Translate

Rabu, 26 Juni 2013

NINO'S BLUE VALENTINE


"Ini gimana No? Bagus gak?" tanya Gana seraya menunjukkan boneka beruang biru yg dipegangnya. Ada tulisan MISS YOU yg dibordir pada sebuah bantal kecil dan dijahitkan kedada boneka itu. Sebuah boneka dengan warna biru lembut berhias sebuah bantal berbentuk hati berwarna merah muda. Imut sekali.
Untuk sesaat Nino tak menjawab. Dia hanya melihat boneka itu dan menarik nafas kesal. "Kenapa lo ga nyari yang pink aja? Valentine kan identik sama pink. Tuh, banyak yang bagus," tunjuknya kedepan dengan dagu, kearah rak yang berisi tumpukan full boneka beruang berwarna pink.
"Dia ga suka warna pink. Sukanya biru!" sahut Gana lagi.
Nino kembali diam dan mengambil boneka tadi dari tangan Gana. Lembut dan empuk. Pasti enak kalo dijadiin bantal, pikirnya. Nino membalik labelnya dan langsung dibuat tercekat hebat melihat harganya. Rp.300.000,-. Tiga ratus ribu buat boneka sekecil ini?!! Cepat dilemparnya boneka tadi kearah Gana. "Jelek! Mending lo cari lainnya aja," komennya ketus.
"Lo ga nyadar kalo dari tadi kita udah ngubek-ngubek semua semua toko boneka di plaza ini, en gak ada yang lebih bagus dari ini?!"
"Siapa bilang? Tadi banyak yang bagus kok. Lo nya aja yang rese!" gerutunya kesel.
"Tapi gak ada yang warnanya biru kaya ini kan? Aku ambil yang ini!"
"JANGAN!!" seru Nino spontan membuat Gana kaget.
"Lo kok jadi agak-agak histeris gini sih? Kenapa? Gua perhatiin dari tadi lo aneh banget!" gerundeng Gana dan meletakkan telapak kanannya didahi Nino. Nino menampiknya dengan kesal. "Suhu lo normal kok."
"Gua kesel ma elo!" bentaknya judes.
Gana bengong gak ngerti. "Okay!! Jadi ini gara-gara gue. Bisa jelasin kenapa? Gua gak ngerasa salah lho!"
Nino mendengus keras dan melangkah pergi. Gana cepat-cepat mengikutinya. "Lo udah ngitung berapa duit yang lo abisin cuma buat ngerayain valentine bareng bokin lo?"
"Eehhmmmm. . .  ," Gana mengerutkan keningnya, berpikir. "Sekitar. . . , ah cuma dua jutaan kok!" jawabnya enteng.
Nino mendelik berang. "Tadi elo udah beli cincin emas seharga lebih dari 2 juta. Sekarang lo mau beli boneka konyol beruang itu yang harganya 300 ribu, dan lo bilang CUMA?!!"
Kata terakhir itu diucapkan -lebih tepatnya diteriakkan- oleh Nino dengan nada super marah. Beberapa orang yang berada disekitar mereka langsung menoleh.
Gana celingukan salah tingkah. Nino sebenernya malu. 2 orang cowok berantem di sebuah toko boneka sementara 1 nya memegang sebuah boneka beruang bukan pemandangan yang lazim. Tapi kalo brenti sekarang nanggung banget. Sekalian aja.
"Lo pikir duit jatoh begitu aja dari pohon?! Inget Ga, bukan elo yang nyari duit itu! Lo cuma mahasiswa di Jakarta ini. Ortu lo yang ada di Kalimantan sana yang banting tulang nyarinya. Sementara lo disini enteng aja buang duit 2 juta lebih cuman buat pacar. IQ lo berapa sih?"
Gana garuk garuk kepala sambil nyengir kuda. Gini nih kalo Nino marah. Serem! Selama satu tahun mereka berteman, hanya beberapa kali Nino marah besar kaya gini ke dia. Dan itu pasti berarti kalo Gana udah keterlaluan. Karena pada keadaan normal, Nino adalah teman yang ceria, menyenangkan dan perhatian. Tapi kalo lagi marah. . . , gawat!
"Tapi sebagian besar uang itu kan uang tabungan gue kok No," elak Gana.
"Oh ya?! Lalu darimana asal uang tabungan lo itu? Undian? Atau ada orang yang dengan baik hati transfer ke rekening lo?"
Kembali Gana cuman menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yaaa. . , enggak sih! Gue cuman pengen buat Nevi seneng kok No! Gua mau dia ngerasa seneng di hari Valentine's day taon ini."
"Gana, dia cuman pacar! Lo gak perlu kasih dia cincin. Itu lebih mirip kalo lo mau ngelamar dia, bego!" gerutu Nino lagi.
"Ya biarin! Syukur-syukur kalo dia mau?"
"KALIAN BARU JALAN 2 BULAN GANAAA!!"
"Lho? Emang kenapa? Gue bener-bener sayang dia!"
Nino tak tahu harus berkomentar apa lagi. Cepat dia berbalik dan pergi meninggalkan Gana yang berteriak memanggilnya.

Nino kesal!
Dia marah pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia bersikap kekanakan seperti tadi?! Harusnya dia bisa lebih baik dari itu. Tapi ternyata tidak. Dia mengacaukan semuanya. Padahal dia begitu menyayangi Gana. Biasanya dia pintar menjaga sikap dan berpikir rasional. Tapi semua itu hilang saat dia harus menghadapi Gana.
Kalau saja dia tidak jatuh cinta pada temannya yang satu itu! Mungkin semuanya akan lebih mudah! Atau kalau saja Gana juga gay, seperti dirinya. Semuanya akan jauuuuuuuhh lebih mudah. Tapi dia straight, dan dia temannya. Teman yang selama ini tidak tahu bahwa dia gay, dan dia jatuh hati padanya. Nino sendiri baru menyadari perasaannya setelah semua terlambat.
Andai saja dia bisa memutar balik waktu, mungkin dia akan melakukan semuanya dengan cara yang berbeda.

Perkenalan mereka diawali saat Nino salah mengirim sms. Waktu itu dia bermaksud untuk memberitahu Rina, salah satu teman kampusnya, bahwa besok ada paper yang harus dikumpulkan. Sialnya, Rina merupakan tipe-tipe Miss Ring Ring yang hobi banget gonta ganti nomor. Dia ganti nomor lebih sering daripada Paris Hilton ganti celana dalamnya. Bener-bener mafia kartu telepon deh! Karena itu Nino lebih sering menghapal nomornya daripada memasukkannya kedalam memori hp nya. Ngabisin memori doang kalo nyimpen semua nomor Rina.
Waktu itu, sms yang seharusnya diterima oleh Rina, justru nyasar ke hp Gana karena 2 digit nomor terakhirnya terbalik. Nino baru jelas heran saat mendapat balasan dari nomor yang dipikirnya milik Rina.

U siapa?
Kurang kerjaan ya?
Mo mnta kenalan?
ju2r aja!
from:08xxxxx

Mata Nino langsung nyureng membaca barisan kata-kata tadi. Dasar cewek sinting! gerutunya dalam hati dan langsung membalasnya.

Ini gua Nino, kutil!!
To:08xxxx sent

Balasannya :
Gue bukan kutil.
Nama gue Gana!
Lo Nino anak mana?
Salah 1 fans gw y?
From:08xxx

To: 08xxx
Rina, ga usah rese deh!
Paper itu harus dikumpulin besok!
message:sent

Maaf,skali lg, gw bukan Rina/kutil
Nama gw Gana.
Ngaku aja deh kalo mau kenalan.
Udah biasa lg!
From:08xxx

Nino langsung membunuh hp nya setelah membaca sms itu. Dasar narsis gebleg!!
Dan ternyata benar!
Keesokan harinya, saat dia bertanya pada Rina, cewek itu menegaskan kalau dia sudah salah pada 2 digit nomor terakhir. Malah sekarang dia sudah ganti nomor lagi. Jelas Nino misuh-misuh mendengarnya. Namun terus terang, dia malah jadi penasaran dengan sosok Gana.
To:08xxx
Eh Gan, sorry.
Kmrn gw salah kirim.
gw pikir lo Rina temen gw.
Gw salah ma 2 nomor trkhr.
Kebalik!
SENT

From:08xxx
Lho? Masih gak mau ngaku jg?
Udah dibilang jujur aja.
Ngomong aja lngsng kalo mo kenalan
Udah biasa kalee

To: 08xxx
Rese!
Sok kecakepan bngt sih lo!
SENT

From:08xxx
Lho?
Emang cakep kok!
Mo bilang apa lg?
Udah dari sononya!

To:08xxx
Idih! Narsis!!!
Ga pernah ada yg blng kalo lo kurang waras?!

From;08xxx
Ga ada tuh!
Malah ada bbrp cowo yg blng gw kurang jelek!
Abis mrk kalah cakep trs!
Gmn hayoh?!!!

Nino ngakak membacanya. Kayaknya dia asyik nih buat sparing partner! pikirnya. Dan semenjak itu, mereka selalu saling kirim sms. Budget pulsanya memang membengkak. Terkadang mereka saling ngobrol dan asyik bercerita hingga lupa waktu. Gana bilang, dia adalah salah satu teman pertamanya. Gana berasal dari Kalimantan dan tidak kenal siapapun di Jakarta ini. Keputusannya merantau ke Jakarta sendiri sempat ditentang oleh orang tuanya. Tapi dia nekat. Karena itu, dia senang sekali berteman dengan Nino.
Hingga kemudian Gana ngajak ketemuan.
Mulanya Nino ragu kalau itu ide yang bagus. Dia sudah merasa cukup asyik dengan hubungan mereka sekarang. Dia gak mau kalau penilaiannya pada Gana akan berubah kalau mereka sampai bertemu. Lebih gawat lagi, kalau nanti hal itu disebabkan oleh faktor fisik. Bukannya mau sok pilih-pilih teman, tapi pasti akan muncul rasa segan untuk menghubungi lagi kalo misalnya ia mendapati Gana adalah Oom-Oom jelek, item, buntek plus tonggos. Kan gak asyik kalo dia sms an ma orang kaya gitu!
Tapi Gana memaksa!!
Karena tak bisa lagi menemukan alasan untuk ngeles, Nino akhirnya menyetujuinya. Meski dengan setengah hati. Dia sudah pasrah, kalo nanti hubungan mereka bakalan bubar. Habis mau gimana lagi?
Merekapun janjian untuk ketemu di sebuah restoran fastfood yang ada di salah satu plaza terkenal.
Gana bilang kalo malam itu, dia bakal pake kemeja warna merah. Nino sudah langsung agak ilfil mendengar pilihan warnanya.
Aduuhh!!!
Sepanjang yang dia tahu, hanya segelintir orang, apalagi cowok, yang pantes pake warna itu. Gak sembarang orang bisa cocok.
Kayaknya gue bakalan bener-bener bubar temenan nih! pikirnya.
Dan malam itu, dia bener-bener dibuat shock.
Dia masuk ke restoran fastfood itu, dan celingukan mencari sosok Gana. Ada dua orang disana yang memakai kemeja warna merah. Dan keduanya bener-bener beda jauh!
Yang satu adalah seorang cowok yang -ampun deh!!!- cakep banget! Baju merah yang dipakainya begitu pas dengan kulitnya yang putih bersih. Wajahnya pun mulus, dengan rona kebiruan diatas bibir, dagu dan sisi wajahnya. Anehnya, dengan semua atribut machonya itu, wajahnya justru memancarkan kesan polos, lugu dan hampir-hampir kekanakan. Perpaduan yang unik dan menawan. Sayangnya, Nino melihat dihadapannya ada 2 buah nampan meski kursi didepannya kosong. Itu berarti cowok itu sudah bersama temannya yang sekarang gak jelas pergi kemana. Kesimpulannya, dia bukan Gana.
Dan seorang lagi. . .
Dia hampir jatuh pingsan!
Ada seorang Oom-Oom dengan kepala agak botak, perut yang menonjol dan sedang makan dengan rakusnya. Dia duduk sendirian. Mencaplok makanannya dengan lahap.
Ya Tuhan!! Hanya dua orang ini yang memakai kemeja merah. Kalau cowok keren itu sudah bersama temannya, berarti dia bukan Gana. Artinya. . .
TIDAAAAAAAAKKKK!!!!!
Nino sudah akan berbalik untuk pergi saat cowok dengan muka innocent itu bangkit dan melambaikan tangannya. Nino bengong, sembari celingukan kesamping kiri kanannya. Semua orang duduk!
Aku?! tunjuk Nino dengan bahasa isyarat pada dirinya sendiri. Cowok itu mengangguk. Gak salah nih?! pikir Nino ragu, meski tak urung dia mendekat.
Cowok itu tersenyum dan mengulurkan tangannya setelah mereka berhadapan.
"Nino? Aku Gana!" katanya memperkenalkan diri sembari memamerkan barisan gigi putihnya yang rapi dan bersih.
Untuk sesaat Nino bengong. "Kau Gana? Lalu. . . ,"
Nino cuma mampu menoleh pada nampan lain yang ada dihadapan nampan milik Gana. Hidangannya masih utuh, tak tersentuh.
"Aku sendiri. Aku membelinya untukmu. Jadi kita bisa ngobrol sambil makan. Tadi. . . , aku laper!" jelas Gana dan nyengir agak malu.
Untuk sesaat Nino cuma mampu diam, lalu menghela nafas lega. "Ya Tuhaaann!! Syukurlah," ia menjatuhkan dirinya di kursi untuk kemudian tertawa kecil.
"Kenapa?" tanya Gana heran dan ikutan duduk.
"Gua kira Oom-Oom yg disana itu elo!" cetus Nino dan menuding ke arah kanan. Gana cuma tertawa.

Itu awal dari kedekatan mereka.
Nino benar-benar menyukai Gana. Bukan hanya karena fisik Gana yang menarik, tapi karena cowok itu benar-benar menyenangkan. Nino lebih menyukai persahabatan, karena meski dia gay, Nino masih belum come out pada siapapun. Selama ini, dia merahasiakan kecenderungan yang dimilikinya dari orang lain. Bukan hanya karena dia malu, tapi lingkungannya masih menganggap gay sebagai cacat. Dan Nino tak mau dipandang atau diperlakukan sebagai makhluk aneh.
Bukan hal yang mudah bagi Nino untuk membaur. Terkadang dia harus menjadi orang lain dan bersikap sepenuhnya seperti orang straight jika bersama dengan teman-teman kampusnya. Ikutan ngecengin cewek, ngomongin bagian-bagian tubuh cewek, pacaran ma cewek, dan yang paling parah, nonton bokep straight bareng temen-temen cowoknya.
Kalo nontonnya doang sih gak masalah. Yang jadi bencana kalo salah satu, atau salah dua atau salah lebih dari itu temennya udah kadung horny dan mulai ngocok senjatanya ditempat kejadian perkara. Jadilah ajang nonton bokep itu ke ajang adu panjang, adu cepat atau adu banyak. Nino kudu ekstra diem kaya patung supaya matanya gak jelalatan ngecengin rudal temen-temennya. Dia harus mati-matian pasang muka santai meski dede kecilnya udah berontak abis dan jantungnya empot-empotan.
Resiko jadi gay diantara begundal-begundal mesum!
Tapi Nino sudah bisa sedikit menguasai diri berkat didikan keras dari temen-temennya yang edan itu. Berkat mahasiswa-mahasiswa cabul itu dia jadi pintar menguasai diri. Dan berteman dengan cowok yang bagaimanapun menarik dan edannya, dia tak punya masalah. Tak akan ada orang yang tau kalau dia gay. Dia sudah menjadi ahli dalam menyembunyikan identitas rahasianya.
Begitu juga saat dia berteman dengan Gana. Meski dia mengakui kalau Gana cowok yang menarik, Nino bisa dengan santai berteman dengannya. Dia merasa asyik bersama Gana. Cowok itu benar-benar sepolos kelihatannya.
Seperti pengakuan Gana. Nino adalah teman dekatnya yang pertama di Jakarta, selain orang-orang yang dikenalnya di fakultas (mereka satu universitas, hanya saja beda jurusan). Gana juga mengaku jarang mempunyai teman cewek. Baik disini atau di kampung halamannya sana. Malah hampir-hampir tak pernah bergaul sama cewek. Dikampungnya di Banjarmasin sana, orang tuanya bisa dibilang orang yang terpandang dan religius. Segala macam hubungan akrab dengan cewek dilarang keras, kecuali bila sudah menikah.
Nino hampir pingsan karena ngakak setelah tahu, bahwa meski telah berada di semester 2 sebuah perguruan tinggi di Jakarta, Gana hanya pernah pacaran satu kali. HANYA SEKALI!
Padahal secara fisik dia menawan. Tapi karena status dan nama keluarganya, dia harus menjaga sikap. Padahal dia pengen banget bergaul normal seperti teman-temannya.
Nino sendiri sadar kalo dia bukan cowok super. Bisa dibilang dia cowok biasa-biasa saja. Kulitnya kecoklatan dan berambut lurus. Tinggi sekitar 173 cm. Kadang dia justru merasa risih saat berjalan dengan Gana, karena cowok itu terlihat jauh lebih cerah darinya. Apalagi Nino telah sadar kalau dirinya gay. Tapi kalo pacaran sama cewek, dia jauh lebih berpengalaman.
Jadi mumpung lagi jauh dari orang tuanya Gana, Nino merancang rencana untuk mencarikan pacar buat Gana. Mereka bakal hunting bareng. Kayaknya bakal seru.
Setelah melalui tahap seleksi, kandidat yang muncul adalah Nevi. Anak fakultas kedokteran. Nino yang kebagian tugas menyelidiki kepribadiannya. Dimulai dengan perkenalan mereka diperpustakaan hingga akhirnya mereka berteman. Untungnya, Nino punya kepribadian yang supel dan cepat akrab. Jadi semua berjalan mulus. Dia lalu mengenalkannya pada Gana. Tidak sampai dua bulan, mereka jadian.
Nino masih inget bagaimana girangnya Gana saat melapor padanya.
"GUA JADIAAAAANNN!!!" teriaknya heboh dan memeluk Nino sambil lompat-lompat girang. "Makasih No! Lo emang hebat! Gue diterima!"
"Udah jelaslah! Siapa dulu dong sutradaranya. Nino!" sumbarnya dan menepuk dada.
"Iya deh! Lo hebat!" puji Gana pasrah. Padahal, dalam keadaan biasa dia gak bakal rela bikin pengakuan kayak gitu.
"Eh tapi, jangan mentang-mentang udah jadian, lo cuekin gue ya? Siapa lagi dong yang bakal kasih gue tumpangan gratis atau traktiran?!"
"Dasar gak mau rugi!! Ya pastilah! Lo bakal selamanya jadi sohib gue!"
Yeah! Dan memang seperti itulah kedudukan Nino dalam hati Gana. Hanya sebatas sohib!
Mulai saat itu, waktu Gana tidak lagi dihabiskan bersamanya. Dia harus berbagi dengan Nevi. Bahkan jatah waktu bermainnya lebih sedikit kalau dibandingin dengannya. Perhatian Gana juga jelas tercurah pada pacarnya.  Setiap malam minggu adalah hari wajib apel baginya. Di kampus mereka nongkrong bareng, pulang berdua, makan bareng. Tak ada lagi kegiatan yang dulu sering Gana lakukan bersamanya. Kadang dalam 1 minggu, mereka hanya bertemu sekali. Itupun cuma sebentar aja, karena terkadang kebersamaan mereka bakal terpotong dengan telepon dari Nevi yang minta dijemput disuatu tempat. Gana sendiri pasti langsung kabur.
Mau ngomong apa? Gana benar-benar jatuh cinta pada Nevi. Dan Nino tahu kalau Gana adalah tipe cowok yang sangat menghargai wanita. Dia begitu perhatian, pemurah, setia dan bertanggung jawab. Kualitas yang sudah jarang dimiliki oleh cowok pada umumnya dimasa sekarang. Dia selalu menjaga kesopanan serta perasaan pasangannya. Dia juga suka memberi kejutan yg menyenangkan.
Benar-benar seorang gentleman!
Dan Nino menyukainya. Diapun baru sadar, kalau dia tak ingin membagi Gana dengan orang lain. Dia ingin semua itu menjadi miliknya seorang. Hanya miliknya!
Dia ingin Gana disampingnya, menemaninya, menghiburnya saat dia bermasalah, membantu dan mendukungnya. Seperti yang selama ini Gana lakukan. Ganalah tempat dia bisa berbicara tentang masalah-masalah yang dia hadapi (terlepas dari status gay nya), begitu pula sebaliknya. Tapi hati, tubuh serta perhatian cowok itu bukan lagi miliknya. Cowok itu milik Nevi, nyaris sepenuhnya.
Pertemuan-pertemuan mereka selalu dibayangi oleh Nevi. Pembicaraan merekapun terbatasi tentang bagaimana hubungan Gana dan Nevi. Bagaimana sikap Nevi, kemarahan Nevi, perubahannya yang kadang membingungkan, pertengkaran mereka, atau bagaimana kebersamaan dan kebahagiaan mereka.
Semua memang terasa wajar dan biasa pada awalnya. Nino sendiri selalu berusaha membantu Gana mencari jalan keluarnya. Mendengarkan dan kadang merukunkan mereka kalau lagi pada angot. Sering sekali dia jadi jembatan antara mereka berdua, jika terjadi salah paham. Semua terasa normal dan menyenangkan pada awalnya. Sampai kemudian dia semakin memahami sisi terdalam Gana, dan jatuh cinta padanya.
Karena sepanjang kebersamaan itu, semua pebicaraan tentang Nevi, masalah-masalah mereka, dan bagaimana Gana bersikap, Nino menjadi begitu terpesona oleh kepribadian Gana. Dia suka cara Gana memperlakukan Nevi. Dia melihat bagaimana cara Gana menyayangi Nevi, dan dia ingin Gana menyayanginya sperti itu. Dia ingin Gana lebih memperhatikannya daripada Nevi. Dia ingin semua kelembutan, perhatian, senyuman serta tatapan mata itu menjadi miliknya. Hanya miliknya.
Dan itu mustahil.
Karena dia tahu, bagaimana sayang Gana pada Nevi. Dia juga tahu, kalau kedudukannya dihati Gana, tak lebih dari seorang sahabat. Tempat Gana mengadukan masalahnya. Rekan Gana dalam berpikir mencari jalan keluar saat bermasalah, dan tempat Gana berbicara saat cowok itu membutuhkan teman. Tak lebih!
Nino membenci dirinya sendiri.
Sumpah!
Dia tak ingin seperti ini. Dia ingin menyingkirkan semua perasaan itu. Namun sulit! Bagaimana caranya? Saat dia bersama Gana, dia hampir-hampir tak bisa memalingkan muka darinya. Menikmati saat Gana berbicara, cara cowok itu makan, minum atau tertawa, meski dia tak pernah bisa lagi menatap matanya. Dia tak bisa lagi beradu pandang dengan Gana. Nino takut kalau semua perasaannya tergambar jelas dimatanya. Dia lebih senang memperhatikan cowok itu, tanpa dia menyadarinya. Melihat cowok itu berjalan, bergerak aktif ataupun melakukan hal-hal lain yang sebetulnya biasa, namun tiba-tiba menjadi begitu menakjubkan untuknya.
Nino suka sekali bagaimana Gana tertawa, berbicara atau hanya diam saja. Semua itu membekas dihatinya. Hal-hal sederhana itu akan diingatnya saat ia menjelang tidur. Walau dia harus dihadapkan oleh kenyataan pahit. Gana bukan miliknya.
Tak jarang dia menjadi bete saat tiba-tiba Nevi muncul ketika dia bersama degan Gana. Dia merasa tersudut saat melihat mereka berdua. Melihat mereka duduk begitu dekat, melihat tangan mereka bertautan, melihat bagaimana mereka berbicara dan bertatapan, melihat mereka bercanda, apalagi berpelukan.
Hal-hal seperti akan merusak seluruh harinya. Dia akan lebih memilih pergi daripada melihatnya. Meski hal itu jarang bisa dilakukannya. Gana akan menahannya dan mengajaknya bicara. Sialnya, topiknya adalah cerita-cerita tentang kencan mereka berdua dan masalah-masalah mereka. Bayangkan betapa menyiksanya hal itu.
Dia merasa sesak dan sulit untuk bernafas. Tapi dia diharuskan untuk tetap bersikap ceria, ramah dan menjadi pendengar setia. Tiba-tiba saja, tersenyum menjadi satu hal yang sulit baginya.
Dia menjadi tak bersemangat dan membenci dirinya sendiri. Dia seperti memiliki kepribadian ganda. Didepan mereka dia tersenyum. Dibelakang dia meratapinya. Dia benar-benar merasa kalau dia telah menjadi orang munafik. Merasa begitu nelangsa. Lagu-lagu sentimentil tentang patah hati tiba-tiba terasa begitu pas dan dibuat khusus untuknya, membuatnya semakin merasa terpuruk.
Kadang Nino merasa tak sanggup lagi menahannya. Ingin dia mengungkapkannya pada Gana. Tapi saat dia berhadapan langsung dengannya, saat ia melihat binar dalam mata itu ketika bercerita tentang Nevi, mulutnya sontan terbungkam. Dia tak mampu merusak kebahagiaan Gana. Terlebih dengan resiko kalau mungkin dia akan kehilangan Gana. Bisa saja Gana tak bisa menerima kecenderungannya dan memusuhinya. Nino tak ingin hal itu terjadi. Sehingga kadang dia ingin menjauh saja. Namun hal itu juga sulit. Apa lagi Gana tahu betul jadwalnya, jadi susah untuk menghindar meski dia ingin. Baginya, satu hari yang terlewat tanpa melihat Gana adalah hari yang buruk. Dia harus melihatnya, meski dari kejauhan. Itu sudah cukup melegakan.
Masalahnya terjebak sampai di titik itu. Dia bingung harus bagaimana. Efeknya Nino jadi sering bete, uring-uringan gak karuan, dan puncaknya adalah kemarin. Beberapa hari menjelang valentine. Sore itu Gana datang kerumahnya dan mengajaknya ke sebuah plaza ternama.
Cowok itu membawanya masuk ke sebuah toko perhiasan yang cukup mewah. Gana bilang dia ingin membelikan sebuah cincin di hari Valentine untuk Nevi.
Nino jelas tercengang. Dia menolak ide itu dan mengajukan berbagai macam argumen.
"Gana, ini cuma valentine konyol! Lo gak perlu beli cincin kaya orang mo ngelamar!"
Gana hanya tersenyum sekilas dan kembali jelalatan mencari-cari cincin yang cocok. "Gua pengen kasih dia kejutan No! Gua gak bermaksud ngelamar dia. Tapi kalo dia menganggap begitu, kebetulan! Gua gak nolak kok! Menurut lo mana yang bagus buat cewek No?" tanyannya seolah-olah tak mendengar protes Nino tadi.
"Gak tau!" sahut Nino ketus. "Gua gak nyangka lo bakal segila ini!" gerutunya.
Gana mengangkat bahunya. "Mungkin! Lo bakal tau apa yang gw rasain kalo lo jatuh cinta Bro! Untuk ngebahagiain dia, gue rela melakukan apa aja," katanya tanpa memalingkan muka, tak tahu akan Nino yang jadi sesak nafasnya, dan hanya mampu menatap punggungnya dengan sorot terluka.
Gua udah tahu gimana rasanya Ga! Sayangnya cinta gua bertepuk sebelah tangan, desahnya dalam hati.
"Liat yang itu Pak!" pinta Gana pada penjaga toko. Pria itu mengambil sebuah cincin putih dengan sebuah permata tunggal kecil ditengahnya. Sebuah cincin dengan design sederhana. Tampak lembut dan anggun.
"Pas!" komentar Gana setelah mencobanya. "Gua udah ngukur cincin yang pernah dia pake. Gedenya cuma sebatas jari kelingking gue. Gimana menurut lo?" tanya Gana dan mengangsurkannya pada Nino. Nino mengamatinya sejenak. Bagus!
"Terserah lo!" jawabnya acuh dan mengembalikan cincin itu.
"Saya ambil yang ini pak! Berapa?"
"Dua juta seratus Mas!" jawab Bapak itu kalem.
Nino mendelik hebat! Tapi Gana dengan santai mengangsurkan kartu kreditnya.
"Ga!!"
Gana cuma mengangkat tangan mendengar teguran Nino, mencegahnya untuk berkomentar lebih lanjut. Nino hanya mampu diam.
Ya Tuhan! Dia begitu memujanya. Bantu aku menata hatiku! keluhnya dalam hati.
Gana mengambil kotak berisi cincin yang diberikan oleh Bapak itu, dan berbalik. "Dia pantas mendapatkannya," katanya singkat saat melihat sorot protes dari Nino. "Sekarang anterin cari boneka ya?" katanya dan menarik tangan Nino.

Nino menarik nafas panjang saat melirik kalender kecil di meja belajarnya. Tanggal 14. Hari Valentine. Gana pasti sedang makan malam dalam suasana romantis saat ini dengan Nevi. Dan dia hanya sendiri disini. Di kamarnya.
Beberapa hari ini dia memang menghindar dari Gana. Nino memutuskan untuk menjauh dari kehidupan cowok itu. Mencoba membiarkan semuanya mengendap oleh waktu. Dia tak sanggup lagi bersama Gana dan memandang kemesraan cowok itu dengan Nevi. Dia tak mampu melihat bagaimana nyamannya kepala Nevi bersandar dibahu Gana. Saat kepala mereka bertemu dan tubuh mereka berdekatan.
Ya Tuhan! Tidak!! Dia tak mau melihatnya. Tidak lagi. Sumpah!!
Dadanya terasa nyeri luar biasa.     
Dia pun tak sanggup untuk menghancurkan hubungan mereka. Memikirkannya saja membuatnya jijik. Dia merasa marah pada dirinya sendiri, tiap kali kalimat harapan putusnya Gana dan Nevi melintas dipikirannya. Jahat sekali! Dia tak berhak mendoakan keburukan bagi orang lain. Apalagi untuk Gana. Dia akan turut terluka kalau cowok itu sakit.
Jadi, biar waktu menyembuhkan segalanya. Separah apapun luka, suatu saat akan sembuh juga, meski kadang berbekas. Nino hanya akan menganggapnya sebagai satu episode kisah manis dalam hidupnya. Sama seperti orang-orang yang pernah datang dan pergi dalam hidupnya. Biar saja dia menyimpan perasaannya sendiri.
Nino bangkit dari tempat tidurnya. Mungkin moodnya akan jauh lebih baik dengan menonton tv. Biasanya banyak film bagus yang diputer dihari spesial seperti ini. Lumayanlah, meski semua bakalan bertema cinta. Darpada bengong melamun!
Langkah Nino terhenti diruang tengah saat bel rumahnya berhenti.
"Biar Nino yang buka!" kata Nino saat ibunya muncul dari arah dapur. Dia kedepan dan membuka pintu. Dihadapannya muncul sebuah boneka beruang pink dengan tulisan MISS YOU ditengahnya. Sebuah tangan menggoyang-goyangkan boneka itu.
"Happy Valentine's day!!" seru Gana yang muncul kemudian.
Nino terdiam dan memandang Gana tak percaya. "Ga. . ., lo bilang. . "
"Iya tahu!" potong Gana. "Gue emang mau makan malam bareng Nevi. Tapi gue gak bisa pergi sebelom ngucapin met valentine ke lo!"
"SURPRISE!!!" Nevi berseru nyaring dan berdiri dibelakang Gana. Dia mengulurkan sebuah kotak berwarna hitam padaku.
"Nevi," gumam Nino pelan sembari mencoba tersenyum.
"Met Valentine ya? Gana gak mau pergi kemana-mana sebelom nemuin elo. Nih, hadiah buat lo! Buka!" ujarnya ceria.
Nino menerima kotak itu dan perlahan membukanya. Dia tercengang saat melihat sebuah kalung kecil dengan bandul bermata tunggal yang mungil untuknya.
"Ga seberapa No! Tapi gue sama Nevi pengen lo memakainya. Kita tau kalo kita ga bakal jadi kalo lo ga bantuin. Kita ga bakal jadi gini kalo lo ga masuk dalam kehidupan kami!"
Leher Nino tercekat. Dia hanya mampu memandang Gana nanar.
"Selama ini lo udah baek banget ma gue. Dengan semua kecerewetan elo, gua gak ngerasa sendiri di Jakarta. Gue ngerasa ada keluarga dideket gue. Elo No! Kalo gak ada lo, mungkin gue gak akan jadi diri gue sendiri begini. Jakarta gak ramah No. Tapi berkat lo. gue bisa baik-baik aja. Dan lagi. . . , lo udah memberi Nevi dalam hidup gue. Gue berterima kasih banget ma elo No! Gue pengen lo tetep jadi temen gue. Gue gak tau kenapa, tapi akhir-akhir ini gue ngerasa lo ngejauh. Apapun sebabnya, kalo gue salah, gue minta maaf No! Gue gak mau musuhan ma elo!"
Nino merasa matanya perih.
"Elo gak percaya?" tanya Gana karena kediaman Nino. "Iya gue tau, kemaren gue bikin lo marah. Bener! Gue cuma mo bikin Nevi seneng No. Gue mau dia bahagia!" Gana meraih tangan Nevi dan menggenggamnya. Mendekatkannya didada. "Gue ngerasa beruntung memilikinya. Dan itu semua karena lo. Gue sayang dia No! Dan gue juga sayang kok ma elo. Sebagai sohib. Jangan ngambek lagi ya?" pinta Gana dengan tampang memohon.
Aku tak sanggup merusak kebahagiannya! Bagaimana aku bisa? pikir Nino sedih.
"No. . . ," panggil Gana.
Nino memandangnya diam.
"Baikan ya No?! Gua gak ada temen lagi yang sebaik elo," ujar Gana dengan nada lembut membujuk.
Nino hanya tersenyum tipis dan berusaha setengah mati untuk menahan airmatanya. Teman baik! Yaaah. . . memang hanya seperti itulah posisi Nino dalam hati Gana. Dia harus menerimanya. Jadi dia hanya mampu mengangguk samar, karena kalau tidak dia akan mempermalukan dirinya dengan menangis didepan mereka.
Yeaaah! Kini aku tahu tempatku. Aku tahu dimana posisiku.
Wajah Gana langsung sumringah melihat anggukan Nino.
"Tapi gua gak bisa seperti dulu lagi Ga!" cetus Nino pelan. Kalimatnya memudarkan senyum diwajah Gana. Cowok itu menatapnya tak mengerti. Nino menatap langsung kematanya. "Sudah waktunya bagi kalian berdua untuk melangkah dan belajar sendiri. Sekarang kalian harus menghadapi semua masalah berdua. Belajar lebih memahami satu sama lain. Belajar untuk saling menghargai. Belajar buat mengendalikam ego masing-masing dan menyatukan perbedaan kalian. Nggak baik kalo gue terus ngedampingin kalian. Akan muncul masalah-masalah baru kalo gue tetep seperti dulu. Gue akan melihat dari jauh. Gue akan selalu ada buat kalian. Gue akan selalu siap kalo kalian butuh gue."
"Tapi No, gue bakal kehilangan. . ."
"Gue ga bakal kemana-mana Ga!" potong Nino. "Kapanpun lo butuh gue, gue akan selalu ada. Kuliah gue tetep kan? Gue juga ga bakal pindah rumah. Lo tau dimana lo bisa nemuin gue. Iya kan?" ujar Nino pelan dan tersenyum.
Gana sudah hendak protes, tapi Nevi menahan gerakannya.
"Dia benar Ga! Kita gak bisa selalu bergantung padanya. Nino punya kehidupan sendiri," ujar Nevi lembut dan meremas jemari Gana yang dipegangnya. Dia lalu berpaling pada Nino. "Tapi ada satu hal yang harus gue tegesin No. Kita berdua juga masih butuh elo. Jangan jauh-jauh dari kami. Lo masih sohib kami. Jangan tinggalin kami ok?" pinta Nevi.
"Iya No! Nevi bener!" tegas Gana.
Nino mengangguk dan tersenyum "Pasti!"
"Dan kapanpun lo butuh kami, jangan ragu buat langsung hubungin kami. Kami akan selalu siap!"
"Gua tau!"
"Kami sayang lo No" kata Nevi.
Kembali Nino mengangguk dengan leher tercekat. "Gue juga," balasnya pelan. Mereka tersenyum. Ada beban yang terasa telah terangkat dari dada mereka. Semua berakhir dengan baik meski keadaan tak bisa kembali secara utuh seperti sebelumnya.
"Eh, tunggu dulu!" potong Nino tiba-tiba memecah keheningan. "Hadiah ini lo dapet darimana Ga?" tanya Nino dengan nada tajam.
Gana nyengir dan menggaruk kepalanya. "Sebenernya kemaren gue sempet dimarahin ma Nevi waktu gue cerita kenapa lo ngamuk. Dia bilang wajar kalo lo marah. Jadi dia ngajak gue buat ngembaliin cincin itu. Tapi kita akhirnya kembali kesana cuma buat tuker dengan kalung itu. Nevi ngajak patungan buat beli hadiah itu ke elo!"
"Iya No! Hadiah dari kami berdua buat elo!"
Nino mendesah masygul. "Seharusnya kalian gak perlu melakukannya!"
"Kami cuman pengen lo ga ngamuk en seneng lagi No. Sama seperti Gana pengen gue bahagia. Gue pengen lo juga ngerasain bahagia yg kami berdua rasain."
Nino terpaku menatap Nevi yang tersenyum dihadapannya. Lagi dia merasa tercekat dengan ketulusan sepasang kekasih dihadapannya. Ya Tuhan, mereka begitu tulus, baik dan memperhatikanku. Kenapa pernah terlintas dipikiranku agar mereka bubaran? Jahat sekali aku!
Nino tersenyum.
"Sebaiknya kalian lanjutkan acara kalian malam ini. Jangan sia-siakan!"
Gana tersenyum dan menggamit tangan Nevi. "Lo bener. Nah, kami pergi dulu. Lo mau oleh-oleh apa?"
"Jaga aja Nevi baik-baik," pesan Nino pelan. Gana mengangguk dan pamit. Nino hanya tersenyum dan membalas salam mereka. Ditatapnya mereka sampai mobil Gana menghilang dari pandangan. Dia lalu menghela nafas panjang dan mendongak.
Tuhan, aku tau Kau punya rencana yang indah untukku. Suatu hari, suatu saat dan pada suatu tempat, Kau pasti mempertemukanku dengan takdirku dan menyatukan kamu. Mungkin itu bukan Gana. Dan sekarang bukanlah waktuku. Kuatkan aku dalam menunggu Tuhan!! doanya khusuk.

March,15th 2006.
Inspired by my valentine' s day this year!
My heart's in blue.
DJ's


http://www.mediafire.com/?re7fv9bg7x0gb89



 

MEMOIRS II (Dimaz' classic story) part 28-end


XXVIII

Aku sadar kalau aku harus menerima konsekuensi dari pilihanku. Tapi tetap saja aku merasa sakit meski aku sudah tahu apa yang akan kuhadapi. Terkadang aku tak habis pikir. Kata CINTA telah dibahas berulang-ulang dalam berbagai generasi dan zaman. Kata yang sepertinya kecil dan terkadang terasa remeh itu tanpa kita sadari telah bermakna besar dan dalam rentangan zaman telah menaklukkan banyak sekali orang-orang hebat dalam  sejarah.
Kitab suci telah mencatat bagaimana Adam terbuang dari surga untuk memenuhi permintaan istri tercintanya, Hawa. Julius Ceasar, penakluk sepertiga permukaan dunia yang tampak, telah jatuh terseok-seok karena cintanya dibawah kaki Cleopatra. Bahkan mantan pemimpin negara kita yang mahsyur, almarhum Soekarno, terkenal juga akan kelemahannya dalam cinta. Dia bisa mempesona anggota dewan PBB dunia, namun toh takluk karena cintanya pada wanita.
Atau B.J Habiebie. Salah satu cendekiawan asal negara kita yang mahsyur akan kekuatan otaknya, bisa dibuat mewek saat wanita yang dicintainya meninggal. Sepertinya, otak jenius yang beliau miliki juga tak terlepas dari virus cinta.
Aku bukan orang besar. Tapi aku juga mengalami penderitaan karena cinta seperti mereka. Nasehat-nasehat usang yang kudengar tentang bagaimana kita bisa survive meski cinta kita hilang, terdengar seperti sampah bagiku. Aku nyaris tak bisa menemukan alasan bagaimana aku harus mempertahankan kewarasanku. Tapi begitu melihat Abi dan Ummi, aku tahu aku harus kuat. Aku harus melakukan semua ini demi mereka. Rasa sakit yang kurasakan karena Jeffry sungguh kecil dibandingkan dengan kebahagiaan mereka. Aku sakit, hampir gila rasanya. Tapi aku tetap tersenyum.
Bahkan dalam pesta pertunanganku yang meriah ini, aku tampil dengan seyumku. Meski sekujur tubuhku hampir-hampir kebas.
Aku nyaris tak bisa merasakan minuman atau makanan yang tadi kusantap. Aku merasa begitu hampa. Seperti berada dalam sebuah film bisunya Charlie Chaplin, dimana semua hal disekelilingku sedang heboh melakukan sesuatu sementara aku tak mendengar sedikitpun suara yang mereka keluarkan. Seakan-akan telingaku tertutup oleh sebuah headset besar.
Pesta pertunangan ini berjalan lancar. Beberapa anggota keluarga ku dan pihak Oom Ghani hadir. Juga beberapa teman bisnis mereka. Setengah mati aku berusaha terlihat sebagai laki-laki yang bahagia. Menikmati godaan dan sindiran beberapa saudara. Mereka bilang aku beruntung memperoleh  Sarah yang menawan dan dari keluarga terpandang. Sepertinya gadis itu cukup terkenal didaerah ini. Aku hanya tertawa kecil dan menerima kecemburuan mereka dengan senyum.
Banyak orang yang mengucapkan selamat dan memberi hadiah pada kami malam itu. Entah berapa orang yang telah kusalami dan kuberi ucapan terimakasih. Aku sudah lupa. Aku benar-benar lelah. Yang aku inginkan hanya sendiri dikamarku dan menelepon Jeffry.
Bahkan tanpa ada kata berpisah, kami berdua telah paham bahwa apa yang kami miliki telah berakhir. Jeffry tak mengatakan apapun waktu itu selain, "Lakukan apa yang menurutmu yang terbaik!"
Kami berdua sudah tahu keputusan apa yang kuambil.
Aku masih ingat percakapan terakhir kami saat aku akan bertolak ke kampung halamanku. Waktu itu, aku telah menyelesaikan semua kontrak dan transfer kuliahku. Bahkan barang-barangkupun telah terbungkus rapi dan siap dikirim.
"Besok pagi aku berangkat," kataku pada Jeffry yang duduk diruang tengah menonton tv.
"Hmm. . . ? Well, sorry aku gak bisa nganter," sahutnya acuh tanpa berpaling dari layar.
Aku duduk disebelahnya. Ikut-ikutan memandang layar tv tanpa tahu apa yang sedang tayang. "Apa ada yang ingin kau katakan?" tanyaku pelan.
"Let me think," gumam Jeffry dengan jari telunjuk mengusap bibirnya. Ekspresi wajahnya seolah-olah dia sedang berfikir keras. "Semoga bahagia. Selamat menempuh hidup baru. Semoga sukses daaaaann. . . . I don't know. Menurutmu apa lagi yang harus ku ucapkan?" tanya Jeffry balik.
"Kau bisa memakiku," saranku.
Jeffry mendengus keras. "Itu cuma akan membuang-buang energiku. Thank you, but no! Thanks," selorohnya.
Tak ada suara. Hening diantara kami. Hanya televisi yang mengeluarkan bunyi-bunyian yang tak kumengerti. Saat ini, aku lebih berharap kalau Jeffry akan meledak. Mengeluarkan semua yang ingin dia lontarkan padaku sejak beberapa hari kemarin. Sikapnya yang datar dan biasa-biasa saja justru lebih menyiksaku.
"Sepertinya tak ada lagi yang bisa kukatakan padamu. Kau sudah mengambil keputusan," kata Jeffry akhirnya.
"Kalau begitu. . . ,boleh aku mengajukan satu permintaan?" tanyaku.
"Apa lagi yang kau inginkan dariku?" tanya Jeffry, masih dengan mata yang menatap layar tv.
"Jangan hapus aku dari kehidupanmu," pintaku lirih. "Tolong beri aku sedikit tempat dihidupmu. Aku tahu ini egois. Tapi aku masih ingin bisa bicara, bertemu dan tahu keadaanmu."
"I'm not gonna . . ."
"Aku tidak minta sex darimu!" potongku cepat. "Aku tahu aku tak berhak. I just wanna be a part of your life. We can be friends. Aku akan selalu ada kapanpun kau butuh. Aku janji! Kapanpun kau panggil, aku akan datang. Boleh?" tanyaku dan melihatnya.
Jeffry berpaling dan menatapku. "Untuk apa? Bukankah lebih baik kalau kita tak usah bertemu agar kau bisa hidup seperti yang orang tuamu inginkan? Akan lebih mudah bagimu."
"Jeff, aku bersumpah! Andai saja aku bisa, aku akan berikan apapun yang aku bisa untuk tetap berada disini. Apapun itu! Tapi aku tak bisa. Mereka membutuhkanku. Dan aku membutuhkanmu!"
"Untuk apa?!"
"Untuk tetap hidup! Untuk tetap waras!" jawabku keras. Aku tak tahan lagi. Aku biarkan air yang menggenang dimataku turun. Sudah tak ada gunanya lagi berpura-pura didepan Jeffry. Didepannya aku bisa menjadi diriku sendiri.
"Kau gila kalau berpikir aku akan diam saja disini menunggumu!" gumamnya dingin.
Aku menggeleng kuat-kuat mendengarnya. "Aku tak berhak meminta itu. Kau punya hak penuh dengan hidupmu. Kau bisa melakukan apapun maumu. Cari dan dapatkan orang yang lebih baik dariku. Yang kupinta, beri sedikit tempat dihidupmu untukku. Ijinkan sesekali aku menemuimu. Aku tak akan menghalangi apapun yang ingin kau lakukan. Aku tahu aku sudah kehilanganmu saat aku memutuskan untuk menuruti permintaan Abi dan Ummi. Tapi demi Tuhan, aku benar-benar membutuhkan- mu Jeff!"
Jeffy menarik nafas panjang dan mengangkat wajah, menatap langit-langit seolah-olah ada sesuatu yang menarik disana.
"Please. . . ," pintaku lagi lirih, hampir tak terdengar.
Tak ada jawaban dari Jeffry, tapi satu tangannya kemudian menarik dan memelukku. Dan untuk kesekian kalinya, aku menangis keras dalam dekapannya.  

Malam ini dia tak datang ke pesta dengan alasan syuting. Sebenarnya kalau boleh jujur, aku ingin dia ada disini untuk menemaniku. Permintaan yang egois. Aku tahu. Tak adil bagi Jeffry untuk melihatku bertunangan dengan orang lain. Jadi, kini aku harus menghadapinya sendiri. Berakting sebagai seorang pria yang bahagia dan menebarkan senyum ke segala arah.
Sungguh melelahkan!
Karena itu aku memilih untuk bersembunyi di pojokan saja. Siapa tahu mereka melupakanku. Ide konyol, tapi tak ada salahnya berusaha. Mumpung Sarah juga sedang sibuk dengan teman-temannya, pikirku dan melangkah
"Ah!!!" aku mendesah pelan,kesal saat tak sengaja tanganku yang memegang segelas minuman tersenggol seseorang yang lewat. Sedikit cairannya mengenai jasku yang untungnya berwarna hitam. Aku mengeluarkan sapu tanganku dan mencoba membersihkannya.
"Assalamualaikum Dimaz! Selamat ya atas pertunangannya," tegur seseorang dari sebelahku.
Bahkan saat aku belum mengangkat wajahku aku tahu siapa dia. Ya Tuhan, suara itu!! batinku mencelos. Bisa kurasakan desiran ngeri yang mengusap dadaku dengan tiba-tiba. Perlahan aku mengangkat pandanganku. Dia disana, berdiri dengan senyum ramahnya yang hanya beberapa kali kulihat seumur hidupku.
"Rafly. . . ," gumamku dengan wajah memucat.
"Hei! Awas ada lalat masuk. Mulutmu terlalu lebar kebuka tuh," godanya. Aku refleks menutup mulutku yang terbuka kaget karenanya. Tanpa sadar aku menelan ludah. Sosok Rafly berubah dengan dramatis. Tubuhnya jauh lebih tinggi. Bahunya lebih lebar daripada yang kuingat. Terlihat lebih gagah. Tapi senyumnya yang paling mengesankan. Selama aku kebersamaan kami yang singkat, hanya beberapa kali senyum selebar itu ia sunggingkan. Ekspresi ramah yang ada diwajahnya itu cuma pernah ia tampilkan hanya didepan Mas Arif dan aku saja.
Tapi lihat kini. . .
Aku sudah merasa tak nyaman dari awal acara malam ini. Fisik dan mentalku benar-benar diambang batas kemampuannya. Sedari tadi aku mencoba bertahan, tapi kehadiran Rafly merupakan sebuah pukulan yang telak padaku. Kelebatan dari semua hal yang pernah kami alami melintas dengan cepat. Berputar disekelilingku. Menjadikan ruangan ini benar-benar seperti bergerak cepat. Aku limbung.
"Dimaz!!!" seru Rafly kaget dan segera memburuku.
Aku mengangkat tangan,mencegah agar dia tidak mendekat. Untungnya aku telah berada dipojok ruangan sehingga aku bisa bersandar pada tembok. Karena kalau tidak, aku pasti sudah roboh.
"Perlu kupanggilkan orang? Kau pucat sekali!" tanya Rafly khawatir tanpa berani mendekat.
Aku ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa. Aku hanya mampu melihatnya. Menelusurinya dengan mataku. Bertahun-tahun aku membayangkan pertemuanku dengannya. Sudah ku buat banyak skenario dalam berbagai adegan dimana kami bertatap muka. Kebanyakan dalam scene itu dia marah. Dia akan menuntutku. Dia akan mengamuk, dengan ekspresi yang lebih mengerikan diwajah dinginnya. Bukannya menyapaku dengan santai dengan wajah kalem berhias senyumnya seperti sekarang.
"Dimaz! Kamu dicari Oom Ghani lho!" kata Ummi yang berjalan kearah kami. "Rupanya mojok disini. Beliau mau memperkenalkan saudaranya yang tinggal di Singapura dan. . . " Kalimat Ummi terhenti saat melihat Rafly yang berdiri tak jauh dariku.
"Tante. . . ," sapa Rafly hormat pada beliau.
"Rafly! Sudah bertemu kalian rupanya. Dari tadi ya?" tanya Ummi ramah.
Jelas saja aku kaget mereka bisa ngobrol akrab begini. Seingatku aku tak pernah mengenalkan mereka.
"Ummi nggak sengaja ketemu dia waktu belanja beberapa hari yang lalu. Ummi ingat dia yang titip bungkusan ke kamu waktu itu kan? Rafly bilang kalian sudah tak pernah berhubungan lagi sejak kamu pindah. Karena itu, Ummi kasih surprise kamu dengan mengundangnya ke pesta ini," jelas Ummi begitu tahu aku menatapnya heran. "Bagaimana menurutmu calon menantuku Raf?"
"Sangat cantik Tante! Cocok sekali dengan Dimaz!" sahut Rafly dengan tertawa kecil. Ummi jelas senang mendengarnya.
"Tuh Dimaz. Dengerin tuh. Kalau begitu, Tante pinjam Dimaz dulu ya? Ada saudara dari pihak besan yang belum melihatnya," pamit Ummi dan meraih tanganku, membawaku pergi mejauh dari Rafly. Meski aku ingin berteriak pada beliau agar meninggalkanku disana, aku hanya menurut mengikutinya. "Ayo Nak. Eh, kamu sakit?" tanya Ummi khawatir melihatku. Tatapannya meneliti wajahku yang mungkin sudah sepucat mayat.
"Enggak Mi. Cuma sedikit cape," dustaku pelan. Aku menoleh kebelakang dimana Rafly berdiri. Dia hanya kembali tersenyum dan mengangkat gelas minumannya padaku, dan kembali mengucapkan selamat dalam bahasa bibirnya.
Ya Tuhan!!! 

XXIX

Keesokan paginya, pada jam sepuluh pagi, aku sudah berada didepan rumah Rafly. Hampir semalaman aku tak bisa memejamkan mata. Yang terbayang dimataku adalah Rafly yang berdiri didepanku dengan tersenyum ramah. Sama seperti Jeffry, aku merasa mungkin akan lebih baik kalau Rafly meledak. Tapi semalam dia terlihat begitu santai dan tenang. Aku justru tambah merasa kacau karenanya. Aku nyaris tak bisa memahami apa omongan Oom Ghani semalam itu. Pikiranku benar-benar tak karuan. Aku ingin berbicara banyak pada Rafly. Ingin tahu apa saja yang telah terjadi dalam hidupnya. Ingin meminta maaf padanya. Sayangnya, hampir sepanjang sisa malam itu aku tak lagi melihatnya. Hingga aku tak tahan. Dan sebelum aku bisa menyadarinya, aku sudah berada disini sekarang.
Rumah Rafly tampak jauh lebih baik dari terakhir kali aku melihatnya. Tampak lebih bersih, asri dan lebih pantas disebut rumah. Berbeda dengan dulu yang selalu terlihat lengang dan tak berpenghuni. Sebagian rumahnya sudah ditembok. Aku mendekat untuk mengetuk pintu Rafly perlahan.
Rafly yang membuka pintu jelas kaget melihat kedatanganku. Tapi dia segera menguasai diri dan dengan tertawa santai mempersilahkanku masuk.
"Pagi bener Maz. Duduk dulu ya?" kata Rafly dan berlalu kedalam.
Aku hanya mengangguk padanya. Saat duduk didalam sini, aku juga merasakan atmosfir yang tak lagi sama seperti dulu. Lebih hangat dan nyaman. Terasa ada sentuhan-sentuhan berbeda dalam tiap sudutnya. Ruangan itu sudah banyak dihias. Taplak meja, bunga, hiasan didinding dan juga foto.
Mataku langsung tertancap pada foto berbingkai ukuran 10R itu. Foto Rafly dengan seorang gadis manis berambut panjang. Keduanya berpelukan dan tampak mesra. Ada sedikit ketidaknyamanan yang kurasa. Aku tak pernah melihat Rafly begitu intim dengan orang lain. Apalagi sampai berpelukan begitu.
"Itu Rasti," kata Rafly yang muncul dengan segelas teh hangat dan sekaleng kue kering.
"Pacar?" tanyaku.
Rafly tersenyum. "Tunangan," jawabnya singkat dan duduk.
Aku tak bisa berbicara, hanya menatapnya kaget. Lagi-lagi Rafly hanya tersenyum dengan reaksiku dan mempersilahkanku untuk duduk didepannya. Aku menurutinya dengan gerakan gamang. Apa yang kau harapkan Dimaz? Dia akan diam saja meratapi kesengsaraannya dan terus menunggumu? batinku getir.
"Sudah lama kalian. . . , bertunangan?"
"Sekita lima bulan. Akhir tahun ini kami menikah," jawab Rafly, lagi-lagi membuatku terlengak kaget.
"M-menikah?"
Rafly mengangguk. "Yup! Menikah. Aku sudah bosan hidup sendiri Maz. Rasti sudah memberiku banyak hal. Dia juga sudah banyak merubahku. Kau lihat kan? Rumahku pun jadi lain sekarang. Semua ini dia yang melakukannya. Setiap hari dia datang dan. . . "
"Assalamu'alakum wrwb!"
Wajah Rafly langsung sumringah mendengar salam itu. "Aaah Rasti. Wa'alaikumsalam," jawabnya.
"Oh ada tamu Bang?" sapa cewek itu lagi dan tersenyum. Dia masuk dan langsung menghampiri Rafly. Dia menyalami dan mencium tangannya takzim.
"Ras, ini teman lamaku Dimaz. Maz, Rasti tunanganku!" ujar Rafly memperkenalkan.
Mata Rasti terbelalak melihatku. "Teuku Dimaz Putra Alamsyah?! Yang selebriti itu kan? Ya ampuuun!! Benerr!!!!" Dengan antusias dia menyalamiku. Matanya berbinar menatapku dengan kekaguman.
"Hei! Jangan bikin Dimaz gak enak hati!" tegur Rafly ringan dan tertawa geli oleh reaksi heboh Rasti.
"Habis gak nyangka! Temen Abang ada yang artis juga!" jawab Rasti, masih dengan terpana dan mengamatiku.
Lagi-lagi Rafly tertawa. "Dasar! Oh ya, untuk acara kita hari ini mungkin harus diundur. Rasti gak papa kan pulang dulu?"
Rasti jadi sedikit kaget dan sontan berpaling pada Rafly yang hanya tersenyum dan mengangguk. Senyum pengertian segera tersungging dibibir Rasti. Bisa kulihat kedekatan mereka, hingga dengan satu isyarat kecil seperti itu sudah cukup untuk membuat mereka paham.
"Ya sudah. Rasti pulang dulu. Bang Dimaz, nanti Rasti minta foto sama tanda tangannya ya?" tukasnya riang. Aku hanya mampu tersenyum tipis menanggapinya. Benar-benar anak yang ceria.
"Gak apa-apa kan Ras?" tanya Rafly meyakinkan.
"Iya Bang. Rasti pamit ya?" kata Rasti lalu kembali menyalami dan mencium punggung tangan Rafly. Kali ini Rafly meneruskannya dengan meraih kepala Rasti dan mengecup keningnya. Rasti keluar, meninggalkan kami yang untuk sejenak jatuh dalam keheningan.
Aku mengamati semua itu dengan dada sesak dan mata yang sedikit perih. Entah apa yang sebenarnya kurasakan. Kaget, cemburu, tak rela, atau hanya menyesal. Aku hanya mampu menelan ludah dan berdehem pelan. Mencoba mengumpulkan suara dan bersikap biasa. "Dia. . . , manis sekali Raf," kataku setelah kediaman yang sedikit canggung itu.
Rafly tersenyum dan mengangguk. "Dia baik, tegar dan sangat menyayangiku," katanya dan menatapku tanpa berkedip. "Dia orang yang akhirnya bisa membuatku tersenyum setelah kepergianmu. Aku sempat down saat kau tiba-tiba menghilang. Sekali lagi, setelah kematian orang tuaku, kau membuatku merasa terbuang, tersisih, tak layak dicintai dan ditinggalkan. Apa lagi setelah apa yang terjadi diantara kita malam itu. Aku benar-benar merasa kau. . .  , buang. Aku merasa sangat bingung, takut dan terpukul," lanjut Rafly dengan nada pelan. Tak ada kesan menuntut atau marah dalam suaranya. Dia hanya sekedar bercerita. Tapi tetap saja, dadaku sontan luar biasa nyeri. Kali ini aku sudah tak sanggup menatapnya. Aku cuma mampu menunduk dengan pandangan yang mulai kabur. Nafasku tersendat keras.
"Sungguh! Aku benar-benar down. Kau menghilang tanpa satu katapun. Dua tahun aku berantakan. Untung saja Mas Arif tak henti-hentinya mengingatkanku. Agar aku terus selalu ingat akan studiku yang mulai terbengkalai. Dan seperti harapanmu, aku berhasil menjadi siswa terbaik disekolah kita. Bahkan mendapat beasiswa penuh di Perguruan Tinggi kota. Satu tahun pertama di Perguruan Tinggi itu, Rasti mendekatiku. Tak sedikitpun aku menggubrisnya. Takut akan terbuang dan sakit lagi. Terlebih, waktu itu aku tak yakin bisa menyukainya. Karena yang ada dipikiranku waktu itu . . . , hanya kamu," kata Rafly.
Aku tak mampu bersuara sama sekali. Tapi lantai dibawahku telah basah oleh air mataku.
"Tunggu sebentar," kata Rafly dan bangkit. Ia melangkah kedalam. Aku yang ditinggal cepat-cepat mengusap air mataku, meski aku tahu itu percuma karena Rafly jelas telah melihatnya. Tak berapa lama dia kembali dan mengangsurkan sebuah dokumen keeper tebal padaku. Aku menerimanya dengan pandangan tak mengerti. Rafly hanya mengangguk dan memberikan tanda agar aku membukanya.
Aku mendesah dengan mata yang kembali berair saat melihat isinya.
"Aku mengikuti ceritamu dari majalah-majalah, koran dan berbagai tabloid. Kukumpulkan semua gambar dan artikel tentangmu. Berharap bisa dekat denganmu dengan satu dan lain cara. Karena kau. . . , sama sekali tak kembali," kata Rafly yang kemudian duduk disampingku.
Aku memandangnya dengan penuh penyesalan. Hatiku benar-benar terasa sakit, sadar bahwa sepertinya aku telah melukainya terlalu dalam. Tapi nyatanya, dia tidak meledak didepanku. Dia justru begitu tenang dan terkendali. Justru aku yang tak karuan. Perasaan bersalahku jadi semakin membesar. "M-ma-af," pintaku lirih dan tersendat.
Rafly kembali tersenyum. "Memang sangat menyakitkan pada awalnya. Tapi Rasti muncul dalam kehidupanku. Dia terus berusaha masuk, tak perduli apapun yang kulakukan untuk mengusirnya. Kuacuhkan, ku konfrontasi, ku usir dan ku tolak mentah-mentah. Semuanya. Dia tetap terus berusaha mendekatiku. Hingga akhirnya aku menyerah. Menyerah menghalangi Rasti dan. . . ,menyerah mengharapkanmu. Dan siapa sangka, dengan Rasti, aku kembali hidup. Dia mampu membuatku melihat sisi lain dari hidupku, selain yang pernah kau tunjukkan. Dia mengajariku untuk bertahan dan menghargai semua yang ku miliki. Dia terus berada disampingku dan mendukungku. Aku kalah dan. . . . ,menyayanginya."
Rafly menatapku lembut dan memegang pundakku. "Aku sudah menemukannya. Orang yang benar-benar ingin membagi hidupnya denganku. Orang yang ingin kubagi hidupku dengannya. Karena itu, ambillah buku itu. Itu kenangan yang ku miliki tentangmu. Aku ingin kau menyimpannya. Karena aku akan segera membuat buku kenangan baru dengan Rasti."
Kata itu terdengar seperti ucapan selamat tinggal bagiku. Aku meraih tangannya yang dipundakku dan menggenggamnya erat. "Raf. . ., ma-maaf."
"Semua sudah berlalu. Aku sudah lama memaafkanmu. Meski aku punya beberapa pertanyaan yang ingin ku tahu. Kenapa? Apa yang terjadi? Apa salahku?"
"Aku tahu seharusnya aku mengatakan sesuatu," sahutku cepat meski dengan mata dan hidung yang berair. "Waktu itu aku juga takut, bingung dan sama sekali tak mengerti. Kau bukan satu-satunya orang yang terbayang akan peristiwa itu. Aku juga! Saat perjalanan pulang, aku sempat mual dan muntah hebat. Yang ada dalam pikiranku hanyalah, ini salah! Apa yang kita lakukan itu salah menurut kepercayaan dan ajaran yang selama ini diberikan oleh orang tuaku! Mati-matian aku menyangkal apa yang kurasakan padamu. Mencoba menganggapmu sebagai satu fase gila dalam kehidupan remajaku. Meski dalam hati aku sadar kalau aku benar-benar menyayangimu. Karena itu aku pergi!
Kau tak tahu kehidupan seperti apa yang kujalani di Jakarta. Kuhabiskan semua waktu yang kumiliki dengan beraktifitas. Karena kalau aku diam, aku akan mengingatmu. Mengingat betapa aku sayang kamu! Ingat akan apa yang kita rasakan bersama. Aku belajar dan bekerja seperti orang gila. Aku hanya kembali kerumah saat aku sudah terlalu lelah untuk berpikir. Agar aku tak bisa mengingatmu. Aku terus berlari dari bayanganmu Raf. Meski akhirnya, aku tahu kalau aku tak bisa lari dari diriku yang sebenarnya." Aku mengusap wajahku dengan frustasi.
Rafly memandangku dengan sorot tanya yang besar.
Aku tertawa getir. "Aku gay Raf! Aku pergi ke Jakarta untuk lari darimu. Berharap dengan menjauh, aku bisa mengembalikan pikiran normalku. Tapi disana aku justru menemukan orang yang begitu mengingatkanku padamu. Kegetirannya pada hidup dan lingkungan sosial nya benar-benar mirip denganmu," kataku lagi. "Dan aku jatuh cinta setengah mati padanya. Ironis kan? Semuanya membuat aku sadar, kalau tindakanku lari darimu, penyangkalan perasaanku padamu dulu adalah tindakan bodoh dan sia-sia. Karena pada akhirnya, aku tak bisa lari dari diriku sendiri.
I'm gay! Aku kembali jatuh cinta pada seorang lelaki. Dan dia juga mencintaiku. Butuh usaha berat bagiku untuk mendapatkannya. Sama seperti Rasti berusaha mendapatkanmu, aku juga mati-matian berusaha untuknya. Karena aku tak ingin kehilangan dia, seperti aku kehilangan kamu. Tapi setelah kami akhirnya bersama, orang tuaku menjodohkanku dengan seorang gadis yang hampir-hampir tak kukenal."
"Dimaz. . . ," desah Rafly penuh simpati.
"Ini karma kan? Karma karena aku sudah meninggalkanmu. Menyakitimu."
"Dimaz. ."
"Demi Allah Raf! Aku juga bingung dan takut! Aku nggak mau jadi. . ." Aku sudah tak bisa lagi meneruskan kalimatku karena aku sudah menangis hebat, dan hanya mampu menggumamkan kata maaf berkali-kali padanya. Rafly memelukku erat, mencoba menenangkanku.
Dia tak tahu, waktu itu aku menangis bukan hanya karena aku menyesal atas apa yang telah kulakukan padanya, tapi juga karena ironi yang harus ku tanggung. Kenapa aku tak bisa seperti dia, yang pada akhirnya bisa mencintai dan menikahi seorang gadis? Aku justru jatuh cinta pada pria lain, sementara aku ditunangkan dengan seorang gadis yang benar-benar asing.

XXX

Terkadang keinginan manusia memang terbentur pada takdir yang memang harus kita jalani. Seberapa kerasnya usaha manusia dalam menggapai sesuatu, jika Tuhan tidak mengijinkan dia untuk memilikinya, maka manusia itu tak akan mendapatkannya. Tak perduli seberapa keras usahanya. Tak perduli apa saja yang telah dikorbankannya. Tak peduli berapa banyak keringat atau bahkan darah yang ia kucurkan. Takdir adalah keputusan final. Jadi manusia mutlak harus menerimanya.
Dan aku menerima takdirku! Bukan hal yang mudah. Aku banyak mendapat dukungan dari Rafly. Dia tak pernah lelah mendampingiku dan selalu ada saat aku membutuhkannya. Hubungan kami berbeda kalau dibandingkan dengan apa yang kami miliki zaman SMA dulu. Seperti yang pernah dia katakan padaku, "Aku mencintaimu. Dulu dan kini. Hanya saja porsi dan bentuk cintaku berbeda dengan dulu."
Aku paham apa maksud dari kata-kata Rafly. Rasa cinta yang kini ia rasakan padaku, tak ubahnya seperti cinta kita pada keluarga, yang selalu akan ada saat kita butuhkan. Dan memang begitulah Rafly. Dia selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Dia selalu mau meluangkan waktunya untukku. Kapanpun itu. Dan aku benar-benar bersyukur karenanya.
Sesekali aku juga menghubungi Jeffry. Sejak pindah kesini, hampir tiap hari aku menghubunginya. Baik telepon atau hanya sekedar sms. Balasan Jeffry mula-mula biasa saja. Tapi terkadang sedikit ketus. Lalu menjadi dingin. Kebanyakan dia hanya menjawab semua telepon dan sms ku seperlunya saja. Aku tak menyalahkannya. Dia mau membalas semua pesan dan teleponku saja sudah cukup bagiku.
Kabar yang mengejutkan datang sekitar 6 bulan setelah perpisahan kami. Saat kutelepon Jeffry mengatakan kalau dia baru saja keluar dengan temannya bernama TJ. Dan hampir beberapa hari berikutnya, nama itu kembali ia sebut. Semula kukira itu hanya akal-akalan Jeffry saja, agar aku tak menguhubunginya. Tapi pernah suatu malam aku telepon, dan Jeffry mengatakan sedang makan malam bersama TJ. Saat aku minta untuk berbicara dengan pria itu, Jeffry memberikannya. Suara asing yang terdengar sedikit membuatku sakit hati. Tapi aku berusaha untuk tetap tenang dan bergembira untuknya.
Belakangan kemudian saat Jeffry mengundangku ke Jakarta aku ketahui kalau ternyata TJ telah memiliki Soni. Pasangan jiwanya. Kemesraan yang mereka miliki benar-benar membuatku iri dan berharap kalau aku memiliki itu bersama dengan Jeffry.
Tapi harapan hanyalah harapan.

Pada akhirnya aku menikah dengan Sarah.
Jeffry, TJ dan Soni (belakangan aku berteman akrab dengan mereka berdua) juga turut hadir dalam acara pernikahanku. Mereka bahkan datang beeberapa hari sebelumnya, bersama dengan Jeffry. Jeffry sendiri terlihat santai dan menikmati suasana. Dia juga menyapa akrab Rafly yang kukenalkan padanya.
Tapi malam harinya, sebelum upacara pernikahanku, Jeffry muncul didepan pintu kamarku.
"Sorry ganggu. Gua tau besok lo bakalan sibuk. Bisa bicara sebentar?" pintanya dengan senyum tipis. Dan tanpa menunggu jawabanku dia melangkah masuk.
"Ada masalah Jeff?" tanyaku khawatir dan menutup pintu. Untuk mencegah insiden yang tidak mengenakkan, aku langsung menguncinya.
Jeffry yang telah duduk dikasurku kembali tersenyum. "Boleh dibilang begitu. Sebenarnya aku punya permintaan," katanya.
Giliran aku yang tersenyum mendengarnya. "Jangan katakan kalau kau punya ide gila tentang bagaimana kita harus menghabiskan sisa malam ini?" selorohku.
Jeffry tergelak dan menggeleng. Hal itu justru membuatku sedikit khawatir. Malam ini dia terlihat santai dan kembali seperti Jeffry yang pernah menjadi milikku. Bukannya Jeffry yang hampir setahun ini bersikap dingin padaku. Dia bisa tertawa lepas seperti tadi. Aku tahu aku seharusnya merasa senang. Tapi aku justru menjadi cemas.
"Ada masalah apa Jeff?" tanyaku dengan wajah menegang.Jeffry tak menjawab. Dia hanya melambai dan menepuk kasur disebelahnya, memintaku duduk disana. Aku menurut saja.
"Besok kamu akan menikah. Dan aku ingin mengucapkan selamat tinggal!" katanya enteng.
Sekarang tubuhku benar-benar menegang.
"Setelah besok, aku tak akan menemuimu lagi. Aku tak akan membalas telepon atau sms mu lagi. Aku ingin kita benar-benar berhenti berhubungan."
"Jeff. . "
Dia telah mengangkat tangannya. Mencegahku untuk protes. "Kau sudah memilih jalanmu. Dan aku ingin menjalani kehidupanku tanpa ada bayang-bayang masa laluku bersamamu. Sarah gadis yang luar biasa Maz. Orang tuamu juga orang-orang yang luar biasa. Mereka nggak pantas menerima lebih banyak lagi kebohonganmu. Kebohongan kita. Sudah waktunya kita berhenti, dan kau harus menjalani hidup barumu, lepas dari bayanganku."
Apa yang bisa kukatakan? Aku hanya terpekur diam dengan hati sakit dan pandangan yang kabur. Namun Jeffry tersenyum. Dia meraih tanganku dengan tangan kanannya. Dia lalu menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kananya yang bebas terulur dan mengusap aliran basah di pipiku.
"Terimakasih sudah menjadi bagian dalam ceritaku," bisiknya pelan. "Terimakasih sudah mengajariku untuk menghormati diri sendiri. Kamu hal terbaik yang pernah aku miliki. Karena kamu, aku bisa merasakan perasaan sayang yang kukira, tak akan pernah bisa aku rasakan lagi. Aku nggak akan lupa Maz. Pelajaran yang kau berikan, akan selalu kuingat. Aku janji nggak akan bandel lagi. Aku janji akan menghormati diriku sendiri, lebih dari sebelumnya. Dan aku janji, aku akan jadi orang yang lebih baik. Karena itu. . . . ,ijinkan aku pergi. Ok?"
Aku berusaha menampilkan senyumku untuknya. Berusaha menyampaikan restuku padanya. Tapi aku gagal. Aku hanya mampu terisak. Kutarik tanganku dari genggaman Jeffry. Cepat kuusap airmataku dan bangkit. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Mencoba mencegah diriku sendiri yang sebenarnya ingin berteriak keras. Bertanya pada Tuhan, kenapa aku bisa mencintai seseorang sebesar ini? Dan kenapa harus sesama lelaki?! Tiba-tiba saja kamarku yang besar terasa sempit dan pengap. Aku butuh udara segar.
"Maz. . . ," panggil Jeffry lirih membuatku yang sudah hendak menghambur keluar dari kamar, urung. Perlahan aku kembali memandangnya. Jeffry tersenyum dengan tatapan memohon. "Please. Bebaskan aku," pintanya.
Tuhanku!
Aku benar-benar ingin berteriak histeris sekarang.
Saat ini, barulah aku tahu. Semua tingkah santai dan dinginnya hanyalah akting. Dia sama terlukanya denganku. Dia sama sakitnya denganku. Dia juga. . . ,mencintaiku. Dia adalah Jeffry yang selalu berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya. Jeffry yang selalu menutupi rapuhnya dengan tingkah macho dan berangasan. Tapi saat ini, didepanku dia melepas semua topengnya. Matanya memancarkan luka yang selama ini dia sembunyikan. Sorot memelasnya membuat nafasku tersendat dan mataku semakin perih. Dari pandangannya, aku bisa memahami kalimat-kalimat yang tidak bisa dia ucapkan secara lisan. Tatapan itu seperti hamburan kata-kata yang begitu menyesakkan. Dan efeknya jauh lebih terasa dibandingkan bila Jeffry mengatakannya.
Aku memahaminya. Aku mengerti apa yang Jeffry ingin sampaikan. Kesedihannya, sakit hatinya, kebingungan, dan juga kepasrahannya pada takdir kami. Dia mengerti kalau tak ada lagi cerita yang bisa ditulis dengan tokoh Dimaz dan Jeffry. Kami. . . . , sudah tak ada lagi. Jeffry tahu itu.
Dengan matanya, dia seolah-olah ingin memberitahuku, bahwa kali ini, bukan hanya aku yang menderita. Bukan hanya aku yang menyesalkan fakta yang ada. Dia juga merasakannya. Karena dia juga. . . . , mencintaiku.
Nafasku seakan terhenti disana, sementara dadaku luar biasa nyeri, dan hampir-hampir tak tertahankan. Dan kulihat, selajur airmata menetes dari mata Jeffry yang masih juga memandangku tanpa berkedip.
Aku tak tahan melihatnya!
Cepat aku mendekati Jeffry dan mendekap kepalanya di dadaku. Sakit sekali dadaku melihatnya seperti itu. Aku tak sanggup lagi. Tuhanku, kenapa harus ada perasaan cinta seperti yang kami miliki? Kalau ini dosa, kenapa kau biarkan kami memilikinya? keluhku dalam hati nelangsa.
"Yah. . . ," bisikku tertahan diantara tangisku. "Aku be-bebaskan kau dariku," sambungku lirih. Kata-kata itu akhirnya kuucapkan. Kalimat yag mungkin seharusnya, sudah dari dulu kukatakan padanya.
Tak ada jawaban dari Jeffry. Tapi tangannya memeluk pinggangku dengan erat. Dibenamkannya wajahnya dalam-dalam ke pelukanku. Bahunya bergetar keras dan kurasakan, bagian depan kemeja yang kupakai mulai basah.
Untuk sesaat, tak ada satupun dari kami yang berbicara. Kami hanya berpelukan sembari terisak pelan. Mencoba melegakan pernafasan kami. Berharap sakit yang kami rasakan akan keluar dari tubuh kami bersama dengan air mata yang kami teteskan. Meski masing-masing dari kami tahu, luka itu masih ada.
Saat aku bisa menguasai diri, aku melepas pelukanku pada Jeffry. Kuusap pipinya. Membersihkan semua sisa airmatanya. "Carilah seseorang yang bisa menyayangimu," kataku pelan.
Jeffry tersenyum. "Pasti! Akan kucari orang yang bisa menyayangiku, lebih dari kamu!" sahutnya dengan senyum tipis. Hampir mirip senyuman pasrah seseorang yang kalah.
Aku mengangguk. "Harus. Dan aku mau kamu berjanji satu hal. Bila suatu saat kau membutuhkan seseorang, dan tak ada orang lain yang ada disisimu, kau harus datang padaku. Kau harus mencariku! Aku akan selalu ada untukmu"
Untuk sesaat Jeffry tak menjawabnya. Dia hanya diam menatapku.
"Berjanjilah!" pintaku lagi.
Jeffry mengangguk. Dan tanpa berkata apa-apa dia bangkit dan melangkah keluar dari kamarku . Dia tak menolehku lagi.
Saat tubuhnya lenyap dibalik pintu, aku sontan memejamkan mata. Kembali merasakan sensasi perih, seakan-akan ada bagian dari diriku yang direnggut dengan paksa.
Sakit!


Aku masih melihat Jeffry keesokan harinya. Setelah pembacaan kalimat ijab qabul, aku masih melihatnya yang berdiri tak jauh dariku. Dia mengacungkan jempolnya padaku. Saat berikutnya, aku dan Sarah menerima ucapan selamat dari beberapa orang. Aku sibuk dengan menyambut salam dari para tamu. Dan baru kusadari saat aku menyalami TJ dan Soni, bahwa Jeffry telah pergi.
Itulah saat terakhir aku melihatnya.


5 tahun telah berlalu.
Aku memiliki seorang putri yang berusia 3 tahun kini. Buah dari pernikahanku dengan Sarah. Kami hidup rukun bersama Abi dan Ummi yang tampak semakin bahagia dan sangat memanjakan cucunya. Kadang aku sampai harus menegur mereka. Tapi mereka malah memintaku untuk dibuatkan cucu lagi.
Sarah tetaplah wanita yang sama. Seorang istri yang benar-benar tahu bagaimana menghormati dan menghargai suami. Dan aku sudah menerima dia sebagai bagian dari hidupku. Aku menyayanginya. Meski aku memiliki satu bagian lain yang kusimpan untuk seorang Jeffry.
Hingga kini.
Aku tak pernah mencarinya. Aku bahkan menghindar untuk tahu beritanya. Aku tak pernah sekalipun membaca berita entertainment ataupun ulasan infotainment yang menjamur di Tv. Karena aku hanya akan menemui Jeffry, jika dia yang datang padaku. Karena aku sudah berjanji padanya. Dan aku sudah memilih jalanku.
Luka yang aku alami bersama dengan Jeffry memang telah sembuh. Tapi bekas luka itu masih ada. Masih nyata dengan jelas disana, dan akan terus ada sampai tiba waktunya nanti aku tak akan mampu melihatnya lagi.

Cerita ini baru aku ungkap pada seseorang beberapa hari yang lalu. Saat itu, aku yang sudah lama tidak berhubungan dengan dunia gay, tiba-tiba saja tergelitik rasa ingin tahu, apakah ada orang lain yang memiliki cerita yang sama denganku. Aku browsing google dengan kata kunci gay taubat. Secara tak sengaja aku menemukan sebuah Forum komunitas gay. Di forum ini ada berbagai tempat untuk ngobrol dan salah satunya adalah tempat untuk berbagi cerita. Dan aku iseng membaca sebuah judul cerita yang ditulis oleh seseorang. Aku tertarik dengan judulnya. Memoirs! Karena penasaran aku menghubungi email si pemilik cerita itu. And next thing I know, aku tumpahkan apa yang selama ini aku simpan padanya. Orang asing yang baru kukenal lewat dunia maya dalam hitungan hari.

Aku hanya berharap, ada orang lain diluar sana yang bisa belajar sesuatu dari kisahku. Mungkin banyak dari kalian disana yang mengalami masalah klasik yang pernah kualami.
Ada banyak orang lain yang mengalami apa yang kalian rasakan saat ini.
Itu satu hal yang harus diingat oleh kalian yang membaca kisah ini.
Kalian tidak sendiri.
===============the end==================