Translate

Rabu, 26 Juni 2013

MEMOIRS II (Dimaz' classic story) part 18-22


XVIII

Pagi itu aku bangun sebelum Jeffry membuka mata. Perlahan agar dia tak terusik aku turun dan melangkah kekamar mandi sembari berkernyit menahan perih. Disana, aku berdiri sejenak menatap bayangan wajahku dikaca. Aku melihat diriku yang tampak kusut, lelah dan super berantakan. Ada tanda-tanda berwarna merah bekas dari percintaan yang tampak pada beberapa bagian tubuhku. Dan juga sakit dibagian belakang tubuhku yang bisa menjadi bukti akan liarnya perbuatanku semalam. Aku benar-benar terlihat tak karuan. Orang yang melihatku pasti bisa langsung menyimpulkan apa yang telah kulakukan semalam.
Tapi ada sedikit ketenangan diwajah yg membayang di cermin itu. Karena kini, mulai saat ini, aku putuskan untuk menerima perasaanku. Berdamai dengan kemelut yang selalu kuhindari. Aku tak akan lari lagi. Aku tak akan meninggalkan Jeffry seperti aku meninggalkan Rafly. Aku akan mencoba memahami semuanya. Menerimanya. Dan menghadapi apapun yang akan terjadi nantinya. Aku ingin tahu, sampai dimana semua ini akan berlangsung.
Dengan tekad itu aku mandi membersihkan tubuhku dari sisa-sisa percintaan semalam. Sempat beberapa kali berdesis sakit saat membasuh bagian belakang tubuhku yang ternyata robek berdarah. Lalu akupun turun ke bawah untuk membuat sarapan.
Aku sedikit bergumam sembari memasak omellet. Pengennya sih masak sambil goyang-goyang dikit seperti yang biasa aku lakukan dirumah. Tapi perih ditubuhku mencegahnya. Jadi aku hanya bergumam saja sembari menggerak-gerakkan kepalaku.
"Apa yang sedang kau lakukan?!"
Aku berbalik dengan cepat sehingga kembali berjegit ketika nyeri ditubuhku terasa. " Hei! Sudah bangun? Aku sedang menyiapkan sarapan untukmu. Have a sit!" kataku lagi dan kembali pada omeletku yang hampir matang.
"Kenapa kau tidak langsung pulang saja?" tanya Jeffry lagi. Nadanya yang sedikit tidak enak membuat punggungku agak menegang. Aku mengangkat omellet ku yang telah matang dan meletakkannya dipiring saji.
"Maaf?" tanyaku pelan, berusaha terdengar wajar meski dadaku mulai berdebar keras.
"Bukankah kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan semalam? Jadi tak ada gunanya lagi kau disini," kata Jeffry santai lalu mengambil piring omellet ditanganku. Dia lalu duduk dan menyantapnya dengan tenang. Sementara aku masih termangu dengan reaksinya yang dingin acuh. Seolah-olah apa yang terjadi pada kami semalam tak ada maknanya sama sekali.
"Bisa kau perjelas?" tanyaku sedikit bergetar karena gugup dan cemas mulai merambatiku.
Jeffry mengangkat muka dan menatapku dengan mimik heran. "Soal?" tanyanya tak mengerti.
"Kau. . . . ," aku menarik nafas, ". .  ingin aku pergi?" tanyaku dengan perasaan sedikit ngeri.
Jeffry mengangkat bahu, "Kalau kau tak keberatan! Hari ini aku libur, jadi aku ingin istirahat saja. Dan jangan berharap kalau aku akan mengulangi yang semalam. Aku tak tertarik," ujarnya tanpa beban.
Tubuhku terasa dingin mendadak, "Apa. . . .a-apa yang terjadi semalam menurutmu?" tanyaku lagi, masih dengan nada gugup.
"We fucked!" jawab Jeffry enteng. "Itu yang kau inginkan selama ini bukan? Kau ingin aku mencumbumu. And that's what we did last night. Aku sudah memberimu apa yang menjadi keinginanmu."
"Kau pikir aku kesini hanya untuk . . . tidur denganmu?" tanyaku lagi dengan suara tercekat.
"Ada yang lain?" tanya Jeffry heran.
Aku menggeleng tak percaya. Ya Tuhan! Apa yang sebenarnya kulakukan?! pikirku ngeri. "Jeffry. . . apa yang aku. . . , kita," ralatku cepat, ". . . , lakukan semalam tak ada artinya bagimu?"
Jeffry menatapku, tampak berpikir sejenak. "Tidak! Haruskah?"
Aku menelan ludah pahit, benar-benar tak percaya kalau dia mampu mengatakan itu dengan enteng. Dia tak tahu kalau hal itu sudah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun membuatku sakit kepala. Sering aku tak bisa tidur semalaman karena memikirkannya. Dan dia mengatakannya seolah-olah hal itu bukan hal yang berarti. "Aku mempertaruhkan kewarasanku semalam! Aku harus. . . ,berjuang mati-matian untuk bisa melakukan apa yang kita lakukan semalam. Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk memikirkannya dan kau. . . , ingin membuangku begitu saja?"
"Kau ingin aku mengatakan apa?" tanya Jeffry balik sedikit sinis. "Bahwa kita sudah terikat? Bahwa kita punya hubungan yang khusus? Bahwa kita saling jatuh cinta dan akan bersama selamanya? That we have such a great chemistry?" Jeffry mendengus keras. "Please! What do you know about me?! Kau tahu kapan ulang tahunku?"
Aku tak bisa menjawab.
Senyum mengejek kembali tersungging dibibirnya. "See?! Kau hanya tertarik pada tubuhku. Dan kau sudah mendapatkannya semalam? Apa lagi? Please, don't be such a drama queen. Kita tak memiliki apa-apa. Kau tak tahu apapun tentangku. Apa yang kau ketahui cuma sekumpulan berita burung yang mungkin kau sendiri ragu akan kebenarannya. Aku juga tak tahu apapun tentangmu. Jadi lupakan ide romantis konyolmu."
Hening yang lama dan mencekam!
Ya Tuhan, betapa bodohnya aku?! Apa yg sebenarnya aku harapkan? Bahwa kami akan menjalin suatu hubungan? Bahwa dia akan mengatakan kalau dia mencintaiku? He has a point. Kami nyaris tak mengenal masing-masing. Tapi yang jelas, dia telah membangunkan sesuatu yang selama ini tertidur dalam diriku, dan tak pernah terusik oleh yang lain. Itu pasti bermakna sesuatu kan? Dan aku tak mungkin melepaskannya begitu saja, seperti aku melepaskan Rafly.
"Ta-tapi . . . ," aku berdehem untuk mengumpulkan suara, "Tidak bisakah kita mencobanya?" pintaku pelan. "Aku akui. . . , aku tak tahu apapun tentangmu. Tapi aku akan mencari tahu. Aku akan menjadi orang yang paling memahamimu. Tolong Jeff,beri aku. . . . , kita!" ralatku lagi cepat, ". . kesempatan. Kau. . . . , telah membuatku merasakan sesuatu yang selama ini hanya pernah kurasakan sekali."
"Seperti Rafly?" tanya Jeffry sinis.
Aku termangu. Aku ingat kalau pernah mengucapkan nama itu dengan keras didepannya. Saat aku pikir kalau aku berhadapan dengan Rafly. Akupun terdiam, tak tahu harus bagaimana.
"Siapa dia?" tanya Jeffry lagi dan menatapku dengan intens.
Aku membuang muka dan menghela nafas sejenak. "Cinta pertamaku," jawabku. "Orang yang pertama kali membuatku jatuh cinta. Cowok pertama. Aku. . . . , melarikan diri darinya."
"Apa yang membuatmu tidak lari dariku?"
"Kata-katamu. Bahwa aku tak akan pernah bisa lari dari diriku sendiri. Apa yang terjadi antara aku dan Rafly membuatku ketakutan setengah mati. I was just sixteen! Karena itu aku lari. Dan aku tak ingin melakukannya lagi. Aku ingin menghadapinya."
"Kenapa harus denganku?"
"Karena tak pernah ada yang bisa membuatku seperti ini selain kamu!" jawabku sedikit terlalu keras. "Aku ingin mencoba untuk memahaminya denganmu. Aku ingin . . . . memiliki sesuatu denganmu."
Jeffry diam sejenak. "Aku tidak suka dengan ikatan! Aku orang yang bebas. Maaf!" kata Jeffry dan bangkit.
"Jeff!!" panggilku cepat membuatnya berhenti. "Aku tak akan pergi! Aku akan membuatmu menginginkanku!" tegasku padanya.
Perlahan dia berbalik dan menatapku datar. "Lakukan apapun yang kau mau! Tapi jangan harap aku melakukan hal yang seperti kau inginkan!" katanya acuh dan pergi.
Begitu dingin! pikirku. Penolakannya benar-benar membuatku hampir kehilangan rasa. Butuh beberapa saat bagiku untuk pulih dari kebasku. Mungkin ini karma atas apa yang pernah aku lakukan pada Rafly! Tapi yang jelas, aku tak akan membiarkan kali ini berakhir seperti Rafly! tekadku dalam hati.

XIX

Bukan usaha yang mudah untuk mendekati Jeffry. Dia benar-benar menguji batas kesabaran dan akal sehatku. Semua sms yang ku kirim tak pernah mendapat balasan. Hampir semua teleponku ditolak. Beberapa diterima, namun dia menyahutiku dengan nada yang dingin, acuh dan terkadang meledak. Beberapa kali dia ngamuk-ngamuk ditelepon.
Aku bukan Don Juan yang memiliki banyak pengalaman dalam berhubungan dengan orang lain. Selain Rafly, belum pernah ada orang lain yang memiliki hubungan dekat denganku. Jadi aku banyak membeli buku-buku tentang cinta, dating, dan bagaimana menjadi pacar yang baik. Kupraktekkan semua hal yang menurutku cocok dalam buku itu. Tak ada satupun yang berhasil.
Beberapa kali aku mencoba bertanya pada Radit tentang bagaimana dia bisa luluh bin takluk pada pacarnya sekarang. Mula-mula dengan senang hati dia mau berbagi. Tapi berhubung aku nanyanya begitu sering dan dengan semangat 45, lama-lama dia jadi agak curiga dan langsung balik menanyaiku macem-macem. Aku cuma nyengir aja menjawabnya.
Aku juga banyak mencari informasi tentang Jeffry dari surat kabar dan orang-orang lain. Semua majalah yang menyangkut dia kubeli. Aku juga browsing diinternet. Sayangnya, hampir 90% informasi yang ada di surat kabar dan majalah yang mengupas tentang Jeffry, salah. Semua data itu telah ditata dan direncanakan sedemikian rupa untuk membentuk citranya di masyarakat. Aku bahkan meminta manejerku untuk mencari portfolio Jeffry dari kenalannya secara diam-diam. Kuajukan berbagai macam alasan untuk menghapus kecurigaannya.
Kini aku sudah tahu data dasar tentang Jeffry. Ukuran fisik, tanggal lahir dan sebagainya. Tapi tidak tentang kepribadiannya. Jeffry benar tentang kabar burung yang beredar dikalangan model tentangnya. Banyak diantaranya cuma berita asal cuap dan dibesar-besarkan. Meski. . . sebagian data itu juga mengandung kebenaran.
Dia seorang player sejati. Banyak para model dan seleb yang pernah 'main' dengannya. Semua hanya sekedar hubungan sesaat. Daftar one nite standnya cukup mengagumkan. Dan daftar itu sendiri terdiri dari 2 bagian. Cowok dan cewek. Dan issue tentang apa yang telah dilakukan olehnya pada semua orang dalam daftar itu, cukup membuatku malu dan risih. Tapi aku tak bisa menyangkal fakta kalau dia partner bercinta yang mengesankan. Aku merasakan dan melihatnya sendiri.
Jeffry sendiri tak menyembunyikan semua kebiasaannya itu dariku.
Pernah suatu hari aku mengiriminya sms dan mengatakan akan kerumahnya malam itu. Jeffry memang membukakan pintunya dan mempersilahkan diriku untuk masuk. Tapi didalam sana aku menemukan seorang model bernama Indah yang menjadi teman kencannya malam itu. Mereka bercumbu diruang tamu itu, didepan mataku. Jeffry tak ragu-ragu melakukan adegan-adegan yang membuatku jengah itu. Indahpun sepertinya tak keberatan aku menontonnya. Aku mencoba bertahan meski aku benar-benar merasa kebas karena shock. Setengah mati aku menahan diri. Malu, marah dan sakit hati bercampur didalam diriku. Membuatku ingin segera pergi dari situ. Aku benar-benar merasa terhina dan dilecehkan. Tapi aku bertahan. Susah payah menjaga ekspresiku tetap terlihat biasa. Tapi aku tak tahan juga saat Jefrry telah berhasil melepas bra Indah dan tangan Indah masuk kedalam celana dalam Jeffry. Aku memalingkan muka dan segera bangkit, masuk ke dalam kamar tamu Jeffry. Disana aku hanya bisa duduk termangu sepanjang malam dengan dada sesak dan sakit.
Saat pagi tiba, aku bangkit dan menuju dapur. Memasak sarapan untuk mereka berdua.
Lain waktu kutemukan Jeffry bersama dengan seorang seleb cowok. Seorang pendatang baru didunia akting. Juara 1 dalam sebuah ajang model. Masih berumur belasan tahun dan sangat imut. Seperti dengan Indah, mereka bercinta didepanku. Kembali aku hanya bisa diam dengan dada yang sesak. Akupun pergi saat mereka mulai melepas lembar terakhir kain yang menempel ditubuh mereka.
Pagi harinya, aku kembali membuat sarapan untuk semuanya. Dan mati-matian menampilkan wajah datar.
Yang paling membuatku terguncang adalah saat Jeffry bercinta dengan 2 orang model cowok sekaligus didepanku. Bahkan dia juga menawariku untuk bergabung dengan orgy sinting mereka. Aku hanya menggeleng dengan kaku dan kembali beranjak kekamar saat semua hampir polos. Lalu membuat sarapan dipagi harinya. Kegiatan yang mungkin bagi Jeffry konyol dan mengibakan. Tapi aku lebih memilih melakukannya daripada diam bengong dikamar sembari terbayang tubuh-tubuh polos mereka menyatu.
Hari itu aku benar-benar hampir menyerah. Aku benar-benar ingin mejauh dari Jeffry dan gaya hidupnya yang memuakkan. Aku ingin menjauh dari dunia modelling dan dari orang-orangnya yang gila. Hampir seharian imej Jeffry yang bercinta dengan mereka membayang dimataku. Nyaris bisa kudengar desahan dan erangan mereka.
Tanganku yang memegang segelas latte gemetar! Aku segera meletakkan gelasku sebelum aku menjatuhkannya. Tadinya aku berharap menemukan sedikit ketenangan dikafe ini, karena aku tak ingin berada diapartemenku sendiri sambil teringat adegan mesum Jeffry yang terus terputar diotakku. Tapi kafe yang cukup ramai ini tak mampu mengalihkan pikiranku.
"Dimaz?"
Teguran itu berasal dari arah samping kananku. Mas Arya yang menyapaku tampak senang dan langsung menghampiri mejaku.
"Sendiri Maz?" tanya Mas Arya.
"Iya Mas! Lagi jenuh dirumah," jawabku nyengir. Terakhir kali kami bertemu adalah saat pemotretan di pantai Namoss waktu itu. Setelahnya kami belum pernah dapat job bareng lagi. Aku lebih banyak dapat job jalan di runway ketimbang pemotretan.
"Boleh gabung?" tanya Mas Arya lagi. Akupun mempersilahkan. Tapi yang membuatku sedikit heran, bukannya langsung duduk, Mas Arya justru mengambil ponselnya dan menelepon. "Sayang, aku ada sedikit urusan dengan teman, jadi aku baliknya agak entaran ok? Yaaah! Baiklah! See ya!" Dia memasukkan ponselnya.
"Mbak Arista Mas?" tanyaku. Dia adalah istri Mas Arya. Aku pernah beberapa kali bertemu dengannya. Orang yang kalem dan ayu. Dia mempunyai kecantikan khas orang ningrat Yogyakarta. "Nggak apa-apa Mas?" tanyaku lagi saat Mas Arya mengangguk.
"Emang kenapa? Kita nggak selingkuh kan?" tanya Mas Arya dengan kerlingan jenaka, membuatku tertawa kecil. Dia lalu melambai pada pelayan dan memesan cappuccino latte, sepertiku.
"Awas lho! Ntar Mbak Aris ngamuk kalo tau Mas nunda pulang cuma buat ngobrol ma aku."
"Dia mana bisa sih ngamuk Maz? Paling juga aku gak dikasih jatah malemnya," seloroh Mas Arya membuatku ngakak. "Dimaz akhir-akhir ini jarang ke studio ya?"
"Iya Mas. Lagi banyak dapet job jalan."
"Beberapa waktu kemarin aku ambil gambar Jeffry lagi buat sampul majalah remaja lho!"
Aku mengangguk, karena aku juga telah membeli majalah itu. "Tahu Maz. Aku beli majalah itu!" sahutku. "Agak seksi juga ya Maz buat ukuran majalah remaja," imbuhku.
"Mereka maunya juga begitu Maz. Aku juga ambil foto si Arga beberapa waktu lalu. Kamu tahu dia? Yang pernah juara 1 coverboy kemarin?"
Bagaimana aku bisa lupa? Dia ngesex dengan Jeffry tepat didepanku, pikirku kecut. Tapi aku hanya mengangguk pada Mas Arya, diiringi sedikit keheranan karena nggak tahu apa hubungannya denganku.
Mas Arya menatapku sejenak lalu menghela nafas. "Waktu itu dia datang dengan dua orang temennya. Dan tanpa sengaja aku mendengarnya berbicara tentang Jeffry dan. . . kamu."
Aku sontan tertegun dengan informasi itu. "Ten-tentang apa Mas?" tanyaku sedikit gugup.
"Beberapa hal. Aku sudah tak heran kalau berita itu mengenai Jeffry, karena aku sudah paham sepak terjangnya. Tapi dia menyebut namamu, jadi aku keingetan terus. Dan waktu pemotretan kemarin, Jeffry ngamuk-ngamuk ketika. . . ,kamu meneleponnya kan?"
Aku ingat waktu Jeffry meledak di telepon. "Jadi. . . , dia ada di studio Mas Arya waktu itu?" tanyaku lemas.
Mas Arya mengangguk. "Kamu ada hubungan dengan Jeffry?" tanyanya dengan nada khawatir.
Aku cuma menggeleng dan tersenyum lemah.  Ya Tuhan! Apa yang harus aku katakan? Bahwa aku sedang mengejar-ngejarnya?
"Dengar Maz, bagiku bukan aneh lagi hal-hal yang Jeffry lakukan. Homoseksualitas tidak lagi membuatku heran. Aku sudah banyak bertemu dengan para pelakunya. Kau tahu sendiri kalau hal itu gak ubahnya seperti borok yang tertutup rapi dari masyarakat tapi berbau busuk dalam kalangan kita sendiri. Lebih-lebih dibidang ini. Tapi kau. . . , sedikit mengkhawatirkanku. Karena kalau kau memang . . . ," Mas Arya berpikir sejenak, seakan mencoba mencari kata yang cocok, ". . . .  menyukai Jeffry, kau harus memiliki mental baja! Karena dia bukan pribadi yang mudah dan biasa."
Tell me about it! pikirku dengan perasaan ironis.
"Tapi jujur, kurasa dia memerlukan sosok sepertimu," kata Mas Arya lagi membuatku heran dan mengernyitkan dahi. Mas Arya hanya tersenyum dengan reaksiku. "Dia orang yang kering dan paling membutuhkan seseorang dalam dunia ini Maz. Kau mungkin tahu dengan sepak terjangnya yang gila-gilaan. Tapi sebenarnya itu teriakan minta tolongnya. Hanya saja, nyaris tak ada orang yang bisa mendengarnya."
Kali ini aku benar-benar mendengarkan Mas Arya. Dia yang tahu kalau sudah mendapat perhatianku hanya tersenyum dan meminum cappuccinonya yang telah tiba.
"Jeffry yatim piatu sejak berumur sembilan tahun. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Sejak itu dia hidup bergantian dari satu saudara ke yang lainnya. Masa kecilnya berat Maz, karena tak ada saudara yang benar-benar mau menampung dan merawatnya. Mereka memperlakukannya dengan semena-mena. Beberapa bahkan memperlakukannya seperti budak. Yang lain kadang menyiksanya. Dia. . . ,tumbuh dalam lingkungan yang keras. Saudara-saudaranya lebih menganggapnya sebagai beban daripada keluarga."
Karena itu dia menganggap pendapatku bodoh waktu itu!
"Nasibnya berubah saat seorang cewek teman SMA nya yang naksir berat padanya mengirim foto Jeffry ke sebuah majalah remaja. Dia masuk sebagai finalis dalam pemilihan wajah sampul waktu itu dan keluar sebagai juara. Sejak itu dia pindah kesini dan merintis karirnya. Disini dia juga tak luput dari tangan-tangan beberapa orang yang tega memanfaatkannya. Dulu dia sempat menjadi piaraan seorang designer terkenal. Semua itu dilakukannya hanya untuk bisa bertahan disini dan agar dia tidak lagi kembali pada saudaranya yang memperlakukannya dengan tak pantas. Mungkin itu yang membentuknya menjadi seorang biseks yang liar seperti sekarang. Hingga akhirnya dia bisa memiliki nama besar seperti sekarang.
Tapi sebenarnya hal yang sangat diperlukan Jeffry adalah orang yang benar-benar mengerti dan menyayanginya. Dan itu bukan hal yang mudah. Kebanyakan orang hanya menghargai Jeffry karena kesuksesan dan kesempurnaan fisiknya. Karena itu Jeffry juga memperlakukan mereka seenaknya. Mereka hanya mau melihat kulit luarnya dan menikmatinya. Itu juga yang ia berikan pada mereka. Tak ada yang mau melihat Jeffry lebih kedalam lagi. Terlebih, dia juga senang bertingkah sinting!"
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Mas Arya yang juga membalas senyumku tampak senang melihatku. Sedari tadi aku cuma mendengarnya dengan tegang.
"Dia bukan orang yang mudah Maz. Semakin kau mendekatinya, semakin keras dia menolakmu. Semakin sering kau mendekatinya, semakin keras pula dia mendorongmu menjauh. Bukan karena dia tak menyukaimu, tapi karena dia takut. Takut akan terluka dan tersakiti lagi. Perasaan sayang atau cinta hanya mitos baginya. Satu-satunya hubungan yang ia pahami dengan manusia lain hanyalah hubungan fisik. Hanya itulah bahasa yang ia mengerti dan tangkap dari orang-orang disekelilingnya. Hakikatnya, dia sedang berteriak keras agar ada yang bisa mengerti. Dia ingin disayangi. Itu semua yang membuatnya menarik perhatian orang-orang disekitarnya. Tapi sayangnya, kebanyakan dari mereka juga hanya mengerti bahasa fisik saja. Mereka tak mendengar teriakan hati Jeffry."
Aku diam mendengarnya. Apakah itu yang membuatku tak mampu melupakannya? Bahkan saat dia melakukan hal 'itu' didepanku? Apakah teriakan Jeffry juga yang membuatku masih bertahan meski dia telah menginjak-injak harga diriku? Meski dia telah menghina dan melecehkanku? pikirku.
"Kalau kau memang menyukai Jeffry, nasihatku jangan menyerah! Tunjukkan kesungguhanmu. Mungkin akan butuh waktu bagi Jeffry untuk bisa menerimamu. Dan pastinya, kau memerlukan kesiapan mental super untuk itu. Karena semakin kau menyukainya, semakin gila tingkahnya didepanmu. Semakin keras kau mencoba mendekatinya, semakin keras pula dia mendorongmu menjauh. Tapi pastikan dia tahu, kau akan selalu ada untuknya."
"Mas Arya yakin itu yang dia butuhkan?"
Kembali Mas Arya tersenyum mendengarku. "Aku pernah berada diposisinya Maz. I was him. Aku melampiaskan kemarahanku pada orang-orang disekelilingku. Secara tidak langsung aku membalas dendam mereka. Masa laluku juga berat sepertinya Jeffry, Maz. Aku telah melakukan berbagai perbuatan yang mungkin tak pernah kau bayangkan. Sampai akhirnya Arista menemukanku. Dia menyelamatkanku. Kau tahu kan kalau kita para cowok cenderung berbuat bodoh. Banyak diantara kita terjebak bahwa cowok harus kuat, macho dan haram untuk meneteskan air mata. Terkadang kita lupa kalau Tuhan juga memberi kita hati dan perasaan. Kita bisa merasakan sakit hati hingga mata kitapun menangis. Sayangnya, kita para cowok terlanjur mengharamkan hal itu. Dan saat perasaan kita kacau, biasanya kita melampiaskannya dengan melakukan berbagai hal negatif dan destruktif. Minum, drugs dan bahkan sex. I did all of them. Jeffry untungnya tidak pada dua yg pertama. Dia lebih memilih yg ke-3. Karena itu, dia butuh seseorang yang bisa menyelamatkannya. Seperti Arista menyelamatkanku"
"Dan Mas yakin, aku bisa menyelamatkan Jeffry?"
Mas Arya mengangkat bahu. "Setahuku, kau bukan jenis orang yang bertindak tanpa pemikiran. Kau bukan orang yang mudah melakukan sesuatu dengan gegabah. Apalagi hal yang gila, seperti menyukai orang macam Jeffry. Apapun motifmu, aku yakin kau melakukannya dengan alasan dan pertimbangan yang kuat," ujarnya sambil tersenyum.
"Kenapa Mas Arya tidak menceritakan hal ini pada salah satu cewek mantannya aja Mas?"
Mas Arya menghela nafas. "Sayangnya, aku belum pernah menemukan wanita dengan kepribadian yang kau miliki dalam bidang yang kita geluti ini Maz. Kita berkutat dalam dunia yang dipenuhi oleh manusia-manusia berfisik sempurna, sayangnya dengan hati yang kebanyakan cacat."
Aku kembali terdiam karena aku juga menyadari fakta yang ironis itu. Fisik sempurna memang jarang dibarengi dengan hati yang indah. Sayangnya, kebanyakan orang lebih memilih kulit pembungkus luar yang bagus daripada kecantikan batin yang menawan. Banyak juga orang yang menyadari fakta bahwa kecantikan batin lebih baik dan utama daripada keindahan fisik. Lucunya, saat dihadapkan langsung pada pilihan fisik dan hati, banyak dari mereka yang lebih memilih fisik. Hanya orang-orang tertentu yang benar-benar memahami.
"Jadi menurut Mas Arya. . . , aku bisa dengan Jeffry?" tanyaku ragu.
"Dia akan menolakmu mentah-mentah sebelum kau bisa meyakinkannya. Terdengar gila kan?! Tp itulah yang akan terjadi. Dia akan bertindak semakin ngawur. Dan kau harus bisa menahan kegilaanmu sendiri. Tapi saat dia tahu kalau kau benar-benar menyukainya dan tak akan meninggalkannya, dia akan menjadi milikmu sepenuhnya. Dia akan mendedikasikan dirinya hanya untukmu. Karena yang lain, tidak memiliki makna baginya."
"Kedengarannya benar-benar gila ya?" gumamku setelah kediaman yang lama.
Mas Arya tertawa kecil. "Hei, bagaimanapun kita adalah lelaki. Kita cenderung berbuat bodoh ataupun gila untuk mendapatkan apa yang kita inginkan!" selorohnya.
Aku tersenyum mendengarnya. "Bagaimana. . . Mas Arya tahu semua hal tentang Jeffry ini?" tanyaku.
"Kami pernah minum bareng waktu pemotretan di Bali. Jeffry sendiri yang menceritakan hal itu. Dan kurasa, dia tak pernah menyadarinya. Jadi. . . , ini akan jadi rahasia kita saja. Ok?" goda Mas Arya dengan kerlingan lucunya.
Kembali aku tersenyum. Kali ini aku melakukannya dengan lebar dan hati yang sedikit ringan. "Makasih Mas!" kataku pelan. Mas Arya benar-benar telah menyuntikkan semangat yang baru untukku.

XX

Sungguh melelahkan mendekatinya. Jeffry benar-benar seperti berusaha untuk menyingkirkanku selamanya. Tindakannya makin gila-gilaan. Kalau kemarin dia bercumbu dengan 2 orang cowok sekaligus, sekarang dia malah mengajak sepasang model kerumahnya. Hebatnya lagi, dia kembali mengundangku untuk datang.
Aku sudah merasa aneh dengan undangannya yang tidak biasa. Aku makin merasa tak enak hati saat aku tahu bahwa cewek yang ada disana adalah. . .
"Maya. . . ," desisku sedikit tercekat saat dia membuka pintu rumah Jeffry. Kami pernah bekerja sama dalam beberapa kesempatan. Dia juga yang dulu menyuruhku bertanya soal Jeffry pada Randy dulu. Cewek itu juga tampak tak kalah kagetnya denganku. Bola matanya yang langsung membesar saat melihatku, membuatku menduga kalau dia juga tak tahu apa-apa akan kedatanganku. Kejutan apa lagi yang akan diberikan oleh Jeffry padaku sekarang?
"Dimaz?! Ada apa kesini?" tanyanya tanpa menutupi keheranannya.
"Aku. . . ,"
"Dimaz akan bergabung dengan kita May!" jawab Jeffry yang muncul dari dapur sambil membawa sebotol besar anggur."Benar kan Maz?" tanya Jeffry dengan senyum mengejeknya.
Aku menjawabnya dengan senyum dan duduk di sova dengan tenang. Berusaha untuk tenang lebih tepatnya. Berhadapan dengan seorang cowok bertubuh kekar yang menatapku dengan penuh minat. Aku tak mengenalnya. Tapi sosoknya cukup mengintimidasi. Caranya memandangku sebenarnya cukup mengganggu. Aku seakan-akan sebuah hidangan yang ingin disantapnya. Aku menahan rasa jijik yang mulai merambat. Aku harus mengingatkan diriku sendiri akan tujuanku kesini untuk membuatku tinggal disana. Meski pria itu benar-benar membuatku ingin segera minggat.
"Kau. . . , yakin Jeff?" tanya Maya. Aku paham akan keraguan Maya. Dia tahu bagaimana reputasiku sebelumnya. Hal seperti ini jauh dari sifatku yang dia ketahui.
"Jangan khawatir May! Aku nggak akan mengganggu pesta kalian. Do anything you want. Don't mind me!" kataku menenangkannya.
"Dia sudah lama ikut menikmati pestaku May. Dia jadi stalker ku. Sepertinya aku sudah benar-benar jadi artis besar sekarang, sampae-sampe aku punya stalker macam dia," gerutu Jeffry dengan nada kesal.
"Aku memang mendengar isu kalau. . . . ," Maya tak meneruskan kalimatnya, hanya menatap bergantian aku dan Jeffry mata terbelalak. " Jangan katakan kalau berita itu benar!!" sergahnya
Jeffry hanya mengangkat bahu acuh, sementara aku kembali hanya tersenyum. Aku tak tahu berita apa yang dia maksud. Tapi sepertinya bukan berita bagus. Masa bodoh lah!
"Aku ingin menantangmu Maz. Kalau kau bisa, aku akan mengijinkanmu jadi stalker resmiku. Dare to bet?" kata Jeffry dengan nada menusuk.
Aku mengangkat bahu. "Katakan!"
"Tetap disana sampai semuanya selesai. Kalau kau pergi, semua harus berakhir. Paham?!" tantangnya.
"Maksudmu aku harus. . . "
"Tetap disana sampai kami selesai. Atau kau boleh bergabung dengan kami. Pilihanmu. Tapi kalau kau pergi. . . . , aku ingin kau menjauh dariku," tegas Jeffry tajam.
Aku terdiam. Dia ingin aku melihatnya bercumbu dengan mereka sekaligus sampai selesai?! Ya Tuhan!! Dia gila!!! pikirku dengan tubuh yang mulai terasa dingin.
"Bagaimana?" tanya Jeffry dengan senyum khasnya. Senyum itu yang akhirnya kembali menyulut keberanianku. Senyum mengejek yang terkesan begitu mencemooh. Kembali kata-kata Mas Arya waktu itu terngiang ditelingaku. Aku harus bermental baja. Aku harus kuat. Akhirnya. aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.
Aku pasti sudah gila juga!!  batinku.
Kulihat Jeffry sedikit mengangkat alisnya. Tapi hanya sekejap. Ekspresinya kembali menjadi acuh. Dia lalu berpaling pada Maya dan lelaki itu. Nyengir.
"Kalian tak keberatan kan?" tanyanya. Si lelaki hanya mengangkat bahu acuh. Sementara Maya terlihat sedikit ragu. "Jangan khawatir May! Mulutnya terkunci rapat!" ujar Jeffry menenangkan, hingga akhirnya Maya juga ikut mengangkat bahunya. Tak perduli.
Akupun duduk diam disana.
Menyaksikan mereka minum bersama sebagai permulaan. Melihat mereka mulai saling mencium, melepas baju dan bercinta. Aku diam disana melihat bagaimana Jeffry dengan keahliannya bermain dengan bibir dan ujung dada Maya, sehingga cewek itu menggelinjang hebat sementara Maya tengah asyik mengoral kejantanan cowok tadi yang bertubuh tinggi besar dengan dada yang berbulu lebat. Aku harus diam disana melihat tubuh polos mereka saling membelit, bergesekan dan menyatu. Aku harus diam disana menyaksikan bagaimana akhirnya Jeffry dan lelaki itu memasuki tubuh Maya, baik bergantian ataupun bersamaan. Aku harus diam disana mendengar setiap erangan dan desahan mereka yang berpacu menuju puncak birahi. Tepat didepan mataku!
Tuhanku!!! Haruskah aku terangsang oleh pertunjukan live didepanku? Normalkah kalau sekarang aku merasa mual dan ingin muntah? Padahal banyak orang yang bersedia membayar mahal untuk hal ini. Tapi aku benar-benar ingin muntah melihatnya. Penyatuan ragawi selalu menjadi hal sakral bagiku. Selama ini aku diajari bahwa penyatuan 2 raga dianggap sebagai 1 bentuk ibadah pada Tuhan, dilakukan oleh sepasang manusia yang saling mencintai. Karena penyatuan dua raga juga merupakan penyatuan dua perasaan yang saling mengisi dan melengkapi. Salah satu ekspresi perasaan saling menyayangi diantara 2 manusia, bercampur dengan insting primitif mereka. Sementara pertunjukan live didepanku tidak lebih dari pemuasan nafsu yang dangkal dan menjijikkan.
Memualkan.
Aku terpaku bagai patung!
Otakku berteriak keras pada mataku untuk menutup, agar aku tak melihat pemandangan didepanku. Otakku memerintahkan kakiku untuk pergi secepatnya dari sana. Otakku juga memerintahkan telingaku agar menulikan diri, supaya menghentikan suara-suara itu untuk masuk.
Tapi aku tetap diam disana. Terduduk dengan mata nyalang terbuka dan hati yang hampir-hampir mati rasa.
Sampai kemudian pandanganku bertemu dengan mata Jeffry yang sedang berada diatas Maya, menyetubuhinya. Untuk beberapa detik kami saling menatap. Dan senyum khas Jeffry berkembang. Dan saat itulah aku benar-benar memahami dan meyakini kata-kata Mas Arya.
Semakin keras aku mendekatinya, semakin keras pula dia mendorongku menjauh.
Dan disaat itu pula aku melihat sosok Jeffry dibalik semua topengnya. Dia ingin menyingkirkanku dengan menunjukkan semua hal yang menjijikkan ini. Mengusirku dengan caranya yang ekstrim. Agar aku menjauh. Agar aku tak memperdulikannya lagi. Padahal hakikatnya, dia berteriak minta tolong padaku. Dia ingin aku terus memperhatikannya. Sehancur apapun dia.
Hatiku terasa sedikit sejuk dengan pemikiran itu.
Aku tahu kalau aku harus tetap ada disana. Agar Jeffry mengerti, kalau aku tak akan pergi. Agar Jeffry mengerti, kalau aku ada disini untuknya.
Selalu.
Bagaimanapun keadaannya.
Aku tersenyum lembut pada Jeffry yang menatapku. Pipiku basah tanpa aku sadari.
Dan kudengar erangan keras saat mereka mencapai klimaks dengan waktu yang hampir bersamaan.

XXI

Pagi itu aku menyiapkan sarapan bagi mereka semua. Aku membuat omellet dan sandwich sembari bergumam kecil. Kebiasaan kecil yang berguna bukan hanya untuk mengusir sepi, tapi juga menyingkirkan bayangan-bayangan polos yang menyatu semalam. Aku tak menyangkal kalau hal itu sangat mengguncangku, tapi aku sudah bertekad untuk berada disamping Jeffry. Seperti apapun faktanya.
Aku menghela nafas dan berdoa dalam hati agar aku memiliki kekuatan untuk menghadapi hal-hal yang mungkin akan terjadi nantinya.
"Kau menang!"
Aku berbalik cepat dan mendapati Jeffry yang berdiri bersandar ditembok dengan tangan terlipat didada. Aku hanya tersenyum sekilas lalu kembali pada masakanku yang hampir selesai.
"Aku bikin sandwich ma omellet," kataku dengan nada yang untungnya terdengar biasa, malah cukup riang. "Oh ya, susumu hampir habis. Jadi udah waktunya buat belanja."
"Kau bodoh atau apa sih?" tegur Jeffry dengan tajam. "Tidak bisakah kau bereaksi normal seperti manusia lainnya?"
"Kenapa bukan kamu yang bereaksi normal seperti yang lain?" balasku dengan senyum tipis. Aku berjalan ke meja makan untuk meletakkan masakanku yang telah siap. Kulewati dia seraya menampilkan senyum terbaikku.
"Aku sudah bersikap normal."
Aku berpaling pada Jeffry dan menatapnya. "Kau sebut normal membiarkan tubuhmu dinikmati oleh siapa saja? Normal bercinta dengan siapapun yang bahkan tak kau sukai hanya untuk pelampiasan? Atau bercinta dengan lebih satu orang, itu normal?" 
"Normal bagiku," jawab Jeffry santai.
Aku mendekat pada Jeffry, melangkah dengan tenang. Tangan kananku terangkat membelai sisi wajahnya. Terasa kasar karena cambang dan janggut yang baru tumbuh. "Entah berapa banyak kebencian yang kau miliki disini," kataku pelan dan meletakkan tanganku  pada dada telanjangnya yang hangat, "Tapi percayalah, masih ada orang yang bisa benar-benar menyayangimu."
Tak ada jawaban dari Jeffry.
Kembali aku menampilkan senyum terbaikku padanya. "Aku pulang dulu ya? Hari ini aku ada pemotretan!" kataku lagi dan segera meninggalkannya. "Dan ingat, aku sudah resmi jadi stalkermu. Jadi nanti, kau harus mau mengangkat teleponku," godaku dan mengedipkan sebelah mata.

Malam itu saat kutelepon, Jeffry mengatakan kalau dia ada disebuah club dikawasan Jakarta Barat. Sebenarnya aku males kalau harus pergi ke tempat semacam itu. Tapi, kali ini mau tak mau aku harus kesana. Aku langsung bisa melihat mobil Jeffry yang terparkir begitu aku tiba. Kebetulan sekali, spot disebelah mobilnya kosong. Jadi aku langsung parkir disana.
Aku sudah hendak keluar dari mobil saat kulihat beberapa orang yang melangkah dari arah  club itu dengan langkah sempoyongan. Mabuk.
Aku bukan orang suci yang tanpa noda, tapi nggak tahu kenapa, aku paling nggak suka melihat orang mabuk. Aku paling jijik dengan bau minuman keras. Karena itu akhirnya aku batal untuk menyusul Jeffry kedalam dan lebih memilih untuk menunggunya disini.
3 jam berlalu. Jam telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Akupun sudah hampir memutuskan untuk pulang, namun batal saat kulihat Jeffry yang keluar dari club itu. Tampak teler berat. Aku segera keluar dari mobil dan mendekatinya. Tapi Jeffry tak melihatku. Dia terus melangkah melewatiku dengan langkah terhuyung menuju mobilnya. Tangannya merogoh saku untuk mengambil kunci. Tapi kunci itu terjatuh saat dia mencoba membuka pintu mobil.
Aku menggelengkan kepala melihatnya begitu dan mendekatinya. "Kau mabuk berat," tegurku.
Jeffry yang sudah mengambil kembali kunci mobilnya yang terjatuh melihatku. Dia mendengus keras saat tahu siapa yang menegurnya. "Hebat! Kau memang pintar! Kau bisa tahu padahal aku tak mengatakan apapun," gerutunya acuh.
"Jeff!"
"PERGI!!!" bentaknya kasar dan mendorongku. "TEMUKAN PEKERJAAN YANG LEBIH BERGUNA SELAIN MEMBUNTUTIKU OK?!!"
Aku menghela nafas dan segera merebut kunci mobilnya. "Kau mabuk berat. Kalau kau membawa mobil dalam keadaan begini, kau bisa kecelakaan. Mau mati?!" tukasku pelan dan meraih tangannya. Kubimbing dia untuk menuju kursi penumpang. Tak ada perlawanan dari Jeffry. Sepertinya dia benar-benar mabuk.
"Kau orang aneh!" gerutu Jeffry lagi saat dia kududukkan di kursi.
"Aku tahu!" sahutku singkat dan langsung menutup pintu setelah memasang seat belt untuknya lalu segera ketempat kemudi. Aku memang aneh karena bisa menyukai orang sinting sepertimu, pikirku. Aku harus mengantarnya pulang. Aku bisa mengambil mobilku nanti. Yang penting Jeffry sampai dulu dirumah.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan huh?" tanya Jeffry sedikit tak jelas. Dia menelengkan kepalanya yang bersandar dikursi. Melihatku yang berada di kursi pengemudi.
"Kamu!" jawabku singkat sambil meliriknya singkat. Jalanan ibukota memang telah lumayan sepi. Tapi aku tetap saja harus berhati-hati.
Jeffry kembali mendengus sinis. "Bukankah itu yang diinginkan semua orang?"
"Tidak semua kok!" tukasku.
"Yeah right!" cibirnya. "Kau contohnya. We've fucked! Tapi tetap kau menginginkanku. Untuk apa? Menjadi suamimu? Nggak kan? Kau hanya ingin kita melakukannya lagi. Sex!"
"Aku ingin lebih dari sekedar teman tidur Jeff!" tegasku lagi.
"Oh please, shut your mouth!! Katakan itu pada orang lain yang  tak melihat sendiri bagaimana bola matamu melotot melihat tubuh telanjangku!" sentak Jeffry jengkel.
"Well. . . you're hot! Apa lagi yang bisa aku lakukan?" selorohku bercanda.
Jeffry tersenyum sinis. "And yet you said you didn't want my body!" ujarnya menusuk. Aku hanya diam karena tahu kalau percuma saja aku mendebatnya dalam keadaannya sekarang. Toh dia tak akan mengingatnya besok.

Aku memapah Jeffry untuk masuk kedalam rumahnya. Tapi yang mengejutkanku, saat kami berada didalam, Jeffry meraih tanganku dan menarikku. Ia menyeretku dengan langkah limbung kekamarnya. Disana dia mendorongku dengan kasar ke tempat tidur dan langsung menjatuhkan dirinya keatasku.
"Ini yang kau inginkan bukan?" desisnya dan menciumku dengan bibirnya yang berbau minuman keras. Aku sontan menahan nafas dan mengatupkan bibirku. Tapi Jeffry terus mencumbuku dan menggumamkan kalimat yang sama. Bahwa ini yang aku inginkan.
Aku mencoba mendorongnya, tapi dia benar-benar seperti orang yang kesetanan. Tangannya segera bergerak membuka bajuku. Lalu beralih ke celananya. Dan tepat ketika dia berusaha melepas celananya aku mendapat sedikit kesempatan. Aku segera menahan tangannya.
"Aku tak pernah ingin bercumbu denganmu dalam keadaan mabuk begini. Yang kuinginkan adalah bercinta dengan orang yang aku cintai," kataku cepat.
Ajaibnya, kalimat itu sontan membuat tubuh Jeffry mengejang kaku. Dia menatapku kaget tanpa mengatakan apapun. Aku hanya tersenyum padanya. Perlahan aku mendorong agar dia mengangkat tubuhnya dariku. Jeffry jatuh berguling pelan kesebelahku. Akupun terbebas dari tindihannya dan bangkit.
"Kamu tidur saja ok?" kataku lembut lalu membetulkan posisi kepalanya pada bantal. Kulepas bajunya yang amburadul, sepatu dan celananya yang separuh terbuka. Kuselimuti dia hingga ke dagunya. Anehnya, Jeffry hanya diam saja dengan tatapan kosong.
Dia seolah-olah tak sadar dan berada didunia lain. Aku hanya menatapnya dengan sayang lalu duduk dipinggir pembaringan, tepat disebelahnya.  Kenapa kau harus merusak dirimu sendiri? Kenapa kau tak menyayangi dirimu sendiri? Mengapa kau membiarkan tubuhmu dijadikan pemuas nafsu orang lain sementara kau tak mendapatkan apapun darinya? Mengapa kau tak menghargai diri dan tubuhmu sendiri? Mengapa kau begitu marah pada semua  yang ada disekelilingmu? Berbagai tanya berkecamuk dalam hatiku. Sungguh sangat disayangkan kalau seseorang dengan potensi seperti Jeffry menyia-nyiakan semua kelebihannya dan hanya menjadi pemuas syahwat banyak orang. Hatiku bisa merasakan ironinya sehingga aku jadi begitu iba melihatnya yang kini sedikit meringkuk seperti anak kecil yang ketakutan.
Aku mengusap lembut rambutnya. "Tidurlah dengan tenang," bisikku pelan dan mencium keningnya. Akupun bangkit untuk mematikan lampu lalu keluar. Aku harus mengambil mobilku, pikirku. Ingat akan apa yang belum aku bereskan

Aku tak pulang kerumah dan tidur dikamar tamu Jeffry sesudah mengambil mobilku di club. Dan pagi harinya, aku membuatkan Jeffry sarapan. Karena tahu dia tak akan sanggup turun, aku membawa makanannya kekamar. Aku tersenyum saat kulihat dia telah bangun, meski dia masih tiduran dikasur.
"Morning! Breakfast's ready!" sapaku riang. "How do you feel?" tanyaku sembari meletakkan baki makananku disebelah lampu kamar.
Tak ada sahutan dari Jeffry. Dia hanya diam dan melihatku dengan tatapan datar. Aku hanya tersenyum karenanya dan duduk disebelahnya, lalu kuletakkan telapakku didahinya, memeriksa.
"Normal kok suhunya. Mungkin kamu masih sakit kepala karena minuman semalam.  Minum dulu kopi pahit ini. Cocok untuk hangover mu," kataku dan membetulkan posisi Jeffry. Kuangkat sedikit bagian atas tubuhnya, dan kutumpuk bantal untuk menjaga agar posisinya jadi setengah duduk. Lalu kuambil cangkir kopi dan ku sorongkan ke bibirnya.
Jeffry meminumnya tanpa protes. Sedikit mengernyit karena rasa pahitnya sehingga aku jadi tergelak kecil.
"I know. Tapi ini bagus agar sakit dikepalamu itu hilang," kataku. Aku mengusap sedikit kopi yang menetes di dagunya dengan jempolku. "Mau mandi dulu? Biar segar," tawarku.
Kembali tak ada jawaban. Aku mencoba menariknya untuk bangkit. Tak ada perlawanan. Dia mengikutiku. Patuh seperti anak kecil yang berada dalam bimbingan orang tuanya. Sampai dikamar mandi aku melucuti boxernya lalu membawanya kebawah shower. Kumandikan dia seperti anak kecil. Kusabuni dan kugosok bersih. Rambutnya ku keramasi. Sekalian aku juga mencukur wajahnya. Tubuhku sendiri jadi separuh basah karenanya.
Dan tak ada sedikitpun protes. Dia hanya diam membiarkan aku melakukan apapun padanya. Dia menatapku dengan pandangan datar dan mengamati.
Selesai aku pun mengeringkan tubuhnya dengan handuk besar dan menuntunnya kembali. Kududukan dia di pinggir ranjang. Aku mencari pakaian ganti untuknya di lemari dan menemukan sebuah t-shirt hangat dan celana pendek berwarna putih.
Aku kembali mendekat pada Jeffry. Kupasang celana pendek itu setelah memasang celana dalamnya. Tapi saat aku hendak memasangkan t-shirt, Jeffry meraih tanganku. Aku yang jadi sedikit kaget dengan tindakannya sontan berhenti. Urung memasukkan kerah t-shirt itu ke kepalanya.
"Ap. . ."
Dia telah menciumku.
Ciumannya berbeda. Bukan ciuman terburu-buru dengan nafsu yang menuntut untuk dipuaskan seperti dulu. Ciumannya lembut dan dalam. Bibirnya mengulum bibirku dengan gerakan pelan. Tubuhku merinding bersama dengan tiap hisapannya yang halus. Tangannya yang meraba belakang kepalaku pun terasa sangat perlahan hingga nyaris tak terasa.   
Ketika dia melepaskanku, aku baru sadar kalau aku menahan napas sedari tadi. Dan dengan ciumannya yang cukup mengguncangku tadi, aku tahu. Aku tahu kalau dia telah memahamiku. Dia telah mengerti keinginanku. Dia tahu. . . , perasaanku.
Aku menyunggingkan senyum termanisku untuknya. Tanganku terangkat untuk mengusap lembut sisi wajahnya. Kuusapkan jempolku dengan lembut dipermukaan bibirnya yang basah dan kemerahan. "Terimakasih," bisikku lirih.
Jeffry telah meraihku kedalam dekapannya. Dia memelukku erat. Menempelkan kepalaku ke dadanya. Dan akupun menenggelamkan diriku dalam rengkuhan lengannya yang kuat. Ke dalam pelukannya yang begitu nyaman, hangat dan menenangkan. Berbeda sekali dengan pelukan saat kami berhubungan badan yang terasa dingin dan berbalut nafsu saja. Kuhirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang segar. Memenuhi rongga dadaku dengan harumnya. Kutempelkan telapakku tepat dimana jantungnya berdetak. Dia mengerti, batinku.
Dan dengan itu, pipiku pun basah!

XXII

Beberapa orang bijak mengatakan bahwa hal terhebat yang akan kita pelajari adalah saat kita mencintai seseorang, dan orang itu juga mencintai kita. Itulah puncak hubungan tertinggi yang ada antara dua orang manusia. Well, diluar hubungan kita dengan keluarga atau ibu kita tentunya.
Dan aku setuju.
Kebahagiaan yang kita rasakan saat kita bisa mencintai seseorang dan mendapatkan balasan yag sama, benar-benar pengalaman yang menakjubkan. Hampir setiap hari, selalu ada hal yang menyenangkan hanya dengan mengingat sosok yang kita cintai. Apa lagi saat kita bertemu dan menyentuhnya. Hari-hari terasa begitu ringan dan fun. Bahkan saat kita mengalami hari yang berat dalam bekerja. Hanya dengan sebuah telepon,sms atau melihatnya, semua yang ada disekeliling kita menjadi terasa lebih menyenangkan. Aku banyak mendapatkan gambaran betapa indahnya saat bersama dengan belahan hati kita dari buku-buku yang kubeli. Buku-buku yang kugunakan dalam mencari trik bagaimana menaklukkan Jeffry. Meski tak ada satupun cara yang disebutkan dalam buku itu berhasil, aku menyukai ilustrasi indah yang mereka gambarkan. Aku ingin memiliki semua itu bersama dengan Jeffry.
Tapi tidak dalam situasi seperti sekarang ini. Jeffry masih tergolek dikamarnya, hasil dari pesta minum semalam. Jadi kuputuskan untuk beres-beres rumahnya.Tapi sialnya, siang itu, tanpa sengaja aku tertidur diruang tamu Jeffry. Sedikit kelelahan karena kemarin aku bekerja seharian, malam menjemput Jeffry di club, pulang dengan mobilnya, lalu kembali lagi ke club untuk mengambil mobilku. Saat ini aku baru merasakan lelahnya. Dan tanpa sengaja, aku tertidur disova.
Ketika aku terbangun, tubuhku telah diselimuti dan Jeffry duduk diam didepanku. Seolah-olah memang sengaja menungguiku. Saat tahu aku bangun, dia hanya memandangku dengan tatapan hangatnya.
"Hei. . . . ," sapaku dengan suara sedikit serak. "Sudah bangun? Enakan?" tanyaku. Tapi Jeffry tak menjawab. Saat kulihat keluar jendela kacanya, lampu-lampu malam telah dinyalakan. Sepertinya cukup lama juga aku terlelap. Aku bangkit duduk dan mengusap mataku yang masih terasa berat. "Maaf, aku tertidur. Jam berap. . . ," kalimatku terputus.
Aku yang sudah hendak bangkit jadi urung saat tahu-tahu Jeffry telah membaringkan dirinya di sova dan menggunakan pahaku sebagai bantal.
"Kenapa? Masih pusing?" tanyaku pelan dan meraba dahinya. Tapi Jeffry meraih tanganku lalu mendekapnya didadanya. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya, karena Jeffry berbaring miring.
"Seharusnya kau pergi dariku," bisiknya.
Aku tak langsung menjawab, dan menghela nafas panjang. "Terlambat," jawabku pelan dan menggunakan tanganku yang lain untuk mengusap rambutnya. "Aku sudah memutuskan untuk bersamamu."
"Aku pernah menjadi piaraan seorang designer untuk bisa survive disini."
"Aku tak perduli."
"Aku juga tidur dengan banyak orang!"
"Aku melihatnya sendiri," sahutku ringan.
"Tapi kau masih menginginkanku?" tanyanya lirih.
Kembali aku mengusap kepalanya lembut. "Yah! Aku masih menginginkanmu," jawabku dengan yakin.
Tak ada sahutan dari Jeffry. Namun sesaat kemudian, bahunya berguncang. Dan dia semakin erat memegang tanganku yang dipeluknya. Aku yang menyadari kalau dia menangis langsung mendekap kepalanya dengan erat dan berbisik pelan untuk menenangkannya.

Kami berbicara banyak malam itu. Jeffry menceritakan semua hal yang ingin ku ketahui tentangnya. Masa lalunya, kehidupan pahit yang ia rasakan saat harus menumpang dirumah saudaranya. Saat dimana dia diperlakukan nyaris seperti pembantu. Satu-satunya saat dimana dia merasa bebas adalah saat dia berada disekolah. Dirumah dia selalu bekerja dan bekerja. Selain mengerjakan pekerjaan rumah, Jeffry juga harus ikut membantu usaha mereka. Jeffry yang sering pindah-pindah, tergantung pada saudara mana yang mau menampungnya, sudah pernah menjajal berbagai macam profesi. Penjaga warung makan, kuli toko, sales makanan sampai tukang loak. Selama dia ikut salah seorang dari mereka, dia selalu ikut membantu usaha mereka dalam mencari nafkah.
Mulanya dia tidak berkeberatan, karena Jeffry sadar dia hanyalah menumpang. Sebisa mungkin dia tak ingin dia menjadi beban berat. Dia berusaha untuk memberikan sedikit sumbangan yang dia mampu untuk membantu mereka. Sayangnya, hampir keseluruhan saudaranya itu tidak bisa menghargai usahanya. Kebanyakan dari mereka justru memerah habis tenaganya. Selesai membantu usaha mereka, Jeffry masih harus mengerjakan pekerjaan rumah lainnya seperti membersihkan rumah, mencuci atau memasak. Nyaris tak ada waktu baginya untuk beristirahat.
"Kenapa kau tak pergi dan hidup sendiri saja?" tanyaku.
"Dan tidur dimana? Dibawah jembatan?" tanya Jeffry balik. Aku terdiam tak bisa menjawab. Jeffry yang berbaring telentang berbantal pahaku hanya tersenyum melihatku. "Aku tak punya rumah Maz. Orang tuaku tak meninggalkanku apa-apa. Mulanya aku tak menyadari keironisan kehidupanku sampai aku menginjak remaja. Waktu itu aku mulai sadar kalau aku banyak kehilangan waktuku sebagai anak. Aku tak bisa bermain seperti teman-temanku. Aku bahkan tak pernah sekalipun ikut belajar kelompok. Aku tak bisa memiliki waktu bebas seperti mereka. Aku harus bekerja sepanjang waktu. Ngeceng, hang out bareng teman, atau pacaran jadi hal yang aneh bagiku. Aku tumbuh menjadi anak yang minder karenanya.
Aku begitu ingin merasakan hal normal itu. Tapi aku tak pernah bisa. Sampai suatu saat, primadona sekolahku waktu SMA menembakku."
"Primadona sekolah?" tanyaku balik dengan kening berkernyit heran.
"Yeah! Cewek paling cakep dan tajir disekolahku memintaku untuk jadi pacarnya. Saat itu keinginanku untuk ikut merasakan apa yang teman-temanku rasakan hampir-hampir tak terbendung. Jadi kami kencan. Dia membawaku jalan-jalan dengan mobilnya. Kami nonton, pergi makan dan pergi ke sebuah studio foto. Disana dia mengambil fotoku dalam berbagai pose. Kukira itu hal wajar. Kukira itulah hal yang dilakukan oleh orang yang pacaran."
"Jadi dia temanmu yang mengirimkan fotomu ke majalah?"
Jeffry mengangguk untuk menjawabku.
"Apa yang kau katakan pada saudaramu?"
"Bahwa aku mendapat tugas dari kepala sekolahku untuk ikut sebuah lomba. Tapi kebohongan itu terbongkar hari itu juga. Karena aku bertemu dengan bibiku yang sedang belanja di mall itu. Disana, didepan orang ramai dan cewek itu, dia memakiku habis-habisan. Mengucapkan segala macam sumpah serapah yang mungkin hanya kau dengar dari mulut seorang sopir truk," kenang Jeffry dengan dahi berkernyit, seakan-akan mengingat hal itu seperti menelan sebuah pil pahit.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku lirih.
"Diam!" jawabnya pelan. "Diam dan menerima saja telah dipermalukan seperti itu. Karena aku tak punya pilihan. Saat itu juga, pacarku itu tahu, kehidupan seperti apa yang aku miliki."
"Lalu?"
"Aku diseret pergi oleh bibiku. Kembali dimaki dirumah, dan beberapa kali mendapat tamparan dari pamanku," jawab Jeffry lugas. Aku hanya mampu mengeluarkan suara terkesiap dan tanpa sadar tanganku mengusap pipinya.
"Mereka mampu melakukan itu?" desisku jijik.
"Dan juga hal lain yang mungkin lebih parah. Meludahiku, menyiramku dengan air kotor, atau menyuruhku tidur diluar rumah sebagai hukuman!" lanjut Jeffry dengan nada enteng. Aku hanya mampu diam dan menatapnya ngeri.
"Tak mungkin ada saudara yang mampu melakukan hal seperti itu," gumamku tak percaya.
Jeffry hanya tertawa getir. "Welcome to my world!" katanya sedikit sinis.
"Apa yang terjadi setelahnya?" kataku mengalihkan perhatian, mencoba menepis bayangan Jeffry yang harus tidur diluar rumah. Meringkuk kedinginan.
"Aku tak mampu mengangkat muka saat kembali bertemu cewek itu. Tapi dia meyakinkanku kalau antara kami masih tetap sama dan baik-baik saja. Dia janji tak akan mengatakan insiden kemarin pada siapapun Hingga hampir sebulan kemudian, dia memberikanku majalah itu. Majalah yang memuat daftar finalis pemilihan model. Dia juga yang membantuku mengurus tetek bengek lainnya. Menyiapkan baju, mengurus ijin dari sekolah, sampai membelikanku tiket dan memberiku uang saku. Waktu itu, aku hanya melihat bahwa itu adalah kesempatanku untuk pergi dari rumah pamanku."
"Kau. . . tidak ijin pada mereka?"
"Tentu saja ijin. Pada akhirnya mereka hanya mengomel dan dengan jelas mengatakan kalau mereka tak akan mau untuk mengurusi keperluanku. Untunglah pacarku cukup berada. Jadi aku berangkat dan mulai meniti karir disini."
"Saudaramu tak pernah datang mencarimu?"
"Aku yang datang kesana. Karena aku harus mengurus segala keperluan untuk pindah. Mengurus surat-surat disekolah dan yang lainnya. Aku memberikan sebagian uang hadiahku pada mereka."
"Apa yang mereka katakan?" tanyaku penasaran.
"Banyak. Tapi intinya adalah aku berhutang banyak pada mereka dan punya kewajiban untuk membantu mereka," jawab Jeffry.
"Dan apa yang kau katakan?"
"Bahwa mereka brengsek dan tak tahu diri. Dan aku tak mau lagi berurusan dengan mereka," jawabnya enteng. "Bahwa aku tak mau lagi mereka perlakukan sepeti sampah. Dan kalau sampai mereka mencari masalah, aku akan bongkar kebusukan mereka. Karena banyak saksi mata yang pernah melihat langsung, bagaimana mereka memperlakukanku."
Aku diam sesaat untuk mencernanya. Aku bisa merasakan emosi Jeffry. "Dan cewek itu. . . . ?"
"Aku ganti semua yang pernah ia berikan padaku dan memutuskannya. Sampai sekarang, aku selalu meneleponnya saat dia ulang tahun dan mengiriminya hadiah. Karena bagaimanapun, aku berhutang kebebasanku padanya," kata Jeffry.
Aku tersenyum. "Kalau begitu aku benar. Ada kebaikan dalam dirimu yang masih tersimpan," kataku pelan dan kembali mengusap pipinya.
Jeffry menatapku. Diraihnya tanganku dan digemggamnya erat. "Apa yang membuatmu begitu yakin padaku?"
Aku hanya menggelengkan kepala. "Aku sama sekali tak tahu. Aku hanya yakin. Itu saja. Sama dengan saat aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa aku bisa menyukaimu. Aku tak bisa menemukan satu jawaban yang tepat. I'm just. . . simply in love with you!" kataku pelan.
Jeffry tak mengatakan apapun. Dia hanya mengangkat tubuhnya dan menciumku lembut.
"Menurutku itu adalah sebuah jawaban," bisiknya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar