XVIII
Pagi itu
aku bangun sebelum Jeffry membuka mata. Perlahan agar dia tak terusik aku turun
dan melangkah kekamar mandi sembari berkernyit menahan perih. Disana, aku
berdiri sejenak menatap bayangan wajahku dikaca. Aku melihat diriku yang tampak
kusut, lelah dan super berantakan. Ada tanda-tanda berwarna merah bekas dari
percintaan yang tampak pada beberapa bagian tubuhku. Dan juga sakit dibagian
belakang tubuhku yang bisa menjadi bukti akan liarnya perbuatanku semalam. Aku
benar-benar terlihat tak karuan. Orang yang melihatku pasti bisa langsung
menyimpulkan apa yang telah kulakukan semalam.
Tapi ada
sedikit ketenangan diwajah yg membayang di cermin itu. Karena kini, mulai saat
ini, aku putuskan untuk menerima perasaanku. Berdamai dengan kemelut yang
selalu kuhindari. Aku tak akan lari lagi. Aku tak akan meninggalkan Jeffry
seperti aku meninggalkan Rafly. Aku akan mencoba memahami semuanya.
Menerimanya. Dan menghadapi apapun yang akan terjadi nantinya. Aku ingin tahu,
sampai dimana semua ini akan berlangsung.
Dengan
tekad itu aku mandi membersihkan tubuhku dari sisa-sisa percintaan semalam.
Sempat beberapa kali berdesis sakit saat membasuh bagian belakang tubuhku yang
ternyata robek berdarah. Lalu akupun turun ke bawah untuk membuat sarapan.
Aku
sedikit bergumam sembari memasak omellet. Pengennya sih masak sambil
goyang-goyang dikit seperti yang biasa aku lakukan dirumah. Tapi perih ditubuhku
mencegahnya. Jadi aku hanya bergumam saja sembari menggerak-gerakkan kepalaku.
"Apa
yang sedang kau lakukan?!"
Aku
berbalik dengan cepat sehingga kembali berjegit ketika nyeri ditubuhku terasa.
" Hei! Sudah bangun? Aku sedang menyiapkan sarapan untukmu. Have a
sit!" kataku lagi dan kembali pada omeletku yang hampir matang.
"Kenapa
kau tidak langsung pulang saja?" tanya Jeffry lagi. Nadanya yang sedikit
tidak enak membuat punggungku agak menegang. Aku mengangkat omellet ku yang
telah matang dan meletakkannya dipiring saji.
"Maaf?"
tanyaku pelan, berusaha terdengar wajar meski dadaku mulai berdebar keras.
"Bukankah
kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan semalam? Jadi tak ada gunanya lagi
kau disini," kata Jeffry santai lalu mengambil piring omellet ditanganku.
Dia lalu duduk dan menyantapnya dengan tenang. Sementara aku masih termangu
dengan reaksinya yang dingin acuh. Seolah-olah apa yang terjadi pada kami
semalam tak ada maknanya sama sekali.
"Bisa
kau perjelas?" tanyaku sedikit bergetar karena gugup dan cemas mulai
merambatiku.
Jeffry
mengangkat muka dan menatapku dengan mimik heran. "Soal?" tanyanya
tak mengerti.
"Kau.
. . . ," aku menarik nafas, ". .
ingin aku pergi?" tanyaku dengan perasaan sedikit ngeri.
Jeffry
mengangkat bahu, "Kalau kau tak keberatan! Hari ini aku libur, jadi aku
ingin istirahat saja. Dan jangan berharap kalau aku akan mengulangi yang
semalam. Aku tak tertarik," ujarnya tanpa beban.
Tubuhku
terasa dingin mendadak, "Apa. . . .a-apa yang terjadi semalam
menurutmu?" tanyaku lagi, masih dengan nada gugup.
"We
fucked!" jawab Jeffry enteng. "Itu yang kau inginkan selama ini
bukan? Kau ingin aku mencumbumu. And that's what we did last night. Aku sudah
memberimu apa yang menjadi keinginanmu."
"Kau
pikir aku kesini hanya untuk . . . tidur denganmu?" tanyaku lagi dengan
suara tercekat.
"Ada
yang lain?" tanya Jeffry heran.
Aku
menggeleng tak percaya. Ya Tuhan! Apa
yang sebenarnya kulakukan?! pikirku ngeri. "Jeffry. . . apa yang aku.
. . , kita," ralatku cepat, ". . . , lakukan semalam tak ada artinya
bagimu?"
Jeffry
menatapku, tampak berpikir sejenak. "Tidak! Haruskah?"
Aku
menelan ludah pahit, benar-benar tak percaya kalau dia mampu mengatakan itu
dengan enteng. Dia tak tahu kalau hal itu sudah berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun membuatku sakit kepala. Sering aku tak bisa tidur semalaman
karena memikirkannya. Dan dia mengatakannya seolah-olah hal itu bukan hal yang
berarti. "Aku mempertaruhkan kewarasanku semalam! Aku harus. . . ,berjuang
mati-matian untuk bisa melakukan apa yang kita lakukan semalam. Butuh waktu
bertahun-tahun bagiku untuk memikirkannya dan kau. . . , ingin membuangku
begitu saja?"
"Kau
ingin aku mengatakan apa?" tanya Jeffry balik sedikit sinis. "Bahwa
kita sudah terikat? Bahwa kita punya hubungan yang khusus? Bahwa kita saling
jatuh cinta dan akan bersama selamanya? That we have such a great
chemistry?" Jeffry mendengus keras. "Please! What do you know about
me?! Kau tahu kapan ulang tahunku?"
Aku tak
bisa menjawab.
Senyum
mengejek kembali tersungging dibibirnya. "See?! Kau hanya tertarik pada
tubuhku. Dan kau sudah mendapatkannya semalam? Apa lagi? Please, don't be such
a drama queen. Kita tak memiliki apa-apa. Kau tak tahu apapun tentangku. Apa
yang kau ketahui cuma sekumpulan berita burung yang mungkin kau sendiri ragu
akan kebenarannya. Aku juga tak tahu apapun tentangmu. Jadi lupakan ide
romantis konyolmu."
Hening
yang lama dan mencekam!
Ya Tuhan, betapa bodohnya aku?! Apa yg sebenarnya aku
harapkan? Bahwa kami akan menjalin suatu hubungan? Bahwa dia akan mengatakan
kalau dia mencintaiku? He has a point. Kami nyaris tak mengenal masing-masing.
Tapi yang jelas, dia telah membangunkan sesuatu yang selama ini tertidur dalam
diriku, dan tak pernah terusik oleh yang lain. Itu pasti bermakna sesuatu kan?
Dan aku tak mungkin melepaskannya begitu saja, seperti aku melepaskan Rafly.
"Ta-tapi
. . . ," aku berdehem untuk mengumpulkan suara, "Tidak bisakah kita
mencobanya?" pintaku pelan. "Aku akui. . . , aku tak tahu apapun
tentangmu. Tapi aku akan mencari tahu. Aku akan menjadi orang yang paling
memahamimu. Tolong Jeff,beri aku. . . . , kita!" ralatku lagi cepat,
". . kesempatan. Kau. . . . , telah membuatku merasakan sesuatu yang
selama ini hanya pernah kurasakan sekali."
"Seperti
Rafly?" tanya Jeffry sinis.
Aku
termangu. Aku ingat kalau pernah mengucapkan nama itu dengan keras didepannya.
Saat aku pikir kalau aku berhadapan dengan Rafly. Akupun terdiam, tak tahu
harus bagaimana.
"Siapa
dia?" tanya Jeffry lagi dan menatapku dengan intens.
Aku
membuang muka dan menghela nafas sejenak. "Cinta pertamaku," jawabku.
"Orang yang pertama kali membuatku jatuh cinta. Cowok pertama. Aku. . . .
, melarikan diri darinya."
"Apa
yang membuatmu tidak lari dariku?"
"Kata-katamu.
Bahwa aku tak akan pernah bisa lari dari diriku sendiri. Apa yang terjadi
antara aku dan Rafly membuatku ketakutan setengah mati. I was just sixteen!
Karena itu aku lari. Dan aku tak ingin melakukannya lagi. Aku ingin
menghadapinya."
"Kenapa
harus denganku?"
"Karena
tak pernah ada yang bisa membuatku seperti ini selain kamu!" jawabku
sedikit terlalu keras. "Aku ingin mencoba untuk memahaminya denganmu. Aku
ingin . . . . memiliki sesuatu denganmu."
Jeffry
diam sejenak. "Aku tidak suka dengan ikatan! Aku orang yang bebas.
Maaf!" kata Jeffry dan bangkit.
"Jeff!!"
panggilku cepat membuatnya berhenti. "Aku tak akan pergi! Aku akan
membuatmu menginginkanku!" tegasku padanya.
Perlahan
dia berbalik dan menatapku datar. "Lakukan apapun yang kau mau! Tapi
jangan harap aku melakukan hal yang seperti kau inginkan!" katanya acuh
dan pergi.
Begitu dingin! pikirku. Penolakannya benar-benar
membuatku hampir kehilangan rasa. Butuh beberapa saat bagiku untuk pulih dari
kebasku. Mungkin ini karma atas apa yang
pernah aku lakukan pada Rafly! Tapi yang jelas, aku tak akan membiarkan kali
ini berakhir seperti Rafly! tekadku dalam hati.
XIX
Bukan
usaha yang mudah untuk mendekati Jeffry. Dia benar-benar menguji batas
kesabaran dan akal sehatku. Semua sms yang ku kirim tak pernah mendapat
balasan. Hampir semua teleponku ditolak. Beberapa diterima, namun dia
menyahutiku dengan nada yang dingin, acuh dan terkadang meledak. Beberapa kali
dia ngamuk-ngamuk ditelepon.
Aku bukan
Don Juan yang memiliki banyak pengalaman dalam berhubungan dengan orang lain.
Selain Rafly, belum pernah ada orang lain yang memiliki hubungan dekat
denganku. Jadi aku banyak membeli buku-buku tentang cinta, dating, dan
bagaimana menjadi pacar yang baik. Kupraktekkan semua hal yang menurutku cocok
dalam buku itu. Tak ada satupun yang berhasil.
Beberapa
kali aku mencoba bertanya pada Radit tentang bagaimana dia bisa luluh bin
takluk pada pacarnya sekarang. Mula-mula dengan senang hati dia mau berbagi.
Tapi berhubung aku nanyanya begitu sering dan dengan semangat 45, lama-lama dia
jadi agak curiga dan langsung balik menanyaiku macem-macem. Aku cuma nyengir
aja menjawabnya.
Aku juga
banyak mencari informasi tentang Jeffry dari surat kabar dan orang-orang lain.
Semua majalah yang menyangkut dia kubeli. Aku juga browsing diinternet.
Sayangnya, hampir 90% informasi yang ada di surat kabar dan majalah yang
mengupas tentang Jeffry, salah. Semua data itu telah ditata dan direncanakan
sedemikian rupa untuk membentuk citranya di masyarakat. Aku bahkan meminta
manejerku untuk mencari portfolio Jeffry dari kenalannya secara diam-diam.
Kuajukan berbagai macam alasan untuk menghapus kecurigaannya.
Kini aku
sudah tahu data dasar tentang Jeffry. Ukuran fisik, tanggal lahir dan
sebagainya. Tapi tidak tentang kepribadiannya. Jeffry benar tentang kabar
burung yang beredar dikalangan model tentangnya. Banyak diantaranya cuma berita
asal cuap dan dibesar-besarkan. Meski. . . sebagian data itu juga mengandung
kebenaran.
Dia
seorang player sejati. Banyak para model dan seleb yang pernah 'main'
dengannya. Semua hanya sekedar hubungan sesaat. Daftar one nite standnya cukup
mengagumkan. Dan daftar itu sendiri terdiri dari 2 bagian. Cowok dan cewek. Dan
issue tentang apa yang telah dilakukan olehnya pada semua orang dalam daftar
itu, cukup membuatku malu dan risih. Tapi aku tak bisa menyangkal fakta kalau
dia partner bercinta yang mengesankan. Aku merasakan dan melihatnya sendiri.
Jeffry
sendiri tak menyembunyikan semua kebiasaannya itu dariku.
Pernah
suatu hari aku mengiriminya sms dan mengatakan akan kerumahnya malam itu.
Jeffry memang membukakan pintunya dan mempersilahkan diriku untuk masuk. Tapi
didalam sana aku menemukan seorang model bernama Indah yang menjadi teman
kencannya malam itu. Mereka bercumbu diruang tamu itu, didepan mataku. Jeffry
tak ragu-ragu melakukan adegan-adegan yang membuatku jengah itu. Indahpun
sepertinya tak keberatan aku menontonnya. Aku mencoba bertahan meski aku
benar-benar merasa kebas karena shock. Setengah mati aku menahan diri. Malu,
marah dan sakit hati bercampur didalam diriku. Membuatku ingin segera pergi
dari situ. Aku benar-benar merasa terhina dan dilecehkan. Tapi aku bertahan.
Susah payah menjaga ekspresiku tetap terlihat biasa. Tapi aku tak tahan juga
saat Jefrry telah berhasil melepas bra Indah dan tangan Indah masuk kedalam
celana dalam Jeffry. Aku memalingkan muka dan segera bangkit, masuk ke dalam
kamar tamu Jeffry. Disana aku hanya bisa duduk termangu sepanjang malam dengan
dada sesak dan sakit.
Saat pagi
tiba, aku bangkit dan menuju dapur. Memasak sarapan untuk mereka berdua.
Lain waktu
kutemukan Jeffry bersama dengan seorang seleb cowok. Seorang pendatang baru
didunia akting. Juara 1 dalam sebuah ajang model. Masih berumur belasan tahun
dan sangat imut. Seperti dengan Indah, mereka bercinta didepanku. Kembali aku
hanya bisa diam dengan dada yang sesak. Akupun pergi saat mereka mulai melepas
lembar terakhir kain yang menempel ditubuh mereka.
Pagi
harinya, aku kembali membuat sarapan untuk semuanya. Dan mati-matian
menampilkan wajah datar.
Yang
paling membuatku terguncang adalah saat Jeffry bercinta dengan 2 orang model cowok
sekaligus didepanku. Bahkan dia juga menawariku untuk bergabung dengan orgy
sinting mereka. Aku hanya menggeleng dengan kaku dan kembali beranjak kekamar
saat semua hampir polos. Lalu membuat sarapan dipagi harinya. Kegiatan yang
mungkin bagi Jeffry konyol dan mengibakan. Tapi aku lebih memilih melakukannya
daripada diam bengong dikamar sembari terbayang tubuh-tubuh polos mereka
menyatu.
Hari itu
aku benar-benar hampir menyerah. Aku benar-benar ingin mejauh dari Jeffry dan
gaya hidupnya yang memuakkan. Aku ingin menjauh dari dunia modelling dan dari
orang-orangnya yang gila. Hampir seharian imej Jeffry yang bercinta dengan
mereka membayang dimataku. Nyaris bisa kudengar desahan dan erangan mereka.
Tanganku
yang memegang segelas latte gemetar! Aku segera meletakkan gelasku sebelum aku
menjatuhkannya. Tadinya aku berharap menemukan sedikit ketenangan dikafe ini,
karena aku tak ingin berada diapartemenku sendiri sambil teringat adegan mesum
Jeffry yang terus terputar diotakku. Tapi kafe yang cukup ramai ini tak mampu
mengalihkan pikiranku.
"Dimaz?"
Teguran
itu berasal dari arah samping kananku. Mas Arya yang menyapaku tampak senang
dan langsung menghampiri mejaku.
"Sendiri
Maz?" tanya Mas Arya.
"Iya
Mas! Lagi jenuh dirumah," jawabku nyengir. Terakhir kali kami bertemu
adalah saat pemotretan di pantai Namoss waktu itu. Setelahnya kami belum pernah
dapat job bareng lagi. Aku lebih banyak dapat job jalan di runway ketimbang
pemotretan.
"Boleh
gabung?" tanya Mas Arya lagi. Akupun mempersilahkan. Tapi yang membuatku
sedikit heran, bukannya langsung duduk, Mas Arya justru mengambil ponselnya dan
menelepon. "Sayang, aku ada sedikit urusan dengan teman, jadi aku baliknya
agak entaran ok? Yaaah! Baiklah! See ya!" Dia memasukkan ponselnya.
"Mbak
Arista Mas?" tanyaku. Dia adalah istri Mas Arya. Aku pernah beberapa kali
bertemu dengannya. Orang yang kalem dan ayu. Dia mempunyai kecantikan khas
orang ningrat Yogyakarta. "Nggak apa-apa Mas?" tanyaku lagi saat Mas
Arya mengangguk.
"Emang
kenapa? Kita nggak selingkuh kan?" tanya Mas Arya dengan kerlingan jenaka,
membuatku tertawa kecil. Dia lalu melambai pada pelayan dan memesan cappuccino
latte, sepertiku.
"Awas
lho! Ntar Mbak Aris ngamuk kalo tau Mas nunda pulang cuma buat ngobrol ma
aku."
"Dia
mana bisa sih ngamuk Maz? Paling juga aku gak dikasih jatah malemnya,"
seloroh Mas Arya membuatku ngakak. "Dimaz akhir-akhir ini jarang ke studio
ya?"
"Iya
Mas. Lagi banyak dapet job jalan."
"Beberapa
waktu kemarin aku ambil gambar Jeffry lagi buat sampul majalah remaja
lho!"
Aku mengangguk,
karena aku juga telah membeli majalah itu. "Tahu Maz. Aku beli majalah
itu!" sahutku. "Agak seksi juga ya Maz buat ukuran majalah
remaja," imbuhku.
"Mereka
maunya juga begitu Maz. Aku juga ambil foto si Arga beberapa waktu lalu. Kamu
tahu dia? Yang pernah juara 1 coverboy kemarin?"
Bagaimana aku bisa lupa? Dia ngesex dengan Jeffry tepat
didepanku, pikirku kecut. Tapi aku hanya mengangguk pada Mas Arya,
diiringi sedikit keheranan karena nggak tahu apa hubungannya denganku.
Mas Arya
menatapku sejenak lalu menghela nafas. "Waktu itu dia datang dengan dua
orang temennya. Dan tanpa sengaja aku mendengarnya berbicara tentang Jeffry
dan. . . kamu."
Aku sontan
tertegun dengan informasi itu. "Ten-tentang apa Mas?" tanyaku sedikit
gugup.
"Beberapa
hal. Aku sudah tak heran kalau berita itu mengenai Jeffry, karena aku sudah
paham sepak terjangnya. Tapi dia menyebut namamu, jadi aku keingetan terus. Dan
waktu pemotretan kemarin, Jeffry ngamuk-ngamuk ketika. . . ,kamu meneleponnya
kan?"
Aku ingat
waktu Jeffry meledak di telepon. "Jadi. . . , dia ada di studio Mas Arya
waktu itu?" tanyaku lemas.
Mas Arya
mengangguk. "Kamu ada hubungan dengan Jeffry?" tanyanya dengan nada
khawatir.
Aku cuma
menggeleng dan tersenyum lemah. Ya Tuhan! Apa yang harus aku katakan? Bahwa
aku sedang mengejar-ngejarnya?
"Dengar
Maz, bagiku bukan aneh lagi hal-hal yang Jeffry lakukan. Homoseksualitas tidak
lagi membuatku heran. Aku sudah banyak bertemu dengan para pelakunya. Kau tahu
sendiri kalau hal itu gak ubahnya seperti borok yang tertutup rapi dari
masyarakat tapi berbau busuk dalam kalangan kita sendiri. Lebih-lebih dibidang
ini. Tapi kau. . . , sedikit mengkhawatirkanku. Karena kalau kau memang . . .
," Mas Arya berpikir sejenak, seakan mencoba mencari kata yang cocok,
". . . . menyukai Jeffry, kau harus
memiliki mental baja! Karena dia bukan pribadi yang mudah dan biasa."
Tell me about it! pikirku dengan perasaan ironis.
"Tapi
jujur, kurasa dia memerlukan sosok sepertimu," kata Mas Arya lagi
membuatku heran dan mengernyitkan dahi. Mas Arya hanya tersenyum dengan
reaksiku. "Dia orang yang kering dan paling membutuhkan seseorang dalam
dunia ini Maz. Kau mungkin tahu dengan sepak terjangnya yang gila-gilaan. Tapi
sebenarnya itu teriakan minta tolongnya. Hanya saja, nyaris tak ada orang yang bisa
mendengarnya."
Kali ini
aku benar-benar mendengarkan Mas Arya. Dia yang tahu kalau sudah mendapat
perhatianku hanya tersenyum dan meminum cappuccinonya yang telah tiba.
"Jeffry
yatim piatu sejak berumur sembilan tahun. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan.
Sejak itu dia hidup bergantian dari satu saudara ke yang lainnya. Masa kecilnya
berat Maz, karena tak ada saudara yang benar-benar mau menampung dan
merawatnya. Mereka memperlakukannya dengan semena-mena. Beberapa bahkan
memperlakukannya seperti budak. Yang lain kadang menyiksanya. Dia. . . ,tumbuh
dalam lingkungan yang keras. Saudara-saudaranya lebih menganggapnya sebagai
beban daripada keluarga."
Karena itu dia menganggap pendapatku bodoh waktu itu!
"Nasibnya
berubah saat seorang cewek teman SMA nya yang naksir berat padanya mengirim
foto Jeffry ke sebuah majalah remaja. Dia masuk sebagai finalis dalam pemilihan
wajah sampul waktu itu dan keluar sebagai juara. Sejak itu dia pindah kesini
dan merintis karirnya. Disini dia juga tak luput dari tangan-tangan beberapa
orang yang tega memanfaatkannya. Dulu dia sempat menjadi piaraan seorang
designer terkenal. Semua itu dilakukannya hanya untuk bisa bertahan disini dan
agar dia tidak lagi kembali pada saudaranya yang memperlakukannya dengan tak
pantas. Mungkin itu yang membentuknya menjadi seorang biseks yang liar seperti
sekarang. Hingga akhirnya dia bisa memiliki nama besar seperti sekarang.
Tapi
sebenarnya hal yang sangat diperlukan Jeffry adalah orang yang benar-benar
mengerti dan menyayanginya. Dan itu bukan hal yang mudah. Kebanyakan orang
hanya menghargai Jeffry karena kesuksesan dan kesempurnaan fisiknya. Karena itu
Jeffry juga memperlakukan mereka seenaknya. Mereka hanya mau melihat kulit
luarnya dan menikmatinya. Itu juga yang ia berikan pada mereka. Tak ada yang
mau melihat Jeffry lebih kedalam lagi. Terlebih, dia juga senang bertingkah
sinting!"
Aku hanya
tersenyum mendengarnya. Mas Arya yang juga membalas senyumku tampak senang
melihatku. Sedari tadi aku cuma mendengarnya dengan tegang.
"Dia
bukan orang yang mudah Maz. Semakin kau mendekatinya, semakin keras dia
menolakmu. Semakin sering kau mendekatinya, semakin keras pula dia mendorongmu
menjauh. Bukan karena dia tak menyukaimu, tapi karena dia takut. Takut akan
terluka dan tersakiti lagi. Perasaan sayang atau cinta hanya mitos baginya.
Satu-satunya hubungan yang ia pahami dengan manusia lain hanyalah hubungan
fisik. Hanya itulah bahasa yang ia mengerti dan tangkap dari orang-orang
disekelilingnya. Hakikatnya, dia sedang berteriak keras agar ada yang bisa
mengerti. Dia ingin disayangi. Itu semua yang membuatnya menarik perhatian
orang-orang disekitarnya. Tapi sayangnya, kebanyakan dari mereka juga hanya
mengerti bahasa fisik saja. Mereka tak mendengar teriakan hati Jeffry."
Aku diam
mendengarnya. Apakah itu yang membuatku
tak mampu melupakannya? Bahkan saat dia melakukan hal 'itu' didepanku? Apakah
teriakan Jeffry juga yang membuatku masih bertahan meski dia telah
menginjak-injak harga diriku? Meski dia telah menghina dan melecehkanku?
pikirku.
"Kalau
kau memang menyukai Jeffry, nasihatku jangan menyerah! Tunjukkan kesungguhanmu.
Mungkin akan butuh waktu bagi Jeffry untuk bisa menerimamu. Dan pastinya, kau
memerlukan kesiapan mental super untuk itu. Karena semakin kau menyukainya,
semakin gila tingkahnya didepanmu. Semakin keras kau mencoba mendekatinya,
semakin keras pula dia mendorongmu menjauh. Tapi pastikan dia tahu, kau akan
selalu ada untuknya."
"Mas
Arya yakin itu yang dia butuhkan?"
Kembali
Mas Arya tersenyum mendengarku. "Aku pernah berada diposisinya Maz. I was
him. Aku melampiaskan kemarahanku pada orang-orang disekelilingku. Secara tidak
langsung aku membalas dendam mereka. Masa laluku juga berat sepertinya Jeffry,
Maz. Aku telah melakukan berbagai perbuatan yang mungkin tak pernah kau bayangkan.
Sampai akhirnya Arista menemukanku. Dia menyelamatkanku. Kau tahu kan kalau
kita para cowok cenderung berbuat bodoh. Banyak diantara kita terjebak bahwa
cowok harus kuat, macho dan haram untuk meneteskan air mata. Terkadang kita
lupa kalau Tuhan juga memberi kita hati dan perasaan. Kita bisa merasakan sakit
hati hingga mata kitapun menangis. Sayangnya, kita para cowok terlanjur
mengharamkan hal itu. Dan saat perasaan kita kacau, biasanya kita
melampiaskannya dengan melakukan berbagai hal negatif dan destruktif. Minum,
drugs dan bahkan sex. I did all of them. Jeffry untungnya tidak pada dua yg
pertama. Dia lebih memilih yg ke-3. Karena itu, dia butuh seseorang yang bisa
menyelamatkannya. Seperti Arista menyelamatkanku"
"Dan
Mas yakin, aku bisa menyelamatkan Jeffry?"
Mas Arya
mengangkat bahu. "Setahuku, kau bukan jenis orang yang bertindak tanpa
pemikiran. Kau bukan orang yang mudah melakukan sesuatu dengan gegabah. Apalagi
hal yang gila, seperti menyukai orang macam Jeffry. Apapun motifmu, aku yakin kau
melakukannya dengan alasan dan pertimbangan yang kuat," ujarnya sambil
tersenyum.
"Kenapa
Mas Arya tidak menceritakan hal ini pada salah satu cewek mantannya aja
Mas?"
Mas Arya
menghela nafas. "Sayangnya, aku belum pernah menemukan wanita dengan
kepribadian yang kau miliki dalam bidang yang kita geluti ini Maz. Kita
berkutat dalam dunia yang dipenuhi oleh manusia-manusia berfisik sempurna,
sayangnya dengan hati yang kebanyakan cacat."
Aku
kembali terdiam karena aku juga menyadari fakta yang ironis itu. Fisik sempurna
memang jarang dibarengi dengan hati yang indah. Sayangnya, kebanyakan orang
lebih memilih kulit pembungkus luar yang bagus daripada kecantikan batin yang
menawan. Banyak juga orang yang menyadari fakta bahwa kecantikan batin lebih
baik dan utama daripada keindahan fisik. Lucunya, saat dihadapkan langsung pada
pilihan fisik dan hati, banyak dari mereka yang lebih memilih fisik. Hanya
orang-orang tertentu yang benar-benar memahami.
"Jadi
menurut Mas Arya. . . , aku bisa dengan Jeffry?" tanyaku ragu.
"Dia
akan menolakmu mentah-mentah sebelum kau bisa meyakinkannya. Terdengar gila
kan?! Tp itulah yang akan terjadi. Dia akan bertindak semakin ngawur. Dan kau
harus bisa menahan kegilaanmu sendiri. Tapi saat dia tahu kalau kau benar-benar
menyukainya dan tak akan meninggalkannya, dia akan menjadi milikmu sepenuhnya.
Dia akan mendedikasikan dirinya hanya untukmu. Karena yang lain, tidak memiliki
makna baginya."
"Kedengarannya
benar-benar gila ya?" gumamku setelah kediaman yang lama.
Mas Arya
tertawa kecil. "Hei, bagaimanapun kita adalah lelaki. Kita cenderung
berbuat bodoh ataupun gila untuk mendapatkan apa yang kita inginkan!"
selorohnya.
Aku
tersenyum mendengarnya. "Bagaimana. . . Mas Arya tahu semua hal tentang
Jeffry ini?" tanyaku.
"Kami
pernah minum bareng waktu pemotretan di Bali. Jeffry sendiri yang menceritakan
hal itu. Dan kurasa, dia tak pernah menyadarinya. Jadi. . . , ini akan jadi
rahasia kita saja. Ok?" goda Mas Arya dengan kerlingan lucunya.
Kembali
aku tersenyum. Kali ini aku melakukannya dengan lebar dan hati yang sedikit
ringan. "Makasih Mas!" kataku pelan. Mas Arya benar-benar telah
menyuntikkan semangat yang baru untukku.
XX
Sungguh
melelahkan mendekatinya. Jeffry benar-benar seperti berusaha untuk
menyingkirkanku selamanya. Tindakannya makin gila-gilaan. Kalau kemarin dia
bercumbu dengan 2 orang cowok sekaligus, sekarang dia malah mengajak sepasang
model kerumahnya. Hebatnya lagi, dia kembali mengundangku untuk datang.
Aku sudah
merasa aneh dengan undangannya yang tidak biasa. Aku makin merasa tak enak hati
saat aku tahu bahwa cewek yang ada disana adalah. . .
"Maya.
. . ," desisku sedikit tercekat saat dia membuka pintu rumah Jeffry. Kami
pernah bekerja sama dalam beberapa kesempatan. Dia juga yang dulu menyuruhku
bertanya soal Jeffry pada Randy dulu. Cewek itu juga tampak tak kalah kagetnya
denganku. Bola matanya yang langsung membesar saat melihatku, membuatku menduga
kalau dia juga tak tahu apa-apa akan kedatanganku. Kejutan apa lagi yang akan
diberikan oleh Jeffry padaku sekarang?
"Dimaz?!
Ada apa kesini?" tanyanya tanpa menutupi keheranannya.
"Aku.
. . ,"
"Dimaz
akan bergabung dengan kita May!" jawab Jeffry yang muncul dari dapur
sambil membawa sebotol besar anggur."Benar kan Maz?" tanya Jeffry
dengan senyum mengejeknya.
Aku menjawabnya
dengan senyum dan duduk di sova dengan tenang. Berusaha untuk tenang lebih
tepatnya. Berhadapan dengan seorang cowok bertubuh kekar yang menatapku dengan
penuh minat. Aku tak mengenalnya. Tapi sosoknya cukup mengintimidasi. Caranya
memandangku sebenarnya cukup mengganggu. Aku seakan-akan sebuah hidangan yang
ingin disantapnya. Aku menahan rasa jijik yang mulai merambat. Aku harus
mengingatkan diriku sendiri akan tujuanku kesini untuk membuatku tinggal
disana. Meski pria itu benar-benar membuatku ingin segera minggat.
"Kau.
. . , yakin Jeff?" tanya Maya. Aku paham akan keraguan Maya. Dia tahu
bagaimana reputasiku sebelumnya. Hal seperti ini jauh dari sifatku yang dia
ketahui.
"Jangan
khawatir May! Aku nggak akan mengganggu pesta kalian. Do anything you want.
Don't mind me!" kataku menenangkannya.
"Dia
sudah lama ikut menikmati pestaku May. Dia jadi stalker ku. Sepertinya aku
sudah benar-benar jadi artis besar sekarang, sampae-sampe aku punya stalker
macam dia," gerutu Jeffry dengan nada kesal.
"Aku
memang mendengar isu kalau. . . . ," Maya tak meneruskan kalimatnya, hanya
menatap bergantian aku dan Jeffry mata terbelalak. " Jangan katakan kalau
berita itu benar!!" sergahnya
Jeffry
hanya mengangkat bahu acuh, sementara aku kembali hanya tersenyum. Aku tak tahu
berita apa yang dia maksud. Tapi sepertinya bukan berita bagus. Masa bodoh lah!
"Aku
ingin menantangmu Maz. Kalau kau bisa, aku akan mengijinkanmu jadi stalker
resmiku. Dare to bet?" kata Jeffry dengan nada menusuk.
Aku
mengangkat bahu. "Katakan!"
"Tetap
disana sampai semuanya selesai. Kalau kau pergi, semua harus berakhir.
Paham?!" tantangnya.
"Maksudmu
aku harus. . . "
"Tetap
disana sampai kami selesai. Atau kau boleh bergabung dengan kami. Pilihanmu.
Tapi kalau kau pergi. . . . , aku ingin kau menjauh dariku," tegas Jeffry
tajam.
Aku
terdiam. Dia ingin aku melihatnya
bercumbu dengan mereka sekaligus sampai selesai?! Ya Tuhan!! Dia gila!!!
pikirku dengan tubuh yang mulai terasa dingin.
"Bagaimana?"
tanya Jeffry dengan senyum khasnya. Senyum itu yang akhirnya kembali menyulut
keberanianku. Senyum mengejek yang terkesan begitu mencemooh. Kembali kata-kata
Mas Arya waktu itu terngiang ditelingaku. Aku harus bermental baja. Aku harus
kuat. Akhirnya. aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.
Aku pasti sudah gila juga!! batinku.
Kulihat
Jeffry sedikit mengangkat alisnya. Tapi hanya sekejap. Ekspresinya kembali
menjadi acuh. Dia lalu berpaling pada Maya dan lelaki itu. Nyengir.
"Kalian
tak keberatan kan?" tanyanya. Si lelaki hanya mengangkat bahu acuh. Sementara
Maya terlihat sedikit ragu. "Jangan khawatir May! Mulutnya terkunci
rapat!" ujar Jeffry menenangkan, hingga akhirnya Maya juga ikut mengangkat
bahunya. Tak perduli.
Akupun
duduk diam disana.
Menyaksikan
mereka minum bersama sebagai permulaan. Melihat mereka mulai saling mencium,
melepas baju dan bercinta. Aku diam disana melihat bagaimana Jeffry dengan
keahliannya bermain dengan bibir dan ujung dada Maya, sehingga cewek itu
menggelinjang hebat sementara Maya tengah asyik mengoral kejantanan cowok tadi
yang bertubuh tinggi besar dengan dada yang berbulu lebat. Aku harus diam
disana melihat tubuh polos mereka saling membelit, bergesekan dan menyatu. Aku
harus diam disana menyaksikan bagaimana akhirnya Jeffry dan lelaki itu memasuki
tubuh Maya, baik bergantian ataupun bersamaan. Aku harus diam disana mendengar
setiap erangan dan desahan mereka yang berpacu menuju puncak birahi. Tepat
didepan mataku!
Tuhanku!!!
Haruskah aku terangsang oleh pertunjukan live didepanku? Normalkah kalau
sekarang aku merasa mual dan ingin muntah? Padahal banyak orang yang bersedia
membayar mahal untuk hal ini. Tapi aku benar-benar ingin muntah melihatnya.
Penyatuan ragawi selalu menjadi hal sakral bagiku. Selama ini aku diajari bahwa
penyatuan 2 raga dianggap sebagai 1 bentuk ibadah pada Tuhan, dilakukan oleh
sepasang manusia yang saling mencintai. Karena penyatuan dua raga juga
merupakan penyatuan dua perasaan yang saling mengisi dan melengkapi. Salah satu
ekspresi perasaan saling menyayangi diantara 2 manusia, bercampur dengan insting
primitif mereka. Sementara pertunjukan live didepanku tidak lebih dari pemuasan
nafsu yang dangkal dan menjijikkan.
Memualkan.
Aku
terpaku bagai patung!
Otakku
berteriak keras pada mataku untuk menutup, agar aku tak melihat pemandangan
didepanku. Otakku memerintahkan kakiku untuk pergi secepatnya dari sana. Otakku
juga memerintahkan telingaku agar menulikan diri, supaya menghentikan
suara-suara itu untuk masuk.
Tapi aku
tetap diam disana. Terduduk dengan mata nyalang terbuka dan hati yang
hampir-hampir mati rasa.
Sampai
kemudian pandanganku bertemu dengan mata Jeffry yang sedang berada diatas Maya,
menyetubuhinya. Untuk beberapa detik kami saling menatap. Dan senyum khas
Jeffry berkembang. Dan saat itulah aku benar-benar memahami dan meyakini
kata-kata Mas Arya.
Semakin
keras aku mendekatinya, semakin keras pula dia mendorongku menjauh.
Dan disaat
itu pula aku melihat sosok Jeffry dibalik semua topengnya. Dia ingin
menyingkirkanku dengan menunjukkan semua hal yang menjijikkan ini. Mengusirku
dengan caranya yang ekstrim. Agar aku menjauh. Agar aku tak memperdulikannya
lagi. Padahal hakikatnya, dia berteriak minta tolong padaku. Dia ingin aku
terus memperhatikannya. Sehancur apapun dia.
Hatiku
terasa sedikit sejuk dengan pemikiran itu.
Aku tahu
kalau aku harus tetap ada disana. Agar Jeffry mengerti, kalau aku tak akan
pergi. Agar Jeffry mengerti, kalau aku ada disini untuknya.
Selalu.
Bagaimanapun
keadaannya.
Aku
tersenyum lembut pada Jeffry yang menatapku. Pipiku basah tanpa aku sadari.
Dan
kudengar erangan keras saat mereka mencapai klimaks dengan waktu yang hampir
bersamaan.
XXI
Pagi itu
aku menyiapkan sarapan bagi mereka semua. Aku membuat omellet dan sandwich
sembari bergumam kecil. Kebiasaan kecil yang berguna bukan hanya untuk mengusir
sepi, tapi juga menyingkirkan bayangan-bayangan polos yang menyatu semalam. Aku
tak menyangkal kalau hal itu sangat mengguncangku, tapi aku sudah bertekad
untuk berada disamping Jeffry. Seperti apapun faktanya.
Aku
menghela nafas dan berdoa dalam hati agar aku memiliki kekuatan untuk
menghadapi hal-hal yang mungkin akan terjadi nantinya.
"Kau
menang!"
Aku
berbalik cepat dan mendapati Jeffry yang berdiri bersandar ditembok dengan
tangan terlipat didada. Aku hanya tersenyum sekilas lalu kembali pada masakanku
yang hampir selesai.
"Aku
bikin sandwich ma omellet," kataku dengan nada yang untungnya terdengar
biasa, malah cukup riang. "Oh ya, susumu hampir habis. Jadi udah waktunya
buat belanja."
"Kau
bodoh atau apa sih?" tegur Jeffry dengan tajam. "Tidak bisakah kau
bereaksi normal seperti manusia lainnya?"
"Kenapa
bukan kamu yang bereaksi normal seperti yang lain?" balasku dengan senyum
tipis. Aku berjalan ke meja makan untuk meletakkan masakanku yang telah siap.
Kulewati dia seraya menampilkan senyum terbaikku.
"Aku
sudah bersikap normal."
Aku
berpaling pada Jeffry dan menatapnya. "Kau sebut normal membiarkan tubuhmu
dinikmati oleh siapa saja? Normal bercinta dengan siapapun yang bahkan tak kau
sukai hanya untuk pelampiasan? Atau bercinta dengan lebih satu orang, itu normal?"
"Normal
bagiku," jawab Jeffry santai.
Aku
mendekat pada Jeffry, melangkah dengan tenang. Tangan kananku terangkat
membelai sisi wajahnya. Terasa kasar karena cambang dan janggut yang baru
tumbuh. "Entah berapa banyak kebencian yang kau miliki disini,"
kataku pelan dan meletakkan tanganku
pada dada telanjangnya yang hangat, "Tapi percayalah, masih ada
orang yang bisa benar-benar menyayangimu."
Tak ada
jawaban dari Jeffry.
Kembali
aku menampilkan senyum terbaikku padanya. "Aku pulang dulu ya? Hari ini
aku ada pemotretan!" kataku lagi dan segera meninggalkannya. "Dan
ingat, aku sudah resmi jadi stalkermu. Jadi nanti, kau harus mau mengangkat
teleponku," godaku dan mengedipkan sebelah mata.
Malam itu
saat kutelepon, Jeffry mengatakan kalau dia ada disebuah club dikawasan Jakarta
Barat. Sebenarnya aku males kalau harus pergi ke tempat semacam itu. Tapi, kali
ini mau tak mau aku harus kesana. Aku langsung bisa melihat mobil Jeffry yang
terparkir begitu aku tiba. Kebetulan sekali, spot disebelah mobilnya kosong.
Jadi aku langsung parkir disana.
Aku sudah
hendak keluar dari mobil saat kulihat beberapa orang yang melangkah dari
arah club itu dengan langkah
sempoyongan. Mabuk.
Aku bukan
orang suci yang tanpa noda, tapi nggak tahu kenapa, aku paling nggak suka
melihat orang mabuk. Aku paling jijik dengan bau minuman keras. Karena itu
akhirnya aku batal untuk menyusul Jeffry kedalam dan lebih memilih untuk
menunggunya disini.
3 jam
berlalu. Jam telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Akupun sudah hampir memutuskan
untuk pulang, namun batal saat kulihat Jeffry yang keluar dari club itu. Tampak
teler berat. Aku segera keluar dari mobil dan mendekatinya. Tapi Jeffry tak
melihatku. Dia terus melangkah melewatiku dengan langkah terhuyung menuju
mobilnya. Tangannya merogoh saku untuk mengambil kunci. Tapi kunci itu terjatuh
saat dia mencoba membuka pintu mobil.
Aku
menggelengkan kepala melihatnya begitu dan mendekatinya. "Kau mabuk
berat," tegurku.
Jeffry
yang sudah mengambil kembali kunci mobilnya yang terjatuh melihatku. Dia
mendengus keras saat tahu siapa yang menegurnya. "Hebat! Kau memang
pintar! Kau bisa tahu padahal aku tak mengatakan apapun," gerutunya acuh.
"Jeff!"
"PERGI!!!"
bentaknya kasar dan mendorongku. "TEMUKAN PEKERJAAN YANG LEBIH BERGUNA
SELAIN MEMBUNTUTIKU OK?!!"
Aku
menghela nafas dan segera merebut kunci mobilnya. "Kau mabuk berat. Kalau
kau membawa mobil dalam keadaan begini, kau bisa kecelakaan. Mau mati?!"
tukasku pelan dan meraih tangannya. Kubimbing dia untuk menuju kursi penumpang.
Tak ada perlawanan dari Jeffry. Sepertinya dia benar-benar mabuk.
"Kau
orang aneh!" gerutu Jeffry lagi saat dia kududukkan di kursi.
"Aku
tahu!" sahutku singkat dan langsung menutup pintu setelah memasang seat
belt untuknya lalu segera ketempat kemudi. Aku memang aneh karena bisa menyukai
orang sinting sepertimu, pikirku. Aku harus mengantarnya pulang. Aku bisa
mengambil mobilku nanti. Yang penting Jeffry sampai dulu dirumah.
"Sebenarnya
apa yang kau inginkan huh?" tanya Jeffry sedikit tak jelas. Dia
menelengkan kepalanya yang bersandar dikursi. Melihatku yang berada di kursi
pengemudi.
"Kamu!"
jawabku singkat sambil meliriknya singkat. Jalanan ibukota memang telah lumayan
sepi. Tapi aku tetap saja harus berhati-hati.
Jeffry
kembali mendengus sinis. "Bukankah itu yang diinginkan semua orang?"
"Tidak
semua kok!" tukasku.
"Yeah
right!" cibirnya. "Kau contohnya. We've fucked! Tapi tetap kau
menginginkanku. Untuk apa? Menjadi suamimu? Nggak kan? Kau hanya ingin kita
melakukannya lagi. Sex!"
"Aku
ingin lebih dari sekedar teman tidur Jeff!" tegasku lagi.
"Oh
please, shut your mouth!! Katakan itu pada orang lain yang tak melihat sendiri bagaimana bola matamu
melotot melihat tubuh telanjangku!" sentak Jeffry jengkel.
"Well.
. . you're hot! Apa lagi yang bisa aku lakukan?" selorohku bercanda.
Jeffry
tersenyum sinis. "And yet you said you didn't want my body!" ujarnya
menusuk. Aku hanya diam karena tahu kalau percuma saja aku mendebatnya dalam
keadaannya sekarang. Toh dia tak akan mengingatnya besok.
Aku
memapah Jeffry untuk masuk kedalam rumahnya. Tapi yang mengejutkanku, saat kami
berada didalam, Jeffry meraih tanganku dan menarikku. Ia menyeretku dengan
langkah limbung kekamarnya. Disana dia mendorongku dengan kasar ke tempat tidur
dan langsung menjatuhkan dirinya keatasku.
"Ini
yang kau inginkan bukan?" desisnya dan menciumku dengan bibirnya yang
berbau minuman keras. Aku sontan menahan nafas dan mengatupkan bibirku. Tapi
Jeffry terus mencumbuku dan menggumamkan kalimat yang sama. Bahwa ini yang aku
inginkan.
Aku
mencoba mendorongnya, tapi dia benar-benar seperti orang yang kesetanan.
Tangannya segera bergerak membuka bajuku. Lalu beralih ke celananya. Dan tepat
ketika dia berusaha melepas celananya aku mendapat sedikit kesempatan. Aku
segera menahan tangannya.
"Aku
tak pernah ingin bercumbu denganmu dalam keadaan mabuk begini. Yang kuinginkan
adalah bercinta dengan orang yang aku cintai," kataku cepat.
Ajaibnya,
kalimat itu sontan membuat tubuh Jeffry mengejang kaku. Dia menatapku kaget
tanpa mengatakan apapun. Aku hanya tersenyum padanya. Perlahan aku mendorong
agar dia mengangkat tubuhnya dariku. Jeffry jatuh berguling pelan kesebelahku.
Akupun terbebas dari tindihannya dan bangkit.
"Kamu
tidur saja ok?" kataku lembut lalu membetulkan posisi kepalanya pada
bantal. Kulepas bajunya yang amburadul, sepatu dan celananya yang separuh
terbuka. Kuselimuti dia hingga ke dagunya. Anehnya, Jeffry hanya diam saja
dengan tatapan kosong.
Dia
seolah-olah tak sadar dan berada didunia lain. Aku hanya menatapnya dengan
sayang lalu duduk dipinggir pembaringan, tepat disebelahnya. Kenapa kau harus merusak dirimu sendiri?
Kenapa kau tak menyayangi dirimu sendiri? Mengapa kau membiarkan tubuhmu
dijadikan pemuas nafsu orang lain sementara kau tak mendapatkan apapun darinya?
Mengapa kau tak menghargai diri dan tubuhmu sendiri? Mengapa kau begitu marah
pada semua yang ada disekelilingmu? Berbagai
tanya berkecamuk dalam hatiku. Sungguh sangat disayangkan kalau seseorang
dengan potensi seperti Jeffry menyia-nyiakan semua kelebihannya dan hanya
menjadi pemuas syahwat banyak orang. Hatiku bisa merasakan ironinya sehingga
aku jadi begitu iba melihatnya yang kini sedikit meringkuk seperti anak kecil
yang ketakutan.
Aku
mengusap lembut rambutnya. "Tidurlah dengan tenang," bisikku pelan
dan mencium keningnya. Akupun bangkit untuk mematikan lampu lalu keluar. Aku harus mengambil mobilku, pikirku.
Ingat akan apa yang belum aku bereskan
Aku tak
pulang kerumah dan tidur dikamar tamu Jeffry sesudah mengambil mobilku di club.
Dan pagi harinya, aku membuatkan Jeffry sarapan. Karena tahu dia tak akan
sanggup turun, aku membawa makanannya kekamar. Aku tersenyum saat kulihat dia
telah bangun, meski dia masih tiduran dikasur.
"Morning!
Breakfast's ready!" sapaku riang. "How do you feel?" tanyaku
sembari meletakkan baki makananku disebelah lampu kamar.
Tak ada
sahutan dari Jeffry. Dia hanya diam dan melihatku dengan tatapan datar. Aku
hanya tersenyum karenanya dan duduk disebelahnya, lalu kuletakkan telapakku
didahinya, memeriksa.
"Normal
kok suhunya. Mungkin kamu masih sakit kepala karena minuman semalam. Minum dulu kopi pahit ini. Cocok untuk
hangover mu," kataku dan membetulkan posisi Jeffry. Kuangkat sedikit
bagian atas tubuhnya, dan kutumpuk bantal untuk menjaga agar posisinya jadi
setengah duduk. Lalu kuambil cangkir kopi dan ku sorongkan ke bibirnya.
Jeffry
meminumnya tanpa protes. Sedikit mengernyit karena rasa pahitnya sehingga aku
jadi tergelak kecil.
"I
know. Tapi ini bagus agar sakit dikepalamu itu hilang," kataku. Aku
mengusap sedikit kopi yang menetes di dagunya dengan jempolku. "Mau mandi
dulu? Biar segar," tawarku.
Kembali
tak ada jawaban. Aku mencoba menariknya untuk bangkit. Tak ada perlawanan. Dia
mengikutiku. Patuh seperti anak kecil yang berada dalam bimbingan orang tuanya.
Sampai dikamar mandi aku melucuti boxernya lalu membawanya kebawah shower.
Kumandikan dia seperti anak kecil. Kusabuni dan kugosok bersih. Rambutnya ku
keramasi. Sekalian aku juga mencukur wajahnya. Tubuhku sendiri jadi separuh
basah karenanya.
Dan tak
ada sedikitpun protes. Dia hanya diam membiarkan aku melakukan apapun padanya.
Dia menatapku dengan pandangan datar dan mengamati.
Selesai
aku pun mengeringkan tubuhnya dengan handuk besar dan menuntunnya kembali.
Kududukan dia di pinggir ranjang. Aku mencari pakaian ganti untuknya di lemari
dan menemukan sebuah t-shirt hangat dan celana pendek berwarna putih.
Aku
kembali mendekat pada Jeffry. Kupasang celana pendek itu setelah memasang
celana dalamnya. Tapi saat aku hendak memasangkan t-shirt, Jeffry meraih
tanganku. Aku yang jadi sedikit kaget dengan tindakannya sontan berhenti. Urung
memasukkan kerah t-shirt itu ke kepalanya.
"Ap.
. ."
Dia telah
menciumku.
Ciumannya
berbeda. Bukan ciuman terburu-buru dengan nafsu yang menuntut untuk dipuaskan
seperti dulu. Ciumannya lembut dan dalam. Bibirnya mengulum bibirku dengan
gerakan pelan. Tubuhku merinding bersama dengan tiap hisapannya yang halus.
Tangannya yang meraba belakang kepalaku pun terasa sangat perlahan hingga
nyaris tak terasa.
Ketika dia
melepaskanku, aku baru sadar kalau aku menahan napas sedari tadi. Dan dengan
ciumannya yang cukup mengguncangku tadi, aku tahu. Aku tahu kalau dia telah
memahamiku. Dia telah mengerti keinginanku. Dia tahu. . . , perasaanku.
Aku
menyunggingkan senyum termanisku untuknya. Tanganku terangkat untuk mengusap
lembut sisi wajahnya. Kuusapkan jempolku dengan lembut dipermukaan bibirnya
yang basah dan kemerahan. "Terimakasih," bisikku lirih.
Jeffry
telah meraihku kedalam dekapannya. Dia memelukku erat. Menempelkan kepalaku ke
dadanya. Dan akupun menenggelamkan diriku dalam rengkuhan lengannya yang kuat.
Ke dalam pelukannya yang begitu nyaman, hangat dan menenangkan. Berbeda sekali
dengan pelukan saat kami berhubungan badan yang terasa dingin dan berbalut
nafsu saja. Kuhirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang segar. Memenuhi rongga
dadaku dengan harumnya. Kutempelkan telapakku tepat dimana jantungnya berdetak.
Dia mengerti, batinku.
Dan dengan
itu, pipiku pun basah!
XXII
Beberapa
orang bijak mengatakan bahwa hal terhebat yang akan kita pelajari adalah saat
kita mencintai seseorang, dan orang itu juga mencintai kita. Itulah puncak
hubungan tertinggi yang ada antara dua orang manusia. Well, diluar hubungan
kita dengan keluarga atau ibu kita tentunya.
Dan aku
setuju.
Kebahagiaan
yang kita rasakan saat kita bisa mencintai seseorang dan mendapatkan balasan
yag sama, benar-benar pengalaman yang menakjubkan. Hampir setiap hari, selalu
ada hal yang menyenangkan hanya dengan mengingat sosok yang kita cintai. Apa
lagi saat kita bertemu dan menyentuhnya. Hari-hari terasa begitu ringan dan
fun. Bahkan saat kita mengalami hari yang berat dalam bekerja. Hanya dengan
sebuah telepon,sms atau melihatnya, semua yang ada disekeliling kita menjadi
terasa lebih menyenangkan. Aku banyak mendapatkan gambaran betapa indahnya saat
bersama dengan belahan hati kita dari buku-buku yang kubeli. Buku-buku yang
kugunakan dalam mencari trik bagaimana menaklukkan Jeffry. Meski tak ada
satupun cara yang disebutkan dalam buku itu berhasil, aku menyukai ilustrasi
indah yang mereka gambarkan. Aku ingin memiliki semua itu bersama dengan
Jeffry.
Tapi tidak
dalam situasi seperti sekarang ini. Jeffry masih tergolek dikamarnya, hasil
dari pesta minum semalam. Jadi kuputuskan untuk beres-beres rumahnya.Tapi
sialnya, siang itu, tanpa sengaja aku tertidur diruang tamu Jeffry. Sedikit
kelelahan karena kemarin aku bekerja seharian, malam menjemput Jeffry di club,
pulang dengan mobilnya, lalu kembali lagi ke club untuk mengambil mobilku. Saat
ini aku baru merasakan lelahnya. Dan tanpa sengaja, aku tertidur disova.
Ketika aku
terbangun, tubuhku telah diselimuti dan Jeffry duduk diam didepanku.
Seolah-olah memang sengaja menungguiku. Saat tahu aku bangun, dia hanya
memandangku dengan tatapan hangatnya.
"Hei.
. . . ," sapaku dengan suara sedikit serak. "Sudah bangun? Enakan?"
tanyaku. Tapi Jeffry tak menjawab. Saat kulihat keluar jendela kacanya,
lampu-lampu malam telah dinyalakan. Sepertinya cukup lama juga aku terlelap.
Aku bangkit duduk dan mengusap mataku yang masih terasa berat. "Maaf, aku
tertidur. Jam berap. . . ," kalimatku terputus.
Aku yang
sudah hendak bangkit jadi urung saat tahu-tahu Jeffry telah membaringkan
dirinya di sova dan menggunakan pahaku sebagai bantal.
"Kenapa?
Masih pusing?" tanyaku pelan dan meraba dahinya. Tapi Jeffry meraih
tanganku lalu mendekapnya didadanya. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya,
karena Jeffry berbaring miring.
"Seharusnya
kau pergi dariku," bisiknya.
Aku tak
langsung menjawab, dan menghela nafas panjang. "Terlambat," jawabku
pelan dan menggunakan tanganku yang lain untuk mengusap rambutnya. "Aku
sudah memutuskan untuk bersamamu."
"Aku
pernah menjadi piaraan seorang designer untuk bisa survive disini."
"Aku
tak perduli."
"Aku
juga tidur dengan banyak orang!"
"Aku
melihatnya sendiri," sahutku ringan.
"Tapi
kau masih menginginkanku?" tanyanya lirih.
Kembali
aku mengusap kepalanya lembut. "Yah! Aku masih menginginkanmu,"
jawabku dengan yakin.
Tak ada
sahutan dari Jeffry. Namun sesaat kemudian, bahunya berguncang. Dan dia semakin
erat memegang tanganku yang dipeluknya. Aku yang menyadari kalau dia menangis
langsung mendekap kepalanya dengan erat dan berbisik pelan untuk
menenangkannya.
Kami
berbicara banyak malam itu. Jeffry menceritakan semua hal yang ingin ku ketahui
tentangnya. Masa lalunya, kehidupan pahit yang ia rasakan saat harus menumpang
dirumah saudaranya. Saat dimana dia diperlakukan nyaris seperti pembantu.
Satu-satunya saat dimana dia merasa bebas adalah saat dia berada disekolah.
Dirumah dia selalu bekerja dan bekerja. Selain mengerjakan pekerjaan rumah,
Jeffry juga harus ikut membantu usaha mereka. Jeffry yang sering pindah-pindah,
tergantung pada saudara mana yang mau menampungnya, sudah pernah menjajal
berbagai macam profesi. Penjaga warung makan, kuli toko, sales makanan sampai
tukang loak. Selama dia ikut salah seorang dari mereka, dia selalu ikut
membantu usaha mereka dalam mencari nafkah.
Mulanya
dia tidak berkeberatan, karena Jeffry sadar dia hanyalah menumpang. Sebisa
mungkin dia tak ingin dia menjadi beban berat. Dia berusaha untuk memberikan
sedikit sumbangan yang dia mampu untuk membantu mereka. Sayangnya, hampir
keseluruhan saudaranya itu tidak bisa menghargai usahanya. Kebanyakan dari
mereka justru memerah habis tenaganya. Selesai membantu usaha mereka, Jeffry
masih harus mengerjakan pekerjaan rumah lainnya seperti membersihkan rumah,
mencuci atau memasak. Nyaris tak ada waktu baginya untuk beristirahat.
"Kenapa
kau tak pergi dan hidup sendiri saja?" tanyaku.
"Dan
tidur dimana? Dibawah jembatan?" tanya Jeffry balik. Aku terdiam tak bisa
menjawab. Jeffry yang berbaring telentang berbantal pahaku hanya tersenyum
melihatku. "Aku tak punya rumah Maz. Orang tuaku tak meninggalkanku
apa-apa. Mulanya aku tak menyadari keironisan kehidupanku sampai aku menginjak
remaja. Waktu itu aku mulai sadar kalau aku banyak kehilangan waktuku sebagai
anak. Aku tak bisa bermain seperti teman-temanku. Aku bahkan tak pernah
sekalipun ikut belajar kelompok. Aku tak bisa memiliki waktu bebas seperti
mereka. Aku harus bekerja sepanjang waktu. Ngeceng, hang out bareng teman, atau
pacaran jadi hal yang aneh bagiku. Aku tumbuh menjadi anak yang minder
karenanya.
Aku begitu
ingin merasakan hal normal itu. Tapi aku tak pernah bisa. Sampai suatu saat,
primadona sekolahku waktu SMA menembakku."
"Primadona
sekolah?" tanyaku balik dengan kening berkernyit heran.
"Yeah!
Cewek paling cakep dan tajir disekolahku memintaku untuk jadi pacarnya. Saat
itu keinginanku untuk ikut merasakan apa yang teman-temanku rasakan
hampir-hampir tak terbendung. Jadi kami kencan. Dia membawaku jalan-jalan
dengan mobilnya. Kami nonton, pergi makan dan pergi ke sebuah studio foto.
Disana dia mengambil fotoku dalam berbagai pose. Kukira itu hal wajar. Kukira
itulah hal yang dilakukan oleh orang yang pacaran."
"Jadi
dia temanmu yang mengirimkan fotomu ke majalah?"
Jeffry
mengangguk untuk menjawabku.
"Apa
yang kau katakan pada saudaramu?"
"Bahwa
aku mendapat tugas dari kepala sekolahku untuk ikut sebuah lomba. Tapi
kebohongan itu terbongkar hari itu juga. Karena aku bertemu dengan bibiku yang
sedang belanja di mall itu. Disana, didepan orang ramai dan cewek itu, dia
memakiku habis-habisan. Mengucapkan segala macam sumpah serapah yang mungkin
hanya kau dengar dari mulut seorang sopir truk," kenang Jeffry dengan dahi
berkernyit, seakan-akan mengingat hal itu seperti menelan sebuah pil pahit.
"Apa
yang kau lakukan?" tanyaku lirih.
"Diam!"
jawabnya pelan. "Diam dan menerima saja telah dipermalukan seperti itu.
Karena aku tak punya pilihan. Saat itu juga, pacarku itu tahu, kehidupan
seperti apa yang aku miliki."
"Lalu?"
"Aku
diseret pergi oleh bibiku. Kembali dimaki dirumah, dan beberapa kali mendapat
tamparan dari pamanku," jawab Jeffry lugas. Aku hanya mampu mengeluarkan
suara terkesiap dan tanpa sadar tanganku mengusap pipinya.
"Mereka
mampu melakukan itu?" desisku jijik.
"Dan
juga hal lain yang mungkin lebih parah. Meludahiku, menyiramku dengan air
kotor, atau menyuruhku tidur diluar rumah sebagai hukuman!" lanjut Jeffry
dengan nada enteng. Aku hanya mampu diam dan menatapnya ngeri.
"Tak
mungkin ada saudara yang mampu melakukan hal seperti itu," gumamku tak
percaya.
Jeffry
hanya tertawa getir. "Welcome to my world!" katanya sedikit sinis.
"Apa
yang terjadi setelahnya?" kataku mengalihkan perhatian, mencoba menepis
bayangan Jeffry yang harus tidur diluar rumah. Meringkuk kedinginan.
"Aku
tak mampu mengangkat muka saat kembali bertemu cewek itu. Tapi dia meyakinkanku
kalau antara kami masih tetap sama dan baik-baik saja. Dia janji tak akan
mengatakan insiden kemarin pada siapapun Hingga hampir sebulan kemudian, dia
memberikanku majalah itu. Majalah yang memuat daftar finalis pemilihan model.
Dia juga yang membantuku mengurus tetek bengek lainnya. Menyiapkan baju,
mengurus ijin dari sekolah, sampai membelikanku tiket dan memberiku uang saku.
Waktu itu, aku hanya melihat bahwa itu adalah kesempatanku untuk pergi dari
rumah pamanku."
"Kau.
. . tidak ijin pada mereka?"
"Tentu
saja ijin. Pada akhirnya mereka hanya mengomel dan dengan jelas mengatakan
kalau mereka tak akan mau untuk mengurusi keperluanku. Untunglah pacarku cukup
berada. Jadi aku berangkat dan mulai meniti karir disini."
"Saudaramu
tak pernah datang mencarimu?"
"Aku
yang datang kesana. Karena aku harus mengurus segala keperluan untuk pindah.
Mengurus surat-surat disekolah dan yang lainnya. Aku memberikan sebagian uang
hadiahku pada mereka."
"Apa
yang mereka katakan?" tanyaku penasaran.
"Banyak.
Tapi intinya adalah aku berhutang banyak pada mereka dan punya kewajiban untuk
membantu mereka," jawab Jeffry.
"Dan
apa yang kau katakan?"
"Bahwa
mereka brengsek dan tak tahu diri. Dan aku tak mau lagi berurusan dengan
mereka," jawabnya enteng. "Bahwa aku tak mau lagi mereka perlakukan
sepeti sampah. Dan kalau sampai mereka mencari masalah, aku akan bongkar
kebusukan mereka. Karena banyak saksi mata yang pernah melihat langsung, bagaimana
mereka memperlakukanku."
Aku diam
sesaat untuk mencernanya. Aku bisa merasakan emosi Jeffry. "Dan cewek itu.
. . . ?"
"Aku
ganti semua yang pernah ia berikan padaku dan memutuskannya. Sampai sekarang,
aku selalu meneleponnya saat dia ulang tahun dan mengiriminya hadiah. Karena
bagaimanapun, aku berhutang kebebasanku padanya," kata Jeffry.
Aku
tersenyum. "Kalau begitu aku benar. Ada kebaikan dalam dirimu yang masih
tersimpan," kataku pelan dan kembali mengusap pipinya.
Jeffry
menatapku. Diraihnya tanganku dan digemggamnya erat. "Apa yang membuatmu
begitu yakin padaku?"
Aku hanya
menggelengkan kepala. "Aku sama sekali tak tahu. Aku hanya yakin. Itu
saja. Sama dengan saat aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa aku bisa
menyukaimu. Aku tak bisa menemukan satu jawaban yang tepat. I'm just. . .
simply in love with you!" kataku pelan.
Jeffry tak
mengatakan apapun. Dia hanya mengangkat tubuhnya dan menciumku lembut.
"Menurutku
itu adalah sebuah jawaban," bisiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar