XXIII
Jeffry
adalah tipe orang yang lebih suka menunjukkan kasih sayangnya dengan tindakan.
Bukan kata-kata. Bahkan ketika dia memintaku untuk pindah kerumahnya.
Waktu itu,
aku sedang melakukan pemotretan diluar Jakarta selama dua hari. Kunci apartemen
kutitipkan pada Jeffry. Pada waktu pulang, dia menjemputku dibandara dan
langsung membawaku kerumahnya. Dan aku menemukan semua barang-barangku sudah
berpindah kesana. Jeffry tak mengatakan apapun. Dia bersikap seolah-olah aku
memang sudah lama tinggal disana. Khas Jeffry.
Pernah
pula dengan bercanda aku bilang kalau aku paling gak suka dengan ruang tamunya.
Karena sova besar yang ada disana mengingatkanku akan perbuatannya waktu itu.
Saat dia orgy party dengan beberapa orang didepan mataku. Keesokan harinya,
semua furniture yang ada diruangan itu telah digantikan dengan yang baru. Dan
Jeffry juga mengganti cat dindingnya. Berikut tempat tidurnya.
Dia juga
tak pernah lagi keluar malam ataupun mendekat pada orang lain. Setiap selesai
bekerja, dia selalu pulang dan menghabiskan waktu denganku. Seperti Mas Arya
bilang, saat dia menyayangi seseorang, dia hanya akan melihat orang itu.
Begitulah Jeffry. Tak sekalipun dia melirik orang lain lagi. Desas desus
perubahannya lumayan rame dikalangan para model. Berbagai macam spekulasi
tentang alasan perubahan tingkah lakunya beredar. Tapi Jeffry bersikap masa
bodoh. Namaku sendiri tak pernah disangkutkan dengannya. Karena memang hanya
sedikit orang yang tahu aku tinggal bersama Jeffry. Salah satu yang tahu hal
itu adalah Maya.
Waktu itu
aku pernah menjemput Jeffry pada sebuah pagelaran busana. Ketika aku diback
stage, dari kejauhan aku melihat Maya yang jelas-jelas menggoda Jeffry. Kulihat
Jeffry menanggapinya dengan dingin. Saat aku mendekat, ekspresi wajah Maya
berubah. Apa lagi saat Jeffry langsung mendekatiku tanpa menghiraukannya lagi.
Maya hanya bisa menatap bengong, hingga kemudian pemahaman muncul diwajahnya.
Waktu itu Maya tersenyum dan berkata, "Jaga dia Jeff!" dengan nada
tegas.
Jeffry tak
mengatakan apapun. Dia hanya mengangguk dan mengajaku pergi.
Waktu yang
kami lewati bersama sungguh menakjubkan. Aku tak pernah menyangka kalau hidup
bersama dengan orang yang kita cintai bisa seperti ini. Tak ada kata-kata yang
bisa kukatakan untuk mewakilinya. Perasaan yang kurasa saat bisa tidur
didadanya, saat terbangun dalam pelukannya, atau saat kami hanya duduk santai
dan mengobrol, benar-benar tak bisa digambarkan dengan bahasa tulis atau lisan.
Kalian harus merasakannya sendiri. Semua itu tak hanya membekas dalam
ingatanku, tapi kehangatannya juga nyaris bisa kurasakan saat kami terpisah.
Kegiatan
sederhana dan dulunya tak memiliki makna menjadi momen yang terus terasa sampai
saat menjelang tidur.
Pernah
tengah malam aku terbangun dan diam dalam gelap sembari menatap Jeffry yang
terlelap disampingku. Untuk sejenak aku hanya diam memandang wajah damainya.
Tanganku lalu terulur, dan menelusuri garis wajahnya dengan perlahan. Aku
kadang merasa seperti berada dalam dunia mimpi. Seakan-akan tak bisa percaya
kalau Jeffry kini tertidur disebelahku. Matanya yang terpejam ku usap lembut.
Hingga kemudian telunjukku turun dibibirnya. Yang mengejutkanku, tiba tiba saja
Jeffry membuka bibirnya dan menggigit jariku. Ternyata dia juga telah
terbangun. Dan sisa malam itu kami habiskan dengan bercinta.
Selama dua
tahun kami bersama, hanya satu kali Jeffry mengatakan kata I love you. Waktu
itu , setelah satu tahun kami bersama, kami menghadiri sebuah acara
penganugerahan dalam dunia akting dimana Jeffry menjadi salah satu
nominatornya. Dan secara mengejutkan, Jeffry keluar sebagai pemenang. Malam
itu, dalam balutan pakaian jas resmi yang menampakkan kegagahannya, Jeffry
terlihat sangat menawan. Dia tertawa senang saat namanya disebut dan memelukku
sekilas seperti pelukan seorang teman (seperti itulah kami bersikap saat kami
berada ditempat umum) lalu melangkah ke podium.
"Saya
ingin mengucapkan terimakasih pada orang-orang yg selama ini membantu saya.
Pihak menejemen, fans dan yang lainnya. Terutama sekali pada seseorang yang
dalam setahun ini, telah merubah hidup saya. Menjadikan saya orang baru yang
lebih baik. Terimakasih. Dan piala ini untukmu," kata Jeffry dan turun
diiringi tepuk tangan meriah.
Aku
tersenyum lebar, menyambutnya yang kembali duduk disampingku. Hatiku
seakan-akan membesar beberapa kali dari ukuran yg sebenarnya, karena tahu
kata-katanya tadi itu untukku. Setelah duduk, Jeffry menyerahkan piala itu
padaku dan mendekatkan dirinya.
"I
love you," bisiknya lirih ditelingaku.
Aku hanya
mampu tercenung. Terduduk diam dengan kepala tertunduk dan mata yang
berkaca-kaca. Tiga kalimat sederhana yang sering kudengar dalam kehidupan
sehari-hari, diucapkan oleh begitu banyak orang dalam berbagai kesempatan, tapi
kali ini, saat Jeffry yang mengatakannya aku tak mampu bereaksi apapun selain
menangis haru. Gema kalimat itu sungguh membuat dadaku serasa disentuh dengan
tangan yang sejuk dan melegakan.
"I
love you too," balasku pelan. Kurasakan tangan Jeffry meremas tanganku
sekilas dibawah kursi kami.
"Don't!
Orang-orang akan melihatmu. Kalau tahu reaksimu bakal begini, aku tak akan
mengatakan kalimat tadi disini," bisiknya lagi mengingatkanku.
Aku tahu.
Karena itu aku menunduk dalam dan mengusap mataku diam-diam agar tak menjadi
pusat perhatian.
Aaaaahhhh!!!
Mungkin
aku tak bisa menjelaskan definisi dari kata bahagia dengan benar. Tapi aku bisa
mengatakan, inilah kebahagiaan. Saat inilah aku bisa mengatakan kalau aku
bahagia. Saat aku bersama Jeffry. Saat aku bisa ngobrol dengannya, memeluknya,
menyentuhnya. Saat aku tahu kalau ada seseorang yang sedang menungguku dirumah.
Saat aku tahu ada seseorang yang bangun disebelahku keesokan paginya. Saat aku
bisa menyiapkan sarapan darinya. Saat aku menunggunya dirumah ketika dia sedang
bekerja. Saat aku tahu ada tempat dan seseorang dimana aku akan pulang.Itulah
bahagia.
Dan aku
bahagia.
Meski naif
sekali kalau aku bilang kebahagiaanku mutlak. Tidak! Tidak sepenuhnya. Karena
bagaimanapun, apa yang aku miliki bersama dengan Jeffry masih dipandang sebagai
cacat di negara ini. Juga dalam ajaran agamaku. Aku tidak bisa mengekspresikan
perasaanku pada Jeffry dimuka umum. Kami tak bisa bergandengan, duduk terlalu
dekat, ngobrol terlalu lama, atau selalu bedua dalam setiap kesempatan.
Kebersamaan kami terbatasi dimata umum. Karena itu tempat favoritku adalah
rumah kami.
Dan aku
pernah dibuat terharu oleh Jeffry saat dia pun memiliki pemikiran yang sama.
Waktu itu kami sedang makan malam disebuah restoran sembari ngobrol santai.
"Jeff.
. . , boleh tau gak, dimana tempat kencan favoritmu?" tanyaku iseng.
"Dirumah!"
jawabnya singkat.
Sejenak
aku diam, sedikit kaget karena aku juga punya pemikiran yang sama.
"Alasannya?" kejarku penasaran.
Jeffry
menatapku lalu menghela nafas. "Karena disana aku bisa menyentuh dan
mencium kamu sepuasnya. Disana aku tak perlu menjaga sikap seperti
sekarang," jawabnya setengah menggerutu sembari langsung meneruskan
makannya. Tapi kurasakan kakinya yang ada dibawah meja mengusap kakiku pelan.
Dengan itu
aku tertunduk dengan dada yang terasa penuh oleh haru.
Tuhanku. .
.
Meski ada
celah dalam hubungan kami, aku benar-benar merasa bahwa kebahagiaan kami
sempurna.
Hingga
hari itu tiba. . . . .
XXIV
"Kamu
yakin mau berangkat sendiri?" tanya Jeffry untuk kesekian kali. Aku
kembali tersenyum mendengarnya mengatakan hal yang sama, entah untuk ke berapa
kalinya.
"Iya
Jeff," jawabku menenangkan. "Kamu kan ada syuting film. Masa
ditinggal?" ujarku sembari mengisi koperku.
"Aku
kan bisa mengambil libur beberapa hari," gerutunya lagi.
"Bukan
ngambil, tapi maksa," ralatku dan meliriknya yang langsung mendengus
keras.
"Tapi
kamu mungkin butuh temen disana kan?"
"Jeff,
aku pasti baik-baik saja. Disana kan ada Ummi. Juga keluarga yang lain. Abi
yang harus dikhawatirkan, karena beliau yang ada di rumah sakit. Kamu nggak
perlu khawatir kalau soal aku. Nanti aku kasih kabar ok?!" kataku menenangkannya.
"Masih
belum tahu berapa lama kau akan disana?" tanya Jeffry lagi. Nadanya yang
terdengar kesal membuatku menghentikan packingku yang belum selesai. Kulihat
dia berdiri disebelah tempat tidur dengan bibir cemberut dan kepala yang
sedikit tertunduk. Kakinya sesekali menendang bagian bawah ranjang. Jadi inget
dengan anak kecil yang sedang merajuk.
Aku
tertawa kecil melihatnya seperti itu. Terlihat begitu imut dan lucu. Kudekati
dia, dan langsung kulingkarkan tanganku di pinggangnya. "You're gonna miss
me, aren't you?" tanyaku pelan.
Kembali
dia mendengus pelan. "PeDe mu ketinggian," gerundengnya kesal dan
memelukku.
Kembali
aku tertawa kecil dan menyandarkan kepalaku dibahunya. "Kalo gitu, aku
yang pasti bakalan kangen sendiri nih," ujarku.
Tak ada sahutan
dari Jeffry. Dia mengetatkan pelukannya padaku, lalu kurasakan kecupan
ringannya di kepalaku. "I've missed you already!" bisiknya pelan.
Dia memang paling tahu, kapan harus bersikap romantis. "Aku
pasti balik cepat kok. Ada beberapa kontrakku yang belum selesai dan kudu
diberesin sampai akhir bulan ini."
"Baik-baik
aja disana. Telepon aku begitu sampai. Dan jangan mencari masa lalu yang sudah
kau lupakan," pesan Jeffry cepat.
Kalimat
itu memang terkesan sederhana. Tapi caranya mengucapkan membuatku menarik
kepalaku dan melihatnya heran. "Maksudmu Rafly?" tanyaku penasaran.
Aku memang sudah menceritakan semua masa laluku padanya. Tak ada hal yang
kurahasiakan dari Jeffry.
"Kau
kembali ketempat asalmu dimana kalian bisa bertemu dan mungkin . . ."
"Are
you jealous?" tanyaku dengan alis terangkat satu, memotong ocehan tak
jelasnya.
"No!"
sahutnya, terlalu cepat membela diri. "Tapi kalian punya masa lalu yang
boleh dibilang terkatung. Jadi ada kemungkinan kalau dia tahu kau kembali,
kalian akan bertemu dan. ."
"Aku
janji gak akan nyari atau temuin dia!" potongku. Jeffry sudah hendak
protes lagi, tapi sepertinya tak tahu harus mengatakan apa hingga akhirnya
memilih diam. Terlihat tak nyaman karena aku bisa tahu isi hatinya tanpa
bertanya. Aku jadi makin geli karenanya. Aku tahu, mungkin dia lebih memilih
disiksa sampai mati daripada diminta untuk mengaku kalau dia sedang cemburu.
Jadi aku tak mau memaksanya.
Kuraih
kepalanya dan kusatukan kening kami. "Hanya kamu," bisikku dan
memejamkan mata saat Jeffry memiringkan kepalanya dan menciumku. Tentu saja aku
tak mengatakan pada Jeffry kalau ada sedikit kekhawatiran tentang Rafly yang
mungkin datang mencariku. Meski kemarin aku sudah meminta Ummi untuk
merahasiakan kedatanganku.
"Sebaiknya
memang begitu. Sampaikan salamku pada keluargamu. Terutama Abi mu."
Aku hanya
mengangguk untuk menjawabnya.
Aku tiba
pada pukul 4 sore. Ummi sendiri yang menjemputku di bandara. Mata beliau
langsung berkaca-kaca saat aku mendekat. Aku segera memeluknya dan mengajaknya
untuk langsung pergi sana. Beberapa orang tampak memperhatikan kami. Entah
karena melihat Ummi yang menangis, atau karena mereka melihatku.
Sejak aku
dekat dengan Jeffry, aku telah beberapa kali tampil sebagai bintang tamu dalam
beberapa sinetron. Mulanya aku ingin menolak tawaran-tawaran itu. Apa lagi saat
ada tawaran main film bareng Jeffry. Sekali lagi sebagai bintang tamu. Jeffry
yang akhirnya mendorongku untuk menerimanya. Alasannya agar aku bisa mendalami
karakter lain selain diriku sendiri. Dan dia bersedia jadi mentorku. Jadi. . .
wajahku memang mulai dikenal dengan lebih luas. Tapi apapun penyebab
ketertarikan mereka, aku ingin segera pergi dari sana.
"Kamu
ingin istirahat dulu atau. . . ,"
"Kita
langsung ke Rumah Sakit saja Mi. Bagaimana perkembangannya Abi?" tanyaku.
"Sudah
lebih baik Maz. Tapi Ummi masih tetap cemas. Abimu adalah orang yang paling
memperhatikan kesehatan. Dia juga jarang sakit. Tapi sekali sakit ya begini
ini! Bikin kaget. Ummi belum bisa kalau. . . ," beliau tak bisa meneruskan
kalimatnya. Aku yang mengerti kembali memeluknya erat.
"Sudah
dong Mi! Kan Abi sudah mendingan! Ummi yang baik aja jagain Abi kalau sudah
pulang nanti!" hiburku. Ummi mengangguk dan mengusap airmatanya.
"Ummi
seneng kamu bisa pulang Nak," ujar beliau dengan kelegaan yang jelas
terlihat.
Kalimat
sederhana beliau langsung menohokku. Dari tadi sebenarnya aku sudah menahan
diri agar tidak larut dalam kesedihan Ummi. Tapi melihat beliau yang terlihat
begitu senang aku datang sungguh membuatku merasa bersalah. Aku tak pernah ada
disampingnya, menjalankan kewajibanku sebagai seorang anak. Aku terlalu sibuk
dengan karir dan pelarianku dari Rafly. Aku tak pernah meringankan bebannya.
Tak pernah berbakti padanya.
Kuraih
tangan Ummi dan kucium berulang kali. Dadaku sesak oleh penyesalan yang dalam.
"Maafin Dimaz ya Mi?" pintaku dengan suara sedikit pecah. Aku tak
bisa menahan airmataku lagi. "Dimaz gak pernah ada untuk Ummi dan
Abi!"
"Sekarang
kau sudah ada kan Nak?" balas Ummi dengan senyumnya. Beliau mengusap
kepalaku dengan lembut. Kasih sayang seorang Ibu memang tak pernah surut.
Bahkan saat anaknya sendiri selalu berbuat kesalahan. Hanya dengan sebuah
permintaan maaf, seorang Ibu akan melupakan kealpaan buah hatinya. Seberapapun
besar dosa yang telah dilakukan.
Maaf Ummi! Anakmu ini benar-benar tak pernah berbakti.
Selalu sibuk dengan dunianya sendiri yang tak karuan. Tuhanku, aku tahu apa
yang kulakukan salah. Timpakan semua dosa dan hukuman ke pundakku Tuhan. Jangan
timpakan pada orang tuaku. Semua murni kesalahanku. Mereka sudah melakukan
kewajiban mereka dengan sempurna.
Aku
menarik nafas panjang agar air mataku tak kembali turun karena sebentar lagi,
aku harus bertemu Abbi. Sejak kecil Abi sudah memberi didikan bahwa laki-laki
adalah tulang punggung keluarga yang harus kuat dan tahan banting. Tak ada
istilah menangis dalam kamus Abi. Didikan yang terus kuingat hingga sekarang.
Aku
berhenti sejenak didekat kamar Abi. Ummi yang paham kalau aku sedang
mempersiapkan diri hanya tersenyum dan meremas bahuku pelan. Aku cuma membalas
senyumnya tipis. Setelah menarik nafas panjang 2 kali, aku meraih handle pintu.
"Assalamu'alaikum.
. . ," kataku pelan dan melongokkan wajah ke dalam. Kulihat Abi yang
tadinya terpejam, membuka matanya. Senyum sumringah langsung merekah diwajah
beliau saat tahu siapa yang datang.
"Kapan
datang Nak?" sapa beliau sedikit serak.
Aku segera
mendekati Abi dan meraih tangan beliau untuk menciumnya. Yang mengejutkanku,
Abi tidak langsung melepaskanku. Beliau malah menarikku untuk lebih mendekat
dan memelukku dengan tubuh sedikit bergetar. Baru beberapa saat kemudian aku
sadar kalau beliau menangis.
"Sudah
Bi! Dimaz kan sudah datang sekarang," hibur Ummi yang berdiri disisi lain
pembaringan.
Aku masih
terpaku kaget untuk bisa bereaksi. Tapi sesaat kemudian tanpa dapat kutahan
airmataku kembali mengalir. Abi yang selalu menanam ajaran bahwa lelaki harus
kuat, kini justru menangis didepanku. Saat beliau melepas pelukannya, aku bisa
melihat dengan jelas. Beliau yang selalu tampak gagah dan kuat kini terlihat
kurusan dan kuyu. Rasa bersalah kini kembali menderaku. Apa lagi saat beliau
meremas tanganku yang sedari tadi digenggamnya. Aku makin tertunduk dalam
tangisku.
"Maaf
ya Maz! Abi malah gini. Tapi Abi lega kamu sudah datang. Abi sudah takut kalau
Abi tak bisa melihatmu lagi."
"Abi.
. . !" tegur Ummi pelan. "Dari kemarin kok ngomongnya ngawur gitu!
Nggak boleh Bi. Ummi kan nggak tenang," protes Ummi dengan pipi yang
kembali basah dalam hitungan detik.
"Ummi.
. . ," Abi meraih tangan istrinya. "Iya Mi. Maaf! Abi benar-benar
takut kemarin. Sekarang sudah nggak kok! Sudah ya Mi! Abi minta maaf!"
pinta beliau.
Aku cuma
mampu berdiri diam menyaksikan drama didepanku dengan kepala makin tertunduk
dalam dan mata berair. Selama ini mereka memang selalu menunjukkan keharmonisan
didepanku. Kasih sayang yang selalu mereka contohkan padaku tak pernah berubah.
Hingga kadang sering aku berpikir keras, kenapa aku bisa menjadi gay sementara
orang tuaku adalah contoh sempurna akan indahnya hubungan antara lelaki dan
wanita. Aku tak pernah bisa menjawabnya. Hingga kini.
"Dimaz
sudah makan?" tanya Abi memecahkan suasana haru yang menggantung.
"Sudah
tadi sebelum berangkat Bi!" jawabku pelan tanpa mengangkat muka.
"Ya
sudah. Kalau belum, kamu buka saja salah satu parcel yang ada itu. Ummi nanti
bawa saja semuanya pulang ya? Itu tadi ada lagi 5 orang temen Abi yang
kirim."
"Siapa
Bi?"tanya Ummi dengan suara yang terdengar agak normal lagi. Aku sendiri
segera permisi ke toilet untuk membersihkan mukaku. Saat keluar aku lihat Ummi
yang mengumpulkan parcel yang lumayan jumlahnya ke meja tamu. Kamar VIP tempat
Abi dirawat memang dilengkapi dengan seperangkat meja tamu dan 1 tempat tidur
tambahan.
"Dimaz
bantu Mi."
"Nggak
perlu Nak. Kamu temani Abi mu saja dulu. Dia sudah ribut mau ketemu kamu dari
kemarin. Biar Ummi sama Pak Rahmat yang bawa semuanya ke mobil ya?" kata
Ummi.
"Iya,
Dimaz disini saja. Gimana kuliah dan kerjaanmu Maz?" tanya Abi saat aku
mendekat.
"Lancar
Bi!" jawabku dan duduk dikursi yang ada di pinggir ranjang.
"Beberapa
waktu kemarin Abi bareng Ummi mu sempet lihat film kamu yang main sama temenmu
itu. Siapa namanya?"
"Jeffry
Bi! Ada salam dari dia. Dia sebenernya mau ikut kesini. Tapi nggak bisa.
Soalnya dia sedang menyelesaikan filmnya yang baru dan. . . ," Kalimatku
terpotong oleh deringan ponselku. Aku segera mengambilnya dan melihat nama
Jeffry muncul di screen. Aduh!! Aku lupa
menghubunginya! Aku sedikit menjauh
dari ranjang Abi. "Ha. . . ,"
"AKU
SUDAH NUNGGU DARI TADI!!!!!" raung Jeffry dari seberang bahkan sebelum aku
bisa mengeluarkan satu kata utuh.
Nah kan?! Orang satu ini emang kadang bisa kolokan habis
kalo udah kumat. "Maaf Jeff."
"Aku
nggak konsen dari tadi dan terpaksa break shooting!!" omelnya lagi dengan
suara yang lebih pelan, meski tetap saja dengan marah.
"Aku
langsung ke Rumah Sakit. Ini aku ada di kamar Abi dan. . . ," kembali kalimatku terpotong saat kulihat Abi
melambai dan menadahkan tangannya padaku. "Abi ingin bicara
denganmu," kataku dan dengan cepat memberikan ponselku pada beliau.
"APA?!!
Hei, aku. . . ,"
"Assalamu'alaikum
Jeffry. . . ," sapa Abi ramah pada Jeffry. Aku lebih memilih diam, sedikit
menjauh meski aku bisa membayangkan ekspresi Jeffry saat mendengar suara Abi.
"Sudah mendingan. Iya tadi Dimaz sudah bilang ke Oom kalau kamu sedang
sibuk. Terima kasih ya sudah jagain Dimaz buat Oom. Suatu saat kau harus
menyempatkan waktu kesini."
"Siapa?"
bisik Ummi yang muncul dari belakangku bersama Pak Rahmat, sopir keluarga kami.
"Si
Jeffry Mi!" jawabku.
Mendengar
itu Ummi segera mendekati Abi yang langsung berkata, "Iya. Ini Tantemu mau
ngomong!" dan langsung menyerahkan ponselku pada Ummi.
Aku
benar-benar tak tahan membayangkan
bagaimana wajah dan reaksi Jeffry. Pasti seru! Aku hampir-hampir tak
tahan untuk tertawa. Karena itu kuputuskan membantu Pak Rahmat membawa
parcel-parcel Abah ke mobil. Lucunya dipelataran parkir aku bertemu dengan
seorang cewek yang juga memegang sebuah parcel besar. Mau tak mau aku
melihatnya. Cewek itu berkerudung, berkulit putih dan benar-benar cantik. Dia
memiliki kecantikan dan keanggunan gadis muslimah yang cukup mengagumkan.
Bahkan saat mata kami bertemu, kulihat pipinya bersemu merah dan cepat-cepat
menunduk. Reaksi yang cukup membuatku terkesan. Biasanya, saat ada seorang
cewek yang kuperhatikan dengan intens, mereka justru akan pasang aksi norak.
Tindakan konyol yang sering membuatku merasa geli.
Tapi cewek
satu ini justru menunduk malu dan tampak salah tingkah. Tak sedikitpun berani
mengangkat wajahnya. Mau tak mau aku jadi tertarik melihat keluguannya. Saat
aku melewatinya dia semakin tertunduk dan berjalan mundur meski jarak diantara
kami cukup lebar. Lalu kulihat seorang bapak-bapak berpakaian rapi dan
bersongkok putih bersih menghampirinya.
Ayahnya? batinku.
"Sini
Mas Dimaz," kata Pak Rahmat, membuatku sedikit kaget. Cepat kuserahkan
parcel yang kubawa padanya. Begitu kembali aku menemukan Ummi yang sedang
bicara ditelepon dengan Jeffry diluar kamar Abi.
"Iya
Jeff. Terimakasih ya Nak? Ini Dimaz sudah balik. Assalamu'alaikum!" ujar
Ummi dan menyerahkan ponselku.
"Halo
Jeff?"
"SINTING!!"
sembur Jeffry langsung. "Aku dari tadi sampe gelagapan terus tahu?!!"
Aku
tertawa kecil mendengarnya. "Habis Abi yang minta. Beliau tadi bilang kalo
beliau dan Ummi pernah lihat film kita lho!"
Jeffry
mendengus keras. "Sudahlah. Aku cuma ingin denger kamu saja. Oom sudah
bilang kalau beliau mendingan. Kamu apa nggak sebaiknya pulang ke rumahmu dan
istirahat dulu?" tanya Jeffry jauh lebih kalem dari tadi.
"Ntar
lagi. Abi sepertinya masih belum puas liat anaknya yang cakep ini!"
"Dasar
narsis edan!!" gerutu Jeffry membuatku kembali tertawa kecil. "Aku
juga belum puas melihatmu tahu?" lanjutnya lagi lembut.
Aku tak
mampu menahan cengiranku mendengarnya. "Jeffry kangen ya?" godaku.
"Ugh!
Males ngomong ma kamu! Aku mau tidur! Cepet balik kalo semua sudah beres!"
tukas Jeffry dan langsung menutup telepon. Aku tersenyum dengan reaksinya.
Jeffry memang boleh dibilang pelit kalau diminta mengeluarkan pujian ataupun
kalimat yang mengungkapkan tentang perasaan hatinya. Padahal dia gampang saja memanggil
model cewek kenalannya dengan sebutan sayang atau cinta. Meski aku sudah
menduga apa alasannya, pernah juga aku protes. Kenapa dia tak pernah mengatakan
itu padaku. "Tak ada makna khusus meski aku mengatakan kata itu seribu
kali pada mereka. Itu semua hanya basa-basi saja. Tapi denganmu berbeda. Karena
apa yang aku katakan padamu, kata-kata itu memiliki makna yang
sebenarnya," jelasnya waktu itu.
Karena itu, setiap kalimat yang ia keluarkan
terasa sekali artinya. Dan Jeffry benar-benar tahu kapan harus mengatakan
sayang, kangen atau yang lainnya. Dia punya cara dan waktu sendiri.
"Dimaz!"
panggil Ummi dari dalam.
"Iya
Mi!" sahutku dan cepat-cepat ke dalam. Aku cukup terkejut saat aku
mendapati cewek cantik berkerudung itu duduk disebelah Abi. Sementara bapak-bapak
yang bersamanya ada disisi lainnya.
"Sini
Nak! Kenalkan ini Oom Ghani Al Juffry. Beliau rekan kerja Abi. Dan ini putrinya
yang sudah sering ke rumah. Sarah," kata Abi memperkenalkan.
Aku segera
mendekat dan menyalami orang yang disebut Abi tadi sebagai Oom Ghani. Tapi saat
aku hendak menyalami Sarah, aku sedikit kecele. Karena cewek itu hanya
menangkupkan tangannya dan mengangguk tanpa menolehku.
"Biasa
Maz. Keluarga Oom Ghani ini masih memegang teguh ajaran leluhur yang dari Arab
sana. Kalian bukan muhrim, jadi dilarang bersentuhan. Jangan tersinggung
ya?" pinta Oom Ghani ramah.
"Ooh!!
Nggak apa-apa Oom," sahutku cepat. Jadi
dia masih memiliki darah Arab. Pantas kulitnya berbeda putihnya, pikirku.
"Tapi
ngobrol nggak apa-apa toh Ghan? Kan ada kita disini," seloroh Abi.
Oom Ghani
tertawa. "Tentu saja Han!" sahutnya.
"Kamu
temani Sarah ngobrol dulu ya Maz. Ummi mau beli minuman dulu. Ayahmu sepertinya
ingin ngobrol berdua dengan Oom Ghani," kata Ummi tersenyum. Aku hanya
mengangguk dan menuju kursi tamu.
"Mari
Sarah! Silahkan duduk," kataku mempersilahkannya. Sarah mengangguk dan
mengikutiku duduk. "Sarah kuliah atau sudah bekerja?" tanyaku mencoba
membuka obrolan.
"Masih
kuliah Bang! Di *** (nama sebuah Universitas berbasis agama). Semester
dua," jawab Sarah tanpa sekalipun menatapku.
Radit pasti menyukai gadis ini, pikirku.
Aku sebenarnya sudah terbiasa menghadapi gadis seperti Sarah karena memang
begini caraku dibesarkan. Tapi setelah 3 tahun lebih di Jakarta dan terbiasa
dengan cewek agresif, jadi agak segan juga meghadapinya. Untungnya sebagai
publik figur, sedikit banyak aku memiliki pengetahuan bagaimana berhadapan
dengan berbagai karakter orang. Akupun mencoba menjalin percakapan santai
dengan Sarah. Ummi yang baru datang menyajikan minuman camilan ringan untuk
tamunya.
Yang
mengejutkanku, Sarah ternyata mengikuti sekali perkembangan dunia dan ilmu
pengetahuan. Dia tahu banyak tentang situasi politik, perdagangan, bahkan
tentang perkembangan dunia kesehatan yang mungkin hanya diketahui oleh orang-orang
yang sering melahap surat kabar dan acara berita. Lucunya, dia tidak begitu
paham akan dunia entertainment. Film yang kubintangi saja ia tonton karena
ayahnya yang ngajak. Mungkin acara infotainment dianggapnya sebagai ghibah. Aku
sendiri kadang cenderung berpikir seperti itu.
Baru
beberapa saat kemudian, baru kusadari kalau dari arah pembaringan Abi tidak
terdengar apapun. Saat aku menoleh, mereka semua justru sedang bengong
memperhatikan kami.
"Kalian
ini sedang ngomongin apa sih? Kok debatnya seru begitu?" celetuk Abi saat
aku dan Sarah akhirnya diam begitu tahu kami sedang diperhatikan.
"Cuma
hal umum saja kok Bi!" jawabku dan tersenyum, sedikit kikuk. Entah sudah
berapa lama mereka memperhatikan kami.
"Anak
muda! Kadang aku juga nggak ngerti apa yang mereka ributkan Han," sambung
Oom Ghani. Mendengar beliau memanggil nama Abi yang Farhan menjadi Han saja,
jelas mereka mempunyai hubungan yang lebih dekat daripada yang kuperkirakan
sebelumnya.
"Generasi
tua memang cukup di garis belakang saja Ghan!" seloroh Abi dan tertawa
kecil.
"Ya
sudahlah! Sudah sore. Aku pamit dulu ya? Kau istirahat supaya kita bisa
kumpul-kumpul lagi," pamit Oom Ghani dan menyalami Abi. Akupun segera
bangkit untuk ikut menyalaminya. "Dimaz main-mainlah ke rumah Oom.
Sesekali Oom pengen rumah Oom disambangi sama artis. Kan bisa buat pamer ke
teman-teman."
Aku hanya
tersenyum menanggapinya, "Insyaallah Oom." Kulihat Sarahpun bangkit
mendekati Abi.
"Sarah
pamit Oom Farhan. Cepat sembuh ya?" pamit Sarah dan meraih tangan Abi,
menciumnya takzim. Lalu berganti pada Ummi.
"Terimakasih
Nak! Semoga saja. Kamu juga sering-sering ke rumah Oom ya?" jawab Abi.
"Insyaallah
Oom. Bang Dimaz," kata Sarah dan mengangguk padaku.
"Kalau
begitu, mari. Assalamu'alaikum," kata Oom Ghani yang diikuti oleh Sarah.
Aku dan Abi segera menjawabnya.
Saat mereka lenyap dari pandangan, Abi mendesah pelan. Hal itu tentu
saja membuat aku dan Ummi heran.
"Kenapa
Bi?" tanya Ummi khawatir.
"Nggak
papa Mi. Abi cuma salut sama si Ghani. Nggak banyak orang yang bisa tetap hidup
dengan prinsip seperti mereka sekarang ini. Modernisasi kehidupan terkadang
membuat kita jauh pada sang Khalik. Tapi liat Ghani dan anaknya! Mereka bisa
bertahan, meski mereka termasuk orang-orang yang sukses."
"Oom
Ghani nggak punya istri Bi?" tanyaku lagi.
"Sudah
meninggal 2 tahun yang lalu Maz," jawab Ummi. "Sekarang dia tinggal
sama Sarah dan dua orang adik kembarnya yang masih SMP."
"Ghani
begitu menyayangi istrinya. Dia cukup terpukul saat istrinya meninggal. Dia
bilang, dia tidak kesepian. Sudah merasa cukup dengan anak-anaknya dan tidak
punya keinginan untuk menikah lagi. Tapi Abi rasa, pada suatu titik, dia pasti
akan kesepian juga. Seperti Abi dan Ummi mu ini Maz."
"Maksudnya
Bi?"
Abi
kembali mendesah. "Kapan kau akan membawa menantu buat kami?"
Aku sontan
terdiam dengan kepala kembali tertunduk. Ya
Tuhan! Tolong, jangan sekarang!
"Kau
satu-satunya putra Abi. Penerus garis keturunan Abi. Dan kemarin, saat Abi
sakit, Abi baru sadar. Kalau Abi masih punya satu tugas yang belum Abi
selesaikan. Menikahkanmu," kata Abi. "Kemari Nak!" panggil Abi
dan menepuk sisi tempat tidurnya.
Aku hanya
mampu menurutinya dengan nafas yang mulai sesak.
"Kau
tahu, Abi selalu mencoba mengalah dengan keinginanmu. Karena Abi tahu, kau juga
ingin menikmati masa muda mu. Abi mengerti. Tapi. . . ,apakah masih belum cukup
sekarang Nak?," tanya Abi memulai. "Kau pergi meninggalkan kami ke
Jakarta sendiri dengan alasan ingin mandiri. Meski berat, kami berdua
mengikhlaskanmu. Sudah berjalan hampir 5 tahun kau meninggalkan kami. Apa masih
belum cukup?"
"Kau
masih belum ingin kembali, Nak? Kami. . . , benar-benar kesepian disini,"
sambung Ummi membuatku semakin sesak.
"Ummi,"
desahku.
"Bagaimana
kalau sesuatu terjadi pada kami Maz?" lanjut Abi. "Kau mau, hanya mampu
memegang mayat kami?"
"Abi!!
Kok bicaranya ngelantur gitu?" protesku pelan.
"Karena
kemarin Abi bisa saja mati Dimaz!" jawab Abi. "Kemarin, bisa saja Abi
sudah meninggalkan Ummimu sendiri, sementara kau, satu-satunya putra Abi, tidak
ada disini! Abi. . . ,benar-benar takut kalau Abi pergi tanpa bisa melihatmu
lagi. Karena Abi masih punya tanggung jawab untuk menikahkanmu. Bawalah pacarmu
ke rumah Nak! Katakan dia siapa dan dimana. Kami akan segera melamarnya agar
secepatnya kau bisa membawanya kerumah, sebagai teman kami yang sudah
tua."
"Apa
lagi yang kau tunggu Nak? Harta kita sudah lebih dari cukup untuk bekal hidupmu
dan keturunanmu Maz," sambung Ummi.
"Kau
sudah memiliki pilihan Nak?" tanya Abi pelan.
Aku
terdiam. Bingung harus bagaimana menjelaskannya pada mereka. Tak mungkin aku
mengatakan kalau aku gay dan sedang berhubungan dengan Jeffry. Hanya Tuhan yang
tahu apa yang akan terjadi dengan Abi kalau dia tahu. Akhirnya aku hanya bisa
menggeleng saja.
"Bagaimana
kalau kami yang mencarikannya untukmu?" tanya Abi lagi.
"Dimaz.
. . ,masih harus menyelesaikan kuliah Bi!" kataku mencoba mengelak.
"Apa
harus di Jakarta nak? Apa begitu pentingnya pendidikanmu sehingga kau harus
meninggalkan kami lebih lama lagi? Apa yang mau kau raih? Masih kurang apa yang
kita miliki disini?" tanya Abi. "Teruskanlah pendidikanmu disini Nak!
Bantu Abi mengurus semua usaha Abi yang nantinya toh akan jadi milikmu juga.
Dan segeralah menikah! Abi akan mati dengan tenang kalau kau sudah berkeluarga.
Setidaknya Ummi mu tak akan kesepian lagi kan?"
Hening!
Aku
benar-benar merasa terdesak dengan permintaan Abi dan Ummi. Namun dalam hati,
aku juga tak bisa menyangkal kalau apa yang mereka minta juga wajar dan sudah
semestinya. Tapi. . . . ,
Suasana
hanya dipecahkan oleh isak pelan Ummi. Beberapa saat kemudian, kurasakan tangan
Ummi yang memegang bahuku dan meremasnya pelan. Aku sama sekali tak bisa
mengangkat muka.
"Pikirkan
saja dulu, ya Nak?!" pinta Ummi.
Aku hanya
mengangguk.
XXV
Semula
kukira Ummi dan Abi hanya bercanda saat mengatakan bahwa mereka kesepian
dirumah. Sampai akhirnya aku berada disini. Saat ini Ummi masih berada di rumah
sakit dan aku memutuskan untuk pulang dan beristirahat sejenak. Saat aku
bangun, baru aku tahu kalau mereka benar.
Rumah kami
yang besar terasa lengang dan sepi. Yang terdengar hanya kicauan beberapa ekor
burung peliharaan Abi, serta petok ayam. Tak ada suara manusia.
Ya Tuhan, seperti inikah suasana yang harus mereka jalani
setiap harinya? Apa yang Ummi lakukan saat Abi bekerja? Apa yang beliau kerjakan
untuk mengusir kesepian ini?!
Aku
berjalan keluar dari kamar. Celingukan sebentar, sampai akhirnya kudengar suara
tak jelas dari arah belakang. Aku menghampirinya dan menemukan Mbok Sri dan
putrinya Rukmini sedang memasak didapur. Beliau adalah pembantu kami yang
berasal dari Jawa. Sudah bekerja pada Ummi semenjak aku kecil.
"Masak
apa Mbok?" tanyaku pelan.
Mbok Sri
jadi sedikit kaget dengan sapaanku. Dia memegang dadanya dan menghela nafas,
sementara Rukmini cuma tersenyum malu-malu. Dia seorang gadis berkulit coklat
manis yang berusia 2 tahun dibawahku. Dan kudengar dia sudah berkeluarga dengan
adik Pak Rahmat, sopir kami.
"Duh
Mas Dimaz! Mbok ya jangan gitu! Bikin Mbok Sri kaget wae. Ini lho, mbok mau
bikinin telor petis kesukaan Mas Dimaz. Nanti dihabisin yo?" kata beliau.
"Mas
Dimaz ingin sesuatu?" tanya Rukmini.
"Bikinin
jus jeruk ya Mbak?" pintaku lalu duduk di kursi dapur dan memperhatikan
mereka melakukan pekerjaannya.
"Mas
Dimaz berapa hari ndek sini?" tanya Mbok Sri lagi.
"Nggak
tahu Mbok. Mungkin sampai Abi keluar. Kayaknya nggak lama Mbok. Lagipula,
disini kok sepi banget ya?"
"Ya
gimana ndak sepi, lha wong mas Dimaz anak satu-satunya malah tinggal di
Jakarta!" seloroh Mbok Sri dan tertawa kecil. "Mas Dimaz baru saja
datang sudah gak kerasan. Coba bayangin Bapak sama Ibu yang tinggal disini
setiap harinya. Kadang suka kasihan lho Mas kalo melihat mereka. Duduk bengong
berdua. Gak ada temen. Mas Dimaz mbok ya cepet-cepet nikah gitu lho!"
"Aduuuhh!!
Mbok juga ngomongnya kok gitu?! Kemarin Abi sama Ummi juga ngomongin hal yang
sama. Memang nggak ada yang lain?" gerutuku.
"Lha
mau apa lagi tho Mas? Mas Dimaz sudah punya semuanya kan?"
"Kuliahku
belum selesai Mbok!"
"Kenapa
ndak kuliah disini saja Mas?" celetuk Rukmini. "Kan bisa sekalian
nemenin bapak sama ibu!"
"Iya
Mas! Terus nikah gitu lho! Jadi rumah ini ndak sepi. Mas Dimaz sudah punya
pacar tho?" tanya mbok Sri.
"Sudah
Mbok! Tapi aku juga nggak mungkin nikah sama dia," sahutku pelan teringat
akan Jeffry.
"Berarti
ya bukan jodoh Mas! Kalau memang sudah ndak ada jalan, mungkin sudah waktunya
Mas Dimaz mencari yang lain. Hidup ini apa yang dicari tho Mas? Mau nyari harta
terus juga buat siapa kalo kita ndak punya keturunan? Semua orang itu kan butuh
seseorang buat nemenin hidup. Bersama sampai tua. Melihat anak dan cucunya
tumbuh. Bagi Mbok, itulah yang disebut bahagia!"
"Tapi
bagaimana kalau orang yang kita cintai itu justru orang yang salah Mbok?
Misalnya seorang gadis yang jatuh cinta sama suami orang. Bapak yang jatuh
cinta sama anak tirinya? Atau laki-laki yang suka sama laki-laki juga?"
"Lhah
dalah Maaaaass!! Kalau Mbok bilang itu sih bukan cinta. Tapi cobaan!" ujar
Mbok Sri sembari mengangkat telur yang sudah ia rebus dan memasukkannya ke
dalam panci berukuran sedang yang berisi air dingin. Beliau membawanya dan
duduk didepanku.
"Maksudnya
Mbok?" tanyaku dan mengambil 1 telur untuk membantu Mbok Sri mengupasnya.
"Lha
yang seperti mbok bilang tadi, mungkin itu bukan jodoh Mas Dimaz. Mungkin aja
itu cuma salah satu ujian yang Allah kasih sebelum Mas menemukan jodoh yang
sebenarnya. Kalo bukan jodoh, ya nggak bisa dipaksa Mas. Kalau Mas jatuh cinta
pada orang yang salah, mungkin Mas harus belajar merelakannya. Karena mungkin
hal itu berarti bahwa kebahagiaan orang itu, tidak berada ditangan Mas. Tapi
ditangan orang lain," jelas Mbok Sri.
"Tapi
bagaimana kalau kebahagiaan saya, justru bergantung pada orang itu Mbok?"
tanyaku ngotot.
Mbok Sri
tersenyum. "Kadang kita memang kudu rela sakit demi orang yang kita
sayangi Mas. Kalau dengan memaksanya tetap bersama kita justru bikin banyak
orang terluka, apa ndak egois namanya? Beberapa diantara kita, kadang harus mau
berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Karena itu kita harus ikhlas. Belajar
untuk berkorban demi orang lain. Bukankah akan lebih indah kalau kita bisa
melihat orang yang kita sayangi bahagia? Daripada dia berada disisi kita,
sementara dia dan banyak orang lain malah menderita. Kalau kita sayang
seseorang, kita harus siap untuk kehilangan. Karena nggak ada yang selamanya
jadi milik kita. Suatu saat, hal itu akan diambil oleh yang Kuasa!" kata
Mbok Sri bijak. Siapa sangka, seorang pembantu seperti beliau memiliki
kemampuan berpikir seperti itu. Pengalaman hidup rupanya telah mengajarnya
dengan baik.
"Lalu
bagaimana kalau aku dan dia benar-benar saling menyayangi, tapi. . .
,kebersamaan kami justru akan membuat keluarga kami tersakiti Mbok? Haruskah
kami memperjuangkan kebahagiaan kami?"
Mbok Sri
tersenyum mendengar pertanyaanku. "Apa yang lebih utama, membahagiakan
diri sendiri atau orang tua? Ibadah atau dunia? Lagipula, kalau kita menjalin
suatu hubungan dengan seseorang, bukankah muara akhirnya adalah dalam
pernikahan? Kalau memang Mas Dimaz dan kekasihnya ndak akan bisa bersatu,
bukankah itu sudah satu pertanda kalau kalian ndak berjodoh?"
Aku
terdiam oleh pertanyaan balik itu.
"Percaya
saja sama Allah kita Mas. Kadang ada saat dimana akal kita sudah ndak bisa
berpikir lagi. Kalau pikiran kita sudah ndak bisa menemukan jalan keluar,
kembali saja pada ajaran agama kita. Kembalikan semua pada Allah. Yakin saja
bahwa apapun yang dianjurkan oleh Allah itu yang terbaik. Mas Dimaz ndak perlu
ragu," kata Mbok Sri dengan senyum polosnya.
Aku hanya
tersenyum kecut mendengarnya. "Mbok Sri nggak perlu kuliah, sudah pinter
ya?" selorohku.
"Lha
namanya saja orang tua Mas. Mbok Sri kan belajarnya dari jalannya hidup Mbok
Sri sendiri. Kadang juga suka nanya ke Bapak. Lagian ilmu kan ndak hanya berada
dibangku sekolah tho. Mas Dimaz lho malah sudah kuliah, harusnya lebih bisa
membedakan mana yang bener sama yang ndak."
"Aku
belum bisa melepasnya Mbok," kataku pelan setengah melamun.
Mbok Sri
menatapku dengan sedikit iba. Meski tak detil yang kuceritakan, sepertinya
beliau tahu kalau aku memiliki masalah yang pelik. "Mungkin sudah saatnya
Mas Dimaz belajar akan arti pasrah dan ikhlas," pungkas beliau lalu
bangkit membawa panci kecil berisi telur-telur yang sudah kami kupas tadi.
Aku
terpekur disana dengan pikiran yang penuh dengan kata-kata Mbok Sri.
Kebijaksanaan yang beliau miliki memang ditempa oleh kerasnya hidup. Kudengar
kehidupan beliau ditanah Jawa dulu cukup pahit. Aku tak tahu apa persisnya.
Yang jelas hal itu memaksa Mbok Sri beserta suaminya untuk hijrah ke sini.
Begitu
larutnya aku dalam pikiranku hingga aku tak mendengar sapaan Ummi yang beberapa
kali memanggilku. Aku baru terhenyak kaget saat beliau memegang bahuku.
"Mi.
. . ," sapaku pelan dan cepat-cepat bangkit untuk mencium tangannya.
"Dimaz
sudah lapar?" tanya Ummi dengan senyum lelahnya, membuatku semakin merasa
teriris perih. Bahkan saat fisiknya payah, beliau masih sempatnya bertanya
tentangku.
"Nggak
kok Mi. Ini lagi ngobrol sama Mbok Sri. Ummi istirahat ya? Kelihatannya capek
banget," bujukku.
"Ummi
masih ingin ngobrol denganmu. Temani Ummi duduk didepan ya? Mbok, bikinin teh
manis ya?" pinta Ummi dan langsung mendahuluiku keruang tengah.
"Ummi
tidur saja. Nanti sakit lho!" bujukku lagi.
Beliau
yang terduduk dengan kaki diluruskan di sova kembali tersenyum. "Mau
pijitin kaki Ummi?" pintanya yang segera kujawab dengan anggukan. Aku
segera duduk di sebelah beliau dan meletakkan kaki Ummi di pangkuanku.
"Abi
gimana Mi?" tanyaku.
"Tadi
sudah tertidur waktu Ummi tinggal. Dokter bilang, 2 hari lagi sudah boleh
pulang. Kamu sudah shalat?"
Pertanyaan
yang suah biasa ku dengar dari beliau. Biasanya akupun enteng saja menjawabnya.
Tapi tidak kali ini. Aku tak bisa mengatakan pada Ummi bahwa semenjak aku
bersama dengan Jeffry, aku tidak pernah lagi mendirikan shalat. Aku merasa
terlalu kotor. Rasanya aku menjadi orang yang munafik kalau aku tetap saja shalat,
sementara aku masih melakukan hal yang jelas-jelas dilarang oleh Allah.
"Belum Mi! Nanti saja. Kan waktunya masih panjang!" elakku.
"Jangan
suka menundanya Maz!"
"Kan
masih mijitin Ummi," cengirku membuat Ummi tergelak kecil.
"Kalau
gitu, sebentar lagi harus shalat dulu ya? Setelah itu kita makan bareng.
Ngobrol apa tadi dengan Mbok Sri?"
"Soal
pernikahan Bu!" celetuk Mbok Sri yang tiba-tiba nongol. Aku menggerutu
pelan mendengarnya. Apa lagi saat kulihat Ummi langsung menatapku dengan
intens. Aku segera mengalihkan pandanganku, pura-pura konsen memijiti kaki
beliau.
"Dimaz
masih kepikiran soal permintaan Ummi dan Abi?" tanya Ummi setelah
keheningan yang lama. Aku tak menjawabnya. Bukan karena tak mau, tapi lebih
karena tak tahu harus mengatakan apa. Aku tak sanggup melihat kekecewaan dimata
beliau kalau aku jujur. Aku lebih memilih dibuat pingsan daripada harus melihat
mata itu kembali berair.
Ummi
menghela nafas saat aku tak juga menjawabnya. "Mungkin menurut Dimaz kami
egois. Tidak memperdulikan perasaan anak sendiri. Tapi. . . , apa permintaan
kami itu berlebihan?" tanya Ummi lagi.
Aku hanya
menggeleng pelan dengan leher tercekat.
"Coba
Dimaz dengarkan baik-baik suara disekitar rumah ini," ujar Ummi.
Aku
menurutinya dan hanya mendengar suara serangga-serangga pohon dan unggas
dibelakang rumah.
"Sepi
kan Nak? Seperti inilah kehidupan yang Abi dan Ummi mu jalani selama hampir 5
tahun ini. Mencekam. Tak ada yang bisa diajak bicara, bercanda ataupun kami
marahi. Kau putra kami satu-satunya. Anak kami satu-satunya. Tapi kau lebih
memilih menuntut ilmu di pulau seberang. Abi dan Ummi mu sudah mengalah dan
mengijinkanmu pergi. Tapi sekarang, kami membutuhkanmu Nak! Ramaikan rumah ini.
Isi rumah ini dengan suaramu. Akan lebih baik kalau kau juga membawa menantu
yang bisa menemani Ummi saat kau pergi bekerja atau sekolah. Lalu segera beri
Ummi cucu yang bisa Ummi manjakan. Ummi janji, Ummi akan menyetujui siapapun
gadis yang akan kamu bawa kesini. Apapun latar belakangnya. Ummi akan mendukung
kalian sepenuhnya!" ujar Ummi.
Aaaaaah Ummi, desahku dalam hati nelangsa. Tak
pernah ada gadis dalam hidup putramu. Aku hanya mencintai satu orang saja. Dan
dia seorang lelaki Mi! Ummi tak akan bisa menerima atau mendukung putramu ini.
Ummi tak akan mampu mengerti, karena bahkan Dimaz sendiri juga tak mengerti,
kenapa Dimaz bisa jatuh cinta pada lelaki.
"Dimaz
sudah ada calon?" tanya Ummi.
Aku
menggeleng untuk menjawabnya.
"Sungguh
Nak?"
"Dimaz
belum punya gadis Mi!" jawabku pelan dengan kepala yang masih tertunduk. Semantic. Permainan kata-kata.
"Kalau
Dimaz tak keberatan, biar Ummi dan Abi yang mencarikanmu jodoh Nak. Dimaz
bersedia?" tanya Ummi lagi.
Aku tak
langsung menjawab, berpikir keras harus mengatakan alasan apa yang tepat agar
mereka mau mengurungkan niat mereka. Tapi tak ada satu hal pun yang bisa
menurutku tepat. Semua alasan yang terpikir olehku justru membuatku makin
merasa bersalah dan terasa konyol. "Beri waktu Dimaz buat berpikir
Mi!" pintaku akhirnya setelah kediaman yang lama.
Kudengar
Ummi menghela nafas panjang. "Baiklah Nak! Silahkan berpikir. Sekarang,
shalat dulu ya? Ummi mau melihat ke dapur," pungkas Ummi dan bangkit.
Baru saat
beliau menghilang dari ruang tengah aku bisa menarik nafas panjang. Masih
terasa sesak. Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus aku katakan? Pikiranku
seakan berada didalam ruang persegi dimana kesemua sisinya ditutup oleh tembok
baja hitam yang tak bercelah. Dinding yang beku dan gelap. Tidak menawarkan
sedikirpun cahaya ataupun celah. Karena tak ada apapun yang bisa kupikirkan,
akupun bangkit untuk shalat seperti kata Ummi tadi. Kalau tidak segera
melaksanakannya, Ummi akan terus menanyakanya.
Yang
mengejutkanku, saat bilasan pertama air wudhu membasahi mukaku, kurasakan
sedikit sentakan disudut hatiku. Dan semua hal, hidupku selama ini berkelebat
cepat di pikiranku bagai kalaeidoskop hidup. Terbayang semua hal yang telah
dilakukan oleh Ummi dan Abi. Bagaimana mereka mendidikku, membesarkanku, dan
mengajarkan semua yang peru aku ketahui.
Kilasan
itu terus berlanjut dengan masa-masa remajaku. Sampai aku bertemu Rafly, pindah
ke Jakarta, hingga saat aku bersama Jeffry.
Allah!!
Begitu
banyaknya dosaku! Begitu jauhnya aku dari diriku yang dulu. Sebenarnya apa yang
terjadi? Apa yang Kau inginkan dengan semua yang terjadi? Kenapa aku harus
memiliki perasaan ini? Kenapa aku harus mencintai pria? Kenapa aku harus
berbeda?
Perbedaan
yang kumiliki telah menyakiti banyak orang. Kejadianku dengan Rafly membuatku
menjauh dari orang tuaku. Membiarkan mereka hidup berdua dalam rumah kami yang
besar namun lengang. Aku lebih memilih hidup di Jakarta. Menghabiskan waktuku
dengan menuntut ilmu dan bekerja dengan orang-orang yang bisanya hanya
memamerkan keindahan fisik mereka. Sampai aku bertemu Jeffry dan jatuh cinta
padanya.
Dalam
sujud aku menangis!
Allah!!!
Aku tahu
semua firman Mu. Semua ayat-ayat Mu yang disampaikan oleh Nabi Mu. Ayat-ayat
yang mengutuk hubungan yang kumiliki bersama Jeffry. Kalimat-kalimat yang tidak
hanya membuatku merasa miris, tapi juga ngeri.
Aku
menyayanginya Allah!
Menyayangi
pria itu dengan segenap perasaan tulus yang bisa tercipta dari seorang hamba
Mu. Bagaimana ini bisa salah, bila Kau sendiri yang menumbuhkan perasaan ini
dalam diriku?
Apa yang
harus kulakukan agar bisa menjadi hamba Mu yang baik? Hamba telah mencoba lari
dari perasaan ini. Tapi kini hamba Mu ini kembali memilikinya. Haruskah aku
berlari lagi? Dan sampai kapan?
Apa yang
harus hamba lakukan agar bisa menyenangkan orang tua hamba? Hamba ngeri
membayangkan kalau suatu saat, ketika hamba Mu ini telah berstatus seorang
suami dan ayah, hamba jatuh cinta kembali pada seorang pria. Seberapa besar
dosa hamba jika hal itu terjadi? Betapa zhalimnya hamba pada anak istri nanti?!
Diatas
sajadah itu, aku hanya bisa menangis! Membiarkan hatiku berbicara pada sang
Khalik!
Dan aku
benar-benar kelihatan berantakan setelahnya. Suaraku terdengar serak dan mataku
merah bengkak. Kalau Ummi melihat pasti akan ditanyai macam-macam. Padahal aku
belum makan malam. Aku bingung bagaimana harus menyamarkannya.
"Dimaz
sudah. . . ," kalimat Ummi berhenti sampai disitu. Beliau berdiri didepan
mushalla kecil yang ada dalam rumahku dengan ekspresi kaget. Tangannya
terangkat, mengusap dadanya. "Ada apa Nak?! Apa masalah yang membuatmu
seperti itu?" tanya Ummi khawatir.
Aku diam
tak menjawab. Hanya menunduk.
"Apa
karena permintaan Abi dan Ummi tadi?" tanya beliau setelah menunggu
beberapa saat.
Aku tetap
tak menjawab.
Ami
mengeluarkan desahan masygul. "Ya Allah, begitu beratkah permintaan yang
kami ajukan sampai kau seperti ini nak?" tanya Ummi dengan suara bergetar.
Hanya dalam hitungan detik, aku mendengar beliau kembali terisak. Hatiku serasa
di lecut dengan keras mendengarnya.
"Ummi!"
Hanya itu
yang sanggup kukatakan karena detik selanjutnya aku sudah sujud mencium kaki
beliau. Tak ada sahutan dari beliau selain isakan pelannya. Beberapa saat
kemudian kurasakan usapan lembut beliau dikepalaku.
"Ummi
maafkan Dimaz!" ratapku pelan dan memeluk kaki Ummi erat. "Dimaz anak
durhaka. Lakukan apapun keinginan Ummi dan Abi. Apapun!"
"Maafkan
Ummi ya Nak!"
Aku
menggeleng keras mendengarnya. Mataku semakin sembab dengan kata maaf Ummi itu.
"Dimaz . . y-yang. . . seharusnya
minta maaf Mi!" kataku sedikit tersendat. "Dimaz tak pernah
menjalankan kewajiban Dimaz sebagai seorang anak. Dimaz justru tenggelam dalam
dunia Dimaz sendiri. Tak pernah memikirkan perasaan Ummi dan Abi! Dimaz yang
salah!"
"Nak.
. . "
"Lakukan
apapun keinginan Ummi. Dimaz akan menurut. Dimaz janji Mi. Apapun itu,"
bisikku lirih dengan hati pasrah.
Semua
telah berakhir, batinku perih!
XXVI
Kabar
kesediaanku ternyata obat yang mujarab bagi Abi. Beliau segera ngotot pulang
untuk langsung mencarikanku jodoh. Dia menghubungi semua kenalan yang bisa ia
jangkau. Hanya dalam waktu 2 hari setelah kepulangan beliau dari rumah sakit, aku
sudah mendapatkan 10 buah foto dan nama gadis yang bisa kupilih. Dan aku tak
membutuhkan waktu lama untuk memutuskan saat aku melihat foto gadis pertama
yang diajukan oleh Abi.
Sarah!
Bisa
kulihat kalau pilihanku adalah memang harapan Abi dan Ummi. Mereka berdua
langsung memelukku dan mengucapkan kalimat hamdallah pada yang Kuasa. Ummi tak
henti-hentinya mengusap dan mencium kepalaku dengan pipi yang basah. Dan
melihat mereka yang begitu bahagia, aku benar-benar merasa rela untuk melakukan
apapun agar bisa membuat mereka tetap seperti itu. Bahkan jika itu berarti aku
harus menyakiti diriku sendiri.
Aku hanya
mengajukan satu syarat pada mereka. Aku minta waktu setahun untuk membereskan
semua hal yang kutinggalkan di Jakarta. Termasuk Jeffry. Mereka hanya membutuhkan
waktu beberapa detik untuk menyetujuinya.
Hari ini,
5 hari setelah Abi kembali dari rumah sakit, beliau mengajakku untuk bertandang
ke kediaman Oom Ghani. Selain untuk membicarakan hal perjodohan kami, Abi
bilang ini juga kesempatanku untuk mulai belajar mengenal Sarah. Abi
meyakinkanku untuk tidak merasa khawatir, karena beliau telah membicarakan hal
ini dengan Oom Ghani, saat beliau menjenguk Abi di rumah sakit. Dan Oom Ghani
waktu itu juga menyetujuinya. Jadi kunjungan ini hanya untuk merundingkan
hal-hal resmi tentang perjodohan kami.
Aku hanya
tersenyum dengan tingkah heboh mereka. Berpura-pura senang meski sejak pertama
kali hal ini dibahas, aku tak pernah bisa tidur dengan tenang.
Aku tahu
kalau aku mungkin mesti bersikap antusias atau turut heboh seperti mereka. Tapi
aku tak bisa. Bahkan kini, saat aku sedang berduaan bersama Sarah, aku tak bisa
menampilkan ekspresi girang yang diperintahkan oleh otakku. Pertanyaan kalimat
Sarah hanya kutanggapi sambil lalu. Sarah yang sedikit memberikan tour padaku
dirumahnya sepertinya menyadari hal itu.
"Bang
Dimaz tidak menyetujui perjodohan ini ya?" tanya Sarah tiba-tiba. Aku yang
tadinya cuma duduk diam sedikit melamun disalah satu bangku yang ada ditaman
belakang rumahnya tentu saja kaget. Untuk sejenak, aku hanya bisa menatapnya
dengan mulut terbuka tanpa suara. Sarah tak menatapku. Pandangannya tertuju
pada kolam renang didepan kami. Dia duduk diam tak jauh dariku, menanti
jawaban.
"Apa
Sarah . . . , tidak keberatan sama sekali dengan perjodohan ini?" tanyaku
akhirnya setelah tahu akan sulit menjawab pertanyaan Sarah tadi. Aku lebih
memilih untuk bertanya balik.
"Sarah
sudah memasrahkan urusan jodoh pada Abi Bang. Siapapun dan kapanpun Abi
menginginkan, saya bersedia," jawab Sarah pelan.
"Tapi
tidakkah Sarah ingin melakukan sesuatu terlebih dulu? Mengejar cita-cita?
Meraih impian Sarah? Atau mungkin, menikah dengan seseorang yang kamu
cintai?"
"Cinta
pada manusia itu fana Bang! Hanya cinta pada Sang Khalik yang kekal. Sarah
sudah benar-benar pasrah pada keputusan Abi. Karena Sarah yakin, Abi tak akan
menyerahkan Sarah pada orang yang salah!"
"Sarah
pikir, aku orang yang benar itu?"
"Menurut
Abi begitu," jawab Sarah enteng.
"Sarah,
kau tak tahu sama sekali tentang aku. Kehidupanku di Jakarta berbeda dengan
disini. Disana aku. . . "
"Bang!"
potong Sarah mebuatku kaget. "Jangan! Jangan katakan apapun yang bisa
membuat Sarah kehilangan hormat Sarah pada Abang. Bagi Sarah, seorang suami
adalah imam yang harus dipatuhi. Dan kehidupan Abang di Jakarta atau masa lalu
Abang yang mungkin tidak indah, sudah tidak penting. Yang utama adalah
bagaimana kita ke depannya. Jadi jangan ceritakan apapun. Sarah tidak ingin
kehilangan respek pada Abang," jelas Sarah lugas.
"Sarah
yakin bisa mencintaiku?" tanyaku pahit setelah kediaman yang lama.
"Bagi
Sarah, Abang sudah sempurna untuk menjadi suami. Adik-adik Sarah saja ngefans
lho sama Abang. Dan yang terpenting. . . , Abi yang memilih Abang untuk jadi
imam Sarah!" pungkas Sarah. Andai saja aku punya keyakinan seperti yg
dimilikinya. Aku hanya mampu membalasnya dengan tersenyum tipis.
Allah. . .
Kuatkan
aku!
Kembali
aku hanya mampu tercenung!
Saat-saat
seperti ini adalah saat yang kubenci. Saat dimana otakku tak mampu lagi
berpikir untuk mencari jalan keluar dari suatu masalah. Guru agama yang pernah
mengajariku berkata, bahwa saat kau telah berusaha sekuat tenaga dan tak ada
lagi jalan keluar yang bisa kau temukan, maka diamlah! Pasrah! Serahkan semua
ke tangan Allah. Dzat Agung yang telah menentukan segalanya untukmu.
Pertanyaannya
adalah, sudahkah aku berusaha sampai batas kemampuanku? Lalu dalam kasus
sepertiku, usaha bagaimana yang bisa disebut maksimal? Haruskah aku mengacuhkan
orang tuaku karena aku ingin bersama dengan Jeffry? Atau haruskah aku
meneruskan semuanya ini dan menikah dengan Sarah?
Ya Allah,
bagaimana bisa kami menentukan mana yang benar dan mana yang salah, jika
keinginan dan pemikiran kami bertentangan seperti ini? Akal sehatku terus
berusaha meyakinkanku bahwa langkah yang kuambil adalah benar. Dia menghamburkan
semua alasan-alasan tak terbantahkan berdasarkan fakta dan ajaran agama. Dia
juga mengingatkanku akan orang tuaku. Tapi hatiku terus menarikku untuk segera
pergi dari sini. Karena aku merasa kalau aku sudah menipu semua orang. Orang
tuaku,Sarah dan keluarganya, bahkan diriku sendiri.
Sungguh
mencengangkan betapa tipisnya batas antara kewarasan dan kegilaan jadinya.
Adilkah semua ini? Adilkah bagi aku
mengorbankan kebahagiaanku demi orang tuaku? Lalu adilkah bagi Sarah kalau dia
menjadi istriku tanpa harus tahu seperti apa diriku yang sebenarnya?
Keyakinan
Sarah justru membuatku sesak. Bisakah dia menerimaku kalau dia tahu fakta yang
sebenarnya? Terlebih lagi, bisakah aku memenuhi pengharapannya? Menjadi imam
yang baik bagi keluarga yang akan kami bina!
Selama ini
aku selalu yakin bahwa selalu ada berkah tersembunyi dalam setiap rencana
Tuhan. Betapapun tidak masuk akalnya hal itu dalam benak kita. Tapi saat ini,
kalau memang ada kebaikan yang seperti itu, aku ingin diberitahu sekarang. Agar
aku bisa melalui semua drama ini dengan ketegaran. Agar aku bisa melewatinya
dengan baik.
Ya Rabb,
salahkah jika hambaMu ini mengeluh saat ini? batinku lelah. Aku memejamkan mata
dan menarik nafas yang terasa semakin berat.
XXVII
"Kamu
sakit Maz?" tanya Jeffry saat kami sarapan bareng. Hari ini kami memiliki
jadwal pagi. Dia harus meneruskan syuting filmnya, sementara aku ada pemotretan
untuk sebuah majalah.
"Enggak
Jeff. Kenapa?" tanyaku setelah sadar akan apa yang dia tanyakan. Dari tadi
aku memang sedikit melamun, jadi agak-agak gak nyambung bila diajak bicara.
"Kamu
sadar kalau dari tadi kamu cuma main-main sama makananmu?" tanya Jeffry
dengan kening berkerut. Aku menoleh ke piringku. Nasi goreng yang ada
dihadapanku memang masih banyak. Aku sendiri merasa kalau aku sudah
menyantapnya dari tadi. Tapi kok masih banyak juga sih?
"Aku.
. . ," otakku berputar mencari kalimat yang tepat.
"Ada
masalah?" tanya Jeffry. "Ada yang bisa kubantu?"
Aku hanya
menggeleng untuk menjawabnya. Allah, kenapa semakin sulit begini? keluhku dalam
hati. Kemarin, aku begitu yakin kalau aku akan bisa. Waktu kembali dari tanah
kelahiranku, aku sudah memutuskan untuk menghentikan ini. Apapun yang kumiliki
dengan Jeffry, tak lebih dari satu ilusi konyol, dan sudah tiba waktunya untuk diakhiri.
Waktu itu
aku menelepon Jeffry untuk mengabarkan kepulanganku. Dan Jeffry ternyata masih
ada di lokasi syuting saat aku menghubunginya.
"Jam
berapa pesawatnya?" tanya Jeffry.
"Jam
8 malem."
"Aku
masih syuting jam segitu," gumam Jeffry pelan.
"Ya
sudah. Kita ketemu di rumah saja ok?" kataku. Malah kebetulan. Aku bisa
langsung bicara denganya. Menyelesaikan semuanya dengan tuntas.
"Aku
jemput di bandara!" putus Jeffry langsung tanpa menunggu protesku. Dan dia
memang melakukannya. Dengan memakai t-shirt yang ditutupi jaket yang kerahnya
dinaikkan, jeans robek, serta topi yang dibenamkan dalam-dalam, lalu kaca mata
gelap dia berdiri di luar pintu kedatangan menungguku.
Dengan
cepat dia membantuku membawa trolley ke mobilnya. Sekarang memang agak sulit
baginya untuk bergerak bebas seperti dulu lagi. Wajah Jeffry sudah terlalu
akrab bagi publik. Dan dia tidak bisa lagi melenggang seperti dulu. Para
wartawan dan penggemar tak pernah berhenti memburunya. Jadi, sering kali dia
harus menyamar.
"Syutingmu
gimana?" tanyaku saat kami melaju keluar bandara.
"Sudah
selesai. Jemput kamu lebih penting," sahutnya singkat dengan senyumnya.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis.
Aku harus
bisa, batinku. Tadi dalam pesawat aku sudah berlatih untuk mengucapkan kata
maaf dan mengatakan pada Rafly bahwa hubungan kami harus segera diakhiri. Aku
sudah menyiapkan berbagai versi dan alasan. Bahwa yang kami miliki sungguh
indah, tapi tak boleh terjadi. Bahwa aku mencintainya, tapi kini adalah waktu
bagiku untuk meneruskan hidupku, kembali pada kodratku. Bahwa kami mungkin
hanya terbawa nafsu belaka, sehingga batas pertemanan antara kami jadi buram.
Ya
Tuhaaaaann!! Bahkan aku sendiri merasa konyol dan sakit memikirkan kata-kata
itu. Tapi bila teringat Abi dan Ummi, aku tahu kalau aku harus melakukkannya.
Dan tanpa
kusadari, tahu-tahu kami sampai dirumah Jeffry. Aku segera turun untuk
mengambil barang-barangku.
"Hei,
kamu bawa oleh-oleh untukku kan?" tanya Jeffry mengikutiku turun.
"Jangan
khawatir," jawabku tanpa mampu melihatnya dan membuka bagasi. "Bahkan
Ummi dan Abi juga menitipkan sesuatu untukmu."
"Really?"
tanya Jeffry yang sudah membantuku.
"Mereka
ingin kau mampir kesana segera," kataku nyengir dan mengangkat koper dan
sebuah hand bag kertas besar kedalam. Jeffry meraih 2 hand bag besar lainnya
dan mengikutiku.
"Huh?
Kalau begitu mungkin aku harus segera menyempatkan diri," gumam Jeffry.
Aku hanya
tertawa kecil dan masuk ke dalam rumah yang telah kubuka. Mencoba bersikap
sewajar mungkin. "Yang tak kupercaya adalah mereka mau menonton film kita
dan. . . JEFF!!" Aku terpekik kaget
saat Jeffry tiba-tiba saja meraih tanganku dan menyentakannya dengan kuat,
sehingga barang-barang yang kubawa berjatuhan dilantai. Sesaat kemudian dia
telah mendorongku hingga menabrak dinding dan bibirnya segera menempel
dileherku. Menghisap kulitku yang langsung terasa sensitif.
"I
miss you!" desah Jeffry pelan dan bibirnya telah menemukan bibirku,
mengulumnya lembut. Tangan Jeffry bergerak meraih pinggangku dan mengangkatku.
Sembari menekankan tubuhku didinding, dia melingkarkan satu kakiku
dipinggangnya, hingga secara otomatis, kakiku yang satu mengikuti. Bibirnya
hampir tak pernah lepas dariku. Saat dia melepasnya, kami berdua terengah-engah
kehabisan udara. Aku berpegang erat pada lehernya sambil mencoba mengatur
nafas.
Jeffry
menatapku dengan lembut. Matanya merayapi wajahku dengan intens hingga aku
sedikit tersipu.
"Aku
bener-bener kangen kamu," bisiknya lagi lalu kembali menciumku. Akupun
membalasnya.
Tuhanku,
aku tak bisa!!!!
Hingga saat
ini, 7 hari setelah kepulanganku ke Jakarta, aku masih belum bisa mengatakannya
pada Jeffry. Tiap kali aku mencoba, sepertinya kata-kata itu berhenti di ujung
tenggorokanku. Hasilnya, aku jadi susah untuk makan dan tidur. Tanpa sadar aku
sering diam melamun, hingga kadang Jeffry harus mengulang kata-katanya kalau
berbicara denganku.
Beberapa
kali dia menanyakan kalau-kalau ada yang salah, atau mungkin masalah. Bahkan
dia sempat mengira kalau mungkin Ummi dan Abi yang bermasalah. Dia menyangka
kalau mungkin Abi sudah parah dan harus dirawat diluar, sementara aku kesulitan
biaya. Jeffry menawarkan bantuannya. Tentu saja aku terharu dan segera
meyakinkan Jeffri, bahwa bukan itu masalahnya. Aku hanya sedikit homesick.
"Kamu
sudah cukup?" tanya Jeffry saat aku bangkit membereskan piringku.
"Sudah!
Lagi gak enak makan," jawabku pelan.
"Maz.
. . ," panggil Jeffry membuatku terhenti. Dia mendekat dan meraih
tanganku. "Kapan kau mau mengatakan apa masalahmu?" tanyanya pelan.
Aku
cepat-cepat membuang muka saat dia mulai menatapku dengan intens dan penuh
selidik. "Nggak papa kok Jeff. Cu-cuma s-sdikit homesick saja,"
elakku gugup. Kurasakan satu tangan Jeffry meraih daguku dan memaksaku untuk
menatapnya.
"Aku
siap mebantumu," katanya lagi tanpa melepaskan pandangannya.
Aku hanya
tertawa kecil untuk mengatasi gugupku. Aku segera melepaskan diri.
"Ada-ada saja! Nggak ada apa-apa. Aku berangkat dulu ya?" pamitku dan
cepat-cepat pergi dari sana setelah menyambar tas ku.
Aku tahu
Jeffry tak percaya sedikitpun kata-kataku. Tapi dia cukup menghormatiku dengan
tak memaksaku mengatakan apapun. Dia menunggu aku sendiri yang mengatakannya,
dan aku tak bisa. Aku nyaman berada disisinya. Aku menyukai kehangatan dalam
pelukannya. Saat bersama dirinya aku bisa menjadi diriku sendiri. Bersamanya
aku merasa bebas dan tak terikat. Dan aku belum rela untuk melepasnya.
Mungkin
aku egois. Tapi aku benar-benar tak bisa meski aku harus. Aku mencintai Jeffry,
tak ada keraguan tentang hal itu. Jauh lebih besar dibandingkan perasaan yang
kurasakan pada Rafly. Apa yang terjadi antara aku dan Rafly boleh dibilang
adalah cinta monyet, karena kami masih sama-sama remaja dan labil. Tapi dengan
Jeffry, aku sudah dewasa dan tahu apa yang aku inginkan. Memikirkan untuk
berpisah dan tak mampu lagi berada didekapannya membuatku ngeri. Aku tak
sanggup untuk melakukannya.
Bagaimana
aku bisa bekerja kalau pikiranku penuh begini? pikirku. Aku harus menghubungi
Mbak Rara, manager ku dan mambuat jadwal ulang. Dan saat itulah baru kusadari,
kalau hp ku tertinggal dikamar.
Aku
mengumpat pelan dan segera menghentikan mobil untuk berbalik. Untung saja aku
masih belum jauh. Kulihat mobil Jeffry juga masih belum hilang.
"JEFF!!"
panggilku dan masuk kerumah. Kulihat dia sedang menonton tv diruang tengah. Dia
hanya melihatku yang nyelonong masuk. "Hp ku ketinggalan dikamar dan. . .
," aku terhenti saat kulihat dia mengacungkan hp ku ditangannya.
"Tadi
ada telepon dari tante," katanya datar.
Aku
mendekat dan mengulurkan tangan untuk mengambil hp ku darinya. "Ada. . .
pesan?" tanyaku perasaan khawatir yang mulai merambatiku.
"Beliau
bilang pesta pertunanganmu akan dilaksanakan dalam seminggu. Kau harus
meluangkan waktu," katanya. Tak ada marah ataupun kaget. Suaranya
benar-benar datar tanpa ekspresi.
Aku
terdiam dengan aliran darah yang seakan-akan terhenti. Pasti wajahku sudah
memucat sekarang. Bahkan aku tak menyadari hp ku yang jatuh berkelotakan
dilantai.
"Ada
yang lupa kau katakan?" tanya Jeffry lagi.
"Jeff,
a-a-ku. . . bi-bisa jelaskan. . . ,"
"Kalau
begitu mulailah bicara!" potong Jeffry dingin. Tatapannya begitu menusuk,
dan akupun sadar. Sadar bahwa apa yang kami miliki, telah menjadi sejarah.
Kejadian
setelah itu aku tak begitu ingat lagi. Aku bahkan tak tahu apa yang kukatakan.
Yang kuingat adalah mataku yang berair dalam hitungan detik. Lalu aku ngoceh
tak jelas tentang Abi yang sakit, Ummi yang kesepian dan aku anak yang tak
berbakti. Juga bahwa aku mencintainya dan tak ingin berpisah dengannya.
Seingatku itu inti dari ceracauan tak jelas yang kuucapkan sembari menangis.
Aku hampir-hampir histeris. Nyaris tak terkendalu. Beban yang kusimpan beberapa
hari terakhir tumpah begitu saja. Semua menyembur keluar tak terkendali sampai
akhirnya Jeffry memelukku. Dia mencoba menenangkanku. Namun bahkan diantara
ocehanku yang tak jelas, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda.
Pelukan
Jeffry tak sehangat sebelumnya. Pelukannya dingin. Dan jauh didalam bawah
sadarku, aku merasakan bahwa dia kembali menjadi Jeffry yang baru pertama kali
ku kenal dulu.
Jeffry
yang menutup dirinya dari siapapun.
Bahkan
dariku!
saya sangat suka dengan tulisan kakak yang dapat menguras emosi saya. yang membuat saya menjadi bad mood seharian.katang yang dapat saya gambarkan dari tulisan kakak. TERKENANG, TERKESAN, LUAR BIASA.
BalasHapus