XIII
Entah
berapa lama aku beristirahat. Aku terbangun saat kudengar ketukan keras
dipintu. Butuh beberapa saat bagiku untuk sadar dimana aku berada. Dan ketukan
dipintu itu semakin keras dan cepat.
"YAA!!"
teriakku sedikit serak agar ketukan yg membuatku agak sakit kepala itu
berhenti. Aku bangun dan dg sedikit terseok, melangkah kepintu. Wajah Jeffry yg
nyengir lebar muncul didepanku. Aku mendengus keras. "Nggak
tertarik!" gerutuku cepat dan menutup pintu. Namun kaki Jeffry menahannya.
"That's
rude!" protesnya dan membuka pintu. Dan baru kusadari ada Whitney
disebelahnya. "Kamu masih belom makan kan? Cepat ganti baju. Kita makan
malam," katanya dan tanpa menunggu ijinku masuk. Aku cuma bisa diam dg
kecuekannya. Tak mampu melakukan apapun krn ada Whitney, meski sebenarnya aku
ingin berteriak didepannya. Aku masih tahu harus menghormati Whitney.
"Well,
what are you waiting for? Cepetan!" tukas Jeffry. Akhirnya aku menurut
juga meski dg ogah-ogahan.
Dan
seperti dugaanku, makan malamnya berlangsung dg tidak mengenakkan. Selain
karena selera makanku yg sedang payah,meski masakan Itali direstoran ini cukup
lezat, aku harus menikmati tayangan romans LIVE dari Jeffry dan Whitney
didepanku. Aku heran bagaimana mereka bisa menemukan banyak alasan untuk
berciuman.
Makan
malam ini sangat lezat. Kiss
Terimakasih
sudah menyuapiku. Kiss
Kau tampak
cantik malam ini. Kiss
Aku
sengaja memesan ini untukmu. Kiss
Besok aku
harus kerja dan sementara waktu kita tak bisa bersama. Kiss.
AAAAAARRRGGGHHH!!!!!!!!!!!
WHY DON'T
YOU JUST TAKE HER TO YOUR ROOM AND FUCK??!!!!! batinku kesel. Heran?! Si Jeffry
kok gak risih meski ada aku didepan mukanya? Aku aja jengah luar biasa. Ini
lagi, cewek sinting yg kelihatannya kena lem perekat ditubuh Jeffry. Bagaimana
bisa dia jadi edan gini dg orang yg baru dikenalnya? Aku tahu ada perbedaan
budaya antara kami, tapi kan gak perlu begini banget deh! Bikin empet.
"Kenapa
Maz?!" tanya Jeffry heran. Mungkin dia bisa melihat kalau aku tak
menikmati makananku. Atau mungkin, aku terlihat kesal?
"Nggak
papa!" jawabku singkat dan dg ogah-ogahan kembali mengunyah spaghetti ku.
"Nggak
suka masakannya ya? Nggak enak?" tanya Jeffry lg sementara satu tangannya
mengusap kepala Whitney.
"Enak
kok! Cuma pertunjukan langsungnya yg agak bikin empet!" gerundengku.
Whitney jelas terlihat heran dg sikapku sehingga dia bertanya pd Jeffry apa
yang ku katakan.
"Oh
nothing. He just doesn't feel well. A bit dizzy with the long trip he had this
morning," jawab Jeffry dg senyum menyebalkannya.
"Ooooww.
. . ! You are such a good friend!" puji Whitney dan kembali mencium Jeffry.
"Oh
please! Get a room!" gerutuku pelan dan segera bangkit. "Aku kembali
ke kamar and you guys, enjoy the evening," pamitku dan langsung pergi
tanpa menoleh lagi. Tapi aku sedikit heran saat kudengar Jeffry pamit sebentar
pada Whitney.
"Kamu
bener gak enak badan?" tanyanya dan menjejeri langkahku.
"Yup!
Dan sudah lebih dari sepuluh menit tadi aku ingin muntah!" jawabku sinis
meski senyumku terpampang lebar.
"Tidak
bisakah kau sedikit bersenang-senang?" tanya Jeffry dg nada geli.
"Jelaskan
maksudmu bersenang-senang?" tanyaku sengit dan melipat kedua tanganku
didada. "Apakah aku harus nempel seperti benalu pada seseorang sepanjang
makan malam? Ataukah setiap aku selesai mengeluarkan satu kalimat, aku harus
mencium teman makanku sesudahnya? Oh rambutmu harum, then I kiss her. God, the
weather is fine! Then kiss her. Ya ampun, taplak mejanya bagus, then kiss her!
And OH My God, kamu bernafas, THEN I HAVE TO KISS?!!" semprotku kesal.
Untung saja kami berada di lorong yg menuju kamar kami, yg waktu itu dalam keadaan
sepi.
Yg
membuatku heran, Jeffry justru tersenyum. Tampak lebih geli daripada tadi.
"Are you jealous?" tanyanya dg senyum khasnya.
Rasa-rasanya
ada asap yg keluar dari 2 lubang hidungku mendengar pertanyaan entengnya.
"Kembali saja ke makan malam dan pacar sintingmu itu! Cium dia setelah kau
bisa mengeluarkan satu kalimat utuh. Go get a room, and FUCK HER for God sake!
So the rest of us bisa istirahat dg damai dan tidak menikmati drama romans
kalian yg memuakkan. Ok?!" semburku sengit dan meninggalkannya tanpa
menoleh lagi.
Begitu
sampai dikamar, aku langsung mengganti baju dg seragam tidurku, kaos belel dan
celana pendek, menghempaskan diri diranjang sembari memasang ipod dan
menyalakannya dg suara yg cukup keras hingga aku teridur lagi.
XIV
Sesi
pemotretan dilakukan di salah satu sudut pantai yg ternyata harus dituju dg
berjalan kaki. Sebenarnya, untuk turun kepantai,pihak resort menyediakan
fasilitas lift. Tapi sayangnya, lokasi foto kali ini dilakukan didaerah pantai
sebelah resort yg untuk mencapainya kami harus menuruni undakan semen yg
jumlahnya ratusan.
Aku cukup
bangga dg kemampuan fisikku. Tapi saat sampai dibawah, ternyata aku lumayan
ngos-ngosan juga. Bahkan sedikit gemetar pada bagian kakiku. Gimana para kru yg kudu bawa peralatan ya?pikirku
lagi. Dan herannya, kulihat beberapa dari mereka justru tertawa santai. Apa aku sudah harus merasa tua? pikirku
kecut.
Dan
Jeffry. . . . ,tampak cuek seperti biasanya. Hari ini dia terlihat casual dg
celana pendek dan t-shirt tanpa lengan. Dia memakai kaca mata yg membuatnya
terlihat gagah. Meski aku enggan untuk mengakui, tapi kunyuk satu itu memang
punya aura yg berbeda dg yg orang lain. Bahkan dari sesama model. Dia memang
memiliki pesona seorang bintang. Bersinar, jauh dan berbeda. Hebatnya, bahasa
tubuhnya juga jelas dan bisa berubah sesuai dg kehendaknya. Ia bisa terlihat
seperti seorang bintang yg profesional dan bersinar seperti sekarang, hangat
dan menggoda sebagai seorang kekasih seperti semalam, acuh, cuek dan semaunya
sendiri seperti pagelaran busana kemarin, atau juga ramah dan santai seperti
saat tadi dia disapa oleh beberapa remaja yg ngaku ngefans dan meminta foto
bersamanya waktu sarapan tadi.
Tak
kulihat Whitney bersamanya. Tapi aku memilih untuk diam saja. Akan lebih baik
kalau aku tak berkomentar apapun. Setidaknya aku bisa sedikit terbebas dari
tingkahnya yg menyebalkan. Akan lebih baik kalau aku konsentrasi dg tugasku.
Dan ternyata pantai Namoss ini benar-benar
lokasi yg bagus untuk pemotretan. Aku bisa melihat pasir pantainya yg putih dan
bersih dari sampah plastik. Yg ada hanya sampah dedaunan kering yg berasal dari
pepohonan yg ada disekitarnya. Air lautnya yg jernih tidak menyembunyikan dasar
dangkalnya yg jelas membayang. Beberapa batu karang yg besar tampak menonjol dg
teksturnya yg terlihat jelas dan kasar.
"Ayo
Maz. Dimake up dulu," panggil Mbak Rasti yg jadi make up artist kali ini.
Kulihat Jeffry jg telah ditangani oleh yg lain. Akupun mendekat.
Ruang
ganti kali ini ada dibalik batu-batu karang besar itu. Saat aku telah selesai
berganti baju dan keluar, kulihat Jeffry telah mulai diambil fotonya. Dan baru
saat itulah aku baru paham dg konsep hitam putih yg Mas Arya katakan kemarin.
Kulihat make up Jeffry dibuat sedikit agak tajam dg eye liner lumayan tebal dan
tatanan rambut yg acak. Bajunya jg mencerminkan anak muda yg rebellious, bebas,
liar namun toh tetap menawan dan jantan. Celana jeans hitamnya robek-robek, dg
t-shirt yg juga terkoyak sehingga menampakkan sebagian besar tubuh bagian
atasnya. Jeffry benar-benar bisa menyatu dg karakter yg ia wakili. Pantas dia
menjadi topik hangat didunia entertainment akhir-akhir ini. Berbeda dgku yg terkesan rapi, kalem dan
mewakili citra anak baik-baik.
Mungkin memang itu yg mereka pikirkan saat melihatku, pikirku
kecut. Jujur, kadang aku ingin bisa memiliki sisi liar seperti yg Jeffry
miliki, meski aku tak yakin aku menginginkan menjadi super liar seperti cowok
sinting itu.
"Dimaz!
Giliranmu! Jeffry ganti bajunya!" perintah Mas Arya, menyadarkanku dari
lamunan singkat ku. Aku segera mendekatinya.
"Gak
perlu terpesona seperti itu melihatku," bisik Jeffry pelan saat
melewatiku.
"You
wish!" balasku jengkel.
Pemotretan
berjalan lancar. Kami berganti baju beberapa kali dg konsep yg sama. Jeffry
mewakili sisi liar dari anak muda yg pemberontak yg bebas dan sedikit buas.
Sementara aku mewakili sosok anak muda yg baik-baik dan polos. Kami juga
diambil foto bersama dlm shoot yg lumayan banyak. Aku sempat dibuat salut oleh
kemampuan Jeffry yg bisa begitu menyatu dg karakter yg diinginkan oleh Mas
Arya, juga dg baju yg dia kenakan. Dia bahkan memberiku sedikit saran bagaimana
harus membaur dalam tema kali ini. Tak heran dia mampu, karena setahuku, dia
telah merambah ke dunia akting. Dan ku dengar, dia mendapat review yg bagus
dari beberapa orang kritikus film. Meski aku tak suka mengakuinya, aku
berterimakasih atas kebaikannya berbagi tips.
Mas Arya
tadi juga mengambil beberapa foto Jeffry dalam pose topless. Dan sekali lagi,
meski aku sangat tidak suka mengakuinya, dia melakukannya dengan baik. Jeffry
sempat bertanya kenapa aku juga tidak diambil foto setengah telanjangnya. Mas
Arya hanya tertawa untuk menjawabnya, sementara aku pura-pura tak dengar saja. Kalau sampai Ayah melihat fotoku dalam pose
seperti Jeffry tadi, mungkin aku tak akan ada lagi didunia ini, pikirku
kecut.
Pemotretan
selesai saat menjelang sore. Untungnya, cuaca dan laut hari ini sedang
bersahabat. Karena kalau saja hari ini laut sedang pasang besar, mungkin kami
harus pindah ke lokasi lain. Para kru segera memberesi peralatan. Aku juga
telah membersihkan make up ku dan berganti bajuku sendiri.
"Hei
Maz!!" Jeffry berteriak memanggilku. Aku yg sudah hendak pergi jadi urung.
Aku tak menjawab, tapi membiarkannya mendekat. "Listen, I need a
favour!" katanya pelan hingga hanya aku yg mendengar.
Aku
mengangkat alis, apalagi saat melihat kamera nicon yg ia pegang. Tapi Jeffry
hanya tersenyum, menunggu semua kru naik ke tangga.
"Bisa
bantu aku ambil beberapa gambarku? Aku memerlukannya untuk koleksi
pribadi," katanya saat semua orang telah menghilang dibalik rimbunnya
pepohonan.
"Kenapa
gak minta sama Mas Arya tadi?!" tanyaku heran.
"Kan
udah bilang tadi. Ko-lek-si Pri-ba-di!" ujar Jeffry lagi sembari
menekankan tiap suku katanya. Aku yang merasa sedikit berhutang karena
kebaikannya tadi akhirnya hanya mengangkat bahu. Jeffry nyengir senang dan
menyerahkan kameranya padaku.
"Tapi
jangan salahin aku kalo nanti hasilnya jelek!" kataku pelan sembari mulai
mengutak-atik tombol kameranya.
"
Jangan khawatir!" kata Jeffry yang melangkah tak jauh dariku.
"Mau
diambil fotonya dima. . .," aku tak bisa menuntaskan kalimatku saat
kulihat Jeffry telah membuka seluruh pakaiannya dan meletakkannya begitu saja
dipantai. Lalu dengan santai dia melenggang dan menceburkan diri ke air. Dasar exhibionist sinting!! rutukku
dalam hati dengan wajah yang sontan memanas. Emang dia nggak takut kalo ada
orang lain yang mungkin kesini? Coba kalo ada wartawan yang tiba-tiba aja
nongol. Bisa habis karirnya kalau mereka melihatnya polos begitu.
Eh, atau
mungkin tambah ngetop ya?!
Sambil
ngedumel aku mengambil bajunya dan menempatkannya agak jauh dari pantai,
mencegah agar nantinya tidak basah.
"Maz.
. . , ayo mulai!" seru Jeffry dan kulihat dia berdiri didalam air yang
hanya setinggi pinggangnya. Tapi tetap saja, saat air lautnya sedikit menyusut,
aku bisa melihat bagian pubik hingga kejantannannya yg bergerak-gerak di air.
Sial!! Ngapain aku tadi mau sih?!! gerundengku
dalam hati, jengkel. Bagaimana aku bisa melakukannya kalau mataku justru fokus
ke bagian tengah tubuhnya yang menggoda?
"Maz!!"
panggil Jeffry lagi.
"Aku
ogah ambil foto porno!" balasku keras.
"Lha
siapa juga yang mau difoto frontal?! Ambil aja dari bagian sini!" kata
Jeffry dan menunjuk kebagian pubiknya keatas. "Kaya foto-foto seksi
dimajalah dewasa gitu lho Maz!" ujarnya lagi dan. . .
SIAL!!!
Dia
melangkah keluar dari air!
"Okay!!"
cegahku agar dia tidak terus keluar dari air dalam keadaan polos begitu. Bisa
berabe ntar. "Kamu disitu aja!" kataku dan mempersiapkan kamera.
Aku
mengambil beberapa fotonya dalam pose-pose yang aku yakin bakal bikin para fans
ceweknya ngiler. Sengaja menyembunyikan bagian vitalnya, namun juga memberinya
pandangan sekilas yang pasti membuat mereka berteriak untuk meminta lebih. Dan
sekali lagi, dengan tak rela harus kukatakan kalau kunyuk satu itu benar-benar
model yang hebat. Ekspresinya tajam dan tepat.
Bahkan aku
dibuat salut oleh foto yang tadi kuambil. Saat kulihat hasilnya, aku yakin
pasti akan ada kehebohan besar saat gambar-gambar ini beredar.
"Kamu
nggak renang?" tanya Jefrry yang tahu-tahu ada disebelahku. Aku berusaha
untuk tidak melihatnya karena dia masih dalam keadaan polos. Kupusatkan saja
perhatianku pada kamera dan hasil jepretanku.
"Males!
Kamu udah selesai kan? Pakai bajumu. Kita naik! Ntar keburu gelap!" kataku
tanpa mengalihkan mataku dari screen kamera.
Jeffry tak
menjawab, tapi dia menjauh kearah letak bajunya yang aku taruh disebelah batu
karang besar.
"Gimana?
Bagus?" tanyanya dan mendekat kembali.
"Lumayan!
Kayaknya aku punya bakat jadi photographer nih!" tukasku dan menyerahkan
kamera itu padanya.
Sejenak
dia melihat hasil-hasil jepretanku. "Ini sih object fotonya aja yang
bagus. Foto amatiran gini emang bergantung pada object doang!"
"Narsis
sinting!!" umpatku pelan dan menyambar kamera itu darinya. "Kamu nggak
takut kalau nanti gambarmu ini bocor?" tanyaku dan mulai melangkah menaiki
tangga.
"Kan
sudah kubilang itu untuk koleksi pribadi!" tukasnya dan mengikutiku.
"Tapi
kan bisa aja bocor!" ujarku ngeyel. "Luna ma Ariel aja bisa
ketahuan!"
"Ya
biarin! Toh gak frontal ini!" sahutnya cuek. "Kamu nggak mau foto
juga?" tanyanya.
"Nggak!
Dari tadi juga udah foto-fotoan," jawabku ketus.
"Duh!!!
Nyolot amat sih?! Emang nggak bisa kamu ngomong dengan baik kalo ama aku
ya?" tanya Jeffry heran.
"Lha
kamu juga yang gak pernah bersikap bener!" sahutku dan terus melangkah
cuek.
"Nggak
bener? Kapan juga aku pernah salahin atau ngerebut hakmu?" gerutu Jeffry
membuatku berhenti melangkah. Dengan geram aku menatapnya. Tapi cowok sinting
itu dengan santai melangkah menaiki undakan, menyusulku yang berada sekitar
sepuluh undakan diatasnya.
"Jadi
kamu bener-bener gak pernah ngerasa ya?" tanyaku lagi.
"Lho?
Ngerasa apa?" tanyanya dengan nada tanpa dosa. Dengan cueknya dia
melewatiku yang jelas-jelas melotot padanya.
"Pertemuan
pertama, kau menyebutku bodoh!" tukasku dan menjejerinya.
"Sekali
lagi kutegaskan, pendapatmu yang kuanggap bodoh! Bukan kamu!"
"Pertemuan
kedua, kau sengaja menyembunyikan syal yang harusnya aku pakai di show sehingga
aku kelimpungan!"
"Kan
aku sudah bilang kalau ijin sudah kudapatkan dari pemilik sah syal itu. Plus,
syal itu sudah kembali padamu, tepat sebelum kamu tampil!" sangkalnya
santai.
"Tapi.
. . ,"
"Dan!
Kau menabrakku sesudahnya," potong Jeffry membuatku semakin merasa kesal.
"Pertemuan
ketiga, kau nyaris berhubungan sex didepan mataku dengan Whitney!"
"Tepat
sekali!" tegas Jeffry dengan senyum sinis. "Aku melakukannya dengan
Whitney! Orang asing yang menjadi turis dinegara ini. Bukan temanmu, bukan
saudaramu bukan pula pacarmu. Jadi kenapa harus dipermasalahkan? Plus, kau
tidak harus menyaksikannya. Kau punya hak penuh untuk pergi meninggalkan kami
kan? And you did! So what's the problem?!" tanya Jeffry dengan kedua
tangan terangkat sementara senyum mengejeknya kembali tersenyum.
Telingaku
berdenging keras karena marah. Seharusnya aku tahu kalau aku tak akan pernah
menang jika berdebat dengan kunyuk satu ini. "Fuck You!" desisku
geram dan dengan kesal mendorong dadanya!
Dan
semestinya aku sadar bahwa kami sedang berada diundakan menuju pantai yg satu sisi
adalah bebatuan karang, sementara yg lain adalah lereng karang yang terjal dan
curam dengan rimbunnya pepohonan kecil dan tanaman merambat. Aku tak pernah ada
maksud untuk melukai Jeffry, tapi waktu itu aku telah melakukannya.
Karena
doronganku yang lumayan keras, keseimbangan Jeffry goyah dan dia terpelanting
kearah rimbunnya pohon-pohon kecil dan tanaman rambat yg tumbuh dijurang
karang. Tubuhnya jatuh bergulingan diiringi oleh teriakan kerasnya yang kaget.
"JEFFRY!!!!!!"
seruku panik dan memburunya!
XV
Kulihat
Jeffry berpegangan pada sebuah batang pohon yg berukuran lumayan besar. Dan
untungnya, ada sebuah karang besar yang menjorok keluar dengan permukaan yang
cukup landai tak jauh dibawahnya.
"JEFF!!!"
panggilku cemas.
Jeffry
melepas pegangannya pada batang pohon itu sehingga tubuhnya merosot pada batu
karang yang agak landai itu. Dengan berhati-hati aku segera mendekatinya. Meski
kering, tanah disini cukup curam kemiringannya. Kalau sampai aku terpeleset,
semua akan jadi bertambah runyam.
"Jeffry!!
Kamu nggak apa-apa?" tanyaku cemas dan berjongkok untuk memeriksanya.
"You
think?!" erangnya geram. Perlahan dia mendudukkan dirinya. Kulihat bagian
belakang bajunya robek dan mengeluarkan darah. Punggungnya terluka. Dan juga
kakinya tampak baret-baret. Dia meringis menahan sakit. Pasti perih sekali. Ya
Tuhan!! Apa yang telah kulakukan?!
"Kita
harus kembali ke undakan," kataku cepat dan membantunya bangkit.
Kusampirkan satu lengannya kebahuku. Jeffry mendesis kesakitan saat aku
menegakkannya, tapi tidak protes.
"Terimakasih
sudah melukaiku. Ini yang kedua setelah kau menabrakku. So what next? Kau akan
melemparku keluar pesawat?" tanyanya dengan rahang terkatup menahan
sakitnya.
"A-a-aku
g-gak. . . "
"Shut
up dan kembalikan saja aku pada peradaban normal! Aku masih ingin hidup!"
desisnya dingin tanpa menungguku membela diri. Aku tak bisa bereaksi karenanya.
Dadaku masih berdebar kencang karena kejadian tadi. Dan syukur pada Tuhan,
tebing itu tidak lurus kebawah. Karena kalau sampai Jeffry jatuh pada batu karang
disana, bisa dipastikan kalau dia. . . .
Aku
bergidik ngeri membayangkannya.
"M-maaf,"
gumamku pelan dan dengan penyesalan yang dalam.
Tak ada
sahutan dari Jeffry dan kami pun melangkah kembali ke undakan semen itu dengan
berhati-hati. Jeffry yang terpincang mengikuti papahanku.
Perjalanan
keatas kami lalui dalam diam. Kalau tadi pada saat turun aku sudah kepayahan,
kini pada waktu naik aku benar-benar harus berusaha mati-matian. Kali ini
bebanku ditambah dengan membantu Jeffry, juga sedikit lelah akibat pemotretan
tadi. Aku benar-benar nyaris tak mampu untuk melangkah. Tapi aku harus
menguatkan diri karena kondisi Jeffry. Dia harus segera mendapatkan perawatan
untuk luka-lukanya. Jadi dengan susah payah, kami terus melangkah sambil
sesekali berhenti untuk mengambil nafas .
Setelah
beberapa lama aku sudah merasa akan pingsan. Ulu hatiku terasa nyeri. Aku
mencoba mengacuhkannya karena tahu kalau kami harus segera sampai. Apa lagi
saat kulihat Jeffry yang kupapah. Wajahnya mulai memucat sehingga aku semakin
merasa cemas. Kugigit bibirku untuk menahan diri meski aku juga merasa
kepayahan dan hampir pingsan. Kami harus
segera sampai diatas, batinku dan kembali melangkah. Rasa-rasanya mustahil
kalau kami bisa sampai kesana. Tadi siang, perjalanan kebawah sepertinya hanya
memerlukan waktu beberapa menit, maksimal mungkin setengah jam jika ditempuh
dengan santai. Tapi sekarang saat naik, terasa sudah berjam-jam kami
melakukannya. Udara yang semakin terasa dingin dan suasana yang semakin gelap
membuatku bergidik ketakutan. Apa jadinya kalau kami justru terjebak ditempat
ini? Aku menyesal kenapa tadi aku tak membawa ponselku?! Tapi. . . . memangnya
disini ada sinyal ya?
Saat aku
sudah hampir menyerah, kudengar panggilan beberapa orang diatas kami. Kulihat
Mas Arya dan yang lain segera turun menyosongsong kami dengan tergesa. Belum
pernah aku merasa selega ini melihat orang lain.
"Apa
yang terjadi Jeff?" tanya Mas Arya yang memeriksa Jeffry dengan matanya.
Jelas dia tahu kalau kami bukannya berpelukan dalam konteks romantis.
"Tadi
aku tergelincir Ya!" kata Jeffry sebelum aku bisa menjawabnya. Dia segera
melepas pegangannya padaku dan ganti menyampirkan lengannya pada Mas Arya.
Anehnya, meski aku sudah kepayahan, aku ingin tangan Jeffry tetap dibahuku. Aku
tetap ingin menjadi orang yang membawanya keatas. Ada perasaan tak enak yang
kurasakan saat melihat dia dipapah oleh Mas Arya. Aku merasa bahwa akulah yang
seharusnya melakukan itu. Aku yang menyebabkannya terluka.
Penyesalan
didadaku semakin terasa besar dan memberat.
Yang lain
cepat-cepat memanggil dokter. Dan Jeffry pun ditangani segera setelah dokter
itu datang. Dokter itu juga memeriksaku. Tentu saja, komentarnya hanya terdiri
dari dua kata. Kelelahan dan kaget. Jadi aku hanya butuh istirahat dan minum
multivitamin yang dia berikan. Meski tubuhku terasa sakit semua dan harus
beristirahat, sebenarnya aku ingin melihat keadaan Jeffry. Tapi tentu saja Mas
Arya dan yang lain memaksaku untuk istirahat saja karena besok pagi kami akan
kembali ke Jakarta, sehingga aku tak punya pilihan lain. Aku mencoba memejamkan
mata. Kupikir akan sulit, karena kekhawatiranku akan keadaan Jeffry tak juga
hilang, meski tadi dokter sudah meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja. Tapi
nyatanya, karena kelelahan dan pengaruh obat, aku terlelap dalam hitungan
menit.
Pagi
harinya aku terbangun dengan kaki yang masih terasa nyeri, meski tubuhku sudah
agak mendingan. Setidaknya kelelahan kemarin sedikit terbayar oleh tidur awal
semalam. Hingga kemudian aku teringat pada Jeffry. Aku sontan bangun. Dengan
cepat aku mandi dan mengepak barang-barangku. Selesai, aku langsung menuju
kamar Jeffry.
Pintunya
terbuka. Aku melongokkan kepalaku dan melihatnya sedang mengemasi
barang-barangnya. Jalannya masih agak terpincang, tapi selebihnya dia terlihat
baik-baik saja. Dia memakai celana panjang sehingga aku tak bisa melihat
bagaimana luka disana. Tapi pada tangannya, aku bisa melihat beberapa perban
yang direkatkan.
Saat
melihatku, dia menghentikan apa yang dilakukannya tapi tak mengatakan apapun.
Kami saling menatap sejenak dalam diam.
"Apa?"
tanya Jeffry akhirnya, memecah keheningan. "Punya cara lain untuk
membunuhku yang akan kau coba?" tanyanya datar.
"Aku
nggak pernah punya niat untuk membunuhmu!" tukasku cepat. "Apa
istilah itu tidak berlebihan?" gerutuku lagi. Pilihan kata-katanya
membuatku terdengar seperti seorang psikopat sadis.
"Menabrakku
dengan mobil, lalu mendorongku dari tebing. Hhmmm. . . . ," Jeffry berlagak berpikir keras, "Kalau
itu perwujudan rasa cintamu padaku, mungkin kau harus berfikir ulang akan apa
makna cinta sebenarnya Maz!" simpulnya singkat. Tentu saja aku tak terima.
"Aku
nggak. ."
"Cemburu
itu wajar! Tapi kan tidak harus dilampiaskan dengan cara yang sadis dan
mengerikan bukan? Kita bisa membicarakannya dengan baik-baik," cerocos Jeffry
memotong kalimatku.
Aku
ternganga tanpa kata saking kagetnya. Ngoceh soal apa sih dia?! Apa kemarin
kepalanya terbentur ke batu sehingga dia gegar otak gini? Atau mungkin sudah
sinting beneran?
"Aku
gak nyangka lho, dibalik wajah kalem dan alimmu itu, ternyata kau orang yang
cukup menakutkan," lanjutnya lagi seolah-olah dia sedang memberitahuku
kalau satu tambah satu itu ada dua. Seakan-akan dia cuma sedang membicarakan
hal umum yang anak SD saja bisa mengerti. Bukannya menjelaskan tentang kesimpulannya
yang jelas-jelas absurd dan sepihak itu.
"Kau
sinting!" gumamku tak percaya.
"Hei!
Aku bukan orang yang berusaha membunuh orang yang kusukai dengan mendorongnya
dari tebing karena cemburu," kata Jeffry sembari kembali membereskan
barangnya.
"AKU
NGGAK SU. . . .," aku langsung sadar kalau aku hampir saja berteriak
kesal. "Aku nggak suka denganmu," desisku dengan rahang terkatup
geram. Mungkin aku tak harus menyesal dengan kejadian kemarin, pikirku lagi
jengkel.
Jeffry
telah selesai mengepak barangnya dan kini berjalan terpincang mendekatiku
sambil menyeret kopernya. Lalu berhenti persis didepanku. "Menurutku kau
suka padaku. Kau cemburu karena aku bercumbu dengan Whitney didepan mukamu. Kau
suka sekali padaku, tapi kau takut untuk mengakuinya. Karena aku tahu bagaimana
matamu memperhatikanku. Terlebih lagi saat aku telanjang. Kau menyukainya
sampai-sampai kau tak tahan untuk menyentuhku. Dan kau marah saat ini karena
aku telah mengatakan tentang sebuah fakta yang kau sendiri, tak mau
mengakuinya. And you know what. . . ?" dia mendekatkan bibirnya
ketelingaku sementara aku tanpa sadar menahan nafas. "Tadinya aku juga
menyukaimu," bisiknya dan tanpa kuduga dia mengulum bagian bawah telingaku
dengan bibirnya yang lembut, membuatku sontan menarik wajahku yang telah
memerah darinya. Mataku terbelalak tak percaya.
Jeffry
tersenyum sinis dan kembali berdiri tegak. "Tapi sayang sekali, aku tak
tertarik untuk berhubungan dengan orang yang sakit jiwa," lanjutnya tenang
lalu dia mengambil kameranya yang dari tadi kupegang karena kemarin belum
sempat kukembalikan padanya. "Dan ini milikku! Good bye Dimaz!"
katanya singkat lalu pergi meninggalkanku yang terpaku disana. Terlalu bingung
untuk bereaksi.
Butuh
beberapa waktu bagiku sampai akhirnya aku bisa kembali bernafas normal dan
memahami apa yang dia katakan tadi. Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.
"Tidak!
Aku tidak menyukainya!" gumamku berulang-ulang. Tapi bahkan aku sendiri
mulai ragu akan kebenaran kata-kataku itu. Penyangkalanku terdengar lemah dan
sangat tidak meyakinkan. Bahkan bagi diriku sendiri.
"Tidak.
. . . ," gumamku lagi.
XVI
Hampir dua
minggu setelahnya, aku tak pernah mendengar satu katapun dari Jeffry. Tidak
pernah satu kalipun aku bertemu muka dengannya. Terakhir kali aku melihatnya
adalah saat kulihat wawancaranya di tv. Sepertinya beberapa infotainment telah
mendapat kisikan tentang dia mendapatkan kecelakaan pada saat pemotretan di
Bali. Dan mereka mencegat kami dibandara.
Aku telah
melihat kerumunun wartawan itu dari jauh dan segera menyelinap sehingga tak
seorangpun tahu. Tapi Jeffry dapat mereka wawancarai. Dan dua hari kemudian,
tanpa sengaja aku melihatnya di tv. Jeffry mengaku kalau dia tergelincir saat
perjalanan balik ke hotel. Salah seorang reporter bertanya apakah hal itu benar
dan tak ada sebab yang lain. Waktu itu Jeffry tertawa dan berkata, "Habis
kenapa? Apa saya harus mengatakan bahwa ada seseorang yang naksir saya dan
karena cemburu dia mencoba untuk membunuh saya? Apa itu mungkin? Kalau itu
benar, maka saya cuma mengatakan ini. Siapapun anda yang diluar sana dan memang
menyukai saya, lebih baik anda jujur saja. Katakan yang sebenarnya pada saya.
Kalau anda menarik dan bukan seorang psikopat gila, mungkin kita bisa melakukan
sesuatu bersama," katanya lalu memberikan kerlingan menggoda.
Para
reporter itu hanya tertawa karena mereka menganggapnya bercanda. Tapi aku tahu
apa maksudnya. Waktu itu aku hanya mengerang keras dan langsung mematikan tv.
"AKU NGGAK SUKA KAMU!!!!" teriakku kesal.
Dua minggu
berikutnya benar-benar membuatku tak tenang. Aku tercabik antara marah dan
keinginan untuk mempertahankan harga diriku. Aku ingin melabraknya. Berteriak
dimukanya. Mengatakan dengan keras dan jelas bahwa yang dia pikirkan itu
konyol, bodoh, absurd dan luar biasa gila. Well, sure he's hot and all that!
Tapi itu bukannya berarti aku menyukainya kan? Hanya orang buta dan memiliki
kelainan sex yang mengatakan bahwa Jeffry bukan orang yang tampan dan seksi.
Sebagai orang normal, akupun mengakuinya.
Siapa yang
tidak menyukai wajahnya yang terkesan jantan dan sedikit liar, acuh namun toh
menawan itu? Siapa yang tidak iri dengan bentuk tubuhnya yang nyaris sempurna?
Abdomennya yang ramping dan berlekuk, dadanya yg bidang dan penuh. Lengannya yg
kekar dan kuat. Juga kejantanannya yang melebihi ukuran normal dan pasti
membuat para wanita terkesan dan para pria iri hanya dengan melihatnya. So
yeah! Aku mengakui semua hal itu. He's one damn hot guy! So what?!
Sial!! Dia
benar-benar telah mengacaukan hariku.
Aku tahu
aku seharusnya merasa menyesal telah membuatnya terluka. Meski tanpa sengaja.
Tapi evaluasi dan kesimpulan ngawurnya itu benar-benar membuatku kalang kabut.
Jadilah selama dua minggu ini hari-hariku seperti orang yang kena bisul
dipantatnya. Tak tenang dan selalu gelisah.
Padahal
seharusnya aku konsentrasi pada pekerjaanku. Akhir minggu ini akan ada fashion
show busana muslim untuk kegiatan amal. Dan aku telah setuju untuk menjadi
salah satu modelnya. Aku harus segera menyingkirkan kunyuk sinting itu dari
otakku!
Malam ini
aku memperagakan sebuah baju karya salah satu designer wanita Indonesia
AV(samaran). Sebuah baju muslim dengan corak batik dalam warna hitam putih.
Lengkap dengan kopyah dan sorban panjang ala Timur Tengah yang kusampirkan
dibahuku seperti selendang. Acara yang semula kukira hanya acara biasa ini
ternyata menjadi luar biasa heboh. Semua itu karena kedatangan kunyuk Jeffry
dan beberapa orang teman selebritinya. Mereka adalah tamu-tamu tak terduga yang
tiba-tiba saja hadir pada detik-detik terakhir.
Sebenarnya
kedatangan mereka sangat membantu. Karena dengan adanya mereka, acara ini makin
terekspose dan minat para penyumbang makin meningkat. Semua hasil penjualan
dari baju yang terjual malam ini sepenuhnya disumbangkan pada masyarakat yang
membutuhkan.
Tapi aku
jadi kasihan pada panitia yang langsung heboh menyiapkan tempat bagi para tamu
tak terduga itu.
Dasar
narsis sinting! Dia memang seneng bikin orang repot!
Yang tak
terduga, baju yang ku peragakan terjual dengan harga yang fantastis. Akan
membuatku bangga dan senang kalau saja pembelinya bukanlah si sinting Jeffry.
Sepanjang malam itu, aku harus susah payah tetap ramah saat berada
disampingnya. Jeffry sendiri tampak menikmati karena kulihat dia tak
henti-hentinya tersenyum saat panitia membawaku ke mejanya. Seolah-olah aku juga
termasuk dalam paket yang ia beli.
Sial!!
Begitu
acara selesai aku langsung mencari sosoknya. Tapi ternyata Jeffry telah pulang,
bahkan sebelum acara berakhir. Aku segera pamit pada teman-temanku, meminta
maaf pada mereka untuk tidak ikut andil dalam perayaan suksesnya acara malam
ini.
Kulajukan
mobilku menuju rumah Jeffry!
Aku tak
tahan untuk mengkonfrontasi kunyuk satu itu.
Jeffry
tampak sedikit kaget saat dia membuka pintunya dan melihatku yang berdiri
dengan wajah marah.
"Apa?
Kali ini apa yang mau kau lakukan padaku?" tanyanya curiga.
Aku
menggeram marah dan mendorongnya untuk masuk. Aku tak ingin kalau sampai aku
membuat keributan diluar. Akan lebih bijaksana kalau aku menegurnya didalam.
"Apa maksud semua ini?" tanyaku kesal.
"Maksudnya?"
tanya Jeffry tak mengerti.
"Kau
sengaja kan datang mendadak malam ini? Kau sengaja membeli baju yang kupakai
kan?" tanyaku dengan nafas yang mulai memburu.
Jeffry
bersiul keras dan menutup pintunya. "Kau mempunyai cadangan PD yang cukup
mengagumkan. Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanyanya santai dan
mendekat.
"Fakta
bahwa tak pernah sekalipun kau ikut dalam acara semalam?" tukasku.
"Aku
tak pernah tahu ada acara semacam itu sebelumnya," jawabnya dan mengangkat
bahu.
"Lalu
kenapa baju yang kupakai?" tuntutku lagi. "Masih banyak baju lain
yang kurasa lebih cocok untukmu."
"Cocok
menurut siapa? Menurutmu? Kenapa aku harus mengikuti seleramu? Aku suka
karya-karya AV. Jadi kenapa aku tak boleh membelinya?" tanyanya balik
dengan gaya menantang. Dia mendekat sampai berdiri persis didepanku. Menatapku
langsung dimata dengan percaya diri yang kuat.
Aku
menggeram marah. Seharusnya aku tanam di otakku dalam - dalam bahwa aku tak
akan menang kalau harus adu mulut dengan iblis edan yang satu ini. Aku lebih
sering melupakan fakta itu. Sial!! "Fine! Lakukan apapun yang kau suka.
Just leave me alone! Tapi ada satu hal yang aku tegaskan padamu. AKU TAK SUKA
PADAMU! Dan TAK AKAN PERNAH SUKA padamu! Jadi yang kau katakan dulu itu salah.
Aku tak pernah merasa cemburu pada Whi. . .!"
Aku
terpekik keras saat dengan tiba-tiba Jeffry meraih bahuku dan membantingku ke
sova besarnya. Dan sebelum aku sadar apa yang terjadi, dia menjatuhkan tubuhnya
menindihku. Detik berikutnya dia sudah mengulum bibir atasku dengan bibirnya.
Sebelum sempat aku bereaksi lidahnya telah menyusuri garis bibirku sementara
kedua tangannya merobek bajuku dan dengan ahli mengusap tubuh bagian depanku.
Lalu kurasakan dia mengusapkan bagian depan pinggangnya yang telah mengeras
padaku.
Tanpa
sadar aku mengeluarkan suara terkesiap yang cukup keras! Otakku sontan
mengalami lumpuh sementara, sedangkan tubuhku jadi lemas seakan-akan lumer
menjadi satu kubangan limbah yang mengenaskan.
Edan!!
Bagaimana
dia melakukannya?!
"Kau
yakin?!" tanya Jeffry dengan senyum mengejeknya yang kembali terkembang.
Senyum itu yang akhirnya memunculkan sedikit kesadaran yang kumiliki. Dengan
sekuat tenaga kudorong dia untuk bangkit dari atasku. Cepat aku bangun dan
mengusap bibirku yang tadi diciumnya. Sementara kemejaku kulihat telah koyak
parah.
"Kau
gila!!" desisku gemetar.
"Masih
menyangkal kalau kau tertarik padaku?" tanyanya dengan nada malas.
"Lihat dirimu!" tukasnya dan menunjukku. Aku melihat kearah yang ia
maksud dan aku benar-benar tak percaya. Tubuhku seolah-olah sepakat dengan
Jeffry dan mengkhianatiku. Bagian depan celanaku tampak menggelembung. Kembali
aku terkesiap.
Pikiranku
menyangkal habis-habisan apa yang ditunjukkan oleh tubuhku. Tidak! Tidak lagi! Aku tidak tertarik pada
Jeffry. Aku tidak menginginkannya seperti itu. Tidak boleh! Karena cukup Rafly
saja! Aku tak mau apa yg pernah terjadi antara kami dulu terulang! Aku sudah
pergi dari hal itu. Aku sudah menjauh dari hal itu! AKU SUDAH TAK MENGINGINKAN
HAL ITU!!!! Aku menggeleng kuat-kuat.
"Percuma
kau menyangkalnya! Kita berdua tahu apa yang kau inginkan! Apa yang tubuhmu
inginkan!!"
"Aku
sudah pergi meninggalkan hal ini selama bertahun-tahun!" gumamku pelan
gemetar. "Aku tak pernah menginginkan hal ini lagi! Aku sudah tak
merasakannya lagi."
"Apa?!"
"AKU
SUDAH MELUPAKANMU RAFLY!!" teriakku keras, namun detik berikutnya aku
sudah menutup mulutku sendiri dengan tanganku. Sudah lama sekali aku tak pernah
menyebut nama itu. Sudah lama sekali aku mencoba tak mengingat nama itu. Sudah
kututup duniaku yang berhubungan dengan nama itu. Kukubur jauh dan kukira tak
akan kusebut lagi.
Tiba-tiba
saja aku merasa sesak. Tubuhku jadi dingin mendadak! Aku butuh udara segar. Aku harus keluar dari sini! Menjauh dari
tempat dan orang ini!! pikirku dan melangkah cepat kepintu. Tapi Jeffry lebih
cepat dariku. Dengan satu gerakan gesit, dia berhasil meraih tanganku,
menyentakkannya dengan kuat lalu mendorongku hingga punggungku menabrak
dinding.
"L-lepaskan
a-aku!!" desisku mencoba berontak namun Jeffry dengan kuat menahanku.
"Siapa
Rafly?!!" tanyanya dengan nada dingin.
"Bu-bukan
urusanmu! L-lepas!!" pintaku lagi, kali ini terdengar lebih lemah.
"Jangan
katakan kalau dia adalah yang pertama!" desisnya lagi. Dia menatapku
tajam, tapi aku langsung membuang muka menghindarinya dan kembali berontak.
Tapi Jeffry dengan kasar kembali mendorongku ke dinding. "Dan kau pasti
lari darinya kan? Sekarang kau dengar aku! Kau bisa lari dan bersembunyi kemana
saja kau mau! Tapi kau tak akan pernah bisa lepas dari ini. Kau akan tetap
menginginkannya. Kau tahu kenapa? Karena hal itu sudah ada dalam dirimu. Dan
kau tak akan bisa lari dari dirimu sendiri. Pikirkan itu. Dan saat kau bisa
mengerti, kau bisa mencariku!" katanya tajam. Dan perlahan dia melepaskan
himpitannya padaku. "Pergi! Lari kemana saja kau mau! Dan pikirkan tadi
yang kukatakan!!"
Aku
gemetar hebat! Dengan perlahan aku menutup kembali kemejaku yang terkoyak dan
menahannya dengan tanganku. Dan berlari keluar!
XVII
Aku memang
tak akan pernah bisa lari dari diriku sendiri!
Sejauh
apapun aku pergi, perasaan itu akan selalu ada disana. Tertidur dan akan bangun
suatu saat nanti, ketika ada orang yang bisa menyentuhnya. 3 tahun aku lari
dari apa yang dulu aku rasakan pada Rafly. Lari dari kenyataan yang kukira bisa
kuacuhkan dan kuingkari. Lari dari Rafly! Dan kukira aku telah berhasil!
Selama 3
tahun aku telah mengira kalau aku telah berhasil mengubur hal itu dalam-dalam.
Menganggapnya sebagai kesalahan konyol dan kebodohan dimasa remajaku. Karena
selama ini, tak pernah ada seorang cowokpun yang bisa membuatku menginginkannya
seperti aku menginginkan Rafly. Tak ada satupun orang yang membuatku merasakan
apa yang dulu kurasakan pada Rafly. Meski aku berada dalam dunia model yang
memiliki akses langsung dalam dunia itu. Meski aku dikelilingi oleh banyak sekali wajah-wajah dengan tubuh sempurna yang hidup
dalam dunia itu. Aku tak menginginkannya.
Hingga
kini!
Hingga
Jeffry muncul didepanku!
Kejadian
dirumah Jeffry tempo hari benar-benar mengguncangku. Dan aku tak pernah bisa
melepaskan apa yang dia lakukan dan katakan waktu itu dari otakku. Tubuhku bisa
mengingat dengan jelas sensasi hebat yang kurasakan saat dia mencium dan
menggesekkan tubuhnya padaku. Nyaris aku bisa merasakan tangannya yang bergerak
perlahan pada tubuh bagian depanku. Dan hampir setiap saat aku bisa mendengar
desisan kata-katanya ditelingaku.
"Kau tak akan bisa lari dari dirimu sendiri!"
Aku marah,
mengutuk dan menyumpahinya berulang kali! Memaki dan menyebutnya dengan
nama-nama mengerikan yang bisa kupikirkan. Tapi itu tak bisa menenangkan
hatiku.
Aku
bersujud, bersimpuh pada Tuhan. Berdoa agar Dia bisa menguatkan aku. Meminta
perlindungan dari iblis yang bernama Jeffry.
Tapi dia
masih membayang dimata dan pikiranku.
Hingga
hampir satu bulan setelahnya, aku merasa lelah! Lelah untuk berpikir. Dan lelah
untuk menyangkalnya. Aku menyukainya! Aku menginginkannya! Aku mau Jeffry!
Akal
sehatku berteriak agar aku sadar dan lari darinya! Tapi kemudian ia kembali
bertanya. Sampai kapan? Sampai kapan aku bisa lari dari diriku sendiri? Lari
dari kenyataan bahwa aku menginginkan seorang. . . laki-laki! Bahwa aku
menginginkan Jeffry! Sudah 3 tahun aku lari dari Rafly dan perasaan itu, dan
lihat apa yang terjadi kini.
Dan aku
lelah!
Lelah
dengan semua kebimbangan, ketakutan, pertanyaan dan semua penyangkalan yang
selama ini terus berputar dan tak pernah meninggalkanku! Aku ingin ketenangan!
Aku ingin damai. Berdamai dengan perasaanku. Berdamai dengan kenyataanku! Dan
itu pula yang membawaku ketempat ini!
Didepan
rumah Jeffry pada jam 2 dini hari!
Bel kupencet
tiga kali hingga akhirnya pintu didepanku terbuka. Jeffry jelas kaget. Matanya
masih terlihat mengantuk. Rambutnya sedikit acak-acakan. Dan dia hanya memakai
celana boxer sehingga mataku bisa bebas menelusuri tubuh ramping sempurna dan
berotot yang dimilikinya. Ya Tuhan! Aku
benar-benar menginginkannya!
Aku
melangkah masuk tanpa mengucapkan apa-apa. Jeffry yang kemudian menutup pintu
dibelakangku tampak luar biasa heran.
"Dimaz?!
Ada ap. . ."
Kalimatnya
terputus saat tangan kananku terangkat menyentuh sisi wajahnya. Kuusap pipi
kirinya lembut. Menelusuri garis rahang dan pola cambangnya yang mulai tumbuh
dan sedikit kasar karena belum bercukur. Hingga kemudian jariku menemukan
bibirnya. Jariku menelusuri bentuk bibir itu perlahan. Turun kedagu lalu kebawah!
Kali ini dua tanganku membelai lembut dadanya yang penuh. Dan kedua tanganku
melakukan gerakan memutar pelan pada dua lingkaran kecoklatan didadanya yang
ujung-ujungnya mulai mengeras dibawah tanganku. Kemudian turun dan membelai
perutnya. Sampai disana aku berhenti.
Nafasku
mulai memburu dan pendek. Dadaku berdebar keras dan kencang hingga terasa
sakit. Tapi aku membiarkannya. Membiarkan instingku yang paling primitif, yang
selama ini kuacuhkan, untuk mengambil alih tubuh dan pikiranku.
"Tunjukkan
padaku," bisikku pelan dan mengangkat wajahku, menatapnya pasrah. Yeah! Aku menyerah!
Jeffry
mendorong dadaku hingga punggungku menabrak dinding. Dia meraih leherku dan
menciumku lembut sehingga aku langsung leleh karenanya. Kembali tangannya
dengan kuat merobek kemejaku, juga lapisan dalamnya. Dan sesaat kemudian
kurasakan tangannya didadaku. Membelai, mengusap dan terkadang sedikit meremas.
Dia sedikit berlama-lama disana, memainkan dua tonjolan kecil dadaku yang
membuatku sedikit tercekat, hingga kemudian dia melepas ciumannya.
Aku
berdiri disana termangu dengan nafas yang kian memburu, sementara Jeffry
menatapku dengan intens. Aku tak bisa melawan tatapannya, jadi aku menunduk.
Deti berikutnya kurasakan Jeffry meraih pinggangku dan mengangkatku. Dia menahan
tubuhku kedinding lalu melingkarkan kedua kakiku dipinggangnya, sementara
bibirnya mengulum salah satu ujung dadaku. Mengulum, menghisap dan menggigit
ujungnya yang terasa sensitif.
Aku
mengerang keras dan benar-benar menyerah dalam bimbingannya.
(GYAAAAAAHAHAHAHA!!!!!
CUKUUUPPPP!!!!! GW GAK SANGGUUUUUUUPPPP!!! WKWKWKWKKKKK. . . .
Duh! Maaf
banget guys! Selanjutnya kalian bayangin sendiri aja ya? Gw gak bisa kalo kudu
nulis adegan selanjutnya hohoho. . .! Risih bin aneh! So sorry! Gw gak punya
referensi soal beginian. Jadi merinding nih nulisnya. Sumpah! Gak bisa! Jadi
kalian bayangin aja deh sesuai selera!! hehehe. . .)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar