Translate

Rabu, 26 Juni 2013

MEMOIRS II (Dimaz' classic story) part 23-27


XXIII
 
Jeffry adalah tipe orang yang lebih suka menunjukkan kasih sayangnya dengan tindakan. Bukan kata-kata. Bahkan ketika dia memintaku untuk pindah kerumahnya.
Waktu itu, aku sedang melakukan pemotretan diluar Jakarta selama dua hari. Kunci apartemen kutitipkan pada Jeffry. Pada waktu pulang, dia menjemputku dibandara dan langsung membawaku kerumahnya. Dan aku menemukan semua barang-barangku sudah berpindah kesana. Jeffry tak mengatakan apapun. Dia bersikap seolah-olah aku memang sudah lama tinggal disana. Khas Jeffry.
Pernah pula dengan bercanda aku bilang kalau aku paling gak suka dengan ruang tamunya. Karena sova besar yang ada disana mengingatkanku akan perbuatannya waktu itu. Saat dia orgy party dengan beberapa orang didepan mataku. Keesokan harinya, semua furniture yang ada diruangan itu telah digantikan dengan yang baru. Dan Jeffry juga mengganti cat dindingnya. Berikut tempat tidurnya.
Dia juga tak pernah lagi keluar malam ataupun mendekat pada orang lain. Setiap selesai bekerja, dia selalu pulang dan menghabiskan waktu denganku. Seperti Mas Arya bilang, saat dia menyayangi seseorang, dia hanya akan melihat orang itu. Begitulah Jeffry. Tak sekalipun dia melirik orang lain lagi. Desas desus perubahannya lumayan rame dikalangan para model. Berbagai macam spekulasi tentang alasan perubahan tingkah lakunya beredar. Tapi Jeffry bersikap masa bodoh. Namaku sendiri tak pernah disangkutkan dengannya. Karena memang hanya sedikit orang yang tahu aku tinggal bersama Jeffry. Salah satu yang tahu hal itu adalah Maya.
Waktu itu aku pernah menjemput Jeffry pada sebuah pagelaran busana. Ketika aku diback stage, dari kejauhan aku melihat Maya yang jelas-jelas menggoda Jeffry. Kulihat Jeffry menanggapinya dengan dingin. Saat aku mendekat, ekspresi wajah Maya berubah. Apa lagi saat Jeffry langsung mendekatiku tanpa menghiraukannya lagi. Maya hanya bisa menatap bengong, hingga kemudian pemahaman muncul diwajahnya. Waktu itu Maya tersenyum dan berkata, "Jaga dia Jeff!" dengan nada tegas.
Jeffry tak mengatakan apapun. Dia hanya mengangguk dan mengajaku pergi.
Waktu yang kami lewati bersama sungguh menakjubkan. Aku tak pernah menyangka kalau hidup bersama dengan orang yang kita cintai bisa seperti ini. Tak ada kata-kata yang bisa kukatakan untuk mewakilinya. Perasaan yang kurasa saat bisa tidur didadanya, saat terbangun dalam pelukannya, atau saat kami hanya duduk santai dan mengobrol, benar-benar tak bisa digambarkan dengan bahasa tulis atau lisan. Kalian harus merasakannya sendiri. Semua itu tak hanya membekas dalam ingatanku, tapi kehangatannya juga nyaris bisa kurasakan saat kami terpisah.
Kegiatan sederhana dan dulunya tak memiliki makna menjadi momen yang terus terasa sampai saat menjelang tidur.
Pernah tengah malam aku terbangun dan diam dalam gelap sembari menatap Jeffry yang terlelap disampingku. Untuk sejenak aku hanya diam memandang wajah damainya. Tanganku lalu terulur, dan menelusuri garis wajahnya dengan perlahan. Aku kadang merasa seperti berada dalam dunia mimpi. Seakan-akan tak bisa percaya kalau Jeffry kini tertidur disebelahku. Matanya yang terpejam ku usap lembut. Hingga kemudian telunjukku turun dibibirnya. Yang mengejutkanku, tiba tiba saja Jeffry membuka bibirnya dan menggigit jariku. Ternyata dia juga telah terbangun. Dan sisa malam itu kami habiskan dengan bercinta.

Selama dua tahun kami bersama, hanya satu kali Jeffry mengatakan kata I love you. Waktu itu , setelah satu tahun kami bersama, kami menghadiri sebuah acara penganugerahan dalam dunia akting dimana Jeffry menjadi salah satu nominatornya. Dan secara mengejutkan, Jeffry keluar sebagai pemenang. Malam itu, dalam balutan pakaian jas resmi yang menampakkan kegagahannya, Jeffry terlihat sangat menawan. Dia tertawa senang saat namanya disebut dan memelukku sekilas seperti pelukan seorang teman (seperti itulah kami bersikap saat kami berada ditempat umum) lalu melangkah ke podium.
"Saya ingin mengucapkan terimakasih pada orang-orang yg selama ini membantu saya. Pihak menejemen, fans dan yang lainnya. Terutama sekali pada seseorang yang dalam setahun ini, telah merubah hidup saya. Menjadikan saya orang baru yang lebih baik. Terimakasih. Dan piala ini untukmu," kata Jeffry dan turun diiringi tepuk tangan meriah.
Aku tersenyum lebar, menyambutnya yang kembali duduk disampingku. Hatiku seakan-akan membesar beberapa kali dari ukuran yg sebenarnya, karena tahu kata-katanya tadi itu untukku. Setelah duduk, Jeffry menyerahkan piala itu padaku dan mendekatkan dirinya.
"I love you," bisiknya lirih ditelingaku.
Aku hanya mampu tercenung. Terduduk diam dengan kepala tertunduk dan mata yang berkaca-kaca. Tiga kalimat sederhana yang sering kudengar dalam kehidupan sehari-hari, diucapkan oleh begitu banyak orang dalam berbagai kesempatan, tapi kali ini, saat Jeffry yang mengatakannya aku tak mampu bereaksi apapun selain menangis haru. Gema kalimat itu sungguh membuat dadaku serasa disentuh dengan tangan yang sejuk dan melegakan.
"I love you too," balasku pelan. Kurasakan tangan Jeffry meremas tanganku sekilas dibawah kursi kami.
"Don't! Orang-orang akan melihatmu. Kalau tahu reaksimu bakal begini, aku tak akan mengatakan kalimat tadi disini," bisiknya lagi mengingatkanku.
Aku tahu. Karena itu aku menunduk dalam dan mengusap mataku diam-diam agar tak menjadi pusat perhatian.

Aaaaahhhh!!!
Mungkin aku tak bisa menjelaskan definisi dari kata bahagia dengan benar. Tapi aku bisa mengatakan, inilah kebahagiaan. Saat inilah aku bisa mengatakan kalau aku bahagia. Saat aku bersama Jeffry. Saat aku bisa ngobrol dengannya, memeluknya, menyentuhnya. Saat aku tahu kalau ada seseorang yang sedang menungguku dirumah. Saat aku tahu ada seseorang yang bangun disebelahku keesokan paginya. Saat aku bisa menyiapkan sarapan darinya. Saat aku menunggunya dirumah ketika dia sedang bekerja. Saat aku tahu ada tempat dan seseorang dimana aku akan pulang.Itulah bahagia.
Dan aku bahagia.
Meski naif sekali kalau aku bilang kebahagiaanku mutlak. Tidak! Tidak sepenuhnya. Karena bagaimanapun, apa yang aku miliki bersama dengan Jeffry masih dipandang sebagai cacat di negara ini. Juga dalam ajaran agamaku. Aku tidak bisa mengekspresikan perasaanku pada Jeffry dimuka umum. Kami tak bisa bergandengan, duduk terlalu dekat, ngobrol terlalu lama, atau selalu bedua dalam setiap kesempatan. Kebersamaan kami terbatasi dimata umum. Karena itu tempat favoritku adalah rumah kami.      
Dan aku pernah dibuat terharu oleh Jeffry saat dia pun memiliki pemikiran yang sama. Waktu itu kami sedang makan malam disebuah restoran sembari ngobrol santai.
"Jeff. . . , boleh tau gak, dimana tempat kencan favoritmu?" tanyaku iseng.
"Dirumah!" jawabnya singkat.
Sejenak aku diam, sedikit kaget karena aku juga punya pemikiran yang sama. "Alasannya?" kejarku penasaran.
Jeffry menatapku lalu menghela nafas. "Karena disana aku bisa menyentuh dan mencium kamu sepuasnya. Disana aku tak perlu menjaga sikap seperti sekarang," jawabnya setengah menggerutu sembari langsung meneruskan makannya. Tapi kurasakan kakinya yang ada dibawah meja mengusap kakiku pelan.
Dengan itu aku tertunduk dengan dada yang terasa penuh oleh haru.
Tuhanku. . .
Meski ada celah dalam hubungan kami, aku benar-benar merasa bahwa kebahagiaan kami sempurna.

Hingga hari itu tiba. . . . .

XXIV

"Kamu yakin mau berangkat sendiri?" tanya Jeffry untuk kesekian kali. Aku kembali tersenyum mendengarnya mengatakan hal yang sama, entah untuk ke berapa kalinya.
"Iya Jeff," jawabku menenangkan. "Kamu kan ada syuting film. Masa ditinggal?" ujarku sembari mengisi koperku.
"Aku kan bisa mengambil libur beberapa hari," gerutunya lagi.
"Bukan ngambil, tapi maksa," ralatku dan meliriknya yang langsung mendengus keras.
"Tapi kamu mungkin butuh temen disana kan?"
"Jeff, aku pasti baik-baik saja. Disana kan ada Ummi. Juga keluarga yang lain. Abi yang harus dikhawatirkan, karena beliau yang ada di rumah sakit. Kamu nggak perlu khawatir kalau soal aku. Nanti aku kasih kabar ok?!" kataku menenangkannya.
"Masih belum tahu berapa lama kau akan disana?" tanya Jeffry lagi. Nadanya yang terdengar kesal membuatku menghentikan packingku yang belum selesai. Kulihat dia berdiri disebelah tempat tidur dengan bibir cemberut dan kepala yang sedikit tertunduk. Kakinya sesekali menendang bagian bawah ranjang. Jadi inget dengan anak kecil yang sedang merajuk.
Aku tertawa kecil melihatnya seperti itu. Terlihat begitu imut dan lucu. Kudekati dia, dan langsung kulingkarkan tanganku di pinggangnya. "You're gonna miss me, aren't you?" tanyaku pelan.
Kembali dia mendengus pelan. "PeDe mu ketinggian," gerundengnya kesal dan memelukku.
Kembali aku tertawa kecil dan menyandarkan kepalaku dibahunya. "Kalo gitu, aku yang pasti bakalan kangen sendiri nih," ujarku.
Tak ada sahutan dari Jeffry. Dia mengetatkan pelukannya padaku, lalu kurasakan kecupan ringannya di kepalaku. "I've missed you already!" bisiknya pelan.
Dia memang paling tahu, kapan harus bersikap romantis. "Aku pasti balik cepat kok. Ada beberapa kontrakku yang belum selesai dan kudu diberesin sampai akhir bulan ini."
"Baik-baik aja disana. Telepon aku begitu sampai. Dan jangan mencari masa lalu yang sudah kau lupakan," pesan Jeffry cepat.
Kalimat itu memang terkesan sederhana. Tapi caranya mengucapkan membuatku menarik kepalaku dan melihatnya heran. "Maksudmu Rafly?" tanyaku penasaran. Aku memang sudah menceritakan semua masa laluku padanya. Tak ada hal yang kurahasiakan dari Jeffry.
"Kau kembali ketempat asalmu dimana kalian bisa bertemu dan mungkin . . ."
"Are you jealous?" tanyaku dengan alis terangkat satu, memotong ocehan tak jelasnya.
"No!" sahutnya, terlalu cepat membela diri. "Tapi kalian punya masa lalu yang boleh dibilang terkatung. Jadi ada kemungkinan kalau dia tahu kau kembali, kalian akan bertemu dan. ."
"Aku janji gak akan nyari atau temuin dia!" potongku. Jeffry sudah hendak protes lagi, tapi sepertinya tak tahu harus mengatakan apa hingga akhirnya memilih diam. Terlihat tak nyaman karena aku bisa tahu isi hatinya tanpa bertanya. Aku jadi makin geli karenanya. Aku tahu, mungkin dia lebih memilih disiksa sampai mati daripada diminta untuk mengaku kalau dia sedang cemburu. Jadi aku tak mau memaksanya.
Kuraih kepalanya dan kusatukan kening kami. "Hanya kamu," bisikku dan memejamkan mata saat Jeffry memiringkan kepalanya dan menciumku. Tentu saja aku tak mengatakan pada Jeffry kalau ada sedikit kekhawatiran tentang Rafly yang mungkin datang mencariku. Meski kemarin aku sudah meminta Ummi untuk merahasiakan kedatanganku.
"Sebaiknya memang begitu. Sampaikan salamku pada keluargamu. Terutama Abi mu."
Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.

Aku tiba pada pukul 4 sore. Ummi sendiri yang menjemputku di bandara. Mata beliau langsung berkaca-kaca saat aku mendekat. Aku segera memeluknya dan mengajaknya untuk langsung pergi sana. Beberapa orang tampak memperhatikan kami. Entah karena melihat Ummi yang menangis, atau karena mereka melihatku.
Sejak aku dekat dengan Jeffry, aku telah beberapa kali tampil sebagai bintang tamu dalam beberapa sinetron. Mulanya aku ingin menolak tawaran-tawaran itu. Apa lagi saat ada tawaran main film bareng Jeffry. Sekali lagi sebagai bintang tamu. Jeffry yang akhirnya mendorongku untuk menerimanya. Alasannya agar aku bisa mendalami karakter lain selain diriku sendiri. Dan dia bersedia jadi mentorku. Jadi. . . wajahku memang mulai dikenal dengan lebih luas. Tapi apapun penyebab ketertarikan mereka, aku ingin segera pergi dari sana.
"Kamu ingin istirahat dulu atau. . . ,"
"Kita langsung ke Rumah Sakit saja Mi. Bagaimana perkembangannya Abi?" tanyaku.
"Sudah lebih baik Maz. Tapi Ummi masih tetap cemas. Abimu adalah orang yang paling memperhatikan kesehatan. Dia juga jarang sakit. Tapi sekali sakit ya begini ini! Bikin kaget. Ummi belum bisa kalau. . . ," beliau tak bisa meneruskan kalimatnya. Aku yang mengerti kembali memeluknya erat.
"Sudah dong Mi! Kan Abi sudah mendingan! Ummi yang baik aja jagain Abi kalau sudah pulang nanti!" hiburku. Ummi mengangguk dan mengusap airmatanya.
"Ummi seneng kamu bisa pulang Nak," ujar beliau dengan kelegaan yang jelas terlihat.
Kalimat sederhana beliau langsung menohokku. Dari tadi sebenarnya aku sudah menahan diri agar tidak larut dalam kesedihan Ummi. Tapi melihat beliau yang terlihat begitu senang aku datang sungguh membuatku merasa bersalah. Aku tak pernah ada disampingnya, menjalankan kewajibanku sebagai seorang anak. Aku terlalu sibuk dengan karir dan pelarianku dari Rafly. Aku tak pernah meringankan bebannya. Tak pernah berbakti padanya.
Kuraih tangan Ummi dan kucium berulang kali. Dadaku sesak oleh penyesalan yang dalam. "Maafin Dimaz ya Mi?" pintaku dengan suara sedikit pecah. Aku tak bisa menahan airmataku lagi. "Dimaz gak pernah ada untuk Ummi dan Abi!"
"Sekarang kau sudah ada kan Nak?" balas Ummi dengan senyumnya. Beliau mengusap kepalaku dengan lembut. Kasih sayang seorang Ibu memang tak pernah surut. Bahkan saat anaknya sendiri selalu berbuat kesalahan. Hanya dengan sebuah permintaan maaf, seorang Ibu akan melupakan kealpaan buah hatinya. Seberapapun besar dosa yang telah dilakukan.
Maaf Ummi! Anakmu ini benar-benar tak pernah berbakti. Selalu sibuk dengan dunianya sendiri yang tak karuan. Tuhanku, aku tahu apa yang kulakukan salah. Timpakan semua dosa dan hukuman ke pundakku Tuhan. Jangan timpakan pada orang tuaku. Semua murni kesalahanku. Mereka sudah melakukan kewajiban mereka dengan sempurna.
Aku menarik nafas panjang agar air mataku tak kembali turun karena sebentar lagi, aku harus bertemu Abbi. Sejak kecil Abi sudah memberi didikan bahwa laki-laki adalah tulang punggung keluarga yang harus kuat dan tahan banting. Tak ada istilah menangis dalam kamus Abi. Didikan yang terus kuingat hingga sekarang.

Aku berhenti sejenak didekat kamar Abi. Ummi yang paham kalau aku sedang mempersiapkan diri hanya tersenyum dan meremas bahuku pelan. Aku cuma membalas senyumnya tipis. Setelah menarik nafas panjang 2 kali, aku meraih handle pintu.
"Assalamu'alaikum. . . ," kataku pelan dan melongokkan wajah ke dalam. Kulihat Abi yang tadinya terpejam, membuka matanya. Senyum sumringah langsung merekah diwajah beliau saat tahu siapa yang datang.
"Kapan datang Nak?" sapa beliau sedikit serak.
Aku segera mendekati Abi dan meraih tangan beliau untuk menciumnya. Yang mengejutkanku, Abi tidak langsung melepaskanku. Beliau malah menarikku untuk lebih mendekat dan memelukku dengan tubuh sedikit bergetar. Baru beberapa saat kemudian aku sadar kalau beliau menangis.
"Sudah Bi! Dimaz kan sudah datang sekarang," hibur Ummi yang berdiri disisi lain pembaringan.
Aku masih terpaku kaget untuk bisa bereaksi. Tapi sesaat kemudian tanpa dapat kutahan airmataku kembali mengalir. Abi yang selalu menanam ajaran bahwa lelaki harus kuat, kini justru menangis didepanku. Saat beliau melepas pelukannya, aku bisa melihat dengan jelas. Beliau yang selalu tampak gagah dan kuat kini terlihat kurusan dan kuyu. Rasa bersalah kini kembali menderaku. Apa lagi saat beliau meremas tanganku yang sedari tadi digenggamnya. Aku makin tertunduk dalam tangisku.
"Maaf ya Maz! Abi malah gini. Tapi Abi lega kamu sudah datang. Abi sudah takut kalau Abi tak bisa melihatmu lagi."
"Abi. . . !" tegur Ummi pelan. "Dari kemarin kok ngomongnya ngawur gitu! Nggak boleh Bi. Ummi kan nggak tenang," protes Ummi dengan pipi yang kembali basah dalam hitungan detik.
"Ummi. . . ," Abi meraih tangan istrinya. "Iya Mi. Maaf! Abi benar-benar takut kemarin. Sekarang sudah nggak kok! Sudah ya Mi! Abi minta maaf!" pinta beliau.
Aku cuma mampu berdiri diam menyaksikan drama didepanku dengan kepala makin tertunduk dalam dan mata berair. Selama ini mereka memang selalu menunjukkan keharmonisan didepanku. Kasih sayang yang selalu mereka contohkan padaku tak pernah berubah. Hingga kadang sering aku berpikir keras, kenapa aku bisa menjadi gay sementara orang tuaku adalah contoh sempurna akan indahnya hubungan antara lelaki dan wanita. Aku tak pernah bisa menjawabnya. Hingga kini.
"Dimaz sudah makan?" tanya Abi memecahkan suasana haru yang menggantung.
"Sudah tadi sebelum berangkat Bi!" jawabku pelan tanpa mengangkat muka.
"Ya sudah. Kalau belum, kamu buka saja salah satu parcel yang ada itu. Ummi nanti bawa saja semuanya pulang ya? Itu tadi ada lagi 5 orang temen Abi yang kirim."
"Siapa Bi?"tanya Ummi dengan suara yang terdengar agak normal lagi. Aku sendiri segera permisi ke toilet untuk membersihkan mukaku. Saat keluar aku lihat Ummi yang mengumpulkan parcel yang lumayan jumlahnya ke meja tamu. Kamar VIP tempat Abi dirawat memang dilengkapi dengan seperangkat meja tamu dan 1 tempat tidur tambahan.
"Dimaz bantu Mi."
"Nggak perlu Nak. Kamu temani Abi mu saja dulu. Dia sudah ribut mau ketemu kamu dari kemarin. Biar Ummi sama Pak Rahmat yang bawa semuanya ke mobil ya?" kata Ummi.
"Iya, Dimaz disini saja. Gimana kuliah dan kerjaanmu Maz?" tanya Abi saat aku mendekat.
"Lancar Bi!" jawabku dan duduk dikursi yang ada di pinggir ranjang.
"Beberapa waktu kemarin Abi bareng Ummi mu sempet lihat film kamu yang main sama temenmu itu. Siapa namanya?"
"Jeffry Bi! Ada salam dari dia. Dia sebenernya mau ikut kesini. Tapi nggak bisa. Soalnya dia sedang menyelesaikan filmnya yang baru dan. . . ," Kalimatku terpotong oleh deringan ponselku. Aku segera mengambilnya dan melihat nama Jeffry muncul di screen. Aduh!! Aku lupa menghubunginya!  Aku sedikit menjauh dari ranjang Abi. "Ha. . . ,"
"AKU SUDAH NUNGGU DARI TADI!!!!!" raung Jeffry dari seberang bahkan sebelum aku bisa mengeluarkan satu kata utuh.
Nah kan?! Orang satu ini emang kadang bisa kolokan habis kalo udah kumat. "Maaf Jeff."
"Aku nggak konsen dari tadi dan terpaksa break shooting!!" omelnya lagi dengan suara yang lebih pelan, meski tetap saja dengan marah.
"Aku langsung ke Rumah Sakit. Ini aku ada di kamar Abi dan. . . ,"  kembali kalimatku terpotong saat kulihat Abi melambai dan menadahkan tangannya padaku. "Abi ingin bicara denganmu," kataku dan dengan cepat memberikan ponselku pada beliau.
"APA?!! Hei, aku. . . ,"
"Assalamu'alaikum Jeffry. . . ," sapa Abi ramah pada Jeffry. Aku lebih memilih diam, sedikit menjauh meski aku bisa membayangkan ekspresi Jeffry saat mendengar suara Abi. "Sudah mendingan. Iya tadi Dimaz sudah bilang ke Oom kalau kamu sedang sibuk. Terima kasih ya sudah jagain Dimaz buat Oom. Suatu saat kau harus menyempatkan waktu kesini."
"Siapa?" bisik Ummi yang muncul dari belakangku bersama Pak Rahmat, sopir keluarga kami.
"Si Jeffry Mi!" jawabku.
Mendengar itu Ummi segera mendekati Abi yang langsung berkata, "Iya. Ini Tantemu mau ngomong!" dan langsung menyerahkan ponselku pada Ummi.
Aku benar-benar tak tahan membayangkan  bagaimana wajah dan reaksi Jeffry. Pasti seru! Aku hampir-hampir tak tahan untuk tertawa. Karena itu kuputuskan membantu Pak Rahmat membawa parcel-parcel Abah ke mobil. Lucunya dipelataran parkir aku bertemu dengan seorang cewek yang juga memegang sebuah parcel besar. Mau tak mau aku melihatnya. Cewek itu berkerudung, berkulit putih dan benar-benar cantik. Dia memiliki kecantikan dan keanggunan gadis muslimah yang cukup mengagumkan. Bahkan saat mata kami bertemu, kulihat pipinya bersemu merah dan cepat-cepat menunduk. Reaksi yang cukup membuatku terkesan. Biasanya, saat ada seorang cewek yang kuperhatikan dengan intens, mereka justru akan pasang aksi norak. Tindakan konyol yang sering membuatku merasa geli.
Tapi cewek satu ini justru menunduk malu dan tampak salah tingkah. Tak sedikitpun berani mengangkat wajahnya. Mau tak mau aku jadi tertarik melihat keluguannya. Saat aku melewatinya dia semakin tertunduk dan berjalan mundur meski jarak diantara kami cukup lebar. Lalu kulihat seorang bapak-bapak berpakaian rapi dan bersongkok putih bersih menghampirinya.
Ayahnya? batinku.
"Sini Mas Dimaz," kata Pak Rahmat, membuatku sedikit kaget. Cepat kuserahkan parcel yang kubawa padanya. Begitu kembali aku menemukan Ummi yang sedang bicara ditelepon dengan Jeffry diluar kamar Abi.
"Iya Jeff. Terimakasih ya Nak? Ini Dimaz sudah balik. Assalamu'alaikum!" ujar Ummi dan menyerahkan ponselku.
"Halo Jeff?"
"SINTING!!" sembur Jeffry langsung. "Aku dari tadi sampe gelagapan terus tahu?!!"
Aku tertawa kecil mendengarnya. "Habis Abi yang minta. Beliau tadi bilang kalo beliau dan Ummi pernah lihat film kita lho!"
Jeffry mendengus keras. "Sudahlah. Aku cuma ingin denger kamu saja. Oom sudah bilang kalau beliau mendingan. Kamu apa nggak sebaiknya pulang ke rumahmu dan istirahat dulu?" tanya Jeffry jauh lebih kalem dari tadi.
"Ntar lagi. Abi sepertinya masih belum puas liat anaknya yang cakep ini!"
"Dasar narsis edan!!" gerutu Jeffry membuatku kembali tertawa kecil. "Aku juga belum puas melihatmu tahu?" lanjutnya lagi lembut.
Aku tak mampu menahan cengiranku mendengarnya. "Jeffry kangen ya?" godaku.
"Ugh! Males ngomong ma kamu! Aku mau tidur! Cepet balik kalo semua sudah beres!" tukas Jeffry dan langsung menutup telepon. Aku tersenyum dengan reaksinya. Jeffry memang boleh dibilang pelit kalau diminta mengeluarkan pujian ataupun kalimat yang mengungkapkan tentang perasaan hatinya. Padahal dia gampang saja memanggil model cewek kenalannya dengan sebutan sayang atau cinta. Meski aku sudah menduga apa alasannya, pernah juga aku protes. Kenapa dia tak pernah mengatakan itu padaku. "Tak ada makna khusus meski aku mengatakan kata itu seribu kali pada mereka. Itu semua hanya basa-basi saja. Tapi denganmu berbeda. Karena apa yang aku katakan padamu, kata-kata itu memiliki makna yang sebenarnya," jelasnya waktu itu.
 Karena itu, setiap kalimat yang ia keluarkan terasa sekali artinya. Dan Jeffry benar-benar tahu kapan harus mengatakan sayang, kangen atau yang lainnya. Dia punya cara dan waktu sendiri.
"Dimaz!" panggil Ummi dari dalam.
"Iya Mi!" sahutku dan cepat-cepat ke dalam. Aku cukup terkejut saat aku mendapati cewek cantik berkerudung itu duduk disebelah Abi. Sementara bapak-bapak yang bersamanya ada disisi lainnya.
"Sini Nak! Kenalkan ini Oom Ghani Al Juffry. Beliau rekan kerja Abi. Dan ini putrinya yang sudah sering ke rumah. Sarah," kata Abi memperkenalkan.
Aku segera mendekat dan menyalami orang yang disebut Abi tadi sebagai Oom Ghani. Tapi saat aku hendak menyalami Sarah, aku sedikit kecele. Karena cewek itu hanya menangkupkan tangannya dan mengangguk tanpa menolehku.
"Biasa Maz. Keluarga Oom Ghani ini masih memegang teguh ajaran leluhur yang dari Arab sana. Kalian bukan muhrim, jadi dilarang bersentuhan. Jangan tersinggung ya?" pinta Oom Ghani ramah.
"Ooh!! Nggak apa-apa Oom," sahutku cepat. Jadi dia masih memiliki darah Arab. Pantas kulitnya berbeda putihnya, pikirku.
"Tapi ngobrol nggak apa-apa toh Ghan? Kan ada kita disini," seloroh Abi.
Oom Ghani tertawa. "Tentu saja Han!" sahutnya.
"Kamu temani Sarah ngobrol dulu ya Maz. Ummi mau beli minuman dulu. Ayahmu sepertinya ingin ngobrol berdua dengan Oom Ghani," kata Ummi tersenyum. Aku hanya mengangguk dan menuju kursi tamu.
"Mari Sarah! Silahkan duduk," kataku mempersilahkannya. Sarah mengangguk dan mengikutiku duduk. "Sarah kuliah atau sudah bekerja?" tanyaku mencoba membuka obrolan.
"Masih kuliah Bang! Di *** (nama sebuah Universitas berbasis agama). Semester dua," jawab Sarah tanpa sekalipun menatapku.
Radit pasti menyukai gadis ini, pikirku. Aku sebenarnya sudah terbiasa menghadapi gadis seperti Sarah karena memang begini caraku dibesarkan. Tapi setelah 3 tahun lebih di Jakarta dan terbiasa dengan cewek agresif, jadi agak segan juga meghadapinya. Untungnya sebagai publik figur, sedikit banyak aku memiliki pengetahuan bagaimana berhadapan dengan berbagai karakter orang. Akupun mencoba menjalin percakapan santai dengan Sarah. Ummi yang baru datang menyajikan minuman camilan ringan untuk tamunya.
Yang mengejutkanku, Sarah ternyata mengikuti sekali perkembangan dunia dan ilmu pengetahuan. Dia tahu banyak tentang situasi politik, perdagangan, bahkan tentang perkembangan dunia kesehatan yang mungkin hanya diketahui oleh orang-orang yang sering melahap surat kabar dan acara berita. Lucunya, dia tidak begitu paham akan dunia entertainment. Film yang kubintangi saja ia tonton karena ayahnya yang ngajak. Mungkin acara infotainment dianggapnya sebagai ghibah. Aku sendiri kadang cenderung berpikir seperti itu.
Baru beberapa saat kemudian, baru kusadari kalau dari arah pembaringan Abi tidak terdengar apapun. Saat aku menoleh, mereka semua justru sedang bengong memperhatikan kami.
"Kalian ini sedang ngomongin apa sih? Kok debatnya seru begitu?" celetuk Abi saat aku dan Sarah akhirnya diam begitu tahu kami sedang diperhatikan.
"Cuma hal umum saja kok Bi!" jawabku dan tersenyum, sedikit kikuk. Entah sudah berapa lama mereka memperhatikan kami.
"Anak muda! Kadang aku juga nggak ngerti apa yang mereka ributkan Han," sambung Oom Ghani. Mendengar beliau memanggil nama Abi yang Farhan menjadi Han saja, jelas mereka mempunyai hubungan yang lebih dekat daripada yang kuperkirakan sebelumnya.
"Generasi tua memang cukup di garis belakang saja Ghan!" seloroh Abi dan tertawa kecil.
"Ya sudahlah! Sudah sore. Aku pamit dulu ya? Kau istirahat supaya kita bisa kumpul-kumpul lagi," pamit Oom Ghani dan menyalami Abi. Akupun segera bangkit untuk ikut menyalaminya. "Dimaz main-mainlah ke rumah Oom. Sesekali Oom pengen rumah Oom disambangi sama artis. Kan bisa buat pamer ke teman-teman."
Aku hanya tersenyum menanggapinya, "Insyaallah Oom." Kulihat Sarahpun bangkit mendekati Abi.
"Sarah pamit Oom Farhan. Cepat sembuh ya?" pamit Sarah dan meraih tangan Abi, menciumnya takzim. Lalu berganti pada Ummi.
"Terimakasih Nak! Semoga saja. Kamu juga sering-sering ke rumah Oom ya?" jawab Abi.
"Insyaallah Oom. Bang Dimaz," kata Sarah dan mengangguk padaku.
"Kalau begitu, mari. Assalamu'alaikum," kata Oom Ghani yang diikuti oleh Sarah. Aku dan Abi segera menjawabnya.           Saat mereka lenyap dari pandangan, Abi mendesah pelan. Hal itu tentu saja membuat aku dan Ummi heran.
"Kenapa Bi?" tanya Ummi khawatir.
"Nggak papa Mi. Abi cuma salut sama si Ghani. Nggak banyak orang yang bisa tetap hidup dengan prinsip seperti mereka sekarang ini. Modernisasi kehidupan terkadang membuat kita jauh pada sang Khalik. Tapi liat Ghani dan anaknya! Mereka bisa bertahan, meski mereka termasuk orang-orang yang sukses."
"Oom Ghani nggak punya istri Bi?" tanyaku lagi.
"Sudah meninggal 2 tahun yang lalu Maz," jawab Ummi. "Sekarang dia tinggal sama Sarah dan dua orang adik kembarnya yang masih SMP."
"Ghani begitu menyayangi istrinya. Dia cukup terpukul saat istrinya meninggal. Dia bilang, dia tidak kesepian. Sudah merasa cukup dengan anak-anaknya dan tidak punya keinginan untuk menikah lagi. Tapi Abi rasa, pada suatu titik, dia pasti akan kesepian juga. Seperti Abi dan Ummi mu ini Maz."
"Maksudnya Bi?"
Abi kembali mendesah. "Kapan kau akan membawa menantu buat kami?"
Aku sontan terdiam dengan kepala kembali tertunduk. Ya Tuhan! Tolong, jangan sekarang!
"Kau satu-satunya putra Abi. Penerus garis keturunan Abi. Dan kemarin, saat Abi sakit, Abi baru sadar. Kalau Abi masih punya satu tugas yang belum Abi selesaikan. Menikahkanmu," kata Abi. "Kemari Nak!" panggil Abi dan menepuk sisi tempat tidurnya.
Aku hanya mampu menurutinya dengan nafas yang mulai sesak.
"Kau tahu, Abi selalu mencoba mengalah dengan keinginanmu. Karena Abi tahu, kau juga ingin menikmati masa muda mu. Abi mengerti. Tapi. . . ,apakah masih belum cukup sekarang Nak?," tanya Abi memulai. "Kau pergi meninggalkan kami ke Jakarta sendiri dengan alasan ingin mandiri. Meski berat, kami berdua mengikhlaskanmu. Sudah berjalan hampir 5 tahun kau meninggalkan kami. Apa masih belum cukup?"
"Kau masih belum ingin kembali, Nak? Kami. . . , benar-benar kesepian disini," sambung Ummi membuatku semakin sesak.
"Ummi," desahku.
"Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada kami Maz?" lanjut Abi. "Kau mau, hanya mampu memegang mayat kami?"
"Abi!! Kok bicaranya ngelantur gitu?" protesku pelan.
"Karena kemarin Abi bisa saja mati Dimaz!" jawab Abi. "Kemarin, bisa saja Abi sudah meninggalkan Ummimu sendiri, sementara kau, satu-satunya putra Abi, tidak ada disini! Abi. . . ,benar-benar takut kalau Abi pergi tanpa bisa melihatmu lagi. Karena Abi masih punya tanggung jawab untuk menikahkanmu. Bawalah pacarmu ke rumah Nak! Katakan dia siapa dan dimana. Kami akan segera melamarnya agar secepatnya kau bisa membawanya kerumah, sebagai teman kami yang sudah tua."
"Apa lagi yang kau tunggu Nak? Harta kita sudah lebih dari cukup untuk bekal hidupmu dan keturunanmu Maz," sambung Ummi.
"Kau sudah memiliki pilihan Nak?" tanya Abi pelan.
Aku terdiam. Bingung harus bagaimana menjelaskannya pada mereka. Tak mungkin aku mengatakan kalau aku gay dan sedang berhubungan dengan Jeffry. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi dengan Abi kalau dia tahu. Akhirnya aku hanya bisa menggeleng saja.
"Bagaimana kalau kami yang mencarikannya untukmu?" tanya Abi lagi.
"Dimaz. . . ,masih harus menyelesaikan kuliah Bi!" kataku mencoba mengelak.
"Apa harus di Jakarta nak? Apa begitu pentingnya pendidikanmu sehingga kau harus meninggalkan kami lebih lama lagi? Apa yang mau kau raih? Masih kurang apa yang kita miliki disini?" tanya Abi. "Teruskanlah pendidikanmu disini Nak! Bantu Abi mengurus semua usaha Abi yang nantinya toh akan jadi milikmu juga. Dan segeralah menikah! Abi akan mati dengan tenang kalau kau sudah berkeluarga. Setidaknya Ummi mu tak akan kesepian lagi kan?"
Hening!
Aku benar-benar merasa terdesak dengan permintaan Abi dan Ummi. Namun dalam hati, aku juga tak bisa menyangkal kalau apa yang mereka minta juga wajar dan sudah semestinya. Tapi. . . . ,
Suasana hanya dipecahkan oleh isak pelan Ummi. Beberapa saat kemudian, kurasakan tangan Ummi yang memegang bahuku dan meremasnya pelan. Aku sama sekali tak bisa mengangkat muka.
"Pikirkan saja dulu, ya Nak?!" pinta Ummi.
Aku hanya mengangguk.  

XXV

Semula kukira Ummi dan Abi hanya bercanda saat mengatakan bahwa mereka kesepian dirumah. Sampai akhirnya aku berada disini. Saat ini Ummi masih berada di rumah sakit dan aku memutuskan untuk pulang dan beristirahat sejenak. Saat aku bangun, baru aku tahu kalau mereka benar.
Rumah kami yang besar terasa lengang dan sepi. Yang terdengar hanya kicauan beberapa ekor burung peliharaan Abi, serta petok ayam. Tak ada suara manusia.
Ya Tuhan, seperti inikah suasana yang harus mereka jalani setiap harinya? Apa yang Ummi lakukan saat Abi bekerja? Apa yang beliau kerjakan untuk mengusir kesepian ini?!
Aku berjalan keluar dari kamar. Celingukan sebentar, sampai akhirnya kudengar suara tak jelas dari arah belakang. Aku menghampirinya dan menemukan Mbok Sri dan putrinya Rukmini sedang memasak didapur. Beliau adalah pembantu kami yang berasal dari Jawa. Sudah bekerja pada Ummi semenjak aku kecil.
"Masak apa Mbok?" tanyaku pelan.
Mbok Sri jadi sedikit kaget dengan sapaanku. Dia memegang dadanya dan menghela nafas, sementara Rukmini cuma tersenyum malu-malu. Dia seorang gadis berkulit coklat manis yang berusia 2 tahun dibawahku. Dan kudengar dia sudah berkeluarga dengan adik Pak Rahmat, sopir kami.
"Duh Mas Dimaz! Mbok ya jangan gitu! Bikin Mbok Sri kaget wae. Ini lho, mbok mau bikinin telor petis kesukaan Mas Dimaz. Nanti dihabisin yo?" kata beliau.
"Mas Dimaz ingin sesuatu?" tanya Rukmini.
"Bikinin jus jeruk ya Mbak?" pintaku lalu duduk di kursi dapur dan memperhatikan mereka melakukan pekerjaannya.
"Mas Dimaz berapa hari ndek sini?" tanya Mbok Sri lagi.
"Nggak tahu Mbok. Mungkin sampai Abi keluar. Kayaknya nggak lama Mbok. Lagipula, disini kok sepi banget ya?"
"Ya gimana ndak sepi, lha wong mas Dimaz anak satu-satunya malah tinggal di Jakarta!" seloroh Mbok Sri dan tertawa kecil. "Mas Dimaz baru saja datang sudah gak kerasan. Coba bayangin Bapak sama Ibu yang tinggal disini setiap harinya. Kadang suka kasihan lho Mas kalo melihat mereka. Duduk bengong berdua. Gak ada temen. Mas Dimaz mbok ya cepet-cepet nikah gitu lho!"
"Aduuuhh!! Mbok juga ngomongnya kok gitu?! Kemarin Abi sama Ummi juga ngomongin hal yang sama. Memang nggak ada yang lain?" gerutuku.
"Lha mau apa lagi tho Mas? Mas Dimaz sudah punya semuanya kan?"
"Kuliahku belum selesai Mbok!"
"Kenapa ndak kuliah disini saja Mas?" celetuk Rukmini. "Kan bisa sekalian nemenin bapak sama ibu!"
"Iya Mas! Terus nikah gitu lho! Jadi rumah ini ndak sepi. Mas Dimaz sudah punya pacar tho?" tanya mbok Sri.
"Sudah Mbok! Tapi aku juga nggak mungkin nikah sama dia," sahutku pelan teringat akan Jeffry.
"Berarti ya bukan jodoh Mas! Kalau memang sudah ndak ada jalan, mungkin sudah waktunya Mas Dimaz mencari yang lain. Hidup ini apa yang dicari tho Mas? Mau nyari harta terus juga buat siapa kalo kita ndak punya keturunan? Semua orang itu kan butuh seseorang buat nemenin hidup. Bersama sampai tua. Melihat anak dan cucunya tumbuh. Bagi Mbok, itulah yang disebut bahagia!"
"Tapi bagaimana kalau orang yang kita cintai itu justru orang yang salah Mbok? Misalnya seorang gadis yang jatuh cinta sama suami orang. Bapak yang jatuh cinta sama anak tirinya? Atau laki-laki yang suka sama laki-laki juga?"
"Lhah dalah Maaaaass!! Kalau Mbok bilang itu sih bukan cinta. Tapi cobaan!" ujar Mbok Sri sembari mengangkat telur yang sudah ia rebus dan memasukkannya ke dalam panci berukuran sedang yang berisi air dingin. Beliau membawanya dan duduk didepanku.
"Maksudnya Mbok?" tanyaku dan mengambil 1 telur untuk membantu Mbok Sri mengupasnya.
"Lha yang seperti mbok bilang tadi, mungkin itu bukan jodoh Mas Dimaz. Mungkin aja itu cuma salah satu ujian yang Allah kasih sebelum Mas menemukan jodoh yang sebenarnya. Kalo bukan jodoh, ya nggak bisa dipaksa Mas. Kalau Mas jatuh cinta pada orang yang salah, mungkin Mas harus belajar merelakannya. Karena mungkin hal itu berarti bahwa kebahagiaan orang itu, tidak berada ditangan Mas. Tapi ditangan orang lain," jelas Mbok Sri.
"Tapi bagaimana kalau kebahagiaan saya, justru bergantung pada orang itu Mbok?" tanyaku ngotot.
Mbok Sri tersenyum. "Kadang kita memang kudu rela sakit demi orang yang kita sayangi Mas. Kalau dengan memaksanya tetap bersama kita justru bikin banyak orang terluka, apa ndak egois namanya? Beberapa diantara kita, kadang harus mau berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Karena itu kita harus ikhlas. Belajar untuk berkorban demi orang lain. Bukankah akan lebih indah kalau kita bisa melihat orang yang kita sayangi bahagia? Daripada dia berada disisi kita, sementara dia dan banyak orang lain malah menderita. Kalau kita sayang seseorang, kita harus siap untuk kehilangan. Karena nggak ada yang selamanya jadi milik kita. Suatu saat, hal itu akan diambil oleh yang Kuasa!" kata Mbok Sri bijak. Siapa sangka, seorang pembantu seperti beliau memiliki kemampuan berpikir seperti itu. Pengalaman hidup rupanya telah mengajarnya dengan baik.
"Lalu bagaimana kalau aku dan dia benar-benar saling menyayangi, tapi. . . ,kebersamaan kami justru akan membuat keluarga kami tersakiti Mbok? Haruskah kami memperjuangkan kebahagiaan kami?"
Mbok Sri tersenyum mendengar pertanyaanku. "Apa yang lebih utama, membahagiakan diri sendiri atau orang tua? Ibadah atau dunia? Lagipula, kalau kita menjalin suatu hubungan dengan seseorang, bukankah muara akhirnya adalah dalam pernikahan? Kalau memang Mas Dimaz dan kekasihnya ndak akan bisa bersatu, bukankah itu sudah satu pertanda kalau kalian ndak berjodoh?"
Aku terdiam oleh pertanyaan balik itu.
"Percaya saja sama Allah kita Mas. Kadang ada saat dimana akal kita sudah ndak bisa berpikir lagi. Kalau pikiran kita sudah ndak bisa menemukan jalan keluar, kembali saja pada ajaran agama kita. Kembalikan semua pada Allah. Yakin saja bahwa apapun yang dianjurkan oleh Allah itu yang terbaik. Mas Dimaz ndak perlu ragu," kata Mbok Sri dengan senyum polosnya.
Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. "Mbok Sri nggak perlu kuliah, sudah pinter ya?" selorohku.
"Lha namanya saja orang tua Mas. Mbok Sri kan belajarnya dari jalannya hidup Mbok Sri sendiri. Kadang juga suka nanya ke Bapak. Lagian ilmu kan ndak hanya berada dibangku sekolah tho. Mas Dimaz lho malah sudah kuliah, harusnya lebih bisa membedakan mana yang bener sama yang ndak."
"Aku belum bisa melepasnya Mbok," kataku pelan setengah melamun.
Mbok Sri menatapku dengan sedikit iba. Meski tak detil yang kuceritakan, sepertinya beliau tahu kalau aku memiliki masalah yang pelik. "Mungkin sudah saatnya Mas Dimaz belajar akan arti pasrah dan ikhlas," pungkas beliau lalu bangkit membawa panci kecil berisi telur-telur yang sudah kami kupas tadi.
Aku terpekur disana dengan pikiran yang penuh dengan kata-kata Mbok Sri. Kebijaksanaan yang beliau miliki memang ditempa oleh kerasnya hidup. Kudengar kehidupan beliau ditanah Jawa dulu cukup pahit. Aku tak tahu apa persisnya. Yang jelas hal itu memaksa Mbok Sri beserta suaminya untuk hijrah ke sini.
Begitu larutnya aku dalam pikiranku hingga aku tak mendengar sapaan Ummi yang beberapa kali memanggilku. Aku baru terhenyak kaget saat beliau memegang bahuku.
"Mi. . . ," sapaku pelan dan cepat-cepat bangkit untuk mencium tangannya.
"Dimaz sudah lapar?" tanya Ummi dengan senyum lelahnya, membuatku semakin merasa teriris perih. Bahkan saat fisiknya payah, beliau masih sempatnya bertanya tentangku.
"Nggak kok Mi. Ini lagi ngobrol sama Mbok Sri. Ummi istirahat ya? Kelihatannya capek banget," bujukku.
"Ummi masih ingin ngobrol denganmu. Temani Ummi duduk didepan ya? Mbok, bikinin teh manis ya?" pinta Ummi dan langsung mendahuluiku keruang tengah.
"Ummi tidur saja. Nanti sakit lho!" bujukku lagi.
Beliau yang terduduk dengan kaki diluruskan di sova kembali tersenyum. "Mau pijitin kaki Ummi?" pintanya yang segera kujawab dengan anggukan. Aku segera duduk di sebelah beliau dan meletakkan kaki Ummi di pangkuanku.
"Abi gimana Mi?" tanyaku.
"Tadi sudah tertidur waktu Ummi tinggal. Dokter bilang, 2 hari lagi sudah boleh pulang. Kamu sudah shalat?"
Pertanyaan yang suah biasa ku dengar dari beliau. Biasanya akupun enteng saja menjawabnya. Tapi tidak kali ini. Aku tak bisa mengatakan pada Ummi bahwa semenjak aku bersama dengan Jeffry, aku tidak pernah lagi mendirikan shalat. Aku merasa terlalu kotor. Rasanya aku menjadi orang yang munafik kalau aku tetap saja shalat, sementara aku masih melakukan hal yang jelas-jelas dilarang oleh Allah. "Belum Mi! Nanti saja. Kan waktunya masih panjang!" elakku.
"Jangan suka menundanya Maz!"
"Kan masih mijitin Ummi," cengirku membuat Ummi tergelak kecil.
"Kalau gitu, sebentar lagi harus shalat dulu ya? Setelah itu kita makan bareng. Ngobrol apa tadi dengan Mbok Sri?"
"Soal pernikahan Bu!" celetuk Mbok Sri yang tiba-tiba nongol. Aku menggerutu pelan mendengarnya. Apa lagi saat kulihat Ummi langsung menatapku dengan intens. Aku segera mengalihkan pandanganku, pura-pura konsen memijiti kaki beliau.
"Dimaz masih kepikiran soal permintaan Ummi dan Abi?" tanya Ummi setelah keheningan yang lama. Aku tak menjawabnya. Bukan karena tak mau, tapi lebih karena tak tahu harus mengatakan apa. Aku tak sanggup melihat kekecewaan dimata beliau kalau aku jujur. Aku lebih memilih dibuat pingsan daripada harus melihat mata itu kembali berair.
Ummi menghela nafas saat aku tak juga menjawabnya. "Mungkin menurut Dimaz kami egois. Tidak memperdulikan perasaan anak sendiri. Tapi. . . , apa permintaan kami itu berlebihan?" tanya Ummi lagi.
Aku hanya menggeleng pelan dengan leher tercekat.
"Coba Dimaz dengarkan baik-baik suara disekitar rumah ini," ujar Ummi.
Aku menurutinya dan hanya mendengar suara serangga-serangga pohon dan unggas dibelakang rumah.
"Sepi kan Nak? Seperti inilah kehidupan yang Abi dan Ummi mu jalani selama hampir 5 tahun ini. Mencekam. Tak ada yang bisa diajak bicara, bercanda ataupun kami marahi. Kau putra kami satu-satunya. Anak kami satu-satunya. Tapi kau lebih memilih menuntut ilmu di pulau seberang. Abi dan Ummi mu sudah mengalah dan mengijinkanmu pergi. Tapi sekarang, kami membutuhkanmu Nak! Ramaikan rumah ini. Isi rumah ini dengan suaramu. Akan lebih baik kalau kau juga membawa menantu yang bisa menemani Ummi saat kau pergi bekerja atau sekolah. Lalu segera beri Ummi cucu yang bisa Ummi manjakan. Ummi janji, Ummi akan menyetujui siapapun gadis yang akan kamu bawa kesini. Apapun latar belakangnya. Ummi akan mendukung kalian sepenuhnya!" ujar Ummi.
Aaaaaah Ummi, desahku dalam hati nelangsa.  Tak pernah ada gadis dalam hidup putramu. Aku hanya mencintai satu orang saja. Dan dia seorang lelaki Mi! Ummi tak akan bisa menerima atau mendukung putramu ini. Ummi tak akan mampu mengerti, karena bahkan Dimaz sendiri juga tak mengerti, kenapa Dimaz bisa jatuh cinta pada lelaki.
"Dimaz sudah ada calon?" tanya Ummi.
Aku menggeleng untuk menjawabnya.
"Sungguh Nak?"
"Dimaz belum punya gadis Mi!" jawabku pelan dengan kepala yang masih tertunduk. Semantic. Permainan kata-kata.
"Kalau Dimaz tak keberatan, biar Ummi dan Abi yang mencarikanmu jodoh Nak. Dimaz bersedia?" tanya Ummi lagi.
Aku tak langsung menjawab, berpikir keras harus mengatakan alasan apa yang tepat agar mereka mau mengurungkan niat mereka. Tapi tak ada satu hal pun yang bisa menurutku tepat. Semua alasan yang terpikir olehku justru membuatku makin merasa bersalah dan terasa konyol. "Beri waktu Dimaz buat berpikir Mi!" pintaku akhirnya setelah kediaman yang lama.
Kudengar Ummi menghela nafas panjang. "Baiklah Nak! Silahkan berpikir. Sekarang, shalat dulu ya? Ummi mau melihat ke dapur," pungkas Ummi dan bangkit.
Baru saat beliau menghilang dari ruang tengah aku bisa menarik nafas panjang. Masih terasa sesak. Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus aku katakan? Pikiranku seakan berada didalam ruang persegi dimana kesemua sisinya ditutup oleh tembok baja hitam yang tak bercelah. Dinding yang beku dan gelap. Tidak menawarkan sedikirpun cahaya ataupun celah. Karena tak ada apapun yang bisa kupikirkan, akupun bangkit untuk shalat seperti kata Ummi tadi. Kalau tidak segera melaksanakannya, Ummi akan terus menanyakanya.
Yang mengejutkanku, saat bilasan pertama air wudhu membasahi mukaku, kurasakan sedikit sentakan disudut hatiku. Dan semua hal, hidupku selama ini berkelebat cepat di pikiranku bagai kalaeidoskop hidup. Terbayang semua hal yang telah dilakukan oleh Ummi dan Abi. Bagaimana mereka mendidikku, membesarkanku, dan mengajarkan semua yang peru aku ketahui.
Kilasan itu terus berlanjut dengan masa-masa remajaku. Sampai aku bertemu Rafly, pindah ke Jakarta, hingga saat aku bersama Jeffry.
Allah!!
Begitu banyaknya dosaku! Begitu jauhnya aku dari diriku yang dulu. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang Kau inginkan dengan semua yang terjadi? Kenapa aku harus memiliki perasaan ini? Kenapa aku harus mencintai pria? Kenapa aku harus berbeda?
Perbedaan yang kumiliki telah menyakiti banyak orang. Kejadianku dengan Rafly membuatku menjauh dari orang tuaku. Membiarkan mereka hidup berdua dalam rumah kami yang besar namun lengang. Aku lebih memilih hidup di Jakarta. Menghabiskan waktuku dengan menuntut ilmu dan bekerja dengan orang-orang yang bisanya hanya memamerkan keindahan fisik mereka. Sampai aku bertemu Jeffry dan jatuh cinta padanya.
Dalam sujud aku menangis!
Allah!!!
Aku tahu semua firman Mu. Semua ayat-ayat Mu yang disampaikan oleh Nabi Mu. Ayat-ayat yang mengutuk hubungan yang kumiliki bersama Jeffry. Kalimat-kalimat yang tidak hanya membuatku merasa miris, tapi juga ngeri.
Aku menyayanginya Allah!
Menyayangi pria itu dengan segenap perasaan tulus yang bisa tercipta dari seorang hamba Mu. Bagaimana ini bisa salah, bila Kau sendiri yang menumbuhkan perasaan ini dalam diriku?
Apa yang harus kulakukan agar bisa menjadi hamba Mu yang baik? Hamba telah mencoba lari dari perasaan ini. Tapi kini hamba Mu ini kembali memilikinya. Haruskah aku berlari lagi? Dan sampai kapan?
Apa yang harus hamba lakukan agar bisa menyenangkan orang tua hamba? Hamba ngeri membayangkan kalau suatu saat, ketika hamba Mu ini telah berstatus seorang suami dan ayah, hamba jatuh cinta kembali pada seorang pria. Seberapa besar dosa hamba jika hal itu terjadi? Betapa zhalimnya hamba pada anak istri nanti?!

Diatas sajadah itu, aku hanya bisa menangis! Membiarkan hatiku berbicara pada sang Khalik!
Dan aku benar-benar kelihatan berantakan setelahnya. Suaraku terdengar serak dan mataku merah bengkak. Kalau Ummi melihat pasti akan ditanyai macam-macam. Padahal aku belum makan malam. Aku bingung bagaimana harus menyamarkannya.
"Dimaz sudah. . . ," kalimat Ummi berhenti sampai disitu. Beliau berdiri didepan mushalla kecil yang ada dalam rumahku dengan ekspresi kaget. Tangannya terangkat, mengusap dadanya. "Ada apa Nak?! Apa masalah yang membuatmu seperti itu?" tanya Ummi khawatir.
Aku diam tak menjawab. Hanya menunduk.
"Apa karena permintaan Abi dan Ummi tadi?" tanya beliau setelah menunggu beberapa saat.
Aku tetap tak menjawab.
Ami mengeluarkan desahan masygul. "Ya Allah, begitu beratkah permintaan yang kami ajukan sampai kau seperti ini nak?" tanya Ummi dengan suara bergetar. Hanya dalam hitungan detik, aku mendengar beliau kembali terisak. Hatiku serasa di lecut dengan keras mendengarnya.
"Ummi!"
Hanya itu yang sanggup kukatakan karena detik selanjutnya aku sudah sujud mencium kaki beliau. Tak ada sahutan dari beliau selain isakan pelannya. Beberapa saat kemudian kurasakan usapan lembut beliau dikepalaku.
"Ummi maafkan Dimaz!" ratapku pelan dan memeluk kaki Ummi erat. "Dimaz anak durhaka. Lakukan apapun keinginan Ummi dan Abi. Apapun!"
"Maafkan Ummi ya Nak!"
Aku menggeleng keras mendengarnya. Mataku semakin sembab dengan kata maaf Ummi itu. "Dimaz . .  y-yang. . . seharusnya minta maaf Mi!" kataku sedikit tersendat. "Dimaz tak pernah menjalankan kewajiban Dimaz sebagai seorang anak. Dimaz justru tenggelam dalam dunia Dimaz sendiri. Tak pernah memikirkan perasaan Ummi dan Abi! Dimaz yang salah!"
"Nak. . . "
"Lakukan apapun keinginan Ummi. Dimaz akan menurut. Dimaz janji Mi. Apapun itu," bisikku lirih dengan hati pasrah.
Semua telah berakhir, batinku perih!

XXVI

Kabar kesediaanku ternyata obat yang mujarab bagi Abi. Beliau segera ngotot pulang untuk langsung mencarikanku jodoh. Dia menghubungi semua kenalan yang bisa ia jangkau. Hanya dalam waktu 2 hari setelah kepulangan beliau dari rumah sakit, aku sudah mendapatkan 10 buah foto dan nama gadis yang bisa kupilih. Dan aku tak membutuhkan waktu lama untuk memutuskan saat aku melihat foto gadis pertama yang diajukan oleh Abi.
Sarah!
Bisa kulihat kalau pilihanku adalah memang harapan Abi dan Ummi. Mereka berdua langsung memelukku dan mengucapkan kalimat hamdallah pada yang Kuasa. Ummi tak henti-hentinya mengusap dan mencium kepalaku dengan pipi yang basah. Dan melihat mereka yang begitu bahagia, aku benar-benar merasa rela untuk melakukan apapun agar bisa membuat mereka tetap seperti itu. Bahkan jika itu berarti aku harus menyakiti diriku sendiri.
Aku hanya mengajukan satu syarat pada mereka. Aku minta waktu setahun untuk membereskan semua hal yang kutinggalkan di Jakarta. Termasuk Jeffry. Mereka hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk menyetujuinya.


Hari ini, 5 hari setelah Abi kembali dari rumah sakit, beliau mengajakku untuk bertandang ke kediaman Oom Ghani. Selain untuk membicarakan hal perjodohan kami, Abi bilang ini juga kesempatanku untuk mulai belajar mengenal Sarah. Abi meyakinkanku untuk tidak merasa khawatir, karena beliau telah membicarakan hal ini dengan Oom Ghani, saat beliau menjenguk Abi di rumah sakit. Dan Oom Ghani waktu itu juga menyetujuinya. Jadi kunjungan ini hanya untuk merundingkan hal-hal resmi tentang perjodohan kami.
Aku hanya tersenyum dengan tingkah heboh mereka. Berpura-pura senang meski sejak pertama kali hal ini dibahas, aku tak pernah bisa tidur dengan tenang.
Aku tahu kalau aku mungkin mesti bersikap antusias atau turut heboh seperti mereka. Tapi aku tak bisa. Bahkan kini, saat aku sedang berduaan bersama Sarah, aku tak bisa menampilkan ekspresi girang yang diperintahkan oleh otakku. Pertanyaan kalimat Sarah hanya kutanggapi sambil lalu. Sarah yang sedikit memberikan tour padaku dirumahnya sepertinya menyadari hal itu. 
"Bang Dimaz tidak menyetujui perjodohan ini ya?" tanya Sarah tiba-tiba. Aku yang tadinya cuma duduk diam sedikit melamun disalah satu bangku yang ada ditaman belakang rumahnya tentu saja kaget. Untuk sejenak, aku hanya bisa menatapnya dengan mulut terbuka tanpa suara. Sarah tak menatapku. Pandangannya tertuju pada kolam renang didepan kami. Dia duduk diam tak jauh dariku, menanti jawaban.
"Apa Sarah . . . , tidak keberatan sama sekali dengan perjodohan ini?" tanyaku akhirnya setelah tahu akan sulit menjawab pertanyaan Sarah tadi. Aku lebih memilih untuk bertanya balik.
"Sarah sudah memasrahkan urusan jodoh pada Abi Bang. Siapapun dan kapanpun Abi menginginkan, saya bersedia," jawab Sarah pelan.
"Tapi tidakkah Sarah ingin melakukan sesuatu terlebih dulu? Mengejar cita-cita? Meraih impian Sarah? Atau mungkin, menikah dengan seseorang yang kamu cintai?"
"Cinta pada manusia itu fana Bang! Hanya cinta pada Sang Khalik yang kekal. Sarah sudah benar-benar pasrah pada keputusan Abi. Karena Sarah yakin, Abi tak akan menyerahkan Sarah pada orang yang salah!"
"Sarah pikir, aku orang yang benar itu?"
"Menurut Abi begitu," jawab Sarah enteng.
"Sarah, kau tak tahu sama sekali tentang aku. Kehidupanku di Jakarta berbeda dengan disini. Disana aku. . . "
"Bang!" potong Sarah mebuatku kaget. "Jangan! Jangan katakan apapun yang bisa membuat Sarah kehilangan hormat Sarah pada Abang. Bagi Sarah, seorang suami adalah imam yang harus dipatuhi. Dan kehidupan Abang di Jakarta atau masa lalu Abang yang mungkin tidak indah, sudah tidak penting. Yang utama adalah bagaimana kita ke depannya. Jadi jangan ceritakan apapun. Sarah tidak ingin kehilangan respek pada Abang," jelas Sarah lugas.
"Sarah yakin bisa mencintaiku?" tanyaku pahit setelah kediaman yang lama.
"Bagi Sarah, Abang sudah sempurna untuk menjadi suami. Adik-adik Sarah saja ngefans lho sama Abang. Dan yang terpenting. . . , Abi yang memilih Abang untuk jadi imam Sarah!" pungkas Sarah. Andai saja aku punya keyakinan seperti yg dimilikinya. Aku hanya mampu membalasnya dengan tersenyum tipis.
Allah. . .
Kuatkan aku!
Kembali aku hanya mampu tercenung!
Saat-saat seperti ini adalah saat yang kubenci. Saat dimana otakku tak mampu lagi berpikir untuk mencari jalan keluar dari suatu masalah. Guru agama yang pernah mengajariku berkata, bahwa saat kau telah berusaha sekuat tenaga dan tak ada lagi jalan keluar yang bisa kau temukan, maka diamlah! Pasrah! Serahkan semua ke tangan Allah. Dzat Agung yang telah menentukan segalanya untukmu.
Pertanyaannya adalah, sudahkah aku berusaha sampai batas kemampuanku? Lalu dalam kasus sepertiku, usaha bagaimana yang bisa disebut maksimal? Haruskah aku mengacuhkan orang tuaku karena aku ingin bersama dengan Jeffry? Atau haruskah aku meneruskan semuanya ini dan menikah dengan Sarah?
Ya Allah, bagaimana bisa kami menentukan mana yang benar dan mana yang salah, jika keinginan dan pemikiran kami bertentangan seperti ini? Akal sehatku terus berusaha meyakinkanku bahwa langkah yang kuambil adalah benar. Dia menghamburkan semua alasan-alasan tak terbantahkan berdasarkan fakta dan ajaran agama. Dia juga mengingatkanku akan orang tuaku. Tapi hatiku terus menarikku untuk segera pergi dari sini. Karena aku merasa kalau aku sudah menipu semua orang. Orang tuaku,Sarah dan keluarganya, bahkan diriku sendiri.
Sungguh mencengangkan betapa tipisnya batas antara kewarasan dan kegilaan jadinya.
 Adilkah semua ini? Adilkah bagi aku mengorbankan kebahagiaanku demi orang tuaku? Lalu adilkah bagi Sarah kalau dia menjadi istriku tanpa harus tahu seperti apa diriku yang sebenarnya?
Keyakinan Sarah justru membuatku sesak. Bisakah dia menerimaku kalau dia tahu fakta yang sebenarnya? Terlebih lagi, bisakah aku memenuhi pengharapannya? Menjadi imam yang baik bagi keluarga yang akan kami bina!
Selama ini aku selalu yakin bahwa selalu ada berkah tersembunyi dalam setiap rencana Tuhan. Betapapun tidak masuk akalnya hal itu dalam benak kita. Tapi saat ini, kalau memang ada kebaikan yang seperti itu, aku ingin diberitahu sekarang. Agar aku bisa melalui semua drama ini dengan ketegaran. Agar aku bisa melewatinya dengan baik.
Ya Rabb, salahkah jika hambaMu ini mengeluh saat ini? batinku lelah. Aku memejamkan mata dan menarik nafas yang terasa semakin berat. 

XXVII

"Kamu sakit Maz?" tanya Jeffry saat kami sarapan bareng. Hari ini kami memiliki jadwal pagi. Dia harus meneruskan syuting filmnya, sementara aku ada pemotretan untuk sebuah majalah.
"Enggak Jeff. Kenapa?" tanyaku setelah sadar akan apa yang dia tanyakan. Dari tadi aku memang sedikit melamun, jadi agak-agak gak nyambung bila diajak bicara.
"Kamu sadar kalau dari tadi kamu cuma main-main sama makananmu?" tanya Jeffry dengan kening berkerut. Aku menoleh ke piringku. Nasi goreng yang ada dihadapanku memang masih banyak. Aku sendiri merasa kalau aku sudah menyantapnya dari tadi. Tapi kok masih banyak juga sih?
"Aku. . . ," otakku berputar mencari kalimat yang tepat.
"Ada masalah?" tanya Jeffry. "Ada yang bisa kubantu?"
Aku hanya menggeleng untuk menjawabnya. Allah, kenapa semakin sulit begini? keluhku dalam hati. Kemarin, aku begitu yakin kalau aku akan bisa. Waktu kembali dari tanah kelahiranku, aku sudah memutuskan untuk menghentikan ini. Apapun yang kumiliki dengan Jeffry, tak lebih dari satu ilusi konyol, dan sudah tiba waktunya untuk diakhiri.

Waktu itu aku menelepon Jeffry untuk mengabarkan kepulanganku. Dan Jeffry ternyata masih ada di lokasi syuting saat aku menghubunginya.
"Jam berapa pesawatnya?" tanya Jeffry.
"Jam 8 malem."
"Aku masih syuting jam segitu," gumam Jeffry pelan.
"Ya sudah. Kita ketemu di rumah saja ok?" kataku. Malah kebetulan. Aku bisa langsung bicara denganya. Menyelesaikan semuanya dengan tuntas.
"Aku jemput di bandara!" putus Jeffry langsung tanpa menunggu protesku. Dan dia memang melakukannya. Dengan memakai t-shirt yang ditutupi jaket yang kerahnya dinaikkan, jeans robek, serta topi yang dibenamkan dalam-dalam, lalu kaca mata gelap dia berdiri di luar pintu kedatangan menungguku.
Dengan cepat dia membantuku membawa trolley ke mobilnya. Sekarang memang agak sulit baginya untuk bergerak bebas seperti dulu lagi. Wajah Jeffry sudah terlalu akrab bagi publik. Dan dia tidak bisa lagi melenggang seperti dulu. Para wartawan dan penggemar tak pernah berhenti memburunya. Jadi, sering kali dia harus menyamar.
"Syutingmu gimana?" tanyaku saat kami melaju keluar bandara.
"Sudah selesai. Jemput kamu lebih penting," sahutnya singkat dengan senyumnya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis.
Aku harus bisa, batinku. Tadi dalam pesawat aku sudah berlatih untuk mengucapkan kata maaf dan mengatakan pada Rafly bahwa hubungan kami harus segera diakhiri. Aku sudah menyiapkan berbagai versi dan alasan. Bahwa yang kami miliki sungguh indah, tapi tak boleh terjadi. Bahwa aku mencintainya, tapi kini adalah waktu bagiku untuk meneruskan hidupku, kembali pada kodratku. Bahwa kami mungkin hanya terbawa nafsu belaka, sehingga batas pertemanan antara kami jadi buram.
Ya Tuhaaaaann!! Bahkan aku sendiri merasa konyol dan sakit memikirkan kata-kata itu. Tapi bila teringat Abi dan Ummi, aku tahu kalau aku harus melakukkannya.
Dan tanpa kusadari, tahu-tahu kami sampai dirumah Jeffry. Aku segera turun untuk mengambil barang-barangku.
"Hei, kamu bawa oleh-oleh untukku kan?" tanya Jeffry mengikutiku turun.
"Jangan khawatir," jawabku tanpa mampu melihatnya dan membuka bagasi. "Bahkan Ummi dan Abi juga menitipkan sesuatu untukmu."
"Really?" tanya Jeffry yang sudah membantuku.
"Mereka ingin kau mampir kesana segera," kataku nyengir dan mengangkat koper dan sebuah hand bag kertas besar kedalam. Jeffry meraih 2 hand bag besar lainnya dan mengikutiku.
"Huh? Kalau begitu mungkin aku harus segera menyempatkan diri," gumam Jeffry.
Aku hanya tertawa kecil dan masuk ke dalam rumah yang telah kubuka. Mencoba bersikap sewajar mungkin. "Yang tak kupercaya adalah mereka mau menonton film kita dan. . .  JEFF!!" Aku terpekik kaget saat Jeffry tiba-tiba saja meraih tanganku dan menyentakannya dengan kuat, sehingga barang-barang yang kubawa berjatuhan dilantai. Sesaat kemudian dia telah mendorongku hingga menabrak dinding dan bibirnya segera menempel dileherku. Menghisap kulitku yang langsung terasa sensitif.
"I miss you!" desah Jeffry pelan dan bibirnya telah menemukan bibirku, mengulumnya lembut. Tangan Jeffry bergerak meraih pinggangku dan mengangkatku. Sembari menekankan tubuhku didinding, dia melingkarkan satu kakiku dipinggangnya, hingga secara otomatis, kakiku yang satu mengikuti. Bibirnya hampir tak pernah lepas dariku. Saat dia melepasnya, kami berdua terengah-engah kehabisan udara. Aku berpegang erat pada lehernya sambil mencoba mengatur nafas.
Jeffry menatapku dengan lembut. Matanya merayapi wajahku dengan intens hingga aku sedikit tersipu.
"Aku bener-bener kangen kamu," bisiknya lagi lalu kembali menciumku. Akupun membalasnya.
Tuhanku, aku tak bisa!!!!

Hingga saat ini, 7 hari setelah kepulanganku ke Jakarta, aku masih belum bisa mengatakannya pada Jeffry. Tiap kali aku mencoba, sepertinya kata-kata itu berhenti di ujung tenggorokanku. Hasilnya, aku jadi susah untuk makan dan tidur. Tanpa sadar aku sering diam melamun, hingga kadang Jeffry harus mengulang kata-katanya kalau berbicara denganku.
Beberapa kali dia menanyakan kalau-kalau ada yang salah, atau mungkin masalah. Bahkan dia sempat mengira kalau mungkin Ummi dan Abi yang bermasalah. Dia menyangka kalau mungkin Abi sudah parah dan harus dirawat diluar, sementara aku kesulitan biaya. Jeffry menawarkan bantuannya. Tentu saja aku terharu dan segera meyakinkan Jeffri, bahwa bukan itu masalahnya. Aku hanya sedikit homesick.
"Kamu sudah cukup?" tanya Jeffry saat aku bangkit membereskan piringku.
"Sudah! Lagi gak enak makan," jawabku pelan.
"Maz. . . ," panggil Jeffry membuatku terhenti. Dia mendekat dan meraih tanganku. "Kapan kau mau mengatakan apa masalahmu?" tanyanya pelan.
Aku cepat-cepat membuang muka saat dia mulai menatapku dengan intens dan penuh selidik. "Nggak papa kok Jeff. Cu-cuma s-sdikit homesick saja," elakku gugup. Kurasakan satu tangan Jeffry meraih daguku dan memaksaku untuk menatapnya.
"Aku siap mebantumu," katanya lagi tanpa melepaskan pandangannya.
Aku hanya tertawa kecil untuk mengatasi gugupku. Aku segera melepaskan diri. "Ada-ada saja! Nggak ada apa-apa. Aku berangkat dulu ya?" pamitku dan cepat-cepat pergi dari sana setelah menyambar tas ku.
Aku tahu Jeffry tak percaya sedikitpun kata-kataku. Tapi dia cukup menghormatiku dengan tak memaksaku mengatakan apapun. Dia menunggu aku sendiri yang mengatakannya, dan aku tak bisa. Aku nyaman berada disisinya. Aku menyukai kehangatan dalam pelukannya. Saat bersama dirinya aku bisa menjadi diriku sendiri. Bersamanya aku merasa bebas dan tak terikat. Dan aku belum rela untuk melepasnya.
Mungkin aku egois. Tapi aku benar-benar tak bisa meski aku harus. Aku mencintai Jeffry, tak ada keraguan tentang hal itu. Jauh lebih besar dibandingkan perasaan yang kurasakan pada Rafly. Apa yang terjadi antara aku dan Rafly boleh dibilang adalah cinta monyet, karena kami masih sama-sama remaja dan labil. Tapi dengan Jeffry, aku sudah dewasa dan tahu apa yang aku inginkan. Memikirkan untuk berpisah dan tak mampu lagi berada didekapannya membuatku ngeri. Aku tak sanggup untuk melakukannya.
Bagaimana aku bisa bekerja kalau pikiranku penuh begini? pikirku. Aku harus menghubungi Mbak Rara, manager ku dan mambuat jadwal ulang. Dan saat itulah baru kusadari, kalau hp ku tertinggal dikamar.
Aku mengumpat pelan dan segera menghentikan mobil untuk berbalik. Untung saja aku masih belum jauh. Kulihat mobil Jeffry juga masih belum hilang.
"JEFF!!" panggilku dan masuk kerumah. Kulihat dia sedang menonton tv diruang tengah. Dia hanya melihatku yang nyelonong masuk. "Hp ku ketinggalan dikamar dan. . . ," aku terhenti saat kulihat dia mengacungkan hp ku ditangannya.
"Tadi ada telepon dari tante," katanya datar.
Aku mendekat dan mengulurkan tangan untuk mengambil hp ku darinya. "Ada. . . pesan?" tanyaku perasaan khawatir yang mulai merambatiku.
"Beliau bilang pesta pertunanganmu akan dilaksanakan dalam seminggu. Kau harus meluangkan waktu," katanya. Tak ada marah ataupun kaget. Suaranya benar-benar datar tanpa ekspresi.
Aku terdiam dengan aliran darah yang seakan-akan terhenti. Pasti wajahku sudah memucat sekarang. Bahkan aku tak menyadari hp ku yang jatuh berkelotakan dilantai.
"Ada yang lupa kau katakan?" tanya Jeffry lagi.
"Jeff, a-a-ku. . . bi-bisa jelaskan. . . ,"
"Kalau begitu mulailah bicara!" potong Jeffry dingin. Tatapannya begitu menusuk, dan akupun sadar. Sadar bahwa apa yang kami miliki, telah menjadi sejarah.
Kejadian setelah itu aku tak begitu ingat lagi. Aku bahkan tak tahu apa yang kukatakan. Yang kuingat adalah mataku yang berair dalam hitungan detik. Lalu aku ngoceh tak jelas tentang Abi yang sakit, Ummi yang kesepian dan aku anak yang tak berbakti. Juga bahwa aku mencintainya dan tak ingin berpisah dengannya. Seingatku itu inti dari ceracauan tak jelas yang kuucapkan sembari menangis. Aku hampir-hampir histeris. Nyaris tak terkendalu. Beban yang kusimpan beberapa hari terakhir tumpah begitu saja. Semua menyembur keluar tak terkendali sampai akhirnya Jeffry memelukku. Dia mencoba menenangkanku. Namun bahkan diantara ocehanku yang tak jelas, aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda.
Pelukan Jeffry tak sehangat sebelumnya. Pelukannya dingin. Dan jauh didalam bawah sadarku, aku merasakan bahwa dia kembali menjadi Jeffry yang baru pertama kali ku kenal dulu.
Jeffry yang menutup dirinya dari siapapun.
Bahkan dariku!

1 komentar:

  1. saya sangat suka dengan tulisan kakak yang dapat menguras emosi saya. yang membuat saya menjadi bad mood seharian.katang yang dapat saya gambarkan dari tulisan kakak. TERKENANG, TERKESAN, LUAR BIASA.

    BalasHapus