berbeda dg yg orang lain. Bahkan dari sesama model. Dia memang memiliki pesona seorang bintang. Bersinar, jauh dan berbeda. Hebatnya, bahasa tubuhnya juga jelas dan bisa berubah sesuai dg kehendaknya. Ia bisa terlihat seperti seorang bintang yg profesional dan bersinar seperti sekarang, hangat dan menggoda sebagai seorang kekasih seperti semalam, acuh, cuek dan semaunya sendiri seperti pagelaran busana kemarin, atau juga ramah dan santai seperti saat tadi dia disapa oleh beberapa remaja yg ngaku ngefans dan meminta foto bersamanya waktu sarapan tadi.
Tak kulihat Whitney bersamanya. Tapi aku memilih untuk diam saja. Akan lebih baik kalau aku tak berkomentar apapun. Setidaknya aku bisa sedikit terbebas dari tingkahnya yg menyebalkan. Akan lebih baik kalau aku konsentrasi dg tugasku.
 Dan ternyata pantai Namoss ini benar-benar lokasi yg bagus untuk pemotretan. Aku bisa melihat pasir pantainya yg putih dan bersih dari sampah plastik. Yg ada hanya sampah dedaunan kering yg berasal dari pepohonan yg ada disekitarnya. Air lautnya yg jernih tidak menyembunyikan dasar dangkalnya yg jelas membayang. Beberapa batu karang yg besar tampak menonjol dg teksturnya yg terlihat jelas dan kasar.
"Ayo Maz. Dimake up dulu," panggil Mbak Rasti yg jadi make up artist kali ini. Kulihat Jeffry jg telah ditangani oleh yg lain. Akupun mendekat.
Ruang ganti kali ini ada dibalik batu-batu karang besar itu. Saat aku telah selesai berganti baju dan keluar, kulihat Jeffry telah mulai diambil fotonya. Dan baru saat itulah aku baru paham dg konsep hitam putih yg Mas Arya katakan kemarin. Kulihat make up Jeffry dibuat sedikit agak tajam dg eye liner lumayan tebal dan tatanan rambut yg acak. Bajunya jg mencerminkan anak muda yg rebellious, bebas, liar namun toh tetap menawan dan jantan. Celana jeans hitamnya robek-robek, dg t-shirt yg juga terkoyak sehingga menampakkan sebagian besar tubuh bagian atasnya. Jeffry benar-benar bisa menyatu dg karakter yg ia wakili. Pantas dia menjadi topik hangat didunia entertainment akhir-akhir ini.  Berbeda dgku yg terkesan rapi, kalem dan mewakili citra anak baik-baik.
Mungkin memang itu yg mereka pikirkan saat melihatku, pikirku kecut. Jujur, kadang aku ingin bisa memiliki sisi liar seperti yg Jeffry miliki, meski aku tak yakin aku menginginkan menjadi super liar seperti cowok sinting itu.
"Dimaz! Giliranmu! Jeffry ganti bajunya!" perintah Mas Arya, menyadarkanku dari lamunan singkat ku. Aku segera mendekatinya.
"Gak perlu terpesona seperti itu melihatku," bisik Jeffry pelan saat melewatiku.
"You wish!" balasku jengkel.
Pemotretan berjalan lancar. Kami berganti baju beberapa kali dg konsep yg sama. Jeffry mewakili sisi liar dari anak muda yg pemberontak yg bebas dan sedikit buas. Sementara aku mewakili sosok anak muda yg baik-baik dan polos. Kami juga diambil foto bersama dlm shoot yg lumayan banyak. Aku sempat dibuat salut oleh kemampuan Jeffry yg bisa begitu menyatu dg karakter yg diinginkan oleh Mas Arya, juga dg baju yg dia kenakan. Dia bahkan memberiku sedikit saran bagaimana harus membaur dalam tema kali ini. Tak heran dia mampu, karena setahuku, dia telah merambah ke dunia akting. Dan ku dengar, dia mendapat review yg bagus dari beberapa orang kritikus film. Meski aku tak suka mengakuinya, aku berterimakasih atas kebaikannya berbagi tips.
Mas Arya tadi juga mengambil beberapa foto Jeffry dalam pose topless. Dan sekali lagi, meski aku sangat tidak suka mengakuinya, dia melakukannya dengan baik. Jeffry sempat bertanya kenapa aku juga tidak diambil foto setengah telanjangnya. Mas Arya hanya tertawa untuk menjawabnya, sementara aku pura-pura tak dengar saja. Kalau sampai Ayah melihat fotoku dalam pose seperti Jeffry tadi, mungkin aku tak akan ada lagi didunia ini, pikirku kecut.
Pemotretan selesai saat menjelang sore. Untungnya, cuaca dan laut hari ini sedang bersahabat. Karena kalau saja hari ini laut sedang pasang besar, mungkin kami harus pindah ke lokasi lain. Para kru segera memberesi peralatan. Aku juga telah membersihkan make up ku dan berganti bajuku sendiri.
"Hei Maz!!" Jeffry berteriak memanggilku. Aku yg sudah hendak pergi jadi urung. Aku tak menjawab, tapi membiarkannya mendekat. "Listen, I need a favour!" katanya pelan hingga hanya aku yg mendengar.
Aku mengangkat alis, apalagi saat melihat kamera nicon yg ia pegang. Tapi Jeffry hanya tersenyum, menunggu semua kru naik ke tangga.
"Bisa bantu aku ambil beberapa gambarku? Aku memerlukannya untuk koleksi pribadi," katanya saat semua orang telah menghilang dibalik rimbunnya pepohonan.
"Kenapa gak minta sama Mas Arya tadi?!" tanyaku heran.
"Kan udah bilang tadi. Ko-lek-si Pri-ba-di!" ujar Jeffry lagi sembari menekankan tiap suku katanya. Aku yang merasa sedikit berhutang karena kebaikannya tadi akhirnya hanya mengangkat bahu. Jeffry nyengir senang dan menyerahkan kameranya padaku.
"Tapi jangan salahin aku kalo nanti hasilnya jelek!" kataku pelan sembari mulai mengutak-atik tombol kameranya.
" Jangan khawatir!" kata Jeffry yang melangkah tak jauh dariku.
"Mau diambil fotonya dima. . .," aku tak bisa menuntaskan kalimatku saat kulihat Jeffry telah membuka seluruh pakaiannya dan meletakkannya begitu saja dipantai. Lalu dengan santai dia melenggang dan menceburkan diri ke air. Dasar exhibionist sinting!! rutukku dalam hati dengan wajah yang sontan memanas. Emang dia nggak takut kalo ada orang lain yang mungkin kesini? Coba kalo ada wartawan yang tiba-tiba aja nongol. Bisa habis karirnya kalau mereka melihatnya polos begitu.
Eh, atau mungkin tambah ngetop ya?!
Sambil ngedumel aku mengambil bajunya dan menempatkannya agak jauh dari pantai, mencegah agar nantinya tidak basah.
"Maz. . . , ayo mulai!" seru Jeffry dan kulihat dia berdiri didalam air yang hanya setinggi pinggangnya. Tapi tetap saja, saat air lautnya sedikit menyusut, aku bisa melihat bagian pubik hingga kejantannannya yg bergerak-gerak di air.
Sial!! Ngapain aku tadi mau sih?!! gerundengku dalam hati, jengkel. Bagaimana aku bisa melakukannya kalau mataku justru fokus ke bagian tengah tubuhnya yang menggoda?
"Maz!!" panggil Jeffry lagi.
"Aku ogah ambil foto porno!" balasku keras.
"Lha siapa juga yang mau difoto frontal?! Ambil aja dari bagian sini!" kata Jeffry dan menunjuk kebagian pubiknya keatas. "Kaya foto-foto seksi dimajalah dewasa gitu lho Maz!" ujarnya lagi dan. . .
SIAL!!!
Dia melangkah keluar dari air!
"Okay!!" cegahku agar dia tidak terus keluar dari air dalam keadaan polos begitu. Bisa berabe ntar. "Kamu disitu aja!" kataku dan mempersiapkan kamera.
Aku mengambil beberapa fotonya dalam pose-pose yang aku yakin bakal bikin para fans ceweknya ngiler. Sengaja menyembunyikan bagian vitalnya, namun juga memberinya pandangan sekilas yang pasti membuat mereka berteriak untuk meminta lebih. Dan sekali lagi, dengan tak rela harus kukatakan kalau kunyuk satu itu benar-benar model yang hebat. Ekspresinya tajam dan tepat.
Bahkan aku dibuat salut oleh foto yang tadi kuambil. Saat kulihat hasilnya, aku yakin pasti akan ada kehebohan besar saat gambar-gambar ini beredar.
"Kamu nggak renang?" tanya Jefrry yang tahu-tahu ada disebelahku. Aku berusaha untuk tidak melihatnya karena dia masih dalam keadaan polos. Kupusatkan saja perhatianku pada kamera dan hasil jepretanku.
"Males! Kamu udah selesai kan? Pakai bajumu. Kita naik! Ntar keburu gelap!" kataku tanpa mengalihkan mataku dari screen kamera.
Jeffry tak menjawab, tapi dia menjauh kearah letak bajunya yang aku taruh disebelah batu karang besar.
"Gimana? Bagus?" tanyanya dan mendekat kembali.
"Lumayan! Kayaknya aku punya bakat jadi photographer nih!" tukasku dan menyerahkan kamera itu padanya.
Sejenak dia melihat hasil-hasil jepretanku. "Ini sih object fotonya aja yang bagus. Foto amatiran gini emang bergantung pada object doang!"
"Narsis sinting!!" umpatku pelan dan menyambar kamera itu darinya. "Kamu nggak takut kalau nanti gambarmu ini bocor?" tanyaku dan mulai melangkah menaiki tangga.
"Kan sudah kubilang itu untuk koleksi pribadi!" tukasnya dan mengikutiku.
"Tapi kan bisa aja bocor!" ujarku ngeyel. "Luna ma Ariel aja bisa ketahuan!"
"Ya biarin! Toh gak frontal ini!" sahutnya cuek. "Kamu nggak mau foto juga?" tanyanya.
"Nggak! Dari tadi juga udah foto-fotoan," jawabku ketus.
"Duh!!! Nyolot amat sih?! Emang nggak bisa kamu ngomong dengan baik kalo ama aku ya?" tanya Jeffry heran.
"Lha kamu juga yang gak pernah bersikap bener!" sahutku dan terus melangkah cuek.
"Nggak bener? Kapan juga aku pernah salahin atau ngerebut hakmu?" gerutu Jeffry membuatku berhenti melangkah. Dengan geram aku menatapnya. Tapi cowok sinting itu dengan santai melangkah menaiki undakan, menyusulku yang berada sekitar sepuluh undakan diatasnya.
"Jadi kamu bener-bener gak pernah ngerasa ya?" tanyaku lagi.
"Lho? Ngerasa apa?" tanyanya dengan nada tanpa dosa. Dengan cueknya dia melewatiku yang jelas-jelas melotot padanya.
"Pertemuan pertama, kau menyebutku bodoh!" tukasku dan menjejerinya.
"Sekali lagi kutegaskan, pendapatmu yang kuanggap bodoh! Bukan kamu!"
"Pertemuan kedua, kau sengaja menyembunyikan syal yang harusnya aku pakai di show sehingga aku kelimpungan!"
"Kan aku sudah bilang kalau ijin sudah kudapatkan dari pemilik sah syal itu. Plus, syal itu sudah kembali padamu, tepat sebelum kamu tampil!" sangkalnya santai.
"Tapi. . . ,"
"Dan! Kau menabrakku sesudahnya," potong Jeffry membuatku semakin merasa kesal.
"Pertemuan ketiga, kau nyaris berhubungan sex didepan mataku dengan Whitney!"
"Tepat sekali!" tegas Jeffry dengan senyum sinis. "Aku melakukannya dengan Whitney! Orang asing yang menjadi turis dinegara ini. Bukan temanmu, bukan saudaramu bukan pula pacarmu. Jadi kenapa harus dipermasalahkan? Plus, kau tidak harus menyaksikannya. Kau punya hak penuh untuk pergi meninggalkan kami kan? And you did! So what's the problem?!" tanya Jeffry dengan kedua tangan terangkat sementara senyum mengejeknya kembali tersenyum.
Telingaku berdenging keras karena marah. Seharusnya aku tahu kalau aku tak akan pernah menang jika berdebat dengan kunyuk satu ini. "Fuck You!" desisku geram dan dengan kesal mendorong dadanya!
Dan semestinya aku sadar bahwa kami sedang berada diundakan menuju pantai yg satu sisi adalah bebatuan karang, sementara yg lain adalah lereng karang yang terjal dan curam dengan rimbunnya pepohonan kecil dan tanaman merambat. Aku tak pernah ada maksud untuk melukai Jeffry, tapi waktu itu aku telah melakukannya.
Karena doronganku yang lumayan keras, keseimbangan Jeffry goyah dan dia terpelanting kearah rimbunnya pohon-pohon kecil dan tanaman rambat yg tumbuh dijurang karang. Tubuhnya jatuh bergulingan diiringi oleh teriakan kerasnya yang kaget.
"JEFFRY!!!!!!" seruku panik dan memburunya!

XV

Kulihat Jeffry berpegangan pada sebuah batang pohon yg berukuran lumayan besar. Dan untungnya, ada sebuah karang besar yang menjorok keluar dengan permukaan yang cukup landai tak jauh dibawahnya.
"JEFF!!!" panggilku cemas.
Jeffry melepas pegangannya pada batang pohon itu sehingga tubuhnya merosot pada batu karang yang agak landai itu. Dengan berhati-hati aku segera mendekatinya. Meski kering, tanah disini cukup curam kemiringannya. Kalau sampai aku terpeleset, semua akan jadi bertambah runyam.
"Jeffry!! Kamu nggak apa-apa?" tanyaku cemas dan berjongkok untuk memeriksanya.
"You think?!" erangnya geram. Perlahan dia mendudukkan dirinya. Kulihat bagian belakang bajunya robek dan mengeluarkan darah. Punggungnya terluka. Dan juga kakinya tampak baret-baret. Dia meringis menahan sakit. Pasti perih sekali. Ya Tuhan!! Apa yang telah kulakukan?!
"Kita harus kembali ke undakan," kataku cepat dan membantunya bangkit. Kusampirkan satu lengannya kebahuku. Jeffry mendesis kesakitan saat aku menegakkannya, tapi tidak protes.
"Terimakasih sudah melukaiku. Ini yang kedua setelah kau menabrakku. So what next? Kau akan melemparku keluar pesawat?" tanyanya dengan rahang terkatup menahan sakitnya.
"A-a-aku g-gak. . . "
"Shut up dan kembalikan saja aku pada peradaban normal! Aku masih ingin hidup!" desisnya dingin tanpa menungguku membela diri. Aku tak bisa bereaksi karenanya. Dadaku masih berdebar kencang karena kejadian tadi. Dan syukur pada Tuhan, tebing itu tidak lurus kebawah. Karena kalau sampai Jeffry jatuh pada batu karang disana, bisa dipastikan kalau dia. . . .
Aku bergidik ngeri membayangkannya.
"M-maaf," gumamku pelan dan dengan penyesalan yang dalam.
Tak ada sahutan dari Jeffry dan kami pun melangkah kembali ke undakan semen itu dengan berhati-hati. Jeffry yang terpincang mengikuti papahanku.
Perjalanan keatas kami lalui dalam diam. Kalau tadi pada saat turun aku sudah kepayahan, kini pada waktu naik aku benar-benar harus berusaha mati-matian. Kali ini bebanku ditambah dengan membantu Jeffry, juga sedikit lelah akibat pemotretan tadi. Aku benar-benar nyaris tak mampu untuk melangkah. Tapi aku harus menguatkan diri karena kondisi Jeffry. Dia harus segera mendapatkan perawatan untuk luka-lukanya. Jadi dengan susah payah, kami terus melangkah sambil sesekali berhenti untuk mengambil nafas .
Setelah beberapa lama aku sudah merasa akan pingsan. Ulu hatiku terasa nyeri. Aku mencoba mengacuhkannya karena tahu kalau kami harus segera sampai. Apa lagi saat kulihat Jeffry yang kupapah. Wajahnya mulai memucat sehingga aku semakin merasa cemas. Kugigit bibirku untuk menahan diri meski aku juga merasa kepayahan dan hampir pingsan. Kami harus segera sampai diatas, batinku dan kembali melangkah. Rasa-rasanya mustahil kalau kami bisa sampai kesana. Tadi siang, perjalanan kebawah sepertinya hanya memerlukan waktu beberapa menit, maksimal mungkin setengah jam jika ditempuh dengan santai. Tapi sekarang saat naik, terasa sudah berjam-jam kami melakukannya. Udara yang semakin terasa dingin dan suasana yang semakin gelap membuatku bergidik ketakutan. Apa jadinya kalau kami justru terjebak ditempat ini? Aku menyesal kenapa tadi aku tak membawa ponselku?! Tapi. . . . memangnya disini ada sinyal ya?
Saat aku sudah hampir menyerah, kudengar panggilan beberapa orang diatas kami. Kulihat Mas Arya dan yang lain segera turun menyosongsong kami dengan tergesa. Belum pernah aku merasa selega ini melihat orang lain.
"Apa yang terjadi Jeff?" tanya Mas Arya yang memeriksa Jeffry dengan matanya. Jelas dia tahu kalau kami bukannya berpelukan dalam konteks romantis.
"Tadi aku tergelincir Ya!" kata Jeffry sebelum aku bisa menjawabnya. Dia segera melepas pegangannya padaku dan ganti menyampirkan lengannya pada Mas Arya. Anehnya, meski aku sudah kepayahan, aku ingin tangan Jeffry tetap dibahuku. Aku tetap ingin menjadi orang yang membawanya keatas. Ada perasaan tak enak yang kurasakan saat melihat dia dipapah oleh Mas Arya. Aku merasa bahwa akulah yang seharusnya melakukan itu. Aku yang menyebabkannya terluka.
Penyesalan didadaku semakin terasa besar dan memberat.
Yang lain cepat-cepat memanggil dokter. Dan Jeffry pun ditangani segera setelah dokter itu datang. Dokter itu juga memeriksaku. Tentu saja, komentarnya hanya terdiri dari dua kata. Kelelahan dan kaget. Jadi aku hanya butuh istirahat dan minum multivitamin yang dia berikan. Meski tubuhku terasa sakit semua dan harus beristirahat, sebenarnya aku ingin melihat keadaan Jeffry. Tapi tentu saja Mas Arya dan yang lain memaksaku untuk istirahat saja karena besok pagi kami akan kembali ke Jakarta, sehingga aku tak punya pilihan lain. Aku mencoba memejamkan mata. Kupikir akan sulit, karena kekhawatiranku akan keadaan Jeffry tak juga hilang, meski tadi dokter sudah meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja. Tapi nyatanya, karena kelelahan dan pengaruh obat, aku terlelap dalam hitungan menit.

Pagi harinya aku terbangun dengan kaki yang masih terasa nyeri, meski tubuhku sudah agak mendingan. Setidaknya kelelahan kemarin sedikit terbayar oleh tidur awal semalam. Hingga kemudian aku teringat pada Jeffry. Aku sontan bangun. Dengan cepat aku mandi dan mengepak barang-barangku. Selesai, aku langsung menuju kamar Jeffry.
Pintunya terbuka. Aku melongokkan kepalaku dan melihatnya sedang mengemasi barang-barangnya. Jalannya masih agak terpincang, tapi selebihnya dia terlihat baik-baik saja. Dia memakai celana panjang sehingga aku tak bisa melihat bagaimana luka disana. Tapi pada tangannya, aku bisa melihat beberapa perban yang direkatkan.
Saat melihatku, dia menghentikan apa yang dilakukannya tapi tak mengatakan apapun. Kami saling menatap sejenak dalam diam.
"Apa?" tanya Jeffry akhirnya, memecah keheningan. "Punya cara lain untuk membunuhku yang akan kau coba?" tanyanya datar.
"Aku nggak pernah punya niat untuk membunuhmu!" tukasku cepat. "Apa istilah itu tidak berlebihan?" gerutuku lagi. Pilihan kata-katanya membuatku terdengar seperti seorang psikopat sadis.
"Menabrakku dengan mobil, lalu mendorongku dari tebing. Hhmmm. . . . ,"  Jeffry berlagak berpikir keras, "Kalau itu perwujudan rasa cintamu padaku, mungkin kau harus berfikir ulang akan apa makna cinta sebenarnya Maz!" simpulnya singkat. Tentu saja aku tak terima.
"Aku nggak. ."
"Cemburu itu wajar! Tapi kan tidak harus dilampiaskan dengan cara yang sadis dan mengerikan bukan? Kita bisa membicarakannya dengan baik-baik," cerocos Jeffry memotong kalimatku.
Aku ternganga tanpa kata saking kagetnya. Ngoceh soal apa sih dia?! Apa kemarin kepalanya terbentur ke batu sehingga dia gegar otak gini? Atau mungkin sudah sinting beneran?
"Aku gak nyangka lho, dibalik wajah kalem dan alimmu itu, ternyata kau orang yang cukup menakutkan," lanjutnya lagi seolah-olah dia sedang memberitahuku kalau satu tambah satu itu ada dua. Seakan-akan dia cuma sedang membicarakan hal umum yang anak SD saja bisa mengerti. Bukannya menjelaskan tentang kesimpulannya yang jelas-jelas absurd dan sepihak itu.
"Kau sinting!" gumamku tak percaya.
"Hei! Aku bukan orang yang berusaha membunuh orang yang kusukai dengan mendorongnya dari tebing karena cemburu," kata Jeffry sembari kembali membereskan barangnya.
"AKU NGGAK SU. . . .," aku langsung sadar kalau aku hampir saja berteriak kesal. "Aku nggak suka denganmu," desisku dengan rahang terkatup geram. Mungkin aku tak harus menyesal dengan kejadian kemarin, pikirku lagi jengkel.
Jeffry telah selesai mengepak barangnya dan kini berjalan terpincang mendekatiku sambil menyeret kopernya. Lalu berhenti persis didepanku. "Menurutku kau suka padaku. Kau cemburu karena aku bercumbu dengan Whitney didepan mukamu. Kau suka sekali padaku, tapi kau takut untuk mengakuinya. Karena aku tahu bagaimana matamu memperhatikanku. Terlebih lagi saat aku telanjang. Kau menyukainya sampai-sampai kau tak tahan untuk menyentuhku. Dan kau marah saat ini karena aku telah mengatakan tentang sebuah fakta yang kau sendiri, tak mau mengakuinya. And you know what. . . ?" dia mendekatkan bibirnya ketelingaku sementara aku tanpa sadar menahan nafas. "Tadinya aku juga menyukaimu," bisiknya dan tanpa kuduga dia mengulum bagian bawah telingaku dengan bibirnya yang lembut, membuatku sontan menarik wajahku yang telah memerah darinya. Mataku terbelalak tak percaya.
Jeffry tersenyum sinis dan kembali berdiri tegak. "Tapi sayang sekali, aku tak tertarik untuk berhubungan dengan orang yang sakit jiwa," lanjutnya tenang lalu dia mengambil kameranya yang dari tadi kupegang karena kemarin belum sempat kukembalikan padanya. "Dan ini milikku! Good bye Dimaz!" katanya singkat lalu pergi meninggalkanku yang terpaku disana. Terlalu bingung untuk bereaksi.
Butuh beberapa waktu bagiku sampai akhirnya aku bisa kembali bernafas normal dan memahami apa yang dia katakan tadi. Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.
"Tidak! Aku tidak menyukainya!" gumamku berulang-ulang. Tapi bahkan aku sendiri mulai ragu akan kebenaran kata-kataku itu. Penyangkalanku terdengar lemah dan sangat tidak meyakinkan. Bahkan bagi diriku sendiri.
"Tidak. . . . ," gumamku lagi.


XVI

Hampir dua minggu setelahnya, aku tak pernah mendengar satu katapun dari Jeffry. Tidak pernah satu kalipun aku bertemu muka dengannya. Terakhir kali aku melihatnya adalah saat kulihat wawancaranya di tv. Sepertinya beberapa infotainment telah mendapat kisikan tentang dia mendapatkan kecelakaan pada saat pemotretan di Bali. Dan mereka mencegat kami dibandara.
Aku telah melihat kerumunun wartawan itu dari jauh dan segera menyelinap sehingga tak seorangpun tahu. Tapi Jeffry dapat mereka wawancarai. Dan dua hari kemudian, tanpa sengaja aku melihatnya di tv. Jeffry mengaku kalau dia tergelincir saat perjalanan balik ke hotel. Salah seorang reporter bertanya apakah hal itu benar dan tak ada sebab yang lain. Waktu itu Jeffry tertawa dan berkata, "Habis kenapa? Apa saya harus mengatakan bahwa ada seseorang yang naksir saya dan karena cemburu dia mencoba untuk membunuh saya? Apa itu mungkin? Kalau itu benar, maka saya cuma mengatakan ini. Siapapun anda yang diluar sana dan memang menyukai saya, lebih baik anda jujur saja. Katakan yang sebenarnya pada saya. Kalau anda menarik dan bukan seorang psikopat gila, mungkin kita bisa melakukan sesuatu bersama," katanya lalu memberikan kerlingan menggoda.
Para reporter itu hanya tertawa karena mereka menganggapnya bercanda. Tapi aku tahu apa maksudnya. Waktu itu aku hanya mengerang keras dan langsung mematikan tv. "AKU NGGAK SUKA KAMU!!!!" teriakku kesal.
Dua minggu berikutnya benar-benar membuatku tak tenang. Aku tercabik antara marah dan keinginan untuk mempertahankan harga diriku. Aku ingin melabraknya. Berteriak dimukanya. Mengatakan dengan keras dan jelas bahwa yang dia pikirkan itu konyol, bodoh, absurd dan luar biasa gila. Well, sure he's hot and all that! Tapi itu bukannya berarti aku menyukainya kan? Hanya orang buta dan memiliki kelainan sex yang mengatakan bahwa Jeffry bukan orang yang tampan dan seksi. Sebagai orang normal, akupun mengakuinya.
Siapa yang tidak menyukai wajahnya yang terkesan jantan dan sedikit liar, acuh namun toh menawan itu? Siapa yang tidak iri dengan bentuk tubuhnya yang nyaris sempurna? Abdomennya yang ramping dan berlekuk, dadanya yg bidang dan penuh. Lengannya yg kekar dan kuat. Juga kejantanannya yang melebihi ukuran normal dan pasti membuat para wanita terkesan dan para pria iri hanya dengan melihatnya. So yeah! Aku mengakui semua hal itu. He's one damn hot guy! So what?!
Sial!! Dia benar-benar telah mengacaukan hariku.
Aku tahu aku seharusnya merasa menyesal telah membuatnya terluka. Meski tanpa sengaja. Tapi evaluasi dan kesimpulan ngawurnya itu benar-benar membuatku kalang kabut. Jadilah selama dua minggu ini hari-hariku seperti orang yang kena bisul dipantatnya. Tak tenang dan selalu gelisah.
Padahal seharusnya aku konsentrasi pada pekerjaanku. Akhir minggu ini akan ada fashion show busana muslim untuk kegiatan amal. Dan aku telah setuju untuk menjadi salah satu modelnya. Aku harus segera menyingkirkan kunyuk sinting itu dari otakku!

Malam ini aku memperagakan sebuah baju karya salah satu designer wanita Indonesia AV(samaran). Sebuah baju muslim dengan corak batik dalam warna hitam putih. Lengkap dengan kopyah dan sorban panjang ala Timur Tengah yang kusampirkan dibahuku seperti selendang. Acara yang semula kukira hanya acara biasa ini ternyata menjadi luar biasa heboh. Semua itu karena kedatangan kunyuk Jeffry dan beberapa orang teman selebritinya. Mereka adalah tamu-tamu tak terduga yang tiba-tiba saja hadir pada detik-detik terakhir.
Sebenarnya kedatangan mereka sangat membantu. Karena dengan adanya mereka, acara ini makin terekspose dan minat para penyumbang makin meningkat. Semua hasil penjualan dari baju yang terjual malam ini sepenuhnya disumbangkan pada masyarakat yang membutuhkan.
Tapi aku jadi kasihan pada panitia yang langsung heboh menyiapkan tempat bagi para tamu tak terduga itu.
Dasar narsis sinting! Dia memang seneng bikin orang repot!
Yang tak terduga, baju yang ku peragakan terjual dengan harga yang fantastis. Akan membuatku bangga dan senang kalau saja pembelinya bukanlah si sinting Jeffry. Sepanjang malam itu, aku harus susah payah tetap ramah saat berada disampingnya. Jeffry sendiri tampak menikmati karena kulihat dia tak henti-hentinya tersenyum saat panitia membawaku ke mejanya. Seolah-olah aku juga termasuk dalam paket yang ia beli.
Sial!!
Begitu acara selesai aku langsung mencari sosoknya. Tapi ternyata Jeffry telah pulang, bahkan sebelum acara berakhir. Aku segera pamit pada teman-temanku, meminta maaf pada mereka untuk tidak ikut andil dalam perayaan suksesnya acara malam ini.
Kulajukan mobilku menuju rumah Jeffry!
Aku tak tahan untuk mengkonfrontasi kunyuk satu itu.

Jeffry tampak sedikit kaget saat dia membuka pintunya dan melihatku yang berdiri dengan wajah marah.
"Apa? Kali ini apa yang mau kau lakukan padaku?" tanyanya curiga.
Aku menggeram marah dan mendorongnya untuk masuk. Aku tak ingin kalau sampai aku membuat keributan diluar. Akan lebih bijaksana kalau aku menegurnya didalam. "Apa maksud semua ini?" tanyaku kesal.
"Maksudnya?" tanya Jeffry tak mengerti.
"Kau sengaja kan datang mendadak malam ini? Kau sengaja membeli baju yang kupakai kan?" tanyaku dengan nafas yang mulai memburu.
Jeffry bersiul keras dan menutup pintunya. "Kau mempunyai cadangan PD yang cukup mengagumkan. Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanyanya santai dan mendekat.
"Fakta bahwa tak pernah sekalipun kau ikut dalam acara semalam?" tukasku.
"Aku tak pernah tahu ada acara semacam itu sebelumnya," jawabnya dan mengangkat bahu.
"Lalu kenapa baju yang kupakai?" tuntutku lagi. "Masih banyak baju lain yang kurasa lebih cocok untukmu."
"Cocok menurut siapa? Menurutmu? Kenapa aku harus mengikuti seleramu? Aku suka karya-karya AV. Jadi kenapa aku tak boleh membelinya?" tanyanya balik dengan gaya menantang. Dia mendekat sampai berdiri persis didepanku. Menatapku langsung dimata dengan percaya diri yang kuat.
Aku menggeram marah. Seharusnya aku tanam di otakku dalam - dalam bahwa aku tak akan menang kalau harus adu mulut dengan iblis edan yang satu ini. Aku lebih sering melupakan fakta itu. Sial!! "Fine! Lakukan apapun yang kau suka. Just leave me alone! Tapi ada satu hal yang aku tegaskan padamu. AKU TAK SUKA PADAMU! Dan TAK AKAN PERNAH SUKA padamu! Jadi yang kau katakan dulu itu salah. Aku tak pernah merasa cemburu pada Whi. . .!"
Aku terpekik keras saat dengan tiba-tiba Jeffry meraih bahuku dan membantingku ke sova besarnya. Dan sebelum aku sadar apa yang terjadi, dia menjatuhkan tubuhnya menindihku. Detik berikutnya dia sudah mengulum bibir atasku dengan bibirnya. Sebelum sempat aku bereaksi lidahnya telah menyusuri garis bibirku sementara kedua tangannya merobek bajuku dan dengan ahli mengusap tubuh bagian depanku. Lalu kurasakan dia mengusapkan bagian depan pinggangnya yang telah mengeras padaku.
Tanpa sadar aku mengeluarkan suara terkesiap yang cukup keras! Otakku sontan mengalami lumpuh sementara, sedangkan tubuhku jadi lemas seakan-akan lumer menjadi satu kubangan limbah yang mengenaskan.
Edan!!
Bagaimana dia melakukannya?!
"Kau yakin?!" tanya Jeffry dengan senyum mengejeknya yang kembali terkembang. Senyum itu yang akhirnya memunculkan sedikit kesadaran yang kumiliki. Dengan sekuat tenaga kudorong dia untuk bangkit dari atasku. Cepat aku bangun dan mengusap bibirku yang tadi diciumnya. Sementara kemejaku kulihat telah koyak parah.
"Kau gila!!" desisku gemetar.
"Masih menyangkal kalau kau tertarik padaku?" tanyanya dengan nada malas. "Lihat dirimu!" tukasnya dan menunjukku. Aku melihat kearah yang ia maksud dan aku benar-benar tak percaya. Tubuhku seolah-olah sepakat dengan Jeffry dan mengkhianatiku. Bagian depan celanaku tampak menggelembung. Kembali aku terkesiap.
Pikiranku menyangkal habis-habisan apa yang ditunjukkan oleh tubuhku. Tidak! Tidak lagi! Aku tidak tertarik pada Jeffry. Aku tidak menginginkannya seperti itu. Tidak boleh! Karena cukup Rafly saja! Aku tak mau apa yg pernah terjadi antara kami dulu terulang! Aku sudah pergi dari hal itu. Aku sudah menjauh dari hal itu! AKU SUDAH TAK MENGINGINKAN HAL ITU!!!! Aku menggeleng kuat-kuat.
"Percuma kau menyangkalnya! Kita berdua tahu apa yang kau inginkan! Apa yang tubuhmu inginkan!!"
"Aku sudah pergi meninggalkan hal ini selama bertahun-tahun!" gumamku pelan gemetar. "Aku tak pernah menginginkan hal ini lagi! Aku sudah tak merasakannya lagi."
"Apa?!"
"AKU SUDAH MELUPAKANMU RAFLY!!" teriakku keras, namun detik berikutnya aku sudah menutup mulutku sendiri dengan tanganku. Sudah lama sekali aku tak pernah menyebut nama itu. Sudah lama sekali aku mencoba tak mengingat nama itu. Sudah kututup duniaku yang berhubungan dengan nama itu. Kukubur jauh dan kukira tak akan kusebut lagi.
Tiba-tiba saja aku merasa sesak. Tubuhku jadi dingin mendadak! Aku butuh udara segar. Aku harus keluar dari sini! Menjauh dari tempat dan orang ini!! pikirku dan melangkah cepat kepintu. Tapi Jeffry lebih cepat dariku. Dengan satu gerakan gesit, dia berhasil meraih tanganku, menyentakkannya dengan kuat lalu mendorongku hingga punggungku menabrak dinding.
"L-lepaskan a-aku!!" desisku mencoba berontak namun Jeffry dengan kuat menahanku.
"Siapa Rafly?!!" tanyanya dengan nada dingin.
"Bu-bukan urusanmu! L-lepas!!" pintaku lagi, kali ini terdengar lebih lemah.
"Jangan katakan kalau dia adalah yang pertama!" desisnya lagi. Dia menatapku tajam, tapi aku langsung membuang muka menghindarinya dan kembali berontak. Tapi Jeffry dengan kasar kembali mendorongku ke dinding. "Dan kau pasti lari darinya kan? Sekarang kau dengar aku! Kau bisa lari dan bersembunyi kemana saja kau mau! Tapi kau tak akan pernah bisa lepas dari ini. Kau akan tetap menginginkannya. Kau tahu kenapa? Karena hal itu sudah ada dalam dirimu. Dan kau tak akan bisa lari dari dirimu sendiri. Pikirkan itu. Dan saat kau bisa mengerti, kau bisa mencariku!" katanya tajam. Dan perlahan dia melepaskan himpitannya padaku. "Pergi! Lari kemana saja kau mau! Dan pikirkan tadi yang kukatakan!!"
Aku gemetar hebat! Dengan perlahan aku menutup kembali kemejaku yang terkoyak dan menahannya dengan tanganku. Dan berlari keluar!

XVII

Aku memang tak akan pernah bisa lari dari diriku sendiri!
Sejauh apapun aku pergi, perasaan itu akan selalu ada disana. Tertidur dan akan bangun suatu saat nanti, ketika ada orang yang bisa menyentuhnya. 3 tahun aku lari dari apa yang dulu aku rasakan pada Rafly. Lari dari kenyataan yang kukira bisa kuacuhkan dan kuingkari. Lari dari Rafly! Dan kukira aku telah berhasil!
Selama 3 tahun aku telah mengira kalau aku telah berhasil mengubur hal itu dalam-dalam. Menganggapnya sebagai kesalahan konyol dan kebodohan dimasa remajaku. Karena selama ini, tak pernah ada seorang cowokpun yang bisa membuatku menginginkannya seperti aku menginginkan Rafly. Tak ada satupun orang yang membuatku merasakan apa yang dulu kurasakan pada Rafly. Meski aku berada dalam dunia model yang memiliki akses langsung dalam dunia itu. Meski aku dikelilingi oleh banyak sekali  wajah-wajah dengan tubuh sempurna yang hidup dalam dunia itu. Aku tak menginginkannya.
Hingga kini!
Hingga Jeffry muncul didepanku!
Kejadian dirumah Jeffry tempo hari benar-benar mengguncangku. Dan aku tak pernah bisa melepaskan apa yang dia lakukan dan katakan waktu itu dari otakku. Tubuhku bisa mengingat dengan jelas sensasi hebat yang kurasakan saat dia mencium dan menggesekkan tubuhnya padaku. Nyaris aku bisa merasakan tangannya yang bergerak perlahan pada tubuh bagian depanku. Dan hampir setiap saat aku bisa mendengar desisan kata-katanya ditelingaku.
"Kau tak akan bisa lari dari dirimu sendiri!"
Aku marah, mengutuk dan menyumpahinya berulang kali! Memaki dan menyebutnya dengan nama-nama mengerikan yang bisa kupikirkan. Tapi itu tak bisa menenangkan hatiku.
Aku bersujud, bersimpuh pada Tuhan. Berdoa agar Dia bisa menguatkan aku. Meminta perlindungan dari iblis yang bernama Jeffry.
Tapi dia masih membayang dimata dan pikiranku.
Hingga hampir satu bulan setelahnya, aku merasa lelah! Lelah untuk berpikir. Dan lelah untuk menyangkalnya. Aku menyukainya! Aku menginginkannya! Aku mau Jeffry!
Akal sehatku berteriak agar aku sadar dan lari darinya! Tapi kemudian ia kembali bertanya. Sampai kapan? Sampai kapan aku bisa lari dari diriku sendiri? Lari dari kenyataan bahwa aku menginginkan seorang. . . laki-laki! Bahwa aku menginginkan Jeffry! Sudah 3 tahun aku lari dari Rafly dan perasaan itu, dan lihat apa yang terjadi kini.
Dan aku lelah!
Lelah dengan semua kebimbangan, ketakutan, pertanyaan dan semua penyangkalan yang selama ini terus berputar dan tak pernah meninggalkanku! Aku ingin ketenangan! Aku ingin damai. Berdamai dengan perasaanku. Berdamai dengan kenyataanku! Dan itu pula yang membawaku ketempat ini!
Didepan rumah Jeffry pada jam 2 dini hari!
Bel kupencet tiga kali hingga akhirnya pintu didepanku terbuka. Jeffry jelas kaget. Matanya masih terlihat mengantuk. Rambutnya sedikit acak-acakan. Dan dia hanya memakai celana boxer sehingga mataku bisa bebas menelusuri tubuh ramping sempurna dan berotot yang dimilikinya. Ya Tuhan! Aku benar-benar menginginkannya!
Aku melangkah masuk tanpa mengucapkan apa-apa. Jeffry yang kemudian menutup pintu dibelakangku tampak luar biasa heran.
"Dimaz?! Ada ap. . ."
Kalimatnya terputus saat tangan kananku terangkat menyentuh sisi wajahnya. Kuusap pipi kirinya lembut. Menelusuri garis rahang dan pola cambangnya yang mulai tumbuh dan sedikit kasar karena belum bercukur. Hingga kemudian jariku menemukan bibirnya. Jariku menelusuri bentuk bibir itu perlahan. Turun kedagu lalu kebawah! Kali ini dua tanganku membelai lembut dadanya yang penuh. Dan kedua tanganku melakukan gerakan memutar pelan pada dua lingkaran kecoklatan didadanya yang ujung-ujungnya mulai mengeras dibawah tanganku. Kemudian turun dan membelai perutnya. Sampai disana aku berhenti.
Nafasku mulai memburu dan pendek. Dadaku berdebar keras dan kencang hingga terasa sakit. Tapi aku membiarkannya. Membiarkan instingku yang paling primitif, yang selama ini kuacuhkan, untuk mengambil alih tubuh dan pikiranku. 
"Tunjukkan padaku," bisikku pelan dan mengangkat wajahku, menatapnya pasrah. Yeah! Aku menyerah!
Jeffry mendorong dadaku hingga punggungku menabrak dinding. Dia meraih leherku dan menciumku lembut sehingga aku langsung leleh karenanya. Kembali tangannya dengan kuat merobek kemejaku, juga lapisan dalamnya. Dan sesaat kemudian kurasakan tangannya didadaku. Membelai, mengusap dan terkadang sedikit meremas. Dia sedikit berlama-lama disana, memainkan dua tonjolan kecil dadaku yang membuatku sedikit tercekat, hingga kemudian dia melepas ciumannya.
Aku berdiri disana termangu dengan nafas yang kian memburu, sementara Jeffry menatapku dengan intens. Aku tak bisa melawan tatapannya, jadi aku menunduk. Deti berikutnya kurasakan Jeffry meraih pinggangku dan mengangkatku. Dia menahan tubuhku kedinding lalu melingkarkan kedua kakiku dipinggangnya, sementara bibirnya mengulum salah satu ujung dadaku. Mengulum, menghisap dan menggigit ujungnya yang terasa sensitif.
Aku mengerang keras dan benar-benar menyerah dalam bimbingannya.

(GYAAAAAAHAHAHAHA!!!!! CUKUUUPPPP!!!!! GW GAK SANGGUUUUUUUPPPP!!! WKWKWKWKKKKK. . . .
Duh! Maaf banget guys! Selanjutnya kalian bayangin sendiri aja ya? Gw gak bisa kalo kudu nulis adegan selanjutnya hohoho. . .! Risih bin aneh! So sorry! Gw gak punya referensi soal beginian. Jadi merinding nih nulisnya. Sumpah! Gak bisa! Jadi kalian bayangin aja deh sesuai selera!! hehehe. . .)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar